Anda di halaman 1dari 155

Proceding

Tinjauan Terhadap
Lebian Gay Biseksual dan Transgender ( LGBT )
Dari Perspektif Hukum Pendidikan Dan
Psikologi

Metro International Conference on Islamic


Studies (MICIS)

Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo


Metro Lampung
Proceding
Tinjauan Terhadap Lebian Gay Biseksual dan Transgender ( LGBT )
Dari Perspektif Hukum Pendidikan Dan Psikologi

Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)

Penanggungjawab
Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons

Editor
Dharma Setyawan, MA

ISBN : 978-602-74579-0-4

Diterbitkan oleh:
Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro Lampung
Telp. 0725-41507, fax 0725-47296
Email : stainjusi@stainmetro.ac.id
Website : http://www.stainmetro.ac.id
Tinjauan Terhadap Lebian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Dari
Perspektif Hukum, Pendidikan Dan Psikologi

Perbincangan tentang LGBT di Indonesia menurut yang pro dengan gerakan


ini menyatakan: (a) Seharusnya keberadaan LGBT dihargai atas dasar
kemanusiaan, (b) Mendukung bukan berarti menjadi bagian darinya, (c) LGBT
bukanlah lagi penyakit atau kelainan mental menurut penelitian yang dilakukan
oleh American Psychiatric Association semenjak tahun 1973. Stop mengatakan
bahwa LGBT dapat disembuhkan, dan (d) Setiap orang berhak jatuh cinta dan
semestinya mereka tidak boleh dipisahkan. Sayangnya, setiap orang tidak ada
yang dapat memilih untuk jatuh cinta dengan siapa; laki-laki dengan wanita,
laki-laki dengan laki-laki, atau laki-laki dengan wanita. Orientasi seksual
seseorang tidak dapat diubah, ia telah diatur dalam gen manusia ketika lahir
muncul secara alamiah ketika manusia memasuki masa pubertas.
Sedangkan menurut yang kontra dengan LGBT ini menyatakan bahwa: (a)
Hubungan sesama jenis dilarang oleh agama dan tergolong dosa besar. Hal ini
telah diatur dalam kitab di semua agama, dan setiap orang pasti memiliki
tafsiran atau pemahaman yang berbeda-beda akan hal tersebut, (b) Manusia
diciptakan berpasang-pasangan oleh Tuhan, sudah seharusnya kita sebagai
manusia mengikuti aturan tersebut dan tidak bertindak melawan kodrat. Orang
yang tergolong dalam LGBT merupakan mereka yang melakukan
penyimpangan dan upaya perlawanan terhadap Tuhan, (c) LGBT merupakan
penyakit dan digolongkan dalam gaya hidup yang tidak sehat. Pengaruh
lingkungan yang buruk sangat menentukan perilaku tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan kemauan yang sungguh-sungguh dari pelaku LGBT agar dapat
sembuh dan kembali normal, dan (d) Bencana alam semakin hari semakin
banyak terjadi dan merupakan tanda-tanda berakhirnya zaman, seiring dengan
semakin banyaknya orang yang menyatakan dirinya bagian dari LGBT, apalagi
dengan maraknya pernikahan sesama jenis.
Sebegitu pentingnya Islam memandang LGBT, maka beberapa tulisan dalam
Proceeding ini mengulas mengenai Islam dan LGBT lewat sudut pandang dari
berbagai penulis. Semoga bermanfaat, selamat membaca.[N]

Metro, Desember 2016

Redaksi
Daftar isi

HERMENEUTICS OF THE WARIA: WARIA’S HERMENEUTICAL


TAFSIR OF AL-FATIHAH
Fazlul Rahman 1-15

AGAMA DAN HAM MEMANDANG LGBT


Masthuriyah Sa’dan 16-25

PENERIMAAN KELUARGA TERHADAP WARIA


(Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta)
Arif Nuh Safri 26-41

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA LGBT PADA ANAK DAN


REMAJA
Zusy Aryanti 42-49

MEMBENDUNG WACANA TENTANG KEBEBASAN DAN HAK


ASASI MANUSIA BAGI PENYIMPANGAN SEKSUALITAS
DENGAN HUKUM DAN AGAMA
Dalmeri 50-61

FENOMENA LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER


(LGBT) DI INDONESIA DAN UPAYA PENCEGAHANNYA
Yudiyanto 62-74

PERILAKU HOMOSEKSUAL: MENCARI AKAR FAKTOR


GENETIK
Misri Gozan 75-86

KONSELING ISLAM SEBAGAI SOLUSI FENOMENA


TRANSGENDER
Mu’adil Faizin 87-96

HUKUM TRANSEKSUAL DAN KEDUDUKAN HUKUM


PELAKUNYA DALAM KEWARISAN ISLAM
Suhairi 97-104

DAMPAK LGBT DAN ANTISIPASINYA DI MASYARAKAT


Ihsan Dacholfany
105-116
Khoirurrijal
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP LGBT
M.Badaruddin 117-132

LGBT : ANTARA NORMA DAN KEADILAN (MENURUT AKAR


GENEOLOGIS KEBUDAYAAN MASYARAKAT INDONESIA)
Nawang Wulandari 133-143

PRO DAN KONTRA LBGT DI MASYARAKAT INDONESIA


Tyas Desita Wengrum 144-148
HERMENEUTICS OF THE WARIA:
WARIA’S HERMENEUTICAL TAFSIR OF AL-FATIHAH

Fazlul Rahman
Ph.D student of Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
fazlulrahman85@gmail.com

Abstract
Qur‟an, as it is believed by Muslims, is The Holy Book as well as the manifestation of The
Words of God (Kalamullah). It has meanings which obviously was being „monopolized‟
by The Ulama. In regarding of consequence, the authority of interpreting this
Kalamullahseems „limited‟ only for particular groups. Then, according the author it
becomes the main factor leads the stagnancy of Quranic interpretation studies in this
modern era. In this context, Schleiermacher‟s teory about „psychological explication‟
(1998), Paul Ricoeur‟s theory about „distantiation and appropriation‟ (1976), and „the
marginalized reading of Scripture‟ theory proposed by Simopoulos (2007), create a new
path in interpreting Quran. From those theories, the author sheds the lights on
hermeneutical interpretation of al-Fatihahby as one of the marginalized groups in
Indonesia, the Waria. This paper concludes that the waria use their hermeneutical way of
understanding the Scripture and produce not only anoriginal interpretation, but also
contextual and full of theological reflections.
Keywords: meaning, hermeneutics, interpretation, waria.

Abstrak
Al-Quran yang diyakini oleh Umat Islam sebagai sebuah Kitab Suci sekaligus
manifestasi perkataan Allah (Kalamullah) memiliki makna yang seringkali„ dimonopoli‟
oleh kalangan ulama. Otoritas penafsiran Kalamullah ini pun pada akhirnya turut
„dianggap‟ tertutup hanya untuk segolongan tertentu. Hal inilah kemudian, menurut
penulis, menjadi factor utama penyebab stagnansi khazanah penafsiran Al-Quran pada
era modern ini. Dalam konteks ini, teori „psychological explication‟ milik Schleiermacher
(1998), teori „distanciation and appropriation‟ yang diusung Ricoeur (1976), dan teori
„pemaknaan Kitab Suci kaum marginal‟ milik Simopulos (2007), menjadi sangat relevan
untuk diangkat dalam usaha membuka jalur baru penafsiran Kitab Suci. Berangkat dari
tiga teori hermenutika di atas, dalam paper ini penulis akan mengungka pkan penafsiran
surat Al Fatihah salah satu kaum marginal di Indonesia, waria (akr. wanitapria).
Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa waria menggunakan cara hermeneutical
mereka untuk memahami kitab dan hasilnya tidak hanya arti secara asli tetapi juga secara
kontekstual dan refleksi keagamaan secara penuh.
Kata kunci: makna, hermeneutika, penafsiran, waria.

Interpreting Qur’an and The Problem of Authority


The interpretation of Holy Scripture, which is known as “tafsir” in
Quranic studies, is generally crucial for the human being‟s religious
sustainability. A plenty works to actualize and re-actualize it continuously is
shown by many scholars from different disciplines.Quranic interpretation, for
instance, obviously shows its progressivity with the progress of its method of
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

interpretation. From the “first interpreter,” Muhammad PBUH, followed by Abi


Ja‟far al-Tabari (who also well-known as the leader of the Quranic interpreters)
with his work „Jami‟ al-Bayan, up until the recent works on Quranic
interpretations, we can clearly see the progressivity of the metamorphosis
process of the Quranic interpretationendeavor.1One of the most obvious
distinctive characteristics of the current Quranic interpretation works is their
rejection of imitating the preceding Quranic scholars, which is according to the
them, leads only to reproducing the foregone conclusions (tahsil al-hasil).This is
shown by the reformers movement who carry with them the idea of refusing one
single authority in interpreting scriptures.2
However, the demand to understand and interpret the Holy Scriptures
originally based on the fact that reality and The Scriptures are two sides of the
same coin. Both are inseparable.3 Reality, invariably, needs The Scripture to be
well understood and vise versa, The Scripture indeed needs reality to be well
interpreted.Moreover, throughthe final revelation of the Quran and its
codification, its texts become statics. Reality, on the other hand, always changes.4
In consequence, the mufassir (interpreters) have to keep actualizing their
understanding of the Quranic texts to make them compatible with current
situations.
For Muslim societies, the actualization of understanding texts is actually
not only limited to Quranic texts but also the text of the second main source of
Islam, the prophetic sayings or hadith. Hadith isas an explanatory for Quran
should be read and understood better. At this point, the more responsive kind of
reinterpretation of understanding the Hadith texts which is able to accommodate
the changingoccured in the society is highly needed to make the teachings of
prophet be more widely understood by introducing, for instance, a new method
of understanding hadith using historical, sociological and anthropological
approaches.5 For the hadith was not coming from a vacant reality.
Furthermore, the issue of dialectical process between text and reality
causes in a more serious problem of the deterioration of Muslim nowadays. As

1In Indonesian context, Gusmian explains the changing of writing method of Quranic
interpretation in Indonesia in three periods: first the period of the early 20th century to 1960s, the
second period from occured from 1970sto 1980sand the third is 1990s. More details, please refer to:
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Penerbit
TERAJU, 2003). Compare it with Federspiel‟s explanation on the patterns of Quranic interpretation
existed in Indonesia in his work Popular Indonesian Literature of the Qur‟an translated by Tajul Arifin
into Kajian al-Quran di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996).
2As it is cited by Baljonin Modern Muslim Koran Interpretation (Leiden: Brill, 1968), 16.
3 Sahiron Syamsudin says that an interpretation raises as a response of a close relationship

between tafsir and reality in the preface of Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011).
4The static nature of the texts and the dynamic nature of the context becomes one of the

main arguments showed by contemprary Quranic interpretation, see: Abdul Mustaqin, Epistemologi
Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 54.
5Said Agil Husin Munawwarand Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi

Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 21


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

2
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

Azra mentioned that many Muslim scholars and thinkers who are trapped in
apological ideology when they have to answer the main cause of Muslims
deterioration by giving a simple answer. “because Muslims have neglected the
teachings of Quran and the prophet Muhamad.” Thus, “Islamic Solution” becomes
the only way out of this crisis and be the best answer of the challenges of the
future as well. Here,we need to be critical which Islam is actually can provide the
solution. At this point, we can obviously see the significance of a more viable and
workable understanding Islamthrough its textsfor Muslims.6
The demand to rejuvenate the understanding of Holy Scripture‟s texts is
also applicable for Holy Bible‟s texts. Wright, in this context, calls Bible as the
“progressive revelation.”7 In theline with him, Beckwith calls for “readjustment of
the gospel to the world.”8 A dozen works on Quranic and Biblical studies are the
products of an effort to understand those texts which are both “the texts of
past,”9 needs to be reinterpreted10and presented in their own contexts.
The demand to reread the Holy Scripture‟stexts unfortunately is not in
line with an open opportunity to interpret them. No one is considered as
authoritative to be a mufassir (Quranic interpreter). It leads positively to maintain
the authority of the Holy Scripture itself, but on the other hand, it negatively
causes on the stagnancy of works on Quranic studies. Whereas, according to
Vishanoff, among the five leading Islamic scholars (Shafi‟i, Baqilani, IbnHazm,
Abdal-Jabbar, AbuYa‟la), three of them (Shafi‟i,al- Baqilani, dan AbuYa‟la)
declared that the meanings of the Quranic texts are flexible and
they(IbnHazm,Abdal-Jabbar,sertaAbuYa‟la)agreed that those meanings are
accessible for non-specialists (lay people).11

Interpreting the Text: Three HermneuticalApproaches


According to Gracia, there are at least three factors involved in
interpretation: first, the text under interpretation (interpretandum); second, a text/
a commentary added to the text that is being interpreted (interpretans) and this
interpretanscan be mental, spoken, or written; three, interpreter who produces the
interpretation.12 On the last factor, interpreter, Schleiermacher reminds us the

6Azyumardi Azra, “Islam dan Transformasi Budaya Abad Ke-21,” in Azyumardi Azra,

Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1999), 202.
7 George Ernest Wright, “Progressive Revelation,” The Christian Scholar, Vol. 39, No. 1

(March 1956), pp. 61-65


8Clarence Augustine Beckwith, “Redefinition in Present-Day Theology,” The Biblical World,

Vol. 48, No. 6 (Dec, 1916), pp. 341-349.


9Jansen, J.J.G, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, transl. Hairussalim, Syarif

Hidayatullah, DiskursusTafsir al-Qur‟an Modern (Yogyakarta: Pt. Tiara WacanaYogya, 1997), 4-5
10Henry Clark, “The Dilemma of the Protestant Progressive,” An Interdisciplinary Journal,

Vol. 52, No. 1 (Spring 1969), pp. 1-14


11David R. Vishanoff, “Five Classical Approaches to the Qur‟an,”paper presented in

International Seminar and Conference on the Quran. UIN Sunan Kalijaga, Feb., 24th, 2013.
12JorgeJ. E. Gracia, A Theoryof Textuality: The Logic and Epistemology (Albany: State

University of New York Press, 1995), 177.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

3
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

importance of „psychological explication‟ which means that every thought came


out of an interpreter is actually a reflection of his/her life experience.13 Therefore,
as Paul Ricoeur comments, in any effort of interpreting the texts, the interpreter
should go through the process of “distanciation and appropriation.”14
Thedistanciation means a process of interpreter‟s keeping a distance from any
things attached to him/her from psychological, academics, and historical
backgrounds. This process is basically an effort to let the text talks by itself which
then followed by appropriating it with the reality.
This sub discussion will elucidate more the process that the interpreter
goes through it when he/she interpreted the texts by highlighting three main
scholars of hermeneutics‟ perspectives.

 Schleiermacher’s perspectives
It is interesting to understand what does Hermeneutics mean to
Schleiermacher and why does he put the word criticism along with hermeneutics
in his famous work “Hermeneutics and Criticism.” In general, according to
Schleiermacher, hermeneutics means the art of understanding the writing
discourse of other person correctly. It is a special part of the art of speaking and
writing. But, not only limited to the understanding of difficult passages in
foreign languages, familiarity with the object and the language area instead
presupposed. And criticism on the other side means the art of judging correctly
and establishing the authenticity of texts and parts of texts from adequate
evidence and data.15 Given that explanation, one can only be sure of its
establishing of meaning if the authenticity of the text or part of the text can be
presupposed, then the practice of hermeneutics presupposes criticism.
Furthermore, Schleiermacher argues that as every utterance has such a
dual relationship (to the totality of language and to the whole thought of its
originator), then all understanding also consists of the two moments; of
understanding utterance from language, and as a fact in the thinker.16
Accordingly, understanding is only a being-in-one-another of these two moments
(of the grammatical and psychological).
In his unpublished-manuscripts, Schleiermacher calls psychological
explication as technical interpretation, although in the introduction, he regularly
called the other side of explication the psychological. But in his lecture of 1832 he
calls this part as psychological, but he also distinguishes within this a dual task;
purely psychological and technical. The relative opposition of the purely
psychological and technical are the first being more concerned with the

13Friedrich
Schleirmacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), p.101.
14John B. Thompson (ed.), Paul Ricoeur Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge:

Cambridge University Press, 1981), p.183.


15Friedrich Schleirmacher, Hermeneutics and Criticism..., p.3.
16Friedrich Schleirmacher, Hermeneutics and Criticism..., 8.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

4
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

emergence of thoughts from the totality of the life-moments of the individual, the
second being more a leading-back to a determinate wish to think and present,
from which sequences of development. Also, the distinguish lies in the fact that
the technical is the understanding of meditation and of the composition.
Meanwhile, the psychological is the understanding of the ideas.
The common beginning for this side of explication and for grammatical
application is the general overview which grasps the unity of the work and the
main characteristics of the composition. But the unity of the work, the theme, in
this psychological explication is regarding as the main factor stimulates the
writer, and the basic characteristics of the composition as his individual nature
which reveals to the movement. But the author now orders that object in his
individual manner, which is reflected in his order itself. By recognizing the
author in this way, he combine two things in the language; producing something
new in it and preserving what he repeat and reproduces. That is why the final
objective of psychological (technical) explication is also nothing but the
development is beginning.
On the finding of the unity of the style, Schleiermacher notes general law
that every writer has their own style except those who have no individuality at
all. But they do have and create such a common style. As this unity cannot now
considered as a concept, but only as an intuition, it is generally only the limit-
points which can initially be determined. As the task of psychological explication
in its own terms is generally to understand every given structure of thoughts as a
moment of the life of a particular person, Schleiermacher mentioned that there
are two methods for the whole procedure on this; by observation in and for itself
(divinatory method), in which one transforms oneself into the other person and
tries to understand the individual element directly, and by comparising with
others (the comparative method), which posits the person to be understood as
something universal and then finds the individual aspect by comparison with
other things included under the same universal.
The psychological task in particular involves two aspects; the
understanding of the whole basic thought of the work from which everything
develops, the other is the comprehension of individual parts of the work via the
life of the author. And both are to be understood via the personal individuality of
the author. The first task is questioning how the author arrived at the thought
from which the whole developed, i.e. what relationship does it have to his whole
life and how does the moment of emergence relate to all another life-moments of
the author?
In conclusion, as one of many methods for reading scripture,
Hermeneutics plays a big role in providing a comprehensive way to be able to
understand the scripture wisely. It could be done only by taking as many factors
as possible in to consideration for understanding and reading the text.
Schleiermacher, in this regard, shows the important of the language (the text),

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

5
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

and psychological value of the author and reader for understanding the
utterance, written or spoken. In the other word, Schleiermacher‟s hermeneutics
sees the strong influence of the text and its originator on the reader in
understanding the scripture. However, we may still ask the role of the reader in
understanding the scripture; to what extent that readers backgrounds
(educational, ideology, etc) negotiate the influence of the text and its originator in
understanding the scripture.

 Ricoeur’sPerspecitve
Schleiermarcher‟s arguement is all understanding consists of the two
moments; Understanding utterance from language, and as a fact in the thinker, is
very much helpful to put a basis of a process of an interpretation. This formula
then wasaccomplishedfurther by Ricouer‟s explanation on the details of the
process of interpretation from distanciation, appropriation, guessing, and
validation.
Thesesteps of interpretation begin with the process of autonomization of
the text (distanciation) to extract what the text says about itself without taking
anything around it into account. This process occurred using our ability to guess
(guessing) or trying to reveal the “fore-meaning” of the text. Then, it comes the
process where we make our guessing more sophisticated through actualizing
what have the text said about itself (appropriation). The last is validating the
meaning by comparing what we got from the text with current situation. Now,
let us see the details of every step to be able to utilize them for understanding
Quranic texts.
1. Distanciation
As we mentioned before that the final revelation constitutes the
unsustainability of the dialogical process of the revelation between God, prophet,
and human being. In other words, what left for us from Muhammad‟s sayings
about Quran after his death is only what has been recorded during his life in the
form of memories and texts. Here, the hermeneutical process begins.17It means
that whenever the prophet sayings about Quran are converted to the text, people
begin to interpret what the prophet actually meant to say by his sayings because
we do not and cannot have direct access to the meaning that texts are supposed
to convey.18 By this, we consider the text is autonomous. This is what
distanciation actually does to the text. It establishes the autonomy of the text with

17According to Ricoeur , the hermeneutical process begins when dialogue ends. Because
without dialogue, one is forced to interpret without thebenefit of the other, see: Paul Ricoeur,
Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning (Texas: The Texas Christian University
Press, 1976), 95-110
18 Jorge J. E. Gracia, ATheory of Textuality: The Logic and Epistemology (New York: State

University of New York Press, 1995), 147


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

6
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

respect to its author, its situation and its original reader.19 In practical,
distanciation is the process when we let the texts speak by themselves.
2. Guessing
After hearing what the texts said about themselves, in this process, we
actively talk to the texts in order to understand them. This process confirms what
Ricours said that “languages do not speak, people do.”20 In doing so, Ricoeur told
us that we do not need to repeat the speech‟s event in a similar event.21 All we
have to do is to guess the meaning of the text. In practical, guessing is a process
of psychological self-projection into texts contains a small grain of truth.22 In this
regard, Gadamer reminds us that we cannot stick blindly to our fore-meaning to
gain the meaning of the text.23 Moreover, because there are no rules for making
good guesses, then we need to criticize and test our guessing.24 To do that, we go
to the next step, appropriation.
3. Appropriation
Appropriation is the actualization of the meaning as addressed to
somebody.25 It concerns the way in which the text is addressed to someone.
Means, to explain a text was essentially to consider it as the expression of certain
socio-cultural needs and as a response to certain perplexities localised in space
and time.26 To apply this step means to see the socio-cultural where the text is
produced.
4. Validation
Ricouer said that validation corresponds to what Schleirmarcher called as
“grammatical” which sees the strong influence of the text and its originator on
the reader in understanding the scripture.27 The application of this process is by
comparing the meaning we got from the previous three steps with linguistic
analysis of the text and everything surrounds it. Validation, furthermore,
occurred by doing Rahman‟s double movement: from the present situation to
Quranic timesthen back to the present.28

19 Ruby S. Suazo, “Ricoeur‟s Hermeneutic as Appropriation: A Way of Understanding

Oneself In Front of the Text,” available online on


http://sphynxrhuzzhz.webs.com/OPUS/RUBY%20S.%20SUAZO%20DISSERTATION.pdf
20 Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning (Texas: The Texas

Christian University Press, 1976), p.13.


21 Paul Ricoeur, Interpretation Theory…, 75.
22 As Ricoeur said that guessing corresponds to what Schleirmarcher called as “divinatory,”

see: Paul Ricoeur, Interpretation Theory…, 76.


23Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: Continuum, 1975), 271.
24 E.D. Hirsch, Validity in Interpretation (New Haven: Yale University Press, 1967), 203 as

quoted by Ricoeur in Paul Ricoeur, Interpretation Theory…, 76.


25 Paul Ricoeur, Interpretation Theory…, 92
26Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University

Press, 1981), p.183.


27 As we can conclude from his concept of “grammatical explication,” see: Friedrich

Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings (UK: Cambridge University Press,
1998),p. 30, 44.
28FazlurRahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (London: The

University of Chicago Press, 1982), p. 5 and p. 20.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

7
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

In the line of concluding what have been said so far, I would like to say
that the process of an interpretation begins with the consideration of many things
surrounding the texts that might play role in interpretation. These many things,
according to Schleiermacher, categorized in two: grammatical and psychological.
The first concerns more on textual analysis in interpretating the text while the
second pay very much attention to the „condition of possibility‟ of the interpreter
to interpret the texts. Ricoeur then comes explaining the details of that condition
by providing the steps (distanciation, guessing, appropriation, validation) that
the interpreter should go through it in doing interpretation. The next question
arises then, for whom those steps are available? Or in other words, does that
„condition of possibility‟ applicable for every one? To answer this, let us listen to
Simopoulus‟ interesting expalanation of the marginalized reading of Hagar.
 Simopoulus’ Perspective
In the beginning on his article “who was Hagar?,”Simopolous in his
introduction quoted Gotwald that “no reader comes to the text „naked‟ “ which
means that every individual-ordinary, untrained readers and biblical scholars are
equipped by same tools for reading the text known as pre-understandings and
pretexts that shape what they see and what they focus from Biblical messages.
For him, all interpretations are, rather, reflections of the lenses through which we
see and experience ourselves, the world and God. Based on this point of view,
Simopoulus interviewed three groups of ordinary, untrained readers: white,
middle-to-upper-class of Catholic and Protestant women living in Northern
California; Latina Presbyterian immigrants and refugees from Mexico and
Central America living in Northern California; and black South African Protestan
women from both rural and urban South African to know how they read the
story of Hagar and Sarah as found in Gen 16.
His own work brightly concluded that each group read and interpret the
story of Hagar and Sarah differently based on their life background‟s
circumstances. For more details, we may take one example of the Caucasian‟s
point of view. To give information of their background, the author mentioned
that the group of Caucasian women are both Catholics and Protestant, and it had
been studying Bible through weekly meeting for five years. They are relatively
wealthy and high educated. Interestingly, they had been divorced by adulterous
husbands when they found new mistresses. Being as divorced women, they had
been marginalized and stigmatized by their social, familial and religious
networks.
In relation with how those women read the story of Hagar and Sarah,
based on his interview, the author found that the majority of the women in this
group viewed from two different perspectives. First, the women saw Hagar from
the perspective of Sarah, the privileged but barren wife. In this sense, they
identified Hagar as Abraham‟s mistress. Hagar was seen as an accomplice in
adultery who maneuvered her way into Sarah and Abraham‟s marriage. The

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

8
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

women in the Bible study, reading from their own experience of rejection when
their husbands replaced them with mistresses, identified with Sarah‟s jealousy
and rage toward this other woman. Second, the women identified Hagar as an
outcast or a “divorced” woman. As divorced women themselves, the Caucasian
women identified Hagar‟s experience of being used and ultimately cast out. No
longer desired by or of use of their husbands. These women were served with
divorce papers much like Hagar was served with a satchel of water and some
bread.
Redemption in this group‟s interpretation of the text was found in the fact
that God provided the means of survival for both Hagar and themselves. The
women in the Bible study started their own careers, and they are now teachers,
interior decorators, analysts with the state, and one of them is pursuing her
master‟s degree in spirituality. Many of the women in the Bible study related
that they, just as Hagar, had personal and psychological encounters with God in
their deserts.
The previous example of how the Caucasian women interpretation of the
story of Hagar and Sarah was highly influenced by their life background‟s
circumstances, also clearly was shown by The Latina women which identified
with Hagar as an exile from her native country of Egypt as well as an outsider
and outcast living in a foreign and hostile land. The same case with The Black
South African women who identified Hagar‟s exploitation as a slave and worker
under her master‟s oppression.
In concluding to his work, the author stated that the validity requires
boundaries. However, the distinct interpretations that have been articulated in
this paper are valid simply because they are genuine,they speak meaningfully to
the particular context of each group. The women have interpreted the text in
such a way that a liberating and redemptive message of hope has emerged for
them in the midst of their varying experiences of tragedy and suffering. The
author also emphasized the importance of interpretative dialogue and listening
from the ordinary readers of the Bible.29

Ibu Mariyani: A General Picture of Waria’s Life


Different from the existing scholarly works on what exactly waria is, how
is this contorversial identity is being placed in the context of Indonesia, and how
is the warias religiousity as the creature of God,30 this paper will specifically

29 Nicole M. Simopoulus, “Who Was Hagar? Mistress, Divorce, Exile or Exploited Worker:

An Analysis of Contemporary Grassroots Reading of Genesis 16 by Causaian, Latina, and Black


South African Woman,” in Gerald O. West, Reading Other-Wise Socially Engaged Biblical Scholars
Reading with Their Local Communities (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007).
30Among them are: Koeswinarno, “KehidupanBeragamWaria Muslim di
Yogyakarta,”dissertation submitted to the Universitas Gadjah Mada for the degree of Doctor in
Social Sciences and Humanities., 2007; Muslim Hidayat, “Waria di HadapanTuhan:
EksplorasiKehidupanReligiusWariadalamMemahamiDiri,”a thesis submitted to Graduate Program
of Faculty of Psychology, UniversitasGadjahMada Yogyakarta, 2012; Tom Boellstorff, ‚Playing Back
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

9
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

highlight how they interpret the first surah(chapter) of Holy Quran. Before that, I
would like to introduceIbuMariyani, who is waria and the founder of Pesantren
Waria. As I came and interviewed her on May 2013.

Pic 1.
Ibu Mariyani and her picture of transormation to waria before and after using
hijab

She told me that she has just returned from Mecca to perform umrah(small
pilgrimage). It was such a blessing experience for her as waria to be able to go to
baitullah. She told me that before going to Mecca, some of her friends warned her
about what will happen to her in that holy place and people of hersurrounding
because of her non-ordinary physical looks. Interestingly, she said that “saya yang
membuktikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta‟ala di sana tidak memandang manusia apa
saja, tidak memandang orang kaya miskin, orang jelek cakep, ternyata Allah SWT
menerima semuanya.” (I have proved that Allah there (in Mecca) does not see
whether one is rich or poor, neither good looking nor bad, but Allah accepts
every one). She even more told me that the authority of Arabians were very
welcome and she had no any experience of being discriminated during her
staying in Mecca, Medina, and Jedda.
About her identity as waria, she mentions that her condition is natural and
God creation. She was born as a male but feels that her soul was female and
should be accepted as such by Muslims as part of the muslim.She told me that
from her little age (approximately playgroup age) she played with girls toys. At
this point, she emphasized that “waria sebenarnya bukan penyakit dan bukan pilihan.
Kalo penyakit saya dari kecil sampe sekarang saya usia 54 tahun lek memang ada dokter
yang memang bisa nyembuhin saya itu berarti memang (kehendak) Gusti Allah. Kalo
pilihan, saya tidak bisa mengganti apa yang dikasih Allah (bahwa) saya laki-laki padahal
saya pengen jadi perempuan.”

the Nation: Waria, Indonesian Transvestites,‛ Cultural Anthropology, May 2004; Michael R.
Stevenson, ‚Searching for a Gay Identity in Indonesia,‛ Journal of Men‟s Studies 4, 2 (Nov 30,
1995): p. 93.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

10
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

Waria actually is not an illness nor a choice. If it was an illness, from my


little age till now iam at my 54, if there is a doctor who is able to cure me I really
thanks God for this. If it was a choice, I could not change that God chose me to be
man while I prefer to be a woman).
Ibu Mariyani is also known as the founder of Pesantren Khusus Waria
(Senin-Kamis). The borading school was established in 2008 which aims to
accomodate warias who want to learn about religion. According to Mariyani,
warias are oftenly underestimated by the society while actually there is no perfect
human being in this world. At this point, for Mariyani, warias are also human
being who must worship their God. If they do not know how to perform
worshiping and learn more about Islamic rituals in the existing pesantren, they
will never be accepted. KH. Amroli and Bu Maryina in this case then took an
initiative to build this Pesantren Waria and finance this borading school from her
own pocket.

Pic 2.
The identity board of Pesantren Waria

The religious activities of this boarding is regularly held in Wednesday night and
Sunday night at 5 pmwhich began by reading shalawat nariyahthen followed with
performing maghrib prayer together. After that, the warias continue to read Al
Fatihah not less then 100 times untill isya prayer which then followed by learning
how to perform Islamic rituals correctly (prayer, take ritual ablution, reading
Quran, etc.) under the guidence of one ustadz (teacher). The pesantren
periodically helds an open preaching (pengajian ), and gets involvings in some
social activities.
Regarding to her religious background, Ibu Mariyani confessed that she
was a christian because she was being adopted by a christian family. In journey
of her life, particularly when she was experiencing a black nigtlife, she oftenly
involved and held religious rituals. Furthermore, Ibu Mariyani told me that a
turning point of her life was when she heard the voice of Islamic takbir blessings

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

11
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

at the night before eid and immediately joinedwithout knowing anything how to
perform prayer the tarawihprayer in KH. Ham Sugeng‟s mosque which then
continuously followed his open preaching (pengajian ) untill she finally embraced
Islam. The experience helped her to went out of her „black‟ life and started to
open salon to survive.

Waria‘hermeneuticizing’al-Fatihah
In this sub section, I will provide the description of my interview with Ibu
Mariyani regarding her interpreation of al-fatihah.
Me: As waria, how do you see the concept of syukur(gratefulness)?
IbuMariyani: We should be grateful to Allah in everything that Allah has
given us. Being a waria, in this context, should also be something grateful.
Not just like a waria who has no religion, She/ he will live this life
however it flows. The most important thing for them is enjoying life. An
human being actually should not behave like that. Human being should
fight for thier life and worship God at the same time because it is human‟s
destiny to worship God. In front of God, the bad people will not always
be bad. As long as they want to change and ask Allah to help them change
their life. God, for sure, will always grant His creatures‟ requests. And He
will never regret if we ask Him continuously. As I proved it in my life
when I continuously prayed tahajuddasking Allah to allow me to visit His
house (baitullah) which finally He makes it comes true. Here, He showed
that he is the Most Gracious, and Most Merciful (ٌٞ‫ )اىرحَِ اىرح‬who does not
discriminate any of His creatures.

Me: About the verse ‫ِش‬ٝ‫ً٘ اىد‬ٝ ‫ٍاىل‬, how do you find yourself, as waria, will
be in the Day of Judgment?
IbuMariyani: All what I can do is just leaving everything to God‟s will.
As a stupid person, I do not know exactly how, I just surrender my whole
life here and afterlife to God. This also be my attitude toward people who
claims that warias are haram(religiously prohibited), najis (religiously
dirty), and impossibly accepted by God. People have no right to judge
what other people did. Let God decides with His justice later in the
afterlife. Unfortunately, people oftenly act as if they are God foranother
people. Shortly, I do believe the justice of God who will reward every
good deed with His blessings.

Me: The next verse of AlFatihahwill beِٞ‫اك ّسرغ‬ٝ‫اك ّعثد ٗإ‬ٝ‫إ‬, how do you find
the word „worship‟ should be understood bythe warias?
Ibu Mariyani:Here (in the Pesantren Waria) we provide sarungand
mukena ( the cloth in doing worship ) all together. Anyone of the waria is
freely to choose which of sarung and mukena do they feel more

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

12
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

comfortable to put on for praying. For me, I prefer mukena as I feel more
comfortable using mukena in performing prayer. At this point, I do believe
that God understands me and my friends‟ conditions. God granted His
paradise for people not based on neither their sexual identity nor their
appearances. As I experienced it when I went to Mecca for performing
umrah. I did not find anyone there call me “hey you waria!”

Me: Regarding the verse saying ٌٞ‫إدّا اىصراط اىَسرق‬, do you see that warias‟
path is the straight path?
Ibu Mariyani: I leave the answer to Allah. The right or not is fully on
God‟s decision. Let me give you an example, the claims that waria are
haram, najis is actually wrong. How could people claim that someone
worshiping God as haram? If warias are najis, why then God gave them
life?

Me: So do you believe that warias are not included in what Quran says as
‫ اىَغض٘ب‬and ِٞ‫?اىضاى‬
Ibu Mariyani: I believe there are not. But, again, the desicion is in God‟s
justice. All what I have to do in this world is being a good God‟s servant.

Conclusion
If we compare how Ibu Mariyani interpret the verses of alfatihah with the
the three hermeneutical perspectives provided by Schleiermacher, Ricoeur, and
Simopoulus, we can clearly see that her interpretation confirms their
hermeneutical perspectives at least in three points:
First, what Ibu Mariyani did was exactly confirm Simopoulussargument
saying that interpretations is reflection of the lenses through which we see and
experience ourselves, the world and God. This clearly shown in her overall
interpreation of the alfatiha which she always relate her understanding of the
text with what she experienced in her life as waria and as a creature of God.
Second, Schleiermacher‟sconclusion saying that as every utterance has a
dual relationship (to the totality of language and to the whole thought of its
originator), then all understanding also consists of the two moments; of
understanding utterance from language, and as a fact in the thinker. Ibu
Mariyani‟s interpretaion of alfatihah clearly confirms that conclusion in a way
that her understanding is resulted from her short understanding of the text and
completed with her life experiences as waria.
Third, Ricoeur‟s steps of understanding (distanciation, guessing,
appropriation, validation) are, at leas two of them (distanciation and guessing),
successfully done by Ibu Mariyani in her interpretation of alfatihah. This limited
effort is understandably in a way that she might not be able to do appropriation
and validation due to her academic ability.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

13
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

Bibliography
Azra, Azyumardi. “Islam dan Transformasi Budaya Abad Ke-21,” in Azyumardi
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Penerbit
Paramadina, 1999.
Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation. Leiden: Brill, 1968.
Beckwith, Clarence Augustine. “Redefinition in Present-Day Theology,” The
Biblical World, Vol. 48, No. 6 (Dec, 1916), pp. 341-349.
Boellstorff, Tom. “Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites,”
Cultural Anthropology, May 2004.
Clark, Henry. “The Dilemma of the Protestant Progressive,” An Interdisciplinary
Journal, Vol. 52, No. 1 (Spring 1969), pp. 1-14
Federspiel. Popular Indonesian Literature of the Qur‟an translated by Tajul Arifin
into Kajian al-Quran di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. New York: Continuum, 1975.
Gracia,JorgeJ.E.ATheoryofTextuality:The Logic and Epistemology. Albany:State
Universityof NewYorkPress,1995.
Gusmian. Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi.
Jakarta: Penerbit TERAJU, 2003.
Hidayat, Muslim. “Waria di Hadapan Tuhan: Eksplorasi Kehidupan Religius
Waria dalam Memahami Diri,” a thesis submitted to Graduate Program of
Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012.
Hirsch, E.D. Validity in Interpretation. New Haven: Yale University Press, 1967.
Jansen, J.J.G, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, transl. Hairussalim,
Syarif Hidayatullah, Diskursus Tafsir al-Qur‟an Modern. Yogyakarta: Pt.
Tiara Wacana Yogya, 1997.
Koeswinarno. “Kehidupan Beragam Waria Muslim di Yogyakarta,” dissertation
submitted to the Universitas Gadjah Mada for the degree of Doctor in
Social Sciences and Humanities., 2007.
Munawwar, Said Agil Husin and Abdul Mustaqim. Asbabul Wurud: Studi Kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Mustaqin, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
London: The University of Chicago Press, 1982.
Ricoeur, Paul. Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridge: Cambridge
University Press, 1981.
Ricoeur, Paul. Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning (Texas:
The Texas Christian University Press, 1976.
Schleirmacher, Friedrich. Hermeneutics and Criticism and Other Writings.
Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Simopoulus, Nicole M. “Who Was Hagar? Mistress, Divorce, Exile or Exploited
Worker: An Analysis of Contemporary Grassroots Reading of Genesis 16
by Causaian, Latina, and Black South African Woman,” in Gerald O. West,
Reading Other-Wise Socially Engaged Biblical Scholars Reading with Their Local
Communities (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007)
Stevenson, Michael R. “Searching for a Gay Identity in Indonesia,” Journal of
Men‟s Studies 4, 2 (Nov 30, 1995): 93.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

14
Fazlul Rahman Hermeneutics of The...

Suazo, Ruby S. “Ricoeur‟s Hermeneutic as Appropriation: A Way of


Understanding Oneself In Front of the Text,” available online on
http://sphynxrhuzzhz.webs.com/OPUS/RUBY%20S.%20SUAZO%20DIS
SERTATION.pdf
Thompson, John B. (ed.), Paul Ricoeur Hermeneutics and the Human Sciences
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981.
Vishanoff, David R. “FiveClassicalApproachestotheQur‟an,”paper presented in
InternationalSeminar and ConferenceontheQuran.UINSunanKalijaga,Feb.,
24th, 2013.
Wright, George Ernest. “Progressive Revelation,” The Christian Scholar, Vol. 39,
No. 1 (March 1956), pp. 61-65

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

15
AGAMA DAN HAM MEMANDANG LGBT

Masthuriyah Sa’dan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
masthuriyah.sadan@gmail.com

Abstract
The decision of “haram” which is coming from The Indonesian Islamic Scholar Council
(MUI ) against such a group which has homo sexual oriented and the death penalty for
sexual offenders "deviant" make the people of Indonesia shaken, especially those who feel
they have gender identity "third". "Religion" which should give way ease, as if to bury
alive a person who has a gay sexual orientation. In fact, legal instruments, regional,
national and international human rights recognize their rights as human beings. By
using contemporary humanities social approach, this paper presents the Lesbian, Gay,
Bisexual And Transgender group as a human's dignity to be treated like a human being
which must be respected.
Keyword: LGBT, Religion And Human Rights

Abstrak
Fatwa ”haram” MUI terhadap kelompok yang memiliki orientasi seksual homo (LGBT)
dan hukuman mati terhadap pelaku seksual ”menyimpang” membuat rakyat Indonesia
terguncang, khususnya mereka yang merasa memiliki identitas gender ”ketiga”.
”Agama” yang seharusnya memberikan jalan kemudahan, seolah-olah mengubur hidup-
hidup seseorang yang memiliki orientasi seksual homo. Padahal, instrumen hukum
regional, nasional dan internasional tentang HAM mengakui hak-hak mereka sebagai
manusia. Dengan menggunakan pendekatan sosial humanities kontemporer, tulisan ini
menyajikan kelompok LGBT sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat untuk
diperlakukan sebagaimana layaknya manusia yang harus di hormati.
Kata kunci: LGBT, Agama, HAM,

Pendahuluan
Isu LGBT menjadi fenomena yang mengguncang bumi nusantara ini.
Bagaimana tidak, poster anti LGBT terpampang di pinggir-pinggir jalan, meme
penuh kebencian menjamur di media sosial, diskusi dan kajian tentang LGBT
baik yang pro maupun yang kontra di lakukan di berbagai forum ilmiah,
pelecehan secara ferbal, kekerasan secara fisik, perlakukan kasar terhadap
kelompok LGBT hingga fatwa haram MUI tentang lesbian & gay. Isu yang
demikian mengalahkan isu politik dan korupsi yang merugikan negara dan
rakyat Indonesia. Padahal eksistensi LGBT, waria, Bissu, wadam dan penyebutan
lainnya telah ada selama perjalanan panjang sejarah umat manusia. Ironisnya,
informasi dan pemberitaan tentang LGBT, menyayat hati dan perasaan terutama
rasa keberagaman dan kemanusiaan. Sehingga, seolah-olah kelompok LGBT
tidak lagi dianggap sebagai bagian dari manusia. Semua itu, menjadikan
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

masyarakat Indonesia tidak lagi mampu bernafas untuk melihat persoalan


demikian menjadi lebih jernih dan terukur, serta melihat bahwa agama yakni
pemahaman manusia terhadap interpretasi dan ajaran agama memiliki andil
yang sangat besar dalam memahami dan melihat persoalan agama dan
kelompok manusia yang selama ini dianggap sebagai liyan.
Tulisan ini akan mengkaji eksistensi seorang anak manusia yang selama ini
dianggap sebagai “liyan”, mereka adalah lesbian, gay, biseksual dan transgender
(LGBT). Transgender di Indonesia, penyebutannya bervariasi, ada yang bilang
banci, waria, bencong, wadam atau bisu.31 Orientasi seksual mereka dianggap
sebagai suatu penyimpangan, dosa, haram dan terlaknat. Apalagi didukung
oleh fatwa Majelis Ulama‟ Indonesia (MUI) tertanggal 31 Desember 2014 yang
ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF. MA bahwa homoseksual
merupakan perbuatan yang hukumnya haram, merupakan suatu bentuk
kejahatan dan pelakunya dijatuhi hukuman mati. Ibarat “jatuh ketiban tangga”,
Fatwa MUI melengkapi beban seorang LGBT yang ter-diskriminasi dari
keluarga, masyarakat dan negara. Agama (Islam) yang membawa misi “rahmatan
lil „alamien” menjadi tidak rahmat (kasih) lagi hanya karena fatwa MUI yang bias
gender “ketiga”.
Pertanyaan utama yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah, bagaimana
pandangan LGBT dalam Islam. Kemudian bagaimana pandangan LGBT dalam
perspektif hukum internasional yakni Hak Asasi Manusia (HAM). Pendekatan
yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan social humanity contemporary.
Tujuan utama dari kajian ini adalah agar agama Islam yang menjadi simbol dan
label MUI tidak terkesan Islam yang keras, radikal dan bertentangan dengan
HAM, melainkan seperti yang dicita-citakan oleh pemikir Islam Kontemporer
Abdullah Saed, bagaimana menciptakan Islam yang progresif, yang menghargai
hak-hak manusia (kaum marjinal) sebagai manusia dan bukan merampas hak-
hak dasariahnya atas nama ”agama”.

Seksualitas, Orientasi Seksual dan Perilaku Seksual


Seksualitas adalah bagaimana seorang manusia mendapatkan pengalaman
erotis dan mengespresikan dirinya sebagai makhluk seksual, dalam dirinya ada
kesadaran diri pribadi sebagai laki-laki atau perempuan, kesadaran tersebut
didapat dari kapasitas yang mereka miliki atas pengalaman erotis dan tanggapan
atas pengalaman tersebut. Kajian mengenai seksualitas mencakup beberapa
aspek, yaitu pembicaraan tentang jenis kelamin biologis (laki-laki dan
perempuan), identitas gender, kemudian orientasi seksual dan perilaku seksual.
Identitas gender (jenis kelamin) adalah olahan dari konstruksi sosial yaitu
perempuan dengan femininitasnya, laki-laki dengan maskulinitasnya dan
transgender yang memiliki kedua-duanya. Pada seseorang yang transgender

31 Melani Budianti, Identitas-Trans, dalam Ekspresi Untuk Identitas, diterbitkan oleh Suara

Kita, PKBI dan renebook : 2014. hal.5.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

17
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

demikian, ia memiliki dua varian, yakni laki-laki keperempuanan (waria atau


banci) dan perempuan kelelaki-lakian.32
Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki oleh setiap manusia
berkaitan dengan ketertarikan emosi, rasa kasih sayang dan hubungan seksual.
Orientasi seksual merupakan kodrat, ia adalah pemberian Tuhan, tidak dapat
diubah, setiap manusia tak memiliki hak untuk memilih dilahirkan dengan
orientasi seksual tertentu.33 Sedangkan perilaku seksual adalah cara seseorang
mengespresikan hubungan seksualnya. Menurut Musdah Mulia,34 perilaku
seksual sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial, ia tidak bersifat kodrati, dan
bisa dipelajari. Cara untuk mengespresikan hubungan seksual adalah seperti
sodomi (oral seks, anal seks atau gaya 69) atau dalam bahasa Arab disebut
dengan liwath. Perilaku seksual inilah yang ‟dianggap‟ menyimpang karena seks
bebas seperti itu telah menumbuhsuburkan suatu penyakit seksual yang sampai
saat ini belum ditemukan obatnya yakni AIDS (Acquired Immonu Syndrome),
suatu sindrom kumpulan dari berbagai gejala dan infeksi sebagai akibat dari
kerusakan spesifik sistem kekebalan tubuh karena inveksi virus HIV (Human
Immonudeficiency Virus) pada tubuh manusia.
Mengenai orientasi seksual yang bersifat kodrat, ada beberapa varian
orientasi seksual diantaranya adalah hetero, homo, biseksual dan aseksual.
Heteroseksual adalah ketertarikan manusia terhadap lawan jenis, misal seorang
laki-laki suka terhadap seorang perempuan ataupun sebaliknya. Homoseksual
adalah ketertarikan manusia sesama jenis kelamin, misalnya lelaki tertarik
dengan lelaki (gay) atau perempuan tertarik dengan perempuan (lesbian). Secara
sederhana, gejala homoseksualitas adalah relasi seks dengan jenis kelamin yang
sama atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama.35 Biseksual adalah
seseorang yang memiliki ketertarikan seksual sesama jenis kelamin dan dengan
yang berbeda jenis kelamin, ia memiliki ketertarikan seksual ganda. Sedangkan
aseksual adalah seorang manusia yang tidak memiliki ketertarikan seksual sama
sekali baik kepada lawan jenis maupun ke sesama jenis.
Disamping kelompok yang disebutkan diatas, terdapat kelompok yang
disebut dengan waria. Waria merupakan kelompok transeksual atau
transgender, yaitu kaum homo yang mengubah bentuk tubuhnya dapat serupa
dengan lawan jenisnya.36 Contoh dari mereka dapat dilihat dari laki-laki yang
mengubah dadanya dengan operasi plastik atau suntik, membuang penis serta
testisnya dan membentuk lubang vagina. Sebagian besar transeksual adalah laki-
laki yang mengenali dirinya sebagai wanita, yang timbul ketika masa kanak-

32 Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Yogyakarta:

Naufan Pustaka, 2010, hal. 286.


33 Ibid,.hal.286.
34 Ibid,.hal.289.
35 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju,

1989. hal.247.
36 James Danadjaja, “Homoseksual atau Heteroseksual” dalam Srintil (ed.), Menggugat

Maskulinitas dan Feminitas, Jakarta: Kajian Perempuan Desantara, 2003, hal. 35.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

18
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

kanak dan melihat alat kelamin dan penampakan kejantanannya dengan


perasaan jijik.
Menurut Hesti dan Sugeng37 ada beberapa faktor penyebab terjadinya
transeksual antara lain: Pertama, faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon
seksual dan genetik seseorang. Kedua, faktor psikologi dan sosial budaya
termasuk pula pola asuh lingkungan yang membesarkannya. Ketiga, memiliki
pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal
dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis.
Doktrin agama dan persepsi umum mayoritas masyarakat menganggap
bahwa hetero adalah orientasi seksual dan perilaku seksual yang ‟paling benar‟
dan yang lain salah dan menyimpang. Menurut Musdah Mulia, doktrin dan
persepsi tersebut mengakar kuat, membeku dan membatu tidak terlepas dari
perjalanan panjang manusia dalam lintasan sejarah. Selama berabad-abad
lamanya, manusia dihegemoni oleh pandangan bahwa hetero yang normal dan
alamiah, sedangkan homo adalah menyimpang, pelakunya abnormal, memiliki
kelainan jiwa (mental disorder) dan mengidap penyakit jiwa (mental illnes).
Disamping itu, konstruksi sosial terhadap homo dipengaruhi juga oleh
faktor relasi gender yang timpang. Masyarakat yang menjunjung tinggi budaya
patriarki, yang mana laki-laki adalah power, subjek, maskulin dan pengontrol
kehidupan. Budaya patriarki ini mengkonstruksi laki-laki harus dominan, aktif
dan agresif, sebaliknya patriaki mengkonstruksi perempuan sebagai objek, pasif
dan mengalah. Ketika laki-laki terkonstruksi demikian, maka pada gilirannya,
laki-laki akan melakukan dominasi, pemaksaan hubungan seksual dan
kekerasan dalam hubungan seksual.
Orientasi seksual hetero inilah yang kemudian membentuk paradigma
pemikiran heteronormativitas dan menghegemoni konstruksi seksualitas, bahwa
norma-norma orientasi seksual hetero sebagai satu-satunya kebenaran, dan
orientasi seksual lainnya dianggap sebagai bentuk penyimpangan dan tidak
wajar. Karena pandangan inilah, seiring dengan berjalannya waktu, berabad-
abad lamanya, masyarakat mengabadikan sikap dan nilai homofobia (sikap anti
homo) dalam laku hidup dan kehidupan sejarah manusia.38 Sikap homofobia
tidak dapat dipertahankan, mengingat kondisi masyarakat yang heterogen baik
kultur, suku, agama, jenis kelamin dan seksualitas. Era milenium sekarang ini
telah memasuki dunia pasar bebas, artinya semua manusia akan bertemu dan
berinteraksi satu sama lain dalam berbagai persoalan lini kehidupan dan bebas
mengespresikan dirinya sendiri. Untuk itu, meneropong seksualitas bagi
eksistensi LGBT dalam pandangan agama dan HAM sangatlah penting, hal itu
untuk menakar sikap homofobia dengan barometer ”agama” (Islam) yang
memanusiakan manusia dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

37 Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan Sosial, Malang: UMM

Press,2005. hal. v.
38 Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia..... hal.287-288.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

19
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

LGBT dalam Kajian Islam


Pada pembahasan mengenai seksualitas LGBT dalam sudut pandang kajian
keagamaan Islam bisa dilihat dari ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadist yang
mengarah pada perilaku homoseksual. Pandangan Al-Qur‟an mengenai
homoseksual bisa dilihat pada cerita Nabi Luth tentang kaum Sodom dan kaum
Amoro di negeri Syam dengan bunyi ayatnya.

          

          

Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya: "Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan ”fahisyah” itu sedang kamu
memperlihatkan(nya)?". "Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk
(memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu
adalahkaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". (QS. An-
Naml: 54-55).

Kemudian ayat,

             

            

Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)


tatkala dia Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan ”faahisyah” itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun
(di dunia ini) sebelummu?" (81) Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki
untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah
kamu Ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. Al-A‟raf: 80-81).

Melalui ayat tersebut, diceritakan bahwa kaum Nabi Luth melakukan


praktek homoseksual dengan menyetubuhi lelaki sejenis melalui dubur (lubang
belakang), di era sekarang perilaku seksual yang demikian populer dengan
sebutan sodomi. Bahkan, menurut beberapa versi, kata ”sodom” diambil dari
nama kaum Nabi Luth, yakni kaum sodom. Di ayat lain, Nabi Luth bertanya
kepada kaumnya. Pertanyaan Nabi Luth tersebut direkam oleh al-Qur‟an.

              

  

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

20
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, Dan kamu


tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan
kamu adalah orang-orang yang melampaui batas". (QS. Al-Shu‟ara:165-
166).

Secara tekstual, al-Qur‟an tidak menyebut kata homoseksual (liwath) atau


orientasi seksual sekalipun. Akan tetapi al-Qur‟an merespon kata tersebut
dengan kata al-fakhsha‟ (perbuatan yang keji) dalam QS. Al-A‟raf:80, kata al-
sayyi‟at dalam QS. Hud:78, kata al-khaba‟its dalam QS. Al-anbiya‟:74 dan kata al-
munkar dalam QS. Al-Ankabut:21. Di dalam al-Qur‟an sendiri tidak ada kata
yang khusus mengenai homo, lesbi, gay, bisek maupun asek. Al-Qur‟an
menyebut perbuatan tersebut dengan kata-kata (perbuatan) di atas. Akan tetapi,
perlu diketahui contoh perbuatan di atas, bisa dilakukan oleh siapapun tidak
memandang itu homo maupun hetero.
Mengenai kata al-fakhsha‟, di dalam al-Qur‟an terulang sebanyak tujuh kali.
Karena kejinya perbuatan tersebut, sehingga Allah menurunkan adzab kepada
kaum Nabi Luth, yang mana menurut sejarah, adzab tersebut dikatakan sebagai
kiamat pertama dari dahsyatnya adzab Allah. penggambaran mengenai siksa
kaum Nabi Luth yang diabadikan dalam al-Qur‟an adalah:

            

    

Kemudian kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali


isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan
kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS. al-A‟raf: 83-
84).

           

          

Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu
yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan
batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. Yang diberi tanda
oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang
zalim. (QS. al-Hud:82-83).

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

21
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

Disamping al-Qur‟an, hadist Nabi juga dijadikan rujukan mengenai


homoseksualitas, hadist-hadist tersebut antara lain;39

Dari Abu Sa‟id al-Khudri dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: ”Seorang
laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya dan janganlah seorang
perempuan melihat aurat perempuan lainnya dan janganlah seorang pria
bersentuhan dengan pria lainnya dalam satu selimut, demikianlah juga
janganlah bersentuhan perempuan dengan perempuan lainnya dalam satu
selimut”.

Dari sahabat Ibnu Abbas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda:


”Barang siapa yang menjumpai orang yang mengerjakan seperti kaum Nabi
Luth maka bunuhlah si pelaku bersama pasangannya”. (hadist riwayat
Imam Rawi hadist kecuali an-nasa‟ie).

Dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi SAW. Beliau bersabda: ”Allah melaknat
orang yang melakukan kebiasaan kaum Luth sampai tiga kali”. (Hadist
riwayat an-Nasa‟ie)

Ayat al-Qur‟an dan hadist Nabi di atas, digunakan dasar kesepakatan (ijma‟
ulama‟) untuk menyepakati bahwa liwath dan aktivitas seksual sesama jenis
adalah haram. Pengharaman tersebut dengan berdasar pada kaidah ushul fiqh
”daarul mafaasid muqaddamu ‟ala jalbi al-mashalih” (menghindarkan keburukan
didahulukan atas mendatangkan maslahat). Ketiga kerangka tersebut digunakan
oleh MUI untuk mengeluarkan fatwa pada tanggal 30 Desember 2014.40
Beberapa literatur sejarah Islam klasik menceritakan bahwa Abu Nuwas
seorang penyair yang menggemari anak lelaki dan anggur, naskah syair ini
menjadi bahan cemoohan orang-orang kepada Abu Nuwas tetapi tidak sampai
kepada taraf fitnah. Juga Al-Ghazali seorang ulama‟ mistik pernah menyusun
syair-syair untuk kekasih-kekasih (laki-laki)nya yang berusia muda. Akan tetapi
Al-Ghazali menolak untuk dikatakan homo.41 Fatwa MUI tersebut mewakili
pandangan ulama‟ fikih klasik mengenai kaum LGBT. Bahkan bagi sekelompok
muslim tertentu (mainstream), menganggap bahwa hukum fiqih terhadap kaum
homo dianggap final, mutlak dan absolut karena sudah jelas di dalam al-Qur‟an,
hadist, dan kesepakatan Ulama‟ (ijma‟).

Hak-Hak Seksual Dalam Instrumen Hukum Internasional


Hak-hak seksual berhubungan dengan perangkat permasalahan yang
berkaitan dengan seksualitas yang berasal dari hak atas kemerdekaan,
kesetaraan, privasi, otonomi, integritas dan harga diri dari semua manusia.

39 Wawan Gunawan A. Wahid, ”Perilaku Homoseks Dalam Pandangan Hukum Islam”, dalam
Jurnal Musawa UIN SUKA Vol.2. No.1 Maret 2003. hal. 23-25.
40 Lihat SK fatwa hal.8
41 Colin Spencer, Sejarah Homoseksualitas: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Ninik

Rochani Sjams, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. hal. 111.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

22
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

Disamping itu, hak-hak seksual merupakan norma spesifik yang muncul ketika
HAM yang ada diterapkan dalam hal seksualitas. Hak-hak seksual melindungi
identitas tertentu, melindungi hak manusia untuk membolehkan, memenuhi dan
mengespresikan seksualitasnya dengan mengacu pada hak-hak yang lainnya dan
dalam kerangka kerja non diskriminasi.42
Pemenuhan hak-hak seksual tersebut yang merupakan tanggung jawab
negara, akan tetapi negara sebagai penentu kebijakan publik abai dan lalai dalam
pemenuhan hak-hak seksual, hal itu bisa dilihat pada hasil riset tahun 2013 yang
dilakukan oleh LSM Arus Pelangi yang menunjukkan bahwa 89,3% LGBT di
Indonesia pernah mengalami kekerasan karena identitas seksualnya, 79,1%
responden menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan psikis, 46,3%
responden menyatakan pernah mengalami kekerasan fisik, 26,3% kekerasan
ekonomi, 45,1% kekerasan seksual, 63,3% kekerasan budaya. Bahkan kekerasan
yang biasa dialami sudah diterima pada saat usia sekolah dalam bentuk bullying
17,3% LGBT pernah mencoba untuk bunuh diri diri, dan 16,4%nya bahkan
pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari sekali.43
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal. Oleh karena itu, hak-hak itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas
oleh siapapun. Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Lebih lanjut Pasal 71 UU No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyebutkan pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik
Indonesia.
Pengakuan HAM terhadap kaum LGBT dimulai ketika APA (American
Psychiatric Association) melakukan penelitian terhadap orientasi seksual homo.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa homo dan orientasi seksual
lainnya bukan abnormal, bukan penyimpangan psikologis dan juga bukan
merupakan penyakit. Pasca penelitian tersebut, yakni pada tahun 1974 APA
mencabut ”homo” sebagai salah satu daftar dari penyakit jiwa. Bahkan,
ketetapan ini diadopsi oleh Badan Internasional WHO dan diikuti oleh
Departemen Kesehatan RI. pada tahun 1983.44
Sejak saat itu, homo diakui sebagai suatu bentuk orientasi seksual, dan hak-
hak asasi kaum homo dinyatakan dalam berbagai dokumen HAM nasional,
regional dan internasional. Rancangan aksi nasional HAM Indonesia 2004-2009

42 Hak-Hak Seksual: Deklarasi IPPF, diterbitkan oleh International Planned Parenthood

Federation London, 2008. hal. 23.


43 Identitas Seksual dan HAM, http://aruspelangi.org diakses tanggal 19/04/2015.
44 Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia..... hal.289.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

23
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

dengan tegas menyatakan bahwa LGBT dan IQ (Interseks dan Queer) sebagai
kelompok yang harus dilindungi oleh negara. Bahkan, dokumen internasional
HAM, The Yogyakarta Principles yang disepakati oleh 25 negara pada tahun 2007
di Yogyakarta menegaskan adanya perlindungan HAM terhadap kelompok
LGBTIQ dengan bunyi ”Semua manusia terlahir merdeka dan sejajar dalam martabat
dan hak-haknya. Semua manusia memiliki sifat universal, saling bergantung, tak dapat
dibagi dan saling berhubungan. Orientasi seksual dan identitas gender bersifat menyatu
dengan martabat manusia dan kemanusiaan sehingga tidak boleh menjadi dasar bagi
adanya perlakuan diskriminasi dan kekerasan”.45 Dengan demikian, hak-hak atas
kaum LGBT sudah memperoleh pengakuan dari regional, nasional bahkan
internasional sekalipun.

Penutup
Secara tertulis dan formalitas, hukum regional, nasional dan internasional
telah mengakui hak-hak seksual bagi kelompok-kelompok seksual tertentu.
Akan tetapi, fakta dan realita berbicara sebaliknya. Banyak sekelompok tertentu
yang memandang rendah kelompok LGBT, bahkan dalam aplikasi pergaulan
hidup sehari-hari kelompok LGBT rentan terhadap intoleransi, diskriminasi,
stereotip dan marginalisasi atas nama ”agama”. Alih-alih untuk kepentingan
membumikan ”hukum Tuhan”, hukum Tuhan justru menjadi tembok tebal dan
radius jarak jauh antar manusia yang memiliki orientasi seksual berbeda. Dengan
demikian, agama (pemahaman keagamaan Islam) sebagai sumber rujukan
hukum bagi umat Islam yang ”seharusnya” menjadi jalan keselamatan bagi
umatnya malah menjadi ”seolah-olah” jurang yang memisahkan antara Tuhan
dengan umat-Nya sendiri.
Padahal perbedaan itu adalah suatu keniscayaan, dan tujuan dari perbedaan
itu adalah untuk dan agar manusia saling mengenal, mengenal dalam artian
universal dan holistik bukan parsial. Artinya, ketika seorang manusia saling
mengenal, mengenal hak-hak orang lain, mengenal orientasi seksual orang lain,
mengenal jenis kelamin orang lain dan mengenal orang lain sebagai hakikat
manusia yang harus diperlakukan sama dengan dirinya, maka akan terjalinlah
sebuah ikatan persahabatan dan persaudaraan. Jika demikian terwujud, maka
sabda esensi ”perkenalan” yang disemboyankan oleh Allah dalam QS. al-
Hujurat:13 ”Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal”, dan esensi ”persaudaraan” yang selalu di
sebut-sebut oleh Al-Qur‟an ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara”
(QS. al-Hujurat:10), pasti dan akan terwujud.
Lagipula, tidak ada guna sesama manusia menilai orang lain yang sama-
sama manusia sebagai kafir, sesat, haram dan masuk neraka, toh di hadapan
Tuhan (Allah) semua manusia itu sama, ”Hanya” kadar takwalah yang

45 Ibid,.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

24
Masthuriyah Sa‟dan Agama dan HAM...

membedakan antar manusia yang satu dengan yang lainnya (QS. al-Hujurat:13)
Dan perlu di ingat, kadar dan barometer ketakwaan itu hanya Allah Yang Tahu.
Oleh sebab itu, Allah menyuruh manusia untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan-fastabiqul khoirot (QS. al-Baqarah: 148) dalam dimensi teologi dan sosial.
Sebagai seorang muslimah yang memiliki orientasi seksual hetero, tidak ada
niatan untuk menjelek-jelekkan institusi yang berlabel ”Islam” (MUI). Akan
tetapi, penulis ingin menjadikan Islam sebagai agama yang shahih li kulli zaman
wa makan, bukan malah menjadikan agama sebagai sebuah dogmatisme.

Daftar Pustaka
Colin Spencer, Sejarah Homoseksualitas: Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj.
Ninik Rochani Sjams, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
Fatwa Haram MUI Terhadap LGBT, di FB Jurnal Perempuan
https://www.facebook.com tanggal 18 Maret 2015 pukul 14.26 WIB.
Hak-Hak Seksual: Deklarasi IPPF, diterbitkan oleh International Planned
Parenthood Federation London, 2008.
Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono, Waria dan Tekanan Sosial, Malang:
UMM Press,2005).
Identitas Seksual dan HAM, http://aruspelangi.org diakses tanggal 19/04/2015.
James Danadjaja, “Homoseksual atau Heteroseksual” dalam Srintil (ed.),
Menggugat Maskulinitas dan Feminitas (Jakarta: Kajian Perempuan
Desantara, 2003).
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar
Maju, 1989.
Melani Budianti, Identitas-Trans, dalam Ekspresi Untuk Identitas, diterbitkan oleh
Suara Kita, PKBI dan renebook:2014.
Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi,
Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010.
Wawan Gunawan A. Wahid, Perilaku Homoseks Dalam Pandangan Hukum Islam,
dalam Jurnal Musawa UIN SUKA Vol.2. No.1 Maret 2003.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

25
PENERIMAAN KELUARGA TERHADAP WARIA
(Studi Kasus Atas Waria/Transgender Di Pesantren Waria Al-Fatah
Yogyakarta)

Arif Nuh Safri


Pusat Pengembangan Bahasa UIN Sunan Kalijaga
arifnuhsafri@gmail.com

Abstract
Family is the most urgent aspect of the life of every human being. Since, the family is first
community that be obtained by each individual and the first community influencing
patterns and lifestyles. Likewise for transgender (waria), the family actually became the
basis foundation of their life expectancy. Because a transgender (waria), essentially
already experiencing inner conflict since he felt the strangeness or different situations
with others. Only, when the inner conflict unfinished openly expressed heard, their
courage to open up as a transgender (waria), got the hard rejection. Through this article,
the author will give an idea, how the transgender desperately need the presence of family
in their lives. In addition, this article also give an understanding of the existence of
transgender pesantren (pesantren), and transgender understanding of itself. Thus,
expected to open up space for dialogue wider for them.
Keywords: urgency, family, transgender, transgender pesantren

Abstrak
Keluarga adalah salah satu aspek yang paling penting dari kehidupan setiap manusia.
Hal ini disebabkan keluarga adalah komunitas pertama yang diperoleh oleh masing-
masing individu, serta komunitas pertama yang mempengaruhi pola dan gaya hidup. Hal
yang sama pun berlaku bagi transgender (waria). Bagi mereka, keluarga benar-benar
menjadi dasar atau fondasi harapan hidup mereka. Karena transgender (waria), pada
dasarnya sudah mengalami konflik batin sejak ia merasakan keanehan atau situasi yang
berbeda dengan orang lain. Hanya saja, ketika mereka memberanikan diri untuk
menyatakan konflik batin dan identitas mereka secara terbuka, ternyata yang mereka
dapatkan biasanya adalah cemoohan dan penolakan keras. Melalui artikel ini, penulis
akan memberikan gambaran, bagaimana transgender (waria) sebenarnya sangat
membutuhkan kehadiran keluarga dalam kehidupan mereka. Selain itu, artikel ini juga
memberikan pemahaman tentang keberadaan pesantren waria dan urgensinya, dan juga
memberikan pemahaman tentang transgender itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan
mampu membuka ruang dialog yang lebih luas bagi mereka (transgender).
Kata kunci: urgensi, keluarga, transgender, pesantren waria.

Pendahuluan
Waria dan keluarga tentunya merupakan entitas yang berbeda. Karena
waria tidak selalu ada dalam keluarga, dan keluarga pun tidak selalu identik
akan menghadirkan anggota keluarga yang waria. Namun demikian, tidak bisa
dipungkiri dan ditolak, bahwa sangat banyak waria hadir dan tumbuh dari
berbagai macam karakter keluarga. Seorang waria bisa lahir dari keluarga yang
harmonis, dan keluarga yang tidak harmonis (broken home). Ada juga waria yang
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

hadir dari keluarga yang keras, tegas serta disiplin karena mayoritas laki-laki.46
Pun tidak bisa ditolak jika waria datang dari keluarga yang penuh dengan
kelemah lembutan karena didominasi oleh perempuan. Bahkan tidak perlu heran
dan kaget, atau tidak perlu diperdebatkan, jika waria pun muncul dari keluarga
yang religius dan agamis. Dan masih banyak berbagai karakter keluarga lainnya
yang berpeluang untuk mendapatkan anggota keluarga waria.
Dengan demikian, karena kehadiran seorang waria bisa muncul dari
berbagai macam karakter keluarga, maka sebenarnya tesis atau asumsi yang
menyebutkan bahwa seorang waria muncul karena salah asuh dalam keluarga,
korban kekerasan seksual, karena penyakit psikologis, penyakit sosial, serta
berbagai asumsi lainnya, perlu untuk dikaji ulang lebih dalam. Dari hasil
wawancara penulis dengan beberapa waria menyebutkan, keinginan mereka
untuk mengekspresikan diri seperti perempuan, muncul dengan sendirinya,
tanpa harus melewati beberapa asumsi atau tesis di atas.
Berkaca pada penjelasan di atas, bahwa kehadiran yang tidak bisa ditolak,
penyebab yang sangat rumit untuk dipecahkan, ternyata penerimaan keluarga
terhadap waria masih tetap mendapatkan ganjalan dan konflik yang panjang.
Mayoritas keluarga akan melakukan penolakan pada anggota keluarga yang
memberanikan diri mengekspresikan diri sebagai waria. Dianggap sebagai aib,
pelaku dosa, pembuat malu bagi tetangga, dan berbagai macam stigma negatif
lainnya.
Waria sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat sosial, dan makhluk
Tuhan, hakikatnya harus dipandang sebagaimana manusia lainnya yang juga
memiliki hak-hak yang tidak bisa diganggu gugat. Sebagai anggota keluarga,
perlu disadari bahwa seorang waria tidak punya pilihan untuk terlahir dalam
keluarga tersebut, sekaligus tidak punya kuasa untuk memilih hidup sebagai
waria, atau sebagai laki-laki, atau sebagai seorang perempuan. Karena bagi
waria, proses untuk mengidentifikasi diri sebagai waria butuh waktu yang
sangat panjang dan lama. Sebagai seorang anggota masyarakat, waria pun tidak
terlalu membuat kerisauan dalam kehidupan sosial, sebagaimana dilakukan oleh
mereka yang melakukan tindak pidana pencurian, pembunuhan, pembegalan,
korupsi dan lain-lain. Sebagai seorang makhluk Tuhan, waria pun tidak bisa
menutup diri bahwa insting pertama dan paling mendasar yang dimiliki oleh
manusia adalah insting ketuhanan. Oleh sebab itu, agak aneh jika masih ada
orang yang ingin merebut hak orang lain untuk mengekspresikan
keagamaannya, sebagaimana halnya yang dialami oleh para waria.
Untuk memenuhi hak-hak di atas, perlu kiranya keluarga menjadi pintu
gerbang utama untuk membuka peluang penerimaan waria di tengah-tengah
kehidupan sosial. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini, penulis akan membuka
wawasan baru atas keberadaan waria. Dalam hal ini, penulis mengambil contoh

46 Ruli terlahir dan besar dari keluarga yang sangat disiplin, karena orangtuanya adalah
seorang perwira. Bahkan seluruh saudaranya adalah laki-laki.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

27
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

pengalaman yang dialami oleh para waria di Pesantren Waria al-Fatah


Yogyakarta.

Pembahasan
Sejarah Singkat Pesantren Waria al-Fatah Yogyakarta
Pada awalnya Pondok Pesantren Waria “Senin-Kamis” al-Fatah terletak di
daerah Notoyudan, Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedong Tengen,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya beralamat di Kampung Notoyudan GT
II/1294 RW 24 RT 85. Pesantren ini didirikan oleh seorang waria yang dikenal
dengan panggilan ibu Maryani. Pada awalnya pesantren ini dibimbing oleh
ustaz Hamroeli, kemudian dilanjutkan oleh ustaz Murtedja, dan ustaz Mu‟iz.
Setelah Maryani sebagai pendirinya meninggal pada tanggal 21 Maret 2014,
maka pesantren ini dipindahkan ke Kota Gede di bawah pimpinan Shinta Ratri.
Tepatnya di Celenan RT 09, RW 02 Jagalan, Pos Kota Gede, Banguntapan, Bantul.
Di bawah pimpinan Shinta Ratri, pesantren yang awalnya bernama Pesantren
Waria Senin-Kamis al-Fatah, menjadi Pesantren Waria al-Fatah. Hal ini bertujuan
untuk menyesuaikan aktifitas pesantren yang tidak lagi berkutat pada hari Senin
dan Kamis saja. Saat ini ustadz yang aktif membimbing adalah, ustadz Zakaria.
Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, Pondok Pesantren Waria
ini juga memiliki visi dan misi, yaitu:
Visi: Mewujudkan kehidupan waria yang bertaqwa kepada Allah swt. dan
bertanggung jawab terhadap diri dan keluarga serta komunitas/
masyarakat/ Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Misi: Mendidik para santri waria menjadi pribadi yang taqwa dengan
berbekal ilmu agama Islam yang kuat dan mampu beradaptasi dan
berinteraksi dengan segala lapisan komponen masyarakat Indonesia
yang Berbhineka Tunggal Ika.
Visi dan misi pesantren ini tentunya merupakan acuan pesantren dalam
mewujudkan programnya, oleh sebab itu, hal ini sejalan dengan apa yang dicita-
citakan oleh Maryani sebagai seorang Ketua pertama pesantren sekaligus
pendirinya.
Berbicara masalah latar belakang dan sejarah, pesantren ini memiliki cerita
yang cukup panjang. Mulanya, Maryani merupakan salah satu jama‟ah
pengajian al-Fatah yang pada saat itu masih berlokasi di kawasan Pathuk, di
bawah bimbingan KH. Hamroeli Harun. Umumnya suatu pengajian dihadiri
oleh jama‟ah baik itu kaum laki-laki maupun perempuan, namun berkat
kebesaran hari KH. Hamroeli Harun, Maryani yang notabenenya berasal dari
kalangan waria diterima dengan baik sebagai salah satu dari tiga ribu jama‟ah
pengajian al-Fatah tersebut.
Meskipun hanya Maryani saja yang berasal dari kalangan waria, namun
tidak menjadi halangan baginya untuk terus rutin mengikuti jama‟ah pengajian
tersebut, sebab dengan motivasi yang tinggi dan didasari niat yang tulus untuk

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

28
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

beribadah dalam dirinyalah yang telah mampu mengalahkan tekanan, hambatan


dan pandangan negatif dari sebagian besar masyarakat terhadap waria.
Berangkat dari kegelisahan Maryani, yaitu karena seringnya waria
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, sehingga cenderung dijauhkan dan
bahkan dikucilkan oleh masyarakat, maka muncullah keinginan Maryani untuk
mengajak teman-temannya sesama waria agar mau beribadah. Sebagai wujud
pembuktian kepada masyarakat bahwa waria tidak semata-mata identik dengan
dunia prostitusi dan perilaku menyimpang. Mulanya diwujudkan Maryani
dengan mengadakan pengajian di rumahnya yang kala itu masih berada di
daerah Surakarsan. Pengajian yang diadakan Maryani saat itu masih bersifat
umum, bukan khusus waria semata dan dilaksanakan setiap malam Rabu Pon.
Rata-rata jama‟ah yang hadir pada pengajian itu sekitar limapuluhan orang.
Namun di antara sekian banyak jama‟ah yang hadir hanya satu-dua orang waria
saja yang bersedia ikut dalam pengajian tersebut.
Intinya, secara singkat bahwa berdirinya pesantren ini diawali dengan
kesadaran akan kehadiran Tuhan dari diri manusia yang pada akhirnya setiap
manusia juga harus sadar akan eksistensinya sebagai makhluk bertuhan yang
tidak bisa dipungkiri.

Arti Keluarga bagi Waria


Dalam tulisan ini, yang dimaksudkan dengan keluarga adalah keluarga inti,
yaitu orangtua (bapak/ibu), saudara kandung (kakak dan adik). Pembatasan ini,
bertujuan untuk mempermudah penulis dalam mendapatkan data dan
melakukan analisis. Bagi waria sendiri, keluarga sebenarnya tetap menjadi hal
penting dalam membentuk karakter dan kepercayaan diri mereka. Dukungan
keluarga dalam segala aktifitas tetap saja menjadi faktor yang sangat dominan
dalam menyelami kehidupan. Bagi Shinta Ratri misalnya, menyebutkan bahwa
keluarga adalah komunitas yang paling bertanggung jawab dalam memberikan
rasa aman dan nyaman. Ia menambahkan bahwa pendidikan non formal
pertama kali didapatkan adalah dari keluarga.47
Peran penting keluarga juga diungkapkan oleh Yuni Sara ketika menjawab
surat elektronik penulis lewat gmail. Ia mengungkapkan bahwa keluarga sangat
dibutuhkan oleh seorang waria. Tidak sekedar terkait dengan tumbuh kembang
si anak yang notabene seorang waria, namun juga menjadi motivasi bagi dia
untuk lebih bertanggung jawab, karena statusnya diakui dan diterima.48
Hanya saja, dukungan semacam ini sangat jauh dari harapan seseorang
ketika berani membuka diri dan membuktikan jati dirinya sebagai seorang
waria. Dapat dipastikan, bahwa respon pertama yang akan dihadapi oleh

47 Hasil wawancara dengan Shinta Ratri pada hari Senin, 15 Februari 2016 di Pesantren
Waria.
Jawaban ini penulis dapatkan lewat komunikasi surat elektronik (gmail) tertanggal 08
48

Februari 2016.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

29
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

mereka yang berani membuka diri sebagai waria adalah penolakan keras.
Beberapa contoh penolakan dan prilaku penolakan akan penulis jelaskan di sub
bab berikutnya.
Seringkali penolakan tersebut tanpa mendengarkan penjelasan dari waria
tersebut. Sehingga, hal ini pulalah yang menyebabkan mereka semakin terpuruk.
Komunitas terdekat yang paling tahu dan paham keberadaan mereka pun tidak
lagi dapat diandalkan untuk diajak dialog. Apalagi untuk merangkul mereka,
dan menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga.
Kalau pun seandainya waria dianggap sebagai “penyakit” psikologis atau
sosial. Namun, jika benteng kuat itu seperti keluarga memberi dukungan atau
perhatian dan penerimaan, maka motivasi hidup waria masih jauh akan lebih
baik. Akan tetapi, realitanya mayoritas keluarga sudah tidak mampu menerima
keberadaan mereka, apalagi untuk merangkul. Dengan kondisi seperti ini, maka
keberadaan waria pun akan pasti semakin jatuh dan terpinggirkan.
Oleh sebab itu pulalah semakin banyak hak-hak para waria terbaikan.
Dalam keluarga, hak keberadaan sudah terusir, di masyarakat sosial terpuruk
karena seringkali menjadi bahan olokan,49 dalam status kependudukan, waria
pun tidak diakui, hak-hak publik, seperti pekerjaan, layanan umum pun tidak
membuka akses dan ruang yang nyaman bagi mereka. Ditambah lagi, klaim
agama yang menyatakan mereka sering kali dianggap sebagai pendosa karena
menyalahi atau melanggar kodratnya.
Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan kondisi waria dan
penolakannya dari keluarga, serta hal-hal yang melatar belakangi penolakan
tersebut.

Penolakan Keluarga atas Waria


Penolakan keluarga terhadap anggota keluarga yang waria hampir bisa
dipastikan akan selalu terjadi. Hanya saja, setiap individu waria merasakan
penolakan yang berbeda-beda. Mulai dari penolakan secara halus hingga
penolakan yang berujung pada aksi kekerasan fisik. Penolakan atas kehidupan
waria, setidaknya dimulai di awal-awal kemunculan tanda-tanda bahwa mereka
berprilaku aneh seperti perempuan. Pada masa-masa inilah seringkali para waria
mendapatkan aksi kekerasan dalam rumah tangga. Baik itu datang dari
orangtua, atau anggota keluarga lainnya.
Nunik misalnya, adalah contoh waria yang mendapatkan penolakan keras
dari salah satu anggota keluarganya, yaitu kakak kandungnya. Penolakan
tersebut sampai melakukan kekerasan dengan cara pelemparan pipa air ke
kepala. Berdasarkan pemaparan Nunik, lemparan tersebut berakibat luka parah
dan berdarah. Sebenarnya, penulis bisa membayangkan luka tersebut, karena

49 Biasanya istilah yang digunakan adalah kata banci, dan bencong. Bagi waria ternyata

ungkapan banci atau bencong termasuk hal yang tidak asyik didengar. Ungkapan ini bagi waria
adalah ungkapan sinis, dan cemoohan.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

30
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

hingga sekarang bekas lukanya masih terlihat di dekat pelipis mata sebelah kiri.
Tak cukup sampai disitu, kakaknya pun mengeluarkan semua pakaiannya dari
lemari dan disuruh pergi dari rumah.
Saya sebenarnya gak apa-apa kalau sama orangtua, apalagi ibuku. Ibuku malah yang
nyari aku dan mengajak pulang ke rumah pas saya diusir sama kakak waktu itu.
Yang paling keras itu kakak, sampe aku dilempar pake pipa air. Ini sampe berdarah-
darah. Dah gitu ngeluarin semua pakaian dari lemari. Terus nyuruh pergi dari
rumah.50
Penolakan ini sebenarnya disebabkan karena waria masih dianggap sebagai
aib dalam keluarga. Karena seorang laki-laki harus macho, gagah, dan tidak boleh
menangis. Di samping itu dianggap sebagai orang yang melanggar kodrat
Tuhan. Selain masalah di atas, faktor sosial pun sangat mempengaruhi
penolakan keluarga pada waria. Dalam hal ini, cemoohan tetangga seringkali
menjadi pemicu prilaku kekerasan pada waria dalam keluarga. Sehingga tidak
jarang, para waria merasa terusir dari keluarga, dan kemudian melarikan diri
dengan kondisi yang jauh dari kematangan berfikir, dan tanpa Kartu Identitas,
karena seringkali waria kabur dari rumah dalam usia yang masih sangat muda.51
Berdasarkan wawancara di atas, setidaknya melalui artikel ini, penulis
melihat ada dua dasar penolakan keluarga terhadap seorang waria. Yaitu,
penolakan atas nama agama, dan penolakan atas nama sosial.

Penolakan atas Nama Agama


Agama memang akan selalu hadir dalam segala aktifitas manusia, baik
dalam hubungan sosial, serta hubungan manusia dengan alam. Selain itu, agama
pun seringkali dijadikan pijakan dalam melakukan penolakan atau bahkan
kekerasan terhadap orang lain. Hal semacam inilah yang dirasakan oleh para
waria. Biasanya, penolakan atas nama agama selalu dikaitkan dengan
ketidaksiapan dalam menerima kodrat sebagai laki-laki.
Di sisi lain, agama akan selalu menarik karena sensitif dan seksi. Sensitif
karena agama merupakan keyakinan atau kepercayaan yang tumbuh dan
mengakar dalam diri setiap individu, sehingga posisinya sangat sakral dan suci.
Sementara itu, agama sesalu seksi disebabkan dihinggapi atau dikelilingi oleh
unsur eksternal dari agama dan penganutnya sendiri. Baik dari unsur budaya,
adat istiadat, tradisi, dan, ideologi, atau bahkan politik pragmatis. Serta berbagai
unsur eksternal lainnya.
Masalah akan lebih rumit ketika berbagai unsur eksternal tersebut saling
tarik-menarik atas nama agama sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-
masing sekaligus mengesampingkan atau bahkan menafikan unsur atau pihak
lain. Keseksian dan sensitifitas agama ini pulalah yang seringkali dijadikan alat

50 Wawancara dengan salah seorang santri Pesantren Waria bernama Nunik pada hari

Minggu, 14 Februrai 2016.


51 Wawancara dengan Yuni Sara (YS) pada tanggal 07 Februari 2016 di Pesantren Waria al-

Fatah Yogyakarta.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

31
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

untuk melegitimasi pemarginalan para waria. Hal ini seperti diungkapkan oleh
Yuni Sara dalam sesi wawancara:
Penolakan atas nama agama hingga saat ini masih berkiblat pada, bahwa di dunia
ini hanya laki-laki dan perempuan saja, dan tanpa melihat gender seseorang.52
Susi bahkan mengungkapkan hal jauh yang lebih membuat para waria
merasa tidak pantas menjadi seorang manusia. Sambil mencontohkan perkataan
orang lain yang berulang kali ia dengarkan, berucap: “Kamu itu kan waria, jadi
untuk apa shalat, ibadah? Kan pasti gak diterima sama Allah?”53 Ungkapan
semacam ini hampir mirip dengan apa yang diterima oleh Eva. Hanya saja,
ungkapan yang mirip tersebut didengar dari Ibunya langsung. Ucapan ibunya
itulah yang melatar belakang dia untuk selalu mengenakan pakaian laki-laki
ketika dalam beribadah.54
Penolakan atas nama agama, merupakan yang paling real dalam kehidupan
waria. Tidak hanya di kalangan keluarga, namun juga di kalangan umum,
bahkan para pemuka agama, dan tokoh politik selalu mencomot nama agama
untuk penolakan keberadaan mereka. Hal ini ditambah oleh adanya teks
keagamaan berupa hadis yang mengecam prilaku waria. Bahkan dalam beberapa
sejarah Islam, perlakuan terhadap waria ini termasuk sangat sadis. Belum lagi
eksistensi waria yang dipandang sejajar dan setara dengan kaum homoseksual.
Sejarah kelam yang dirasakan oleh mereka yang dibuktikan sebagai
homoseksual pernah terjadi di masa Khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Di
masa ini, para homoseksual dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup karena
dianggap tidak hanya mengancam kekhalifahannya, namun juga dianggap
mengganggu stabilitas pemerintahan dan umat Islam, serta otoritas kekuasaan
pada saat itu.55 Sementara itu, di masa khalifah kedua, Umar bin Khattab, para
homoseksual dihukum dengan cara dirajam hingga meningal. Dan selanjutnya
di masa kekhalifahan keempat, Ali bin Abi Thalib, homoseksual pernah
dihukum oleh Ali bin Abi Thalib dengan cara diangkat ke menara tinggi, lalu
kemudian dibuang hingga meninggal. Pembuangan ini disertai dengan ucapan
Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: “Seperti inilah mereka akan dibuang ke dalam
api neraka.”56
Penolakan ini selalu berkutat pada stereotype bahwa waria adalah prilaku
terlaknat. Bahkan seringkali mendatangkan konflik dari masyarakat sekitar,

52 Wawancara dengan Yuni Sara pada tanggal 07 Februari 2016 di Pesantren Waria al-
Fatah Yogyakarta.
53 Wawancara dengan Susi di Pesantren Waria pada hari Minggu 14 Februari 2016.

Ungkapan semacam ini ternyata banyak diterima oleh para waria lainnya. Terbukti ketika Susi
menyampaikan hal ini, para waria lainnya menyahuti dan mengiyakan permasalahan tersebut.
54 Wawancara dengan Eva, Minggu 14 Februari 2016. Uniknya untuk kasus Eva, ia sangat

menghargai nasehat ibunya tersebut. Sehingga ia tidak akan pernah mau disuruh untuk
mengumandangkan azan atau iqamah di Pesantren Waria. “Takut kualat” katanya.
55 Abdulhadi, Rabab, Sexualities and the Social Order in Arab and Muslim Communities, dalam

Habib, Samar. Islam and Homosexuality. Amerika Serikat: ABC-CLIO. 2010, hal. 467.
56 Ibid, hal. 467.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

32
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

termasuk dari keluarga sendiri.57 Kehadiran mereka diangap sebagai aib,


sehingga memaksa mereka untuk mendapat perlakuan kasar dan stigma
negatif.58 Stigma negatif ini akan semakin rumit, dan semakin runcing jika
keberadaan waria dihadapkan dengan agama. Hal ini disebabkan waria
dianggap sebagai pelaku dosa, yang pantas untuk mendapatkan balasan keras,
tidak hanya dari Allah, namun juga dari manusia selama di dunia, karena
mereka tidak mensyukuri nikmat yang sudah diberikan oleh Allah swt. Apa lagi,
ketika prilaku terlaknat mereka dikaitkan dengan kisah kaum Nabi Lut yang
diazab oleh Allah pada saat itu.
Dalam konteks santri waria di pesantren, Yuni Sara (YS) mengisahkan
bahwa pada tahun 2010, salah seorang santri bernama „M‟59 asal Bantul tidak
diterima oleh keluarganya sejak ia memberanikan diri mengungkapkan
identitasnya sebagai waria. Bahkan lebih parah, ketika „M‟ meninggal,
jenazahnya pun tidak diterima oleh keluarga. Sehingga pihak pesantren warialah
yang menyelesaikan segala proses penyelenggarahan jenazahnya. Peristiwa ini
diamini kebenarannya oleh Shinta Ratri sebagai pimpinan pesantren.60

Penolakan atas Nama Sosial


Manusia, selain makhluk individual, juga makhluk sosial yang tidak bisa
lepas dari kehidupan manusia lainnya. Selain itu, manusia juga makhluk
bertuhan yang menjadi fitrah dasar dan hak asasi yang tidak bisa diganggu
gugat.61 Posisi semacam ini juga dimiliki oleh waria, karena mereka adalah
bagian dari manusia dan peradabannya. Eksistensi mereka tidak bisa dinafikan,
dan ditolak. Hanya saja, kedudukan waria sebagai makhluk sosial ternyata
mendapatkan tantangan tersendiri. Bahkan bagi keluarga yang memiliki anggota
keluarga sebagai waria, menjadikan penolakan atas waria dengan cara mengatas
namakan sosial atau manusia lainnya.
Penolakan atas nama sosial ini biasanya dilatar belakangi oleh rasa malu
kepada orang lain, terlebih-lebih tetangga. Di sisi lain, keberadaan waria
memang seringkali menjadi bahan olokan atau cemoohan di masyarakat. Mulai
dari istilah banci, bencong, dan lain-lain.
Dalam konteks Nusantara, sebenarnya keberadaan waria bukanlah hal yang
baru. Karena kehidupan waria, atau homoseksual sebenarnya banyak ditemukan
di dalam tradisi-tradisi lokal. Dalam sejarah Nusantara, keragaman prilaku

57 Penolakan dari keluarga menjadi hal yang lumrah diterima oleh para waria.

Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 127.


58 Koeswinarno, Hidup sebagai Waria…, hal. 4.
59 Sengaja penulis menamainya dengan inisial „M‟ untuk menjaga privasi yang

bersangkutan.
60 Wawancara dengan Yuni Sara di Pesantren Waria, Minggu, 14 Februari 2016.
61 Sifat dasar inilah salah satu yang melatar belakangi berdirinya Pesantren Waria al-Fatah

Yogyakarta.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

33
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

seksual di antara sesama diketahui telah dilakukan dalam konteks seni beladiri,
ritual kebatinan, perdukunan, ritus, atau dalam kehidupan sehari-hari.62
Pada dasarnya kekhawatiran keluarga atas keberadaan anggotanya yang
waria memang tidak bisa dipungkiri. Hal ini karena stigma masyarakat, bahwa
waria adalah manusia abnormal atau penyakit yang harus disembuhkan. Waria
yang secara fisik adalah laki-laki selayaknya berprilaku dan berpenampilan
sebagaimana halnya seorang laki-laki.
Keluarga waria biasanya seringkali mendapatkan pertanyaan yang sama
dari orang lain. Yuni Sara mengungkapkan dalam sesi wawancara, bahwa
keluarganya seringkali ditanyakan tentang dirinya:
“Anak laki-laki kok kemayu, kok suka dandan seperti cewek?63
Jika dikaitkan dengan penolakan waria atas nama sosial seperti di atas,
sebenarnya terjadi akibat pemahaman mayoritas masyarakat dalam memandang
pemaknaan seksualitas. Mental masyarakat Indonesia masih belum cukup kuat
dan matang untuk membahas masalah seksualitas. Karena seolah-olah bicara
masalah seksualitas, maka konotasi yang muncul adalah erotisme semata.
Padahal, hakikatnya, bicara masalah seksualitas dalam berbagai keyakinan
bukanlah sesuatu hal yang tabu atau dianggap asing. Karena seksualitas
memang menjadi sebuah realitas kehidupan yang sudah melekat dalam diri
manusia itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan informasi seputar seksualitas
menjadi terbatas hanya kepada kelompok dan golongan tertentu yang berperan
di bidang seksualitas atau memiliki kepentingan terhadapnya.
Seksualitas sebenarnya adalah hal yang positif dan berhubungan dengan jati
diri seseorang serta kejujuran seseorang terhadap dirinya.64 Sehingga sangat
wajar jika seksualitas adalah bawaan alami, dan sangat penting dalam kondisi
dan kehidupan manusia.65 Dalam ajaran agama-agama di dunia sendiri,
seksualitas menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan, baik itu agama samawi
maupun agama semitis. Hanya saja,agama Yahudi, Nasrani, dan Islam,
membahasakannya dengan sedikit eksklusif dan memiliki aturan yang sangat
tegas. Sedangkan agama seperti Budha, Hindu, Shinto, Konghucu, jauh lebih
inklusif ketika membahas masalah seksualitas.66
Masing-masing agama tentunya membicarakan seksualitas sesuai dengan
kadar dan normanya masing-masing pula. Hanya saja, ketika seksualitas,
dikaitkan dengan orientasi seks, maka mulai muncul perbedaan signifikan,
terutama jika dibenturkan dengan homoseksual. Hal ini disebabkan oleh

62 Oetomo,dkk. Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia: Indonesia: USAID

dan UNDP, 2013, hal. 18.


63 Wawancara dengan Yuni Sara pada hari Senin 15 Februari 2016.
64 Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi. Yogyakarta:

Naufan Pustaka. 2010. hal. 285.


65 Ali, Kecia, and Oliver Leaman. Islam: the Key Concepts. London and Newyork:

Roudledge Francise Library. 2008. hal. 119.


66 Syam, Nur. Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental. Yogyakarta: LKiS, 2010, hal. 24.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

34
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

pemahaman sosial atau konstruksi sosial yang memandang bahwa orientasi seks
yang benar dan tepat adalah hanya heteroseksual, dan selain itu dianggap
abnormal.
Intinya, pemahaman eksklusif seperti di ataslah yang sangat memberikan
dampak negative atas mereka para waria. Dalam konteks Indonesia saat ini,
kekhawatiran atas nama LGBT sangat merebak dan mencuat. Semua golongan
mulai angkat bicara sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Hanya saja,
sangat disayangkan beberapa penguasa, ulama, dan tokoh-tokoh tertentu lebih
mengedepankan pendapat yang bersifat mencibir, mengkalim, menista, dan
menghina LGBT, sehingga sangat banyak mempengaruhi pola pikir dan
tindakan yang represif dari masyarakat. Bahkan, Pesantren Waria yang sudah
eksis selama 8 tahun, pada hari jum‟at tanggal 19 Februari 2016 tidak luput dari
sasaran kemarahan salah satu ormas di Yogyakarta.67

Saatnya Mengubah Paradigma atas Waria


Melihat agama yang sangat sentral perannya dalam membangun peradaban
manusia, sudah saatnya memposisikan waria sebagai bagian dari peradaban itu
sendiri. Dalam hal ini, sudah saatnya memandang waria dari sudut pandang
kemanusiaan. Sudah saatnya pula memahami waria dari perspektif waria itu
sendiri, agar jauh lebih komprehensif.

Memahami Waria dari Perspektif Waria


Menarik untuk memahami waria dari perspektif waria, sehingga ada
pemahaman yang lebih holistik. Memahami waria dari perspektif waria akan
memberikan gambaran bagi kita sesuai dengan apa yang mereka rasakan dan
alami. Namun demikian, sebelum memberikan pemahaman waria dengan
perspektif waria, urgen juga untuk dipandang dengan perspektif agama.
Meminjam istilah yang digunakan oleh Amin Abdullah, maka agama dalam
konteks tulisan ini selayaknya adalah nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas,
moralitas, dan etika yang dibangun oleh agama-agama dunia, khususnya Islam,
dan bukan sebagai sekedar kelembagaan, ritus-sritus agama, dogma agama,
tradisi agama dan lain-lain.68 Akan tetapi untuk melihat kekurangan pemaknaan
agama (yang bersifat formal atau fiqih), penulis akan menjelaskan pandangan
fiqih tentang waria.
Secara eksplisit, al-Qur‟an hanya menyebut dua jenis identitas seks: laki-laki
dan perempuan. Sementara, literatur fiqih menyebut empat varian, yaitu:
perempuan, laki-laki, khunsa (waria atau banci, atau seseorang yang memiliki

67 Peristiwa ini terjadi pada hari Jum‟at 19 Febriari 2016 setelah shalat Jum‟at. Massa Front
Jihad Islam (FJI) mendatangi Pesantren Waria dan meminta agar Pesantren tersebut ditutup.
Penulis berada di tempat pada saat peristiwa tersebut. Peritiwa ini juga bisa dilihat dalam berbagai
media massa, elektronik, dan tulis, bahkan juga banyak termuat di media online.
68 Dalam M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-

Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 92.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

35
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

alat kelamin ganda yang disebut dengan khunsa musykil), dan munkhannis (laki-
laki secara biologis, namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan
menginginkan pergantian kelamin) atau mukhannas (secara biologis laki-laki
tetapi tidak berkeinginan mengubah jenis kelamin mereka.). Kajian fiqih tidak
mengenal istilah untuk orientasi seksual, seperti homo, gay dan lesbi. Oleh sebab
itu, tidak heran setiap kali pembahasan soal homo dalam fiqih selalu
menggunakan istilah khunsa (waria atau banci).69
Dalam masyarakat Indonesia, sering kali terma waria disamakan dengan al-
khunsa, padahal dalam beberapa literatur kamus bahasa Arab, antara waria dan
al-khunsa sangat jauh berbeda. Dalam kamus al-Ta‟rifat karya al-Jurjani dijelaskan
bahwa al-khunsa adalah seseorang yang memiliki dua jenis kelamin sekaligus
atau sebaliknya tidak memiliki keduanya.70 Sementara waria lebih bersifat
kepada perilaku yang berbanding terbalik dengan fisiknya secara zahir atau juga
bisa dikaitkan dengan orientasi seks. Oleh sebab itu, istilah waria sebenarnya
lebih tepat jika dikaitkan dengan al-mukhannas atau al-mukhannis. Hal ini bisa
dilihat dalam kitab Lisan al-„Arab yang menyebutkan bahwa al-mukhannas adalah
seorang laki-laki yang berperilaku seperti perempuan.71
Di dalam kitab al-Qamus al-Fiqhi, dijelaskan bahwa al-mukhannas atau al-
mukhannis terdiri dari dua macam, yaitu al-mukhannas atau al-mukhannis yang
muncul atau terjadi secara kodrati atau bawaan lahir atau gen. Dalam hal ini,
maka ulama berpendapat bahwa golongan ini tidak berdosa. Selanjutnya adalah
golongan al-mukhannas atau al-mukhannis yang terjadi bukan secara kodrati,
namun dia memaksakan diri untuk berperilaku seperti perempuan, baik
gerakan, ucapan, cara berhias, dan lain-lain.
Dari ketiga konsep fiqih di atas, al-khunsa, al-mukhannas dan al-mukhannis,
terjadi pemaknaan yang menjeneralisir di tengah-tengah masyarakat, atau
bahkan menjangkiti beberapa tokoh agama. Dalam hal ini, masayarakat
seringkali memandang waria sebelah mata. Bagi masyarakat yang tidak paham
keberadaan waria, akan memandang bahwa kewariaan seseorang pasti
bersumber dari kepura-puraan dan keinginan untuk melawan kodrat. Hal inilah
yang menyebabkan semakin runcingya stigma negatif bagi para waria.72
Namun demikian, masih agak longgar jika dikaitkan dengan al-khunsa
(musykil atau kelamin ganda). Karena dalam konteks ini, seseorang yang

69 Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan Implementasi,Yogyakarta:
Naufan Pustaka, 2010, hal. 292.
70 Al-Jurjani, Al-Ta‟rifat, jilid 1, hal. 33, dalam al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media.

Hal yang sama juga dapat dilihat dalam al-Sahib bin „Ibad, al-Muhit fi al-Lugah, jilid 1, hal. 359,
dalam al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media.
71 Ibn Manzur, Lisan al-‟Arab, jilid 2, hal. 145, dalam al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana

Media.
72 Perlu difahami bahwa untuk memutuskan identitas merka sebagai waria, bukanlah

permasalahan yang mudah dan gampang. Butuh beberapa tahun bagi mereka untuk meyakinkan
diri sebagai waria. Apalagi kalau keberadaan mereka dipandang dari sudut pandang konflik yang
mereka alami. Tentunya untuk konsisten sebagai waria sangat rumit, karena harus dihadapkan
pada konflik batin (individu), konflik keluarga, konflik social, dan konflik agama.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

36
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

mengalaminya hanya disibukkan tentang urusan untuk memilih kelamin.


Sementara itu, waria menghadapi masalah yang berbeda, secara seksual, kelamin
mereka jelas seperti halnya laki-laki. Namun, perasaan, prilaku, psikologis, dan
orientasi mereka cenderung sebaliknya. Sederhananya, waria menyebut mereka
seperti “jiwa wanita yang terjebak dalam tubuh laki-laki.”
Dengan demikian, para waria merasakan bahwa keinginan dan
kecenderungan mereka berprilaku dan berorientasi seperti perempuan muncul
dari psikologis mereka sendiri. Atau bahkan bisa jadi muncul dari genetik
mereka. Kesimpulan semacam ini diyakini oleh para waria, karena mereka
merasa tidak mampu melawan kecenderungan hasrat mereka untuk menjadi
seorang perempuan. Pernyataan ini penulis dengar langsung dari seorang waria
yang biasa dipanggil Ruli:
Saya lahir di tengah-tengah keluarga keras, hidup di lingkungan militer, akan tetapi
sejak kecil saya juga sudah tertarik kepada lelaki. Sehingga ketika saya disekolahkan
di asrama, saya lebih nyaman hidup dengan perempuan daripada laki-laki.
Kecenderungan saya pada laki-laki tidak muncul karena latar belakang korban
kekerasan seksual, bukan karena dorongan ekonomi, tapi memang muncul dengan
sendirinya dari dalam diri saya.73
Pada tahun 2013, sebelum pemimpin pertama meninggal, penulis juga
pernah melakukan wawancara tentang pesantren waria. Yaitu al-marhumah
Maryani. Ternyata ungkapan yang semakna juga pernah disampaikan sebagai
berikut:
“Sampai sekarang saya merasa waria itu bukan pilihan hidup. Kalau itu pilihan
hidup, saya disuruh pilih, saya tidak mau jadi waria. Tapi ternyata memang
kenyataan itu bukan pilihan dan nasib saya begini, memang Allah memberi saya
hidup begini. Saya bersyukur pada Tuhan.”74

Merlyn Sopjan juga mengungkapkan sebagai berikut:


Sejak kecil saya memang selalu merasa saya adalah seorang perempuan. Saya hidup
dengan pikiran, sikap dan tingkah laku seorang perempuan. Walau saya terlahir
dengan fisik dan alat kelamin seorang pria yang akhirnya membentuk identitas saya.
Dengan hidup sebagai perempuan hidup saya mau tidak mau jadi “luar biasa” bagi
orang lain di luar komunitas saya. Luar biasa karena memang saya hidup sebagai
perempuan di tubuh seorang laki-laki, dan tentunya pengalaman hidup yang saya
dapatkan tentunya tidak didapatkan oleh orang yang orientasi seksualnya
“normal”.75
Dalam wawancara penulis dengan Shinta Ratri, ia menjelaskan lebih rinci. Ia
menyatakan bahwa ia merasakan keanehan dalam dirinya sejak kelas 5 (lima)
Sekolah Dasar (SD). Selanjutnya memberanikan diri memakai rok pertama kali
saat duduk di bangku kelas 3 (tiga) Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kemudian saat lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai menggunakan

73 Jawaban ini langsung penulis dengar dari Ruli ketika berbicara bebas dengan yang

bersangkutan di Pesantren Waria. Tanggal 07 Februari 2016.


74 Wawancara tanggal 05 November 2013.
75 Ungkapan ini penulis kutip dari pengantar Merylin Sopjan dalam buku karya

Koeswinarno, Hidup sebagai…, hal. viii.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

37
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

pakaian perempuan setiap hari. Tepat pada tahun 1997, memberanikan diri dan
memutuskan untuk menggunakan jilbab.76
Dari beberapa statemen yang penulis paparkan di atas, menjadi acuan
penting untuk memahami waria dari perspektif waria. Jika selama ini, mayoritas
masyarakat masih memandang waria dengan stigma negatif dengan asumsi
global bahwa waria penuh dengan kepura-puraan dan tidak mampu
mensyukuri kodrat ilahi, maka beberapa pernyataan wari di atas setidaknya bisa
membuka wawasan baru. Kewariaan mereka ternyata muncul dari dalam diri
tanpa rencana, dan tanpa diinginkan, atau dengan kata lain muncul secara
psikologis yang tidak bisa ditolak dan apalagi dilawan.
Pengalaman psikologis semacam ini pula secara panjang lebar dijelaskan oleh
Shuniyya dalam bukunya. Ia mengatakan bahwa perasaan seorang perempuan
yang muncul dalam dirinya yang berfisik laki-laki bukanlah sesuatu yang
direncanakan dan diinginkan, namun datang dengan sendirinya. Sehingga
perasaan tersebut semakin memberikan kenyamanan. Semakin dilawan perasaan
tersebut, maka semakin berat pula konflik batin yang dialaminya. Oleh sebab itu,
setelah menyimpulkan sebagai seorang perempuan dan merasa nyaman dengan
keputusan tersebut, Shuniyya juga tidak segan-segan menutup badannya dengan
gaun perempuan lengkap dengan jilbab.77
Melihat realitas semacam ini, jika dikaitkan dengan keberadaan pesantren
waria, maka sudah saatnya menjadikan agama sebagai sumber inspirasi, agama
sebagai pembebas dari segala kejahiliyaan, agama sebagai sebuah nilai yang
menanamkan pada diri penganutnya untuk mampu memanusiakan manusia,
agama yang mampu tidak sekedar menghargai keberadaan kaum waria apa
adanya, namun dengan agama juga mampu memahami eksistensi waria di muka
bumi ini yang tidak mungkin bisa ditolak hingga kapan pun. Keberadaan
pesantren merupakan momentum urgen bagi waria untuk membuktikan bentuk
simpati dan empati mereka di mata masyarakat umum yang lebih memandang
waria sebagai pelaku dosa dan pelaku seksualitas abnormal.

Keluarga sebagai Perangkul Waria


Peran penting dan makna keluarga bagi waria, bisa dipastikan sama besar
dan pentingnya sebagaimana dirasakan oleh orang lain yang bukan waria.
Hanya saja, harapan waria atas kepedulian keluarga tidak seperti besar dan

76 Wawancara dengan Shinta Ratri hari Senin, 15 Februari 2016. Pengalaman yang

dirasakan oleh Shinta Ratri ini, sama dengan apa yang dirasakan oleh semua waria yang ada di
Pesantren. Hanya saja perbedaaanya adalah, masa dan waktu atas keberanian mereka untuk
mengungkapkan jati diri sebagai waria. Hal ini didasari oleh kesiapan mental masing-masing dan
kemungkinan penerimaan keluarga pada mereka. Artinya, semakin besar peluang untuk diterima
keluarga, maka akan semakin cepat mereka membuka identitasnya.
77 Baca selengkapnya dalam, Shuniyya Ruhama Habiiballah, Jangan Lepas Jilbabku: Catatan

Harian Seorang Waria, Yogyakarta: Galang Press, 2005, hal. 11-60. Dalam bab ini, ia menjelaskan
secara panjang lebar konflik batinnya yang lebih cenderung pada perempuan, namun belum
mampu membuat sebuah kesimpulan total.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

38
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

kuatnya perhatian yang didapat dan diperoleh orang lain yang bukan waria.
Tentunya hal inilah yang menjadi permasalahan yang dihadapi oleh waria, dan
sudah pasti harus menjadi bahan perhatian dan harus diseriusi untuk
dipecahkan.
Permasalahan waria yang menggunung tinggi dan meluas ibarat samudra,
seringkali menyebabkan mereka diselimuti oleh berbagai macam masalah
kehidupan. Mulai dari masalah pribadi, masalah keluarga, masalah sosial, dan
dipersulit lagi dengan masalah agama. Kegoncangan atau konflik pribadi telah
dirasakan dari kecil, yaitu merasakan keanehan dalam diri. Kegelisahan ini
biasanya muncul ketika mereka mulai merasakan ada hal yang aneh. Secara fisik,
mereka adalah laki-laki, punya penis, dan jakun, namun secara rasa, atau psikis,
mereka merasa seperti perempuan yang harus berdandan, suka menggunakan
gaun sebagaimana perempuan lainnya. Bahkan mulai tertarik dan merasa
senang dengan laki-laki.
Konflik selanjutnya yang mereka rasakan adalah, ketika mencoba
memberanikan diri mengungkapkan jati diri, atau mulai mengidentifikasi gender
sebagai waria, maka keluarga mayoritas akan menolak secara mentah-mentah,
tanpa mempedulikan alasan apapun.78 Konflik dalam keluarga ini akan
berdampak pada berbagai perlakuan. Mulai dari kekerasan fisik, seperti
pemukulan, mencukur rambut secara paksa, dan lain-lain, hingga pada akhirnya
tidak jarang berujung pada pengusiran dari rumah.
Konflik berikutnya, adalah konflik sosial. Konflik ini biasanya akan berujung
pada status sosial mereka. Kesulitan dalam mencari pekerjaan formal79 dan
informal. Oleh sebab itulah, masyarakat tidak sulit untuk melihat pekerjaan
waria adalah mengamen di jalanan. Padahal ada beberapa waria yang memiliki
pendidikan mumpuni, mulai dari Sekolah Menengah Atas, hingga Sarjana.
Dengan status kewariaan ini pun, seringkali mereka menjadi kesulitan untuk
mengakses layanan publik.
Dan konflik paling keras adalah konflik agama. Konflik ini memunculkan
stigma negative yang sangat memojokkan waria. Dianggap sebagai aib, tidak
mensyukuri nikmat karena melanggar kodrat sebagai laki-laki, bahkan kecaman
bahwa seluruh ibadahnya tidak mungkin diterima oleh Tuhan. Dan berawal dari
konflik ini pulalah, Maryani mendirikan pesantren waria. Tujuannya adalah
memberikan wadah untuk mengabdikan diri pada Tuhan penuh dengan
kenyamanan dan kebebasan.
Dari berbagai konflik di atas, maka urgensitas keluarga menjadi sangat
sentral untuk membangun kehidupan waria yang mungkin lebih baik.

78 Konflik keluarga memang tidak semua merasakannya, akan tetapi dari sekian santri
waria yang ada, hanya Shinta Ratri dan Nur Ayu yang tidak mendapatkan penolakan. Itu pun
diikuti oleh syarat tertentu.
79 Ruli bahkan memutuskan untuk keluar dari pekerjaanya sebagai PNS, karena seringkali

menjadi bahan hinaan ketika ia memberanikan diri berpenampilan selayaknya perempuan ketika
menggeluti pekerjaannya sebagai guru.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

39
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

Setidaknya, kalaupun konflik-konflik lain masih akan terus ada, maka masih ada
keluarga sebagai pegangan terakhir, yaitu pegangan yang terikat oleh darah, dan
pastinya ikatan emosional yang jauh lebih kuat. Pengakuan dari keluarga
terhadap status mereka sebagai waria, biasanya sangat berdampak positif bagi
kehidupan sosial waria. Setidaknya penerimaan skala lingkup kecil, seperti
tetangga atau kampung jauh lebih terbuka dan baik.
Kepedulian keluarga yang mampu membangun percaya diri waria bisa
dicontohkan seperti apa yang dirasakan oleh Shinta Ratri. Ia menggambarkan
betapa besar dan luasnya hati keluarganya dalam menerima kondisinya hingga
ia bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang S-1. Dan pada akhirnya
dukungan keluarga ini pulalah yang membuka peluang dan kesempatan baginya
untuk mampu berkontribusi terhadap masyarakat. Ia menambahkan, perlakuan
kasar dan pelecehan pun belum pernah dirasakan olehnya. Keluarganya bahkan
tidak pernah menganggap kewariaannya sebagai aib yang memalukan.80

Kesimpulan
Eksistensi waria sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan makhluk
bertuhan adalah sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, eksistensi waria di bumi ini
pun harus dinilai dari aspek tersebut. Sehingga para waria mampu
mengekspresikan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai bagian dari kehidupan
manusia. Hanya saja, eksistensi mereka sering tertolak karena dianggap sebagai
penyakit psikologis, penyakit social, sekaligus tidak mensyukuri kodratnya.
Dengan kondisi penolakan yang komprehensif tersebut, keberadaan waria
semakin terpuruk dan terpinggirkan. Oleh sebab itu, kehadiran keluarga sebagai
komunitas terdekat dan paling mengerti kehidupan mereka, selayaknya harus
mampu menjadi perangkul, bukan malah pemukul yang kemudian membuat
waria semakin tersungkur dalam kehidupan sosial masyarakat.
Keluarga sudah saatnya menjadi pegangan terakhir, yaitu pegangan yang
terikat oleh darah, serta terikat hubungan emosional yang jauh lebih kuat.
Pengakuan dari keluarga terhadap status mereka sebagai waria, biasanya sangat
berdampak positif bagi kehidupan sosial waria. Setidaknya penerimaan skala
lingkup kecil, seperti tetangga atau kampung jauh lebih terbuka dan baik. Di
samping itu, kepedulian keluarga juga mampu membangun percaya diri waria.

Daftar Pustaka
Ali, Kecia, and Oliver Leaman. Islam: the Key Concepts. London and Newyork:
Roudledge Francise Library. 2008.
Habib, Samar. Islam and Homosexuality. Amerika Serikat: ABC-CLIO. 2010.
Ibn Manzur, Lisan al-‟Arab, al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media.
Al-Jurjani, Al-Ta‟rifat, al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media.
Koeswinarno, Hidup sebagai Waria, Yogyakarta: LKiS, 2004.

80Wawancara pada hari Senin dengan Shinta Ratri 15 februari 2016.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

40
Arif Nuh Safri Penerimaan Keluarga Terhadap...

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-


Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, Konsep dan Implementasi, Yogyakarta:
Naufan Pustaka, 2010.
Oetomo, Dede, dkk. Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia:
Indonesia: USAID dan UNDP, 2013.
Al-Sahib bin „Ibad, al-Muhit fi al-Lugah, al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana
Media.
Shuniyya Ruhama Habiiballah, Jangan Lepas Jilbabku: Catatan Harian Seorang
Waria, Yogyakarta: Galang Press, 2005.
Syam, Nur. Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental. Yogyakarta: LKiS, 2010.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

41
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA LGBT PADA ANAK DAN REMAJA

Zusy Aryanti
STAIN Jurai Siwo Metro
zusyar4@gmail.com

Abstract
The increasing of LGBT in Indonesia which the followers do the activities as their
identity. The strong ignorance as the LGBT‟s that awarely declare the legality of their
exixtences to the goverment. In turn, the movement of LGBT shows the problems in
scholars who disagree with the LGBT. LGBT is thought as soul stress and it can be cured.
The current paper describes the factors which are particularly impacted the LGBT
activists. The environment may be impacted the behaviours and those can be impacted by
the environment, thus when the internalization of the value happens, the human can
limit theirself to receive politely about LGBT. The individuall cab change the perception
and paradigm to reject or receive the phenomenon.
Key Words : LGBT, environemnt, Psycology

Abstrak
Maraknya gerakan LGBT di Indonesia dengan terbuka nya gerakan sebagai identitas.
Penolakan semakin kuat saat kaum LGBT secara terang terangan mengungkapkan
tuntutan akan legalitas keberadaan mereka kepada pemerintah. LGBT pada giliran nya
menimbulkan perdebatan di kalangan ilmuan anti LGBT. LGBT dianggap sebagai
gangguan jiwa dan dapat disembuhkan. Tulisan ini menggambarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi tercandunya kepada LGBT.Lingkungan dapat mempengaruhi perilaku
dan sebaliknya perilaku dapat dipengaruhi oleh lingkungan, maka saat mulai terjadi
internalisasi nilai, individu dapat membatasi diri untuk bersikap lebih bijak dalam
menyikapi fenomena LGBT. Individu dapat merubah persepsi sekaligus pola fikir yang
bersimpul pada pola perilaku untuk menolak atau mengikuti suatu fenomena tertentu.
Kata Kunci : LGBT, Lingkungan, Psikologi

Pendahuluan
Perdebatan tentang LBGT sudah terjadi cukup lama dalam sejarah
peradaban manusia. Akhir akhir ini pembicaraan LGBT mencuat kembali setelah
pelaku LGBT mulai terbuka menunjukkan jati dirinya. Maraknya pembicaraan
tentang LGBT yang kian berkembang, menimbulkan kekhawatiran tersendiri
bagi masyarakat terutama orang tua.81 Pasalnya persoalan LGBT merupakan
persoalan anomalis bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan adat istiadatnya. Pelaku LGBT
memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan kebanyakan orang. Hal inilah
yang menyebabkan LGBT tidak diberi ruang di negara ini. Penolakan semakin

81 Fahira Idris, Ketua Umum yayasan Anak Bangsa dan Mandiri, www.islamedia.id.

Diunduh tanggal 8 Maret 2016.


Zusy Aryanti Faktor Penyebab Terjadinya...

kuat saat kaum LGBT secara terang terangan mengungkapkan tuntutan akan
legalitas keberadaan mereka kepada pemerintah.
Di berbagai belahan dunia, terdapat beberapa negara yang sudah
melegalkan perkawinan sesama jenis, diantaranya; Amerika, Belanda, Spanyol,
Belgia, Canada, Afrika Selatan, Norwegia, Swedia, Prancis dan lain-lain.82 Kaum
LGBT memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara pada
umumnya. Kebutuhan mereka untuk mendapatkan hak-hak diakomodir dengan
baik, seperti hak untuk menikah dan berkeluarga, hak mendapatkan pekerjaan,
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya serta hak-hak lain seperti
warga negara pada umumnya. Kaum LGBT juga semakin leluasa menyebarkan
“keyakinannya”83 untuk menarik massa sebanyak banyaknya. Harapan yang
diusung adalah berubahnya kondisi minoritas menjadi kondisi yang setara
dengan masyarakat luas.
Meski demikian, keberadaan LGBT masih menimbulkan perdebatan di
kalangan ilmuan anti LGBT. LGBT dianggap sebagai gangguan jiwa dan dapat
disembuhkan. Sebaliknya kaum aktivis LGBT menyatakan bahwa mereka
bukanlah pengidap gangguan jiwa dan tidak perlu disembuhkan. Faktor
genetiklah yang membuat mereka menjadi LGBT, sehingga keadaan yang ada
tidak dapat disalahkan. Perdebatan yang tak berkesudahan ini memicu konflik
dua kubu yang memiliki alasan ilmiah masing-masing demi mempertahankan
pendapat dan ideologinya.
Terlepas dari perbedaan pengakuan apakah LGBT masuk dalam kategori
perilaku yang normal ataukah gangguan jiwa, hal yang lebih penting untuk
difikirkan adalah masa depan generasi penerus bangsa yang saat ini terpapar
oleh “aksi” LGBT. Menurut Fahira, Komunitas LGBT sudah mulai melakukan
propaganda dalam menyampaikan pandangan hidupnya.84 Bagaimanapun
LGBT merupakan bentuk perilaku yang tidak wajar dan menerjang norma
kehidupan bangsa Indonesia. Pengaruh yang ditimbulkan berdampak buruk
bagi kesehatan psikologis anak dan remaja. Meskipun sudah 23 negara mengakui
LGBT, bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran serta
berpedoman pada agama menolak keras perbuatan tersebut dan mencegah
supaya pelaku tidak bertambah banyak. Berpijak pada deskrispsi di atas, maka
diperlukan usaha serius agar anak-anak kita tidak terpengaruh dengan segala
bentuk kampanye yang dilakukan oleh aktivis LGBT. Dalam makalah ini akan
disajikan beberapa faktor resiko yang berpeluang menjadikan anak atau remaja
menjadi LGBT.

82 www.sindonews.com diunduh pada 26 Februari 2016.


83 Kaum LGBT mengampanyekan pendapat dan keyakinannya secara terus menerus kepada
masyarakat agar masyarakat dapat menerima keberadaan mereka. Kampanye yang dilakukan
adalah memahamkan masyarakat bahwa LGBT bukanlah suatu gangguan jiwa. Mereka menjadi
LGBT diebabkan faktor genetik yang ada dalam diri mereka. Orientasi seksual yang mereka miliki
dinyatakan sebagai perilaku normal, sebab hal tersebut hanyalah varian orientasi seksual.
84 Ibid, Fahira Idris, Ketua Umum Yayasan...

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

43
Zusy Aryanti Faktor Penyebab Terjadinya...

Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender


Jenis kelamin merujuk kepada anatomi dan fisik, sementara gender merujuk
pada semua hal lain yang berhubungan dengan jenis kelamin seseorang.85
Orientasi seksual yang umum terjadi pada individu adalah orientasi seksual
terhadap lawan jenis yang didasarkan pada anatomi atau sering disebut dengan
heteroseksual. Terdapat juga istilah transgender yang digunakan bagi individu
yang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual baik dari segi anatomis
maupun dari segi peran sosialnya.
Dalam kamus Oxford English, transgender diartikan sebagai kata sifat
tentang, berkaitan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai
dengan pengertian tentang gender laki-laki atau perempuan, melainkan bergerak
atau menggabungkan keduanya.86 Transgender merupakan individu yang
mengubah jenis kelamin fisik maupun psikisnya menjadi jenis kelamin yang
berlawanan dengan keadaannya.87
Transgender memiliki beberapa kategori, diantaranya cross dresser,
transvestite, transexual. Cros dresser adalah sesorang yang menggunakan pakaian
jenis kelamin yang berlawanan sebagai tampilan dalam sebuah pertunjukkan
atau memiliki tujuan tertentu. Pelaku cros dresser ini tidak selalu berkeinginan
menjadi jenis kelamin yang berlawanan. Transvestic adalah individu yang
merasakan kepuasan seksual jika dirinya mengenakan pakaian jenis kelamin
sebaliknya, bahkan saat melakukan masturbasi dan berhubungan seksual.88
Lesbianisme berasal dari kata lesbos yang merupakan sebutan sebuah pulau
di tengah lautan Eiges. Pada zaman kuno pulau ini dihuni oleh wanita.89 Sukanto
mengatakan, bahwa secara sosiologis homoseksual dapat diartikan sebagai
kecenderungan seseorang yang mengutamakan orang yang berjenis kelamin
sama sebagai mitra seksual.90 Menurut Kamus Ethimologi, gay berasal dari
bahasa Perancis Kuno abad 12 yang memiliki arti: penuh suka cita; ceria; cahaya
hati dan periang. Kemudian arti gay bergeser menjadi mencari kesenangan.
Mencari kesenangan di sini dimaksudkan mencari kesenangan terhadap kegiatan
seksual yang tidak biasa.91
Biseksual memiliki makna orientasi seksual pada individu yang ditujukan
pada sesama jenis juga kepada lawan jenis. Sementara transgender merupakan
sebuah orientasi seksual individu yang mengidentifikasi dirinya menyerupai
jenis kelamin yang berlawanan (pria atau wanita).

85 Baron, R dan Byrne, D, Psikologi Sosial, Alih bahasa: Ratna Juwita, Jakarta: Erlangga, 2003.
86 Hornby, English Oxford Dictionary,Oxford University Press, 2004.
87 Wikipedia, 2010
88Nolen Hoeksema, Gender Differences in Depression. Current Directions in Psychological

Science, 10, 173-176, New; Prentice Hall, 2001.


89 Kartono, K, Psikologi Abnormal dan Patologi Seks, (Bandung: Alumni), 1985.
90 Sukanto, S, Sosiologi sebagai Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosda Karya), 2004
91 https://www.selasar.com, diunduh tanggal 1 Maret 2016

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

44
Zusy Aryanti Faktor Penyebab Terjadinya...

Secara naluriah, manusia memiliki hasrat seksual atau libido terhadap lawan
jenis. Pada usia remaja, yaitu mulai usia sekitar 12 tahun terjadilah proses
kematangan seksual yang lebih sering disebut sebagai masa pubertas.92 Hormon-
hormon seksual yang dimiliki pun ikut berkembang. Individu mulai tertarik dan
menyukai lawan jenis. Awalnya individu tertarik pada kesan fisik yang nampak
saja, lama kelamaan individu tertarik pada hal hal yang bersifat seksual primer
secara lebih mendalam.
Hubungan yang heterogen pada manusia merupakan hubungan psikologis
yang bersifat normal. Dalam hubungan heterogen, akan muncul ketertarikan
untuk menjalin hubungan bersifat biologis yang disebut hubungan
heteroseksual. Laki-laki menjalin hubungan kepada perempuan sebagai wujud
pemenuhan kebutuhan biologis dan psikis. Terdapat perasaan saling
menyayangi diantara keduanya yang pada masanya akan meningkat pada
jalinan ikatan pernikahan. Di sisi lain terdapat hubungan yang sebaliknya, yaitu
hubungan homoseksual. Perilaku seksual yang tidak biasa ini memiliki
komunitas sendiri. Mereka merasa tidak memiliki kepercayaan diri dan merasa
termarjinalkan karena masyarakat Indonesia tidak mengakui keberadaannya.
Upaya yang tidak berhenti dilakukan adalah menyuarakan tuntutan akan
kesamaan hak untuk hidup damai dan sejahtera. Meski demikian, mereka tetap
menjalani aktivitas hidup sama seperti masyarakat pada umumnya. Mereka
bekerja, menyalurkan hobi, atau melakukan tugas-tugas sosial lainnya. Hanya
saja perasaan sayang dan cintanya ditujukan pada sesama jenisnya.
Perkembangan jumlah homoseksual di Indonesia bertambah setiap
tahunnya, termasuk di dalamnya orientasi seksual yang non heteroseksual
seperti, biseksual dan transgender. Data statistik menujukkan 8-10 juta populasi
pria di Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual dan
sebagin masih aktif melakukannya. Hasil survey YPKN menunjukkan ada 5000
penyuka sesama jenis di Jakarta.93 Sementara Oetomo memperkirakan terdapat
1% dari total penduduk Indonesia adalah pasangan homo.94
Angka yang ditunjukkan belum tentu mewakili angka sesungguhnya.
Layaknya fenomena gunung es, persoalan LGBT yang tersembunyi lebih banyak
dibanding kasus yang mengemuka. Dengan adanya masyarakat yang antipati
terhadap LGBT serta gerakannya, memaksa mereka menekan diri agar tidak
muncul di permukaan. Dalam peradaban manusia di Indonesia, LGBT dipangat
negatif. Tidak sedikit keluarga merasa malu dengan anggota keluarga yang
LGBT, sehingga perlakukan yang diterima merupakan perilaku yang tiak
menyenangkan seperti dimarah, dimaki, diusir dan sebagainya.

92 Papalia, Old dan Feldman, Humant Development, (McGraw Hill), 2008.


93 Dwi Pranata,” Perilaku dan Realitas Sosial Kehidupan Gay di Kota Samarinda”, E-journal
Sosiatri-Sosiologi, 3, Volume 3, Hal. 135-150.
94 Oetomo, D, Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

45
Zusy Aryanti Faktor Penyebab Terjadinya...

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya LGBT


Dalam kajian Counseling and Mental Health Care of Transgender Adult and Loved
One, fenomena transgender dinyatakan muncul tidak hanya karena pengaruh
lingkungan. Pengaruh dari budaya, fisik, seks, psikososial, agama dan kesehatan
juga turut andil dalam membentuk individu menjadi LGBT.95
Menurut Byrd, faktor genetik memang menjadi kontributor terbentuknya
individu menjadi seorang lesbi, gay, biseksual atau transgender sebagaimana
yang digarisbawahi oleh kaum LGBT. Namun demikian, bukan berarti otomatis
membuatnya sebagai LGBT. Pola asuh orang tua menjadi faktor terpenting
dalam membentuk dan mewarnai sosok anak.96
Bandura mengatakan, lingkungan dapat dibentuk oleh perilaku dan
sebaliknya perilaku dapat dibentuk oleh lingkungan.97 Dalam hubungan
resiprokal ini terjadi pembelajaran sosial yang mengarah pada transfer informasi,
kebiasaan atau perilaku. Anak yang selalu menonton tayangan perilaku tak laras
gender seperti laki-laki yang berperilaku gemulai membuka peluang bagi anak
untuk bersikap sama. Reaksi yang muncul pertama kali adalah perasaan aneh,
lucu, atau bahkan tidak memberikan reaksi apapun, sebab anak belum memiliki
skema pengetahuan tentang sosok maskulinitas pada laki-laki. Reaksi kedua,
anak mulai memiliki pengetahuan bahwa laki-laki bersifat seperti apa yang
dilihatnya. Reaksi ketiga anak mengikuti gaya atau perilaku laki-laki yang sering
dilihatnya. Selanjutnya perasaan aneh atau lucu di awal reaksi berubah menjadi
perasaan yang understandable dan acceptable. Dalam kondisi ini sudah terjadi
internalisasi nilai tentang sosok laki-laki yang lama kelamaan sangat mungkin
berubah menjadi internalisasi pola perilaku.
Jika lingkungan dapat mempengaruhi perilaku dan sebaliknya perilaku
dapat dipengaruhi oleh lingkungan, maka saat mulai terjadi internalisasi nilai,
individu dapat membatasi diri untuk bersikap lebih bijak dalam menyikapi
fenomena LGBT. Individu dapat merubah persepsi sekaligus pola fikir yang
bersimpul pada pola perilaku untuk menolak atau mengikuti suatu fenomena
tertentu.
Ditilik dari kajian psikoneurologis, individu dibekali kemampuan di dalam
otaknya untuk melakukan imitasi gerakan, tindakan, suara, perilaku atau
berbicara. Bagian otak yang bertugas mengatur imitasi yang dilakukan individu
disebut lobus parietal dari belahan yang dominan. Temuan Liepmann
menunjukkan bahwa individu yang mengalami lesi di bagian daerah-daerah
otak tersebut kehilangan kemampuan meniru.98 Hal ini menunjukkan bahwa
tindakan yang awalnya hanya melihat beralih menjadi coba-coba sangat
didukung oleh bagian otak manusia.

95 Khilman Rofi Azmi, Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling, Vol. 1 Nomor 1 Juni 2015.

ISSN 2443-2202. Diunduh Tanggal 20 Februari 2016.


96 Byrd, A. Dean Dan Stony Olsen, Homosexuality: Innate And Immutable
97 Kuswana, W, S., Biopsikologi, Pembelajaran Perilaku, (Bandung: Alfabeta), 2014.
98 Ibid, Kuswana,...

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

46
Zusy Aryanti Faktor Penyebab Terjadinya...

Imitasi berperan penting dalam membentuk komunikasi kognitif sosial


seperti bahasa, bermain, gerak tubuh serta perhatian bersama. Imitasi tidak
terlepas dari penguatan dan pelemahan. Manakala perilaku yang ditiru
memberikan akibat yang positif, maka perilaku itu akan menguat, dalam arti
perilaku itu akan terus diulangi. Sebaliknya jika perilaku hasil imitasi tidak
mendapat penghargaan dari lingkungan, di sini terjadi pelemahan, maka
kemungkinan besar perilaku tersebut akan berhenti.
Saat ini banyak remaja laki-laki yang bersikap feminin. Mereka berbicara
lemah lembut dengan gaya dan intonasi layaknya perempuan, mengenakan
pakaian berwarna mencolok dan sikap tubuh yang tidak tegas. Remaja laki-laki
yang berperilaku demikian semakin hari semakin banyak mengemuka. Tanpa
disadari masyarakat telah menerima kondisi mereka dengan tetap berinteraksi
seperti biasa. Masyarakat tidak menunjukkan “keganjilan” dalam menerima
mereka, sehingga perilaku semakin menguat. Remaja saat ini tidak lagi merasa
aneh dengan berperilaku gemulai, bahkan kecenderungan untuk menjadikannya
life style semakin menambah kepercayaan diri mereka dalam berpenampilan.
Imitasi yang dilakukan oleh remaja.
Menurut Saul McLeod, anak mengamati model yang memberikan contoh
perilaku maskulin atau feminin.99 Anak hanya meniru tanpa memikirkan objek
tiru berperilaku maskulin atau feminin yang sesuai gender atau tidak. Hampir
sama dengan teori imitasi, perilaku remaja laki-laki yang gemulai dapat
dijelaskan dengan teori observasi (modelling). Perilaku terbentuk dengan cara
mengamati orang lain. Terdapat empat proses yang terlibat dalam proses
modelling ini, yaitu; 1) attention: 2) retention; 3) production dan 4) motivation.100
Attention merupakan perhatian yang dilakukan oleh individu dalam
mengamati perilaku. Anak menonton tayangan laki-laki gemulai secara terus
menerus akan menimbulkan kesan inderawi. mereka melihat dan mendengar
bagaimana perilaku gemulai itu dilakukan.
Retention merupakan penyimpanan memori atau ingatan terhadap apa yang
mereka tiru. Kesan yang didapat melalui atensi akan tersimpan di dalam
memory. Pengetahuan yang baru dimiliki ini tersimpan dengan sendirinya dan
dapat dipanggil lagi saat dibutuhkan.
Production merupakan hasil dari atensi yang sudah diretensi. Remaja dapat
melakukan gerakan2 tertentu setelah memiliki pengetahuan di dalam
memorinya. Perilaku anak akan menghasilkan apa yang sudah mereka lihat dan
tersimpan di dalam memori. Perilakunya diproduksi secara berulang ulang
hingga akhirnya menjadi perilaku yang terbiasa.
Motivation, merupakan dorongan yang membuat mereka berperilaku
gemulai tersebut. Motivasi akan muncul manakala pertama; terjadi penguatan
seperti paparan terdahulu. Remaja yang “diterima” di masyarakat dengan

99 Ibid, Kuswana...
100 Ibid, Kuswana...
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

47
Zusy Aryanti Faktor Penyebab Terjadinya...

perilaku demikian cenderung akan melakukannya lagi; kedua, memiliki tujuan


tertentu, seperti membuat perilaku tandingan yang dapat menjadi trend setter;
ketiga, ingin seperti sosok yang diidolakannya.
Perilaku remaja laki-laki feminin ini berpeluang menjadikan mereka LGBT.
Sikap yang ditunjukkan dan diperkuat dengan tindakan menjadikan mereka
memiliki perasaan lembut seperti perempuan. Ketertarikan terhadap perilaku
yang lemah lembut akan menjauhkan mereka dari perilaku maskulin yang tegas
dan berwibawa tanpa disadarinya. Sella menemukan remaja yang melakukan
imitasi terhadap perilaku dalam sebuah film drama Korea tidak menyadari
sudah mengaplikasikan apa yang dilihat ke dalam kehidupan sehari hari.101
Pada usia pubertas, remaja mulai mengembangkan kapasitas social skillnya.
Eksplorasi terhadap lingkungan sosial tidak lagi terbatas pada lingkup keluarga
atau teman akrab saja. Peer group102 dalam relasi antara remaja membentuk rasa
empati atau simpati kepada sesama teman. Di sini remaja mulai memiliki
kecenderungan menyukai temannya baik yang sejenis maupun teman yang
berlawanan jenis. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan afeksi remaja
semakin berkembang dengan baik.
Kondisi demikian baik untuk perkembangan kesehatan psikologis remaja,
akan tetapi jika remaja yang sejak lama terpapar tayangan aksi LGBT dapat
berubah persepsinya dari empati kepada teman menjadi perasaan kasih sayang
yang berlebihan.

Penutup
Perbedaan prinsip tentang kenormalan LGBT tetap akan menjadi perdebatan
panjang. Penentuan normal tidaknya LGBT tentunya dipengaruhi oleh bergam
aspek yang mengitarinya, seperti aspek sosiologis, demografis, politik dan adat
istiadat setempat. Meskipun pada akhirnya secara psikologis kita mengakui dan
memahami keberadaan mereka dengan kondisi yang berbeda, bukan berarti kita
juga akan menerima dan membiarkannya melakukan propaganda kepada anak
anak generasi penerus bangsa.
Atas dasar menghargai Hak asasi manusia, maka propaganda yang
dilakukan oleh kaum LGBT harus dihentikan. Jikapun kita tidak mampu
menghentikannya, berusaha untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari
pengaruh buruk paparan aksi LGBT adalah hal yang wajib dilakukan.

Daftar Pustaka
Baron, R dan Byrne, D, Psikologi Sosial, Alih bahasa: Ratna Juwita, (Jakarta:
Erlangga), 2003.

101 Analisa Perilaku Imitasi Di Kalangan remaja Setelah Menonton Tayangan Drama Seri

Korea, Journal Ilmu Komunikasi, 1 (3), Hal. 66-80. 2013.


102 Peer group adalah kelompok teman sebaya yang dimiliki remaja. Biasanya

beranggotakan lebih dari 3 orang, bisa berjenis kelamin sama atau berjenis kelamin yang berbeda.
Peer group dapat terbentuk karena kesamaan hobi, pandangan, misi atau kesamaan nasib.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

48
Zusy Aryanti Faktor Penyebab Terjadinya...

Byrd, A. Dean dan Stony olsen, Homosexuality: innate and Immutable


Dwi Pranata, Perilaku dan Realitas Sosial Kehidupan Gay di Kota Samarinda,
Ejournal Sosiatri-Sosiologi, 3, (3): 135-150.
Fahira Idris, Ketua Umum yayasan Anak Bangsa dan Mandiri,
www.islamedia.id. Diunduh tanggal 8 Maret 2016.
Hornby, English Oxford Dictionary,Oxford University Press, 2004.
Kartono, K, Psikologi Abnormal dan Patologi Seks, (Bandung: Alumni), 1985.
Khilman Rofi Azmi, Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling, vol 1 Nomor 1
Juni 2015. ISSN 2443-2202. Diunduh Tanggal 20 Februari 2016.
Kuswana, W, S., Biopsikologi, Pembelajaran Perilaku, (Bandung: Alfabeta), 2014.
Nolen Hoeksema, Gender Differences in Depression. Current Directions in
Psychological Science, 10, 173-176, New; Prentice Hall, 2001.
Oetomo, D, Memberi Suara pada yang Bisu, (Yogyakarta: Galang Press), 2001.
Papalia, Old dan Feldman, Humant Development, (McGraw Hill), 2008.
Sella, Analisa Perilaku Imitasi Di Kalangan remaja Setelah Menonton Tayangan
Drama Seri Korea, Journal Ilmu Komunikasi, 1 (3): 66-80. 2013.
Sukanto, S, Sosiologi sebagai Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosda Karya),
2004.
www.Wikipedia, 2010
www.sindonews.com diunduh pada 26 Februari 2016.
https://www.selasar.com, diunduh tanggal 01 Maret 2016

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

49
MEMBENDUNG WACANA TENTANG KEBEBASAN DAN HAK ASASI
MANUSIA BAGI PENYIMPANGAN SEKSUALITAS DENGAN HUKUM
DAN AGAMA

Dalmeri
Dosen Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
dalmeri300@gmail.com

Abstract
After the discourse topic of politics, economics, and advanced law, sensual images in the
mass media also becomes such a source of national debate in recent period. The problem is
increasingly prominent with definitive arguments about the boundaries between
pornography and artistic manifestation of the soul. The case appears when the Polices are
busy looking for articles for the appointment of this issue as a the legal case, a chief editor
who snagged this case would rationalize the cover of 'beautiful' magazine as an
embodiment of appreciation to the maker of beauty. Although, the impressed by the feel of
greatness in the expression editor in chief is, essentially it was nothing more than a
pretext or an absurd religious jargon, put forward by someone with the function of
cognition and conscience that experienced the deviation. This current paper aims to
explaine the relevance of discourse about sexuality and the Law about adultery that will
be reviewed from the perspective of forensic psychology.
Key word: Divergence of Sexuality, Erotism, Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender

Pendahuluan
Silang pendapat mengenai gambar-gambar pronografi atau tindakan
pornoaksi bahkan penyimpangan seksualitas di media massa diduga akan tetap
bertahan sebagai sesuatu yang kontroversial. Seksualitas yang dimaksud disini
memiliki makna yang luas yaitu sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi
konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan identitas
gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman dan reproduksi.
Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat,
kepercayaan ataupun nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan.
Meski demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau
diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis,
psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual. Pada dasarnya,
terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling berseberangan, yaitu
antara kelompok yang mendasarkan pemikiran tentang seksualitas pada aliran
esensialism, dan kelompok yang lain pada social constructionism. Hal ini
dikarenakan lebih dominannya proses internal ketimbang proses eksternal
dalam sebuah proses pertukaran pesan. Konsep teoritis ini dijabarkan oleh David
E. Hunt dan Edmunt V. Suvillivan dalam buku Between Psycology and Educations
yang menyatakan bahwa: “Gambar-gambar perempuan di media massa pada
dasarnya merupakan stimulus netral belaka (proses eksternal), sementara pada
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

tahap selanjutnya penginterpretasian serta penilaian atas pose-pose tersebut


lebih ditentukan oleh proses psikologis internal masing-masing individu dengan
melibatkan mainframe yang berbeda satu sama lain. Akibatnya, setiap orang
memiliki tanggapan dan argumentasi yang khas terhadap fenomena ini103.
Kendati perspektif psikologi seolah membuka ruang bagi semaraknya
erotisme dan sensualitas bahkan di media massa. Bahkan saat ini, tidak banyak
media yang memberitakan isu lesbian, gay, bisex, transgender dan intersex
(LGBT). Apalagi menurunkan berita dengan memberikan gambaran lebih
berimbang, dan positif tentang kelompok yang beragam dari sisi gender ini,
namun reaksi negatif yang muncul terhadap gambar-gambar tentang LGBT
tersebut merefleksikan betapa sekat pembatas antara baik dan buruk dalam
masyarakat sudah mulai memudar.
Terjadi disturbansi pada nilai-nilai tradisi yang berhubungan timbal balik
dengan perubahan kebiasaan perilaku masyarakat. Cooper Worchel dalam buku
Study Guide to Accompany Understanding Social Psychology berpendapat bahwa
keberadaan kelompok masyarakat yang belum siap―atau bahkan tidak
mentoleransi sama sekali―akan realita ini, menjadi perlambang relativitas dalam
mendefinisikan “ideal as social norms.”Sehingga, permasalahan tidak berkutat
pada terminologi “pornografi” dan “artistik” semata. Lebih krusial lagi,
ketidakharmonisan hubungan antar standar norma serta signifikansi perbedaan
tingkatan adaptasi antar kelompok sosial merupakan sirene bahaya
berlangsungnya krisis dalam masyarakat.
Tak pelak, foto-foto perempuan berbusana minim memunculkan ekses
bangkitnya hasrat seksual para pemirsanya, termasuk LGBT. Barangkali karena
mengandung unsur seks, seseorang dapat mengkomparasikan fenomena seksual
tersebut dengan fungsi-fungsi seksualitas yang berada dalam koridor kepatutan.
Fungsi perilaku seksual pertama adalah prokreasi, yakni aktivitas seksual
ditujukan guna menjaga kesinambungan generasi atau keturunan. Kedua,
tingkah laku seksual sebagai pemenuhan intimacy, yaitu keterdekatan secara
psikis. Ketiga, fungsi rekreasi bermakna bahwa kegiatan seksual sebagai upaya
memperoleh kesenangan fisik. Keempat, relasi seksual berkedudukan untuk
melegitimasi pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Kelima, karena
kehidupan manusia adalah sebagai khalifah dan untuk mencapai rahmat dari
Tuhan yang menciptakan manusia, maka semua tindak-tanduk termasuk seks
didarmabaktikan sebagai ibadah.104
Penting untuk digarisbawahi bahwa citra kepatutan kelima fungsi tersebut
hanya terkristalisasi dalam ikatan suami isteri yang sah melalui perilaku
seksualitas yang normal serta tidak menyimpang. Berdasarkan hal tersebut,

103 Hunt & Edmund, Between Psychology and Education. Illianois: The Dryden Press, 1974,
hal. 86
104 Berkowitz,The Development of Motives and Values in the Child. New York: Basic Books.

1983, hal.127
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

51
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

terlihat secara kontras, realita seksual di media massa ternyata hanya memenuhi
fungsi seks sebagai rekreasi. Dengan demikian, justifikasi terhadap fenomena
yang semata-mata rekreatif tersebut hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
benar-benar bersemayam dalam pola hidup hedonistis.
Meskipun melibatkan orang-orang yang secara lahiriah tergolong dewasa,
namun nuansa hidup hedonistis menurut Victor Frankl merupakan stereotip
kepribadian masa kanak-kanak. Tindakan pengeksposan tubuh yang dilakukan
seraya menihilkan kapasitas mental berupa kecerdasan, mencerminkan fiksasi
ataupun regresi ke suatu periode perkembangan awal, yaitu saat organisme
tidak memandang dirinya sebagai entitas fisik dan mental melainkan sebagai
unit lahiriah yang terpisah dari komponen batiniah.
Fokus perhatian tidak semestinya diarahkan hanya kepada media massa
dan para foto model, karena pada kenyataannya sebagian masyarakat justru
memberikan respon yang positif terhadap bentuk-bentuk penampilan gambar
erotis yang disajikan media massa. Tetapi perlu juga untuk membuat regulasinya
dalam bentuk perundang-undangan agar semuanya dapat diatur, sehingga tidak
semua orang bisa mengabaikan dan melihatnya secara gamblang terutama oleh
anak-anak sebagai generasi penerus bangsa ini di masa yang akan datang

Maraknya Penyimpangan Seksualitas Dewasa Ini


Di tengah-tengah gencarnya gelombang reformasi nasional, fenomena
erotisme di media massa mengindikasikan adanya sebuah desakan yang kuat
agar publik mengalihkan perhatiannya ke objek yang berbeda. Dari sudut
pandang psikososial, adalah logis bahwa pengalihan energi ini merupakan
konsekuensi betapa isu-isu reformasi yang dihadapi khalayak selama ini telah
berangsur-angsur kehilangan greget substansialnya. Diperburuk oleh berbagai
kesulitan yang menghimpit, pemindahan energi berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan diri yang dilakukan oleh individu untuk beradaptasi terhadap
lingkungan yang tak lagi menyenangkan (unsatisfying state affair).
Hubungan yang sifatnya heterogen atau antar lawan jenis merupakan
hubungan yang bersifat normal, namun dalam realitas kehidupan sosial manusia
ada individu yang justru cenderung menyukai hubungan sejenis, yang
kemudian dianggap abnormal. Berbicara tentang abnormalitas seksual, kondisi
abnormal terjadi karena individu manusia ada yang memiliki kecenderungan
perilaku seks menyimpang atau memiliki orientasi seksual menyimpang seperti
misalnya lebih menyukai pasangan sejenis yang lebih dikenal di masyarakat
dengan istilah homoseksual.
Euphoria reformasi atau lebih spesifik; euphoria politik―bertransformasi
menjadi kevakuman yang diikuti apatisme, bahkan frustrasi massal. Dinamika
psikologis ini adalah efek kondisi (berkesan) stagnan pada gerakan reformasi,
digantikan oleh atmosfer perseteruan perebutan kekuasaan. Kuantitas atau
frekuensi berita-berita politik memang terus meninggi, tetapi kualitas atau
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

52
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

intensitasnya menurun. Alhasil, karena hakekat manusia adalah menjaga kondisi


homeostatis internal, maka displacement ke hal-hal berbau seksual, melalui proses
alam bawah sadar, ditujukan untuk mereduksi situasi konfliktif tersebut105.
Dengan kata lain, masyarakat setahap demi setahap mengisolasi diri
mereka dari segala aspek yang berkaitan dengan kancah reformasi nasional. Pola
adaptasi ini bersifat semu, karena semata-mata dimaksudkan untuk meredakan
tekanan emosional (emotional focused coping), bukan pada pemecahan masalah
sejati (problem focused coping).106
Mengapa perempuan yang menjadi objek displacement? Sukar dipungkiri,
hal ini merupakan manifestasi masih ditempatkannya perempuan sebagai warga
masyarakat „kelas dua‟. Perempuan cenderung dicitrakan dari masa ke masa
sebagai dayang-dayang, laksana tetes hujan sehari yang ditugasi menghapus
panas setahun. Ini artinya, dibalik segala ungkapan yang mengidentikkan
perempuan sebagai keindahan, tersirat perlakuan manipulatif yang
mensubordinasi perempuan tak lebih dari sekadar objek107.
Fenomena erotisme di media massa hanya salah satu bentuk deviasi
intelektual, di samping perjudian, fanatisme irasional lewat cap jempol darah,
dan lain sebagainya, yang melanda masyarakat dewasa ini108. Karena itu,
langkah pertama, trend menyimpang ini hanya dapat ditanggulangi jika arah
reformasi dapat diluruskan kembali. Adalah penting bagi para elit bangsa ini
untuk menyadari, bahwa pertikaian di lingkaran pusat perpolitikan nasional
niscaya akan semakin distortif pada saat mencapai lingkaran tepi yang berisikan
common people. Bagi para awam, hal ini sungguh-sungguh menguras energi psikis
mereka.
Langkah kedua. Kita tentu mafhum, bangunan bangsa ini tidak mungkin
berdiri tegak tanpa pilar-pilar yang kokoh. Dan “keretakan tiang-tiang penegak”
itu menegaskan kembali sebuah agenda nasional yang mungkin tersisih:
pemberdayaan perempuan. Meski di era reformasi ini justru berjalan
terbalikbahkan tidak jarang menistakan perempuan untuk hal-hal yang berbau
seksualitas seperti: perzinaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan berbagai
pelecehan bahkan penyimpangan seksualitas lainnya.
Homoseksual misalnya merupakan bentuk abnormalitas seksual dan kerap
dianggap melanggar norma serta kaidah sosial yang berlaku di masyarakat. Di
Indonesia sebagian besar masyarakat belum bisa menerima keberadaan kaum
yang memiliki orientasi atau perilaku seksual menyimpang seperti homoseksual.
Pada masa lalu kelompok ini memilih sikap menutup diri dan enggan kehidupan

105 Allport, Becoming: Basic Considerations for a Psychology of Personality. New York: Yale

University Press, 1975, hal. 132


106 Eric, Games People Play: The Psychology of Human Relationships. New York: Grove Press.

1967, hal.91
107 Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, New York: An Owl Book. 1992, hal. 87
108 Ibid, hal. 27

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

53
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

seksualnya terungkap. Selain itu, masih banyak pula diantara mereka yang malu
jika penyimpangan tersebut diketahui anggota keluarganya dan sebaliknya
masih ada keluarga yang menggangap jika memiliki anggota keluarga yang
memiliki oreintasi atau perilaku seksualnya menyimpang merupakan aib bagi
keluarga. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, kaum homoseksual
lebih agresif dan ekspresif dalam melakukan hubungan sejenis. Selain itu mereka
juga mudah ditemui di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, bar,
nightclub, fitness center, café dan lain-lain.
Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi
seksual, bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum
heteroseksual-homoseksual. Konsensus ilmu-ilmu perilaku dan sosial dan juga
profesi kesehatan dan kesehatan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas
adalah aspek normal dalam orientasi seksual manusia. Homoseksualitas
bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif;
prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksual-lah yang menyebabkan
efek semacam itu. Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan organisasi
"mantan-gay" serta beberapa asosiasi psikologi yang memandang bahwa
kegiatan homoseksual adalah dosa atau kelainan. Bertentangan dengan
pemahaman umum secara ilmiah, berbagai sekte dan organisasi ini kerap
menggambarkan bahwa homoseksualitas merupakan "pilihan".
Homoseksual terdiri dari gay yaitu laki-laki yang secara seksual tertarik
terhadap laki-laki dan lesbi adalah perempuan yang secara seksual tertarik
terhadap perempuan. Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik gay maupun
lesbi membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi sikap
negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbian.
Hal ini disebabkan karena keberadaan kaum gay lebih teramati dan terlihat
dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat semakin bersikap negatif
dengan harapan mereka hilang dari kehidupan sosial.
Perkembangan jumlah homoseksual di Indonesia tiap tahunnya
bertambah. Data statistik menunjukkan 8-10 juta populasi pria di Indonesia pada
suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual. Dari jumlah ini, sebagian masih
aktif melakukannya. (Kompas Media Cyber, 2013). Hasil survey YPKN (Yayasan
Pendidikan Kartini Nusantara) menunjukkan, ada 4000 hingga 5000 penyuka
sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari
enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Angka-angka itu belum
termasuk kaum homo di kota-kota besar lainnya. Dr. Dede Oetom, aktivis gay
dan telah hidup selama 18 tahun dengan pasangan homonya, memperkirakan
secara nasional jumlahnya mencapai 1% dari total penduduk Indonesia.
(Gatra,2003).
Berdasarkan hasil survey Kementerian Kesehatan di 13 kota di Indonesia
yang dilakukan sejak 2009 hingga 2013, tercatat pria yang bercinta dengan
sesama jenis meningkat drastis. Nafsiah Mboi, Menkes di Pemerintahan Susilo
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

54
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

Bambang Yudhoyono, saat temu media di Kantor Kementerian Kesehatan,


Jakarta, Kamis (24/4/2014). Menjelaskan bahwa “Pada 2009 laki-laki yag
berhubungan seks dengan laki-laki meningkat dari 7 % menjadi 12,8 % pada 2013
atau meningkat 83 persen, jelas Data serupa juga ditujukkan Menkes lewat
survei sebelumnya yang dilakukan di 20 kota dari 2007-2001. Menurut Menkes,
dalam survei tersebut, jumlah laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki
juga meningkat dari 5,3 % menjadi 12,4 % atau sekitar 134 persen”.
Banyak individu gay dan lesbian memiliki komitmen hubungan sesama
jenis, meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum/politik yang
mempermudah enumerasi dan keberadaan mereka. Hubungan ini setara dengan
hubungan heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis. Hubungan dan
tindakan homoseksual telah dikagumi, serta dikutuk, sepanjang sejarah,
tergantung pada bentuknya dan budaya tempat mereka didapati. Sejak akhir
abad ke-19, telah ada gerakan menuju hak pengakuan keberadaan dan hak-hak
legal bagi orang-orang homoseksual, yang mencakup hak untuk pernikahan dan
kesatuan sipil, hak adopsi dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan
pelayanan militer, dan hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan.

Menggugat Relevansi Perlindungan Hak Asasi Manusia


Wacana tentang pentingnya pencantuman pelarangan terhadap perzinaan
di dalam pasal-pasal revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terus
bergulir. Pihak-pihak yang menolak pencantuman pasal kesusilaan pada
umumnya melandaskan pandangan mereka pada keyakinan bahwa hukum
masih acap kali tersubordinasi oleh politik. Mereka mensinyalir adanya kekuatan
dari kelompok Islam yang ingin memasukkan pengaruh ajaran agama ke dalam
revisi KUHP. Lebih lanjut, kendati terkesan religius, inisiatif tersebut diyakini
lebih sarat akan kepentingan politik, khususnya menjelang Pemilu 2004.
Argumentasi di atas tidak selaras dengan kenyataan bahwa semua
agama―baik mayoritas maupun minoritas―tidak ada yang membenarkan
perzinaan dan perkawinan sesama jenis kelamin (PSJK). Dengan demikian,
logika paranoia dari para penentang pasal kesusilaan, dalam penilaian penulis,
tidak saja mendemonstasikan kembali kesinisan terhadap “umat beragama
mayoritas,” namun bahkan alergi terhadap masuknya nilai-nilai agama maupun
ke dalam bangunan hukum nasional.
Guna mengukur wajar tidaknya aktivitas seksual, seperangkat nilai yang
ada pada relasi seksual dapat dijadikan sebagai parameter. Pertama, nilai
prokreasi, bahwa hubungan seksual ditujukan untuk menghasilkan keturunan.
Kedua, nilai rekreasi, yakni kontak seksual merupakan kegiatan memperoleh
kesenangan. Ketiga, nilai keintiman, mengandung makna bahwa intercourse tidak
hanya melibatkan unsur badaniah, melainkan mencakup pula unsur batiniah.
Keempat, nilai legitimasi, bahwa hubungan seksual merupakan bentuk penegasan
terhadap keabsahan ikatan perkawinan. Dan, kelima, nilai ibadah, yaitu sebagai
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

55
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

manifestasi pelaksanaan perintah Tuhan tentang pentingnya kasih dan


pemeliharaan antara suami dan istri.
Berdasarkan kelima nilai di atas, perzinaan ternyata hanya memenuhi nilai
kedua, dan sama sekali tidak mengikutsertakan nilai-nilai lainnya. Kedangkalan
seksualitas yang dipraktikkan dengan berpegang hanya pada nilai rekreasi,
dalam pandangan penulis, merefleksikan sebuah gaya hidup hedonistis.
Membandingkannya dengan tingkah laku seksual binatang, perzinaan nyata-
nyata menunjukkan realita yang tragis. Alasannya, pada binatang, kontak
seksual merupakan sebuah aktivitas dengan orientasi jangka panjang. Sedangkan
pada perzinaan, pilihan untuk melakukan intercourse di luar ikatan pernikahan
merupakan indikasi bahwa para pelakunya menghindari adanya konsekuensi-
konsekuensi fisik, dan sosial yang lebih serius.
Argumentasi segelintir pihak yang memberikan angin kepada kaum
homoseksual, pun tidak begitu kuat. Kecendrungan seksual pada sesama jenis
memang dapat disebabkan oleh faktor bioseksual, misalnya kelainan pada
hipotalamus (bagian otak yang berfungsi sebagai regulator perilaku seksual).
Namun, hal ini tidak perlu dibesar-besarkan, karena faktualnya prevalensi gay
dan lesbian yang disebabkan oleh faktor bioseksual sangat tidak signifikan.
Etiologi utama homoseksualitas tetap didominasi oleh kausa psikologis
dan psikososial, yakni interaksi antara individu dengan individu lain dan
lingkungannya. Hingga saat ini, terdapat banyak metode yang bisa dipraktikkan
guna memodifikasi kedua faktor tersebut. Ditambah lagi dengan tidak adanya
agama yang memperkenankan homoseksualitas, maka pada dasarnya para
homoseks bukanlah segerombolan manusia bermasalah yang hidup tanpa
altenatif solusi.
Permasalahan yang muncul adalah, pertama, apakah para homoseksual
mau mengakui bahwa mereka selama ini hidup sebagai individu yang
berkelainan. Konsekuensi pengakuan itu, para homoseksual dituntut membuka
diri terhadap alternatif solusi yang sebenarnya sudah sangat banyak agar pada
akhirnya mampu memilih bentuk relasi seksual yang sesuai dengan norma yang
berlaku di tengah masyarakat. Ataukah, kedua, apakah para homoseksual
menyerah pada keabnormalan diri seraya ingkar pada suratan illahi?
Penolakan terhadap usulan dikenakannya hukum pidana bagi para pezina
dengan dalih tidak adanya korban, layak untuk diperdebatkan. Dengan
menghilangkan atau menyampingkan pengaruhnya ke masyarakat luas tentu
dapat dianadaikan bahwa tindak perzinaan hanya membawa konsekuensi bagi
para pelaku dan keluarga terekat mereka.
Aib yang ditanggung keluarga pezina (kerugian sosial), penyakit kelamin
akibat sering berganti pasangan dan yang lahir maupun keguguran sebagai
akibat perzinaan (kerugian fisik), serta perasaan bersalah dan menyesal
(kerugian psikologis), tidak sewajarnya dinafikan begitu saja. Meskipun „hanya‟

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

56
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

melibatkan pelaku dan keluarga terdekat, ketiga kerugian tersebut merupakan


risiko paripurna yang, celakanya, berdampak lebih besar terhadap kaum hawa.
Dengan demikian, pemberlakuan pasal pelanggaran terhadap perzinaan
tidak hanya bermanfaat untuk mencegah timbulnya kerugian seperti tercantum
di atas, tetapi juga dalam rangka memberi perlindungan ekstra kepada para
perempuan. Hal ini tidak dapat diartikan bahwa hanya perempuan yang
dirugikan, sementara para pelaku perzinaan yang berjenis kelamin laki-laki tidak
termasuk sebagai pihak yang merugi. Kedua jenis kelamin sama-sama menderita
kerugian. Hanya saja, menyadari masih adanya standar ganda yang ditetapkan
masyarakat saat menilai aktivitas seksual laki-laki dan perempuan (laki-laki yang
bergonta-ganti pasangan dijuluki pria penakluk glorious, sementara perempuan
yang melakukan hal yang sama digelari wanita murahan notorious), perempuan
tak pelak harus mengalami sanksi yang berlipat ganda ketimbang laki-laki.
Meski begitu, ketika sekelompok tokoh masyarakat menyebut pasal
kesusilaan sebagai “pasal-pasal aneh,” penulis justru melihat sebaliknya.
Merujuk pada realita tentang hukum yang tersubodirnasi politik dan wibawa
institusi hukum nasional yang tergadai, maka sesungguhnya bukan pasal-pasal
kesusuilaan yang aneh. Adalah realita kemasyarakatan kita yang jauh dari
normal.
Nah, menyadari adanya seabreg keanehan di dalam realita
kemasyarakatan itu, bukanlah hukum yang berjiwa agamis―mayoritas dan
minoritas tidak relevan di sini yang dapat dijadikan sebagai salah satu obat
penawar? Dengan kata lain, pada saat keadaan sudah sedemikian babak belur
sekalipun, tetap tidak boleh ada kata menyerah bagi segala ikhtiar yang
ditujukan untuk meluruskan kehidupan umat manusia.
Perilaku sosial menyimpang terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal, secara internal kondisi pskologis informan dan orientasinya
terhadap sesama jenis menjadi pemicu seseorang menjadi gay, sedangkan faktor
eksternal bisa disebabkan karena lingkungan atau hal-hal yang membekas secara
mendalam seperti misalnya mendapatkan perlakukan tidak senonoh di masa
kecil (menjadi korban pedofilia)
Hampir semua informan memiliki ketakutan jika perbuatan atau perilaku
menyimpang mereka diketahui orang tua atau keluarga terdekat. Sejauh ini
informan berusaha menutupi jati dirinya dan berupaya agar hanya orang
tertentu saja yang mengetahui penyimpangan perilaku mereka. Realitas seperti
menunjukkan bahwa gay masih bersikap eksklusif dan tertutup dalam hal
mengekspresikan perilaku mereka, meskipun ada yang berani secara terbuka
menunjukkan ekspresi di depan umum, jumlah mereka tidak terlalu banyak
sebab mereka masih terikat dengan norma perilaku yang berlaku di masyarakat.
Respon masyarakat umumnya tidak mereka perdulikan atau dengan kata
lain gay tidak terlalu kuatir akan anggapan masyarakat. Selama individu dalam

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

57
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

masyarakat tersebut secara personal bukan orang yang memiliki relasi langsung
dengan individu yang bersangkutan.
Latar belakang keluarga informan umumnya berasal dari keluarga baik-
baik dan relatif memberikan perhatian kepada informan, meskipun demikian hal
tersebut tidak memberi jaminan bahwa individu tersebut dapat bebas
mengumbar perilaku mereka di depan umum, justru karena kondisi tersebut
mereka takut jika perilaku sosial mereka yang menyimpang diketahui oleh
keluarga atau kerabat dekat.
Semua informan memiliki keinginan yang sama untuk memperbaiki diri
atau membebaskan diri dari perilaku seksual menyimpang sebagai gay namun
kendala utama mereka membebaskan diri adalah sikap pesimis atau kurang
yakin akan hasrat mereka untuk sembuh total, bahkan ada kecenderungan
mereka semakin menenggelamkan diri mereka pada kebiasaan atau perilaku
menyimpang tersebut, karena hasrat dan kebutuhan biologis dan psikologis
mereka terpenuhi.
Terkait dengan aktivitas sosial kemasyarakatan para informan dapat
melakukan aktivitas sebagaimana masyarakat pada umumnya, sebagian
masyarakat yang tidak tahu menganggap perilaku mereka normal, dan mereka
dapat dengan mudah diterima dan beradaptasi serta bersosialisasi dengan
masyarakat lainnya.

Melihat Urgensi Pasal-Pasal Kesusilaan Dalam Revisi KUHP


Ada argumentasi yang dikemukakan mengenai pentingnya pasal-pasal
kesusilaan yang melarang perzinaan maupun penyimpangan seksualitas
dipandang akan mendemonstrasikan intervensi negara terhadap urusan pribadi
setiap anggota masyarakat. Argumentasi ini agaknya didasarkan pada sebuah
imajinasi kecemasan, yakni pasal-pasal kesusilaan akan bekerja dengan
memunculkan efek ketakutan di kalangan publik. Para penolak pasal kesusilaan
khawatir bahwa masuknya otoritas negara ke dalam urusan privat akan
membuka kembali peluang bagi aparat penegak hukum untuk bertindak-tanduk
represif seperti di masa silam. Sehingga, keengganan berurusan dengan aparat
penegak hukum, diyakini para penentang pasal kesusilaan, merupakan alasan
utama bagi siapapun untuk kemudian menaati usulan pasal-pasal tersebut.
Hukum memang tergantung pada penafsiran masing-masing individu.
Kendati tidak keliru, prasangka yang diwarnai imajinasi kecemasan bermula dari
penyederhanaan yang berlebihan (oversimplification) dalam memahami fungsi
hukum. Benar, bahwa hukum dapat beroperasi secara represif, sekaligus kuratif,
dengan mengetengahkan watak ala algojo. Karena hukum semacam ini
memburu individu-individu yang telah melanggar kesepakatan sosial, hukum
tak ubahnya proses balas dendam yang terinstitusionalisasi.
Walaupun demikian, seandainya fungsi hukum tidak ditelaah secara
parsial, publik seyogianya juga paham bahwa hukum juga dapat berfungsi
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

58
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

sebagai pendidik. Hukum sebagai pranata edukatif tidak ditujukan sebagai


sebuah instrumen yang bekerja setelah berlangsungnya sebuah tindak
kriminalitas (post event), melainkan berfungsi sejak dini sebelum aksi kejahatan
itu sendiri terjadi (pre event). Fungsi edukatif akan menempatkan hukum sebagai
alat kontrol dengan membangkitkan akal sehat masyarakat, sehingga mereka
akan mempertanyakan berbagai alasan yang menjadi dasar bagi pasal-pasal
kesusilaan tersebut ketika melarang tingkah laku tertentu.
Ada segelintir kelompok masyarakat yang menentang pasal kesusilaan
agaknya telah salah kaprah dalam mengkategorikan perzinaan sebagai sebuah
aktivitas privat yang tidak sewajarnya diintervensi oleh negara. Hubungan
seksual pada dasarnya memang kegiatan pribadi, namun istilah “perzinaan”
muncul sebagai pencerminan adanya ketidakwajaran dalam aktivitas pribadi
tersebut.
Jadi dapatah dipahami bahwamenjadi suatu keniscayaan bagi publik untuk
mempertanyakan komentar seorang tokoh perempuan yang turut bergabung ke
dalam barisan kecil para penolak pasal-pasal kesusilaan. Komentar negatifnya
terhadap usulan pencantuman pasal kesusilaan dalam revisi KUHP, seolah tidak
dijiwai oleh reputasinya yang terlanjur disebut sebagai aktivis perempuan.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengandaian yang menihilkan dampak
perzinaan terhadap masyarakat adalah dipaksakan. Alasannya, merujuk ke
berbagai studi mutakhir, ditemukan bahwa dinamika relasi seksual masyarakat
perkotaan dan pedesaan di Indonesia dewasa ini ternyata tidak jauh berbeda.
Kedua kelompok komunitas ini menunjukkan gaya hidup yang semakin tak
semenggah dalam hal seksualitas. Alhasil, dengan berpijak pada teori klasik
tentang fenomena belajar sosial (social learning theory), temuan tentang kesamaan
perilaku seksual-bebas di kota dan desa sepatutnya sanggup memancing
keluarnya keringat dingin di tengkuk publik.

Penutup
Sebagai penutup dari uraian yang telah dikemukakan di atas, ketika
sekelompok tokoh masyarakat menyebut pasal kesusilaan sebagai “pasal-pasal
aneh,” penulis justru melihat sebaliknya. Merujuk pada realita tentang hukum
yang tersubordinasi politik dan wibawa institusi hukum nasional yang tergadai,
maka sesungguhnya bukan pasal-pasal kesusilaan yang aneh, melainkan adanya
realita yang terjadi di tengah masyarakat pasca reformasi sekarang ini yang jauh
dari normal.
Menyadariadanya seabreg keanehan di dalam realita kemasyarakatan itu,
bukankah hukum yang berjiwa agamis mayoritas dan minoritas tidak relevan di
sini―dapat dijadikan sebagai salah satu obat penawar? Dengan kata lain, pada
saat keadaan sudah sedemikian babak belur sekalipun, tetap tidak boleh ada kata
menyerah untuk segala ikhtiar yang ditujukan untuk meluruskan kehidupan
umat manusia.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

59
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

Daftar Pustaka
Allport, Gordon W. (1975). Becoming: Basic Considerations for a Psychology of
Personality. New York: Yale University Press.
-- (1958). The Nature of Prejudice. New York: Doubleday & Company.
Aziz, Robert, E. (1990). Psychology of Religion and Synchronicity. New York: State
University of New York Press.
Berne, Eric. (1967). Games People Play: The Psychology of Human Relationships. New
York: Grove Press.
Berkowitz, Leonard. (1983).The Development of Motives and Values in the Child.
New York: Basic Books.
-- (2005). Agresi: Sebab dan Akibatnya, terj. Hartanti W. Susianti. Jakarta:
Pustaka Binaman Pressindo.
Bickman, Leonard. (1981). Applied Social Psychology Annual. London: Sage
Publication.
Deutsch, Morton and Robert M. Krauss. (1965).Theories in Social Psychology. New
York: Basic Books.
Essig, S.M., Mittenberg, W., Petersen, R.S., Strauman, S., & Cooper,
J.T.(2001).“Practices in forensic neuropsychology: Perspectives of
neuropsychologists and trial attorneys,” dalam Archives of Clinical
Neuropsychology, 16. 2001.
Feldman, Phillip M. (1996).An Overview and Comparison of Demand Assignment
Multiple Access, DAMA: Concepts for Satllite Communications Networks. Santa
Monica: RAND.
Fromm, Erich. (1992).The Anatomy of Human Destructiveness. New York: An Owl
Book.
-- (1967).Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics. New York:
Fawcett World Library.
-- (2000).The Art of Loving. New York: Perennial Clasic.
Freud, Sigmund. (1968).A General Introduction to Psychoanalysis. New York:
Washington Square Press.
-- (2002).Peradaban dan Kekecewaan-kekecewaan. Yogyakarta: Jendela.
-- (2001).Totem dan Tabu. Yogyakarta: Jendela.
Hahn, John F. (1964).Algemene Psychologie. Utretch; Prisma-Booken.
Hare, R.D. (1999).Without Conscience. New York: Guilford Press.
-- (2003). “Psychopathy and Antisocial Personality Disorder: A Case of
Diagnostic Confusion,” dalam Psychiatric Times, 13 (2). Lihat
http://www.psychiatric-times.com.
Henry, S. (2003). “On the effectiveness of prison as punishment.” Paper
presented at the Conference: Incarceration Nation: The Warehousing of
America‟s Poor. South Bend, Indiana: Ivy Tech State College. 24 Oktober
2003.
Hunt, David E. & Edmund V. Sullivan. (1974). Between Psychology and Education.
Illianois: The Dryden Press.
Kohler, Wolfgang. (1970).Gestalt Psychology: An Introduction to New Concepts in
Modern Psychology. New York: Liveright.
Narine, Shaun. (2004).Humanitarian Intervention and the Question of Sovereignty:
The Case of ASEAN. Ontario: Cancaps.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

60
Dalmeri Membendung Wacana Tentang...

Purwoadi, Santoso.2003. “Kontroversi Pasal-pasal Susila dalam KUHP Baru”


dalam Sinar Harapan. 11 Oktober 2003.
Thorndike, Robert L. (1961).Measurement and Evaluation in Psychology and
Education. New York: John Willey.
Wood, D. (2003).What is a Psychopath?. Lihat http://www.mental-health-
matters.com/articles/ article.php?artID=292.
-- (1997).No Slide Title. Lihat http://www-psychology.concordia.ca/
fac/Laurence/ forensic/insanity.ppt
Zapf, P.A., Roesch, R., & Viljoen, J.L. (2001). “Assessing Fitness to Stand Trial:
The Utility of the Fitness Interview Test,” dalam Canadian Journal of
Psychiatry, 46. 2001.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

61
FENOMENA LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER (LGBT) DI
INDONESIA DAN UPAYA PENCEGAHANNYA

Yudiyanto
STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
yudiyudi0222@gmail.com

Abstract
The growth the actors of LGBT in Indonesia highly increases. During 2009 – 2012, it is
calculated that the growth increases 37%. The increasing also follows the escalating of the
access of internet, phornography, drugs and the existence of the number of LGBT
communities. Despite the biological factor, the influence of close environment particularly
family, friend, sexual violence, the contents of phornography and drugs are alerted as the
cause of LGBT. In protecting the current case of LGBT, it needs the role of parents or
familiy in the basic sex education correctly ( islami ) based on the growth common sense
of the children in giving the understanding and building the sexual behaviour as the
aptitude.
Key Words: Phenomenon of LGBT, Preventing

Abstrak
Pertambahan jumlah pelaku LGBT di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam
kurun waktu antara tahun 2009 sampai dengan 2012 diperkirakan mengalami
peningkatan sebesar 37%. Peningkatan tersebut juga diikuti peningkatan akses internet,
pornografi, narkoba dan munculnya banyaknya organisasi gerakan LGBT. Selain faktor
biologis, pengaruh lingkungan terdekat terutama keluarga, teman bermain, kekerasan
seksual, paparan konten pornografi dan narkoba disinyalir kuat menjadi pemicu praktik
LGBT. Guna mencegah penyebaran LGBT maka diperlukan peran orang tua atau
keluarga dalam pendidikan seks sejak dini yang tepat (secara islami) sesuai
perkembangan nalar anak guna memberikan pemahaman dan membentuk perilaku
seksualitas yang sesuai dengan fitrahnya.
Kata Kunci: fenomena, LGBT, Pencegahan

Pendahuluan
Perilaku penyimpangan seks seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender
atau yang sering disingkat dengan akronim LGBT menurut beberapa sumber
menunjukkan kecenderungan terus meningkat jumlahnya di Indonesia. LGBT
merupakan istilah yang digunakan sejak tahun 1990-an untuk menggantikan
frasa “komunitas gay”. Fenomena LGBT ini menimbulkan pro dan kontra di
berbagai kalaangan. Bagi yang setuju dengan keberadaan LGBT mengharapkan
keberadaannya di hargai atas dasar kemanusiaan, bukan lagi dipandang sebagai
perilaku kelainan mental, dan memiliki akses politik, ekonomi, dan di semua
bidang lainnya yang sama dengan kalangan heteroseksual. Bagi yang kontra
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

dengan LGBT, memandang perilaku ini menyimpang, berdosa, menimbulkan


kerusakan tatanan sosial kemanusiaan hingga mengarah kepada terjadinya
kepunahan spesies manusia. LGBT juga dipandang sebagai kelainan mental dan
memerlukan terapi dampingan untuk menyembuhkannya.
Di Indonesia sendiri memang belum ada data statistik pasti tentang jumlah
LGBT, dikarenakan tidak semua kalangan LGBT terbuka dan dengan mudah
mengakui orientasinya109
Jumlah gay di Indonesia mencapai angka 20.000 orang, sedangkan para ahli
dan PBB menyebutkan peningkatan jumlah gay dari tahun 2010 diperkirakan 800
ribu menjadi 3 juta pada tahun 2012. Di Jakarta diperkirakan terdapat sekitar 5
ribu gay dan di Jawa Timur terdapat 348 ribu gay dari 6 juta penduduk Jawa
Timur.110
Perkembangan jumlah tersebut juga diiringai dengan semakin banyaknya
organisasi-organisasi terkait komunitas tersebut. Gerakan yang mendorong
penerimaan keberadaan mereka juga semakin gencar di kampanyekan di dunia.
Saat ini beberapa kaum homoseksual sudah tidak malu untuk membuka diri
kepada masyarakat. Telah cukup banyak perkumpulan organisasi homoseksual
terbentuk dan berkembang khususnya di Indonesia. Legalisasi homoseksual di
negara-negara barat menjadi rujukan bagi mereka untuk terus aktif dalam
mewujudkan keinginan mereka untuk melegalisasikan homoseks di Indonesia.
Berbagai bentuk upaya mengenalkan dan mencitrakan bahwa LGBT tersebut
sesuatu yang lazim di masyarakat terus dilakukan. Melalui media massa baik
elektronik maupun cetak memberitakan legalisasi LGBT di berbagai Negara di
dunia. Melalui berbagai film, sinetron dan acara-acara televisi juga kita sering
temui gaya hidup LGBT seolah dicitrakan seperti sesuatu yang normal dan biasa
saja. Seolah berbagai tayangan tersebut mendorong anak-anak muda untuk
meniru gaya hidup homoseksual atau LGBT.
Pertanyaan berikutnya adalah seperti apa fenomena LGBT tersebut di
Indonesia dan bagaimana upaya membentengi anak-anak Indonesia dari
„penularan‟ perilaku menyimpang tersebut.

Fenomena LGBT
Keberadaan kaum homoseksual di Indonesia masih menjadi kontroversi di
negara yang mayoritas muslim serta menjunjung nilai moral yang tinggi.
Homoseksual masih dianggap tabu dan menakutkan oleh sebagian besar
kalangan masyarakat. Namun saat ini tak sedikit masyarakat Indonesia yang
telah menerima kehadiran mereka sebagai salah satu dari keragaman, bukan lagi

109Ayu M, Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi 2. Jakarta: EGC. 2009.


110 Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri." Pada Jurnal Strada 3.1 (2014) diunduh
tanggal 10 Maret 2016.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

63
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

suatu hal yang menyimpang. Tak kurang dari 1% penduduk Indonesia adalah
pelaku seks menyimpang (gay dan lesbian), jumlah itu akan terus bertambah
sejalan dengan perkembangan dan eksistensi asosiasi homoseksual di
Indonesia.111
Homoseksual merupakan masalah global dan modern sekarang ini, gaya
hidup atau life style merupakan hal yang sangat penting dan kerap menjadi ajang
untuk menunjukkan identitas diri. Homoseksual sudah menjadi suatu fenomena
yang banyak dibicarakan di dalam masyarakat, baik di berbagai negara maupun
di Indonesia. Di Indonesia sendiri homoseksual masih menjadi suatu fenomena
seksual yang tidak lazim dan dianggap aneh oleh sebagian masyarakat.
Di negara-negara barat fenomena LGBT sudah tidak lagi menjadi suatu
fenomena yang dianggap tabu lagi.112 Orientasi seksual yang lazim ada dalam
masyarakat adalah heteroseksual sedangkan homoseksual oleh masyarakat
dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual. Orientasi seksual disebabkan
oleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif, dan biologis.
Pada sebagian besar individu, orientasi seksual terbentuk sejak masa kecil.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada kombinasi antara
faktor biologis dan lingkungan sebagai penyebab orientasi seksual
homoseksual.113 Laki Laki yang homoseks disebut Gay, sedangkan perempuan
yang homoseks disebut lesbian. Homoseksualitas mengacu pada interaksi
seksual dan atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara
situasional atau berkelanjutan. Seorang gay mengacu pada salah satu atau lebih
dari karakteristik yaitu same-sex feeling (memiliki ketertarikan sesama jenis),
same-sexbehaviour (pernah berhubungan seks dengan sesama jenis), dan
mengidentifiikasi dirinya sendiri sebagai gay.114
Ada banyak pendapat dimana teori queer ini dibedakan dari teori
pembebasan gay yang paling awal. Dengan munculnya seksualitas di era
modern seseorang ditempatkan dalam kategori tertentu yaitu kedua pasangan
tidak bertindak atas kecenderungan baik yang aktif maupun pasif. Maka dari itu
pemahaman seksualitas tidak dapat ditinjau dari segi natural semua pemahaman
seksualitas dibangun dan dimediasi oleh pemahaman budaya. Akibatnya kaum
homoseksual gay ataupun lesbian pada saat ini menganggap diri mereka itu
normal dikarenakan mereka menganggap apa yang terjadi pada diri mereka
merupakan perkembangan sosial semata.115

111 Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri." Di Jurnal Strada Volume 3, No. 1 2014
112 Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya, Jakarta: CV. Sagung Seto,

2004.
113 Kartono, K. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, 2005.
114 Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri." Di Jurnal Strada Volume 3, No. 1 2014
115 Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, 2005.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

64
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

Berdasarkan estimasi Kemenkes RI pada tahun 2012 terdapat sekitar


1.095.970 gay baik yang tampak maupun tidak. Lebih dari 66.180 orang atau
sekitar 5% dari jumlah gay tersebut mengidap HIV. Padahal pada tahun 2009
populasi gay hanya sekitar 800 ribu jiwa.116 Dalam kurun waktu tahun 2009
hingga 2012 terjadi peningkatan sebesar 37%. Sementara, badan PBB
memprediksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada tahun
2011.
Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa wanita yang memiliki riwayat
hubungan seksdengan wanita memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah
kesehatan seksual, reproduksi dan umum lainya dibandingkan dengan wanita
yang melaporkan hanya berhubungan seks dengan pria. 7 Hasil survai
mengatakan sebanyak 356 orang homoseksual yang diwawancarai dan 40%
diantaranya berprilaku berisiko terhadap penularan PMS (Fritzpatrick et.al,1989).
Tahun 2009 dari laporan UNAIDS 2010 homoseksual dan transgender
merupakan kelompok berisiko terkena HIV sekitar 7,3% , PSK sekitar 4,9% dan
pengguna narkoba suntik sekitar 9,2%.
Data Kementerian Kesehatan Triwulan I tahun 2012 menyebutkan dari
Januari sampai dengan Maret 2012 jumlah kasus baru AIDS yang dilaporkan
sebanyak 551 kasus. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah
2:1. Jumlah kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Bali (154), Jawa Barat
(104), Jawa Timur (65), dan Sulawesi Selatan (56). Berdasarkan cara penularan,
kasus AIDS kumulatif tertinggi melalui hubungan seks tidak aman pada
heteroseksual (77%), pengguna napza suntik/ penasun (8,5%), dari ibu positif
HIV ke anak (5,1%), dan hubungan homoseksual (2,7%). Sampai Maret 2012
jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta (5118), Jawa Timur
(4669), Papua (4663), Jawa Barat(4043), Bali (2582), Jawa Tengah (1630), dan
Kalimantan Barat (1269).117

Pandangan Islam terhadap LGBT


Dalam ajaran agama islam perilaku LGBT dipandang sebagai perilaku
seksual yang menyimpang dan merupakan dosa besar, Al Qur‟an jelas
menerangkan bahwa perilaku LGBT merupakan penyimpangan seks yang telah
ada sejak zaman dahulu.
Allah SWT berfirman:
“Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala Dia
berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu,
yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?‟

116 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/23/o1e9ut394-berapa-
sebenarnya-jumlah-gay-di-seluruh-indonesia
117 Rhomadona, Shinta Wurdiana, " Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Tentang Kesehatan

Reproduksi Terhadap Perilaku Kesehatan Wanita Lesbian Di Kota Bandung." D3 Kebidanan 2.1
(2013). Diundul tanggal 12 Maret 2016.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

65
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada


mereka), bukan kepada wanita,…” (Q.S. Al-A‟raaf: 80-81)
Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks,
maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu
Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaki).
Ayat Al Qur‟an dan Hadist di atas menjelaskan bahwa praktik homoseks
merupakan satu dosa besar dan sangat berat sanksinya di dunia. Apabila tidak
dikenakan di dunia maka sanksi tersebut akan diberlakukan di akhirat.
Hukuman bagi pelaku sihaq (lesbi), menurut kesepakatan para ulama, adalah
ta‟zir, yang artinya pihak pemerintah yang memiliki wewenang untuk
menentukan hukuman yang paling tepat, sehingga bisa memberikan efek jera
bagi pelaku perbuatan haram tersebut.
Beberapa dampak negatif yang sering ditimbulkan oleh perilaku LGBT
antara lain:
1. Kesehatan; perilaku seks homo dan lesbian lebih beresiko terjangkit virus
HIV/AIDS dan penyakit kelamin yang sulit terobati. sekitar 78% pelaku
homo seksual terjangkit penyakit kelamin menular. 118 Selain penyakit
kelami, LGBT juga menimbulkan penyakit AIDS yang belum diketahui
obatnya. Kecenderungan rata-rata umur kaum gay dan lesbian relatif lebih
pendek.
2. Moralitas; LGBT menciderai kemanusiaan kita. Pelaku homo dan lesbian
telah mengingkari Allah yang telah menciptakan manusia berpasang-
pasangan sebagai fitrahnya.
3. Sosial; perilaku gay dan lesbian tidak akan bisa menghasilkan keturunan,
kerusakan keluarga dan menghancurkan nasab. Jika perilaku tersebut
dilegalkan maka di masa yang akan datang akan terjadi kepunahan spesies
manusia.
4. Keamanan; dalam komunitas LGBT sering terjadi tindak kekerasan seksual
dan pembunuhan. Hal ini terjadi karena pelaku LGBT yang mudah
berganti pasangan, kecenderungan pemaksaan kehendak dominan
terhadap pasangan sejenis, kesenangan yang membabibuta, atau
sebaliknya kekecewaan berat yang berujung pembunuhan terhadap
pasangan sejenisnya. Dalam praktik pemenuhan hasrat seksualnya tidak
jarang mereka juga menempuh kekerasan terhadap anak-anak, dan kaum
wanita lemah lainnya yang diinginkannya.

118Rueda, E. “The Homosexual Network.” Old Greenwich, Conn., The Devin Adair
Company, 1982, hal. 53, dan Hartono, Aput. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Menular Seksual (Pms)
Pada Komunitas Gay Mitra Strategis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (Pkbi) Yogyakarta. Diss.
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

66
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebaran LGBT


Secara umum, terjadinya perilaku LGBT dipicu oleh dua hal, yaitu faktor
syahwat (hormon seksualitas) dan pembenaran akal (pemikiran). Secara
biologis, tubuh manusia memiliki sistem hormonal yang salah satunya
berhubungan dengan dorongan nafsu seksualitas dan orientasi seksualnya.
Penguatan rangsangan yang masuk melalui inderawi (mata, telinga, kulit) dapat
memicu aktivitas hormonal tubuh yang mendorong aksi pemenuhan kebutuhan
biologis berupa penyaluran seksualitas. Seseorang yang melihat, mendengar,
tersentuh sesuatu terkait seks, baik tayangan pornografi, mendengar aktivitas
seks atau sentuhan kulit akibat aktivitas seksualitas akan mendorong rangsangan
seks. Seseorang akan memiliki hasrat penyaluran seksualitas ketika ada
pemicunya tersebut.
Jika selama ini yang diketahuinya bahwa penyaluran seksualitas sesuai
aturan agama, seperti hanya pada pasangan heteroseksual, setelah menikah,
ditempat yang dibolehkan dan seterusnya maka perilaku seksualitasnya akan
mengarah kepada penyaluran yang lazim tersebut. Namun sebaliknya jika yang
dipikirkannya atau orientasi seksualitasnya terjadi sebaliknya maka yang
muncul adalah penyimpangan seperti Lesbian, Gay, Biseksual, dan transgender
(LGBT). Penyimpangan tersebut dapat terjadi karena pengetahuan seks yang
diperolehnya mengarah kepada perilaku LGBT baik secara langsung maupun
tidak.
Disisi lain dorongan pemikiran yang menganggap perilaku LGBT (seks non
heteroseksual) sebagai hal yang lazim akan mengarahkan penyaluran hasrat
seksualitas dari aktivitas hormonal tubuh tersebut turut menyimpang sesuai
kemauan arahan pikiran. Selain faktor hormonal, kebanyakan faktor lingkungan
mempengaruhi seseorang untuk menjadi gay.119 Lingkungan secara langsung
maupun tidak langsung dapat mengajarkan dan membentuk pemikiran pada
diri manusia bahwa sesuatu yang tadinya tabu atau tidak lazim menjadi
dianggap lazim. Logika pemikiran seseorang menjadi berubah yang sebelumnya
tidak menganggap LGBT sebagai hal yang lazim menjadi menganggap sesuatu
yang lazim.
Pembenaran perilaku LGBT juga dapat terjadi melalui peristiwa kehdupan
yang dialaminya. Lingkungan yang tidak diharapkan juga dapat memicu
pelarian kepada perilaku yang penyimpang sebagai ekspresi penolakan.
Seseorang dapat menjadi homoseksual dikarenakan keluarga yang tidak
harmonis, misalnya figur bapak sebagai laki-laki yang kejam membuat seseorang
dapat menjadi homoseksual serta faktor lingkungan (konstruksi sosial) sangat
mempengaruhi perkembangan seorang anak, termasuk pembentukan atau
pemilihan orientasi seksualnya. Bagaimana interaksi orang tua mengasuh anak,

119 Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri. Jurnal Strada 3.1 (2014).
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

67
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

hubungan antar keluarga, lingkungan pergaulan dan pertemanan, semuanya


dapat menjadi perantara penyebaran LGBT.
Pemicu penyimpangan orientasi seks tersebut juga dapat terjadi karena
adanya interaksi beberapa faktor sekaligus, meliputi faktor lingkungan
(sosiokultural), biologis, dan faktor pribadi/personal (psikologis). Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pertemanan menuju perbuatan dan permainan seksual
sebenarnya merupakan hal yang tidak wajar. Kematangan seksual tidak selalu
sejajar dengan pertambahan usia. Jika pada tahun 1980-an, perilaku
homoseksual itu masih masuk pada perilaku penyimpangan seksual. Namun
dari tahun 2000, homoseksual telah masuk pada gaya hidup (lifestyle).
Beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku LGBT antara lain:
Psikologi
Pengalaman hubungan orang tua dan anak sangat berpengaruh pada
kecenderungan homoseksual (gay/lesbian) atau LGBT. Umumnya pelaku gay
merasa bahwa orang tuanya dahulu memberikan pengalaman yang diingat oleh
mereka sampai saat ini. Dalam cara berpakain dan berdandan secara psikologis
dapat menimbulkan berperilaku homoseksual (gay/lesbian). Permainan yang
dimainkan mereka di massa kanak-kanak sangat berpengaruh dengan perilaku
homoseksual (gay/lesbian). Para pelaku lesbian tidak menyukai hal-hal yang
berhubungan dengan permainan laki-laki dan teman-teman mereka pun di masa
kecil banyak yang perempuan sampai dengan saat ini, dan hal sebaliknya terjadi
pada pelaku gay.
Ada pula pelaku gay atau lesbian di masa lalu mendapat pengalaman yang
kurang menyenangkan dari heteroseksual ataupun keluarga sendiri yang
akhirnya menjadikan mereka trauma kecewa dan menjadi gay/lesbian. Beberapa
hasil penelitian juga menyebutkan patah hati yang dialaminya juga menjadikan
penyebab kecenderungan menjadi gay/lesbian.
Pola Asuh Orang Tua
Para pelaku LGBT menyebutkan bahwa pola asuh orang tua berdampak
pada perilaku menyimpang yang dia alami. Contohnya pola asuh orang tua
yang sangat memanjakan sehingga mereka merasa yang paling diperhatikan dan
dituruti semua keinginannya. Penyimpangan pola asuh juga dapat terjadi seperti
karena mempunyai hubungan yang buruk dengan ibu tirinya.
Rasa benci timbul dengan perempuan dan mengganggap perempuan itu
selalu kejam, sehingga pelaku gay menjadi nyaman dengan laki-laki sampai
dengan saat ini. Pola asuh orang tua yang keliru seperti karena keinginan
mempunyai anak perempuan atau laki-laki sehingga mendorong penerapan pola
asuh sesuai harapan tersebut. Terhadap anak perempuan terlalu maskulin dan
sebaliknya.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

68
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

1. Pengalaman Seksual (Kekerasan Seksual/Pelecehan Seksual)


Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa timbulnya perilaku
penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku gay atau lesbian dikarenakan
pernah mendapat pengalaman seksual yang kurang menyenangkan dari
lingkungan bahkan di dalam keluarga mereka sendiri. Baik dilakukan
oleh yang sesama jenis atau bahkan yang heteroseksual. Bentuk
pelecehan seksual yang dialami oleh mereka relatif beragam. Contohnya
perlakuan dipaksa dan dipegangi alat kelaminnya. Ada pula yang
pengalaman seksual yang dialami seperti mengoral kelamin kakak
kandungnya sendiri dan ada juga alat kelamin seseorang yang menjadi
panutan di ponpes digesek gesekkan di alat kelamin mereka dan lain-lain.
2. Pornografi
Maraknya penyebaran pornografi di berbagai media cetak, tayangan
televisi dan internet memicu keinginan anak atau seseorang untuk
mencoba atau menirunya. Berbagai tulisan, gambar dan aksi pronografi
terpapar di mana-mana. Di majalah, korang, buku-buku, komix, media
social, televise dan internet. Semua mengirimkan pesan bahwa perilaku
LGBT seolah menyenangkan, suatu perbuatan yang biasa saja, hingga
dimaknai suatu kelaziman.
Apalagi semua bentuk pornografi tersebut dilihat oleh anak-anak dan
remaja. Maka sesuai karakter di usia mereka sebagai peniru yang ulung,
maka keinginan untuk meniru dan mencoba praktik LGBT akan mudah
terjadi.
3. Narkoba
Penyebaran perilaku LGBT juga sangat mudah terjadi pada
komunitas pengguna narkotika dan obat-obatan terlarang. Dalam
kondisi yang tidak sadar karena pengaruh narkoba mereka dapat
mengalami pelecehan seksual dan melakukan penyimpangan seks kapan
saja. Ketergantungan akan narkoba tersebut juga menjerat mereka untuk
mudah dipaksa untuk melakukan praktik LGBT.

Rentanitas Anak dan Remaja Terhadap Perilaku LGBT


Adanya kecenderungan timbulnya permasalahan penyimpangan perilaku
seks dapat terjadi di saat usia anak dan remaja. Hal ini sesuai dengan karakter
anak dan remaja yang masih mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, penyimpangan perilkau seks atau
dis-orientasi seks tersebut terjadi akibat kelainan yang bersifat psikologis atau
kejiwaan. Seorang individu anak tidak akan tahu tentang praktik perilaku LGBT
jika tidak dicontohkan atau dikenalkan oleh orang lain.
Maka awal perilaku penyimpangan tersebut dapat melalui faktor
lingkungan pergaulannya, juga dapat terjadi akibat faktor genetik atau

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

69
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

keturunan, dan dapat pula terjadi karena keinginan individu itu sendiri untuk
mencoba sesuatu yang baru yang belum pernah mereka rasakan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamingat dan Anggraeni tentang
perilaku dan gaya hidup komunitas gay dengan melakukan studi kasus di Pasar
Seni Kelurahan Enggal Bandar Lampung pada tahun 2013 menunjukkan bahwa
gay adalah suatu penyakit kejiwaan yang sebagian orang menganggapnya
sesuatu yang sangat tabu. Namun realita di tengah masyarakat di perkotaan
berbeda dengan pendapat tersebut. Di perkotaan cukup sering ditemukan
adanya pasangan gay. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa gay
akan berperilaku terbuka hanya terhadap teman terdekat dan pasangannya saja.
Perilaku terbuka terhadap teman terdekatnya yang juga sesama gay hanya untuk
sekedar saling mencurahkan apa yang mereka alami pada pasangannya ataupun
hanya sekedar mencari pasangan baru.
Sedangkan perilaku tertutup gay pada masyarakat luas disebabkan karena
privasi. Sebagian besar para gay bergaya hidup glamour. Gaya hidup yang
glamour pada suatu komunitas gay biasanya sebagian besar hanya berpura-pura
terlihat glamour dan mewah di komunitasnya hanya karena alasan gengsi. Ada
sebagian yang keadaan ekonominya benar-benar menunjang untuk bergaya
hidup glamour dan mewah, dan ada pula sebagian gay yang keadaan
ekonominya sangat lah tidak dapat menunjang untuk bergaya hidup glamour.120

Upaya Pencegahan LGBT


Beberapa peristiwa tindak penyimpangan orientasi seksual dilakukan oleh
kalangan LGBT melalui praktik pornografi dan adopsi anak. Mereka
menyebarkan perilaku LGBT tersebut melalui media internet sehingga
diharapkan menjadi sesuatu yang lazim dan legal di tengah masyarakat.
Semakin banyaknya pornografi penyebaran LGBT tersebut jika tidak dicegah
akan menimbulkan efek penyebaran LGBT yang cepat. Melalui kamuflase
adopsi anak, para pelaku LGBT juga leluasa mempraktikkan perilaku LGBT.
Untuk mencegah hal tersebut, negara telah menetapkan pencegahan
penyimpangan orientasi seksual dan menjelaskannya dalam Undang-undang
No. 44 tahun 2008 tentang pornografi dan telah memasukkan istilah
“persenggamaan yang menyimpang” sebagai salah satu unsur pornografi.
Dalam penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain “persenggamaan
atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks,
lesbian, dan homoseksual.”
Dalam pencegahan penyimpangan LGBT melalui praktik adopsi anak,
negara juga telah mengantisipasi motif perbuatan tersebut melalui Peraturan
Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Adopsi yang secara secara tegas

120 Jamingat, Susan Wira Anggraeni, "Perilaku Dan Gaya Hidup Komunitas Gay (Studi di

Pasar Seni Kelurahan Enggal, Bandar Lampung." 2013.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

70
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

menetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh pasangan


homoseksual. Demikian pula adopsi oleh orang yang belum menikah tidak
diperkenankan.
Namun meskipun upaya pencegahan secara formal telah dilakukan oleh
Negara, namun penyebaran LGBT akan tetap dapat terjadi jika diri dan
lingkungan terdekat termasuk keluarga menjadi pintu penyebaran LGBT.

Peran Keluarga dan Pendidikan seks bagi anak


Di era keterbukaan media dan teknologi informasi dewasa ini ruang untuk
terpapar berbagai konten negatif seperti pornografi, LGBT dan penyimpangan-
penyimpangan moral lainnnya akan semakin besar. Dalam lingkup pendidikan
anak, selain dampak positif kemajuan teknologi informasi untuk belajar dan
mengakses pengetahuan lebih luas dan cepat, peluang mengakses konten
negative tersebut juga besar. Oleh karena itu diperlukan strategi tersendiri
untuk mengantifipasi pengaruh negatif teknologi informasi terutama terkait
dengan penyebaran LGBT.
Sebagai manusia, karakter positif dan negatif, potensi menjadi baik dan
buruk telah ada pada setiap individu. Masing-masing sifat tersebut dapat
berkembang dan terbentuk dari pengaruh internal diri maupun lingkungannya.
Pada anak-anak dan remaja, pengaruh lingkungan sangat besar dalam
membentuk karakter dirinya. Lingkungan keluarga, sekolah, teman bermain
dan masyarakat sekitar menjadi penting untuk diperhatikan serta dikelola agar
menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak dan
remaja. Dalam upaya pencegahan penularan perilaku LGBT, ketahanan
keluarga, keharmonisan di tengah keluarga, pola asuh yang tepat, dan
pemberian pendidikan yang baik menjadi penting. Selain itu pengajaran dari
orang tua dan lingkungan terdekat akan bagaimana pendidikan seks untuk
menumbuhkan rasa tanggungjawab diri atas nilai seks biologis, gender dan
orientasi gender menjadi penting untuk diberikan kepada anak dan remaja.
Islam telah mengatur bagaimana mengajarkan tentang seks dan gender
sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawab anak sejak dini untuk kehormatan
diri dan kemanusiaannya. Anak-anak dan remaja membutuhkan pendidikan
seksual yang mengajarkan betapa berharganya tubuh dan cara menjaganya.
Pola pendidikan seksual dalam Islam yang relatif praktis dapat berikan
oleh orang tua kepada anaknya tidaklah melalui metode pembahasan lisan yang
menghilangkan rasa malu manusia. Metode pendidikan kenabian tersebut
sejalan dengan fitrah manusia yang malu membicarakan hal-hal yang seronok,
karena dapat berdampak menggusur secara bertahap kepekaan terhadap nilai-
nilai akhlak yang luhur. Hal ini berbeda dengan metode barat yang penuh
dengan muatan seronok dalam pendidikan seksual. Karena rangsangan seksual
itu tidak memerlukan pembicaraan, Namun timbul karena terlihatnya bagian-

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

71
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

bagian yang merangsang dari lawan jenisnya. Karena itulah Islam melakukan
pencegahan sedini mungkin agar rangsangan yang bersifat naluriah itu tidak
mengakibatkan bahaya bagi anak-anak. Cara-cara pengajaran pendidikan
seksual Islami yang diajarkan Rasulullah SAW antara lain:
1. Pemisahan Tempat Tidur
Rasulullah SAW bersabda:
“Suruhlah anak-anakmu shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah
mereka (tanpa menyakitkan jika tidak mau shalat) ketika mereka berumur sepuluh
tahun; dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)
Pada usia sekitar 10 tahun, umumnya anak-anak telah mempunyai
kesanggupan untuk menyadari perbedaan kelamin. Maka sesuai hadist
tersebut dianjurkan untuk melakukan pemisahan tempat tidur. Hal ini
secara praktis membangkitkan kesadaran pada anak-anak tentang status
perbedaan kelamin. Cara semacam ini di samping memelihara nilai akhlaq
sekaligus mendidik anak mengetahui batas pergaulan antara laki-laki dan
perempuan.121
2. Menanamkan Rasa Malu Pada Anak
Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan
anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya
ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Terkadang
orang tua atau orang dewasa di sekitar anak-anak memberikan respon yang
kurang tepat dalam menanamkan rasa malu. Contohnya ketika anak-anak
keluar dari kamar mandi bertelanjang tanpa kita sadari respon orang
dewasa disekitarnya justru menertawakan kelucuan tersebut. Hal ini tanpa
sadar justru akan dimaknai oleh anak-anak bahwa tidak menutup aurat
sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan orang banyak.
3. Menanamkan Jiwa Maskulinitas dan Feminitas
Orang tua perlu selalu memberikan pakaian yang sesuai dengan jenis
kelamin anak, sehingga mereka terbiasa untuk berperilaku sesuai dengan
fitrahnya. Anak-anak juga harus selalu diperlakukan sesuai dengan jenis
kelaminnya. Hal ini sesuai aturan islam:
Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang berperilaku
menyerupai wanita dan wanita yang berperilaku penyerupai laki-laki. (HR al-
Bukhari).
Adapun peranan orang tua terhadap pendidikan seks yang Islami bagi
anak-anak menurut pemikiran Abdullah Nashih Ulwan terbagi dalam dua
aspek, yaitu internal (ke dalam) dan eksternal (ke luar). Tanggung jawab
pendidikan seks secara internal antara lain:
1. Mengajarkan etika meminta izin masuk rumah

121 http://www.dakwatuna.com/2012/06/27/21327/pendidikan-seksual-untuk-anak-

kenapa-tidak/ diunduh pada tanggal 12 Maret 2016.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

72
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

2. Mengajarkan etika memandang


3. Menjauhkan anak-anak dari rangsangan seksual dengan upaya preventif,
yaitu pengawasan baik kedalam (internal) maupun keluar (eksternal).
4. Mengajarkan hukum agama pada anak usia puber dan akhil baligh
5. Menjelaskan seluk beluk seks kepada anak.
Selanjutnya beberapa bentuk tanggung jawab dari para orang tua secara
eksternal antara lain:
1. Mencegah kerusakan akibat fenomena kejahatan di masyarakat
2. Memilihkan teman bergaul yang baik
3. Pengawasan terhadap pengaruh pergaulan yang berlainan jenis
4. Memilihkan sekolah yang baik e. Bekerjasama dengan media informasi,
LSM (Lembaga Sosial Masyarakat), dan sebagainya.122
Seperti sudah banyak dituliskan bahwa keluarga merupakan lingkungan
pendidikan pertama bagi anak. Di lingkungan keluarga pertama-tama anak
mendapat pengaruh dan nilai-nilai dasar kehidupan. Keluarga merupakan
lembaga pendidikan tertinggi yang bersifat informal dan kodrat. Melalui
keluarga inilah anak sejak dini mendapat asuhan dari orang tua menuju ke arah
kedewasaannya.
Keluarga tidak hanya sebuah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak.
Keluarga juga memiliki fungsi sebagai suatu sistem sosial yang akan membentuk
karakter serta moral anak. Menjadi tempat ternyaman bagi anak dan bermula
dari keluarga segala sesuatu berkembang, seperti persepsi positif terhadap diri,
keterampilan berkomunikasi, bersosialisasi, kemampuan mengaktualisasikan
diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.
Melalui kesadaran bahwa keluarga merupakan lingkungan awal yang akan
membentuk jati diri seorang anak, oleh karena itu pengajaran tentang seksualitas
atau pendidikan seks sejak dini di lingkungan keluarga diharapkan menjadi
solusi ampuh untuk mencegah LGBT.

Kesimpulan
Fenomena LGBT telah menjadi masalah global termasuk di Indonesia.
Pertumbuhan jumlah pelaku LGBT terus meningkat setiap tahunnya. Cara
penyebaran perilaku LGBT mudah terjadi karena pada setiap diri manusia
memiliki unsur syahwat (hormon seksualitas) dan unsur akal pemikiran. Secara
biologis manusia memiliki hormonal yang berhubungan dengan dorongan nafsu
seksualitas dan orientasi seksualnya. Penguatan rangsangan yang masuk
melalui inderawi (mata, telinga, kulit) dapat memicu aktivitas hormonal tubuh
yang mendorong aksi pemenuhan kebutuhan biologis berupa penyaluran
seksualitas.

122 Yuniarti, Nurrina. Pendidikan Seks yang Islami bagi Anak-anak (Kajian atas Pemikiran

Abdullah Nashih Ulwan). Diss. UIN Sunan Kalijaga, 2008.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

73
Yudiyanto Fenomena Lesbian, Gay...

Disisi lain dorongan pemikiran yang menganggap perilaku LGBT (seks non
heteroseksual) sebagai hal yang lazim akan mengarahkan penyaluran hasrat
seksualitas dari aktivitas hormonal tubuh tersebut sehingga turut menyimpang
sesuai kemauan arahan pikiranya. Usia anak dan remaja merupakan masa yang
paling rentan untuk tertular perilaku LGBT.
Selain pencegahan secara formal di ranah Negara baik di pusat maupun
daerah seperti dengan UU pronografi, UU pernikahan, PP tentang Adopsi,
perda-perda terkait penanggulangan penyakit sosial di masyarakat dan lain-lain,
penguatan peran keluarga sebagai lingkungan terdekat dan lembaga sekolah
diharapkan mampu mencegah LGBT. Melalui pendidikan seks yang islami di
lingkungan keluarga sesuai dengan fitrah kemanusiaan diharapkan dapat
menjadi solusi cara mencegah penyebaran perilaku LGBT di Indonesia.

Daftar Pustaka
Ayu M, Ida M. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi 2. (Jakarta: EGC.
2009).
Hartono, Aput. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Menular Seksual (Pms) Pada
Komunitas Gay Mitra Strategis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(Pkbi) Yogyakarta. Diss. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.
Jamingat DAN Susan Wira Anggraeni. Perilaku Dan Gaya Hidup Komunitas
Gay (Studi di Pasar Seni Kelurahan Enggal, Bandar Lampung). (2013).
Juditha, Christiany. "Realitas Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (Lgbt)
Dalam Majalah." Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara 6.3 (2015).
Kartono, K. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. (Bandung: Mandar Maju,
2005)
Nurrina Yuniarti. Pendidikan Seks yang Islami bagi Anak-anak (Kajian atas Pemikiran
Abdullah Nashih Ulwan). Diss. UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Rhomadona, Shinta Wurdiana. "Pengaruh Pengetahuan Dan Sikap Tentang
Kesehatan Reproduksi Terhadap Perilaku Kesehatan Wanita Lesbian Di
Kota Bandung." D3 Kebidanan 2.1 (2013). Diundul tanggal 12 Maret 2016.
Rueda, E. “The Homosexual Network.” Old Greenwich, Conn., The Devin Adair
Company, 1982, p. 53
Siyoto, Sandu, and Dhita Kurnia Sari. "Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Homoseksual (Gay) Di Kota Kediri." Jurnal Strada 3.1
(2014) diunduh tanggal 10 Maret 2016.
Yuniarti, Nurrina. Pendidikan Seks yang Islami bagi Anak-anak (Kajian atas Pemikiran
Abdullah Nashih Ulwan). Diss. UIN Sunan Kalijaga, 2008.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/23/o1e9ut394-
berapa-sebenarnya-jumlah-gay-di-seluruh-indonesia. Diunduh pada
tanggal 12 Maret 2016.
http://www.dakwatuna.com/2012/06/27/21327/pendidikan-seksual-untuk-
anak-kenapa-tidak/ diunduh pada tanggal 12 Maret 2016.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

74
PERILAKU HOMOSEKSUAL: MENCARI AKAR FAKTOR GENETIK

Misri Gozan
Program Studi Rekayasa Bioproses, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
mrgozan@gmail.com ; mgozan@che.ui.ac.id

Abstrak
The study based on literatures on this article presents data that is critical discourses of
homosexuality and genetics. This article does not disclose the direction of Islam in terms
of homosexuality because it is so obvious expressed in the Koran and explained by the
righteous mufassir, muslim clerics and scholars. There is no strong data linking specific
genetic factors with the emergence of homosexual behavior. Research conducted by the
proponents of homosexual showed no single gene that govern human behavior which is a
very complex phenomena. In other words, the genes do not determine behavior of
homosexuality in particular. Expressed genes responsible for the nature of homosexuality
is also interpreted as genes responsible for other mental problems. The experts further
revealed that homosexual orientation is strongly affected by the events and stimuli
experienced by either of the environment with a growing degree of openness to
homosexual behavior as well as due to the availability of information, especially in
cyberspace. Some chemicals are suspected of causing physical changes and influence on
sexual orientation. Efforts of healing through action or medical intervention are not
impossible. Some researches suggest that homosexual behavior is more aggressive than
men hetersexual both in individual and family scale. The author sees the belief that
genetic factors are the reason for accepting homosexual behavior has no strong scientific
roots. Behavior of homosexuality thus can actually be, or should be, repaired and healed.
Keywords: genetics, homosexual, heredity, chemical exposure, sexual orientation

Pendahuluan
Perilaku homoseksual telah banyak diungkap dari berbagi sisi. Banyak
pihak sangat khawatir dengan keberadaan para penganut homoseksual ini.
Tidak sedikit yang mengaitkan merebaknya berbagai penyakit dengan
keberadaan para homoseksual ini. Data yang dirilis oleh Human Right
Campaign123 menyatakan bahwa 63% penderita penyakit endemik ini adalah para
lelaki homoseksual dan biseksual. Persentase ini tentu akan membesar bila
ditambahkan dengan kelompok wanita lesbian dan biseksual. Pernyataan HRC
sebagai sebuah lembaga yang sering mempropagandakan perlindungan
terhadap para pelaku homoseksual tentu dapat dianggap sebgai pernyataan
yang jujur namun sekaligus mengkhawatirkan.
Beberapa isu muncul dan menjadi diskursus di kalangan publik maupun
ilmiah. Pembicaraan tentang homoseksual menjadi semakin intens seiring
dengan munculnya fenomena “coming out” atau pernyataan diri sebagai
homoseksual. Hal ini menjadikan diskursus homoseksual bukan saja menjadi
semesta pembicaraan para psikolog dan agamawan, namun sudah merambah

123HRC (2016) http://www.hrc.org/resources/hrc-issue-brief-hiv-aids-and-the-lgbt-community


(situs resmi Human Right Campaign), Diakses Jumat 5 Februari 2016.
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

berbagai medium yang sangat luas karena telah menggunakan media berbasis
internet, atau dunia maya yang pengaruhnya dan anggota himpunan
pemirsanya tidak lagi dapat dibatasi.
Jika dikaitkan dengan lembaga keluarga dan pernikahan yang sangat
diagungkan masyarakat Indonesia, maka fenomena homoseksual menimbulkan
lebih banyak lagi kekhawatiran. Perilaku homoseksual sangat berkaitan erat
dengan pernikahan yang merupakan lembaga penting dalam agama Islam.
Alasan yang dikemukakan para pendukung homoseksualitas dan isu pernikahan
sesama jenis adalah faktor genetik. Mereka umumnya meyakini bahwa perilaku
ini didorong oleh faktor genetik. Tulisan ini mencoba melihat apakah ada
hubungan antara homoseksual dengan genetika dengan cara menelusuri riset-
riset yang terkait dengan upaya mencari hubungan antara perilaku homoseksual
dengan faktor genetika. Tulisan ini tidak melibatkan pembahasan pemahaman
agama secara khusus, namun sangat mendukung pemikiran Islam yang
posisinya sangat jelas terhadap perilaku homoseksual.

Gen Perilaku
Dean Hamer bersama rekan-rekannya meneliti 40 pasang kakak beradik
yang berperilaku homoseksual124. Hasil risetnya menyatakan bahwa satu atau
beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28
berkaitan dengan orang yang menunjukkan sifat homoseksual. Hamer juga
melanjutkan risetnya, tetapi ternyata hasil risetnya menemukan bahwa Xq28
hanya bertanggung jawab pada sifat homoseksual laki-laki dan tidak pada
homoseksual wanita.125 Dalam artikel risetnya ia jelas menyatakan bahwa lokus
tersebut hanya mempengaruhi variasi individual pada orientasi seksual pada
pria namun tidak mempengaruhi variasi individual pada wanita. Hamer juga
menyatakan bahwa gen-gen bukanlah satu-satunya penentu dalam perilaku
homoseksual. Hamer mengakui bahwa lingkungan juga mempunyai peranan
membentuk orientasi homoseksual. Dengan demikian tidak ada ungkapannya
yang menyatakan homoseksualitas secara murni bergantung pada genetika.
Riset tersebut sebenarnya gagal memberi petunjuk kuat bahwa
homoseksual adalah sifat hereditas. Namun demikian penemuan pertama
Hamer yang dipublikasikan di tahun 1993 tersebut tetap sering dijadikan
rujukan oleh riset-riset oleh orang lain yang mendukung penemuan Hamer
tersebut hingga saat ini.126 Adapula penelitian yang menyatakan bahwa faktor

124Hamer, D., Hu, S., Magnuson, V., Hu, N., dan Pattatucci, A.,A linkage between DNA

markers on the X chromosome and male sexual orientation(Science 261(5119), 1993) hal.321–7.
125Hu, S., Pattatucci, A.M.L.; Patterson, C., Li, L., Fulker, D.W., Cherny, S.S.; Kruglyak, L.,

dan Hamer, D.H., Linkage between sexual orientation and chromosome Xq28 in males but not in
females(Nature Genetics, 11(3), 1995), hal. 248–56.
126Sanders, A.R., Martin, E.R., Beecham,G.W., Guo, S., Dawood, K., Rieger, G., Badner,J.A.,

Gershon, E.S., Krishnappa, R.S., Kolundzija, A.B., Duan, J., Gejman, P.V., dan Bailey, J. M., Genome-
wide scan demonstrates significant linkage for male sexual orientation (Psychological Medicine FirstView,
2014), hal. 1–10.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

76
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

genetik kromosom X memiliki hubungan dengan biseksualitas pada pria


sekaligus mempromosikan kesuburan pada wanita127. Secara tidak langsung
riset-riset yang menggunakan hasil Hamer dan kawan-kawan ini seolah
menunjukkan bahwa homoseksual adalah kodrati, tak bisa dikatakan sebagai
penyimpangan, dan tidak bisa dibenahi.Pendefinisian diri sebagai homoseksual
umumnya mencari pembenaran dengan beranggapan bahwa fenomena
homoseksual ini disebabkan oleh faktor keturunan, yang artinya sifat genetik
orang tualah yang bertanggung-jawab pada munculnya sifat dan perilaku
homoseksual.128
Riset yang lebih luas pada lokus Xq28 oleh Rice et.al129 justru menunjukkan
kenyataan yang bertentangan dengan penemuan lokus gen gay tersebut. Riset di
Universitas Western Ontario ini mempelajari penggunaan bersama alel pada
posisi Xq28 yang diobservasi pada 52 pasangan gay bersaudara dari keluarga
Kanada. Empat penanda di Xq28 dianalisis (DXS1113, BGN, Factor 8, dan
DXS1108). Alel dan haplotype berbagi untuk penanda ini tidak meningkat
seperti yang diharapkan jika menggunakan premis Hamer . Hal ini jelas
menyatakan bahwa penemuan Rice tidak mendukung gen X-linked yang
mendasari homoseksualitas laki-laki.
Kesimpulan pada riset Rice juga didukung oleh beberapa observasi tentang
potensi respon homoseksual (Potential Homosexual Response, PHR) yang
dilakukan oleh para peneliti dari grup yang berbeda. PHR adalah suatu respon
yang menunjukkan gejala atau perilaku homoseksual yang ditunjukkan oleh
seseorang. Hasil riset Escofiermenunjukkan bahwa PHR adalah suatu potensi
yang dapat terjadi di mana saja dan tidak terkait langsung dengan genetik130 .
Tampaknya lokus Xq28 ini lebih banyak berkaitan dengan penyakit mental
ketimbang secara khusus bertanggung-jawab terhadap perilaku homoseksual.
Penelitian yang dilakukan sekelompok ilmuan pada Medical University of South
Carolina USA mempertegas hubungan Xq28 ini dengan masalah mental. Para
peneliti tersebut mempelajari hubungan pada sebuah keluarga dengan empat
generasi dimana X yang terkait dengan keterbelakangan mental resesif (X linked
recessive mental retardation,XLMR) dihubungkan dengan dysmorphism ringan
dan kematian dini dari laki-laki yang terkena.131 Analisis pada penelitian tersebut
mengidentifikasi haplotype penanda Xq28 dibatasi proksimal oleh lokus DXS1113

127Ciani, A.C., Iemmola, F, dan Blecher, S.R. Genetic factors increase fecundity in female
maternal relatives of bisexual men as in homosexuals (Journal of Sex Medical6, 2009),hal. 449–455.
128Barthes, J., Godelle, B., dan Raymond , M. Review Article Human Social Stratification and

Hypergyny: Toward an Understanding of Male Homosexual Preference (Evolution and Human Behavior,
34,2013),hal. 155–163.
129Rice, G, Anderson, C., Risch, N., dan Ebers, G., Male homosexuality: absence of linkage to

microsatellite markers at Xq28 (Science, 23;284(5414), 1999) hal. 665-7.


130Escoffier, J., Gay-for-Pay: straight men and the making of gay pornography (Qualitative

Sociology, 26, 2003) hal. 531–555.


131Pai, G.S., Hane, B., Joseph, M., Nelson, R., Hammond, L.S., Arena, J.F., Lubs,
H.A., Stevenson, R.E., dan Schwartz, C.E., A new X linked recessive syndrome of mental retardation dan
mild dysmorphism maps to Xq28 (Journal of Medical Genetic,34(7), 1997) hal. 529-34.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

77
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

dan distal oleh DXS1108 yang berhubungan kuat dengan XLMR dalam keluarga
ini. Ada bukti kuat bahwa lokus gen yang bertanggung jawab untuk XLMR
dalam keluarga ini adalah dalam wilayah Xq28. Lokus Xq28 yang selama ini
diklaim bertanggung jawab terhadap perilaku homoseksual ternyata juga
bertanggung jawab terhadap masalah mental.
Sebagian masalah mental yang mungkin terpapar di masa lalu dan
berkaitan dengan munculnya perilaku homoseksual adalah pengalaman
terhadap kesejahteraan dan kehangatan kehidupan orang tua mereka. Sebuah
penelitian yang mengkaji ingatan-ingatan para homoseksual dilakukan oleh
gabungan peneliti dari Centre for Addiction dan Mental Health, Toronto, Ontario,
dan University of Lethbridge, Lethbridge, Alberta, Kanada132. Sejumlah
homoseksual dan heteroseksual (N=524) diukur responnya terhadap ingatan-
ingatan akan kesejahteraan orang tua dan hal lain yang terkait kekhawatiran
akan perceraian. Hasilnya memperlihatkan hubungan yang lebih jelas antara
kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dengan munculnya perilaku homoseksual
laki-laki.

Hereditas Gen
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana sifat homoseksualitas
diturunkan.Para peneliti yang yakin dengan teori hubungan genetika
homoseksualitas yang memunculkan pertanyaan ini karena mereka sadar bahwa
perilaku homoseksual akan berpengaruh terhadap jalannya sejarah evolusi133.
Kekhawatiran terhadap meluasnya perilaku homoseksual juga diungkapkan
Barthes dkk134 sebagai sebuah gejala yang dapat berpengaruh terhadap
perjalanan evolusi manusia. Pernyataannya didukung dengan adanya fakta
bahwa terdapat jumlah keturunan yang lebih rendah , yaitu fertilitas 2% sampai
dengan 6% di negara-negara yang menerima perilaku homoseksual di
masyarakat secara terbuka.
Mereka percaya bahwa ada bukti orientasi seksual manusia secara genetik
dipengaruhi. Namun demikian mereka juga tidak mengetahui secara pasti
bagaimana sifat homoseksualitas dipertahankan dalam populasi pada frekuensi
yang relatif tinggi sedangkan homoseksualitas cenderung menurunkan tingkat
keberhasilan reproduksi135. Dengan ungkapan yang lebih sederhana, para ahli
mempertanyakan bagaimana orang-orang homoseksual yang diduga tidak

132Van der Laan et. al, Elevated childhood separation anxiety: An early developmental expression

of heightened concern for kin in homosexual men? (Personality and Individual Differences, 81, 2015) hal.
188–194.
133Gallup Jr, G.G.,Have Attitudes Toward Homosexuals Been Shaped by Natura1
Selection?(Ethology dan Sociobiology, 16, 1995) hal.53-70.
134Barthes et. Al, Review Article Human Social Stratification and Hypergyny: Toward an

Understanding of Male Homosexual Preference(Evolution and Human Behavior, 34, 2013)hal. 155–163.
135Zietscha,B.P., Morleya, K.I., Shekara, S.N., Verweija, K.J.H., Kellerb, M.C., Macgregora,

S., Wright, M.J., Bailey, J.M., dan Martin, N.G., Genetic factors predisposing to homosexuality may
increase mating success in heterosexuals, Evolution and Human Behavior, 29, 2008, hal. 424–433.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

78
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

melakukan proses reproduksi meneruskan sifat genetik yang bertanggung jawab


terhadap perilaku homoseksual tersebut. Dalam serangkaian penelitian tersebut
telah diperiksa satu set data yang cukup besar jumlahnya (N=4904). Dalam riset
tersebut sampel kembar berbasis masyarakat anonim diminta untuk
menyelesaikan kuesioner rinci yang memeriksa perilaku seksual. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa perempuan maskulin dan laki-laki feminin adalah
(a) lebih mungkin nonheterosexual, namun (b), ketika heteroseksual, mereka
memiliki mitra seksual lebih dari satu pasang. Dengan pemodelan statistik dari
data kembar, riset tersebut menunjukkan bahwa kedua hubungan ini sebagian
disebabkan oleh pengaruh genetik pleiotropic umum untuk masing-masing sifat.
Hasil riset ini menunjukkan bahwa gen predisposisi (yang memiliki
kemungkinan) homoseksual dapat juga menjadi kecenderungan perkawinan
heteroseksual, yang dapat membantu menjelaskan evolusi dan pemeliharaan
homoseksualitas dalam populasi. Dengan kata lain yang lebih mudah, sifat-sifat
genetik tersebut dapat diturunkan karena para homoseksual tersebut juga
melakukan hubungan heteroseksual. Dengan demikian seolah tedapat
kontradiksi, bahwa jika homoseksual terjadi karena faktor genetik, maka ketika
mereka menjalani kehidupan heteroseksual adakah genetik juga yang
menentukan perilaku heteroseksualitas itu?

Paparan Kimia
Sebagian peneliti mengarahkan perhatian pada kemungkinan paparan
senyawa tertentu yang bertanggung jawab pada pembentukan perilaku
homoseksualitas pada manusia.136 Kedua peneliti tersebut mengganggap penting
paparan awal steroid seks terhadap mediasi diferensiasi orientasi seksual khas
laki-laki. Studi pada morfologi tulang menunnjukkan adanya penanda seks
masa paparan steroid, karena estrogen dan androgen mengontrol dimorfisme
seksual pada ukuran skeletal manusia. Analisis antropometri heteroseksual dan
homoseksual menunjukkan bahwa terjadi perbedaan panjang tulang-tulang pada
orang-orang yang menjadi dimorfik seksual di masa kecil antara para responden
homoseksual dan heteroseksual, Perbedaan tersebut tidak terjadi atau tidak
terlihat konsistensinya pada responden yang menjadi dimorfik seksual setelah
pubertas. Orang dengan preferensi seksual untuk laki-laki memiliki
pertumbuhan tulang panjang kurang di lengan, kaki dan tangan, dibandingkan
dengan preferensi seksual untuk wanita. Data-data pada penelitian tersebut
mendukung hipotesis bahwa homoseksual laki-laki telah mengalami paparan
steroid yang lebih rendah selama tumbuh kembangnya dibandingkan laki-laki
heteroseksual. Demikian juga dengan responden wanita. Wanita homoseksual
mengalami eksposur steroid yang lebih besar selama tumbuh kembang
dibandingkan wanita heteroseksual.

136Martin, J.T. dan Nguyen, D.H.,Anthropometric analysis of homosexuals and heterosexuals:


implications for early hormone exposure(Hormones and Behavior,45, 2004) hal. 31 – 39.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

79
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

Beberapa bahan kimia yang beredar di masyarakat secara luas di dunia


telah dipelajari oleh beberapa ahli dan dirangkum oleh Meeker dan Ferguson137
dengan membuat tabel yang memuat berbagai macam zat phatalates, yang
merupakan zat buatan manusia dan sangat luas digunakan dalam industri. Zat-
zat tersebut diduga kuat menyebabkan kerusakan pada endokrin dan penurunan
hormon testosteron pada responden laki-laki. Paparan kimia bukanlah bersifat
genetik yang dapat diturunkan namun merupakan suatu kontaminasiterhadap
gen yang menyebabkan kerusakan atau perubahan pada kualitas hormon dan
dapat mempengaruhi perilaku.Kerusakan yang disebabkan oleh paparan
tersebut tidak selamanya permanen dalam artian akan diturunkan kepada
turunan berikutnya. Bahkan penelitian pada mamalia menunjukkan bahwa
administrasi pyrodocrin dapat mengintervensi dan mengembalikan orientasi
seksual pada mamalia (Teodorov t al, 2002).

Pembentukan Orientasi
Ketika tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa sifat homoseksualitas
diturunkan secara genetis, para ahli ilmu pengetahuan mencari informasi
bagaimana orientasi homoseksual terbentuk. Sebuah penelitian terbaru yang
ditujukan untuk mengidentifikasi proses penemuan diri dilakukan di tengah
para responden lesbian dan gay.138 Survey dengan metode Cross-sectional dan
qualitative studyini dilakukan di kota Juazeiro, Ceará, Brasil, dengan menerapkan
wawancara semi-terstruktur terhadap 27 responden homoseksual (gay dan
lesbian). Data disusun dengan merujuk pada Teknik Analisis Bardin. Hasilnya
menunjukkan bahwa di masa kecil responden memiliki manifestasi pertama dari
hasrat seksual dan ketertarikan terhadap individu dari jenis kelamin yang sama.
Hasrat seksual sesama jenis ini juga muncul selama masa remaja dan mereka
menguatkan dirinya sebagai berorientasi homoseksual sebagai akibat dari
pengalaman hubungan homoseksual pertama. Riset ini menunjukkan bahwa
pengalaman pertama berhubungan seksual dengan sesama jenis dapat
berimplikasi si pelaku akan mendefinisikan dirinya sebagai homoseksual.
Hasil survei berbasis populasi menemukan bahwa hampir 10% dari orang-
orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual melaporkan telah
melakukan hubungan seks dengan pria lain selama tahun sebelumnya139.
Bahkan, orang-orang terlibat dalam perilaku homoseksual, lebih
mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual daripada homoseksual.
Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya banyak orang memiliki potensi

137Meeker,J.D., dan Ferguson,K.K., Phthalates: human exposure and related health effects, (in

Dioxins and Health Including Other Persistent Organic Pollutants and Endocrine Disruptors 3rd
ed. Arnold Schecter, Hoboken, NJ: John Wiley & Son, 2012) hal. 415-443.
138Alves, M.J.H., Parente, J.S., dan Albuquerque, G.A. Homosexual orientation in childhood

dan adolescence: experiences of concealment dan prejudice. Reprodução & Climatério (in Press), 2016.
139Pathela, P., Hajat, A., Schillinger, J., Blank, S., Sell, R., Mostashari, F., Discordance between

sexual behavior and self-reported sexual identity: a population-based survey of New York City men (Annals
of Internal Medicine, 145, 2006) hal. 416–425.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

80
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

respon homoseksual (PHR) atau dengan kata lain PHR dapat terjadi pada siapa
saja. Dengan demikian perilaku homoseksual lebih terlihat sebagai pengambilan
kesempatan pemenuhan kebutuhan seks atau pelampiasan hawa nafsu
ketimbang faktor genetik.Perilaku homoseksual situasional oleh laki-laki
heteroseksual ditunjukkan dengan sangat kuat dalam keadaan laki-laki berada
secara eksklusif di tengah lingkungan laki-laki saja, yaitu seperti dalam penjara
dan militer140.
Bukti-bukti PHR ini tidak terlihat pada kelompok ekslusif wanita yang
dihadapkan pada situasi yang sama141. Sebaliknya, riset lainnya142menunjukkan
hasil yang lebih jelas terhadap kecenderungan PHR. Para periset ini menyelidiki
potensi untuk terlibat dalam perilaku homoseksual pada sejumlah besar
responden, yaitu 6001 perempuan dan 3152 laki-laki kembar dan saudara
kandung mereka. Grup periset ini menemukan bahwa 32,8% dari responden
laki-laki dan 65,4% dari responden perempuan menunjukkan memiliki PHR.
Namun demikian, penelitian ini juga mengungkap bahwa sebagian besar (91,5%
dari laki-laki dan 98,3% dari wanita-wanita tersebut) mengakui bahwa tidak
memiliki PHR selama 12 bulan sebelumnya. Penelitian ini memperkuat dugaan
bahwa orientasi homoseksual dapat terbentuk karena kesempatan dan
lingkungan.
Ketertarikan terhadap sesama jenis sebenarnya tidak selalu dimaknai
sebagai berorientasi homoseksual. Manusia umumnya dapat terangsang hasrat
seksualnya tatkala mendapatkan stimulan erotis. Dengan rangsangan yang sama
para peneliti menemukan bahwa pola, preferensi dan kekuatan munculnya
hasrat ini jauh lebih jelas pada pria dibandingkan pada wanita143. Penelitian ini
menggunakan metode pencitraan syaraf (neuroimaging) yang dikenakan pada
pria dan wanita berorientasi homoseksual maupun heteroseksual. Ketika
mendapatkan rangsangan, responden pria menunjukkan respon yang lebih kuat
ketimbang responden wanita. Respon ini dimonitor pada aktivitas jaringan
syaraf limbik dan wilayah pengolahan visual dengan menggunakan teknik fMRI.
Riset juga mengungkap bahwa bahkan orang bisa sangat memiliki PHR jika
mendapatkan keuntungan keuangan sebagaimana dalam prostitusi dan industri
pornografi gay144.

140Escoffier, J., Gay-for-Pay: straight men and the making of gay pornography (Qualitative

Sociology, 26, 2003) hal. 531–555


141Kinnish, K.K., Strassberg, D.S., Turner, C.W., Sex differences in the flexibility of sexual

orientation: a multidimensional retrospective assessment (Archives of Sexual Behavior, 34, 2005) hal.
173–183.
142Santtila, P., Sandnabba, N.K., Harlaar, N., Varjonen, M., Alanko, K., dan von der

Pahlen, B. Potential for homosexual response is prevalent and genetic(Biological Psychology, 77, 2008)
hal. 102–105.
143Sylva, D., Safron, A., Rosenthal, A.M., Reber, P.J., Parrish, T.B., dan Bailey, J.M., Neural

correlates of sexual arousal in heterosexual and homosexual women and men (Hormones and Behavior, 64,
2013) hal. 673–684.
144Escoffier, J., Gay-for-Pay: straight men and the making of gay pornography (Qualitative

Sociology, 26, 2003) hal. 531–555.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

81
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

Krisis Identitas
Penelitian-penelitian di atas telah banyak menegaskan bahwa sebenarnya
tidak ada kaitan yang jelas antara perilaku homoseksual dengan genetik.
Orientasi homoseksual juga dapat terbentuk oleh lingkungan pada berbagai
kesempatan yang menguntungkan atau pertimbangan lainnya. Pertanyaan
berikutnya adalah apakah bagi individu yang lingkungannya memiliki PHR
yang sangat tinggi terdapat semacam krisis identitas saat menentukan diri
sebagai homoseksual atau bukan. Sebuah penelitian145mengungkapkan bahwa
para responden mengalami krisis identitas yang terjadi saat usia remaja karena
proses pencarian jati diri sebagai homoseksual dan krisis identitas ini terjadi lagi
di masa dewasa tatkala mereka mendapatkan tekanan berupa prasangka dan
diskriminasi sosial terhadap homoseksual.
Krisis identitas terbukti mengakibatkan masalah-masalah kesehatan yang
terkait dengan mental. Penelitian ini menyimpulkan bahwa individu
homoseksual tidak begitu saja mendefinisikan dirinya sebagai homoseksual.
Mereka umumnya mengalami kesulitan dalam penemuan, definisi dan
pengungkapan orientasi seksual mereka bahkan pada masyarakat yang memiliki
pola budaya hetero-normatif. Pengaruh keluarga memang cukup besar dalam
mendorong lahirnya masalah kesehatan ini
Riset dengan metode kuesioner146 mengungkapkan adanya tekanan yang
diterima para gay dari keluarga terutama dari saudara kandung laki-laki dan
ayah. Keduanya menyatakan bahwa perasaan tertekan tersebut terjadi karena
pria homoseksual menghargai keluarga sebagai institusi tempat penyaluran
sumberdaya, termasuk sumberdaya finansial. Uniknya, riset ini menguitarakan
bahwa para heteroseksual lebih banyak memberi manfaat keuangan kepada
keluarganya ketimbang para pria homoseksual.
Pencarian identitas diri yang berujung pada pendefinisian diri sebagai
homoseksual sangat dipengaruhi oleh adanya kesempatan untuk menyatakan
diri sebagai homoseksual. Crowson dan Goulding147 menyatakan bahwa
fenomena pernyataan diri (coming out) adalah tahap kunci dalam proses
pembentukan identitas para pelaku homoseksual, khususnya laki-laki. Saat
itulah mereka sebagai individu mengungkapkan status homoseksual untuk
dirinya sendiri dan orang lain. Pilihan pernyataan identitas diri menggunakan
media sosial berbasis internet banyak dilakukan dan dianggap cukup “aman”
karena dunia maya dianggap menawarkan anonimitas individu, kontrol,

145Alves, M.J.H., Parente, J.S., dan Albuquerque, G.A. Homosexual orientation in childhood
and adolescence: experiences of concealment and prejudice(Reprodução & Climatério (in Press), 2016).
146Bobrowa, D, dan Bailey, J.M. Is male homosexuality maintained via kin selection?(Evolution

and Human Behavior 22, 2001) hal. 361 – 368.


147Crowson, M., dan Goulding, A., Virtually homosexual: Technoromanticism,
demarginalisation and identity formation among homosexual males (Computers in Human Behavior29(5),
2013) hal. A31–A39.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

82
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

pelarian, masyarakat, dukungan dan kesempatan untuk eksperimen dan


evolusi148. Sebagian juga beranggapan bahwa dunia maya adalah jaringan yang
cukup sinkron dan gigih dengan komunitas orang-orang dalam lingkungan
berbasis komputer digital149,150,151. Pembenaran-pembenaran dalam media maya
ini akan membuat mereka yang mengalami krisis identitas diri ini merasa
nyaman akan pilihannya. Komunitas maya dianggap juga memungkinkan
munculnya beberapa hal yang dapat menguatkan jaringan para homoseksual
secara global seperti tumbuhnya rasa persatuan, dukungan demokrasi dan
interaksi dengan orang lain yang mendukung maupun belum mendukung
homoseksualitas 152,153.

Agresifitas
Salah satu alasan yang umum ditampikan oleh para pendukung dan
penganjur homoseksualitas adalah pendapat bahwa individu laki-laki
homoseksual memiliki tingkat agresifitas lebih rendah daripada laki-laki
heteroseksual154 yang berarti pernikahan sejenis akan lebih damai dan tentram
karena terhindar dari kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian, data
statistik menunjukkan fakta yang sama sekali berbeda dengan penelitian lama
trersebut155. Data statistik kejadian kekerasan domestik pada pasangan rumah
tangga di Amerika menggambarkan jumlah kekerasan pada pasangan
homoseksual, baik pasangan lesbi maupun gay sebesar 26,8%. Angka ini jauh
lebih tinggi hampir 100 kali lipatdibandingkan pada pasangan rumah tangga
heteroseksual (0,31%).
Demikian pula bentuk kekerasan seperti pemerkosaan, penyerangan fisik
dan pembunuhan datanya sangat mengerikan. Perkosaan pasangan lesbian dan
gay sekitar 200 hingga 300 persen lebih banyak. Panjang usia pernikahan dapat
menunjukkan suasana rumah tangga antara pasangan. Lebih dari 66%
pernikahan berbeda jenis bertahan hingga 10 tahun, bahkan 50% bertahan lebih
dari 20 tahun. Sebaliknya, data tersebut menunjukkan hanya 14% pernikahan
sejenis oleh homosexual bertahan sampai 10 tahun dan hanya 5% pernikahan
yang bertahan lebih dari 20 tahun. Yang bertahan ini pun bukan berarti mereka

148Cabiria, J.,Benefits of virtual world engagement: Implications for marginalized gay and lesbian

people (Media Psychology Review, 1(1), 2008).


149Bell, D., & Valentine, G., Queer country: Rural lesbian and gay lives, (Journal of Rural

Studies, 11(2), 1995) hal. 113–122.


150Castronova, E.,Synthetic worlds: The business and culture of online games(Chicago: The

University of Chicago Press, 2005).


151Turkle, S.,The second self, Cambridge, Massaschuchet: First MIT Press, 2005.
152Coyne, R., Technoromanticism (Cambridge Mass: Massachusetts Institute of Technology,

1999).
153Turkle, S., Life on the screen (Simon & Schuster, New York, 1996).
154Gladue, B.A. dan Bailey, J.M.,Aggressiveness, Competitiveness, and Human Sexual

Orientation(Psychoneuroendocrinology, 20(5), 1995) hal. 475-485.


155BJS, Extent, Nature, and Consequences of Intimate Partner Violence. U.S. Department of

Justice: Office of Justice Programs: 30; "Intimate Partner Violence," Bureau of Justice Statistics Special
Report:11, 2015.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

83
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

sangat setia kepada pasangan. Justru “pernikahan” mereka bisa bertahan karena
mereka menyepakati bolehnya bertukar pasangan bahkan dengan terbuka saling
menawarkan pasangannya156. Sebagian besar hubungan para homoseksual ini
juga berdasarkan “transaksional”.157

Simpulan
Studi literatur pada artikel ini menyajikan data yang penting tentang
diskursus homoseksualitas dan faktor genetika. Tidak ada data yang kuat yang
spesifik menghubungkan faktor genetika dengan munculnya perilaku
homoseksual. Penelitian yang dilakukan oleh para pendukung homoseksual
sekalipun menunjukkan tidak ada gen tunggal yang memerintah perilaku
manusia yang sangat kompleks atau dengan kata lain, gen-gen itu tidak
menentukan perilaku homoseksualitas secara khusus. Gen-gen yang dinyatakan
bertanggung jawab terhadap sifat homoseksualitas juga dimaknai sebagai gen
yang bertanggung jawab terhadap masalah mental lainnya. Para ahli lebih jauh
lagi mengungkapkan bahwa orientasi homoseksual sangat kuat dipengaruhi oleh
kejadian serta rangsangan yang dialami baik dari lingkungan dengan semakin
besarnya tingkat keterbukaan perilaku homoseksual maupun disebabkan oleh
ketersediaan informasi media terutama pada dunia maya. Beberapa bahan kimia
diduga menyebabkan perubahan fisik dan berpengaruh terhadap orientasi
seksual. Upaya penyembuhan melalui tindakan atau intervensi medis bukanlah
suatu yang mustahil. Beberapa penelitian menunjukkan perilaku homoseksual
yang lebih agresif baik dalam skala individual maupun tingkat “keluarga”.
Tulisan ini tidak mengungkapkan penelitian maupun arahan agama Islam dalam
kaitan homoseksualitas karena sudah begitu gamblangnya sikap yang
dinyatakan dalam Alquran dan dijelaskan oleh para mufasir dan ulama dan
cendekiawan muslim yang sholih dan sholihat. Penulis yang tidak merasa
kompeten untuk menjelaskan hal terakhir ini memandang pentingnya peran
agama dalam mengarahkan orientasi seksual yang sesuai nilai Islam tidak
diragukan lagi dapat memberi kontribusi sangat fundamental terhadap
perkembangan suatu masyarakat. Perilaku homoseksualitas dengan demikian
sebenarnya dapat, atau seharusnya, diperbaiki dan disembuhkan.

Daftar Pustaka
Aaron, W.,Straight, New York: Bantam Books, 1972.
Alves, M.J.H., Parente, J.S., dan Albuquerque, G.A. Homosexual orientation in
childhood and adolescence: experiences of concealment and prejudice, Reprodução
& Climatério (in Press), 2016.

156Aaron, W.Straight. (New York: Bantam Books, 1972) hal. 208.


157Brune, A.,City Gays Skip Long-term Relationships: Study Says, (Washington Blade , 12,
2004),
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

84
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

Barthes, J., Godelle, B., dan Raymond , M. Review Article Human Social
Stratification and Hypergyny: Toward an Understanding of Male Homosexual
Preference,Evolution and Human Behavior, 34, 2013.
Bell, D., & Valentine, G., Queer country: Rural lesbian and gay lives, Journal of Rural
Studies11(2), 1995.
BJS, Extent, Nature, and Consequences of Intimate Partner Violence. U.S. Department
of Justice: Office of Justice Programs: 30; "Intimate Partner
Violence," Bureau of Justice Statistics Special Report:11, 2015.
Bobrowa, D, dan Bailey, J.M. Is male homosexuality maintained via kin
selection?Evolution andHuman Behavior 22, 2001.
Brune, A.,City Gays Skip Long-term Relationships: Study Says. Washington Blade ,
12. 2004
Cabiria, J.,Benefits of virtual world engagement: Implications for marginalized gay
andlesbian people, Media Psychology Review, 1(1), 2008
Castronova, E.,Synthetic worlds: The business andculture of online games, Chicago:
The University of Chicago Press, 2005.
Ciani, A.C., Iemmola, F, dan Blecher, S.R.,Genetic factors increase fecundity in
female maternal relatives of bisexual men as in homosexuals, Journal of Sex
Medical6, 2009.
Coyne, R., Technoromanticism, Cambridge Mass: Massachusetts Institute of
Technology, 1999.
Crowson, M., dan Goulding, A., Virtually homosexual: Technoromanticism,
demarginalisation and identity formation among homosexual males, Computers
in Human Behavior 29(5), 2013.
Escoffier, J., Gay-for-Pay: straight men andthe making of gay pornography. Qualitative
Sociology, 26, 2003.
Gallup Jr, G.G.,Have Attitudes Toward Homosexuals Been Shaped by Natura1
Selection?Ethology dan Sociobiology, 16, 1995.
Gladue, B.A. dan Bailey, J.M.,Aggressiveness, Competitiveness, andHuman Sexual
Orientation,Psychoneuroendocrinology, 20(5), 1995.
Hamer, D., Hu, S., Magnuson, V., Hu, N., dan Pattatucci, A.,A linkage between
DNA markers on the X chromosome andmale sexual
orientation, Science 261(5119), hal.321–7, 1993.
HRC, http://www.hrc.org/resources/hrc-issue-brief-hiv-aids-and-the-lgbt-community,
Situs resmi Human Right Campaign,diakses Jumat 5 Februari 2016.
Hu, S., Pattatucci, A.M.L.; Patterson, C., Li, L., Fulker, D.W., Cherny, S.S.;
Kruglyak, L., dan Hamer, D.H., Linkage between sexual orientation
andchromosome Xq28 in males but not in females, Nature Genetics, 11(3), hal.
248–56,1995.
Kinnish, K.K., Strassberg, D.S., Turner, C.W., Sex differences in the flexibility of
sexual orientation: a multidimensional retrospective assessment,Archives of
Sexual Behavior, 34, 2005.
Martin, J.T. dan Nguyen, D.H.,Anthropometric analysis of homosexuals
andheterosexuals: implications for early hormone exposure,Hormones
andBehavior,45, 2004.
Meeker,J.D., dan Ferguson,K.K., Phthalates: human exposure and related health
effects, in Dioxins and Health Including Other Persistent Organic Pollutants

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

85
Misri Gozan Perilaku Homoseksual: Mencari....

and Endocrine Disruptors 3rd ed. Arnold Schecter, Hoboken, NJ: John
Wiley & Son, 2012.
Pai, G.S., Hane, B., Joseph, M., Nelson, R., Hammond, L.S., Arena, J.F., Lubs,
H.A., Stevenson, R.E., dan Schwartz, C.E., A new X linked recessive syndrome
of mental retardation dan mild dysmorphism maps to Xq28, Journal of Medical
Genetic,34(7), 1997.
Pathela, P., Hajat, A., Schillinger, J., Blank, S., Sell, R., Mostashari, F.,Discordance
between sexual behavior andself-reported sexual identity: a population-based
survey of New York City men, Annals of Internal Medicine, 145, 2006.
Rice, G, Anderson, C., Risch, N., dan Ebers, G., Male homosexuality: absence of
linkage to microsatellite markers at Xq28, Science, 23:284(5414), 1999.
Sanders, A.R., Martin, E.R., Beecham,G.W., Guo, S., Dawood, K., Rieger, G.,
Badner,J.A., Gershon, E.S., Krishnappa, R.S., Kolundzija, A.B., Duan, J.,
Gejman, P.V., dan Bailey, J. M., Genome-wide scan demonstrates significant
linkage for male sexual orientation, Psychological Medicine FirstView, 2014.
Santtila, P., Sandnabba, N.K., Harlaar, N., Varjonen, M., Alanko, K., dan von
der Pahlen, B. Potential for homosexual response is prevalent andgenetic,
Biological Psychology, 77, 2008.
Shetty, G., Sanchez, J.A., Lancaster, J.M., Wilson, L.E., Quinn, G.P., Schabath,
M.B., Oncology healthcare providers‟ knowledge, attitudes,and practice behaviors
regarding LGBT health, Patient Education and Counseling, 99,hal. 1676–
1684, 2016.
Sylva, D., Safron, A., Rosenthal, A.M., Reber, P.J., Parrish, T.B., dan Bailey, J.M.,
Neural correlates of sexual arousal in heterosexual andhomosexual women
andmen, Hormones andBehavior, 64,2013.
Teodorov, E., Salzgeber, S.A., Felicio, L.F., Varolli, F.M.F., Bernardi, M.M.,Effects
of perinatal picrotoxin and sexual experience on heterosexual and homosexual
behavior in male rats, Neurotoxicology and Teratology, 24,hal. 235– 245,
2002.
Turkle, S., Life on the screen, Simon & Schuster, New York, 1996.
Turkle, S.,The second self, Cambridge, Massaschuchet: First MIT Press, 2005.
VanderLaan, D.P., Petterson, L.J., Vasey, P.L., Elevated childhood separation anxiety:
An early developmental expression of heightened concern for kin in homosexual
men?, Personality and Individual Differences, 81,2015.
Zietscha,B.P., Morleya, K.I., Shekara, S.N., Verweija, K.J.H., Kellerb, M.C.,
Macgregora, S., Wright, M.J., Bailey, J.M., dan Martin, N.G., Genetic factors
predisposing to homosexuality may increase mating success in heterosexuals,
Evolution and Human Behavior, 29, hal. 424–433, 2008.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

86
KONSELING ISLAM SEBAGAI SOLUSI FENOMENA TRANSGENDER

Mu’adil Faizin
Fakultas Syari`ah Dan Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
muadilfaizin@yahoo.com

Abstract
The transgender phenomenaon in Indonesia is known as an undesirable group of people,
furthermore getting backbitting. Clearly, Islam avoids the undesirable. Finally,
transgender people become a minority of people and getting different dos. Consequently,
the researcher discusses Islamic Conseling As The Solution Of Transgender
Phenomenaon. The research is library research which uses the analysis method to content
analysis. The research discovers that transgender were considered mentally ill simply.
Many transgender people have reported incidence of depression varies and become
significantly higher levels of suicidality. In the psychological knowledge, Spritual
intervention is the most of urgent ways to cure mental illness, so that islamic conseling
as the solution of transgender phenomenaon could be done with several steps; the first,
giving them knowledge about self-convidence; the second, insisting fundamental Islamic
belief; the third, letting them approach to Allah SWT; the fourth, giving them knowledge
about Islamic law of transgender phenomenon.
Key Words: Transgender, Mental ilness, Spiritual intervention, Islamic conseling

Abstrak
Fenomena transgender di Indonesia dikenal sebagai penyimpangan, bahkan sering
mendapati penghinaan. Islam dengan jelas menolak tegas penyimpangan tersebut. Pada
akhirnya kaum transgender menjadi kaum yang dikategorikan minoritas dan semakin
mendapat perlakuan yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti mengangkat isu Konseling
Islam Sebagai Solusi Fenomena Transgender. Penelitian ini kajian pustaka dengan
menggunakan metode analisis secara content analysis. Penelitian menghasilkan bahwa
transgender adalah salah satu dari penyakit mental. Banyak di antara pengidap
transgender mengalami depresi dan berujung pada tindakan bunuh diri. Dalam ilmu
psikologi, intervensi spiritual adalah hal yang terpenting dalam mengobati penyakit
mental, oleh karena itu konseling Islam sebagai solusi fenomena transgender dilakukan
dengan beberapa langkah; pertama, memberi pemahaman terkait kepercayaan diri; kedua,
memasukan asas aqidah Islam; ketiga, mengajak mendekati Allah SWT; keempat,
memberi pengetahuan Islam terkait hukum Islam transgender.
Kata Kunci: Transgender, Penyakit mental, Intervensi spiritual, Konseling Islam

Pendahuluan
Fenomena transgender dalam masyarkat Indonesia dikenal sebagai sebuah
penyimpangan, sering pula dengan istilah waria atau bahkan dengan istilah
yang lebih sarkasme yaitu banci atau bencong.158 Pada kenyataanya, pria
trangender hadir di tengah masyarakat sebagai sosok maskulin (laki-laki) yang
berubah menjadi feminim (perempuan).159

158 Tom Boellstorff, The Gay Archipelagi Seksualitas Dan Bangsa Indonesia, New Jersey:
Princeton University Press, 2005, hal. 29-30
159 Sara Ruhghea, Mirza, Risana Rachmatan, Studi Kualitatif Kepuasan Hidup Pria Transgender

(Waria) Di Banda Aceh, dalam Jurnal “Psikologi Undip” Volume 13 No.1 April 2014, hal.12
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

Sementara dalam Islam terdapat dalil hadist Rasulullah SAW:


‫ أخرجوهم من بيوتكم‬:‫لعن النبي صلى هللا عليه و سلم المخنثين من الرجال والمترجالت من النساء وقال‬
)‫(رواه البخارى‬.‫قال فأخرج النبي صلى هللا عليه و سلم فالنا وأخرج عمر فالنا‬
Artinya: “Nabi Shallallaahu „Alaihi Wa Sallam melaknat laki-laki yang
menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki, Nabi juga bersabda:
Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian. Ibn „Abbas berkata: Maka Nabi
Shallallaahu „Alaihi Wa Sallam mengeluarkan si fulan dan Umar mengeluarkan si
fulan.” (HR. al-Bukhari).160

Dalam hal ini, bagi orang-orang yang melakukannya dengan sengaja


adalah sebuah laknat, akan tetapi orang-orang yang memang diciptakan dalam
kondisi tersebut, maka diperintahkan untuk berusaha keras untuk meninggalkan
sikap tersebut dan membiasakan diri. Sebaliknya jika tidak mempunyai
keingingan dan berusaha untuk meninggalkan, dengan kata lain justru terus
menerus dalam kondisi tersebut (menyerupai wanita atau sebaliknya), maka
vonis laknat hadits di atas juga berlaku baginya. Sebab sama saja bahwa dia
berkeinginan terhadap hal tersebut. 161
Indonesia adalah negara dengan penduduk yang mayoritas beragama
Islam.162 Sementara, Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah waria
yang besar. Menurut data statistik yang dimiliki Persatuan Waria Republik
Indonesia, jumlah waria yang terdata dan memiliki Kartu Tanda Penduduk
mencapai 3.887.000 jiwa pada tahun 2007.163
Pada akhirnya, kaum transgender dikategorikan sebagai kaum yang
minoritas,164 lengkap dengan perlakuan masyarakat yang sedikit membedakan,
mulai dari akses pelayanan kesehatan yang harus mereka dapatkan sampai pada
identitas mereka. Seakan banyak merugikan kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay,
Biseksual, Transseksual/Transgender, Interseksual, dan Queer).165
Di negara Malaysia, fenomena transgender juga banyak terjadi, bahkan
dianggap sebagai wabah yang semakin menular ke dalam masyarakat dengan
anggapan sebagai perkara “bukan biasa” yang jika tidak segera diselesaikan,
ditakutkan akan dianggap sebagai perkara biasa dan menjadi lumrah bagi
kehidupan masyarakat Malaysia.166

160 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 1379

H, hal. 332.
161 Ibid.
162 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah & Undang-undang Dasar NKRI 1945, Jakarta: Sinar

Grafika, 2012, hal.65.


163 Firman Arfanda, Sakaria, Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Waria, dalam Jurnal

“Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanuddin” Volume 1 No.01 Juli 2015, hal.94
164 Ahmad Suaedy, Alamsyah M.Djafar, M.Subkhi Azhar, Rumadi, Islam Dan Kaum
Minoritas Tantangan Kontemporer, Jakarta: The Wahid Institute, 2012, hal.9
165 Husein Muhammad, Siti Musdah Mulia, Marzuki Wahid, Fiqih Seksualitas, Jakarta: PKBI,

2011, hal.6
166 Marziana Abdul Malib, Mimi Sofiah Ahmad Mustafa, Gejala Transeksual: Implikasi Yang

Membimbangkan, Bagaimana Keprihatinan Kita?, dalam Jurnal “Business and Social Development”
Volume 02 No.02 September 2014, hal.54
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

88
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

Berbicara masalah transgender memang sedikit sensitif ketimbang persoalan


hak asasi manusia yang lain, sebab pada kenyataanya tindakan tersebut adalah
di luar kewajaran manusia normal, akan tetapi kaum transgender juga manusia
yang perlu bersosial. Oleh karena itu, peneliti mengangkat isu konseling Islam
sebagai solusi fenomena transgender. Konseling Islam diharapkan menjadi
metode yang bukan menghakimi kaum transgender, akan tetapi membina dan
memberi asupan spiritual pada kaum transgender atau yang masih memiliki
kecenderungan ke arah tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, serta untuk memperjelas obyek
penelitian, maka peneliti merumuskan pertanyaan bagaimana konseling Islam
sebagai solusi fenomena transgender?. Tujuan penelitian ini adalah memahami
konseling Islam sebagai solusi fenomena transgender. Adapun, manfaat penelitian
ini adalah menjadi bahan pemikiran terkait solusi Islam dalam fenomena
transgender.

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian library research (penelitian
kepustakaan) atau hukum normatir,167yang bertujuan untuk mengumpulkan
data dan informasi yang terdapat di ruang perpustakaan, misalnya berupa:
buku-buku, majalah-majalah, naskah-naskah, catatan-catatan, dan dokumen-
dokumen.168
Sifat penelitian yang peneliti gunakan bersifat deskriptif kualitatif, yaitu
biasanya bersifat penilaian, analisis verbal non angka, untuk menjelaskan
makna.169 Dalam penelitian ini data merupakan sumber teori.170 Selain itu,
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.171
Penelitian ini menggunakan sumber data sukunder. 172 Di mana sumber
data sekunder adalah sumber data n yang diperoleh secara tidak langsung
melalui media perantara.173 Bahan yang digunakan adalah buku-buku yang
berkaitan dengan fiqih, transgender, konseling dan jurnal atau artikel-artikel yang

167 Dyah Ochtorina Susanti & A‟an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), (Jakarta: Sinar

Grafika, 2014), hal. 19.


168 Kartini Kartono, Metodologi Metodologi Riset Sosial, (Bandung : Mandar Maju, 1996), hal.

33.
169 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, (Malang : UIN Maliki Press,

2008), hal. 196.


170 Farouk Muhammad, Djali, Metodologi Penelitian Sosial (Bunga Rampai), (Jakarta:PTIK Pres

Jakarta, 2003), hal. 100.


171 Uhar Suharsaputra, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, Bandung:

Refika Aditama, 2014, hal. 181.


172 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 13.


173 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta,

2010, hal.172.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

89
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

masih berkaitan. Tehnik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah


metode studi dokumentasi. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang
validitas dan reliabilitasnya, sebab hal ini berpengaruh terhadap hasil suatu
penelitian.174
Tekhnik yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisis data adalah
kajian isi atau yang sering disebut dengan content analysis, yaitu metodologi
penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan
yang sahih dari sebuah buku atau dokumen.175Content analysis selalu
menampilkan tiga syarat, yaitu objektivitas, pendekatan sistematis dan
generalisasi.176 Sehingga data yang didapat oleh peneliti adalah data yang
mampu menerangkan tema penelitian.

Penelitian Relevan
Tinjauan pustaka (prior research) berisi tentang uraian mengenai hasil
penelitian terdahulu tentang persoalan yang akan dikaji.177 Sumber yang
mengkaji terkait dengan Islam dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender) dari berbagai aspek telah dilakukan. Untuk memetakan penelitian
atau pemikiran yang sudah ada, berikut beberapa literatur yang terkait dengan
penelitian jurnal.
Penelitian jurnal Sara Ruhghea, Mirza dan Risana Rachmatan berjudul
Studi Kualitatif Kepuasan Hidup Pria Transgender (Waria) Di Banda Aceh
menjelaskan bahwa kepuasan hidup pria transgender tercapai ketika mereka
menerima kehidupannya, baik kondisinya saat ini maupun keberhasilannya
dalam mengubah penampilan fisiknya menjadi wanita. Sumber kepuasan
hidupnya berasal dari dukungan sosial yang diperoleh dari sesama pria
transgender serta dari pasangan hidupnya; karena terpenuhinya kebutuhan untuk
mencintai dan dicintai. Hambatan terbesar yang mereka hadapi adalah
penolakan masyarakat yang meningkatkan kecemasan mereka karena mereka
merasa tidak dapat berperan sesuai dengan gendernya. Menghadapi kesulitan
ini, strategi coping yang digunakan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.178
Selanjutnya penelitian jurnal Firman Arfanda dan Sakaria berjudul
Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Waria menjelaskan bahwa masyarakat
cenderung menjauhi waria kecuali jika memiliki kepentingan yang terkait
dengan keberadaan dari seorang waria tersebut. Masih besarnya perilaku negatif

174 Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
hal. 114.
175 Lexi J. Moloeong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000, hal
220
176 Uhar Suharsaputra, Metodologi Penelitian..., hal. 224.
177Yanuar Ikbar, Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif, Jakarta : Refika Aditama, 2012, hal.201.
178 Sara Ruhghea, Mirza, Risana Rachmatan, Studi Kualitatif..., hal. 14-19

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

90
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

yang diterima oleh waria dalam kesehariannya. Mulai dari dikucilkan, umpatan,
sampai pada perilaku melempari waria dengan batu.179
Selanjutnya penelitian berupa jurnal Marziana Abdul Malib dan Mimi
Sofiah Ahmad Mustafa berjudul Gejala Transeksual: Implikasi Yang
Membimbangkan, Bagaimana Keprihatinan Kita?. Dalam penelitian tersebut
dijelaskan bahwa isu transgender yang tidak dianggap sebagai satu kesalahan
hukum pidana, menyebabkan jumlah golongan transgender semakin hari semakin
ramai dan tidak langsung dibendung. Akibatnya mereka mewujudkan persatuan
dan bersatu hati menuntut hak sama rata untuk menjalani kehidupan
termasuklah hak untuk berkahwin dan melakukan hubungan seks sesama jenis.
Sehingga perlu adanya perbaikan hukum untuk memasukan perilaku transgender
sebagai tindak pidana yang bisa segera ditindak pihak yang berwajib.180
Penilitan jurnal Ekawati Sri Wahyu Ningsih dan Muhammad Syafiq
berjudul Pengalaman Menjadi Pria Transgender (Waria): Sebuah Studi
Fenomenologi menjelaskan bahwa pengalaman ketika waria berani untuk tampil
ke publik ternyata menimbulkan dampak negatif yang membuat tekanan
tersendiri dalam hidup partisipan. Dampak pertama adalah adanya konflik
psikologis yang bukan hanya berasal dari dalam dirinya melainkan juga dari
lingkungan. Konflik psikologis berupa malu dan tidak percaya diri, ketakutan
untuk tidak diterima lingkungan baru, penyesalan dan kekecewaan terkait
identitas gendernya, dan pertentangan batin antara menerima kondisi sebagai
waria atau mengingkari. Dampak berikutnya adalah munculnya stigma dan
penolakan dari masyarakat, teman, bahkan keluarga serta kerap dihina, dicaci,
dan dianggap memiliki jenis kelamin yang tidak jelas adalah makanan sehari-
hari bagi partisipan.181
Selanjutnya penelitian jurnal Khilman Rofi Azmi berjudul Enam Kontinum
Dalam Konseling Transgender Sebagai Alternatif Solusi Untuk Konseli LGBT,
menjelaskan bahwa dalam menangani fenomena transgender telah digagas enam
kontinum konseling trangender. Enam kontinum ditujukan untuk membantu
konseli melalui proses konseling. enam kontinum yang harus dilakukan oleh
konselor antara lain : (1) diri (2) hubungan, (3) diferensiasi perasaan, (4)
intervensi spiritual, (5) penerimaan diri terhadap lingkungan.182
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, menurut pengetahuan peneliti,
belum ada yang membahas masalah konseling Islam sebagai solusi fenomena
transgender.

179 Firman Arfanda, Sakaria, Konstruksi Sosial..., hal. 97-99


180 Marziana Abdul Malib, Mimi Sofiah Ahmad Mustafa, Gejala Transeksual..., hal. 54-60
181 Ekawati Sri Wahyu Ningsih, Muhammad Syafiq, Pengalaman Menjadi Pria Transgender

(Waria) Sebuah Studi Fenomenologi, dalam Jurnal “Character” Volume 03 No.2 Tahun 2014, hal.3-5
182 Khilman Rofi Azmi, Enam Kontinum Dalam Konseling Transgender Sebagai Alternatif Solusi

Untuk Konseling LGBT, dalam Jurnal “Psikologi Pendidikan & Konseling” Volume 01 No. 01 Juni
2015, hal.52-56
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

91
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

Hasil Penelitian Dan Pembahasan


Fenomena Transgender
Beberapa kelompok orang yang dapat diidentifikasi sebagai transgender
yaitu pertama, orang yang sulit diakui sebagai perempuan atau laki-laki; kedua,
orang yang lebih nyaman dengan penampilan atau pakaian yang berlawanan
dengan jenis kelaminya; ketiga, orang yang berpindah jenis kelamin dari satu
kelamin ke jenis yang lain.183
Dalam buku Lesbian Gay Bisexual Trans And Quer Psychology dijelaskan
pula contoh fenomena yang berasal dari Sulawesi Selatan, dengan redaksi asli
sebagai berikut: “For example, US anthropologist Sharyn Graham (2004) reports on the
experiences of people in South Sulawesi, Indonesia, who are „male-bodied‟ but who do not
identify as men, nor do they aspire to be women. Rather, they are identified as „calabai‟
(or „calalai‟ for those who are „femalebodied‟). These groups of people can often negotiate
multiple relationships with (normatively identified) men and women in their lives, and
potentially have children or enter into marriage relationships that are not seen as
contradictory to their expression of gender and sexuality”.184
Penjelasan buku di atas, mendefinisikan transgender sebagai sosok yang
berbadan laki-laki tetapi tidak diidentifikasi sebagi laki-laki atau tidak juga
dianggap sebagai perempuan. Sehingga masyarakat Sulawesi Selatan
menyebutnya sebagai calabai atau calalai bagi mereka yang berbadan perempuan.
Bahkan dijelaskan pula, kaum tersebut dibeberapa kasus berpotensi memiliki
anak atau menikah.
Diyakini dalam sejarah, kaum LGBTQ dikategorikan sebagai salah satu
contoh pengidap penyakit mental karena mereka tidak seperti orang biasa yang
tertarik dengan lawan jenis ataupun tidak dapat bersanding dengan norma
gender pada umumnya. Sehingga menjadi prioritas banyak psikologi hari ini
adalah mengidentifikasi gejala tersebut dan menemukan cara untuk
mengembalikanya kepada keadaan normal.185
Bahkan kaum LGBTQ adalah yang paling sering depresi, serta diikuti
dengan rasa cemas dan ketakutan. Kebanyakan hal tersebut disebabkan tekanan
sosial dan sikap merasa tidak mendapatkan keadilan atau tindakan tidak
menyenangkan.186
Banyak studi-studi tentang kesehatan mental LGBTQ yang juga
melaporkan tingginya level kasus bunuh diri berasal dari kaum remaja LGBTQ
dibanding dengan kaum LGBTQ pada umumnya secara keseluruhan. Meskipun
ada sebagian yang hanya dalam tahap berkeinginan bunuh diri. Dalam hal ini,

183Victoria Clark, Sonja J.Ellis, Elizabeth Peel, Damien W.Riggs, Lesbian Gay Bisexual Trans
And Quer Psychology, (New York: Cambridge University Press, 2010), hal.88
184 Ibid.
185 Ibid., hal.134-135
186 Ibid., hal.137

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

92
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

telah dilakukan pula perbandingan dengan remaja biasa, hasilnya adalah tetap,
bahwa kasus bunuh diri remaja LGBTQ yang lebih tinggi.187
Dijelaskan dalam satu penelitian di UK (United Kingdom) 1.285 LGBTQ di
Inggris 30% diantara participant tersebut pernah melakukan percobaan bunuh
diri, ditemukan pula kasus di Taiwan beberapa studi memperkirakan rata-rata
kasus percobaan bunuh diri remaja biasa adalah sekitar 10%, sementara remaja
LGBTQ lebih dari dua kali lipatnya.188
Berdasarkan pemaparan di atas, telah diketahui bahwa fenomena
transgender adalah sebuah penyimpangan dan tergolong sebagai penyakit
mental. Ahli psikologi banyak melakukan penelitian dan mengupayakan untuk
menemukan cara menyembuhkan penyakit tersebut atau setidaknya seseorang
yang mengalami fenomena transgender tidak berlanjut mengalami tekanan
mental yang mengakibatkan depresi atau bunuh diri.

Konseling Islam Sebagai Solusi Fenomena Transgender


Ilmu psikologi menyakini bahwa intervensi spiritual dan nilai religius
merupakan hal terpenting, menghindari kehidupan dipenuhi keresahan jiwa,
sebab ketika manusia matrialis yang jauh dari nilai religius mengalami tekanan
sosial, kebanyakan mereka akan memutuskan untuk bunuh diri.189
Hal di atas sejalan dengan penelitian jurnal Khilam yang menjelaskan
bahwa Spritual intervention menjadi salah satu titik kontinum penting dalam
memberikan pengetahuan kepada konseli tentang lesbian, gay, bisexsual dan
transgender sekaligus menjadi benteng terakhir bagi konselor serta profesi helper
lainnya seperti psikolog dan psikiater dalam usaha-usaha sadar untuk
mengembalikan konseli/klien menemukan jati diri mereka.190 Sebab manusia
pada hakikatnya adalah dimuliakan oleh Allah SWT.191
Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Syakhshiyah Islam menjelaskan
bahwa kepribadian setiap manusia terbentuk dari aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah
(pola sikap). Kepribadian tidak ada kaitannya dengan bentuk tubuh, asesoris dan
sejenisnya. Semua itu hanya (penampakan) kulit luar belaka. Manusia memiliki
keistimewaan disebabkan akalnya, dan perilaku seseorang adalah yang
menunjukkan tinggi rendahnya akal seseorang, karena perilaku seseorang di
dalam kehidupan tergantung pada mafahim (pemahaman)nya, maka, dengan
sendirinya tingkah lakunya terkait erat dengan mafahimnya dan tidak bisa
dipisahkan. Suluk (tingkah laku) adalah aktifitas yang dilakukan manusia dalam
rangka memenuhi gharizah (naluri) atau kebutuhan jasmaninya. Suluk berjalan

187 Ibid.
188 Ibid.
189 Saktiyono B.Purwoko, Psikologi Islam Teori Dan Penelitian, (Bandung: Saktiyono

WordPress, 2012), hal.6


190 Khilman Rofi Azmi, Enam Kontinum Dalam..., hal.54
191 Yusuf Qaradhawi, Kaifa Nataamal Maa Al-quran Al-adzhim, (Mesir: Dar Asy-Syuruq, 2000),

hal. 78
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

93
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

secara pasti sesuai dengan muyul (kecenderungan) yang ada pada diri manusia
untuk mencapai kebutuhan tersebut. Dengan demikian mafahim dan muyulnya
merupakan tonggak atau dasar dari kepribadian. Islam mengendalikan
kecenderungan (muyul) manusia dengan hukum-hukum syara‟ dengan
memberikan solusi yang benar atas setiap perbuatan yang muncul dari
kebutuhan jasmani maupun gharizah (naluri).192
Dijelaskan pula bahwa pembentukan pribadi Islam dilakukan dengan
membangun mafahim dan muyul secara bersamaan berdasarkan akidah Islam.
Setelah pembentukan pribadi tadi hendaknya melakukan aktivitas untuk
mengembangkan aqliyah (pola pikir) maupun nafsiyah (pola sikap)nya.
Pengembangan nafsiyah dilakukan dengan beribadah kepada Allah dan
mendekat kepadaNya dan selalu membangun setiap kecenderungannya
terhadap sesuatu berdasarkan akidah Islam. Sedangkan pengembangan aqliyah
memahami tsaqafah (pengetahuan) Islam.193
Berdasarkan pemahaman di atas, konseling Islam dilakukan untuk
membina kaum yang mengalami fenomena transgender, yaitu dengan beberapa
langkah; pertama, memberi pengetahuan untuk kepercayaan diri, bahwa
kepribadian manusia memang tidak secara langsung terkoneksi dengan kondisi
fisik tubuhnya; kedua, mempertemukan muyul (kecenderungan) dengan mafahim
(pemahaman) dalam nilai spiritual berdasar aqidah Islam; ketiga, mengajaknya
mendekati Allah SWT; dan keempat memberi asupan pengetahuan Islam terkait
hukum transgender dalam Islam dan kajian terdalamnya.
Pada hari ini, kaum transgender lebih sering dihakimi ketimbang didakwahi
dan dibina, hal ini menyebabkan mereka jauh dari nilai spiritual, maka konseling
Islam di atas adalah upaya untuk mempengaruhi kondisi psikologis dengan
menghindari sikap menghakimi, oleh karena itu membina dan mendekati secara
emosional adalah langkah awal, selanjutnya pemberian pengetahuan hukum
menjadi langkah terakhir. Adapun konselor Islam haruslah ahli yang
berkompeten dalam hukum Islam dan psikologi.
Sebab hukum Islam pasti memiliki tujuan luhur yang ada di balik hukum
tersebut.194 Akan tetapi cara menyampaikan dan mentransformasikan kepada
orang lain adalah tanggung jawab terpenting umat Islam, peneliti berharap
metode konseling di atas adalah metode untuk menyampaikan esensi hukum
Islam dengan meminimalisir rasa sentimentil terhadapnya.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Konseling Islam
Sebagai Solusi Fenomena Transgender, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

192 Taqiyuddin An-Nabhani, Syakhshiyah Islam, (Jakarta: HTI Press, 2007), hal.9-17
193 Ibid., hal.22-24
194 Yusuf Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Asy-Syariah: Baina Al-Maqashid Al-Kulliyyah wa

An-Nushush Al-Juziyyah, (Mesir: Dar Asy-Syuruq, 2006), hal. 21.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

94
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

Transgender adalah salah satu penyakit mental. Banyak di antara pengidap


transgender mengalami depresi dan berujung pada tindakan bunuh diri. Dalam
ilmu psikologi, intervensi spiritual adalah hal yang terpenting dalam mengobati
penyakit mental, oleh karena itu konseling Islam sebagai solusi fenomena
transgender dilakukan dengan beberapa langkah; pertama, memberi pemahaman
kepercayaan diri; kedua memasukan asas aqidah Islam; ketiga mengajak
mendekati Allah SWT; keempat, memberi pengetahuan Islam terkait hukum
Islam transgender.

Rekomendasi
1. Kepada para Ahli Fiqih masa kini:
Ahli fiqih harus mampu menawarkan solusi bagi permasalahan
LGBT dengan meminimalisir stigma penghakiman yang akan
membiaskan esensi nilai-nilai Islam.
2. Kepada penliti selanjutnya:
Peneliti selanjutnya harus mampu memperkaya refrensi dan tetap
berpegang teguh pada syariah.

Daftar Pustaka
Buku:
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari Syarah Shahih Bukhari, Beirut: Dâr al-
Ma‟rifah, 1379 H.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Syakhshiyah Islam, Jakarta: HTI Press, 2007.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta :
Rineka Cipta, 2010.
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo,
2012.
Boellstorff, Tom, The Gay Archipelagi Seksualitas Dan Bangsa Indonesia, New
Jersey: Princeton University Press, 2005.
Clark, Victoria, J.Ellis, Sonja, Peel, Elizabeth, Riggs, Damien W, Lesbian Gay
Bisexual Trans And Quer Psychology, New York: Cambridge University Press,
2010.
Ikbar, Yanuar, Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif, Jakarta : Refika Aditama,
2012.
Kartono, Kartini, Metodologi Metodologi Riset Sosial, Bandung : Mandar Maju,
1996.
Kasiram, Mohammad, Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, Malang :
UIN Maliki Press, 2008.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paradigma,1992.
Moloeong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2000.
Moloeong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2000.
Muhammad, Farouk, Djali, Metodologi Penelitian Sosial (Bunga Rampai),
Jakarta:PTIK Pres Jakarta, 2003.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

95
Mu‟adil Faizin Konseling Islam Sebagai...

Muhammad, Husein, Mulia, Siti Musdah, Wahid, Marzuki, Fiqih Seksualitas,


Jakarta: PKBI, 2011
Purwoko, Saktiyono B, Psikologi Islam Teori Dan Penelitian, Bandung:
Saktiyono WordPress, 2012.
Qaradhawi, Yusuf, Dirasah fi Fiqh Maqashid Asy-Syariah: Baina Al-Maqashid
Al-Kulliyyah wa An-Nushush Al-Juziyyah, Mesir: Dar Asy-Syuruq, 2006.
Qaradhawi, Yusuf Kaifa Nataamal Maa Al-quran Al-adzhim, Mesir: Dar Asy-
Syuruq, 2000.
Soekanto, Soerjono, Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Suaedy, Ahmad, M.Djafar, Alamsyah, M.Subkhi Azhar, Rumadi, Islam Dan
Kaum Minoritas Tantangan Kontemporer, Jakarta: The Wahid Institute, 2012.
Suggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013.
Suharsaputra, Uhar, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan,
Bandung: Refika Aditama, 2014.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah & Undang-undang Dasar NRI 1945, Jakarta:
Sinar Grafika, 2012.
Susanti, Dyah Ochtorina, Efendi, A‟an, Penelitian Hukum (Legal Research),
Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2008.

Jurnal:
Arfanda, Firman, Sakaria, Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Waria,
dalam Jurnal “Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanuddin” Volume 1 No.01 Juli
2015.
Azmi, Khilman Rofi, Enam Kontinum Dalam Konseling Transgender Sebagai
Alternatif Solusi Untuk Konseling LGBT, dalam Jurnal “Psikologi Pendidikan &
Konseling” Volume 01 No. 01 Juni 2015.
Fata, Ahmad Khoirul, Teologi Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Islam,
dalam Jurnal “Ulul Albab” Volume 15 No. 02 Tahun 2014.
Malib, Marziana Abdul, Mustafa, Mimi Sofiah Ahmad, Gejala Transeksual:
Implikasi Yang Membimbangkan, Bagaimana Keprihatinan Kita?, dalam Jurnal
“Business and Social Development” Volume 02 No.02 September 2014.
Ningsih, Ekawati Sri Wahyu, Syafiq, Muhammad, Pengalaman Menjadi Pria
Transgender (Waria) Sebuah Studi Fenomenologi, dalam Jurnal “Character” Volume
03 No.2 Tahun 2014.
Ruhghea, Sara, Mirza, Rachmatan, Risana, Studi Kualitatif Kepuasan Hidup
Pria Transgender (Waria) Di Banda Aceh, dalam Jurnal “Psikologi Undip” Volume
13 No. 1 April 2014.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

96
HUKUM TRANSEKSUAL DAN KEDUDUKAN HUKUM
PELAKUNYA DALAM KEWARISAN ISLAM

Suhairi
STAIN Jurai Siwo Metro
suhairiyusuf@gmail.com

Abstract
This research explains about transsexual and its position in Islamic inheritance.
Transsexual included in gender identity disorders. The main characteristic of this
problem is the mismatch between the genitals and gender identity. Gender identity is the
feeling of a person belonging to a particular gender, in other words the realization that he
is male or female. The law of transsexual (genital surgery) is absolutely haram. Whereas,
genital operation in order to enchantment/improvement of double genital or abnormality,
is permissible even encouraged in Islam. The law position of transsexual offender (sex
change) toward normal genital is not change, remains theirs before surgery. Woman who
does transsexual as men, then the legal position in Islamic inheritance remained as a
woman, so are the men. Meanwhile for the perpetrators of gender surgery in order to
improve / repair the double genitalia or genitalia that is not perfect, the legal position in
the Islamic inheritance according to the sex of the operating results.
Keywords: Transsexual, Law, Islamic Inheritance

Abstrak
Penelitian ini membahas Transeksual dan kedudukannya dalam kewarisan Islam.
Transseksualisme termasuk dalam golongan gangguan identitas jenis (“gender identity
disorders”). Gambaran utama dari gangguan identitas jenis adalah ketidaksesuaian
antara alat kelamin dengan identitas jenis (“gender identity”). Identitas jenis adalah
perasaan seseorang tergolong dalam jenis kelamin yang tertentu, dengan perkataan lain
kesadaran bahwa dirinya adalah laki-laki atau perempuan. Hukum transeksual (operasi
kelamin) terhadap alat kelamin yang jelas dan normal adalah haram. Sedangkan bagi
operasi kelamin dalam rangkan penyempurnaan/perbaikan terhadap alat kelamin ganda
atau alat kelamin yang tidak sempurna hukumnya boleh, bahkan dianjurkan dalam Islam.
Kedudukan hukum pelaku transeksual (operasi kelamin) terhadap alat kelamin yang jelas
dan normal tidak berubah, tetap sesuai jenis kelamin semula sebelum operasi. Wanita
yang melakukan transeksual menjadi pria, maka kedudukan hukum dalam kewarisan
Islam tetap sebagai wanita. Demikian juga sebaliknya, pria yang melakukan transeksual
(operasi kelamin) menjadi wanita, kedudukan hukum dalam kewarisan Islam tetap
sebagai pria. Sedangkan bagi pelaku operasi kelamin dalam rangka
penyempurnaan/perbaikan terhadap alat kelamin ganda atau alat kelamin yang tidak
sempurna, kedudukan hukum dalam kewarisan Islam sesuai dengan jenis kelamin hasil
operasi.
Kata kunci: Transeksual, Hukum dan Kewarisan Islam

Pendahuluan
Manusia yang lahir dalam keadaan normal, maka memiliki jenis kelamin
sebagai pria atau wanita, karena memiliki alat kelamin zakar (penis) sebagai pria
dan farj‟ (vagina) sebagai wanita. Jenis kelamin antara pria dan wanita
merupakan kodrat ilahi. Akan tetapi ada seseorang yang dilahirkan sebagai pria
tetapi mempunyai kencerungan berperilaku seperti wanita. Demikian pula
Suhairi Hukum Transeksual dan...

sebaliknya ada yang lahir sebagai wanita tetapi cenderung berperilaku seperti
pria. Dalam konteks psikologis termasuk sebagai penderita transseksualisme,
yakni seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna,
namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis.195
Transseksualisme termasuk dalam golongan gangguan identitas jenis (gender
identity disorders). Gambaran utama dari gangguan identitas jenis adalah
ketidaksesuaian antara alat kelamin dengan identitas jenis (gender identity).
Identitas jenis adalah perasaan seseorang tergolong dalam jenis kelamin yang
tertentu, dengan perkataan lain kesadaran bahwa dirinya adalah laki-laki atau
perempuan. Identitas jenis adalah suatu penghayatan pribadi dari peran jenis
(gender role), dan peran jenis adalah pernyataan terhadap masyarakat dari
identitas jenisnya. Peran jenis dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
dilakukan dan dikatakan oleh seseorang, termasuk gairah seksual, untuk
menyatakan kepada orang lain atau diri sendiri sampai seberapa jauh dirinya itu
laki-laki atau perempuan.196
Menurut Ruth Chrisnasari, S.TP., M.P., dosen laboratorium purifikasi dan
biologi molekuler FTB Universitas Surabaya, transeksual dapat diakibatkan
faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor bawaan (hormon
dan gen), pada kromosom normal, wanita memiliki kromosom XX sedangkan
Pria XY. “Jika kromosom tersebut ada yang berlebih atau bahkan kekurangan,
maka dapat menimbulkan penyimpangan dalam tubuh orang tersebut,” ujarnya.
Ruth memaparkan bahwa jika ada kelebihan kromosom X, khususnya pada
kaum hawa, akan menyebabkan keterbelakangan mental. Tapi jika hal tersebut
dialami oleh kaum adam, maka yang terjadi justru akan terbentuk fisik pria
tetapi akan tumbuh kecenderungan sebagai wanita. Ia menerangkan bahwa
kelainan-kelainan tersebut dapat muncul akibat ketika suatu pasangan sama-
sama memiliki hormon yang lemah dan bertemu akan menyebakan kelainan
pada tubuh manusia. Sebaiknya, jika akan menikah lebih baik dicek terlebih
dahulu agar lebih aman untuk keturunannya.197
Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Tony, S.Psi., M.Psi., dosen Psikolog
Sosial Universitas Surabaya. Ia memaparkan bahwa kecenderungan seseorang
memilih sebagai transgender lantaran dari faktor biologis alias sudah ada sejak
lahir. Biasanya mereka akan merasakan pemberontakan jiwa ketika beranjak
remaja. Ketika usia tersebut, manusia akan mencari jati diri mereka. Nah
disinilah awal mula mereka merasakan adanya hal yang tak sesuai dari
dirinya.198

Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004), hal. 12.
195

Dadang Hawari, Psikiater, Al Qur‟an: Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa, cet. Ke-XI,
196

(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), hal. 716.


197 http://www.ubaya.ac.id/2014/content/interview_detail/56/Tak-Seorang-Pun-Ingin-

Menjadi-Transgender.html .
198 http://www.ubaya.ac.id/2014/content/interview_detail/56/Tak-Seorang-Pun-Ingin-

Menjadi-Transgender.html .
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

98
Suhairi Hukum Transeksual dan...

Sedangkan faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada


masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku
perempuan. Pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma,
pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Bergaul dan hidup dengan orang
yang mengalami transgender juga dalam membentuk diri seseorang dan ikut
menjadi transgender.
Beberapa kaum transgender merasa tidak cukup hanya dengan mengubah
penampilan, lalu menyempurnakan perubahan identitas dan ekspresi seksualnya
dengan terapi hormon dan bahkan operasi kelamin. Kaum transgender yang
sudah sampai pada tahap operasi kelamin atau terapi hormon sering disebut
dengan istilah transeksual. Berkaitan dengan hal ini, maka menarik untuk dikaji
hukum transeksual dalam Islam, serta kedudukan hukum pelaku transeksual
dalam kewarisan Islam.

Hukum Transeksual dalam Islam


Karena jenis kelamin yang dimiliki oleh seseorang adalah merupakan
kodrat (ketentuan) Allah, maka dalam hukum Islam tidak diperbolehkan
melakukan operasi perubahan kelamin. Adapun dalil-dalil yang mengharamkan
operasi ganti kelamin antara lain sebagi berikut:
1. Al-Qur‟an surat Al-Hujarat ayat 13:

               

      

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat: 13).

2. Al-Qur‟an surat An-nisa‟ ayat 119:

          

           

Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-
angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga
binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya], dan akan aku suruh mereka
(mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang
menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia
menderita kerugian yang nyata. (QS. An-Nisa: 119).

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

99
Suhairi Hukum Transeksual dan...

Di dalam kitab shafwatul bayan disebutkan beberapa perbuatan manusia


yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptan tuhan”, seperti mengebiri
manusia, homo seksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, artinya
orang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita atau sebaliknya.199
3. Hadis nabi riwayat Bukhari dan enam ahli hadits lainnya dari Ibnu Mas‟ud
dan nilai hadisnya sahih:
‫ا ِش ْو م ِش ْو َلِّلَت ِش‬
‫ا َل ْو َل ِش‬
‫ا‬ ‫ا سَلَت َل ِّل ِش‬ ‫ا مسل ِشا ِش‬
‫ا ن مص ا سنَّن ِش ِش‬ ‫ِش ِش‬
‫ُهلل ْو ُهلل َل‬ ‫ص َل ُهلل َل‬ ‫َل‬ ‫َل‬ ‫ْو َل‬ ‫َل َل َل اُهلل َلل ا َل َل‬
Allah mengutuk wanita tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan
bulu mata, yang dihilangkan bulu mukanya, dan para wanita yang memotong
(panggur) giginya, yang semuanya itu dikerjakan dengan maksud untuk
kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.200
Hadits di atas menegaskan, bahwa apa yang telah diciptakan oleh Allah
tidak boleh dirubah. Demikian pula seorang pria atau wanita yang lahir normal
jenis kelaminnya tetapi karena lingkungan, menderita kelainan semacam
kecenderungan seksnya yang menjadikan “banci” dengan berpakaian dan
bertingkah laku yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Sebab pada
hakikatnya organ/jenis kelaminnya normal tetapi psikisnya tidak normal. Dan
Islam pun melarang seseorang berpakaian dan bertingkah laku berlawanan
dengan jenis kelaminnya. Hal ini dilarang oleh agama berdasarkan hadits nabi:
‫نِّلم ِشآ‬ ‫ِش ِش‬ ‫ِش ِش‬ ‫ِش ِش ِش‬
‫نِّلم آ ِّل َل ا َل ُهلل سَل َل ِش ْو َل م َل ِّل َل ا َل‬
‫ِش ِش ِش‬
‫َل َل َل اُهلل ْو ُهلل سَل َل َل ا م َل َل‬
Allah mengutuk wanita-wanita yang menyerupai pria-pria dan pria-pria
yang menyerupai wanita-wanita.201
Berdasarkan dalil-dalil tersebut maka hukum transeksual (operasi kelamin)
dalam Islam adalah tegas hukumnya haram. Dalam hal ini, termasuk ikut
menanggung dosa dilakukannya transeksual adalah semua pihak yang
membantu pelaksanaannya, seperti dokter beserta tim medisnya dan lain-lain.
Ketidakbolehan atau haram hukumnya melakukan transeksual (operasi
kelamin) juga ditegaskan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1 Juni
1980, keputusan nomor 1: “Merubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan
atau sebaliknya hukumnya haram, karena bertentangan dengan al-Quran surat
an-Nisa‟ ayat 119 dan bertentangan pula dengan jiwa syara‟.”202
Berkaitan dengan transgender, maka upaya yang tepat dilakukan adalah
mengembalikan kecenderungannya sesuai dengan jenis kelaminnya.
Mengembalikan kecenderungan sesuai dengan jenis kelaminnya baik bagi
transgender disebabkan faktor bawaan (hormon dan gen) serta faktor
lingkungan. Faktor bawaan, maka upaya yang dapat dilakukan dengan

199 Husnin Muhammad Makhlufi, Shofwatul Bayan, Kuwait, 1987), hlm. 131-132
200 Al-Suyuti, Al-Jami‟ Al-Shagir, vol II, (Mustafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuhu, 1954),
hal. 124
Ibid.
201

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Edisi Ketiga,
202

(Jakarta, 2010), hal. 561.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

100
Suhairi Hukum Transeksual dan...

melakukan upaya-upaya medis dengan menyeimbangkan kondisi hormonal


guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin. Bahkan upaya medis
dapat dilakukan secara preventif dengan melakukan pemeriksaan medis bagi
pasangan yang akan melakukan pernikahan. Bagi calon pasangan menikah yang
sama-sama memiliki hormon yang lemah, maka dalam rangka kemaslahatan
anak (keturunan) lebih baik jika tidak melanjutkan pernikahan. Penyimpangan
faktor genetika dapat diterapi secara moral dan secara religius.203
Sedangkan transgender yang disebabkan faktor lingkungan, pendekatan-
pendekatan keagamaan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran perlu
dilakukan secara intensif dan melalui cara-cara yang bijak. Tindakan-tindakan
yang menghakimi, memberikan stigma negatif, menyudutkan dan sebagainya
harus dihindari dan tidak perlu dilakukan, karena akan lebih memperkuat
keinginan untuk berperilaku menyimpang. Sebagaimana juga dikemukakan oleh
Quraish Shihab; mengimbau agar umat tidak melakukan tindakan sewenang-
wenang terhadap kaum LGBT. Sebab, menurut dia, mereka adalah orang yang
sedang dijangkiti penyakit dan membutuhkan pertolongan dan pengobatan dari
umat.204
Sedangkan mengenai orang yang lahir tidak normal organ kelaminnya,
hukum melakukan operasi kelaminnya tergantung organ kelamin luar dan
dalam, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Apabila seseorang memiliki organ kelamin dua/ganda, penis dan
vagina, maka untuk memperjelas identitas jenis kelaminnya, ia boleh
melakukan operasi mematikan organ kelamin yang satu dan
menghidupkan organ kelamin yang lain yang sesuai dengan organ
kelamin bagian dalam. Misalnya seseorang yang memiliki dua alat
kelamin yang berlawanan, yaitu penis dan vagina, dan disamping itu
juga memiliki rahim dan ovarium yang merupakan ciri khas untuk jenis
kelamin wanita, maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk
melakukan operasi mengangkat penisnya demi mempertegas identitas
jenis kelamin kewanitaannya.
2. Apabila seseorang yang memiliki organ kelamin yang kurang sempurna
bentuknya, misalnya vagina yang tidak berlubang dan ia mempunyai
rahim dan ovarium, maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan oleh agama
untuk operasi memberi lubang pada vaginanya. Demikian pula kalau
seseorang memiliki penis dan testis, tatapi lubang penisnya tidak berada
diujung penisnya (glas penis) tetapi dibagian bawah penisnya, maka ia
pun baleh bahkan dianjurkan operasi untuk dibuatkan lubangnya yang
normal.205

203 Sri Habsari, Bimbingan dan Konseling, diakses pada 20 Maret 2016 dari
http://books.google.co.id
204 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/03/
205 Masjfuki Zuhdi, Masail al-Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), h. 172-173

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

101
Suhairi Hukum Transeksual dan...

Adapun dalil-dalil syar‟i yang membenarkan tindakan tersebut adalah


sebagai berikut:
1. ‫ة ْلاى َجَصْل يَج َج ِلح َجٗ َج ْل ِل اى َجَ َجا ِلا ِلد‬
‫ىِل َج ْلي ِل‬
Untuk mengusahakan kemaslahatan dan menghilangkan kemudlaratan.
Karena itu, apabila kemajuan tekhnologi kedokteran bisa memperbaiki
kondisi kesehatan fisik dan psikis si banci alami/orang yang tidak memiliki
organ kelamin yang sempurna melalui operasi kelamin, maka Islam
membolehkan bahkan menganjurkan, karena akan tercapainya maslahah
yang lebih besar daripada mafsadahnya.
2. Kalau kebencian alami bisa dikategorikan sebagai “penyakit” maka wajib
berikhtiyar untuk diobati, sebagaimana tersebut dalam hadits:
‫ٍء ِش ِش‬ ‫ِش‬ ‫ِش ِش‬
‫تَل َلد ُهلل ْو َل َلا ا َلِش َّن اَل تَلَت َل َلل َل ْو َل َل ْو َلا آًء َّن َل ْو َل َل ُهلل َلا َل آًء َل ْوَت َل َلا آ َل اد ْو َل َل ُهلل‬
Berobatlah hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan
penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit ialah penyakit
tua.206
Adapun hadits nabi yang melarang orang merubah ciptaan Allah
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan lain-lain dari Ibnu Mas‟ud di atas,
apabila tidak membawa maslahah yang besar, bahkan mafsadah (mudlarat) lebih
besar. Tetapi apabila merubah ciptaan Allah itu membawa maslahah yang besar
dan menghindari mafsadah dan kemudlaratan, maka sangat dianjurkan.207
Berdasarkan hal tersebut, maka operasi kelamin yang dilakukan dalam
rangka menyempurnakan alat kelamin, baik bagi yang memiliki alat kelamin
ganda atau alat kelamin yang tidak sempurna, maka hukumnya dalam Islam
boleh bahkan dianjurkan. Hal ini sangat beralasan, karena operasi kelamin yang
dilakukan merupakan upaya untuk memperjelas identias kelamin bagi yang
memiliki alat kelamin ganda dengan mematikan/menghilangkan alat kelamin
yang tidak wajar/tidak seharusnya ada sesuai dengan kecenderungan yang lebih
kuat, yaitu didasarkan kesesuaian alat kelamin dengan organ tumbuh di dalam.
Demikian juga sebagai upaya menyempurnakan terhadap alat kelamin yang
tidak sempurna. Operasi kelamin yang sedemikian merupakan upaya untuk
penyempurnaan/perbaikan terhadap alat kelamin yang ada.

Kedudukan Hukum Pelaku Transeksual dalam Kewarisan Islam


Kedudukan hukum pelaku transeksual sangat ditentukan oleh hukum
transeksual. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa hukum transeksual-bagi
operasi alat kelamin yang jelas dan normal- dalam Islam adalah haram, maka
hasil transeksual (operasi kelamin) tidak diakui. Pelaku transeksual wanita
merubah kelamin menjadi pria, dalam Islam kedudukan hukum sebagai pria
tidak diakui. Dalam hal ini yang bersangkutan tetap diakui sesuai dengan
kelamin sebelum melakukan transeksual. Demikian pula sebaliknya pria yang

206 Al-Suyuthi, Op. Cit, hlm. 130


207 Masjfuk Zuhdi, hal. 174.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

102
Suhairi Hukum Transeksual dan...

melakukan transeksual menjadi wanita, kedudukan hukumnya tetap diakui


sebagai pria.
Kedudukan hukum pelaku transeksual tetap sesuai dengan jenis kelaminnya
sebelum melakukan transeksual, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa Majelis
Ulama Indonesia tanggal 1 Juni 1980, keputusan nomor 2, “Orang yang kelaminnya
diganti kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula
sebelum dirubah.”208 Demikian pula hal ini dipertegas melalui musyawarah
nasional MUI tanggal 27 Juli 2010 di Jakarta, sebagaimana disampaikan oleh
sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh: “Karena keabsahannya tidak
boleh ditetapkan, maka kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah
melakukan operasi kelamin tetap dengan jenis kelamin semula seperti sebelum
operasi. Tanpa kecuali bagi mereka yang sudah mendapat penetapan
pengadilan,”.209
Memperhatikan kedudukan hukum pelaku transeksual tetap diakui sesuai
dengan jenis kelamin semula sebelum operasi kelamin, maka bagi transgender pria
yang merubah kelaminnya menjadi wanita, dalam kewarisan Islam kedudukan
hukumnya tetap diakui sebagai ahli waris pria. Demikian pula sebaliknya,
transgender wanita yang melakukan operasi kelamin menjadi pria, dalam
kewarisan Islam kedudukan hukumnya tetap diakui sebagai ahli waris wanita.
Demikian pula dinyatakan dalam buku Kajian Fiqh Kontemporer: Apabila
sifat dan tujuan operasi kelaminnya itu tabdil/taghyiril khilqah (merubah ciptaan
Allah) dengan jalan operasi penggantian jenis kelamin dari pria menjadi wanita atau
sebaliknya, maka status jenis kelaminnya tetap, tidak berubah, sehingga
kedudukannya sebagai ahli waris tetap berstatus dengan jenis kelaminnya yang asli
pada waktu lahirnya. Karena itu, seorang wanita yang melakukan operasi ganti
kelamin menjadi pria, tidak berhak menuntut bagian warisannya sama dengan
bagian pria, sebab ia menurut hukum tetap berstatus sebagai wanita.210
Sedangkan bagi pelaku operasi kelamin dalam rangka untuk tahsin/takmil,
hanya untuk memperbaiki atau menyempurnakan jenis kelaminnya saja, maka
kedudukan hukumnya dalam kewarisan Islam sesuai dengan jenis kelaminnya
setelah operasi.211 Pengakuan kedudukan hukum jenis kelamin sesuai dengan hasil
operasi kelamin, mengingat operasi kelamin yang dilakukan dalam rangka
perbaikan atau penyempurnaan jenis kelamin. Hal ini juga ditegaskan dalam fatwa
MUI tahun 1980, diktum nomor 3 menyatakan: “Seorang khuntsa (banci) yang
kelaki-lakiannya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula
sebaliknya dan hukumnya menjadi positif (laki-laki).212

208 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Edisi Ketiga,

Jakarta, 2010, hal. 561.


209 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/14/mi5z5t-fatwa-mui-

operasi-ganti-kelamin-haram
210 Kutbuddin Aibak, 2009, Kajian Fiqh Kontemporer, TERAS), hal. 142.
211 Ibid., hal. 143.
212 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa, hal. 561.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

103
Suhairi Hukum Transeksual dan...

Penutup
Berdasarkan paparan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Hukum transeksual (operasi kelamin) terhadap alat kelamin yang jelas dan
normal adalah haram. Sedangkan bagi operasi kelamin dalam rangkan
penyempurnaan/perbaikan terhadap alat kelamin ganda atau alat kelamin
yang tidak sempurna hukumnya boleh, bahkan dianjurkan dalam Islam.
2. Kedudukan hukum pelaku transeksual (operasi kelamin) terhadap alat
kelamin yang jelas dan normal tidak berubah, tetap sesuai jenis kelamin
semula sebelum operasi. Wanita yang melakukan transeksual menjadi pria,
maka kedudukan hukum dalam kewarisan Islam tetap sebagai wanita.
Demikian juga sebaliknya, pria yang melakukan transeksual (operasi kelamin)
menjadi wanita, kedudukan hukum dalam kewarisan Islam tetap sebagai pria.
Sedangkan bagi pelaku operasi kelamin dalam rangka
penyempurnaan/perbaikan terhadap alat kelamin ganda atau alat kelamin
yang tidak sempurna, kedudukan hukum dalam kewarisan Islam sesuai
dengan jenis kelamin hasil operasi.

Daftar Pustaka
Al-Suyuti, Al-Jami‟ Al-Shagir, vol II, Mustafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuhu, 1954
Dadang Hawari, Psikiater, Al Qur‟an: Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa, cet. Ke-XI,
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004
Husnin Muhammad Makhlufi, Shofwatul Bayan, Kuwait, 1987
Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004
Kutbuddin Aibak, 2009, Kajian Fiqh Kontemporer, TERAS
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Edisi Ketiga,
Jakarta, 2010
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Edisi Ketiga,
Jakarta, 2010
Masjfuki Zuhdi, Masail al-Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1988

Web
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/14/mi5z5t-fatwa-
mui-operasi-ganti-kelamin-haram
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/03/
http://www.ubaya.ac.id/2014/content/interview_detail/56/Tak-Seorang-Pun-
Ingin-Menjadi-Transgender.html .
http://www.ubaya.ac.id/2014/content/interview_detail/56/Tak-Seorang-Pun-
Ingin-Menjadi-Transgender.html
Sri Habsari, Bimbingan dan Konseling, diakses pada 20 Maret 2016 dari
http://books.google.co.id

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

104
DAMPAK LGBT DAN ANTISIPASINYA DI MASYARAKAT

Ihsan Dacholfany
Khoirurrijal
IAIN Metro, Universitas Muhammadiyah Metro
mihsandacholfany@yahoo.com

Abstract
This research discuss about the impact of LBT and its anticipation. LGBT has many
impacts. The health impact can be shown by 78% homosexuals infected with sexually
transmitted diseases. LBGT also provide social impact. The research shown that a gay
have 20-106 couple per year. Whereas, someone zina‟s couple is not more than 8 peoples
in his whole life. 43% of gay groups who has investigated declare that in their whole life
they do homosexual more than 500 people. In education impact, the learners who believe
they are homo faced dropout problem 5 times greater than normal students because they
feel insecurity. Moreover, 28% of them were force to leave the school. In the field of safety
impact, homosexuals cause sexual abuse of children in United States; in fact their
population just 2% of the total of America population. It can be concluded that 1 of 20
homosexual case is sexual abuse of children, whereas from 490 cases of adultery, one of
that is the sexual abuse of children.
Key words: LGBT, Damage, Anticipation

Abstrak
Penelitian ini membahas terkait dampak LGBT dan antisipasinya. Dampak-dampak yang
ditimbulkan dari LGBT adalah Dampak kesehatan. Dampak-dampak kesehatan yang
ditimbulkan di antaranya adalah 78% pelaku homo seksual terjangkit penyakit kelamin
menular. Dampak sosial, Beberapa dampak sosial yang ditimbulkan akibat LGBT adalah
sebagai berikut Penelitian menyatakan seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106
orang per tahunnya. Sedangkan pasangan zina seseorang tidak lebih dari 8 orang seumur
hidupnya.” 43% dari golongan kaum gay yang berhasil didata dan diteliti menyatakan
bahwasanya selama hidupnya mereka melakukan homo seksual dengan lebih dari 500
orang. Dampak Pendidikan, adapun dampak pendidikan di antaranya yaitu siswa
ataupun siswi yang menganggap dirinya sebagai homo menghadapi permasalahan putus
sekolah 5 kali lebih besar daripada siswa normal karena mereka merasakan
ketidakamanan. Dan 28% dari mereka dipaksa meninggalkan sekolah. Dampak
Keamananya itu; Kaum homo seksual menyebabkan 33% pelecehan seksual pada anak-
anak di Amerika Serikat; padahal populasi mereka hanyalah 2% dari keseluruhan
penduduk Amerika. Hal ini berarti 1 dari 20 kasus homo seksual merupakan pelecehan
seksual pada anak-anak, sedangkan dari 490 kasus perzinaan 1 di antaranya merupakan
pelecehan seksual pada anak-anak.
Kata kunci: LGBT, Kerusakan dan Antisipasi

Pendahuluan
Meskipun beragam perilaku seksual dan identitas gender telah dikenal di
wilayah Nusantara pada masa-masa terdahulu, identitas homoseksual baru
muncul di kota-kota besar pada awal abad ke-20. Baru pada akhir tahun 1960-an,
gerakan LGBT mulai berkembang melalui kegiatan pengorganisasian yang
dilakukan oleh kelompok wanita transgender, atau yang kemudian dikenal
sebagai waria. Mobilisasi pria gay dan wanita lesbian terjadi pada tahun 1980-an,
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

melalui penggunaan media cetak dan pembentukan kelompok-kelompok kecil di


seluruh Indonesia. Mobilisasi ini semakin mendapatkan dorongan dengan
maraknya HIV pada tahun 1990-an, termasuk pembentukan berbagai organisasi
di lebih banyak lokasi. Pada dasawarsa tersebut juga terjadi sejumlah pertemuan
nasional awal, dengan disertai beberapa perkembangan penting dalam gerakan
LGBT, antara lain pembentukan aliansi dengan berbagai organisasi feminis,
kesehatan seksual dan reproduktif, gerakan pro-demokrasi dan HAM, serta
kalangan akademis. Setelah peristiwa dramatis tahun 1998 yang membawa
perubahan mendasar pada sistem politik dan pemerintahan Indonesia, gerakan
LGBT berkembang lebih besar dan luas dengan pengorganisasian yang lebih
kuat di tingkat nasional, program yang mendapatkan pendanaan secara formal,
serta penggunaan wacana HAM untuk melakukan advokasi perubahan
kebijakan di tingkat nasional. Namun keberhasilan ini sangatlah sederhana
dipandang secara keseluruhan, dengan banyaknya organisasi dan individu yang
berhasil melakukan perubahan-perubahan kecil namun tanpa terjadi perubahan
besar, baik dalam perundang-undangan maupun penerimaan oleh masyarakat.
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum
nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT
walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik
perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada
undang-undang anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi
seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan
gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak
memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah
dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait. Sejumlah Perda
melarang homoseksualitas sebagai tindak pidana karena dipandang sebagai
perbuatan yang tidak bermoral, meskipun empat dari lima Perda yang terkait
tidak secara tegas mengatur hukumannya.
Secara sosiologis, homoseksual213 adalah seseorang yang cenderung
mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual.
Homoseksual sudah dikenal sejak lama, misalnya pada masyarakat Yunani
Kuno. Di Inggris baru pada akhir abad ke 17 homoseksualitas hanya dipandang
sebagai tingkah-laku seksual belaka, namun juga peranan yang agak rumit
sifatnya, yang timbul dari keinginan-keinginan maupun aktivitas para
homoseks. Kinsey, Pomeroy dan Martin dalam penelitian yang terkenal tentang
seksualitas di Amerika, mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah
mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatu masa kehidupannya, tetapi
hanya 4% yang benar-benar homoseksual dan mengekspresikan kecenderungan
erotisnya pada sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya karena
rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan
bahwa mempunyai hubungan homoseksual tidak berarti seseorang menjadi
homoseks. Yang lebih penting secara sosiologis adalah pengungkapan identitas
homoseksual. Melalui identitas itu, seseorang mengkonsepkan dirinya sebagai
homoseks.214

213 Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 381
214 Siahaan, Jokie M.S, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis, (Jakarta: PT. Indeks, 2009),
hal. 43
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

106
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

Pada lingkungan kebudayaan yang relatif modern, keberadaan kaum


homoseksual masih ditolak oleh sebagian besar masyarakat sehingga
eksistensinya berkembang secara sembunyi-sembunyi. Gadpaille menyatakan
bahwa pada masa sekarang masyarakat modern cenderung bersikap negatif
terhadap aktivitas erotik antar sesama jenis kelamin. Pandangan negatif
mengenai homoseksual inilah yang menyebabkan homoseksual cenderung tidak
diterima masyarakat, rentan mengalami diskriminasi, cemoohan serta sanksi-
sanksi sosial lainnya.215 Sejumlah keberatan terhadap perilaku homoseksual
sebagian besar adalah karena alasan keagamaan. Lenhne mencetuskan istilah
homophobia216 untuk menggambarkan kekuatan irasional dan intoleransi terhadap
homoseksual. Seorang individu yang diketahui sebagai pria homoseksual atau
gay beresiko untuk mengalami diskriminasi dalam pekerjaan dan kehidupan
sosialnya217 Sanksi sosial yang diberikan masyarakat pada umumnya beragam,
mulai dari cemoohan, penganiayaan, hingga hukuman mati seperti yang pernah
terjadi pada negara-negara di barat. Penolakan serta diskriminasi masyarakat
terhadap kaum homoseksual yang berupa tuntutan untuk menjadi heteroseksual
dalam seluruh aspek kehidupan melatarbelakangi keputusan sebagian kaum
homoseksual untuk tetap menyembunyikan keadaan orientasi seksualnya dari
masyarakat sehingga orang-orang yang memiliki orientasi homoseksual memilih
untuk menutupi orientasi seksualnya baik secara sosial, adat dan hukum.
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) jika dipandang dari sudut
pandang Islam merupakan masalah besar yang dampaknya sangat
membahayakan bagi umat manusia. Ajaran Islam melarang tegas perilaku
menyimpang ini karena tidak sesuai dengan fitrah manusia. Allah SWT
berfirman:

.             .    

“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-
istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang
melampaui batas” (QS. Asy-Syu‟arâ‟: 165-166)

  .             

...      

“Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala Dia
berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah (keji)218
itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?‟

215Ary,Gay. (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 9


216Homophobia adalah ketakutan berada dekat, berinteraksi dan berhubungan dengan
homoseksual karena dianggap dapat memberikan pengaruh yang buruk karena homoseksual
adalah sesuatu yang sangat negatif sifatnya. Dapat juga didefinisikan sebagai tekanan dari
supremasi kaum heteroseks secara terus menerus berdasarkan atas adanya perbedaan orientasi
seksual (Tatchell, 2003).
217Chumairoh, Fitroh, Perkawinan Simbolik: Studi Kualitatif tentang Seorang Gay yang Melakukan

Perkawinan dengan Lawan Jenis, 2008, hal. 5


218 Perbuatan fâhisyah di sini ialah: homoseksual sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Al-

A‟râf : 81.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

107
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada


mereka), bukan kepada wanita,…” (Q.S. Al-A‟râf: 80-81)
Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku
homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi,
An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaki).
Al-Quran dan Hadits di atas sudah menerangkan dengan tegas dan jelas
bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sangat berat sanksinya
di dunia. Apabila tidak dikenakan di dunia maka sanksi tersebut akan
diberlakukan di akhirat. Sedangkan hukuman bagi pelaku sihaq (lesbi), menurut
kesepakatan para ulama, adalah ta‟zir, di mana pemerintah yang memiliki
wewenang untuk menentukan hukuman yang paling tepat, sehingga bisa
memberikan efek jera bagi pelaku perbuatan haram ini.219
Menurut kajian Counseling and Mental Health Care of Transgender Adult and
Loved One tahun 2006, fenomena transgender muncul tidak hanya karena
pengaruh lingkungan. Namun dalam sudut pandang ilmu kesehatan mental,
transgender bisa muncul dipengaruhi oleh budaya, fisik, seks, psikososial, agama
dan aspek kesehatan. Banyaknya penyebab muculnya fenomena transgender
dapat menjadi kajian tersendiri bagi konselor dan profesi helper lainnya seperti
psikolog dan psikiater yang menangani masalah tersebut. Semakin kompleks
masalah yang dialami konseli, maka semakin memerlukan diagnosis khusus
terhadap masalah tersebut.

Pengertian LGBT
Homoseksualitas adalah kesenangan yang terus menerus terjadi dengan
pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau
mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain,
homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri
dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
III220 (DepKes RI, 1998: 115), homoseksualitas dimasukkan dalam kategori
gangguan psikoseksual dan disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu
“identitas jenis kelamin atau preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu
mengharapkan yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku
serta mencari pengobatan untuk mengubahnya.” Artinya homoseksualitas
dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak senang dengan
orientasi seksualnya dan bermaksud mengubahnya.
Istilah homoseksual dan heteroseksual digunakan merujuk pada orientasi
seksual seseorang. Orientasi seksual menunjuk pada jenis kelamin pasangan

219 Husaini, Adian, LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya, (Jakarta: Insists, 2015), hal
108.
220 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa Di Indonesia, Edisi ke III. Direktorat Kesehatan Jiwa, dan Dirjen Pelayanan Kesehatan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

108
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

erotis, cinta ataupun afeksi yang dipilih. Orientasi seksual terbentuk mulai saat
hormon–hormon seksual berkembang, yaitu pada saat seseorang memasuki usia
remaja. Sebelum masa tersebut, ketertarikan kepada orang lain masih belum
dapat dianggap sebagai ketertarikan seksual.221 Seorang gay adalah seorang
homoseksual karena ia adalah laki-laki, sedangkan pasangan erotis, cinta,
ataupun afeksinya adalah juga laki-laki.
Identitas seksual berarti bagaimana seseorang memandang dirinya, baik
sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Identitas seksual mengacu pada
hasil pembagian jenis kelamin secara kromosomal, kromatinal (genetis), gonadal,
hormonal, dan somatis (fenotipis, biotipis). Atau dengan kata lain, identitas
seksual mengacu pada kejantanan (maleness) atau kebetinaan (femaleness) dari
segi ragawi (bentuk tubuh), khususnya alat kelamin luar. Akan tetapi, ada
penelitian yang menunjukkan bahwa identitas seksual bukan merupakan
bawaan saat lahir, tetapi lebih merupakan pembelajaran melalui pengalaman
yang diberikan secara tidak resmi dan tidak terencana. Bila seorang anak, yang
pada saat dilahirkan diperlakukan menurut identitas seksualnya yang berbeda
dari jenis kelamin biologisnya, maka ia akan tumbuh sesuai dengan identitas
seksual yang diberikan kepadanya.

Dampak LGBT
Abdul Hamid El-Qudah, Seorang Dokter Spesialis Penyakit Kelamin
Menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam Dunia (FIMA) menjelaskan
dampak-dampak yang ditimbulkan dari LGBT adalah222 :
1. Dampak kesehatan
Dampak-dampak kesehatan yang ditimbulkan di antaranya adalah
78% pelaku homo seksual terjangkit penyakit kelamin menular.223 Rata-
rata usia kaum gay adalah 42 tahun dan menurun menjadi 39 tahun jika
korban AIDS dari golongan gay dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan
rata-rata usia lelaki yang menikah dan normal adalah 75 tahun. Rata-rata
usia Kaum lesbian adalah 45 tahun sedangkan rata-rata wanita yang
bersuami dan normal 79 tahun.224
2. Dampak sosial
Beberapa dampak sosial yang ditimbulkan akibat LGBT adalah
sebagai berikut: Penelitian menyatakan “seorang gay mempunyai
pasangan antara 20-106 orang per tahunnya. Sedangkan pasangan zina

221 Oetomo, Dede, Memberi Suara pada yang Bisu, (Yogyakarta: Galang Press. 2001), hal. 26
222 El-Qudah, Abdul Hamid. Kaum Luth Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Islah Bina Umat, 2015),
hal. 65-71.
223Rueda, E. “The Homosexual Network.” (Old Greenwich, Conn., The Devin Adair Company,

1982), hal. 53.


224 Fields, DR. E. “Is Homosexual Activity Normal?” Marietta, GA.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

109
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

seseorang tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya.”225 43% dari


golongan kaum gay yang berhasil didata dan diteliti menyatakan
bahwasanya selama hidupnya mereka melakukan homo seksual dengan
lebih dari 500 orang. 28% melakukannya dengan lebih dari 1000 orang.
79% dari mereka mengatakan bahwa pasangan homonya tersebut
berasal dari orang yang tidak dikenalinya sama sekali. 70% dari mereka
hanya merupakan pasangan kencan satu malam atau beberapa menit
saja.226 Hal itu jelas-jelas melanggar nilai-nilai sosial masyarakat.
3. Dampak Pendidikan
Adapun dampak pendidikan di antaranya yaitu siswa ataupun
siswi yang menganggap dirinya sebagai homo menghadapi
permasalahan putus sekolah 5 kali lebih besar daripada siswa normal
karena mereka merasakan ketidakamanan. Dan 28% dari mereka
dipaksa meninggalkan sekolah.227
4. Dampak Keamanan
Dampak keamanan yang ditimbulkan lebih mencengangkan lagi yaitu:
Kaum homo seksual menyebabkan 33% pelecehan seksual pada
anak-anak di Amerika Serikat; padahal populasi mereka hanyalah 2%
dari keseluruhan penduduk Amerika. Hal ini berarti 1 dari 20 kasus
homo seksual merupakan pelecehan seksual pada anak-anak, sedangkan
dari 490 kasus perzinaan 1 di antaranya merupakan pelecehan seksual
pada anak-anak.228 Meskipun penelitian saat ini menyatakan bahwa
persentase sebenarnya kaum homo seksual antara 1-2% dari populasi
Amerika, namun mereka menyatakan bahwa populasi mereka 10%
dengan tujuan agar masyarakat beranggapan bahwa jumlah mereka
banyak dan berpengaruh pada perpolitikan dan perundang-undangan
masyarakat.229
LGBT dan Antisipasinya
Mengingat banyak sekali dampak-dampak yang ditimbulkan dari perilaku
menyimpang LGBT, maka diperlukan cara mengantisipasinya agar selamat dari
bahaya LGBT ini, di antaranya adalah:
1. Menumbuhkan Kesadaran Individual Pelaku LGBT
Tak dipungkiri bahwa setan menjadi musuh abadi manusia yang
akan terus menyesatkan dan menjerumuskan manusia ke dalam lembah
kebinasaan.
Allah SWT berfirman:

225Corey, L. And Holmes, K. Sexual Transmissions of Hepatitis A in Homosexual Men.” New

England J. Med., 1980, hal. 435-438.


226 Bell, A. and Weinberg, M.Homosexualities: a Study of Diversity Among Men and

Women. New York: Simon & Schuster, 1978.


227 National Gay and Lesbian Task Force, “Anti-Gay/Lesbian Victimization,” New York, 1984.
228 Psychological Report, 1986, hal. 327-337.
229 Science Magazine, 18 July 1993, hal. 322.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

110
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

“Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh setan; sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Az-Zukhruf: 62)
Cara setan dalam menyesatkan manusia adalah dengan memoles
perbuatan maksiat dan jahat sehingga tampak indah dalam pandangan
manusia. “Iblis berkata: Ya Rabbi, karena Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, maka pasti aku akan menjadikan mereka memandang
baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya.” (Q.S. Al-Hijr: 39)
Allah SWT berfirman:
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah
perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar Maha
Mengetahui.” (Q.S. Fussilat: 36)
Upaya manusia salah satunya adalah dengan berlindung kepada
Allah SWT agar terhindar dari kejahatan setan sebagaimana Allah SWT
berfirman:
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia,
sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan
manusia.” (Q.S. An-Nas: 1-6)
Kemudian setelah mengenal adalah menyesali perbuatan tersebut
dan berupaya kembali kepada Allah SWT dengan memperbanyak istighfar
serta memohon ampunan atas segala kesalahan dan dosa yang dilakukan
serta segera melakukan Taubatan Nashuha. Proses penyucian hati dalam
Islam dikenal dengan Tazkiyatun Nafs yakni dengan cara beribadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui dzikir, memuji Asma Allah,
berpikir positif (Husnuzhan) tidak hanya kepada sesama manusia tetapi
juga terhadap diri sendiri dan Allah SWT serta memperbanyak doa
kepada-Nya.
2. Menerapkan Usulan Untuk Menanggulangi Wabah LGBT di Indonesia
Penyelesaian masalah LGBT dalam lingkup yang lebih luas seperti
yang terjadi di masyarakat, dapat dilakukan dengan cara, yaitu230:
a. Dalam jangka pendek, perlu dilakukan peninjauan kembali peraturan
perundang-undangan yang memberikan kebebasan melakukan praktik
hubungan seksual sejenis. Perlu ada perbaikan dalam pasal 292 KUHP,
misalnya, agar pasal itu juga mencakup perbuatan hubungan seksual
sejenis dengan orang yang sama-sama dewasa. Pemerintah dan DPR
perlu segera menyepakati untuk mencegah menularnya legalisasi LGBT
itu dari AS dan negara-negara lain, dengan cara memperketat peraturan
perundang-undangan. Bisa juga sebagian warga masyarakat Indonesia
yang sadar dan peduli untuk mengajukan gugatan judicial review

230 Husaini, Adian, LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya, (Jakarta: Insists, 2015), hal
117 - 120.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

111
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

terhadap pasal-pasal KUHP yang memberikan jalan terjadinya tindak


kejahatan di bidang seksual.
b. Dalam jangka pendek pula, sebaiknya ada Perguruan Tinggi yang secara
resmi mendirikan Pusat Kajian dan Penanggulangan LGBT. Pusat kajian
ini bersifat komprehensif dan integratif serta lintas bidang studi.
Aktivitasnya adalah melakukan penelitian-penelitian serta konsultasi
psikologi dan pengobatan bagi pengidap LGBT.
c. Masih dalam jangka pendek, sebaiknya juga masjid-masjid besar
membuka klinik LGBT, yang memberikan bimbingan dan penyuluhan
keagamaan kepada penderita LGBT, baik secara langsung maupun
melalui media online, bahkan juga pengobatan-pengobatan terhadap
penderita LGBT. Bisa dipadukan terapi modern dengan beberapa bentuk
pengobatan seperti bekam, ruqyah syar‟iyyah, dan sebagainya.
d. Pemerintah bersama masyarakat perlu segera melakukan kampanye
besar-besaran untuk memberikan penyuluhan tentang bahaya LGBT,
termasuk membatasi kampanye-kampanye hitam kaum liberalis yang
memberikan dukungan kepada legalisasi LGBT.
e. Kaum muslimin, khususnya, perlu memberikan pendekatan yang
integral dalam memandang kedudukan LGBT di tengah masyarakat.
Bagaimana pun LGBT adalah bagian dari umat manusia yang harus
diberikan hak-haknya sesuai dengan prinsip kemanusiaan, sambil terus
disadarkan akan kekeliruan tindakan mereka. Dalam hal ini, perlu segera
dilakukan pendidikan khusus untuk mencetak tenaga-tenaga dai bidang
LGBT. Lebih bagus jika program ini diintegrasikan dalam suatu prodi di
Perguruan Tinggi dalam bentuk „Konsentrasi Program studi‟.
f. Para pemimpin dan tokoh-tokoh umat Islam perlu banyak melakukan
pendekatan kepada para pemimpin di media massa, khususnya media
televisi, agar mencegah dijadikannya media massa sebagai ajang
kampanye bebas penyebaran paham dan praktik LGBT ini.
g. Secara individual, setiap Muslim, harus aktif menyuarakan kebenaran,
melakukan amar ma‟ruf dan nahi munkar. Kepada siapa pun yang
terindikasi ikut melakukan penyebaran paham legalisasi LGBT.
Sebagaimana tuntunan Al-Quran, dakwah perlu dilakukan dengan
hikmah, mauidhatil hasanah dan berdebat dengan cara yang baik.
h. Lembaga-lembaga donor dan kaum berpunya di kalangan Muslim, perlu
memberikan beasiswa secara khusus kepada calon-calon doktor yang
bersedia menulis disertasi dan bersungguh-sungguh untuk menekuni
serta terjun dalam arena dakwah khusus penyadaran pengidap LGBT.
i. Media-media massa muslim perlu menampilkan sebanyak mungkin
kisah-kisah pertobatan orang-orang LGBT dan mengajak mereka untuk
aktif menyuarakan pendapat mereka, agar masyarakat semakin optimis,
bahwa penyakit LGBT bisa disembuhkan.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

112
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

j. Orang-orang yang sadar dari LGBT perlu didukung dengan sarana dan
prasarana yang memadai, khususnya oleh pemerintah agar mereka dapat
berhimpun dan memperdayakan dirinya dalam menjalani aktivitas
kehidupan sehari-hari dan melaksanakan aktivitas penyadaran kepada
para LGBT yang belum sadar akan kekeliruannya.

Islam sebagai Solusi Permasalahan Umat


Islam mengatasi permasalahan LGBT ini dari akar-akarnya, dengan cara
mengharamkan semua penyebab-penyebab penyakit ini, sehingga diharamkan
perzinaan, homo seksual dan semua hal yang bisa menyebabkan keduanya. Hal
inilah yang dapat memberikan perlindungan hakiki dari terserang penyakit
kelamin.
Metode Islam dalam Melawan Penyakit AIDS terdiri dari sekumpulan
akidah dan falsafah yang lurus di masyarakat, karakteristik usia dan hubungan-
hubungan sosial serta sekumpulan akidah yang baku dalam memandang tiga
pilar utama: manusia, alam semesta dan kehidupan. Dasar-dasar itu ditentukan
oleh Allah Ta‟ala melalui syariatnya yang sempurna diambillah sumber syariat
dan batasan-batasannya yang benar dengan pola hubungan sosial antar manusia.
Dengan begitu maka sumbernya adalah tauhid kepada Allah Ta‟ala Tuhan
alam semesta, batasannya adalah syariat Islam dan kasih sayang antar sesama
manusia merupakan pola pengatur hubungan antar sesama manusia. Dengan
kerangka yang luas dan kompleks inilah diambil metode Islam dalam melawan
IDS, karena Islam menganggap menjaga tubuh merupakan salah satu tujuan
Islam dan salah satu cara menjaga kekuatan.
Dalam hal ini Nabi Shalallahu „alaihi wasallam bersabda:
‫ال ِم ِم‬
)‫ (ر ه سلم‬... ‫ي‬ ‫اْل ُم ْل ِم ُم اْل َق ِم ُّى َق ْلْيٌر َق َق َق ُّى ِم َق الَّل ِم ِم َق اْل ُم ْل ِم ِم َّل‬
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang
lemah…” (HR. Muslim)
Perbedaan utama antara metode Islam dengan strategi PBB dalam
mengobati wabah AIDS adalah bahwasanya metode Islam berupaya untuk
mengeringkan sumber penyakit, mengatasi penyebabnya dan membelenggu
bahayanya. Sedangkan strategi PBB malahan mempertahankan sumber
penyakit-dengan membela hak-hak homo seksual dan seks bebas dan berupaya
untuk berinteraksi dengan dampaknya saja-seperti dengan membagikan
kondom dengan alasan untuk menjaga kebebasan pribadi sedangkan hakikatnya
ia menghancurkan hak-hak umat, bangsa dan Negara dengan berupaya untuk
mewajibkan pola kehidupan barat ke seluruh penjuru dunia.
Gagasan yang ditawarkan untuk mengatasi fenomena LGBT adalah Six
continuum of Transgender Counseling (Enam Kontinum dari Transgender
Counseling). Enam kontinum ini bertujuan untuk memberikan arahan bagi setiap
konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan psikiater yang akan
melakukan proses konseling dengan latar belakang lesbian, gay bisexsual dan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

113
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

transgender. Setiap kontinum merupakan sebuah tahapan yang harus dilalui


konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan psikiater. Tidak
diperbolehkan untuk melakukan lompatan-lompatan pada setiap kontinum
karena setiap kontinum yang berupa tahapan konseling akan saling terkait. Satu
saja konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan psikiater
melewatkan satu kontinum sebagai tahapan yang harus dilakukan, maka
kemungkinan yang terjadi adalah diagnosa yang kurang tepat terhadap masalah
konseli. Keenam kontinum yang harus dilalui konselor serta profesi helper
lainnya seperti psikolog dan psikiater antara lain231:
Self Merupakan tahapan kontinum pertama yang menjadi salah satu titik
penting dalam perjalanan kontinum yang selanjutnya. Self mengacu kepada diri
seseorang berkaitan dengan seluruh identitas yang ada pada dirinya, contoh
konkritnya adalah nama, alamat, nama orang tua, lingkungan keluarga dan
pengaruhnya terhadap konseli dan aspek lain-lainnya yang berkaitan dengan
diri.
Hal lain yang menjadi aspek penting dalam self adalah bagaimana konseli
mampu menyadari identitas asli mereka dengan segala aspek bawaan yang ada
pada dirinya. Tujuan utama dalam self adalah penggalian informasi yang
lengkap terkait dengan jati diri konseli yang sebenarnya sesuai dengan apa yang
mereka sadari sebelumnya.
Differential of feeling. Berdasarkan pada kontinum sebelumnya, maka
langkah kontinum selanjutnya adalah pengidentifikasian konseli terhadap
perbedaan perasaan kepada teman-teman dan lingkungan sekitarnya. Aspek
perasaan atau afektif menjadi salah aspek yang sangat penting dalam menangani
konseli/klien dengan label lesbian, gay bisexsual dan transgender. Perasaan
menjadi salah satu tolok ukur yang harus digali oleh konselor serta profesi
helper lainnya seperti psikolog dan psikiater. Aspek afektif berkaitan dengan
beberapa hal seperti berikut: (1) Gender dan problematika yang menyertainya,
(2) Bagaimana perasaan konseli terhadap teman-teman dekatnya, baik dengan
lawan jenis, maupun dengan teman sejenis, (3) Eksplorasi masalah yang
berkaitan dengan perasaan yang menyertai konseli, (4) Pemberian sebuah label
terhadap konseli dengan berbagai pertimbangan yang mengacu pada perasaan.
Identify mengacu pada identitas baru yang melekat pada diri konseli/klien.
Pada tahapan kontinum ini , konseli diajak untuk mengkonstruk kembali
pikiran, perasaan dan tindakan setelah melampaui beberapa kontinum
selanjutnya. identfikasi diri ini akan menghasilkan sebuah “deklarasi pribadi”
bahwa konseli telah mengaku sebagai orang yang normal atau menjadi seorang
lesbian, gay, bisexsual dan transgender.
Spiritual Intervention. Kontinum selanjutnya adalah spiritual intervention
yang mengacu pada intervensi konselor serta profesi helper lainnya seperti

231 Khilman Rofi Azmi, Enam Kontinum dalam Konseling Transgender Sebagai Alternatif Solusi

Untuk Konseli Lgbt, Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 1 Nom. 1 Juni 2015, hal. 52-55
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

114
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

psikolog dan psikiater terhadap konseli yang telah mendeklarasikan dirinya


sebagai lesbian, gay bisexsual dan transgender. Kontinum ini menjadi salah satu
kontinum yang mungkin tidak dibahas dalaam seting konseling di negara-
negara barat. Hal ini tentu saja dikarenakan topik agama merupakan salah satu
topik yang sensitif dan bersifat pribadi sehingga mungkin tidak pernah
digunakan oleh para konselor serta profesi helper lainnya seperti psikolog dan
psikiater di negara-negara barat kecuali dalam seting konseling pastoral atau
konseling berbasis agama lainnya.
Acceptane of environmental. Kontinum yang terakhir menjadi puncak dari
semua kontinum yang telah dilalui oleh konselor serta profesi helper lainnya
seperti psikolog dan psikiater. untuk penerimaan diri terhadap lingkungan
mengacu pada masalah-masalah yang mungkin dihadapi konseli/klien dalam
proses penyesuaian diri terhadap lingkungan. Lingkungan baru mungkin saja
belum bisa menerima kehadiran sosok konseli yang telah mendeklarasikan
dirinya menjadi lesbian, gay bisexsual dan transgender.

Penutup
Dalam pandangan Islam Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
(LGBT) merupakan masalah besar yang dampaknya sangat membahayakan bagi
umat manusia. Akan tetapi melarang LGBT dengan cara kekearsam dan tidak
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan adalah hal yang dilarang pula oleh
Islam. Walaupun Islam secara keras melarang umatnya untuk melakukan,
melegalkan dan mendukung perbuatan LGBT. Peringatan secara keras itu bisa
dilihat dari sabda Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria
pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, At
Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaki).
Penanganan kasus LGBT dapt dilakukan dengan peninjauan kembali
peraturan tentang perilaku LGBT, mendirikan pusat kajian yang membantu
penderita/korban LGBT agar bisa berperilaku normal kembali, dan berbagai
kalangan bersatu untuk membantu mengembalikan penderita LGBT agar dapat
berperilaku dan bersikap normal kembali.

Daftar Pustaka
Ary, Gay. Jakarta: Gramedia, 1987
Bell, A. and Weinberg, M, Homosexualities: a Study of Diversity Among Men and
Women, New York: Simon & Schuster, 1978.
Chumairoh, Fitroh, Perkawinan Simbolik: Studi Kualitatif tentang Seorang Gay yang
Melakukan Perkawinan dengan Lawan Jenis, 2008
Corey, L. And Holmes, K. Sexual Transmissions of Hepatitis A in Homosexual Men.”
New England J. Med., 1980.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia, Edisi ke III. Direktorat Kesehatan
Jiwa, dan Dirjen Pelayanan Kesehatan

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

115
Khoirurrijal dan Ihsan Dacholfany Dampak LGBT dan...

El-Qudah, Abdul Hamid. Kaum Luth Masa Kini, Jakarta: Yayasan Islah Bina
Umat, 2015.
Fields, DR. E. “Is Homosexual Activity Normal?” Marietta, GA.
Husaini, Adian, LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya, Jakarta: Insists,
2015
Khilman Rofi Azmi, Enam Kontinum dalam Konseling Transgender Sebagai Alternatif
Solusi Untuk Konseli Lgbt, Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 1
Nom. 1 Juni 2015, hal. 52-55
National Gay and Lesbian Task Force, “Anti-Gay/Lesbian Victimization,” New
York, 1984.
National Gay and Lesbian Task Force, “Anti-Gay/Lesbian Victimization,” New
York, 1984.
Oetomo, Dede, Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Galang Press. 2001
Psychological Report, 1986.
Rueda, E. “The Homosexual Network.” Old Greenwich, Conn., The Devin Adair
Company, 1982
Science Magazine, 18 July 1993.
Siahaan, Jokie M.S, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis, Jakarta: PT.
Indeks, 2009
Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

116
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP LGBT

M.Badaruddin
purnama.badar@gmail.com

Latar Belakang
Hukum Islam bersifat universal, mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia salah satunya dalam hubungan manusia dengan manusia. Dalam
prakteknya, hukum Islam senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia,
dangan mengajak pengikutnya untuk mematuhi perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Hukum Islam akan menindak keras dan tegas kepada para pelaku
yang melanggar ketentuan dan ketetapan-Nya sebagaimana dijelaskan dalam al-
Quran dan Hadist.
Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat yang sangat besar untuk
melangsungkan hubungan seks. Oleh karena itu hukum Islam mengatur
penyaluran hubungan biologis tersebut melalui perkawinan yang telah
ditetapkan berdasarkan Al-Quran maupun Hadist Nabi, yang bertujuan untuk
menciptakan kebahagiaan dan memadukan cinta dan kasih sayang antara dua
insan yang berlainan jenis. Walaupun Islam telah mengatur hubungan biologis
yang halal, namun penyimpangan tetap saja terjadi, salah satunya berupa
Homoseksual,Lesbian, Transgender danBiseksual yang seringdisebutdengan
LGBT. Semua ini terjadi karena dorongan biologis yang tidak terkontrol dengan
baik.
Menurut pandangan barat LGBT merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang harus dilindungi. Dukungan kaum liberal terhadap pelaku LGBT tidak
hanya berupa wacana namun direalisasikan dengan mendirikan organisasi
persatuan, forum-forum seminar dan pembentukan yayasan dana internasional.
Bahkan beberapa negara telah melegalkan dan memfasilitasi perkawinan sesama
jenis.
Hal ini sangat bertentangan dengan hukum Islam, karena Islam hanya
menghendaki pernikahan antar lawan jenis, laki-laki dengan perempuan, tidak
semata untuk memenuhi hasrat biologis namun sebagai ikatan suci untuk
menciptakan ketenangan hidup dengan membentuk keluarga sakinah dan
mengembangkan keturunan umat manusia yang bemartabat. Oleh karena itu
dalam makalah ini, akan membahas tentang bagaimana agama Islam
memandang kasus lesbian, gay, bisexual dan transgender yang terus menjamur
di kalangan masyarakat.

Pengertian LGBT
1. Lesbian (As-Sahaaq)
Lesbian berarti sifat perempuan yang senang berhubungan seks
dengan sesamanya (perempuan) pula. Istilah lesbian dijumpai dalam
Agama Islam sebagai istilah ‫ اَج َجا َج ا ُق‬yang pelakunya disebut ‫ اَج َجاا ِلح ُق‬yang
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

dapat diartikan secara singkat oleh bahasa Arab dengan perkataan : ‫اَج ْلى َجَرْل َج جُق‬
‫ ْلاى َجَرْل َججَج‬ٚ‫( ذَجأ ذِل‬perempuan yang selalu mengumpuli sesamanya).
2. Gay (Homoseksual atau Liwat )
Istilah Gay berasal dari Bahasa Ingggris “homosexual” yang berarti sifat
laki-laki yangsenang berhubungan dengan sesamanya.
dalam Agama Islam gay atau homoseksual dikenal dengan istilah
‫اَجىيِّل َج٘اطُق‬yang pelakunya disebut ٜ‫ اَجىيُّل َج٘ ِلط ُّل‬yang dapat diartikan secara singkat
dengan perkataan:‫ اى َّرر ُق َجو‬ٚ‫َجأْل ذِل‬ٝ ‫(اَجى َّرر ُق ُقو‬laki-laki yang selalu mengumpuli
sesamanya).
Maka dalam hal ini dapat ditarik suatu pengertian, bahwa Gay
(Homoseksual atau Liwat) adalah kebiasaan seorang laki-laki
melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanyadengan cara
memasukkan penis (zakar) kedalam anus (dubur) Sedangkan lesbian
dilakukan dengan cara melakukan masturbasi satu sama lain atau dengan
cara lainnya untuk mendapatkan orgasme (puncak kenikmatan atau climax
of the sex act).232
3. Biseksual
Biseksualadalah penyaluran dan orientasi seks kepada dua jenis
kelamin. Jadi seorang yang biseks, bisa berperan sebagai heteroseksual
(pria dan wanita) ataupun berperan sebagai homoseks (sesama jenis
kelamin). Bagi seorang yang biseks, kadang bisa membentuk rumah tangga
dan diterima dalam masyarakat (terutama masyarakat timur), tetapi
terkadang tetap memiliki hubungan yang intim dengan pasangan
homonya. Seorang biseks biasanya muncul karena tekanan masyarakat
yang tidak menerima perilaku homoseksual sehingga terpaksa menjalani
hubungan yang heteroseks, walaupun dalam jiwanya masih menyukai
jenis kelamin yang sama dalam orientasi seksualnya.
Dalam Crooks & Baur, biseksual dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori, antara lain: real orientation, transitory orientation, transitional
orientation, dan homosexual denial.
Pada real orientation, individu biseksual memiliki ketertarikan pada
wanita dan pria sejak awal kehidupannya dan berlanjut hingga usia
dewasa. Pada orientasi ini, individu mungkin saja terlibat secara aktif
dalam hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan atau mungkin
saja tidak dan akan selalu memiliki perasaan ketertarikan terhadap kedua
jenis kelamin secara terus menerus. Pada transitory, biseksual tidak menjadi
orientasi seksual dominan dari individu yang bersangkutan. Kondisi
biseksual di sini merupakan keadaan temporer dan terjadi umumnya
karena pengaruh dari lingkungan, misalnya seorang heteroseksual yang
akhirnya memiliki ketertarikan terhadap individu dari jenis kelamin sama

232Masjfuka Zuhdi,Masail Fiqiyah,(Jakarta:PT. Gunung Agung,2005),hal.42


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

118
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

karena adanya kebutuhan seksual yang harus dipenuhi tetapi kondisi


lingkungan tidak memungkinkan baginya untuk berhubungan dengan
lawan jenis sehingga ia memutuskan untuk berhubungan dengan sesama
jenis untuk mengurangi dorongan seksualnya, contohnya di penjara atau
di boarding school yang diperuntukan bagi satu jenis kelamin saja.
Biseksual berorientasi transitional menunjukan bahwa biseksual
merupakan satu fase yang harus dilewati karena adanya perubahan dalam
preferensi seksual, misalnya heteroseksual menjadi homoseksual atau vice
versa. Perubahan preferensi seksual yang terjadi adalah perubahan yang
bersifat permanen, artinya seorang heteroseksual berubah menjadi
homoseksual melalui sebuah tahapan biseksual tetapi kondisi
homoseksual, atau orientasi seksual yang paling akhir, menjadi bagian dari
identitas dirinya untuk jangka waktu yang panjang. Setelah berada pada
orientasi seksual akhir, individu tersebut bukan lagi seorang biseksual
ataupun seorang penganut orientasi seksual sebelumnya.
Orientasi yang terakhir merupakan penyangkalan atas ketertarikannya
terhadap sesama jenis (homosexual denial). Individu-individu biseksual
pada kategori ini umumnya berusaha untuk menghindari stigma negatif
yang beredar di masyarakat mengenai penganut homoseksual. Bagi
individu-individu homoseksual, individu-individu biseksual pada kategori
ini mereka lihat sebagai seorang homoseksual yang kurang berusaha untuk
mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual."233
4. Transgender
Perkataan pergantian kelamin merupakan terjemahan dari Bahasa
Inggris “transexual” , karena memang operasi tersebut sasaran utamanya
adalah mengganti kelamin seorang waria yang menginginkan dirinya
menjadi perempuan atau sebaliknya. Padahal waria digolongkan sebagai
laki-laki, karena ia memiliki kelamin laki-laki.
Maka dalam hal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa transgender
(penggantian kelamin) adalah usaha seoarang dokterahli bedah plastik dan
kosmetik untuk mengganti kelamin seorang laki-laki menjadi kelamin
perempuan,melalui proses operasi.234
Menurut buku Masa‟il Fiqhyang ditulis oleh Mahjuddin, pergantian
kelamin merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “transgender”, karena
memang operasi tersebut sasaran utamanya adalah mengganti kelamin
seorang waria yang menginginkan dirinya menjadi perempuan. Padahal
waria digolongkan sebagai laki-laki, karena ia memiliki alat kelamin laki-
laki.235

233https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=2008 diakses pada tanggal 17


Maret 2016 pada pukul 14.55 WIB.
234 Ibid, hal 29
235 Mahjuddin, Op.Cit., h. 29.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

119
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

Maka dalam hal ini, dapat ditarik suatu pengertian bahwa penggatian
kelamin (transgender) adalah suatu usaha seorang Dokter ahli bedah
plastik dan komestik untuk mengganti kelamin seorang laki-laki menjadi
kelamin perempuan, melalui proses operasi.

Sejarah Homoseksual danlesbi (kaumNabiLuth)


Dalam Al-Quran, diceritakan sifat-sifat kaum (umat) Nabi Luth yang
terkenal homoseksual. Mereka tidak mau menikahi perempuan dan sangat
gemar melakukan hubungan seks dengan sesama laki-laki.
Tatkala Nabi Luth menawarkan beberapa wanita cantik untuk dinikahkan
dengan mereka, maka mereka menolaknya dengan mengatakan: “Kami sama
sekali tidak menginginkan perempuan, karena kami sudah memiliki pasangan
hidup yang lebih baik, yaitu laki-laki yang berfungsi sebagai teman hidup yang
dapat membantu kelangsungan hidup kami, ia pun bisa digunakan untuk
melampiaskan nafsu seksual”. Oleh karena itu, ketika Nabi Luth didampingi
oleh para malaikat utusan Allah yang bertampan pemuda dan rupawan, maka ia
merasa cemas karena dikiranya bahwa mereka adalah manusia biasa yang
menemuinya.236
Nabi Luth a.s. merasa susah akan kedatangan utusan-utusan Allah itu
karena mereka berupa pemuda yang rupawan sedangkan kaum Luth amat
menyukai pemuda-pemuda yang rupawan untuk melakukan homoseksual. Dan
dia merasa tidak sanggup melindungi mereka bilamana ada gangguan dari
kaumnya.237
Timbulnya kecemasan Nabi Luth, karena dibayangkannya bahwa tamu-
tamunya itulah yang akan menjadi rebutan yang hebat dikalangan kaumnya,
karena mereka sangat gemar terhadap pemuda yang rupawan. Ia merasa bahwa
gejolak yang timbul oleh kaumnya dalam hal tersebut, sulit diatasi dan pasti
menimbulkan banyak pengorbanan jiwa, di samping itu juga malu terhadap
tamunya tersebut.
Ada beberapa ayat Al-Quran yang menerangkan sifat-sifat kaum Nabi Luth,
antara lain :



Artinya:
(Nabi Luth berkata kepada kaumnya):“Mengapa kamu mendatangi (mengumpuli
jenis laki-laki) di antara manusia?”.(QS. As-Syu‟ara : 165)



236 Mahjuddin, Masa‟il Al-Fiqh, (Jakarta : Kalam Mulia, 2014), h. 34.


237Ibid.,h. 35-36.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

120
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

Artinya:
“Dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhan-mu untukmu, bahkan
kamu adalah orang-orang yang melampaui batas".(QS. As-Syu‟ara : 166)



Artinya:
“Dan tatkala datang utusan-utusan kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia
merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia
berkata: "Saat ini adalah hari yang amat sulit[729]." (QS. Hud : 77)





Artinya:
Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu
mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji(homoseksual). Luth
berkata: "Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, Maka
bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap
tamuku ini. tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?"(QS. Hud : 78)



Artinya:
Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu, bahwa kami tidak mempunyai
keinginan terhadap putri-putrimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa
yang sebenarnya kami kehendaki."

Jadi, praktek homoseksual itu terjadi semenjak dahulu kala hingga sekarang
ini. Tetapi praktek lesbian tidak terlihat keterangannya dalam Al-Qur‟an, namun
hingga sekarang ini merajalela di masyarakat sekuler dan di Negara Barat.
Praktek tersebut tidak diarang oleh undang-undang di Negara yang
berpaham sekuler, dan tidak dikategorikan sebagai pelanggaran tata asusila. Dan
kalau pun ada larangan bagi mereka, hanya bertujuan untuk memberantas
kemungkinan terjadinya beberapa macam penyakit yang sering timbul dari
praktek homoseksual dan lesbian, misalnya penyakit kanker kelamin, AIDS dan
sebagainya. Oleh karena itu, praktek homosesksual dan lesbian paling menonjol
di Negara Barat, yang resiko penyakit yang ditimbulkannya sampai menular ke
Negara Timur, lewat turis-turis mereka.238

238Ibid., h. 37.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

121
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

Hukum Perbuatan Homoseksual, LesbiandanBiseksual


Praktek homoseksual, lesbian danbiseksualdiharamkan dalam ajaran Islam,
karena termasuk perbuatan zina. Maka dalam hal ini terdapat beberapa
pendapat Ulama Hukum Islam tentang sangsi (ganjaran) yang harus diberikan
kepada pelakunya, antara lain dikemukakan oleh Zainuddin Bin Abdil Aziz Al
Malibary dengan mengatakan:
“Al-Baghawiyyu berkata: Ahli Ilmu Hukum Islam berbeda pendapat dalam
(masalah) ganjaran hukum praktek homoseksual. Maka ada sekelompok (Ulama Hukum
Islam) yang menetapkan bahwa pelakunya wajib dihukum sebagaimana menjatuhkan
ganjaran hukum perzinaan. Apabila pelakunya tergolong orang yang sudah pernah
kawin, maka wajib dirajam. Dan apabila belum pernah kawin, maka wajib didera
sebanyak seratus kali. Penetapan inilah yang mencerminkan kedua pendapai Imam
Syafi‟i (Al-Qaulul Qadim Dan Al-Qaulul Jadid). Dan pendapat ini juga menetapkan
bahwa terhadap laki-laki yang dikumpuli oleh homoseksual, mendapatkan ganjaran dera
sabanyak seratus kali atau diasingkan selama setahun, baik laki-laki maupun perempuan,
yang pernah kawin maupun yang belum pernah kawin. Ini termasuk pendapat Imam
malik dan Imam ahmad bin hanbal. Ada juga segolongan (Ulama Hukum Islam)
berpendapat, bahwa pelaku homoseksual wajib dirajam , meskipun ia belum pernah
kawin. Ini termasuk pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan pendapat
lain Imam Syafi‟i menetapkan bahwa pelaku dan orang-orang yang di-kumpuli (oleh
homoseksual dan lesbian) wajib dibunuh, sabagaimana keterangan dalam Hadits.
Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa ganjaran hukum pelaku dan
orang-orang yang dikumpuli oleh homoseksual dan lesbian, menjadi tiga
klasifikasi pendapat yaitu:239
a. Memberikan ganjaran hukum bagi pelaku homoseksual dan lesbian,
bersama dengan orang-orang yang dikumpulinya, dengan hukuman
rajam bila ia sudah pernah kawin, dan hukum dera 100 kali bila ia
belum kawin. Atau memberikan hukuman pengasingan selama setahun
bagi pelaku homoseksual dan lesbian, kemudian juga orang yang
dikumpulinya, baik ia telah menikah maupun yang belum. Pendapat ini
dianut oleh segolongan ulama Islam, yang menganggap dirinya
mengikuti pandapat Imam Syafi‟i.
b. Memberikan ganjaran hukum bagi pelaku homoseksual dan lesbian
bersama dengan orang-orang yang dikumpulinya dengan hukum rajam,
meskipun ia belum pernah menikah. Pendapat ini dianut oleh
segolongan ulama hukum Islam yang menganggap dirinya mengikuti
pendapat Imam Maliki dan Imam Ahmad Hanbal.
Kedua klasifikasi di atas, berdasarkan pada ganjaran hukum zina yang
terdapat pada Al-Quran Surat An-Nur ayat 2 beserta hadist yang
menerangkannya.

239Ibid., h. 38.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

122
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

c. Memberikan ganjaran hukum bagi pelaku homoseksual dan lesbian


serta yang dikumpulinya denagn hukum mati, baik ia sudah menikah
maupun belum pernah menikah. Pendapat ini dianut oleh segolongan
ulama hukum Islam yang menganggap dirinya mengikuti pendapat
Imam Syafi‟i dengan berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi:
“barang siapa yang mendaapatkan orang-orang yang melakukan perbuatan
kaum Luthh, maka ia harus dihuku mati, baik orang yang melakukannya
maupun yang dikumpulinya”. (H.R. Abu Daud, Al-Turmudzi, Ibnu Majah
dan Al-Baihaqi).
Larangan homoseksual, lesbian dan biseksual yang disamakan dengan
perbuatan zina dalam ajaran Islam, bukan hanya karena merusak kemuliaan dan
martabat kemanusiaan tetapi juga beresiko lebih jauh lagi yaitu dapat
menimbulkan penyakit kelamin seperti, kanker kelamin, AIDS dan sebagainya.
Tentu saja perkawinan waria yang telah menjalani operasi pergantian kelamin
dengan laki-laki, dikategorikan sebagai praktek homoseksual, karena tabiat laki-
lakinya tetap tidak bisa diubah oleh Dokter, meskipun ia sudah mempunyai
kelamin perempuan buatan.240
Maka disinilah terlihat kesempurnaan ajaran Islam dalam menetapkan suatu
larangan bagi manusia. Larangan tersebut mengandung unsur tanggungjawab
sebagai hamba kepada Tuhan-Nya, etika hidup (akhlak mulia) dan unsur
kesehatan manusia yang menjadi salah satu sarana untuk kelangsungan
hidupnya di dunia.241

Hukum Transgender (Penggantian Kelamin)


Masalah penggantian jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai
gejala transgenderisme ataupun transgender merupakan suatu gejala
ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk
fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat
kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up,
gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi pergantian kelamin (sex
reassignment surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder), penyimpangan ini sering disebut juga gender dysporiasyndrome.
Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtype meliputi transgender,
aseksual, homoseksual, dan heteroseksual.242
1. Proses Operasi dan Efeknya
Bukan hanya di Negara Barat saja yang menunjukan keberhasilan
beberapa Dokter Ahli, mengganti kelamin laki-laki menjadi perempuan,
tetapi di Indonesia pun sudah banyak Dokter yang mampu berbuat
seperti itu.

240Ibid., h. 39-41.
241Ibid.,
242 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), h. 172.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

123
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

Meskipun proses operasi penggantian kelamin hanya memerlukan


waktu dua jam saja, namun hal tersebut tidak bisa disebut sebagai
operasi kecil, karena resikonya sangat besar bila terjadi kekurang-
telitian atau kelalaian Dokter yang menanganinya. Resiko yang
dimaksudkan, bukan saja terjadi pada saat pembedahan, tetapi justru
sesudahnya yang lebih berbahaya. Lebih-lebih bila larangan Dokter
dilanggar oleh yang menjalani penggantian kelamin itu.
Pada operasi penggantian kelamin, penis (dzakar) dan scrotum
(buah dzakar atau buah pelir) serta testis (tempat produksi sperma)
dibuang. Sedangkan kulit scrotum digunakan untuk menutup liang
vagina (faraj); dan untuk pembuatan clitoris (klentit), diambil sebagian
dari penis yang telah terbuang tadi.
Karena operasi tersebut termasuk pembedahan yang mengandung
resiko, maka seorang Dokter yang menanganinya harus berhati-hati dan
cermat, karena bisa terjadi hal-hal sebagai berikut:243
a. Tembusnya anus atau tempat kotoran, sehingga seharusnya kotoran
keluar melalui dubur, tetapi justru melewati liang vagina buatan
itu. Maka kedalaman liang vagina itu harus disesuaikan dengan
besarnya pinggul atau anatomi tubuh yang menjalani operasi.
Seorang waria yang memiliki pinggul berukuran kecil tidak
diperbolehkan membuat liang vaginanya terlalu dalam, karena
dikhawatirkan dapat menembus tempat kotorannya, yang pada
akhirnya dapat berbahaya terhadap pasien itu sendiri. Tetapi
kebanyakan pasien yang dioperasi di Indonesia, kedalaman
vaginanya hanya mencapai antara 10 sampai 15 cm. Itupun masih
bisa mengerut dan memendek bila operasinya sudah sembuh. Oleh
karena itu, vagina buatan yang selesai dioperasi, dipasangi di
dalamnya sebuah alat penyanggah yang disebut “tampo” selama
satu bulan baru bisa dilepaskan. Dan jika dilepaskan sebelum
lukanya sembuh, maka liang vagina bisa tertutup lagi.
b. Terjadinya kelainan syaraf pada penderita, apabila dia tidak bisa
menahan kencing setelah operasinya selesai. Ini sering terjadi,
karena ketika dioperasi saluran kencingnya ikut terbuang.
Ada suatu hal yang sangat berbahaya terhadap pasien bila ia tidak
menuruti nasehat dokter, yang akhirnya melakukan hubungan seks
sebelum vaginanya benar-benar sembuh. Perbuatan semacam itu bisa
mengakibatkan robeknya selaput perut yang bisa menembus saluran
kotoran, dan kalau terjadi hal seperti itu, maka satu-satunya cara
mengatasinya adalah dioperasi kembali untuk menutupnya. Berarti

243Ibid., h. 30.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

124
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

tidak lagi berfungsi sebagai vagina, tetapi hanya sebagai saluran


kencing saja.
Kalau vaginanya sudah sembuh, maka sudah bisa difungsikan
sebagaimana keinginan pasien, menurut keterangan dokter. Sehingga
tidak sedikit waria yang sudah mengganti kelaminnya, melangsungkan
perkawinan dan hidup berumah tangga dengan laki-laki,dan perlu
diketahui hubungan seks diantara keduanya bisa saling memuaskan
layaknya laki-laki dan perempuan, hanya saja tidak dapat hamil, karena
maninya tetap berjenis sperma, tidak bisa diubah oleh Dokter menjadi
ovum. Maka disinilah letak keterbatasan dokter Ahli sebagai manusia
biasa, yang tidak dapat mengubah jenis sperma menjadi ovum, sebagai
syarat utama terjadinya pembuahan (kehamilan) seseorang.
Menurutdokter, obat yang dapat digunakan oleh waria untuk
merawat tubuhnya menjadi sama dengan tubuh perempuan, yaitu pil
Keluarga Berencana (KB), yang selama ini hanya berguna sebagai alat
kontrasepsi. Menurut Dokter, tablet KB dapat merangsang tubuh
manusia dan berfungsi menghaluskan kulit waria dan merangsang
pertumbuhan payudara, serta memperbesar pinggulnya, yang tentunya
mempunyai aturan-aturan tertentu dalam memakainya, agar tidak
terjadi efek samping yang berbahaya.244
2. Hukum Islam terhadapTransgender
Islam melarang seorang laki laki menyamakan dirinya dengan
perempuan, dan sebaliknya perempuan dilarang menyamakan dirinya
dengan laki-laki, baik perilakunya, pakaiannya dan lebih-lebih bila ia
mengganti kelaminnya.Berikut ini adalah ayatayat Al Qur‟an dan Hadis
yang dapat dijadikan dasar diharamkannya perbuatan tersebut, yaitu :







Artinya:
„‟Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan
(dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah
syaitan yang durhaka,yang dilaknati Allah dan syaitan itu mengatakan: "Saya
benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah
ditentukan (untuk saya) dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan
akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh
mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar
memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah),

244Ibid., h. 31.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

125
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

lalu benar-benar mereka merobahnya". Barang siapa yang menjadikan


syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita
kerugian yang nyata‟‟ (QS. AnNisaayat 117 – 119)
Ayat di atas menjadi dasar rujukan utama di dalam menentukan
hukum pada masalah -masalah kedokteran masa kini, seperti operasi
plastik, penggunaan kawat behel pada gigi, rebonding, operasi bibir
sumbing, operasi kelamin, operasi selaput dara, operasi cesar dan lain-
lainnya. Oleh karenanya, sangat baik kita pelajari terlebih dahulu
kandungan ayat di atas.
Sebagaimana diterangkan pada ayat tersebut bahwa syetan akan
membisikan kepada manusia agar mereka merubah ciptaan Allah, dan
manusia tersebut benar-benar akan merubahnya. Kemudian timbul
pertanyaan, apa yang dimaksud dengan merubah ciptaan Allah? dan
ciptaan Allah yang mana yang tidak boleh dirubah?
Para ulama masih berbeda pendapat di dalam memahami maksud dari
ayat di atas
Pendapat Pertama : mengatakan bahwa maksud dari merubah
ciptaan Allah adalah mengebiri manusia dan binatang.
Untuk hukum mengebiri manusia, para ulama sudah sepakat
akan keharamannya.
‫ل َج ْل ُق َجاااِل ِلر‬
‫ َجٗ َجم َج ىِل َج‬، ٚ‫ ُقر ىِلخ ْلَجي ِل ِل ذَج َجعاىَج‬ٞ‫ِل ْل‬ٞ‫َج ُقْ٘ل ُق ؛ ِل َجَّّرُٔق َجٍ ُقيَجحٌة َجٗذَج ْلغ‬ٝ ‫َج ِل وُّل َجٗ َج‬ٝ ‫ َج َجً َج‬ٜ‫صا َجا تَجِْل‬ ‫َج ْلخرَجيِل ُقْ٘ل ا َج َّرُ ِل َج‬ٝ ٌ‫َجٗىَج ْل‬
‫ ِلْلر َجح ٍّدد َجٗ َج َج َج٘ ٍد‬ٞ ‫ َج‬ٜ‫ضااِل ِلٖ ْلٌ ِل‬ ‫َج ْل َج‬
“Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa mengebiri manusia tidak halal
dan tidak boleh, karena merupakan bentuk penyiksaan dan merubah ciptaan
Allah. Begitu juga tidak boleh memotong anggota badannya yang lain, jika itu
bukan karena hukuman had atau qishas. “245
Tetapi, untuk mengebiri binatang para ulama masih berbeda pendapat
di dalam menentukan status hukumnya. Sebagian ulama membolehkan
seseorang berkurban dengan binatang ternak yang dikebiri, bahkan hal
itu dianjurkan jika dia lebih gemuk dari pada yang lainnya. Walaupun
demikian, gemuk secara alami dengan makan daun-daunan dan
rerumputan juah lebih baik dari pada gemuk akibat dikebiri ataupun
disuntik.
Kebolehan mengebiri hewan didasarkan pada firman Allah subhanahu
wa ta‟ala :
‫ ْلاىقُقيُق٘ ِل‬ٙ٘‫ُق َجع ِّل ْلٌ َج َجعااِل َجر َّر ِل َجإِلَّّرَٖجا ِلٍ ْلِ ذَج ْلق َج‬ٝ ِ‫ل َجٗ َجٍ ْل‬
‫ب‬ ‫َج ىِل َج‬
“ Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar
Allah, maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Qs. al-Hajj : 32)
Berkata Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas :
ً‫اَج ْل ِل ْلارِل ْلس َجَاُُق َجٗ ا ْل ِل ْلارِل ْل َجساُُق َجٗا ْل ِل ْلارِل ْلع َجا ُق‬

245Qurtubi di dalam tafsirnya al-Jami‟ li-Ahkam al-Qur‟an (Bairut: Dar El Kutb) j.h, 5/251
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

126
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

“ Yaitu menggemukan hewan kurban, memperindah dan


membesarkannya“246
Hal itu dikutakan dengan perkataan Imam Qurtubi di dalam tafsirnya :
‫ َجٗ ُق ْلَُٖق٘ ُقو‬، ٓ‫ ِلْلر ِل‬ٞ ‫َجخ تِل ِلٔ ْلاى َجَ ْلْ َج َجعحُق إِل َّرٍا ىِل ِلس َجَ ٍدِ َجْٗل َج‬ ‫صد ْل‬ ‫ ِلٔ َج َجَا َج حٌة ِلٍ ْلِ َج ْلٕ ِلو ْلاى ِلع ْلي ِلٌ إِل َج ا ُق ِل‬ٞ‫صا ُقا ْلاىثَجَٖجااِل ِلٌ َج َجر َّر َج ِل‬ ‫َجٗ َج َّرٍا ِل َج‬
ٜ‫ َجٗ َجو َّر َج ِل‬، ٓ‫ ِلْلر ِل‬ٞ ‫ضُٖق ْلٌ إِل َج ا َجماَُج َج ْلا َجَُِق ِلٍ ْلِ َج‬ ‫ َجٗا ْلارَج ْل َجسَْجُٔق تَج ْلع ُق‬، ٜ‫ص ِّل‬ ‫ تِل ْلاى َجخ ِل‬ٚ‫ض َّر‬ ‫ُق َج‬ٝ ُ‫ َجَّّرُٔق َج تَجأْل َج َج ْل‬ٚ‫ْلاى ُقعيَج َجَا ِلا َج يَج‬
‫صا ِلا ُق ُقم ِل‬
‫٘و‬ ‫ ِل َج‬ٜ‫ل ِل‬ ‫ َجٗ َجو َّر َج َجٍاىِل ٌة‬، ‫ ِلْلر تَج ْلغ اًل ىَجُٔق‬ٞ‫اىيتَج‬ ‫ ُقرْل َجٗجُق تْلُِق ُّل‬ٚ‫ص‬ ‫ َجٗ َج َج‬، ‫ي‬ٝ ‫ ِلو ُق َجَ ُقر تْلُِق َج ْلث ِلد ْلاى َجع ِلي ِل‬ٞ‫صا ِلا ْلاى َجخ ْل‬ ‫ِل َج‬
‫َجحُق‬ٝ٘‫ُق ْل َجم ُقو َجٗذَج ْلق ِل‬ٝ ‫ةُق ىَج ْل ِلٌ َجٍا‬ٞ‫ِل‬ٞ‫ص ُقد تِل ِلٔ ذَج ْل‬ ‫ْل‬ ‫َّر‬
‫ُقق َج‬ٝ ‫ َجٗإِلَّّر َجَا‬، ‫ ِلْلر ِل‬ٞ ‫ َج‬ٚ‫ب إِلىَج‬ ‫ص ُقد تِل ِلٔ اىرَّرقَجرُّل َج‬ ‫ُق ْلق َج‬ٝ ‫ل ; ِل َجَّّرُٔق َج‬ ‫ َجٗإِلَّّر َجَا َج ا َج َج ىِل َج‬، ٌ‫ْلاى َجغْ ِلَج‬
ٚ‫اى َّر َجم ِلر إِل َج ا ا ْلّقَج َج َج َج َجٍيُقُٔق َج ِلِ ا ْل ُق ْلّ َج‬
“Adapun mengebiri binatang ternak, sebagian ulama
membolehkannya, selama itu membawa manfaat, seperti bertambah
gemuk atau manfaat lainnya. Mayoritas ulama juga membolehkan
seseorang berkurban dengan hewan yang dikebiri, bahkan sebagian dari
mereka mengatakan hal itu baik jika memang menjadi lebih gemuk dari
hewan lainnya yang tidak dikebiri. Umar bin Abdul Aziz juga
membolehkan pengebirian kuda, Urwah bin Zubair pernah mengebiri
bighal-nya, imam Malik membolehkan pengebirian kambing jantan .
Semua itu dibolehkan karena tujuan dari pengebirian hewan itu
bukanlah untuk dipersembahkan kepada kepada berhala yang
disembah, dan bukan pula kepada rabb yang diesakan. Tetapi
pengebirian itu dimaksudkan agar daging yang akan dimakan itu lebih
baik, dan pengebirian itu sendiri bisa menguatkan hewan jantan, karena
dia tidak pernah menghampiri hewan betina. “247
Pendapat Kedua : mengatakan bahwa maksud dari merubah
ciptaan Allah pada ayat di atas adalah “Membuat Tato di dalam Tubuh“.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama yang penulis ketahui tentang
keharaman membuat tato dalam tubuh. Hal ini berdasarkan hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas‟ud, bahwasanya Rasulullah shallallahu
„alaihi wassalam bersabda :
‫خ ْلَجي َج َّر ِل‬ ‫ِّل َجرا ِل‬ٞ‫خ ىِل ْلي ُق ْلس ِلِ ْلاى ُقَ َجغ‬
‫خ َجٗ ْلاى ُقَرَج َجيِّل َج ا ِل‬ ‫صا ِل‬ ‫خ َجٗ ْلاى ُقَرَجَْج ِّلَ َج‬ ‫صا ِل‬ ‫خ َجٗاىَّْرا ِلٍ َج‬ ‫خ َجٗ ْلاى ُقَ ْلسرَجْ٘ل ِل َجَا ِل‬‫ىَجعَجَِج َّر ُق ْلاى َج٘ا ِل َجَا ِل‬

“ Allah melaknat para wanita pembuat tato dan yang meminta dibuatkan tato,
para wanita yang mencukur alis mereka dan para wanita yang meminta untuk
dicukur alis mereka, dan para wanita yang mengikir gigi mereka, dengan
tujuan mempercantik diri mereka, serta merubah ciptaan Allah Ta‟ala.” (HR.
Muslim)
Pendapat Ketiga: mengatakan bahwa maksud merubah ciptaan
Allah adalah “Merubah Agama Allah“. Pendapat ketiga ini dipilih oleh
Imam Thobari di dalam tafsirnya248
Imam Thobari mengatakan : “Jika memang arti merubah ciptaan Allah
adalah demikian (yaitu merubah agama Allah), berarti semua yang

246IbnuKatsir, Tafsir al Qur‟an al Adhim (Bairut: Dar El Kutb)j.h, 3/ 213


247Qurtubi, al-Jami‟ li-Ahkam al-Qur‟an (Bairut: Dar El Kutb)j.h, 5/250
248Thobari, Jami‟ al Bayan, (Bairut: Dar El Kutb)j.h, 4/ 285

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

127
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

dilarang oleh Allah masuk dalam katagori ini, termasuk di dalamnya


larangan mengebiri sesuatu yang memang dilarang untuk dikebiri,
membuat tato dan apa-apa yang dilarang untuk ditato serta bentuk-
bentuk kemaksiatan lainnya.“249
Pendapat ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta‟ala:
‫ِّل ُقٌ َجٗىَج ِلن َّرِ َج ْلم َج َجر‬ٞ‫ُِق ْلاىقَج‬ٝ‫ل اىدِّل‬‫ َجو ىِلخ ْلَجي ِل َّر ِل َج ىِل َج‬ٝ‫َٖجا َج ذَج ْلث ِلد‬ٞ‫ َج َج َجر اىَّْرا َج َج يَج ْل‬ٜ‫ اًلا ِل ْل َجرخَج َّر ِل اىَّررِل‬ٞ‫ ِلِ َجحِْل‬ٝ‫ل ىِليدِّل‬ ‫َجأ َج ِل ْلٌ َجٗ ْل َٖج َج‬
‫َج ْلعيَج ُقََُ٘ج‬ٝ ‫اىَّْرا ِل َج‬
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.“ (Qs. ar-Rum : 30)
Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah bahwasanya
bahwasanya Rasulullah shallallahu „alaihi wassalam bersabda :
‫ُقَْج ِّل‬ٝ ‫ُقَٖج ِّل٘ َجاِّل ِلٔ َجْٗل‬ٝ ‫ ْلاى ِل ْل َجر ِلج َجأَجتَج َج٘آُق‬ٚ‫ُق٘ىَج ُقد َج يَج‬ٝ ‫ُقموُّل َجٍْ٘ل ىُق٘ ٍد‬
ٔ‫ُق َجَ ِّل َجساِّل ِل‬ٝ ‫ص َجراِّل ِلٔ َجْٗل‬
“ Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanyalah yang
akan menjadikan dia Yahudi atau Nashrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Begitu juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
‫د‬‫ ِلٖ ْلٌ َجٍا َجحْل يَجيَج ْل‬ٞ‫د َج يَج ْل‬ ‫ َجٗ َجح َّرر َجٍ ْل‬،ٌ‫ِْل ِلٖ ْل‬ٝ‫ْلُِق َجا ْل رَجاىَج ْلرُٖق ْلٌ ْلَجِ ِل ْل‬ٞ‫َجا ِلط‬ٞ‫ْل ُقحَْج َجا َجا َج َج ا َجا ْلذُٖق ُقٌ اى َّرل‬ٛ ‫د ِل ثَجا ِل‬ ‫ َج يَج ْلق ُق‬ٜ‫ إِلِّّل‬: ٚ‫َجقُقْ٘ل ُقه ُق ذَج َجعاىَج‬ٝ
ٌ‫ىَجُٖق ْل‬
“Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Sesungguhnya Aku menciptakan
hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus, kemudian datanglah kepada mereka
syetan-syetan yang menyesatkan mereka dari agama mereka serta
mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan bagi mereka.” (HR.
Muslim).
Padahadits lain disebutkan
“Empat golongan yang pagi-pagi mendatangi kemarahan Allah, dan
berangkat pada sore hari menemui kemurkaan-Nya. Maka saya berkata (salah
seorang Sahabat bertanya): Siapakah mereka yang dimaksud itu ya Rasulullah?
Nabi menjawab: laki-laki yang menyamakan dirinya dengan perempuan, dan
perempuan menyamakan dirinya dengan laki-laki, serta orang yang
mengumpuli binatang dan sesama laki-laki (H.R. Al-Baihaqy).
Berdasarkan hadits danayatdi atas, telah dikemukakan bahwa
semua orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap
upaya penggantian kelamin, termasuk menanggung dosa besar. Hal ini
dapat diketahui status hukumnya sebagai haram, yang mengakibatkan
dosa bagi seorang dokter yang menanganinya, dan orang yang
memberikan fasilitas serta dukungan morilnya.250
Jadi, semua orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dalam upaya pergantian kelamin seorang waria, mendapatkan dosa
yang sama besarnya dengan dosa yang diperbuat oleh waria tersebut.
Baik orang-orang yang memberikan fasilitas dan dukungan morilnya,

249Ibid,
j.h, 4/285
250 Mahjuddin h. 28.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

128
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

termasuk kedua orang tuanya yang memberikan izin untuk melakukan


pergantian kelamin seorang waria, turut menanggung dosanya. 251
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus
diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran
modern di kenal dua bentuk operasi kelamin, yaitu:
a. Operasi pergantian jenis kelamin yang dilakukan oleh seseorang
yang sejak lahir memiliki kelamin normal. Masalah seseorang yang
lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya, yaitu
penis atau dzakar dan vagina bagi perempuan yang dilengkapi
dengan rahim dan ovarium, tidak dibolehkan dan diharamkan oleh
syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin.252 Ketetapan haram
ini sesuai dengan ketetapan fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
dalam Musyawarah Nasional II Tahun 1980 tentang operasi
perubahan atau penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini,
sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal, kedudukan
hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula
sebelum diubah.253
Para Ulama Fiqh mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada
dali-dalil yaitu sebagai berikut.
1) Firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Hujarat ayat 13





Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Yang menurut Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality
(keadilan) bagi segenap manusia dihadapan Allah dan hukum
yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan
ketentuan ini tidak boleh diubah dan seseorang harus
menjalani hidupnya dengan kodratnya.
2) Firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 119

251Ibid.,h. 32.
252 Setiawan Budi Utomo, Op.Cit., h. 173.
253 Ma‟ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta : Erlangga, 2011), h. 570.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

129
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…





Artinya:
“dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh
mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka
benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa
yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka
Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”254
Disebutkan beberapa perbuatan manusia yang
diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan tuhan”
sebagaimana dimaksud ayat tadi. Yaitu, seperti mengebiri
manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan
sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis,
dan takhannus (seorang pria berpakaian dan bertingkah laku
seperti seorang wanita layaknya waria dan sebaliknya).
3) Hadist Nabi SAW
“Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang
menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur)
giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah
ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari).
Danhaditts yang diriwayatkanoleh imam ahmad:
“Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad).
Oleh karena, itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi
kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan
mengubah ciptaan Allah, melainkan melalui pendekatan
spiritual dan kejiwaan.
b. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti
dzakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tudak
sempurna. Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil
(perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis
kelamin, menurut para ulama, diperbolehkan secara hukum syariat
Islam. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi
untuk mengeluarkan air seni dan mani, baik penis maupun vagina
,maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya
dibolehkan, bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang

254 Setiawan Budi Utomo, Op.Cit., h. 173.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

130
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang


harus diobati.255
Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh
ulama mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan, memberikan
argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat
kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial,
sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan
masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti
melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseksual dan
lesbian. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadist
Nabi SAW “Allah dan rosul-Nya mengutuk kaum yang homoseksual”
(HR.Al-Bukhari). Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau
penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip
“Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqh menyatakan “adh-dhararu
yuzal” (bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syatibi
menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu
kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan
hadist Nabi SAW “Berobatlah, wahai hamba-hamba Allah! Karena
sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula
obatnya, kecuali satu penyakit yaitu penyakit ketuaan”. (HR. Ahmad).256
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu
mempunyai penis dan vagina, maka untuk memperjelas dan
memfungsikannya secara optimal dan definitive salah satu alat
kelaminnya, ia boleh melalukan operasi untuk mematikan dan
menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika
seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian
dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang
menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka
ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya
dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita.
Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis atau dzakar
yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu
dan merugikan dirinya sendiri, baik dari segi hukum agama karena
hak dan kewajibannya sulit untuk ditentukan apakah dikategorikan
perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.
Peranan Dokter dan para medis dalam operasi pergantian
kelamin ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat
kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa karena
termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi
kelaminnya sesuai dengan syariat Islam dan bahkan dianjurkan,

255Ibid., h. 173.
256Ibid., h. 174.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

131
M.Badaruddin Pandangan Hukum Islam…

maka ia mendapat pahala dan terpuji karena termasuk anjuran


bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan. 257

Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Praktek homoseksual dan lesbian diharamkan dalam ajaran Islam, karena
termasuk perbuatan zina. Larangan homoseksual dan lesbian yang
disamakan dengan perbuatan zina dalam ajaran Islam, bukan hanya karena
merusak kemuliaan dan martabat kemanusiaan tetapi juga beresiko lebih
jauh lagi yaitu dapat menimbulkan penyakit kelamin.
2. Individu biseksual adalah individu yang dapat terlibat dan menikmati
aktivitas seksual dengan kedua jenis kelamin, yaitu jenis kelamin yang sama
dan jenis kelamin yang berbeda, atau mengetahui bahwa dirinya mau untuk
melakukan hal tersebut dan hukum biseksualpun sama seperi zina.
3. Transgendermerupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena
merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan
kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang
dimilikinya. Hukum Transgender (pergantian kelamin) adalah haram.
Karena dalam Islam seorang laki-laki dilarang untuk menyamakan dirinya
dengan perempuan, dan sebaliknya perempuan dilarang menyamakan
dirinya dengan laki-laki, baik perilakunya, pakaiannya dan lebih-lebih bila
ia mengganti kelaminnya.

Daftar Pustaka
Al Qur‟an Al KarimdanTerjemah, Kementrian Agama Republik Indonesia
Budi Utomo, Setiawan, Fikih Aktual, Jakarta : Gema Insani Press
https://id.answers.yahoo.com/question/index
Ibnu Katsir, Tafsir al Qur‟an al Adhim,Bairut : Dar El Kutb
Mahjuddin, Masa‟il Al-Fiqh, Jakarta : Kalam Mulia
Ma‟ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta : Erlangga
Masjfuka Zuhdi,Masail Fiqiyah,Jakarta: Gunung Agung
Qurtubi al-Jami‟ li-Ahkam al-Qur‟an, Bairut : Dar El Kutb
Thobari, Jami‟ al Bayan,Bairut : Dar El Kutb

257Ibid., h. 175.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

132
LGBT : ANTARA NORMA DAN KEADILAN
(MENURUT AKAR GENEOLOGIS KEBUDAYAAN MASYARAKAT
INDONESIA)

Nawang Wulandari
STAIN Jurai Siwo Metro
nawangtaufiq@gmail.com

Pendahuluan
Pembahasan mengenai seksualitas dalam perkembangannya memiliki
makna yang luas, yaitu sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi konsep
tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan identitas gender,
identitas sosial, erotism, kesenangan, keintiman dan reproduksi.
Pada dasarnya terdapat pandangan tentang seksualitas yang saling
bersebrangan, yaitu antara kelompok yang mendasarkan pemikiran tentang
seksualitas pada aliran esensialism, dan kelompok yang lain pada social
constructionism. Pandangan esensialsm meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi
seksual, dan identitas sosial sebagai hal yang bersifat teori dan natural sehingga
tidak dapat mengalami perubahan. Kelompok ini berpandangan bahwa jenis
kelamin hanya ada 2 jenis, yaitu laki-laki dan perempuan, orientasi seksual
hanya hetroseksual, dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin
(perempuan- feminin; laki-laki – maskulin) menyebabkan kelompok yang berada
di luar maistream tersebut dianggab sebagai abnormal.
Sebaliknya, dalam pandangan social constructionism, bukan hanya gender,
namun juga seks dan jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender
adalah hasil konstruksi sosial. Sebuah konstruksi sosial,seksualitas bersifat cair,
dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari
laki-laki dan perempuan, namun juga intresex dan transgender/transeksual,
orientasi seksual tidak hanya heroseksual namun juga homoseksual dan
biseksual.258
Pandangan umum yang diterima di indonesia adalah pandangan esensialis,
sehingga LGBT dipandang sebuah penyimpangan dan abnormal. Pandangan
tersebut mendapat legitimasi dari ajaran agama dalam masyarakat Indonesia,
karena budaya di Indonesia adalah budaya santun yang memegang adat ke-
Timuran. Indonesia adalah negara yang berlandaskan pancasila dan ber-
Ketuhanan yang maha Esa. Anggapan ini kemudian membentuk standar
kenormalan yang diterima dalam masyarakat.
Kenyataan yang terjadi terdapat pergeseran pandangan dan reaksi
masyarakat terhadap kaum LGBT. Seiring dengan perkembangannya perubahan
sosial kontemporer seperti kampanye hak asasi manusia dan kesetaraan gender

258 Dede Oetomo, Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) – Jalan lain memahami

Hak Minoritas. 2008) www.komnasperempuan.or.id. Diakses pada tanggal 20 Maret 2016


Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

maka keseluruhan hal tersebut turut mempengaruhi perspektif masyarakat


terhadap kaum LGBT.
Beberapa negara saat ini mulai melegalkan pernikahan sesama jenis, hal ini
dilandasi oleh gagasan anti diskriminasi sebagai wujud hak asasi manusia.
Namun dalam ruang lingkup yang lebih luas, hingga saat ini masih muncul
banyak perdebatan mengenai moralitas seorang LGBT. Perdebatan ini dipicu
oleh kenyataan bahwa LGBT telah melanggar mayoritas norma yang ada dalam
agama, budaya maupun hukum yang dianut dan diterapkan oleh mayoritas
masyarakat di dunia dan khusunya Indonesia sebagai negara yang memegang
teguh norma kesusilaan. Namun di luar segala kontroversinya, hingga saat ini
kaum LGBT telah menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat yang
menentangnya. Kaum LGBT yang telah terorganisir dalam banyak kelompok
mampu menemukan solidaritas yang didasari persamaan sebagai kaum LGBT
yang kerap terpinggirkan. Solidaritas yang muncul tersebut selanjutnya menjadi
media sosial mereka yang bertujuan agar kaum LGBT dapat diterima dalam
masyarakat atas nama keadilan

Pengertian dan Sejarah LGBT


1. Pengertian LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender)
a. Lesbi
Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk
merujuk kepada wanita homoseks. 259
b. Gay
Kartini Kartono dan Dali Gulo mengatakan bahwa gay
adalah suatu istilah bahasa sehari-hari untuk menyebut
homoseks. Homoseks adalah hubungan seks dengan pasangan
sejenis (pria dengan pria
Islam sendiri menyebut pelaku homoseks dengan sebutan
liwath. Penyebutan ini didasarkan atas ketertarikan serta cara
memaksa melakukan hubungan seksual. Karena dipandang dari
keterkaitan seksual mereka serta cara melakukannya, sehingga
jika dihubungkan dengan pengertian homoseks dalam
masyarakat, berarti pengertiannya sebatas kaum gay dan waria
transeksual.
c. Biseksual
Biseksual mempunyai dua pengertian. Pertama, mempunyai
sifat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Kedua,
tertarik kepada kedua jenis kelamin (baik kepada laki-laki
maupun kepada perempuan)

259 Rama Azhari dan Putra Kencana, Membongkar Rahasia Cinta Terlarang, h.25. Lihat Juga

Kartini kartono, Patologi Sosial Jilid I (Jakarta: Rajawali, 1988) h.214


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

134
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

Sedangkan menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo Kartini


Kartono dan Dali Gulo, Kamus Psikologi, CV Pionir jaya,
Bandung), biseksual ialah seseorang yang melakukan hubungan-
hubungan hetroseksual dan relasi-relasi homoseksual.
Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan jika biseksual
adalah seseorang yang tertarik secara seksual kepada jenis
kelamin yang sama maupun jenis kelamin yang berbeda
dengannya.
d. Transgender
Transgender adalah orang yang cara berperilaku atau
penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada
umumnya. Transgender adalah orang yang dalam berbagai level
“melanggar” norma kultural mengenai bagaimana seharusnya
pria dan wanita berperilaku.

Sejarah LGBT
Homoseksual telah ada dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat
sejak zaman pra-sejarah jauh sebelum manusia mengenal tulisan. Hal ini dapat
dilihat pada perilaku seksualitas mamalia dan juga pada hubungan seksual
antara manusia dalam kebudayaan yang berlaku pada masa itu. Perilaku-
perilaku homoseksual tidak hanya berakhir pada masa itu saja. Homoseksualitas
juga berlangsung pada masa-masa peradaban selanjutnya.Hal ini dibuktikan
dengan adanya bukti mitos, manuskrip, candi-candi seperti candi cetho‟, pura
puseh, candi sukun, pura penyungsung, pura besakih, pelinngih ratu Ayu
pingit.260
Selama perjalanannya homoseksual memiliki beberapa periode penting yang
terjadi. Kemunculannya dalam beberapa hal inilah yang yang paling melekat
dalam ingatan dunia dan mempengaruhi stigma negatif. Diantaranya adalah
peristiwa binasanya kaum sodom umat Nabi Luth yang dilaknan Allah karena
melakukan tindak seksualitas sejenis, mereka telah diperingati oleh Nabi Luth
namun tidak menghiraukan. Maka Allah membinasakan mereka dengan cara
menghujani batu dari neraka hingga mereka binasa. Sebagaimana disebutkan
dalam Al Quran surat Al A‟raf Ayat 80-84

               

                

260 James Danadjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyandi Bali (Jakarta: UI Press, 1989) h. 202
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

135
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

              

           

80. Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala
Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" 81. Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. 82. Jawab kaumnya tidak
lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu
ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." 83.
Kemudian Kami selamatkan Dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; Dia
Termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). 84. Dan Kami turunkan kepada
mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
berdosa itu.(Al A‟raf 80-84)
Peristiwa yang terjadi kemudian adalah peristiwa meletusnya gunung
Vesuvius di Italia yang membinasakan kota Pompeii terutama kota namples.
Tempat tersebut merupakan tempat pusat perzinaan dan masyarakatnya banyak
yang homoseksual.261
Berlanjut pada Tahun 1930-an bangsa yahudi serta kaum homoseksual yang
dianggap sebagai orang-orang yang berbahaya, ketika itu sekitar 50.000 orang
dipenjara di camp-camp pengasingan Nazi ketika Nazi berkuasa.262 Sejarah
perjalanann kaum homoseksual tidak berakhir sampai di situ, pada Tahun 1950-
an Inggris mendirikan konselir untuk membantu pemerintahan dalam membuat
undang-undang menghadapi homoseksualitas yang belakangan banyak terjadi
dalam masyarakat dan juga prostitusi. Pada bulan juni 1969 di New york,
Amerika Serikat berlangsung huru hara Stonewall, ketika kaum waria dan gay
melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar yang bernama
Stonewall Inn. Peristiwa ini dianggap permulaan pergerakan gay yang terbuka
dan militan di barat. Kemudian pada Tahun 1978 International Lesbian and gay
Association (ILGA) berdiri di Dubin, Irlandia.263
Di Indonesia homoseksual dan seksualitas telah ada sejak zaman dulu dan
dibicarakan dalam setiap ritual, bersatu sebagai bagian dari kebudayaan lokal.
Homoseksual telah menjadi bagian dalam inisiasi-inisiasi kebudayaan daerah.
Contohnya reog ponorogo, dalam ritualnya untuk menjadi seorang Warok
gemblak hebat, seseorang dilarang untuk bergaul dengan perempuan, karena
perempuan dianggap membawa kelemahan pada pria dan diyakini jika
berdekatan dengan perempuan itu, akan menghilangkan kesaktian mereka.
Ketika mereka mengeluarkan sperma saat terangsang kepada perempuan maka

261 Ibid. Rama Azhari dan putra Kencana, h.51


262 Collin pencer, Sejarah Homoseksualitas (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014), h.420
263 Ibid, h.441-442

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

136
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

akan menghilangkan kesaktian ilmu yang mereka pelajari dan hal-hal seperti ini
sangat diyakini oleh masyarakat budaya di mana kebudayaan sangat
berpengaruh dalam kehidupan mereka. Kemudian juga terdapat ukiran tentang
seksualitas yang tidak membatasi masalah orientasi pada relief candi-candi yang
tersebar di Indonesia sebagai simbol dari kesuburan.264
Awal abad ke-20 sekitar Tahun 1920-1930-an pada masa penjajahan sudah
terdapat banyak homoseks di berbagai kota di Indonesia namun masih belum
dapat terlacak dengan baik, hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan naskah
autobiografi tentang seorang priyai jawa yang menuliskan tentang
kehidupannya di masa kolonial Belanda.265 Pada zaman dulu kaum LGBT
memang tidak banyak yang terlihat dan memang baru meluas pada zaman
modern. Kemudian pada sekitar akhir 1989 hingga awal Tahun 90-an banyak
berdiri LSM-LSM yang membela hak-hak LGBT seperti Gay Society (IGS) dan
GAYa Nusantara.
Di Indonesia sebetulnya sudah terdapat LSM yang menangani masalah
LGBT sejak Tahun 1982 yang bernama Lambada Indonesia, yang menerbitkan
bulletin “gaya hidup ceria (1982-1984). Melalui lambada Indonesia yang
berkantor di Surabaya, beberapa lesbian di jakarta , Yogyakarta dan Surabaya
mulai mengorganisir diri. Di Jakarta misalnya, beberapa lesbian yang menjadi
kontak person Lambada Indonesia mulai melakukan penggalangan anggota.
Pertemuan pertama kali dilakukan di rumah salah seorang artis terkenal pada
masa itu tapi tidak come out kepada publik. Namun Lambada Indonesia hanya
bertahan 6 bulan, dikarenakan lemahnya sumberdaya manusia dan ekonomi
yang menjadikan organisasi mereka tidak kuat.
Pada Tahun 1984, masih di Jakarta, beberapa aktifis lesbian mendirikan
organisasi bernama SAPHO dengan dukungan dari pejabat (gay, namun tidak
come out) dan beberapa mahasiswa fakultas psikologi Universitas Indonesia.
SAPHO mempunyai misi melakukan penguatan psikologis (terutama self esteem)
khusus kepada individu lesbian sehingga mereka mempunyai kepercayaan diri
dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Kemudian memasuki era milenium dan akhir Tahun 90-an memang
pergerakan LGBT seperti memasuki masa-masa kemudahannya meski tidak
semudah yang dibayangkan karena masih banyak pertentangan yang terjadi.
Selain dari sisi luar negeri, di dalam negeri sendiripun mereka mengalami
kesulitan karena pada masa era orde baru seksualitas manusia pada masa
kepemimpinan Soeharto diikat tidak boleh keluar dari ranah pribadi. Kemudian
pada ranah internasional isu orientasi seksual masuk dalam agenda konfrensi
PBB termasuk hak asasi manusia di Wina, Austria, tetapi ditentang oleh negara-

264 DebDikBud, Sejarah kebudayaan Bali: Kajian Perkembangan dan dampak Pariwisata (Jakarta:

DebDikBud RI, 1998) h.73-76


265 Amen Budiman, Gay Pilihan Jalan Hidupku: Pengakuan Seorang Priyai Jawa Zaman

Penjajahan Belanda (Semarang: Mimbar, 1990) Kata pengantar paragraf pertama.


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

137
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

negara konservatif, termasuk singapura, pada tahun 1993. Kemudia pada tahun
yang sama kongres Lesbian & Gay Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di
kaliurang, daerah Istimewa yogyakarta (DIY). Diikuti sekitar 40 peserta dari
Jakarta hingga Ujung Pandang, kongres ini menghasilkan enam butir ideologi
pergerakan Gay dan lesbian Indonesia. GAYa Nusantara mendapat mandat
untuk mengkoordinasikan Jaringan Lesbian & gay Indonesia (JLGI).266

LGBT dalam Wacana Masyarakat Indonesia


Dalam hakikatnya sebagai makhluk sosial, manusia akan membentuk
sebuah struktur ataupun sistem masyarakat, selanjutnya struktur maupun sistem
dalam masyarakat tersebut akan melahirkan standar nilai maupun norma yang
menjadi pedoman hidup bagi masyarakatnya. Ketika suatu kelompok maupun
individu tidak mampu memenuhi standar nilai maupun norma yang berlaku
dalam masyarakat, maka individu ataupun kelompok tersebut akan dianggap
menyimpang. LGBT sediri disebut menyimpang karena seringkali berbenturan
dengan standar nilai maupun norma yang ada dalam banyak kelompok
masyarakat.
Dalam konteks penyimpangan sosial, kaum LGBT dikatakan mengalami
penyimpangan karena fenomena tersebut tidak sesuai dengan norma dan nilai
yang berlaku dalam banyak kelompok masyarakat. Dalam kaitannya dengan
sebagai bentuk perilaku menyimpang, secara sosiologi maupun umum LGBT
dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dalam sudut pandang masyarakat luas maupun masyarakat tempat pelaku
penyimpangan berada. Jika dipandang dari sudut pandang etimologis, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia menerjemahkan perilaku menyimpang sebagai
tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang
tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat.
Penilaian masyarakat yang mengecam LGBT diberikan dalam beberapa
bentuk. Dari sudut pandang agama, LGBT merupakan sebuah dosa. Dari sudut
pandang hukum, dilihat sebagai penjahat. Dari sudut pandang medis terkadang
dianggap sebagai penyakit. Dan dari sudut pandang opini publik, dipandang
sebagai penyimpangan sosial.
LGBT jelas bertentangan dengan Pancasila yang menjunjung tinggi
ketuhanan yang maha Esa. Seluruh agama di Indonesi menentang LGBT.
Pelegalan perkawinan sejenis seperti yang dituntut oleh kaum LGBT kepada
pemerinta Indonesia tentu akan menjadi harapan kosong selama pemerintah dan
kita sebagai masyarakat teguh memegang nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila.

266 Buletin Arus Pelangi (Outzine: Edisi ke 2, januari 2008), h.13-14


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

138
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

Dampak LGBT bagi Generasi Bangsa


Boellstorff dalam penelitiannya mengenai keluarga berencana di Indonesia
menegaskan bahwa laki-laki di Indonesia diharuskan menikah dan berfungsi
sebagai suami dan memberi nafkah. Agama bangsa dan gender seksualitas
mempresentasikan tiga sudut dalam segitiga yang menetapkan rumah tangga
inti heteronormatif sebagai fondasi bangsa, ketaatan dan kewarganegaraan.
Dengan kata lain warga negara yang baik haruslah hetroseksual. Salah satu
penanda dari hal tersebut adalah disertakannya agama dan status perkawinan
dalam Kartu Tanda Penduduk.267
Yang menjadi ancaman nyata jika dilegalkannya perkawinan sejenis seperti
yang dituntut oleh kaum LGBT adalah rusaknya tatanan sosial yang kini berlaku
karena perkawinan sejenis akan merusak tatanan sosial yang kini berlaku.
Karena perkawinan sejenis akan menghilangkan makna keluarga yang terdiri
dari ayah, ibu dan anak. Anak yang hidup dalam keluarga dari orang tua sejenis
akan kehilangan figur ayah atau ibu. Resiko lain dari hal ini akan hilangnya
sebutan ayah atau ibu, sebab sebutan ayah dan ibu tercipta dari peristiwa
biologis dan bukan formalitas belaka.
Menurut Dr. Muhammad Rashfi di dalam kitabnya Al-Islam wa al-Thib
sebagaimana dikutib oleh Sayid Sabiq, penyimpangan sekual khususnya
homoseksual mempunyai dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan
masyarakat antara lain adalah sebagai berikut:268
a. Tidak tertarik pada wanita, tetapi justu tertarik kepada pria sama
kelaminnya. Akibatnya kalau si homo kawin, maka istrinya menjadi
korban (merana), karena suaminya bisa tidak mampu menjalankan
tugasnya sebagai suami, dan si istri hidup tanpa ketenangan dan kasih
sayang, serta ia tidak mendapatkan keturunan, sekalipun ia subur.
b. Kelainan jiwanya yang akibatnya mencintai sesame kelamin, tidak stabil
jiwanya, dan timbul tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si
homo. Misalnya ia bergaya sesama seperti wanita dalam berpakaian,
berhias, dan bertingkah laku,
c. Gangguan saraf otak, yang akibatnya bisa melemahkan daya pikiran dan
semangat/kemauannya.
d. Penyakit AIDS, yang menyebabkan penderitanya kekurangan/
kehilangan daya ketahanan tubuhnya. Penyakit AIDS ini belum
ditemukan obatnya dan telah membawa korban banyak sekali di Barat,
khususnya di Amerika Serikat. Berdasarkan survey di Amerika Serikat
pada tahun 1985 terhadap 12.000 penderita AIDS, ternyata 73% akibat
hubungan free sex, terutama homosex, 17% karena pecandu narkotika atau
sejenisnya, dan 2,5% akibat transfuse darah.

267 Boellstroff T, Gay dan Lesbian Indonesia Serta Gagasan Nasionalisme (Antropologia

Indonesia: 30 (1), 2006), h. 577


268 Masjfuka Zuhdi, Masail Fiqiyah,(Jakarta:PT. Toko Gunung Agung,1997), hal.45-46

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

139
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

Di Semarang misalnya, Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)


menemukan angka pengidap HIV/AIDS terus meningkat seiring makin
ramainya aktivitas komunitas Lelaki Seka Lelaki (LSL) di kota itu. “Jumlah
ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tersebut terbagi menjadi 102 orang yang
masih hidup dan 86 meninggal dunia. Di tahun ini kemungkinan meningkat,
sebab sejak Januari-Agustus saja sudah ada 52 kasus temuan baru.” Kata
Mohammad Pudisantoso, Koordinator PKBI seperi dilansir compas.com,
september lalu.269
1. Larangan Homoseksual dalam RUU-KUHP 2008
Di Indonesia, larangan hubungan seksual sesama jenis kelamin hanya
terdapat orang yang melakukan dengan anak yang belum dewasa.
Menurut hukum pidana Islam khusunya adalah merupakan perbuatan
pidana yang dapat dikenakan hukuman jika terbukti.270
Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
2. Ketentuan Perzinaan dalam RUU-KUHP 2008
Ketentuan hubungan sesama jenis ini di Indonesia masih tetap
diperbolehkan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 494 RUU_KUHP 2008
yang mengadopsi ketentuan Pasal 292 KUHP, kecuali terhadap orang-
orang yang secara tegas dilarang. Jika hubungan seksual sejenis kelamin
itu dilakukan oleh sesama lelaki, dalam hukum pidana disebut liwath,
sedangkan jika hubungan seksual sejenis kelamin dilakukan oleh
perempuan disebut musahaqah.
Pada Pasal 292 KUHP dan Pasal 494 RUU-KUHP 2008 ditemukan
adanya perbedaan pada segi hukuman dan batasan umur orang yang
dapat dijadikan pasangan homoseksual.271
a) Segi hukuman. Pasal 292 KUHP menetukan hukuman penjara paling
lama 5 tahun, sedangkan pasal 494 RUU-KUHP 2008 menentukan
hukum pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 7
tahun.
b) Segi usia. Pasal 292 KUHP menentukan batasan usia orang yang
dapat dijadikan pasangan homoseksual adalah “yang diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa”, dalam Pasal 494
RUU-KUHP 2008 disebutkan secara tegas bahwa pasangan yang
dapat dijadikan pasangan homoseksual adalah orang yang berumur
18 tahun.

269http://nasional.kompas.com/read/2015/09/18/Jumlah.Gay.Penderita.HIV.AIDS.di.K

abupaten.Semarang.Meningkat. Diakses 15 Maret 2016


270Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia di Tinjau

dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), Hal 80


271Ibid.,hal 90

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

140
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

Pasal 494
Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga
belum berumur 18 tahun, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 7tahun.

3. Ketentuan Perzinaan dalam Qanun Hukum Jinayat Aceh


Qanun hukum jinayat Aceh menentukan larangan liwath dan
mushahaqah dalam bagian kesembilan Pasal 33 dan Pasal 34.
Pasal 33
a. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan liwath atau mushaqah
diancam dengan „uqubat ta‟zir paling sedikit 100 kali cambuk dan
denda paling banyak 100 gram emas murni atau penjara paling lama
100 bulan.
b. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan atau mempromosikan
liwath atau mushahaqah diancam dengan „uqubat ta‟zit paling banyak
80 kali cambuk dan denda paling banyak 1000 gram emas murni atau
penjara paling lama 80 bulan.

Pencegahan LGBT
Upaya pencegahan LGBT hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya dari
dalam diri misalnya dapat dilakukan dengan cara lebih mendekatkan diri
kepada Tuhan, menjaga pergaulan dan tidak terpengaruh propaganda dari luar.
Dalam hal ini, sangat diiperlukan juga peran keluarga, sebab keluarga adalah
garda terdepan untuk membentengi seseorang dari pengaruh buruk yang akan
terjadi. Keluarga, terlebih orangtua dapan melakukan pencegahan LGBT salah
satunya dengan pendeteksian sejak dini.
Menurut Green dan Blanchard (Fitri Fausiah dan Julianti Widury), gangguan
identitas gender ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak antara lain pada
usia 2-4 ahun. Gangguan tersebut berkaitan dengan hormon dalam tubuh.272
Kaplan, Sadock dan Greeb menjelaskan bahwa tubuh manusia menghasilkan
hormon testoren yang mempengaruhi neuron otak, dan berkontribusi terhadap
maskulinisasi otak yang terjadi pada area seperti hipotalamus, dan sebaliknya
dengan hormon feminim. Namun saat ini pengaruh hormon terhadap gangguan
masih menjadi kontroversi.
Keluarga dan orangtua harus belajar tentang pola asuh yang baik sehingga
menghindarkan anaknya dari segala jenis penyimpangan. Sekolah harus
bekerjasama dengan orangtua gar mendidik anak sesuai dengan peran jenisnya.
Masyarakat harus mendapat edukasi yang bener tentang LGBT dan bekerja
sama menghalau budaya yang merusak ini. Salah satu upaya mencegahan LGBT

272 Fitri Fausiah dan Julianti Widury, Psikologi Abnormal Klinis Dewasa (Jakarta: UI Press,

2006) h.58-59
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

141
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

adalah dengan Menolak adanya legalisasi yang mendukung perilaku


penyimpangan seksual. Kita sebagai warga masyarakan juga berhak meminta
pemerintah dan mengajak organisas masyarakat untuk mengantisispasi
terjadinya LGBT. Pemerintah harus memotori terbentuknya suatu lembaga
khusus untuk menolong LGBT agar dapat kembali normal dengan fasilitas
terapi, rehabilitasi dan lainnya.

Kesimpulan
LGBT dipandng menyimpang karena seringkali berbenturan dengan standar
nilai maupun norma yang ada dalam banyak kelompok masyarakat. Yang
menjadi ancaman nyata jika dilegalkannya perkawinan sejenis seperti yang
dituntut oleh kaum LGBT adalah rusaknya tatanan sosial yang kini berlaku
karena perkawinan sejenis akan merusak tatanan sosial yang kini berlaku.
Salah satu dampak dari LGBT adalah mewabahnya penyakit AIDS, yang
menyebabkan penderitanya kekurangan/ kehilangan daya ketahanan tubuhnya.
Penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya dan telah membawa korban banyak
sekali di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Berdasarkan survey di Amerika
Serikat pada tahun 1985 terhadap 12.000 penderita AIDS, ternyata 73% akibat
hubungan free sex, terutama homosex, 17% karena pecandu narkotika atau
sejenisnya, dan 2,5% akibat transfuse darah.
Masyarakat harus mendapat edukasi yang bener tentang LGBT dan bekerja
sama menghalau budaya yang merusak ini. Salah satu upaya mencegahan LGBT
adalah dengan Menolak adanya legalisasi yang mendukung perilaku
penyimpangan seksual. Kita sebagai warga masyarakat harus meminta
pemerintah dan mengajak organisas masyarakat untuk mengantisispasi
terjadinya LGBT. Pemerintah harus memotori terbentuknya suatu lembaga
khusus untuk menolong LGBT agar dapat kembali normal dengan fasilitas
terapi, rehabilitasi dan lainnya.

Daftar Pustaka
Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual (Mizan: Bandung. 1984)
Amen Budiman, Gay Pilihan Jalan Hidupku: Pengakuan Seorang Priyai Jawa Zaman
Penjajahan Belanda (Semarang: Mimbar, 1990)
Boellstroff T, Gay dan Lesbian Indonesia Serta Gagasan Nasionalisme (Antropologia
Indonesia: 30 (1), 2006)
Buletin Arus Pelangi (Outzine: Edisi ke 2, januari 2008)
Collin pencer, Sejarah Homoseksualitas (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014)
DebDikBud, Sejarah kebudayaan Bali: Kajian Perkembangan dan dampak Pariwisata
(Jakarta: DebDikBud RI, 1998)
Fitri Fausiah dan Julianti Widury, Psikologi Abnormal Klinis Dewasa (Jakarta: UI
Press, 2006)
James Danadjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyandi Bali (Jakarta: UI Press, 1989)
Kartini kartono, Patologi Sosial Jilid I (Jakarta: Rajawali, 1988)
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

142
Nawang Wulandari LGBT : Antara Norma…

Masjfuka Zuhdi, Masail Fiqiyah,(Jakarta:PT. Toko Gunung Agung,1997)


Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia di
Tinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010)
Rama Azhari dan putra Kencana, Membongkar Rahasia jaringan Cinta Terlarang
Kaum Homoseksualitas (Jakarta: Hujjah Press, 2008)
http://nasional.kompas.com/ Jumlah Gay Penderita HAIV AID di Kabupaten
Semarang meningkat. Diakses 21 Maret 2016.
Dede Oetomo, Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) – Jalan lain
memahami Hak Minoritas. 2008) www.komnasperempuan.or.id. Diakses
pada tanggal 20 Maret 2016

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)


STAIN Jurai Siwo Metro

143
PRO DAN KONTRA LBGT DI MASYARAKAT INDONESIA

Tyas Desita Wengrum


STAIN Jurai Siwo Metro

Pendahuluan
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia membutuhkan manusia lainnya
sebagai pemenuhan kebutuhan lahir maupun batin merupakan salah satu fungsi
dari interaksi, maka dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai macam
aktivitas yang melibatkan individu-individu lain untuk saling berkomunikasi
dan saling bersosialisasi.
Suatu fenomena yang saat ini berkembang di masyarakat yaitu mengenai
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dewasa ini, istilah LGBT
dipakai untuk menunjukkan seseorang atau siapapun yang mempunyai
perbedaan orientasi seksual dan identitas gender berdasarkan kultur tradisional,
yaitu heteroseksual. Lebih mudahnya orang yang mempunyai orientasi seksual
dan identitas non-heteroseksual seperti homoseksual, biseksual, atau yang lain
dapat disebut LGBT.273
Menurut Soekanto, secara psikologis homoseksual adalah seseorang yang
cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual.
Kinsey, Pomeroy dan Martin (1984) dalam penelitian yang terkenal tentang
seksualitas di Amerika, mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah
mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatu masa kehidupannya, tetapi
hanya 4% yang benar-benar homoseksual dan mengekspresikan kecenderungan
erotisnya pada sesama laki-laki.274 Adapun sisanya kemungkinan hanya karena
rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan
bahwa mempunyai hubungan homoseksual tidak berarti seseorang menjadi
homoseks. Yang lebih penting secara sosiologis adalah pengungkapan identitas
homoseksual. Melalui identitas itu, seseorang mengkonsepkan dirinya sebagai
homoseks.275
Pro dan kontra mewarnai adanya kaum LGBT di dalam kehidupan
masyarakat. Orientasi seksual terkadang merupakan sesuatu yang sulit diterima
pada sebagian masyarakat. Padahal mereka sama dengan manusia biasa pada
umumnya yang butuh berinteraksi dan mengekspresikan gender. Pengucilan
atau pendiskriminasian yang dilakukan masyarakat kepada kaum LGBT
membuat mereka menutup diri dan tidak mengexpose tentang diri mereka.

273 Galink..Seksualitas Rasa Rainbow Cake: Memahami Keberagaman Orientasi Seksual Manusia,

(Yogyakarta: PKBI DIY, 2013)


274 Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004), h. 381
275 Siahaan, Jokie M.S.. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis, (Jakarta: PT.Indeks,

2009), h. 43
Tyas Desita Wengrum Pro dan Kontra…

Walaupun masyarakat memberikan penilaian negatif terhadap LGBT,


keberadaan mereka tetap ada dan eksis. Kaum LGBT cenderung berinteraksi
dengan sesama kaum LGBT walaupun tempat berkumpul mereka ditengah-
tengah masyarakat.
Perkembangan kaum LGBT mengalami kenaikan secara signifikan setiap
tahunnya, bahkan fenomena tersebut juga terjadi di daerah Bandar Lampung.
Dikutip pada koran Tribun Lampung, 24 Oktober 2014 yang menyatakan bahwa
keberadaan kaum LGBT makin menunjukkan eksistensinya. Pada tahun 1990-
2000an, kaum LGBT berkumpul di bawah jembatan penyebrangan bambu
kuning dan di lapangan parkir saburai saja, tapi sekarang sudah mulai menyebar
di Lapangan Korpri Gubernuran, PKOR Way Halim, Lungsir, dan beberapa
pusat perbelanjaan di Kota Bandar Lampung.

Pembahasan
Dalam pandangan islam, perbuatan LBGT (Lesbian, Bisexsual, Gay, dan
Transgender) hukumnya adalah perbuatan yang haram. Hal tersebut dijelaskan
oleh beberapa ulama fiqih di bawah ini :
1. Fuqoha Madzhaf Hambal
Mereka sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual sama
persis dengan hukuman bagi pelaku perzinahan. Adapun dalil yang
mereka pergunakan adalah Qiyas, karena defenisi Homoseksual (Liwath)
menurut mereka adalah menyetubuhi sesuatu yang telah diharamkan
oleh Allah. Maka mereka menyimpulkan bahwa hukuman bagi
pelakunya adalah sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinahan.
Al-Imam Asy-Syafi‟i berkata,
“ ِ‫ص ٍد‬ ‫َج ْلع َجَ ُقو َٕج َج ا ْلاى َجع َجَ َجو ُقٍ ْل َج‬ٝ ِ‫” َجٗتِلَٖج َج ا َّجأْل ُق ُق تِل َجر ْل ِلٌ َجٍ ْل‬
‫ َجر ُقٍ ْل َج‬ٞ‫صْاًلا َجماَُج َجْٗل َج ْل‬
“Maka dengan (dalil) ini, kami menghukum orang yang melakukan perbuatan
gay dengan rajam, baik ia seorang yang sudah menikah maupun belum.“
2. Syekh ibnu Taymiyah
Mengatakan bahwa seluruh sahabat Rasulullah SAW sepakat bahwa
hukuman bagi pelaku LBGT adalah hukuman mati. Hanya saja para
sahabat berbeda pendapat tentang cara ekskusinya. Sebagian sahabat
mengatakan bahwa kedua-duanya harus dibakar hidup-hidup, sehingga
menjadi pelajaran bagi yang lain. Pendapat ini diriwayatkan dari khalifah
pertama Abu Bakar As-Shiddiq.
‫ُق‬ ‫ُق‬
‫ُق ْل َجر َج تِلاىَّْر ِل‬ٝ ُ‫ َج ْل‬ٙ‫ َج َجو‬،‫ َجٗ َج ْلد َج يِل ْلَرُق ْلٌ َجٍا َج َجع َجو ُق تِلَٖجا‬،ٌ‫” َجٍا َج َجع َجو َٕج َج ا إِل َّر َّرٍحٌة َجٗا ِلح َجدجٌة ِلٍَِج ا َجٍ ِل‬
“ ‫او‬
“Tidaklah ada satu umat pun dari umat-umat (terdahulu) yang melakukan
perbuataan ini, kecuali hanya satu umat (yaitu kaum Luth) dan sungguh kalian
telah mengetahui apa yang Allah Subhaanahu wa ta‟ala perbuat atas mereka,
aku berpendapat agar ia dibakar dengan api.”
Sahabat yang lain berpendapat bahwa keduanya dibawa kepuncak
yang tertinggi di negeri itu kemudian diterjunkan dari atas dan dihujani
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

145
Tyas Desita Wengrum Pro dan Kontra…

dengan batu, karena dengan demikianlah kaum nabi Luth A.S dihukum
oleh Allah SWT.

Abdullah bin Abbas berkata,


“ ‫ُقرَّرثَج ُق تِل ْلاى ِل َج ا َجو ِلج‬ٝ ٌ‫ ُق َّر‬،‫ ِلٍ ْلُْٔق ُقٍَْج ِّلنثاًلا‬ٜ‫ اىيُّلْ٘ل ِلط ُّل‬ٍٚ‫ُقرْل َج‬ٞ‫ َج‬،‫َج ِلح‬ٝ ‫ ْلاىقَجرْل‬ٜ‫ تِلَْجا ٍدا ِل‬ٚ‫ َج ْل يَج‬ٚ‫ُق ْلْ َج ُقر إِلىَج‬ٝ ”
“Ia (pelaku gay) dinaikkan ke atas bangunan yang paling tinggi di satu kampung,
kemudian dilemparkan darinya dengan posisi pundak di bawah, lalu dilempari dengan
bebatuan.”
Ulama lainnya, seperti Abu Hanifah mengtakan, pelaku homosex, di hukum
ta‟zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringanan hukuman
ta‟zir diserahkan kepada pengadilan (hakim). Hukuman ta‟zir di jatuhkan
terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak di tentukan macam dan kadar
hukumnya oleh nas Al-Quran dan hadis.
Menurut Al-Syaukani, pendapat pertama adalah yang kuat, karena
berdasarkan nas sahih (hadis) yang jelas maknanya, sedangkan pendapat kedua
di anggap remah, karena memakai dalil qiyas padahal ada nasnya, dan sebab
hadis yang dipakainya lemah.demikian pula pendapat ketiga, juga di pandang
lemah, karena bertentangan dengan nas yang telah menetapkan hukuman mati
(hukuman had ), bukan hukuman ta‟zir.
Mengenai perbuatan lesbian (female homosexual), atau sahaq (bhs. Arab), para
ahli fiqih juga sepakat mengharamkannya, berdasarkan Hadis Nabi riwayat
Ahmad, Abu Daud, Muslim, dan Al-Tirmidzi:
Janganlah pria melihat aura pria lain janganlah wanita melihat aurat lain dan
janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai selimut/kain, dan
janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai selimut/kain.
Menurut Sayid Sabiq, lesbian ini di hukum tazir, suatu hukuman yang
macam dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi, hukumannya
lebih ringan dari pada homoseksual, karena bahaya/risikonya lebih ringan di
bandingkan dengan bahaya homoseksual, karena lesbian itu bersentuhan
langsung tanpa memasukkan alat kelaminnya, seperti halnya seorang pria
bersentuhan langsunng (pacaran) dengan wanita bukan istrinya tanpa
memasukkan penisnya ke dalam vagina. Perbuatan semacam ini tetap haram
sekalipun bukan zina, tetapi dapat dikenakan hukuman ta‟zir seperti lesbian di
atas.
Perlu di tegaskan disini, bahwa perbuatan LGBT (Lesbian, Guy, Bisexsual,
dan Transgender) bertentangan dengan norma agama, norma susila dan
bertentangan pula dengan sunnatullah dan fitrah manusia. Hal tersebut seiring
sejalan dengan hukum yang ada di Indonesia. Pendapat tersebut diungkapkan
oleh Ketua MUI Ma‟ruf Amin konferensi pers di Kantor MUI, Jakarta Pusat.
Menurut Ma‟ruf Amin, aktifitas LGBT bertentangan dengan sila kesatu dan
kedua Pancasila. Akivitas LBGT tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa MUI
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

146
Tyas Desita Wengrum Pro dan Kontra…

Nomor 57 Tahun 2014 tentang larangan Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgender,


Sodomi, dan Pencabulan. MUI juga menyatakan bahwa aktivitas LGBT
diharamkan karena aktivitas sexsual LGBT diharamkan karena dapat
menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan dan sumber penyakit
menular, seperti HIV/AIDS.
Faktor utama pembentuk orientasi seksual LGBT adalah lingkungan dan
keluarga. Pro dan kontra mewarnai adanya kaum LGBT ini. Baik itu dipandang
dari sudut agama, sosial, maupun budaya sehingga ketika kaum LGBT akan
timbul ke masyarakat terkadang mereka merasa terasingkan dan terdiskriminasi
akan sikap masyarakat. Pengucilan atau pendiskriminasian yang dilakukan
masyarakat kepada kaum LGBT membuat mereka menutup diri dan tidak
mengexpose tentang diri mereka.
Seidman mengatakan, sejak tahun 1990-an memang kaum homoseksual
sudah mengalami kebebasan dan keleluasaan yang lebih lebar dibandingkan
pada zaman sebelumnya karena semakin banyak film-film Hollywood dan
produk media budaya Amerika Serikat lainnya yang menghadirkan sosok
homoseksual sebagaimana usia utuh layaknya kaum heteroseksual, ditambah
dengan banyaknya tokoh publik seperti jurnalis, seniman dan intelektual yang
menyuarakan pentingnya toleransi terhadap kaum homoseksual, namun kaum
homoseksual masih mengalami ketertindasan. Meskipun saat ini kaum
homoseksual sudah bisa lebih leluasa untuk berekspresi dengan menciptakan
narasi tentang kehidupan mereka dalam bentuk buku, film, musik dan
sebagainya, namun negara kita masih belum bisa menerima kaum LBGT.276
Keberadaan LGBT ini selain mendapat perlakuan yang diskriminasi dari
masyarakat namun juga menjadi objek penghinaan bahkan kekerasan, karena
dianggap bertentangan dengan norma-norma budaya dan agama. Banyaknya
kekerasan yang diterima mengakibatkan mereka pergi dan berkumpul dengan
sesama. Akhirnya, komunitas LGBT terkesan bertindak sembunyi-sembunyi.
Kaum LGBT ini semakin merasa dipinggirkan oleh masyarakat. Keberadaan
kaum LGBT dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang
berkembang di Indonesia. Orientasi seksual yang mereka miliki dianggap
sebagai dampak buruk globalisasi yang melegalkan kaum ini dan dikhawatirkan
akan mempengaruhi masyarakat lainnya. Indonesia sebagai negara hukum dan
penegak HAM, merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi
International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) sudah
semestinya masyarakatnya mendapatkan perlakuan yang layak dan
perlindungan sama dalam berbagai kehidupan masyarakat, seperti akses
terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan jaminan keamanan sosial yang

276 Seidman, Steven, Beyond the Closet: The Transformasion of Gay and Lesbian Life. Routledge,
2003
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

147
Tyas Desita Wengrum Pro dan Kontra…

lain. Namun pemerintah pun dalam hal ini belum dapat berbuat banyak
terhadap kaum LGBT.277

Kesimpulan
Kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, dan Transgender) di Indonesia masih
menjadi pro dan kontra di masyarakat. Keberadaan kaum LGBT dinilai tidak
sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang berkembang di Indonesia.
Orientasi seksual yang mereka miliki dianggap sebagai dampak buruk
globalisasi yang melegalkan kaum ini dan dikhawatirkan akan mempengaruhi
masyarakat lainnya, bahkan kaum LGBT cenderung dideskriminasi oleh
masyarakat. Semakin masyarakat mendiskriminasi, menghina bahkan
banyaknya tindak kekerasan yang diterima mengakibatkan mereka pergi dan
berkumpul dengan sesama. Akhirnya, komunitas LGBT terkesan bertindak
sembunyi-sembunyi dan semkin berkembang di kalangannya. Semakin banyak
mereka membuat komunitasnya sendiri, maka akan semakin sulit diketahui
keberadaannya. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah
Indonesia, karena bila ditinjau dari sisi lain, Indonesia sebagai negara hukum
dan penegak HAM dan merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi
International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang
sudah semestinya masyarakatnya mendapatkan perlakuan yang layak dan
perlindungan sama dalam berbagai kehidupan masyarakat, seperti akses
terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan jaminan keamanan sosial yang
lain.

Daftar Pustaka
Galink. 2013. Seksualitas Rasa Rainbow Cake: Memahami Keberagaman Orientasi
Seksual Manusia. Yogyakarta: PKBI DIY.
Seidman, Steven. 2003. Beyond the Closet: The Transformasion of Gay and Lesbian
Life. Routledge.
Siahaan, Jokie M.S. 2009. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis.
Jakarta: PT.Indeks.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

277 Galink..Seksualitas Rasa Rainbow Cake: Memahami Keberagaman Orientasi Seksual Manusia,

(Yogyakarta: PKBI DIY, 2013)


Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro

148

Anda mungkin juga menyukai