Anda di halaman 1dari 13

DOI: 10.24014/jush.v25i2.

3931

SYARI’AH DAN TASAWUF:


Pergulatan Integratif Kebenaran dalam Mencapai Tuhan

Syamsul Rijal1 dan Umiarso2


1
Universitas Islam Negeri ar-Raniry Banda Aceh, Indonesia
2
Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia
umiarso@umm.ac.id

Abstract
Islamic law (shari’a) and tasawwuf are two entities that are still stuck as stand-alone variants,
even these two entities are often confronted vis a vis. The shari’ah that stands consistently on
the exoteric dimension (claims) outwardly claims that the Sufis as a whole ignore the outward
stipulations of religious law and substitute the fundamental practice with their own design
innovations, thus removing themselves from the true Muslim community. While the Sufi self-
confused in the esoteric world states that the fuqaha only see the explicit side that is on the
pages of the Qur’an and only be a mere formality without capturing the essence or substance
of Islamic teachings. Shari’ah, tarekat, essence, and makrifat are integrative steps in Sufism.
Therefore, the two dimensions are a unified one (integrative-monochotomic) between one
dimension and another. Between these two dimensions is also open space to find the “ultimate
truth” to one God.

Keywords: Shari’ah, Tasawwuf, and The Truth Reaches God.

Abstrak
Hukum Islam (syari’ah) dan tasawuf adalah dua entitas yang sampai saat ini masih
terpancang sebagai varian yang berdiri sendiri, bahkan dua entitas ini sering dihadapkan
secara vis a vis. Syari’ah yang berdiri secara konsisten pada dimensi eksoteris (lahiriah)
mengklaim bahwa sufi secara keseluruhan mengabaikan ketentuan lahiriah hukum agama
dan menggantikan praktik mendasar dengan inovasi desain mereka sendiri, sehingga
menghapus diri dari komunitas muslim sejati. Sedangkan para sufi sendiri yang berkecipung
di dunia esoteris menyatakan bahwa para fuqaha hanya melihat sisi eksplisit yang ada
pada lembar-lembar al-Qur’an dan hanya bersikap formalitas belaka tanpa menangkap
esensi atau substansi ajaran Islam. Syari’at, tarekat, hakekat, dan makrifat adalah langkah
integratif dalam sufisme. Oleh karena itu, dua dimensi tersebut merupakan satu kesatuan
yang tidak saling menegasikan (integratif-monokhotomik) antara satu dimensi dengan
dimensi lainnya. Antara dua dimensi ini terbuka ruang untuk menemukan “kebenaran
hakiki” menuju satu Tuhan.

Kata Kunci: Syari’ah, Tasawuf, dan Kebenaran Mencapai Tuhan.

124 Syamsul Rijal dan Umiarso: Syari’ah dan Tasawuf


Pendahuluan Batin) (QS. al-Hadid: 3).7 Hal ini telah menjadi
Hukum Islam – baca pada konteks ini sebagai kesepakatan bahwa tasawuf pada hakikatnya
syari’ah Islam – yang diproklamirkan sebagai adalah dimensi yang dalam dan esoteris dari Islam
“sumber prinsip undang-undang”1 dan sebagai (the inner and esoteric dimension of Islam) yang
jantung Islam2 merupakan suatu entitas yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis serta perilaku
sering dihadapkan secara vis a vis dengan tasawuf. Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya;
Konsekuensinya antara syari’ah dan tasawuf sedangkan syari’ah adalah dimensi luar ajaran
(sufisme) menjadi dua entitas yang oleh beberapa Islam.8 Kesepakatan ini telah menjadi standar
pakar dinilai tidak bisa disatukan, bahkan dinilai dan mengakar kuat dalam diskursus studi Islam
merupakan dua entitas yang bertolak belakang sampai saat ini.
secara praksis ataupun secara substansial. 3 Akan tetapi, diferensiasi tersebut melahirkan
Memang ketika dilihat pada sisi penekanannya, stigma berupa kritik antara dua varian yang
sejak abad pertama Islam, (pemikiran) hukum memiliki pusat perhatian yang berbeda (eksoteris
Islam telah bergulat dengan masalah sejauhmana dan esoteris) tersebut. Artinya, antara varian
akal manusia dapat membimbing manusia Syari’ah dengan Tasawuf saling mengkritik
dalam melakukan materi dan urusan spiritual.4 tentang keabsahan masing-masing dimensi. Salah
Sedangkan tasawuf merupakan entitas yang satu kritik terhadap tasawuf selama berabad-
memusatkan perhatian pada pembersihan abad sering memunculkan argumentasi bahwa
aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat sufi secara keseluruhan mengabaikan ketentuan
menimbulkan akhlak mulia;5 walaupun pada lahiriah hukum agama dan menggantikan praktik
perkembangan awalnya lebih dilekatkan pada mendasar dengan inovasi desain mereka sendiri,
stigma gerakan oposisi.6 sehingga menghapus diri dari komunitas muslim
Dengan demikian, posisional karakteristik sejati.9 Hal ini terjadi pada Dzunnun al-Misri
dari dua entitas tersebut seakan-akan bertolak yang telah benar-benar dituduh menyelewengkan
belakang; syariah lebih memusatkan pada ajaran Islam yang terjadi pada tahun 240 H/854 M
dimensi eksoteris dan tasawuf pada dimensi di Baghdad.10 Lazim apabila muncul kecurigaan
esoteris. Seakan menjadi suatu kelaziman ahli Fiqh terhadap ahli tasawuf, baik yang
dalam Islam, polarisasi antara eksoterisme dan penganut corak tasawuf teologi ataupun terhadap
esoterisme sangat terasa. Dalam al-Qur’an, Allah mereka yang menganut tasawuf falsafi.11
menyajikan diri-Nya sebagai, pada saat yang Sedangkan para pelaku tasawuf juga
sama, The Outer (al-Zahir) dan The Inner (al- mengkritik balik para fuqaha tersebut yang
hanya melihat sisi eksplisit yang ada pada
lembar-lembar al-Qur’an dan ia hanya bersikap
1
Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam (New York: Facts On formalitas belaka, tanpa menangkap esensi atau
Fire, Inc., 2009), 211. substansi ajaran Islam; walaupun sejak awal
2
M. B. Hooker & Virginia Hooker, "Sharia", dalam Greg Fealy
& Virginia Hooker (Editor), Voices of Islam In Southeast Asia: A
Contemporary Sourcebook (Singapore: ISEAS, 2006), 137.
3
Abdul Hadi W.M., "Islam di Indonesia dan Transformasi 7
Eric Geoffroy, Introduction to Sufism: The Inner Path of Islam
Budaya", dalam Aan Rukmana, dkk., Mengenal Islam Jalan (Indiana: World Wisdom, Inc., 2010), 1.
Tengah: Buku Daras Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan 8
Asep Usman Ismail, "Tasawuf", dalam Taufik Abdullah, dkk.,
Tinggi (Jakarta: Dian Rakyat, 2012), 354. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, Jilid 3 (Jakarta: PT.
4
Wael B. Hallaq, An Introduction to Islamic Law (Cambridge: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 306.
Cambridge University Press, 2009), 14. 9
John Renard, The A to Z of Sufism (Toronto: The Scarecrow
5
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, Press, Inc., 2009), 142.
2011), 283. 10
Fazlur Rahman, Islam, Peterj. Ahsin Mohammad (Bandung:
6
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Pustaka, 1984), 194.
Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan 11
Mahyuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia,
Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), 254. 2003), 69.

Jurnal Ushuluddin Vol . 25 No.2, Juli-Desember 2017 125


ia telah menyadari akan terkesampingkan atau Belakangan juga telah terjadi suatu percikan
terlewatkannya aspek “batiniyah” daripada atau letupan sejarah yang mengatasnamakan
agama.12 Para fuqaha menyakini bahwa Tuhan, kesucian agama, yaitu peristiwa eksekusi
sebagai pencipta, berkeinginan agar manusia Mansur al-Hallaj (w. 309 H) yang didakwa
hidup dengan cara tertentu, dan juga telah menyebarluaskan ajaran al-hulul dalam tasawuf.
mengungkapkan cara-cara bagi manusia.13 Oleh Ia menjadi martir besar sufisme karena pengakuan
sebab itu, perintah-perintah yang jelas dan terbuka tentang misteri kesatuan Ilahi dan
spesifik dari al-Qur’an dan Sunnah merupakan mengabaikan kepatutan syari’ah.16 Oleh sebab
inti dari syari’ah dan pemahaman mereka dapat itu, ajaran al-hulul ini diputuskan sesat oleh
tersampaikan dengan jelas.14 Pada kerangka ini penguasa berdasarkan legitimasi para fuqaha
sangat jelas bahwa syari’ah merupakan aturan mazhab dhahiriy. Akhirnya, putusan eksekusi ini
yang diciptakan untuk manusia agar ia berpegang menyebabkan perubahan radikal dalam sejarah
pada aturan tersebut dalam berhubungan dengan tasawuf,17 yaitu terjadinya saling curiga atau
Tuhan, sesamanya, dan dengan alam. ketimpangan relasional antara syari’ah (hukum
Persoalan stigma tersebut akhirnya Islam) dan tasawuf (hakikat); antara dimensi
menciptakan rentetan alur sejarah pahit pada eksoteris dan dimensi esoteris. Akan tetapi jika
peradaban Islam itu sendiri salah satunya adalah ditelisik lebih komprehensif, eksekusi tersebut
insiden al-fitnah al-kubra yang mengantarkan tidak murni karena “bentuk keyakinan” yang
jatuhnya Khalifah Ali dari ke-khilafah-an, dipegang oleh al-Hallaj sendiri, namun lebih
diganti Muawiyah merupakan sumber utama didorong oleh muatan politik penguasa yang ingin
bagi perpecahan kaum muslimin dalam berbagai menghancurkan kelompok-kelompok marginal
sekte dan aliran seperti munculnya Khawarij seperti syi’ah, qaramithah, dan golongan non-
yang menganggap Khalifah Ali telah kafir. muslim.
Bahkan aliran ini menganggap darah umat Islam Hal-hal tersebut atau ketegangan dalam
yang menantang diri mereka halal ditumpahkan sejarah pemikiran Islam tersebut secara eksplisit
dan kekayaan mereka halal dirampas.15 Mereka lebih dimotori oleh faktor politis (kekuasaan)
melegitimasi perbuatannya dengan menggunakan yang berkelindan dengan nilai-nilai sakralitas
ayat-ayat secara eksoteris dengan tetap pada arus agama. Entitas sakralitas agama ini yang
kepentingan mereka. Artinya, pola penafsiran akhirnya menutupi nuansa ketegangan politis
mereka lebih mengarah pada makna lahiriah dari tersebut, sehingga ia terbaca sebagai suatu
teks al-Qur’an yang diyakini sebagai “kebenaran” peristiwa yang murni sebagai suatu peristiwa
hakiki. Namun, latar peristiwa munculnya aliran keagamaan an sich. Ketegangan ini sebenarnya
ini lebih dimotori oleh muatan-muatan politik telah mulai “didamaikan” oleh beberapa pakar
(kekuasaan) yang akhirnya merembes – atau (ulama’) sebut saja seperti al-Ghazali (1058-1111
memang dipolitisir atas nama agama – pada M.) yang mengembangkan suatu tesis bahwa
nuansa keagamaan. tasawuf yang terpadu secara baik dengan syariah
diakui sebagai mu’tabarah (absah), dan yang
12
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau tidak memenuhi kriteria itu dinyatakan sebagai
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 152. ghayr mu’tabarah (tidak absah).18 Walaupun
13
Robert S. Ellwood & Gregory D. Alles, The Encyclopedia of
World Religions: Revised Edition (New York: Facts On File,
Inc., 2007), 418. 16
William C. Chittick, Sufism: A Beginner’s Guide (Oxford: A
14
Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law: An Introduction Oneworld Book, 2008), 35.
(Oxford: A Oneworld Book, 2008), 39. 17
Eric Geoffroy, 70.
15
Stephen Sulaiman Schwartz, Two Faces of Islam: The House 18
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun
of Sa’ud from Tradition to Terror, Peterj. Hodri Ariev (Jakarta: Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Blantika, 2007), 67. Paramadina, 2000), 77.

126 Syamsul Rijal dan Umiarso: Syari’ah dan Tasawuf


sebenarnya para praktisi tasawuf seperti Ibnu merupakan atau sekelompok dengan syari’ah.
‘Arabi tidak pernah memisahkan antara syari’ah Namun, ada juga yang menyatakan bahwa
dengan tasawuf (hakikat). Artinya, pendekatan suatu sistem peraturan yang menggariskan secara
kontemplatif dan batini yang digunakan Ibnu sistematis amal shaleh atau perilaku manusia
‘Arabi bukan merupakan ekspresi parsialistik, (umat muslim) disebut syari’ah. Dengan demikian
melainkan bentuk komprehensivitas aspek dan sangat jelas, pada mulanya istilah syari’ah
dimensi ajaran Islam, baik aspek literal maupun mengacu pada doktrin Islam secara totalitas
kiasan, teoretikal, dan praktikal, atau dimensi dan komprehensif, termasuk bidang aqidah dan
eksoteris dan esoteris.19 Dengan demikian, entitas akhlaq. Artinya, syari’ah mencakup beberapa
tersebut (syari’ah dan tasawuf) merupakan dua dimensi yang meliputi ranah hukum, akhlaq, dan
entitas yang bisa dilihat secara integral tanpa ada aqidah dalam Islam – bisa dikatakan menyangkut
upaya menegasikan satu entitas dalam bingkai aspek eksoteris dan esoteris sekaligus. Akan tetapi,
pencarian “kebenaran” menuju Tuhan. perkembangan selanjutnya, istilah itu mengalami
penyempitan makna sebatas doktrin agama yang
Syari’ah: Sisi Eksoteris dalam Islam menyangkut hal-hal lahiriah (eksoteris), sehingga
Hukum menurut para ahli hukum Islam pengertian syari’ah menjadi identik dengan Fiqh
adalah tata aturan yang mencakup seluruh (yurisprudensi Islam).22 Analisis ini memberikan
perilaku manusia, baik dalam hubungan antar suatu pemahaman tentang integralisasi ajaran
manusia ataupun hubungan manusia dengan Islam yang selama ini terkesan saling menegasikan
Tuhan. Artinya, bahwa hukum Islam merupakan terutama antara syari’ah dan tasawuf. Peristiwa ini
suatu disiplin hermeneutis yang menggali dan seakan mengungkap ada “gerakan epistemologis”
menafsirkan wahyu melalui tradisi.20 Batasan ini yang mereduksi kegeneralan syari’ah sebagai
memiliki kemiripan dengan batasan teknis dari suatu sistem komprehensif (eksoteris dan
syari’ah sebagai sistem norma hukum Ilahi yang esoteris) dalam anatomi ajaran Islam, sehingga
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, penyempitan makna syari’ah menjadi peristiwa
hubungan manusia sesama manusia, hubungan yang menyebabkan dikhotomi dimensi dalam
manusia dengan benda di dalam lingkungan ajaran Islam. Hal ini bisa dikatakan sebagai
hidupnya.21 Dari batasan ini terdapat sisi tumpang “ijtihad epistemologis” dalam sejarah pemikiran
tindih antara hukum Islam dan syari’ah yang Islam yang sampai saat ini masih terasa getarannya.
tentunya tidak mampu memberikan batasan Terlepas dari hal tersebut, secara faktual terma
pasti antara keduanya. Lazim apabila dalam Fiqh sebagai suatu anatomi dalam Islam dapat
pemakaiannya sering digunakan dua istilah untuk dibedakan berdasarkan pada sisi generiknya,
hukum Islam, yaitu syari’ah dan Fiqh. Penggunaan yaitu: pertama, istilah Fiqh berarti paham
istilah ini akhirnya memunculkan kerancuan (understanding) yang menjadi suplemen terhadap
pengertian Fiqh dengan syari’ah, sehingga istilah ilmu (menerima pelajaran) terhadap nash
pada kerangka ini ada sebagian kalangan yang normatif, yakni al-Qur’an, Sunnah atau Hadis;
mempunyai pendirian bahwa hukum Islam (Fiqh) kedua, Fiqh dan ilmu keduanya mengacu pada
satu entitas yaitu pengetahuan (knowledge),
sehingga kedua terma tersebut menjadi identik
19
Nurasiah Faqihsutan Hrp., Meraih Hakikat Melalui Syariat:
Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn ‘Arab (Bandung: Mizan,
2005), 24.
20
Ashk P. Dahlen, Islamic Law, Epistemology and Modernity: Lebih detailnya lihat Budhy Munawar-Rachman (Editor),
22

Legal Philosophy in Contemporary Iran (New York: Routledge, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
2003), 14. Paramadina, 1994), 124; lihat juga Ahmad Sukardja,
21
Muniron, dkk., Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jember: "Pendahuluan", dalam Taufiq Abdullah, dkk., Ensiklopedi
STAIN Jember Press, 2010), 45. Tematis Dunia (Jilid 3), 2-3.

Jurnal Ushuluddin Vol . 25 No.2, Juli-Desember 2017 127


untuk dipertautkan; dan ketiga, Fiqh berarti suatu Fiqh, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan
jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam yang disebut dengan ashliyyah atau i’tiqdiyyah
atau ilmu-ilmu keislaman.23 Sedangkan syari’ah yang untuknya dihimpun ilmu kalam.27
– secara etimologis – dapat dimaknai sebagai Dari pola diferensiasi yang berdasarkan sisi
jalan yang lurus (al-Thariqah al-Mustaqimah); generik tersebut sangat jelas perbedaan antara
sumber atau aliran air yang digunakan untuk Fiqh dengan syari’ah terutama dari segi keluasan
minum; atau juga tangga atau tempat naik cakupannya. Terma syari’ah mengacu pada
yang bertingkat-tingkat. 24 Dari sisi ini bisa suatu bentuk kumpulan perintah dan larangan
dikatakan bahwa syari’ah sebagai al-thariqah al- yang disampaikan Allah melalui Rasul-Nya,
mustaqimah merupakan kebutuhan pokok yang termasuk Nabi Muhammad Saw (hukum in
akan menyelamatkan dan membawa kebaikan abstracto) juga mencakup sistem kepercayaan
bagi umat manusia; sebab dalam konteks ini, yang bersifat “i’tiqadi”. Sedangkan terma Fiqh
agama memberikan petunjuk, jalan, dan rambu- adalah kumpulan hukum yang bersifat ‘amali
rambu yang bisa mengantarkan manusia pada yang dipetik dari dalil-dalil yang bersumber
kebahagiaan yang hakiki. Syariah pada tataran dari al-Qur’an dan al-Hadis dengan alur yang
ini merupakan segala ketentuan Allah – yang terinci dan jelas (hukum in concreto). Dalam
terkodifikasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis – bagi memunculkan hukum-hukum yang bersifat
hambanya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak, ‘amali ini perlu adanya suatu usaha, yaitu ijtihad
dan tata kehidupan manusia untuk mencapai yang dilakukan dengan metode-metode yang
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. sudah baku seperti qiyas (silogisme), bayan,
Dari kerangka tersebut sangat jelas bahwa nasikh mansukh, preferensi juristic (istihsan),
syari’ah merupakan jalan untuk tempat anggapan berlakunya kontinuitas (istishhab),
penyiraman, jalan yang jelas yang harus diikuti dan kaidah interpretasi serta deduksi. 28 Jadi,
dan jalan yang harus ditempuh oleh orang yang Fiqh ialah kumpulan hukum yang diperoleh dari
beriman untuk mendapatkan bimbingan dalam teks normatif (al-Qur’an dan al-Hadis) melalui
dunia ini dan pembebasan di akhirat.25 Dengan kaidah-kaidah yang umum digunakan serta telah
demikian, syari’ah mengacu pada perintah, menjadi standar dan kebanyakan digunakan
larangan, bimbingan, dan prinsip-prinsip yang untuk memunculkan hukum Islam yang bersifat
telah ditujukan oleh Allah kepada umat manusia operasional.
berkaitan dengan perilaku mereka di dunia ini Ketika ruang lingkup operasionalisasi sudah
dan keselamatan di akhirat.26 Semua hal tersebut terpetakan, antara syari’ah dan Fiqh memiliki
terkodifikasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis. minat yang mencakup dalam segala tindakan
Alur pemikiran ini sangat jelas bahwa syariah manusia. Syari’ah dan Fiqh mengatur manusia ke
merupakan hukum-hukum yang diadakan oleh dalam berbagai kategori, mulai dari aspek moral
Allah yang dibawa oleh Nabi-Nya, termasuk Nabi sampai pada tatanan kehidupan lainnya seperti
Muhammad Saw, baik hukum yang berkaitan tata perilaku sehari-hari (makan, berpakaian,
dengan cara berbuat yang disebut dengan far’iyah dan lain sebagainya). Dengan demikian, semua
atau amaliyah yang untuknya dihimpun ilmu tindakan yang dianggap sebagai syar’i (yaitu,
tunduk pada peraturan syari’ah dan karena
23
A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat:
Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 181-183. 27
Muhaimin, dkk., 277.
24
Muhaimin, dkk., Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi & 28
Pada konteks metode-metode sistematis ini lebih detailnya
Pendekatan (Jakarta: Prenada Media, 2012), 277. lihat Ahmad Hassan, The Principles of Islamic Jurisprudence:
25
Mohammad Hashim Kamali, 14. The Command of The Syari’ah and Juridical Norm (New Delhi:
26
Ibid., 14. Adam Publisher & Distributor, 1994), 13-14.

128 Syamsul Rijal dan Umiarso: Syari’ah dan Tasawuf


itu diucapkan sebagai hukum-hukum menjadi Tasawuf: Sisi Esoteris Dalam Islam
sebuah perintah moral yang bersifat legalistik),29 Trilogi ajaran Islam yang memuat varian
dan dikategorikan sesuai dengan lima norma aqidah (Iman), syari’ah (Islam), dan akhlaq
atau hukum, yaitu: pertama, kategori wajib, (Ihsan) secara universal dipandang sebagai pokok
yaitu perintah yang harus atau mesti dikerjakan. ajaran Islam. Aqidah yang berarti simpulan,
Jika perintah dipatuhi (dikerjakan), maka yang ikatan, sangkutan, perjanjian, dan kokoh; yang
mengerjakannya mendapat pahala; jika tidak secara teknis diartikan sebagai sistem iman,
dikerjakan, maka ia berdosa; kedua, kategori kepercayaan, dan keyakinan. 32 Oleh sebab
sunnat (anjuran). Pada kategori ini jika sesuatu itu, wajar apabila sering dikatakan aqidah
tersebut dikerjakan dapat pahala, jika tidak mengajarkan sistem keimanan dan keyakinan
dikerjakan tidak berdosa; ketiga, kategori haram, yang akan dijadikan sebagai landasan pandangan
yaitu larangan keras yang jika dikerjakan berdosa hidup, sehingga bentuk-bentuk ajaran yang ada
dan jika tidak dilanggar tidak berdosa, apabila dalam Islam tentang ketuhanan dan kepercayaan
ditinggalkan akan mendapat pahala; keempat, disebut sebagai aqidah.33 Sedangkan syari’ah
kategori makruh, yaitu larang yang tidak (hukum Islam) mengajarkan pola hidup beraturan
keras. Kalau dilanggar tidak dihukum, dan jika dengan suatu tatanan hukum komprehensif, seperti
ditinggalkan diberi pahala; dan kelima, kategori yang telah dijelaskan pada sub sebelumnya, dan
mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan akhlaq yang berarti budi pekerti, etika, dan moral
dan boleh ditinggalkan. Kalau dikerjakan, tidak menyadarkan muslim atas segala tindakan yang
berpahala dan tidak pula berdosa.30 dilakukannya berdasarkan pada tata aturan dan
Antara syari’ah dan Fiqh pada aspek etika Islam. Akhlaq mempunyai kaitan nilai-
ini lebih dimaknai sebagai hukum Islam nilai luhur Islam, sehingga doktrin nilai etis
(yurisprudensi Islam) yang memiliki tujuan untuk Islam hanya untuk penyempurnaan martabat
mengejawantahkan segala bentuk perintah dan manusia dan juga sebagai pengharmonisan
larangan Tuhan yang terkodifikasi dalam al-Qur’an tatanan masyarakat. Di samping sebagai aturan
dan al-Hadis. Nash-nash lahiriah yang tersurat legal formal yang terkandung dalam syari’ah
dalam nash normatif tersebut yang menjadi sentral dan aqidah, akhlaq juga membingkai doktrinnya
dalam pemunculan tata aturan untuk manusia. dengan aturan-aturan yang bersifat legal formal
Para fuqaha secara konsisten mencoba untuk yang mengarahkan tindakan manusia bersifat
mengembalikan berbagai aspek dan dimensi pada etik. Dengan demikian, Islam mengajarkan etika
makna lahiriah nash atau ajaran Islam tersebut. paripurna yang memiliki sifat antisipatif jauh ke
Fakta lain yang tidak bisa dielakkan adalah sisi depan dengan dua ciri utama, yaitu: pertama,
tujuan transendental, yaitu untuk mendapatkan akhlaq Islam – sebagai jati diri ajaran Islam itu
ridha Ilahi yang mengantarkan manusia pada sendiri – tidak menentang fitrah manusia; dan
kebenaran yang hakiki (Tuhan), sehingga pada kedua; akhlaq Islam yang bersifat rasional.34
konteks ini seseorang dapat dikatakan seorang Berdasarkan pada pijakan dasar tersebut,
muslim yaitu suatu predikat untuk “orang yang Islam muncul dengan membawa panji-panji
tunduk kepada Allah semata”.31 keluhuran akhlaq pemeluknya. Ketika dilihat
dari sisi sejarah, dengan ajaran tersebut – baca
Islam – Nabi Muhammad Saw mampu melahirkan
29
Wael B. Hallaq, 20.
30
Untuk hal ini lebih detailnya lihat Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: 32
Muhaimin, dkk., 259.
Hukum Fiqh Lengkap (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002), 1. 33
Abdul Aziz Dahlan, "Akidah", dalam Taufiq Abdullah, dkk.,
31
Masoud Kheirabadi, Religions of the World: Islam (Philadelphia: Ensiklopedi Tematis Dunia (Jilid 3), 9.
Chelsea House Publishers, 2004), 3. 34
Ahmad Sukardja, 5.

Jurnal Ushuluddin Vol . 25 No.2, Juli-Desember 2017 129


masyarakat yang ideal pada masanya, terdiri dari kehidupan biasa pada kehidupan sufi. 37
dari orang-orang yang tidak mementingkan diri Pada sisi yang lain ada pula yang mengatakan
sendiri yang selama ±10 tahun, sejak Hijrah bahwa kata “tasawuf” berasal dari kata “safa”
dari Mekkah ke Yastrib (Madinah) pada tanggal yang artinya suci, bersih atau murni; atau dari
12 Rabiul Awal 1 H. (28 Juni 622 M.) berhasil kata “saf” yang artinya saf atau baris; dari kata
bereksperimen dalam melaksanakan demokrasi “suffah” yang berarti serambi masjid; dan juga
sejati di dunia berdasarkan persamaan, keadilan, “shuf” yaitu bulu domba;38 shuf ini merupakan
dan moralitas.35 Namun, ketiga dimensi yang pakaian bersahaja yang terbuat dari wol kasar
membentuk ajaran pokok dalam Islam tersebut yang diduga merupakan pakaian kegemaran Nabi
masih belum menyentuh tataran spiritual yang Muhammmad.39
lebih dalam pada diri manusia. Artinya, ketiga Dari beberapa penjelasan yang paling diterima
dimensi tersebut pada operasionalisasinya lebih secara luas – asal kata tasawuf yang berkelindan
menitikberatkan pada pendekatan rasional dalam khazanah pemikiran Islam – adalah derivasi
(nalar) terhadap nash normatif, yaitu al-Qur’an etimologis istilah dari bahasa Arab untuk “wol”
dan al-Hadis. Ketiga dimensi ini memunculkan (shuf) yang menghubungkan praktisi dengan
kesan bahwa pendekatan yang dipunyai hanya preferensi miskin, pakaian kasar. Penjelasan ini
dapat memenuhi kepuasan rasio daripada jelas mengidentifikasi tasawuf dengan praktik
kepuasan rohani; hanya mengungkap aspek asketis dan pentingnya mewujudkan kemiskinan
eksoteris daripada aspek esoteris ajaran Islam (al- spiritual melalui kemiskinan materi. Bahkan,
Qur’an dan al-Hadis). Untuk mengisi kerangka beberapa deskripsi awal di Barat sekarang banyak
yang “kosong” ini muncul suatu pendekatan dikaitkan dengan fenomena yang lebih besar dari
rohaniah atas kandungan al-Qur’an dan al-Hadis tasawuf yang mengidentifikasi mereka dengan
untuk mengungkap makna esoteris dari ajaran istilah Arab Faqir (pengemis) atau yang setara
Islam tersebut serta sebagai upaya menggapai dengan Persia yang paling umum, yaitu Darwish.40
“kebenaran hakiki”, yaitu Tuhan. Pendekatan Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar
ini pada gilirannya melahirkan tatanan ajaran untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan
spiritual dalam Islam yang dikenal dengan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang
tasawuf. Di mana tasawuf yang disampaikan oleh yang pertama memakai kata sufi kelihatannya
Islam, memberikan kontribusi melalui berbagai Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150 H.).41 Akan
aspek terhadap perspektif yang luas yang telah tetapi, ada pula pandangan yang tidak sejalan
dibuka oleh konsep-konsep Islam tentang nabi salah satunya yang menyatakan bahwa “Tak ada
dan nubuat.36 bukti bahwa nama ini merupakan kata jadian atau
Kata tasawuf pada kerangka studi pemikiran kata kias dari bahasa. Yang jelas nama itu adalah
Islam masih menjadi suatu entitas yang sebuah gelas. Pendapat bahwa sufi asal katanya
diperdebatkan. Ada kalangan yang menyatakan dari shafa atau dari kata shuffah, tidaklah benar
kata tasawuf masuk dalam “babut-tafaul” dengan
wazan tasawwufa, yatasawwuf, tasawwufan; yang 37
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya:
Bina Ilmu, 1995), 45.
bisa dijadikan suatu tatanan kata seperti tasawwuf 38
Asmaran AS., Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Rajawali
al-rajul, yakni seorang laki-laki telah berpindah Press, 1996), 42.
39
Karen Amstrong, 300.
40
John Renard, 5.
41
Budhy Munawar-Rachman (Editor), 42; lihat juga H.
Wilberforce-Clarke, "Pendahuluan", dalam Syihabuddin ‘Umar
35
Karen Amstrong, A History of God: The 4,000-Year Quest of Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif: Puncak Pengetahuan Ahli
Judaism, Christianity, and Islam, Peterj. Zainul Am (Bandung: Makrifat, Peterj. Ilma Nugrahani Ismail (Bandung: Pustaka
Mizan, 2002), 502-503. Hidayah, 2007), 13; dalam Mahyuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf
36
Eric Geoffroy, 33. (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 49-51.

130 Syamsul Rijal dan Umiarso: Syari’ah dan Tasawuf


dari segi filologi. Demikian pula mereka yang diri seorang manusia yang telah mengalami
mengatakan asal kata sufi dari shuf, sebab orang puncak spritualitas yang pernah ia alami sendiri.
sufi tidak mengkhususkan diri untuk memakai Pada fase ini sosok seorang sufi akan mengalami
pakaian dari bulu domba.42 berbagai “peristiwa” yang membentuk konsepsi
Sedangkan ketika ditelisik dari sudut pandang atas tasawuf sebagai suatu tatanan metodologi
terminologis, tasawuf didefinisikan sebagai untuk menggapai kebenaran yang hakiki
ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri (Tuhan). Puncak pengalaman spiritual oleh
kepada Allah sehingga memperoleh hubungan seorang sufi merupakan fakta yang terus dicari
langsung secara sadar dengan-Nya; 43 yang dan hal ini sama seperti Nabi Muhammad
bersifat kerohanian atau kebatinan (untuk Saw ketika mencapai derajat kewahyuan atau
mencapai kesempurnaan jiwa). 44 Ada juga ketuhanan. Nabi Muhammad Saw memang
yang mencoba mendefinisikan sebagai suatu secara khusus merupakan manusia pilihan dan
ilmu yang membahas masalah pendekatan tingkat pengalamannya jauh melampaui apa
diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian yang para pencari spiritual harapkan untuk
rohnya;45 dengan ilmu tersebut dapat diketahui mencapainya. Namun demikian, para sufi telah
hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara lama menganggap Nabi terakhir tersebut sebagai
membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan teladan pengabdian, kesederhanaan hidup,
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara pencapaian mistis, dan otoritas spiritual.49
melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Dalam beberapa makna tasawuf yang telah
Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju muncul terdapat dua hal pokok yang menjadi inti
kepada perintah-Nya.46 Pandangan lain juga dari tasawuf itu sendiri, yaitu: pertama, kesucian
menyatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang jiwa untuk menghadap Tuhan sebagai Zat Yang
menerangkan hal-hal tentang cara mensuci- Maha Suci; dan kedua, upaya pendekatan diri
bersihkan jiwa, tentang cara memperbaiki akhlaq secara individual kepada-Nya.50 Pada sisi faktual,
dan tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir makna atau definisi tasawuf tidak akan pernah
dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang lepas dari dua inti pokok tersebut dan juga
abadi.47 diterjemahkan dalam bentuk aplikasi (perilaku)
Aspek yang perlu digarisbawahi dalam atau telah menjadi bagian dari perilaku sufistik.
melihat atau memunculkan definisi tersebut Oleh sebab itu, ada kalangan yang mensinyalir
adalah bentuk pengalaman spiritual yang batasan tasawuf sebagai suatu nilai dan norma
memungkinkan seseorang untuk mengalami yang teraktualisasikan dalam bentuk perilaku.
puncak spiritualitasnya. Pada konteks ini, Asep Ia membatasi tasawuf sebagai “budi-pekerti”
Usman Ismail mengklaim bahwa ketika seseorang dan secara ilustratif ia mendeskripsikan bahwa
mengartikan tasawuf, maka ia tidak bisa lepas barangsiapa yang memberikan bekal budi-pekerti
dari pengalaman spritualitas subjektifitasnya.48 atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu
Artinya, makna tasawuf sangat tergantung pada dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya
menerima (perintah) untuk beramal, karena
42
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Peterj. Ahmadie sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan
Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 624. nur (cahaya) Islam. Dan ahli zuhud yang jiwanya
43
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), 1147. menerima (perintah) untuk melakukan akhlaq
44
Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk
(Surabaya: Arkola, 1994), 740.
45
Budhy Munawar-Rachman (Editor), 42.
46
Mahyuddin, 44. 49
John Renard, Historical Dictionary of Sufism (Toronto: The
47
Mustafa Zahri, 46. Scarecrow Press, Inc., 2005), 2.
48
Asep Usman Ismail, 305. 50
Asep Usman Ismail, 305.

Jurnal Ushuluddin Vol . 25 No.2, Juli-Desember 2017 131


dengan nur (cahaya) imannya.51 Konsekuensinya Salah satu tokoh sufi, Abu al-Ali al-Daqqaq
ketika batasan tersebut menjadi suatu ketetapan, (w. 406 H./1015 M.) dan juga Hujjatul Islam
maka tasawuf merupakan bentuk jalan menuju yaitu al-Ghazali memberi penjelasan yang
pada kebenaran hakiki (Tuhan) dengan jalan cukup menarik tentang konsep integralistik
mengosongkan berbagai bentuk sifat kefanaan52 ini dengan nash normatif QS. al-Fatihah ayat
yang pada gilirannya para sufi pada saat yang 4 dan 5. Al-Ghazali memandang seluruh ayat
sama dikenal sebagai ‘abid (para ahli ibadah) dalam al-Fatihah merupakan ayat-ayat jawahir
melalui syari’at, tarekat, hakekat, dan makrifat. (mutiara) yang mengandung nilai-nilai uluhiyah
yang tinggi. Pada nash normatif bahwa “Iyya ka
Syari’ah dan Tasawuf: Integralistik- na’budu (Hanya kepada-Mu kami menyembah)”
Monokhotomik (QS. al-Fatihah: 4) merupakan bentuk manifestasi
Non-Muslim sering mengalami kesalahan dari syari’ah sebagai dimensi eksoteris; atau
dalam memahami tasawuf yang dinilai sebagai merupakan bentuk ubudiyah hamba dalam situasi
sekte dalam Islam. Padahal kalau sedikit lebih fana’. Sedangkan untuk mengisi dimensi esoteris
terbuka, tasawuf sebenarnya lebih tepat disebut sebagai perwujudan proses pembersihan jiwa dari
sebagai aspek atau dimensi mistik dalam Islam. sifat-sifat kemanusiaan (al-nasut) disandarkan
Sosok seorang sufi (tarekat) atau praktik tasawuf pada “Iyya ka nasta’iin (Hanya kepada-Mu
dapat ditemukan dalam Sunni, Syiah, dan kami memohon)” (QS al-Fatihah: 5); ayat ini
kelompok Islam lainnya sebagai satu entitas merupakan bentuk manifestasi dari pengakuan
dalam mencari kebenaran hakiki. Ibnu Khaldun (penetapan) dimensi hakikat (esoteris). Pada
(1332-1406 M.), sejarahwan Arab abad ke-14, arus dua dimensi (QS. al-Fatihah ayat 4 dan 5)
menggambarkan tasawuf sebagai pelaksanaan ini, dimensi eksoteris (syari’ah) adalah dimensi
yang bersifat ajeg dalam beribadah, kesetiaan yang esoteris (hakikat) dari sisi mana kewajiban
penuh kepada Allah, enggan pada kesemarakan diperintahkan, begitu pula sebaliknya dimensi
kosong di dunia, pantang dari kesenangan harta, esoteris (hakikat) pada polanya merupakan
dan kedudukan seperti yang dicita-citakan banyak dimensi eksoteris (syari’ah) dari sisi mana
orang, dan menjauhkan diri dari dunia serta pergi kewajiban (bentuk ritual-ritual seperti ibadah
berkhalwat untuk beribadah.53 Artinya, praktik shalat) diperintahkan bagi para sufi.54 Dengan
sufi yang lebih memprioritaskan dimensi esoterik demikian, dua ayat ini memberikan ruang untuk
tidak serta merta meninggalkan dimensi eksoterik, seorang hamba masuk dan tenggelam dalam
sebab praktik ibadah syari’ah yang termanifestasi kesatuan penyaksian, yang jika meminjam istilah
dalam bentuk Fiqh (hukum Islam) menjadi jalan dari Yazid al-Busthami (804-875 M.) disebut
untuk untuk menemukan kebenaran dari kasih sebagai al-wahdatul al-syuhud.
Ilahi dan pengetahuan melalui pengalaman Pada tataran ini, para sufi yang terlibat
pribadi langsung dari Tuhan. dalam berbagai praktik ritual (dimensi eksoteris/
syari’ah) dimaksudkan membantu mereka untuk
mewujudkan penyatuan dengan Tuhan, seperti
51
Mahyuddin, 45.
52
Fanaa secara filosofis adalah meniadakan diri supaya “ada”. bentuk-bentuk yang berbeda dari doa ritual
Menurut al-Qusyairi untuk mencapai fanaa ada tiga tingkatan, (zikir yang secara harfiah berarti mengingat),
yaitu: (1) fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena baqa’nya
sifat-sifat al-Haqq; (2) fana’nya dari sifat-sifat al-Haqq, karena
penyaksiaannya terhadap al-Haqq itu sendiri; dan(3) fana’nya
dari melihat penyaksian fana’, melalui peleburan dirinya dalam Lihat detailnya Shashi Shekhar Sharma, Caliphs and Sultans:
54

wujud al-Haqq. Lihat dalam Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi Religious Ideology and Political Praxis (New Delhi: Rupa &
Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi (Surabaya: Co., 2004), 223; Imam al-Ghazali, Jawahirul Quran: Permata
Risalah Gusti, 2001), 94-95. Ayat-Ayat Suci, Peterj. Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya:
53
Ibnu Khaldun, 623. Risalah Gusti, 1996).

132 Syamsul Rijal dan Umiarso: Syari’ah dan Tasawuf


termasuk pembacaan nama-nama Allah. Para universitas atau madrasah-madrasah.57
sufi mengembangkan praktik-praktik keagamaan Berdasarkan pada praktik ibadah para sufi
yang fokus utamanya pada pengontrolan diri tersebut sangat jelas bahwa praktik tasawuf
secara ketat yang memungkinkan wawasan didasarkan pada kemurnian kehidupan, ketaatan
psikologis dan mistis serta hilangnya diri, dengan yang ketat terhadap hukum Islam (syari’ah)
tujuan akhir dari kesatuan mistik dengan Tuhan. dan meniru pola kehidupan para nabi dalam
Disebabkan tujuan tasawuf yang demikian, Islam. Melalui penyangkalan diri, introspeksi
maka ada sebagian kalangan yang mengklaim diri (muhasabah), hati-hati dalam bertindak dan
bahwa tasawuf lepas dari alur tujuan syari’ah perjuangan mental, para sufi berharap dapat
sebagai bentuk tujuan melaksanakan perintah memurnikan diri dari segala keegoisan diri,
dan menjauhi segala bentuk larangan Tuhan. sehingga ia mampu mencapai derajat keikhlasan
Padahal melalui dimensi eksoteris (syari’ah), yang tinggi, dan kemurnian niat yang mutlak
sosok seorang sufi mampu untuk membersihkan dalam tindakan. Hal yang demikian sangat sesuai
sifat-sifat kemanusiaan (al-nasut) yang akhirnya dengan esensi ajaran Mansur al-Hallaj yang
diisi dengan sifat-sifat ketuhanan (al-lasut).55 menekankan pada perbaikan moral dan pada
Dari dasar itu pula muncul juga suatu kritik pengalaman persatuan dengan yang dicintai,
bahwa tasawuf hanya bersifat god oriented an yaitu Tuhan.58 Dengan demikian, seorang sufi
sich yang akhirnya meninggalkan – baca acuh tak sebenarnya memberikan motivasi konstruktif
acuh – terhadap persoalan dunia. Namun, kritik dalam setiap ajaran tentang kehidupannya
tersebut sangat tidak mendasar jika dilihat dari sisi dalam aspek hubungan dengan sesama (ibadah
historisnya banyak kalangan sufi yang aktivitasnya ghairu mahdah) maupun dengan Tuhan (ibadah
berorientasi pada hal-hal yang bersifat profan, mahdah). Artinya, pola kehidupan yang demikian
seperti yang terlihat pada Sufisme Persian pada akan mendorong manusia untuk terus hidup
periode Seljuk56 yang aktivitas sufi banyak yang dinamis.
dilakukan ke ranah politik, dan sebagian kecil Dalam aspek hubungan dengan sesama
bidang istishab; ar-Raniry sebagai mufti dan manusia (ibadah ghairu mahdah) dan hubungan
Hamzah Fansuri sebagai pedagang. Bahkan ada dengan Tuhan (ibadah mahdah), antara syari’ah
juga sufi yang tidak menjauhi kehidupan duniawi dan tasawuf tidak akan pernah bertolak belakang
(profan). Mereka memberikan sumbangan yang (disintegratif-dikhotomik), tapi bisa berdialektika
besar dalam pengembangan berbagai bidang dalam bingkai integratif-monokhotomik, yaitu
kehidupan. Dalam pendidikan, para sufi seperti saling mengisi secara kontributif dalam satu
Khwajah Nizam al-Mulk, wazir Dinasti Saljuk, tujuan, yaitu Tuhan. Secara sosial – hal ini
berpartisipasi langsung membangun universitas- bisa dilihat sebagai gejala sosial-keagamaan
– kehidupan tasawuf merupakan suatu revolusi
ruhani, sehingga seseorang yang benar-benar
55
Pandangan bahwa Tuhan dan manusia mempunyai sifat dasar berjalan pada kehidupan tasawuf yang benar-
yang sama diambil dari sebuah hadis yang berarti “sesungguhnya
Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya (HR. benar lurus, maka profesi dan karirnya tidak
Bukhari, dan Ahmad bin Hanbal). Hadis ini mengandung arti
bahwa dalam diri Adam AS terdapat "bentuk" Tuhan yang
disebut dengan al-lasut. Sebaliknya, di dalam diri Tuhan 57
Kautsar Azhari Noer, "Menyemarakkan Dialoq Agama:
terdapat "bentuk" manusia yang disebut al-nasut. Berdasarkan Perspektif Kaum Sufi", dalam Edy A. Effendy (Editor),
adanya paham kesamaan sifat antara Tuhan dan manusia, maka Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (Bandung: Zaman Wacana
persatuan atara Tuhan dan manusia itu mungkin terjadi. Dewan Mulia, 1999), 48.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. 58
Kautsar Azhari Noer, "Tasawuf Filosofis", dalam dalam Taufik
Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), 75. Abdullah, dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran
56
Lihat detailnya dalam Hamid Dabasyi, Seri Pengantar dan Peradaban, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Tasawuf: Sufisme Persia Dalam Periode Seljuk, Peterj. Gafna 2002), 159
Raizha Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003).

Jurnal Ushuluddin Vol . 25 No.2, Juli-Desember 2017 133


akan terhambat. Umar Ibn’ Abdul Aziz (61- hakiki. Karena jika demikian, mereka telah
101 H./682-722 M.) adalah seorang sufi yang salah mengaplikasikan atau mungkin telah
sukses sebagai pemimpin negara, Imam Junayd menyalahgunakan keahlian dan metodologi
al-Baghdadi (210-297 H./ 832-919 M.) sukses yang mereka miliki. Apabila menginginkan hal
sebagai seorang pengusaha botol, Mansur al- itu, mereka harus menggunakan, menerima, atau
Hallaj (244-309 H./858-922 M.) sukses sebagai menyerahkan pada metode yang sesuai untuk itu,
pengusaha tenun.59 Di sisi lain, seperti yang yaitu metode penyingkapan kebenaran (kasyf).61
disinggung pada awal tulisan ini, bahwa tasawuf
merupakan salah satu gerakan keagamaan yang Kesimpulan
muncul dan berkembang diakibatkan oleh kondisi Hukum Islam (syari’ah) yang sering
sosio-politik pada masa rezim pemerintahan dihadapkan secara vis a vis dengan tasawuf
kaum Umawi di Damaskus; yang secara general ternyata merupakan dua entitas yang saling
mereka diklaim kurang religius dalam praktik mengisi secara kontributif untuk memantapkan
kehidupannya.60 Hal ini berarti tasawuf tidak kualitas dari keimanan seorang muslim. Artinya,
hanya berorientasi pada sisi transendental, akan pada aspek hubungan dengan sesama manusia
tetapi juga tidak mengabaikan sisi yang bersifat (ibadah ghairu mahdah) dan hubungan dengan
humanistik seperti sosial, politik, ekonomi, Tuhan (ibadah mahdah), antara syari’ah dan
budaya, pendidikan sampai dakwah. tasawuf tidak bertolak belakang (disintegratif-
Begitu pula pada aspek hubungan dengan dikhotomik), tapi bisa berdialektika dalam
Tuhan, antara syari’ah dan tasawuf tetap menjadi bingkai integratif-monokhotomik, yaitu saling
dua entitas yang saling mengisi (dialektika) mengisi secara kontributif dalam satu tujuan, yaitu
dalam satu kesatuan menuju Tuhan. Syari’ah Tuhan. Walaupun telah berabad-abad lamanya
merupakan bentuk yang bernuansa hukum antara varian Syari’ah dengan Tasawuf saling
(eksoteris, seperti pemenuhan dalam syarat dan mengkritik tentang keabsahan masing-masing
rukun dalam setiap ibadah, sedangkan tasawuf dimensi, di mana syariah lebih memusatkan
merupakan bentuk tinjauan esoteris yang bisa pada dimensi eksoteris dan tasawuf pada dimensi
diidentikkan dengan konsep ihsan. Dengan dua esoteris; akhirnya percikan kritik ini menciptakan
dimensi ini akan semakin memantapkan kualitas rentetan alur sejarah peradaban Islam itu sendiri.
dari keimanan sosok muslim yang nantinya Sufisme membingkai integralisme dalam konsep
menemukan kebenaran yang hakiki (Tuhan) syari’at, tarekat, hakekat, dan makrifah.
melalui dua dimensi, yaitu rasional (eksoteris)
dan rasa (esoteris). Oleh sebab itu, para praktisi
hukum agar tidak menggunakan metode rasional Daftar Kepustakaan
melibihi kapasitas atau jangkauannya. Di lain
pihak, para fuqaha juga tidak berhak mengklaim A. Qodri Azizy. Membangun Fondasi
bahwa apa yang mereka temukan melalui metode Ekonomi Umat: Meneropong Prospek
rasional ini adalah makna yang sesungguhnya Berkembangnya Ekonomi Islam.
dari hukum Tuhan dan merupakan kebenaran Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Aan Rukmana, dkk. Mengenal Islam Jalan
59
Said Agiel Siradj, Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam
Lintas Sejarah (Jakarta: LKPSM, 2001), 97. Tengah: Buku Daras Pendidikan Agama
60
Nurcholis Madjid, "Disiplin Keilmuan Islam Tradisional: Islam untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Tasawuf (Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan
Dian Rakyat, 2012.
Keagaman Islam", dalam Budhy Munawar-Rachman
(Editor), Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
1994), 24. 61
Nurasiah Faqihsutan Hrp 49.

134 Syamsul Rijal dan Umiarso: Syari’ah dan Tasawuf


Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Path of Islam. Indiana: World Wisdom,
Rajawali Press, 2011. Inc., 2010.
Amstrong, Karen. A History of God: The 4,000- Hallaq, Wael B. An Introduction to Islamic Law.
Year Quest of Judaism, Christianity, Cambridge: Cambridge University Press,
and Islam. Peterj. Zainul Am. Bandung: 2009.
Mizan, 2002. Hassan, Ahmad. The Principles of Islamic
Asmaran AS. Pengantar Studi Tasawuf Jakarta: Jurisprudence: The Command of The
Rajawali Press, 1996. Syari’ah and Juridical Norm. New Delhi:
Budhy Munawar-Rachman (Editor). Islam, Adam Publisher & Distributor, 1994.
Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibn Khaldun. Peterj.
Paramadina, 1994. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus,
-------. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam 2003.
Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994. Imam al-Ghazali. Jawahirul Quran: Permata
Campo, Juan E. Encyclopedia of Islam. New Ayat-ayat Suci. Peterj. Mohammad
York: Facts On Fire, Inc., 2009. Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti,
1996.
Chittick, William C. Sufism: A Beginner’s Guide.
Oxford: A Oneworld Book, 2008. Kamali, Mohammad Hashim. Shari’ah Law: An
Introduction. Oxford: A Oneworld Book,
Dabasyi, Hamid. Seri Pengantar Tasawuf: Sufisme 2008.
Persia Dalam Periode Seljuk. Peterj.
Gafna Raizha Wahyudi. Yogyakarta: Kheirabadi, Masoud. Religions of the World:
Pustaka Sufi, 2003. Islam. Philadelphia: Chelsea House
Publishers, 2004.
Dahlen, Ashk P. Islamic Law, Epistemology
and Modernity: Legal Philosophy in M. Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas
Contemporary Iran. New York: Routledge, atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka
2003. Pelajar, 2002.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Mahyuddin. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Jakarta:
Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Kalam Mulia, 2003.
Hoeve, 2003. Muhaimin, dkk. Studi Islam: dalam Ragam
Edy A. Effendy (Editor). Dekonstruksi Islam Dimensi & Pendekatan. Jakarta: Prenada
Mazhab Ciputat. Bandung: Zaman Media, 2012.
Wacana Mulia, 1999. Muniron, dkk. Studi Islam di Perguruan Tinggi.
Ellwood, Robert S. & Alles, Gregory D. The Jember: STAIN Jember Press, 2010.
Encyclopedia of World Religions: Revised Mustafa Zahri Kunci Memahami Ilmu Tasawuf.
Edition. New York: Facts On File, Inc., Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
2007. Nurasiah Faqihsutan Hrp. Meraih Hakikat
Fealy, Greg & Hooker, Virginia (Editor). Voices of Melalui Syariat: Telaah Pemikiran Syekh
Islam In Southeast Asia: A Contemporary al-Akbar Ibn ‘Arabi. Bandung: Mizan,
Source Book. Singapore: ISEAS, 2006. 2005.
Geoffroy, Eric. Introduction to Sufism: The Inner Nurcholish Madjid. Islam Agama Peradaban:

Jurnal Ushuluddin Vol . 25 No.2, Juli-Desember 2017 135


Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Blantika, 2007.
Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, Suhrawardi, Syihabuddin ‘Umar. ‘Awarif al-
2000. Ma’arif: Puncak Pengetahuan Ahli
-------. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Makrifat. Peterj. Ilma Nugrahani Ismail.
Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Bandung: Pustaka Hidayah, 2007.
Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam: Hukum Fiqh
Paramadina, 2000. Lengkap. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry. Kamus 2002.
Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994. Syamsun Ni’am. Cinta Ilahi Perspektif Rabi’ah
Rahman, Fazlur. Islam. Peterj. Ahsin Mohammad. al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi.
Bandung: Pustaka, 1984. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
Renard, John. Historical Dictionary of Sufism. Taufik Abdullah, dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia
Toronto: The Scarecrow Press, Inc., 2005. Islam: Ajaran. Jilid 3. Jakarta: PT. Ichtiar
-------. The A to Z of Sufism. Toronto: The Baru Van Hoeve, 2002.
Scarecrow Press, Inc., 2009. -------. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Said Agiel Siradj. Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Pemikiran dan Peradaban. Jilid 4. Jakarta:
Lintas Sejarah. Jakarta: LKPSM, 2001. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Schwartz, Stephen Sulaiman. Two Faces of Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Islam: The House of Sa’ud from Tradition Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
to Terror. Peterj. Hodri Ariev. Jakarta:

136 Syamsul Rijal dan Umiarso: Syari’ah dan Tasawuf

Anda mungkin juga menyukai