Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

AGAMA ISLAM SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGIS


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mini Reseach Mata Kuliah Qiroat
Dosen pengampu : Fathuri Ahza Mumtaza S.Sos. MA.

Kelompok 2 :
Nabila Kusniawati
Kevin Efriza
Kayyis al-qorni
Neneng Salmia

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SHALAHUDIN AL – AYYUBI JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya diakhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “AGAMA ISLAM SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS ” pada
mata kuliah Pengembangan Kurikulum yang diampu oleh Fathuri Ahza Mumtaza S.Sos. MA
Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Akhirnya kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca.

Bekasi, 12 Oktober 2021

Penulis
a.      Pengertian Agama Secara Etimologi
            Pengertian agama secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa sangsekerta, yang berasal dari
akar kata gam artinya pergi, kemudian dari kata gam tersebutmendapat awalan a dan akhiran a, maka
terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan mencapai kebahagiaan.
            Di samping itu terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, arti kata
agama adalah tidak kacau atau teratur.
            Kata religi - religion dan religio, secara etimologi – menurut winker paris dalam algemene
encyclopaedie mungkin sekali dari bahasa latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat,
maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang bereligi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan
sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati hati, maka
dimaksudkanbahwa orang yang bereligi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati hati dengan
sesuatu yang dianggap suci.
Dari etimologis ketiga kata di atas maka dapat diambil pengertian bahwa agama
(religi, din): (1) merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan
yang aman, tentram dan sejahtera; (2) bahwa jalan hidup tersebut berupa aturan, nilai atau norma yang
mengatur kehidupan manusia yang dianggap sebagai kekuatan mutlak, gaib dan suci yang harus diikuti
dan ditaati. (3) aturan tersebut ada, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya
kehidupan manusia, masyarakat dan budaya.
A.     Jenis Makna Etimmologi
1)      Bahasa Inggris
Dalam bahasa Inggris, kata “agama” diterjemahkan menjadi “religion”. Untuk mengkaji kata “religion”,
kami menggunakan metode yang sama dengan di atas, yakni melalui metode etimologis
Makna Etimologis
Ada dua pendapat mengenai asal-usul kata “agama”. Pertama, berasal dari bahasa Indo-German, yaitu
“gam”, identik dengan “go” dalam bahasa Inggris yang berarti “jalan, cara berjalan, cara-cara sampai
pada keridhaan Tuhan”. Namun, menurut Sukardji, orang yang mengatakan bahwa kata “agama” berasal
dari bahasa Indo-German berarti belum mengetahui bahasa Sansekerta. Kedua, berasal dari bahasa
Sansekerta. Dalam kitab Upadeca tentang “Ajaran-ajaran Agama Hindu”, disebutkan bahwa “agama”
tersusun dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gam” yang berarti “jalan”. Dalam bentuk harfiah,
“agama” berarti “tetap di tempat, langgeng, abadi, diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke
generasi” (Sukardji, 1993: 26-27). Ada pula pendapat lain, yaitu “agama” berasal dari kata “a” yang
berarti “tidak”, dan “gama” yang berarti “kacau”. Maksudnya, orang-orang yang memeluk suatu agama
dan mengamalkan ajaran-ajarannya, hidupnya tidak akan kacau.
2)      Bahasa Arab
Makna Etimologis
            Kata “agama” dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi “ad-dien”. Munjied mengatakan bahwa
arti harfiah dari “ad-dien” cukup banyak, misalnya “pahala, ketentuan, kekuasaan, peraturan, dan
perhitungan”. Fairuzabadi dalam kamusnya, Al-Muhieth, mengatakan bahwa arti harfiah “ad-dien” adalah
“kekuasaan, kemenangan, kerajaan, kerendahan, kemuliaan, perjalanan, peribadatan, dan paksaan”
(Sukardji, 1993: 28). Sedangkan menurut Harun Nasution, “ad-dien” mengandung arti “menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan” (Jalaluddin, 1996: 12).

b.      Pengertian Agama Secara Terminology


Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata cara hidup
manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut
dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan
makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup
makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.
A.    Jenis Makna Terminology
1)      bahasa Inggris
Makna Terminologis

Definisi yang diberikan para ahli sangat banyak. Saya sendiri menyimpan kira-kira 12 definisi. Namun,
definisi-definisi itu hanya menampilkan salah satu segi agama saja. Saya hanya akan memberikan
beberapa definisi saja yang menurut saya paling lengkap.
Webster New 20th Century Dictionary mengungkapkan bahwa definisi “religion” adalah “the system of
rules of conduct and law of action based upon the recognition of belief in, and reverence for human power
of supreme authority”. Batasan itu menggambarkan bahwa “religion” adalah suatu sistem peraturan-
peraturan dari kegiatan yang semuanya itu didasarkan pada adanya kepercayaan dan pegangan pada
kekuatan yang Mahakuasa dan norma perilaku manusia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Tuhan (Sukardji, 1993: 33)
2)      bahasa Arab
MaknaTerminologis

Sukardji memberikan definisi “ad-dien” sebagai “undang-undang kebutuhan yang mendorong dan
menjiwai orang berakal dengan usahanya untuk sejahtera hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di
akhirat” (Sukardji, 1993: 34-35)

c.       Islam Sebagai Objek Kajian


1.      Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Pada mulanya ilmu terbagi menjadi dua yaitu : ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman, seperti
fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-hukum alam, mencari
keterturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Suatu penemuan yang di hasilkan oleh seseorang pada
suatu waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam yang dapat di tes kembali oleh peneliti lain, pada
waktu lain dengan memperhatikan gejala eksak.
Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas ke bawah, besok kalau di tes lagi juga begitu. Itulah inti dari
pada penelitian dalam ilmu eksakta, yakni mencari keterulangan dari gejala-gejala, yang kemudian
diangkat menjadi teori, menjadi hukum.Sebaliknya, imu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi
unik. Contoh, budaya kratonYogya unik buat Yogya, batu nisan seorang tokoh sejarah unik untuk yang
bersangkutan, dan sebagainya. Di sini tidak ada keterulangan. Kemudian, di antara penelitian kealaman
dan budaya itu terdapat penelitian ilmu-ilmu social Penelitian ilmu-ilmu social, berada di antara ilmu
budaya dan ilmu kealaman, yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan
cara memahami keterulangannya.
Inti ilmu kealaman adalah positivisme. Sesuatu itu baru di anggap sebagai ilmu kalau dapat di amati,
(abservable) dapat di ukur, (measurable) dan di buktikan (veriviable). Sebaliknya, ilmu budaya hanya
dapat di amati. Kadang-kadang tidak dapat di ukur, apabila diverifikasi. Ilmu soaial yang memandang
dirinya lebih dekat kepada ilmu alam mengatakan, bahwa ilmu social dapat di amati, di ukur dan di
verifikasi. Untuk itu, para pakar Sosiologi Universitas Chicago mengembangkan sosiologi Kuantitatif
yang lebih menekankan pada perhitungan statistik. Di kalangan sosiologi Indonesia juga ada dua
kelompok : kelompok kualitatif dan kelompok kuantitatif. Keduanya mempunyai kelemahan dan
kekuatan. Timbulnya pertanyaan : Bisakah agama di dekati secara kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya,
bisa agama di dekati, secara kuntitatif dan kualitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung agama yang
sedang diteliti itu di lihat sebagai gejala apa. Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau
kita hendak mempelajari suatu agama. Pertama, scripture, naskah-naskah smuber ajaran dan simbol-
simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku,dan
penghayatan para penganutnya.Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat, seperti shalat,
haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat,seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan
semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Katolik, Gereja Protestan, Syi’ah dan
lain-lain.
Dalam penelitian mengenai naskah atau sumber-sumber ajaran agama, yang pertama diteliti adalah
personal pholologi dan kedua adalah isi naskah yang ada. Misalnya, dalam Islam, memebahas Al-Qur’an
dan isinya, kritik atas jemaah orang lain, kitab tafsir atau penafsir seseorang, kitab hadis, naskah-naskah
sejarah agama, dan sebagainya. Orang dapat pula meneliti ajaran atau pemikiran-pemikiran yang
berkembang sepanjang sejarah suatu agama (Islam).
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada
zaman dahulu, sosiologi agama memepelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat.
Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama
mempelajati bukan soal hubungan timbal balik itu, melainkan lebih pada pengaruh agama terhadap
tingkah laku masyarakat: bagaimana agama sebagai system nilai mempengaruhi tingkah laku masyarakat.
Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat
bahwa lahirnya teologi Syi’ah,Khawarij, Shli Sunnah wal Jamaah sebagai produk pertikaian politik. Oleh
karena itu, dapat juga diteliti bagaimana perkembangan masyarakat industri mempengaruhi pemikiran
keagamaan. Contoh, kita hidup di kampung dan di sebelah rumah kita ada masjid. Kalau kita tidak pernah
kelihatan shalat Jum’at di situ, kita akan dianggap kurang saleh dalam beragama. Tetapi kalau kita tinggal
di kota, walau setahun kita tidak pernah kelihatan shalat Jum’at di masjid kampung itu, kita tidak di
anggap kurang saleh dalam beragama. Mengapa? Karena indikasi kesalehan telah bergeser dan berbeda
bagi orang desa dan kota. Kehidupan kota telah menyebabkan pergeseran itu; perkembangan masyarakat
telah mempengaruhi cara berfikir orang mengenai penilaian kesalehan.
2.      Islam sebagai Wahyu dan Produk Sejarah

Islam sebagai Wahyu


Islam biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin
Sallallahu ‘alaihi wasallam lisa’adati al-dunya wa al-akhirat (Islam adalah wahyu yang di turunkan
kedapa nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat). Jadi, inti
Islam adalah wahyu yang di turunkan kepada Nabi Muhammad. Kita percaya bahwa wahyu itu terdiri
atas dua macam: wahyu yang berbentuk Al-Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, sunnah nabi
Muhammad.
a.       Wahyu yang berbentuk Al-Qur’an
Tujuan studi Al-Qur’an bukan mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu, tetapi misalnya
mepertanyakan: bagaimana cara membaca Al-Qur’an, kenapa cara membacanya begitu, berapa macam
jenis bacaan itu, siapa yang menggunakan jenis-jenis bacaan itu, apa kaitannya dengan bacaan
sebelumnya, apa yang sesungguhnya yang melatar belakangi lahirnya suatu ayat, apa maksud ayat
itu.Maka lahirlah misalnya tafsir maudu’i yang merupakan salah satu bentuk jawaban terhadap pertanyan-
petanyaan tersebut di atas. Pertanyaan selanjutnya, kalau dahulu dipahami begitu, apakah sekarang masih
harus dipahamu sama ataukah perlu pemahaman baru.
Satu hal yang patut di perhatikan dalam studi Al-Qur’an, yaitu studi interdisipliner mengenai Al-Qur’an.
Sebab Al-Qur’an selain berbicara mengenai keimanan, ibadah, atura-aturan, juga berbicara tentang
sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan semacamnya,
perlu dipelajari untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu lain.Di sini di butuhkan studi
interdisipliner.
b.      Wahyu yang berbentuk Hadis Nabi
Selanjutnya, Islam sebagai wahyu yang di cerminkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad
saw.Sebagaimana dalam buku hadis pertama, Al-Muwatta’, yang dikumpulkan ternyata hanya memuat
sekitar 700 buah hadis, termasuk sunnah sahabat.Sementara itu oleh Imam Bukhari yang datang
belakangan dicatat 4.000 hadis, dan oleh Imam Muslim dicatat 6.000 hadis. Lalu oleh Imam Ahmad bin
Hanbal dicatat 8.500 hadis. Kemudian hadis shahih, hadis mutawatir, hadis mashur, dan hadis ahad.
Wilayah-wilayah ini antara lain yang dapat dijadikan kajian. Kita melihat, bahwa orang sekarang
mempunyai perlengkapan lebih untuk melakukan seleksi hadis. Sebab sekarang misalnya kita memiliki
komputer.
Kita mengetahui dalam sejarah adanya pemalsuan hadis. Kita juga mengetahui bahwa Imam Bulhari,
Imam Muslim atau Imam Malik lebih dahulu melakukan wudhu’ dan shalat sebelum mencatat
hadisnya.Hal ini dilakukan sebagai usaha kehati-hatian. Imam Muslim dalam pengantarnya mengatakan,
tadinya hadis yang di kumpulkannya ada 300.000 (tiga ratus ribu) buah. Tetapi setelah di seleksi menjadi
6.000 buah.
Hadis mengenai psikologi, pendidikan, iptek, dan sebagaimya, perlu dikelompokkan dan dibandingkan
dengan hasil penemuan ilmu modern. Hadis mengenai idza waqa’a al-dzubabu fi inai ahadikum
falyaqmishu (ketika sadar lalat terjatuh ke dalam bejanamu, maka benamkanlah), telah di terangkan
misalnya dalam kitab Subulu al- Salam, bahwa sebabnya adalah di sayap kana ada ini dan di sayap kiri
ada itu. Sebetulnya penjelasan terhadap hadis ini memerlukan suatu upaya untuk mencoba mengadakan
studi interdisipliner terhadap hadis, barangkali memerlukan ilmu entemologi, ilmu tentang serangga.

Islam sebagai Produk Sejarah dan Sasaran penelitian


Ada bagian Islam yang merupakan produk sejarah.Teologi Syi’ah adalah dari wajah Islam produk sejarah.
Konsep Khulafa al- Rasyidin adalah produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh
bangunan sejarah Islam klasik, tengah modern adalah produk sejarah.
Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain lagi. Andaikata
Inggris tidak datang ke India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah sebagian wajah
Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah.
Filsafat Islam, kalam, fikih, ushul fikih juga produk sejarah. Tasawuf, dan akhlak, sebagai ilmu adalah
produk sejarah. Akhal sebagai nilai sumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir akhlak
adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, music,
bentuk-bentuk masjid Timur Tengah, di Jawa, bentuk pagoda dan di Cina serta kesamaannya dengan
bentuk beberapa masjid di Jawa merupakan bagian kebudayaan Islam yang dapat dijadikan obyek studi
dan penelitian. Demikian juga seni dan metode baca Al-Qur’an yang berkembang di Indonesia, adalah
produk sejarah.
Kesimpulan
Kata “agama” ternyata sangat sulit didefinisikan. Sebabnya adalah mungkin karena agama berbentuk
keyakinan (Jalaluddin, 1996: 11). Namun, dengan melakukan metode etimologis dan terminologis, kita
paling tidak dapat membayangkan makna dari kata “agama”. Selain itu, ternyata “agama” mempunyai
hasil translate ke beberapa bahasa lain yang kesemuanya itu dapat “membongkar” makna dan pengertian
dari kata “agama”.
Penelitian ke-Islaman merupakan suatu keharusan, yaitu meneliti tentang ajaran Islam dari berbagai
aspeknya, termasuk normatif dan aktualitasnya. Pengkajian Islam normatif dimaksudkan adalah
penelaahan lebih jauh ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi yang berimplikasi
pada lahirnya aturan-aturan normatif yang lain, seperti persoalan fikih, teologi, dan tasawuf. Aspek
normatif adalah pengkajian Islam atas refleksi keagamaan secara fakultas, agar perkembangan
masyarakat muslim semakin maju. Sementara pengkajian non-normatif adalah pengkajian terhadap aspek
antropologis, sosiologis, dan historis umat Islam itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai