Anda di halaman 1dari 18

Makalah

AGAMA ISLAM
“PENGERTIAN AGAMA”

Oleh:

Nama :
NIM :
Dosen Pengampuh :

Program Studi
Jurusan
Fakultas Teknik
Universitas Negeri Gorontalo
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur tehadap Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmat dan karunia serta pentunjuk-Nya, sehingga kelompok kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Tentang Pengertian Agama”.
Dalam pembuataan makalah ini kami menyadari banyak keterbatasaan dan
kekurangaan yang dirasakan mengingat pengetahuaan dan pengalamaan kami
yang masih terbatas. Berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga keterbatasaan dan kekurangaan tersebut dapat
diatasi sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Oleh karena itu, kritik dan saraan dari semua pihak sangat kami harapkan
untuk kesepurnaan makalah yang kami buat, semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk menambah wawasam bagi kita semua, Aamiin.

Gorontalo, November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................1

Bab II Pembahasan
A. Pengertian Agama Secara Etimologi........................................2
B. Pengertian Agama Secara Terminologi.....................................5
C. Pengertian Agama Menurut Beberapa Ahli Dan Tokoh...........6
D. Pengertian Agama Secara Fungsional......................................9
E. Pengertian Agama Menurut Berbagai Agama..........................14

Bab III Penutup


A. Kesimpulan...............................................................................16
B. Saran.........................................................................................16

Daftar Pustaka.............................................................................................17

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sebagian masyarakat saat ini banyak tidak mengetahui arti agama
yang sesungguhnya, mereka hanya tahu menjalakan syariat-syariat agama
menurut kepercayaan masing masing. Yang mana di dalam agama tersebut
mempunyai aturan-aturan dalam menjalani hidup antara manusia dengan
manusia, lingkungan, dan yang terakhir tuhan.
Maka dari itu, kelompok kami akan memberikan pembahasaan tentang
pengertian agama menurut etimologi, terminologi, fungsional, dan menurut
beberapa tokoh yang ahli dalam agama serta defenisi agama menurut berbagai
agama. Dan beberapa unsur yang membangun untuk menguatkan hasil kajian
dan diskusi kami.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agama menurut pengertian secara etimologi?
2. Apa yang dimaksud dengan agama menurut pengertian secara terminologi?
3. Apa yang dimaksud dengan agama menurut beberapa ahli dan tokoh?
4. Apa yang dimaksud dengan agama menurut pengertian secara fungsional?
5. Apa yang dimaksud dengan agama menurut berbagai agama?
C. Tujuan
Dapat mempelajari dan memahami arti dari kata agama, menurut pengertian
secara etimologi, termnologi, fungsional, dan menurut beberapa tokoh yang
ahli dalam agama serta defenisi agama menurut berbagai agama dan dapat
menelaah kajian dan batasan pengertian agama sehingga tidak terjadi
kekacauan dari sudut pandang agama.

4
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Pengertian Agama Secara Etimologi


Pengertian agama secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa
Sankskrit. Ada yang berpendapat bahwa kata itu terdiri dua kata, a berarti tidak
dan gam berarti pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi
turun termurung. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Pendapat
lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Selanjutnya
dikatakan bahwa gam berarti tuntutan. Agama juga mempunyai tuntunan, yaitu
Kitab Suci. Istilah agama dalam bahasa asing bermacam-macam, antara lain :
religion, religio, religie, godsdienst, dan ad-din (Smith, 2001).
Kata religi religion dan religio, secara etimologi menurut winker paris dalam
algemene encyclopaedie mungkin sekali dari bahasa latin, yaitu dari kata religere
atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang
bereligi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang
dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati hati,
maka dimaksudkanbahwa orang yang bereligi itu adalah orang yang senantiasa
bersikap hati hati dengan sesuatu yang dianggap suci.
Dari etimologis ketiga kata di atas maka dapat diambil pengertian bahwa
agama (religi, din): (1) merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh
manusia untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera; (2)
bahwa jalan hidup tersebut berupa aturan, nilai atau norma yang mengatur
kehidupan manusia yang dianggap sebagai kekuatan mutlak, gaib dan suci
yang harus diikuti dan ditaati. (3) aturan tersebut ada, tumbuh dan berkembang
bersama dengan tumbuh dan berkembangnya kehidupan manusia, masyarakat
dan budaya.
1. Etimologi Bahasa Inggris
Dalam bahasa Inggris, kata “agama” diterjemahkan menjadi “religion”.
Untuk mengkaji kata “religion”, kami menggunakan metode yang sama
dengan di atas, yakni melalui metode etimologis. Ada dua pendapat
mengenai asal-usul kata “agama”. Pertama, berasal dari bahasa Indo-
German, yaitu “gam”, identik dengan “go” dalam bahasa Inggris yang

5
berarti “jalan, cara berjalan, cara-cara sampai pada keridhaan Tuhan”.
Namun, menurut Sukardji, orang yang mengatakan bahwa kata “agama”
berasal dari bahasa Indo-German berarti belum mengetahui bahasa
Sansekerta. Kedua, berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam kitab Upadeca
tentang “Ajaran-ajaran Agama Hindu”, disebutkan bahwa “agama” tersusun
dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gam” yang berarti “jalan”. Dalam
bentuk harfiah, “agama” berarti “tetap di tempat, langgeng, abadi,
diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke generasi”.2 Ada pula
pendapat lain, yaitu “agama” berasal dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan
“gama” yang berarti “kacau”. Maksudnya, orang-orang yang memeluk suatu
agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya, hidupnya tidak akan kacau.
2. Etimologi Bahasa Arab
Kata “agama” dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi “ad-dien”.
Munjied mengatakan bahwa arti harfiah dari “ad-dien” cukup banyak,
misalnya “pahala, ketentuan, kekuasaan, peraturan, dan perhitungan”.
Fairuzabadi dalam kamusnya, Al-Muhieth, mengatakan bahwa arti harfiah
“ad-dien” adalah “kekuasaan, kemenangan, kerajaan, kerendahan,
kemuliaan, perjalanan, peribadatan, dan paksaan”.3 Sedangkan menurut
Harun Nasution, “ad-dien” mengandung arti “menguasai, menundukkan,
patuh, utang, balasan, kebiasaan” (Mutahhari, 1997).
B. Pengertian Agama Secara Terminologi
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama
diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan
tuhan dan sesamanya. Dalam al- Qur’an agama sering disebut dengan istilah
din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga
mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya
konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada
pada istilah agama dan religi.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan

6
manusia serta lingkungannya. Agama adalah fitrah “ketentuan mutlak” bagi
Manusia tanpa manusia agama bukan berarti apa-apa, karena Agama memang
ditujukan bagi manusia (Endang, 2987).
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-
perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’
dalam bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’
dalam bahasa Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang
sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan
dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan,
untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan
hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk
diskriminasi buruk.
C. Pengertian Agama Menurut Beberapa Ahli Dan Tokoh
Fakhroeddin al-Kahiri, Agama dari segi etimologi berasal dari dua kata; A:
tidak dan Gama: kacau, kocar -kacir, berantakan, yang sama artinya dengan
perkataan Griek; Chaos. Jadi pengertian agama adalah tidak kocar-kacir atau
tidak berantakan, atau agama itu teratur, dan beres.
Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang
linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa
Sansekerta; a-ga- ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan
gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-
cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi
dan pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu
perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-
segi emosionilnya walaupun idenya kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan
diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai
mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu
bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang

7
mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan
yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan
melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan
serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan upacara upacara yang
simbolis maupun melaui perbuatan- perbuatan yang lain yang bersifat
perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan
hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha
untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai
rohani yang sempurna kesuciannya.
Sukardji memberikan definisi “ad-dien” sebagai “undang-undang kebutuhan
yang mendorong dan menjiwai orang berakal dengan usahanya untuk sejahtera
hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat” (Muslim, 1989).
Menurut Al-Syahrastani, agama adalah kekuatan dan kepatuhan yang
terkadang biasa diartikan sebagai pembalasan dan perhitungan (amal perbuatan
di akhirat) (MH, 1981).
Menurut Prof. Dr. Bouquet mendefinisikan agama adalah hubungan yang tetap
antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supernatur,
dan yang bersifat berada dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan
absolute yang disebut Tuhan (Soejono, 1992).
Webster New 20th Century Dictionary mengungkapkan bahwa definisi
“religion” adalah “the system of rules of conduct and law of action based upon
the recognition of belief in, and reverence for human power of supreme
authority”. Batasan itu menggambarkan bahwa “religion” adalah suatu sistem
peraturan-peraturan dari kegiatan yang semuanya itu didasarkan pada adanya
kepercayaan dan pegangan pada kekuatan yang Mahakuasa dan norma perilaku
manusia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan
(Dede, 1994).
Para ahli sejarah, cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis.
Para ahli di bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama
dari sudut fungsi sosialnya. Pakar teologi, fenomenologi, dan sejarah agama
melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang
sakral. Pada hakikatnya ketiga pendekatan itu tidak saling bertentangan,

8
melainkan saling melenyempurnakan dan melengkapi, khususnya jika
menginginkan agar pluralism agama didefinisikan sesuai kenyatan objektif di
lapangan (AB, 1996).
Wahyuddin Halim, mengatakan bahwa agama adalah hubungan Tuhan
dengan hambanya sebagaimana adanya.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi
yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara
mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau
mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi.
Dengan bertolak dari beberapa pengertian agama, Harun Nasution
merumuskan delapan pengertian agama sebagai berikut:
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang
menguasai manusia. Mengingatkan diri pada suatu bentuk yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatannya.
Kepercayaan kepada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari
kekuatan gaib. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang
diyakini bersumber dari kekuatan gaib. Pemujaan terhadap kekuatan gaib
yang timbul dari perasan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan yang
misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. Ajaran-ajaran yang
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul. Kesadaran akan
adanya wujud tertinggi itu sudah ada dalam masyarakat sederhana, masyarakat
yang masih rendah tarap kebudayaannya serta belum dipengaruhi oleh
kebudayaan-kebudayaan lainnya, dan kesadaran masyarakat tentang adanya
wujud tertinggi itu sudah ada sejak adanya manusia di muka bumi, sehingga
memunculkan bebagai macam bentuk kepercayaan terhadap kekuatan yang
maha Tinggi, seperti kepercayaan terhadap. kekuasan atau kekuatan yang
keramat dan tidak berpribadi, yang dianggap halus mampu berjasad yang dapat
dimiliki atau tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang dan manusia

9
(Dinamisme). Ataupun kepercayaan terhadap adanya roh-roh (Animisme).
Kepercayaan terhadap kekuatan yang tinggi di atas segala-galanya itulah yang
kemudian memunculkan berbagai macam agama.
D. Pengertian Agama Secara Fungsional
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu
agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi integratif Agama. Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi
masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik
diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-
kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan
nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama
oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep
sakral yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak
mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea
mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal.
Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau
oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan
manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan
keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal
diatas, ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:
Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar
jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama
menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia dalam
menghadapi ketidakpastian.
Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan
upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa
aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan
ketidakmungkinan yang dihadapi manusia
Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah

10
terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan
individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn
demikian agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi
alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya,
yaitu memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah
terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan
dan pada masyarakat yang mapan.
Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peranserta
manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur
signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan
mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap identitas
menjadi semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh
Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di tahun
1950-an, dimana salah satu cara penting dimana orang Amerika membentuk
identitasnya adalah dengan menjadi salah satu anggota dari “tiga agama
demokrasi”, yaitu: Protestan, katholik, dan Yahudi.
Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan
individu, serta perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh
masyarakat. Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak
bahwa agama memiliki peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi
sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu, agamaberperan dalam
mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda
kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas.
Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan
kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial,
menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk
mengatasi kesalahan dan keterasingan.
Fungsi Disintegratif Agama, Meskipun agama memiliki peranan sebagai
kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu

11
masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan
sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri
sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk
agama lain. Pada bagian ini, pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama
akan lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik sosial yang
bersumber dari agama. Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk
konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:
Perbedaan doktrin dan sikap mental, Dalam konteks ini, konflik sebagai
fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan
hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta
sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul
lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti
oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah
yang memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau
setidaknya kurang sempurna.
Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial
yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti
oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan
intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional
yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar
pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan supra- rasional, yang
memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk
menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut
memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap tersebut.
Perbedaan suku dan ras pemeluk agama, Meskipun tidak sedikit bukti yang
menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-
orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa
membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik
sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan

12
konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin
mempertegas konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa
bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen merasa menjadi bangsa
pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia dengan
menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.
Perbedaan tingkat kebudayaan, Sebagai bagian dari kebudayaan, agama
merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam
semesta pada umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan
menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu
jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan
alam semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa
agama memainkan peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan
melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan
karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama
dalam menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan
pemikiran bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan
mengekang pemikiran tersebut.
Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta
menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau
kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena kehidupan
sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap
fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max
Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong munculnya
kapitalisme.
Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama, Dalam suatu
masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi
faktor penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu: (1)
agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka mayoritas terhadap
minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas.
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang

13
mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur
dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana
kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu
keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk
menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah
yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan
sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada
timbulnya konflik sosial.
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan
keagamaan diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang
terkandung pada masalah- masalah keagamaan. Oleh karena itu, sudah
selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh
perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam
memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena
keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan
permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu
saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari permasalahan yang ada
sehingga harapan untuk memunculkan berbagai soslusi alternative bagi
pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah
menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di
masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya
mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain
seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu
sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama
dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu
pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai
fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif
tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar
kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.
E. Pengertian Agama Menurut Berbagai Agama

14
Agama menurut agama Hindu ialah satya, arta, diksa, tapa, brahma dan
yajna. Satya berarti kebenaran yang absolute. Arta adalah dharma atau
perundang-undangan yang mengatur hidup manusia. Diksa adalah penyucian.
Tapa adalah semua perbuatan suci. Brahma adalah doa atau mantra-mantra.
Yajna adalah kurban.
Pengertian lain ialah dharma atau kebenaran abadi yang mencakup seluruh
jalan Kehidupan manusia. Jadi agama menurut agama Hindu ialah
kepercayaan hidup pada ajara-ajaran suci dan diwahyukan oleh Sang Hyang
Vidi yang kekal abadi.
Menurut pengertian umat hindu penganut madzhab siwa, kata agama yang
dipergunakan dalam bahasa Indonesia sebagai istilah kerohanian, berasal dari
kata Gam yang berarti pergi, Gam diberi awalan “A” yang berarti Agam berarti
kebalikan dari pergi yang artinya datang, dan diberi akhiran “A” menjadi
agama dengan arti kedatangan.
Agama menurut agama Budha ialah suatu kepercayaan atau persujudan atau
kepercayaan manusia akan adanya daya pengendalian yang istimewa dan
terutama dari suatu manusia yang harus ditaati dan pengaruh pemujaan tadi atas
perilaku manusia. Pengertian lain dari agama adalah suatu badan dari ajaran
kesusilaan dan filsafat dan pengakuan berdasarkan keyakinan terhadap pelajaran
yang diakui baik yang ajaran yang budha yang sangat mulia. Dalam pengertian
yang lain bahwa agama adalah cara tertentu untuk pemujaan kepada para dewa,
dewa agung yaitu adanya kekuatan gaya tak terlihat yang menguasai alam
semesta.
Agama menurut agama Kristen ialah segala bentuk hubungan manusia
dengan yang suci. Terhadap yang suci ini manusia tergantung, takut karena
sifatnya yang dahsyat dan manusia tertari karena sifat-sifatnya yang
mempesonakan.
Agama menurut agama Islam ialah, kata Islam berasal dari kata: salam yang
artinya selamat, aman sentosa, sejahtera: yaitu aturan hidup yang dapat
menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
Sementara itu definisi mutlak dari agama dalam wacananya agak mengalami
kesulitan tersendiri, bahkan hampir mustahil untuk dapat mendefinisikan
agama yang bias diterima atau disepakati semua kalangan. Untuk itu
setidaknya ada tiga cara pendekatan yaitu segi fungsi, institusi, dan subtansi.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata “agama” ternyata sangat sulit didefinisikan. Sebabnya adalah mungkin
karena agama berbentuk keyakinan.1 Namun, dengan melakukan metode
etimologis dan terminologis, kita paling tidak dapat membayangkan makna
dari kata “agama”. Selain itu, ternyata “agama” mempunyai hasil translate ke
beberapa bahasa lain yang kesemuanya itu dapat “membongkar” makna dan
pengertian dari kata “agama”.
Selain pengertian etimologis, terminologis, dan fungsional, agama juga
dapat dipahami melalui defenisi tokoh yang ahli dibidang studi agama dan
defenisi agama berdasarkan berbagai agama.
B. Saran’’
Dari pembahasan di atas kelompok pemakalah menyarankan kita untuk tahu
tentang pengertian agama. seperti apa yang di jabarkan tentang pengertian
agama secara etimologi, terminologi, fungsional, dan menurut beberapa tokoh,
serta defenisinya menurut berbagai agama, ini dapat di terapkan dalam
kehidupan kita sehari hari sehingga tidak ada kesalahan pahaman tentang
mengartikan kata agama.

16
DAFTAR PUSTAKA

A.B. Haniq, Ilmu Agama, terjemahan MD. Koesumo Sastro, (Jakarta, Bpk
Gunung Mulia, 1966).

Abdullah, Yatimin. 2004. Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Amzah.

Ahmadi, Abu. 1984. Sejarah Agama. Solo : CV. Ramadhani.

Ali, Abdullah. 2007. Agama dan Ilmu Perbandingan. Bandung : Nuansa Aulia.

Dede Rosyada, Abuddin Nata, Materi Pokok Agama Islam, (Jakarta,


Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama, 1994).

Endang Saifuddin Anshari, Ilmu filsafat dan Agama, (Surabaya PT, Bina Ilmu
1987).

HM. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta, CV.


Serajaya 1981).

Keene,Michael. Agama-agama Dunia, terj., F.A. Soepapto (Yogyakarta: Kanisius,


2006).

Manaf, Abdul, Mudjahid. 1994. Sejarah Agama-agama. Jakarta : PT. Raja


Grafindo.

Martin Sardy, Agama Multidimensional, (Bandung, Penerbit Alumni, 1983).

Muslim Arbi, Rasionalitas Islam, (Jakarta, Penerbit YAPI, 1989).

Mutahhari, Murtadha. Perspektif Al-Qur`an tentang Manusia dan Agama. peny.,


Haidar bagir (Bandung: Mizan, 1997).

Smith, Huston. Agama-Agama Manusia, terj., Saafroedin bahar (Jakarta: Yayasan


Obor indonesia, 2001).

Thalhas, T.H. Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: Galura pass, 2006).

Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, Tiara Wacana Yoya,


1992).

17

Anda mungkin juga menyukai