Anda di halaman 1dari 345

*

BIDANG STUDI

PANCASILA
DAN
UUD NRI TAHUN 1945
PANCASILA
DAN UUD NRI TAHUN 1945
Penulis TIM POKJA PANCASILA DAN UUD NRI 1945
Marsda TNI Noor Pramadi, S.E.
Marsda TNI Baskoro Alrianto, M.Sc.
Marsda TNI (Purn) Sumarman, S.E.
Mayjen TNI (Purn) Hadi Suprapto, M.Sc., M.H.
lrjen Pol (Purn) Dr. Ors. Moch. Rasyid Ridho, S.H., M.H.
Brigjen TNI (Purn) A.R. Wetik, M.Sc.
ISBN 978-602-14873-3-4
Cetakan Tahun 2018
Penerbit Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia
JI. Merdeka Selatan 10, Jakarta Pusat
Editor Direktorat Materi Pendidikan Deputi Bidang
Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA SAMBUTAN
GUBERNUR
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

Bahan ajar merupakan instrumen pokok dalam setiap pendidikan,


seperti pendidikan di Lemhannas RI yang menyelenggarakan Program
Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LVII dan LVIII. Bahan ajar dengan
rancangan kuri kulum tertentu , akan mengarahkan hasil kompetensi
lulusan yang diinginkan. Oleh karena itu, penyediaan bahan ajar dengan
isi dan kualitas yang baik senantiasa menjadi perhatian yang utama bagi
Lemhannas RI.

Dihadapkan pada dinamika tantangan dan kebutuhan kompetensi


lulusan pendidikan, Lemhannas RI terus berupaya untuk meningkatkan
kualitas bahan ajar. Peningkatan kualitas ini dilakukan melalui kajian-
kajian mendalam, yang dilakukan oleh Tim Kelompok Kerja (Pokja)
Penyusunan Bahan Ajar yang ditunjuk dengan melibatkan para ahli sesuai
Bidang Studi (BS) masing-masing, baik dari dalam maupun luar
Lemhannas RI.

Melalui bahan ajar BS Inti, yang di dalamnya mencakup materi-


materi: BS Pancasila dan UUD 1945, BS Geopolitik dan Wasantara, BS
Geostrategi dan Ketahanan Nasional, BS Sistem Manajemen Nasional,
BS Kewaspadaan Nasional, dan BS Kepemimpinan ini, diharapkan
lulusanpeserta pendidikan Lemhannas RI disamping memiliki kompetensi
men jadi pemimpin yang negarawan dan visioner juga menjadi pemimpin
yang memiliki karakter kepemimpinan bangsa yang kuat. Sesungguhnya
kompetens i inila h yang saat ini dan ke depan dibutuhkan oleh bangsa
Indonesia, agar mampu mengelola kehidupan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) tetap tegak berdiri di tengah-tengah hiruk pikuk
persaingan antar bangsa-bangsa di dunia.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 iii


Akhirnya, saya sebagai Gubernur Lemhannas RI menyampaikan
terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada Tim Pokja Penyusunan
Bahan Ajar ini. Melalui bahan ajar ini mudah-mudahan kita dapat
menghasilkan lulusan Lemhannas RI dengan kompetensi kepemimpinan
seperti yang diharapkan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberikan bimbingan dan petunjuk serta perlindungan kepada kita
sekalian, dan bahan ajar ini bermanfaat bagi semua pihak, baik yang
terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di Lemhannas RI maupun
masyarakat akademik lainnya.

Jakarta, Januari 2018

Gubernur
Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia,

Agus Widjojo
Letnan Jenderal TNI (Purn)

iv Pancas ila dan UUD NRI Tahun 1945


KATA PENGANTAR
DEPUTI PENDIDIKAN PIMPINAN TINGKAT NASIONAL
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena hanya dengan petunjuk dan rahmat-Nya, "KelompokKerja
Enam Bidang Studi Inti" (Pokja 6 BSI), telah menyelesaikan revisi
terhadap Hanjar "6 BSI" yang akan dipergunakan sebagai materi
bahan ajar bagi Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan
(PPRA) LVII dan LVIII yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan
Nasional Republik Indonesia.
Hanjar "6 BSI" ini sebagai panduan bagi Tenaga Ahli Pengajar,
Tenaga Ahli Pengkaji, Tenaga Profesional , Narasumber , Alumni
Lemhannas RI dan Peserta PPRA LVII dan LVIII yang secara
substansial telah disesuaikan dengan tugas pokok, fungsi, tujuan, dan
sasaran pendidikan Lemhannas RI. Namun disadari naskah ini belum
sempurna, diharapkan saran dan masukan dari para pembaca.
Akhirnya disampaikan penghargaan dan terima kasih kepada
seluruh "Pokja 6 BSI" yang telah mencurahkan waktu dan
pemikirannya dalam penyelesaian Hanjar ini, semoga Tuhan Yang
Maha Esa selalu memberikan kekuatan kepada kita dalam
menjalankan tugas dan pengabdian kepada Bangsa dan Negara.

Jakarta, Januari 2018

Deputi Pendidikan
Pimpinan Tingkat Nasional,

kvv
Karsiyanto, S.E.
Mayor Jenderal TNI

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 V


vi Pancasi/a dan UUD NRI Tahun 1945
DAFTAR ISi

PENDAHULUAN~ 1
1. Umum ~ 1
2. Maksud dan Tujuan ~ 3
3. Tata Urut ~ 3

PANCASLI A DAN PERKEMBANGANNVA ~ 5


4. Umum ~ 5
5. Lahirnya Pancasila ~ 5
a. Pembahasan Dasar Negara ~ 5
b. Substansi Pidato Mr. Muh Yamin pada
Tanggal 29 Mei 1945 ~ 7
c. Substansi Pidato Ki Bagoes Hadi Koesoemo
pada 31 Mei 1945 ~ 14
d. Substansi Pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo
pada 31 Mei 1945 ~ 17
e. Substansi Pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 ~ 21
6. Pancasila sebagai Falsafah Hidup dan
Pandangan Hidup Bangsa ~ 30
a. Pengalaman Masa Penjajahan ~ 30
b. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 ~ 32
c. Wujud Perjuangan Pembebasan Bangsa ~ 36
d. Pancasila Falsafah Hidup dan Cita-cita Moral Bangsa ~ 39
7. Pancasila sebagai ldeologi Bangsa Indonesia ~ 42
a. Hakikat dan Fungsi ldeologi ~ 42
b. Pancasila sebagai ldeologi Nasional ~ 44
8. Pancasila sebagai Dasar Negara ~ 48
a. Pancasila sebagai Cita Hukum ~ 48
b. Kedudukan Hukum Pancasila ~ 50
c. Kedudukan Hukum Pancasila Pasca Terbitnya
UU Nomor 12 Tahun 2011 ~ 53
9. Pancasila Diantara ldeologi-ideologi Dunia ~ 54
a. Kandungan Nilai-nilai Pancasila Bersifat Universal ~ 54
b. Liberalisme ~ 61
c. Konservatisme ~ 66
d. Maxisme dan Komunisme ~ 69

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 vii


e. Demokrasi Sosial dan Sosialisme Demokratis ~ 75
f. Anarkisme ~ 77
g. Feminisme ~ 80
h. Ekologisme ~ 82
i. Nasionalisme ~ 83
j. Fasisme ~ 86
k. Islam Fundamental ~ 88
I. Komunis Gaya Baru ~ 90
10. Pancasila sebagai ldeologi Terbuka di Tengah Era Global~ 91
a. Pancasila sebagai ldeologi Terbuka ~ 91
b. Tantangan Aktualisasi Pancasila ~ 95
c. Dinamika Kehidupan Masyarakat ~ 99
d. Anatomi Konflik (Kepentingan) ldeologi ~ 105
e. Bagaimana Kaum Pancasilais Menghadapinya ? ~ 108
f. Orientasi Pancasila ~ 110

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA ~ 115


11. Pancasila sebagai Paradigma ~ 115
a. Pancasila sebagai Paradigma Nasional~ 116
b. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional ~ 118

UNDANG-UNDANG DASAR NRI 1945 DAN PERMASALAHANNNYA ~ 129


12. Umum ~ 129
13. Pengantar Konstitusi ~ 130
a. Sejarah Pertumbuhan Konstitusi ~ 130
b. Pengertian Konstitusi ~ 134
c. Kedudukan Sifat Fungsi Konstitusi ~ 140
d. Model Konstitusi ~ 146
e. Klasifikasi Konstitusi ~ 147
f. Konstitusi dan Negara~ 151
g. Sistem Perubahan Konstitusi ~ 158
14. Muatan Konstitusi dalam UUD NRI 1945 ~ 163
a. Materi Muatan dalam Konstitusi Secara Umum ~ 163
b. Muatan Moral pada UUD NRI 1945 ~ 173
c. Muatan Politik pada UUD NRI 1945 ~ 175
d. Muatan HAM dalam UUD NRI 1945 ~ 176
e. Muatan Hukum pada Konstitusi Indonesia ~ 185
f. Muatan Ekonomi pada Konstitusi Indonesia ~ 187
g. Muatan Sosial pada Konstitusi Indonesia ~ 189
h. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ~ 190

viii Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


15. Latar Belakang Amandemen dan Sosialisasi
UUD NRI tahun 1945 - 208
a. Suasana Darurat di Saat Penyusunan UUD 1945 - 208
b. Undang-undang Dasar 1945
Jarang/Belum Pernah Dikaji - 213
c. Kondisi yang Mengharuskan Amandemen - 216
d. Ada Kontradiksi pada Pasal dalam Batang Tubuh
UUD 1945 - 226
e. Persiapan Amandemen - 229
f. Perubahan Pertama UUD 1945 - 233
g. Perubahan Kedua UUD 1945 - 236
h. Perubahan Ketiga UUD 1945 - 244
i. Perubahan Keempat UUD 1945 - 254
j. Sosialisasi Amandemen UUD 1945 - 260
16. Kandungan Permasalahan dalam Amandemen
UUD NRI 1945 - 262
a. Dinamika UUD NRI 1945 - 262
b. Masukan dari BrigjenTNI(Pur) Prof. Dr. A.S.S. Tambuna,nS.H. - 265
c. Pokok Pikiran Naskah Akademik Revisi Amandemen
UUD 1945 Usul Komite Konstitusi - 279
d. Perubahan dan Usul dari Komisi Konstitusi - 303
e. Masukan Lain - 313
f. Alternatif Solusi untuk Merespon Kontroversi
Amandemen UUD - 315
g. Perbandingan UUD 1945 yang Asli dengan UUD NRI
Menurut Prof. Abdul Kadir Besar, S.I.P. - 316

PENUTUP- 317
DAFTARPUSTAKA - 319
LAMPRIAN-LAMPIRAN - 321

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 ix


1
1. Umum
PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia patut merasa bersyukur bahwa para pendiri


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersepakat menjadikan
lima sila yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia untuk
ditetapkan sebagai Ideologi Nasional, pandangan hidup bangsa
Indonesia, dan cita hukum Negara (dasar negara) yang disebut
Pancasila.
Kandungan dan dinamika nilai-nilai Pancasila melekat pada
eksistensi Pancasila itu sendiri, baik sebagai ideologi nasional, dasar
negara, maupun falsafah hidup bangsa sekaligus merupakan jati diri
atau identitas bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila merupakan
dimensi paling dalam yang bersifat abstrak dan berkedudukan sangat
tinggi dalam fenomena kehidupan masyarakat serta memiliki kekuatan
integratif bagi seluruh komponen bangsa yang saling berbeda, baik
secara vertikal maupun horizontal. Nilai-nilai Pancasila merupakan
sumber etika dan moralitas bangsa Indonesia yang selanjutnya
berkembang dalam wujud sikap dan perilaku atau tindakan-tindakan
nyata dalam kehidupan warga masyarakat.
Dewasa ini Pancasila sedang mengalami cobaan atau ujian yang
cukup berat untuk kesekian kalinya, baik dalam kaitannya dengan
eksistensi Pancasila itu sendiri maupun pengejawantahan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan
bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir setelah era reformasi, perhatian warga masyarakat,
baik perseorangan, kelompok, maupun kelembagaan, baik lembaga
pemerintah maupun nonpemerintah, terhadap Pancasila cenderung
makin tipis. Mulai muncul sikap-sikap sinis atau acuh tak acuh dan
lebih jauh lagi timbul kecenderungan untuk meninggalkannya. Hal ini
cukup memprihatinkan karena nilai-nilai Pancasila tidak lagi terpancar
dalam diri dan sebagian aparat penentu kebijakan.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 101


Bahkan, Pancasila makin terlupakan dengan dibubarkannya
lembaga Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) dan Kementerian
Penerangan sebagai corong pemasyarakatan, pemberdayaan, dan
pengamalan Pancasila dalam pembangunan nasional, pada awal era
reformasi tahun 1998.
Banyak produk hukum dan tindakan penegakan hukum yang
kurang mencerminkan/memancarkan nilai-nilai Pancasila, yang
tersirat dengan belum dirasakannya keadilan serta rendahnya
nilai moral dan akhlak di masyarakat. Nilai-nilai dasar Pancasila
yang melekat dalam Pembukaan UUD 1945 dan terpancar dalam
amendemen UUD 1945 serta dijabarkan ke dalam berbagai peraturan
per-Undang-undangan dan berbagai landasan pemikiran sebagai
nilai instrumental Pancasila relatif masih jauh dari harapan. Pancasila
sebagai sumber dasar hukum nasional dan UUD NRI 1945 sebagai
sumber hukumnya yang harus terjabarkan secara hierarkis ke
dalam berbagai peraturan pelaksanaan (Undang-undang, peraturan
presiden, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah) tampaknya
belum dapat diwujudkan secara konkret dalam wujud nilai-nilai
praksisnya. Masih cukup banyak diperlukan pembenahan dan
peningkatan pemahaman nilai-nilai Pancasila, yang terkait dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), khususnya
kualitas penentu kebijakan yang mengemban amanat rakyat, agar
memiliki moral dan akhlak yang dapat diteladani, serta memiliki
kemampuan beradaptasi dalam menghadapi pengaruh globalisasi.
Pengalaman pahit tragedi nasional G-30-S/PKI tahun 1965 yang
akan mengganti eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara dengan
ideologI komunis, merupakan pelajaran yang sangat berharga
dalam menghadapi tantangan masa depan yang penuh dengan
ketidakpastian. Pemasyarakatan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi terbuka yang bersifat universal harus betul-betul dipahami
dan dihayati oleh seluruh komponen bangsa Indonesia, terutama
keberadaan Pancasila di antara ideologi besar dunia.
Amendemen pasal-pasal UUD 1945 yang telah dilakukan
sebanyak empat kali, harus tidak bertentangan dengan nilai-nilai

2 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pancasila dan telah disesuaikan dengan perkembangan lingkungan
strategis baik global, regional, maupun nasional, terutama dalam
mengantisipasi pengaruh perkembangan global yang dipicu oleh
perkembangan iptek yang relatif berubah dengan cepat. Hasil
amendemen pasal-pasal UUD NRI 1945 perlu dimasyarakatkan
dan disosialisasikan, baik yang berkaitan dengan sejarah, proses,
maupun metoda dari amendemen UUD 1945. Namun dalam
perkembangannya, muncul permasalahan dengan adanya tuntutan
masyarakat untuk melakukan amendemen kelima atau kembali ke
UUD 1945. Pemahaman terhadap Bahan Ajar Bidang Studi Pancasila
dan UUD NRI Tahun 1945, yang juga menjelaskan proses terjadinya
amendemen UUD 1945 dan permasalahannya, diharapkan akan
membantu dan mempermudah peserta didik mengikuti pendidikan di
Lemhannas khususnya dalam mempelajari Pancasila dan UUD NRI
1945.
2. Maksud dan Tujuan
a. Maksud. Naskah lembaga ini dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang Pancasila dan UUD NRI 1945 dengan
berbagai aspek yang terkandung di dalamnya.
b. Tujuan. Digunakan sebagai acuan dan referensi dalam
mengikuti kegiatan pendidikan Lemhannas RI.
3. Tata Urut
Naskah lembaga Pancasila dan UUD NRI 1945 ini melingkupi
tiga subbidang studi, yaitu Pancasila dan Perkembangannya, UUD
NRI 1945 dan Permasalahannya, dan Pancasila Sebagai Paradigma
Nasional, dengan Tata Urut sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab II Pancasila dan Perkembangannya
Bab III UUD NRI 1945 dan Permasalahannya
Bab IV Penutup

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 3


4 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945
2
4. Umum
PANCASILA DAN
PERKEMBANGANNYA

Pancasila sebagai dasar negara mempunyai kedudukan sebagai


norma objektif dan norma tertinggi di dalam negara serta sebagai
sumber dari segala sumber hukum dan sumber tertib hukum negara
RI. Hal ini sesuai dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 jo Tap
MPR No. V/MPR/1973 jo Tap MPR No. IX/MPR/1978, selanjutnya
dipertegas lagi mengenai kedudukan Pancasila sebagai dasar ne-
gara berdasarkan Tap MPR No. XVII/ MPR/1998 yang kemudian
dicabut dengan Tap MPR RI No. II/ MPR/2000.
Dalam Tap MPR RI No. II/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum
disebutkan bahwa Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945 (setelah
diamendemen dibaca pasal-pasal) menjadi Sumber Hukum Dasar
Nasional, dan dengan ditetapkannya ketetapan ini maka Pancasila
tidak lagi sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum melainkan
menjadi Sumber Hukum Dasar Nasional.
Fungsi Pancasila sebagai dasar negara dalam tinjauan sosiologis
berarti sebagai pengatur hidup kemasyarakatan, sedangkan tinjauan
yang bersifat etis filosofis berarti sebagai pengatur tingkah laku
pribadi dan cara-cara mencari kebenaran.
5. Lahirnya Pancasila
a. Pembahasan Dasar Negara
Pada awal tahun 1945 dengan ditandai kekalahan Jepang dalam
perang di kawasan Asia Pasifik, pemerintah Jepang memberikan janji
kemerdekaan di wilayah pendudukannya, antara lain, di Indonesia
untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Untuk menanggapi
kebijakan Jepang tersebut, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Badan penyelidik ini

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 5


beranggotakan 58 orang dan terbagi habis dalam beberapa seksi serta
satu panitia hukum dasar. Panitia hukum dasar beranggotakan 19
orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan dalam perkembangannya
berubah nama menjadi Panitia Undang-undang Dasar. Dari Panitia
Undang-undang Dasar ini, dibentuk lagi panitia kecil perancang
Undang-undang dasar yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo.
BPUPKI melaksanakan dua kali sidang resmi. Yang dimana pertama
pada tanggal 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 untuk membahas
dasar negara dan sidang kedua pada tanggal 10-17 Juli 1945 untuk
membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan,
rancangan Undang-undang dasar, ekonomi dan keuangan,
pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. BPUPKI
sempat melaksanakan sidang tidak resmi dengan memanfaatkan
masa reses antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua
untuk membahas rancangan Pembukaan Undangundang Dasar
1945 yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Dengan selesainya tugas
BPUPKI mempersiapkan dasar negara dan Undang-undang dasar
negara, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang baru bisa bersidang
untuk pertama kalinya sesudah proklamasi kemerdekaan, yaitu pada
tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 22 Agustus 1945.
Dari jadwal rencana sidang resmi pertama, BPUPKI
membicarakan dasar negara (dari tanggal 28 Mei sampai dengan 1
Juni 1945) pada tanggal 29 Mei yang menampilkan pembicara, antara
lain, Muh. Yamin, Margono, Sosrodiningrat, Wiranata Kusumah,
Sumitro, Woerjaningrat, Surjo, Soesanto, Dasaad, Rooseno, dan Aris
P. Dari para pembicara ini hanya Mr. Muh. Yamin yang menyampaikan
pidato. Demikian pula, pada tanggal 30 Mei terdapat nama pembicara,
antara lain, Drs. Moh. Hatta, Agus Salim Samsudin, Wongsonegoro,
Soerachman, Abdul Kadir, Soewandi Abdul Rahim, Soekirman dan
Soetarjo.
Namun, hanya Dr. Moh. Hatta yang berpidato selama lebih dari
satu jam. Naskah pidatonya tidak terdokumentasikan dan sampai
saat ini masih dalam pencarian guna pelurusan sejarah. Pada tanggal
31 Mei dijadwalkan pembicara, antara lain, Mr. Muh. Yamin, Sanusi,

6 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Soehardjo, Soekarno, dan Ki Bagoes Hadi Koesoemo. Akan tetapi,
hanya Ki Bagoes Hadi Koesoemo, Prof. Dr. Soepomo dan Mr. Muh.
Yamin yang menyampaikan pidatonya. Selanjutnya, pada tanggal 1
Juni 1945 dijadwalkan pembicara, antara lain, Baswedan, Muzakir,
Ir. Soekarno, Latuharhary, dan Soekarjo. Namun, hanya Ir. Soekarno
yang menyampaikan pidatonya. Jadi, selama sidang resmi pertama
tanggal 28 Mei hingga 2 Juni 1945 hanya lima pembicara yang
menyampaikan pidato tentang dasar negara, yaitu Mr. Muh. Yamin,
Dr. Moh. Hatta, Ki Bagoes Hadi Koesoemo, Prof. Dr. Mr. Soepomo,
dan Ir. Soekarno. Dari kelima pembicara ini hanya empat pidato yang
dokumentasinya ditemukan, yaitu naskah pidato Mr. Muh. Yamin,
Ki Bagoes Hadi Koesoemo, Prof. Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno,
sedangkan pidato Drs. Moh. Hatta tidak ditemukan.
Dalam sidang resmi pertama ini, Mr. Muh. Yamin sempat dua
kali berpidato. Hanya pidato pertama pada tanggal 29 Mei 1945 yang
berhubungan dengan dasar negara, sedangkan pidato kedua pada
tanggal 31 Mei 1945 menitikberatkan pada rencana daerah wilayah
negara Indonesia. Berikut ini disajikan substansi pidato Mr. Muh.
Yamin, Ki Bagoes Hadi Koesoemo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, dan Ir.
Soekarno.
b. Substansi Pidato Mr. Muh. Yamin pada Tanggal 29 Mei 1945
1) Peri Kebangsaan
Jika Indonesia ingin merdeka sekarang, ada tiga pekerjaan
yang harus segera dirampungkan, yaitu mengumpulkan segala
bahan untuk pembentukan negara, menyusun Undang-undang
dasar, dan menjalankan isi hukum dasar dalam negara yang
terbentuk. Negara baru yang akan kita dirikan haruslah negara
kebangsaan (nationale staat atau etat national) sesuai dengan
kewajaran peradaban kita sekarang. Kita sebelumnya mempunyai
dua negara dengan susunan negara bagian atas (kerajaan),
yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Namun kedua negara tersebut
sudah putus 400 tahun yang lalu. Pada saat ini ada lebih dari 300
kerajaan kecil yang lebih bercorak kedaerahan dan penduduknya
tidak saling berhubungan secara keputranegaraan.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 7


Kita tidak dapat merujuk pada susunan tata negara
bagian atas dulu dan bercermin pada 300 kerajaan kecil saat
ini. Walaupun kedua negara tersebut pernah mengalami zaman
keemasan dulu, kita harus menyusun negara bagian bawah.
Dalam menyusun negara bagian bawah, kita tidak perlu meniru
susunan negara luar karena sebagai bangsa kita telah beradab
dan berbudaya sejak ribuan tahun lalu. Dengan merujuk pada
peradaban rakyat zaman sekarang dan dari susunan negara
hukum adat bawahan, dari sanalah kita kumpulkan sari tata
negara yang sebetul-betulnya menjadi dasar negara. Pokok
dasar negara haruslah menurut watak peradaban Indonesia dan
bukan meniru atau menyalin konstitusi negara lain. Peradaban
dan keinginan kita sebagai bangsa hendaklah menjadi corak
kepada negara yang akan dibentuk dan negara Republik
Indonesia yang diingini oleh bangsa Indonesia adalah negara
kebangsaan Indonesia sebagai suatu etat nasional. Pinjaman,
salinan, dan tiruan dari luar hanya boleh dijadikan cermin saja.
2) Peri Kemanusiaan
Paham Indonesia merdeka bukan cuma lepas dari
penjajahan Belanda, melainkan juga ingin menyusun
masyarakat baru dalam suatu negara merdeka. Kemerdekaan
akan menghidupkan kedaulatan negara, baik ke dalam maupun
ke luar. Kemerdekaan dan kedaulatan ke dalam memberi
perlindungan tinggi pada putra negara dengan hak milik dan
harta benda dalam lingkar batas negara. Kemerdekaan dan
kedaulatan ke luar memberi kesempatan luas kepada negara
Indonesia untuk mengatur hubungannya dengan negara lain.
Negara kedaulatan inilah yang diinginkan rakyat Indonesia, bukan
yang lain, sehingga kita menolak bujukan status dominion dan
protektorat. Kita menginginkan negara kedaulatan agar dapat ikut
memeluk keanggotaan keluarga bangsa-bangsa secara penuh.
Keanggotaan ini mengatur hubungan diplomasi secara merdeka.
Oleh sebab itu, kedaulatan harus berdasarkan peri kemanusiaan
secara universal yang berisi humanisme dan internasionalisme

8 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


bagi segala bangsa karena dasar peri kemanusiaan adalah
dasar universalisme dalam hukum internasionalisme dan aturan
kesusilaan segala bangsa dan negara merdeka.
3) Peri Ketuhanan
Bangsa Indonesia yang akan menjadi negara merdeka
itu adalah bangsa beradab luhur dan dalam peradabannya
mempunyai Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, negara
kesejahteraan Indonesia merdeka akan berketuhanan. Tuhan
akan melindungi negara Indonesia merdeka.
4) Peri Kerakyatan
a) Permusyawaratan
Surat Asysyura, ayat 38 berbunyi, “Segala urusan
harus dimusyawarahkan.” Permusyawaratan memberi tiga
dasar keinginan berikut.
(1) Dengan membuka pikiran dalam permusyawaratan
sesama manusia, manusia akan selalu berjalan di
jalan Tuhan.
(2) Dengan permusyawaratan, beban pengelolaan
negara tidak dipikul oleh satu orang, tetapi dipikul
bersama banyak orang.
(3) Permusyawaratan mengecilkan kekhilafan per-
seorangan dan menghindarkan negara dari kesesatan.
Dalam sejarah Islam, permusyawaratan Islam telah
diamalkan, termasuk ketika Islam masuk ke Indonesia.
Namun, sebelum agama-agama masuk ke Indonesia,
tonggak budaya mufakat sudah ada dalam bentuk
masyarakat desa karena sejak zaman purbakala susunan
desa ini sudah ada. Dasar mufakat ini tidak runtuh oleh
pengaruh Hindu dan Budha, justru ketika agama Islam
masuk ke Indonesia, budaya mufakat ini bertambah mekar
lagi.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 9


b) Perwakilan
Kemampuan dan keterampilan bangsa Indonesia
dalam mengolah tata negara sudah ada sejak ribuan tahun
dengan melihat 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 nagari di
Minangkabau, susunan negeri sembilan di Malaya, begitu
pula di Borneo, Bugis, Ambon, Minahasa, dan tempat
lain. Susunan persekutuan ini tidak rusak oleh pengaruh
Hindu, Buddha, serta feodalisme dan penjajahan. Desa
tetap desa, walaupun susunannya berubah-ubah sesuai
dengan perubahan zaman dan desa merupakan salah satu
tonggak persekutuan adat yang lebih banyak samanya
daripada bedanya di seluruh Indonesia.
Dalam susunan inilah terpilih orang yang memegang
kekuasaan dan menjadi perwakilan untuk ke susunan yang
lebih besar lagi. Perwakilan inilah yang memusyawarahkan
hal-hal yang lebih besar dan lebih luas. Perwakilan tidak
saja menguatkan persekutuan hukum adat dalam tata
negara bagian bawah, tetapi menjadi pedoman dalam
keinginan bangsa sekarang dalam menyusun tata negara
bagian tengah dan bagian atas. Perwakilan inilah yang
akan menjadi sambungan jiwa tata negara rakyat dan dasar
perwakilan merupakan dasar abadi menurut kebudayaan
Indonesia.
c) Kebijaksanaan
Pembentukan negara mewujudkan suatu pembaharu-
an, dan pembaharuan tidak lepas daripada ketuhanan dan
sejajar dengan ikatan garis besar menurut adat pusaka
Indonesia, walaupun sudah dipengaruhi feodalisme
pemerintahan jajahan. Negara Indonesia harus disusun
atas logika dan nasionalisme sehat. Melalui organisasi
pergerakan kemerdekaan, golongan terpelajar telah
menyumbangkan pikiran dan tenaga dalam pergerakan
dan melalui pergerakan ini dinamika dan cita-cita
rakyat Indonesia dapat dibaca. Hikmat kebijaksanaan

10 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


yang menjadi pimpinan kerakyatan Indonesia adalah
nasionalisme yang sehat karena telah melepaskan diri dari
anarkisme, liberalisme, dan semangat penjajahan.
 Paham Negara
Tiga dasar di atas, permusyawaratan, perwakilan dan
kebijaksanaan membawa kita pada susunan negara yang berdasar
pada kenyataan. Kita tidak bergandengan dengan pikiran Plato
dengan Respublica-nya, Aristoteles dengan Politea-nya serta
Thomas More dengan Utopia-nya.
 Negara Indonesia menolak tata negara yang melanggar dasar
permuyawaratan, perwakilan, dan kebijaksanaan
 Negara Indonesia menolak segala paham federal-isme,
monarki, liberalisme, autokrasi dan birokrasi, serta demokrasi
Barat.
 Negara Indonesia menolak segala macam pen-jajahan.
Negara Indonesia adalah negara kebangsaan yang merdeka
dan berdaulat penuh.
 Negara Indonesia menolak paham pemerintahan istibdadi,
paham pemerintahan khilaah, dan paham pemerintahan
filsafatiyah.
 Negara Indonesia menolak segala dasar penjajahan
kolonialisme sebagai dasar pembentukan negara.
 Negara Indonesia menolak segala tindakan yang menge-
cewakan kedaulatan negara dengan menjalankan kebonekaan.
Dengan menolak keenam paham di atas, negara Indonesia
akan mewujudkan paham-paham berikut.
 Negara rakyat Indonesia merupakan negara persatuan yang
tidak terpecah yang dibentuk di atas dan di dalam badan
bangsa Indonesia yang tidak terbagi-bagi. Negara kesatuan
atas paham unitarisme.
 Negara rakyat Indonesia mempunyai satu kedaulatan yang
dijunjung kepala negara dan oleh daerah dan rakyat Indonesia.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


1
 Kepala negara, pusat pemerintahan, pemerintah daerah, dan
pemerintahan persekutuan desa dipilih secara umum dalam
permusyawaratan yang disusun secara kerakyatan. Negara
rakyat Indonesia merupakan negara pemerintahan syuriyah
yang berdasarkan permusyawaratan antarorang yang berilmu
dan berakal sehat yang dipilih berdasarkan paham perwakilan.
 Permusyawaratan, pemilihan, dan pembaruan pikiran menjadi
dasar pengangkatan dan segala pemutusan urusan negara.
 Negari, desa, dan segala persekutuan hukum adat yang
diperbarui dengan jalan nasionalisme dan pembaruan zaman
dijadikan kaki susunan negara sebagai bagian bawah.
 Pemerintah pusat dibentuk di sekeliling kepala Negara yang
terbagi atas :
1) Wakil kepala negara,
2) Kementerian, dan
3) Pusat parlemen balai perwakilan yang terbagi atas
majelis dan balai perwakilan.
 Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah
sebagai pemerintah daerah.
 Negara rakyat Indonesia menjalankan pem-bagian pekerjaan
negara atas jalan desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak
mengenal federalisme atau perpecahan negara.
 Negara rakyat Indonesia menjadi anggota yang berkedaulatan
dalam permusyawaratan bangsa-bangsa sedunia.
Pembelaan Negara
Pengakuan dasar yang tiga itu memberi dasar pada soal
kemiliteran, pembelaan negara, dan pemertahanan negeri dengan
senjata. Permusyawaratan berdasarkan agama menimbulkan perang
jihad, dasar adat mengharuskan kita membela negeri melawan
kezaliman, dan rasionalisme mendorong kemajuan teknik dalam
berperang.

12 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


 Budi Negara
Tiap negara yang terbentuk oleh peradaban sempurna harus
mempunyai budi pekerti atau moral sebagai corak atau identitas dari
bangsanya. Budi pekerti negara merupakan tali perhubungan hati
rakyat dengan negara yang melindunginya.
 Setia Negara. Negara pertama Kerajaan Syailendra
Sriwijaya yang sanggup menahan gelombang massa
karena memiliki moral yang dipusatkan pada rasa kebaktian
dengan wujud kesetiaan kepada negara kesatuan. Tidak
berbakti kepada negara adalah suatu kesalahan yang besar.
Walaupun kerajaan ini runtuh, budaya setia masih berakar
pada masyarakatnya. Negara kedua Majapahit mempunyai
moral menumpukkan kepercayaan penuh kepada tenaga
rakyat.
 Tenaga Rakyat. Negara kedua Majapahit menjadi kuat
di Asia Tenggara, terutama setelah potensi tenaga rakyat
yang besar dimanfaatkan seefektif mungkin oleh Mahapatih
Gajah Mada. Zaman sekarang memang sudah berubah,
tetapi kekuatan rakyat tetap merupakan potensi dan saat ini
seluruh rakyat Indonesia mempunyai tekad untuk merdeka
dan moral rakyat yang ingin dan mau merdeka ini merupakan
dasar budi pekerti mereka.
 Kemerdekaan. Setia negara, tenaga rakyat, dan ingin
merdeka adalah moral negara ketiga. Moral ini akan
masuk dalam urat nadi negara baru. Moral negara ini
sangat tingggi nilainya karena budi pekerti tertanam dalam
negara berketuhanan Yang Maha Esa, yang beradab dan
berkebangsaan.
5) Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)
Negara jangan dirasakan sebagai ikatan hidup yang
menyempitkan hidup rakyat atau dipandang sebagai autokrasi atau
oligarki. Kegembiraan akan muncul apabila negara yang dibentuk
atas peradaban kita memberikan jaminan dalam Undang-undang
dasar akan adanya perubahan besar yang menyangkut bagian atas,

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


3
bagian tengah, dan bagian bawah serta seluruh kehidupan ekonomi
sehari-hari. Untuk itu, hendaklah negara baru ini berhubungan
langsung dengan keinginan rakyat.
 Daerah Negara. Hendaklah negara yang dibentuk ini meliputi
daerah yang diinginkan oleh rakyat Indonesia. Tentulah juga
tanah negara berwarna Indonesia. Kita tidak mau ada satu
enklave di dalam wilayah negara.
 Penduduk dan Putra Negara. Pada saat pelantikan
negara nanti sudah ditentukan siapa yang menjadi putra
negara, hendaklah sudah ada ketentuan tentang golongan
peranakan Arab dan Tionghoa sebelum pelantikan negara.
 Bentuk Negara Indonesia. Pada saat pelantikan negara
baru, bertambahlah di atas dunia anggota keluarga yang
sudah berumur tua dan berperadaban luhur dengan wilayah
yang mahaluas dan kaya, makmur, dan sudah permai serta
rakyatnya yang beragama. Kesejahteraan rakyat menjadi
dasar dan tujuan negara yang ringkasnya adalah keadilan
masyarakat atau keadilan sosial. Dalam Perang Dunia II ini
berkat bantuan tentara Dai Nippon dan berkat kesungguhan
perjuangan rakyat Indonesia, kita ditakdirkan naik dari
kedudukan negara jajahan menjadi negara rakyat merdeka.
Bentuk negara Indonesia yang merdeka berdaulat ini adalah
suatu Republik Indonesia yang tersusun dalam paham
unitarisme.
c. Substansi Pidato Ki Bagoes Hadi Koesoemo pada Tanggal
31 Mei 1945
Bila masyarakat atau negara sudah kocar kacir sudah sudah
bobrok dan sudah tidak ada batas lagi antara baik buruk, halal
haram, usaha-usaha yang baik diabaikan, dan laku kemaksiatan
dianggap kesenangan yang biasa dan umum, niscaya Allah akan
membangkitkan para nabi untuk memimpin dan membangun
masyarakat menuju keadilan, ketenteraman keamanan dan kese-
jahteraan. Hidup manusia adalah masyarakat, manusia tidak
dapat hidup tanpa orang lain harus saling tolong menolong. Kita

14 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


kaum tahu bagaimana Nabi membentuk negara akan masyarakat
akan masyarakat baru. Kita kaum tahu apa yang membuat kesal
dan kekacauan di masyarakat yaitu perlakuan jahat. Setengah
kekuatan jahat yang paling berbahaya adalah tamak dan serakah
(menang sendiri, enak sendiri, kaya sendiri, dapat nama sendiri)
agar tidak ada yang menang sendiri, dapat nama sendiri, kita perlu
musyawarah. Dalam usaha memperbaiki masyarakat Nabi dan Rasul
menitikberatkan pada perbaikan budi pekerti. Bila semua berbudi
pekerti baik tidak perlu ada aturan yang menyikapi karena ada hawa
nafsu maka diperlukan peraturan dan pemerintah agar masyarakat
tertib, aman sentosa, sejahtera. Pedoman apa saja yang diajukan
para nabi? Ada empat peran pokok yaitu :
1) Ajaran Iman atau kepercayaan pada Allah dan perkara
gaib. Dari Iman timbul watak dan Budi pekerti baik yang akan
mematahkan nafsu jahat.
2) Ajaran beribadah, berhikmat dan berbakti pada Allah.
Ajaran ibadah ini baru terasa manfaatnya bila seseorang telah
melakukanya sendiri, karena merupakan hubungan antara jiwa
manusia dengan Tuhan YME, sebagai sesuatu yang tidak cukup
diterangkan saja. Adapun faedah ibadah ialah untuk menyiram
iman dalam kalbu, agar kuat berdiri tegak dan hidup bersemangat
berkobar dalam jiwa.
3) Ajaran beramal saleh (berbuat kebaikan). Kata-kata
“berbuat kebaikan” luas sekali makna-nya tetapi telah jelas dan
terang artinya. Tiap orang yang mendengar kata-kata itu tentu
telah maklum akan maksudnya. Beramal saleh ialah berbuat
baik, kepada orang tua, anak, tetangga, dan tetamu, kepada
handai taulan dan orang (golongan) lain dan kepada masyarakat
seluruhnya.
4) Ajaran berjihad di dalam jalan Allah. Maksudnya dengan suka
rela berjuang mati-matian dengan mengorbankan harta benda,
jiwa dan raga, tanpa pamrih untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan.
Keempat perkara ini merupakan ringkasan ajaran islah yang
telah diajarkan para nabi untuk memperbaiki, menyusun masyarakat
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1
5
serta negara. Hubungan mukmin dengan mukmin lainya seperti batu
dalam tembok saling mengokohkannya, seperti keadaan untuk kita
satu anggota tubuh sakit badan merasakan (sabda Nabi Muhammad
SAW). Tiga ratus lima puluh tahun penjajahan membuat bangsa
terpecah belah agama seharusnya menjadi tali pengikat yang kuat
tapi bahkan mejadi pangkal cekcok dan perpecahan padahal agama
adalah petunjuk Tuhan menuju kebahagiaan dan kesejahteraan
pertama di dunia dan akhirat. Bukan cuma perkara agama yang dapat
menimbulkan perselisihan perkara apakah bentuk negara republik
atau monarki, serikat atau kesatuan dapat menimbulkan perselisihan.
Permusyawaratan harus didasarkan kesucian dan kejujuran
tidak boleh berdasarkan perorangan, golongan, menang sendiri
karena akan menimbulkan perpecahan sampai saat ini bekas bekas
politik penjajahan masih ada.
Jika saudara menghendaki negara Indonesia dengan rakyat kuat
dirikanlah negara ini atas petujuk Alquran dan hadist seperti yang
sudah diterangkan tadi. Bila menginginkan ekonomi kuat dirikanlah
negara ini di atas perintah Allah... (Surat Nabil 14). Bila menginginkan
negara kuat dalam pertahanan dan keamanan bangunlah negara
atas firman Allah... (Surat Infal 62, Surat Saf 2-4 dan 10-13). Bila
menginginkan berdirinya pemerintahan yang adil bijaksana bersendi
permusyawaratan tidak memaksa tentang agama dirikan negara ini
atas Islam... (Surat Mak 90, Surat 5., Surat Al Imronisa, Surat Syuro
38, Surat Baqarah 256) bagi yang tidak setuju negara berdasarkan
agama dengan alasan alasan lain agar agama tetap suci jangan
dicampur urusan negara. Dalam Alquran 6000 ayat dan hanya
100 ayat yang mengatur ibadat dan akhirat sisanya mengenai tata
negara dan wawasan keduniaan, sudah 1400 tahun hukum Islam
diberlakukan di banyak negara Islam.
Ada juga yang beranggapan bukan agama Islam sudah salat
dan hukumnya wajib tidak cocok dengan negara modern. Pemerintah
Hindia Belanda telah mengganti hukum Islam tentang waris pada
1922 dan dijalankan pada 1934, juga ada upaya mengganti hukum
Islam dalam pernikahan. Sudah banyak hukum Islam telah menjadi
adat istiadat yang dapat dilihat dalam budaya perdesaan. Sebagian

16 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


besar pahlawan yang berani melakukan implementasi berdasarkan
perjuangannya pada Islam. Mudah mudahan negara Indonesia baru
nanti berdasarkan Islam dan menjadi negara yang tegak, teguh, kuat,
dan kokoh.
d. Substansi Pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo pada Tanggal 31 Mei
1945
Syarat mutlak adanya suatu negara harus ada daerah, rakyat,
dan pemerintah yang berdaulat menurut hukum internasional, juga
syarat mutlak tentang pembelaan tanah air. Tentang syarat mutlak
pertama yaitu daerah, saya setuju daerah bekas wilayah jajahan
Hindia Belanda, tetapi jika wilayah lain ingin bergabung, seperti contoh
Negari Malaka dan Borneo Utara kita tidak berkeberatan, dengan
catatan bukan kita yang menentukan tapi saudara saudara kita yang
ada di Malaka dan Borneo Utara. Tentang syarat mutlak kedua yaitu
rakyat sebagai warga negara, tentunya penduduk asli Indonesia
langsung menjadi warga negara, sedangkan warga peranakan yang
berkeinginan menjadi warga negara harus diterima menjadi warga
negara. Yang perlu dijaga adalah tidak terjadi kewarganegaraan
rangkap atau kehilangan kewarganegaraan.
Syarat mutlak ketiga, yaitu pemerintah daulat menurut hukum
internasional. Jikalau hendak membicarakan tentang sistem
pemerintahan yang akan kita pakai untuk Negara Indonesia, maka
dasar sistem pemerintahan itu bergantung kepada Staatside, kepada
“begrip” “staat” (Negara) yang kita pakai membangun Negara
Indonesia. Menurut dasar apa negara yang akan kita dirikan ? Menurut
Moh. Hatta dan pembicara yang lain, ada 3 soal yang dikemukakan
yaitu:
1) Negara berdiri sebagai persatuan negara (eenheids-staat)
atau negara serikat (Brodstaat) atau sebagai perubahan negara
(statenbond)
2) Bagaimana hubungan antara negara dan agama
3) Apakah Negara berbentuk Republik atau Monarki

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


7
Untuk itu perlu kita ketahui dulu tentang beberapa teori, dan
aliran pikiran tentang negara serta tinjauan tentang teori-teori
bernegara, yaitu:
1) Negara itu terdiri atas dasar teori perseorangan/
individualistis, sebagai diajarkan oleh Thomas Hobbes dan John
Locke (abad ke-17), J.J. Rousseau (abad-18), Herbert Spencer
(abad ke-19) dan H.J. Laski (abad ke-20). Menurut aliran ini
Negara ialah masyarakat hukum (legal society) yang disusun
atas kontrak antara seluruh seseorang dalam masyarakat
(contract social). Dasar individualisme ada di negeri Eropa Barat
dan Amerika.
2) Teori ”golongan” dari Negara (class theory) sebagai
diajarkan Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat
dari sesuatu golongan untuk menindas golongan yang lainnya.
Negara kapitalis adalah alat kaum borjuis untuk menindas kaum
buruh. Oleh sebab itu, perlu ada revolusi kaum buruh merebut
kekuasaan agar kaum buruh ganti menindas kaum borjuis.
3) Teori “integralistik” yang diajarkan Spinoza, Adam Muller,
Hegel, dll (abad ke-18 dan ke-19). Negara tidak menjamin
kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin
kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai Persatuan.
Negara tidak memihak pada golongan yang besar atau kuat,
juga tidak mementingkan kepentingan individu, tetapi menjamin
keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dasar dan bentuk susunan dari sesuatu Negara itu berhubungan
erat dengan riwayat hukum (Rechtgeschichte) dan lembaga
sosial (social structure) dari negara itu. Tiap-tiap negara memiliki
keistimewaan sendiri-sendiri yang berhubungan dengan riwayat dan
corak masyarakatnya. Oleh karena itu, politik pembangunan negara
Indonesia harus disesuaikan dengan “sociale structuur” masyarakat
Indonesia yang nyata pada masa sekarang, serta harus disesuaikan
dengan panggilan zaman.

18 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Kita tidak dapat meniru negara lain dan contoh dari luar hanya
sebagai peringatan saja. Tiap-tiap negara mempunyai corak sendiri
dan mempunyai kultur sosial sendiri sehingga yang baik bagi
suatu negara belum tentu baik bagi negara lain. Struktur negara
Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial Indonesia
sendiri. Sistem Eropa Barat dengan individualisme dan liberalisme
telah memisahkan individu dari masyarakat sosialnya dan saat ini
telah terjadi krisis rohani di sana. Sifat ini harus kita jauhkan dari
pembangunan negara Indonesia. Dasar susunan negara Uni Soviet
yang diktator proletariat mungkin cocok dengan kondisi sosial
negeri Uni Soviet, tetapi dasar pengertian negara itu bertentangan
dengan sifat asli masyarakat Indonesia.
Negara Jerman dengan nasional sosialisnya sekarang
menyerah dalam peperangan ini. Prinsip totaliter berkaitan dengan
persamaan darah serta daerah dalam hubungan antara pemimpin
dan rakyatnya. Prinsip nasional sosialis merupakan prinsip persatuan
antara pemimpin dan rakyat dan hal ini sesuai dengan adat ketimuran.
Negara Dai Nippon berdasarkan atas persatuan kekal antara kaisar,
negara, dan rakyat. Tennoo adalah pusat rohani seluruh rakyat dan
negara yang bersandar atas kekeluargaan. Dasar persatuan dan
kekeluargaan ini sangat cocok untuk Indonesia. Semangat kebatinan
dan struktur kerohanian bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita
persatuan hidup, persatuan kawula dan gusti, persatuan mikrokosmos
dan makrokosmos, persatuan antara rakyat dan pemimpinnya. Sifat
tata negara asli Indonesia masih dapat dilihat sampai saat ini berupa
desa, baik di Jawa maupun di luar Jawa yang pemimpinnya bersatu
dengan rakyatnya. Kepala rakyat yang memegang adat senantiasa
bermusyawarah dengan rakyatnya. Dalam suasana persatuan
antara rakyat dan pemimpinnya, semua golongan diliputi suasana
gotong royong semangat kekeluargaan. Negara Indonesia nanti
harus sesuai dengan sifat dan corak masyarakatnya maka negara
harus mengikuti aliran integralistik, yaitu negara yang bersatu dengan
rakyatnya dan mengatasi seluruh golongan dalam lapangan apa pun.
Teori negara integralistik tidak mengesampingkan adanya golongan
dan individu.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


9
Negara mengakui dan menghormati adanya golongan dalam
masyarakat nyata, tetapi semua individu dan golongan akan insaf pada
kedudukannya sebagai bagian dari organik dan negara seluruhnya.
Dalam negara persatuan ini hendaklah dipisahkan antara agama
dan negara. Kita tidak akan mendirikan negara Islam. Pengertian
negara Islam berbeda dengan pengertian “Negara berdasar cita-cita
hukum agama Islam.” Pada negara Islam, negara dan agama adalah
satu. Turki sebelumnya adalah negara Islam, tetapi sejak 1924
Turki tidak lagi negara Islam walaupun rakyatnya hampir seluruhnya
beragama Islam. Mesir, Irak, Iran, dan Saudi Arabia, masih negara
Islam. Kita tidak akan meniru negara lain dalam menyusun negara
Indonesia, tetapi harus melihat pada keistimewaan masyarakat
Indonesia yang nyata. Indonesia mempunyai sifat berbeda dengan
Mesir, Irak, Iran, dan Saudi Arabia. Kita berada di Asia dalam
lingkungan yang bukan Islam krpus. Di Mesir, Irak, dan Iran pun
masih ada aliran pikiran yang mempersoalkan penyesuaian hukum
syariah dengan kebutuhan internasional dan kebutuhan modern
aliran zaman sekarang. Jika kita akan mendirikan negara Islam,
pemikiran tersebut akan timbul di negara kita sehingga kita tidak
mendirikan negara persatuan karena mendirikan negara Islam berarti
negara mempersatukan diri dengan golongan terbesar yang akan
menimbulkan minderhedan golongan agama kecil. Hendaknya kita
mendirikan negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter. Negara
bersatu ini bukan negara yang tidak beragama.
Negara bersatu ini tetap memelihara budi pekerti luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur yang semuanya
itu memakai dasar moral yang dianjurkan oleh agama Islam. Kita
tidak mendirikan negara federasi, tetapi negara persatuan. Mengenai
sentralisasi dan desentralisasi, hal itu bergantung pada masa,
tempat, dan soal bersangkutan. Apakah monarki atau republik, itu
hanya masalah bentuk. Yang penting adalah bagaimana kepala
negara menyatu dengan rakyatnya. Cara mengangkat pemimpin
jangan meniru cara Barat karena alirannya individualisme sehingga
amat berbeda dengan corak Indonesia. Untuk menjamin kepala
negara terus menyatu dengan rakyat harus dibentuk badan per-

20 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


musyawaratan. Kepala negara harus terus bergaul dengan badan
ini supaya mengetahui terus apa keinginan rakyat. Menyatunya
pemimpin dengan rakyatnya harus diteruskan sampai pada tingkat
kepala daerah, bahkan sampai pada tingkat kepala desa atau kepala
adat.
Dalam negara integralistik, hubungan negara dengan ekonomi
menggunakan sistem sosialisme negara yang mengatur bahwa
perusahaan penting akan diurus negara. Namun, negara akan
menentukan di mana, pada masa apa, perusahaan apa yang dapat
dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau oleh
swasta demi kepentingan negara dan rakyat. Mengenai masalah
tanah, negara menguasai seluruh dan tambang-tambang penting
dikuasai negara. Namun, tanah pertanian tetap dipegang oleh petani
mengingat sebagian besar rakyat Indonesia adalah petani. Dalam
lapangan ekonomi negara akan bersifat kekeluargaan. Oleh sebab
itu, sistem koperasi harus menjadi dasar ekonomi Indonesia.
e. Substansi Pidato Ir. Soekarno pada Tanggal 1 Juni 1945
Selama tiga hari berturut-turut sudah banyak yang berpidato,
tetapi yang diutarakan bukan yang diperlukan BPUPKI, yaitu dasar
negara (philosophische grondslag). Apa arti merdeka? Merdeka
merupakan suatu kemandirian politik (political independence).
Jangan terlalu “jelimet” mengartikan merdeka, jangan harus ada
ini dan itu. Saudi Arabia merdeka ketika lebih dari 80 persen rakyatnya
buta huruf. Kemerdekaan itu bagai jembatan dan di seberang
jembatan. Itulah prinsipnya, kita sempurnakan masyarakatnya.
Jangan gentar dan jangan jelimet memikirkan harus ada ini dan
itu baru merdeka, tapi kita harus merdeka sekarang, sekarang,
dan sekarang. Uni Soviet, Saudi Arabia, Amerika Serikat, ternyata
sanggup mempertahankan kemerdekaannya. Apabila kemerdekaan
dibandingkan dengan perkawinan, ada yang berani lekas kawin, ada
yang takut, ada yang harus tunggu punya rumah, dan sebagainya
baru kawin. Saudara kita si Marhaen berani kawin walaupun cuma
punya satu tikar dan gubug. Kita sekarang mau merdeka atau tidak.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 2


1
Di dalam Indonesia merdeka barulah kita me-merdekakan
rakyat kita satu per satu. Di dalam Indonesia merdeka kita sehatkan
dan sejahterakan rakyat kita. Kalau kita sudah bicara tentang
merdeka, kita bicarakan mengenai dasar, philosophische grondslag,
weltanschaung.
Hitler mendirikan Jerman di atas national sozialistische
weltanschaung. Lenin mendirikan negara Soviet dengan Marxistische,
Nippon mendirikan Dai Nippon di atas Tennoo Koodoo Seishin. Ibnu
Saud mendirikan negara Saudi Arabia di atas dasar agama Islam.
Weltanschaung harus kita bulatkan dulu sebelum Indonesia merdeka
dan para idealis di dunia bekerja mati-matian untuk menyusun dan
merealisasikan weltanschaung mereka. Lenin mendirikan Uni Soviet
dalam 10 hari di tahun 1917, tetapi weltanschaung-nya sudah
dipersiapkan sejak 1895. Adolf Hitler berkuasa pada tahun 1935, tetapi
weltanschaung-nya sudah dipersiapkan sejak 1922. Dr. Sun Yat Sen
mendirikan negara Tiongkok pada tahun 1912 tapi weltanschaung-
nya sudah dipersiapkan sejak 1885, yaitu San Min Chu I.
 Kebangsaan
Kita tidak mendirikan negara buat satu orang, satu golongan,
tetapi buat semua sehingga dasar pertama untuk negara Indonesia
adalah dasar kebangsaan. Kita mendirikan suatu negara
kebangsaan Indonesia. Dasar kebangsaan bukan kebangsaan
dalam arti sempit. Arti bangsa menurut Ernest Renan, “Le desir
d’etre ensemble”, ‘kehendak akan bersatu.’ Otto Bauer juga
menyatakan “bangsa adalah persatuan perangai karena
persatuan nasib”. Kedua definisi ini memang sudah ketinggalan
begitu muncul ilmu baru geopolitik di mana persatuan manusia
dengan tempat menjadi objeknya. Kita bukan cuma membicarakan
bangsa, melainkan juga tanah airnya.
Rakyat Minangkabau yang ada dimana-mana merasakan
desir d’etre ensemble walaupun Minangkabau hanya bagian kecil
dari nusantara, demikian juga masyarakat Yogyakarta, Sunda,
dan Bugis. Nationale staat meliputi seluruh bangsa Indonesia dan
seluruh wilayah Indonesia yang merupakan satu kesatuan. Dalam

22 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


sejarah kita cuma dua kali mengalami nationale staat, yaitu di
masa Sriwijaya dan Majapahit.
Di masa Mataram memang merdeka, tetapi tidak nationale
staat. Orang Tionghoa klasik tidak mau kebangsaan karena
mereka memeluk paham Kosmopolit-isme, tetapi untung ada Dr.
Sun Yat Sen yang mengubah paham tersebut.
 Internasionalisme
Dasar kebangsaan ada bahayanya, yaitu dapat menimbulkan
chauvinisme yang bisa mengarah pada Indonesia uber alles. Kita
cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu, dan punya
bahasa yang satu, tetapi Indonesia hanya satu bagian kecil dunia.
Kita akan mendirikan negara Indonesia merdeka sekaligus menuju
pada kekeluargaan bangsa-bangsa, internasionalisme tidak berarti
kosmopolitisme yang meniadakan bangsa. Internasionalisme tidak
dapat hidup subur bila tidak berakar di buminya nasionalisme,
sedangkan nasionalisme tidak dapat hidup di taman sarinya
internasionalisme. Prinsip pertama dan kedua saling bergandengan
erat.
 Mufakat, Perwakilan, dan Permusyawaratan
Kita tidak mendirikan negara untuk satu orang, satu golongan,
tetapi semua untuk semua, satu buat semua, semua buat satu,
dan agar negara menjadi kuat perlu permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam inilah tempat terbaik untuk memelihara agama.
Dengan cara mufakat kita perbaiki semua hal yang bersangkut
paut dengan agama. Golongan agama dapat memanfaatkan dasar
ini untuk memperjuangkan kepentingannya.
 Kesejahteraan Sosial
Selama tiga hari belum terdengar prinsip kesejahteraan,
prinsip tidak ada kemiskinan di Indonesia. Apakah kita mau
merdeka dengan kaum kapitalis merajalela ataukah rakyatnya
yang sejahtera? Di Eropa dan Amerika ada badan perwakilan,
tetapi nyatanya kapitalis merajalela di sana. Demokrasi yang kita
perlukan bukanlah demokrasi Barat, melainkan demokrasi yang

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 2


3
memberi penghidupan, yaitu demokrasi politik ekonomi yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Kita mengenal cerita Ratu Adil di mana rakyat miskin berjuang
dan menciptakan dunia baru yang lebih sejahtera yang dipimpin
oleh Ratu Adil. Kita tidak saja memiliki persamaan politik, tetapi
juga persamaan ekonomi, yaitu kesejahteraan bersama. Badan
permusyawaratan kita bukan saja badan permusyawaratan politik
demokrasi, melainkan juga mewujudkan dua prinsip, yaitu politiche
rechtvaadigheid dan sociale recht vaardigheid. Dalam badan
permusyawaratan kita bicarakan segala hal, termasuk urusan
kepala negara. Diharapkan semua kepala negara harus dipilih dan
negara bukan monarki.
 Ketuhanan
Kita sudah punya empat prinsip, yaitu kebangsaan
Indonesia internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat
atau demokrasi dan kesejahteraan sosial. Prinsip yang kelima
adalah ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
setiap orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya
sendiri. Hendaknya rakyat bertuhan secara kebudayaan dengan
tiada egoisme agama. Marilah kita jalankan agama secara
berkeadaban, saling menghormati.
Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur. Kelima dasar ini tidak
dinamakan Pancadharma karena dharma berarti kewajiban,
sedangkan kita saat ini membicarakan dasar. Kelima dasar ini
dinamakan Pancasila karena sila berarti asas atau dasar. Jika ada
yang tidak senang, angka lima dapat diperas. Kebangsaan dan
internasionalisme kebangsaan serta peri kemanusiaan diperas
menjadi socio-nasionalisme. Demokrasi dan kesejahteraan
diperas menjadi satu menjadi socio-democratie dan tinggal
ketuhanan yang saling menghormati. Dari lima tinggal tiga, yaitu
socio-nasionalisme, socio democratie, dan ketuhanan. Ketiga
dasar ini dinamakan Trisila.
Jika tidak senang dengan angka tiga dan minta satu
dasar, negara Indonesia adalah semua buat semua, ada kata

24 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Indonesia tulen, yaitu gotong-royong. Negara Indonesia yang
kita dirikan harus berdasarkan gotong royong dan dasar yang
satu ini dinamakan Ekasila. Tidak ada satu pun weltanschaung
yang menjelma menjadi realitas tanpa perjuangan. Jika ingin
merealisasikan Pancasila, perlu perjuangan. Dengan berdirinya
negara Indonesia tidak berarti perjuangan selesai. Justru, kita baru
memulai perjuangan, tetapi sifat dan coraknya lain.
Sesudah sidang resmi pertama, ada beberapa sidang tidak
resmi selama masa reses, antara lain, sidang Panitia 9 yang
membahas Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar.
Sidang ini ditangani oleh Moh. Hatta, Muh. Yamin, Subardjo,
Maramis, Ir. Soekarno, K.H Abdul Kahar Muzakir, Wachid Hasyim,
Abikusno Tjokro Soejoso, dan Haji Agus Salim. Mereka berhasil
menyusun konsep Pembukaan UUD Indonesia merdeka yang
mereka namakan Piagam Djakarta dan ditandatangani pada
tanggal 22 Juni 1945. Konsep ini dilaporkan oleh Ir. Soekarno
dalam sidang resmi kedua BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.
Di dalam konsep ini dasar negara berbunyi, “Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Setelah menyampaikan pembukaan ini, Ir. Soekarno
menambahkan, antara lain, “masuk di dalamnya ke tuhanan dan
terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat
Islam, masuk di dalamnya kebulatan nasionalisme Indonesia,
persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya, keadilan sosial,
sociale recht vaardigheid masuk di dalamnya. Maka oleh karena
itu, panitia kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah
preambul yang dapat menghubungkan dan mempersatukan
semua aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai ....”

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 2


5
Dalam tanya jawab selanjutnya, ada pertanyaan yang isinya
berkeberatan tentang dimasukkannya hal yang mewajibkan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dengan alasan bahwa hal
ini dapat memunculkan per masalahan antara hukum adat dan
hukum agama, ter utama dalam warisan (adat Minangkabau) dan
dalam masalah tanah (adat Maluku). Pertanyaan itu diajukan oleh
Latuharhary.
Jawaban Ir. Soekarno adalah, “Barangkali tidak perlu diulangi
bahwa preambul adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan
perselisihan paham antara golongan yang dinamakan golongan
kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat ini tidak
dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak dapat menerima
preambul ini.” Haji Agus Salim juga menambahkan keterangan
yang ada sangkut pautnya adat Minangkabau dengan syariat
Islam.
Dalam sidang resmi kedua BPUPKI tanggal 14 Juli 1945,
Ketua Panitia UUD, Ir. Soekarno, melaporkan konsep Pernyataan
Indonesia Merdeka. Pernyataan kemerdekaan ini mirip Declaration
of Independence Amerika Serikat. Pernyataannya dimulai dengan
bait pertama preambul Undang-undang Dasar (Djakarta Charter)
yang dilanjutkan dengan alasan-alasan Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, lalu masuk bait kedua preambul. Selanjutnya,
dalam bait ketiga terdapat pernyataan “... MENYATAKAN
KEMERDEKAANNYA ...” yang tercetak dengan huruf kapital dan
tebal. Dalam bait keempat preambul, dasar negara masih seperti
dalam Piagam Djakarta. Dasar negara tidak ada perubahan sampai
BPUPKI selesai bersidang.
Dalam sidang pertama Panitia Persiapan Kemer dekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 di gedung Tyunoo
Sangi Lu (sekarang Kementerian Luar Negeri), sidang diketuai
dan dibuka oleh Ir. Soekarno yang selanjutnya mempersilakan
Drs. Moh. Hatta sebagai wakilnya untuk menyampaikan pidato
yang isinya, an tara lain, menghilangkan pernyataan Indonesia
merdeka dan pembukaan yang lama serta menggantinya dengan
pembukaan yang dirancang oleh panitia kecil. Selanjutnya,

26 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


pembukaan tersebut dibacakan dengan Bab IV Dasar Negara yang
sudah berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Ki
Bagus Hadikusumo menyarankan agar pernyataan menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab dihilangkan saja.
Pada akhir sidang dimufakati bahwa pembukaan Undang-
undang dasar yang dibacakan terdapat pada Bab IV Dasar Negara
yang isinya seperti yang ada saat ini, yaitu, “Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dengan
ini Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Indonesia dianggap
sah.
Antara kedua pidato usul dasar negara tersebut, baik dari
Mr.Muh. Yamin maupun dari Ir. Soekarno terdapat banyak substansi
yang hampir sama. Keduanya sama-sama mengajukan lima dasar
dan sama-sama dimulai dengan kata kebangsaan. Pada dasar
kedua Muh. Yamin mengajukan peri kemanusiaan, sedangkan Ir.
Soekarno mengajukan internasionalisme/peri kemanusiaan.
Peri ketuhanan diusulkan sebagai dasar ketiga oleh Mr.
Muh. Yamin sementara Ir. Soekarno mengusulkannya pada dasar
kelima. Dasar keempat yang diajukan Mr. Muh. Yamin adalah peri
kerakyatan, permusyawaratan, perwakilan, dan kesejahteraan.
Sementara itu, Ir. Soekarno memasukkannya pada dasar
ketiga, yaitu mufakat, perwakilan, dan permusyawaratan. Dasar
kesejahteraan rakyat diusulkan menjadi dasar kelima oleh Muh.
Yamin, sedangkan Ir. Soekarno mengusulkan kesejahteraan
sosial menjadi menjadi dasar keempat. Dasar pertama, baik oleh
Mr. Muh. Yamin maupun Ir. Soekarno diuraikan cukup panjang.
Dasar kerakyatan oleh Mr. Muh. Yamin juga diuraikan panjang
dan lebih mendetail, sedangkan oleh Ir. Soekarno dasar mufakat

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 2


7
diuraikan tidak begitu panjang dan mendetail. Mr. Muh. Yamin
tidak memberi nama kelima dasar yang ia usulkan, sedangkan Ir.
Soekarno memberi nama Pancasila. Bahkan, oleh Ir. Soekarno
kelima dasar tersebut masih bisa diperas menjadi tiga dasar
dengan nama Trisila dan masih bisa diperas lagi menjadi
satu dasar dengan nama Ekasila. Prof. Dr. Mr. Soepomo tidak
memerinci dasar per dasar dalam pidatonya, tetapi keseluruhan
pidatonya mengandung substansi paham integralistik yang
kuat sekali. Sayangnya, kumpulan pidato Drs. Moh. Hatta belum
ditemukan sampai saat ini. Namun, ada sedikit masukan bahwa
pidato Drs. Moh. Hatta yang menyangkut masalah hak individu
kurang terlihat dalam pidato Mr. Muh. Yamin ataupun Ir. Soekarno
dan tidak mungkin dimunculkan oleh Prof Dr. Mr. Soepomo
yang beraliran integralistik. Baik Mr. Muh. Yamin maupun Ir.
Soekarno menekankan negara kebangsaan adalah negara
semua untuk semua. Paham tersebut tidak integralistik dan
tidak individualistis. Sementara itu, paham integralistik sangat
menitikberatkan pada persatuan antara pimpinan dan rakyatnya
serta persatuan dalam negara seluruhnya (totaliter).
Ketika Ir. Soekarno menyampaikan Pancasila bisa diperas
menjadi Trisila dan Ekasila, pada dasar gotong royong Ir.
Soekarno sudah mendekati kesamaan substansi dengan pidato
Prof. Dr. Mr. Soepomo. Kebetulan Prof. Dr. Soepomo merupakan
ketua tim kecil perancang Undang-undang dasar negara Indonesia
sehingga dalam batang tubuh UUD negara substansi Integralistik
terasa sekali.
Pengaruh aliran Islam cukup kuat dalam penyusunan dasar
negara dan Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Dan dari para
pembicara, ada satu yang mewakili aliran Islam menjadi pembicara
yaitu Ki Bagoes Hadi Koesoemo. Namun, dalam interupsi pada
pidato serta dalam tanya jawab pada sidang resmi kedua dan
sidang-sidang tidak resmi, terlihat sekali betapa kuatnya mereka
ingin memasukan kewajiban syariat Islam dalam dasar negara
maupun dalam batang tubuh Undang-undang Dasar Negara.

28 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Dari Tim 9 yang dibentuk untuk menyusun Preambule
Undang-undang Dasar terjadi diskusi tawar-menawar cukup alot
antara aliran Islam dan nasional dan akhirnya muncul Preambule
Undang-undang Dasar dengan dasar negara yang mencantumkan
“kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”
yang kita kenal dengan Piagam Jakarta.
Paham komunis tidak masuk dalam penyusunan dasar
negara dan Undang-undang Dasar negara karena organisasi ini
dibubarkan pemerintah Jepang. Jepang menganut paham fasisme
yang amat bertentangan dengan komunisme. Suasana kebatinan
ingin cepat merdeka dan ingin memanfaatkan momentum yang
ada (vacuum of power) ikut memengaruhi para pendiri bangsa
(founding fathers) dalam menyusun dasar negara.
Hal ini disadari karena sebentar lagi Jepang akan kalah
dan sebentar lagi Sekutu akan mendarat di pusat kekuasaan
di Indonesia yang ikut diboncengi pemerintahan Belanda atau
Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA). Sementara itu, para
petinggi Jepang di Jakarta ikut dalam sidang BPUPKI sehingga
pengaruh kehadiran mereka cukup besar dalam penyusunan dasar
negara dan Undang-undang Dasar Negara. Salah satunya adalah
pembuatan dokumen Pernyataan Kemerdekaan Indonesia
yang ingin mencontoh dokumen Declaration of Independence-
nya Amerika Serikat. Didalam dokumen ini tertulis peran besar
angkatan perang Jepang dalam membebaskan Indonesia dari
penjajahan negara Barat (Belanda) dan akhirnya memerdekakan
Indonesia pada akhir Perang Dunia II. Pada tanggal 18 Agustus
saat sidang pertama PPKI ketika Jepang sudah menyerah dan
Indonesia sudah merdeka, pada awal sidang langsung dinyatakan
bahwa Pernyataan Kemerdekaan dan Pembukaan Undang-
undang Dasar lama dihilangkan dan diganti dengan pembukaan
yang baru.
Dalam dokumen itu pernyataan “kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya” sudah tidak ada lagi. Luapan
kegembiraan merdeka serta suasana kekeluargaan yang kuat
dan kewaspadaan yang tinggi untuk menghadapi ancaman sekutu

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 2


9
sementara tentara Jepang masih menunjukkan keberadaannya
telah menye limuti para pendiri bangsa (founding fathers) untuk
terus bermufakat mengatasi perbedaan pendapat. Munculnya
kerelaan untuk lebih mendahulukan kepentingan bangsa
daripada kepentingan kelompok atau aliran telah menghasilkan
kesepakatan mengesahkan dasar negara pada tanggal 18
Agustus 1945. Tidak semua masalah prinsip telah diselesaikan
dengan mufakat karena masalah bentuk negara (monarki atau
republik) diputuskan melalui voting.
6. Pancasila Sebagai Falsafah Hidup dan Pandangan Hidup
Bangsa
a. Pengalaman Masa Penjajahan
Pengalaman atas penjajahan selama tiga setengah abad
menumbuhkan hasrat yang kuat untuk hidup bebas sebagai
dambaan bangsa. Pengalaman atas penderitaan dan kemiskinan
selama itu melahirkan kesadaran akan prinsip kemanusiaan dan
keadilan. Pengalaman akan kebodohan dan keterbelakangan
membangkitkan harga diri dan semangat untuk maju. Sementara
itu, pengalaman akan kelemahan dan ketidakberdayaan
menumbuhkan solidaritas dan komitmen terhadap sesama
bangsa sebagai satu kekuatan. Inti berbagai pengalaman dan
semangat itu pada dasarnya merupakan tuntutan pengakuan
bangsa Indonesia sebagai manusia seutuhnya dan perlakuan
terhadapnya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
pribadi.
Ciri hakiki manusia adalah kebebasan, bebas dari
segala bentuk pemaksaan dan penindasan serta bebas untuk
merealisasikan diri sesuai dengan pilihannya. Kebebasan
adalah nilai fundamental yang melekat pada manusia sejauh
itu merupakan hak asasi yang tidak bisa diganggu gugat, yaitu
bebas dalam berpikir, berkeyakinan, dan berekspresi sesuai
dengan bakat dan potensinya dalam seluruh bidang kehidupan
Dalam Orde Baru ada kecenderungan untuk memperkecil
arti kebebasan ini karena dianggap membatasi kekuasaan

30 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


pemerintah. Sebagai nilai etis sudah tentu kebebasan menuntut
pertanggungjawaban atas segala bentuk perbuatan yang
dipilih. Tuntutan akan kebebasan secara intrinsik bersifat anti
kolonialisme, anti perbudakan, anti-absolutisme, dan antidiktator
yang totalitarian.
Agar kebebasan itu berlangsung dengan baik tanpa
mengganggu satu terhadap yang lain karena pada hakikatnya
manusia adalah individu yang sekaligus anggota komunitas,
mereka bergabung sebagai kontrak sosial untuk membentuk
satu bangsa dan mendirikan negara RI. Dengan demikian,
lahirlah negara bangsa dan negara hukum.
Tugas negara adalah melindungi para warganya agar dapat
menjalankan hak, kewajiban, serta pengembangan dirinya
dengan tertib dan aman dengan menciptakan Iklim dan kondisi
yang baik bagi eksistensi dan dinamika hidup mereka. Untuk
itu, pemerintahan negara merupakan kewenangan mengatur
penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara berdasarkan
hukum yang ditentukan. Dengan demikian, kekuasaan
pemerintah tidak dibenarkan melanggar hak-hak asasi yang
melekat pada masing-masing warga negara sehingga justru
harus dipertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada rakyat
sebagai sumber kekuasaan. Hal itu berarti bahwa negara
demokrasi dalam arti kedaulatan ada di tangan rakyat.
Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku yang
mempunyai adat istiadat, bahasa, dan budaya serta keyakinan
dan kepercayaan yang beraneka ragam. Dalam kondisi
kemajemukan itu, masyarakat Indonesia yang mengalami
penjajahan sebagai nasib bersama bertekad untuk mengusir
penjajah dan memper-juangkan kemerdekaannya bersama-
sama. Persatuan tekad tersebut membuat masyarakat Indonesia
menjadi eka dalam kebinekaan yang harus selalu diisi dengan
kebijakan dan usaha konkret demi tercapainya tujuan bersama.
Persatuan tersebut tidak berarti hilangnya eksistensi dan ciri dari
berbagai kebudayaan yang menunjukkan kekhasannya masing-
masing ataupun penyeragaman yang menghilangkan kearifan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 3


1
lokal. Akan tetapi, persatuan tersebut justru merupakan mozaik
dari unsur-unsur yang membentuk kekuatan bersama. Kekuatan
tersebut lebih didorong oleh kesatuan sikap yang menghargai
nilai-nilai fundamental yang disebut dalam Pembukaan UUD
1945 sebagai Pancasila.
Visi Bhineka Tunggal Ika dapat diperjelas melalui
pendekatan multikulturalisme. Masyarakat yang majemuk tidak
dengan sendirinya adalah masyarakat multikultural. Dalam teori
multikulturalisme terkandung prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi
manusia, kesetaraan gender, dan lain-lain yang menjadi acuan
kuat dalam menganalisis masalah serta konstelasi kemajemukan
etnis dan kultural masyarakat dewasa ini. Dengan pendekatan
itu visi Pancasila secara tajam dan tepat dapat memahami
dan sekaligus memecahkan masalah kekerasan, sektarian,
primordial, serta tantangan disintegrasi dan bahaya separatisme
dengan solusi yang lebih komunikatif, dialogis, adil, dan saling
menghargai demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
Dengan semua hal itu Pancasila benar-benar berfungsi
sebagai kesepakatan bersama dari seluruh masyarakat untuk
kejayaan dan kemaslahatan Indonesia baru.
b. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
Jika bicara tentang Pancasila, pada dasarnya kita mengacu
pada prinsip-prinsip yang dinyatakan sebagai dasar negara
Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea 4
Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 merupakan
kristalisasi seluruh sejarah pergerakan nasional bangsa
Indonesia sampai titik klimaksnya, proklamasi kemerdekaan. Di
situ tercermin visi dan kesadaran, cita-cita moral bangsa, makna
proklamasi kemerdekaan, dan negara RI yang dibangun sebagai
institusi yang mampu mengantar bangsa Indonesia mencapai
dan mewujudkan keinginannya secara bersama.
Oleh karena itu, Pembukaan UUD 1945 harus dipahami
sebagai satu keseluruhan yang setiap alineanya mengungkapkan
makna dalam kaitan fungsional dengan alinea lain. Adapun butir-
butir pemaknaannya dapat dirumuskan sebagai berikut.
32 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945
Pertama: Visi dan Kesadaran Bangsa
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaaan dan peri keadilan.” (Alinea 1)
Rumusan tersebut mencerminkan visi dan kesadaran
bahwa bangsa Indonesia mempunyai hak dan kemerdekaan
atas dasar eksistensinya sebagai kelompok manusia. Oleh
karena itu, hak tersebut harus diakui dalam arti bahwa
bangsa Indonesia berhak untuk diperlakukan sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai manusia (human dignity).
Jadi, harkat dan martabat bangsa pada hakikatnya berakar
pada harkat dan martabat manusia.
Kedua: Cita-Cita Moral
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.” (Alinea 3)
Cita-cita moral yang tercermin di dalam rumusan ini
adalah keinginan berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Bebas dalam arti bebas dari penjajahan, penindasan,
kesengsaraan, kemiskinan, ketertinggalan, rasa takut,
dan sebagainya. Di samping itu, bebas juga berarti bebas
untuk memiliki pendapat dan mengungkapkan dalam
arena publik, yaitu bebas untuk memilih keyakinan serta
menghayati keyakinannya secara terbuka, bebas untuk
mengembangkan bakat dan potensinya dengan mencari
ilmu serta mengembangkan kemampuan profesionalnya,
dan sebagainya. Ringkasnya adalah kebebasan untuk
aktualisasi diri.
Ketiga: Legitimasi Perjuangan Kemerdekaan
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
telah sampailah kepada saat yang ber-bahagia dengan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 3


3
selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” (Alinea 2)
Rumusan tersebut menunjukkan pembenaran atas
usaha-usaha bangsa untuk membebaskan diri dari rintangan,
tekanan, serta halangan yang dihadapi. Pembebasan
diri bangsa pertama kali dilakukan terhadap penjajahan
untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Namun, disadari
bahwa kemerdekaan pada dasarnya harus diperjuangkan
dengan berbagai bentuk usaha serta tingkat intensitasnya.
Hal itu berarti bahwa kebebasan pada dasarnya adalah
pembebasan. Jadi, rumusan tersebut di atas merupakan
legitimasi terhadap perjuangan revolusioner yang tidak
berhenti pada pencapaian kemerdekaan, tetapi secara
lebih lanjut mengisi kemerdekaan melalui berbagai tindakan
dalam proses humanisasi.
Oleh karena itu, semangat Pembukaan Undang Undang
Dasar 1945 adalah emansipatoris, yaitu memberikan
aspirasi untuk bergerak melepaskan diri dari segala bentuk
dominasi yang membelenggu diri manusia.
Keempat: Wadah Kelembagaan
“Kemudian daripada itu untuk membentuk … maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-undang Dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: …
“ (Alinea 4)
Rumusan itu menunjukan bahwa pembebasan hanya
mungkin dicapai melalui pembentukan negara bangsa
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia. Prinsip dasar keberadaan negara

34 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


serta pedoman pembebasan bangsa adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara khusus
dinyatakan dengan tegas dalam Penjelasan UUD 1945
bahwa semangat Pembukaan UUD 1945 yang dituangkan
di dalam Undang-undang dasar mewajibkan pemerintah
dan penyelenggara negara lainnya, yaitu presiden, kabinet,
DPR, lembaga peradilan, penegak hukum, seperti hakim,
jaksa, dan polisi, serta pejabat dan birokrat untuk mematuhi
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang
cita-cita rakyat yang luhur. Artinya, etika politik dan etika
profesi masing- masing harus dipatuhi.
Dengan demikian, apa yang secara hakiki perlu
dikemukakan tentang Pancasila dan relevansinya dewasa
ini? Secara ringkas dapat dikemukakan butir-butir berikut.
1) Pancasila pada dasarnya merupakan lima nilai
dasar yang mencerminkan harkat dan martabat
manusia. Mematuhi prinsip ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan
sosial berarti menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia.
2) Cita-cita moral bangsa agar berkehidupan
kebangsaan yang bebas merupakan aspirasi utama
dalam pergerakan nasional serta berlaku sampai
sekarang dan selanjutnya dalam menghadapi tantangan
ke depan.
3) Sesuai dengan fungsi dan semangat emansi-
patorisnya, gerakan pembangunan bertujuan
membebaskan masyarakat dari berbagai rintangan dan
bentuk penindasan. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa
gerakan pembebasan akan menghadapi kekuatan yang

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 3


5
melawannya karena kepentingan-kepentingan yang
melatar belakanginya.
c. Wujud Perjuangan Pembebasan Bangsa
Jika ditinjau dari ukuran emansipasi sepanjang sejarah
bangsa, pada umumnya dapat ditentukan adanya tiga babak,
yaitu periode revolusi, periode pembangunan, dan periode
reformasi. Pada setiap periode terungkap indikasi keberhasilan
serta kegagalan masing-masing.
Pertama: Periode Revolusi (1908-1950)
Proses revolusi terwujud dalam gerakan memerdekakan
bangsa dari penjajahan asing sampai keberhasilannya
mendirikan negara bangsa yang berkedaulatan rakyat dengan
hak self determination-nya, yaitu hak menentukan nasib
melalui keputusannya sendiri.
Pembebasan melalui revolusi diawali dengan tumbuhnya
pergerakan nasional yang tercermin dalam berdirinya
perkumpulan Budi Utomo (1908) untuk membangun kesadaran
serta kultur bangsa, dibentuknya organisasi politik serta
organisasi kepemudaan yang mencapai keberhasilannya
dengan ikrar Sumpah Pemuda (1928), hingga diraihnya
puncak keberhasilan dalam Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Proklamasi ini akhirnya diakui secara resmi
oleh pemerintah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di
Den Haag (1949).
Periode revolusi ini telah berhasil dalam usaha
emansipatorisnya karena mampu mewujudkan cita-cita
moral bangsa menjadi praksis (Horkheimer). Praksis adalah
perpaduan antara kesadaran atau keyakinan yang tegas
terhadap kebebasan yang menjadi hak setiap bangsa dan
manusia sebagai warganya, kehendak dan tekad yang kuat
memperjuangkan hak kebebasannya itu, serta tindakan
emansipatoris sebagai wujud pembebasan dan pembebasan
diri dari berbagai bentuk penindasan. Revolusi terwujud secara
riil dalam tindakan yang beraspirasikan semangat patriotik

36 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


melawan penjajah demi kepentingan bersama serta sikap
rela berkorban baik harta, benda, keluarga, ataupun nyawa.
Demikian pula, revolusi termotivasi oleh perjuangan untuk
kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan
diri pribadi dan kelompok, serta solidaritas nasional yang
saling bahu-membahu melawan penjajah dan yang bebas dari
pertimbangan-pertimbangan berbau suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) ataupun primordialisme.
Kedua: Periode Pembangunan (1950-1998)
Pembangunan diawali dengan pembangunan politik
melalui langkah-langkah membangun kualitas bangsa yang
dikenal dengan pembangunan karakter bangsa atau nation
and character building (Soekarno) sejak awal kemerdekaan
dan dalam zaman Orde Lama (1959-1965). Pembangunan
politik berhasil membangun bangsa dengan mengobarkan
kesadaran nasional dan solidaritas bangsa dalam jiwa seluruh
masyarakat kepulauan nusantara yang serba majemuk dan
beraneka ragam. Pada masa ini terbentuk sikap nasionalisme,
patriotisme, antikolonialisme, antikapitalisme, dan anti
imperialisme. Namun, titik kelemahan pembangunan politik
ini terletak pada lemahnya penanganan masalah-masalah
kesejahteraan dan kemiskinan yang makin krusial.
Sebagai reaksi terhadap kelemahan itu orde baru menitik
beratkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai prioritas
(Soeharto). Sampai tahun 1980-an pembangunan ekonomi
berhasil menjalankan konsolidasi serta memulai roda
perekonomian sehingga mampu menghasilkan kemajuan
ekonomi yang signifikan. Namun, keberhasilan pembangunan
ekonomi membawa serta beban sosial dan korban manusia.
Manusia tidak siap untuk menyambut keberhasilan ekonomi,
sehingga muncul sifat dan sikap keserakahan.
Proses keserakahan dimulai dari atas dengan
menjalankan pemusatan kekuasaan di satu tangan, kooptasi
kekuasaan dan kekuatan ke lingkungan lembaga eksekutif,

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 3


7
represi terhadap kelompok masyarakat yang bersifat kritis,
serta penyalahgunaan Pancasila menjadi alat kekuasaan
dan alat penguasa. Ketidakberhasilan dalam menjalankan
pembebasan terletak pada tidak berhasilnya mewujudkan cira-
cita moral dalam praksis. Kemajuan ekonomi dicapai secara
cukup berarti, tetapi pengaturan hasil kemajuan ekonomi dan
kemakmuran tidak berjalan secara adil dan jujur sehingga
jatuh di tangan kelompok dan elite tertentu. Kritik dan protes
terhadap kenyataan ini ditindak dengan semena-mena melalui
kekerasan dan penindasan oleh penguasa. Pernyataan cita-
cita tidak terbukti dalam kenyataan.
Ketiga: Periode Reformasi (sejak 1998)
Sebagaireaksiterhadapketidakwajarandanpenyeleweng-
an tersebut di atas, terjadilah ketidak-puasan dan kekecewaan
seluruh masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat menuntut
perombakan serta perubahan yang menyeluruh melalui
reformasi total. Namun, tuntutan itu sangat sulit dilaksanakan
karena Orde Baru telah menanamkan “bom waktu” yang bisa
meledak setiap saat.
Periode reformasi semula berhasil menjalankan
demokratisasi sebagai landasan untuk mewujudkan cita-
cita moral menjadi praksis. Kebebasan yang diperjuangkan
kembali ternyata disalah artikan sebagai kewenangan untuk
bertindak “semau gue” sehingga menjadi kebebasan yang tidak
bertang-gung jawab. Bahkan, proses dan usaha pembebasan
praktis tidak mungkin berjalan karena situasi politik justru
dikuasai oleh kekuatan politik yang oportunistik sehingga
menjadi lebih parah dan benar-benar terpuruk. Korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) sulit diberantas. Kekerasan, perkosaan,
dan pembunuhan tetap berjalan, serta tindakan kriminalitas
dan premanisme lain merajalela. Dengan demikian, usaha
untuk mewujudkan cita-cita moral menjadi praksis dewasa ini
tersendat-sendat. Jalan menuju usaha pembebasan hanya

38 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


bisa dibuka, sejauh tumbuh kesadaran kuat serta tekad yang
tegas untuk menghadapi dan memerangi berbagai hambatan
dan rintangan tersebut.
d. Pancasila Falsafah Hidup dan Cita-cita Moral Bangsa
Dalam memorandum DPR GR 9 Juli 1966 yang disahkan oleh
MPRS dengan ketetapannya Nomor XX/MPRS/1966, Pancasila
adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang telah dimurnikan
dan dipadatkan menjadi dasar falsafah negara RI. Pandangan
hidup adalah weltanschaung, yaitu pandangan dunia atau way of
life, yaitu cara menjalani kehidupan. Walaupun istilahnya berbeda,
artinya sama.
Sebagai falsafah hidup atau pandangan hidup, Pancasila
mengandung wawasan tentang hakikat, asal, tujuan, nilai, dan arti
dunia seisinya, khususnya manusia dan kehidupannya, baik secara
perorangan maupun sosial. Falsafah hidup bangsa mencerminkan
konsepsi yang menyeluruh dengan me nempatkan harkat dan
martabat manusia sebagai faktor sentral dalam kedudukannya
yang fungsional terhadap segala sesuatu yang ada. Ini berarti
bahwa wawasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
secara kultural diinginkan agar tertanam dalam hati sanubari,
watak, kepribadian, serta mewarnai kebiasaan, perilaku, dan
kegiatan lembaga-lembaga masyarakat.
Kelima nilai dasar yang tercakup dalam Pancasila merupakan
inti dambaan yang memberikan makna hidup dan sekaligus
menjadi tuntutan serta tujuan hidup, bahkan menjadi ukuran dasar
seluruh peri kehidupan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila
merupakan cita-cita moral bangsa Indonesia yang mengikat
seluruh warga masyarakat, baik sebagai perseorangan maupun
sebagai kesatuan bangsa.
Pancasila sebagai falsafah hidup dan cita-cita moral bangsa
Indonesia merupakan inti semangat bersama dari berbagai
moral yang secara nyata terdapat di Indonesia. Seperti diketahui,
di tanah air kita terdapat berbagai ajaran moral sesuai dengan
adanya berbagai agama dan kepercayaan serta adat-istiadat.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 3


9
Setiap moral itu mempunyai coraknya sendiri, berbeda satu sama
lain, dan hanya berlaku bagi umatnya yang bersangkutan. Namun,
dalam moral-moral itu terdapat unsur-unsur bersama yang bersifat
umum dan mengatasi segala paham golongan. Dengan demikian,
nampaklah bahwa moral Pancasila mengatasi segala golongan
dan bersifat nasional.
Pancasila terdiri atas lima asas moral yang relevan menjadi
dasar negara RI. Dalam kedudukannya sebagai falsafah hidup
dan cita-cita moral, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa :
Sila pertama menuntut setiap warga bangsa mengakui
Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan tujuan akhir, baik
dalam hati dan tutur kata maupun dalam tingkah laku sehari-hari.
Konsekuensinya adalah Pancasila menuntut umat beragama
dan berkepercayaan untuk hidup rukun walaupun berbeda
keyakinannya.
Sila kedua mengajak masyarakat untuk mengakui dan
memperlakukan setiap orang sebagai sesama manusia yang
memiliki martabat mulia serta hak-hak dan kewajiban asasi.
Dengan kata lain, ada sikap untuk menjunjung tinggi martabat dan
hak-hak asasinya atau bertindak adil dan beradab terhadapnya.
Sila ketiga menumbuhkan sikap masyarakat untuk mencintai
tanah air, bangsa, dan negara Indonesia, ikut memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya, dan meng-ambil sikap solider serta
loyal terhadap sesama warga negara.
Sila keempat mengajak masyarakat untuk bersikap peka dan
ikut serta dalam kehidupan politik dan pemerintahan negara,
paling tidak secara tidak langsung, bersama sesama warga atas
dasar persamaan tanggung jawab sesuai dengan kedudukannya
masing-masing.
Sila kelima mengajak masyarakat aktif dalam memberikan
sumbangan yang wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan
masing-masing kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan
umum, yaitu kesejahteraan lahir dan batin selengkap mungkin
bagi seluruh rakyat.

40 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pernyataan Pancasila sebagai falsafah hidup menginginkan
agar moral Pancasila menjadi moral kehidupan negara dalam
arti menuntut penyelenggara dan penyelenggaraan negara
menghargai dan menaati prinsip-prinsip moral atau etika politik.
Sebagai konsekuensinya, negara tunduk kepada moral dan wajib
mengamalkannya. Moral menjadi norma tindakan dan kebijak-
sanaan negara sehingga perlu dituangkan dalam peraturan
perUndang-undangan. Dengan kata lain, moral Pancasila
memberikan inspirasi dan menjadi pembimbing dalam pembuatan
Undang-undang yang mengatur kehidupan negara, menetapkan
lembaga-lembaga negara dan tugas mereka masing-masing, serta
hubungan kerja sama di antara mereka, hak-hak dan kedudukan
warga negara, dan hubungan warga negara dan negara dalam
iklim dan semangat kemanusiaan.
Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti bahwa semua norma
moral harus dijadikan norma yuridis. Norma moral ditetapkan
menjadi norma hukum positif selama norma itu mengatur tindakan-
tindakan lahiriah yang menyangkut masyarakat. Sementara itu,
masalah yang semata-mata batiniah merupakan urusan pribadi
warga negara. Hal ini harus senantiasa diperhatikan dalam
pelaksanaan pembinaan dan pengaturan negara terhadap peri
kehidupan bangsa. Oleh karena itu, tampaklah bahwa materi
perundang-undangan terbatas pada moral bersama rakyat (public
morality) Sehubungan dengan pengamalan Pancasila dalam
konteks moral perseorangan, negara wajib menciptakan suasana
yang mampu memupuk budi pekerti luhur dengan baik. Dalam
penjelasan umum UUD 1945 dengan tepat ditandaskan bahwa
“Undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-
cita moral rakyat yang luhur.”
Akhirnya, dalam kedudukannya sebagai etika politik kenegaraan
dapat secara ringkas ditegaskan bahwa sebagai mana dimaksudkan
dalam sila pertama, negara wajib (1) menjamin kemerdekaan
setiap penduduk tanpa diskriminasi untuk beribadah menurut

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 4


1
agama dan kepercayaannya de ngan menciptakan suasana yang
baik, (2) memajukan tole ransi dan kerukunan agama, serta (3)
menjalankan tugasnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum
sebagai tanggung jawab yang suci. Sila kedua mewajibkan
(1) negara untuk mengakui dan memperlakukan semua warga
sebagai manusia yang dikaruniai martabat mulia dan hak-hak serta
kewajiban kewajiban asasi serta (2) semua bangsa sebagai warga
dunia bersama-sama membangun dunia baru yang lebih baik
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Sila
ketiga mewajibkan negara untuk membela dan mengembangkan
Indonesia sebagai satu negara yang bersatu, memiliki solidaritas
yang tinggi dan hidup rukun, membina dan menjunjung tinggi
kebudayaan dan kepribadian nasional, serta memperjuangkan
kepentingan nasional. Sila keempat mewajibkan negara untuk
mengakui dan menghargai kedaulatan rakyat serta mengusahakan
agar rakyat melaksanakan kedaulatannya secara demokratis
tanpa diskriminasi melalui wakil-wakilnya. Hal itu berarti bahwa
negara wajib mendengarkan suara rakyat dan memperjuangkan
kepentingan seluruh rakyat. Akhirnya, sila kelima mewajibkan
negara untuk (1) mengikutsertakan seluruh rakyat dalam kehidupan
ekonomi, sosial, dan budaya serta (2) membagi beban dan hasil
usaha bersama secara proporsional di antara semua warga
negara dengan memperhatikan secara khusus mereka yang lemah
kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang-
wenangan dari pihak yang kuat terhadap yang lemah.

7. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia


a. Hakikat dan Fungsi Ideologi
Ideologi adalah kompleks pengetahuan dan nilai yang secara
keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang (atau masyarakat)
untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan
sikap dasar untuk mengolah-nya. Berdasarkan pemahaman
yang dihayatinya itu, seseorang menangkap yang dilihatnya
benar dan tidak benar serta apa yang dinilai baik dan tidak baik.
Demikian pula, ia akan menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai

42 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


perwujudan keseluruhan pengetahuan dan nilai yang dimilikinya.
Dengan demikian, akan terciptalah baginya suatu dunia kehidupan
masyarakat dengan sistem dan struktur sosial yang sesuai dengan
orientasi ideologisnya. Namun, ini tidak berarti bahwa dunia
kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manifestasi
ideologi karena ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri
lepas dari kenyataan hidup masyarakat. Ideologi adalah produk
kebudayaan suatu masyarakat sehingga dalam arti tertentu juga
merupakan manifestasi kenyataan sosial.
Pada hakikatnya ideologi tidak lain adalah hasil refleksi
manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap
dunia kehidupannya. Antara keduanya, yaitu ideologi dan
kenyataan hidup masyarakat, terjadi hubungan dialektis sehingga
berlangsung pengaruh timbal balik yang terwujud dalam interaksi
yang di satu pihak memacu ideologi makin realistis dan di pihak
lain mendorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal.
Ideologi tidak hanya mencerminkan cara berpikir masyarakat,
tetapi juga membentuk masyarakat menuju cita-cita.
Dengan demikian, terlihatlah bahwa ideologi bukanlah sekedar
pengetahuan teoritis belaka, melainkan merupakan sesuatu
yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan satu
pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya.
Makin mendalam kesadaran ideologis seseorang, makin tinggi
pula rasa komitmennya untuk melaksanakannya. Komitmen itu
tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya
sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang harus ditaati dalam
hidup bermasyarakat. Dengan demikian, fungsi ideologi adalah
memberikan;
1) Struktur kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang
dapat menjadi landasan untuk memahami dan menafsirkan
dunia dan kejadian-kejadian di alam sekitarnya;
2) Orientasi dasar, dengan membuka wawasan yang
memberikan makna dan menunjukkan tujuan dalam kehidupan
manusia;

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 4


3
3) Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi
seseorang untuk melangkah dan bertindak;
4) Bekal dan jalan bagi seseorang untuk me-nemukan
identitasnya;
5) Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong
seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan;
serta
6) Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk
memahami, menghayati, dan memolakan tingkah lakunya
sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di
dalamnya.
b. Pancasila sebagai Ideologi Nasional
Sebagai ideologi nasional, Pancasila berfungsi menggerakkan
masyarakat untuk membangun bangsa dengan usaha-usaha yang
meliputi semua bidang kehidupan. Pancasila tidak menentukan
secara apriori sistem ekonomi dan politik, tetapi sistem apa pun
yang dipilih harus mampu menyalurkan aspirasi utama tersebut di
atas.
Sebagai ideologi nasional, Pancasila yang pada dasarnya
menampilkan nilai-nilai universal, menunjukkan wawasan
yang integral-integratif dan sebagai ideologi modern mampu
memberikan gairah dan semangat yang tinggi. Berbeda dengan
ideologi-ideologi Barat, Pancasila yang dilahirkan dalam budaya
dan sejarah peradaban timur sangat menjunjung tinggi peran
religiusitas yang justru sangat didambakan dalam alam kehidupan
dan peradaban teknokratis sekarang ini.
Dimensi religius membebaskan manusia dari dominasi
kebendaan dengan menunjukkan transendensi terhadap-Nya
melalui pemaknaan yang spiritual sehingga tidak akan kering
kehabisan inspirasi dan bahkan menawarkan harapan dan
perspektif ke depan. Sementara itu, dimensi etis mempertahankan
manusia dalam memiliki harkat dan martabatnya dan
memperjuangkan terwujudnya kemanusiaan dan keadilan di
dunia. Dengan demikian, Pancasila menawarkan solusi terhadap

44 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


krisis dunia dengan menjaga keutuhan manusia sebagai pribadi
di tengah keramaian peradaban dunia yang sedang mengalami
proses alienasi kultural. Salah satu peran Pancasila yang menonjol
sejak permulaan penyelenggaraan negara Republik Indonesia
adalah fungsinya dalam mempersatukan seluruh rakyat Indonesia
menjadi bangsa yang berkepribadian dan percaya pada diri sendiri.
Sebagaimana kita ketahui, kondisi masyarakat sejak
permulaan hidup kenegaraan adalah serba majemuk. Masyarakat
Indonesia bersifat multietnis, multireligius, dan multiideologis.
Kemajemukan tersebut menunjukkan adanya berbagai unsur yang
saling berinteraksi. Berbagai unsur dalam bidang-bidang kehidupan
masyarakat merupakan benih-benih yang dapat memperkaya
khazanah budaya untuk membangun bangsa yang kuat, tetapi
sebaliknya dapat memperlemah kekuatan bangsa dengan
berbagai percekcokan dan perselisihan. Oleh karena itu, proses
hubungan sosial perlu diusahakan agar berjalan secara sentripetal
agar terjadi apa yang menjadi populer dalam tahun-tahun pertama
perjuangan, yaitu samenbundeling van alle krachten (persatuan
bersama semua kekuatan). Di samping itu, kemerdekaan bangsa
Indonesia dicapai lewat revolusi. Penggalangan kekuatan tersebut
sangat diperlukan untuk membekali bangsa Indonesia dalam
perjuangannya melawan penjajah dan mengusirnya dari bumi
nusantara.
Dengan melihat situasi bangsa sedemikian itu, masalah pokok
yang pertama kali harus diatasi pada masa itu adalah bagaimana
menggalang persatuan dan kekuatan bangsa yang sangat
dibutuhkan untuk mengawali penyelenggaraan negara. Dengan
kata lain, nation and character building merupakan prasyarat dan
tugas utama yang harus dilaksanakan. Dalam konteks politik inilah
Pancasila dipersepsikan sebagai ideologi persatuan. Pancasila
diharapkan mampu memberikan jaminan terhadap perwujudan
misi politik itu karena merupakan hasil rujukan nasional sehingga
setiap kekuatan sosial masyarakat merasa terikat dan ikut
bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negaranya.
Dengan demikian, Pancasila berfungsi pula sebagai acuan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 4


5
bersama untuk memecahkan perbedaan serta pertentangan politik
di antara golongan dan kekuatan politik.
Karena urgensi untuk memecahkan masalah-masalah
politik selama dua dasawarsa dalam penyelenggaraan negara,
Pancasila dipersepsikan sebagai sintesa atau perpaduan yang
mempersatukan berbagai sikap hidup yang berada di tanah air.
Berbagai aliran dan pendirian yang berbeda dipertemukan dalam
Pancasila. Pancasila menyediakan arena yang di satu pihak
memberikan keleluasaan bergerak, tetapi di pihak lain mem-
berikan patokan moral yang tidak boleh dilanggar. Pancasila
dapat diinterpretasikan secara luas. Akan tetapi, bagaimana
pun luasnya Pancasila tidak dapat diinterpretasikan sedemikian
rupa sehingga meliputi pengertian yang bertentangan. Sebaliknya,
Pancasila tidak dapat dipersempit sehingga menjadi monopoli
golongan masyarakat tertentu saja.
Persepsi tersebut di atas dapat diperjelas dengan gagasan
Bung Karno yang mengemukakan ibarat wadah dan isi (1953).
Negara adalah suatu wadah yang dapat diisi apa pun. Karena
negara RI disusun berdasarkan Pancasila, apapun isi yang
dituangkan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bagaimana
pun juga, persepsi demikian memberikan implikasi-implikasi
tertentu. Dalam alam pikiran tersebut, Pancasila merupakan
ideologi nasional yang meliputi dan memayungi segenap orientasi
di dalamnya. Artinya, adanya pandangan-pandangan hidup di
dalam masyarakat diakui dan dibenarkan untuk berkembang, baik
dengan mengeksplisitkan potensi dan nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya maupun melalui akulturasi. Pengembangan itu
diperlukan untuk memperkuat kebudayaan daerah sebagai sarana
artikulasi masyarakat. Di samping itu, eksistensi pandangan-
pandangan hidup tersebut diperlukan pula untuk mengisi dan
memperkaya ideologi nasional dalam menjalankan fungsinya untuk
menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks
pemahaman seperti itulah kebudayaan nasional yang menurut
penjelasan UUD 1945 merupakan rangkuman dari puncak-puncak
kebudayaan itu diharapkan menumbuhkan saling pengertian dan

46 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


saling penghargaan yang sangat diperlukan dalam kancah hidup
bersama.
Berkaitan dengan hal itu, persepsi politik yang memberikan
pembenaran hak hidup bagi pandangan-pandangan hidup dalam
rangka mengisi ideologi nasional pada khususnya dan pembenaran
eksistensi kebudayaan daerah dalam rangka pengembangan
kebudayaan nasional pada umumnya membuka pula peluang
terjadinya berbagai interpretasi subjektif yang diberikan oleh
setiap kekuatan sosial politik. Berbagai interpretasi itu di satu
pihak dapat benar-benar memperkaya ideologi nasional dan
kebudayaan nasional, tetapi di lain pihak bisa juga memperkosanya
karena memaksakan suatu pandangan subjektif tertentu demi
kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila adalah
doktrin revolusi sebagaimana tercatat dalam sejarah adalah
contoh pemerkosaan yang dimaksudkan. Lebih lanjut, interpretasi
subjektif dapat mencerminkan suatu paham serta golongan tertentu
yang nyata-nyata keluar jalur karena tidak adanya keserasian
antara pahamnya dan nilai-nilai Pancasila atau menganggap
Pancasila semata-mata sebagai perangkat sopan santun belaka,
seperti tercermin dalam adanya pemberontakan-pemberontakan
pada masa lalu. Dengan kata lain, suatu pandangan hidup sebagai
sub-ideologi, ditampilkan sebagai tandingan terhadap Pancasila
sebagai ideologi nasional dan memaksakannya dengan kekuatan
fisik.
Penampilan Pancasila sebagai ideologi persatuan telah
menunjukkan relevansi dan kekuatannya dalam dua dasawarsa
sejak permulaan kehidupan dan penyelenggaraan negara RI.
Pancasila merupakan filsafat politik. Rakyat Indonesia telah
dibangun dengan kesadaran yang kuat sebagai bangsa yang
memiliki identitas dan hidup bersatu dalam jiwa nasionalisme dan
patriotisme. Namun, terlihat adanya kelemahan dalam persepsi
dalam periode tersebut. Kemiskinan yang parah dan berlarut-
larut kurang mendapatkan perhatian dan kurang di tanggulangi.
Rakyat yang sejak lama mengharapkan perbaikan hidup kurang
ditanggapi.
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 4
7
Situasi demikian ditangkap oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebagai peluang dengan memanfaatkan serta mengangkat-
nya sebagai isu politik utama. Kejelian ini memberikan jawaban
atas pertanyaan mengapa organisasi politik yang tidak lama
sebelumnya telah mengadakan pemberontakan di Madiun yang
dalam waktu singkat dapat menarik dukungan berjuta-juta orang
di belakangnya.
Namun di sisi lain Pancasila sebagai Ideologi Nasional
merupakan kompromi politik pada Parpol dan Ormas serta
komponen lain yang menentang ditetapkannya Pancasila
sebagai asas tunggal. Pada Tap MPR Nomor XVIII yang
mencantumkan antara lain, ditetapkan bahwa Pancasila sebagai
Ideologi Nasional, dengan kesepakatan Parpol dan Ormas bisa
menggunakan asas lain yang tidak bertentangan dengan nilai-
nilai Pancasila serta tidak akan mengubah Pembukaan UUD
NRI 1945 seperti kesepakatan pada saat Reformasi 1998.
Perlu kita yakini mengubah Pembukaan UUD NRI 1945 berarti
membubarkan NKRI Proklamasi 17 Agustus 1945.

8. Pancasila Sebagai Dasar Negara


a. Pancasila sebagai Cita Hukum
Menurut Rudolf Stamler (beraliran Neo-Kantian) menyatakan
bahwa cita hukum merupakan konstruksi berpikir yang akan
mengarahkan hukum yang akan dibuat (hukum positif) agar
cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat dapat
diatur dan dicapai. Oleh karena itu cita hukum berfungsi sebagai
bintang pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita dan tujuan
masyarakat dan sekaligus sebagai alat untuk menguji terhadap
hukum positif yang dibuat dan berlaku di dalam masyarakat
bersesuaian atau bersimpangan dengan nilai-nilai dasar yang
ada dalam cita hukum.
Menurut Stamler hukum yang adil adalah hukum yang
sesuai dengan nilai-nilai yang dalam cita hukum itu sendiri.
Pemikiran atau pandangan ini sejalan dengan pendapat dari

48 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Gustav Radbruch yang mengaskan bahwa cita hukum berfungsi
sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif artinya menjadi alat
penguji terhadap hukum positif apakah adil dan sesuai dengan
nilai-nilai yang ada dalam cita hukum, dan juga berfungsi sebagai
dasar yang bersifat konstitutif yaitu nilai-nilai dalam cita hukum
akan mengilhami dan menaungi terhadap peraturan yang ada
dalam masyarakat.
Hans Kelsen dan Hans Nawiesky sebagai ahli filsafat yang
beraliran hukum alam (hukum kodrat) menyatakan bahwa pada
dasarnya terbentuknya suatu negara berasal dari individu-
individu yang menggabungkan diri dalam suatu masyarakat.
Selanjutnya dalam masyarakat tersebut disepakati mengenai
berbagai aturan-aturan yang menjadi pedoman hidup bersama,
tata cara menyelenggarakan kepentingan untuk mencapai
tujuan bersama, mengatur tentang pembentukan kelembagaan
yang diperlukan, menentukan tentang penunjukan pemimpin
masyarakat yang akan menjalankan penyelenggaraan hidup
bersama, dan menetapkan suatu sistem penyelenggaraan
pemerintahan. Kesepakatan untuk mengatur hidup bersama
tersebut dituangkan dalam suatu hukum tertinggi yang disebut
Konstitusi, sehingga konstitusi mempunyai kedudukan sebagai
hukum dasar atau norma dasar (grundslaagnorms). Hukum
dasar atau norma dasar ini nilai-nilainya harus sesuai dengan
nilai-nilai asli dari individu-invidu yang hidup dalam masyarakat
yang melakukan kesepakatan bersama, dan nilai-nilai dasar
tersebut dinamakan nilai kodrati atau fundamentalnorms.
Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, Pancasila berfungsi
sebagai cita hukum atau nilai kodrati atau norma fundamental
(Staatsfundamental-norms) bagi negara Indonesia dan konstitusi
(UUD NRI Tahun 1945) berfungsi sebagai hukum dasar bagi
hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu Pancasila sebagai
cita hukum atau staatfundamentalnorms harus memenuhi 3
syarat dimensi, yaitu:

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 4


9
b. Kedudukan Hukum Pancasila
Hukum yang merupakan wadah dan sekaligus merupakan
isi dari peristiwa penyusunan diri kemerdekaan kebangsaan
Indonesia atau kekuasaan kenegaraan itu, menjadi dasar dari
kehidupan kenegaraan Bangsa dan Negara Indonesia. Oleh
karena itu dapatlah dimengerti, apabila sejak semula dinyatakan
dalam penjelasan UUD 1945, bahwa Negara Republik Indonesia
adalah Negara yang berdasar atas hukum.
Pancasila sebagai Dasar Negara, seperti tersurat dalam
Pembukaan UUD NRI 1945 pada hakikatnya merupakan nilai
nilai instrinsik Pancasila, yakni sebagai sumber dari segala
sumber hukum yang mengembangkan nilai keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan serta persatuan dan kesatuan
bangsa untuk menjaga tetap tegak utuhnya NKRI dari Sabang
sampai Merauke, dari Kepulauan Miangas sampai Pulau Rote-
Ndau yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Pada TAP MPRS nomor XVIII/MPRS/1966 mengamanatkan
Pancasila sebagai Ideologi nasional, dasar negara dan falsafah
bangsa. Dengan terbitnya Undang-undang nomor 12 tahun
2011 pasal 7 ayat 1 huruf b, yang memuat hierarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku, mencantumkan bahwa TAP
MPR merupakan hukum positif yang berlaku.

50 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


NKRI sebagai Negara Hukum, menempatkan setiap Warga
Negara mempunyai kedudukan yang sama di ranah Hukum dan
mengutamakan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya
penegakan hukum. Sistem Hukum Nasional masih banyak
menghadapi permasalahan dalam upaya menegakkan nilai-nilai
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belum optimalnya pembenahan Sistem Hukum Nasional
karena berbagai macam faktor, dan yang masih memerlukan
pembenahan, yaitu (1) Materi hukum masih ada sekitar 300
Undang-undang peninggalan zaman kolonial Belanda yang
masih berlaku dan menunggu terbitnya Undang-undang yang
diterbitkan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.
(2) Aparatur Penegak hukum yaitu Hakim, Jaksa dan POLRI
masih banyak yang memprihatinkan kualitas moral dan etika
nya bila menggunakan acuan kritik nilai-nilai Pancasila. Masih
memerlukan dukungan masyarakat dan pengawasan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas pengabdian aparatur penegak
hukum yang dilandasi “semangat” untuk beribadah kepada Tuhan
Yang Maha Esa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. (3)
Sarana dan Prasarana dalam upaya penegakan Hukum masih
sangat memprihatinkan. (4) Budaya Hukum yang berlaku masih
memprihatinkan masyarakat. Nilai Keadilan masih merupakan
hal yang sangat memprihatinkan. (Hikmahanto, 2006). Selain
hal tersebut, wacana “mafia peradilan” dan aroma tindakan dan
kasus “korupsi” yang banyak menerpa aparatur penegak hukum.
Dalam penjelasan UUD NRI 1945 yang asli, tercantum, “yang
penting semangat Penyelenggara Negara dalam mengelola
Negara”, untuk menuju Masyarakat adil dan Makmur yang dapat
mewujudkan Kepentingan Kesejahteraan Masyarakat secara
harmonis dengan Kepentingan Keamanan dan Ketertibaban
Masyarakat. Mencermati uraian diatas, kenyataan yang
berkembang saat ini, perilaku koruptif sudah sangat terstruktur
dan masif yang dilakukan para Oknum pejabat Publik, baik di
kalangan Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, sehingga perlu
mendapatkan perhatian yang serius dari para kader pemimpin

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 5


1
nasional dan seluruh masyarakat. Presiden SBY telah meratifikasi
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti Korupsi, 2003, dan
telah diterbitkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2008 tentang
Pengesahan Konvesi PBB Anti Korupsi, 2003.
Implementasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara,
banyak mengalami tantangan dan gangguan secara serius,
sehingga para kader pemimpin nasional dan masyarakat
harus waspada dalam merespon issue tersebut. Yang paling
mengkhawatirkan bila Rakyat tidak merasakan peningkatan
Kesejahteraannya maka Rakyat akan meninggalkan Pancasila.
Karena Rakyat merasa tidak ada manfaatnya Pancasila bagi
dirinya. Elite Politik dan para Kader Pemimpin dituntut mem
punyai kesadaran moral untuk mengembangkan nilai-nilai
Pancasila sebagai Dasar Negara.
Untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan semangat
kebangsaan perlu dirumuskan dalam suatu peraturan per undang
undangan yang mengikat bagi seluruh warga negara. Undang-
undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-
undangan telah mencantumkan pada pasal 2, “Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum negara.” Hal ini
menegaskan bahwa Pancasila sebagai Landasan Idiil dalam
Paradigma Nasional semakin menguat. Sedangkan pada Pasal
3 “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan.”
Mengalir dari pemikiran tersebut menjadi sangat penting
landasan pemikiran Paradigma Nasional dikembangkan
untuk menyamakan pola pikir, pola sikap dan pola tindak bagi
seluruh komponen anak bangsa. Dalam perumusan kebijakan
publik hendaknya landasan pemikiran visional wawasan
nusantara dan wawasan konsepsional ketahanan nasional perlu
dikembangkan sebagai landasan pemikiran orientasi masa
depan yang dipedomani oleh seluruh komponen anak bangsa
dalam perumusan kebijakan publik dalam menata Materi Hukum
dan menyelesaikan permasalahan bangsa. Kebutuhan untuk

52 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


mengembangkan Sistem Nasional yang menggunakan landasan
pemikiran nilai-nilai moral Pancasila, dalam kerangka landasan
pemikiran Paradigma Nasional menjadi sangat penting.
Setelah Amendemen UUD ‘45, berkembang wacana yang
berkeinginan untuk kembali ke UUD ‘45 yang asli, namun
ada juga kelompok Masyarakat yang ingin mengadakan
amendemen selanjutnya untuk menyempurnakan Konstitusi
yang berlaku. Perlu dicermati yang tercantum dalam Pasal 37,
UUD hasil amendemen telah tersurat, bahwa untuk mengadakan
amendemen berikutnya harus melalui jalan panjang dan berliku,
bahkan hampir tidak mungkin diadakan amendemen UUD
berikutnya.
Sebenarnya, telah tertuang kesepakatan antara lain,
Pertama, amendemen yang dilaksanakan dengan cara
adendum. Artinya, semua unsur dan kaidah yang tercantum
pada UUD 45 yang asli, dan hasil amendemen berikutnya harus
selalu dipedomani dan masih menjadi rujukan. Penekanan
cara Adendum menjadi sangat penting, walaupun Amendemen
yang telah dilaksanakan belum sempurna, namun “semangat
para Penyelenggara negara untuk mensejahterakan Rakyatnya
merupakan hal yang utama”. Kedua, sistem presidensial masih
dipertahankan dan seharusnya dikembangkan penguatannya.
c. Kedudukan Hukum Pancasila Pasca Terbitnya UU
Nomor 12 Tahun 2011
Terbitnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011, ten tang
Pembentukan Peraturan dan perundang-undangan Pasal 2
tersebut di atas dan Pasal 3 ayat 1 menegaskan bahwa Pancasila
adalah sumber segala sumber hukum negara dan UUD NRI ‘45
merupakan hukum dasar negara.
Mengalir dari pemikiran tersebut, seharusnya legislatif,
senator dan pemerintah segera menerbitkan Undang-undang
untuk menjabarkan Pasal-Pasal UUD ‘45 setelah Amendemen.
Sekurang kurangnya, mendesak untuk menerbitkan Undang-
undang sebanyak 42 (empat puluh dua) Undang-undang. Setiap

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 5


3
Pasal-pasal yang mencantumkan kata-kata, ...”untuk pengaturan
selanjutnya akan diatur dalam Undang Undang ...” Baca modul
amendemendan sosialisasi UUD NRI 1945.
Penerbitan Undang-undang yang sangat mendesak
tersebut, selanjutnya untuk meluruskan kembali beberapa
Pasal-pasal yang multitafsir dan cenderung belum sesuai
dengan jiwa dan semangat yang tercantum dalam Pembukaan
UUD NRI 1945. Semua Peraturan dan Perundang-undangan
yang akan diterbitkan seharusnya selalu dilakukan kritik, dengan
menggunakan “acuan kritik” nilai-nilai Pancasila untuk menjaga
Kepentingan Nasional Indonesia.
Sehingga, semua perbedaan pendapat dalam mengelola
Negara akan berkembang dalam Sistem Nasional yang
berdasarkan Landasan Pemikiran Pancasila sebagai landasan
idiil, UUD ‘45 sebagai landasan Konstitusionil, dan Geopolitik
Indonesia Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visionil serta
Geostrategi Indonesia sebagai landasan Konsepsional. Lem-
hannas RI, mengembangkan cara berpikir yang komprehensif
dan integral dengan landasan Paradigma Nasional seperti yang
terurai di atas untuk mengelola Negara dan menyelesaikan
segala permasalahan Bangsa.

9. Pancasila Diantara Ideologi-Ideologi Dunia.


a. Kandungan Nilai-nilai Pancasila Bersifat Universal
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XVIII Tahun 1998,
Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, ideologi nasional,
dan falsafah pandangan hidup bangsa. Pancasila adalah falsafah
pandangan hidup bangsa karena digali dari akar budaya bangsa
Indonesia yang terdiri atas berbagai ras dan suku yang memiliki
bahasa dan adat istiadatnya masing-masing. Meskipun suku-
suku bangsa itu menempati daerah yang terpisah, ada banyak
kesamaan di antara mereka dalam nilai-nilai tertentu. Secara
keseluruhan suku bangsa ini bertuhan dan memiliki ritual budaya
dalam menyembah tuhannya.

54 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Nilai kemanusiaan sebagai budaya dijunjung sesama suku
yang ada di Indonesia, termasuk nilai mufakat, musyawarah dan
perwakilan, serta kebijaksanaan.
Di wilayah Indonesia sudah pernah ada dua negara yang
mempersatukan seluruh Nusantara, yaitu kerajaan Sriwijaya
dan Kerajaan Majapahit. Dengan demikian, wilayah yang luas ini
pernah mengalami dua kali kesempatan persatuan dan kesatuan.
Kesejahteraan rakyat atau kesejahteraan sosial banyak
ditemukan dalam tulisan-tulisan indah atau syair kuno yang
menggambarkan masyarakat yang sejahtera. Sebagai ideologi
nasional, semua telah merasakan nilai-nilai idealisme yang ada
dalam lima kalimat terakhir Pembukaan Undang-undang Dasar
1945. Nilai-nilai ini telah mempersatukan bangsa Indonesia
selama masa kemerdekaannya dan akan terus mempersatukan
bangsa Indonesia selamanya di masa depan. Ada banyak usaha
untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa, baik dari
luar maupun dari dalam serta gabungan usaha dari keduanya.
Namun, sampai saat ini nilai ini masih kuat sebagai pegangan
bersama mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa .
Secara konstitusional bangsa Indonesia pernah terpaksa
menjalankan konstitusi RIS yang amat bertentangan dengan
nilai kebangsaan dalam Pancasila. Akan tetapi, konstitusi ini
tidak bertahan lama dan kembali ke konstitusi sementara 1950.
Tidak terhitung rongrongan imperialisme sepanjang sejarah RI
serta rongrongan dari paham agama dan paham komunis, tetapi
rongrongan itu dapat diatasi melalui perjuangan rakyat bersama
aparat keamanan. Perjalanan sejarah sepanjang masa kemer-
dekaan membuktikan bahwa bangsa Indonesia memegang kuat
nilai-nilai tersebut.
Sebagai dasar negara, karena secara formal terdapat
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Pancasila
menjadi dasar dari hukum dasar RI. Sebagai ideologi, tentunya
Pancasila harus tersosialisasi dalam bentuk ajaran atau doktrin

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 5


5
yang mengandung nilai-nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksis. Ajaran atau doktrin ini harus menjadi referensi dalam
semua aspek kehidupan bangsa. Sampai saat ini kita belum
memiliki platform yang jelas mengenai ekonomi Pancasila, yang
rumusannya baik secara ilmiah maupun dalam kebijakan serta
strateginya di strata pemerintahan sudah mengandung nilai
Pancasila.
Sampai dengan saat ini masih banyak pandangan orang
bahwa Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional,
dan falsafah pandangan hidup bangsa Indonesia adalah
karya Ir. Soekarno semata. Pada saat BPUPKI bersidang ada
banyak anggota yang menyampaikan pidato usul dasar negara
antara lain, yaitu Mr. Muh. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo,
Drs.Moh. Hatta, Prof. Dr. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Dari
hasil para pembicara tersebut, panitia sembilan menyusun
Preambul Undang-undang Dasar 1945 dengan lima kalimat
terakhir preambul merupakan dasar negara.
Mr. Muh. Yamin mengajukan lima dasar, yaitu peri kebang-
saan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan
kesejahteraan rakyat. Sementara itu, Prof. Dr. Mr. Soepomo
tidak memberikan perincian dasar negara satu per satu, tetapi
secara keseluruhan mengusulkan paham integralistik dalam
susunan negara Indonesia. Dokumen pidato Drs. Moh. Hatta
belum ditemukan sampai saat ini, sedangkan Ir. Soekarno
mengusulkan lima dasar, yaitu kebangsaan, internasionalisme
atau peri kemanusiaan, mufakat, kesejahteraan sosial, dan
ketuhanan.
Selain mengandung nilai kebangsaan, pidato usul dasar
negara oleh Mr. Muh. Yamin juga mengandung banyak nilai
budaya asli masyarakat Indonesia, sedangkan usul Prof. Dr.
Mr. Soepomo mengandung paham integralistik yang kuat se
kali. Sementara itu, Drs. Moh. Hatta memberikan masukan nilai
kebangsaan yang juga mengandung nilai kemanusiaan (hak
asasi) yang kuat. Pidato usul Dasar Negara dari Ki Bagoes
Hadikoesoemo mengandung nilai kebangsaan yang diambil dari

56 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


nilai ajaran Islam. Usul dasar negara dari Ir. Soekarno sangat kuat
nilai kebangsaannya, termasuk keinginan untuk segera merdeka
dan memiliki dasar untuk merdeka. Ir. Soekarno memberi nama
Pancasila untuk kelima dasar yang diusulkannya yang selanjutnya
dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Rumusan lima kalimat
akhir di Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 merupakan
rangkuman dari keempat usul dasar negara yang disampaikan
para pembicaranya. Ungkapan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Tuhan Yang Maha Esa disampaikan oleh Ir. Soekarno dan Mr.
Muh. Yamin dalam pidato mereka. Pernyataan Kemanusiaan
yang adil dan beradab tidak ada dalam naskah pidato Ir. Soekarno,
Mr. Muh.Yamin, ataupun Prof. Dr. Mr. Soepomo karena Mr. Muh.
Yamin menyampaikan istilah peri kemanusiaan (humanity),
sedangkan Ir. Soekarno menyampaikan istilah internasionalisme/
peri kemanusiaan (humanisme). Istilah yang adil dan beradab
berasal dari naskah Drs. Moh. Hatta. Substansi persatuan
Indonesia terdapat dalam naskah Ir. Soekarno, Mr. Muh. Yamin,
dan Prof. Dr. Mr. Soepomo. Subtansi kerakyatan, perwakilan,
dan permusya-waratan ada dalam naskah Mr. Moh. Yamin
walaupun pada dasar kelima beliau mengusulkan kesejahteraan
rakyat. Pada akhir naskah pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo muncul
istilah keadilan rakyat dan dalam naskah pidato Ir. Soekarno
dimunculkan istilah kesejahteraan sosial. Dalam naskah Pidato
Ki Bagoes Hadikoesoemo juga terkandung nilai persatuan dan
kesatuan yang didasarkan pada agama Islam demikian juga
nilai kemanusiaan, nilai musyawarah mencapai kesepakatan,
nilai keadilan dan kesejahteraan yang semuanya didasarkan
dari agama Islam. Keempat naskah pidato usul dasar negara
serta proses penyusunan dan perubahan penyempurnaan dasar
negara RI yang sekaligus menjadi ideologi dan pandangan hidup
bangsa merupakan rangkuman dari subtansi para pemidato usul
dasar negara antara lain Mr. Muh. Yamin, Prof. Dr. Mr. Soepomo,
Drs. Moh. Hatta, Ir.Soekarno dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila adalah
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, ketuhanan yang berbudaya dan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 5


7
berbudi pekerti luhur, serta ketuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain. Nilai kemanusiaan yang universal (humanity);
menghormati sesama bangsa di antara bangsa-bangsa; nilai
keadilan yang beradab; nilai kebangsaan semua buat semua,
semua buat satu, dan satu buat semua; nilai kerakyatan/
kedaulatan rakyat, kemufakatan, musyawarah, perwakilan, dan
nilai kebijaksanaan; nilai keadilan sosial dalam kesejahteraan;
dan nilai kesederajatan dan keserasian serta kesamaan dan
kesesuaian secara budaya ada dalam masyarakat Indonesia
yang heterogen. Nilai-nilai tersebut bersifat universal karena
diakui sebagai nilai yang mendunia.
Apakah ideologi perlu bernama? Banyak ideologi bernama,
tetapi banyak juga tidak bernama. Semua bangsa pasti memiliki
ideologi masing-masing. Bangsa Amerika Serikat pasti memiliki
ideologi, tetapi tidak bernama. Ketika Republik Rakyat China lahir, Dr.
Sun Yat Sen menamakan ideologi mereka San Min Chu I.
Ideologi Jepang bernama Tenno Koodo Seishin. Hitler
mendirikan Jermania dengan ideologi Nasional Sosialisme dan
Lennin mendirikan Uni Soviet dengan Marxisme Leninisme
(komunisme). Sesuatu yang bernama memang mudah
disosialisasikan sekaligus mudah dirongrong, dikritisi, dan
dikecam. Karl Marx tidak menamakan ajarannya Marxisme, tetapi
para pengikutnya menamakan ajaran dari rangkuman buku-buku
yang ditulisnya dengan Marxisme. Padahal, tidak ada satu pun
buku tulisan Karl Marx berjudul Marxisme.
Istilah ideologi pertama kali dimunculkan oleh filsuf
Prancis yang bernama Antoine Destut de Tracy (1754-1836) pada
tahun 1796. Pada saat itu pengaruh otoritas pemerintah feodal
dan pengaruh gereja kuat sekali sehingga mulai muncul reaksi
dari gerakan dengan nama Abad Pencerahan. De Tracy melihat
ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia yang mampu
menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan. De Tracy
ingin meneruskan kemajuan dengan memperbaiki manusia untuk
menunjukkan mana gagasan yang salah dan mengembangkan
sistem pendidikan sekuler yang dapat menghasilkan manusia

58 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


yang lebih baik. Sayangnya, kerja sama antara ideologi dan
sains serta studi-studi objektif tidak berlangsung lama sehingga
istilah ideologi cepat merosot, bahkan menjadi istilah peyoratif
yang lebih mengacu pada objek daripada sains.
Sebagai konsep yang peyoratif, Karl Marx menggunakan
istilah ini dalam teori sosial politiknya. Ia menggunakan istilah
ideologi dalam semua pengertian kata ini dalam bukunya
German Ideology. Kata ideologi menjadi terkenal dalam ajaran
marxisme, baik oleh Karl Marx sendiri maupun yang kemudian
dilanjutkan oleh Lenin. Istilah tersebut dalam perkembangannya
mendapat predikat jelek karena kedekatannya dengan Marxisme-
Komunisme. Orde Baru tetap menggunakan istilah ini, bahkan
memopulerkannya dalam rangka menyosialisasikan Pancasila
kepada masyarakat. Pada era Orde Baru Pancasila sangat
dikeramatkan dan disakralkan oleh pemerintah yang saat itu
amat mendominasi segala aspek kehidupan bangsa sehingga
ideologi ini menjadi hegemoni (ideologi menurut Gramsci, 1891-
1937).
Ideologi yang menjadi hegemoni akan lenyap bersama
lenyapnya suatu rezim. Mengamalkan ideologi seperti pada era
Orde Baru dapat membahayakan ideologi itu sendiri. Saat ini
pada era reformasi dapat dirasakan bahwa sebagian masyarakat
telah mengidentikkan Pancasila dengan Orde Baru. Kegunaan
ideologi dapat dibagi atau dilihat dari empat pendekatan, yaitu:
1) Ideologi sebagai pemikiran politik.
2) Ideologi sebagai norma dan keyakinan,
3) Ideologi sebagai bahasa simbol dan mitos,
4) Ideologi sebagai kekuasaan elit.
Keempat pendekatan tersebut secara keseluruhan tidak
bersifat eksklusif. Ada kecenderungan kuat bahwa pendekatan
2 dan 3 diminati pula dalam penerapan kekuasaan. Namun,
keempat pendekatan tersebut menunjukkan bidang kajian utama
yang berbeda. Pendekatan yang pertama secara khusus lebih

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 5


9
berhubungan dengan “isme” Barat, seperti liberalisme, marxisme,
dan sosialisme.
Pendekatan kedua berhubungan dengan kumpulan
pandangan yang dianut oleh masyarakat biasa, yakni pemikiran-
pemikiran yang cenderung kurang sistematis, seperti anggapan
masyarakat tertentu bahwa wajar saja mereka memiliki
penghasilan tinggi yang relatif berbeda dengan orang lain
tanpa perlu mengartikulasi ideologi kapitalis liberal. Pendekatan
ketiga lebih banyak mengarah pada simbol dan mitos, seperti
tanda gambar Ka’bah pada Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang akan menunjukkan alirannya yang agamis Islam.
Pendekatan keempat lebih berhubungan dengan cara para elite
yang berusaha untuk memastikan komformitas dan dukungan,
seperti kepastian dukungan untuk calon presiden dan kepala
daerah dari partai pendukungnya.
Dari pengalaman sejarah, khususnya di Indonesia,
perkembangan ideologi tidak terlepas dari perkembangan
politik. Demikian pula, sebaliknya, antara ideologi dan politik
ada hubungan kuat yang timbal balik. Ideologi politik merupakan
salah satu pengertian dari sekian banyak pengertian tentang
ideologi. Ideologi politik adalah seperangkat keyakinan dan
pemikiran normatif serta empiris yang relatif koheren yang
berpusat pada masalah hakikat manusia, proses sejarah, dan
susunan sosiopolitik.
Ideologi sering diistilahkan secara peyoratif untuk mencirikan
gagasan-gagasan yang tampaknya mengambang, ekstrem,
mengandung kepalsuan, dan fanatik. Ada cukup banyak
pandangan paham idealis dan paham politik tentang ideologi.
Pandangan mereka relatif berbeda sehingga salah satu pakar
ideologi David McLellan mengatakan bahwa ideologi adalah
konsep yang paling sulit untuk dipahami dalam seluruh ilmu-ilmu
sosial.
Pakar ideologi lain, yaitu Freeden menyatakan bahwa
ideologi merupakan bentuk pemikiran istilah yang menyediakan

60 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


akses langsung yang penting untuk memahami pembentukan
dan hakikat teori politik, kekayaannya, keanekaragamannya,
dan seluk-beluknya. Penyelidikan ilmiah terhadap ideologi harus
diberi peringkat yang sama dengan kajian terhadap filsafat
politik. Di sini terlihat jelas kuatnya hubungan antara ideologi dan
politik sekaligus memperlihatkan pada tataran pendidikan mana
pelajaran ideologi sepantasnya diberikan. Ideologi merupakan
konsep yang sulit dipahami karena sudah pada level filsafat
sehingga seyogianya pelajaran ideologi Pancasila diberikan
di tingkat perguruan tinggi. Sementara itu, nilai praksisnya
sudah bisa diberikan dalam bentuk pelajaran Budi Pekerti dan
Kewarganegaraan dalam pendidikan formal dari SD sampai
dengan SMA dan dalam pendidikan informal di luar sekolah.
b. Liberalisme
Konsep ideologi adalah temuan zaman modern sehingga
perkembangan ideologi-ideologi politik tidak dapat dipisahkan
dari konteks modernisasi yang kebetulan dimulai di Eropa Barat.
Di samping membawa banyak perbaikan, proses modernisasi
ini sekaligus juga mendatangkan bencana dan bahaya dalam
kehidupan manusia. Ada dua tonggak penting perubahan
drastis di dunia Barat saat itu, yaitu Revolusi Industri di Inggris
dan Revolusi Prancis di Prancis. Revolusi Industri mendorong
perkembangan sains sedangkan Revolusi Prancis mendorong
kesetaraan sosial dan kebebasan individu masyarakat modern.
Selain mendatangkan kemajuan, kedua revolusi ini juga
mendatangkan krisis nilai kultural yang dipegang teguh dalam
tradisi terjadinya alienasi individu dari masyarakatnya pada saat
itu.
Pada masa itu masyarakat Eropa masih dalam budaya era
agraris ketika ikatan kekeluargaan di masyarakat serta tempat
mereka lahir dan dibesarkan kuat sekali.
Dengan ditemukannya mesin uap, era industri dimulai dan
terjadi perubahan budaya dari agraris ke budaya industri. Setiap

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 6


1
peralihan budaya akan menimbulkan anomi (bingung karena
kehilangan pegangan berupa nilai) dan bagi yang sulit atau lambat
berinteraksi akan menimbulkan alienasi (perasaan terpinggirkan
atau tersingkirkan) dalam masyarakat. Bersamaan itu pula, di
Prancis terjadi perubahan politik yang drastis dari sistem monarki
menjadi sistem republik yang membuat perubahan budaya
dari masyarakat feodal tradisional ke budaya kebebasan dan
kesederajatan. Perubahan ini pun menimbulkan anomi dalam
masyarakat. Sebelum kedua peristiwa besar di atas, sebagian
besar pengaruh sosial pembentukan individualisme liberal adalah
perang agama dan munculnya ilmu pengetahuan modern pada
abad ke-16 dan ke-17. Perang agama menimbulkan komitmen
kaum liberal tentang rasionalisme dan persamaan individu.
Ada pembelaan yang kuat bagi kaum liberal terhadap
kebebasan sipil dan pribadi supaya dapat hidup sesuai dengan
keyakinannya sendiri tanpa diancam hukuman karena pandangan
agamanya, pandangan politik, dan pandangannya pada nilai-
nilai kesusilaan. Pada era yang sama mulai terjadi peralihan dari
feodalisme ke kapitalisme ketika kaum liberal mempertanyakan
kebebasan dalam kesempatan ketika sebagian besar peluang
usaha saat itu dikuasai oleh tatanan feodal yang diwariskan
turun-temurun.
Para idealis memunculkan banyak pemikiran baru mengenai
kebebasan, kesederajatan, dan persaudaraan yang dikenal
dengan liberte, egalite, dan fraternite. Pemikiran-pemikiran inilah
yang akhirnya menumbuh-kan liberalisme dan berkembang
menjadi ideologi. Liberalisme dapat dianggap sebagai titik tolak
modernisasi karena ideologi ini sama tuanya dengan modernisasi
tersebut dan ideologi inilah yang mendorong proses perubahan
dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Walaupun telah berproses sejak abad ke-16 dan ke-17, ideologi
ini cepat muncul di permukaan ketika masyarakat tidak tahan
lagi akibat penindasan dari monarki absolut di Prancis pada
abad ke-18. Ideologi tersebut relatif cepat mendapat dukungan
karena memberi jaminan hukum yang lebih baik atas hak-hak

62 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dan kebebasan individu serta kesetaraan sosial yang dianggap
niscaya pada saat itu. Dukungan ideologi ini pada kebebasan
individu dan hak pilih privat berjalan seiring dan berhubungan
timbal balik dengan ekonomi kapitalistik (gairah pasar hanya
mungkin apabila intervensi politik mendekati nol). Di sinilah
liberalisme saling berhubungan timbal balik dengan kapitalisme.
Konsep dasar liberalisme sebenarnya tidak banyak
berbeda dengan nilai-nilai Pancasila karena yang diperjuangkan
liberalisme, yaitu liberte, egalite, dan fraternite sudah terkandung
dalam nilai-nilai Pancasila. Perbedaan prinsip antara liberalisme
dan Pancasila terletak pada pandangan tentang kebebasan,
yaitu kebebasan individu amat menonjol dan dominan pada
liberalisme, sedangkan Pancasila menganggap negara adalah
semua untuk semua, semua untuk satu, dan satu untuk semua.
Ajaran liberalisme tidak mulus begitu saja, tetapi banyak
mendapat reaksi dan kritik. Reaksi dan kritik ini melahirkan
aliran lain yang berkembang menjadi ideologi. Atas reaksi
dan kritik tersebut, aliran liberalisme membenahi diri sehingga
selama peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 aliran ini berkem
bang menjadi dua aliran, yaitu liberalisme sosial dan liberalisme
neoklasik.
Liberalisme sosial berhubungan dengan pandangan yang
lebih positif tentang kebebasan dan campur tangan negara yang
lebih besar, khususnya dalam regulasi pembaruan ekonomi dan
sosial. Liberalisme neoklasik melekat pada pandangan yang
sangat negatif tentang kebebasan pemahaman atas kemandirian
pasar.
Dari kedua aliran tersebut, liberalisme sosial relatif lebih dekat
pada nilai Pancasila daripada liberalisme neoklasik karena peran
negara dalam regulasi ekonomi dan sosial sudah diperhatikan
dalam liberalisme sosial. Selama perang dingin terjadi perang
ideologi antara paham totalitarian dan paham liberalisme.
Doktrin totalitarian lebih bersifat ideologis, utopis, historis,
dan holistik sementara liberalisme bersifat empiris pluralistik

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 6


3
dan tidak bertujuan membangun negara yang ideal. Untuk
menghadapi tantangan kuat doktrin totalitarian ini aliran
liberalisme terus berbenah diri.
Pada peralihan abad ke-21 ini secara bertahap terjadi
pembelokan dari liberalisme ke demokrasi sosial di satu pihak,
sedangkan di pihak lain terjadi pembelokan ke arah konser-
vatisme. Liberalisme yang membelok ke demokrasi sosial lebih
mendekati nilai-nilai Pancasila daripada yang membelok ke
konservatisme. Pada sistem liberalisme demokrasi sosial ada
upaya pemerintah untuk mengontrol agar si Kuat tidak menjadi
lebih kuat sekaligus mengangkat si Lemah menjadi lebih kuat,
dengan menerapkan pajak progresif.
Ajaran liberalisme klasik mendasarkan pada prinsip-prinsip
menjunjung tinggi hak-hak individu, pemberian kebebasan untuk
menguasai kapital (modal), dan dijaminnya keterbukaan pasar
berdasarkan permintaaan dan penawaran dimana negara tidak
diperkenankan untuk mencampuri pasar (intervensi terhadap
pasar). Namun dalam perkembangan kehidupan nyata, prinsip-
prinsip tersebut sering terwujud sehingga menimbulkan berbagai
gejolak sosial, misal: saat pekerja merasa hanya sebagai alat
produksi yang dihargai sangat rendah (diekploitasi) maka
terjadi protes buruh dan sosial, ketika harga di pasar tidak lagi
rasional dan normal berdasarkan permintaan dan penawaran
(misal karena kebijakan kartel) maka timbul gejolak ekonomi
yang menimbulkan krisis ekonomi sehingga pemerintah sebagai
pemegang kedaulatan pemerintahan terpaksa harus melakukan
intervensi.
Keadaan ini telah mendorong beberapa pemikir ekonomi
di Eropa dan Amerika Serikat (dalam pertengahan abad ke-20
sampai memasuki abad ke-21) untuk melakukan berbagai koreksi
atas ajaran-ajaran liberalisme klasik tersebut dengan memberikan
kepada pemerintah agar dapat berfungsi dan berperan sebagai
regulator dan penyangga (bila dibutuhkan) kehidupan bidang
ekonomi melalui berbagai kebijakan-kebijakan yang akan
memberikan kesempatan kepada swasta untuk menjadi pelaku

64 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dan kekuatan ekonomi. Ajaran ini di kenal sebagai aliran Neo-
Liberal, dan sebagai contoh: ajaran ini telah diterapkan saat
Amerika mengalami krisis ekonomi tahun 1960-an, tahun 1970-
an dan tahun 2008-an, dimana pemerintah melakukan intervensi
ekonomi dengan melakukan bail-out untuk menyelamatkan
industri-industri besar AS yang mengalami kebangkrutan, dan
stelah kondisi ekonomi pulih maka saham pemerintah di berbagai
industri tersebut dijual kembali kepada swasta.
Paham kosmopolitanisme berkembang sangat pesat
sejak berakhirnya Perang Dingin sehingga kaum liberalis
(pasar bebas/free market) merasa sebagai penganut ideologi
yang paling utama dan tidak lagi terbantahkan eksistensinya.
Berkembangnya paham ini, yang dibarengi terjadinya revolusi
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi, menjadikan hubungan
antarnegara dan antar bangsa menjadi sangat meluas dan dekat
(menjadi global village). Paham kosmopolitanisme mendorong
terjadinya integrasi global yang melintasi batas-batas kedaulatan
negara bangsa, yang mencakup integrasi politik, ekonomi, sosial,
budaya.
Kaum kosmopolitaisme mempunyai keyakinan bahwa
bangsa-bangsa di dunia mempunyai ketergantungan satu sama
lain dan akan menjadi lebih efisien dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya bilamana saling bekerjasama satu dengan lainnya,
bahwa sumber ekonomi sangat terbatas dan perlu dimaksimalkan
dalam proses produksi, bahwa konsumen akan memperoleh
barang kebutuhan sesuai kualifikasi yang dikehendaki dalam
pasar yang terbuka, bahwa suatu negara tidak diperkenankan
melakukan diskriminasi dan membatasi keluar-masuknya suatu
barang dalam suatu negara (baik melalui pengenaan tarif maupun
aturan pembatasan lainnya), setiap pemilik modal bebas untuk
menginvestasikan di negara manapun dan harus diperlakukan
sama (tanpa diskriminasi). Para tokoh pemikir yang mempelopori
kosmopolitanisme antara lain Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama,
Robert O. Keohane, Robert Gilpin.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 6


5
c. Konservatisme
Sejak awal liberalisme di Prancis sudah memunculkan sikap
skeptis (apatisme dan sinisme) pada ideologi baru ini. Di halaman
depan sudah dibahas bahwa liberalisme menimbukan anomi dan
alienasi di masyarakat. Masyarakat yang anomi dan teralienasi
mudah dipengaruhi pemikiran lain yang memunculkan apatisme
dan sinisme yang menggugat aliran baru tersebut. Penggugat
ini bernama konservatisme yang akhirnya berkembang menjadi
ideologi baru. Ideologi ini tidak anti terhadap perubahan, tetapi
menentang perubahan yang dipaksakan secara melampaui
batas oleh ideologi tertentu. Ideologi ini amat berhati-hati
terhadap setiap perubahan dan mengambil jarak terhadap setiap
optimisme berlebihan.
Konservatisme lebih mewujudkan kondisi manusiawi yang
memiliki batas-batas kemampuan, baik rohani maupun jasmani
yang tidak mudah begitu saja diubah dari luar. Konservatisme
dalam hal ini bersikap lebih realistis terhadap kondisi manusia.
Istilah konservatif muncul pertama kali di Prancis ketika
Chateaubriand (1708-1848) memberi nama conservateur pada
jurnal yang ia terbitkan untuk menolak perluasan politik baru,
terutama gagasan demokratis yang menjadi manifestasi utama
politik baru tersebut. Istilah ini segera diadopsi oleh kelompok
lain yang menentang kemajuan demokrasi dalam bentuk yang
lebih radikal.
Di Amerika Serikat pada abad ke-19, kaum Republikan
menggunakan istilah konservatif untuk menyebut dirinya dan
di Inggris digunakan untuk menyebut partai Torry. Konservatif
menganggap realisme bukan suatu doktrin kekuasaan semata,
melainkan doktrin tentang batasan-batasan ciptaan yang ada
terbagi dalam konflik dualitas yang beraneka ragam, antara badan
dan jiwa atau individu dan masyarakat serta antara pemerintah
dan yang diperintah. Bagi konservatif, mengimpikan penghilangan
konflik-konflik ini dari eksistensi manusia merupakan tanda dari
semua konsepsi kaum utopian tentang tatanan.

66 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Ada kedekatan dan ketidaksamaan antara konservatif
dan nilai Pancasila karena Pancasila juga tidak menginginkan
hal-hal yang drastis dalam perubahan. Pancasila juga amat
memperhatikan kondisi yang manusiawi. Ketidaksamaan antara
konservatif dengan Pancasila adalah konservatif mengambil
posisi yang oposan dengan sesuatu yang baru dan dipaksakan
sementara posisi oposan ini kurang dikenal dalam nilai Pancasila.
Pancasila tetap mengakui kondisi alamiah yang berbeda dan
tidak dapat disamakan secara kodrati karena kesamaannya
lainnya dengan konservatif adalah “tidak ada konflik perbedaan
ini dalam kehidupan manusia.”
Konservatif berkembang dalam tiga subaliran, yaitu
konservatif reaksioner, konservatif revolusioner, dan konservatif
moderat. Konservatif reaksioner, menganggap semua tatanan di
jagad raya ini statis sebagai sesuatu yang teratur susunannya
dan masing-masing memiliki posisinya sendiri dan apabila keluar
dari posisi tersebut, hal itu merupakan rumusan anarki. Kaum
reaksioner mengklaim bahwa politik akan stabil bila bersandar
pada konsensus nilai spiritual yang sesungguhnya. Mereka
menganggap bahwa demokrasi dengan kebebasan akan memus-
nahkan demokrasi itu sendiri. Aliran ini sedikit bertentangan
dengan nilai Pancasila karena Pancasila menganggap bahwa
hubungan antara manusia dan Tuhan Penciptanya dan dengan
sesama manusia serta dengan alam lingkungannya adalah
hubungan yang dinamis, berkembang, dan berubah sesuai
dengan waktu.
Konservatif revolusioner menganggap pemikiran statis
sebagai suatu kemunduran dan menyatakan bahwa realisme
adalah penerimaan intrinsik dari konflik yang ada (ada lelaki ada
perempuan, ada jasmani ada rohani) dan perjuangan merupakan
esensi dari kehidupan itu sendiri. Aliran ini tetap meyakini adanya
konflik, tetapi harus ada perjuangan untuk mengatasinya.
Aliran revolusioner lebih dekat dengan nilai-nilai Pancasila jika
dibandingkan dengan aliran reaksioner.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 6


7
Konservatif moderat menganggap realisme ditandai oleh
penerimaan simpatik terhadap keanekaragaman eksistensi
dengan komitmen untuk diakomodasi di dalam kerangka kerja
sama negara yang terbatas. Cita-cita politik aliran moderat ini
bersifat seimbang, kompromis, moderat, dan sudah ada usaha
untuk berdamai dengan demokrat dan sosialis. Aliran moderat
ini sudah hampir mirip dengan Pancasila, tetapi tetap ada
perbedaannya, seperti kedudukan oposisinya yang tidak dikenal
dalam nilai-nilai Pancasila yang penuh dengan nilai musyawarah.
Konservatif lebih sering disebut sebagai “kaum kanan” karena
kurang memberikan konstribusi pada kemajuan. Sebenarnya,
istilah “kiri dan “kanan” lebih mengacu kepada pengaturan kursi
Majelis Nasional di Prancis pada tahun 1789. Anggota yang
menginginkan pembaruan akan menempati kursi sebelah kiri,
sedangkan yang kurang atau tidak menyetujui perubahan duduk
di sebelah kanan. Peristilahan “kaum kanan dan kaum kiri” telah
melahirkan “aliran tengah” atau “jalan tengah” yang diumumkan
oleh Mac Millan (1894-1986).
Era setelah Perang Dunia II mulai dirasakan masyarakat
Eropa dengan kemunduran di bidang rohani, yaitu hubungan
masyarakat dengan gereja akibat dari demokrasi liberal yang
cenderung sekular.
Mulai ada usaha untuk mempertemukan aliran tolalitarian
dengan individualis liberal. “Jalan tengah” ini mendapat banyak
kritik, antara lain, ketika terjadi pertemuan “tripartit informal” di
antara pemerintah, kongres persatuan dagang, dan konfederasi
industri Inggris. Banyak pakar menyebutnya sebagai persetujuan
dagang model Uni Soviet. Banyaknya kritik terhadap jalan tengah
memunculkan “aliran kanan baru” pada konservatif. Aliran kanan
baru memiliki dua mazhab, yaitu mazhab ekonomi dan mazhab
politik. Bagi mazhab ekonomi, masyarakat bebas memerlukan
pasar bebas dan legitimasi negara yang sebagian besar berasal
dari kontribusinya pada penciptaan dan pemeliharaan pasar
bebas tersebut. Untuk mempertahan tesis di atas, mazhab
ekonomi berpendapat bahwa jasa besar ekonomi “kanan

68 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


baru” adalah merestorasi rasionalitas dari institusi yang tidak
direncanakan (antara lain, pasar bebas) dalam suatu masa yang
cenderung menyamakan rasionalitas dengan perencanaan.
Dalam kenyataannya, mazhab ini kekurangan dasar etis bagi
cita-cita politiknya. Sementara itu, mazhab politik bersimpati pada
ideologi pasar bebas. Akan tetapi, mazhab politik mengubahnya
dengan menambahkan kepedulian terhadap faktor komunal dan
moral serta penekanan yang lebih besar tehadap nasionalisme
dan kewibawaan negara.
Jika dihadapkan dengan nilai-nilai Pancasila, aliran jalan
tengah lebih mendekati nilai Pancasila daripada totaliterisme dan
individualisme karena jalan tengah ini mengambil hal yang positif
pada totaliterisme dan individualisme sambil mengeliminasi hal
yang negatif dari kedua ideologi di atas. Meskipun aliran “kanan
baru”, terutama pada “mazhab politik” lebih dekat pada nilai-nilai
Pancasila daripada “jalan tengah”, tetap ada perbedaan, yaitu
bahwa aliran ini memposisikan dirinya terhadap aliran baru,
sedangkan Pancasila, sebagai ideologi terbuka, siap menerima
semua aliran yang akan diseleksi kesesuaiannya.
Pada peralihan abad ke-21 ini pengaruh aliran konservatif
kanan-baru lebih menonjol, terutama karena kontribusinya
terhadap sifat yang paling mencolok pada dekade ini yang sudah
menjadi perubahan dalam kerangka perdebatan politik, antara
lain,sosialisme tidak menganut lagi monopoli ortodoksi dan
partai sosialis mulai terlibat dalam penilaian kembali. Jika hal ini
berlanjut, perkembangan aliran konservatif makin dekat pada
nilai-nilai Pancasila.
d. Marxisme dan Komunisme
Dalam aliran-aliran yang menentang liberalisme,
marxisme dan komunisme adalah yang paling brutal dan
radikal walaupun ada kesamaannya karena, baik liberalisme
maupun marxisme atau komunisme sama-sama tumbuh untuk
mendukung perubahan dalam proses modernisme. Marxisme
lebih menekankan persaudaraan (fraternite) dari semboyan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 6


9
Revolusi Prancis “liberte, egalite, fraternite. “ Kondisi ini menurut
mereka tidak diwujudkan dalam dunia liberalisme. Kesetaraan
dan kebebasan yang didengungkan liberalisme hanya berlaku
sebagian dan tidak menyeluruh. Hal ini membuktikan bahwa
liberalisme memihak pada kepentingan segelintir orang yang
diuntungkan oleh masyarakat liberal.
Kritik atas kapitalisme yang mengoyak keadilan sosial
merupakan hardcore dari doktrin marxisme dalam semua
versinya, baik komunis Soviet, revisionisme, maoisme,
catroisme, maupun neo-marxisme Barat. Kritik-kritik itu ternyata
menim-bulkan otokritik pada masyarakat liberal dan telah terjadi
peru-bahan besar pada masyarakat kapitalis sehingga apa yang
dibayangkan marxisme terhadap kapitalisme ternyata tidak borjuis
lagi sehingga marxisme dan komunisme kehilangan sasarannya.
Meskipun demikian, bukanlah berarti bahwa marxisme tidak
ada gunanya karena apa yang hidup dalam marxisme telah
diserap dalam iklim intelektual umum. Tidak dapat disangkal oleh
siapapun bahwa keberhasilan marxisme adalah menyadarkan
akan adanya ketidakadilan struktur dalam masyarakat modern
yang sebagian besar dibentuk oleh kepentingan ekonomi. Salah
satu hasil dari evolusi internal marxisme adalah munculnya
ideologi sosialisme demokratis dan demokrasi sosial. Antara
marxisme dan komunisme banyak kesamaannya dan dapat
dikatakan marxisme adalah teorinya, sedangkan komunisme
adalah praktiknya. Dalam pemikiran Marx, manusia merupakan
makhluk praktis yang proses berpikirnya diatur oleh kebutuhan-
kebutuhan materiil.
Perjuangan manusia untuk memenuhi kebutuhan materiil
yang berkembang agaknya merupakan hal yang lebih “nyata”
daripada aktivitas mental kita. Amat ditekankan pentingnya
kekuatan-kekuatan produktif (alat dan instrumen) serta
hubungan produksi (cara manusia mengorganisasi dirinya agar
menggunakan kekuatan-kekuatan produktifnya tersebut). Jika
kekuatan produksi ini dimiliki oleh kelompok minoritas, hubungan
produksi akan bersifat eksploitatif sebab kelompok mayoritas

70 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dipaksa bekerja dengan upah rendah, sedangkan kaum minoritas
parasit menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk menikmati
surplus bagi diri mereka sendiri, Marx membagi masyarakat dalam
dua kelas dengan merujuk pada kepemilikan dan non-kepemilikan
alat produksi. Untuk menghilangkan perbedaan di antara kelas
ini, kepemilikan pribadi atas alat produksi dihilangkan, termasuk
agama, ketimpangan, pertentangan kelas, dan penindasan
negara. Bagi Marx, “semua sejarah adalah sejarah pertentangan
kelas” dan memberi suatu model perkembangan harus melalui
lima tahap, yaitu tahap asiatik, kuno, feodal, borjuis (kapitalis),
dan akhirnya komunis.
Apabila dibandingkan dengan nilai-nilai Pancasila, marxisme-
komunis memiliki beberapa persamaan dan perbedaan prinsip.
Jika komunisme memperjuangkan keadilan sosial, persaudaraan,
dan kesamaan, nilai-nilai ini juga ada dalam Pancasila. Perbedan
prinsipnya terletak pada pertentangan kelas yang ada pada
marxisme serta negara merupakan alat bagi golongan tertentu
untuk menguasai golongan lain. Dalam Pancasila dianut paham
semua untuk semua, semua untuk satu, serta satu untuk semua.
Pancasila memiliki nilai keseimbangan dalam hubungan manusia
dengan Tuhan penciptanya, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan alam lingkungannya sehingga bertentangan
dengan ajaran materialistis dalam marxisme. Marxisme sendiri
tidak populer di tempat kelahirannya di Jerman.
Di samping ideologi ini tidak digali dari nilai budaya bangsa
Jermania, dalam kenyataannya liberalisme tidak muncul sebagai
kapitalis yang digambarkan marxisme. Karl Marx menghabiskan
masa tuanya di London sebagai orang yang kurang dikenal. Lenin
membawa dan mengembangkan ideologi marxisme di Rusia
untuk kepentingan kelompoknya mencapai tujuan pembaruan
masyarakat di wilayah kekaisaran Rusia. Lenin mengajukan teori
revolusi yang pecah dari bawah yang memiliki tiga sifat utama
berikut:
1) Kelas pekerja secara eksklusif, melalui usaha mereka
sendiri, hanya dapat mengembangkan “kesadaran serikat

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 7


1
dagang” yang pada dasarnya suatu bentuk kesadaran
borjuis karena ia tidak dapat melampaui logika dari sistem
yang ada.
2) Kesadaran kaum sosialis yang asing dengan pengalaman
sehari-hari kaum proletariat harus dikembangkan melalui
kaum intelektual borjuis dan selanjutnya diberikan sebagai
suatu karunia kepada mereka yang masih bodoh.
3) Partai hendaknya tidak berasal “dari” kelas pekerja dan
“bagi” kelas pekerja serta barisan depan diangkat sendiri dari
semua latar belakang sosial dan tunduk pada kultur disiplin
partai pusat.
Lenin menambah bobot ideologi dengan strategi mencapai
tujuan sehingga ajaran ini menjadi marxisme-leninisme
(komunisme). Marxisme-lenisisme sebenarnya lebih disesuaikan
dengan kondisi Uni Soviet yang agraris. Ketika terjadi polarisasi
kekuatan dunia setelah Perang Dunia II yang ditandai dengan
munculnya perang dingin antara blok barat dan blok timur, Stalin
memanfaatkan ideologi ini untuk menyatukan negara tetangga
Rusia ke dalam Uni Soviet. Jadilah komunis komintern yang
mengarah pada organisasi yang mendunia.
Secara teoritis cukup banyak subaliran marxisme, seperti
marxisme ortodoks dan marxisme hegelian. Marxisme ortodoks
dengan pemikirnya Kautsky dan Plekhanov mengafirmasikan
secara teoretis dari buku Marx yang berjudul Das Capital.
Substansi buku itu menggambarkan hakikat kapitalis yang
memiliki sifat menghancurkan diri sendiri (self-destructive nature)
dan bergerak menuju sosialisasi alat produksi.
Marxisme hegelian dengan pendukungnya Gramsci dan
Lukacs tidak mau lagi menafsirkan tindakan manusia semata-
mata dari segi pikiran dan roh.
Bagi mereka kontribusi besar filsafat Marx terletak pada
penggabungan secara sempurna kreativitas manusia dan
materialitas sosial ekonomi. Meskipun laki-laki dan perempuan

72 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


bekerja dalam batas-batas yang sudah ditentukan secara
struktural, mereka menyimpan suatu kapasitas otonomi. Marxisme
dalam praktiknya adalah kaum komunis yang lama-kelamaan
mulai dikenal sebagai rezim komunis yang mulai mengacu pada
pelembagaan marxisme-leninisme sebagai instrumen kekuasaan
yang zalim sehingga terjadi jurang besar antara pengertian
komunis versi marxisme dan komunis dalam praktik. Ada upaya
untuk membebaskan marxisme dari tanggung jawab kezaliman
komunis dalam praktik dengan menyatakan bahwa semua
revolusi komunis terjadi di negara yang tidak memiliki tradisi
toleransi, terbelakang dalam pendidikan, dan tidak dipersiapkan
untuk revolusi proletariat murni, yaitu revolusi oleh kaum pekerja
terpelajar. Marxisme orthodoks sudah mengingatkan Lenin akan
bahayanya suatu revolusi karena akan menimbulkan kediktatoran
“atas” Kaum proletariat dan bukan kediktatoran “dari” proletariat.
Kezaliman rezim Lenin dapat dilihat ketika kaum Bolshevik
meneror partai penentang, menindas otonomi universitas,
mematikan kebebasan pers, mencabut hak milik atas tanah yang
begitu luas dan mencabut hak pilih warga, menyingkirkan kaum
intelektual, serta mengenalkan pembersihan ke semua bidang
kehidupan. Yoseph Stalin, pengganti Lenin, ternyata lebih zalim
dalam mempraktikkan marxisme.
Komunis Asia yang mengikuti jalan Stalin adalah Polpot
di Kamboja yang terkenal dengan pembunuhan massalnya.
Sementara itu, di Eropa, antara lain, ada di Albania. Di China
kediktatoran partai dan pemujaan pribadi secara berlebihan
kebetulan mendapat peneguhan dari ajaran yang dianut, yaitu
Confusius yang mengangkat Mao Zedong sebagai ketua partai
sekaligus pemimpin tertinggi RRC. Pada tingkat teratas Mao
membuat tiga amendemen terhadap teori Marxis, yaitu:
1) Meremehkan pentingnya proletariat kota dan mengklaim
bahwa revolusi mulai dari pedalaman dan dipelopori oleh
kaum tani;
2) Menempatkan kesadaran atas kemauan politik di atas
kondisi objektif atau materi; serta

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 7


3
3) Memperluas konsep kelas yang mencakup konsep
tentang bangsa.
Mao menolak istilah pertentangan kelas dalam revolusi dan
menolak anggapan bahwa revolusi di China adalah revolusi
internal. Bagi Mao, China adalah negara miskin dan proletariat
yang tertindas oleh bangsa borjuis yang makmur. Pertentangan
kelas diubah menjadi masalah internasional dengan bangsa-
bangsa menjadi pendukung utamanya. Pada medio 1960-an
pemujaan Mao mengarah pada malapetaka dengan munculnya
revolusi kebudayaan, antara lain, dengan cara para pekerja
didorong untuk mempermalukan manajer dan teknisi mereka,
mahasiswa didorong untuk mempermalukan mahaguru mereka,
dan ribuan orang terdidik dibunuh atau dipenjarakan. Akibatnya,
perekonomian menurun drastis walaupun akhirnya tentara
diperintahkan untuk menekan tatanan yang sudah rusak. Mao
wafat pada 1976. Sesudah kematiannya, semua kaum radikal
disingkirkan. Selanjutnya, China mulai mengenalkan beberapa
keistimewaan ekonomi pasar tanpa menghilangkan ideologi
bidang politik.
Marxisme pada peralihan abad ke-21 secara menyeluruh
sudah didiskreditkan walaupun masih ada protes dari akademisi
yang ingin memisahkan antara marxisme praktis dan marxisme
dalam gagasan. Melalui marxisme, dalam kritiknya terhadap
masyarakat borjuis tentang ketidakadilan ekonominya dan klaim
politiknya yang curang, Marx telah membuat beberapa hal yang
masih valid sampai saat ini.
Partai komunis pertama di Indonesia yang didirikan oleh
Sneevliet beraliran marxisme-leninisme. Ketika Muso kembali
dari Moskow pengaruh komunisme komintern mulai masuk
dalam partai komunis Indonesia dan menjelang peristiwa G-30-S/
PKI, pengaruh maoisme begitu kuat dalam partai komunisme
Indonesia. Ketika Deng Hsiao Ping muncul sebagai pimpinan di
China, mulai ada usaha untuk mengurangi pengaruh maoisme di
China sekaligus menghilangkan standar ganda politik luar negeri
China (di satu pihak membatu pemerintah suatu negara, di lain

74 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


pihak membantu subversi partai komunis di negara tersebut),
termasuk di Indonesia.
Saat Perang Dingin masih berlangsung, maka AS
dengan paham liberalismenya maupun Rusia dengan paham
komunismenya saling berebut pengaruh di berbagai belahan
dunia, termasuk di kawasan Amerika Tengah dan Amerika
Selatan. Perang Dingin ini mulai hilang/reda yang ditandai oleh
runtuhnya Rusia dan negara sekutu utamanya Yugoslavia,
sehingga pengaruh komunisme mulai bergeser.
Dengan menurunnya pengaruh Rusia beserta negara-
negara sekutunya di beberapa kawasan, berakibat tumbuhnya
dominasi pengaruh AS dan negara-negara sekutunya dengan
paham liberalisme di berbagai negara. Di Asia, di Amerika
Selatan dan Afrika, pengaruh ideologi liberalisme (pasar bebas)
dan penanaman modal asing (kapitalisasi) di negara-negara
berkembang di benua tersebut semakin meluas, apalagi hal
ini ditunjang oleh peran lembaga internasional seperti IMF dan
World Bank. Penguasaan ekonomi oleh modal asing dan negara-
negara maju ini telah menimbulkan jurang kemiskinan yang
semakin melebar, mengalirnya kekayaan negara berkembang
ke negara maju, ekonomi sangat bergantung pada negara kaya.
Kondisi ini telah mendorong beberapa pemerintahan, tokoh-
tokoh agama dan kelompok muda di negara-negara berkembang
untuk melakukan gerakan pembaharuan sosial dan penguasaan
kekayaan secara nasional, dan gerakan ini sering dikenal dengan
New-Left (Gerakan Kiri Baru). Sebagai contoh gerakan ini antara
lain terjadi di Nikaragua, Venezuela, Filipina. (lihat Buku Materi
Pokok Bidang Studi Ideologi Tahun 2018 halaman 28)
e. Demokrasi Sosial dan Sosialisme Demokratis
Demokrasi sosial merupakan hasil evaluasi internal marxisme
Barat. Istilah ini memaknai marxisme yang terorganisasi. Selain
itu, istilah ini sendiri telah mengandung gerakan antireformis yang
terorganisasi. Sosialis demokratis juga merupakan istilah yang
diciptakan oleh penganutnya sebagai suatu tindakan melepaskan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 7


5
diri dari ikatan realitas sosialisme yang tidak demokratis pada
abad ke-20. Akan tetapi, hal itu sekurang-kurangnya dalam
beberapa pola dimaksudkan untuk menegaskan kembali
komitmen terhadap transformasi sistem daripada hanya suatu
demokrasi sosial yang membaik.
Demokrasi sosial muncul sebagai bentuk sosialisme abad
ke-20 yang dominan di Barat. Demokrasi itu menjadi oposan
utama terhadap konservatisme politik dan organisasi praktik
kapitalisme. Demokrasi sosial bukanlah satu satunya oposisi
dalam istilah kaum sosialis karena doktrin ini menemukan musuh
dari para pembela status quo sehingga ia menemukan musuh
lain dalam tradisi marxis yang membantah mandat sosialisnya
dan mengklaim untuk menawarkan suatu alternatif yang canggih
secara intelektual dan hebat secara politis. Permasalahan yang
harus diperhitungkan tentang demokrasi sosial adalah apakah
ia harus dilihat sebagai suatu “revisi” terhadap Marxisme
berdasarkan asal dan lintasan politiknya atau apakah ia lebih
akurat untuk dianggap sebagai tradisi politik dalam kebenarannya
sendiri. Pecahnya sosialisme menjadi tradisi marxis dan
demokrasi sosial merupakan karakteristik fundamental dari
sebagian besar sejarah abad ke-20.
Sosialisme sebagai doktrin merupakan produk abad
modern. Sejarah awalnya tidak luput dari Revolusi Prancis dan
revolusi Industri di Inggris yang memunculkan revolusi politik dan
dari revolusi politik memunculkan revolusi ekonomi dan sosial.
Sosialisme muncul di Inggris dan Prancis pada dekade awal abad
ke-19. Para pemikirnya merupakan pemikir ekonomi dan pemikir
awal ilmu manajemen ilmiah yang mulai berkembang pada akhir
abad ke-19. Mesin ekonomi harus di nakhodai oleh manajer
ilmiah dan ilmu manajemen modern mulai dikembangkan yang
memengaruhi hubungan antara majikan dan buruh. Organisasi
buruh mulai muncul dan berkembang makin kuat sehingga
memengaruhi legislatif dalam pembuatan Undang-undang
mengenai perburuhan. Pada akhir abad ke-19 muncul perseroan
terbatas yang status hukumnya lebih jelas sehingga dunia hukum

76 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


mulai mengatur segi ekonomi. Apa yang ditakuti marxisme
tentang kapitalisme tidak terwujud, tetapi kritikan marxisme telah
dijadikan otokritik oleh liberalisme kapitalis sehingga melahirkan
sosialisme demokratis.
Pada abad ke-20 ilmu manajemen berkembang dari
manajemen ilmiah ke manajemen hubungan manusia. Dalam
konsep manajemen tersebut, harkat kemanusiaan pekerja makin
diperhatikan pada era ini. Dalam manajemen muncul jabatan
manajer personalia di dunia usaha. Harkat manusiawi ini makin
dijunjung dalam dunia usaha sehingga memunculkan pemikir-
pemikir baru yang beraliran sosialisme demokratis.
Jika dihadapkan dengan nilai-nilai Pancasila, nilai sosialisme
secara jelas terkandung dalam dasar keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Ideologi sosialisme demokratis dan demokrasi
sosial banyak kecocokannya dengan Pancasila hanya karena
kedekatannya dengan ideologi marxisme dan ada relatif banyak
ajaran marxisme yang diadopsi sosialisme.
Jika Pancasila menitikberatkan pada keseimbangan,
kesetaraan, dan kesesuaian kaya miskin, majikan, dan pekerja,
sosialisme lebih menitikberatkan pada kepentingan masyarakat
banyak, terutama kaum bawah.
Dalam peralihan abad ke-21 ini sedang diusahakan per-
kembangan jenis sosialisme baru yang masih berakar dari
tradisi lamanya, tetapi peran-peran kontemporernya dirumuskan
kembali. Pakar Michael Harrington menjelaskan hal ini sebagai
republikanisme sosialis yang terjadi ketika perkembangan politik,
ekonomi, dan sosial dari negara modern mengarahkan sosialisme
ke arah suatu konsepsi tentang tujuannya yang etis, multikelas,
dan desentralistis yang didasarkan pada penciptaan masyarakat
baru, baik di dalam negara maupun di seluruh dunia.
f. Anarkisme
Ideologi ini memiliki persaudaraan batin dengan komunisme.
Keduanya sama-sama menolak negara dan kapitalisme. Jika
komunisme menonjolkan ide solidaritas, anarkisme ingin

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 7


7
meradikalkan prioritas individu atau kolektif dan ide otonomi moral
yang sudah terlampir pada liberalisme. Anarkis menginginkan
liberalisme harus konsekuen dan tidak berhenti pada konsep
negara minimal. Negara itu sendiri harus dilenyapkan karena
merupakan sumber kendala otonomi individu dan ancaman bagi
kebebasan. Revolusi anarkis tidak berhenti pada pergantian
rezim, tetapi berlanjut pada perlenyapan spontan segala
otoritas dan hukum. Di sinilah tujuan akhir anarkisme, yaitu
berupa asosiasi sukarela dari individu-individu otonom atau self-
goverment.
Program anarkisme merupakan dasar desentralisasi politik
radikal sampai ke tangan individu terakhir. Sejauh liberalisme
dipandang sebagai penegakan hukum (rule of law), anarkisme
akan menunjang liberalisme.
Akan tetapi, di pihak lain anarkisme meradikalkan liberalisme
dalam asas kebebasan dan otonomi. Tujuan anarkisme secara
praktis tidak akan tercapai jika rule of law yang menjadi medium
sekaligus pembatas kesenjangan individu yang satu terhadap
yang lain dilenyapkan.
Anarkisme adalah salah satu ideologi dan salah satu aliran
pemikiran yang betul ada dan bukan untuk ditakuti dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Beberapa pemikiran anarkis tentang
negara, antara lain, sistem hukum dan penegakan hukumnya
dibuat dan dijalankan demi kepentingan kelas yang berkuasa
dan pemilik kekayaan, metode hukumannya, antara lain, penjara
adalah model barbarian, kekuatan angkatan bersenjata yang jauh
melindungi masyarakat merupakan instrumen kekuatan yang
kejam yang dirancang untuk perang, negara dijalankan dengan
ongkos mahal dan boros dalam melaksanakannya, serta negara
mempraktikkan birokrasi yang tidak efisien dan menetapkan
pajak dengan sewenang-wenang. Reaksi permusuhan terhadap
negara pemerintah dan otoritas yang terorganisasi ini diakarkan
pada pengalaman awal kelaliman monarki dan otoritarian yang
begitu khas di abad ke-19 di Rusia.

78 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pandangan anarkisme mengenai harta milik (Wlilliam
Goldwin) adalah bahwa setiap harta benda yang seharusnya
menjadi harta milik individu yang kepemilikan atasnya akan
menghasilkan kebaikan yang paling besar bagi banyak orang.
Harta milik hendaklah didistribusikan menurut klaim-klaim yang
dibutuhkan di tempat-tempat yang mengharuskan adanya
pemerataan kekayaan.
Perkembangan sains di bidang manajemen studi juga
memengaruhi pemikiran para anarkis. Mesinisasi di bidang
industri menjadikan manusia pekerja sebagai subsistem dari
manajemen tersebut. Hal ini membuat manusia menjadi semacam
robot hidup yang diatur berdasarkan siklus jam kerjanya sesuai
dengan sistem manajemen. Di satu pihak, mesin tidak mengenal
letih, sedangkan manusia pekerja butuh istirahat. Manajemen
melihat hal ini sebagai suatu yang kurang manusiawi sehingga
berkembang ke manajemen hubungan manusia yang dimulai
pada awal abad ke-20.
Jika dihadapkan dengan nilai-nilai Pancasila, Pancasila
tidak mengenal asas kolektivitas dan tidak memprioritaskan
individu. Pancasila mengambil jalur tengah berupa semua untuk
semua, semua untuk satu, dan satu untuk semua. Oleh sebab itu,
anarkisme tidak sesuai dengan Pancasila. Anarkisme menolak
rule of law, sedangkan Pancasila adalah dasar dari hukum dasar
Indonesia.
Fenomena berkembangnya “Asymmetric Warfare” perlu
juga Kita waspadai peringatan pada tulisan Bungkarno tetang
Jinghis Khan, Maha Imperalis Asia, antara lain, “Yang paling
menggairahkan di dalam kehidupan seorang laki-laki ialah:
“Mematahkan ia punya musuh-musuh, menggiring mereka
seperti ternak, mengambil dari mereka semua barang miliknya,
mendengarkan tangisnya orang-orang yang mencintai mereka,
menunggangi mereka punya kuda-kuda, dan memeluk mereka
punya perempuan-perempuan yang paling cantik!” Semakin
deras dan nyata ancaman yang kita hadapi dari geliat pengaruh
kerja sama antar bangsa yang semakin menunjukkan kekuatan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 7


9
hegemoninya. Sambutan di dalam negeri mulai terindikasi
kebangkitan ideologi Komunis Gaya Baru (KGB) yang berlindung
pada isu HAM dan isu klasik lainnya.
Pada peralihan ke abad ke-21 ini anarkisme memang sudah
berada pada posisi kegagalan. Ideologinya sering dinamakan
doktrin reaksioner dan tidak laku. Secara lebih halus ideologi
tersebut akan dikatakan sebagai ideologi yang absurd romantis
yang tidak dapat berdamai dengan realitas dari suatu dunia
yang individualistis, birokratis, dan urbanistis. Namun, ideologi
tidak dapat juga disepelekan karena kritiknya pada segi negatif
dari negara dan birokrasinya, terutama di abad yang makin
skeptis terhadap efisiensi dan manfaat tindakan suatu negara
serta kebutuhan rohani yang radikal untuk mengatasi masalah
perkotaan, ekologi, dan industri.
g. Feminisme
Ketimpangan struktural dalam masyarakat liberal kapitalis
yang disoroti marxisme dipakai oleh feminisme sebagai titik tolak
untuk mengungkapkan ketimpangan yang lebih fundamental
dalam masyarakat kapitalistik, yaitu ketimpangan gender.
Ideologi feminisme mencoba meyakinkan bahwa penindasan
seksual “lebih mendasar” daripada “penindasan kelas”. Dari tiga
ide Revolusi Prancis, ide egalite (persamaan) harus diwujudkan
secara radikal dalam bentuk kesetaraan gender.
Perjuangan feministik terhadap kesetaraan gender sudah sesuai
dan inheren dalam modernisasi. Emansipasi dari prasangka
purba manusia bahwa rumah atau ruang privat adalah lokus
alamiah perempuan ditentang kaum feministik sebagai hal yang
tidak alamiah, tetapi artifisial.
Melalui kemajuan teknologi modern, seperti penggunaan
alat kontrasepsi, terungkap bahwa perempuan juga dapat tidak
bergantung pada fungsi-fungsi domestik. Keperempuanan bukan
hakikat yang tidak dapat diubah. Jika keprivatan keperempuanan
dipersoalkan, distingsi privat dan publik dalam liberalisme
akan digugat oleh feministik karena mereka menganggap

80 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


distingsi tersebut artifisial yang dibuat berdasarkan konsensus
masyarakat yang didominasi laki-laki. Menuntut kaum feministis,
relasi kekuasaan bukan cuma pada dunia publik, melainkan telah
merasuk sampai dunia privat, antara lain, terjadinya kekerasan
pada perempuan dalam keluarga.
Seperti anarkisme dan marxisme, kritik feministik tampaknya
hanya tinggal kritik saja dan tertinggal jauh oleh begitu cepatnya
globalisasi serta tuntutan ekonomi pasar. Tuntutan feministis atas
kesetaraan gender dalam pendidikan, partisipasi demokratis,
akses ke dunia profesi, dan sebagainya tampaknya belum banyak
mengubah situasi. Begitu besarnya potensi perempuan sehingga
membuat tuntutan dari kaum feminis patut dipertimbangkan
adalah karena perempuan mengisi separuh penduduk dunia,
melaksanakan hampir dua pertiga dari jam kerja dunia, tetapi
menerima sepersepuluh pendapatan dunia dan memiliki harta
milik kurang dari seperseratus harta milik dunia. Ternyata dunia
belum adil pada perempuan. Nilai-nilai dalam Pancasila memiliki
nilai kesetaraan kesederajatan sehingga dalam idealisme
Pancasila tidak ada perbedaan status hak dan kesempatan
antara perempuan dan laki-laki.
Akan tetapi, Pancasila tidak terfokus pada kesetaraan
yang terlalu khusus antara laki-laki dan perempuan, seperti
yang diperjuangkan oleh kaum feministis. Pancasila memiliki
nilai keharmonisan antara yang alamiah dan sosial sehingga
walaupun tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam
status hak dan kesempatan, Pancasila tidak menganggap pria
sama dengan wanita karena secara kodrat alamiah memang
berbeda. Pada peralihan abad ke-21 ini, peran perempuan
makin menonjol dalam hampir semua kegiatan, baik sosial,
politik, ekonomi, maupun hankam. Perolehan peran-peran ini
dalam kehidupan masyarakat tidak hanya murni tuntutan kaum
feministis, tetapi lebih banyak karena perkembangan sosial
di masyarakat itu sendiri. Perkembangan politik akan memicu
perkembangan ekonomi dan perkembangan ekonomi akan
memicu perkembangan sosial.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 8


1
Hambatan terbesar dalam kesetaraan gender ini untuk
masa kapan pun adalah di bidang agama, terutama pada agama
Katolik dan Islam yang merupakan agama terbesar di dunia saat
ini. Kedua agama tersebut sampai saat ini dan sampai kapan pun
tidak akan mengizinkan “imam” dari kaum perempuan karena
terkait dengan ajaran yang dogmatis. Beberapa ayat di kitab suci
pun memunculkan dominasi suami dalam keluarga pada saat
istri harus menghomati suami sebagai kepala keluarga.
h. Ekologisme
Ketika semua ideologi lain memusatkan diri pada dunia
sosial, ada satu ideologi yang prihatin terhadap dunia alamiah,
yaitu ekologisme yang juga merupakan biosentrisme. Modernisasi
kapitalistik merupakan bentuk perkosaan manusia terhadap ibu
bumi sehingga terjadi analogi antara nasib alam dengan nasib
perempuan dalam feminisme yang memunculkan aliran baru
ekofeminisme. Alam yang ditanamkan oleh industrialisasi dan
teknologisasi pada gilirannya akan membentuk dan membuat
bumi menjadi tempat yang tidak layak lagi didiami oleh
manusia.Ekologisme ingin berusaha menghindarkan manusia
dari malapetaka itu. Programnya, antara lain, ekonomi hijau,
politik hijau, dan masyarakat hijau. Sekilas tampaknya ideologi
ini hanya beroperasi dengan reparasi-reparasi kerusakan
yang ditimbulkan oleh modernisasi kapitalistik, yakni program
penghijauan atau tanah yang telah ditanduskan. Ideologi ini
memiliki tuntutan yang lebih dalam lagi untuk mengubah gaya
hidup kapitalis yang hedonistis dan konsumtif lewat penarikan
diri dari antroposentrisme yang mengajarkan bahwa manusia
lebih berhak hidup di bumi ini daripada makhluk alamiah lainnya.
Ajaran ekologisme ini berhasil memunculkan kesadaran ekologis
sejak awal pembentukannya pada abad ke-18.
Ekologisme sebenarnya sudah ada dalam budaya
masyarakat tradisional sebelum dimanipulasi dan dieksploitasi
oleh ekonomi pasar. Kebebasan otonomi dan kesamaan yang
diperjuangkan liberalisme tidak lebih dari antroposentrisme yang
membahayakan lingkungan. Di sini terlihat bahwa ekologisme

82 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


secara sistematis mengangkat keberadaan yang sebenarnya
secara potensial sudah ada dalam kebudayaan-kebudayaan
dan dilakukan oleh kapitalisme. Secara alamiah ekologisme
lahir seumur dengan peradaban manusia yang menyatu dengan
alamnya dan baru pada abad ke-18 mulai muncul pemikir, seperti
Thomas Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan manusia
meningkat secara geometris, sedangkan produksi makanan
hanya meningkat secara arit metris sehingga dikhawatirkan terjadi
kelaparan pada masa depan. Pemikir lain dari Amerika Serikat,
yaitu John Muir (1838-1946) yang secara resmi sudah mendesak
pemerintah untuk memelihara hutan belantara, dan Gillord
Penchot (1865-1946) mendesak perlindungan terhadap sumber
daya alam karena nilai kemanfaatannya. Gagasan keduanya
memunculkan ide preservasionis (Muir) dan konservasionis
(Pinchot) yang telah diwariskan kepada kita sampai saat ini.
Jika dihadapkan dengan nilai Pancasila, paham ini memiliki
banyak kesamaan karena Pancasila mengakui hubungan manusia
dengan alam lingkungannya. Berkaitan dengan sila Persatuan
Indonesia, persatuan yang dimaksud bukan hanya persatuan
sesama bangsa, melainkan juga persatuan dengan bumi tempat
berpijak. Perbedaannya adalah bahwa dalam Pancasila tidak
hanya ada hubungan manusia dengan alam lingkungan, tetapi
juga ada hubungan dengan Tuhan penciptanya serta sesama
manusia. Ekologisme peralihan abad ke-21 akan terus ada dan
makin berpengaruh karena isu global, seperti isu lingkungan
hidup yang makin kuat memengaruhi segala kehidupan manusia.
Memang ada sedikit perbedaan antara Ekologisme dan aliran
lingkungan (environmentalisme). Gerakan hijau makin diperlukan
dan ada dalam kehidupan manusia. Dengan makin kuatnya
gerakan hijau mengemukakan permasalahan yang berkaitan
dengan program ekologi dan menekankannya sebagai unsur
politik, masa depan ekologisme akan terus cerah.
i. Nasionalisme
Ideologi nasionalisme agak berbeda dari ideologi lain
yang lahir karena reaksi atau bentuk dan koreksinya terhadap

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 8


3
liberalisme. Nasionalisme sebagai suatu kesadaran dan
perasaan sentimental sebangsa sudah ada seumur dengan
peradaban manusia. Ideologi ini tidak sekadar mengeksplorasi
kesadaran modern, tetapi juga sudah memiliki ide-ide kolektif
asli yang masih murni utuh. Bangunan tentang kelompok original
itu, baik bangsa, ras, maupun agama dapat mengutuhkan
kembali identitas kolektif yang luntur akibat proses modernisasi
kapitalistis. Elemen-elemen kesadaran modern, seperti konsep
kedaulatan dan rasionalitas penguasaan massa jalin-menjalin
dengan sentimen ke-”kita”-an yang ditimba banyak dari masa
silam.
Nasionalisme modern lahir dari Revolusi Prancis danmenjadi
saudara kembarnya liberalisme. Dalam kategori bangsa (nation)
dicakup asas kenegaraan, kewarganegaraan, dan kebebasan
universal. Dahulu kala masyarakat membangsa hingga menegara
karena ras. Akan tetapi, dengan terjadinya mobilisasi penduduk
akibat kelaparan, epidemi, bencana alam, dan perang suku di
suatu wilayah tertentu, sudah sulit mendapatkan masyarakat
yang seratus persen seetnis. Masyarakatnya sudah multietnis
dan heterogen. Masyarakat yang multietnis dan heterogen ini
ingin membangsa dan menegara dan menurut Ernest Renan
persyaratannya adalah “ada kehendak ingin bersatu”. Persatuan
ini diperkuat lagi dengan ilmu geopolitik, yaitu persatuan antara
manusia dan tanah tempat berpijak. Nasionalisme modern adalah
demosentris dan bukan etnosentris. Namun, ada kecenderungan
suatu bangsa ingin memunculkan identitasnya karena identitas
merupakan salah satu sarana memperkuat bangsa (nation)
tersebut. Identitasisme akan mengarah pada kekitaan dan paham
bangsa yang mengarah pada kekitaan tidak sesuai dengan nilai
Pancasila terutama sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Nilai Kemanusiaan adalah nilai universal yang membuat
bangsa saling menghormati dengan bangsa lain. Ir. Soekarno
dalam menyampaikan pidato usul dasar negara mengusulkan
internasionalisme/peri kemanusiaan untuk membatasi

84 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


nasionalisme fanatis yang mengarah pada chauvinisme dan
etnosentrisme. Banyak pemikir menyampaikan soal pemikiran
mereka tentang nasionalisme, antara lain, Max Weber yang
mengatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu ideologi
yang memiliki kekuatan pengaruh yang menggerakkan serta
merupakan perasaan menjadi bagian dari sesuatu dan berfungsi
membangun perasaan bagi satu komunitas nasional. Para
penyebar ideologi ini mengatributkan kepada negara mereka
suatu identitas kultural yang khas yang menetapkan negara
itu terpisah dari negara lain dan memberikan suatu tempat
khusus di dalam proses historis. Komunitas ini diidentifikasikan
dengan seperangkat karakteristik unik yang berasal dari realitas
konstitusional, historis, geografis, agama, bahasa, etnis, atau
genetis.
Selama negara bangsa yang muncul menegakkan prinsip civil
society sebagai proses ketika semua penduduk tetap menikmati
sepenuhnya hak asasi manusia karena kewarganegaraan
terlepas dari kriteria etnis, nasionalisme tidak dapat dipecah
dari liberalisme politik dan menghasilkan nasionalisme liberal.
Dengan demikian, identitas-identitas subjektif yang berupa
kecintaan pada negara akan menimbulkan patriotisme yang
dapat dibedakan dari identitas primer (etnis).
Dalam masyarakat patrional kebutuhan yang universal
terhadap identitas dan rasa memiliki sering dipenuhi oleh bentuk
kecintaan objektif yang hebat pada tanah air (chauvinisme) atau
pada etnis sendiri (etnosentrisme). Orang sering memelihara
perasaan ini dengan memusuhi negara etnis atau kelompok
lain yang berbeda yang ada dalam negara. Emosi semacam
ini rentan terhadap muatan yang revolusioner. Dalam kasus
ini nasionalisme dapat berlaku sebagai legitimasi terhadap
kebencian kepada orang asing (xenofobia) dan diskriminasi
berdasarkan etnis (rasisme).
Baik nasionalisme liberal maupun nasinalisme dengan
identitas primer tidak cocok dengan Pancasila karena muatan
individualisme dan kebebasan dalam nasionalisme liberal

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 8


5
sangat kuat, sedangkan identitas primer akan memunculkan
chauvinisme. Kebangsaan Indonesia ke dalam menganut
semua untuk semua, semua untuk satu, dan satu untuk semua,
sedangkan kebangsaan Indonesia ke luar menganut saling
menghormati antarbangsa di dunia. Pancasila tidak mengenal
diskriminasi sehingga Pancasila tidak mengenal chauvinisme.
Dalam peralihan ke abad ke-21 pengaruh etnosentris
sangat kuat dalam membentuk negara. Hal itu dapat dilihat dari
pecahnya Uni Soviet. Negara aslinya muncul kembali dengan
etnosentrisme yang sangat kuat pada negara barunya. Yugoslavia
pecah kembali karena etnosentrisme dengan membentuk negara
pecahan.
Cekoslovakia pecah juga karena pengaruh etnosentrisme
ras Ceko dan Slovakia. Ada upaya negara bagian Quebec di
Kanada memisahkan diri dari negara induknya Kanada karena
etnosentrisme. Bangsa Kurdi yang berada di perbatasan Turki,
perbatasan Irak, dan perbatasan Iran ingin menegara berdasarkan
etnosentrisme, tetapi menemui kendala dari negara induk Turki,
Irak, dan Iran yang tidak mau negara Kurdistan berdiri.
j. Fasisme
Fasisme melihat demokrasi liberal sebagai sesuatu yang
mengasingkan manusia dan mengancam kohesi sosial. Dengan
demikian, ideologi ini tidak saja kembali ke kolektivisme, tetapi
juga mementaskan mitos kepemimpinan gaya khas fasisme
dalam mencapai tujuan politiknya, yaitu partai massa, pemimpin
karismatik, pemakaian teror, dan propaganda total. Ideologi ini
memusuhi liberalisme, konservatisme, dan komunisme sekaligus.
Orang menganggap fasisme sebagai kegagalan modernitas, tetapi
ada paham yang memandangnya sebagai tahap perkembangan
di dalam modernitas kapitalistis itu sendiri. Ideologi ini termasuk
yang paling kompleks karena menggabungkan filsafat yang
berjauhan satu sama lain, seperti ide tentang kuasa elite dari
Plato, kehendak umum dari Rousseau, prioritas atas individu
dari Hegel, pemujaan kekuasaan dan mitos keyakinan akan elan

86 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


sejarah dari Bergson, serta kultur kekerasan dari Sorel. Berbagai
arus pemikiran tersebut terhimpun secara mendalam di satu titik
yang berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan totalitas.
Di dalam bukunya, Mein Kampf Hitler menuliskan bahwa
ekonomi ini merupakan tingkat kegunaan kedua atau ketiga
dan ekonomi harus dilihat sebagai bagian dari tujuan yang lebih
luas. Fasisme klasik lebih menonjol pada serangan-serangan
terhadap ideologi lain, khususnya komunisme, konservatisme,
dan terutama liberalisme. Sebagai pendatang baru di dunia
politik, fasisme memposisikan eksistensinya dengan menyerang
ideologi yang sudah mantap. Fasisme klasik bercirikan partai
massal dengan menggunakan propaganda yang luas dan
dipimpin oleh pemimpin karismatik.
Sesudah tahun 1945, fasisme klasik dianggap sampah
politik, lalu muncul fasisme baru yang dikenal dengan neofasisme,
antara lain, beberapa rezim besar, seperti Pinochet di Cili dan
Saddam Husein di Irak. Pemikir neofasisme berupaya untuk
merevisi fasisme klasik, tetapi neofasisme muncul berbeda- beda.
Bahkan, ada yang masih mendewakan kembali antisemitisme
Hitler. Beberapa neofasisme mendukung Eropaisme dengan
maksud menyelamatkan Eropa dari neokomunisme.
Jika dihadapkan dengan Pancasila, ideologi tersebut
tidak cocok dengan nilai Pancasila karena Pancasila menolak
chauvinisme, sedangkan fasisme memujanya. Asas mufakat
dan asas kemanusiaan dalam Pancasila bertentangan dengan
metode propaganda total dan praktik antisemitisme yang telah
dipraktikkan dalam pembunuhan jutaan warga Yahudi di camp
selama Perang Dunia II.
Pada peralihan abad ke-21 ini, neofasisme mungkin masih
dapat berkembang dalam kelompok muda yang teralienasi,
terutama di bekas Jerman Timur yang perekonomiannya
masih belum sama dengan masyarakat bekas Jerman Barat.
Kesenjangan ini membuat mereka ingin mempraktikkan identitas
yang berbeda seiring dengan kondisi makin banyaknya imigran

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 8


7
asing yang masuk ke Jerman. Mereka menjadi pesaing kaum
muda eks Jerman Timur di bidang lapangan kerja. Menyatunya
Eropa dalam satu mata uang dan keimigrasian memudahkan
masyarakat Eropa Timur ke Eropa Barat mencari lapangan kerja.
Kehadiran mereka makin memberi peluang kaum muda Jerman
yang teralienasi untuk menjadi neofasis.
k. Islam Fundamental
Jika fasisme bereaksi kompleks terhadap modernitas, Islam
fundamental atau Islamisme bereaksi secara khusus terhadap
satu elemen modernitas, yaitu sekularisme. Islam fundamental
merupakan reaksi terhadap sekularisme dan liberalisme dan
muncul dalam gerakan “kembali ke fundamen agama”. Karena
gerakan ini lahir akibat modernisasi, dapat dikatakan bahwa
fundamentalisme adalah anak dari modernisasi itu sendiri. Hasrat
teokrasi lahir dari konfrontasi atas modernitas dengan cara-cara
modern. Tesis lama di Barat mengatakan bahwa fundamentalisme
lahir dari ketidak mampuannya untuk menanggapi krisis-krisis
yang ditimbulkan oleh modernisasi. Namun, perlu ditambahkan
bahwa ketidakmampuan itu mendapat sumbangan dari beban
sejarah kolonialisme atas negara-negara Islam dan dari
ketimpangan global yang menghasilkan konflik utara-selatan
dewasa ini. Melalui sikap antiliberal dan anti Barat, Islamisme
dapat dilihat sebagai dekolonisasi yang terlambat serta fanatisme,
puritanisme, eksklusifisme, dan ekstremisme yang terkandung di
dalam dogma dan yang praktisnya telah menjadikan Islamisme
sebagai agama baru di tengah kemajemukan di dalam Islam itu
sendiri.
Fundamentalisme Islam merupakan sebuah ideologi yang
berusaha untuk menetapkan kembali agama Islam sebagai
sistem politik dalam dunia modern. Dalam pengertian ini,
Islam menjadi suatu sistem organik total yang bersaing secara
komprehensif dengan jangkauan ideologi serta sistem negara
lain. Dalam Islam sendiri ada keanekaragaman, baik yang sudah
mendunia, regional, maupun lokal.

88 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Sekularisasi dapat menjadi salah satu dari sejumlah makna
yang menandai hubungan antara negara dan agama. Hasil
pemantauan banyak paham menyatakan bahwa penolakan
Islam terhadap sekularisme kuat sekali. Pada dekade kedua
memasuki abad ke-20 Turki menjadi negara Islam pertama yang
menyatakan sekularisme di negaranya. Padahal, negara itu
selama berabad-abad menjadi pusat kesultanan Islam terbesar
dunia.
Jika dihadapkan dengan nilai Pancasila, sejak awal ketika
mempersiapkan kemerdekaan, para pendiri bangsa (founding
fathers) yang mengusulkan dasar negara tidak setuju Indonesia
berdasarkan pada agama atau Islam walaupun lebih dari
90 persen warganya beragama Islam. Para pendiri bangsa
memberikan solusi agar kepentingan Islam dapat disalurkan,
antara lain, dibuktikan dengan usulan Ir. Soekarno tentang sila
mufakat, musyawarah, dan perwakilan.
Dalam musyawarah dan perwakilan inilah umat Islam dan
umat beragama lain menyalurkan aspirasi kepentingannya
untuk dimusyawarahkan dan dimufakatkan. Sementara itu, sila
ketuhanan tidak memungkinkan bangsa Indonesia menganut.
Sila kebangsaan menganut paham negara semua untuk semua,
semua untuk satu, dan satu untuk semua bukan hanya untuk
satu golongan saja (agama, suku, golongan).
Pada peralihan abad ke-21 ini kemungkinan berkembangnya
fundamentalisme Islam relatif besar akibat kebijakan Amerika
Serikat yang kurang adil terhadap ekonomi dan politik di Timur
Tengah.
Amerika Serikat tetap menganak emaskan Israel yang
menjadi musuh bebuyutan negara-negara Islam, tetangga Israel.
Kebijakan ekonomi Amerika Serikat yang ingin menguasai
minyak di Timur Tengah dari hulu sampai hilir menimbulkan
reaksi dari beberapa pengusaha Arab sehingga memunculkan
gerakan Alqaeda. Kebijakan Amerika Serikat di Irak menimbulkan
reaksi di negara Islam lainnya sehingga terjadi perubahan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 8


9
besar politik di negara tersebut, antara lain, kemenangan Partai
Hamas di Palestina dan munculnya kembali pemerintahan yang
lebih fundamental di Iran. Kondisi di Irak sendiri belum dapat
diprediksikan. Akan tetapi, jika Amerika Serikat tidak berhasil
menurunkan tingkat pertentangan kelompok-kelompok agama
di Irak dan terjadi perang saudara yang lebih radikal, akan
timbul korban yang cukup besar di kedua pihak (Sunni dan
Syiah). Pihak Amerikalah yang akan dipersalahkan oleh kaum
fundamentalis sebagai penyebabnya. Semua isu negatif yang
ditujukan ke Amerika Serikat merupakan vitamin bagi tumbuhnya
fundamentalisme Islam di semua negara Islam jika ada yang
memprakarsainya. Kelompok fundamentalis di setiap negara
Islam bisa saja di organisasi secara mendunia oleh kelompok
anti-AS tertentu.
l. Komunis Gaya Baru
Di dunia yang besar dan terus berkembang, berbagai
pemikiran yang terkait dengan ideologi sebagai landasan bagi
penataan dan pengaturan hidup manusia yang tergabung dalam
suatu negara tidak pernah berhenti. Pada suatu masa manusia
melihat bahwa kekuasaan untuk mengatur negara dan warga-
bangsa dilandaskan pada ideologi yang memandang raja adalah
pemegang kekuasaan mutlak sehingga raja adalah hukum
negara. Pada suatu masa yang lain berkembang ideologi yang
lainnya bahwa kekuasaan raja berasal dari Tuhan, sehingga
kekuasaan penguasa diatur oleh kitab suci. Kemudian tumbuh
ajaran yang mengatakan bahwa kekuasan mutlak manusia
berasal dari hak asasi individu yang ada sejak lahir, sehingga
negara harus diatur berdasarkan hukum dasar yang berasal dari
kesepakatan atau perjanjian antar manusia. Selanjutnya tumbuh
pemikiran mengenai ajaran-ajaran yang mendasari pengaturan
hidup berbangsa dan bernegara seperti liberalisme-kapitalisme,
marxisme komunisme, neoliberalisme, islamisme, konservatisme,
demokratsosialisme, fasisme, anakisme atau destrukturalisme,
feminisme, ekologisme, materialisme, dan globalisme serta
kosmopolitanisme. Perkembangan ideologi-ideologi di dunia ini

90 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


pasti akan mempengaruhi tata kehidupan bangsa Indonesia,
apalagi saat ini semua pemikiran dan pengetahuan dari berbagai
mashab di dunia sangat mudah untuk diakses dan dipelajari oleh
siapapun juga melalui berbagai sarana komunikasi yang sudah
sangat maju dan sistem keterbukaan informasi dan pengetahuan.
Oleh karena itu Pancasila sebagai ideologi nasional harus
bersifat terbuka dan mampu melakukan reintepretasi diri guna
menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan pemikiran/
pengetahuan di dunia dan sekaligus harus mampu menyesuaikan
dengan sistem pengaturan hubungan antarmanusia dan
antarnegara yang dilandasi oleh berbagai ideologi yang dianut
oleh manusia dan negara yang berbeda-beda di belahan dunia
lainnya.

10. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Di Tengah Era Global


a. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Fungsi Pancasila untuk memberikan orientasi ke depan
mengharuskan bangsa Indonesia selalu menyadari situasi
kehidupanyangsedangdihadapinya.Kemajuanilmupengetahuan,
kecanggihan teknologi, dan pesatnya perkembangan sarana
komunikasi membuat dunia makin kecil dan interdependensi di
kalangan bangsa-bangsa di dunia menguat. Ini berarti bahwa
pembangunan nasional tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
dalam negeri, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang berkaitan dengan modal. Bangsa Indonesia yang sedang
sibuk membangun dengan usaha memecahkan masalah-
masalah dalam negeri, seperti kemiskinan dan kesenjangan
sosial, mau tidak mau terseret ke dalam jaringan politik dunia
yang makin dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi
raksasa. Globalisasi ekonomi jelas memberikan dampak yang
cukup jauh, baik dalam bentuk ancaman ketergantungan yang
mempersulit usaha bangsa menuju kemandirian maupun dalam
bentuk pemupukan modal di kalangan kelompok elite yang tidak
selalu sejalan dengan kebijaksanaan pemerataan kesejahteraan.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 9


1
Hal itu semua menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
dihadapkan pada tantangan untuk bertahan hidup, yaitu
tantangan untuk memiliki cara hidup dan tingkat kehidupan yang
wajar secara manusiawi dan adil. Tantangan itu hanya bisa diatasi
apabila bangsa Indonesia di satu pihak tetap mempertahankan
identitasnya dalam ikatan persatuan nasional dan di pihak lain
mampu mengembangkan dinamikanya agar mampu bersaing
dengan bangsa-bangsa lain. Dinamika tersebut mengandalkan
kemampuan untuk beradaptasi terhadap proses kehidupan
yang baru dan berinovasi untuk menciptakan kualitas kerja dan
kualitas produk yang makin baik. Daya saing masyarakat hanya
akan meningkat apabila sikap yang rasional, kritis, dan kreatif di
kalangan masyarakat selalu dipupuk.
Untuk menjawab tantangan tersebut, jelaslah Pancasila perlu
tampil sebagai ideologi terbuka karena ketertutupan hanya akan
membawa kemandekan. Keterbukaan tidak berarti mengubah
nilai-nilai dasar Pancasila, tetapi mengeksplisitkan wawasannya
secara lebih konkret sehingga memiliki kemampuan yang lebih
tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru. Suatu ideologi
adalah terbuka, sejauh tidak dipaksa dari luar, tetapi terbentuk
justru atas kesepakatan masyarakat sehingga merupakan
milik masyarakat. Sebaliknya, ideologi tertutup memutlakkan
pandangan secara totaliter sehingga masyarakat tidak mungkin
mengambil jarak terhadapnya dan tidak mungkin memilikinya.
Bahkan, masyarakat dan martabat manusia akan dikorbankan
untuknya.
Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai
yang bersifat mendasar dan tidak langsung bersifat operasional
sehingga setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan
dengan menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu
datang silih berganti melalui refleksi yang rasional sehingga
terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian, jelaslah
bahwa penjabaran ideologi dilaksanakan melalui interpretasi dan
reinterpretasi yang kritis.

92 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


J. Hebermas, menekankan, pada era demokrasi penting
untuk mengembangkan dan membuka Public Sphere dengan
kesempatan berdialog yang bebas dan bertanggung jawab.
Salah satu idenya antara lain, untuk menafsirkan nilai-nilai
(Pancasila) selalu akan berkembang tiada akhir. Namun, perlu
disadari bersama hal tersebut perlu dilandasi semangat dan
cinta kepada bangsa dan NKRI secara kuat. Di situlah dapat
ditunjukkan kekuatan ideologi terbuka, sebuah hal yang tidak
didapatkan dalam ideologi tertutup, karena memiliki sifat yang
dinamis dan tidak akan membeku. Sebaliknya, ideologi tertutup
mematikan cita-cita atau nilai-nilai dasar dan hanya mampu
menunjukkannya sebagai fosil-fosil yang mati.
Dalam menjabarkan nilai-nilai dasar Pancasila agar menjadi
makin operasional sehingga makin menunjukkan fungsinya
bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah
dan tantangan dewasa ini, perlu diperhatikan beberapa
dimensi yang menunjukkan ciri khas dalam orientasi Pancasila.
Sekurang-kurangnya ada tiga dimensi. Dimensi pertama adalah
dimensi teleologis yang menunjukkan bahwa pembangunan
mempunyai tujuan, yaitu mewujudkan cita-cita Proklamasi 1945.
Hidup bukanlah ditentukan oleh nasib, tetapi bergantung pada
rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan usaha manusia. Dengan
demikian, dimensi ini menimbulkan dinamika dalam kehidupan
bangsa. Kehidupan manusia tidak ditentukan oleh keharusan
sejarah yang bergantung pada kekuatan produksi sebagaimana
dikemukakan pandangan marxisme. Manusia terlalu tinggi
derajatnya untuk sepenuhnya hanya ditentukan oleh faktor
ekonomi. Manusia mempunyai cita-cita, mempunyai semangat,
dan mempunyai niat ataupun tekad. Oleh karena itu, manusia
mampu mewujudkan cita-cita, semangat, niat ataupun tekadnya
itu ke dalam kenyataan dengan daya kreasinya.
Dimensi kedua adalah dimensi etis. Ciri ini menunjukkan
bahwa dalam Pancasila martabat manusia mempunyai
kedudukan yang sentral. Seluruh proses dalam pembangunan
diarahkan untuk mengangkat derajat manusia melalui pen

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 9


3
ciptaan untuk kehidupan yang manusiawi. Ini berarti bahwa
pembangunan yang manusiawi harus mewujudkan keadilan
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupannya. Di pihak lain,
manusia pun dituntut untuk bertanggung jawab atas usaha dan
pilihan yang ditentukannya. Dimensi etis menuntut pembangunan
yang bertanggung jawab.
Dimensi ketiga adalah dimensi integral-Integratif. Dimensi
ini menempatkan manusia tidak secara individualistis, tetapi
dalam konteks strukturnya. Manusia adalah pribadi, tetapi juga
relasi.
Oleh karena itu manusia harus dilihat dalam keseluruhan
sistem yang meliputi masyarakat, dunia, dan lingkungannya.
Pembangunan diarahkan bukan saja kepada peningkatan
kualitas manusia, melainkan juga kepada peningkatan kualitas
struk-turnya. Hanya dengan wawasan yang utuh seperti itu
keseim-bangan hidup bisa terjamin. Berdasarkan analisis di atas,
dapat ditarik beberapa simpulan untuk menjadi arahan dalam
usaha menjabarkan Pancasila secara operasional. Penjabaran
Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu memikirkan terciptanya
struktur proses berikut ini dalam bidang-bidang kehidupan
masyarakat dalam menyongsong tahap tinggal landas.
Pertama adalah perlunya dinamisasi kehidupan masyarakat.
Hal itu diperlukan agar bertumbuh mekanisme sosial yang
mampu menanggapi permasalahan dengan daya-daya inovasi,
kreasi, dan kompetisi.
Kedua adalah perlunya demokratisasi masyarakat
yang mampu membentuk setiap warga negara dewasa dan
mampu untuk bertindak berdasarkan keputusan pribadi dan
tanggung jawab pribadi. Kedewasaan demokratis tercermin
dalam kesanggupan sikap insan untuk melihat masalah di
lingkungannya, menganalisisnya, mengambil keputusan, dan
berani melaksanakan pilihannya secara bertanggung jawab.
Ketiga, perlu terjadinya fungsionalisasi atau refungsionalisasi
lembaga-lembagapemerintahdanlembaga-lembagamasyarakat.

94 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Suatu sistem kehidupan mempunyai bagian-bagian yang
menjalankan fungsinya masing-masing. Tidak berfungsinya satu
bagian akan mengganggu kelancaran seluruh sistem sehingga
tidak berjalan secara wajar. Namun, beban yang berlebihan pada
satu bagian akan meng-ganggu pula arus gerak sistem secara
keseluruhan. Diperlukan kooperasi dan koordinasi yang hidup
dan seimbang di antara bagian-bagian sistem masyarakat.
Keempat adalah perlunya dilaksanakan institusionalisasi
nilai-nilai, yang membuat seluruh mekanisme masyarakat berjalan
dengan wajar dan sehat. Kekuatan dan dinamika kehidupan
masyarakat tidak hanya tercipta dalam penghayatan nilai-nilai
yang luhur, tetapi harus disertai dengan pelembagaan nilai-nilai
luhur tersebut dalam berbagai bidang kehidupan sehingga terjadi
hubungan yang saling mendukung antara aktor (sebagai pelaku)
dan struktur (sebagai jaringan yang mengkondisikannya).
b. Tantangan Aktualisasi Pancasila
Pancasila pada hakikatnya adalah ideologi humanis
yang bercirikan emansipatoris. Sebagai ideologi Pancasila
mempunyai daya kekuatan yang menggerakkan masyarakat agar
menjalankan tindakan-tindakan riil dalam kehidupan masyarakat
sesuai dengan aspirasi nilai-nilai yang dikandungnya. Tindakan-
tindakan itu bersifat emansipatoris karena pada dasarnya
merupakan langkah pembebasan bangsa dari berbagai bentuk
penjajahan, penindasan, kekerasan, dan dominasi.
Berkaitan dengan hal itu, harus disadari bahwa kita pun
sekarang ini hidup dalam zaman global. Berkat penetrasi iptek,
informasi, modal, dan media komunikasi, dunia kita sering
disebut sebagai Global Village (Anthony Giddens), Borderless
World (Kenichi Ohmae), ataupun bercirikan Space Compression
(D. Harvey) beserta arus kepentingannya yang menyebar ke
pelosok-pelosok dunia pada umumnya. Ini berarti kalau tidak
hati-hati karena tidak mampu bertahan karena kepribadian yang
lemah, orang akan terombang-ambing oleh pengaruh arus global
yang tentu saja membawa kepentingannya sendiri.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 9


5
Proses globalisasi yang menimbulkan tantangan dan
ancaman bagi bangsa Indonesia dewasa ini adalah desakan
konsumerisme (Baudrillard) yang melanda kehidupan bangsa
bagaikan tsunami.
Globalisasi membawa masyarakat dapat menyaksikan
gedung-gedung menjulang dan hotel-hotel yang mewah untuk
dihuni, dan dikunjungi. Globalisasi juga mendorong mereka
untuk mengagumi mal-mal yang penuh dengan komoditas yang
dijajakan melalui etalase model pakaian ala Marks & Spencer,
Nike dan Adidas, restoran-restoran bergengsi, seperti Starbucks,
Kentucky Fried Chicken, dan McDonald serta iklan-iklan di layar
TV serta pertunjukan-pertunjukan menarik melalui multimedia. Itu
semua tidak sekadar menawarkan komoditas untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, tetapi juga secara halus (tidak disadari)
mendesakkan, bahkan memaksakan semuanya menjadi seakan-
akan merupakan kebutuhan riil yang sebenarnya.
Dengan demikian, masyarakat membeli gengsi dengan
makan di restoran dan mal-mal tersebut. Ini berarti bahwa
masyarakat menjalani kehidupan yang semu (Hyper Reality,
Baudrillard) karena tidak hanya keputusan pribadi yang otentik
dalam menentukannya, tetapi status yang dibentuk oleh faktor
pengaruh dari luar melalui iklan dan tayangan yang tiada
berkesudahan dan menjadi ukuran semu pula. Dengan demikian,
masyarakat tidak menyadari telah dikelabui oleh desakan
serta pengaruh iklan dan media massa tersebut sehingga
konsekuensinya membuat masyarakat makin konsumtif walaupun
masyarakat pada dasarnya memang konsumtif pasif dan tidak
mampu memproduksi bahan-bahan kebutuhannya sendiri.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia dibuat menjadi “bangsa
importir” yang terpaksa hidup dari barang-barang kebutuhan
yang berasal dari luar negeri. Dengan demikian, masyarakat
menjalani kehidupan yang palsu. Masyarakat dibuat hidup
mewah karenanya walaupun sebenarnya miskin. Ancaman
konsumerisme ini terletak dalam kenyataan bahwa kekuatan-
kekuatan perusahaan ekonomi merupakan pemegang kekuatan

96 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


global yang mampu menjadikan konsumerisme sebagai alat untuk
mendatangkan keuntungan dengan mengeksploitasi kondisi
bangsa-bangsa miskin yang bergantung kepada kekuatan-
kekuatan ekonomi global tersebut.
Dengan kata lain, konsumerisme menjadi alat untuk
mempertahankan dominasi kekuatan ekonomi global ter
hadap bangsa-bangsa yang menderita itu. Oleh karena itu,
agar masyarakat dapat hidup bebas sesuai dengan jati diri
serta hidup autentik, sepatutnya bangsa Indonesia bangkit
dari keterpurukannya. Bangun artinya menggalang kekuatan
untuk mencegah konsumerisme dan ketergantungan tersebut
dengan membuat bangsa berorientasi kepada kerja yang
produktif. Kerja produktif tidak sekadar meneruskan cara kerja
masyarakat secara tradisional, tetapi juga meningkatkan kualitas
kerja yang rasional. Ini berarti menumbuhkan etos kerja yang
menjadi andalan masyarakat produktif. Melalui proses itu,
bangsa Indonesia akan menghargai hasil karyanya sendiri dan
mempunyai percaya diri karena etos kerja adalah wujud yang
mencerminkan perkembangan dan peningkatan harkat bangsa
sebagai manusia. Dengan meninggalkan bentuk kehidupan yang
palsu dan semu itu, bangsa Indonesia akan kembali sebagai
bangsa yang sadar akan harkatnya sendiri untuk mampu
bersaing. Namun, semua itu adalah suatu tekad dan satu niat
yang penting. Untuk itu, ada tantangan berat yang harus diatasi
terlebih dahulu, yaitu menghadapi ancaman oportunisme karena
secara kultural paham itu merupakan akar keterpurukan bangsa
dewasa ini.
Sikap oportunistik yang sudah merambah ke mentalitas
kaum elite masyarakat Indonesia berakibat melemahkan daya
ketahanan bangsa dari dalam, membuyarkan rasa komitmen
nasional, merenggangkan solidaritas terhadap sesama warga,
dan, dengan demikian, membiarkan kesatuan dan keutuhan
bangsa sebagai formalitas belaka. Itu semua terjadi karena
diawali dengan anggapan yang tidak memperhatikan dan bahkan
mengingkari prinsip-prinsip sebagai norma hidup yang harus

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 9


7
ditaati, dengan menyatakan bahwa setiap perbuatan adalah baik
selama berguna bagi seseorang dan bermanfaat bagi pencapaian
kepentingan pribadinya.
Jadi, pada dasarnya tidak ada nilai-nilai dasar, termasuk
nilai-nilai Pancasila yang wajib diterima untuk mengatur ke
hidupan secara normatif. Jelaslah sikap yang pragmatis itu
membuka lebar-lebar merajalelanya nafsu serakah di segala
bidang, keserakahan untuk memiliki harta benda (hebzucht),
keserakahan untuk berkuasa (heerzucht); dan keserakahan
untuk dihormati (eerzucht) (I. Kant).
Dengan memprioritaskan nafsu keserakahan itu dalam
perilaku serta peri kehidupan, timbul anggapan bahwa tujuan
menghalalkan segala cara, tiada nilai-nilai moral sebagai
pedoman hidup, dan tiada hati nurani diindahkan lagi karena
kesadaran moral sudah tumpul dan bahkan punah. Kondisi
oportunistik semacam itu mendorong seseorang untuk bertindak
tidak jujur, tidak adil, dan bahkan bertindak semena-mena dengan
menyalahgunakan wewenang, menjalankan KKN, dan tidak
segan-segan menjalankan kekerasan dan kri minalitas. Disposisi
mental seperti itu membuat seseorang mudah berbohong,
munafik, sanggup berkhianat terhadap rekan sahabatnya, hingga
tega menjual bangsa dan tanah airnya. Pada kenyataannya ia
kehilangan martabat serta harga diri sebagai manusia.
Meskipun dikelilingi oleh kekayaan serta jabatan berlimpah,
ia tetap bukan lagi manusia yang sebenarnya. Itulah bahaya
oportunisme yang dapat menyebabkan bangsa dan negara
terpuruk sampai ke titik yang rendah hanya karena ulah elite
masyarakat, elite politik, dan elite kepemimpinan bangsa
tertentu yang tenggelam dalam kubangan oportunistik. Mampu
kah bangsa Indonesia yang terjangkit oleh wabah penyakit
oportunisme ini menghadapi ancaman konsumerisme untuk bisa
bangun kembali? Perlu disadari bahwa kondisi oportunistik ini
memberi peluang yang makin besar bagi dominasi kelompok
kepentingan global terhadap kelompok bangsa-bangsa yang
miskin, menderita, dan tersingkir. Oleh sebab itu, kalau kita

98 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


ingin mengatasi keterpurukan bangsa dan berhasil membangun
bangsa seutuhnya, kita perlu mengusahakan peningkatan
ketahanan budaya bangsa dan mengintegrasikannya dengan
bentuk-bentuk ketahanan di bidang lainnya melalui tindakan-
tindakan komunikatif (Habermas) dalam praksis sebagai wujud
kenyataan riil yang berinspirasikan pengetahuan dan kehendak
emansipatoris. Fragmentasi ketahanan bangsa dalam setiap
bidang kehidupan berakibat fragmentasi pula dalam keberhasilan
pembangunan.
Adapun pembentukan ketahanan budaya berarti men
jalankan reorientasi semangat dan cita-cita moral Pembukaan
UUD 1945 yang intinya memperjuangkan pembebasan bangsa
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Justru karena itu kita hidup
pada zaman global ketika masalah dan tantangan baru harus
direinterpretasi dengan tepat sehingga bisa ditemukan arahan
kebijakan-kebijakan nasional secara benar dan relevan.
Pembebasan adalah proses usaha melepaskan diri dari berbagai
dominasi dan ketergantungan menuju pembentukan sikap yang
mencerminkan jati diri bangsa serta hidup bersama dalam
interdependensi yang sehat. Selanjutnya, agar bisa dilakukan
tindakan-tindakan serta langkah-langkah konkret secara bersama
sebagai cerminan hasil dialog dan komunikasi, perlu diusahakan
kembali, terutama di daerah masing-masing, tumbuhnya ranah
publik atau public sphere (Habermas), yaitu suatu arena tempat
komunikasi dan diskusi terbuka diselenggarakan secara teratur
di antara berbagai unsur kekuatan sebagai kontrol sosial, seperti
organisasi masyarakat, pers dan media massa, lembaga studi
dan penelitian, dan perguruan tinggi untuk mencapai kesepakatan
bersama sebagai wujud usaha pembebasan bangsa dari
keterpurukannya.
c. Dinamika Kehidupan Masyarakat
Arus globalisasi dan gelombang reformasi dalam berbagai
bidang telah mengakibatkan terjadinya perubahan masyarakat
yang sangat cepat dan seringkali menimbulkan terjadinya
benturan di masyarakat. Iklim keterbukaan dan kebebasan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 9


9
yang menyertainya melahirkan berbagai peristiwa sosial, politik,
dan kebudayaan yang berpengaruh cukup signifikan terhadap
Pancasila sebagai ideologi negara. Terjadinya penurunan
moral bangsa, munculnya fenomena kekerasan, munculnya
sikap-sikap yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
kelompok, merebaknya pemahaman agama secara ekstrem
dan fanatis, serta merebaknya konflik-konflik di sejumlah daerah
dan permasalahan sosial lainnya dapat dijadikan indikasi bahwa
ideologi negara di negeri ini sudah memudar dan menunjukkan
adanya masalah identitas yang mengancam keutuhan bangsa
dan jalannya demokrasi.
Jika dicermati, berbagai rangkaian peristiwa politik,
sosial, ekonomi, dan keamanan akhir-akhir ini menandakan
memudarnya ideologi nasional sehingga berbagai pihak sering
mempertanyakan kelangsungan Indonesia sebagai bangsa
dan negara. Pokok permasalahannya adalah bahwa kita tidak
menyadari adanya perang ideologi yang dibarengi dengan
perang kepentingan di dunia yang menjadikan negara-negara
sedang berkembang, termasuk Indonesia sebagai wilayah
atau medan peperangan tersebut. Perang ideologi dan perang
kepentingan yang meliputi politik, ekonomi, dan sosial budaya
itu terjadi sekaligus dan saling berkaitan. Negara-negara industri
yang haus untuk mengeksploitasi habis sumber-sumber ekonomi
negara berkembang memaksa negara-negara lain mengikuti arus
globalisasi. Dalam arus globalisasi itulah negara-negara tertentu
memaksa negara-negara lain untuk mengikuti cara berpikir serta
sistem politik, sosial, dan ekonomi mereka. Demokrasi, baik yang
diusung oleh kaum demokrat liberal maupun demokrat sosial
(sosdem) dijajakan secara setengah paksa terhadap negara atau
masyarakat dunia ketiga dengan bungkus globalisasi.
Negara-negara sedang berkembang dianggap terbelakang
secara ekonomi jika tidak mengikuti sistem politik, ekonomi, dan
sosial mereka. Respons negara-negara berkembang terhadap
tekanan tersebut berlainan satu sama lain. Sebagian tetap tegar
pada ideologi dan sistem sendiri dengan cara mengisolasi atau

100 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


melakukan penyesuaian-penyesuaian, tetapi tetap berpegang
teguh pada konsep nasional masing-masing. Sebagian lagi
mengikuti apa yang menjadi kemauan negara-negara besar
karena tidak tahu cara melepaskan diri dari jerat negara-
negara besar tersebut. Sebagian negara atau masyarakat lain
mempunyai kesadaran untuk melawan kemauan negara-negara
Barat. Mereka yang melawan ini dibagi menjadi dua, yakni
mereka yang berperang habis-habisan dengan keyakinan untuk
menghancurkan negara-negara besar sebagai satu-satunya
jalan untuk melepaskan cengkeraman ideologi Barat.
Alqaeda dan sejenisnya dapat digolongkan ke dalam
kelompok ini. Kelompok lain yang berusaha melawan Barat
adalah kaum nasionalis di berbagai negara yang berusaha
menahan arus tekanan Barat di segala bidang dengan cara
membangkitkan segenap kekuatan spiritual dan material bangsa
agar bangsa tersebut tetap bertahan dan tetap bermartabat serta
berkepribadian. Ideologi besar dunia yang diwakili demokrasi
liberal dan demokrasi sosial saling bersaing untuk menyulap dunia
ketiga sebagai bagian dari mereka. Alqaeda dan sejenisnya yang
menjadikan “Islam” sebagai ideologi perjuangan dan jihad qital
(jihad dalam pengertian membunuh) sebagai metode perjuangan
dianggap sebagai musuh bersama oleh kaum demokrasi liberal
dan demokrasi sosial.
Jihad qital sebagai ideologi perlawanan terhadap Barat
bukanlah monopoli kelompok muslim ekstrem, tetapi juga
diminati oleh orang-orang nonmuslim yang menentang paham-
paham liberal dan sosialis, misalnya berbagai kasus aksi teror
yang digerakkan oleh orang-orang Barat yang sebelumnya
memeluk agama Kristen, kemudian masuk Islam. Indonesia
sebagai kawasan dengan potensi sosial dan ekonomi yang
sangat besar menjadi ajang peperangan mereka. Secara tidak
disadari sebagian masyarakat kita telah menjadi sekutu ketiga
ideologi tersebut. Tidak sedikit para elite nasional secara lantang
menyuarakan kepentingan dari paham demokrasi liberal dan
demokrasi sosial tanpa saringan. Mereka yang sangat berupaya

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


0
1
ingin menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis tanpa
mempertimbangkan hajat hidup rakyat banyak sebagaimana
amanat konstitusi adalah salah satu contoh pengikut atau mereka
yang terpengaruh paham demokrasi liberal.
Sementara itu, mereka yang sering meneriakkan referendum
di daerah konflik merupakan contoh mereka yang menjadi
pengikut demokrasi sosial. Sesungguhnya demokrasi liberal
dan demokrasi sosial mengandung nilai positif sepanjang
aplikasinya sesuai dengan nilai yang tumbuh di masyarakat.
Akan tetapi, manakala nilai dan aspirasi masyarakat diabaikan
sebagaimana contoh di atas, kedua paham tersebut menjadi
sumber permasalahan di negara ini.
Mengabaikan muatan nasional dan lokal dalam penerapan
suatu ideologi sama dengan mempersilakan pihak asing
menguasai jalan pikiran kita. Baik negara-negara Barat yang
mengikuti demokrasi liberal maupun demokrasi sosial sebenarnya
mempunyai tujuan sama, yakni agar pengaruh dan penguasaan
atas sumber-sumber ekonomi di Indonesia dapat mereka raih.
Lawan kelompok demokrasi tersebut adalah mereka yang
mempergunakan simbol-simbol Islam sebagai slogan perjuangan
yang sebagian di antaranya tampil secara vulgar dalam bentuk
aksi teror. Sebagian yang lainnya melakukan perlawanan dengan
saluran sosial dan politik dengan mengadopsi paham-paham
radikal Islam Timur Tengah.
Benturan ketiga ideologi dari luar itulah yang mempengaruhi
kehidupan politik dan keamanan di negeri ini. Di sisi lain Kurang
mampunya para Elite Politik memahami secara mendalam
tentang Pancasila sebagai Philosophische Groundslag dan
Weltanschauung. Istilah Philosophische Groundslag ia (Bung
Karno) definisikan sebagai “Fundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka”
Namun, sangat memprihatinkan sekelompok Elite Politik
tertentu mulai menafsirkan dengan pengertian lain. Pengertian

102 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Bung Karno, tentang “Weltanschauung itu dekat dengan
ideologi. Dengan kata lain, Pancasila sebagai pandangan hidup/
pandangan dunia (weltanschauung) bangsa Indonesia hendak
dijadikan ideologi Negara..1
Bung Karno menyatakan, “Saudara mengerti dan
mengetahui, bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai
Dasar dari pada negara Republik indonesia. Atau dengan bahasa
Jerman: satu Weltanschauung di atas mana kita meletakkan
Negara Republik Indonesia itu. Tetapi kecuali Pancasila adalah
satu Weltanschauung satu dasar falsafah Pancasila adalah satu
alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa
Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat
bersatu-padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat
mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik
Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat mempersatu
dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit-penyakit
yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit
terutama sekali, Imperialisme.
Perjuangan sesuatu bangsa, perjuangan melawan
Imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, membawa
corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara
berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang
sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Tidak ada bangsa yang
cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara
berjuang sendiri, mempunyai karakter sendiri. Oleh karena pada
hakikatnya bangsa sebagai individu mernpunyai kepribadian
sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam
kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam watak-nya,
dan lain-lain sebagainya.” (Kursus Presiden Sukarno tentang
Pancasila di Istana Negara, tanggal 26 Mei 1958.) Peringatan
tersebut, mendorong kita semua harus lebih hati hati dalam
menyikapi perkembangan zaman.
Kalau tidak hati-hati menyikapinya, bukan tidak mungkin
Indonesia terhapus dari peta dunia. Terorisme yang tidak dapat
1 Latif, Yudi “Revolusi Pancasila” , Mizan, Bandung, 2015, Halaman 31

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


0
3
dikendalikan akan mendorong campur tangan negara asing,
bahkan mungkin dalam bentuk fisik. Liberalisme tanpa batas
akan menimbulkan anarki dan kekacauan di segala bidang,
sedangkan gagasan-gagasan pengikut sosdem tentang
referendum dan disentralisasi yang sangat besar tanpa dilandasi
oleh pemerintahan nasional yang efektif akan menyebabkan
disintegrasi nasional. Menjadi penting dalam perekonomian untuk
memperjuangkan kemandirian dalam perekonomian antara lain:
1) Merebut kemerdekaan ekonomi sebagai prasyarat
untuk membumikan rencana ekonomi yang teratur dalam
rangka mengadakan kemakmuran yang cukup bagi rakyat
Indonesia. Meminjam istilah Tan Malaka, “Yang berhak
menentukan nasib Rakyat Indonesia ialah kemauan, pelor,
atau bambu runcingnya Rakyat Indonesia sendiri.”
2) Agar dapat leluasa menentukan nasib sendiri, bangsa
Indonesia harus mengembangkan sikap kejiwaan dan
kesanggupan untuk (sebisa mungkin) mencukupi diri sendiri.
Bangsa Indonesia hendaknya tidak mengembangkan
perilaku ekonomi boros, “besar pasak daripada tiang, “yang
dapat mengarah pada ekonomi utang. Ketergantungan pada
utang luar negeri bisa menjadi pintu masuk bagi dikte-dikte
kebijakan ekonomi nasional oleh kekuatan-kekuatan asing,
yang dapat mendistorsikan sistem ekonomi dan rencana
keadilan yang ingin dikembangkan.
3) Melakukan retooling atas alat-alat produksi dan alat-
alat distribusi; dengan mereorganisasi dan membelokkan
setirnya ke arah pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945.
4) Merevitalisasi peran negara dalam lapangan
perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Semua alat vital dalam produksi dan distribusi harus dikuasai
atau sedikitnya diawasi oleh negara (pemerintah).2
2 Ibid.

104 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


d. Anatomi Konflik (Kepentingan) Ideologi
Kaum demokrat liberal menghendaki negara-negara dunia
ketiga melakukan perubahan sistem politik, ekonomi, sosial, dan
keamanan. Perubahan sistem politik didasarkan pada prinsip-
prinsip demokrasi Barat, seperti otonomi yang seluas-luasnya,
jika perlu, pemisahan tertentu dari NKRI. Hal ini dimaksudkan
agar kepentingan-kepentingan ekonomi-nya dapat masuk ke
beberapa daerah tertentu dengan mudah karena mempunyai
daya tawar lebih besar daripada kalau menghadapi pemerintah
pusat yang kuat. Bahkan, mereka terus berupaya mengurangi
dominasi negara yang dianggap membatasi kebebasan
masyarakat dalam berpolitik, misalnya dengan penghapusan
kewenangan negara untuk membubarkan organisasi meskipun
organisasi itu membahayakan bagi kelangsungan negara.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum demokrat sosial.
Perbedaannya hanya terletak pada cara dan sarana yang dipakai
dalam merebut pengaruh politik, menguasai sumber-sumber
ekonomi, dan memengaruhi simpati dan pemikiran masyarakat.
Tujuan dari kedua kaum demokrat tersebut adalah peranan
negara yang terbatas dari peranan swasta yang kuat, terutama
sektor bisnis serta membiarkan mekanisme pasar bekerja,
melakukan deregulasi dengan mengurangi segenap restriksi
pada industri, mencabut semua rintangan birokrasi perdagangan,
dan mencabut atau menghilangkan tarif bagi perdagangan demi
terjaminnya perdagangan bebas (free trade). Sebenarnya,
selama pasar bebas dapat memberikan perlindungan terhadap
masyarakat menengah dan kecil, tidaklah menjadi persoalan.
Masalahnya adalah banyak elite yang sering mengabaikan
kepentingan rakyat karena terlanjur terperangkap oleh pemikiran
Barat.
Dalam bidang sosial budaya mereka mengupayakan adanya
kebebasan pers yang sangat luas dan liberalisasi kehidupan
beragama yang berlebihan. Hal ini berpengaruh bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara sehingga pemikiran dan gaya

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


0
5
hidup masyarakat tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai agama dan
tradisi. Hal itu berdampak pada lunturnya jati diri bangsa yang
selama ini menjunjung kehidupan yang relegius. Selain itu,
desentralisasi yang berlebihan juga telah mendorong menguatnya
rasa primordialisme atau semangat identitas kedaerahan yang
mengancam integrasi bangsa. Semangat desentralisasi daerah
yang berlebihan justru menjadi pemicu konflik horizontal yang
dapat mengancam keberlangsungan kehidupan berbangsa.
Apalagi semangat identitas kedaerahan tersebut pada dasarnya
tidak diiringi dengan kesiapan daerah tersebut dalam menjalankan
pemerintahan sendiri dan menghadapi kepentingan pertarungan
ideologi dunia.
Adapun metode yang digunakan adalah melakukan tekanan
ekonomi, pembentukan opini melalui media massa, dan
pengendalian kaum intelektual dengan berbagai isu seperti hak
asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, demokratisasi, dan
sederet isu turunannya. Tekanan-tekanan tersebut dilakukan
baik melalui kebijakan luar negeri maupun melalui jalur-jalur
non-governmental organization (NGO). Kebijakan embargo
dan sejenisnya atau kebijakan dengan cara meminjam tangan
lembaga-lembaga internasional, seperti IMF dan Bank Dunia
merupakan alat untuk menekan negara-negara sedang
berkembang. NGO-NGO asing melalui lembaga-lembaga
pembiayaan (funding) mengikat NGO-NGO nasional untuk
menyua rakan kepentingan mereka melalui perubahan UUD,
UU, dan berbagai peraturan. Peranan perusahaan multinasional
(multinational corporation) dalam hal ini juga tidak kecil, terutama
dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi dan sekaligus
pengendalian terhadap elite politik pusat dan daerah.
Sekalipun secara ideologis keduanya paralel, yakni melebarkan
sayap demokrasi, tetapi tidak diragukan lagi adanya benturan
kepentingan di antara mereka. Kaum demokrasi liberal dalam
menancapkan pengaruhnya di Indonesia menekankan pada
terjadinya perubahan sistem politik dengan cara mempengaruhi
kalangan DPR dan intelektual. Sementara itu, kaum demokrasi

106 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


sosial memprioritaskan pada penguatan elemen-elemen
masyarakat madani (civil society). Benturan di antara kaki tangan
mereka sering terjadi, misalnya pengungkapan hal-hal negatif
dari masing-masing kelompok, seperti kasus pencemaran
lingkungan hidup PT Newmont. Contoh lain adalah kaum liberal
mendorong pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Papua
sebagai awal pembentukan sistem bikameral sebagai embrio
negara federal. Sementara itu, kaum demokrat sosial tidak mau
kalah dengan mendorong terwujudnya otonomi seperti model
Aceh.
Di pihak lain, berbagai kepentingan dari kedua kaum
demokrat tersebut tidak selamanya memberikan kebaikan atau
kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Titik balik dari berbagai
kepentingan kaum demokrat liberal dan demokrat sosial adalah
munculnya perlawanan yang tidak jarang dengan cara kekerasan.
Salah satu perlawanan itu muncul dari kaum jihadi Indonesia
yang menebarkan aksi terorisme.
Kaum jihadi bersikeras menghilangkan pengaruh Barat,
terutama Amerika Serikat. Teror atau jihad qital (jihad dalam
pengertian membunuh) menjadi simbol dan metode perlawanan
dalam memperjuangkan Islam yang kafah (totalistik) dan
menegakkan syariat Islam sebagai hukum negara dan Islam
sebagai dasar negara sehingga cita-citanya adalah membangun
negara Islam dan khilafah Islamiyah. Praktik keagamaannya
cenderung puritanisme dan menentang nasionalisasi ajaran
Islam sehingga mereka sangat memusuhi apa pun yang bersifat
sekuler dari Barat. Kaum jihadi juga terus berupaya melakukan
tekanan-tekanan sosial politik yang tidak jarang dilakukan
dengan cara kekerasan untuk mengganggu stabilitas politik
dan keamanan. Bentuk-bentuk teror mereka arahkan sebagai
hantaman bagi kekuatan demokrasi dan penolakan terhadap
sikap-sikap liberal dalam bidang moralitas, gaya hidup, dan
politik. Untuk memperoleh pengaruh dan kekuatan massa,
mereka membentuk kelompok-kelompok masyarakat Islam yang
eksklusif.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


0
7
Keeksklusifan ini mengakibatkan diaspora sel-sel kaum jihadi
dalam bentuk Islam militan atau ekstrem yang mempolitisasi
Islam sebagai ideologinya. Hal itu memungkinkan kaum jihadi
melakukan interaksi dan membangun jaringan dengan kelompok-
kelompok masyarakat Islam Timur Tengah yang memiliki
kesamaan dalam misi dan garis perjuangan, terutama Alqaeda.
Jelas kiranya bahwa benturan ketiga ideologi luar itu
menimbulkan ketidak stabilan. Teror sebagai metode melawan
pengaruh demokrasi liberal dan demokrasi sosial dapat kita
rasakan mudaratnya. Unjuk rasa tanpa alasan kuat di berbagai
perusahaan yang bersifat nasional menghambat perekonomian.
Berbagai produk perundang-undangan yang bertentangan
dengan kepentingan masyarakat, misalnya amendemenUUD
1945 yang kebablasan menimbulkan keresahan politik, bagi
termasuk mereka yang pernah memperjuangkan perubahan
tersebut.
e. Bagaimana Kaum Pancasilais Menghadapinya?
Sejak era reformasi kaum Pancasilais terlena oleh proses
demokratisasi karena tidak begitu memahami peta pertarungan
ideologi dunia. Sebenarnya, sudah ada kesadaran untuk bangkit,
tetapi ada ketakutan akan dianggap sebagai pendukung Orde-
Baru karena selama ini terdapat stigma bahwa Pancasila sama
dengan Orde Baru. Bahkan, mereka terpecah-pecah dan
tersebar ke dalam berbagai kekuatan politik. Oleh karena itu,
perlu adanya langkah bersama dalam misi dan perjuangan yang
terpadu untuk menghadapi pertarungan ideologi dunia tersebut
agar keberlangsungan bangsa Indonesia yang bermartabat dan
berkepribadian dapat diteruskan.
Indonesia, dengan berlandaskan Pancasila sebagai ideologi
terbuka, terus melakukan penyesuaian dan pengadopsian
berbagai perkembangan yang positif dari berbagai ideologi dunia.
Oleh karena itu, penyaringan (filtering) dan penemuan kembali
(reinvention) tradisi harus tetap dilakukan agar tidak tergilas dan
terombang-ambing pertarungan politik global tersebut. Upaya

108 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


penyaringan itu harus bersumber pada ideologi negara Pancasila
yang telah menjadi falsafah negara dan menjadi konsensus
bersama. Sebagai falsafah negara, Pancasila mempunyai nilai-
nilai dasar yang dapat menjadi saringan ideologi luar negeri yang
masuk karena kelima sila dalam Pancasila, yang merupakan satu
kesatuan, pada dasarnya mengandung sejumlah nilai utama
yang meliputi ciri khas bangsa Indonesia. Nilai dasar itu ternyata
relevan dengan paradigma demokrasi. Singkatnya, Pancasila
mengandung beberapa saringan (filter) yang diharapkan
mampu menyaring arus masuknya ideologi dari luar, tetapi tidak
menaifkannya. Nilai-nilai tersebut, antara lain, adalah tauhid,
toleransi, pluralisme, kemoderatan, dan keseimbangan.
Pertama, dengan tauhid sebagai nilai pertama, kita menghayati
keesaan Tuhan dari perspektif agama masing-masing dan
tidak diperkenankan untuk melakukan perbandingan apalagi
menilai agama lain. Ketauhidan ini tepatnya untuk membangun
kehidupan yang religius berdasarkan nilai-nilai agama masing-
masing dan tidak berarti harus menyamakan semua agama.
Kedua, toleransi (tasamuh), terutama dalam kehidupan
beragama dan bersuku bangsa akan meminimalkan terjadinya
politisasi agama, radikalisme agama, dan primordialisme
kedaerahan. Jika sikap keberagaman tidak memiliki nilai-nilai
tasamuh, tentu akan terbentuk fanatisme yang berlebihan.
Ketiga, pluralisme (ta’addudiyah) merupakan pengakuan
atas perbedaan agama, bangsa, suku, dan ras agar selalu
berhubungan dan menjalin ta’aruf (komunikasi dan solidaritas)
yang merupakan prasarana utama tegaknya toleransi.
Keempat, kemoderatan (tawasuth) berkaitan dengan sikap
keterbukaan bangsa Indonesia terhadap berbagai perkembangan
dunia. Sikap modernisasi ini tidak berjalan sendiri. Selain
berdasarkan prinsip-prinsip religius dan pluralistis, sikap tersebut
juga dibarengi dengan keseimbangan (tawazun) dan keadilan.
Kelima, keseimbangan (tawazun) memberikan batas bagi
kebebasan (liberalisme) agar tidak kebablasan. Nilai tersebut

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 1


0
9
sangat dibutuhkan agar tidak memunculkan sifat fanatisme,
ekstremisme, dan radikalisme.
Berkaitan dengan hal itu, reorientasi dan reaktualisasi
falsafah negara Pancasila lewat pendekatan tauhid, tasamuh,
ta’addudiyah, tawasuth, dan tawazun menjadi cukup kontekstual
dan perlu dicoba untuk diimplementasikan dalam menghadapi
dinamika ideologi dunia.
f. Orientasi Pancasila
Selain itu, perlu dicatat bahwa Pancasila juga merupakan
landasan perubahan dan orientasi bagi pelaksanaan pemba-
ngunan selanjutnya, tetapi bukan untuk disalahgunakan demi
membangun kekuasaan dan kepentingan yang sempit. Nilai-
nilai Pancasila mencakup seluruh kebutuhan hak-hak dasar dan
asasi manusia sehingga merupakan landasan dan falsafah hidup
bangsa Indonesia yang heterogen, baik dari aspek agama, etnis,
ras, bahasa, golongan, maupun kepentingan.
Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan ideologi-
ideologi dunia lainnya, orientasi Pancasila sangatlah berbeda
sebagaimana diuraikan berikut.
1) Pancasila merupakan orientasi kemanusiaan yang berarti
bahwa bukan hanya sila kedua (kemanusiaan yang adil dan
beradab), melainkan juga keempat sila lainnya merupakan
nilai-nilai dasar kemanusiaan itu sendiri yang melandasi
seluruh kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan ideologi terbuka yang berorientasi pada
kemanusiaan.
2) Pancasila mengakui Tuhan sebagai pencipta dan sumber
keberadaan serta menghargai penghayatan religius dalam
masyarakat sebagai hal yang bermakna. Penghayatan
religius yang terwujud dalam kehidupan keagamaan dan
kepercayaan menunjukkan kelengkapan dan keutuhan
manusia sebagai pribadi.
3) Visi Pancasila tentang manusia selalu bersifat integral sebagai
manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Kehidupan

110 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


manusia tidak dapat direduksi ke dalam sektor ekonomi
belaka, tetapi juga menemukan dasar infrastrukturnya di
dalam bidang-bidang lain. Dengan demikian, pembangunan
ekonomi harus direncanakan secara integral bersama
bidang-bidang lain untuk mewujudkan perbaikan mutu hidup
masyarakat. Pancasila melihat masyarakat lebih sebagai
kenyataan budaya yang terungkap, baik secara infrastruktural
maupun suprastruktural dalam berbagai kehidupan sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan hankam.
4) Pandangan Pancasila juga mengakui adanya beberapa
tingkatan atau kelas di dalam masyarakat. Ini adalah
kenyataan yang tidak dapat disangkal. Di dalam masya
rakat tentu terdapat perbedaan kepentingan yang apa bila
tidak diatur secara baik dapat mengakibatkan terjadinya
sengketa atau perselisihan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti
bahwa pertentangan sosial merupakan ciri yang melandasi
hubungan masyarakat. Landasan hubungan masyarakat
bukanlah permusuhan atau kebencian, melainkan
kekeluargaan. Hal itu berarti bahwa sesama anggota
masyarakat bukanlah musuh (konteks komunisme), bukan
juga orang asing (konteks liberalisme), tetapi merupakan
saudara dan partner untuk diajak bekerja sama dalam rasa
solidaritas dan keterbukaan.
5) Pandangan Pancasila tentang hak milik pribadi pada
dasarnya diakui sebagai faktor yang diperlukan untuk
perkembangan pribadi manusia dan penjagaaan mobilitas
masyarakat. Akan tetapi, hak milik tersebut juga mempunyai
fungsi sosial.
6) Pandangan Pancasila tentang alienasi berkaitan dengan
alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “...kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan.” Hal itu berarti bahwa pada hakikatnya Pancasila
justru tercetus untuk menghapuskan segala bentuk alienasi.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 11


1
Alienasi masih terdapat di dunia, baik dalam masyarakat
kapitalis maupun dalam masyarakat komunis atau sosialis.
7) Aspek moral Pancasila berkaitan dengan kewajiban setiap
warga negara Indonesia untuk berusaha memperbaiki
kehidupan bersama berdasarkan kelima sila sebagai nilai
susila dengan kemampuan dan keahliannya masing-
masing. Secara moral setiap warga negara perlu menghayati
Pancasila dengan kesadaran hatinya bahwa nilai-nilai
Pancasila benar-benar menunjukkan martabat warga negara
sebagai insan rohani (human being). Menurut Pancasila,
bukan saja tujuan harus secara etis baik, tetapi caranya pun
untuk mencapai tujuan itu harus secara etis-halal pula.
8) Berkaitan dengan negara, Pancasila memandang negara
bukan milik kelompok kelas tertentu, melainkan milik
negara dari seluruh rakyat sehingga harus memperhatikan
kepentingan seluruh rakyat. Negara bertitik tolak dari warga-
warganya yang diakui sebagai pribadi yang mandiri, bebas,
dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, negara Pancasila
merupakan negara demokrasi yang berprinsip bahwa
kekuasaan datang dari rakyat, kekuasaan dijalankan oleh
rakyat melalui perwakilan, dan kekuasaan dilaksanakan
untuk kepentingan rakyat seluruhnya.
9) Berkaitan dengan pandangan Pancasila tentang
demokrasi, demokrasi Pancasila secara konsekuen tidak
menghendaki adanya sikap dogmatis dalam partai, tetapi
justru hendak menumbuhkan sikap dewasa. Oleh karena
itu, sikap kritis rasional harus dihargai dan dikembangkan
untuk mempertinggi daya kreativitas partai. Persaingan
antarpartai dalam kehidupan politik tidak dengan sendirinya
harus ditangkap dalam pengertian negatif, tetapi justru
dapat bermanfaat, asal dilaksanakan dalam semangat
kekeluargaan.

112 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


10) Berkaitan dengan nasionalisme, dengan mengakui
asas kemanusiaan yang adil dan beradab, secara tegas
Pancasila menyatakan bahwa nasionalisme adalah asas
yang fundamental.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 11


3
114 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945
PANCASILA sebagai
3 paradigma

11. Pancasila Sebagai Paradigma


Paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-
asumsi teoritis yang umum yang merupakan suatu sumber nilai.
Konsekuensinya hal itu merupakan suatu sumber hukum-hukum,
metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat
menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Istilah ilmiah tersebut kemudian berkembang dalam berbagai bidang
kehidupan manusia serta ilmu pengetahuan lain, misalnya politik,
hukum, ekonomi dan budaya serta bidang-bidang lainnya.
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn
(1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970).
Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial
yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu,
yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi
tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang
mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan
oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai
pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Pancasila merupakan buah hasil dari perjuangan bangsa
indonesia pada era kemerdekaan yang kemudian dijadikan dasar
ideologi, norma, serta tata nilai bangsa indonesia. Dengan kedudukan
Pancasila yang demikian jelas sekali bahwa Pancasila dapat menjadi
paradigma sebagai pandangan mendasar yang digunakan sebagai
landasan serta tujuan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 11


5
a. Pancasila sebagai Paradigma Nasional
Pancasila lahir melalui proses yang sangat panjang, beratus-
ratus tahun bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya (zaman
kerajaan dan penjajahan) berjuang untuk menemukan jati dirinya
sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri, serta memiliki suatu
prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup
bangsa. Setelah melalui proses yang cukup panjang dalam perjalanan
sejarah, bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya
tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan
bangsa lain, yang oleh pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu
rumusan sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip
(lima sila) yang kemudian diberi nama Pancasila.
Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila
Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara
Indonesia, secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sehingga asal muasal nilai-nilai Panca sila tersebut tidak
lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata lain
bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena
itu berdasarkan fakta objektif secara historis, kehidupan bangsa
Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai Pancasila.
Atas dasar alasan historis inilah maka sangat penting bagi para
generasi penerus bangsa terutama para intelektual untuk mengkaji,
memahami dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila berdasarkan
pendekatan ilmiah sebagai ilmu pengetahuan (knowledge) yang akan
mendasari penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Bangun atau konstruksi pengetahuan yang terkait
dengan nilai-nilai Pancasila ini harus menjadi kesadaran yang nilai-
nilainya melingkupi penyelenggaraaan pemerintahan negara dan
semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan ideologi (dalam
pengertian: ide-ide dasar tentang sistem yang akan diwujudkan atau
a system of ideas) dalam menyelenggarakan pemerintahan negara
sehingga berkedudukan sebagai ideologi negara, merupakan sumber

116 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dari segala sumber hukum (Staatsfundamentalnorm), merupakan
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia (philosophy and
way of life of nations).
Pancasila sebagai ideologi negara bermakna bahwa sila-sila
dalam Pancasila nilai-nilainya merupakan ide dasar dalam mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai yang dicita-citakan. Nilai-
nilai filosofi untuk mengatur tata kehidupan kenegaraan Indonesia
(filosofische groundslag) yang terdapat dalam Pancasila selanjutnya
ditetapkan sebagai dasar negara.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara merupakan
Kedudukan yuridis Formal karena tertuang dalam ketentuan hukum
negara, yaitu terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 Alenia IV.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara semakin kuat dengan
adanya Ketetapan MPR Nomor XVIII/ MPR/1998 tentang Penegasan
Pancasila Sebagai Dasar Negara dan pencabutan ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4), dimana dalam Pasal I menyatakan bahwa Pancasila
adalah Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan Pancasila juga merupakan cita hukum atau sumber
dari segala sumber hukum yang berlaku dalam negara. Pancasila
sebagai cita hukum harus menguasai dan melingkupi hukum dasar
(konstitusi) dan norma hukum yang mengatur kehidupan ber-
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga sebagai sumber
dari segala sumber hukum, Pancasila berfungsi sebagai dasar hukum
yang bersifat konstitutif dan sebagai dasar hukum yang bersifat
regulatif. Hal ini bermakna bahwa hukum dasar (konstitusi) negara
Indonesia dan semua produk hukum positif yang bersifat mengatur
(regulatif), nilai-nilai yang dikandungnya harus sesuai dan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila.
Pancasila merupakan hasil pemikiran dan kristalisasi dari nilai-nilai
kehidupan dan cita-cita masyarakat Indonesia yang sumbernya tidak
lain adalah dari kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk (plural)
dengan berbagai ragam budaya, suku bangsa, agama, serta bahasa
(multikultural). Ketika bangsa Indonesia berupaya untuk membentuk

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 11


7
bangsa yang merdeka dan mendirikan negara yang berdaulat, maka
para pendiri bangsa (the founding fathers) bersepakat (mengadakan
Perjanjian Luhur) untuk menetapkan cita-cita luhur (falsafah hidup)
bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dikemudian hari dan
yang akan mendasari semua penyelenggaraan kehidupan dalam
pencapaiannya. Oleh karena itu, Pancasila merupakan falsafah hidup
yang menjadi cita-cita dan sekaligus landasan moral bagi bangsa
Indonesia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Dalamkedudukan Pancasilasebagaimanatelahdiuraikantersebut
di atas, maka Pancasila sebagai ideologi negara, sebagai sumber
dari segala sumber hukum dan sebagai falsafah dan pandangan
hidup bangsa, nilai-nilainya mempunyai peran penting dan utama
dalam rangka membangun jati diri bangsa (nation character building),
dan Pancasila harus menjadi landasan dalam rangka melaksanakan
pembangunan nasional. Dengan demikian Pancasila nilai-nilainya
harus menjadi paradigma nasional yang melingkupi aspek kehidupan
politik dan hukum, aspek kehidupan sosial-budaya, aspek kehidupan
ekonomi dan aspek kehidupan pertahanan-keamanan.
b. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Proses pembangunan yang berlandaskan Pancasila mencakup
segala aspek dalam kehidupan bernegara. Pembangunan Nasional
juga diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat
manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan ketuhanan.
Dengan demikian bahwa pembangunan nasional sebagai upaya
peningkatan menusia secara totalitas. Pembangunan juga harus
bertujuan untuk memberikan manfaat yang positif dan kesejahteraan
bagi bangsa, oleh karena itu pembangunan harus mencakup berbagai
aspek kehidupan. Pembangunan ini meliputi, bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan hukum.
1) Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ideologi
Ideologi adalah suatu kompleks ide-ide asasi tentang
manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup
(Driyarkara,1976). Pengertian tersebut juga mengandung

118 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


pandangan tentang Tuhan, tentang sesama manusia, tentang
masyarakat, dan negara. Karena pentingnya ideologi bagi sebuah
negara, maka pengembangan Pancasila sebagai ideologi yang
memiliki dimensi realitas, idealitas, dan fleksibilitas (Pancasila
sebagai ideologi terbuka) mengharuskan adanya penyesuaian-
penyesuaian. Penyesuaian-penyesuaian tersebut dimak-sudkan
agar Pancasila tidak ketinggalan zaman, sehingga dengan
kemajuan zaman Pancasila tetap dapat sebagai solusi dalam
penyelesaian masalah-masalah era sekarang dan yang akan
datang. Namun pengembangan atau penyesuaan Pancasila
harus tetap dengan tujuan awal yaitu sebagai dasar dan cita-cita
negara.
2) Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan
sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik.
Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pem bangunan
politik harus dapat meningkatkan harkat dan mar tabat manusia.
Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai
subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada
rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai Pancasila sebagai
paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas
asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya
adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada
sila-sila pada Pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut
sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan,
moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan
moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun
penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut
sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik
diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam
cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan
nilai-nilai dalam Pancasila.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 11


9
Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara
berurutan terbalik:
a Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup
keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari;
b Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi)
bilamana dalam pengambilan keputusan;
c Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas
kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan per
satuan;
d Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pen
dekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
e Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi,
persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban)
tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa. Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini,
implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam
pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik,
agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan
masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-
nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat
informasi adalah:
(1) Nilai toleransi;
(2) Nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
(3) Nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai
dengan kata);
(4) Bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama
dalam Astrid: 2000:3).
Pembangunan di bidang politik di Indonesia saat ini
memang perlu penanganan yang serius. Saat ini banyak

120 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


ke giatan politik yang melenceng dari asas kesejahteraan.
Banyak terjadi kasus politik uang baik dalam proses
pelaksanaan pemilu maupun di jajaran birokrasi negeri ini.
Hal semacam itulah yang kemudian memunculkan kegiatan
korupsi. Sehingga banyak yang berpersepsi bahwa kegiatan
politik di adikan ajang untuk mengumpulkan uang atau
menumpuk kekayaan. Dari beberapa kasus yang terjadi
dapat dilihat bahwa saat ini kegiatan politik telah menyimpang
jauh dari asas moralitas. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai
dasar negara harus dijadikan patokan dan pedoman dalam
proses politik. Pembangunan politik haruslah berlandas pada
Pancasila sila pertama, sehingga kegiatan politik tetap pada
jalan lurus yaitu bertujuan untuk pengambilan dan sebagai
ibadah. Dengan penerapan ini kegiatan politik akan bersih
dan mempunyai moral yang baik, yang kemudian membuat
kesan yang positif di jajaran birokrasi negeri ini.
Sistem politik di Indonesia sebenarnya berada di tangan
rakyat. Sebagaimana dijelaskan bahwa pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari sisitem politik
tersebut, jelaslah bahwa rakyat mempunyai kekuasaan
tertinggi dalam bidang politik, namun kenyataan yang
berlaku berlawanan dengan itu. Saat ini rakyat tidak
dijadikan subjek politik, namun hanya dijadikan objek politik.
Sehingga kemudian banyak kegiatan politik dan kebijakan
yang sesuai dengan keinginan rakyat. Oleh sebab itu dalam
pembangunan di bidang politik perlu juga dimasukkan
pengamalan Pancasila sila keempat.
3) Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi negara harus mendasarkan pada
moralitas sila-sila Pancasila, yaitu dengan mengembangkan
ekonomi kerakyatan, yang humanistik bertujuan demi
kesejahteraan seluruh rakyat secara luas (Mubyarto, 1999).
Sesuai dengan paradigma Pancasila dalam pembangunan
ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak
pada nilai moral daripada Pancasila. Secara khusus, sistem

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 121


ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan
(sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila).
Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam
humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai
hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial,
makhluk pribadi maupun makhluk Tuhan. Sistem ekonomi
yang berdasar Pancasila berbeda dengan sistem ekonomi
liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa
perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga
berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang
tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan
manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi
harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan
ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar Pancasila
adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan
kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan
ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-
bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya
yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan,
penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Mengacu pada Pancasila sebagai paradigma pembangun
an maka sistem dan proses pembangunan ekonomi harus ber
dasarkan nilai moral yang terkandung dalam Pancasila. De
ngan pembangunan ekonomi yang berlandaskan Pancasila
tersebut maka akan menghasilkan sistem ekonomi yang jujur
serta transparan, sebagai mana terkandung dalam Pancasila
sila pertama. Selain pembangunan sistem ekonomi yang ber
landaskan asas kejujuran, pembangunan ekonomi juga harus
berlandaskan asas kemanusiaan sebagaimana terkandung
dalam Pancasila sila kedua. Dengan asas kemanusiaan
ter sebut pembangunan ekonomi akan merata di seluruh

122 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


masya rakat, sehingga tidak terjadi sistem ekonomi yang
saling menjatuhkan. Sistem ekonomi yang berlandaskan
asas ke manusiaan ini juga akan memunculkan rasa saling
tolong menolong. Namun dalam penerapan sistem ekonomi
tersebut dirasa sangat sulit terealisasi, seperti yang terjadi
saat ini. Saat ini yang berlaku sistem ekonomi yang kaya
makin kaya, yang miskin makin miskin. Hanya penguasa
dan orang-orang berduit yang mendapat kesejahteraan
ekonomi. Oleh sebab itu maka sistem ekonomi yang
berlandaskan Pancasila ini menjadi sangat penting untuk
direalisasikan, yang tujuannya untuk membuat ekonomi
yang menyejahterakan. Bukan hanya menyejahterakan
golongan menengah keatas, namun juga menyejahterakan
rakyat kecil. Dengan kata pembangunan ekonomi harus
merata dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi
harus untuk sebesar-besar kemakmuran/kesejahteraan
rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian
nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga
masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru
yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat).
Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi
rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha
menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi
nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi
Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-
program konkret pemerintah daerah di era otonomi daerah
yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan
dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan demikian,
Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/
rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis,
transparan, dan partisipatif. DalamEkonomi Kerakyatan,

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 123


Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat
melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
4) Pancasila sebagai Pembangunan Sosial Budaya
Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya
hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-
nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pancasila
mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Pancasila
juga merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi
dalam bidang sosial budaya. Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang Pancasila bertolak dari hakikat dan
kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi
manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial
budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam,
brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi
harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia
harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi
human. Berdasarkan sila Persatuan Indonesia, pembangunan
sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap
nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah
Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai
bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya
dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga
bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa

124 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam peren
canaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan
menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di
samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya
komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah
antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat
mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah
tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga
ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima)
dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang
akan sanggup menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah
NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu
memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai
kerangka acuan bersama, bagi kebudayaan-kebudayaan di
daerah.
Dalam proses pembangunan sosial ini bertujuan untuk
menciptakan kehidupan yang harmonis diantara masyarakat
serta membentuk insan yang mempunyai etika yang sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Untuk membentuk masya
rakat yang sesuai dengan norma ini perlu diterapkannya
Pancasila sebagaimana dalam sila pertama yaitu “Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Dengan bertuhan dan beragama tersebut,
maka dapat membentuk jiwa serta watak yang sesuai norma
dan menciptakan insan yang berkepribadian baik. Setelah
berlandaskan sila pertama, kemudian pembangunan juga
harus berlandas pada sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil
dan beradab.” Dalam penerapan sila ini negara berkewajiban
membentuk/membangun masyarakat yang beradab. Karena jika
masyarakat tidak mempunyai etika yang baik, pasti akan terjadi

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 125


banyak tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dengan penerapan sila kedua dalam proses pembangunan
masyarakat maka dalam jiwa tertanam dan menjunjung tinggi
peri kemanusiaan dan peri keadilan sehingga akan tercipta
ketenteraman dan kerukunan di antara masyarakat.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak pulau atau
dapat disebut negara kepulauan, hal ini menyebabkan banyak
tercipta berbagai macam adat-istiadat, bahasa, suku, serta
budaya. Dengan adanya perbedaan seprti ini, jika tidak dikelola
atau ditangani dengan tepat dapat menyebabkan perpecahan dan
konflik-konflik. Mengacu pada hal tersebut, maka pembangunan
yang berlandaskan Pancasila sila kelima yaitu “Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menjadi sangat penting. Dengan
penerapan sila kelima ini seluruh rakyat Indonesia yang terdiri
dari bermacam suku, budaya, serta bahasa tersebut mempunyai
hak dan kewajiban yang sama. Sehingga tidak akan timbul
diskriminasi di antara masyarakat. Dengan berlandaskan pada
Pancasila dalam proses pembangunan nasional, bukan tidak
mungkin negara Indonesia akan mencapai masyarakat yang adil,
tenteram, dan sejahtera.
5) Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan
dan Keamanan
Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu
masyarakat hukum. Demi tegaknya hak-hak warga negara
maka diperlukan peraturan perundang-undangan negara
baik dalam mengatur ketertiban warga maupun dalam rangka
melindungi hak-hak warga negaranya.Oleh karena itu negara
bertujuanmelindungi segenab wilayah negara dan bangsanya.
Atas dasar pengertian demikian ini maka keamanan merupakan
syarat mutlak tercapinya kesejahteraan warga negara. Adapun
demi tegaknya integritas seluruh masyarakat negara diperlukan
suatu pertahanan negara untuk itu diperlukan aparat negara
dan aparat penegak hukum negara. Oleh karena Pancasila
sebagai dasar negara dan mendasarkan diri pada hakikat nilai
kemanusiaan monopluralis, maka pertahanan dan keamanan

126 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


negara harus dikembalikan pada tercapainya harga dan
martabat manusia sebagai pendukung pokok negara. Dasar-
dasar kemanusiaan yang beradap merupakan basi moralitas
pertahanan dan keamanan negara. Dengan demikian pertahanan
dan keamanan harus mendasarkan pada tujuan demi terjaminnya
harkat dan hak-hak asasi manusia. Pertahanan dan keamanan
bukanlah untuk kekuasaan sebab kalau demikian sudah dapat
dipastikan akan melanggar HAM. Oleh karena itu, pertahanan
dan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila.3

3 PTSA XXI Lemhanas RI 2017, Pancasila di Era Globalisasi Mengelola Tantangan


Mewujudkan Kemenangan, Jakarta, halaman 92-93, tahun 2017.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 127


128 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945
4 UNDANG-UNDANG DASAR NRI 1945
DAN PERMASALAHANNYA

12. Umum
Undang-Undang Dasar adalah peraturan negara yang memuat
ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari
peraturan perundangan lainnya yang berada di bawahnya. Undang-
undang Dasar memiliki kedudukan tertinggi dalam peraturan per-
Undang-undangan, karena setiap perundangan yang berada
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan
yang ada di atasnya, dan apabila ada peraturan perundangan yang
tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar harus dicabut. Undang-
undang Dasar juga dipergunakan sebagai dasar dalam penyusunan
peraturan perundangan yang ada di bawahnya.
Fungsi pokok konstitusi UUD NRI 1945 adalah untuk
membatasi kekuasaan pemerintahan negara sedemikian rupa agar
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara tidak bersifat
sewenang-wenang, sehingga hak-hak warga negara terlindungi atau
terjamin. Gagasan ini selanjutnya dinamakan konstitusionalisme.
Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang-
wenang maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa,
konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan
penguasa akan merajalela dan bisa merugikan rakyat banyak.
Melindungi HAM maksudnya setiap penguasa berhak menghormati
HAM orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam
hal melaksanakan haknya. Pedoman penyelenggaraan negara
maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak akan
berdiri dengan kokoh.
UUD NRI yang memiliki kedudukan tertinggi sebagai fundamental
law (hukum dasar). Sebagai hukum dasar yang tertulis, mengatur
empat masalah pokok :

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 129


1) Jaminan terhadap HAM warga negara/penduduk.
2) Ditetapkan struktur/susunan ketatanegaraan pemerintah
negara yang bersifat mendasar.
3) Adanya pembagian atau pembatasan tugas/ wewenang
serta hubungan masing-masing lembaga ketatanegaraan yang
juga bersifat mendasar.
4) Prosedur perubahan UUD. Hal-hal lain kenegaraan yang
bersifat fundamental.

13. Pengantar Konstitusi


a. Sejarah Pertumbuhan Konstitusi
Secara etimologis antara kata “konstitusi,” “konstitusional,”
dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan
atau penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan
dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dan
sebagainya), atau Undang-undang Dasar suatu negara. Dengan kata
lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa
berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi,
berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional.
Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu paham
mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat
melalui konstitusi. Dalam berbagai literatur hukum tata negara
mau pun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi
(konstitusionalisme) terdiri dari:
1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
3) Peradilan yang bebas dan mandiri.
4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik)
sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan “maskot”
bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu
pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur
prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik

130 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai
negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.4
Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya
merupakan proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk
dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka ke hidupan politik telah
disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani, di
mana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam
kitab hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 SM)
Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi
Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi
dari berbagai negara.
Pemahaman awal tentang “konstitusi” pada masa itu, hanyalah
merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan
semata-mata. Kemudian pada masa Kekaisaran Roma, pengertian
constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan
ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para
preator. Termasuk di dalamnya pernyataan-pernyataan pendapat
dari para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, di
samping Undang-undang. Konstitusi Roma, mempunyai pengaruh
cukup besar sampai abad pertengahan. Di mana konsep tentang
kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar Roma,
telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Prancis, bahkan
kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan
inspirasi bagi tumbuhnya paham: “Demokrasi Perwakilan” dan
“Nasionalisme”. Dua paham ini merupakan cikal bakal munculnya
paham konstitusionalisme modern.5
Pada zaman abad pertengahan, corak konstitusional-ismenya
bergeser ke arah feodalisme. Sistem feodal ini mengandung suatu
pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para tuan tanah. Suasana
seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap orang
4 Ciri-ciri pemerintahan yang konstitusional; memperluas partisipasi politik,
memberi kekuasaan legislatif pada rakyat, menolak pemerintahan otoriter dan
sebagainya. Lihat Adnan Buyung Nasution
5lC.F. Strong, Modern Political Constitutions, London, Sidgwick, & Jackson Limited,
1966: hlm. 20.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 131


harus mengabdi pada salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang
semestinya mempunyai status lebih tinggi daripada tuan tanah,
menjadi tidak mendapat tempat.6 Pada abad VII (jaman klasik) lahirlah
piagam/konstitusi Madinah. Piagam Madinah adalah konstitusi Negara
Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam, tepatnya sekitar
tahun 622 M. Di Eropa Kontinental, pihak rajalah yang memperoleh
kemenangan, yaitu ditandai dengan semakin kokohnya absolutisme,
khususnya di Prancis, Rusia, Prusia, dan Austria pada abad ke-15.
Gejala ini dimahkotai oleh ucapan L’Etat C’est Moi-nya Louis XIV
(1638-1715) dari Prancis.
Lain halnya dengan di Inggris, kaum bangsawanlah yang
mendapat kemenangan dan sebagai puncak kemenangannya
di tandai dengan pecahnya The Glorious Revolution (1688).
Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini telah
menyebabkan berakhirnya absolutisme di Inggris, serta munculnya
parlemen sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya, 12 negara
koloni Inggris mengeluarkan Declarations of Independence dan
menetapkan konstitusi-konstitusinya sebagai dasar negara yang
berdaulat, yaitu tepatnya pada 1776. Deklarasi ini merupakan bentuk
konkretisasi dari berbagai teori perjanjian.
Perjalanan sejarah berikutnya, pada 1789 meletus revolusi dalam
Monarki Absolutisme di Prancis yang ditandai dengan ketegangan-
ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan
negara. Sampai pada akhirnya, 20 Juni 1789 Estats Generaux mem-
proklamirkan dirinya Constituante, walaupun baru pada 14 September
1791 konstitusi pertama di Eropa diterima oleh Louis XVI. Sejak itu,
sebagian besar dari negara-negara di dunia, baik monarki maupun
republik, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan
atas suatu konstitusi.7
Di Prancis muncul sebuah buku yang berjudul Du Contract
6 Periksa dalam Koemiatmanto Soetoprawiro, Konstitusi: Pengertian dan
Perkembangannya, Pro justida, No. ~ Tahun V, Mei 1987, hlm. 23.
7 G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Timun Mas,
Jakarta, 1960, hlm. 26

132 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Social karya J.J. Rousseau. Dalam buku ini Rousseau mengatakan
“manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya”, sedangkan
hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Tesis
Rousseau ini sangat menjiwai De Declaration des Droit de I’ Homme
et du Citoyen, karena deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan
Konstitusi Prancis (1791) khususnya yang menyangkut hak-hak asasi
manusia. Pada masa inilah awal dari konkretisasi konstitusi dalam
arti tertulis (modern) seperti yang ada di Amerika.
Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini kemudian diikuti
oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai negara di Eropa. Seperti
konstitusi Spanyol (1812), konstitusi di Norwegia (1814), konstitusi
di Nederland (1815), konstitusi di Belgia (1831), konstitusi di Italia
(1848), konstitusi di Austria (1861), dan konstitusi di Swedia (1866),
Sampai pada abad XIX, tinggal lnggris, Hongaria, dan Rusia yang
belum mempunyai konstitusi secara tertulis.8 Tapi perlu diingat bahwa
konstitusi-konstitusi waktu itu belum menjadi hukum dasar yang
penting, Konstitusi sebagai Undang-undang Dasar dan hukum dasar
yang mempunyai arti penting atau sering disebut dengan “Konstitusi
Modern”, baru muncul bersamaan dengan semakin berkembangnya
“sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme”. Demokrasi
Perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan
kehadiran lembaga legis latif (Lembaga ini diharapkan dapat membuat
Undang-undang untuk mengurangi serta membatasi dominasi hak-
hak raja). Alasan inilah yang mendudukkan konstitusi (yang tertulis)
itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi daripada raja, sekaligus
terkandung maksud memperkokoh Lembaga Perwakilan Rakyat.
Pada giliran berikutnya, masa Perang Dunia I tahun 1914 telah
banyak memberikan dorongan yang dahsyat bagi konstitusionalisme,
yaitu dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang tidak Liberal,
dan menciptakan negara-negara baru dengan konstitusi yang
8 Koemiatmanto Soetoprawiro. Konstitusi ... op. cit . hlm. 26

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 133


berasaskan demokrasi dan nasionalisme. Upaya itu dikonkretkan
dengan didirikannya Liga Bangsa-Bangsa untuk perdamaian dunia.
Tiga tahun kemudian muncul reaksi keras melawan konstitusionalisme
politik yang ditandai dengan Revolusi Rusia (1917), diikuti meletusnya
Fasisme di Italia, dan pemberontakan Nazi di Jerman, sampai pada
akhirnya meletus Perang Dunia II.9
Pengaruh Perang Dunia II terhadap konstitusional-isme politik
jauh lebih parah dibandingkan pada masa Perang Dunia I. Sebab
kemenangan dari bangsa-bangsa yang berserikat terhadap kekuatan
tirani saat itu. Berarti Perang Dunia II telah memberikan kesempatan
kedua kalinya kepada bangsa-bangsa untuk menerapkan metode-
metode konstitusionalisme terhadap bangunan interna-sional melalui
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencapai perdamaian
dunia yang permanen. Akankah kesempatan ketiga memberikan
pekerjaan baru kepada bangsa-bangsa untuk merekonstruksi model
negara konstitusionalisme baru pada era postmodernism? Padahal
sejarah terus berputar.
Konstitusi modern diharapkan bisa merupakan jaminan bagi
pelaksanaan hak-hak asasi manusia serta paham welfare state,
sekaligus memberikan perlindungan secara yuridis konstitusional,
Sebagaimana disinyalir oleh Strong bahwa tujuan pokok dari konstitusi
modern adalah: to secure social peace and progress, safeguard
individual rights and promote national well-being.
b. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang
berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan
ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan
suatu negara.10 Sedangkan istilah Undang-undang Dasar merupakan
terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Gronwet.
Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Undang-
undang, dan grond berarti tanah/dasar.
Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai
9 C.F. Strong. Modern Political.... op. cit .hlm. 53-55
10 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat;

Jakarta. 1989. hlm. 10.

134 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa
Indonesia disebut konstitusi.11 Pengertian konstitusi, dalam praktik
dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-undang Dasar.
tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-undang
Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan
sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat
cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam
suatu masyarakat.
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari
dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi
yang berarti “bersama dengan... “, sedangkan statuere berasal dari
kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri.
Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar
berdiri atau mendirikan/ menetapkan”. Dengan demikian, bentuk
tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-
sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang
telah ditetapkan.12 Mencermati dikotomi antara istilah constitution
dengan gronwet (Undang-undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn
telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau gronwet
(Undang-undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi,
sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis
maupun yang tidak tertulis. Sementara Prof. DR. Sri Soemantri, dalam
disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-undang
Dasar.13 Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktik
ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di
Indonesia.
Penyamaan pengertian antara konstitusi dengan Undang-
undang Dasar, sebenarnya sudah dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord
11 Sri Soemantri M . Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam Ketata
negaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.
1993. hlm. 29; Juga periksa dalam Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1992. hlm. 95.
12 Koemiatmanto Soetoprawiro. op.cit . hlm. 28-29.
13 Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Disertasi.Alumni.

Bandung.1987.hlm.1

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 135


Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan Undang-
undang Dasar itu sebagai Instrument of Government, yaitu bahwa
Undang-undang Dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah
dan di sinilah timbul identifikasi dari pengertian Konstitusi dan
Undang-undang Dasar.
Sebaliknya perlu dicatat bahwa dalam kepustakaan Belanda
(misalnya L.J. Van Apeldoorn) diadakan pembedaan antara
pengertian Undang-undang Dasar dengan konstitusi. Menurut E.C.S.
Wade dalam bukunya Constitutional Law Undang-undang Dasar
adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari
badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-
pokoknya cara kerja badan-badan tersebut.14
Jadi pada pokoknya dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur
dalam suatu Undang-undang Dasar. Bagi mereka yang memandang
negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai
organisasi kekuasaan, maka Undang-undang Dasar dapat dipandang
sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana
kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya
antara badan Legislatif, Eksekutif, Yudikatif. Undang-undang Dasar
menentukan cara-cara bagai-mana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja
sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, Undang-undang Dasar
merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
Berikut ini ditunjukkan beberapa ahli hukum yang mendukung
antara yang membedakan dengan yang menyamakan pengertian
konstitusi dengan Undang-undang Dasar. Penganut paham yang
membedakan pengertian konstitusi dengan Undang-undang Dasar
antara lain Herman Heller dan F. Lassalle. Herman Heller membagi
pengertian konstitusi menjadi tiga, yaitu :15
14 Wade and Philips. G. Godfrey, Constitutional Law. An Outline of the Law and
Practice of the Constitution. lncluding Central and Local Govemment. the Citizen
and the State and Administrative Law. Seventh ed. by E.C.S. Wade and A.W.
Bradley. London. Longmans, 1965.
15 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum UI. Jakarta. 1988. hlm. 65

136 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


1) Die Politische verfassung ais gesellschaftlich wirkl ichkeit.
Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam
masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung
pengertian politis dan sosiologis.
2) Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi
merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat.
Jadi mengandung pengertian yuridis.
3) Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam
suatu naskah sebagai Undang-undang yang tertinggi yang
berlaku dalam suatu negara.
Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan
bahwa jika pengertian Undang-undang itu harus dihubungkan dengan
pengertian konstitusi, maka artinya Undang-undang Dasar itu baru
merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang
tertulis saja. Di samping itu, konstitusi itu tidak hanya bersifat yuridis
semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan politis. F.
Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi
dalam dua pengertian, yaitu.16
1) Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau
politische begrip). Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor
kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam
masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara
kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam
suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen,
kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah yang
sesungguhnya konstitusi.
2) Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah
suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-
sendi pemerintahan.
Dari pengertian sosiologis dan politis, ternyata Lassalle menganut
paham bahwa konstitusi sesungguhnya mengandung pengertian

16Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara,
Ghalia Indonesa, Jakarta, 1991, hlm. 73

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 137


yang lebih luas dari sekadar Undang-undang Dasar. Namun dalam
pengertian yuridis, Lassalle terpengaruh pula oleh paham kodifikasi
yang menyamakan konstitusi dengan Undang-undang Dasar.
Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di samping
Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak
tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”.
Adapun penganut paham modern yang tegas-tegas menyamakan
pengertian konstitusi dengan Undang-undang Dasar, adalah C.F.
Strong dan James Bryce. Pendapat James Bryce sebagaimana
dikutip C.F Strong dalam bukunya: Modern Political Constitutions
menyatakan konstitusi adalah: A frame of political society, organized
through and by law, that is to say on in which law has established
permanent institutions with recognised functions and definite rights.17
Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan
rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisasi dengan dan
melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan :
1) Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang
permanen.
2) Fungsi dari alat-alat kelengkapan.
3) Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Kemudian C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan
pendapatnya sendiri sebagai berikut :
Constitution is a collection of principles according to which the
power of the goverment, the rights of the governed, and the
relations between the two are adjusted.
Artinya, konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan :
1) Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas).
2) Hak-hak dari yang diperintah.

17 C.F. Strong, Modern Political ... , op.cir., hlm. II.

138 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


3) Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah
(menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).
Prof. DR. Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang
konstitusi yang diberikan oleh C.F. Strong lebih luas dari pendapat
James Bryce. Walaupun dalam pengertian yang dikemukakan James
Bryce itu merupakan konstitusi dalam kerangka masyarakat politik
(negara) yang diatur oleh hukum. Akan tetapi, dalam konstitusi itu
hanya terdapat pengaturan mengenai alat-alat kelengkapan negara
yang dilengkapi dengan fungsi dan hak-haknya. Dalam batasan
Strong, apa yang dikemukakan James Bryce itu termasuk dalam
kekuasaan pemerintahan semata, sedangkan menurut pendapat
Strong, konstitusi tidak hanya mengatur tentang hak-hak yang
diperintah atau hak-hak warga negara.
Dua pakar yang lain, Rosco J. Tresolini dan Martin Shapiro, dalam
bukunya yang berjudul American Constitutional Law mengatakan
bahwa konstitusi Amerika Serikat mengatur tiga masalah pokok,
yaitu:18
1) the framework or structure of govemment;
2) the power of the goverment;
3) It restrains the exercise of these power by govemmental
officials in order that certain individual right can be poreserved.
Apa yang dikemukakan oleh Rosco J. Tresolini dan Martin
Shapiro ini mempunyai persamaan dengan pendapat Strong tentang
batasan konstitusi.
K.C. Wheare mengartikan konstitusi sebagai: “Keseluruhan
sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan
peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah
dalam pemerintahan suatu negara”.19 Peraturan di sini merupakan
gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum
(legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (nonlegal).
18Periksa dalam Sri Soemantri M. dan Bintan R. Saragih (editor). Ketatanegaraan
Indonesia ... op.cit .hlm. 30
19 K.C. Wheare, Modern Constitutions. London. Oxford University Press. 1975.
hlm.1.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 139


Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling tidak
dalam dua pengertian, sebagaimana dikemukakan oleh K.C. Wheare
dalam bukunya Modern Constitutions: Pertama, dipergunakan
dalam arti luas, yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara dan
merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur
pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai
sistem pemerintahan di dalamnya terdapat campuran tata peraturan
baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan
hukum (nonlegal atau ekstra legal). Kedua, pengertian dalam arti
sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan
ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu-dokumen
atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.20
Berangkat dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian
konstitusi di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian
konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Undang-
undang Dasar merupakan konstitusi yang tertulis. Adapun batasan-
batasannya dapat dirumuskan ke dalam pengertian sebagai berikut:
1) Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-
pembatasan kekuasaan kepada para penguasa.
2) Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus
petugasnya dari suatu sistem politik.
3) Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara
4) Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi
manusia.
c. Kedudukan Sifat Fungsi Konstitusi
Mengacu pada kerangka konsep di atas, maka menjadi perlu
untuk menegaskan kedudukan, sifat dan bentuk serta fungsi
konstitusi dalam suatu negara,21 sebab dalam suatu negara, begitu
banyak peraturan hukum yang dibentuk dan tentu saja sifat, dan
20 Ibid
21 Gambaran di atas disandarkan pada peradaban Timur dimana nilni-nilai dan
ajaran-ajaran fundamental dari suatu agama-agama, baik lslam, Hindu-Budha, Tao
dan juga Shinto. Lihat Comparative Contitutional Traditions., dalam Fundamental
Comparative/Constitutional Law and Development. Hal: 9

140 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


hierarkis fungsinya akan berbeda-beda. Secara konseptual, ada tiga
karakter utama dari suatu konstitusi yaitu (1) konstitusi sebagai suatu
hukum tertinggi suatu negara atau a constitution is a supreme law
of the land, (2) konstitusi sebagai suatu kerangka kerja suatu sistem
pemerintahan atau a constitution is a frame work for government (3)
konstitusi merupakan, suatu Instrumen yang sah dalam membatasi
kekuasaan dan. kewenangan pejabat pemerintah atau a constitution
is a legitimate way to grant and limit powers of govemment officials.
1) Kedudukan dan Sifat
Dalam era milenium ketiga ini, konstitusi juga harus berfungsi
sebagai kendaraan yang dapat mengakomodasikan anan tertib
dunia (the vehicle for defining the international order) ke dalam
Sistem hukum nasional.22
Keempat kaakter konstitusi tersebut telah menunjukkan
kedudukan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi suatu
negara, dan juga sebagai instrumen efektif untuk mencegah
timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).23
Dipandang dari segi hukum dasar (basic law), konstitusi
yaitu bilamana dokumen hukum dan politik tersebut mengandung
sekumpulan norma-norma dasar yang berfungsi untuk
mengarahkan bagaimana pemerintah memperoleh kewenangan
mengorganisasikan kekuasaan, dan prosedur melaksanakan
kekuasaan dengan mengakui adanya kebebasan individu yang
dapat membatasi kekuasaan penguasa tersebut.24
22 Lihat Chapter 13. Comparative Constitutional Traditions.
23 Sebagai perbandingan menarik untuk dikemukakan tulisan Jerre S Williams
ketika memperlihatkan fungsi konstitusi di Amerika antara lain, (1) konstitusi
berfungsi untuk mengukuhkan keberadaan pemerintahan, nasional ‘(national
government)’, berfungsi melakukan pengawasan terhadap adanya hubungan
antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan negara-negara bagian (the
relationship between the national government and the goverments of the states),
(3) berfungsi untuk merumuskan perlindungan dan pelestarian hak-hak kebebasan
pribadi (preserves personnel liberty), berfungsi (4) untuk mencegah terjadinya
penguatan pemerintahan itu sendiri. Lihat Jerre S. Williams. Constitutional Analysis
in A Nutshell. Texas: West Group. t 979: Hlm 33.
24 Sebagai perbandingan lihat konsep basic law yang ada dalarn konstitusi Jerman

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 141


Konsekuensi yuridis dari penqakuan konstitusi sebaqai
hukum dasar, adalah konstitusi harus dapat mengarahkan
dan menjiwai lahirnya produk hukum yang tidak saja
berorientasi pada kepastian hukum (legal certainty) dan
kemanfaatan (utility), melainkan juga tuntutan keadilan
bagi semua orang (justice for all), Filsuf Inggris, Jeremy
Bentham mengajarkan bahwa suatu peraturan hukum
seharusnya dapat memberikan kebahagiaan bagi sebagian
besar masyarakat (The Greatest Happiness for the Greatest
Numbers).25
Dalam konteks ini, keberadaan konstitusi harus terbebas
dari suatu pengaruh pemihakan ideologi, suku dan ajaran
agama tertentu.
Atas dasar Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi
memiliki sifat dan kedudukan yang sangat kuat. Produk
hukum yang lainnya tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi dan kalau bertentangan harus dibatalkan (Lex
Superior derogot legy imperior) melalui proses. Uji material
(judicial review). Konsekuensi yuridisnya yaitu bahwa
seluruh peraturan yang. ada di bawahnya harus dijiwai oleh
substansi dan materi muatan konstitusi tersebut.
Karena itu dalam proses pembuatan dan perubahan
konstitusi senantiasa diarahkan pada upaya menciptakan
negara yanq konstitusional. Suatu negara diartikan secara
konstitusional ditentukan oleh sifat-sifat yang pokok atau
mendasar. Sifat-sifat yang pokok atau mendasar tersebut
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi materi muatan/substance

yaitu Basic Law For the Republic of Germany. Press and Information Office of
the Federal Goverment. The Federal Republic of Germany 50 years,Bonn. Public
Document. 1994. Hlm 13.
25 Meskipun tidak seluruhnya pandangan 1. Bentharn tentang nilai dan kegunaan
(utility) tentang hukum tidak selalu dapat diterapkan untuk semua kondisi suatu
negara yang tidak sepenuhnya menganut sistem hukum positif, rnenjadi relevan
untuk dikemukakan dalam kaitannya dengan upaya mengamendemenUUD 1945
dalarn suasana demokratis. Lihat dalam The Brige of Law. 1979.

142 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dan segi bentuk (form of constitution).
Pertama dari sisi materi muatan, konstitusi harus
memiliki materi muatan yang singkat dan elastis. Ringkas
berarti hanya memuat materi-materi yang bersifat pokok
atau mendasar saja, sedangkan elastis berarti memuat
materi-materi yang dapat mengikuti (beradaptasi) dengan
perkembangan zaman yang terjadi.
Dari segi bentuk, konstitusi harus memiliki sifat derajat
tinggi dalam suatu negara, yaitu di satu sisi, konstitusi
berada di atas segala peraturan perundang-undangan yang
ada, sehingga tidak ada materi dari peraturan perundang-
undangan yang lain yang bertentangan dengan materi
konstitusi. Karena itu, konstitusi tidak dapat diubah sama
seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan
lainnya, konstitusi harus dibuat dan diubah oleh lembaga
tertentu dengan cara-cara tertentu serta pada saat yang
istimewa. Sifat-sifat tersebut harus dimiliki oleh suatu
konstitusi untuk mencapai derajat konstitusional.
Komponen lain yang sangat penting untuk menjadikan
konstitusi itu selalu hidup dengan kondisi zamannya (Living
Constitution),26 dan legitimate adalah adanya keterlibatan
masyarakat (participatory) dalam proses pembuatan
dan perubahannya. Dalam perkembangannya ada yang
menginginkan konstitusi dibuat secara rinci dengan harapan
ruang penafsiran semakin sempit dan penyalahgunaan
kekuasaan dapat dikendalikan. Sifat ringkas atau rincinya
suatu konstitusi ada kaitannya juga dengan bentuk
negara, Negara yang menganut bentuk negara kesatuan
konstitusinya lebih ringkas daripada konstitusi negara
yang’ berbentuk federal. Sebagai perbandingan, beberapa
konstitusi negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada,
Australia. Jerman, dan Prancis tergolong pada konstitusi
yang simpel, tetapi berhasil dalam mengatur dan membatasi
kekuasaan negara.
26Pandangan yang signifikan tentang perlunya nilai-nilai hukum dalarn masyarakat
sebagai materi muatan suatu UUD dari Leopald Pospiril.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 143


2) Fungsi Konstitusi
Memperhatikan kedudukan, bentuk serta sifat konstitusi
dalam suatu negara, pengungkapan fungsi konstitusi dalam
berbagai pandangan begitu bervariasi. Beberapa penulis seperti
Strong. K.C. Wheare, Rosenteld27, Maarseveen Lawrence Bee,
Sri Soemantri dan Jimly Asshidiqie memperlihatkan pandangan
yang satu sama lain bertautan. Dari berbagai pandangan tersebut
maka fungsi konstitusi tersebut antara lain sebagai berikut:
a) Konstitusi berfungsi sebagai Dokumen Resmi
Nasional. Sebagai suatu Dokumen Nasional (National
Document) yang mengandung perjanjian luhur terdiri
kesepakatan-kesepakatan tentang politik, hukum,
pendidikan, kebudayaan, kesehatan dan aspek fundamental
yang menjadi tujuan negara.
b) Piagam Kelahiran Negara Baru (As A Birth Certificate
of New State). Yang dipergunakan sebagai bukti adanya
pengakuan masyarakat lnternasional termasuk sebagai
salah satu anggota untuk anggota PBB. Karena itu. sikap
kepatuhan suatu negara terhadap hukum internasional tidak
lain dengan cara melakukan ratifikasi hukum internasional
menjadi bagian dari sistem hukum nasional.
c) Konstitusi sebagai Sumber Hukum Tertinggi.
Konstitusi mengatur tentang maksud dan tujuan
terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya
melalui adanya kepastian hukum yang terkandung dalam
pasal-pasalnya, Unifikasi Hukum Nasional, Social Control.
Eugene yang memberikan legitimasi (As a Potitical and
Legal Document) atau berdirinya lembaga-lembaga negara
termasuk peraturan tentang pembagian dan pemisahan
kekuasaan (Checks and Balances) antara kekuasaan
27 Lawrence Bee (ed; Constitutionalism in Asia: Asian Views of The American
Influence. 1979. Khususnya dalam pembahasan mengenai beberapa aturan
tentang proses pembuatan konstitusi yang baik untuk proses pembuatan konstitusi
kontemporer.

144 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Legislatif Eksekutif, dan Yudikatif. Konstitusi sebagai
sumber hukum tidak saja berfungsi sebagai a tool of social
engineering, dan social control, melainkan juga harus
mampu merespon secara kritis terhadap perubahan zaman.
Konstitusi sebagai hukum dasar tertulis berfungsi tidak saja
bersifat positivistic, melainkan juga diarahkan pada perlunya
pendekatan sosiologis seperti Roscoe Pound dengan Law
as a tool of social engineering-nya dan Roberto Mangabera
Ungger28 dengan mahzab functional jurisprudency.
d) Konstitusi sebagai Identitas Nasional dan
Lambang Persatuan. Konstitusi menjadi suatu sarana
untuk menuangkan (menerapkan) berbagai nilai-nilai
dan norma-norma suatu bangsa dan negara, misalnya
simbol demokrasi, keadilan, kemerdekaan, negara hukum,
yang dijadikan sandaran untuk mencapai kemajuan dan
keberhasilan tujuan negara. Konstitusi suatu negara
diharapkan dapat menyeragamkan persepsi masyarakat dan
Pemerintah terhadap nilai ldentitas kebangsaan, persatuan
dan kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan sebagai
bangsa yang bermartabat. Fungsi pelembagaan Konstitusi
dapat memberikan fungsi pemenuhan atas harapan-harapan
sosial, ekonomi dan kepentingan politik. Tidak saja konstitusi
mengatur tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan
dalam lembaga-lembaga politik seperti Legislatif, Eksekutif,
dan Judikatif, akan tetapi mengatur tentang penciptaan
keseimbangan hubungan (check and balances) antara
aparat pemerintahan di pusat maupun di daerah.
e) Konstitusi sebagai Pembatas Penyalahgu-naan
Kekuasaan. Konstitusi dapat berfungsi membatasi
kekuasaan dan mengendalikan perkembangan situasi
politik yang selalu berubah dan berupaya untuk dapat
menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Untuk
itu, menjadi sangat penting untuk diperhatikan seberapa jauh
formulasi pasal-pasal dalam konstitusi mengakomodasikan
28 Lihat Penjelasan Roberto Mangabera Ungger. Law and Society. USA

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 145


materi muatan pokok dan penting, sehingga dapat dicegah
timbulnya penafsiran yang beraneka ragam.
f) Konstitusi Sebagai Pelindung HAM dan Kebebasan
Warga Negara. Konstitusi memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan
warga negara sebagai pengejawantahan dari suatu negara
hukum, dimana equality before the law, nondiscriminative
dan keadilan hukum (Legal Justice) dan keadilan moralitas
(social and moral justice) harus menjadi acuan dasar bagi
masyarakat sebagai warga negara.
d. Model Konstitusi
Tidak ada konstitusi yang sangat ideal untuk dapat diterapkan di
seluruh negara, namun masyarakat negara-negara modern mengakui
bahwa suatu konstitusi harus rnengandung empat unsur fundamental.
Unsur pertama, bahwa konstitusi bukan sekedar memuat aturan hukum
melainkan juga terkandung didalamnya gagasan-gagasan tentang
sistem nilai suatu masyarakat. Karena itu, baik dalam pembukaan
maupun di dalam pasal-pasal suatu konstitusi selalu harus dilandasi
oleh landasan filosofis, historis, politis, yuridis dan sosiologis. Dalam
tradisi barat, konstitusi harus mendefinisikan secara tegas tentang
wacana negara dengan agama secara terpisah. Hal ini tentu berbeda
dari tradisi konstitusi yang berkembang di masyarakat Asia Tenggara.
Sebab, sistem hukum yang berlangsung dalam masyarakat tidak
dapat lepas dari tradisi keagamaan. Sebagaimana contoh peran
agama Hindu, Budha, lslam dan juga Konghucu di negeri China.
Unsur kedua, eksistensi konstitusi akan sah dan memperoleh
pengakuan dari masyarakat bilamana proses pembuatannya tidak saja
melibatkan institusi-institusi yang kompeten sesuai ketentuan yang
ada, melainkan juga menggunakan metode parsipatori masyarakat.
Keterlibatan masyarakat, secara langsung atau tidak langsung dalam
proses pembentukan atau amendemen sangat menentukan tingkat
legitimasi konstitusi. Sebagaimana diakui oleh banyak pakar hukum
tata negara internasional, kelebihan konstitusi Afrika Selatan ditandai
oleh proses pembentukan konstitusinya yang komprehensif.

146 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Gambaran komprehensif tentang ciri-ciri konstitusi di Asia
Tenggara diutarakan oleh Graham Hassai dan Chaeryl Saunders
dalam Asia Pasific constitutional systems. Cambridge: Cambridge
University Press 2002 : 43.
Peran komisi konstitusi di Afrika Selatan tidak saja menyediakan
sumber material, materi, muatan konstitusi, melainkan Juga
memfasilitasi atau menawarkan gagasan-gagasan alternatif’
kepada masyarakat, atau sebaliknya mengakomodasikan gagasan
masyarakat yang relevan ke dalam materi muatan konstitusi.
Terakomodasinya nilai-nilai universal dan nilai-nilai masyarakat ke
dalam suatu konstitusi diharapkan dapat menjadi konstitusi yang
kritis dan responsif terhadap perkembangan segala zaman (Living
Constitution). Suatu konstitusi tidak pernah akan kehilangan jati diri
keasriannya dan juga sangat responsif terhadap perkembangannya
bilamana masyarakat selalu berorientasi masa lalu (in the past), masa
kini (present day), dan juga masa yang akan datang (future). Ketiga,
kecenderungan konstitusi di negara-negara yang berbentuk kesatuan
berbeda dari negara yang berbentuk federal. Umumnya konstitusi di
negara-negara kesatuan berbentuk sederhana, fleksibel dan pendek,
sedangkan konstitusi di negara-negara berbentuk federal begitu rinci.
Dalam perkembangannya bentuk konstitusi yang rinci dan tidak rinci
menjadi tidak sangat penting ‘bilamana dibandingkan dengan fungsi
konstitusi sebagai pencegah timbulnya penyalahgunaan kekuasaan.
Karena itu, konstitusi negara-negara yang baru umumnya dibuat
pasal-pasalnya secara rinci sehingga penyalahgunaan kekuasaan
itupun dapat segera dibatasi. Semakin rinci pasal-pasal konstitusi
dibuat semakin sukar penyalahgunaan kewenangan dilakukan.
e. Klasifikasi Konstitusi
Bahwa di negara-negara dunia ini ada dua macam sistem
pemerintahan.
Pertama, sistem pemerintahan presidensial yang mempunyai
ciri-ciri pokok :
 Di samping mempunyai kekuasaan “nominal” sebagai
Kepala Negara Presiden juga berkedudukan sebagai Kepala

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 147


Pemerintahan (yang belakang ini lebih dominan).
 Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan Legislatif
akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
seperti Amerika Serikat.
 Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan Legislatif.
 Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan
legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.
Konstitusi yang mengatur beberapa ciri di atas,
diklasifikasikan konstitusi sistem pemerintahan presidensial.
Kedua, sistem pemerintahan parlementer yang mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut :
 Kabinet yang dipilih oleh Perdana Menteri dibentuk atau
berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.
 Para anggota Kabinet mungkin seluruhnya, mungkin
sebagian adalah anggota parlemen.
 Perdana Menteri bersama Kabinet bertanggung jawab
kepada Parlemen.
 Kepala Negara dengan saran atau nasihat Perdana Menteri
dapat membubarkan Parlemen dan memerintahkan diadakannya
pemilihan umum.
Konstitusi yang di dalamnya mengatur beberapa ciri sistem
pemerintahan di atas, disebut konstitusi sistem pemerintahan
parlementer. Apabila hendak mengetahui klasifikasi konstitusi,
tentunya harus membandingkan beberapa konstitusi yang ada di
beberapa negara. Banyak di antara para sarjana yang telah mencoba
mengklasifikasikan suatu konstitusi, di antaranya K.C. Wheare dalam
bukunya Modern Constitutions, C.F. Strong dalam bukunya Modern
Political Constitutions, James Bryce dalam bukunya Studies in History
and jurisprudence, dan J.F. van Maarseveen dan Van der Tang dalam
bukunya Over het verschijnsel gronwet.
Dari sekian banyak ahli yang dianggap mewakili adalah
salah seorang ahli konstitusi dari Inggris, yaitu K.C. Wheare yang

148 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


berpendapat tentang macam-macam klasifikasi suatu konstitusi
atau Undang-undang Dasar. Wheare mengungkapkan panjang lebar
mengenai macam-macam konstitusi dilengkapi dengan beberapa
contoh konstitusi di beberapa negara, namun pada intinya sebagai
berikut:29
1) Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis (written
constitution and no written constitution);
2) Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible constitution
and rigid constitution);
3) Kontitusi derajat tinggi dan Kontitusi tidak derajat tinggi
(supreme constitution and not supreme constitution)
4) Kontitusi serikat dan Konstitusi kesatuan (federal constitution
and unitary constitutions)
5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi
sistem pemerintahan parlementer (presidential executive and
parliamentary executive constitutions)
Pertama, yang dimaksud konstitusi tertulis ialah suatu konstitusi
(UUD) yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa
dokumen formal. Sedangkan konstitusi yang bukan dalam bentuk
tertulis ialah suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu
dokumen formal. Seperti konstitusi yang berlaku di Inggris, Israel, dan
New Zealand.
Kedua, James Bryce dalam bukunya Studies in History and
Jurisprudence memilah konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid secara
luas. Pembagian konstitusi atau Undang-undang Dasar dalam
fleksibel dan rigid ini karena didasarkan atas kriteria atau berkaitan
dengan “cara dan prosedur perubahannya”. Jika suatu konstitusi itu
mudah dalam mengubahnya, maka ia digolongkan pada konstitusi
yang fleksibel. Sebaliknya jika sulit cara dan prosedur perubahannya,
maka ia termasuk jenis konstitusi yang rigid.
29K.C Where, Modern.....op. cit,.. hlm. 2-31 untuk selanjutnya periksa dalam
Disertasi Soemantri M. Prosedur dan sistem ...., op. Cit .. hlm. 63

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 149


Adapun ciri-ciri khusus dari konstitusi fleksibel menurut Bryce
adalah: a. Elastis, b. diumumkan dan diubah dengan cara yang sama
seperti Undang-undang. Berbeda dengan ciri-ciri pokok dari konstitusi
yang rigid, meliputi: (a) mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih
tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain, dan (b) hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa atau dengan
persyaratan yang berat.30
Ketiga, yang dimaksud dengan konstitusi derajat tinggi ialah
suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara.
Di samping itu, jika dilihat dari segi bentuknya, konstitusi ini berada di
atas peraturan perundang-undangan yang lain. Demikian juga syarat
untuk mengubahnya lebih berat dibandingkan dengan yang lain.
Sementara konstitusi tidak derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang
tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat
tinggi. Persyaratan yang diperlukan untuk mengubah konstitusi
jenis ini sama dengan persyaratan yang dipakai untuk mengubah
peraturan-peraturan yang lain, umpamanya Undang-undang.
Keempat, klasifikasi yang berkaitan erat dengan bentuk suatu
negara. Artinya, jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan
didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara
serikat dengan pemerintah negara bagian. Pembagian kekuasaan
tersebut diatur dalam konstitusi atau Undang-undang dasarnya.
Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan tersebut tidak
dijumpai, karena seluruh kekuasaannya tersentralkan di pemerintah
pusat, walaupun dikenal juga sistem desentralisasi. Hal ini juga diatur
dalam konstitusi kesatuannya. Terakhir, klasifikasi konstitusi sistem
pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer.
C.F. Strong dalam bukunya, Modern Political Constitution,31
mengemukakan.
30Ibid, hlm. 64
31CF Strong Modern Political...op.cit. hlm. 212. 251. Selanjutnya periksa Sri
Soemanteri (Disertasi) op. Cit. Hlm.65.66

150 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


f. Konstitusi dan Negara
Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara
tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang
sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara, ibarat
“perjalanan cinta Romeo dan Juliet yang setia dan abadi”. Demikian
halnya negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam
disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau
Undang-undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan
pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara
harus dijalankan.32
Sejalan dengan pemahaman di atas, Struycken dalam bukunya
Hct Staatsrech: van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan
bahwa Undang-undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan
sebuah dokumen formal yang berisi:33
1) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketata-negaraan
bangsa.
3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,
baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan
datang.
4) Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Dari empat materi muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau
Undang-undang di atas, menunjukkan arti pentingnya konstitusi
bagi suatu negara. Karena konstitusi menjadi barometer kehidupan
bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah
perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan
oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada generasi
32 Ibid .. hlm. 49. Hamid S. Attamimi. Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi. Ul, Jakarta.
1990. hlm. 215
33 Dikutip oleh Sri Soemantri, Prosedur ... , loc.cic., hlm. 2.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 151


penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara yang mereka
pimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini telah terdapat dalam
konstitusi, sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang
yang utama dalam studi Ilmu Hukum Tata Negara.
Pada sisi lain, eksistensi suatu “negara” yang diisyaratkan oleh
A.G Pringgodigdo, baru nyata ada kalau memenuhi empat unsur :
1) Memenuhi unsur pemerintahan yang berdaulat,
2) Wilayah tertentu,
3) Rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation),
dan
4) Pengakuan dari negara-negara lain.34
Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu negara ini belumlah
cukup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa
kalau belum ada hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang
dimaksud adalah sebuah Konstitusi atau Undang-undang Dasar.
Untuk memahami hukum dasar suatu negara, juga belum cukup
kalau hanya dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam Undang-undang Dasar atau konstitusi saja, tetapi harus
dipahami pula aturan-aturan dasar yang muncul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis, atau
sering dicontohkan dengan “konvensi” ketatanegaraan suatu bangsa.
Sebab dengan pemahaman yang demikian inilah “ketertiban” sebagai
fungsi utama adanya hukum dapat terealisasikan.35
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya (grondwet) dari
dua segi. Pertama, dari segi isi (naar de inhoud) karena konstitusi
memuat dasar (grondslagen) dari struktur (inrichting) dan memuat
fungsi (administratie) negara. Kedua, dari segi bentuk (naar de maker)
oleh karena yang membuat konstitusi bukan sembarang orang atau
lembaga. Mungkin bisa oleh seorang raja, raja dengan rakyat, badan
konstituante, atau lembaga diktator.36 Pada sudut pandang yang
34
Bandingkan dengan: Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan
Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Gunacipta. Bandung, 1976, hlm. 2-12.
35
Djokosutono. Hukum op.cit., hlm. 48.
36
K.C. Wheare, Modern op.cit .. ‘hlm. 56

152 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


kedua ini, K.C. Wheare mengaitkan pentingnya konstitusi dengan
pengertian hukum dalam arti sempit, di mana konstitusi dibuat oleh
badan yang mempunyai “wewenang hukum” yaitu sebuah badan yang
diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada konstitusi.37 Tapi
dalam kenyataannya tidak menutup kemungkinan adanya konstitusi
yang sama sekali hampa (tidak sarat makna, kursif penulis), karena
tidak ada pertalian yang nyata antara pihak yang merumuskan dan
membuat konstitusi dengan pihak yang benar-benar menjalankan
pemerintahan negara. Sehingga konstitusi hanya menjadi dokumen
historis semata atau justru menjadi tabir tebal antara perumus atau
peletak dasar konstitusi, dengan pemerintah pemegang estafet
berikutnya. Kondisi objektif semacam inilah yang menjadi salah satu
penyebab jatuh bangunnya suatu pemerintahan yang sering diikuti
pula oleh perubahan konstitusi negara tersebut. Seperti yang pernah
terjadi di Filipina, Kamboja, dan lain sebagainya.38
Tidak heran, kalau dalam praktik ketatanegaraan suatu negara
dijumpai suatu konstitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna,
oleh karena salah satu dari beberapa pasal di dalamnya tidak berjalan
atau tidak dijalankan lagi. Atau dapat juga karena konstitusi yang
berlaku itu tidak dijalankan, karena kepentingan suatu golongan/
kelompok atau kepentingan pribadi penguasa semata. Di samping
itu, tentunya masih banyak nilai-nilai dari konstitusi yang dijalankan
sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.
Dari pemikiran tersebut, Karl Loewenstein mengadakan suatu
penyelidikan mengenai apakah arti dari suatu konstitusi tertulis
(UUD) dalam suatu lingkungan nasional yang spesifik, terutama
kenyataannya bagi rakyat biasa sehingga membawanya kepada tiga
jenis penilaian konstitusi sebagai berikut:
1) Konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Suatu konstitusi
yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka
konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan
37
Ibid.hal 65
38
Bandingkan dengan; Sri Soemantri. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata
Negara, Rajawali Pers. Jakarta. 1984, hlm. 64.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 153


tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti
sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi
itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
2) Konstitusi yang mempunyai nilai nominal. Konstitusi yang
mempunyai nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu
berlaku, tetapi kenyataannya kurang sempurna. Sebab pasal-
pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak
berlaku.
3) Konstitusi yang mempunyai nilai semantik Suatu konstitusi
disebut mempunyai nilai semantik jika konstitusi tersebut secara
hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah
sekadar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada,
dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik.
Jadi konstitusi tersebut hanyalah sekadar suatu istilah belaka,
sedangkan dalam pelaksanaannya hanyalah dimaksudkan untuk
kepentingan pihak penguasa.
Dalam negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara
dilakukan berdasarkan hukum dasar (droit constitutionil). Undang-
undang Dasar atau verjassung, oleh Carl Schmit dianggap sebagai
keputusan politik yang tertinggi.39 Sehingga konstitusi mempunyai
kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu negara. Yang
dimaksud dengan supremasi konstitusi, yaitu di mana konstitusi
mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara.40
Benarkah konstitusi atau Undang-undang Dasar mempunyai
derajat yang tertinggi dalam suatu negara? Terhadap pertanyaan
ini, K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions memberikan
ulasan cukup panjang lebar. Pada intinya kedudukan konstitusi dalam
suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan
aspek moral.
Pertama, konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat
tertinggi (supremasi). Dasar pertimbangan supremasi konstitusi itu
39
Ismail Saleh, Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum, Depkeh RI, Jakarta, 1988, hlm. 18.
40
Parlin M. Mangunsong, Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Salah Satu Sarana
Perubahan UUD, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 22

154 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


adalah karena beberapa hal: Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat
Undang-undang atau lembaga-lembaga. Konstitusi dibentuk atas
nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh
rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat
untuk kepentingan mereka. Dilihat dari sudut hukum yang sempit,
yaitu dari proses pembuatannya, konstitusi ditetapkan oleh lembaga
atau badan yang diakui keabsahannya.
Superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi
rakyat/warga negara tetapi termasuk juga bagi para penguasa dan
bagi badan pembuat konstitusi itu sendiri.
Kedua, jika konstitusi dilihat dari aspek moral landasan
fundamental, maka konstitusi berada di bawahnya. Dengan kata lain,
konstitusi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari
etika moral. Oleh karena itu, dilihat dari constitutional philosophy,
apabila aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral,
maka seharusnya konstitusi dikesampingkan. William H. Seward
mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan perbudakan
sudah sewajarnya tidak dituruti. Contoh lain seandainya konstitusi
melegalisasi sistem apartheid, dengan sendirinya ia bertentangan
dengan moral.41
Kembali kepada masalah konstitusi sebagai hukum yang tertinggi
(supremacy law) yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-
alat kelengkapan negara, muncul masalah baru, yaitu siapakah yang
akan menjamin bahwa ketentuan konstitusi atau Undang-undang
Dasar benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari
naskah, baik oleh badan eksekutif maupun badan pemerintah lainnya.
Dalam menanggapi permasalahan di atas, Miriam Budi ardjo
mensinyalir adanya beberapa aliran pikiran yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut. Di Inggris,
parlemenlah yang dianggap sebagai badan yang tertinggi dan oleh
karena itu hanya parlemen yang boleh menafsirkan ketentuan-
ketentuan konstitusional dan menjaga supaya semua undang-undang
dan peraturan-peraturan lain sesuai dan tidak bertentangan dengan
41
K.C. Wheare, Modern ... op. cit .. hlm. 62-63.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 155


ketentuan-ketentuan konstitusional itu. Ini berarti bahwa parlemen
merupakan satu-satunya badan yang boleh mengubah maupun
membatalkan Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan
konstitusi.
Di negara-negara federasi, diperlukan ada satu badan di luar
badan legislatif yang berhak meneliti apakah suatu Undang-undang
bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Di Amerika Serikat, India, dan Jerman Barat wewenang itu
terletak di tangan Mahkamah Agung Federal. Di negara-negara itu
berlaku asas judicial supremacy dan Mahkamah Agung ditambah
beberapa hakim lain.42 Masih berkaitan dengan masalah Supremasi
konstitusi, yaitu berkenaan de ngan adanya kemungkinan perubahan
konstitusi atau Undang-undang Dasar. Realitasnya menunjukkan
bahwa tidak semua negara memberikan kedudukan yang lebih tinggi
kepada Undang-undang Dasar daripada Undang-undang dalam
arti formal. Artinya tidak semua Undang-undang Dasar memerlukan
persyaratan yang lebih berat untuk perubahan atau Amendemennya
daripada Undang-undang biasa. Dalam hal ini prosedur pembuatan,
penyempurnaan, dan perubahan Undang-undang Dasar adalah
sama dengan prosedur pem buatan Undang-undang. Jika pengertian
ini diterapkan kepada konstitusi dalam arti luas, maka konstitusi
dalam bentuk apapun (Undang-undang Dasar, Undang-undang,
kebiasaan dan konvensi) dapat diubah dengan cara yang sama
seperti pembuatan Undang-undang biasa.
Pada umumnya negara-negara mengakui supremasi Undang-
Undang Dasar di atas segala peraturan perundang-undangan
lainnya, hal mana terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan
prosedur yang lebih berat daripada pembuatan Undang-undang.
Memang pembuatan Undang-undang Dasar didorong oleh kesadaran
politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan negara sebaik mungkin.
Menurut Wheare, dengan menempatkan konstitusi pada
kedudukan yang tinggi (supreme) ada semacam jaminan bahwa:
42
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ... , op. cit,hlm. 105-106

156 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar
konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara
sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh
kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini
dapat dilaksanakan dengan baik maka perubahannya pada umumnya
mensyaratkan adanya suatu proses dan prosedur yang khusus atau
istimewa.43
Menurut Bryce, motif politik yang menonjol dalam penyusunan
Undang-undang Dasar adalah:44
1) Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan untuk
mengendalikan tingkah laku penguasa.
2) Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang
ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan
perbuatan sewenang-wenang dari penguasa di masa depan.
3) Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin
atau mengamankan berlakunya cara pemerintahan dalam bentuk
yang permanen dan yang dapat dipahami oleh warga negara.
4) Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah untuk
menjamin aksi bersama yang efektif dan bersamaan dengan itu
berkeinginan tetap mempertahankan hak serta kepentingannya
sendiri-sendiri.
Atas dasar hal-hal yang dikemukakan oleh Bryce di atas dapat
disimpulkan bahwa Undang-undang Dasar dibuat secara sadar
sebagai perangkat kaidah fundamental yang mempunyai nilai politik
lebih tinggi dari jenis kaidah lain karena menjadi dasar bagi seluruh
tata kehidupan negara. Dengan asumsi ini, maka bagian-bagian lain
dari tata hukum harus sesuai atau tidak berlawanan dengan Undang-
undang Dasar.
Kemudian masih perlu dipikirkan kemungkinan adanya kaidah
hukum lain di luar Undang-undang Dasar yang harus dianggap
43
K.C. Wheare, Modern .... op.cit .. hlm. 7.
44
Ibid

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 157


mempunyai derajat yang sama dengan kaidah Undang-undang
Dasar. Contoh dari kemungkinan ini adalah rangkaian amendemen
atau kaidah tambahan terhadap Undang-undang Dasar seperti di
Amerika Serikat, yang dilihat dari segi urutan waktu harus dianggap
lebih tinggi kedudukannya daripada Undang-undang Dasar itu sendiri
Supremasi amendemen terhadap Undang-undang Dasar penting
artinya dalam hal terjadi keragu-raguan di dalam penafsiran arti dan
konsekuensi amendemen terhadap satu bagian atau keseluruhan
Undang-undang Dasar. Kemungkinan kedua adalah dalam hal terjadi
kebiasaan tata negara yang menyimpulkan kaidah baru yang harus
dianggap sebagai setaraf dengan Undang-undang Dasar dan oleh
karenanya mempunyai supremasi yang sama terhadap kaidah hukum
yang lainnya.
Dihubungkan dengan pengertian konstitusi dalam arti luas, di
mana bagi negara dengan konstitusi kaku perbedaan derajad antara
berbagai kaidah konstitusional akan berupa kaidah setaraf Undang-
undang Dasar, kaidah setaraf Undang-undang, dan kaidah setaraf
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang. Bagi
negara dengan konstitusi luwes seperti Inggris dan Selandia Baru
hanya ada dua jenis kaidah konstitusi, yakni kaidah setaraf Undang-
undang dan kaidah di bawah itu.
g. Sistem Perubahan Konstitusi
Apabila dipelajari secara teliti mengenai Sistem perubahan
konstitusi di berbagai negara, paling tidak ada dua sistem yang
sedang berkembang, yaitu renewel (pembaruan) dianut di negara-
negara Eropa Kontinental dan amendement (perubahan) seperti
dianut di negara-negara Anglo-Saxon. Sistem yang pertama ialah,
apabila suatu Konstitusi (UUD) dilakukan perubahan (dalam arti
diadakan pembaruan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi
yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut
sistem ini: Belanda, Jerman, dan Prancis.
Sistem yang kedua ialah, apabila suatu konstitusi diubah
(diAmendemen), maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata

158 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


lain, hasil amendemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan
dalam konstitusinya. Sistem ini dianut oleh negara Amerika Serikat.45
Adapun cara yang dapat digunakan untuk mengubah Undang-
undang Dasar atau konstitusi melalui jalan penafsiran, menurut K.C.
Wheare ada empat macam cara,” yaitu melalui:
1) Beberapa kekuatan yang bersifat primer (some primary
forces);
2) Perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal
amendement);
3) Penafsiran secara hukum (judicial interpretation);
4) Kebiasaan dan kebiasaan yang terdapat dalam bidang
ketatanegaraan (usage and convention).
Menurut C.F. Strong, prosedur perubahan konstitusi-konstitusi
ada empat macam cara perubahan,46 yaitu:
1) Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan legislatif, akan tetapi menurut pembatasan-
pembatasan tertentu;
2) Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui
suatu referendum;
3) Perubahan konstitusi dan ini berlaku dalam negara serikat
yang dilakukan oleh sejumlah negara – negara bagian;
4) Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi
atau dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk
hanya untuk keperluan perubahan.
•Ad.a. Perubahan konstitusi yang pertama ini terjadi melalui
tiga macam kemungkinan. Cara pertama, bahwa untuk mengubah
konstitusi, sidang pemegang kekuasaan legislatif harus dihadiri
45
Sri Soemantri, Prosedur ... , op.cit.,hlm. 81, C.F. Strong, Modern Political. .. ,
op. cit., hlm. 160; dan Tim Kajian AmendemenFH Unibraw, Amendemen UUD 1945
Antara Teks dan Konteks dalam Negara yang Sedang Berubah, Sinar Grafika,
Jakarta, 2000, hlm. 6.
46
HC.F. Strong, ap. cit., hlm. 146-148.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 159


oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu. Hal ini disebut
kuorum. Adapun kuorum ini ditentukan secara pasti, umpamanya
sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh jumlah anggota pemegang
kekuasaan legislatif harus hadir. Keputusan untuk mengubah
konstitusi tersebut adalah sah, apabila disetujui oleh umpamanya
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Cara kedua,
bahwa untuk mengubah konstitusi, lembaga perwakilan rakyatnya
harus dibubarkan dan kemudian diselenggarakan pemilihan
umum. Lembaga perwakilan rakyat yang diperbarui inilah yang
kemudian melaksanakan wewenangnya untuk mengubah konstitusi.
Ketiga, cara ini terjadi dan berlaku dalam sistem dua kamar. Untuk
mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus
mengadakan sidang gabungan. Sidang gabungan inilah dengan
syarat-syarat seperti dalam cara kesatu yang berwenang mengubah
konstitusi.
•Ad.b. Secara garis besar prosedur yang kedua ini berlangsung
sebagai berikut: Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi,
maka lembaga negara yang diberi wewenang untuk itu mengajukan
usul perubahan kepada rakyat dalam suatu referendum atau publisit.
Usul perubahan konstitusi yang dimaksud disiapkan lebih dulu oleh
badan yang diberi wewenang untuk itu. Dalam referendum atau publisit
ini rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau
menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka.
Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur
dalam konstitusi.
•Ad.c. Cara yang ketiga ini berlaku dalam negara yang
berbentuk negara serikat. Oleh karena konstitusi dalam negara yang
berbentuk negara serikat ini dianggap sebagai “perjanjian” antara
negara-negara bagian, maka perubahan terhadapnya harus dengan
persetujuan sebagian terbesar negara-negara bagian tersebut. Usul
perubahan konstitusi mungkin diajukan oleh negara serikat dalam hal
ini lembaga perwakilan rakyatnya akan tetapi, kata akhir berada pada
negara-negara bagian. Di samping itu, usul perubahan dapat pula
berasal dari negara-negara bagian.

160 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


•Ad.d. Cara yang keempat ini dapat dijalankan baik dalam
negara serikat maupun dalam negara yang berbentuk kesatuan.
Apabila ada kehendak untuk mengubah Undang-undang Dasar, maka
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga
negara khusus yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah
konstitusi. Usul perubahan. dapat berasal dari pemegang kekuasaan
perUndang-undangan dan dapat pula berasal dari lembaga negara
khusus tersebut. Apabila lembaga negara khusus dimaksud telah
melaksanakan tugas serta wewenang sampai selesai, dengan
sendirinya dia bubar.
Menurut KC. Wheare47 ada empat sasaran yang hendak dituju
dalam usaha mempertahankan konstitusi dengan jalan mempersulit
perubahannya. Adapun keempat sasaran tersebut ialah:
1) Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan
yang masak, tidak secara serampangan, dan dengan sadar
(dikehendaki)
2) Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan
pandangannya sebelum perubahan dilakukan:
3) Agar dan ini berlaku di negara serikat-kekuasaan negara
serikat dan kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah
semata-mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara
tersendiri;
4) Agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok
minoritas bahasa atau kelompok minoritas agama atau
kebudayaannya mendapat jaminan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh C.F. Strong maupun K.C.
Wheare tentang cara perubahan konstitusi di atas, maka salah satu
cara perubahan yang dapat ditempuh yaitu dengan konvensi. Suatu
konvensi atau convention (of the convention), kerap diberi pengertian
sebagai aturan hukum kebiasaan mengenai hukum publik; hukum

47
K.C. Wheare, Modern ... , op.cit, hlm. 83.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 161


kebiasaan yang tidak tertulis di bidang ketatanegaraan.48 Dengan
lain perkataan, bahwa konvensi ketatanegaraan adalah kelaziman-
kelaziman yang timbul dalam praktik hidup ketatanegaraan.49
Konvensi ketatanegaraan juga dapat diartikan sebagai perbuatan
ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga dapat
diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan, walaupun ia bukan
hukum.50
Dari beberapa pembahasan masalah konstitusi di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusi tidak sama dengan
Undang-undang Dasar. Undang-undang Dasar hanya merupakan
bagian dari konstitusi yaitu konstitusi yang tertulis. Materi muatan
atau isi konstitusi pada umumnya mengatur tiga masalah pokok, yaitu
adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya;
ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental; dan adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
Apabila kita lihat praktik di beberapa negara, maka tampak
bahwa tidak semua negara memberi kedudukan yang lebih tinggi
kepada Undang-undang Dasar daripada Undang-undang dalam arti
formal. Namun pada umumnya, negara-negara mengakui supremasi
Undang-undang Dasar di atas segala peraturan perundangan lainnya,
hal ini terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan prosedur
yang lebih berat daripada pembuatan Undang-undang. Kedudukan
dan fungsi konstitusi dalam suatu negara ditentukan oleh ideologi
yang melandasi negara tersebut. Berhubung dengan hal itu, konstitusi
di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi
juga merumuskan prinsip-prinsip hukum, haluan negara dan patokan
kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.

48
A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-undang Dasar
Dalam Teori dan Praktik.Pembangunan. Jakarta. hlm. 48. Lihat juga Ismail Sunny.
Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Aksara Baru. Jakarta.1983. hlm. 34-36.
49
H.Foekema Andreae, Kamus Istilah Hukum: Belanda-Indonesia. Binacipta,
Bandung. 1983. hlm.
50
Ismail Sunny. Pergeseran .... op.cit . hlm. 31-46

162 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


14. Muatan Konstitusi Dalam Uud Nri 1945
a. Materi Muatan dalam Konstitusi Secara Umum
Pada dasarnya terdapat kaitan antara pengertian kontitusi
dengan substansi yang diatur dalam konstitusi. Artinya, jika
konstitusi dianggap sebagai kesepakatan antarkomponen
bangsa, maka umumnya konstitusi mengandung berbagai hal
pokok yang mampu menjaga interaksi antarkomponen tersebut
tidak hanya norma hukum, melainkan nilai-nilai susila, nilai-nilai
filosofis sehingga nuansa substansi konstitusi lebih merupakan
pengaturan kekuasaan dari pada pembatasan kekuasaan.
Dalam literatur konstitusi sebagai komponen antarkomponen
bangsa ini dikenal sebagai the Originalist Theory.51
The Contextualist Theory beranggapan, bahwa konstitusi
bukan merupakan kesepakatan antar kornponen bangsa
melainkan sebagai sarana pembatasan kekuasaan. Maxim
yang terkenal dari penganut teori ini menyatakan bahwa “the
main purpose of constitutions is to limit goverment power
including the authority of elected official motivation, and anxiety
to protect individual liberties should all be the watchwords
constitutional construction.52 Beranjak dari pernyataan tersebut,
konstitusi hanya berisi norma-norma hukum yang diajukan demi
pembatasan kekuasaan dalam rangka perlindungan kebebasan
individu. Konstitusi sebagaimana dikenal dalam berbagai
literatur dapat diartikan secara sempit maupun secara luas.
Yang dimaksud dengan pengertian konstitusi dalam arti sempit
menyangkut dokumen hukum saja, sebaliknya yang dimaksud
dengan konstitusi dalam arti luas tidak hanya menyangkut
“dokumen hukum” (legal document) saja melainkan juga aspek
“nonhukum” (nonlegal). Pengertian konstitusi dalam arti luas
sebagaimana diajukan oleh Bolingbroke bahwa:
“By Constitutions, we mean, whenever we speak with
propriety and exactness, that assemblage of laws, institutions
51
John Ferejo.UI, Jack N, Rakove, Jonathan Riley (Ed): Constitutional Culture and
Democratic Rule (Cambridge: Canbridge University Press, 2001).
52
Ibid.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 163


and-customs, derived from certain fixed principles of reason,
“, that compose the general system, according to which the
community had agreed to be governed”53
Berdasarkan pengertian tersebut Bolingbroke menegaskan
konstitusi sebagai suatu ‘bentuk pengaturan tentang berbagai
aspek yang bersifat mendasar dalam sebuah negara, baik aspek
hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kesepakatan
masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalarn pemahaman
Bolingbroke dapat berupa aspek sosial maupun aspek filosofis
dalarn arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan
tertentu.
Sebagaimana pernyataan terdahulu, bahwa konstitusi dalam
arti sempit diajukan berdasarkan anggapan bahwa, kekuasaan
merupakan sesuatu yang mutlak dibatasi sesuai dengan adagium
bahwa power tends to corrupt; absolute power corrupt ebsotutety,
maka konstitusi dalam arti sempit hanya mengandung norma-
norma hukum yang membatasi kekuasaan-kekuasaan.
Selanjutnya pengertian konstitusi juga dapat klasifikasikan
pada arti statik dan arti dinamik. Konstitusi dalam arti statik
terkait dengan wujudnya sebagai ketentuan konstitusional yang
bersifat normatif dan berkualifikasi sebagai konsep sebagaimana
diinginkan oleh suatu bangsa untuk diwujudkan sebagai
perwujudan perjanjian sosial (social contract), yakni A Constitution
as a form of social contract joining the citizens if the state and
defining the state itself.
53
K.C. Wheare, Modern Constitutions. (London-New York-Toronto, Oxford
University Press, 1976), hlm. 3, Dalam pada itu kebiasaan-kebiasaan
ketatanegaraan termasuk dalarn klasifikasi unwritten constitutions sebagaimana
dijelaskan oleh Sri Soemantri dalam Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Persepsi Terhadap Prosedur Dan Sistem Sistem Perubahan Konstitusi Dalam
Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945 (Disertasi Cct.4. Alumni;Bandung,
1987), hlm 62-64, sedangkan dalam ranah disiplin Hukum Intemasional, kebiasaan-
kebiasaan internasional sebagai asas hukum umum diterima sebagai hukum,
selanjutnya periksa J.G. Starke, Introduction to International Law (9th edition-
London: Butterworths, 1984), khususnya Chapter 2 The Material Sources of
International Law pada hlm. 31-55

164 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


A Contract is an agreement among two or more individuals
specifying certain duties, obligalion, and rights of each individual,
and penalties for complying or violating the terms of the contract.54
Pengertian konstitusi dalam arti dinamik dikaitkan dengan
asumsi, bahwa suatu konstitusi hendaknya tidak sekedar
rumusan yuridik-normatif, melainkan harus bersifat praktikal,
serta menunjukkan adanya interaksi antarkomponen; Selanjutnya
dalam pengertian ini, constitusionalism diartikan sebagai: in
practice, is largely a process of interpretation conducted within a
community whose members share political power and jointly seek
to determine what a constitution permits or requires in specific
interest.55
Konstitusi diartikan sebagai dokumen hukum (legal
document) dan dokumen sosial politik (Social and Political
Document) resmi yang kedudukannya sangat istimewa (a special
legal sanctity) dan luhur dalam sistem hukum suatu negara.56
yang terdiri dari peraturan-peraturan dasar (basic law) diperoleh
melalui kesepakatan-kesepakatan tentang prinsip-prinsip pokok
kekuasaan negara, maksud dan tujuan negara organisasi
kekuasaan negara, fungsi, dan kewenangan, serta tanggung
jawab, pembatasan terhadap kekuasaan negara mengatur
hubungan antara lembaga tinggi negara sesamanya, termasuk
jaminan atas perlindungan hak-hak asasi manusia dan hak-hak
kebebasan warga negara.57
54
Dennis C. Mueller, Constitutional Democrary (London. Oxford University Prees,
1998) hlm.61 sebelumnya Dennis C. Mueller mengajukan peringatan bahwa
pengertian konstitusi sebagai kontrak sosial secara potensial mengandung
kemungkinan untuk terjadinya oportunisme di kemudian hari. Periksa, Dennis C.
Mueller “Choosing a Constitution in East Europe Lesson from Public Choice” dalam
Journal of Comparative Economies 15. (London oxford University Prees 1991) hlm.
325-48
55
John Ferejohn, Jack N Rakove, Jonathan Riley (Ed) Constitutional Culture and
Democratic Rule (Cambridge University Prees 2001) hlm 8.
56 Lihat Blaustin, Albert sebagaimana dikutip Tjipta Lesmana on Composins;
Constitution, Work Paper 15th Bennial Conference on the Law of the World. World
Jurist Assocation. Barcelona-Spain. 1991.
57
Lihat Hendry Campbell Black dalam Black ‘s Law Dictionary. Definition of
the Terms and Phrases of American and English Jurispundence, Aricelent and
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 165
Dilihat dari aspek politis dan historis, konstitusi merupakan
perjanjian luhur dan kedudukannya sebagai sumber hukum
tertinggi suatu negara, merupakan piagam kelahiran suatu
negara baru (a birth certificate), inspirasi dan pandangan hidup
(inspiration and world view), yang berfungsi sebagai pendorong
cita-cita bangsa. Karena itu, kedudukan dan sifat konstitusi
dalam suatu negara adalah kuat dan tidak dapat dikalahkan
oleh peraturan hukum lainnya. Blaustin, menyebutnya konstitusi
sebagai ‘The Queen of Legal.
Documents yang berbeda materi muatan dan proses
pembuatan dan perubahannya dengan peraturan perundang-
undangan lainnya. Perbedaan tersebut terutama ditentukan oleh
kedudukan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, sifatnya
yang simpel atau tidak rinci karena memuat hal-hal pokok dan
sangat penting serta pembedaan fungsi konstitusi sebagai
pengendali peraturan hukum yang ada di bawahnya.
Sebagai Hukum Dasar, Konstitusi sebagai kerangka dasar
dan rujukan negara yang pengejawantahannya terletak pada
dasar, tujuan negara, spirit masyarakat, serta strategi pencapaian
negara dalam menyelenggarakan masyarakat yang sejahtera,
adil dan makmur, baik secara material maupun spiritual Karena
itu, Pemerintah yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan
harus dibatasi oleh konstitusi58 yang lahir dari kesepakatan
nasional. Pembatasan itu umumnya ditandai oleh suatu konstltusi
yang mengandung nilai-nilai HAM yang mengacu pada parameter
universal, baik yang terkandung dalam konvensi internasional
atau kebiasaan-kebiasaan internasional dan regional.
Modern. 2003. Hal 214-215 hal ini juga dikutif oleh lsnaeni dalam makalah kerjanya
“Beberapa Pengertian konstitusi: Kajian Akademik Teori konstitusi. Komisi konstitusi
RI. Desember 2003
58
Menarik suatu studi banding yang dilakukan oleh Lawrence Beer tentang makna
konstitusi yang dipergunakan di Filipina, Thailand dan India mengenai substaur
konstitusi.

166 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Dalam pelaksanaannya tuntutan parameter HAM universal
tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan secara utuh karena
kondisi sosial, politik, latar belakang sejarah dan budaya
masyarakat suatu negara berbeda-beda. Kecenderungan
konstitusi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk di lndonesia
berbeda kondisi dengan tradisi negara Barat lainnya. Sebagian
dari tujuan negara adalah tidak saja untuk menciptakan suatu
tingkah laku yang menghormati hak-hak asasi manusia,
melainkan juga etos keagamaan merupakan bagian integral
dari budaya konstitusi.59 Situasi dimana spirit keagamaan
berpengaruh terhadap substansi konstitusi tersebut terjadi di
Filipina, Thailand, Malaysia, India dan beberapa negara lainnya
seperti Brunei Darussalam tidak dapat dihindarkan. Karena itu,
tradisi konstitusi Barat yang secara langsung berpengaruh tidak
sepenuhnya dapat diadopsi ketika pandangan masyarakat Timur
menempatkan pola pikir dan tingkah laku masyarakat tidak
semata-mata hanya disandarkan kepada sistem hukum yang
rasional belaka.60 Itulah sebabnya sebagian pendapat mengakui
keberadaan Konstitusi sebagai identitas nasional.
Dari segi strukturnya konstitusi terdiri dari Pembukaan
(Preamble), pasal-pasal serta Penutup (terdiri dari pasal-pasal
peralihan dan perubahan). Hubungan antara Pembukaan dengan
pasal-pasal idealnya selalu berkaitan. Sebab, dalam kenyataan
Pembukaan harus menjiwai materi muatan pokok yang ada
dalam pasal-pasalnya. Karena itu, sekiranya pertentangan
timbul, maka peraturan Perundang-undangan dengan sendirinya
batal demi hukum oleh karena kedudukan dari sifat Konstitusi
memiliki derajat hukum tertinggi dalam suatu negara.
59
The goal is to make behaviour respecful of human rights an integral part of the
religioud ethos in every national constitutional culture.
60 Gambaran di atas disandarkan pada peradaban Timur dimana nilai-nilai dan
ajaran-ajaran fundamental dari suatu agama-agama, baik lslam, Hindu-Budha, Tao
dan juga Shinto. Lihat Comparative Constitutional/Traditions, dalam Fundamental
Components of Constitutional Law and Development;. hl: 9.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 167


Dalam pandangan Maarseveen materi muatan itu harus
menjawab persoalan pokok antara lain: (1) konstitusi merupakan
hukum dasar suatu negara, (2) konstitusi harus merupakan
sekumpulan. aturan-aturan dasar yang menetapkan tembaga-
lembaga penting negara, (3) konstitusi mengatur tentang
lembaga-lembaga negara terpenting, kekuasaan pengaturan
kekuasaan dan hubungan keterkaitannya, (4) konstitusi
mengatur tentang hak-hak dasar dan kewajiban warga negara
dan pemerintah, baik secara sendiri-sendiri atau satu sama lain,
(5) konstitusi harus dapat mengatur dan membatasi kekuasaan
negara serta kelembagaannya, (6) konstitusi merupakan Ideologi
elite penguasa, (7) konstitusi menemukan hubungan materiil
antara negara dengan masyarakat61 Mengenai kewajiban warga
negara kepada negara, saat ini kecenderungan bangsa-bangsa
yang mengadakan reformasi, seperti Korea Selatan, Thailand,
Rusia, telah menempatkan hak dan kewajiban warga negara
mereka selalu bergandengan (rights and duties of citizen) bahkan
negara-negara seperti China dan Vietnam telah mengadakan
amendemen konstitusinya untuk memuat hak dan kewajiban
warga negara.
Dalam kaitan ini, Wheare mengemukakan adanya dua
pendapat yang berbeda satu sama lain. Pertama, ada yang
menganggap bahwa konstitusi semata-mata hanya dokumen
hukum dan isinya hanya berupa aturan-aturan hukum saja,
tidak lebih dari itu. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa
konstitusi tidak hanya berisi kaidah-kaidah hukum saja, akan
tetapi berisi pernyataan tentang keyakinan, prinsip-prinsip, dan
cita-cita. Lebih lanjut Wheare mengemukakan tentang apa
yang seharusnya menjadi isi dari suatu konstitusi, yaitu the very
minimum, and that minimum to be rule of law.62 Wheare tidak
menguraikan secara jelas apa yang seharusnya menjadi materi
muatan pokok dari suatu konstitusi. Ia mengatakan bahwa sifat
61
Lihat H. Th J.F. Van Maarseveen, Constitutional Law. USA:. Sijthoff. 1973: Hlm.
232. Bandingkan dengan K.C. Wheare

62
K.C. Wheare, Modern... op. cit . hlm. 33-34.

168 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


yang khas dan mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik
dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat mungkin untuk
menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk Undang-
undang Dasar dalam memilih mana yang penting dan harus
dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada
saat mereka akan merancang suatu Undang-undang Dasar,
sehingga hasilnya akan dapat diterima baik oleh mereka yang
akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh
Undang-undang Dasar tersebut. Menurut Mr. J.G. Steenbeek,
sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam disertasinya
menggambarkan secara lebih jelas apa yang seharusnya
menjadi isi dari konstitusi.
Pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok,
yaitu:63 Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dan warga negaranya; Kedua, ditetapkannya susunan
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; Ketiga,
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental. Dengan demikian, apa yang
diatur dalam setiap konstitusi merupakan penjabaran dari ketiga
masalah pokok tersebut.
Apabila pendapat Steenbeek di atas kita perbandingkan
dengan Strong, secara umum dapat dikatakan bahwa antara
keduanya tidak terdapat perbedaan yang mendasar. Dan apabila
perumusan konstitusi, baik dari pakar ilmu politik Inggris dan
pakar ilmu hukum tata negara kita kaji, apa yang dikemukakan
pada hakikatnya mengatur pembatasan kekuasaan dalam
negara.
Menurut Miriam Budiardjo, setiap Undang-undang Dasar
memuat ketentuan-ketentuan mengenai:64
1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan
antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah
negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah
63
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta. 1991. hlm. 101
64
Sri Soemantri M . prosedur ... op. cit . hlm. 51

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 169


pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah
dan sebagainya;
2) Hak-hak asasi manusia;
3) Prosedur mengubah Undang-undang Dasar;
4) Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat
tertentu dari Undang-undang Dasar
Apabila kita bandingkan pendapat Steenbeek dengan
pendapat Miriam Budiardjo, maka pendapat Miriam ini lebih luas
cakupannya, yakni menyangkut perubahan Undang-undang
Dasar.
Menurut A.A.H. Struycken Undang-undang Dasar (grondwet)
sebagai konstitusi. tertulis merupakan sebuah dokumen formal
yang berisi.65
1) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketata-negaraan
bangsa
3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa
yang akan datang.
4) Suatu keinginan, dengan mana perkembangan
kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Apabila masing-masing materi-muatan tersebut kita kaji, maka
kita dapat menarik kesimpulan bahwa di samping sebagai dokumen
nasional juga sebagai tanda kedewasaan dari kemerdekaan sebagai
bangsa.
Secara umum konstitusi berisikan materi-materi antara lain:
 Pertama, Pembukaan atau dikenal dengan istilah Preambule.
Isinya dalam pembukaan antara lain Pernyataan Kemerdekaan,
Tujuan berbangsa dan bernegara, Dasar filsafat Negara dan Cita-
cita Embanan (misi) Negara.
65
Sri Soemantri M .. Fungsi Konstitusi Dalam Pembatasan Kekuasaan, dikutip dari
Jurnal Hukum, No. 6 VoL 3 1996, hlm. 4.

170 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


 Kedua, Kedaulatan Rakyat. Suatu penegasan tentang siapa saja
pemegang sepenuhnya kedaulatan, dan bagaimana pula suatu
kedaulatan itu didelegasikan kepada Lembaga kedaulatan. Sistem
demokrasi apakah yang dipergunakan dalam Pemilihan Umum,
apakah pemilihan langsung atau tidak langsung, baik dalam
memilih anggota Parlemen ataulah Senator, dan juga Pemilihan
atas Presiden dan Wakil Presiden.
 Ketiga, Warga Negara dan Hak-Hak Asasi Manusia. Warga negara
dapat diartikan sebagai warga negara itu bisa juga mereka yang
berada di luar Indonesia yang memiliki hak-hak dan kewajiban
(rights and duties). Termasuk di dalamnya, perlindungan HAM yang
secara kodrati dan konstitusional dilindungi oleh negara, baik hak
yang tetap (derogable rights) dan hak yang tidak dapat diubah
(nonderogable rights).
 Keempat, Wilayah Negara. Wilayah negara merupakan konsep
keutuhan integritas berdaulat yang terdiri dari wilayah daratan,
perairan, sungai dan lautan, serta wilayah udara yang dapat
dipergunakan bagi kepentingan suatu bangsa dan juga bangsa-
bangsa lain. Konsep wilayah ini dibagi atas dua, yaitu wilayah
kedaulatan (sovereignity) dan wilayah kewenangan (sovereign right)
kaukus konsep yang terakhir ini meliputi wilayah lautan dan udara.
 Kelima, Struktur Organisasi dan Pemisahan Pembagian Kekuasaaan
Negara. Dalam bagian ini materi muatan Bentuk Negara dan Sifat
Pemerintahan. Termasuk di dalamnya, hubungan fungsional antara
Lembaga Legislatif dengan Eksekutif, serta Peradilan yang bebas.
Fungsi Check and Balance antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
termasuk di dalamnya peran desentralisasi dan dekonsentrasi.
Selain itu, juga dijelaskan tentang Lembaga-lembaga Negara,
baik yang horizontal di tingkat Pusat, maupun sistem administrasi
Pemerintahan antara Presiden/Wapres dengan Menteri-Menterinya.
 Keenam, Tujuan Negara Mengenai Kualitas Bangsa. Hal tersebut
antara lain terkait dengan aspek pendidikan dan kebudayaan,
agama, ekonomi, dan kesejahteraan sosial, kesehatan, dan
pelayanan bagi masyarakat lingkungan hidup (Human Development

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 171


Index). Kedudukan Sumber Daya Alam dan pemanfaatannya secara
berkesinambungan.
 Ketujuh, Atribut dan Simbol Kenegaraan. Yang terdiri atas Lagu
Kebangsaan dan Bendera Kebangsaan, Lambang Negara, dan
Bahasa Nasional.
 Kedelapan, Perubahan Konstitusi. Syarat-syarat dan prosedur
perubahan konstitusi yang sah, termasuk apakah perubahan cukup
dilakukan berdasarkan keputusan Legislatif, ataukah harus melalui
pelaksanaan referendum secara langsung oleh rakyat. Dengan
melihat materi-materi muatan pada konstitusi secara umum dan
membandingkannya dengan UUD NRI 1945, kita dapat melihat
antara lain:
1) Pengertian konstitusi yang kelak dianut merupakan konstitusi
dalam arti luas, sehingga konstitusi tidak hanya menyangkut
“dokumen hukum” (legal document) saja, melainkan juga aspek
“nonhukum” (nonlegal) yang dapat berwujud pandangan hidup,
cita-cita moral, keyakinan filsafati, keyakinan religius, dan
keyakinan politik suatu bangsa;
2) Perumusan dalam konstitusi kelak diajukan sebagai wujud
pengertian konstitusi dalam arti dinamik, sehingga pengaturan
konstitusional tidak sekedar berisi tentang pembatasan
kekuasaan, melainkan juga tersedianya pengaturan interaktif
antarkomponen secara bersama-sama guna menentukan
persoalan-persoalan ketatanegaraan yang ingin diwujudkan;
3) Akhirnya, hendaknya pengaturan konstitusional memiliki
daya jangkau ke depan yang relatif permanen sehingga stabilitas
ketatanegaraan dapat diselenggarakan dengan baik.
b. Muatan Moral pada UUD NRI 1945
Dalam bait keempat Pembukaan UUD NRI 1945 tertulis antara
lain: “....... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan

172 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Nilai dasar yang ada dalam kelima sila Pancasila tersebut di atas
mengandung nilai-nilai moral bagi bangsa Indonesia. Moral adalah
pengaturan perbuatan manusia ditinjau dari segi baik dan buruknya
dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia
berdasarkan hukum kodrati.

Sila pertama dan sila kedua memberikan gambaran seperti ini


dimana manusia sebagai ciptaan Tuhan bersama sesama manusia
lainnya dan ciptaan lainnya harus menyembah Sang Penciptanya
Yang Esa sehingga tiap insan manusia harus sekaligus menganggap
sesama manusia sebagai saudara yang sederajat dan harus
menghormati, memelihara fauna, flora, dan alam ciptaan lainnya.
UUD NRI 1945 didasarkan pada nilai-nilai dasar di atas tadi
sebagai muatan moral dalam konstitusi RI. Nilai-nilai dasar di atas tadi
disamping mengandung nilai-nilai lokal bangsa, juga mengandung
nilai-nilai universal.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 173


Sebagai bangsa heterogen yang mendiami wilayah kepulauan
dengan daratan penuh medan terputus, maka bangsa yang heterogen
dalam kultur, bahasa, agama, dan perangai masih terpisah oleh
alam. Namun, bangsa ini memiliki kemauan untuk merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur (sila V). Untuk itu, bangsa ini harus bersatu
(sila III) membentuk suatu sistem kenegaraan dengan institusi yang
diatur dalam suatu konstitusi, dimana aturan perundangannya disusun
oleh para perwakilan secara musyawarah (sila IV) dan dilaksanakan
oleh birokrasi diawasi oleh perwakilan dan badan pengawas, serta
dihakimi oleh badan yudikatif. Paradigma di atas mengandung nilai-
nilai kebaikan yang amat tinggi sebagai muatan moral sekaligus, cita
luhur, dan dasar dari konstitusi Indonesia.
Dalam moral juga dikenal sanksi yang lebih bersifat sanksi batin
serta sanksi sosial. Bagi manusia normal yang diberi karunia oleh
Sang Pencipta untuk mengetahui mana yang baik dan buruk, akan
memunculkan rasa bersalah, rasa menyesal, rasa malu. Disinilah
tujuan utama moral mengatur hidup manusia sebagai manusia tanpa
pandang bulu, tanpa pandang suku, agama, sehingga secara tidak
langsung mempersatukan bangsa sekaligus mempersatukan bangsa-
bangsa. Penjajahan dan perbudakan secara moral bertentangan
dengan hak-hak dasar manusia sehingga harus secara universal
tidak boleh terjadi dimanapun di dunia, termasuk di Indonesia, dan
hal ini tercantum dalam bait kesatu Pembukaan UUD NRI 1945.

174 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


c. Muatan Politik pada UUD NRI 1945
Hukum dan Undang-undang serta peraturan perundangan
di bawahnya memiliki persamaan sekaligus perbedaan, dan di
beberapa negara memberi nama berbeda antara hukum dan
aturan perundangan, seperti Law dan Regulation, Droit dan Loi
dimana Law lebih mengandung nilai-nilai keadilan yang begitu
kuat muatan moralnya, sementara Regulation begitu kuat muatan
politiknya.
Lembaga pembuat Undang-undang, yaitu lembaga legislatif
adalah lembaga politik dimana anggotanya adalah anggota
partai politik yang dipilih rakyat untuk mewakili rakyat di lembaga
legislatif, baik di tingkat pusat dan daerah, serta kota.
Produk hukum dalam bentuk Undang-undang dan peraturan
perundangan di bawahnya merupakan kristalisasi dari pemikiran
dan proses politik. Kegiatan legislasi lebih banyak memuat
keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa hukum adalah produk politik, dan
disinilah terasa sekali muatan politik dalam proses pembuatan
aturan perundangan dan Undang-undang di atasnya.
Dalam penjelasan UUD NRI 1945, tertulis bahwa “Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machstaat). Kata “belaka” disini mengartikan
bahwa Indonesia berdasarkan hukum sekaligus kekuasaan,
karena hukum relatif identik dengan kekuasaan, hukum mendekati
pengertian kekuasaan. Hukum tanpa kekuasaan hanyalah
berupa kaidah sosial yang berisikan anjuran namun sebaliknya
kekuasaan akan ditentukan batasnya oleh hukum.
UUD NRI 1945 yang disusun oleh BPUPKI dan disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi ini dianggap oleh
perumusnya, yaitu anggota BPUPKI sebagi konstitusi darurat,
kemudian pada tahun 1949 berubah menjadi Konstitusi RIS, lalu
pada tahun 1950 berubah lagi menjadi Konstitusi Sementara

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 175


(UUD Sementara 1950). Pada tahun 1955, diselenggarakan
pemilu pertama RI, dimana dari hasil pemilu ini dibentuk Dewan
Konstituante yang mempunyai tugas pokok membuat konstitusi
disamping membentuk dewan legislatif hasil pemilu 1955.
Dewan Konstituante gagal menyusun konstitusi dan
dibubarkan oleh Presiden Soekarno yang sekaligus mendekritkan
Indonesia kembali ke UUD NRI 1945. Selanjutnya, kewenangan
menyusun konstitusi ada pada Lembaga Tertinggi, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selama era Orde Baru,
tidak ada perubahan dalam konstitusi, dan barulah dalam era
Reformasi, MPR mengamendemen UUD NRI 1945 dengan tetap
memberlakukan namanya sebagai UUD NRI 1945. Keputusan
mengamendemen UUD NRI 1945 merupakan keputusan politik,
dimana yang merumuskannya adalah para politisi yang sebagian
besar berasal dari partai politik.
d. Muatan HAM dalam UUD NRI Tahun 1945
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada
hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah
pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik
terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah
merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan
dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat
dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi
manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen
tersebut. Konsekuensinya, negaralah yang terbebani kewajiban
perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut
ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam
hukum nasional, Pasal 281 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM

176 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Dengan
berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-
hubungan horizontal mengakibatkan perluasan kategori
pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi
dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya
menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab
korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan
dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-
perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan
masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak
asasi manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia
paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan
sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber
daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struktur
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen
juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan
sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin
diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil, maka pelanggaran
HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara.
Dalam pola relasi kekuasaan horizontal peluang terjadinya
pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi
aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena
itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab
perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu
dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on
the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs
of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human
Rights and Fundamental Freedom” pada tahun 1998.
UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah dengan Perubahan
Kedua pada 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat
dikaitkan dengan pengertian HAM. Namun, jika diperhatikan
dengan sungguh-sungguh, hanya 1 ketentuan saja yang memang
bebar-benar memberikan jaminan konstitusional atas HAM,

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 177


yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, ‘Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.’ Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain,
sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM atau human rights,
melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the
citizens rights atau biasa juga disebut the citizens’ constitutional
rights (Hak konstitusional warga negara), sedangkan bagi orang
asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap
penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya
adalah pasal 29 Ayat (2) tersebut.
Ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan
ide hak asasi manusia. Akan tetapi Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945
belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan
tegas mengenai adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan’ bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa
hal ihwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih
akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih akan
ditetapkan dengan Undang-undang.
Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat
(1) dan (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34,
semuanya berkenaan dengan hak konstitusional warga negara
Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga negara asing.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang sungguh-
sungguh berkaitan dengan ketentuan HAM hanya satu, yaitu
Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Tentu, banyak juga
sarjana hukum yang mengembangkan pendirian bahwa ketujuh
ketentuan tersebut semuanya berkaitan dengan HAM. Tetapi,
tidak sedikit pula sarjana hukum yang berpandangan bahwa
kesimpulan demikian itu tidak tepat. Apalagi jika diperhatikan,
jalan pikiran yang berkembang di antara ‘the Founding Fathers,
yang merumuskan naskah UUD NRI Tahun 1945 memang tidak

178 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


mengidealkan gagasan tentang HAM yang pada umumnya
dianggap berbau liberalistis dan individualistis.
Karena itulah maka, pada mulanya dalam rancangan naskah
UUD NRI Tahun 1945 yang dibahas dalam sidang BPUPK pada
tahun 1945, ketentuan mengenai jaminan HAM dapat dikatakan
tidak dimuat sama sekali. Yang dapat disebut jaminan HAM
hanyalah Pasal 29 Ayat (2) sebagai hasil kompromi akibat
dicoretnya tujuh kata dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang
berasal dari rumusan Piagam Jakarta. Artinya, rumusan Pasal 29
Ayat (2) itu pun sebenarnya tidak mengacu kepada pengertian-
pengertian HAM yang lazim diperbincangkan. Hal ini tentu
berkaitan dengan kenyataan bahwa di antara para ‘the Founding
Fathers’ yang membahas rancangan UUD NRI Tahun 1945 dalam
sidang-sidang BPUPK pada tahun 1945, ide-ide HAM itu sendiri
belum diterima secara luas. Para penyusun rancangan UUD
NRI Tahun 1945 sependapat bahwa hukum dasar yang hendak
disusun haruslah berdasarkan atas asas kekeluargaan, yaitu
suatu asas yang sama sekali menentang paham liberalisme dan
individualisme.
Dalam Rancangan UUD yang disusun Panitia Kecil, sama
sekali tidak dimuat ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia.
Hal ini menimbulkan pertanyaan dari para anggota. Untuk
menjawab hal itu, anggota Soekarno, antara lain berkata:
“Saja minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-
nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu,
janganlah dimasukkan dalam Undang-undang Dasar kita yang
dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai yang dianjurkan oleh
Republik Prancis itu adanya. Kita menghendaki keadilan sosial.
Buat apa grondwet menuliskan bahwa, manusia bukan saja
mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi
suara, mengadakan persidangan dan berapat jika misalnya, tidak
ada ‘sociale rechtvaardigheid’ yang demikian itu? Buat apa kita
membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat
mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet
yang berisi ‘droit de I’homme et du citoyen’ itu, djikalau kita

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 179


kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong
dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham
individualisme dan liberalisme dari padanya.”
Hampir tidak berbeda dengan pendapat anggota Soekarno
di atas, anggota Soepomo menyatakan:
“Tadi dengan panjang lebar sudah diterangkan oleh anggota
Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran
pikiran perseorangan. Kita menerima dan menganjurkan aliran
pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-undang Dasar
kita tidak memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan
aliran kekeluargaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali
memasukkan, di kemudian hari mungkin, djikalau hal itu kita
masukkan, sebetulnya pada hakikatnya Undang-undang Dasar
itu berasar atas sifat perseorangan, demikian sistem Undang-
undang Dasar bertentangan dengan konstruksinya, hal itu
sebagai konstruksi hukum tidak baik, djikalau ada kejadian bahwa
Pemerintah bertindak sewenang-wenang.”
Dengan demikian, baik bagi Soekarno maupun bagi
Soepomo, paham kenegaraan yang dianggapnya paling cocok
adalah paham integralistik, seperti yang tercermin dalam ‘sistem
pemerintahan di desa-desa yang dicirikan dengan kesatuan
hidup dan kesatuan kawulo gusti. Dalam model ini, kehidupan
antar manusia dan individu dilihat sebagai satu kesatuan yang
saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh ada dikotomi antara
negara dan individu warga negara, dan tidak boleh ada konflik di
antara keduanya, sehingga tidak diperlukan jaminan apapun hak-
hak dan kebebasan fundamental warga negara terhadap negara.
Pemahaman demikian itulah yang kemudian mendasari
pandangan filosofis penyusunan UUD NRI Tahun 1945 yang
mempengaruhi pula perumusan pasal-pasal Hak Asasi Manusia.
Landasan filosifis yang digunakan sama sekali tidak membutuhkan
adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan jaminan kemerdekaan
individu.

180 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Adalah anggota Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin,
yang walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan dan sama-
sama menentang individualisme dan liberalisme, namun dalam
rangka mencegah jangan sampai timbul negara kekuasaan
(machtsstaat), memandang perlu untuk memasukkan pasal-pasal
tertentu tentang hak-hak asasi manusia ke dalam UUD. Mengenai
hal ini, Hatta, mengatakan:
“.......ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya, pasal
yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak
yang sudah diberikan kepada, misal, tiap-tiap warga negara
jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan
di sini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan
lain-lain. Formulering-nya atau redaksinya boleh kita serahkan
kepada Panitia Kecil, tetapi, tanggungan ini perlu untuk menjaga,
supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita
mendasarkan negara kita atas kedaulatan.”
Demikianlah pula dengan anggota Yamin, yang pendapatnya
hampir sama dengan pendapat anggota Hatta, dan bahkan
menginginkan tidak hanya satu pasal, tetapi lebih luas dari itu.
Menurut Muhammad Yamin:
“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan
dalam UUD seluas-luasnya. Saja menolak segala alasan-alasan
yang dimajukan untuk tidak memasukkannya dan seterusnya
dapat/ah saja memajukan, beberapa alasan pula, selain dari
pada yang dimajukan oleh anggota yang terhormat Drs. Moh.
Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru di atas dunia berisi
perlindungan aturan dasar itu, misal, Undang-undang Dasar Dai
Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Aturan dasar
tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-
mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan yang harus
diakui dalam Undang-undang Dasar.”
Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa di kalangan para “the
founding fathers” atau “the founding leaders” memang terdapat
perbedaan pandangan yang prinsipil satu sama lain. Meski ada

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 181


juga sarjana yang berpandangan bahwa perbedaan di antara
mereka itu hanya perbedaan formulasi eksplisit dan implisit.
Karena itu, sebagai komprominya, ketentuan UUD NRI Tahun
1945 yang berkenaan dengan HAM dapat dikatakan hanya
memuat secara terbatas, yaitu sebanyak 7 pasal saja. Sedikitnya
pasal-pasal yang berbicara langsung tentang hak-hak asasi
manusia dalam UUD NRI Tahun 1945 bukan disebabkan naskah
UUD ini disusun sebelum adanya Universal Declaration of Human
Rights tahun 1948. Pada tahun 1945 itu, telah ada Declaration
of Independence AS dan Declaration des droit de I’homme et du
citoyen Prancis. Yang dijadikan bahan untuk penyusunan pasal-
pasal tentang hak-hak asasi manusia yang lebih lengkap dari apa
yang kemudian disepakati dalam UUD NRI Tahun 1945.
Hanya dengan memuat 7 pasal yang mengatur secara
terbatas mengenai hak-hak asasi manusia dalam UUD NRI Tahun
1945.
Dalam salah satu tulisannya, Muhammad Yamin memberi
komentar:
“Bahwa pada waktu UUD NRI Tahun 1945 dirancangkan
Pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi pasal-pasalnya
benci kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan
demokrasi revolusioner. Akibat pendirian ini, yaitu hak-hak asasi
tidaklah diakui seluruhnya, melainkan diambil satu dua saja
yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada
tahun 1945, yang dipengaruhi oleh peperangan antara fasisme
melawan demokrasi. Waktu merancang Konstitusi tahun 1945,
maka hak-hak asasi yang lebih luas memang dimajukan, tetapi
usul itu kandas atas alasan bahwa pada waktu itu hal asasi
dipandang sebagai kemenangan liberalisme yang tidak disukai.”
Dari uraian dan penjelasan di atas, teranglah bahwa saat UUD
NRI Tahun 1945 disusun, beberapa anggota Panitia berpendapat
bahwa hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang bersumber
kepada individualisme dan Iiberalisme, sehingga bertentangan
dengan asas kekeluargaan yang dianut bangsa lndonesia.

182 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Padahal, dapat dibuktikan bahwa sejarah perkembangannya,
hak-hak asasi tidaklah dilahirkan paham liberalisme dan
individualisme, melainkan oleh absolutisme. Hak-hak asasi timbul
sebagai reaksi terhadap absolutisme tindakan sewenang-wenang
penguasa. Dengan perkataan lain, hak-hak asasi manusia timbul
sebagai akibat adanya pertentangan antara penguasa dan rakyat
yang merasa ditindas oleh penguasa yang absolut.
Karena itu, dikatakan Muhamad Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim, persoalan HAM adalah persoalan antara individu yang
memegang kekuasaan dan individu yang tidak mempunyai
kekuasaan. Persoalan hak-hak asasi adalah persoalan yang
timbul sebagai akibat terjadinya ketegangan antara yang berkuasa
dengan yang diperintah (the ruled, the governed).
Ketika UUD NRI Tahun 1945 digantikan Konstitusi RIS
1949 atau yang lebih tepat disebut sebagai UUD RIS 1949, dan
kemudian UUDS Tahun 1950, kedua naskah UUD ini memuat
ketentuan yang lebih lengkap tentang HAM. yang berperan dalam
perumusan naskah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950 juga adalah
Soepomo yang semula, ketika UUD NRI Tahun 1945 dirumuskan,
menentang pencantuman pasal-pasal tentang HAM. Artinya,
setelah tahun 1948, pandangan dan apresiasi Soepomo dan
juga Soekarno turut pula mengalami perkembangan sehubungan
dengan ketentuan konstitusional HAM itu sendiri. Hal ini terjadi,
karena ketika itu The Universal Declaration of Human Rights
Tahun 1948 sudah ada, dan sedang sangat populer di dunia.
Sayangnya, UUD 1950 tidak berlaku lagi sejak 5 Juli 1959.
Mulai saat itu, berlakulah kembali UUD NRI Tahun 1945 yang
hanya memuat 7 pasal tentang HAM. Itupun dalam pengertiannya
yang sangat terbatas. Bahkan, sebenarnya menurut Harun
AIrasyid, UUD NRI Tahun 1945 itu sama sekali tidak memberikan
jaminan apapun mengenai hak-hak asasi manusia. Menurutnya,
yang diperdebatkan antara Hatta-Yamin di satu pihak dan
Soekarno-Soepomo di lain pihak, hanya berkenaan dengan
substansi Pasal 28 yang akhirnya sebagai kompromi disepakati
berbunyi, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 183


pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan Undang-undang.” Muhammad Hatta dan Muhammad
Yamin sudah mengusulkan pencantuman jaminan HAM di sini,
tetapi oleh Soekarno dan Soepomo ditolak karena hal itu mereka
anggap bertentangan dengan paham integralistik, karena itu,
sebagai jalan tengahnya, disepakatilah rumusan yang demikian itu.
Tetapi jika diamati secara seksama, Pasal 28 itu sama sekali tidak
memberikan jaminan mengenai adanya pengakuan konstitusional
akan hak dan kebebasan berserikat (freedom of association),
berkumpul (freedom of assembly), dan menyatakan pendapat
bahwa hak-hak tersebut akan ditetapkan dengan Undang-undang.
Artinya, sebelum ditetapkan dengan Undang-undang, hak itu
sendiri belum ada.
Karenaitu, ide untuk mengadopsikan perlindungan HAM itu,
terus diperjuangkan berbagai kalangan. Lahirnya pemerintahan
Orde Baru, misalnya, juga diikuti hidupnya kembali tekad untuk
melindungi hak-hak asasi manusia. Berpedoman kepada
pengalaman masa Orde Lama yang kurang mengindahkan hak
asasi warga negara, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara ke IV menetapkan ketetapan MPRS Nomor
XIV/MPRS/1966 yang memerintahkan, antara lain, penyusunan
piagam hak-hak asasi manusia. Artinya MPR sendiri menyadari
ketidaklengkapan UUD NRI Tahun 1945 dalam mengatur
mengenai hak-hak asasi manusia. Berdasarkan Tap MPRS
tersebut dibentuklah Panitia-panitia Ad Hoc, yaitu Panitia Ad Hoc
IV menyusun tentang perincian hak-hak asasi, Panitia Ad Hoc II
menyusun pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga
negara menurut sistem UUD NRI Tahun 1945, dan Panitia Ad
Hoc III menyusun tentang pelengkap penjelasan UUD NRI Tahun
1945. Khusus mengenai Panitia Ad Hoc IV, dalam melaksanakan
tugasnya, pertama-tama mengundang para sarjana, cendekiawan
dan tokoh masyarakat untuk memberikan ceramah tentang hak-
hak asasi manusia, berdasarkan bahan-bahan yang berhasil
dihimpun, Panitia menyusun suatu Piagam tentang Hak-hak Asasi
dan Hak-hak serta kewajiban warga Negara.

184 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Dengan keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakya Sementara (MPRS) pada 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967,
hasil kerja Panitia Ad Hoc IV serta III dan II diterima dengan baik
sebagai bahan pokok untuk disebarluaskan guna penyempurnaan
lebih lanjut. Pada 12 Maret 1967 diputuskan bahwa Panitia Ad Hoc
II, III, dan IV diubah menjadi Panitia Ad Hoc B, dan masa kerjanya
diperpanjang selama 6 bulan sejak keluarnya Keputusan MPRS
Nomor 7/MPRS/1967. Setelah ada tanggapan dari masyarakat
maka Panitia Ad Hoc B selanjutnya mengadakan penyempurnaan
atas Piagam tersebut.
Sayangnya, hasil karya Panitia Ad Hoc B tersebut tidak
menjadi kenyataan, karena pada Sidang Umum MPRS ke-V
tahun 1968, anggota-anggota MPRS tidak berhasil mencapai
kata sepakat untuk mengesahkannya menjadi suatu ketetapan.
Bahkan, setelah terbentuknya, Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil Pemilihan Umum tahun 1971, dengan Ketetapan Nomor V/
MPR/1973, MPR menyatakan bahwa Ketetapan MPRS Nomor
XIV/MPRS/1966 tidak berlaku lagi dan dicabut. Dengan demikian,
Piagam Hak asasi Manusia yang pernah dihasilkan MPRS itu
hanya tinggal sejarah.
c. Muatan Hukum pada Konstitusi lndonesia
Hukum dalam arti disini yaitu mengenai Hukum Tata Negara,
khususnya dalam hal Sistem Perwakilan dan Sistem Ketata-
negaraan pada UUD NRI tahun 1945 Pasca amendemen. Sudah
dibahas sebelumnya bahwa perubahan konstitusi lndonesia yang
terjadi mulai pada tahun 1999-2002, bersifat sangat fundamental.
Hal ini pula terlihat dari Sistem Perwakilan yang ada di dalam
Ketatanegaraan lndonesia.
Sampai pada akhirnya UUD ini diamendemen dan memberikan
perubahan yang begitu drastis dalam suasanan ketatanegaraan
saat ini. Muatan Hukum yang terdapat dalam UUD NRI Tahun
1945 terutama tentang masalah susunan kenegaraan, hubungan
antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya dengan warga
negara. Hal ini diatur dalam:

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 185


1) Bab I tentang Bentuk Kedaulatan.
2) Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3) Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.
4) Bab V tentang Kementerian Negara.
5) Bab VI tentang Pemerintah Daerah.
6) Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat.
7) Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah.
8) Bab VII B tentang Pemilu
9) Bab VIII tentang Hal Keuangan.
10) Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
11) Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman.
12) Bab IX tentang Wilayah Negara.
13) Bab X tentang Warga Negara & Penduduk khususnya
Pasal 26.
14) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal
281 ayat (5).
15) Bab XII tentang Pertahanan Dan Keamanan Negara.
16) Bab XV tentang Bendera, Bahasa, & Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan.
17) Bab XVI tentang Perubahan Undang-undang Dasar,
Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
Arah kekuasaan berbanding terbalik dengan suasana
sebelum diamendemen. Kini MPR diposisikan sederajat dengan
lembaga-lembaga negara lainnya. Perlu dipahami pula seluruh
lembaga negara berkedudukan langsung di bawah UUD NRI
Tahun 1945. Dan sistem konstitusional berdasarkan asas
berimbang dalam kekuasaan (check and balance), yaitu setiap
lembaga dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsinya
masing-masing. Hingga munculah lembaga negara perwakilan
daerah yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dibuat

186 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


atas dasar membawa kepentingan-kepentingan daerah yang
diwakilkannya. Kemudian lembaga ini yang disebut-sebut
sebagai konsekuensi dinamakannya sistem perwakilan dua
kamar (bicameral). Penamaan sistem ini bukan tanpa alasan,
paling tidak dapat kita buktikan dengan keberadaan anggotannya
di dalam struktur MPR, yang di dalam struktur keanggotaan MPR
tersebut terdapat pula anggota DPR. Artinya, hal ini dinilai adanya
dua lembaga perwakilan didalam satu majelis. Karena DPD
disebut-sebut membawa perwakilan daerah yang diwakilkannya,
maka sesungguhnya konsep Bicameralism konteks lndonesia
terinspirasi dari sistem pengaturan perwakilan negara federal
yang untuk melindungi kehendak rakyat dari setiap negara bagian,
yang berbeda artinya dengan kehendak federasi sebagai suatu
keseluruhan. Dalam hal Dewan Perwakilan Daerah diharapkan
dapat mewadahi pluralitas yang ada dalam suatu daerah provinsi.
(Jurnal Konstitusi, vol. I, No.1, Nov. 2009)
Ditinjau dari tataran real politic, ide bicameral yang dianggap
berlaku sekarang masih saja menghadapi keraguan bagi beberapa
ahli Hukum Tata Negara. Ditambah pula keterangan bahwa
sistem perwakilan yang dianut oleh lndonesia makin tidak jelas
karena secara teori tidak dapat dikategorikan sebagai unikameral
maupun bikameral, melainkan terdapat tiga badan perwakilan
yang juga tidak dapat disebut sebagai sistem perwakilan tiga
kamar. Dalam konteks pembahasan kali ini, menurut penulis entah
itu perwakilan DPR, MPR ataupun DPD harus sesuai dengan
impian bagi yang diwakilkan untuk dijalankan pada pelaksanaan
pemerintahan. Kepentingan-kepentingan yang diwakilkan harus
benar-benar dijamin oleh yang mewakili, jangan sampai hanya
kepentingan kelompok tertentu saja yang dijalankan.
d. Muatan Ekonomi pada Konstitusi lndonesia
Ketentuan mengenai Perekonomian dan Kesejahteraan
Sosial sudah diatur pada UUD NRI Tahun 1945. Khususnya
mengenai Perekonomian hanya diatur pada Pasal 33 yang terdiri
dari lima ayat.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 187


Pasal 33 :
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan. “Merupakan suatu susunan kebijakan
yang sistematis dan menyeluruh, mulai dari susunan yang
bersifat nasional sampai ke susunan ke daerah-daerah provinsi
dan kabupaten/ kota ke seluruh lndonesia.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
“Dalam arti luas mengenai kata “dikuasai oleh Negara” pengertian
kepemilikan dalam arti publik dan sekaligus perdata, termasuk
pula kekuasaan dalam mengendalikan dan mengelola bidang-
bidang usaha itu secara langsung oleh Pemerintah.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
Harus dipahami, menurut Jimly Assiddiqie, konsep
perekonomian nasional diselenggarakan atas dasar demokrasi
ekonomi dengan prinsip-prinsip:
1) Kebersamaan.
2) Efisiensi berkeadilan.
3) Berkelanjutan.
4) Berwawasan lingkungan.
5) Kemandirian.
6) Keseimbangan kemajuan.
7) Kesatuan ekonomi nasional.
8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam Undang-undang)

188 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


e. Muatan Sosial pada Konstitusi lndonesia
Muatan sosial pada UUD NRI TAHUN 1945 telah diatur,
lebih khususnya mengenai Bab X tentang Warga Negara dan
Penduduk di dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dan Bab XIV tentang
Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat khususnya Pasal 34.b.
Paham Konstitusi pada Konteks Negara Hukum. Paham konstitusi
yang dijadikan landasan pelaksanaan Ketatanegaraan erat
dikaitkan hubungannya dengan tujuan negara pada umumnya.
Hal ini menunjukan bahwa konstitusi memiliki posisi yang begitu
strategis terhadap pelaksanaan negara. Kalangan ahli hukum,
pada umumnya, mengaitkan pula tujuan negara dengan tujuan
hukum itu sendiri. Beberapa tujuan hukum menurut ahli tersebut
ialah;
1) Keadilan (justice),
2) Kepastian (certainty atau zekerheid) atau ketertiban (order),
3) Kebergunaan atau kemanfaatan (utility).
Kaitannya dengan tujuan negara, masih menurut beliau,
dengan mengutip pendapatnya J. Barens, ada tiga tujuan negara,
yaitu:
1) Untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman,
2) Mempertahankan kekuasaan, dan
3) Mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-
kepentingan umum.
Dari beberapa pendapat di atas, tujuan negara yang selalu
dikaitkan dengan tujuan konstitusi di lndonesia akan mengacu
pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa lndonesia dan seluruh tumpah darah lndonesia untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 189


f. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
1) Sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Komitmen untuk menjadi satu bangsa Indonesia telah
dicetuskan oleh kaum pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928
melalui Ikrar Sumpah Pemuda. Peristiwa ini menjadi tonggak
bagi bangsa untuk saling bahu membahu mengadakan
perlawanan kepada Belanda dan Jepang guna merebut
kemerdekaan Indonesia dan barulah 17 tahun kurang 2
bulan kurang 11 hari atau tepatnya pada tanggal 17 Agustus
1945 atas berkat rahmat Allah SWT Bangsa Indonesia dapat
mencapai kemerdekaannya melalui pernyataan Proklamasi
yang dibacakan oleh Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. Keesokan
harinya, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945 Bangsa
Indonesia membentuk suatu Negara Republik Indonesia
dengan disahkannya konstitusi UUD NRI Tahun 1945 sebagai
aturan dasar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejak saat itu, Indonesia menjadi negara yang berdaulat
dan berhak untuk mementukan nasib dan tujuannya sendiri.
Bentuk negara yang dipilih oleh para pendiri bangsa adalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski dalam perjalanan
sejarah ada upaya untuk menggantikan bentuk negara, tetapi
upaya itu tidak bertahan lama dan selalu digagalkan oleh
rakyat. Misalnya, ada upaya untuk menggantikan bentuk
negara menjadi Indonesia Serikat atau federasi. Tetapi upaya
untuk menggantikan bentuk negara itu tidak bertahan lama,
dan Indonesia kembali kepada negara kesatuan. Hingga saat
ini negara kesatuan itu tetap dipertahankan. Sebagai generasi
penerus bangsa dan juga sebagai peserta didik kita merasa
terpanggil untuk turut serta dalam usaha membela negara.
Bangsa Indonesia terus bergerak maju dan terus melintasi
sejarah. Berbagai kemajuan dan perkembangan terus
dinikmati oleh rakyat. Tetapi ancaman terhadap kedaulatan
dan keharmonisan bangsa dan negara masih terus terjadi,
meskipun intensitasnya kecil. Ancaman-ancaman itu
meskipun dalam intensitas yang kecil tapi jauh lebih rumit.

190 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (disingkat
NKRI) merupakan hasil pemikiran para tokoh nasional yang
duduk dalam BPUPKI yang bersidang pada bulan Mei-
Agustus 1945 ketika mereka membicarakan tentang dasar-
dasar negara sebagai langkah persiapan untuk kemerdekaan
bangsa Indonesia.
Saat mereka membahas tentang negara Indonesia
yang akan dibentuk ada beberapa hasil kesepakatan dan
kompromi dari berbagai pemikiran yang disampaikan oleh
para anggota BPUPKI yang terhormat,dan kesepakatan
tersebut antara lain:
a) Negara Indonesia yang akan dibentuk adalah sebuah
negara yang berbentuk Republik dan bukan kerajaan ataupun
diktatorial, yang berlandaskan paham integralistik yang
demokratis dengan meletakkan kedaulatan di tangan rakyat
dan berasaskan kekeluargaan. Pandangan ini disampaikan
oleh Mr Soepomo dalam pidatonya di Sidang BPUPKI
tanggal 31 Mei 1945. Pandangan beliau diilhami oleh ajaran
dari Adam Heinrich Ritter von Muller dan tata kehidupan asli
masyarakat perdesaan di Indonesia. Dalam negara yang
integralistik, kekuasaan pemerintahan negara dijalankan
oleh lembaga-lembaga negara yang berasal dan dipilih oleh
rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan bukan berasal dari
keluarga yang turun-temurun. Negara akan mengatur semua
kehidupan masyarakat bangsa sebagai suatu keluarga
(dalam kebersamaan), namun negara juga memberikan
dan menghormati hak-hak yang bersifat pribadi terutama
yang terkait dengan kemerdekaan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pikiran lisan dan tertulis (mengadopsi
pemikiran Mohammad Hatta). Pada saat pembahasan
tentang bentuk negara memang ada beberapa pemikiran
yang menginginkan bentuknya adalah kerajaan yang akan
mempersatukan berbagai kerajaan yang ada di seluruh
Indonesia (terutama diwakili oleh tokoh-tokoh yang berasal
dari kaum bangsawan), namun pemikiran ini ditolak oleh

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 191


sebagian besar para tokoh. Bahkan ada pemikiran bahwa
sebaiknya kekuasaan pemerintah harus besar dan harus
mampu menguasai rakyatnya, dan pemikiran inipun ditolak
karena hal ini akan menimbulkan kekuasaan yang terpusat
dan diktatorial. Oleh karena itulah kekuasaan pemerintahan
tidak tak terbatas (artinya perlu ada pembatasan) sehingga
tidak akan timbul kesewenang-wenangan penguasa terhadap
rakyatnya.
b) Negara Indonesia yang akan dibentuk adalah
sebagai satu kesatuan wilayah negara yang berbentuk
unitaris (kesatuan) dan bukan negara yang berbentuk
federalis maupun konfederalis, dengan satu kekuasa-an
pemerintahan pusat (sentral) yang kemudian kewenangannya
didistribusikan, didelegasikan dan diserahkan kepada daerah-
daerah otonom yang dibentuk. Para tokoh nasional pada
masa itu ingin membentuk suatu negara yang wilayahnya
terintegrasi dalam suatu pemerintahan yang sentral, mereka
tidak ingin membentuk negara yang berasal dari federasi
ataupun konfederasi dari beberapa negara bagian yang
mengintegrasikan diri sebagai suatu negara. Para tokoh
nasional melihat bahwa wilayah negara Indonesia yang akan
dibentuk adalah sebagai negara yang akan menaungi seluruh
wilayah eks-Hindia Belanda. Memang pada masa itu juga ada
pemikiran yang menginginkan bentuk negara Indonesia adalah
federasi dari negara-negara bagian eks kerajaan-kerajaan
di nusantara, tapi pemikiran ini ditolak (meskipun dalam
perjalanan sejarah: negara Indonesia pernah menerapkan
bentuk negaranya federalis yaitu saat dibentuknya negara-
negara BFO oleh Belanda dan ketika berlakunya Konstitusi
RIS, bahkan pemikiran federalis ini juga sempat muncul saat
pembahasan amendemenUUD NRI Tahun 1945).
c) Suatu negara yang merdeka harus mempunyai batas-
batas wilayah negara dan mempunyai kedaulatan yang
mutlak untuk menguasai, menjaga dan memelihara keutuhan
wilayah tersebut serta mempertahankan dari gangguan dan

192 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


ancaman baik yang berasal dari dalam maupun dari luar,
sehingga para tokoh nasional ada yang mengusulkan bahwa
wilayah negara Indonesia yang merdeka adalah eks kerajaan
Majapahit, eks kerajaan Sriwijaya dan sebagainya. Namun
pada akhirnya para tokoh nasional bersepakat bahwa wilayah
negara Indonesia meliputi wilayah eks-Hindia Belanda yang
wilayah terbentang dari Sabang sampai Merauke. Perjuangan
untuk mewujudkan wilayah eks-Hindia Belanda ternyata
tidak mudah, karena untuk mempertahankan kemerdekaan
maupun untuk mengintegrasikan Irian sebagai wilayah
Indonesia yang utuh, harus ditebus dengan perjuangan
panjang dan pertumpahan darah oleh rakyat Indonesia.
Dalam perkembangannya timbul pemikiran bangsa Indonesia
berdasar pengalaman ketika melihat kenyataan bahwa
wilayah Indonesia bukanlah sebagai wilayah yang terintegrasi
mengingat wilayah tersebut terdiri dari wilayah enklave satu
pulau dengan pulau yang lain dibatasi dan dipisahkan oleh
laut bebas (internasional) karena wilayah kedaulatan mutlak
kita dibatasi hanya sejauh 12 mil dari garis pantai di setiap
pulaunya. Berdasarkan pemikiran tersebut kemudian bangsa
Indonesia mengeluarkan Deklarasi Djuanda pada tahun 1957
dan berjuang di tingkat internasional agar menjadi negara
Kepulauan (Archipelago State) yang wilayah darat dan lautnya
sebagai wilayah kedaulatan yang integral, dan perjuangan ini
telah berhasil dengan disetujuinya UNCLOS 1982.
d) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan ruang hidup yang akan mewadahi dan menaungi
seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku,
ras, agama, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan kebiasaan
yang berbeda-beda satu sama lainnya, yang berasal dari
keturunan bangsa Eropa, Asia maupun pribumi asli. Seluruh
warga bangsa Indonesia berhak untuk hidup, menetap dan
memperoleh penghidupan serta perlindungan dimanapun di
seluruh wilayah negara tanpa boleh diperlakukan pembedaan
dan diskriminasi. Negara juga akan menjaga, melindungi dan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 193


melestarikan adat-istiadat, hukum adat, budaya, bahasa dan
kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di
suatu wilayah tertentu.
e) Perjalanan sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan,
Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi, telah
mengubah perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi sebuah negara besar. Indonesia telah
berubah menjadi bangsa yang dinamis dan penuh harapan.
Indonesia telah berhasil melewati arus sejarah dan menjalani
proses perjuangan yang panjang untuk mewujudkan dan
mempertahankan NKRI. Pascareformasi, NKRI kini tampil
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan
menjadi kekuatan ekonomi negara 20 besar dunia. Saat
ini Indonesia tengah mengarungi arus sejarah baru, arus
perubahan yang harus kita menangkan dengan berbekal
semangat juang untuk menjadi bangsa yang unggul, bangsa
yang berdaya saing tinggi, bangsa yang inovatif, dan tentu
saja bangsa yang berwawasan kebangsaan dengan karakter,
jati diri, dan akhlak yang mulia.
2) Bentuk Negara Kesatuan
Pada awal kemerdekaan Indonesia, muncul perdebat-
an mengenai bentuk negara yang akan digunakan Indonesia
apakah negara kesatuan ataukah negara federal atau
bahkan sebagai negara konfederasi. Namun akhirnya
disepakati bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan
kemudian ditetapkan dalam UUD 1945 oleh PPKI pada 18
Agustus 1945. Presiden Soekarno, dalam pidatonya pada
1 Juni 1945 megatakan bahwa nasionalisme Indonesia
atau negara kesatuan merupakan sebuah takdir. Bangsa
Indonesia harus mengatasi badai besar ketika Belanda
kembali datang untuk melakukan agresi militer tahun 1948-
1949 hingga akhirnya berkat perjuangan bangsa Indonesia
melalui perjanjian-perjanjian dengan Belanda, bentuk negara
Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat.
Tujuan Belanda membentuk negara serikat adalah untuk

194 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
pada waktu itu.
Ketika bentuk negara berdasar federasi atau serikat,
telah menimbulkan pergolakan di parlemen agar dapat
kembali sebagai negara kesatuan. Melalui Mosi integral yang
dipelopori oleh Moh. Natsir yang disampaikan pada tanggal
13 April 1950 dan didukung oleh banyak fraksi di parlemen,
akhirnya mengantarkan Indonesia menjadi negara kesatuan
kembali sejak 17 Agustus 1950. Kembalinya bentuk negara
kesatuan ini ditandai dengan ditandatanganinya “Piagam
Persetujuan RI dan RIS” oleh Wakil Presiden Moh. Hatta
dan Perdana Menteri Abdul Halim. Meskipun telah kembali
menjadi negara kesatuan sesuai dengan konstitusi yang
berlaku UUDS 1950 pasal 1 ayat (1) banyak sekali timbul
upaya pemberontakan di berbagai daerah hingga tahun
1958. Kondisi ini membuat penyelenggaraan negara tidak
optimal sehingga Presiden harus mengambil tindakan
dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
isinya konstitusi.
Ketika dilakukan amendemen terhadap UUD 1945 dan
penyebutannya berubah menjadi UUD NRI Tahun 1945,
wakil-wakil rakyat pemegang kekuasaan politik di MPR RI
mempunyai keyakinan dan mampu menghilangkan keraguan
akan pecahnya negara Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 yang merupakan naskah asli mengandung
prinsip bahwa “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik” dan Pasal 37 ayat (5) “Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan”. Dengan demikian, bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kokoh
setelah dilaksanakan amendemen dalam UUD NRI Tahun
1945, dimana MPR bersepakat untuk tidak mengganti bunyi
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sedikitpun dan terus
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjadi bentuk final negara Indonesia.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 195


Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk
negara kesatuan dilandasi pertimbangan bahwa negara
kesatuan merupakan bentuk yang ditetapkan dari mulai
berdirinya negara Indonesia dan dianggap paling pas
untuk mengakomodasi ide persatuan sebuah bangsa yang
plural/majemuk dilihat dari berbagai latar belakang (dasar
pemikiran).
UUD NRI Tahun 1945 secara nyata memiliki spirit
agar Indonesia terus bersatu, baik yang terdapat dalam
Pembukaan ataupun dalam pasal-pasal Undang-undang
Dasar yang langsung menyebutkan tentang Negara
Kesatuan RI dalam 5 Pasal, yaitu: Pasal 1 ayat (1), Pasal
18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A dan pasal 37 ayat
(5) UUD RI tahun 1945. Prinsip kesatuan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia dipertegas dalam alinea
keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dalam upaya
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Dengan menyadari seutuhnya bahwa dalam
pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah dasar berdirinya
bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan, Pembukaan
tersebut tetap dipertahankan dan dijadikan pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kesadaran Bangsa dalam bingkai NKRI pada dasarnya
meliputi dua fenomena realitas, yaitu “kesadaran ruang”
dan “kesadaran isi”. Kesadaran ruang dalam arti konfigurasi
geografis saat ini. Sedangkan kesadaran isi dalam arti
pemahaman ke-majemukan dan heterogenitas kita dalam
aspek kultur, etnik, bahasa, dan agama.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan berada di tangan rakyat, dan negara
ini bukanlah bentuk negara sebagai kelanjutan kerajaan/
kesultanan/kedatuan yang pernah ada dan telah berabad-
abad hidup berdaulat di wilayah Nusantara. Sebagai negara
yang merdeka dan berdaulat, konsep negara kesatuan

196 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


akan mengilhami bagi bangsa Indonesia menentukan batas-
batas wilayah negaranya, akan menentukan sistem
pengamanan yang tepat diterapkan untuk menjaga keutuhan
dan kedaulatannya, akan mengilhami sistem pembagian
wilayah dan sistem pengelolaan serta hubungan antara
pusat dengan daerah, akan menentukan sistem politik dan
penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk perwakilan
maupun pemimpin daerah.
Konsepsi NKRI juga telah mengilhami tumbuhnya
suatu cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri,
bangsa dan tanah airnya yang terdiri dari masyarakat, suku
bangsa, agama, adat-istiadat yang beragam sebagai suatu
kesatuan di dalam negara kepulauan dalam berbagai aspek
kehidupan. Konsepsi ini memberikan nilai dan semangat
untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga
keutuhan wilayah negara, menjaga kedaulatan negara, dan
bersama-sama menjaga ancaman dari bangsa-bangsa lain.
a) Kondisi geografis.
Secara geografis, Indonesia diapit dua samudera
dan juga dua benua. Secara detail, pada bagian barat laut
Indonesia berbatasan dengan Benua Asia. Sedangkan pada
bagian Tenggara, Indonesia berbatasan dengan Benua
Australia. Pada arah barat, wilayah Indonesia berbatasan
dengan Samudera Hindia dan sebelah timur laut berbatasan
dengan Samudera Pasifik. Batas-batas geografis ini memberi
sejumlah pengaruh bagi Indonesia sebagai sebuah Negara
dengan kebudayaan yang beragam.
Oleh karena posisi geografis Indonesia yang begitu
strategis, tentu hal ini akan memberikan keuntungan yang
besar kepada negara Indonesia. Sudah sepatutnya bangsa
ini memanfaatkan kondisi tersebut untuk kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Karena letaknya yang strategis,
Indonesia menjadi persimpangan lalu lintas dunia, baik
darat, udara, maupun laut. Indonesia juga bertetangga

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 197


dengan banyak negara di Asia yang sedang menunjukan
geliat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa seperti China,
India, dan Thailand. Selain itu, Indonesia berada pada
titik persilangan perekonomian dunia dan perdagangan
internasional, baik negara-negara industri maju maupun
berkembang.
Letak Indonesia yang strategis serta bentuk negara
Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau bukan tanpa
kelemahan. Hal ini menyebabkan Indonesia rentan
mendapatkan ancaman dari luar. Posisi ini menempatkan
Indonesia berbatasan laut dan darat secara langsung
dengan sepuluh negara di kawasan. Keadaan ini menjadikan
Indonesia rentan terhadap sengketa perbatasan dan
ancaman keamanan yang menyebabkan instabilitas dalam
negeri dan di kawasan.
Untuk itu, seharusnya bangsa Indoneisa dapat berkaca
dari kasus Sipadan dan Ligitan serta konflik-konflik yang
sering terjadi diperbatasan. Letak geografis merupakan salah
satu determinan yang menentukan masa depan dari suatu
negara dalam melakukan hubungan internasional. Kondisi
geografis suatu negara juga akan menentukan peristiwa-
peristiwa yang memiliki pengaruh secara global. Di masa
yang akan datang, keberadaan Indonesia akan dipengaruhi
oleh kondisi dan letak geografisnya. Maka tata kelola sumber
daya alam, wilayah perbatasan dan pertahanan negara harus
menjadi perhatian.
Sedangkan secara geologis Indonesia terletak di wilayah
rawan bencana gempa karena terletak pada pertemuan tiga
(3) lempeng utama geologi dunia (Indo-Australia, Eurasia
dan Pasifik). Di wilayah Indonesia terdapat 129 gunung api
aktif. Sementara dari sisi geografi, letak Indonesia di wilayah
khatulistiwa menyebabkannya memiliki musim hujan dan
musim kemarau yang memiliki potensi positif sekaligus
negatif dalam bentuk bencana alam, bencana non alam,
maupun bencana sosial. Proses alam, unsur manusia atau

198 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


kombinasi keduanya juga merupakan penyebab terjadinya
bencana. Berbagai macam bencana yang sering terjadi di
Indonesia adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api,
banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, kebakaran
hutan dan lahan, angin puting beliung, kegagalan teknologi
serta bencana sosial/konflik sosial, yang berdampak
potensial menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda,
pengungsian serta kerugian dalam bentuk lain yang tak
ternilai.
Dengan “Archipelagic State Principle” tersebut maka
wilayah geopolitik NKRI merupakan satu kesatuan yang utuh,
tidak terpecah-pecah lagi seperti zaman Belanda, termasuk
seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan
kedaulatan hukum kewilayahan di atasnya. Proklamasi 17
Agustus 1945 telah menetapkan bahwa Indonesia sebagai
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Indonesia terletak di Antara 95° dan 141° Bujur Timur
serta Antara 6° Lintang Utara dan 11° Lintang Selatan serta
memiliki 17.499 pulau (Dishidros, TNI AL)) yang sebagian
besar tidak berpenghuni. Sesuai dengan UUD NRI Tahun
1945 Pasal 25A, dinyatakan bahwa “Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan Undang-undang.” Pada saat ini
telah terbit Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara yang memuat pengertian tentang Wilayah
Negara yaitu salah satu unsur negara yang merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di
bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Pembagian daerah NKRI disebutkan dalam Pasal 18 ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan NKRI dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 199


kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
Undang-undang. Ungkapan “dibagi atas” (bukan “terdiri
atas”) dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 bukanlah istilah yang digunakan secara kebetulan.
Ungkapan itu digunakan untuk menjelaskan bahwa negara
kita adalah negara kesatuan yang berkedaulatan negara
berada di pemerintah pusat. Berbeda dari “terdiri atas” yang
lebih menunjukkan substansi federalisme, karena istilah itu
menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-
negara bagian.
Kecenderungan saat ini, berbagai aspirasi politik dari
daerah banyak menginginkan terbentuknya Daerah-Daerah
Otonom Baru (DOB) baik berupa provinsi maupun kabupaten
dan kota. Sebelum reformasi terdapat 319 daerah terdiri atas
26 provinsi (minus Timor Timur), 234 kabupaten dan 59 kota.
Dalam 15 tahun terakhir (1998-2014) pascaera reformasi
telah terbentuk 223 DOB atau sekitar 70% yang terdiri atas 8
provinsi, 181 kabupaten dan 34 kota sehingga keseluruhan
jumlah daerah otonom (posisi Oktober 2014) dalam wilayah
NKRI sebanyak 542 daerah yang terdiri atas 34 provinsi, 415
kabupaten, dan 93 kota. Apabila tidak mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh dengan bertambahnya daerah
otonom ke depan, maka mempunyai potensi “disintegrasi
bangsa dan membangkrutkan negara”, mengingat
ketidakmampuan negara dalam mengelola, mengendalikan,
dan mencegah aspirasi politik yang berlebihan dengan
dalih untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada
masyarakat. Untuk itu, perlu memperketat pembentukan
daerah otonom baru yang dilandasi kebutuhan objektif
masyarakat dengan mempedomani Desain Besar Penataan
Tahun 2010-2025, di mana pembentukan DOB setidaknya
harus didahului sebagai daerah administrasi selama tiga
tahun yang tidak membebani pemerintah pusat. Setelah
daerah tersebut mampu mandiri, maka baru bisa menjadi
DOB sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan

200 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


DOB yang sudah dibentuk dilakukan evaluasi yang apabila
tidak memenuhi persyaratan sebagai daerah otonom yang
mandiri, maka perlu digabungkan kembali ke daerah asalnya
dan/atau dihapus sebagai daerah otonom.
b) Sosial Budaya.
Ciri khas keberagaman bangsa Indonesia yang multikultur
dan multietnis adalah sebuah realitas yang telah sejak lama
disadari oleh bangsa Indonesia. Realitas keberagaman
ini dapat bertahan hingga saat ini disebabkan adanya
pemahaman untuk tidak mempertentangkan disparitas
antara satu dengan yang lain, namun perbedaan tersebut
diterima sebagai suatu kewajaran, dan yang paling utama
adalah menyelaraskan perbedaan menjadi satu kesatuan,
satu tujuan, satu tindakan menuju cita-cita bersama dan/atau
mengedepankan persamaan diantara perbedaan yang ada.
Perbedaan adalah kenyataan yang harus diterima dan bukan
untuk dipertentangkan.
Kondisi objektif bangsa Indonesia yang lahir dengan
keanekaragaman etnis, agama dan kultur tersebut secara
alamiah memiliki kerawanan, karena bilamana hal tersebut
tidak dikelola dengan bijak akan berkembang menjadi potensi
konflik yang dapat mengundang disintegrasi bangsa dan
negara. Untuk memantapkan modal dasar pembangunan
berupa keberagaman budaya, perlu dilakukan revitalisasi
pola tatanan kehidupan dan kearifan budaya lokal pada
setiap kelompok etnik agar perangkat nilai dan kearifan lokal
dapat hidup berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan
bermasyarakat secara keseluruhan.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama
dan suku bangsa telah ada sejak zaman nenek moyang,
kebhinnekaan budaya yang dapat hidup berdampingan
secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam
khasanah budaya nasional. Nilai budaya yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia, akan selalu berakar dari

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 201


kearifan lokal (local wisdom) yang muncul dan berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Dalam Pasal 26 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
disebutkan bahwa penduduk ialah Warga Negara Indonesia
dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Dengan masuknya rumusan orang asing yang tinggal
di Indonesia sebagai penduduk Indonesia, orang asing
yang menetap di wilayah NKRI mempunyai status hukum
sebagai penduduk Indonesia. Sebagai penduduk, pada diri
orang asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan
prinsip yuridiksi teritorial), sekaligus tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku umum
(General International Law).
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan wilayah
luas dan posisi strategis dimana di dalamnya terkandung
kekayaan sumber daya alam dan penduduk yang beragam
baik suku, agama, ras/etnis maupun golongan yang sangat
berpengaruh terhadap realisasi dari konsep bela Negara dan
diharapkan dapat menjaga serta memantapkan integritas,
identitas dan kelangsungan hidup bangsa sehingga terwujud
ketahanan nasional yang tangguh dalam rangka mencapai
cita-cita dan tujuan nasional NKRI.
c) Bhineka Tunggal Ika
1) Bangsa Indonesia yang Multikultur, Multi-etnis dan
Beragam Agama
Bangsa Indonesia lahir dari sebuah perjalanan panjang
bersatunya suku-suku bangsa yang terhimpun dari berbagai
kerajaan yang pernah hidup dan berkembang di wilayah nusantara,
dari kerajaan Mataram Kuno sampai kepada kerajaan-kerajaan di
abad 19-20, dari masa keemasan kerajaan yang merdeka dan
mandiri sampai masa bangsa ini berjuang untuk melepaskan
diri dari penjajahan panjang oleh bangsa-bangsa Eropa (antara
lain: Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris) dan bangsa Jepang di

202 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Asia Timur. Bangsa Indonesia yang merdeka ini terhimpun dari
berbagai ras (ras Mongoloid, Arab, keturunan Eropa dan ras
Melanesoid), berbagai suku bangsa (Aceh, Batak, Melayu, Sunda,
Jawa, Dayak, Bali, Ambon, Sulawesi, Papua), berbagai budaya
lokal (Aceh, Melayu, Batak, Jawa, Sunda, China, Betawi, Madura,
Kawanua, Mandar dll), adat istiadat (menurut Van Vollenhoven ada
19 rechtkringen), agama yang beragam (Islam, Kristen, Budha,
Hindu, Konghucu, Kahayan, serta agama dan aliran kepercayaan
lainnya), yang semuanya secara alamiah mengandung keragaman
dan perbedaan. Dalam realita perjalanan sejarah pembentukan
bangsa Indonesia, berbagai perbedaan yang ada tersebut tidak
menyurutkan dan menjadi penghalang untuk bersatu dalam
suatu bingkai kebangsaan. Pada masa pergerakan nasional yang
dipelopri oleh kaum cendekiawan (terdidik), pemuda dan pemudi,
serta kaum priyayi, yang menandai adanya kesadaran untuk
berbangsa, kebangsaan yang akan dibangun telah dipahami tidak
sebagai himpunan suku-suku atau kelompok etnis, melainkan
sebagai suatu “transendensi atas suku-suku”. Perbedaan ciri-ciri
lahiriah, adat istiadat, bahasa lokal, bahkan agama/ kepercayaan
yang telah mengakar, justru menjadi faktor pendorong bersama
untuk mewujudkan sebuah masyarakat baru dengan tatanan
sosial baru. Sebuah himpunan masyarakat baru yang diharapkan
lebih mampu menjamin hajat hidup yang lebih baik.
Suku-suku bangsa yang menjadi unsur pembentuk bangsa
Indonesia, pada umumnya telah memiliki nilai-nilai dan tatanan
sosialnya sendiri, dan juga ada yang telah memiliki struktur
pemerintahan sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai lokal masing-
masing (biasanya berbentuk kerajan-kerajaan), ternyata rela
mengorbankan sebagian kepentingan, bahkan juga menyerahkan
kedaulatannya demi kepentingan bersama dan harapan baru
sebagai bangsa yang besar. Pembentukan bangsa yang besar
dengan kondisi yang serba bhinneka (serba majemuk, serba
plural, penuh dengan multikultur) diharapkan mampu menjadi
bangsa yang kuat, bersatu, hidup dalam suasana kekeluargaan
dan keharmonisan. Idealisme untuk membentuk bangsa yang

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 203


besar dan kuat, sebagai sebuah kesadaran baru bahwa berjuang
untuk memerdekakan diri lepas dari penjajahan tidak bisa sebagai
perjuangan yang bersifat lokal dan sporadis, dalam perjalanan
sejarah selanjutnya terbukti menjadi motivasi perjuangan
pembebasan diri dari cengkeraman kaum penjajah yang telah
berlangsung selama berabad-abad. Berbagai bentuk pergerakan
kebangsaan yang berbasis etnis, kedaerahan, pendidikan,
kelompok pelajar dan bahkan juga agama, serta berbasis sebagai
organisasi politik, kemudian menyatu dalam berbagai pertemuan
unsur-unsur bangsa dan mencapai puncaknya pada perhelatan
akbar Kongres Pemuda tahun 1928 yang menghasilkan ikrar
bersama yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. Ikrar bersama
kaum muda tersebut telah mengantarkan bagi segenap diri rakyat
Indonesia mempunyai suatu kesadaran baru untuk mewujudkan
cita-cita membentuk sebagai satu bangsa, bahkan nantinya
mengilhami perjuangan untuk membentuk bangsa dan negara
yang merdeka dan berdaulat dalam satu wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
2) Ikrar Menyatu yang Harmoni dalam Ragam Perbedaan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa dan negara dengan
tingkat kemajemukan yang paling tinggi di dunia. Secara
geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri
dan memiliki lebih dari 17.000 pulau baik yang dihuni maupun
yang tidak, berada di antara benua Asia dan Australia, berada
di persimpangan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Ditinjau dari aspek demografi, menurut sensus penduduk tahun
2010, penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 237 juta jiwa yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, bahasa, budaya, adat
istiadat, kepercayaan dan agama. Para ahli mencatat bahwa
di Indonesia terdapat kurang lebih 358 suku bangsa dan 200
subsuku bangsa. Demikian juga mengenai kehidupan beragama,
dilihat dari pemelukan agama, terdapat beberapa agama (yang
diakui pemerintah) dan dipeluk oleh penduduk Indonesia yakni:
Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha
1% dan yang lain 1%. Di samping itu, pada kenyataannya ada

204 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


beberapa kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat
Indonesia walaupun tidak termasuk agama yang diakui secara
formal seperti Konghucu. Dilihat dari potensi sumber kekayaan
alam baik berupa potensi tambang (mineral-mineral, batubara,
minyak dan gas dll) serta dari potensi pertanian, perkebunan,
perikanan (laut dan darat), sejak dulu sampai sekarang ini menjadi
objek yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa di dunia.
Dari kenyataan ini tidak dapat dipungkiri bahwa secara
kultural, Indonesia dibangun atas dasar kultur yang memadukan
budaya-budaya asli nusantara, budaya Hindu (Asia Selatan),
budaya Islam (Timur-Tengah), budaya Kristiani (budaya Canonic),
budaya Konfusian dan Konghucu (Asia Timur atau Cinonic),
dan juga bahkan budaya barat yang modern. Keberagaman
atau kemajemukan merupakan modal dasar untuk membangun
bangsa yang besar dan kuat, jika perbedaan tersebut disatukan
berdasarkan asas asimilitis, akulturatis dan komplementari yang
saling melengkapi satu sama lain secara harmonis.
Sehingga para pendiri bangsa telah menjadikan salah satu
pilar untuk menyangga dan menjaga persatuan bagi bangsa
Indonesia adalah melalui semboyan atau sesanti Bhinneka
Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi bersatu dalam
satu kesatuan. Kebhinekaan terimplemen-tasikan dalam bentuk
pluralisme dan multikulturalisme.
Pluralisme adalah kondisi bangsa Indonesia yang ditandai
oleh adanya banyak suku, ras, agama, bahasa, adat istiadat,
dan lain sebagainya. Pluralisme mengasumsikan adanya
keanekaragaman,perbedaan, atau kemajemukan. Akan tetapi
kemajemukan dalam pluralisme baru dilihat secara kuantitatif
saja. Pluralisme belum membedakan secara kualitatif unsur-
unsur yang ada di dalamnya. Bangsa Indonesia juga dibangun
diatas multikulturalisme, mengingat bangsa ini lahir dari berbagai
golongan warga negara. Bangsa Indonesia dibentuk dari eks-
golongan warga negara Belanda dan golongan Eropa (Indo
Belanda), eks-golongan warga pribumi (inlander), eks-golongan
warga Asia Timur yang tunduk pada hukum Belanda, dimana

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 205


golongan ini mempunyai tata hukum, adat istiadat, bahasa,
agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Dalam golongan pribumi sendiri mem-punyai kebudayaan
yang sangat kaya dan beragam. Oleh karena itu bangsa ini
dibentuk dengan pilar penyangga yang menghargai adanya
keanekaragaman dan kekayaan budaya masyarakatnya atau
sering disebut multikultural.
Tidak Dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia berdiri dan
dibangun dari keberagaman suku-suku bangsa. Keberagaman
sebenarnya merupakan kondisi alamiah yang membentuk suatu
sistem menjadi stabil.
Suatu orkestra akan indah didengar manakala dibangun
dari berbagai suara yang berasal dari beragam instrumen musik
asalkan tidak ada satu alat musikpun yang mendominasi harmoni
yang disusunnya. Demikian juga dengan bangsa Indonesia,
keindahan bangsa ini akan terwujud jika seluruh komponen
bangsa bisa merajut harmoni kehidupan walaupun satu sama
lain berbeda. Pada hakikatnya itulah nilai-nilai pluralisme yang
terkandung dalam Sesanti Bhinneka Tunggal Ika.
Semboyan atau sesanti Bhinneka Tunggal Ika (apabila
ditulis dengan kalimat selengkapnya adalah: Budha Syiwa Maha
Syiwa Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharmma Mangrva),
diangkat dan disadur dari Kitab Sutasoma yang dikarang oleh
Mpu Tantular, Pujangga Istana pada zaman Hayam Wuruk (1350-
1389), kemudian oleh M. Yamin (1903-1962) dijadikan sebagai
semboyan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ajaran
yang termuat dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika, menurut
kitab tersebut secara garis besar berisi wejangan bagaimana
mengatasi segala bentuk perbedaan suku dan agama (antara
Syiwa/Hindu dan Budha waktu itu) yang sangat rentan terhadap
terjadinya konflik diantara dua golongan tersebut sehingga akan
melemahkan kekuatan negara.
Ajaran tersebut diaplikasikan oleh Raja Hayam Wuruk dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang adil dan bijaksana, yang

206 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dapat menjaga hubungan antarwarga secara harmonis dan
saling menjaga/menguatkan (Ensiklopedia Umum untuk Pelajar,
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005). Sesanti Bhinneka
Tunggal Ika bagi bangsa Indonesia merupakan semboyan untuk
menata dan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara bagi segenap warga negara, yang menghormati
dan mengharmonis-kan hubungan dalam perbedaan suku, ras,
agama, bahasa dan budaya diantara warga bangsa itu sendiri.
Semboyan ini menjadi pilar untuk menyangga dan menjaga
persatuan bangsa Indonesia yang tersebar dalam wilayah
nusantara, membangun hubungan yang harmonis, menjaga
keseimbangan dengan mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan (Parsudi Suparlan, 2002,). Kebhinekaan
mempersyaratkan adanya nilai-nilai dasar untuk membentuk
keutuhan atau kesatuan. Tanpa adanya nilai-nilai dasar itu
kebhinekaan akan menimbulkan disintegrasi. Sebaliknya apabila
nilai-nilai dasar itu dapat diwujudkan, maka kebhinekaan akan
menghasilkan integrasi.
Sesanti Bhinneka Tunggal Ika merupakan wahana untuk
memberikan keleluasan (kebebasan) bagi semua warga
bangsa untuk mengembangkan kebudayaan, adat istiadat,
tradisi, agama, bahasa dan tata kehidupan sesuai dengan
lingkungan masyarakatnya demi memperkuat persatuan bangsa
dan hubungan antara warga yang harmonis. Keleluasaan
untuk mengembangkan diri ini tidak boleh mendiskreditkan,
mengganggu, merendahkan warga atau kelompok lainnya. Oleh
karenanya tidaklah heran, kalau nilai-nilai “kebhinnekaan dalam
satu persatuan” menjadi inspirasi dan mewarnai UUD 1945 yang
merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi sumber berbagai ketentuan dan perundangan-undangan
yang akan mengatur dan menata kehidupan berbangsa dan
bernegara di negeri ini. Secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun
1945 Pasal 32 Ayat 1, dinyatakan bahwa “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 207


mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Dalam sesanti Bhinneka
Tunggal Ika mengandung ajaran yang menjunjung tinggi atas:
1) Penghormatan dan Kesederajatan (respect and equality)
2) Kebebasan (fairness)
3) Nondiskriminasi, solidaritas, dan toleransi (nondis-
crimination, solidarity and tolerancy)
4) Pengorbanan/kepedulian (empathy)
5) Kekeluargaan/kebersamaan/gotong royong (coope-
ration)
6) Tanggung jawab (responsibility)
7) Kepercayaan (trust)

15. LATAR BELAKANG AMENDEMEN DAN SOSIALISASI UUD


NRI TAHUN 1945
a. Suasana Darurat di Saat Penyusunan UUD 1945
Ketika pemerintahan Jepang mulai melihat bahwa kekalahan
dalam Perang Dunia II sudah di depan mata, maka untuk
mengantipasi munculnya pemberontakan di seluruh wilayah
pendudukannya, Pemerintah Jepang mengambil kebijakan
memberi janji kemerdekaan pada bangsa-bangsa di wilayah
pendudukannya termasuk Indonesia. Menanggapi kebijakan ini,
maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 28 Mei 1945 dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7
Agustus 1945. BPUPK beranggotakan 66 orang yang berasal dari
berbagai aliran, profesi, suku dan elit politik bangsa dan diketuai
oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. BPUPK mendapat
tugas untuk mengumpulkan bahan masukan yang berkaitan
dengan Indonesia Merdeka berupa Dasar Negara, bentuk dan
Wilayah Negara, Konstitusi dan masalah esensial lainnya yang
berkaitan dengan Indonesia Merdeka.
BPUPK melaksanakan dua kali sidang resmi; yang pertama
pada tanggal 28 Mei s.d. 1 Juni 1945 dan yang kedua pada tanggal

208 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


10 s.d.17 Juli 1945. Selama masa reses antara sidang resmi
pertama dan kedua ada sidang-sidang tidak resmi dari panitia
kecil untuk mempersiapkan Preambule Undang-undang Dasar
serta Rancangan Undang-undang Dasar. Pada hari pertama
sidang tanggal 28 Mei 1945, dilakukan kegiatan seremonial
upacara pelantikan BPUPK oleh Pimpinan tertinggi pendudukan
Jepang di Jakarta dan pembukaan sidang BPUPK.
Pada tanggal 29 Mei 1945 penyampaian pidato usulan-usulan
Dasar Negara oleh Mr. Muh. Yamin, tanggal 30 Mei 1945 oleh
Drs. Moh. Hatta dan pada tanggal 31 Mei 1945 oleh Prof. DR. Mr.
Soepomo. Pada tanggal 31 Mei 1945 pidato usul Wilayah Negara
disampaikan oleh Prof. DR. Mr. Soepomo dan Mr. Muh. Yamin,
sedangkan pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menyampaikan
pidato usulan Dasar Negara. Dalam pidato ini, antara lain beliau
mengatakan
“ ……Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang
maka didalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak
anggota yang saya katakan dalam bahasa asing, maafkan
perkataan ini “Zwaarwitchtig” akan perkara-perkara kecil, kata
orang Jawa “Jelimet” …… Maaf P.T. Zinukyokutyoo, berdiri saya
punya bulu kalau membaca tuan punya surat yang minta pada kita
supaya dirancang sampai jelimet hal ini dan hal itu. Kalau benar
semua hal ini harus diselesaikan lebih dahulu sampai jelimet,
maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semua
tidak akan mengalami Indonesia Merdeka sampai diliang kubur
(Tepuk tangan riuh) …… Kemerdekaan itu adalah suatu jembatan,
suatu jembatan emas. Saya katakan dalam kitab itu diseberang
jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat …
Dengan nyata-nyata kita punya semboyan Indonesia merdeka
sekarang bahkan 3 kali sekarang Indonesia Merdeka, sekarang,
sekarang, sekarang (tepuk tangan riuh)
Inilah suasana kebatinan yang meliputi penyusunan Dasar
Negara dan Undang Undang Dasar 1945, dimana ada keinginan
kuat untuk segera merdeka dengan memprioritaskan hal-hal yang
mendasari kemerdekaan terlebih dahulu, dan tidak perlu jelimet,

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 209


nanti sesudah melewati jembatan emas (kemerdekaan) itulah
baru kita sempurnakan masyarakat kita (diantaranya Undang-
undang Dasar).
Prof. DR. Mr. Soepomo dalam penyampaian usul Dasar
Negara mengusulkan paham Integralistik dengan sedikit
mencontoh paham Fasisme Jerman berupa persatuan pemimpin
dan rakyatnya yang menjadi filsafat kehidupan masyarakat Asia
Timur antara lain Jepang yang berdasarkan kesatuan antara Tenno
Heika, Negara dan rakyatnya. Paham ini memang kontekstual
pada masa itu karena Jepang masih berpengaruh kuat terutama
di pusat kekuasaan di Jakarta. Duduknya Prof. DR. Mr. Soepomo
sebagai Ketua dalam Panitia 9 yang merancang Undang-undang
Dasar memperlihatkan kuatnya dicapai kata sepakat, akhirnya
Ketua sidang mengambil kebijakan melalui Stem (Voting), dan
hasilnya dari 66 anggota, 39 suara memilih alternatif 2 dan 6 suara
memilih alternatif 1 serta 1 suara memilih lain dan 1 suara blanko.
Sidang akhirnya memutuskan bahwa wilayah negara Indonesia
adalah bekas jajahan Belanda, ditambah Papua seluruhnya, Timur
Portugis, Borneo Utara, Malaya dan pulau-pulau di sekitarnya.
Namun akhirnya batas wilayah negara diurungkan masuk dalam
batang tubuh Undang-undang Dasar, dengan pertimbangan
bahwa rakyat/masyarakat di luar bekas Jajahan Belanda masih
belum jelas keinginannya, apakah “mereka” mau merdeka sendiri
atau mau bergabung dengan Indonesia, karena beberapa wilayah
sebelumnya merupakan jajahan Inggris dan Portugal.
Ada juga untungnya wilayah negara hasil voting tanggal 15
Juli 1945 tidak masuk dalam batang tubuh Undang-undang Dasar,
karena bila wilayah negara masuk dalam batang tubuh, apakah
tidak akan meng-undang masalah, karena dalam kenyataannya
seperti Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis dan Papua Nugini
(PNG) tidak mau bergabung dengan Indonesia, dan membentuk
negara-negara sendiri. Ruginya Indonesia menjadi negara yang
tidak mencantumkan batas wilayah negara di dalam kostitusinya.
Hal ini sering merugikan Indonesia, karena Australia sering
menuduh Indonesia sebagai negara ekspansionis, karena belum

210 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


memiliki batas wilayah negara dalam konstitusinya, dan masalah
ini pula yang melemahkan posisi Indonesia dalam perundingan
dan sidang-sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, yang
berakhir dengan hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari peta
wilayah Indonesia.
Dalam sidang lanjutan tanggal 11 Juli 1945 ada usul dari
salah satu anggota BPUPK yaitu Tuan Kolopaking agar Undang-
undang Dasar dikerjakan selekas dan sesingkat mungkin karena
saat ini masih dalam suasana peperangan. Alasannya agar
gampang diubah dan disesuaikan dengan zaman yang akan
datang, sebab jika perang selesai suasana di Asia Timur dan
Indonesia akan amat berlainan. Pada hari pertama sidang resmi
kedua tanggal 10 Juli 1945 ketika Ir. Soekarno selaku Ketua
Panitia Kecil menyampaikan laporan hasil kerja Panitia Kecil
Perancang Undang-undang Dasar, ia mengatakan ada cukup
banyak masukan yang bisa terbagi dalam 9 (sembilan) golongan
besar usulan, yaitu mengenai:
1) Permintaan Indonesia merdeka selekasnya.
2) Dasar negara.
3) Unifikasi dan federasi.
4) Bentuk negara dan kepala negara
5) Warga negara.
6) Daerah.
7) Agama dan negara.
8) Pembelaan dan
9) Keuangan.
Ketika Ir. Soekarno menyampaikan usul-usul yang meminta
Indonesia merdeka selekasnya ada kalimat mengatakan
“Lain-lain minta Indonesia merdeka selekasnya dengan tidak
perlu menunggu kesempurnaan rencana dasar dan bentuknya ...”

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 211


Di sini bisa dilihat bahwa ada suasana kebatinan ingin segera
merdeka dimana yang penting adalah merdeka dulu secepatnya,
jadi ada suasana darurat yang menyelimutinya.
Dalam rapat yang sama anggota BPUPK Tuan Wongsonegoro
mengajukan usul antara lain
“Dan itu bagaimanapun juga kekuatan kita dan bagaimana
juga aliran yang kita junjung tinggi sekarang, akan tetapi bilamana
bentuk dan aliran itu tidak cocok dengan maksud dan kemauan
rakyat maka menurut pendapat kami, tidak boleh menetapkan
bentuk itu. Dari itu maksud kami dengan membentuk pemerintah
yang kedua kalinya ialah guna kemudian menangkap votum dari
rakyat yang sebetul-betulnya dan sebulat-bulatnya. Pemerintah
sementara ini pertama kali untuk memperkuat tenaga perang
dan menyusun kemerdekaan selekas mungkin, kemudian dapat
menangkap votum rakyat sebulat-bulatnya dan sebaik-baiknya...”
Usul dari Tuan Wongsonegoro ini mengandung arti bahwa
Pemerintah dan konstitusi yang disusun bersifat sementara dulu
untuk dapat menyusun dan mempertahankan kemerdekaan,
selanjutnya baru menangkap votum rakyat untuk penyempurnaan
konstitusi dan pemerintahan berikutnya.
Sidang-sidang BPUPK diikuti oleh para Petinggi Jepang
baik dari komando militer maupun dari pemerintahan militer.
Kehadiran mereka ikut mempengaruhi suasana kebatinan
penyusunan Undang-undang dasar negara saat itu. Ada upaya
untuk mengambil contoh dokumen kemerdekaan Amerika Serikat
Bill Of Right, Declaration of Independence dan Constitution,
dimana BPUPK mencoba menyusun suatu dokumentasi
mirip Declaration of Independence-nya Amerika Serikat, yaitu
dokumen” Pernyataan Kemerdekaan.” Isi dokumen ini antara lain
dimulai dengan isi kalimat dari Bait I Preambule Undang-undang
dasar dilanjutkan dengan alasan-alasan mengapa Indonesia
menyatakan kemerdekaan. Dalam dokumen tersebut peran
pemerintah Jepang banyak dimasukkan lalu masuk kalimat bait
ke 2 Preambule UUD dilanjutkan kalimat bait ke-3, yakni kalimat

212 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


MENYATAKAN KEMERDEKAANNYA tercetak dalam huruf
kapital dan tebal, selanjutnya masuk kalimat bait ke-4 Preambule
yang ada Dasar Negaranya.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 hari pertama sidang PPKI,
dokumen pernyataan kemerdekaan ini dinyatakan batal, dan kita
harus bersyukur karena dibatalkan, karena apabila tidak dibatalkan
maka dokumen tersebut akan menjadi salah satu dokumen
kemerdekaan RI, dimana didalam dokumen tersebut tertulis
peran pemerintah Jepang membantu Indonesia Merdeka dan
hal ini akan membuat hutang budi sepanjang sejarah. Dokumen
ini dibatalkan mungkin karena Jepang sudah menyerah (namun
secara de facto masih sebagai kekuatan bersenjata saat itu).
Para Founding Fathers yang sedang menyusun Undang-undang
Dasar sudah menyadari penuh bahwa sebentar lagi Perang Dunia
II akan selesai dengan kemenangan di pihak Sekutu dan Tentara
Sekutu sebentar lagi akan mendarat di Indonesia termasuk di
Pusat Kekuasaan di Jakarta.
Founding Fathers juga sudah mengetahui lebih awal bahwa
Pemerintah Belanda sudah membentuk Netherland Indies Civiel
Administrations (NICA) di Australia yang akan membonceng
pada sekutu ikut mendarat di Indonesia dan ingin menguasai
lagi Indonesia. Menyadari hal ini, maka keinginan untuk segera
Merdeka kuat sekali karena kondisi darurat yang baru sudah
membayang di depan mata.
b. Undang-undang Dasar 1945 Jarang/Belum Pernah Dikaji
Sejak disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai
Konstitusi Negara, Undang-undang Dasar 1945 belum pernah
dilakukan evaluasi/kajian, di samping karena kondisi saat itu
dalam keadaan darurat perang, juga Undang-undang Dasar/
Konstitusi sudah dilanggar oleh pemerintah Soekarno di awal
pemerintahannya. Kurang lebih 2 bulan sesudah Indonesia
merdeka dikeluarkan maklumat yang merupakan awal dari
langkah menuju ke pemerintahan sistem parlementer yang jelas-
jelas berlawanan dengan Undang-undang Dasar 1945. Kalau

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 213


pelaksanaannya saja sudah tidak sesuai konstitusi bagaimana
kita akan mengevaluasi konstitusi ini.
Pada tahun 1949 Undang-undang Dasar 1945 berganti
menjadi Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD
RIS). Namun Undang-undang Dasar ini tidak bertahan lama
karena bentuk negara kembali lagi pada negara kesatuan dan
Undang-undang dasar berganti menjadi Undang-undang Dasar
Sementara Tahun 1950. Pada era inilah paham Liberal kuat
sekali mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan
pertama kalinya dilaksanakan Pemilu untuk bisa memilih wakil
rakyat yang akan duduk di Badan Konstituante, yang selanjutnya
akan menyusun Undang-undang Dasar baru menggantikan
Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950).
Rapat konstituante selalu terjadi deadlock, terutama untuk
mencapai kesepakatan usulan dasar negara, karena begitu
kuatnya aspirasi memasukkan Syariat Islam sebagai dasar
negara dan Undang-undang Dasar Negara. Karena sidang
konstituante selalu di”warnai” dead lock, kondisi ini sangat
mempengaruhi suhu politik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, ditambah munculnya berbagai pemberontakan
separatis di beberapa tempat, akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno menyatakan Dekrit Presiden untuk kembali
ke Undang-undang Dasar 1945.
Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, sampai kejatuhan pemerintahan
Soekarno, Undang-undang Dasar 1945 belum pernah
dilaksanakan evaluasi secara murni sehingga sulit untuk
dilakukan analisa secara ilmiah. Banyak pelanggaran terjadi
selama pemerintahan Soekarno yang lebih dikenal dengan
Orde Lama antara lain dibentuknya Front Nasional, mengangkat
dirinya sebagai presiden seumur hidup, memasukkan fungsi
yudikatif dalam jajaran kabinet, mengimplementasikan demokrasi
terpimpin dan ekonomi terpimpin serta masih banyak lagi yang
berlawanan dengan Undang-undang Dasar 1945.

214 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Dengan kejatuhan Soekarno pada tahun 1966, maka Orde
Baru bangkit dengan tekad melaksanakan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 disosialisasikan kepada seluruh
komponen bangsa sampai level bawah dan menyeluruh melalui
Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode Indoktrinasi.
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mulai disakralkan
sekaligus mulai dilanggar oleh Orde Baru. Dengan alasan agar
tidak tercapai kuorum (2/3 jumlah anggota DPR) untuk perubahan
Undang-undang Dasar 1945, maka diatur secara konstitusional
1/3 anggota DPR diangkat dari ABRI.
Kebebasan pers dibatasi demikian juga kebebasan berkumpul
dan berserikat serta menyatakan pendapat seperti diatur dalam
pasal 28 tidak dilaksanakan secara konsekuen. Selama tiga Pelita
pemerintah Orde Baru mencetak prestasi baik dalam stabilitas
keamanan dan pembangunan ekonomi, namun ketika program
pemerataan menjadi prioritas dalam Trilogi Pembangunan
ternyata kurang berjalan, sehingga kesenjangan semakin terasa
dan kesetiakawanan sosial mulai menurun. Pembangunan di
bidang pendidikan cukup maju dan mulai menghasilkan pemikir
muda yang kritis terhadap kinerja pemerintah, sementara
pemerintah ternyata belum siap untuk dikritisi. Inilah awal mula
konfrontasi antara kelompok reformasi dengan Pemerintah Orde
Baru. Dengan melihat semakin besarnya jurang kesenjangan,
semakin banyaknya nilai dan norma dilanggar (liberalisasi
ekonomi) masyarakat mulai berpihak pada kelompok reformasi
yang eksistensinya semakin lama semakin kuat. Bulan Mei tahun
1998 rezim Orde Baru jatuh dan masyarakat mulai merasakan
kondisi yang lebih bebas termasuk menyampaikan pendapat
yang kadang-kadang keblabasan, Pancasila dan UUD 1945 yang
disakralkan dan telah menjadi hegemoni rezim Orde Baru, sesuai
hukum alam bila rezim jatuh, akan ikut jatuh pula hegemoninya.
Di awal era reformasi, dimana kebebasan untuk menyampaikan
pendapat lebih mengemuka, Pancasila dan UUD 1945 sempat

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 215


di-”identik”-kan dengan Orde Baru, dan dimanfaatkan golongan/
kelompok tertentu yang tidak menginginkan Pancasila dan UUD
1945 tetap eksis, dengan memberikan “label/cap” sisa-sisa Orde
Baru bagi pejabat/masyarakat yang membicarakan Pancasila.
Selama era pemerintahan Orde Baru tidak ada kajian terhadap
Pancasila dan UUD 1945 karena keduanya di sakralkan, dan
baru pada era reformasi Undang-undang Dasar 1945 dilakukan
amendemen sebanyak 4 (empat) kali sebagai wujud dari salah
satu agenda/ tuntutan reformasi 1998.
c. Kondisi yang Mengharuskan Amendemen
Dalam pasal 37 Undang-undang Dasar 1945 sudah diatur
mekanisme perubahan Undang-undang Dasar sehingga bukan
sesuatu yang haram bila ada keinginan untuk mengubah Undang-
undang Dasar.
Memang ada kelemahan dalam pasal 37, karena Undang-
undang Dasar 1945 terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan
Penjelasan dimana perubahan Undang-undang Dasar akan
memungkinkan untuk mengubah baik Pembukaan, Batang Tubuh
maupun Penjelasan.
Perubahan pada Pembukaan bukan sekedar amendemen,
tapi akan mengubah negara, karena esensi berdirinya negara
ada di pembukaan Undang-undang Dasarnya. Kelemahan ini
sudah diantisipasi dan diperhitungkan oleh pemerintahan Orde
Baru, sehingga untuk menjaga ke”sakral”-an Pancasila dan UUD
1945, 1/3 anggota DPR diangkat dari ABRI. Bila mencermati
latar belakang penyusunan sebelum disahkan, dimana Prof. DR.
Mr. Soepomo mengusulkan untuk mengubah Undang-undang
Dasar sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR harus hadir dan
putusan diambil sekurang-kurangnya 2/3 dari yang hadir, dan
Tuan Subardjo mengusulkan suara terbanyak, karena dengan
adanya hasrat untuk mengubah itu sudah ada jaminan yang
baik. Sedangkan Tuan Ki Bagoes Hadikoesoemo dengan alasan
pentingnya Undang-undang dasar tetap mengusulkan 2/3 dari

216 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


yang hadir. Karena adanya berbagai usulan dan tidak dicapai
kata mufakat, akhirnya oleh ketua sidang Ir. Soekarno dilakukan
voting, dan ternyata cukup banyak yang memilih 2/3 jumlah dari
yang hadir sehingga diputuskan perubahan Undang-undang
Dasar harus dihadiri 2/3 anggota MPR dan diputuskan 2/3 dari
anggota yang hadir.
Dalam penyusunan Undang Undang Dasar ada suasana
kebatinan pada para Founding Fathers untuk menyusun Undang-
undang Dasar yang memberikan kekuasaan yang besar pada
eksekutif mengingat kondisi negara masih dalam suasana
perang dan sebentar lagi Pemerintah NICA akan muncul dengan
membonceng Sekutu. Kedaulatan rakyat dijunjung tinggi dan
ditempatkan dalam hierarki tertinggi yang menjelma dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat dimana anggotanya terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah dan Golongan.
Kemudian PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945 menetapkan
Komite Nasional dan Partai Nasional Indonesia sebagai partai
tunggal dimana Presiden sebagai ketuanya. Sistem MPR dengan
versi asli ini menjamin suatu kedudukan politik yang kuat bagi
Presiden karena MPR dikuasai oleh pengikut presiden sehingga
tidak mungkin MPR bisa menggoyang Presiden (gambar 1).

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 217


Dengan adanya Maklumat Wapres pada tanggal 3
November 1945, sistem pemerintahan Indonesia mulai menganut
sistem Parlementer. Dalam sistem parlementer, posisi Presiden
bersifat seremonial karena roda pemerintahan dijalankan oleh
Perdana Menteri. Kondisi Negara dalam keadaan darurat perang
kemerdekaan, MPR belum banyak berfungsi yang selama itu lebih
banyak diambil alih oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang loyal kepada Presiden. Kabinet beberapa kali berganti
selama periode ini namun posisi Presiden tetap kuat (gambar 2).
Pasal IV Aturan Peralihan; “Sebelum MPR, DPR, dan DPA
di bentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaan
dijalankan presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”,
yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang mewakili MPR
dan Lembaga Tinggi (karena belum terbentuk) sebagai pembantu
Presiden dalam menjalankan kekuasaannya. Posisi Presiden
kuat sekali dalam bentuk ini. Selanjutnya bentuk Pemerintahan
menjadi Federasi dengan Konstitusi RIS (Republik Indonesia
Serikat) dan bentuk ini tidak bertahan lama karena bentuk
Pemerintahan menjadi Negara Kesatuan lagi dengan konstitusi
sementara tahun 1950 (UUDS Tahun 1950). Pada masa ini bentuk
Pemerintahan adalah Parlementer dimana posisi Presiden lebih
bersifat seremonial sementara kabinet lebih mudah berganti.

218 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pada 5 Juli 1959 berdasarkan Dekrit Presiden, Pemerintahan
kembali ke UUD 1945 dan ABRI mulai masuk dalam keanggotaan
MPR. Pada era ini pemujaan pada Pimpinan Tertinggi terus
berkembang (mengarah paham Fasisme), kemudian dibentuk
Front Nasional, MPR mengangkat Presiden seumur hidup,
sehingga kedudukan Presiden kuat sekali (gambar 3).

Dengan menyebut Pemimpin Besar Revolusi, posisi ini


menjadi semacam jabatan spiritual yang ada di negara penganut
Teokrasi dan menjadi Pimpinan Tertinggi Negara. Posisi Presiden
sangat kuat sekali sehingga semakin sering melanggar Undang-
undang Dasar 1945 sampai dengan kejatuhannya pada Tahun
1966. Kemudian digantikan pemerintahan Presiden Suharto
(Orde Baru) yang bertekad akan melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta memunculkan
kekuatan politik baru (Golkar) yang langsung mendominasi
keanggotaan di DPR. Presiden Soeharto selaku Ketua Pembina
Golkar pusat memegang kebijaksanaan tertinggi di Golkar, dan
sebagai Panglima Tertinggi ABRI yang pernah dijabat sebelumnya,
“menciptakan” posisi politik dan militer yang sangat kuat sekali.
Utusan Daerah dan Muspida di dominasi anggota ABRI atau
Golkar, sementara Utusan Golongan juga sebagian besar dari
Golkar, sehingga Lembaga Tertinggi MPR betul-betul dikuasai
oleh pendukung Presiden dan kedudukan Presiden menjadi
sangat kuat (gambar 4).

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 219


Presiden memiliki “Hak Prerogatif” membekukan DPP Partai,
dan DPP partai memiliki hak recall terhadap anggotanya di DPR,
sehingga bila ada anggota DPR yang dinilai Presiden “mbalelo”,
maka Presiden mengingatkan DPP Partainya dan DPP akan me-
recall anggota DPR tersebut.
Presiden Soeharto digantikan Presiden BJ. Habibi sebagai
presiden ke-3 dimana posisi ini hanya sementara, karena dalam
waktu dekat akan dilaksanakan Pemilu Presiden sehingga periode
kepemimpinan era ini tidak banyak pengaruhnya dalam sistem
Politik Indonesia. Gus Dur terpilih sebagai Presiden Ke-4 RI pada
bulan Oktober 1999, sementara Partai yang mendukungnya
hanya menempati urutan ke-4 sesudah PDIP, Golkar dan PPP.
PKB hanya mendapatkan 56 kursi di DPR, walaupun pencalonan
Gus Dur sebagai Presiden berasal dari Utusan Golongan namun
loyalis Gus Dur di Utusan Golongan juga tidak banyak, demikian
juga di Utusan Daerah Gus Dur tidak mendapatkan dukungan
mayoritas. Pendukung Gus Dur di MPR relatif kecil dan ketika
muncul polemik dalam kepemimpinan Gus Dur dengan cepat
mereka menggalang kekuatan dan berhasil menjatuhkan Gus
Dur (gambar 5 ).

220 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Megawati yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden,
dengan jatuhnya Gus Dur secara konstitusional dilantik sebagai
Presiden RI-5, dan selanjutnya dipilih Wakil Presiden secara
transparan oleh DPR untuk menggantikan posisi Megawati.
Posisi Megawati juga tidak banyak berbeda dengan Gus Dur
karena tidak mendapatkan mayoritas dukungan di MPR. Sudah
mulai ada tanda-tanda untuk mencoba menggusur kepemimpinan
Megawati sebagai Presiden RI, dan kalau usaha ini dilanjutkan ada
kemungkinan apa yang terjadi pada Gus Dur bisa berulang pada
Megawati. Memang ada pesan moral yang cukup berpengaruh
pada elite politik agar tidak sesering mungkin mengganti presiden
karena semakin sering Presiden jatuh semakin merosot citra
Pemerintahan RI di dunia internasional dan berpengaruh luas
dalam kebijakan pembangunan nasional. Para pemikir/ahli tata
negara mulai mengevaluasi sistem MPR dalam konstitusi RI, yang
selama rezim sebelumnya (Orde Baru) disakralkan untuk disentuh
oleh pengkajian.
Dengan melihat uraian di atas, maka batang tubuh UUD 1945
yang terkait dengan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi
perlu dilakukan amendemenmenjadi lembaga tinggi yang setingkat
dengan lembaga tinggi lainnya (gambar 6)

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 221


Berubahnya kedudukan MPR dari lembaga tertinggi menjadi
lembaga tinggi setingkat dengan lembaga lainnya, berakibat pada
perubahan fungsi dan keanggotaannya sehingga perlu dilakukan
amendemen. Harapan untuk perubahan dirasakan sangat kuat
sekali, terlebih menjelang akan dilaksanakannya Pemilu tahun
2004, dimana persiapannya harus sudah dimulai pertengahan
tahun 2003. Sesuai tuntutan reformasi 1998, Pemilu 2004 harus
sudah dilaksanakan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil
Presiden secara bersamaan, dengan sistem pemilihan langsung.
Berhubung sistem Pemilu secara langsung belum terwadahi
dalam Konstitusi negara (UUD 1945), maka perlu dilakukan
amendemen. Mengingat sejarah masa lalu, dimana dua presiden
pertama dan kedua dengan masa pemerintahan yang relatif lama,
dan dimanfaatkan untuk membangun kekuasaan otoriter serta
melanggar konstitusi, maka mulai dipikirkan untuk membatasi
masa jabatan Presiden.
Selama pemerintahan Orde Baru pemikiran seperti ini tidak
tersuarakan karena UUD 1945 disakralkan. Era Reformasi
telah memunculkan angin segar untuk mengamendemen pasal

222 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dalam UUD 1945 yang mengatur jabatan Presiden dan Wakil
Presiden, agar sejarah masa lalu tidak terulang kembali. Pada
saat penyusunan UUD 1945, Founding Fathers memberikan
kekuasaan yang amat besar pada Presiden, dimana dari semua
Hak Progresif hanya disaat menyatakan perang dan damai serta
perjanjian dengan Negara lain yang meminta persetujuan DPR.
Kekuasaan Presiden harus dibatasi melalui kontrol lembaga tinggi
lainnya, dan untuk itu lembaga tinggi seperti MPR, Mahkamah
Agung harus lebih diberdayakan agar terbangun “check and
balances” di antara lembaga tinggi yang ada.
Kekuasaan yang besar pada periode selama lima dekade
tetap dipertahankan secara terpusat, sehingga terasa sekali
kesenjangan antara Pusat dan Daerah. Ketimpangan ini
sebenarnya sudah sering disampaikan di Era Orde Baru namun
kurang mendapat respon, dan bila ada anggota DPR “ngotot”
menuntut, akan dianggap “mbalelo” lalu melalui lembaga recall
dicabut kedudukannya sebagai anggota DPR atau dipensiunkan
dari jabatan Pegawai Negeri/BUMN.
Tuntutan desentralisasi semakin kuat di era globalisasi,
berupa otonomi daerah sehingga perlu dilakukan amendemen
pasal UUD 1945 yang terkait dengan Pemerintahan Daerah (BAB
VI). Tuntutan ini semakin membesar begitu Orde Baru jatuh dan
muncul era reformasi. Seiring dengan tuntutan reformasi, TNI pun
mereformasi diri, dan memunculkan pemikiran pemisahan TNI dan
Polri karena adanya perbedaan peran/tugas, yaitu TNI sebagai alat
negara yang bertugas di bidang pertahanan, dan Polri sebagai alat
negara di bidang keamanan serta kamtibmas.
Pemisahan TNI dan Polri membawa konsekuensi pemisahan
kelembagaan dari yang semula ABRI (TNI dan Polri) di bawah
Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam), menjadi
TNI di bawah Kementerian Pertahanan dan Polri Mandiri langsung
berada di bawah Presiden. Perubahan ini perlu dilakukan
amendemen konstitusi, karena selama ini baru diatur dalam
ketetapan MPR, bahkan belum ada satu pasalpun menyebut Polri
dalam batang tubuh UUD 1945.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 223


Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil
(jurdil) serta memberikan legitímasi yang kuat bagi Presiden
terpilih, ada keinginan kuat mengubah sistem Pemilu menjadi
pemilihan langsung, sehingga perlu dilakukan amendemen pada
pasal UUD 1945 yang terkait dengan Kekuasaan Pemerintahan
Negara (BAB III). Dengan melihat pengalaman sejarah pada
rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru), dimana Presiden
melakukan pelanggaran konstitusi tapi tidak bisa ditindak, maka
mulai dipikirkan untuk mengamendemen konstitusi guna mewadahi
hal-hal yang mengatur bila Presiden melakukan pelanggaran berat
termasuk jenis pelanggaran yang bisa dinyatakan pelanggaran
berat, ancaman hukuman, proses penyelidikan dan pernyataan
dari badan resmi tentang hal presiden bersalah. Pada waktu
UUD 1945 disusun, belum mengantisipasi kemungkinan Presiden
melakukan pelanggaran berat, karena situasi darurat yang ada
pada saat itu, dan suasana kekeluargaan yang mungkin menjiwai
Founding Fathers dalam penyusunan UUD 1945.
Tuntutan perlunya wilayah Negara masuk dalam konstitusi
semakin mengemuka, mengingat beberapa negara besar masih
menganggap Indonesia sebagai negara ekspansionis karena belum
mencantumkan batas negara di dalam konstitusinya. Pada saat
penyusunan awal UUD 1945, Founding Fathers mengurungkan
niat memasukkan wilayah negara dalam UUD 1945 karena
beberapa wilayah yang pada awalnya sudah disetujui menjadi
wilayah Indonesia, namun ketika Indonesia merdeka, wilayah
wilayah tersebut belum jelas statusnya, seperti Malaya, Borneo
Utara, Timur Portugis, Papua serta Pulau-Pulau di sekitarnya.
Era globalisasi yang mengusung salah satu isu tentang
HAM, semakin menguatkan kemauan untuk mengamendemen
pasal-pasal yang terkait dengan keadilan dan masalah HAM.
Guna mewadahi berbagai permasalahan Undang-undang yang
bertentangan dengan konstitusi, dan menyeleksi Hakim Agung,
serta pengawasan terhadap kinerja Hakim, perlu dilakukan
amendemen pasal dan Bab yang ada dalam UUD 1945. Dalam

224 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


UUD 1945 sebelum diamendemen, kekuasaan kehakiman terpusat
di Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman (pasal 24
ayat 1), namun mengingat berkas perkara yang masih menumpuk
dan terus menumpuk, diperkirakan Mahkamah Agung akan
kewalahan bila dibebani tugas mengadili Undang-undang. Untuk
mengatasi permasalahan terkait dengan Undang-undang yang
bertentangan dengan konstitusi, dibentuk Mahkamah Konstitusi,
sedangkan untuk menyeleksi para calon hakim Agung yang akan
duduk di Mahkamah Agung, dan pengawasan terhadap kinerja
Hakim dibentuk Komisi Yudisial. Untuk mewadahi hal-hal terkait
dengan masalah keadilan dan kelembagaannya, diamendemen
pasal 24 UUD 1945, sedangkan untuk mewadahi permasalahan
HAM, diamendemen pasal 24 menjadi Bab tersendiri (BAB XA)
yang khusus mewadahi tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Tuntutan amendemen pada bidang-bidang lain juga pendidikan,
perekonomian dan kesejahteraan sosial. DPA yang dianggap
kurang diberdayakan dituntut untuk dihapuskan. Aturan Peralihan
dan Aturan Tambahan dalam UUD 1945 pasal-pasalnya boleh
dikatakan sudah tidak diperlukan lagi sehingga harus dihapus/
diganti.
Sistem MPR model UUD 1945 ada untung dan rugi sekaligus
bahayanya, sistem ini memberikan posisi yang sangat kuat kepada
Presiden, bila Presiden mendapat dukungan Partai yang kuat di
DPR, dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan yang merupakan
para loyalis Presiden. Namun sebaliknya bila Presiden kurang
mendapatkan dukungan Partai yang kuat dan tidak memiliki loyalis
di Utusan Derah dan Utusan Golongan, maka posisi Presiden
menjadi labil, dan Pemerintahan menjadi kurang stabil, dan partai
oposan akan berupaya mempengaruhi kebijakan yang akan
diputuskan oleh Presiden.
Para pemikir/ahli tata negara mulai mencanangkan perubahan
dalam UUD 1945 dan sekali hal ini dicanangkan ternyata
mengundang dukungan sekaligus reaksi dari para cendekiawan,

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 225


ilmuwan, politisi dan masyarakat. Banyak juga dukungan yang
diberikan mulai dari hanya mengamendemen MPR sampai
dengan mengamendemen pasal-pasal yang sudah kurang sesuai
bahkan ada yang mengusulkan ganti Undang-undang yang betul-
betul baru. Suasana era Reformasi memang telah memungkinkan
pengungkapan seperti itu, namun yang mendapat respon positif
hanyalah pada tingkat amendemen dan bukan mengganti Undang-
undang secara keseluruhan.
d. Ada Kontradiksi pada Pasal Dalam Batang Tubuh UUD
1945
Pada sidang hari pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Prof. DR. Mr. Soepomo memberi penjelasan
awal tentang susunan pemerintahan negara, menyatakan antara
lain:
“...Presiden dibantu, kecuali oleh Wakil Presiden tadi, oleh
Menteri-Menteri Negara, Menteri-Menteri Negara diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden... Pada pembicaraan di Tyoosakai ada
pertanyaan, apakah Menteri Negara bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, apa ada sistem “Parlementair Stelsel.”
Menteri Negara hanya bertanggung jawab pada Presiden...”

Sistem Pemerintahan Indonesia adalah Presidensial bukan


parlementer dan menurut aturan serta kebiasaan yang berlaku
di negara dengan sistem presidentil adalah Presiden dan Wakil
Presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilihan Umum
Presiden. Aturan dan kebiasaan ini berlawanan dengan pasal 6
UUD 1945 yang berbunyi:
Pasal 6.
(1) Presiden ialah orang Indonesia asli
(2) Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.
Dengan melihat pada pasal 6 ayat (2) maka sistem pemilihan
presiden seperti mengarah pada sistem Parlementer yang

226 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


walaupun berbeda karena dipilih oleh anggota MPR namun
anggota MPR terdiri dari 50 % anggota DPR, karena anggota
DPR sekaligus menjadi anggota MPR. Keunikan ini mengundang
seorang pengamat politik (Harry Tjan Silalahi) untuk menulis
diharian Kompas pada tahun 2001 bahwa Indonesia bukan
menganut sistem presidensial, juga bukan sistem parlementer
tapi menganut sistem MPR, dan mungkin satu-satunya di dunia.
Hal ini memang unik dan sulit mencari perbandingan untuk
bahan evaluasi. Pemilihan Langsung secara politik memberikan
legitimasi pada Presiden terpilih bahwa ia betul-betul dipilih oleh
rakyat dan legitimasi ini amat dibutuhkan seorang Presiden pada
sistem presidensial.
Dengan melihat pengalaman Presiden Gus Dur yang bisa
dilengserkan oleh MPR dimana presiden tidak memiliki pijakan
politik yang kuat di MPR dan di DPR. Dikhawatirkan hal yang
sama bisa terjadi pada para presiden mendatang, bila partai
pendukungnya tidak mendapatkan suara mayoritas di parlemen.
Dengan banyaknya jumlah partai politik peserta Pemilu,
maka relatif sulit bagi Partai untuk mendapatkan kemenangan
mayoritas dalam Pemilu, sehingga Presiden tidak memiliki pijakan
politik yang kuat di MPR dan DPR (parlemen).
Founding Fathers merancang sistem MPR (versi awal) waktu
itu demi menjamin kedudukan yang kuat karena adanya partai
tunggal dan presiden sebagai Ketua Partai. Di era Orde Baru
dengan 3 organisasi peserta Pemilu masih memungkinkan Golkar
muncul sebagai mayoritas. Seskoad atas perintah Presiden
Soeharto pada tahun 1996 melakukan pengkajian tentang sistem
Pemilu dan memberi masukan antara lain:
1) Saat ini tidak ada lagi Pemilu yang murni sistem distrik dan
murni sistem proporsional, yang ada adalah gabungan sistem
distrik dan proporsional apakah heavy pada proporsional atau
distrik.
2) Untuk masa depan bagi Indonesia mungkin sistem terbaik
adalah sistem gabungan dengan heavy pada distrik.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 227


3) Untuk saat ini dimana penyebaran penduduk belum merata
di seluruh Indonesia dan kepadatan luar biasa di pulau Jawa
maka sistem terbaik saat ini adalah sistem gabungan heavy
proporsional.
Salah satu bentuk yang disarankan Seskoad saat itu adalah
menusuk tanda gambar partai sekaligus menusuk nama calon
wakil rakyat dibawah tanda gambar tersebut. Urutan nama calon
berdasarkan abjad dan yang akan menjadi anggota wakil rakyat
adalah yang mendapat ranking tertinggi perolehan suara.
Sistem ini sudah dipraktikkan dalam Pemilu 2004 yang
lalu, dengan modifikasi adanya syarat tambahan yaitu calon
wakil rakyat harus mampu mengumpulkan jumlah pemilih
dengan target tertentu, dan bila target tidak tercapai maka suara
perolehannya digabungkan pada calon wakil rakyat dari Partai
tersebut dengan nomor urut satu. Dalam hal target perolehan
suara, partai masih terlibat dalam meloloskan calon wakil rakyat
nomor urut satu menjadi wakil rakyat, walaupun perolehan
suaranya kalah dengan yang lain. Masih terjadi kekurangadilan
dalam pemilihan wakil rakyat, tetapi itulah aturan Perundangan
yang berlaku. Bila “campur tangan” partai dalam pemilihan
wakil rakyat dalam Pemilu semakin dikurangi, wakil rakyat yang
mengumpulkan suara terbanyak memiliki legitimasi yang kuat.
Dengan legitimasi yang kuat, diharapkan wakil rakyat akan lebih
memikirkan aspirasi rakyat yang memilih (konstituen) dari pada
partai. Selama peran/campur tangan partai dalam menentukan
wakil rakyat di parlemen masih cukup besar, maka loyalitasnya
akan lebih cenderung ke aspirasi partai dari pada aspirasi
konstituen (rakyat). Partai dengan segala kepentingannya
akan mempengaruhi wakilnya yang ada di parlemen untuk
menyuarakan kepentingan partainya, seperti bertindak selaku
oposan terhadap pemerintah. Dan untuk mewujudkan ambisi
kekuasaannya, bila perlu menggalang dukungan di parlemen,
baik dari partainya atau bergabung dengan partai oposan lainnya
sehingga Presiden bisa dijatuhkan melalui MPR (impeachment).

228 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Bila Wakil Rakyat yang secara legitimasi merupakan hasil
pilihan rakyat, lebih menyuarakan aspirasi rakyat daripada
aspirasi Partai, maka Partai akan menegur atau bahkan
mengganti dengan anggota yang lainnya. Apalagi ada aturan
intern partai mengenai masalah pergantian antar waktu. Bila
pergantian antar waktu berdasarkan ranking masih bisa diterima,
seperti contoh si A mendapat ranking 1 dalam perolehan suara
dan ranking 2 adalah si B, dan dalam pergantian antara waktu si
A digantikan oleh si B maka pergantian ini masih dalam koridor
normatif. Namun bila si A yang bukan ranking 1 dalam perolehan
suara tapi menjadi Wakil Rakyat karena posisinya ranking 1
sebagai calon dari partai, lalu pada Pergantian Antar Waktu ia
digantikan oleh C yang bukan ranking 2 dalam perolehan suara,
maka peran partai sangat kuat dalam menentukan wakil Rakyat.
Salah satu tujuan reformasi adalah menginginkan wakil
rakyat benar-benar mewakili dan menyampaikan aspirasi rakyat
yang diwakili, dan hal ini bisa terwujud bila peran partai semakin
dikurangi dalam menentukan wakil rakyat di parlemen. Upaya
untuk mewujudkan wakil rakyat yang “legitimate” dan benar-
benar menyuarakan aspirasi rakyat dilakukan melalui pemilihan
Presiden secara langsung bersamaan dengan pemilihan anggota
DPR/DPRD. Dalam Pemilu legislatif Tahun 2009, anggota DPR/
DPRD sudah dipilih secara langsung oleh rakyat dan tidak ada
lagi hak khusus bagi calon yang mendapat ranking, namun dalam
sistem Pergantian Antar Waktu (PAW), peran partai masih besar
untuk menentukan pengganti wakilnya di DPR walaupun telah
dilakukan pemilihan secara langsung.
e. Persiapan Amendemen
Begitu kuatnya aspirasi masyarakat terutama generasi
muda, mahasiswa dan elite politik, untuk dilakukan perubahan
dan perbaikan serta penyempurnaan (amendemen) Undang-
undang Dasar 1945, dan akhirnya MPR memutuskan untuk mulai
mempersiapkan amendemen, karena sesuai ketentuan pasal 37
Undang-undang Dasar 1945, kewenangan mengubah Konstitusi
Negara (Undang-undang Dasar 1945) berada di MPR.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 229


Sidang Umum MPR tahun 1998 (awal era reformasi), telah
dimanfaatkan momentum ini untuk mencabut Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Dalam Ketetapan
MPR tersebut untuk mengubah Undang-undang Dasar 1945/
Konstitusi Negara diperlukan referendum seluruh rakyat
Indonesia. Bila Ketetapan ini belum dicabut maka sulit untuk
mengamendemen Undang-undang Dasar 1945, karena harus
melalui referendum.
Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1985 tentang
Referendum maka semakin terbuka jalan bagi MPR untuk
mengemandemen UUD 1945.
Dalam Sidang Umum MPR 1998 ini sekaligus dimanfaatkan
untuk mengeluarkan Ketetapan MPR No.XIII/MPR/1998 tentang
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI serta
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya Tap MPR ini maka alasan untuk mengamendemen
UUD 1945 semakin kuat.
Pada Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, sudah
mencanangkan amendemen UUD 1945, dan Badan Pekerja MPR
RI telah menyiapkan perubahan dan penyempurnaan tata tertib
sidang MPR agar dapat menyiapkan dan melaksanakan perubahan
UUD 1945. Sidang Umum MPR RI kemudian mengeluarkan Tap
MPR RI No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI
dimana di dalam pasal 91 dan 92 memuat proses pembuatan
putusan majelis dan pasal 96 tentang perubahan UUD.
Pasal 91
1) Pembuatan putusan-putusan Majelis dilakukan melalui
empat tingkatan pembicaraan, kecuali untuk laporan pertanggung
jawaban Presiden dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh
Majelis.
Pasal 92
Tingkat-tingkat pembicaraan seperti tersebut dalam pasal 91
tersebut di atas adalah :

230 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


1) Tingkat I Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap
bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut
merupakan Rancangan Ketetapan/ Keputusan Majelis sebagai
bahan pokok pembicaraan tingkat II.
2) Tingkat II Pembahasan oleh rapat paripurna Majelis yang
didahului oleh penjelasan pimpinan dan dilanjutkan dengan
pemandangan umum fraksi-fraksi.
3) Tingkat III Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc
Majelis terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan II.
Hasil pembahasan pada tingkat III ini merupakan Rancangan
Ketetapan/Keputusan Majelis.

4) Tingkat IV Pengambilan putusan oleh rapat paripurna Majelis


setelah mendengar laporan dari pimpinan Komisi/ Panitia Ad Hoc
Majelis dan bilamana perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.
Pasal 96
1) Perubahan UUD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
pasal 37 UUD 1945.
Dengan demikian Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 telah
berhasil menyusun tata tertib sidang dalam acara perubahan
UUD 1945 serta proses pembuatan putusan Majelis yang disusun
dalam 4 (empat) tingkatan pembahasan.
Amendemen dilaksanakan berturut-turut selama Sidang
Umum MPR RI pada Tahun 1999, Tahun 2000, Tahun 2001 dan
Tahun 2002. Dalam amendemen pada setiap Sidang Umum
MPR RI, harus melalui proses sesuai pasal 92 Tata Tertib Sidang
Umum MPR RI. Pada pembicaraan tingkat I (Pembahasan oleh
Badan Pekerja Majelis). Selama periode ini dilakukan kegiatan
antara lain:
 Rapat Dengar Pendapat Umum Kunjungan kerja ke
daerah-daerah
 Seminar

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 231


 Lokakarya
 Studi banding ke luar negeri
Dalam menyerap aspirasi masyarakat, dilakukan secara luas
melalui kegiatan dengar pendapat di seluruh daerah, baik Daerah
Tingkat II maupun Daerah Tingkat I, dengan audience yang cukup
besar melibatkan organisasi massa, tokoh masyarakat, tokoh
agama tokoh adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, para pejabat
eksekutif, legislatif dan yudikatif serta guru di daerah. Bekerja
sama dengan asosiasi ilmu pengetahuan dan civitas akademik
Perguruan Tinggi di Indonesia. Melaksanakan seminar tingkat
nasional serta loka karya di beberapa perguruan tinggi di daerah
disamping itu MPR memberikan kesempatan langsung pada
seluruh masyarakat untuk berakses langsung ke MPR RI dalam
memberikan masukan secara tertulis yang bersangkutan dengan
amendemen UUD 1945.
Sampai pada tahap kedua tidak banyak permasalahan yang
muncul namun pada akhir pembicaraan tingkat III dan mulai
memasuki pembicaraan tingkat IV mulai ramai antara yang pro
maupun yang kontra. Dalam mempersiapkan amendemen, MPR
bersepakat untuk tetap mempertahankan pembukaan di dalam
posisinya seperti tersebut di atas. Pada dasarnya amendemen
ditujukan pada perbaikan aspek struktur dan prosedur dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar aspek
tersebut konsisten dan mendukung perwujudan nilai-nilai. Oleh
karena itu UUD 1945 sengaja tidak memuat aturan yang dapat
menjadi landasan untuk mengubah pembukaan dan tata cara
perubahan hanya pada pasal-pasalnya saja.
Kesepakatan awal proses amendemen dicapai dalam bentuk
gentlemen agrement seluruh fraksi-fraksi di MPR dalam Sidang
Umum MPR RI Tahun 1999 antara lain:
 Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
 Tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI
 Tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial

232 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


 Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal normatif
dimasukkan dalam Pasal-Pasal
 Perubahan/Amendemen dilakukan dengan cara Adendum
Perubahan dengan cara adendum ini artinya perubahan tanpa
membuang substansi lama di mana substansi lama hanya diubah
atau ditambah. Kesepakatan inilah yang menjadi parameter
sekaligus koridor proses dan materi perubahan UUD 1945.
f. Perubahan Pertama UUD 1945
Pasal 5
Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil
Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Janji Presiden
(Wakil Presiden): “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh
akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan
menjalankan segala Undang-undang dan pera-turannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa.”
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil
Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan
sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 233


Pasal 13
(2) Dalam hal mengangkat Duta, Presiden memperhati-kan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memper-
hatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 15
(1) Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan yang diatur dengan Undang-undang
Pasal 17
(1) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.
Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang.
(2) Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama
(3) Jika rancangan Undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan Undang-undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat
masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan Undang-undang yang
telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-undang.

234 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pasal 21
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul
rancangan Undang-undang.
(2) Dalam ketetapan MPR disebutkan bahwa naskah perubahan
ini merupakan bagian tak terpisahkan dari Naskah Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan
diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawatan
Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) ke-12 tanggal 19 Oktober
1999, dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Dalam amendemen pertama, jabatan Presiden mulai


dibatasi paling lama 2 (dua) periode jabatan, dimana sebelumnya
masalah lamanya jabatan Presiden terus menjadi pembicaraan
yang kontroversial. Kemudian kekuasaan Presiden juga mulai
dibatasi, yaitu antara lain di pasal 5, yang sebelumnya Presiden
memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, diamendemen menjadi
Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, dan kekuasaan membentuk Undang-
undang menjadi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif).
Hakprerogatif Presidenjugadiamendemen dengankeharusan
memperhatikan pertimbangan lembaga tinggi Negara yang
berkaitan, antara lain dalam hal mengangkat duta dan menerima
penempatan duta Negara lain harus memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat, demikian juga dalam memberikan
amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dalam memberikan grasi dan rehabilitasi,
Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Protokoler sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden juga
disederhanakan yaitu, apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat bersidang, acara
sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dapat dilakukan
di depan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 235


g. Perubahan Kedua UUD 1945
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam Undang-undang.
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau
antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan Undang-undang.

236 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan Undang-undang
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan seusai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-undang.

Pasal 19
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan
umum
(2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-
undang.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun
Pasal 20
(1) Dalam hal rancangan Undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-undang tersebut
disetujui, rancangan Undang-undang tersebut sah menjadi
Undang-undang dan wajib diundangkan.
Pasal 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 237


(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-
undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat, serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan
Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam
Undang-undang.
Pasal 22A
(1) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan
Undang-undang diatur dengan Undang-undang.
Pasal 22B
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
Undang-undang.

BAB IXA
WILAYAH NEGARA
Pasal 25A
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-
batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-undang.

BAB X
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
Pasal 26
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing
yang bertempat tinggal di Indonesia.

(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan


Undang-undang.

238 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pasal 27
(4) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
(1) Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper-
tahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
demi kesejahtraan umat manusia
(2) Setiap orang berhak untuk menunjukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 239


(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkanya, serta berhak kembali.
(2)Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan .

240 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapa pun.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 241


(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum, dalam suatu masyarakat demokratis.

BAB XII
PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA
Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai
kekuatan pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
ngkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikut
sertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan
keamanan diatur dengan Undang-undang.

242 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


BAB XV
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA
LAGU KEBANGSAAN
Pasal 36A
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika.
Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
Pasal 36C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan
Undang-undang.
Amendemen kedua lebih mengarah pada perubahan
pemerintahan daerah, dimana otonomi daerah sudah dimasukan
dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar 1945. Kemudian
pasal 20 yang sudah diamendemen pada perubahan pertama
diamendemen lagi dengan lebih memperlihatkan dominasi DPR
dalam pengesahan Undang-undang. Dalam perubahan kedua
ini fungsi-fungsi DPR dan hak-hak DPR dimasukan dalam
pasal-pasal antara lain fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan serta hak interpelasi, hak angket dan hak
menyatakan pendapat, kemudian tiap anggotanya memiliki hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat
serta hak imunitas. Dalam perubahan kedua ini untuk pertama
kalinya bentuk geografi kepulauan Indonesia serta batasnya
masuk dalam Undang-undang Dasar.
Dalam perubahan kedua, Hak Asasi Manusia (HAM)
diuraikan secara mendetail di pasal-pasal dalam Undang-
undang Dasar 1945, sehingga memunculkan pro kontra pada
para pakar politik dan hukum. Dalam perubahan kedua, untuk
pertama kalinya Polri masuk dalam pasal-pasal di UUD 1945,
dan hal inipun menimbulkan pro dan kontra pada beberapa
pakar politik dan hukum. Pada amendemen ini, bendera, bahasa

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 243


dan lambang negara dan lagu kebangsaan dikukuhkan dalam
pasal-pasal UUD 1945.

h. Perubahan Ketiga UUD 1945

Pasal 1
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah
dan menetapkan Undang-undang Dasar.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/
atau Wakil Presiden.
(4) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhenti-
kan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-undang Dasar.

Pasal 6
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,
tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani
dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

Pasal 6A

244 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden.
(4) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-undang.

Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan da lam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.

Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 245


Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presidentelah melakukan pelanggaran hukum tersebut
ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/
atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan
memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari
setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden, tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan
sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut
paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan
Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul

246 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil
dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 8
(1) Jika Presiden mangkat, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatanya, ia digantikan
oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatanya.
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Per
musyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih
Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden

Pasal 11
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian Internasional diatur
dengan undang - undang.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 247


Pasal 17
(4) Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian
Negara diatur dalam Undang-undang.

BAB VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH

Pasal 22C
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih dari setiap
propinsi melalui pemilihan umum.
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap propinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh Anggota Dewan Perwakilan
Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun.
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur
dengan Undang-undang.

Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan Undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan pemekaran, dan
pengabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan

248 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


sumber ekonomi lainya, serta pertimbangan keuangan pusat
dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan Undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan Undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan
atas pelaksanaan Undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan
dan anggaran belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama
serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertim bangan untuk
ditindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
Undang-undang.

BAB VIIB
PEMILIHAN UMUM
Pasal 22E
(1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum
bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presien dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perorangan.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 249


(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pe
milihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
Undang-undang.

Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun
dengan Undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Rancangan Undang-undang anggaran pendapat dan belanja
negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perrwakilan Rakyat dengan memmperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh
Presiden, pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun yang lalu.
Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan Undang-undang.

Pasal 23 C
Hal-hal lain mengenai keuangan Negara diatur dengan Undang-
undang.

250 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


BAB VIIIA
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Pasal 23E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan keuangan dan tanggung
jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2) Hasil Pemeriksa Keuangan Negara diserahkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Hasil Pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-undang.

Pasal 23F
(1) Anggota Dewan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
(2) Pimpinan Dewan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh
anggota.

Pasal 23G
(1) Badan Pemeriksaan Keuangan berkedudukan di ibukota
negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan


diatur dengan Undang-undang.

Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 251
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
undang terhadap Undang-undang dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.
(2 Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, profesional, dan pengalaman di bidang
hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan
oleh hakim agung.
(5) Susunan kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan Undang-undang

Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam kerangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi yudisial harus mempunyai pengetahuan
dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela.

252 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial
dengan Undang-undang.

Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil dan negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara.
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konsitusi
diatur dengan Undang-undang.
Dalam amendemen ketiga telah dilaksanakan perubahan
yang sangat mendasar pada UUD 1945, sehingga menimbulkan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 253


pro dan kontra pada para pakar hukum, politik dan cukup
menimbulkan kontroversial. Perubahan pasal yang sangat
mendasar adalah kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi
Negara, menjadi Lembaga Tinggi yang sama kedudukannya
dengan Presiden dan Lembaga Tinggi lainnya. Pada amen
demen ketiga ini, penjelasan tentang Undang-undang Dasar
Negara Indonesia sudah dihilangkan sehingga UUD 1945 tinggal
memuat Pembukaan (mukadimah) dan pasal-pasal yang ada
dalam Undang-undang dasarnya saja.
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum terealisasi
pada periode amendemen ketiga dengan dimasukkannya pasal
yang menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang
juga mengundang pro dan kontra. Sistem pemilu diubah dengan
memisahkan antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, serta
dibentuk lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang
keanggotaannya bersama-sama keanggotaan DPR dipilih oleh
rakyat melalui pemilu legislatif, dan selanjutnya akan membentuk
MPR. Dibentuk lagi lembaga-lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial
dan Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga mandiri
yang mempunyai tugas menjaga kehormatan dan perilaku
hakim, serta sebagai lembaga yang bertugas mengadili/menguji
Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Dalam
amendemen ketiga ini kemandirian Badan Pemeriksa Keuangan
dipertegas dengan pasal-pasal pada UUD 1945.
i. Perubahan Keempat UUD 1945

Pasal 2
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
Undang-undang.

254 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pasal 6A
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat
secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 8
Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-
lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan
Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Pasal 11
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain.

Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang
selanjutnya diatur dalam Undang-undang.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 255


BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Dihapus

Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-
undang.

Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang.

BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-undang.
(4)Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi

256 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.

Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.

BAB XIV
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam Undang-undang.

Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan .
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 257


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam Undang-undang.

Pasal 37
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-undang dasar dapat
diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-undang Dasar
diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh
persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh
persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

ATURAN PERALIHAN
Pasal I
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
undang Dasar ini.
Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang
Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar ini.

258 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Pasal III
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.

ATURAN TAMBAHAN
Pasal I
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.

Pasal II
Dengan ditetapkannya perubahan Undang Undang Dasar ini,
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Dalam amendemen keempat, unsur keanggotaan MPR
yang baru yaitu DPR dan DPD dimasukkan dalam Pasal-Pasal,
DPA dihapus dan diganti dengan Dewan Pertimbangan yang
berkedudukan dalam Lembaga Kepresidenan. Eksistensi Bank
Sentral sebagai Lembaga Independen pengelolaan keuangan
diwujudkan dengan dimasukkannya dalam pasal Undang-undang
dasar, yang struktur, kewenangan dan tanggung jawabnya akan
diatur dengan Undang-undang. Dalam amendemen keempat,
masalah prioritas besaran anggaran pendidikan sebesar 20%
APBN dan masuk dalam pasal, sempat memunculkan pro dan
kontra dalam pembahasannya, namun akhirnya disetujui. Aturan
Peralihan dan Aturan Peralihan dilakukan penyesuaian sesuai
dengan amendemen yang baru dilakukan dan perkembangan
lingkungan yang terjadi. Aturan Peralihan menitikberatkan pada
ketentuan-ketentuan hasil amendemen yang harus dilaksanakan,
sedangkan dalam Aturan Tambahan menugaskan MPR untuk

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 259


melakukan peninjauan terhadap materi dan status TAP MPRS
dan TAP MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun
2003, dan penegasan UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal. Amendemen terhadap Aturan Peralihan dan Aturan
Tambahan UUD 1945 asli dilakukan karena dinilai sudah tidak
sesuai dengan perkembangan lingkungan.
Dengan mencermati amendemen UUD 1945 pertama,
kedua, ketiga dan keempat yang dilaksanakan mulai dari
Oktober 1999 sampai Agustus 2002 atau relatif singkat (kurang
dari 3 tahun), telah mengemandemen ± 80 % pasal dan ayat
yang ada, bila dibandingkan dengan AS yang dalam tempo ±
200 tahun “baru” melakukan amendemen sebanyak 27 kali telah
memunculkan kontroversi apakah Undang-undang 1945 hasil
amendemen masih sebagai Undang-undang 1945 atau sudah
berubah.
j. Sosialisasi Amendemen UUD 1945
Amendemen yang telah 4 kali dilaksanakan dalam 4 kali
Sidang Umum MPR, sebenarnya merupakan suatu rangkaian
perubahan yang dilaksanakan dalam suatu kesatuan yang
komprehensif. Pembahasan satu materi selalu dikaitkan dengan
materi lain di dalam pemahaman bahwa suatu Undang Undang
Dasar adalah suatu kesatuan sistem yang mempunyai sifat
holistik. Pendekatan komprehensif itu dapat dilihat dari risalah
pembicaraan maupun dari bahan-bahan perubahan yang
dipersiapkan oleh Badan Pekerja MPR yang menjadi bahan
sidang tahunan MPR. Itu pula yang menjelaskan mengapa
materi amendemenketiga dan keempat merupakan materi yang
menyangkut pokok ketatanegaraan dibanding amendemen
pertama dan kedua yang lebih sederhana.
Perubahan materi amendemen yang dilakukan dalam
4 tingkatan yaitu tingkat pertama oleh Badan Pekerja MPR,
tingkat II dalam Rapat Paripurna MPR, tingkat III Perubahan
oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan tingkat IV pengambilan
keputusan oleh Rapat Paripurna MPR. Pembicaraan yang

260 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


mendalam sebenarnya ada pada tingkat I oleh BP MPR dimana
rapat-rapat pada umumnya bersifat terbuka dihadiri wartawan,
peneliti, pemerhati dan hanya lobi dan rapat Rapat Tim Perumus
dilaksanakan tertutup.
Ada ratusan kegiatan dilaksanakan Badan Pekerja MPR
untuk menyerap aspirasi masyarakat baik di daerah tingkat I
maupun tingkat II serta Perguruan Tinggi melalui public hearing,
seminar, lokakarya, dan lain-lain kegiatan, untuk mendapatkan
bahan masukan awal perubahan oleh Badan Pekerja MPR.
Liputan media masa pada tahap I ini memang terasa kurang,
dan masyarakatpun juga kurang mempedulikan, walaupun
yang sedang dibahas adalah amendemen UUD 1945 yang
akan membawa pengaruh terhadap masa depan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Masyarakat baru mulai memberi perhatian, ketika proses
masuk pada tingkat II, dan selanjutnya pada tingkat III, dan
terutama pada saat mulai diputuskan pada tingkat IV. Proses
kegiatan tingkat II s.d. kegiatan tingkat IV hanya berlangsung
kurang lebih satu minggu. Sosialisasi hasil amendemen
UUD 1945 kepada masyarakat sangat penting, mengingat
yang diamendemen adalah hukum dasar yang mengatur
dan membatasi kekuasaan yang bersifat mengikat dan harus
menjadi aturan bagi setiap kebijakan dan langkah kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terlebih lagi dengan penegasan bahwa Indonesia adalah
negara hukum yang menganut prinsip supremasi hukum, maka
kedudukan UUD 1945 sebagai hukum dasar haruslah benar-
benar dipahami untuk ditaati. Oleh karena itu para pejabat dan
pemuka/tokoh masyarakat pada khususnya serta masyarakat
pada umumnya perlu memahami materi UUD 1945. Namun
harus diakui bahwa sosialisasi materi UUD 1945 hasil perubahan/
amendemen yang dilakukan MPR dirasakan kurang, karena
MPR bukan merupakan lembaga yang punya kewenangan
untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 secara intensif/ terus
menerus dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, karena

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 261


seharusnya tugas ini merupakan tugas pemerintah. Sampai saat
ini belum ditemukan metoda/cara atau institusi yang ditunjuk dan
bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi materi UUD 1945
hasil amendemen, secara terprogram dan dapat menjangkau
seluruh lapisan masyarakat. Untuk sosialisasi bagi para pejabat
eselon I Kementerian/LPNK di tingkat pusat diselenggarakan
oleh Sekjen MPR RI bekerja sama dengan Lembaga Informasi
Nasional. Lemhannas bekerja sama dengan Kementerian
Komunikasi dan Informasi, serta Lembaga Informasi Nasional
mensosialisasikan pada Pejabat eselon I & II yang mengikuti
pendidikan Kursus Reguler maupun Kursus Singkat dalam
tahun 2003 dan 2004. Kalau dulu BP-7 yang mensosialisasikan
UUD 1945 sampai ke masyarakat bawah maka saat ini belum
ada lembaga resmi yang ditunjuk untuk mensosialisasikan
amendemen UUD 1945 pada seluruh masyarakat di seluruh
pelosok Indonesia.

16. Kandungan Permasalahan dalam Amendemen UUD NRI


1945
a. Dinamika UUD NRI 1945
Setiap Konstitusi di negara manapun di dunia selalu
menyimpan atau mengandung masalah dan memiliki kekurangan
serta kelemahan sehingga harus membuka diri untuk perbaikan.
Konstitusi merupakan hal yang paling mendasar bagi negara,
karena konstitusi merupakan dasar dari semua peraturan
perundang-undangan yang diberlakukan dalam pemerintahan
negara tersebut yang harus tersiapkan dan tersusun secara
konseptual agar tidak terlalu sering diperbaiki.
Bagi Republik Indonesia Undang-undang Dasar 1945 bukan
cuma produk yuridis semata-mata dan bukan hanya merupakan
landasan yuridis saja bagi Negara Republik Indonesia tapi
merupakan lambang hak bangsa Indonesia menentukan nasibnya
sendiri, sebagai lambang perjuangan rakyat Indonesia untuk
merebut kemerdekaan dan sekaligus sebagai faktor integritas
bangsa.

262 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Undang-undang Dasar NRI 1945 sangat erat kaitannya
dengan kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945 sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam UUD
1945 bukan saja yang mengandung norma hukum tapi amat sarat
dengan muatan politik psikologis.
Perbaikan maupun perubahan atau amendemen dari UUD
1945 bukan cuma melihat dari segi yuridis saja tapi harus tetap
memperhatikan latar belakang politik dan psikologis bangsa di
saat menyusunnya disesuaikan dengan perkembangan politik
dan psikologis bangsa terkini.
Mengingat Konstitusi mengandung hal-hal yang pa ling
mendasar dan harus disiapkan serta disusun secara koseptual
maka amendemen pada konstitusi harus bertahap, memerlukan
waktu untuk penyesuaian dan evaluasi. Undang-undang dasar
1945 sejak disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 hanya berumur
4 tahun 4 bulan sudah berganti dengan Undang-undang Dasar
RIS yang juga hanya berumur kurang setahun karena berganti
dengan Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang bertahan
selama 9 tahun dan pada tanggal 5 Juli 1959 Negara RI kembali
pada Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang Dasar
1945 sendiri baru berumur 2 bulan lebih ketika Wakil Presiden
mengeluarkan Maklumat X yang memungkinkan pembentukan
8 Partai Politik dan ini merupakan langkah awal menuju sistem
pemerintahan parlementer.
Seharusnya hal ini sudah menjadi bahan pertimbangan awal
yang mulai dievaluasi mengenai kelemahan dan kekurangan
dalam Konstitusi RI 1945. Mungkin karena situasi darurat
perang antara 1945 s.d. 1949 maka tidak sempat mengevaluasi
konstitusi RI 1945 sampai berubah menjadi UUD RIS pada 1949
dan berubah lagi menjadi UUD Sementara Tahun 1950. Ketika
diundangkan lagi UUD RI 1945 pada 5 Juli 1959 juga terjadi
banyak pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri, tetapi tetap
tidak dievaluasi untuk perbaikan. Ketika Orde Baru mengambil
alih pemerintahan dari rezim Soekarno maka Pancasila dan UUD
1945 mulai disakralkan, sehingga semakin sulit mengevaluasi

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 263


konstitusi tersebut untuk perbaikan. Pada saat era reformasi
pemikiran untuk mengamendemen UUD RI 1945 mulai muncul
dan menjamur.
Evaluasi terhadap konstitusi ini bukan saja pada hal-hal yang
terjadi saat era Reformasi tapi pada semua permasalahan mulai
sejak UUD 1945 disahkan dan diberlakukan kembali pada tahun
1959.
Dilihat dari waktu yang relatif panjang usia konstitusi RI
maka sudah memenuhi syarat untuk diamendemen dan selama
kurang lebih tiga tahun proses amendemen telah memperbaiki/
mengamendemen ± 80% dari pasal-pasal dan ayat UUD RI 1945.
Pada awal Sidang Umum MPR RI 1999 telah dibuat
kesepakatan dikalangan anggota MPR RI yang akan meng
evaluasi dan melaksanakan amendemen terhadap UUD 1945,
kesepakatan itu antara lain:
1) Mempertahankan pembukaan UUD RI 1945
2) Mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia
3) Mempertahankan sistem pemerintahan presidensil
4) Memindahkan ketentuan-ketentuan normatif dalam
penjelasan ke dalam pasal-pasal UUD 1945.
5) Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Walaupun sudah ada kesepakatan tersebut di atas dan
pada hakikatnya anggota MPR tetap mengindahkan kesepakan
ini dalam mengemandemen UUD RI 1945, namun karena begitu
banyaknya pasal yang diamendemendalam waktu relatif singkat
maka telah menuai banyak kritikan serta saran untuk antara lain:
1) Kembali ke UUD 1945 yang asli
2) Amendemen lagi UUD 1945 yang baru untuk penyesuaian
yang lebih baik.

264 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


b. Masukan dari Brigjen TNI (Pur) Prof. DR. A.SS Tambunan SH.
1) Kesepakatan yang sangat mendasar dari anggota MPR
sebelum mengamendemen Undang-undang dasar 1945
seharusnya tertuang dalam Keputusan resmi MPR sehingga
memiliki kekuatan hukum dan menjadi landasan kerja yang resmi
bagi MPR dalam mengamendemen UUD RI 1945. Suatu saat
nanti bila dipertanyakan masyarakat atau para cendekiawan dan
pakar mengenai kesepakatan tersebut akan sulit menjawabnya
karena tidak tertuang dalam keputusan resmi lembaga tertinggi
negara saat itu.
2) MPR melihat UUD 1945 hanya sebagai produk yuridis semata-
mata, sehingga meninjaunya hanya dari kaca mata yuridis formal
saja yang menganut pengertian konstitusionalisme gaya lama. Inti
ajaran konstitusionalisme adalah bahwa kekuasaan dapat dikuasai
atau dibendung melalui hukum, dan untuk itu UUD merupakan
satu-satunya alat untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan-
kekuasaan itu. Seiring perkembangan lingkungan strategis, terjadi
perkembangan teori Konstitusi dimana daya yuridisnya semakin
memudar karena menonjolnya kepentingan politis, dan kini UUD
menjadi titik tolak teori baru yaitu Teori Fungsional mengenai
konstitusi. UUD 1945 bagi Indonesia bukan saja lima landasan
yuridis formal, tapi merupakan lambang Hak Bangsa Indonesia
untuk menentukan nasib sendiri, sebagai lambang perjuangan
rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaannya, sebagai faktor
integrasi bangsa yang sangat berkaitan dengan kemerdekaan
Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dimana
kandungan politis psikologisnya besar sekali.
3) MPR telah melanggar pembukaan UUD 1945 dan telah
membuat UUD yang baru. Secara formal MPR tidak mengubah
pembukaan UUD 1945 sesuai kesepakatan yang dibuat, namun
dalam amendementelah mengamendemen pasal-pasal yang
secara terang-terangan bertabrakan dengan pembukaan UUD
1945. Menurut bahasa hukumnya, pembukaan memuat asas-asas
dasar, asas-asas dan sendi-sendi pokok kehidupan bernegara.
Dari asas-asas dasar yang termuat pada empat alinea dalam

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 265


pembukaan, mengalir aspek-aspek dari teori bernegara bangsa
Indonesia, dan asas-asas yang menguasai kehidupan dan
perkembangan negara. Masalah yang sangat mendasar ini tidak
dipahami atau sengaja tidak mau dipahami oleh MPR, sehingga
terjadi perubahan dalam pasal-pasal yang bertentangan dengan
pembukaan yang pada hakikatnya telah mengubah UUD 1945
menjadi UUD 2002, dan perubahan ini dilakukan tanpa mandat
khusus dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
4) Pengertian Kedaulatan menurut Pembukaan UUD
1945. Ajaran kedaulatan bermula di Gereja Roma Katolik yang
mengatakan kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan dan kekuasaan
di dunia berasal dari-Nya. Ajaran ini telah menimbulkan reaksi dari
penasihat raja Prancis Jean Bodin, yang mengatakan kekuasaan
tertinggi ada pada Raja, kemudian muncul ajaran Jean Jacques
Rousseau yang mengatakan kedaulatan ada di tangan rakyat.
Dalam ajaran ini tidak ada lagi tempat bagi yang berbau Tuhan
dan Raja. Kemudian muncul lagi pemikiran tentang Kedaulatan
Negara, Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Pluralistik (kedaulatan
pusat dan negara bagian), Kedaulatan Pluralistik (kelompok,
golongan), Kedaulatan Bangsa. Jadi ada banyak teori mengenai
kedaulatan; oleh sebab itu Indonesia di saat merdeka telah
memilih kedaulatan sesuai teori integralistik dan disampaikan
oleh para Founding Fathers saat itu. MPR dalam mengubah pasal
1 ayat (2) lebih bertitik berat pada kedaulatan sesuai ajaran barat
yang lebih mengarah pada individualisme.
5) Ketuhanan Yang Maha Esa. MPR menafsirkan Ketuhanan
Yang Maha Esa dari sudut salah satu agama saja sehingga tidak
mengakui semua agama dan tidak ada tempat bagi Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, padahal kedaulatan rakyat
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian
freedom of worship atau kebebasan beribadat menurut agama
dan kepercayaannya masing-masing dan dalam hal ini negara
tidak boleh campur tangan. Ini yang dinamakan kedaulatan
dalam lingkungannya sendiri. MPR mencampuradukkan antara
freedom of worship dipecah dalam ayat (1) diuraikan kebebasan

266 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


beragama dan di ayat (2) diuraikan kebebasan meyakini
kepercayaan. Digambarkan seolah-olah hanya agama yang
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa sedangkan kepercayaan
tidak demikian. Kebebasan beragama dijadikan satu ayat
dengan kebebasan memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan dan memilih tempat
tinggal. Kebebasan meyakini kepercayaan disatukan dengan
menyatakan pikiran dan sikap. Dalam pasal 31 ayat dinyatakan
pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, berarti MPR
menghendaki agar pemerintah menyelenggarakan pendidikan
agama sehingga pemerintah campur tangan dalam kebebasan
beragama dimana negara RI telah berubah jadi negara agama.
6) Persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia mengartikan
suatu kesatuan dan bukan federalis, dengan adanya Bab VII baru
dengan pasal 22 C dan pasal 22 E yang baru, maka nampaknya
kedaulatan terbagi antara pusat dan daerah. Dari rumusan pasal
22C dan 22 D dimana telah diadakan Dewan Perwakilan Daerah
sehingga hal ini sudah memperlihatkan adanya federalisme
terselubung.
7) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kerakyatan merujuk
kepada demokrasi Indonesia dan menurut pakar demokrasi
yaitu Prof. Robert A. Dahl teori tentang Demokrasi ada banyak
dan Prof J.L. Lucas menambahkan bahwa tiap negara punya
demokrasinya sendiri.
Demokrasi yang dianut dalam UUD 1945 adalah demokrasi
kekeluargaan dan bila melihat rumusan pasal dari Bab XA yaitu
pasal 28A s.d. 28J baru maka pasal-pasal tersebut menganut
paham individualisme, dengan demikian maka pasal tersebut
bertentangan dengan pembukaan UUD 1945. Dari tulisan-tulisan
Bung Karno terutama Bung Hatta maka teori demokrasi banyak
mengacu pada kehidupan rakyat perdesaan dalam hal ini peran
desa harus ada pada Undang-undang Dasar 1945.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 267


Pada Negara berkembang, aspirasi rakyat lebih disuarakan
oleh pemimpin dan tokoh-tokohnya yang tergabung dalam
golongan fungsional. Di Prancis lingkungan golongan ini terdapat
ratusan kelompok yang ditampung dalam Conseil d’ Etat yang
selalu memberikan nasihat kepada pemerintah dalam pembuatan
RUU, RPP dan rancangan keputusan lainnya. Di Italia golongan
ini ditampung dalam Consiglio Nazionale dell’ Economia e dal
lavor (Dewan Ekonomi dan Tenaga Kerja). Di Belanda golongan
ini ditampung dalam Raad Van State (DPA) Di USA golongan
ini menjelma dalam Pressure Group yang sering berhubungan
langsung dengan kongres dan pemerintah. Dulu golongan ini
ditampung dalam MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan
Daerah dan Utusan Golongan. Dalam pelaksanaan tugasnya
Presiden diawasi oleh DPR, DPA, BPK, Mahkamah Agung
dan bertanggung jawab kepada MPR. Bila lembaga ini bekerja
dengan baik maka akan terjadi pemerintahan yang stabil. Rakyat
sebagai pemegang kedaulatan mempercayakan pada MPR
dalam hal yang mendasar, MPR harus bertanya pada rakyat
sebagai pemegang kedaulatan.
Dalam pasal 1 ayat (2) yang baru maka rakyat telah
hilang kedaulatannya dengan demikian pasal 1 ayat (2) baru
bertentangan dengan pembukaan UUD 1945.
Dalam Bab VIII B dengan pasal 22E baru hanya Hak Memilih
saja yang diberikan pada warga sedangkan Hak Dipilih diberikan
pada Partai Politik untuk DPR dan kepada perorangan untuk DPA.
Pada UUD’S 1950, Rakyat sebagai pemegang kedaulatan hanya
diberi Hak Memilih saja.
8) MPR Pasca-amendemen Bukan Lagi Penjelmaan Seluruh
Rakyat. Dengan rakyat kehilangan kedaulatan maka MPR
Pascaamendemen bukan lagi merupakan penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia, sehingga tidak lagi merupakan pelaksanaan
sepenuhnya kedaulatan rakyat dan oleh karena itu tidak berhak
menyandang sebutan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan
demikian pasal 2 ayat (1) yang baru bertentangan dengan
pembukaan UUD 1945. Dengan semakin minimnya tugas MPR

268 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


yang baru hasil amendemen yaitu menetapkan UUD baru,
melantik Presiden dan Wakil Presiden, memperhatikan Presiden/
Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Menjadi pertanyaan
apa saja pekerjaan rutin MPR yang baru saat ini bila hanya itu
wewenang MPR Pascaamendemenmaka MPR yang baru itu
tidak perlu ada.
9) Golongan Minoritas. Masalah golongan Minoritas
merupakan masalah penting dalam demokrasi dan biasanya
jalan keluarnya dengan diberikan kepadanya jatah tertentu
dalam lembaga perwakilan seperti pernah terjadi di bawah
naungan UUDS 1950. Dalam UUD 1945 amendemen tidak
ada tempat lagi bagi golongan minoritas sehingga terjadi tirani
mayoritas yang tidak sesuai dengan demokrasi kekeluargaan.
Dalam UUD 1945 sebelum amendemen seluruh rakyat punya
wakil di MPR dan mereka ikut serta dalam menentukan haluan
negara. Dengan demikian sistem yang dibangun menurut pasal
1 ayat (2) dihubungkan dengan pasal 2, 3 dan 22E baru adalah
bertentangan dengan pembukaan UUD 1945.
10) Sistem Pemerintahan Presidensial. Ciri pokok sistem
presidensial mengatur hubungan antara presiden dan
parlemen dimana presiden dipilih untuk jangka waktu tetap
dan antara parlemen dan presiden tidak ada garis hubungan
pertanggungjawaban dan menteri hanya bertanggung jawab
kepada Presiden. Dalam sistem ini maka AS, Prancis, Portugal
dan Indonesia di bawah UUD 1945 menganut sistem ini. Di USA
kekuasaan pembentukan Undang-undang ada pada kongres
terpisah tajam dengan kekuasaan presiden di bidang eksekutif
saja. Pemisahan kekuasaan demi terjamin kebebasan warga
serta pemerintahan yang baik dan untuk menegakkan check
and balances sehingga mencegah penyalahgunaan kekuasaan,
walaupun Presiden tidak memiliki kekuasaan membuat Undang-
undang tersebut bila tidak sesuai dengan keinginannya.
Sistem presidensial di Prancis lain lagi walaupun presiden
dan parlemennya dipilih langsung oleh rakyat dan presiden
selama masa jabatan tidak bisa dijatuhkan parlemen. Presiden

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 269


mengangkat Perdana Menteri tanpa persetujuan parlemen,
Presiden mengangkat Menteri atas usul Perdana Menteri dan
konsultasi tidak resmi dengan parlemen.
Dalam keadaan biasa Perdana Menteri yang menjalankan
pemerintahan dan bertanggung jawab pada Parlemen tapi dalam
keadaan luar biasa kendali pemerintahan berada pada Presiden.
Dengan adanya rumusan pasal 5 ayat (1) baru dihubungkan
dengan pasal 20 baru dari amendemenI dan II maka MPR
menganut sistem Presidensial campuran antara sistem
Prancis dan sistem Amerika Serikat. Dengan demikian menjadi
pertanyaan apa yang dimaksud dengan check and balances.
Yang jelas bahwa rumusan baru itu tidak mengikuti sistem check
and balances dan rumusan pasal 5 ayat (1) baru dihubungkan
dengan pasal 20 baru bertentangan dengan jiwa dan prinsip
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
11) Pemilihan langsung Presiden oleh Rakyat. Hal ini diatur
dalam pasal 6A baru. MPR kurang menyadari bahwa pemilihan
ini mengandung permasalahan yang mendasar. Hubungan
dominan di masyarakat adalah hubungan primer yang cenderung
pada “Pemikiran hitam putih” kalau bukan kawan maka ia adalah
lawan yang harus dihancurkan. Sistem pemilihan langsung bisa
menimbulkan polarisasi di masyarakat yang bisa dilihat pada
pemilihan lurah di desa atau menonton sepak bola. Dengan melihat
begitu banyaknya faktor disintegrasi yang tertanam secara dalam
dan permanen dalam tubuh masa dan bangsa maka pemilihan
langsung ini bisa menimbulkan problem tersendiri.
Dalam UUD 1945 yang lama, program yang harus
dikerjakan Presiden adalah program yang disusun MPR sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan penilaian hasil kerja
Presiden didasarkan atas program itu. Pada sistem yang baru
Presiden bekerja menurut program yang dibuatnya sendiri dan
diakhir masa jabatan tidak perlu mempertanggungjawabkan
pelaksanaan programnya. Dengan demikian rumusan pasal 6A
baru ini bertentangan dan tidak sesuai dengan jiwa serta prinsip
yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945.

270 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


12) Amendemen menjadikan DPA bawahan Presiden. Negara di
dunia memiliki pola organisasi yang berbeda, ada yang mencontoh
Inggris, ada yang mencontoh Amerika Serikat ada juga yang
mencontoh negara Eropa kontinental, dan sistem DPA dalam
UUD 1945 mengikuti pola Eropa kontinental. Tugas DPA memberi
nasihat pada Presiden baik diminta atau tidak diminta, tapi tugas
DPA sebenarnya adalah melaksanakan fungsi pengawasan tidak
langsung pada Presiden. Selama ini fungsi DPA kurang berjalan
karena para anggota DPA adalah orangnya pemerintah sehingga
kurang independen dan karyanya lebih bernuansa politis. Contoh:
Raad Van State di Belanda dimana semua perjanjian internasional
yang memerlukan persetujuan parlemen harus dikaji dulu oleh
DPA nya Belanda. Seharusnya DPA mampu menegur Presiden
bila lembaga ini betul-betul independen. Kalau pengawasan DPR
bersifat umum dan politis maka pengawasan DPA ini lebih bersifat
tehnis. Penghapusan lembaga DPA dan perumusan fungsi DPA
menjadi pembantu Presiden belaka, adalah tidak sesuai dan
bertentangan dengan sistem demokrasi kekeluargaan yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945.
13) Amendemen menciptakan Tirani DPR. Rumusan pasal
20 baru menetapkan supremasi DPR tanpa ada yang dapat
menghalanginya dimana hal ini dapat menimbulkan tirani DPR
karena walaupun presiden menilai belum tepat pemberlakuan
suatu RUU, presiden dipaksa untuk tetap memberlakukannya
dengan segala resiko. Dengan demikian tidak ada “check
and balances” seperti yang disepakati MPR. Tirani DPR juga
muncul dalam rumusan pasal 23 ayat (3) dimana presiden harus
menerima apa kehendak DPR, demikian juga pemaksaan ini
tampak dalam pasal 11 baru, pasal 13 baru dan pasal 14 ayat
(2) baru. Kesimpulanya pasal-pasal baru ini bertentangan dengan
jiwa dan semangat demokrasi kekeluargaan yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945 yang menghendaki keseimbangan
dan kerja sama antara Presiden dan DPR dan bukan pemaksaan
kehendak.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 271


14) Peranan Kepala Negara. Amendemen yang dilakukan
MPR belum menjelaskan kedudukan Presiden sebagai Kepala
Negara, padahal jabatan Kepala Negara merupakan lambang
Negara., Kepala Negaralah yang mengangkat dan meresmikan
pengangkatan semua pejabat Negara, namun amendemen UUD
1945 belum mengatur masalah yang sangat mendasar ini.
15) Mahkamah Konstitusi. Kalau melihat kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang diuraikan dalam pasal 24C baru,
dihubungkan dengan pasal 7D baru maka semua kewenangan
Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung
sehingga tidak perlu membuat lembaga baru. Terdapat keanehan
dalam pasal 7A baru seakanakan hanya presiden saja yang dapat
melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindakan berat lainnya. Di Prancis ada lembaga seperti ini yaitu
Home cour de justice (pengadilan tertinggi di Prancis) yang
mengadili tindakan politik tertentu dan yang masuk yuridiksinya
bukan hanya presiden Prancis tetapi juga para pejabat pemerintah
dan komplotannya termasuk anggota Parlemen. Masih kurang/
tidak jelas mengenai pembentukan suatu Mahkamah Konstitusi
yang berdiri sendiri.
16) MPR Menghapus Penjelasan UUD 1945. MPR sudah
memutuskan dalam 5 kesepakatan awal untuk menghapus
penjelasan UUD 1945 dan memasukkan materinya ke dalam
batang tubuh UUD 1945. Pada rumusan pasal 1 ayat (3) baru
berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dimana
rumusan ini diambil dari penjelasan tentang sistem pemerintahan
negara. Negara Hukum adalah asas dan bukan aturan hukum
sehingga tempatnya lebih tepat di penjelasan. Penjelasan UUD
1945 selain memuat uraian yang bersifat penjelasan mengenai
hal-hal yang diatur dalam Pasal-Pasal UUD 1945 juga memuat
tentang Asas-Asas Dasar dan Asas-Asas Hukum yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945 dengan demikian uraian-uraian
tersebut tidak mungkin dipindahkan kedalam Batang Tubuh.
Dalam penjelasan dikatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan menguasai hukum dasar tertulis

272 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


maupun tidak tertulis. Ini adalah cita hukum dan menurut teori,
cita hukum merupakan landasan berlakunya Konstitusi dalam
Undang-undang Dasar.
Ada banyak cita UUD yang terdapat dalam penjelasan UUD
1945 tidak dimasukkan ke dalam pasal-pasal pada amendemen
UUD 1945. Cita UUD yang menyatakan bahwa harus dijaga agar
tidak cepat usang dan hanya yang terpokok saja yang dimuat
dalam UUD. Demikian juga mengenai cita budaya nasional
yang ada dalam penjelasan dan kurang mendapatkan tempat
dalam UUD 1945 baru (hasil amendemen). Dengan dihapusnya
Penjelasan pada UUD 1945 dan tidak dimasukkannya Cita UUD
di Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal di UUD 1945 baru,
maka MPR sejak semula tidak berniat membuat UUD yang betul-
betul baru.
17) Desa yang merupakan benteng revolusi kemerdekaan
dilupakan oleh MPR. UUD 1945 secara khusus memberikan
tempat bagi desa dan sejarah membuktikan bahwa desa dan
masyarakat perdesaan telah menyelamatkan perjuangan
bangsa merebut kemerdekaannya. Tanpa desa tak ada Republik
Indonesia dimana negara harus berhutang budi pada desa
sehingga harus ditulis dengan tinta emas bahwa pemerintahan RI
bertumpu pada pemerintahan desa. Oleh karenanya, seharusnya
kemampuan pemerintahan desalah yang menjadi barometer
bagi keadaan Indonesia bukan kota, kabupaten dan provinsi.
Dalam amendemen UUD 1945 tulisan desa dalam penjelasan
dihilangkan.
18) Kepentingan Daerah. Alasan dibentuknya DPD karena
kepentingan daerah yang selama ini terabaikan, kalau demikian
halnya maka kesalahan seharusnya ditimpakan pada DPR dan
anggotanya. Yang mengetahui dan menyelami kepentingan
daerah adalah orang-orang daerah sendiri, yaitu pemimpin
masyarakat sendiri dan mereka belum tentu anggota partai
politik. Sistem Pemilu juga ikut bersalah dalam hal ini karena
kepentingan daerah tidak terjamin dalam sistem proporsional
dan sistem daftar. Agar kepentingan daerah bisa terpenuhi maka

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 273


sistem Pemilu harus menggunakan sistem distrik dan calon
harus orang berasal dari daerah tersebut. Dengan adanya DPD
yang dipilih langsung dengan calon dari perorangan maka akan
terpilih orang yang mengetahui aspirasi masyarakat setempat.
Namun disadari atau tidak pengertian DPD mengandung
kedaulatan daerah di samping kedaulatan pusat sehingga secara
terselubung mengarah pada federalisme yang bertentangan
dengan kesepakatan mengamendemen UUD 1945.
19) Masalah Pertahanan Negara. Isi pasal 30 baru secara
praktis sama dengan isi ketetapan MPR No.VI dan VII/ MPR 2000.
Dalam UU No 13/1964 tentang ketentuan pokok Polri ditetapkan
dalam pasal 2 bahwa Polri adalah Angkatan Bersenjata,
kemudian UU No. 20/1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan yang menyatakan bahwa ABRI terdiri atas TNI dan
Polri. Pada tahun 2000 melalui Tap MPR No. VI & VII /MPR/2000,
Polri dipisahkan dari TNI. Yang menarik perhatian dari ketetapan
ini adalah kedudukan TNI dan Polri ditentukan sama sebagai alat
negara, dengan demikian maka ketentuan ini telah mengubah
UUD 1945 karena dalam pasal 10 UUD 1945 hanya TNI
merupakan alat negara. Di negara manapun di dunia, kepolisian
adalah alat pembantu pemerintah baik di pusat maupun di daerah
dan bukan alat negara. Hal lain yang menarik adalah bahwa
TNI ditetapkan hanya berperan dalam pertahanan negara dan
Polri berperan dalam memelihara keamanan. Dengan demikian
masalah keamanan dipisahkan secara tajam dari masalah
pertahanan negara. Keamanan ditujukan terhadap ancaman dari
dalam negara dan pertahanan ditujukan terhadap ancaman dari
luar. Perbedaan ancaman ini masih mengacu pada era sebelum
abad XX yang sudah lama ditinggalkan. Ancaman terhadap
eksistensi negara bisa datang dari luar dan bisa juga datang dari
dalam negara. Sekarang ini lebih mudah yang digunakan oleh
suatu negara untuk memaksakan kehendaknya atau menaklukan
negara lain tanpa resiko kehilangan nyawa prajuritnya adalah
melalui subversi.

274 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Dalam pasal 30 UUD 1945 baru pada ayat (4) disebutkan Polri
sebagai alat negara yang menjaga Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat serta menegakkan hukum. Di sini terjadi penyesatan
peran Polri karena fungsi melindungi, mengayomi dan melayani
masyarakat adalah fungsi pemerintah dan peran Polri hanya
membantu pemerintah saja. Karena Polri ditetapkan sebagai alat
negara maka pemerintah kehilangan alat untuk melaksanakan
tugas tersebut sehingga pemerintah terpaksa membentuk alat
sendiri sehingga terjadi doubleres dan waste of money and energy.
Kekeliruan lain yang terdapat pada Tap MPR No. VII adalah
ditetapkan Prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer
dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan
peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Dalam hal
ini ada beberapa catatan yang mendasar sekali;
Pertama, hukum militer diwujudkan oleh hukum-hukum nasional
yaitu Pidana, Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha
Negara, dan Hukum Internasional yang mengenai kehidupan
militer dan angkatan perang sehingga hukum militer terdiri dari
Hukum Perdata Militer, Hukum Pidana Militer, Hukum Tata Negara
Militer, Hukum Tata Usaha Negara Militer dan Hukum Perang.
Selain itu militer mengenal Hukum Disiplin Militer yang tidak ada
ekuivalensinya atau mitranya dalam hukum nasional.
Kedua, dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer
terdapat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 bahwa bagi militer
berlaku juga Hukum Pidana Umum selain Hukum Pidana Militer,
bahkan ajaran umum mengenai hukum pidana yang diakui dalam
KUHP dinyatakan berlaku bagi hukum militer.
Ketiga, Dalam KUHPM terdapat banyak sekali ketentuan yang
berlaku bagi siapa saja termasuk orang yang bukan militer karena
warga sipil akan diadili di pengadilan militer bila melanggar
ketentuan itu. Kemudian Pasal 27 ayat (3) baru adalah salah
tempat seharusnya masuk dalam pasal 30.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 275


20) Cita UUD yang dianut MPR. Tidak jelas cita UUD yang
dianut MPR setelah amandeman UUD 1945 ini. Kalau cita hukum
yang diamanatkan oleh UUD 1945, hanya pokok-pokok saja yang
ada dalam pasal-pasal sedangkan lainnya diatur dalam Undang-
undang. Umpamanya ketentuan Pasal 6 dan Pasal 6A baru pada
hakikatnya merupakan materi yang lebih tepat ditempatkan dalam
penjelasan Pasal 7 dan lebih lanjut diuraikan dalam UU tentang
Kepresidenan. Demikian juga pasal 9 ayat (2) baru merupakan
materi dari UU tentang Kepresidenan. Demikian juga Pasal 28A
sampai dengan 26J baru dimana isi materinya lebih beda dalam
Undang-Undang bukan dalam UUD.
21) MPR hendak menerapkan pemikiran James Madison di
Indonesia. Perubahan pertama sampai dengan keempat UUD
1945 memberi kesan seakan-MPR hendak menerapkan pemikiran
James Madison tentang “Check and Balances” di Indonesia.
Pemikiran James Madisan bertumpu pada 4 atau 5 unsur yaitu
(1) Pemisahan Kekuasaan (2) Kedaulatan dibagi antara Pusat
dan negara bagian (3) Human Rights (4) anggota Kongres dan
Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Unsur pertama terealisasi dengan pasal 20 baru, unsur kedua
tersirat dalam pasal 22C dan 22E baru, unsur ketiga terurai
dalam BAB X baru dengan pasal 28A sampai dengan pasal 28J
dan unsur keempat dan kelima menjelma dalam pasal 6A baru,
kalau konstelasi ini benar maka MPR berusaha mengganti sistem
konstitusi berdasar UUD 1945 dengan sistem konstitusi AS yang
mengarah pada konstitusi liberal.
22) Terjadi UUD yang sama sekali baru. MPR menyatakan bahwa
yang dibuatnya adalah amendemen UUD 1945 tapi sebenarnya
yang terjadi adalah pembuatan UUD yang sama sekali baru
katakanlah UUD 2002. Amendemen mengartikan memperbaiki
bukan merombak atau mengubah sehingga amendemen
terhadap UUD 1945 perlu meneliti dulu apakah diperlukan
perbaikan, penambahan, pelengkapan atau pelurusan. Penelitian
harus dilihat dari segi sejarah undang-undang 1945, sistematika

276 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


serta isinya dan praktik penyelenggaranya dengan begitu dapat
diketahui apa kekurangannya. Tanpa melakukan penelitian lebih
dahulu maka akan muncul dugaan bahwa sejak semula MPR
hendak mengubah UUD 1945 dan menggantikannya dengan yang
baru. Kalau melihat dari jumlah pasal yang diubah serta isinya
maupun dari segi fungsi, sistem dan strukturnya maka betul-betul
telah terjadi perombakan dalam UUD 1945. Timbul pertanyaan
apakah perombakan ini sudah sesuai dengan aturan dalam UUD.
Proses amendemen yang dilakukan MPR adalah super cepat dan
proses semacam ini belum pernah terjadi di negara lain.
23) Prosedur Perubahan Konstitusi. Sebagian besar negara
di dunia mempunyai konstitusi tertulis dalam bentuk UUD yang
memuat aturan dasar yang berhubungan dengan kehidupan
bernegara yang menyangkut seluruh kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu logislah bila rakyat sangat berkepentingan dalam
masalah perubahan konstitusinya dan peranan rakyat ini terlihat
dalam prosedur perubahan konstitusi yang berlaku di negara-
negara tersebut.
Perubahan UUD di USA dilakukan oleh suatu konvensi yang
dibentuk khusus untuk amendemen dan dibentuk atas usul kurang
lebih dua pertiga anggota Kongres dari kurang lebih dua pertiga
negara bagian. Amendemen hasil konvensi harus disetujui kurang
lebih tiga perempat jumlah badan Legislatif dari jumlah negara
bagian. Australia, Denmark, Irlandia, Jepang, Selandia Baru
menggunakan cara referendum sedangkan Belgia, Luxemburg,
Yunani dan Irlandia menggunakan cara gabungan dimana harus
mendapat persetujuan mayoritas anggota Perwakilan Rakyat
dan pembukaannya harus mendapat persetujuan mayoritas
rakyat. Di Prancis pembukaan UUD dibahas dalam DPR
kemudian dibawa ke Referendum. Di negeri Belanda pembukaan
pada tahun 1983 memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun.
Di Inggris tidak mempunyai UUD sehingga Parlemen dapat
mengadakan perubahan institusi tanpa campur tangan pihak
lain namun kenyataannya pemerintah Inggris telah beberapa
kali mengadakan referendum untuk perubahan konstitusinya.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 277


Indonesia memiliki UU tentang Referendum yaitu UU No. 5/1985
tapi MPR menyatakan UU tersebut tidak berlaku lagi.
24) Aturan Peralihan. Pasal II berbunyi: “Semua lembaga
negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-undang dasar dan belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini.” Ada
dua kali penyebutan UUD, untuk penyebutan UUD yang kedua
sudah jelas adalah UUD hasil amendemen tapi penyebutan UUD
yang pertama belum jelas apakah yang lama atau yang sudah di
amendemen. Pasal III berbunyi: Mahkamah Konstitusi dibentuk
selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk
segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
Pasal ini memberi pengakuan bahwa fungsi Mahkamah
Konstitusi dapat dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sehingga
tidak perlu membentuk Mahkamah Konstitusi. Pasal ini memberikan
pertanyaan bagaimana Mahkamah Agung melaksanakan tugas
ini padahal belum ada hukum acaranya, apakah Mahkamah
Agung dapat membuatnya sendiri dan bekerja menurut cara kerja
MPR. Kalau Mahkamah Agung berbuat demikian maka negara
RI sudah bukan negara hukum tapi negara kekuasaan. Aturan
peralihan ini masih mengandung kontradiksi dan keanehan.
25) Komisi Konstitusi. Sehari sesudah MPR menerima baik
perubahan keempat UUD 1945 lalu membentuk Komisi Konstitusi
melalui ketetapan MPR No I/MPR/2002 untuk melakukan kajian
komprehensif terhadap amendemenUUD 1945 dan sudah harus
dilaporkan hasilnya pada sidang umum MPR tahun 2003.
26) Ketetapan nomor I/MPR/2002 ini mengandung pengakuan
bahwa perubahan yang dilakukan terlalu terburu buru sehingga
banyak mengandung kesalahan dan kelemahan. Seharusnya
Presiden yang membentuk badan ini bukan MPR agar bisa
bekerja lebih independen dan seharusnya badan ini diberi
waktu relatif panjang untuk mengadakan kajian komprehensif.
Amendemen keempat diterima tanggal 10 Agustus 2002 dan Tap
MPR No I/MPR/2002 dibuat pada 11 Agustus 2002 dan hasilnya

278 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dilaporkan pada tahun 2003, sesuai logika sesuatu yang masih
dikaji belum bisa dinyatakan berlaku. Mahkamah Konstitusi harus
sudah terbentuk pada 17 Agustus 2003 padahal Komisi Konstitusi
masih sedang mengkaji hasil amendemendengan demikian maka
Tap MPR No I/MPR/2002 hanya merupakan suatu kebohongan
publik.
c. Pokok Pikiran Naskah Akademik Revisi Amendemen UUD
1945 Usul Komisi Konstitusi
1) Beberapa pembahasan konklusif yang berdampak atau
tak berdampak pada revisi hasil amendemen UUD adalah
Konstitusi dalam arti sempit atau konstitusi tertulis, UUD 1945
pascaamendemen terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal
merupakan kesatuan yang utuh. Istilah pembukaan sudah tepat
untuk proses amendemen UUD 1945.
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD bermakna “Loci of Sovereignity” adalah rakyat,
maka kedaulatan rakyat tidak “dibutuhkan” (institusionalisasi)
pada suatu lembaga negara. Penambahan sifat negara
Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis tidak diper-
lukan. Sebagai sidang gabungan anggota DPR dan DPD maka
MPR berperan sebagai parlemen dengan wewenang tertentu
dan bukan sidang gabungan antarkamar DPR dan DPD karena
hubungan itu tidak terjadi dan tidak ditentukan demikian. Ciri
sistem Presidensial adalah kekuasaan Presiden terbatas, masa
jabatan tetap dan terbatas waktunya, presiden dipilih langsung
oleh rakyat, presiden tidak dapat dijatuhkan parlemen karena
perbedaan politik namun dapat diberhentikan karena melanggar
ketentuan. Keputusan pemberhentian tetap bersifat politik (oleh
MPR). Impeachment tersebut bersifat konstitusional, legal,
yudisial maupun politis. Penerimaan Duta dan Konsul negara lain
dikembalikan sebagai Hak Prerogatif Presiden, pengiriman Duta
dan Konsul Indonesia masih memerlukan pertimbangan DPR.
Legislasi cukup diputuskan DPR, namun perlu membedakannya
DPD dalam hubungan pusat daerah, dalam jangka panjang
perlu menambah jumlah anggota DPD. yaitu seorang wakil tiap

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 279


Kabupaten/ Kota. Presiden tidak mengambil keputusan terhadap
hasil akhir legislasi namun Presiden berhak menolak UU (veto),
tapi 2/3 suara DPR atau 2/3 suara pada masing-masing DPR
dan DPD menghasilkan UU yang tak dapat ditolak Presiden.
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk mengisi kekosongan fungsi
judicial Review yang tidak pernah diberikan pada Mahkamah
Agung. Keputusan MK dalam Presidential Impeachment bersifat
final dan mengikat mengenai terbukti atau tidak terbukti. Proses
pemberhentian tetap merupakan kewenangan politik DPR dan
MPR namun keputusan akhir berada di tangan MK, karena itu MK
dapat menangani sengketa kewenangan antara Lembaga Negara
dengan mendasar pada UUD. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM)
sudah mencakup hak-hak dasar karena substansi HAM tersebut
mengandung substansi HAM yang tercantum dalam deklarasi
HAM PBB (1948) dan dalam Konvensi Internasional yang
diratifikasi Indonesia. Mencantumkan larangan memberlakukan
hukum secara surut sebagai Nonderogable Right pada pasal 28
ayat (1) Untuk melindungi HAM warga Negara maka MK perlu
diberi wewenang memutus pengaduan pelanggaran Hak-hak
Konstitusional warga negara. Mengingat pentingnya pendidikan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa maka penentuan
prioritas 20% dari APBN dan APBD dimaksud sebagai norma
bagi policy direction anggaran di bidang Pendidikan.
Check and Balance telah terjadi antara Legislatif, Eksekutif,
Yudikatif dan bahkan Lembaga Konstitusi seperti KPU, Komisi
Yudisial dan Bank Sentral. Larangan mengubah UUD 1945
mencakup Pembukaan UUD dan bentuk Negara Kesatuan.
2) Nama UUD RI Pasca-amendemen. MPR tetap menggunakan
nama lama UUD 1945 namun keaslian UUD 1945 pasca-
amendemen dihadapkan pada banyaknya ketentuan yang
diubah menimbulkan banyak pertanyaan, Seberapa aslikah UUD
tersebut? Dan mengukur keaslian UUD bukan pekerjaan mudah.
Dalam sejarah Indonesia sudah terjadi pergantian Konstitusi
lama dengan baru (renewal) dan bukan cuma amendemen.

280 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Untuk itu perlu dilihat dasar pijakan yang digunakan MPR
mengamendemen UUD 1945. Pertama; syarat dan prosedur,
kedua; teknik perubahan dan ketiga; nama yang sudah dipilih.
Mengenai syarat dan prosedur ada dua peluang yaitu menetapkan
UUD yang baru atau mengubah UUD lama, dan MPR memilih
mengubah UUD lama. Dalam mengubah UUD lama, MPR
menggunakan cara amendemen dan teknik adendum, tapi
teknik adendum tidak sepenuhnya diterapkan MPR. Sebenarnya
tidak perlu alergi dengan nama baru dan harus mati-matian
mempertahankan nama lama, Komisi Konstitusi menyarankan
nama UUD RI 1945 (revisi) karena perubahan yang substansial
dan komprehensif atas UUD 1945 (amendemen) karena
kenyataan UUD telah diubah.
3) Pembukaan UUD 1945. Pembukaan memang tidak direvisi
dan hal ini bukan mensakralkan pembukaan namun lebih
dipengaruhi oleh landasan Yuridis Sosiologis dan landasan
Filosofi Historis. Faham Kekeluargaan telah menyelimuti suasana
kebatinan dari Founding Fathers dalam menyusun kemerdekaan
Indonesia dalam UUD 1945, faham ini memandang manusia
sebagai anggota dalam satu keluarga yang tetap menghormati
dan melindungi perbedaan namun tetap rukun dalam satu
keluarga.
Dalam pembukaan tercantum nilai dasar negara
(Staatfundamental norm) berupa pernyataan kemerdekaan
sebagai hak segala bangsa dan hilangnya penindasan demikian
juga pernyataan; ‘... perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’. Pembukaan
telah menyatakan kemerdekaan Indonesia hanya terjadi
sekali. Dengan mempertahankan pembukaan maka kita tetap
mempertahankan falsafah kekeluargaan bangsa dan nilai-nilai
dasar negara Indonesia.
Dalam Pembukaan terdapat Visi dan Misi negara yaitu

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 281


pada alinea IV dalam melindungi Bangsa dan Tumpah Darah,
menyejahterakan serta mencerdaskan bangsa dan terlibat dalam
perdamaian dunia. Dalam Pembukaan terdapat dasar dan filsafat
negara yaitu Pancasila. Menempatkan Pancasila sebagai dasar
negara secara tegas menolak Teokrasi (negara agama) dan juga
paham sekularisme (pemisahan negara dan agama). Pembukaan
Mengandung cita-cita hukum (Rechtsidee) karena mengandung
asas-asas hukum fundamental, norma-norma dasar yang
berfungsi sebagai hukum tertinggi yang menjadi acuan yuridis
semua aturan perundangan di bawahnya. Konsekuensinya,
peraturan hukum yang bertentangan dengan substansi konstitusi
harus dinyatakan batal demi hukum. Sebagai sumber hukum
tertinggi maka pembukaan harus mengarahkan pada formulasi
peraturan hukum yang mengandung kepastian hukum (legal
certainty), kemanfaatan (utility) dan keadilan bagi semua (justice
for all). Kedudukan pembukaan sangat kuat sebagai perjanjian
hukum dasar dan tujuan negara, cita hukum dan mengandung
nilai universal, untuk itu harus tetap dipertahankan. Kedaulatan
Rakyat, ada bermacam pandangan tentang kedaulatan, antara
lain kedaulatan di tangan Tuhan, kedaulatan di tangan negara,
kedaulatan hukum, kedaulatan di tangan rakyat. Sejak awal
menyusun dasar kemerdekaan para founding fathers sudah
memilih kedaulatan di tangan rakyat yang tertuang dalam
pembukaan alinea IV, tanpa mengabaikan Kedaulatan Tuhan
dalam alinea ketiga. Konstitusi praamendemen menyebutkan
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sesudah amendemen
berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.” Peralihan ini
mengartikan:
1. Kedaulatan tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh seluruh
lembaga.
2. Dikembalikannya paham Kedaulatan Rakyat dari
Kedaulatan Negara.

282 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


3. Kedaulatan Rakyat ada yang langsung dilaksa-nakan
rakyat dan ada yang diserahkan pada Badan/Lembaga
menurut UUD.
4. Mengalihkan sistem MPR ke sistem UUD dan UUD
dijadikan rujukan utama dalam menjalankan UUD 1945.
5. Tidak dikenal lagi Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi
Negara.
Dengan pembukaan ini telah mencegah MPR menjadi
superbody yang dapat menyalahkan kewenangannya. Masih
ada masalah yang mengganjal dengan hilangnya kata MPR di
pasal 1 dimana pembuatan Bab II tentang MPR menjadi naif.
Karena kata MPR belum dimunculkan sebelumnya dalam tata
urut. Penghilangan MPR mengandung konsekuensi hilang-nya
subjek pelaksana Kedaulatan Rakyat dengan sistem perwakilan,
karena dalam situasi konkret rakyat mustahil melaksanakan
kedaulatannya. Perubahan struktur dan fungsi MPR dikaitkan
dengan kedaulatan rakyat masih perlu dicari solusinya dalam
rangka penyempurnaan UUD 1945 hasil amendemen.
4) Parlemen dan Proses Legislasi. Ketika transisi berlangsung
maka wajar untuk meninjau kembali konstitusi, struktur lembaga-
lembaga negara dan komposisinya serta cara pengisian lembaga-
lembaga tersebut. Peru menghapus Senat dan menjadikan
Parlemennya Unikameral pada tahun 1993, sementara Maroko
mengubah Parlemen Unikameral menjadi Bikameral pada 1996.
Restrukturisasi MPR dan rekonstruksi sudah bermasalah
sejak awal karena membuahkan “Parlemen asimetrik”
(kesenjangan) yang di satu pihak kelihatan cocok Unikameral
dipihak lain tidak cocok, demikian juga di satu pihak cocok
bikameral bahkan Trikameral namun di segi lain tidak cocok.
MPR diubah menjadi Parlemen Unikameral dengan komponen
DPR dan DPD yang kesemuanya dipilih tanpa Utusan Golongan,
tapi anggota DPD jumlahnya hanya 1/3 anggota DPR. Anggota
DPD pesertanya perorangan dengan pemilihan sistem distrik,
sedangkan anggota DPR dengan sistem proporsional sehingga

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 283


anggota DPD lebih akuntabel kepada pemilih, namun kompetensi
DPD sangat terbatas dibandingkan dengan anggota DPR. Dalam
pola hubungan lama Legislatif boleh saja disebut tipe Hibrida yaitu
Legislatif tiga kamar tapi dengan fungsi pengambilan keputusan
kerja di tangan dua kamar (Presiden dan DPR) sehingga tidak
tepat disebut pola hubungan DPD-DPR. Presiden sebagai
Parlemen tiga kamar. Sulit menyebut hubungan Legislasi antara
Presiden, DPR dan DPD. Ketika belangsung fungsi interkameral
antara DPR dan DPD yang disebut “Joint Session DPR-DPD”,
antara lain ketika DPR mengundang DPD untuk membahas
RUU terkait Otonomi Daerah, dalam pembahasan pengambilan
keputusan atas RUU fungsi Legislasi di pegang DPR sementara
hubungan Presiden - DPD hanyalah fungsi Konsultatif.
5) Bentuk Negara. Pada awal penyusunan dasar kemerdekaan
Indonesia sudah ada pilihan bentuk negara kesatuan atau
federal dan para Founding Fathers sepakat pada negara
kesatuan mengingat sumber daya manusia di daerah belum
mampu mandiri. Di era reformasi Dr. Amin Rais dan Prof DR.
Harun Alrasyid berpendapat bahwa pilihan bentuk federal
sudah boleh jadi karena SDM sudah terbagi di daerah. Secara
teoritis dikenal dua bentuk negara, yaitu Negara Kesatuan dan
Negara Federal. Negara Federal adalah sesuatu yang lazim
karena 40% negara di dunia berbentuk federal, ketika Indonesia
berubah dari federal ke negara Kesatuan di tahun 1950,
Soetomo mengatakan bahwa perubahan dari federal ke bentuk
kesatuan tidak melanggar konstitusi jadi sebaliknya kalau terjadi
perubahan dari bentuk kesatuan ke bentuk federal hal ini juga
tidak melanggar Konstitusi. Persepsi yang menyatakan bahwa
negara serikat akan menimbulkan perpecahan, disintegrasi
bangsa, separatisme, masih memerlukan analisis mendalam. Ciri
negara kesatuan menurut C.F. Strong adalah kedaulatan tidak
terbagi, kekuasaan pemerintahan pusat tidak dibatasi, tidak ada
lembaga legislatif lain selain lembaga legislatif pusat. Pengertian
lain dalam Negara Kesatuan adalah kekuasaan negara terletak
dalam pemerintahan pusat bukan pada pemerintah daerah, tapi

284 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya
kepada pejabat-pejabat di daerah (dekonsentrasi) atau pada
daerah berdasarkan otonomi (desentralisasi). Dalam negara
kesatuan dikenal adanya asas dekonsentrasi dan desentralisasi,
desentralisasi dapat dibedakan dalam desentralisasi teritorial
dengan batas pengaturan berdasarkan daerah tertentu dan
desentralisasi fungsional dengan batas pengaturan pada jenis
fungsi tertentu.
Amendemen UUD 1945 menetapkan pilihan untuk tetap
menjadi negara Kesatuan Indonesia. Untuk saat ini berdasarkan
kondisi negara secara umum masih lebih baik bentuk Negara
Kesatuan tanpa menutup peluang perkembangan tata negara
di hari kemudian. Bila ada pemikiran ke arah negara federal
mungkin karena telah terdistorsinya konsep negara kesatuan
dengan mengedepankan penyeragaman sehingga perbedaan
bukan menjadi kekayaan budaya tapi menjadi ancaman.
Kegagalan dalam pembangunan di daerah menyebabkan daerah
menganggap pusat telah mengekploitasi daerah dan terjadi
ketidakadilan, ketidakefisienan dan sebagainya. Permasalahan
tersebut harus dicarikan penyelesaiannya dulu bila ingin
mempertahankan keutuhan negara dan bangsa.
6) Negara Hukum. Perubahan ke 3 UUD 1945 oleh MPR
dengan penambahan pada ayat (3) pasal 1 yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Berbicara mengenai
hukum setidaknya ada 6 hal pokok yang harus dibahas,
Pertama, Supremasi Hukum, pengertian supremasi ini
berlainan dengan di Eropa dimana telah dipisahkan secara
jelas hukum Negara dengan Hukum Agama. Dalam pembukaan
UUD 1945 ada kata-kata “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidu-
pan, kebangsaan yang bebas”. Di sini ada faktor eksternal yakni
Rahmat Allah SWT dan faktor internal keinginan luhur. Oleh sebab
itu jabaran Kemerdekaan yang dirinci dalam peraturan hukum
harus sejiwa dengan si Pemberi Rahmat dan Keinginan luhur
bangsa. Jadi supremasi hukum adalah rasa keadilan bersumber

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 285


dari hukum yang dibuat akal budi rasio manusia yang dijiwai sifat
religiusitas bangsa Indonesia.
Kedua, Kesetaraan Hukum, hal ini harus dikaji lebih hati-hati
karena lebih mengarah pada paham individualisme, liberalisme.
Kesetaraan di depan hukum harus dilihat pada situasi, kondisi,
sumber daya, penguasaan Iptek yang masih jauh berbeda
sehingga kesetaraan ini masih amat situasional dan kondisional.
Ketiga, Due Process of Law, ciri negara hukum bahwa
penegakan hukum harus melalui prosedur yang telah ditentukan
dan tidak boleh bertentangan dengan hukum. Seringkali hakim
yang memutus perkara hanya berpedoman pada hukum positif,
ternyata menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Dalam
konteks hukum di Indonesia seringkali nampak kontradiksi antara
mempertahankan prosedur demi kepastian hukum di satu pihak,
tapi di pihak lain berdampak pada terusiknya rasa keadilan di
masyarakat.
Keempat, Kekuasaan Peradilan Bebas, dalam amendemen
UUD 1945 telah dinyatakan kebebasan Hakim dalam peradilan.
Dalam praktik kenegaraan di masa lalu banyak campur tangan
baik bersifat politis maupun material yang memunculkan praktik
kolusi di Peradilan.
Kelima. Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan pengadilan
Khusus mengadili penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
negara. Walaupun pejabat tersebut dikalahkan oleh pengadilan,
tapi pihak yang dimenangkan tidak memperoleh apa yang
diperjuangkannya.
Keenam. Perlindungan HAM, Hak Asasi Manusia yang
dirumuskan pada pasal 28A sampai dengan 28J dan pasal 29
UUD baru dengan demikian HAM telah diakomodir dengan baik
dalam UUD.
7) Sistem Pemerintahan. John J. Wriest dan Shepard L. Witman,
mengenai ciri Presidensial:

286 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


a) Berdasarkan asas pemisahan kekuasaan.
b) Tidak ada pertanggungjawaban bersama antara Kepala
Eksekutif dengan Menteri
c) Kepala Eksekutif tidak dapat membubarkan Parlemen,
sebaliknya Kepala Eksekutif tidak perlu mengundurkan diri
bila tidak mendapat dukungan mayoritas di Legislatif
d) Kepala Eksekutif dipilih Dewan Pemilih.
Hal ini berbeda dengan sistem parlementer antara lain:
a) Berdasarkan pencampuran kekuasaan
b) Ada pertanggungjawaban bersama antara kepala
eksekutif dan menteri
c) Kepala eksekutif mengundurkan diri bila tidak mendapat
dukungan mayoritas di legislatif, kepala eksekutif dapat
meminta kepala negara membubarkan legislatif untuk
selenggarakan pemilu
d) Kepala eksekutif dipilih kepala negara dengan dukungan
mayoritas legislatif.
Beranjak dari pengertian tersebut, maka sistem pemerintahan
Indonesia adalah sistem Presidensial dan mengandung sistem
parlementer. Sistem parlementer terlihat pada pasal II ayat (2)
dan pasal 20 ayat (2) dimana ada asas percampuran kekuasaan.
Sistem Presidensial terlihat pada pasal 17 ayat (3) dan pasal 7E
serta pasal 6.
Salah satu visi bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD
1945 adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ada 2
persoalan negara terkandung di dalamnya yaitu prinsip kebijakan
politik luar negeri bebas aktif dan keterlibatan TNI dalam misi
perdamaian dunia. Dalam pasal 10 UUD 1945 dan pasal 11 ayat
(1) kewenangan Presiden atas TNI dan mengumumkan perang
serta membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Untuk menyatakan perang dan perdamaian maka wewenang
Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Kekuasaan dan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 287


wewenang Presiden yang harus mendapat persetujuan DPR
adalah dalam membuat perjanjian internasional. Dalam praktik
dan kebiasaan hukum internasional negara negara selalu
meminta persetujuan DPR. bilamana terkait dengan partisipasinya
dalam pembuatan konvensi internasional. Persetujuan DPR ini
diperlukan mengingat perjanjian multilateral menimbul-kan daya
paksa hukum yang mengikat bagi negara penanda tangan. Untuk
perjanjian bilateral, Presiden tidak selalu harus memperoleh
persetujuan DPR lagi cukup dengan hak prerogatif Presiden
menentukan duta besar dan konsul di luar negeri.
Di beberapa negara seperti AS, Swiss, Jerman dan RRC
harus mendapat persetujuan Senat. Persetujuan ini diperlukan
karena duta besar dan konsul membawa misi negara dalam
tugas diplomatiknya. Dengan melihat uraian di atas maka pasal
10 UUD 1945 tetap pada teks Amendemennya sedangkan pasal
11 dikembalikan pada teks aslinya.
8) Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum. Dalam
amendemen UUD 1945 dengan tugas mengamanahkan
kedudukan fungsi dan kewenangan Polri yang berbeda dengan
TNI, namun peran Polri masih masuk dalam Bab XII Pertahanan
Keamanan sekiranya Polri yang terpisah dari TNI mendapat
tempat dan perlindungan sebagai aparat Penegak Hukum.
Pengaturan Kejaksaan dalam UUD 1945 merupakan kebutuhan
mendesak, dari 9 negara di Asia Tenggara hanya Indonesia
yang belum memasukkan Kejaksaan dalam konstitusinya dan
tidak dicantumkannya Kejaksaan dalam UUD 1945 terkait
dengan politik zaman penjajahan Belanda yang sangat sen-
sitif menyebutkan kehadiran Kejaksaan, apalagi Kejaksaan di
Belanda berada di bawah Mahkamah Agung. Sementara itu
sudah ada wacana pengusulan Kejaksaan masuk dalam UUD
1945 melalui surat Kejagung pada tanggal 7 Juli 2002. Kedudukan
tugas dan kewenangan Kejaksaan sudah masuk dalam proses
amendemen namun tidak sempat dibahas dan disepakati
sebagai bagian Amendemen. Kejaksaan bisa dimasukkan dalam

288 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


Bab X Penegakan Hukum dengan pasal 25 A tentang Kejaksaan.
Pada UUD Sementara 1950 dalam Bab III pasal 101 dan 102
oleh pemerhati hukum disebutkan merupakan politik hukum
yang merupakan kebijakan yang ber kenaan dengan hukum.
Setelah kembali ke UUD 1945 tidak ada lagi satu pasalpun yang
berkaitan dengan politik hukum selain pasal II Aturan Peralihan.
Sesudah amendemenmaka politik hukum muncul dalam Bab IX
kekuasaan kehakiman, dengan pasal 24, 24A, 24B dan 24C,
tentang kekuasaan kehakiman tapi yang berkenan dengan
hukum substantif belum ada pengaturannya. Untuk itu dalam
UUD perlu ditetapkan satu pasal tentang politik hukum dengan
memperhatikan situasi nasional, regional dan global dan berbagai
kecenderungan yang bakal muncul. Rumusan politik hukum
diusulkan. “Penataan Sistem Hukum Nasional yang menyeluruh
dan terpadu dengan menghormati/menghargai/memperhatikan
kebera-gaman hukum yang berlaku.”
9) Kelembagaan Negara dan Hubungan Antarlembaga. Negara
adalah organisasi kekuasaan karena di dalamnya terdapat
berbagai macam pusat kekuasaan yang terdiri dari dua bagian
besar yaitu suprastruktur dan infrastruktur. Suprastruktur adalah
pusat kekuasaan yang menyelenggarakan fungsi negara demi
terwujudnya tujuan negara dimana di dalamnya tercakup
suasana kehidupan politik pemerintahan. Selanjutnya dalam
infrastruktur politik tercakup suasana kehidupan politik rakyat
yang terdiri atas 5 komponen yaitu: (1) Organisasi politik (2)
Organisasi kemasyarakatan (3) Mass Media (4) NGO (5) Tokoh
politik (Political Figure). Suprastruktur politik dapat ditemukan
dalam konstitusi karena menyangkut hubungan kekuasaan
yang diselenggarakan oleh kelembagaan negara sedangkan
infrastruktur politik dapat ditemukan secara rinci dalam peraturan
perundangan di bawah konstitusi.
Istilah yang digunakan kelembagaan negara antara lain
Staatsorgamen, Ambten, State Organ, sedangkan dalam
Konstitusi RIS dan UUDS 1950 dikenal dengan Alat-Alat

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 289


Perlengkapan Negara yang diatur secara eksplisit dalam
Bab dan pasal-pasalnya. Bab III Konstitusi RIS menyebutkan
Alat Pelengkapan Republik Indonesia Serikat antara lain:
Presiden,Menteri, Senat, DPR, MA Indonesia, Dewan Pengawas
Keuangan.
Pada UUD 1945 baik pra maupun pasca-amendemen tidak
diakui secara eksplisit jenis kelembagaan negara, dimana istilah
ini muncul dalam Tap MPRS nomor XX/MPRS/1966 dan Tap
MPR nomor III/ MPR/ 1978 tentang kedudukan dan hubungan
kerja lembaga tertinggi dengan atau antar lembaga-lembaga
tinggi negara. Jadi istilah lembaga negara tidak diatur dalam
UUD 1945. Penempatan MPR sebagai lembaga tertinggi karena
memiliki tugas merumuskan GBHN yang dimandatkan pada
presiden. MPR memilih Presiden dan meminta pertanggung
jawaban Presiden.
Secara konstitusional penempatan MPR sebagai lembaga
tertinggi hanya terkait dengan kedudukan Presiden yang dapat
ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945 “Presiden diangkat oleh
Majelis, bertindak dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia
adalah mandataris dari Majelis, ia wajib menjalankan putusan-
putusan majelis, Presiden tidak neben tapi untergeordnet kepada
Majelis.” Hal ini diperkuat lagi dengan praktik penyelenggaraan
sidang tahunan MPR dimana selain Presiden lembaga lain yang
terkait dengan pelaksanaan GBHN ikut memberikan rekomendasi
atas laporan tahunan tersebut.
Lembaga Penunjang adalah lembaga negara yang diatur di
dalam konstitusi untuk membantu lembaga negara yang ditetapkan
guna menyelenggarakan fungsi negara demi terwujudnya
tujuan negara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diadakan guna
menyelenggarakan Pemilu bagi pengisian jabatan Presiden dan
Wakil Presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD. Komisi Yudisial
dibentuk dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Penempatan kedua
komisi tersebut sebagai lembaga negara penunjang, konsisten
dengan tugas yang diembannya dalam rangka membantu

290 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


menyelenggarakan pemerintahan dalam arti luas.
10) Pemilihan Umum. Pemilu merupakan sarana perwujudan
demokrasi secara formal yang dalam hukum Tata Negara dikenal
sebagai salah satu cara pengisian jabatan secara demokratis.
Pengisian jabatan secara demokratis ini terbagi dua yaitu (1)
Demokrasi Langsung dan (2) Demokrasi Perwakilan. Demokrasi
langsung adalah pengisian jabatan, dengan rakyat secara
langsung memilih seseorang menduduki jabatan tersebut.
Sedangkan demokrasi perwakilan merupakan cara pengisian
jabatan dengan rakyat memilih seseorang atau partai politik
yang akan memilih seseorang untuk memduduki jabatan tertentu
guna menyelenggarakan tugas kelembagaan negara seperti
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
yudikatif. AmendemenUndang-undang 1945 menganut pengisian
jabatan berdasarkan demokrasi langsung, sementara dalam
alinea IV Pembukaan dianut demokrasi perwakilan. Namun
demikian demokrasi perwakilan dimunculkan pada pengisian
jabatan hakim, anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan badan-
badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman karena
anggota tersebut dipilih oleh dan disetujui DPR, lalu diangkat/
diresmikan Presiden. Dengan demikian pembukaan UUD 1945
tidak konsisten dengan demokrasi langsung dan demokrasi
perwakilan.
11) Wilayah Negara. Dalam Konvensi Montevidio 1933, suatu
negara berdaulat ditandai adanya klaim terhadap penduduk
yang tetap (permanent population) wilayah yang jelas (defined
teritory) pemerintahan (existing Government) dan kemampuan
negara melakukan hubungan interasional (ability to establish
to communicate with foreign countries). Dari keempat unsur
tersebut persoalan wilayah tidak mudah diatur secara rinci
dalam suatu konstitusi, Filipina dan Yordania wilayahnya diatur
secara rinci dalam konstitusi, tapi ada negara-negara yang tidak
memiliki wilayah secara jelas antara lain Israel sebelum 1949,
wilayah negara bisa berkembang bisa berkurang atau berubah
jadi negara baru lainnya. Ada 4 kemungkinan perubahan wilayah

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 291


suatu negara, yaitu (1) Accreation, perkembangan wilayah karena
perubahan alamiah (muncul pulau baru, pembesaran delta,
berubah aliran sungai dan lain-lain); (2) Purchase, pembelian
wilayah dari negara lain; (3) Perkembangan hukum internasional;
(4) Cession, akibat dari perolehan wilayah dari negara lain baik
melalui perjanjian atau dengan cara lain yang sah menurut aturan
internasional; (5) Penggabungan wilayah, yaitu terjadi pada Tim-
Tim waktu bergabung dengan RI. Perubahan wilayah laut
Indonesia, dalam konteks Hukum Laut, yuridiksi teritorial semula
3 mil menjadi 12 mil sampai menjadi 24 mil dan pasca-Deklarasi
Djuanda 1957 yang berkembang dalam Wawasan Nusantara
sampai pada zone ekonomi eksklusif 200 mil. Di sini bisa dilihat
dan dicermati bahwa wilayah suatu Negara terus berkembang
(bertambah ataupun berkurang) seiring perkembangan
lingkungan strategis.
Dalam wilayah udara terdapat ketentuan bahwa yuridiksi
udara nasional Indonesia meliputi wilayah darat, laut, dan wilayah
udara yang ada di atasnya menjadi suatu kesatuan, namun
Indonesia tidak bisa mengklaim mutlak wilayah udara karena
dibatasi oleh Konvensi Chicago tentang transportasi udara.
Persoalan wilayah masih rentan bagi terjadinya perubahan,
namun kesatuan wilayah darat, laut, udara dan hak-hak
kedaulatan yang utuh yang menjadi kepentingan nasional, perlu
dipertimbangkan untuk mendefinisikan wilayah negara secara
fleksibel dalam perundang-undangan.
12) Hak Asasi Manusia. HAM adalah salah satu muatan pokok
konstitusi yang membatasi kekuasaan negara. Sesuai Deklarasi
Wina tanggal 29 Juni 1993 pada Konferensi HAM sedunia ke-2
tentang HAM, dinyatakan “Hak Asasi Manusia dan kebebasan
dasar manusia adalah hak sejak lahir dari semua orang,
perlindungan dan perkembangannya merupakan tanggung
jawab pertama dari pemerintah.” Ketentuan mengenai HAM
ini membedakan antara Negara Hukum yang demokratis yang
melindungi dan mengembangkan HAM dengan negara kekuasaan
atau negara tidak demokratis lainya. Pengembangan HAM harus

292 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


selalu berbarengan dengan perlindungan HAM yang analog
dengan demokrasi yang selalu berkembang dari sederhana ke
arah makin sempurna. Dalam rangka pengembangan rumusan
konstitusionalnya, HAM dan pasal 28A s/d 28J dapat dipersoalkan
apakah berdasarkan generasi pertama HAM yang berkaitan
dengan kebebasan individu yang bebas dari campur tangan
pemerintah. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat
lebih diutamakan, dibanding hal-hal ekonomi atau berdasar HAM
generasi kedua, yang lebih mengutamakan hal-hal ekonomi
yang memberi perlindungan terhadap kekurangan kebutuhan
dasar, dan generasi ketiga yang berkaitan dengan partisipasi
kultural, pembangunan ekonomi dan kebebasan berpolitik? Ada
beberapa pendekatan HAM antara lain pendekatan Preskripsi
yang menganggap konsepsi HAM bersifat relatif dan tak ada satu
cara yang rasional untuk memilih aneka konsepsi tersebut dan
setiap konsepsi sah serta valid untuk masyarakat tertentu karena
itu butuh pemahaman toleran.
Pendekatan konvensionalis yang menganggap penge-
mbangan moral HAM adalah hanya dengan kebiasaan atau
konvensional sebab dengan kesepakatan sosial hak itu lahir.
Pendekatan deontological yang menganggap timbulnya hak-
hak dasar kebebasan dan kehidupan yang layak merupakan
persyaratan penting dari manusia rasional.
Pendekatan utilitarian memandang bahwa norma moral HAM
dapat mengatur tingkah laku manusia memperoleh kebahagiaan
bagi banyak orang. Rumusan HAM dalam pasal-pasal merupakan
implementasi dari perubahan yang mengandung Pancasila di
dalamnya. Hak menegaskan hubungan tepat antara individu
dengan komunalnya atau sekelompok dengan masyarakatnya.
Hak bukan masalah individual sehingga harus dilihat dalam
hubungannya dengan masyarakat secara keseluruhan dan pada
soal yang sama antara masyarakat yang berhubungan dengan
Hak-hak Individu.
Pengakuan terhadap HAM berarti menerima kewajiban atau
tanggung jawab manusia. HAM harus dipahami sebagai suatu

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 293


kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan, yang pada akhirnya
diakui hanya ada satu hak yaitu hak menjadi manusia. Harus ada
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta tanggung jawab.
Antara HAM sebagai konsep Individualis dengan Hak Kolektif
Masyarakat, antara kebebasan dan keterikatan. Pengaduan
konstutsional yang dilayani Mahkamah Konstitusi harus terkait
dengan tidak ditaatinya pasal 28A s/d 28J oleh negara atau
pemerintah. Harus dibedakan pengaduan konstitusional dan
pelanggaran HAM secara individual atau kelompok termasuk
aparat. Juga dalam mempertanggungjawabkan kejahatan
kemanusiaan pada masa lalu.
Berkenaan dengan rumusan HAM sebagai implementasi
pembukaan UUD 1945 timbul pertanyaan apakah rumusan
HAM ini berkaitan dengan prinsip universalitas atau prinsip
partikularitas? Pengaduan pada prinsip universalitas
konsekuensinya akan berlaku pada semua orang dimanapun
berada, namun tidak sering ditemukan dalam pelaksanaanya,
ada partikularitas tertentu baik nasional maupun regional. Bagi
Indonesia hendaknya meletakkan konteks umum HAM dari
deklarasi Wina 25 juni 1993, antara lain dalam kekhasan nasional,
regional, berlatar belakang sejarah, budaya dan agama, serta
negara harus mengembangkan HAM dan kebebasan dasar.
13) Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional.
Pasal-pasal tentang ekonomi dalam konstitusi, sampai saat
ini belum mampu membawa bangsa mencapai cita-cita
kemerdekaanya, sehingga perumusan yang baik amat diperlukan
agar dapat memberikan kepastian hukum. Ada beberapa rumusan
yang mengandung multiinterpretasi seperti “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan”
demikian juga “cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
negara.” Demikian pula “bumi dan air dan kekayaan alam di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.” Perumusannya tidak jelas dan
mengandung kelemahan, istilah dikuasai negara menimbulkan

294 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


multi intrepretasi, dimana rumusan tersebut mengandung “cacat”
sehingga sebaiknya diamendemen lagi. Amendemen harus
mendasari pokok-pokokpikiran dalam pembukaan UUD 1945
yang antara lain: (1) tidak diizinkan eksploitasi ekonomi, (2) perlu
menjaga kepentingan ekonomi demi kesatuan dan kedaulatan
ekonomi, (3) perlu menjaga agar ada proses demokrasi dalam
pengelolaan ekonomi, (4) perlu dikembangkan etika, moral
dan keadilan dalam pengelolaan ekonomi,(5) meningkatkan
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan.
Dengan melihat perkembangan global dan regional tentang
perlindungan liberalisasi pasar dan keterikatan Indonesia pada
organisasi Internasional dan Regional (WTO, APEC, AFTA) maka
beberapa pokok-pokok penting dalam menggali visi ekonomi
yang lebih operasional diharapkan mencakup:
1) Melindungi kepentingan ekonomi Indonesia dalam
kerangka ekonomi liberalisasi pasar global.
2) Melindungi hak-hak ekonomi warga
3) Menjaga kesatuan ekonomi Indonesia dalam kerangka
otonomi daerah
4) Mengembangkan sistem ekonomi yang dapat me
letakkan peranan negara lebih efektif dalam me ningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia secara
berkelanjutan.
5) Memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat/
daerah yang tertinggal.
6) Memiliki sistem keuangan dan fiskal maupun me kanisme
kontrol yang tepat.
7) Memiliki jurnal kontrol yang yang efektif dari
8) DPR terhadap kebijakan ekonomi yang diambil oleh
otoritas ekonomi maupun terhadap lembaga-lembaga yang
terkait dengan bidang ekonomi.
Amendemen pada pasal-pasal hendaknya menggunakan
bahasa yang sederhana mudah dimengerti, jelas dan lengkap,

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 295


mengingat konsumen dari Konstitusi kita masih berpendidikan
rendah, sehingga diharapkan mereka dapat memahami dan
dapat mengontrol pelaksanaanya, dan rumusanya jangan
mengandung “Cacat.” Dalam sistem ekonomi saat ini banyak
negara sudah mengambil jalan tengah dengan mengadopsi
ekonomi campuran (Mixed economi) dimana peranan pasar
amat penting bagi perekonomian, namun negara perlu masuk
ke pasar dalam rangka redistribusi pendapatan. Peranan negara
diperlukan dalam rangka suplement the market dan mengoreksi
imperfection dari pasar. Khusus di Indonesia peranan negara
masih diperlukan untuk menghilangkan ketimpangan yang
tajam antar kelompok masyarak. Namun harus diingat, banyak
bukti menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi mendukung
pertumbuhan ekonomi, oleh sebab itu peranan Negara dalam
perekonomian harus optimal sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Sistem Pendidikan berlatar belakang historis sejak
Belanda menjalankan politik balas budi (ethical policy), namun
implementasinya diselenggarakan dengan amat sangat
diskriminatif, dimana hanya golongan tertentu bisa berpendidikan
yang lebih tinggi. Sekitar tahun 1930 ada polemik mengenai
sistem pendidikan, antara yang memilih model Klasik Barat, model
Pesantren dan model Taman Siswa. Dalam masalah Pendidikan
dan Kesehatan di negara paling kapitalis saja peranan negara
masih besar sekali, contohnya AS.
Ada tiga cara intervensi negara dibidang pendidikan dan
kesehatan, (1) Price Subsidier, (2) Public Mandates, pada swasta
ataupun (3) Penyediaan oleh pemerintah. Meskipun peranan
negara di bidang pendidikan dan kesehatan dibenarkan namun
jangan sampai terjebak pada opsi yang salah. Hak mendapatkan
pendidikan adalah hak dasar warga negara, namun yang
terpenting adalah instrumennya harus tepat.
Otonomi Daerah merupakan perkembangan baru, yang
memasyarakat di banyak negara berkembang, terutama di
Indonesia. Bila otonomi Daerah, tidak diprogramkan dengan

296 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


baik seperti contohnya di Argentina, dimana pinjaman daerah
tidak terkontrol sehingga menyeret negara kedalam krisis
ekonomi.Tidak ada model umum dalam Otonomi Daerah bagi
semua negara, dan tak ada jaminan bahwa ekonomi daerah
dapat meningkatkan efisiensi, pemerataan pembangunan dan
stabilisasi ekonomi makro, dan hal ini amat tergantung dari desain
Otonomi Daerah yang diambil oleh suatu negara. Desentralisasi
dapat memberdayakan daerah namun masih amat tergantung
dari SDM yang tersedia di daerah.
14) Pertahanan Keamanan. Dalam UUD 1945 pra amen
demen masalah pertahanan Negara hanya diuraikan pada Bab
XII Pertahanan Negara, pasal 30 ayat (1) dan (2) secara sangat
singkat dan berkonotasi militer. Sedangkan pascaamendemen,
Bab XII menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara, dan
pasalnya tetap pasal 30, namun ayatnya bertambah menjadi 5
ayat. Bab XII Pertahanan Negara, berubah menjadi Pertahanan
dan Keamanan Negara, seiring dengan perkembangan
pemahaman istilah keamanan nasional, dari yang semula
berkonotasi militer, berkembang hingga mencakup keamanan
manusia (Human Security). Dengan adanya perkembangan pe
mahaman keamanan nasional maka pasal-pasal pada UUD
1945 pun diamendemen dengan menempatkan Polri terpisah
dari TNI. Penempatan Doktrin Taktis Operasional Hankamrata
dalam pasal UUD 1945 telah mengundang pertanyaan, karena
doktrin pertahanan harus fleksibel, sehingga percantuman dalam
konstitusi menjadikannya “kaku/rigid.” Oleh sebab itu perlu
dilakukan revisi terhadap Bab XII Pertahanan dan Keamanan
Negara, pada pasal 30 tersebut di atas.
15) Revisi Cara Mengubah UUD. Ada dua pandangan mengenai
perubahan konstitusi. Pertama: Sistem yang dianut oleh negara
Eropa kontinental berpendirian, manakala terjadi perubahan
pada konstitusi maka yang diberlakukan adalah Undang-undang
yang baru secara keseluruhan. Negara yang menganut sistem ini
adalah: Belanda, Jerman, Prancis. Kedua: Negara-negara Anglo
Saxon seperti USA berpandangan apabila konstitusi diubah maka

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 297


konstitusi asli tetap berlaku, perubahan hanya dilampirkan dalam
konstitusinya (adendum). Dalam konteks Indonesia, perubahan
UUD 1945 mengikuti Anglo Saxon karena (1) Perubahan
terhadap batang tubuh tidak dilakukan keseluruhan (2) Pasal-
pasal perubahan masih merupakan bagian dari UUD aslinya.
Menurut George Jellinek membedakan dua cara perubahan
UUD yaitu; (1) Vervas sungsaendelung, perubahan UUD yang
dilakukan dengan sengaja dengan cara yang ditentukan dalam
UUD. (2) Vervassungswandelung perubahan dengan cara yang
tidak ada dalam UUD dengan cara revolusi, coupd’etat, konvensi.
Menurut C. F. Strong prosedur perubahan konstitusi dapat
dilaksanakan dengan cara:
a) Oleh Legislatif dengan persyaratan khusus
b) Oleh rakyat melalui referendum
c) Khusus dilakukan negara Serikat perubahan harus
disetujui secara proposional oleh negara-negara bagian
d) Melalui konvensi khusus oleh suatu lembaga negara yang
dibentuk untuk itu.
Perubahan Konsitusi oleh legislatif dengan persyara-tan
khusus dapat dilakukan dengan tiga macam kemung-kinan:
a) Untuk mengubah konstitusi, sidang legislatif harus dihadiri
jumlah tertentu (kuorum) dimana kuorum ditentukan secara
pasti.
b) Untuk mengubah konstitusi, lembaga perwakilan Rakyat
harus dibubarkan dulu, baru dilaksanakan pemilihan
legislatif, dan legislatif yang baru, inilah yang mendapat
mandat membuat konstitusi baru.
c) Cara ini terjadi dalam dua kamar, dimana kedua kamar
harus mengadakan sidang gabungan. Sidang Gabungan
inilah yang berwenang mengubah Undang-undang Dasar.
K. C. Wheare menguraikan empat cara bagaimana UUD
dapat berubah yaitu:

298 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


a) Beberapa kekuatan bersifat primer.
b) Perubahan yang diatur dalam konstitusi
c) Penafsiran secara hukum.
d) Praktik biasa dan konvensi yang terdapat dalam
ketatanegaraan.
Beberapa kekuatan bersifat primer sebenarnya bukan cara
perubahan tapi suatu penyebab yang mendorong dilakukan
perubahan UUD karena faktor politik, hukum ekonomi dan
sosial. Perubahan berdasar konstitusi: merupakan perubahan
melalui legislatif biasa yaitu yang diatur dalam UUD atau melalui
referendum. Penafsiran secara hukum, perubahan UUD melalui
penafsiran oleh lembaga yudikatif yang dituangkan dalam
keputusan pengadilan. Perubahan UUD melalui penafsiran badan
peradilan dilakukan tanpa mengubah kata-kata atau kalimat dari
UUD tersebut, tapi maknanya. Pada Praktik biasa dan konvensi:
akibat dari praktik kebiasaan maka akan melahirkan suatu
konvensi, sedangkan konvensi sebagai kekuasaan yang mengikat
dapat lahir dan menjelma secara cepat apabila ada kesepakatan
dari rakyat. Konsekuensinya, kebiasaan yang mengikat itu harus
ditaati seperti aturan tertulis.
Menurut kesepakatan fraksi-fraksi MPR hasil pemilu 1999,
tujuan perubahan UUD 1945 adalah:
a) Meletakkan aturan dasar yang lebih kuat, tegas dan
lengkap.
b) Menyusun aturan dasar kehidupan bernegara, berbangsa
dan bermasyarakat yang demokratis, modern, dan religius.
c) Meletakkan aturan dasar jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat sesuai perkembangan paham demokratis
dan peradaban umat manusia.
d) Memberikan kepastian jaminan dan perlindungan HAM
e) Merumuskan Aturan Dasar penyelenggaraan negara
secara demokratis dan modern

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 299


f) Memenuhi perkembangan aspirasi kebutuhan
kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini dan
waktu mendatang.
Perubahan/amendemen UUD 1945 yang ditempuh
MPR diawali dengan kesepakatan fraksi-fraksi (gentlement
agreement), dan dilakukan melalui sistem adendum, sehingga
ketentuan dalam UUD 1945 yang belum diubah dengan yang
sudah mengalami 4 (empat) kali perubahan merupakan satu
kesatuan, dan setelah dilakukan perubahan UUD 1945 memiliki
susunan sebagai berikut:
a) Naskah asli.
b) Perubahan pertama UUD 1945.
c) Perubahan kedua UUD 1945.
d) Perubahan ketiga UUD 1945.
e) Perubahan keempat UUD 1945.
Berdasarkan uraian dan pendapat di atas, maka perubahan
oleh Panitia Ad Hoc I BP MPR RI dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a) Merujuk pendapat George Jellinek, perubahan merujuk
pada cara Vervasung-saendelung karena perubahan sesuai
UUD
b) Merujuk pendapat C.F. Strong, perubahan mengikuti
model perubahan yang dilakukan lembaga legislatif
berdasarkan ketentuan pasal 37 UUD 1945 3) Merujuk
pendapat K.C. Wheare, perubahan lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor kekuatan yang bersifat primer yaitu keinginan
kuat lembaga politik dan dukungan masyarakat banyak.
Terkait dengan hasil yang berkembang dalam sidang-
sidang komisi konstitusi, perlu dirumuskan keterlibatan rakyat
dalam mengubah konstitusi. Dengan harapan agar konstitusi
dapat diberlakukan dalam jangka waktu relatif lama, maka usul
perubahan hendaknya dikaji oleh sebuah komisi yang khusus
dibentuk untuk keperluan itu.

300 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


BAGIAN PROSEDUR PERUBAHAN KONSTITUSI (Pelibatan
Komisi Konstitusi)

(1) Usul perubahan oleh 1/3 anggota MPR. (2) Setiap usul
peralihan harus melalui pengkajian komprehensif oleh Komisi
Konstitusi yang dibentuk untuk itu. (3) Usul perubahan yang
sudah dikaji diajukan pada rakyat melalui referendum. (4) MPR
mengesahkan hasil referendum.
16) Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan. Dalam ilmu
hukum, aturan peralihan dan aturan tambahan merupakan
suatu keniscayaan guna menghindarkan terjadinya kekosongan
hukum, sekaligus penghubung dari diberlakukannya dua sistem
hukum baru yang kualifikasinya berbeda. Melihat aturan peralihan
dan aturan tambahan pada UUD 1945 pra-amendemen, dapat
dipahami bahwa untuk menggantikan staatsregeling-wet op de
staatsinrichting van Indonesie sebagai produk hukum Belanda
yang berkualifikasi sebagai UUD Hindia Belanda, menjadi UUD
1945 sebagai dasar negara RI, perlu di”wadahi” dalam suatu
aturan.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 301


Dalam Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan UUD
1945 pasca-Amendemen, pada aturan peralihan pasal I dan II
sebaiknya disatukan dalam satu pasal, sedangkan substansi
pasal III seharusnya telah diakomodasikan pada pasal II. Untuk
Aturan Tambahan, kurang tepat apabila substansi, fungsi dan
relevansi pasal I aturan tambahan pembukaan UUD 1945
masuk dalam konstitusi karena MPR yang sekarang masih
menggunakan peraturan perundang-undangan yang lama.
Beranjak dari pendapat tersebut diajukan beberapa
kesimpulan yang dapat di elaborasi lebih lanjut:
a) Fungsi aturan peralihan dan aturan tambahan sebagai
suatu keniscayaan guna menghindari kekosongan hukum
sekaligus penghubung dari kekosongan hukum sekaligus
penghubung dari diberlakukanya dua sistem hukum yang
berbeda.
b) Hakikat aturan peralihan dipahami, karena sistem
hukum yang baru berkualifikasi menggantikan sistem yang
lama.
c) Terkait pernyataan tersebut, jika teknik
amendemensebagai teknik pengubahan konstitusi, maka
pasal-pasal tersebut tetap dan tidak dihapus meski sudah
selesai keberlakuanya, sehingga pasal-pasal tersebut hanya
bersifat historik.
d) Dengan demikian tidak tepat jika pencantuman
peraturan perundang-undangan dan lembaga negara dalam
dua pasal Aturan Peralihan.
e) Pencantuman pasal I aturan tambahan dalam perubahan
UUD 1945 tidak tepat karena substansi yang terumus telah
diakomodasi dalam pasal I aturan peralihan.

302 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


d. Perubahan dan Usul dari Komisi Konstitusi
Komisi Konstitusi yang dibentuk pada tanggal 11 Agustus
2002 telah membuat kajian terhadap hasil amendemen UUD
1945, dan menghasilkan suatu naskah akademik berisi tentang
pendahuluan, kajian teoritis tentang konstitusi, revisi terhadap
amendemen UUD 1945, kesimpulan dan rekomendasi. Komisi
Konstitusi juga membuat buku perbandingan antara bab, pasal
dan ayat UUD 1945 pascaamendemen dengan usulan bab, pasal
dan ayat UUD 1945 dari Komisi Konstitusi. Dari perbandingan
antara UUD 1945 pascaamendemen dan usulan dari Komisi
Konstitusi dapat dilihat perbedaannya antara lain:
1) Isi Pembukaan UUD 1945 baik pascaamendemen
maupun usul Komisi Konstitusi tetap sama/tidak ada
perubahan.
1) BAB I, Bentuk Dan Kedaulatan Negara tetap sama/
tidak ada perubahan.
2) BAB II Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
pasal 2 ayat (1) mengalami perubahan yaitu kata... yang
dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan Undang-undang...”, diusulkan dihapus oleh Komisi
Konstitusi (KK) kemudian pada pasal 2 ayat (3) yang tertulis
“... ditetapkan dengan suara terbanyak…” diusulkan diganti
dengan “... ditetapkan berdasarkan musyawarah untuk
mufakat dan apabila mufakat tidak tercapai, keputusan
ditetapkan dengan suara terbanyak.” Pada pasal 3 ayat (1)
oleh Komisi Konstitusi diusulkan ditambahkan kata-kata “…
melalui referendum,” sedangkan pasal (2) dan (3) tidak ada
perubahan.
4) BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara. Pada pasal
4 ayat (1) kata Presiden Republik Indonesia... diusulkan
diganti kata “Presiden” saja. Pada ayat (2) kata “... melakukan
kewajibannya ...,”diusulkan diganti “... melaksanakan
kewajibannya...,” dan kata “... satu orang wakil...” diganti “
...seorang wakil....” Pada pasal 5 ayat (1) tetap tidak ber-

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 303


ubah sedangkan pada ayat (2) kata-kata “…sebagai mana
mestinya...” dihilangkan, dan kata-kata peraturan pemerintah
diusulkan menggunakan huruf kapital.
Pada pasal 6, ayat (1) kata-kata “Calon” dihapus,
kemudian kata “....harus seorang... “ diganti dengan “...
ialah...” sedangkan kata-kata “...tidak pernah mengkhianati
Negara serta mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden
dan Wakil Presiden” diusulkan dihapus. Ayat (2) tidak ada
perubahan.
Pada pasal 6A ayat (1) dan (5) tidak ada perubahan, pada
ayat (2) kata-kata “... Peserta Pemilihan Umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum” diusulkan diubah menjadi
“... maupun calon independen sebelum pemilihan umum
Presiden.”
Pada ayat (3) diganti seluruhnya dengan “Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara
terbanyak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”
Ayat (4) diusulkan dihapus semuanya.
Pasal 7 dan pasal 7A tidak ada usul perubahan. Pada
pasal 7B ayat (1), ayat (3), (4) dan (5) isinya tidak berubah
hanya penomorannya menjadi ayat(2), (3), dan (4) Ayat (2)
diusulkan dihapus sedangkan pada ayat (6) kata-kata “
wajib di usulkan dihapus dan nomornya berganti (5) dan
pada ayat (1) kata-kata “atas usul” diubah menjadi “untuk”
sedangkan angka ¾ diubah menjadi 4/5 dan angka 2/3
diubah menjadi ¾ serta penomorannya diubah menjadi ayat
(6).
Pasal 7C tidak ada perubahan.
Pada pasal 8 ayat (1) kata…”sampai habis”…diubah
menjadi … “sampai akhir” … Pasal 8 ayat (2) diusulkan
untuk dihapus semuanya. Pasal 8 ayat (3) kata-kata Menteri
Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan
diubah menjadi “Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri,

304 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dan Menteri Pertahanan, sedangkan kalimat yang berbunyi
“Selambat-lambatnya…” diusulkan untuk dihapus semua,
dan penomorannya diganti menjadi ayat (2) Kemudian
diusulkan penambahan ayat (3) yang baru, yaitu “Selambat-
lambatnya tiga bulan setelah itu dilakukan pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden”
Pasal 9 ayat (1) mengenai Sumpah Presiden dan Wakil
Presiden, isi sumpah Presiden dan Wakil Presiden tidak
berubah, hanya kata-kata “Sebelum memangku jabatannya,
Presiden dan Wakil Presiden” diubah menjadi “Memangku
jabatannya Presiden dan atau Wakil Presiden”, lalu kata-
kata “ ….. di hadapan Majelis” diganti dengan “…. di depan
kata “….atau Dewan Perwakilan Rakyat …” diganti dengan
“….disaksikan Ketua Mahkamah Agung ….”
Pasal 9 ayat (2) diusulkan dihapus.
Pasal 10 dan pasal 11 tidak ada perubahan.
Pasal 12 kata-kata “Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ...” diganti syarat dan akibatnya...”
Pasal 16 diubah menjadi “Presiden dapat membentuk
suatu Dewan Keamanan Nasional yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden
mengenai keamanan”.
Pada pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) tidak ada
perubahan, sedangkan ayat (3) pada kata-kata “...dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”,
diusulkan dihapus.
Pada pasal 14 ayat (1) dan (2) diusulkan dihapus dan
diganti dengan “Presiden memberi Grasi dan Amnesti, Abolisi
dan Rehabilitasi yang diatur dengan Undang-undang.”

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 305


Pasal 15 tidak ada usul perubahan.
Pasal 16 diubah menjadi “Presiden dapat membentuk
suatu Dewan Keamanan Nasional yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden
mengenai keamanan Negara”.
5) BAB IV Dewan Pertimbangan Agung tidak ada usul
perubahan.
6) BAB V Kementerian Negara. Pasal 17 ayat (1) tidak ada
perubahan, pada ayat (2) kata “itu” diusulkan dihilangkan. Pada
ayat (3) katakata “…membidangi urusan…,” diganti dengan
“…memimpin bidang-bidang...” dan pada ayat (4) kata-kata
“...pengubahan dan pembubaran...” diganti dengan kata “...
dengan…”
7) BAB VI Pemerintahan Daerah. Pada pasal 18 isi ayat (3),
dan ayat (6) serta (7) tidak ada perubahan hanya ayat (6) dan
(7) penomorannya diganti ayat (5) dan (6). Ayat (5) diusulkan
dihapus.
Pada pasal 18 ayat (1) diubah menjadi “Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas daerah Provinsi dan sebagian
daerah Provinsi terdiri atas Kabupaten dan atau kota yang
mempunyai pemerintahan sampai yang terkecil.” Ayat (2) kata-
kata “daerah Kabupaten dan Kota” diubah menjadi “... kabupaten
dan/atau kota …,” sedangkan kata “…otonomi… “ diubah menjadi
“…desentralisasi, dekonsentrasi…,” kemudian pada ayat (4)
kata-kata “...Kepala Pemerintah...” diubah menjadi “…Kepala
Pemerintahan…” dan kata-kata “…secara demokratis”, diubah
menjadi “…secara langsung oleh rakyat”.
Pasal 18A ayat (1) kata-kata “…Pusat dan Pemerintahan...”
diubah menjadi “…Pusat dengan Pemerintahan...”, sedangkan
kata-kata “… Kabupaten dan Kota...” diganti dengan”...Kabupaten
dan/atau Kota...”Pasal 18 ayat (2) tidak ada usul perubahan.
Pasal 18B ayat (1) dan (2) tidak ada usul perubahan.

306 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


8) BAB VII Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 19 ayat (1) tidak
ada usul perubahan, sedangkan isi ayat (2) dan ayat (3) tidak
berubah hanya penomorannya ditukar menjadi ayat (3) dan (2).
Pasal 20 ayat (1) tidak ada usul perubahan, ayat (2) dan ayat
(5) dihapus. Pada ayat (3) kata “...itu...” yang pertama dihapus,
sedangkan kata “...itu...” kedua diganti “...tersebut...”, kata “...
bersama,” diganti “...Dewan Perwakilan Rakyat” dan kata “...
boleh...” diganti “...dapat...” Pada ayat (4) kata-kata…bersama
untuk menjadi Undang-undang” diganti “...oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.” Kemudian ada tambahan ayat baru sebagai pengganti
ayat 2 yang dihapus, yaitu ayat (2) “Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat berhak mengajukan usul rancangan Undang-undang yang
telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan Undang-
undang yang mendapat pengesahan Presiden dikembalikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas kembali,” dan
Ayat (7) Presiden mengesahkan rancangan Undang-undang
yang telah dibahas kembali oleh Dewan Perwakilan
Rakyat apabila mendapat persetujuan 2/3 dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir.
Pasal 20Aayat (1) dan ayat (4) tidak ada usul perubahan, pada
ayat (2) diubah menjadi “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak angket dan hak menyatakan pendapat.” Demikian pula pada
ayat (3) diusulkan “Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
pendapat serta hak imunitas.”
Pasal 21 diusulkan dihapus, pasal 22 ayat (1) dan ayat
(3) tidak berubah, sedangakan ayat (2) kata-kata “… dalam
persidangan yang berikut,” diganti dengan “…pada persidangan
pertama setelah ditetapkan peraturan itu.” Selanjutnya diusulkan
tambahan ayat (4), yaitu, “Pencabutan Peraturan Pemerintah itu
dilakukan dengan Undang-undang”
Pasal 22A dan pasal 22B tidak ada usul perubahan.
9) BAB VIIA Dewan Perwakilan Daerah. Pasal 22C ayat (1)
tidak ada usul perubahan, pada ayat (3) dan (4) nomornya berubah

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 307


menjadi ayat (4) dan (5) sementara isinya tetap, sedangkan ayat
(2) diusulkan menjadi “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari
setiap provinsi jumlahnya sama,” dan ada usulan tambahan
ayat, yaitu pada ayat (3), “…jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 22D ayat (1), ayat (3) dan (4) tidak ada usul perubahan,
sedangkan pada ayat (2) kata-kata “...ikut membahas...,”
diusulkan menjadi “…ikut menyetujui dan/atau menolak…”
10) BAB VII B Pemilihan Umum. Pasal 22 E ayat (1) s.d. ayat
(6) tidak ada usul perubahan.
11) BAB VIII Hal Keuangan. Pasal 23 ayat (1) s.d. (3) tidak
ada usul perubahan demikian juga pasal 23A tidak ada usul
perubahan
Pasal 23B diusulkan menjadi 2 (dua) ayat, yaitu ayat “Mata
uang Negara Republik Indonesia adalah rupiah,” dan ayat (2)
“Macam dan pecahan mata uang ditetapkan dengan Undang-
undang.”
Pasal 23C diusulkan diubah menjadi “Hal keuangan
selanjutnya diatur dengan Undang-undang.”
Pasal 23 D tidak ada usul perubahan.
12) BAB VIII A Badan Pemeriksaan Keuangan. Pasal 23 E,
pasal 23 F dan 23 G tidak ada usul perubahan.
13) BAB IX Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 ayat (1) dan (3)
tidak ada usul perubahan, sedangkan pada ayat (2) kata-kata
“...oleh sebuah Mahkamah Konstitusi,” diusulkan menjadi “…
Lingkungan Peradilan lainnya.”
Pasal 24A ayat (1) pada kata-kata “...dan mempunyai
wewenang...,”diusulkan menjadi“… dan melaksanakan
wewenang,” sementara ayat (2) s.d. (5) tak ada usul perubahan.
Pada pasal 24C ayat (1) pada akhir kalimatnya diusulkan
masih ditambahkan kata-kata “…dan memutus pengaduan
pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara” Pada ayat (2)

308 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


kata kata “…wajib…” diusulkan dihapus, sedangkan pada ayat (3)
diusulkan penambahan kata “…sekurang kurangnya sembilan…”
pada kata”sembilan,” dan mengganti semua kata-kata “…tiga
orang…” menjadi “…sepertiga….” Ayat (4) dan (5) serta (6) tidak
ada usul perubahan.
Pada pasal 25 diusulkan mengganti kata “…menjadi…,”
berubah “…pengangkatan...” dan “…diperhentikan...” menjadi
“...Pemberhentian…” dan “...ditetapkan.” menjadi “…diatur….”
Diusulkan ada tambahan pasal 25A yang baru yang isinya:
a) Kejaksaan merupakan Lembaga penegak hukum yang
melakukan penuntutan atas perkara pidana, bertindak
sebagai Pengacara Negara dan dapat melakukan
penyidikan dalam perkara tertentu menurut Undang-
undang.
b) Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
3) Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Kejaksaan diatur
dengan Undang-undang.
14) BAB IXA Wilayah Negara. Pasal 26 diusulkan diganti
menjadi 2 (dua) ayat, yaitu:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
Negara kepulauan yang berciri nusantara yang wilayah
kedaulatannya meliputi kesatuan antara darat, laut, termasuk
dasar laut dan tanah di bawahnya, udara di atasnya serta
seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya.
(2) Batas-batas wilayah kedaulatan Indonesia di darat,
di laut, di udara, dan hak berdaulat serta kewenangan
Indonesia di laut dan di udara ditetapkan lebih lanjut dengan
Undang-undang.
15) BAB X Warga Negara Dan Penduduk. Pasal 26 ayat (1),
kata “Yang menjadi…” diusulkan untuk dihapus sedangkan ayat
(2) dan (3) tidak diubah lagi.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 309


Pasal 27 ayat (1) kata-kata “Segala warga negara…,” diusulkan
diubah, menjadi “Setiap warga negara…” Demikian juga pada
ayat (2), kata-kata, “Tiap-tiap warga negara…” diubah menjadi
“Setiap warga negara…” dan ayat (3) diusulkan untuk dihapus.
Pasal 28 diusulkan tetap tidak berubah.
16) BAB XA Hak Asasi Manusia. Pasal 28A diusulkan diubah
menjadi 2 (dua) ayat, yaitu, yang telah ada menjadi ayat (1),
dengan tambahan ayat (2) yaitu “Ketentuan lebih lanjut mengenai
perlindungan pengembangan hak-hak asasi dan kebebasan
dasar manusia diatur dengan Undang-undang “
Pasal 28B dan pasal 28 C diusulkan tetap/tidak berubah.
Pasal 28D, ayat (1) diusulkan tetap, sedangkan ayat (2) dan
(3) dihapus, dan ayat (4) menjadi ayat (2) dengan perubahan
menjadi “Setiap orang berhak memilih kewarganegaraan dan
berhak atas status kewarganegaraan.”
Pasal 28E ayat (1) dan (3) dihapus sedangkan isi dari ayat
(2) tetap hanya nomor ayatnya hilang. Pasal 28F diusulkan tetap,
sedangkan pasal 28G ayat (1) diusulkan tetap, dan ayat (2) kata-
kata “… penyiksaan...” diusulkan diubah menjadi “... penyiksaan,
perbudakan...” dan kata “…memperoleh suaka…” diubah
menjadi “….meminta suaka…” Pasal 28H ayat (4) diusulkan
isinya tetap, tetapi nomor ayat berubah jadi (2), ayat (2) dan (3)
diusulkan dihapus dan ayat (1) diusulkan menjadi “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya
serta berhak untuk kembali, berhak mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.”
Pasal 28I ayat (1), ayat (4) dan (5) diusulkan dihapus,
sedangkan ayat (2) dan (3) diusulkan tetap tetapi berubah
menjadi ayat (1) dan (2). Pasal 28J ayat (1) dan (2) diusulkan
tetap, ditambahkan ayat (3) yang isinya “Perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
dijamin pelaksanaannya dan menjadi tanggung jawab Negara,

310 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


terutama pemerintah dan diatur dalam Undang-undang.”
17) BAB XI Agama. Pasal 9. Tidak berubah.
18) BAB XII Pertahanan Dan Keamanan Negara. Pasal
30 ayat (1) kata-kata “....usaha pertahanan dan keamanan
negara,” diusulkan diubah menjadi “...usaha pembelaan negara,”
sedangkan ayat (2) diusulkan diubah menjadi “Usaha pertahanan
negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan semesta.”
Ayat (3) kata “…Keutuhan...”, diusulkan menjadi “…keutuhan
wilayah...” Pada ayat (4) pada kata “…masyarakat...” diusulkan
menjadi “… umum...,”dan di akhi kalimat ditambah kata-kata “…
sesuai dengan Kewarganegaraannya”
Pada ayat (5) diusulkan berubah seluruhnya menjadi “Susunan
dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, hubungan tugas antara Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia, syarat-
syarat keikutsertaan warga negara dalam pembelaan negara,
dan sistem pertahanan semesta, diatur dengan Undang-undang.
19) BAB XIII Pendidikan Dan Kebudayaan. Pasal 31 ayat (1)
dan (4) tidak ada usulan perubahan, sedangkan pada ayat (2),
(3) dan (5) semua kata “Pemerintah” diusulkan diganti dengan
“Negara.” Pasal 32 ayat (1) kata-kata “...ditengah peradaban
dunia…,” diusulkan diganti menjadi “...dan...” sedangkan ayat (2)
diusulkan tetap.
20) BAB XIV Perekonomian Dan Kesejahteraan Sosial. Pasal
33 ayat (1) di akhir kalimat diusulkan ditambahkan dengan kata-
kata “...untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pada ayat
(2) kata “… dikuasai...” diganti menjadi “...diatur...” Isi ayat (5)
diusulkan dihapus, kemudian ayat (3) dan (4) diubah menjadi:
(1) Seluruh kekayaan alam dan lingkungan yang terkandung
dalam wilayah kedaulatan, hak-hak kedaulatan dan kewenangan
Indonesia baik di darat, di laut, termasuk dasar laut dan tanah di
bawahnya serta udara di atasnya dikuasai dan diatur oleh negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 311


(2) Perekonomian diselenggarakan berdasarkan asas
demokrasi ekonomi.
Usul menambah ayat (5) yaitu:
Negara memajukan dan memberdayakan semua pelaku
ekonomi secara seimbang dan berkelanjutan.
Pasal 34 ayat (1) diusulkan diubah menjadi “Negara
bertanggung jawab atas fakir miskin, orang cacat dan anak
terlantar”, sedangkan ayat (2) diusulkan tetap, dan ayat (3)
diusulkan diubah menjadi “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas sosial, pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum lainnya”.
21) BAB XV Bendera, Bahas Dan Lambang Negara Serta
Lagu Kebangsaan. Judul Bab XV kata “Serta “ diusulkan
diganti. Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal
36C diusulkan tetap/tidak berubah.
22) BAB XVI Perubahan Undang-Undang Dasar. Pasal 37 ayat
(1) dan ayat (2) diusulkan tetap, sedangkan ayat(3) pada angka
“2/3”, diusulkan menjadi “4/5”, dan nomornya diganti menjadi
ayat (4), sementara ayat (4) kata-kata “....lima puluh persen
ditambah satu anggota....,” diusulkan menjadi “3/4”, dan menjadi
ayat (5). Ayat (5) diusulkan diubah menjadi ayat (8), dengan
isinya diubah menjadi “Khusus mengenai Pembukaan, bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sistem pemerintahan
presidensial tidak dapat dilakukan perubahan.” Kemudian
diusulkan penambahan tiga ayat baru yaitu:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat menyerahkan
usul perubahan tersebut kepada Komisi Konstitusi untuk
dilakukan pengkajian komprehensif
(2) Usul perubahan yang telah mendapatkan persetujuan
MPR diserahkan kepada rakyat untuk diputuskan melalui
referendum.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat mengesahkan hasil
referendum tentang perubahan Undang-undang dasar.

312 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


23) Aturan Peralihan. Pasal 1 urutan pasalnya diusulkan dihapus
dan pada kata-kata “…perundang-undangan...” diusulkan
menjadi “...badan Negara…,” sedangkan pasal II dan II diusulkan
untuk dihapus.
24) Aturan Tambahan. Pasal 1 diusulkan dihapus, sedangkan
pasal II isinya tetap tapi urutan pasalnya dihapus.
e. Masukan Lain
Dengan telah dilakukannya amendemen sebanyak 4
(empat) kali terhadap UUD 1945, ternyata masih ada masalah
pokok yang belum ditransformasikan dari nilai dasar yang ada
pada Pembukaan ke dalam pasal-pasal antara lain:
1) Arti Bangsa Indonesia dan Tumpah Darah Indonesia.
Di dalam alinea IV terdapat kata-kata “…yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia…” Istilah “Bangsa Indonesia”
ditransformasikan ke dalam pasal-pasal UUD1945 pra-
amendemenhanya dengan warga negara, dan setelah
amendemen menjadi warga negara dan penduduk. Kalau
bangsa Indonesia hanya diartikan warga Negara dan
penduduk, bagaimana nasib ±30 s.d. 40 ribu warga keturunan
Sangir Talaud di Mindanao? (Filipina Selatan) mereka
dianggap warga negara kelas dua di sana, padahal sejak
sebelum kemerdekaan Indonesia mereka sudah bertempat
tinggal dan berkembang di sana. Dibandingkan dengan
RRC yang menyatakan smua warga China perantauan
(Chinese Overseas) adalah bangsa China, demikian juga
Jepang tetap menganggap mantan Presiden Peru Fujimori
sebagai warga negara Jepang, walaupun kakek buyutnya
sudah lama bertempat tinggal di Peru, Sebagian dari warga
Suriname berasal dari Jawa, dan mereka tetap memelihara
bahasa Jawa sebagai bahasa mereka, dan menjadikan
bahasa Jawa sebagai bahasa nasional kedua disana.
Bagaimana sikap kita kalau suatu waktu warga keturunan
Jawa ini mengalami nasib seperti warga keturunan Sangir

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 313


Talaud di Mindanao (Filipina Selatan)? Arti tumpah darah
hanya ditransformasikan kedalam wilayah pada Bab IXA
tentang Wilayah Negara. Arti tumpah darah masih lebih luas
dari wilayah Negara, karena kapal perang RI yang berada
di luar wilayah negara adalah tumpah darah Indonesia. Dan
bagaimana dengan halaman kedutaan Indonesia di luar
negeri? apakah itu tumpah darah atau tidak.
2) Salah satu visi bangsa Indonesia yang tertuang
dalam Pembukaan Undang-undang dasar adalah “...
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”
sebagai visi bangsa, maka ikut melaksanakan ketertiban
dunia harus dimunculkan dalam pasal-pasal. Visi
akan menjadi dasar bagi kepentingan dan dalam teori
kepentingan negara dikenal: (1) Kepentingan Vital (2)
Kepentingan Mayor dan (3) Kepentingan Periphere.
Kepentingan Vital adalah: Kepentingan untuk survival,
eksistensi kelangsungan hidup bangsa dan negara, tampilan
dari Keamanan Nasional, sedangkan maknanya adalah suatu
tingkat merdeka yang dapat diterima yang mencakup urutan (1)
Kedaulatan Negara
Integritas Nasional (3) Institusi dan kelembagaan negara (4)
harkat, martabat dan cara hidup bangsa.
Kepentingan Mayor adalah kepentingan untuk Promotion
of values, Perkembangan kehi-dupan, merupakan tampilan dari
kesejahteraan nasional, dengan makna suatu tingkat kesen-
jangan yang dapat diterima yang bermuatan pertumbuhan,
pemerataan, keadilan, kemakmuran.
Kepentingan Periphere adalah kepentingan dalam berebut
posisi, peranan dan daya saing bangsa dan negara dalam
hubungan antarbangsa dan negara di dunia, tampilan dan harkat
martabat dan cara hidup bangsa. Dengan makna suatu tingkat
martabat bangsa yang dapat diterima yang bermuatan daya
saing dalam semua aspek kedudukan bangsa. Kepentingan

314 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


dalam ikut melaksanakan ketertiban dunia adalah kepentingan
dalam berebut posisi, peranan dan daya saing bangsa di tengah
pergaulan dunia. Kepentingan nasional ini hanya diterjemahkan
dalam Bab III UUD 1945 tentang Kekuasaan Negara dan dalam
pasal-pasal tentang Kekuasaan Presiden yang muncul dalam
pasal 13 dengan isi “Presiden mengangkat duta atau konsul”
dan tidak ada lagi pasal lain yang menyatakan tentang politik
diplomasi pemerintahan negara.
Kemampuan diplomasi merupakan salah satu kekuatan
Negara untuk tetap eksis disamping kekuatan ekonomi dan
militer di era monarki di abad ke-17 dan 18 di Eropa. Kepentingan
nasional ini belum dinyatakan secara eksplisit dalam Batang
Tubuh UUD 1945 praamendemen dan dalam pasal-pasal UUD
1945 pasca-amendemen.
f. Alternatif Solusi untuk Merespon Kontroversi Amendemen
UUD.
Setelah Amendemen UUD NRI 1945, berkembang wacana
yang berkeinginan untuk kembali ke UUD NRI 1945 yang asli,
namun ada juga kelompok masyarakat yang ingin mengadakan
amendemen selanjutnya untuk menyempurnakan Konstitusi
yang berlaku. Perlu dicermati yang tercantum dalam Pasal 37,
UUD hasil amendemen telah tersurat, bahwa untuk mengadakan
amendemen berikutnya harus melalui jalan panjang dan berliku,
bahkan hampir tidak mungkin diadakan amendemen UUD
berikutnya.
Sebenarnya, telah tertuang kesepakatan antara lain, Per
tama, amendemen yang dilaksanakan dengan cara adendum.
Artinya, semua unsur dan kaidah yang tercantum pada UUD
NRI 1945 yang asli, dan hasil amendemen berikutnya harus
selalu dipedomani dan masih menjadi rujukan. Kedua, sistem
presidensial masih dipertahankan dan seharusnya dikem
bangkan penguatannya. Terbitnya Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011, tentang Pembuatan Peraturan dan Perundang-
undangan, Pasal 2 dan Pasal 3 dengan tegas mengatur bahwa

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 315


Pancasila dan UUD NRI 1945, sebagai dasar negara dan sumber
dari segala sumber hukum.
Mengalir dari pemikiran tersebut, seharusnya Legislatif,
Senator dan Pemerintah segera menerbitkan Undang-undang
untuk menjabarkan Pasal-pasal UUD NRI 1945 setelah
amendemen. Sekurang kurangnya, mendesak untuk menerbitkan
Undang-undang sebanyak 42 (empat puluh dua) Undang-undang.
Setiap Pasal-pasal yang mencantumkan kata-kata,...” untuk
pengaturan selanjutnya akan diatur dalam Undang-undang...”
Penerbitan Undang-undang yang sangat mendesak
tersebut, selanjutnya untuk meluruskan kembali beberapa Pasal-
pasal yang multitafsir dan cenderung belum sesuai dengan
jiwa dan semangat yang tercantum dalam Pembukaan UUD
NRI 1945. Semua Peraturan dan Perundang-undangan yang
akan diterbitkan seharusnya selalu dilakukan kritik, dengan
menggunakan “acuan kritik” nilai nilai Pancasila untuk menjaga
Kepentingan Nasional Indonesia.
Sehingga, semua perbedaan pendapat dalam mengelola
Negara akan berkembang dalam Sistem Nasional yang
berdasarkan Landasan Pemikiran Pancasila sebagai landasan
idiil, UUD NRI 1945 sebagai landasan Konstitusionil, dan
Geopolitik Indonesia Wawasan Nusantara sebagai Landasan
Visionil serta Geostrategi Indonesia sebagai landasan Konsep
sional. Lemhannas RI, mengembangkan cara berpikir yang
komprehensif dan integral dengan landasan Paradigma Nasional
seperti yang terurai di atas untuk mengelola Negara dan
menyelesaikan segala permasalahan Bangsa.
g. Perbandingan UUD 1945 yang asli dengan UUD NRI
Menurut Prof. Abdul Kadir Besar, S.I.P. (terlampir)

316 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


4 PENUTUP
Ideologi adalah setiap struktur kejiwaan yang tersusun oleh
seperangkat keyakinan mengenai penyelenggaraan kehidupan
masyarakat beserta pengorganisasiannya, seperangkat keyakinan
mengenai sifat hakikat manusia dan alam semesat dimana ia hidup
di dalamnya; suatu pendirian bahwa kedua perangkat keyakinan
tersebut interdependen; dan suatu dambaan agar keyakinan-
keyakinan termaksud dihayati, dan pernyataan pendirian itu diakui
sebagai kebenaran oleh segenap orang yang menjadi anggota penuh
dari kelompok sosial yang bersangkutan (Patrick Corbett, 1970: 14).
Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD1945
berkualifikasi sebagai dasar negara. Sejak diselenggarakannya
Rapat Besar pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), apa yang kini kita kenal dengan
nama Pancasila, memang sadar diniatkan oleh para pendiri-negara
kita untuk dijadikan dasar dari Negara Indonesia Merdeka yang pada
waktu itu hendak didirikan.
Dalam rangka mendirikan suatu negara, politik yang pertama
kali dilakukan oleh tiap bangsa adalah mentransformasi serba
konsep yang terkandung di dalam ideologi yang dianutnya yang
masih bersifat umum-universal itu ke dalam pengertian (in terms of)
kehidupan kenegaraan beserta penyelenggaraannya, dan dituangkan
dalam konstitusi negara (Undang-undang dasar).
Seluruh sistem Tata Negara yang didesain dan kemudian
dituangkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia,
berpangkal tolak dari paham: “yang berdaulat adalah seluruh rakyat,
bukan individu (Pidato Ir. Sukarno dalam Rapat Besar BPUPKI,
tanggal 15 Juli 1945). Berbeda dengan paham kebanyakan bangsa
Barat yang menganut bahwa yang berdaulat adalah individu yang
terlahir dari semangat Renaisance abad XVII.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 317


Berkenaan dengan itu, kedaulatan seluruh rakyat dalam
keadaan seutuhnya, oleh para pendiri negara Republik Indonesia
diembankan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam bentuk
tiga kekuasaan yang memang mempersyaratkan legitimasi kehendak
seluruh rakyat; tidak cukup hanya dengan kehendak mayoritas rakyat.
Tiga kekuasaan tersebut adalah sebagai berikut.
Menetapkan dan mengubah Undang-undang Dasar (Pasal 3
dan Pasal 37 UUD).
Menetapkan kehendak seluruh rakyat yang dikemas sebagai
GBHN (Pasal 3 UUD), dan
Memilih Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 6 Ayat (2)].
Seperti ditunjukkan oleh Sistematik UUD, setiap pasalnya secara
vertikal berkaitan dengan sebuah atau beberapa Pokok Pikiran,
sedangkan Empat Pokok Pikiran itu tidak lain adalah Pancasila itu
sendiri yang diproyeksikan secara khusus pada kehidupan negara
beserta penyelenggaraannya melalui fungsi negara yang bertautan.
Kaitan vertikal antara pasal, Pokok Pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila merupakan rambu-
rambu amendemen. Artinya, tiap amendemen suatu pasal harus
diperhitungkan apakah amendemen termaksud sesuai atau
bertentangan dengan, atau mereduksi, atau mengabaikan Pokok
Pikiran tertentu atau tidak.

318 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


DAFTAR PUSTAKA
“Aktualisasi Pancasila dalam Perspektif Filosofis
Humaniter.” Makalah dalam Simposium Kewaspadaan dan Ketahanan
Nasional, Bandung, 2 Mei 2005.
---------. 1999. Rancangan GBHN 1999--2004. Jakarta:
Universitas Pancasila Press.
Bahar, Syafrudin, et al.,1995. Risalah Sidang: BPUPKI dan PPKI
28 Mei – 22 Agustus 1945, eds, Sekretariat Negara RI, Jakarta.
Benge, Eugene J. Pokok-Pokok Manajemen M o d e r n .
Eatwell, Roger and Anthony Wright. Ideologi-Ideologi Politik
Kontemporer.
Brigjen TNI (Pur) Prof. DR. ASS Tambunan SH, UUD 1945 sudah
diganti menjadi UUD 2002 tanpa mandat khusus rakyat. (Penerbit
Yayasan Kepada Bangsaku)
Budi Hardiman, Fransisco. 1990. Kritik dan Ideologi, Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Drs. Yakob Tobing MPA, Hasil-hasil Amendemen (Naskah bahan
ajaran untuk KRA XXXVII Lemhanas RI, 6 April 2004 ).
Kristiyanto, Eddy (ed.). 2001. Etika Politik dalam Konteks
Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Latif, Yudi. 2015. Revolusi Pancasila. Jakarta: Mizan.
Mangunwijaya, YB. 1983. Teknologi dan Dampak
Kebudayaannya (Volume I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Naisbitt. John. 1984. Megatrends: Ten New Directions
Transforming Our Lives. New York: Warner Books.
Naskah Akademik Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 usulan Komisi Konstitusi (tahun 2004) oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 319


Perbandingan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 hasil perubahan dan usul Komisi Konstitusi. (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia)
Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Filsafat Pancasila: Sebuah
Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta: PT Gramedia.
Poespowardojo, Soerjanto. 1990. Pancasila Sebagai Ideologi
dari Segi Pandangan Hidup Bersama. Jakarta: BP-7 Pusat.
Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Kebijaksanaan Kebudayaan
Nasional dalam Strategi Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
PTSA XXI Lemhanas RI 2017, Pancasila di Era Globalisasi
Mengelola Tantangan Mewujudkan Kemenangan, Jakarta : t.p.
Sekretariat Jenderal MPR RI (2002) dan Setkab RI (2004).
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Soekarno. 1959. Di Bawah Bendera Revolusi I dan II. Jakarta.
Sekretariat Jenderal MPR RI (2002) dan Setkab RI (2004).
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sekretariat Negara.1995. Risalah Sidang Badan Penyelidikan
Usaha usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ).
Soekarno. 1959. Di Bawah Bendera Revolusi I dan II. Jakarta.
Tim Penyusun Universitas Pancasila. Pendidikan Pancasila
Dasar Negara. Jakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila,
1998.
Yamin, Muh.1960. Naskah Persiapan UUD 1945. Jilid I. Jakarta:
Yayasan Prapanca.

320 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945


LAMPIRAN-LAMPIRAN

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 321


322 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945

Anda mungkin juga menyukai