Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Teknik perawatan luka (wound dressing) saat ini berkembang pesat dan

dapat membantu perawat dan pasien untuk menyembuhkan luka kronis.

Prinsip lama yang menyebutkan penanganan luka harus dalam keadaan

kering, ternyata dapat menghambat penyembuhan luka, karena menghambat

proliferasi sel dan kolagen, tetapi luka yang terlalu basah juga akan

menyebabkan maserasi kulit sekitar luka. Memahami konsep penyembuhan

luka lembab, pemilihan bahan balutan, dan prinsip-prinsip intervensi luka

yang optimal merupakan konsep kunci untuk mendukung proses

penyembuhan luka. Perawatan luka menggunakan prinsip kelembapan

seimbang (moisture balance) dikenal sebagai metode modern dressing dan

memakai alat ganti balut yang lebih modern (Ronald, 2015).

Teknik perawatan luka saat ini sudah mengalami perkembangan yang

sangat pesat, dimana perawat luka sudah menggunakan modern dressing.

Produk perawatan luka modern memberikan kontribusi yang sangat besar

untuk perbaikan pengelolaan perawatan luka khususnya pada luka kronis

seperti luka diabetes. Prinsip dari produk perawatan luka modern adalah

menjaga kehangatan dan kelembaban lingkungan sekitar luka untuk

1
meningkatkan penyembuhan luka dan mempertahankan kehilangan cairan

jaringan dan kematian sel (De Laune, 1998 dalam Peter Sheehan, 2003).

Pada awalnya para ahli berpendapat bahwa penyembuhan luka akan

sangat baik bila luka dibiarkan tetap kering. Mereka berpikir bahwa infeksi

bakteri dapat dicegah apabila seluruh cairan yang keluar dari luka terserap

oleh pembalutnya. Akibatnya sebagian besar luka dibalut oleh bahan kapas

pada kondisi kering. Penelitian yang dilakukan Winter (1962) tentang

keadaan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka menjadi dasar

diketahuinya konsep Moist Wound Healing (Morrison, 2004).

Moist Wound Healing adalah metode untuk mempertahankan kelembaban

luka dengan menggunakan balutan penahan kelembaban, sehingga

penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami.

Munculnya konsep Moist Wound Healing disertai dengan teknologi yang

mendukung, hal tersebut menjadi dasar munculnya pembalut luka modern

(Mutiara, 2009).

Penggunaan dan pemilihan produk-produk perawatan luka yang kurang

sesuai akan menyebabkan proses inflamasi yang memanjang dan kurangnya

suplai oksigen di tempat luka. Hal-hal tersebut akan memperpanjang waktu

penyembuhan luka. Luka yang lama sembuh disertai dengan penurunan daya

tahan tubuh pasien membuat luka semakin rentan untuk terpajan

mikroorganisme yang menyebabkan infeksi (Morrison, 2004).

2
Balutan modern (hidrogel) dapat mengendalikan infeksi lebih baik

dibanding balutan kasa, pada balutan modern dilaporkan rata-rata infeksi luka

adalah 2,6% sedangkan pada balutan kasa 7,1%. Penderita dengan luka kaki

diabetes membutuhkan perawatan jangka panjang sampai sembuh kembali.

Perawatan pasien dengan luka kaki diabetes akan menunjukkan penutupan

luas area luka pada 4 minggu pertama dan sembuh total pada 12 minggu

(Peter Sheehan, 2003).

Dari hasil penelitian balutan lembab, peneliti pertama kali dilakukan oleh

Winter (1962) dalam Peter Sheehan (2003) berpendapat bahwa luka yang

ditutup dengan balutan lembab mempunyai laju epitelisasi dua kali lebih

cepat dari pada luka yang dibiarkan kering. Rowel (1970) dalam Peter

Sheehan (2003) menguatkan bahwa lingkungan lembab meningkatkan

migrasi sel epitel ke pusat luka sehingga luka lebih cepat sembuh. Bahkan

Thomson (2000) mengambil kesimpulan bahwa tingkat kejadian infeksi pada

semua jenis balutan lembab sebesar 2,5%, sedangkan balutan kering memiliki

tingkat kejadian infeksi 9% (Peter Sheehan, 2003).

Parameter pelayanan keperawatan yang berkualitas di rumah sakit salah

satunya adalah terkendalinya infeksi nosokomial. Pengendalian infeksi

nosokomial menjadi demikian penting karena semakin canggihnya peralatan

– peralatan rumah sakit, namun disisi yang lain semua upaya pemeriksaan

cenderung dilakukan dengan prosedur invasif. Perawat profesional yang

bertugas di rumah sakit semakin diakui eksistensinya dalam setiap tatanan

pelayanan kesehatan, sehingga dalam memberikan pelayanan secara

3
interdependen tidak terlepas dari kepatuhan perawat dalam setiap prosedural

yang bersifat invasif dan non invasif tersebut seperti halnya perawatan luka

operasi (Setiyawati & Supratman, 2008).

Perawatan luka yang tidak tepat dapat membuat penderitaan pasien akan

berkepanjangan dan tidak nyaman. Selama ini beberapa dokter atau perawat

menggunakan cara perawatan luka konvensional. Cara itu biasanya

memerlukan kasa sebagai balutan dan cairan natrium klorida untuk

membasahi agar tercipta suasana lembab. Perawatan luka konvensional

memerlukan penggantian kasa yang sering karena luka harus sering

dikompres dan diganti sebelum kasa mengering. Bahkan tak jarang

penggantian kasa menimbulkan trauma pada luka yang baru sembuh dan

bahkan rasa sakit pada pasien (Adisaputra, 2015).

Perawatan luka dengan menggunakan prinsip moisture balance ini

dikenal sebagai metode modern dressing dengan memakai dressing yang

lebih modern. Metode ini belum banyak dikenal dalam dunia medis di

Indonesia. Asia Pacific Wound Care Congress (APWCC) mencatat bahwa

hingga tahun 2012, di Indonesia setidaknya baru ada 25 rumah sakit,

khususnya di Pulau Jawa yang telah menerapkan manajemen perawatan luka

modern (Adisaputra, 2015).

Dengan jumlah 25 rumah sakit tentu saja sangat kecil karena hanya

mewakili sekitar 2,4% dari total 1.012 rumah sakit di Indonesia. Itu sebabnya,

pihak APWCC yang merupakan aktivitas para tim medis tergerak untuk terus

4
menginformasikan metode perawatan luka ke seluruh wilayah Asia Pasifik

hingga metode modern ini menjadi standar (Adisaputra,2015).

Beberapa penelitian berkaitan dengan perawatan luka. Menurut fitri

yulianti (2015) perawat perlu memperbarui wawasan keilmuannya. Termasuk

pada perawatan luka (wound care) yang mungkin belum banyak masyarakat

mengetahuinya. Sampai sekarang ini perawat luka yang berkompeten tercatat

4.000 orang di Indonesia.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Rohmayanti (2012) dengan judul

“Implementasi Perawatan Luka Modern Di RS Harapan Magelang” dengan

hasil penelitiannya di Rumah Sakit wilayah Eks Karesidenan Kedu, sebanyak

100% dari total sampel yang dilakukan penelitian menunjukkan bahwa semua

Rumah Sakit belum menggunakan aplikasi perawatan luka modern. Dengan

data-data diatas maka perlu dilakukan penyebaran ilmu pengetahuan dan

teknologi kepada perawat dengan cara memberikan seminar atau pelatihan

mengenai implementasi perawatan luka modern.

Hasil dari penelitian dari meidina (2012) dengan judul “Penggunaan

Bahan Pada Perawatan Luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih

Pematangsiantar” dengan hasil penelitian yang dilakukan pada 30 orang

perawat, ditemukan bahwa seluruh perawat (100%) di RSUD Dr. Djasamen

Saragih Pematangsiantar tidak menggunakan bahan perawatan luka yang

sesuai dengan karakteristik luka pasien. Walaupun penggunaan bahan

perawatan luka mayoritas tidak sesuai dengan karakteristik luka, masih ada

5
penggunaan bahan yang tepat yaitu pemakaian salin normal sebagai larutan

pembersih luka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh perawat (30

orang) menggunakan salin normal sebagai cairan pembersih pada perawatan

luka akut seperti luka operasi, luka superfisial, dan luka kronik, termasuk luka

kronik yang menghasilkan jaringan nekrotik.

Meidina (2012) menunjukkan hasil dari penelitiannya seluruh perawat

(100%) menggunakan povidone iodine sebagai larutan antiseptik pada luka

bedah (akut) dan 23 perawat (76.60%) menggunakan povidone iodine sebagai

larutan antiseptik pada luka kronik, termasuk juga pada luka kronik yang

menghasilkan jaringan nekrotik.

Meidina (2012) menunjukkan hasil dari penelitianya 100% (30 perawat)

tidak menggunakan balutan yang dapat mempertahankan kelembaban (moist

wound healing) seperti balutan oklusif ataupun balutan yang menyerap cairan

(absorben dressing). Hasil peneltian ini juga menunjukkan bahwa seluruh

perawat (30 orang) menggunakan balutan basah kering untuk merawat semua

jenis luka akut dan 93.38% (28 perawat) menggunakan balutan basah kering

(wet to dry) pada luka kronik termasuk luka kronik yang disertai dengan

jaringan nekrotik.

Perawatan luka yang dilaksanakan di ruangan hanya dilaksanakan sebatas

mengganti balutan luka, membersihkan balutan luka kemudian selesai, tanpa

adanya proses paripurna/komprehensif, yaitu meliputi pengkajian, pemilihan

dressing, implementasi, dokumentasi dan evaluasi. Hal ini terjadi karena pola

6
fikir lama yang salah dan sudah membudaya dikalangan perawat. Kurangnya

minat dan motivasi perawat muda untuk lebih antusias lagi dalam menangani

luka yang lebih berkualitas bagi proses penyembuhan luka pasien (Erfandi,

2013).

Pengetahuan dan motivasi perawat dapat berpengaruh terhadap tindakan

perawatan luka modern, yang tentunya akan berdampak pada proses

penyembuhan luka apakah semakin cepat atau semakin lama. Pemulihan

pasien yang lebih cepat dapat dipastikan akan meningkatkan kualitas hidup

pasien. Perawatan luka modern akan berpengaruh pada lama hari perawatan

dan biaya perawatan di RS (Adisaputra, 2015).

Motivasi menjadi kekuatan pendorong bagi seseorang untuk berperilaku

tertentu, adanya orientasi tertentu untuk tujuan tertentu dan adanya kebutuhan

pribadi. Jadi motivasi merupakan dorongan bagi seseorang berprilaku tertentu

untuk mencapai keinginannya sehingga tercapai kesesuaian antara kebutuhan

pribadi dengan tujuan organisasi. Kesesuaian akan dapat menimbulkan sinergi

dalam mencapai kinerja organisasi (Miftah, 2003).

Motivasi merupakan suatu aktivitas yang menempatkan seseorang atau

suatu kelompok yang mempunyai kebutuhan tertentu dan pribadi, untuk

bekerja menyelesaikan tugasnya. Motivasi merupakan kekuatan, dorongan,

kebutuhan, tekanan, dan mekanisme psikologis yang dimaksudkan

merupakan akumulasi faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal

7
bersumber dari dalam diri individu itu sendiri, sedangkan faktor eksternal

bersumber dari luar individu (Titik, 2015).

Motivasi merupakan tenaga penggerak dan kadang-kadang dilakukan

dengan mengeyampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat dalam

mencapai tujuan. Dengan motivasi, manusia akan lebih cepat dan

bersungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan. Suatu motivasi murni yang

betul-betul didasari akan pentingnya suatu perilaku dan didasarkan sebagai

suatu kebutuhan (Titik, 2015).

Beberapa penelitian berkaitan dengan motivasi. Hasil dari penelitian dari

Decy (2008) dengan judul “Pengaruh Motivasi Perawat Terhadap Tindakan

Perawatan Pada Pasien Pasca Bedah Di Ruang Rawat Inap RS Umum Dr.

Pirngadi Kota Medan” dengan hasil penelitian menunujukkan bahwa tindakan

perawat dalam melaksanakan tindakan perawatan pada pasien pasca bedah di

RS Umum Dr. Pirngadi Kota Medan kurang baik (45,5%). Dari

pengamatanya tindakan kurang baik dilaksanakan oleh perawat yaitu teknik

sterilisasi dan tindakan perawatan. Hal tersebut kemungkinan di sebabkan

oleh fasilitas RS yang kurang memadai seperti tidak adanya wastafel (bak

pencuci tangan kusus), serta kurangnya kesadaran perawat tentang

pencegahan infeksi untuk pasien pasca bedah.

Hasil dari penelitian dari devi (2013) dengan judul “Hubungan Motivasi

Dengan Kepatuhan Perawat Pelaksana Dalam melaksanakan Perawatan

Lukapost Operasi Sesuai dengan SOP Di RSUD Batang” dengal hasil

8
Motivasi perawat pelaksana di RSUD Batang dapat dilihat bahwa dari 34

responden lebih dari separuh yaitu 20 responden (58,8%) mempunyai

motivasi rendah dan kurang dari separuh yaitu 14 responden (41,2%)

mempunyai motivasi tinggi. Dari data tersebut artinya lebih dari separuh

responden menyatakan bahwa perawat pelaksana di RSUD Batang

motivasinya rendah dalam melaksanakan perawatan luka post operasi.

Kepatuhan perawat pelaksana dalam melaksanakan perawatan luka post

operasi di RSUD Batang. Menunjukkan hasil bahwa dari 34 responden,

sebanyak 22 responden (64,7%) menyatakan tidak patuh. Dan sebanyak 12

responden (35,3%) menyatakan patuh. Dari data tersebut artinya bahwa

sebagian besar responden tidak patuh dalam melaksanakan perawatan luka

post operasi di RSUD Batang.

Hasil analisa bivariate dari penelitian devi dan wijayanti (2013)

menggambarkan motivasi dan kepatuhan perawat pelaksana diperoleh ρ value

= 0,009 (ρ lebih kecil dari alpha yaitu 0,05) maka Ho ditolak yang berarti ada

hubungan yang bermakna antara motivasi perawat dengan kepatuhan perawat

pelaksana dalam melaksanakan perawatan luka post operasi sesuai dengan

SOP di RSUD Batang.

Saat dilakukan studi pendahuluan dengan mewawancarai kepala ruang

perawatan penyakit bedah RS Islam Nahdlotul Ulama Demak M Nur Asyiq

pada bulan november 2015, mengungkapkan bahwa ilmu perawatan luka

yang sekarang ini jauh lebih berbeda dengan dulu dan ilmunya berkembang

sangat pesat. Didukung juga teknologi terbaru dalam pemilihan wound

9
dresssing (balutan luka). Pemilihan balutan luka yang tepat dapat membantu

meningkatkan derajat kesehatan pasien yang mengalami luka sehingga akan

meringankan biaya dan menghemat waktu perawat.

Wawancara pada bulan November kepada kepala ruang perawatan

penyakit bedah RS Islam Nahdlotul Ulama Demak M Nur Asyiq

menyampaikan bahwa staf perawat di ruangannya belum mempunyai

motivasi yang tinggi dalam pelaksanaan perawatan luka modern. Instansi RS

juga belum pernah menyelenggarakan seminar atau workshop perawatan luka

modern, dan kurang mendorong para perawatnya untuk mengikuti pelatihan

perawatan luka modern seperti CWCCA (Certified Wound Care Clinician

Associate). Dukungan dari dokter terutama dokter spesialis penyakit bedah

belum optimal dalam kolaborasi perawatan luka seperti penentuan bahan dan

alat ganti balut. Kurangnya fasilitas RS dalam menyediakan bahan dan alat

ganti balut.

Berdasarkan uraian latar belakang maka peneliti tertarik meneliti tentang

“Hubungan motivasi dengan perawatan luka modern di ruang rawat inap RS

Islam Nahdlotul Ulama Demak”.

B. Rumusan Masalah

Motivasi merupakan faktor pendukung penting yang harus dimiliki oleh

setiap perawat karena motivasi yang baik dapat membawa seseorang

melakukan suatu tindakan yang optimal. Perawatan luka yang baik dan benar

10
sangat penting untuk proses penyembuhan luka akan semakin cepat.

Perawatan luka yang salah akan mengakibatkan luka semakin parah. Luka

yang tak terawat dengan baik dapat terkontaminasi mikroba, mengalami

infeksi lokal dan meluas menjadi infeksi sistemik bahkan bisa berakibat fatal

bagi pasien seperti amputasi anggota tubuh (Devi, 2013)

Berdasarkan fenomena yang ada, Peneliti merumuskan masalah “Apakah

ada hubungan motivasi dengan perawatan luka modern di ruang rawat inap

RS Islam Nahdlotul Ulama Demak”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

motivasi dengan perawatan luka modern di ruang rawat inap RS Islam

Nahdlotul Ulama Demak.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mendeskripsikan motivasi dalam perawatan luka modern.

b. Untuk mendeskripsikan perawatan luka modern di ruang rawat inap

RS Islam Nahdlotul Ulama Demak.

c. Untuk menganalisis hubungan motivasi dengan perawatan luka

modern di ruang rawat inap RS Islam Nahdlotul Ulama Demak.

11
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan tentang

perkembangan ilmu perawatan luka modern.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat untuk :

a. Institusi Pendidikan

Memberikan informasi tentang kemajuan perawatan luka

modern. Memberikan masukan untuk merancang dan mengelola

mata ajar perawatan luka modern agar lebih disukai mahasiswa.

b. Rumah sakit

Sebagai masukan untuk RS Islam Nahdlotul Ulama Demak

dalam menyusun suatu kebijakan yang terkait motivasi kerja

karyawan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu

pelayanan.

c. Mahasiswa

Mengenal teknik perawatan luka modern, sehingga dapat

memberikan kesiapan dalam melakukan perawatan luka modern di

lahan praktek.

12
d. Perawat

Memberikan wawasan dan motivasi agar lebih mengenal dan

mengaplikasikan tindakan perawatan luka modern agar pasien puas

terhadap pelayanan.

e. Masyarakat

Masyarakat dapat merasakan perawatan luka modern sehingga

mengurangi hari rawat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

13
A. Konsep Perawatan Luka

1. Pengertian Luka

Luka adalah semua kerusakan di dalam kulit. Mungkin disengaja misal

pada operasi, atau tak disengaja, seperti akibat trauma. Jenis luka meliputi

luka bedah, goresan (seperti pisau), penghancuran, terbakar, pencabikan,

gigitan (manusia, binatang), dan luka tekan. Segera setelah terjadi luka,

radang dimulai dengan agresi keping darah. Kemudian, leukosit bergerak ke

area untuk pengawasan infeksi. Tahap proliferatif mulai ketika sel epidermal

bergerak kearah luka, dan menutup tepi luka terdekat, umumnya pada hari

ketiga. Tahap fibroblastik terjadi dengan kolagen dan fibroblast membentuk

suatu parut (Marry DiGiulio,2014).

Erfandi (2013) mengartikan luka suatu keadaan terputusnya kontiunitas

jaringan, penyebabnya diantaranya adalah trauma, luka operasi, luka

iskemia/vaskuler, luka tekanan, luka keganasan/luka kanker. Luka adalah

terputusnya kontiunitas suatu jaringan oleh karena adanya cidera atau proses

pembedahan (Agustina dalam Ali 2015)

2. Klasifikasi Luka

a. Berdasarkan kedalaman jaringan

1) Partial Theckness

Luka mengenai lapisan epidermis dan dermis

14
2) Full Thickness

Luka mengenai lapisan epidermis, dermis dan subcutaneus. Dan

termasuk mengenai otot, tendon, dan tulang.

b. Berdasarkan waktu dan lamanya

1) Akut

Luka baru, terjadi mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan

waktu yang diperkirakan. Luka akut merupakan luka trauma yang

biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh

dengan baik bila tidak terjadi komplikasi.

Contoh : luka sayat, luka bakar, luka tusuk

2) Kronik

Luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren).

Terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan

oleh masalah multifatkor dari penderita.

Contoh : ulkus dekubitus, ulukus diabetik, ulkus venous

c. Luka operasi

1) Luka Operai Bersih

a) Pembuatan luka / operasi pada daerah kulit yang pda kondisi pra

bedah tanpa peradangan dan tidak membuka traktus

15
respiratorius, traktus gastrointestinal, traktus orofaring, traktus

urinarius atau traktus bilier.

b) Pembuatan luka / operasi berencana dengan penutupan kulit

primer dengan atau tanpa pemakaian drain tertutup, misalnya

luka pada daerah wajah, kepala, ekstremitas atas / bawah.

2) Luka Bersih Terkontaminasi

a) Pembuatan Luka / operasi dengan membuka traktus digestive,

traktus bilier, traktus urinarius, traktus respiratorius sampai

dengan orofaring, traktus reproduksi kecuali ovarium.

b) Pembuatan Luka / operasi tanpa pencemaran nyata (gross

spilage). Contoh : operasi pada traktus bilier, apendiks,

vagina/orovaring, laparotomi, trakeostomi, neprostomi.

3) Luka kotor / kronik

a) Pada fase perforasi traktus digestivus, dehiscein.

b) Melewati daerah purulen, inflamasi memanjang.

c) Luka bersih / akut terbuka lebih dari 6 jam.

d) Hasil klinis atau swab menunjukkan adanya infeksi.

(Erfandi, 2013)

16
3. Proses Penyembuhan Luka (Wound Healing)

a. Fase inflamasi:

1) Merupakan awal dari proses penyembuhan luka sampai hari kelima

2) Proses peradangan akut terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah

cedera.

3) Proses epitelisasi mulai terbentuk pada fase ini beberapa jam setelah

terjadi luka.

4) Terjadi reproduksi dan imigrasi sel dari tepi luka menuju ketengah

luka.

5) Fase ini mengalami kontriksi dan retraksi disertai reaksi hemostatis

yang melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang berperan untuk

terjadinya kemotaksis retrofil, makrofag, mast sel, sel endoteleal dan

firoblas.

6) Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit

dan mengeluarkan mediator inflamasi TGF beta 1 akan mengaktivasi

fibroblas untuk mensistesis kolagen.

b. Fase Proliferasi

17
1) Fase ini mengikuti fase inflamasi dan berlangsung selama 2 sampai 3

minggu. Pada fase ini terjadi neoangiogenesis membentuk kapiler

baru.

2) Fase ini disebut juga fibroplasi menonjol perannya. Fibroblas

mengalami proliferasi dan berfungsi dengan bantuan vitamin B dan

vitamin C serta oksigen dalam mensintesis kolagen.

3) Serat kolagen kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini

mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelisasi.

c. Fase Remodelling atau Maturasi

1) Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses

penyembuhan luka.

2) Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi

luka dan pematangan parut.

3) Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Akhir dari

penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang

mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal.

(Erfandi, 2013)

4. Fisiologi penyembuhan luka


Bagan fisiologi penyembuhan luka:

18

Injuri jaringan
Haemoragik, aktivasi platelet dan degranulasi, aktivasi komplemen,
pembekuan dan haemostasis

Rekrut sel melalui kemotaksis, fagositosis dan debridement

Pengeluaran sitokain, dan mediator bioaktif lain, pertumbuhan sel


dan aktivasi, reepitelisasi fagositosis dan debridement

Neovaskularisasi, pembentukan jaringan granulasi, kontraksi luka

Terputusnya jaringan baru, remodelling


ekstraselluler matrik dan penutupan luka

(Erfandi, 2013)

Bagan 2.3 fisiologi penyembuhan luka

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka

a. Faktor umum

1) perfusi dan oksigenasi jaringan

proses penyembuhan luka bergantung suplaioksigen. oksigen

merupakan kritikal untuk leukosit dalam menghancurkan bakteri dan

untuk fibroblast dalam menstimulasi sintesis kolagen. selain itu

kekurangan oksigen dapat menghambat aktivitas fagositosis. dalam

19
keadaaan anemia dimana terjadi penurunan oksigen jaringan maka

akan menghambat proses penyembuhan luka (Erfandi, 2013)

Menurut Nancy dkk dalam Erfandi (2013), menyatakan bahwa

dengan adanya tegangan oksigen tidak menurun bila pasien dengn

anemia sepanjang pasien mempunyai adequat sirkulasi volume

intravaskuler, kemudian juga dilaporkan tingkat hydroxyproline adalah

komponen kolagen, tidak menurun pada pasien dengan anemia.

2) Status nutrisi

Kadar serum albumin rendah akan menurunkan difusi

(penyebaran) dan membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh

bakteri. oksigen rendah pada tingkat kapiler membatasi proliferasi

jaringan granulasi yang sehat. Defisiensi zat besi dapat melambatkan

kecepatan epitelisasi dan menurunkan kekuatan luka dan kolagen.

jumlah vitamin A dan C zat besi dan tembaga yang memadai

diperlukan untuk pembetukan kolagen yang efektif. Sintesis kolagen

juga tergantung pada asupan protein, karbohidrat dan lemak yang

tepat. Penyembuhan luka membutuhkan dua kali lipat kebutuhan

protein dan karbohidrat dan biasanya untuk segala nutrisi.

Malnutrisi menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan

luka dan meningkatkan terjadinya infeksi. Hal ini dapat timbul

karena kurangnya intake nutrisi (misalnya sindrome malabsorbsi).

20
diet seimbang mengandung bahan nutrisi yang dibutuhkan untuk

perbaikan luka :

a) Asam amino

Dibutuhkan untuk revaskularisasi, proliferasi fibroblas, sintesis

kollagen dan pembentukan lympatik.

b) Energi sel

Digunakan untuk proliferasi sel dan aktifitas fagostatik.

c) Vitamin C

Merupakan bahan untuk sintesa collagen, produksi fibroblas dan

mengurangi resiko infeksi.

d) Vitamin A

Dibutuhkan untuk epitelisasi dan sintesa Collagen

e) Vitamin B

Dibutuhkan untuk fungsi lymfosit dan prodiksi antobodi.

f) Zinc

Dibutuhkan untuk proses mitosis sel dan proliferasi.

g) Bahan mineral

Merupakan penting dari penyembuhan.

21
h) Air

Merupakan sesuatu yang penting untuk perkembangan jaringan.

3) Penyakit

Misalnya : Diabetes melitus, anemia, keganasan/malignan,

Rheumathoid Arthritis, gangguan auto-imun, gangguan hepatik,

Uremia, inflammatory bowel disease.

4) Terpi Obat

a) Obat anti-inflamasi bon steroid

6. Pengkajian Luka

Untuk menentukan tingkat keberhasilan intervensi perawatan luka yang

optimal, maka seorang perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan

keterampilan dalam melakukan pengkajian luka secara benar. Hal ini

merupakan dasar yang sangat penting dalam menentukan jenis intervensi

yang akan diberikan untuk masing-masing klien. Hal-hal yang harus dikaji

oleh seorang perawat ketika mendapat seorang klien yang menderita luka,

antara lain:

a. Lokasi dan Letak luka

Hal ini dapat digunakan sebagai indikator terhadap kemungkinan

penyebab terjadinya luka sehingga kejadian luka dapat diminimalkan.

b. Stadium Luka

22
Terdapat beberapa klasifikasi atau stadium yang dapat digunakan

untuk menilai suatu kondisi luka, antara lain :

1) Stadium Berdasarkan Anatomi Kulit (Pressure Ulcer NPUAP, 1975)

a) Partial Thickness : Hilangnya lapisan epidermis hingga lapisan

dermis paling atas

b) Full Thickness : Hilangnya lapisan dermis sampai lapisan

subkutan

c) Stadium I : Kulit berwarna merah, belum tampak adanya

lapisan epidermis yang hilang

d) Stadium II : Hilangnya sebagian lapisan epidermis/lecet

sampai batas dermis paling atas ditandai dengan blister dan

abrasi

e) Stadium III : Rusaknya lapisan dermis bagian bawah hingga

lapisan subcutan dan fascia

f) Stadium IV : Rusaknya lapisan subkutan dan fasica hingga otot,

tendon dan tulang

2) Warna Dasar Luka (Netherlands Woundcare Consultant Society,

1984)

a) Red/Merah : (pink/merah/merah tua) disebut dengan jaringan

sehat, granulasi, epitelisasi, vaskularisasi

23
b) Yellow/Kuning : (kuning muda/kuning kehijauan/kuning

tua/kuning kecoklatan) disebut jaringan mati yang lunak,

fibrinolitik, sloughy, avaskularisasi

c) Black/hitam : Jaringan nekrosis, avaskularisasi

3) Stadium Wagner Untuk Luka Diabetik (Dikutip dari Gitarja, 2002)

a) Superficial Ulcer

(1) Stadium 0 : Tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik tapi

dengan bentuk tulang, kaki yang menonjol/charcot

arthropathies

(2) Stadium 1 : Hilang lapisan kulit hingga dermis dan kadang-

kadang tampak tulang menonjol

b) Deep Ulcer

(1) Stadium II : Lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau

tendon (dengan underminning/goa)

(2) Stadium III : Penetrasi dalam, osteomyelitis, pyarithrosis,

plantar abses atau infeksi hingga tendon

c) Gangrene

(1) Stadium IV : Gangrene sebagian, menyebar hingga sebagian

dari jari kaki, kulit sekitarnya selulitis, gangrene lembab/kering

(2) Stadium V : Seluruh kaki dalam, kondisi nekrotik/ gangrene

24
4) Stadium Luka Bakar

a) Derajat I

(1) Epidermis yang terkena

(2) Nyeri Hebat

(3) Eritrema

(4) Blister tidak ada

(5) Sembuh dalam 7-10 hari secara spontan tanpa obat-obatan

(6) Tanpa bekas

b) Derajat II

(1) Epidermis dan dermis rusak

(2) Nyeri sangat hebat

(3) Adanya blisters/bula yang sangat besar

(4) Sembuh secara spontan bila tidak terinfeksi (10-2 minggu)

c) Derajat III

(1) Seluruh lapisan kulit termasuk fascia otot dan tulang

(2) Analgesia

(3) Tidak ada blister

(4) Warna kulit menjadi hangus, putih

(5) Sembuh dalam jangka waktu lama dan cacat

c. Bentuk dan ukuran luka

25
Pengukuran secara tiga dimensi (panjang, lebar dan kedalaman) dan

penentuan underminning/goa dengan menggunakan patokan searah jarum

jam serta tunneling/terowongan.

d. Eksudat

Karakteristik, jenis dan jumlah cairan yang dihasilkan oleh luka tersebut

e. Malodor

Adanya bau yang tidak sedap yang dikeluarkan oleh luka

f. Status Vaskular

Penilaian ini berhubungan dengan transportasi oksigen dan suplai

nutrisi yang adekuat ke seluruh lapisan sel merupakan hal yang sangat

penting dalam proses penyembuhan luka. Pengkajian berupa: cek cafillary

refill time, edema, temperatur kulit.

g. Status Neurologik

Cek fungsi motorik berupa adanya kelemahan otot secara umum,

perubahan bentuk tubuh terutama kaki pada penderita DM, kehilangan

sensasi pada ujung-ujung ekstremitas, dan kelembaban kulit.

h. Nyeri

Periksa nyeri pada area luka dengan menggunakan format PQRST,

dan pain rating scale 0-10

26
i. Tanda-tanda Infeksi

Kaji tanda-tanda infeksi (cardinal sign); dan produksi pus yang meningkat

j. Perdarahan

Kaji adanya dan catat jumlah perdarahan terutama pada saat

penggantian balutan.

7. Konsep Dasar Perawatan Luka

Teknik perawatan luka terbagi menjadi 2 yaitu Perawatan luka

konvensional (konsep lama) dan Perawatan luka modern (konsep baru):

a. Perawatan luka konvensional (konsep lama)

Perawatan luka konvensional tidak mengenal perawatan luka

lembab. Biasanya hanya menggunakan betadin saja sebagai antiseptik

Beberapa kekurangan perawatan luka konvensional yaitu :

1) Luka dalam kondisi kering.

2) Perawatan luka terbuka.

3) Perawatan luka kering/basah.

4) Berdarah berarti bagus lukanya

5) Balutan luka hanya menggunakan kasa.

(Ali, 2015)

b. Perawatan luka modern (konsep baru)

Pada tahun 1962, Profesor G.D Winter melakukan studi klinik yang

dipublikasikan dalam jurnal Nature tentang keadaan lingkungan yang

27
optimal untuk penyembuhan luka, hasil penelitian yang dilakukan pada

binatang dan manusia telah menunjukkan bahwa proses peyembuhan luka

dengan kondisi lingkungan yang lembab ternyata lebih cepat jika

dibandingkan dengan luka yang dibiarkan terbuka dan kering. Hal ini

diperkuat oleh Turner (1990) yang menyatakan bahwa perawatan luka

dengan konsep lembab yang dilakukan secara kontinyu akan mempercepat

pengurangan ukuran luka dan mempercepat proses pembentukan jaringan

granulasi dan reepitelisasi. Adapun alasan rasional dari teori perawatan

luka dalam suasana lembab antara lain:

1) Mempercepat fibrinolisis

Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih

cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab

2) Mempercepat angiogenesis

Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan

merangsang lebih cepat pembentukan pembuluh darah yang baru

(anggiogenesis).

3) Menurunkan resiko infeksi

Kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika dibandingkan

dengan perawatan kering (2,6% vs 7,1%)

4) Mempercepat pembentukan Growth Faktor

Growth factor berperan pada proses penyembuhan luka untuk

pembentukan stratum corneum dan anggiogenesis, dimana produksi

28
komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang

lembab.

5) Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktif

Pada keadaan lembab, invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag,

monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini. (Dikutip dari

Gitarja, 2002)

8. Fungsi balutan luka (wound dressing)

Pada dasarnya prinsip pemilihan balutan yang akan digunakan harus

memenuhi kaidah-kaidah fungsi sebagai berikut :

a) Kemampuan balutan untuk dapat menyerap cairan yang

dikeluarkan oleh luka

b) Kemampuan balutan untuk mengangkat jaringan nekrotik dan

mengurangi resiko terjadinya kontaminasi mikrooganisme

c) Meningkatkan kemampuan rehidrasi luka

d) Melindungi dari kehilangan panas tubuh akibat penguapan

e) Mempunyai kemampuan atau potensi sebagai sarana pengangkut

atau untuk mendistribusikan obat antibiotik ke seluruh bagian luka

(Hana R, 2002)

Menurut Ovington menyatakan bahwa perawatan luka secara

konvensional yaitu penggunaan kassa baik dengan cara kering atau

dilembabkan dengan NaCl dalam perawatan luka mempunyai beberapa

kekurangan, antara lain:

29
a) Dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien akibat rasa nyeri

yang ditimbulkan pada saat mengganti balutan.

b) Dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien akibat rasa nyeri

yang ditimbulkan pada saat mengganti balutan.

c) Menunda proses penyembuhan terutama proses epitelisasi karena pada

saat mengganti balutan jenis ini biasanya jaringan yang baru juga ikut

terangkat karena sifatnya non-selektif

d) Meningkatkan resiko infeksi karena walaupun luka dalam keadaan

tertutup dan berlapis-lapis tetapi permukaan balutan tersebut masih

memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroorganisme dari luar

e) Ditinjau dari segi penggunaan waktu dan tenaga kesehatan khususnya

perawat pada saat mengganti balutan kurang efektif dan efisien karena

penggunaan balutan konvensional ini memerlukan frekuensi penggantian

yang lebih sering karena sifatnya kurang absorbtif sehingga waktu

pelaksanaan tindakan menjadi lebih lama.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ovington di Amerika Serikat pada

tahun 1999 ternyata jika ditinjau dari segi ekonomi, penggunaan balutan

konvensional itu tidak cost effective, hal tersebut berkaitan dengan biaya yang

dikeluarkan oleh seorang pasien ternyata lebih besar jika dibandingkan

dengan penggunaan modern dressing karena harus membayar ekstra tenaga

kesehatan dan peralatan yang digunakan. Menurut Tan (2002), cost effective

merupakan isu yang paling penting pada perawatan luka saat ini karena hal

yang dimaksud disini berkaitan dengan pemberian tindakan yang efektif,

30
yang menunjang terbentuknya hasil klinis yang lebih baik, meningkatkan rasa

nyaman klien dan memberikan kepuasan terhadap hasil terapi. (Hana .R;

Majalah Keperawatan UNPAD 2002; 7: 12-19)

8. Prinsip Pemilihan Balutan dan Topical Terapi

Saat ini banyak pilihan balutan modern (modern dressing) atau topical

therapy yang beredar dan sering digunakan untuk membalut luka. Untuk

mendapatkan hasil yang optimal, seorang perawat harus dapat

menggunakannya dengan tepat sesuai dengan prinsip penggunaan dan

pengenalan terhadap produk yang akan digunakan. Menurut Gitarja (2002),

prinsip pemilihan topikal terapi tersebut antara lain :

a. Membuang jaringan nekrotik yang dapat meningkatkan

infeksi

b. Identifikasi dan meminimalkan infeksi

c. Dapat mengisi jaringan mati

d. Dapat mengabsorbsi eksudat yang berlebihan

e. Menjaga lingkungan tetap lembab

f. Melindungi luka dari trauma dan invasi kuman

g. Menjaga temperatur luka tetap konstan

Sedangkan untuk tujuan pemilihan balutan, Gitarja (2002) menyatakan

sebagai berikut :

a. Membuang jaringan yang mati

b. Kontrol terhadap infeksi

31
c. Mempertahankan kelembaban

d. Absorbsi eksudat yang berlebihan

e. Nyaman digunakan

f. Steril

g. Cost effective

B. Konsep Motivasi

1. Definisi Motivasi

Motivasi berasal dari motive atau dengan prakata bahasa latinnya, yaitu

movere yang berarti “mengerahkan”. Martoyo dalam Elqorni (2008) motive

atau dorongan adalah suatu dorongan yang menjadi pangkal seseorang

melakukan sesuatu atau bekerja. Seseorang yang sangat termotivasi, yaitu

orang yang melaksanakan upaya substansial, guna menunjang tujuan-tujuan

produksi kesatuan kerjanya, dan organisasi dimana ia bekerja. Seseorang yang

tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja.

Konsep motivasi, merupakan sebuah konsep penting studi tentang kinerja

individual. Dengan demikian motivasi atau motivation berarti pemberian

motiv, penimbulan motiv atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan

yang menimbulkan dorongan.

Motivasi adalah semua hal verbal, fisik atau psikologis yang membuat

seseorang melakukan sesuatu sebagai respon. Motivasi adalah karakteristik

psikologis manusia yang memberikan kontribusi pada tingkat komitmen

seseorang. Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan dan

mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Titik, 2015)

32
Menurut Sondang (2012) yang dimaksud dengan motivasi adalah daya

pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela

untuk mengerahkan kemampuanya. Bisa dalam bentuk keahlian atau

keterampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan

yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam

rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah

ditentukan sebelumnya.

Menurut winardi (2007) Motivasi adalah suatu konstruk yang dimulai

dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam bentuk energi

aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas tertentu yang

berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten (berulang-

ulang) dari suatu perilaku untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab

timbulnya dorongan itu sendiri

Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk

melakukan sesuatu. Motivasi juga dapat diartikan sebagai perasaan atau

pikiran yang mendorong seseorang melakukan atau menjalankan kekuasaan

terutama dalam berperilaku ( Suchri dan Yanyan, 2007)

2. Teori dan kebutuhan Motivasi

a) Teori kebutuhan sebagai hirarki

Salah seorang pelopor yang mendalami teori motivasi adalah Abraham H.

Maslow yang berkarya sebagai ilmuwan yang telah menuangkan hasil

karyanya dalam buku yang berjudul “Motivation and Personality”.

Keseluruhan teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow berintikan

33
pendapat yang mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu dapat

diklasifikasikan pada lima hirarki kebutuhan, yaitu :

1) Kebutuhan fisiologis.

2) Kebutuhan rasa aman.

3) Kebutuhan sosial/rasa memiliki.

4) Kebutuhan penghargaan.

5) Kebutuhan Aktualisasi diri (Sondang, 2012).

Kebutuhan rasa aman Kebutuhan fisiologis

Kebutuhan sosial/rasa Motivasi Bekerja


memiliki

Kebutuhan penghargaan Kebutuhan Aktualisasi diri

Bagan 2.2 : Model karangka teori motivasi menurut Maslow (Titik,2015)

b). Teori Motivasi ERG

Teori motivasi ERG dikembangkan oleh Clayton Alderfer dari

Universitas Yale. Jika dilihat sepintas terdapat persamaan antara teori Alderfer

dengan teori Maslow. Teori ini membagi tingkat kebutuhan manusia ke dalam

3 tingkatan yaitu :

1) Keberadaan (Existence)

Menurut teori ini, yang didukung oleh kenyataan hidup sehari-hari,

mempertahankan eksistensi seseorang merupakan kebutuhan yang sangat

34
mendasar. yang tergolong dalam kebutuhan ini adalah sama dengan

tingkatan 1 dan 2 dari teori Maslow. Dalam perspektif organisasi,

kebutuhan yang dikategorikan kedalam kelompok ini adalah : kebutuhan

primer, gaji, insentif, kondisi kerja, keselamatan kerja, keamanan,

jabatan.

2) Tidak ada hubungan (Relatedness)

Tercermin pada sifat dasar manusia sebagai insan sosial. Setiap orang

ingin mengaitkan keberadaanya dengan orang lain dan dengan

lingkungannya , keberadaan seseorang dapat dikatakan tidak mempunyai

makna yang hakiki. Kebutuhan Relatedness identik dengan kebutuhan

pada tingkatan 3 dan 4 dari teori Maslow. Misalnya hubungan dengan

atasan, hubungan dengan kolega, hubungan dengan bawahan, hubungan

dengan teman, hubungan dengan orang luar organisasi.

3) Pertumbuhan (Growth)

Kebutuhan ini pada dasarnya terdermin pada keinginan seseorang

untuk bertumbuh dan berkembang, misalnya dalam peningkatan

keterampilan dalam bidang pekerjaan atau profesi seseorang yang

memungkinkannya meraih apa yang secara umum disebut sebagai

“kemajuan” dalam perjalanan hidup seseorang. Kebutuhan Growth

identik dengan kebutuhan pada tingkat 5 dari teori Maslow. Misalnya

bekerja kreatif, inovatif, bekerja keras, kompeten, pengembangan pribadi.

Dalam kegiatan ilmiah hal ini merupakan hal yang biasa. Artinya konsep

dasar yang digunakan berbagai pihak atau orang untuk menjelaskan suatu

35
fenomena sosial sebenarnya sama, akan tetapi klasifikasi atau istilah berbeda

(Sondang, 2012).

c). Teori Motivasi Higiene

Teori ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg tentang motivasi yang

mempertajam pengertian mengenai efektifitas dari situasi dalam situasi

kerja.teori tersebut terkenal dengan teori Hygiene-motivasi atau teori 2 faktor,

yaitu internal dan eksternal. Herzberg menyatakan apabila pekerja merasa

puas dengan pekerjaanya, kepuasan itu didasarkan pada faktor yang internal,

sebaliknya apabila para pekerja tidak puas dengan pekerjaanya ketidakpuasan

itu umumnya dikaitkan dengan sifatnya eksternal. Baik faktor internal maupun

faktor eksternal berpengaruh terhadap motivasi seseorang.

1. Faktor internal

Meliputi : perawat yang berambisi untuk maju dalam mencapai

prestasi, tingkat pendidikan perawat, perkembangan ilmu pengetahuan

perawat, kemajuan skil perawat dan perawat selalu bertanggung jawab

atas pekerjaannya.

2. Faktor eksternal

Meliputi : status kepegawaian perawat, dukungan rekan kerja di

lingkungan RS, supervisi yang baik, gaji perawat yang sesuai atau diatas

UMR, Tunjangan pekerjaan yang sesuai, reward atau penghargaan dari

RS bagi perawat yang berprestasi bisa berbentuk pelatihan atau uang,

kondisi lingkungan RS yang nyaman dan fasilitas yang mendukung

kinerja perawat, kebijakan RS yang mendorong pegawai mengasilkan

36
prestasi, keamanan dan keselamatan kerja yang telah standar (Titik,

2015).

Implikasi teori ini adalah bahwa seorang pekerja mempunyai persepsi

berkarya tidak sekedar mencari nafkah. Selain mencari nafkah berkarya juga

sebagai wahana untuk memuaskan berbagai kepentingan dan kebutuhannya.

Bgaimanapun kebutuhan itu dikategorissikan (Sondang,2012).

d). Teori “X” dan “Y”

Douglas Mc.Gregor (dalam teori motivasi dan aplikasinya oleh sondang,

2008) membuat 2 klasifikasi yaitu teori X yang pada dasarnya mengatakan

bahwa manusia cenderung berperilaku negatif dan teori Y yang pada dasarnya

mengatakan bahwa manusia cenderung berperilaku positif. Mengemukakan

bahwa teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi bahwa manusia secara jelas

dan tegas dapat dibedakan atas manusia penganut teori X dan mana yang

menganut teori Y.

Pada asumsi teori X menandai kondisi dengan hal-hal seperti karyawan

tidak berambisi untuk maju dan selalu menghindar dari tanggung jawab, para

karyawan pada dasarnya tidak senang bekerja, mereka harus dipaksa,

diperintah dan diawasi, karyawan lebih mementingkan dirinya sendiri.

Sedangkan pada asumsi teori Y menggambarkan suatu kondisi seperti

karyawan rata-rata rajin bekerja. Karyawan melakukan tugas tanpa terlalu

diarahkan, dapat menerima tanggung jawab, karyawan menunjukkan

kreativitasnya,berambisi untuk maju dalam mencapai prestasi, karyawan

berusaha untuk mencapai sasaran organisasi (sandong, 2012).

37
e). Teori Penguatan

Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti

bahwa penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori

penguatan melihat perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang

dimaksud dengan faktor-faktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang

apabila timbul mengikuti suatu respon, memperbesar kemungkinan bahwa

tindakan itu akan diulangi lagi.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada

pandangan yang mengatakan bahwa jika tindakan seorang manajer oleh

bawahan dipandang mendorong perilaku positif tertentu, bawahan yang

bersangkutan akan cenderung mengulangi tindakan serupa. Sebaliknya, jika

seorang menejer menegur bawahannya karena melakukan sesuatu hal yang

tidak seharusnya dilakukannya, bawahan tersebut akan cenderung tidak

mengulangi tindakan tersebut terlepas dari bersangkutan.

Motivasi seorang bawahan untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya seperti sikap

pimpinan, pengaruh rekan sekerja, dan sejenisnya, bukan karena faktor-faktor

kognitif yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan sendiri. Teori ini

mengabaikan perasaan, sikap, harapan dan variabel-variabel kognitif lainnya.

Pada hal faktor-faktor tersebut pasti berpengaruh pada perilaku seseorang

yang pada gilirannya akan tercermin pada tinggi rendahnya motivasi

intrinsiknya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

38
3. Tujuan Motivasi

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah untuk

menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan

kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau

tujuan tertentu. Disini akan disebutkan tujuan-tujuan motivasi adalah sebagai

berikut :

a) Meningkatkan moral dan kepuasan pekerja.

b) Meningkatkan produktivitas.

c) Mempertahankan kestabilan pekerja.

d) Meningkatkan kedisplinan.

e) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.

f) Mempertinggi rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya

(Titik, 2015).

Menurut Mitchell (dalam Winardi, 2004) tujuan dari motivasi adalah

memperediksi perilaku perlu ditekankan perbedaan-perbedaan antara motivasi,

perilaku dan kinerja (performa). Motivasilah penyebab perilaku; andai kata

perilaku tersebut efektif, maka akibatnya adalah berupa kinerja tinggi. Hal

yang mungkin lebih penting dibandingkan dengan pilihan sebuah definisi

khusus tentang motivasi adalah pandangan bahwa motivasi memiliki sejumlah

sifat yang mendasarinya. Adapun sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Motivasi merupakan sebuah fenonim individual

Masing-masing individu bersifat unik dan fakta tersebut harus diingat

pada riset motivasi.

39
b. Motivasi bersifat intensional

Apabila seorang karyawan melaksanakan suatu tindakan, maka hal

tersebut disebabkan karena orang tersebut secara sadar telah memilih

tindakan tersebut.

c. Motivasi memiliki macam-macam faset

Para periset telah menganalisis macam aspek motivasi dan termasuk

didalamnya bagaimana motivasi tersebut ditimbulkan, diarahkan, dan

pengaruh apa yang menyebabkan persistensinya dan bagaiman motivasi

tersebut dapat dihentikan.

d. Tujuan teori motivasi adalah memprediksi perilaku

Perlu ditekankan perbedaan-perbedaan antara motivasi, perilaku, dan

kinerja (performa). Motivasilah penyebab perilaku, andaikata perilaku

tersebut efektif, maka akibatnya adalah berupa kinerja tinggi (Mitchell

dalam Winardi, 2004).

4. Sumber-sumber Motivasi

Menurut Titik (2015) sumber-sumber motivasi dibagi menjadi 3 yaitu :

a) Motivasi Intrinsik

Yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri.

Termasuk motivasi intrinsik adalah perasaan nyaman pada ibu nifas

ketika dia berada di rumah sakit.

40
b) Motivasi Ekstrinsik

Yaitu motivasi yang datangnya dari luar individu. Misalnya saja

dukungan verbal dan nonverbal yang diberikan oleh teman dekat atau

keakraban sosial.

c) Motivasi Terdesak

Yaitu motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit dan munculnya

dalam serentak serta menghentak dan cepat sekali.

5. Jenis-jenis Motivasi

Menurut Hasibuan (2001) Ada dua jenis motivasi positif dan motivasi

negatif yaitu motivasi positif (incentive positive) dan motivasi negatif

(incentive negative). Motivasi positif (incentive positive) adalah suatu

dorongan yang bersifat positif, yaitu jika pegawai dapat menghasilkan prestasi

di atas prestasi standar, maka pegawai diberikan insentif berupa hadiah.

Sebaliknya, motivasi negatif (incentive negative), adalah mendorong pegawai

dengan ancaman hukuman, artinya jika prestasinya kurang dari prestasi

standar akan dikenakan hukuman. Sedangkan jika prestasi diatas standar tidak

diberikan hadiah.

Sedangkan menurut Luthans (2005), ada tiga kategori motivasi atau motif,

yakni :

a. Motif Primer

Dua kriteria yang harus dipenuhi agar motif dapat dimasukkan dalam

klasifikasi primer, yaitu: motif harus tidak dipelajari; dan juga motif harus

didasarkan secara fisiologis. Dengan definisi tersebut, motif primer yang

41
paling dikenal secara umum adalah lapar, haus, tidur, menghindari sakit,

seks, dan perhatian maternal (ibu).

b. Motif Umum

Motif umum sepertinya diperlukan karena adanya area antara motif

primer dan sekunder. Agar masuk ke dalam klasifikasi umum, sebuah

motif haruslah tidak dipelajari, tetapi tidak didasarkan pada fisiologis.

Sementara kebutuhan primer mengurangi stimulasi, kebutuhan umum

justru diperlukan seseorang untu meningkatkan sejumlah stimulasi.

Meskipun tidak semua psikolog sependapat, namun motif keingin tahuan,

manipulasi, aktifitas, dan (mungkin) afeksi atau cinta sepertinya paling

mungkin untuk memenuhi klasifikasi tersebut.

c. Motif Sekunder

Sebuah motif harus dipelajari agar bisa dimasukkan kedalam

klasifikasi sekunder. Berbagai motif penting yang masuk kedalam kriteria

tersebut adalah motif kekuasaan, motif pencapaian/berprestasi, motif

afiliasi, motif keamanan, dan motif status.

5. Faktor-faktor Motivasi

Gouzaly (2000) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi

motivasi kedalam dua kelompok yaitu, faktor eksternal (karakteristik

organisasi) dan faktor internal (karakteristik pribadi). Faktor eksternal

(karakteristik organisasi) yaitu : lingkungan kerja yang menyenangkan,

tingkat kompensasi, supervisi yang baik, adanya penghargaan atas prestasi,

status dan tanggung jawab. Faktor internal (karakteristik pribadi) yaitu :

42
tingkat kematangan pribadi, tingkat pendidikan, keinginan dan harapan

pribadi, kebutuhan, kelelahan dan kebosanan.

Menurut sondang (2012) manajer harus mengenal para bawahan sebagai

individu dengan karakteristiknya yang khas berarti memahami delapan faktor

untuk menerapkan teori motivasi yang tepat yaitu karakteristik biografikal,

kepribadian, persepsi kemampuan belajar, nilai-nilai yang dianut, sikap,

kepuasan kerja dan kemampuan.

Menurut Titik (2015) ada 8 faktor yang mempengaruhi motivasi, yaitu :

a) Faktor fisik

Motivasi yang ada di dalam diri individu yang mendorong untuk

bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik seperti kebutuhan

jasmani, raga, materi, benda atau berkaitan dengan alam. Faktor fisik

merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi lingkungan dan

kondisi seseorang, meliputi : kondisi fisik lingkungan, keadaan atau

kondisi kesehatan, umur dan sebagainya.

b) Faktor herediter

Motivasi yang didukung oleh lingkungan berdasarkan kematangan

atau usia seseorang.

c) Faktor intrinsik seseorang

Motivasi yang berasal dari dalam dirinya sendiri biasanya timbul dari

perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga puas dengan apa

yang sudah dilakukan.

d) Fasilitas (sarana dan prasarana)

43
Motivasi yang timbul karena adanya kenyamanan dan segala yang

memudahkan dengan tersedianya sarana-sarana yang dibutuhkan untuk

hal yang di inginkan.

e) Situasi dan kondisi

Motivasi yang timbul berasarkan keadaan yang terjadi sehingga

mendorong memaksa sesorang untuk melakukan sesuatu.

f) Program dan aktivitas

Motivasi yang timbul atas dorongan dalam diri seseorang atau pihak

lain yang didasari dengan adanya kegiatan (program) rutin dengan tujuan

tertentu.

g) Audio fisual (media)

Motivasi yang timbul dengan adanya informasi yang didapat dari

perantara sehingga mendorong atau menggugah hati seseorang untuk

melakukan sesuatu.

h) Umur

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang

akan lebih matang berfikir logis dan bekerja, sehingga motivasi

seseorang kuat dalam melakukan sesuatu hal.

6. Cara Meningkatkan Motivasi

44
Menurut Titik (2015) ada 3 cara untuk meningkatkan motivasi, yaitu :

a) Memotivasi kekerasan (motivating by force)

Yaitu cara memotivasi dengan ancaman hukuman atau kekerasan

dasar yang dimotivasi dapat melakukan apa yang harus dilakukan.

b) Memotivasi dengan bujukan (motivating by enticement)

Yaitu cara memotivasi dengan bujukan atau memberi hadiah agar

melakukan sesuatu harapan yang memberikan motivasi.

c) Memotivasi dengan identifikasi (motivating by identification on

egoinvoiremen)

Yaitu cara memotivasi dengan menanamkan kesadaran.

C. Konsep Perilaku

1. Pengertian perilaku

Perilaku adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat

diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku manusia pada hakekatnya

adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai

manifestasi hayati bahwa dia adalah mahluk hidup (Titik 2015).

2. Bentuk perilaku

Titik (2015) menjelaskan perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu

tanggapan individu terhadap rangsangan yang berasal dari dalam maupun

luar diri individu tersebut. Secara garis besar bentuk perilaku ada 2

macam, yaitu :

a) Perilaku pasif (respon internal)

Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu

45
dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap

belum ada tindakan yang nyata.

b) Perilaku aktif (respon eksternal)

Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku

yang dapat diamati langsung berupa tindakan yang nyata.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok. Yang pertama

faktor perilaku (behavior causes), dan kedua faktor diluar (non behavior

causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3

faktor yaitu :

1. Faktor predisposisi

Yang mencakup pengetahuan perawat, sikap dan sebagainya.

2. Faktor pemungkin

Yang mencakup lingkungan dan kondisi RS, tersedia/tidak

tersedianya fasilitas/sarana keselamatan kerja,misal APD, pelatihan

APAR, pelatihan pengenalan penggunaan alat baru di RS dll.

3. Faktor penguat

faktor ini meliputi undang-undang, peraturan-peraturan dan

kebijakan di RS, pengawasan/supervisi dan sebagainya (Notoatmojo

dalam Titik, 2015).

4. Perilaku terhadap sistem palayanan kesehatan

46
Perilaku ini adalah respon individu terhadap sistem pelayanan

kesehatan modern maupun tradisonal, meliputi :

a) Respon perawat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

b) Respon perawat terhadap cara pelayanan kesehatan.

c) Respon perawat terhadap petugas kesehatan lainnya.

d) Respon perawat terhadap pemberian obat-obatan kepada pasien.

Respon tersebut terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan

penggunaan fasilitas, petugas maupun penggunaan obat-obatan.

Teori Motivasi Higiene Faktor perilaku:


1. Faktor internal
Meliputi : perawat yang berambisi 1. Faktor predisposisi
untuk maju dalam mencapai prestasi, Yang mencakup pengetahuan
tingkat pendidikan perawat, perawat, sikap dan sebagainya.
perkembangan ilmu pengetahuan
perawat, kemajuan skil perawat dan 2. Faktor pemungkin
perawat selalu bertanggung jawab atas
pekerjaannya. Yang mencakup lingkungan
2. Faktor eksternal dan kondisi RS, tersedia/tidak
Meliputi : status kepegawaian tersedianya fasilitas/sarana
perawat, dukungan rekan kerja di keselamatan kerja,misal APD,
lingkungan RS, supervisi yang baik, gaji pelatihan APAR, pelatihan
perawat yang sesuai atau diatas UMR, pengenalan penggunaan alat baru
Tunjangan pekerjaan yang sesuai, reward di RS dll.
atau penghargaan dari RS bagi perawat
3. Faktor penguat
yang berprestasi bisa berbentuk pelatihan
D. Konsep Hubungan Motivasi dan Tindakan Perawatan Luka modern
atau uang, kondisi lingkungan RS yang faktor ini meliputi undang-
nyaman dan fasilitas yang mendukung undang, peraturan - peraturan dan
kinerja perawat, kebijakan RS yang kebijakan di RS,
mendorong pegawai mengasilkan pengawasan/supervisi 47 dan
prestasi, keamanan dan keselamatan sebagainya (Notoatmojo dalam
kerja yang telah standar (Frederick Titik, 2015).
Herzberg dalam Titik, 2015).
Motivasi Perawatan luka modern

faktor

48

Anda mungkin juga menyukai