Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SOSIAL PENDIDIKAN TENTANG AGAMA DAN GOLONGAN

MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat agama sangat berperan penting dalam masyarakat,
untuk mengatasi prsoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Agama, golongan masyarakat, dan fungsi agama?

2. Bagaimana peran agama dalam kehidupan?

3. Apa pengaruh agama dalam kehidupan?

4. Bagaimana peran pemimpin dalam pembangunan?

BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN GOLONGAN MASYARAKAT
A. Pengertian Agama, Golongan Masyarakat, dan Fungsi Agama
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system social yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayai
dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas
umumnya. Dalam kamussosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu (1) kepercayaan
pada hal-hal yang spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang
dianggap sebagai tujuan tersendiri; (3) ideology mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.
Sementara itu, Thomas F.O’Dea mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-
sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris.
E..B. Tylor dalam buku perintisnya, primitive culture, yang diterbitkan pada tahun
1871. Dia mendefinisikan agama sebagai “ kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud
spiritual”, definisi dari tylor itu dikritik lebih jauh karena tampaknya definisi itu berimplikasi
bahwa sasaran sikap keagamaan selalu berupa wujud personal, padahal bukti antropologik
yang semakin banyak jumlahnya menunjukan bahwa wujud spiritual pun sering dipahami
sebagai kekuatan impersonal.
Selanjutnya, golongan masyarakat dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-
anggota masyarakat ke dalam suatu kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau
sejenis. Dalam kamussosiologi dinyatakan sebagai kategori orang-orang tertentu, dalam suatu
masyarakat yang didasarkan pada cirri-ciri mental tertentu.
Berdasarkan definisi di atas, penggolongan masyarakat dapat dibuatberdasarkan cirri
yang sama. Misalnya, (1) penggolongan berdasarkan jenis kelamin adalah pria dan wanita;
(2) penggolongan berdasarkan usia adalah tua dan muda; (3) penggolongan berdasarkan
pendidikan adalah cendekia dan buta huruf; (4) penggolongan berdasarkan pekerjaan adalah
petani, nelayan, golongan buruh, pengrajin, pegawai negeri, eksekutif, dan lain-lain. Menurut
Hendropuspito, meskipun tidak dapat dibuat berdasarkan kedudukan social yang sama,
seperti pada lapisan social, penggolongan ini pada dasarnya untuk kepentingan pengamat
social alam penelitian-penelitian terhadap masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peranan agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris
karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu (1) sebagai pendukung,
pelipur lara, dan perekonsiliasi, (2) sarana hubungan transcendental melalui pemujaan dan
pacara ibadat, (3) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada, (4) pengkoreksi
fungsi yang ada, (5) pemberi identitas diri, dan (6) pendewasaan agama. Fungsi agama yang
dijelaskan hendrapuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama. Menurutnya, fungsi
agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan social, memupuk persaudaraan dan
transformatif.
B. Agama dan Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan
individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan beragama yang
bertolak dari kekuatan ghaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam
pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa
sesuatu diyakini kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empiric dan ilmiah.
Ketergantungan masyarakat dan individu pada keuatan ghaib ditemukan dari zaman
purba sampai ke zaman moden ini, kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga ia
menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius. Kepercayaan terhadap sucinya
sesuatu itu dinamakan dalam antropologi dan sosiologi agama dengan mempercayai sifat
sacral pada sesuatu itu, mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sacral juga cirri khas
kehidupan beragama, adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga
termasuk kehidupan beragama. Semuanya ini menunjukan bahwa kehidupan beragama aneh
tapi nyata, dan merupakan gejala universal, ditemukan di mana dan kapan pun dalam
kehidupan individu dan masyarakat.
Beragama sebagai gejala universal masyarakat manusia juga diakui oleh Begrson
(1859-1941), pemikir prancis. Ia menulis bahwa kita menemukan masyarakat manusia tanpa
sains, seni dan filsafat, tetapi tidak pernah ada masyarakat tanpa agama (El-Ehwani dalam
sharif, 1963:556).
Di samping universal, kehidupan beragama di zaman modern ini sudah demikian
kompleks. Banyak macam agama yang dianut mamusiadewasa ini. Aliran kepercayaan,aliran
kebatinan, aliran pemujaan atau yang dikenal dalam ilmu social dengan istilah occultisme
juga banyak ditemukan di kalangan masyarakat modern. Kehidupan beragama dewasa ini ada
yang dijadikan tempat penyejuk jiwa dan pelarian dari hiruk pikuk ekonomi dan social
politik sehari-hari, ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk mencapai kehidupan
ekonomi dan social politik, di samping itu kehidupan beragama punya pengaruh terhadap
aspek kehidupan yang lain. Anne Marie Malefijt mengungkapkan bahwa agama adalah
tipe the most important aspects of culture yang dipelajari oleh ahli antropologi dan ilmuwan
social lainnya. Aspek kehidupan beragama tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat,
tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan instutusi budaya yang lain. Ekspresi religius
ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia,nilai, moral,system keluarga, ekonomi,
hokum, politik, pengobatan,sains, teknologi,seni, pemberontakan, perang, dll. Dari apa yang
dikemukakan oleh Malefitj adalah bahwa agama mewarnai dan membentuk suatu budaya.
Agama atau minimal pendekatan keagamaan adalah cara yang efektif dalam
membentuk kepribadian dan kebudayaan, baik beragama sebagai system social budaya atau
sebagai subsistem yang universal sebagai tipe penampilan serta penghayatannya dikalangan
kelompok-kelompok masyarakat, dari yang sekedar untuk mencapai kesejukan sampai
kepada tidak merasa bersalah tidak melakukan tindakan terror terhadap masyarakat yang
tidak berdosa, menjadikannya sangat penting dipahami oleh setiap individu dan lembaga
yang berurusan dengan masyarakat.
Terdapat perbedaan kehidupan beragama di kalangan masyarakat primitive dan
masyarakat modern. Dalam masyarakat primitive, kehidupan beragama tidak dapat
dipisahkan dari aspek kehidupan lain; beragama dan kegiatan sehari-hari menyatu. Beragama
merupakan sistam social budaya. Dalam masyarakat modern, kehidupan beragama hanya
salah satu aspek dari kehidupan beragama hanya salah satu aspek dari kehidupan sehari-hari.
Geertz mengungkap betapa kompleks dan mendalamnya kehidupan beragama. Agama
tampak tumpang tindih dengan kebudayaan (Geertz 1992).Kemudian kompleksitas dan
luasnya ruang lingkup ajaran agama dapat dilihat dalam ajaran islam. Sebagai agama wahyu
yang terakhir, islam adalah ajaran yang komprehensif dan terpadu, yaitu mencakup bidang
ibadat, perkawinan, waris, ekonomi, politik, hubungan internasional, dan seterusnya.
Namun dalam fenomena social budaya, dalam kehidupan umat islam di zaman modern
ini, kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dan kehidupan sehari-hari, yaitu
yang berhubungan dengan yang ghaib dan ritual saja. Kehidupan beragama umat islam
dewasa ini menjadi subsistem social budayanya. Fenomena penciutan beragama ini karena
pengaruh budaya modernism dan sekularisme. Walaupun pengaruh modernism dan
sekularisme demikian kuat, ia juga menimbulkan gerakan dan aliran keagamaan dalam
rangka melawan dominasi modernism dan sekularisme tersebut, seperti aliran skripturalis
dan gerakan terror. Maraknya aliran kebatinan, occultism, aliran ekslusif lainnya menjadikan
fenomena kehidupan beragama makin kompleks. Semua ekslusivitas dan kompleksitas
kehidupan beragama ini menjadikannya menarik untuk diteliti secara antropologis. Kajian
antropologi terhadap berbagai aliran ekslusif juga akan menjelaskan akar-akar budaya dari
objek yang dikaji, secara mencoba memahami gejala tesebut dalam konteks budaya yang
bersangkutan.
C. Pengaruh Agama Terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu
dipelajari, yaitu kebudayaan, system social, dan kepribadian ketiga aspek itu merupakan
fenomena social yang prilaku manusia. Maka timbul pertanyaan : sejauh mana fungsi
lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan
sebagai suatu system? Dan sejauh mana fungsi agama dalam mempertahankan keseimbangan
pribadi.
Berkaitan dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan
agama dengan masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini
mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan pwembentukan masyarakat.
Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah sebagai berikut.

1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sacral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan
terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang
relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi focus utama bagi pengintegrasian
dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan
agama memasukan pengaruh yang sacral ke dalam system nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.

2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan
ikatan kepada system nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan
yang sacral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase
kehidupan social masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain,
pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-
istiadat saja.Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan focus utamanya pada
pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai
konsekuensi penting bagi agama.Salah satu akibatnya,anggota masyarakat semakin terbiasa
dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efesiensi dalam
menanggapi masalah- masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin
meluas.
Memiliki karakter-karakter yang dikemukakan Notting ham tersebut,tampaknya pengaruh
agama terhadap golongan masyarakat pun, jika dilihat dari karakter masing-masing
golongan pekerjaan,tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap masyarakat
yang digambarkan Notting ham secara umum,karna system masyarakat akan mencerminkan
budaya masyarakatnya.
1. Golongan petani.Pada umumnya,golongn petani termasuk masyarakat yang
terbelakang.Lokasinya berada didaerah terisolasi system masyarakatnya masih
sederhana,lembaga-lembaga sosialnyapun belum banyak berkembang.Mata pencaharian
utamanya bergantung pada alam yang tidak bisa dipercepat,diperlamba,atau dperhitungkan
secara cermat sesuai dengan keinginan petani.Faktor subur tidaknya tanah,dan sebagainya
merupakan faktor-faktor yang brada di luar jangkauan petani oleh sebab itu,mereka mencari
kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dandapat mengatasi semua
persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya.Maka,diadakanlah upacara-upacara atau ritus-
ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau menghormati dewa.Menyediakan sesajen bagi Dewi
Sri,yang dipercayai sebagai pelindung sawah dan ladang.

Dengan pengamatan selintas pengaruh agama tehadap golongan petani cukup besar.Jiwa
keagamaan mereka relaitf lebih besar karena kedekatannya dengan alam.

2. Golongan nelayan.Karakter pekerja golongan nelayan hampir sama dengan karakter golongan
petani.Mata pencahariannya berganyung pada keramahan alam.Jika musimnya sedang
bagus,tidak ada badai,boleh jadi tangkapan ikannya melimpah.Biasanya pada waktu-waktu
tertentu ada semacam upacara untuk menghormati penguasa laut,yang pada masyarakat
Indonesia dikenal sebagai Nyi Roro Kidul.Berdasarkan fakta tersebut,pengaruh agama pada
kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.

3. Golongan pengrajin dan pedagang kecil.Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam
situasi yang berbeda dengan golongan petani.Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat
dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada alam.Hidup mereka didasarkan atas
landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional.Mereka tidak menyadarkan diri pada
keramahan alam yang tidak bisa dipastikan,tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti
danpengarahan yang pasti.

Menurut Weber yang mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada
zamannya,yaitu agma Kristen,Yahudi,Islam,Hindu,Budha,dan konfusianisme,Taoisme golongan
pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika
pembalasan. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan
yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal.

4. Golongan pedagang besar.Kategori yang paling menonjol dari golongan pedagang besar adalah
memiliki sikapnya yang lain terhadap agama.Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa
yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa(compensation) moral,seperti yang dimiliki golongan
tingkat menengah bawah.mereka lebih berorientasi pada kehidupan nyata (mundane) dan
cenderung menutup agama profetis dan etis. Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional,
kemampuan yang mereka miliki terletk pada kekuatan ekonominya.

5. Golongan kariyawan.Weber menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Hal ini dilihat
dari pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian suatu masalah
kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi.

6. Golongan buruh. Yang dimaksud dengan golongan buruh adalah mereka yang bekerja dalam
industri-industri atau perusahan-perusahaan modern. Golongan buruh termasuk kelas proletar
yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan masyarakat,disingkirkan dari system social yang
berlaju.Kelas ini merupakan golongan yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan
yang sangat besar oleh kaum borjuis.Agama yang dibutuhkan oleh golongan buruh tampaknya
agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghisapan tenega kerja segara berlebihan.

7. Golongan tua-muda. Meskipun secara social penggolongan tua muda ini ada, tetapi susah
ditentukan batasannya secara praktis. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan
bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Nanun, bila
asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak
jarang banyak orang yang berumur 40 ke atas berlaku seperti anak muda.

8. Golongan pria-wanita. Secara psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam
menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional,
sedangkan wanita lebih rasa / emosinya.
Jika dlihat secara keseluruhan, tujuan beragama seseorang itu rata-rata untuk nencari
ketenangan bathin.Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita
lebih dominan,karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung emosional.
D. Peranan Pemimpin Dalam Pembangunan
Tujuan pembangunan pada mulanya sederhana saja, yakni memberantas kemiskinan
dan menjembatani kesenjangan. Ketika decade pembangunan dicanangkan oleh perserikatan
bangsa-bangsa (PBB), segera setelah perang dunia kedua, masalah yang dihadapi saat itu
adalah kehancuran ekonomi dan prasarana dari Negara-negara yang kalah atau menjadi
korban peperangan. Oleh karena itu,perhatian ulama pembangunan ditekankan pada
rehabilitasi dan rekonstruksi sarana-sarana ekonomi.
Membahas peranan para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan memang
sangat menarik, bukan saja lantaran para pemimpin agama merupakan salah satu komponen
itu sendiri, melainkan juga pada umumnya pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya
manusia yang bersifat utuh dan serasi antara kemajuaan aspek lahiriah dan kepuasan aspek
bathiniah. Corak pembangunan seperti ini didasarkan pemikiran bahwa keberadaan manusia
yang akan dibangun, pada dasarnya, terdiri atas unsure jasmaniah dan unsure ruhaniah.
Kedua unsure ini tentu harus terisi dalam proses pembangunan.
Pentingnya keterlibatan para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan ini
adalah dalam aspek pembangunan unsure ruhaniahnya, para pemimpin agama dalam
kegiatan pembangunan tidak bersifat suplementer (pelengkap penderita), tetapi benar-benar
menjadi salah satu komponen inti dalam seluruh proses pembangunan. Dalam pelaksanaanya,
bahkan para pemimpin agama dapat berperan lebih luas; bukan hanya terbatas pada
pembangunan ruhani masyarakat, tetapi juga dapat berperan sebagai motivator, pembimbing,
dan pemberi landasan etis dan moral, serta menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan
pembangunan.

1. Pemimpin Agama Sebagai Motivator


Tidak dapat di sangkal bahwa peran para pemimpin agama sebagai motivator
pembangunan sudah banyak di akui dan terbukti di masyarakat.
Terlibatnya para pemimpin agama dalam kancah kegiatan pembangunan ini, terutama di
dorong oleh kesadaran untk ikut secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan
duniawi yang sangat kompleks yang dihadapi umat manusia.Begitu kompleksnya
permasalahan yang dihadapi manusia di dunia ini sampai pemerintahan sekuler tidak
dapat lagi memecahkannya tanpa bantuan dari pihak pemimpin agama, seperti
pemberantasan kemiskinan, mengatasu kesenjangan, mencegah kerusakan lingkungan,
dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.Tentu para pemimpin
agama tidak dapat diam berpangku tangan dengan mengatakan bahwa agama tidak
mengurusi permasalahan umat yang bersifat fisik, Agama hanya mengurusi aspek
spiritual damn kehidupan manusia, pemikiran seperti ini akan mengakibatkan agama-
agama di dunia ini dijauhioleh umat manusia.
Selain itu, para pemimpin agama juga diharapkan mampu merangsang masyarakat agar
berani melakukan perubahan-perubahan kehidupan ke arah yang lebih maju dan
sejahtera. Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk
selalu giat berusaha, jangan sekali-kali untuk bersifat fatalis. Para pemimpin agama
seyogianya memberikan wawasan kepada masyarakat bahwa takdir hanyalah batas akhir
dari upaya manusia dalam meraih prestasi.Dengan demikian para pemimpin agama telah
mampu membuktikan kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap
membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih sesuatu yang dicita-
citakannya.
2. Pemimpin Agama Sebagai Pembimbing Moral
Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama di masyarakat dalam kaitannya
dengan kegiatan pembangunan adalah peran yang berkaitan dengan upaya-upaya
menanamkan prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam kaitannya, kegiatan
pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama dalam
meletakkan landasan moral, etis, dan spiritual serta peningkatan pengalaman agama,
baikdalam kehiduan pribadi maupun social.
Berangkat dari landasan etis dan moral inilah, kegiatan pembangunan lalu diarahkan pada
upaya pemulihan harkat dan martabat manusia, harga diri dan kehormatan individu, serta
pengakuan atas kedaulatan seseorang atau kelompok untuk mengembangkan diri sesuai
dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan nuraninya. Di sinilah kemudian nilai-nilai
religius yang ditanamkan para pemimpin agama memainkan peranan penting dalam
kegiatan pembangunan.
Tuntutan dan patokan yang tertuang dalam kitab suci, teladan para nabi, dan hukum-
hukum agama yang merupakan elaborasi dari sabda Tuhan menurut hasil pemikiran para
pemuka, pemimpin dan pemikir agama pada masa lalu, mereka jadikan bahan untk
membimbing arah kegiatan pembangunan secara menyeluruh.
3. Pemimpin Agama Sebagai Mediator
Peran lain para pemimpin agama yang tidak kalah pentingnya, juga dalam kaitannya
dengan kegiatan pembangunan di masyarakat adalah sebagai wakil masyarakat dan
seagai pengantar dalam menjalin kerja sama yang harmonis di antara banyak pihak dalam
rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan lembaga-lembaga
keagamaan yang dipimpinnya.
Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin agama biasanya
memposisikan diri sebagai mediator di antara beberapa pihak di masyarakat, seperti
antara masyarakat dengan elite pengusaha dan antara masyarakat miskin dengan
kelompok orang-orang kaya. Melalui pemimpin agama, para elite pengusaha dapat
memahami apa yang diinginkan masyarakat, dan sebaliknya elite pengusaha dapat
mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat luas melalui bantuan para
pemimpin agama.
Munculnya kerja sama antara para pemimpin agama di satu pihak dengn kalangan kaya
dan penguasa di pihak lain merupakan fenomena social yang umum terjadi di kalangan
umat beragama. Dari sudut formal keagamaan, kerja sama para pemimpin keagamaan
dengan kalangan hartawan dan dan penguasa ini memang tidak dapat apa-apa. Sebab,
sesunggguhnya kerja sama para pemimpin agama dengan kalangan kaya dan penguasa,
pada prinsipnya, tidak bisa di nilai buruk.Agama bagaimanapun, merupakan rahmat bagi
segenap manusia, tak peduli miskin atau kaya, penguasa atau rakyat jelata,di sinilah
pemimpin agama menyadari bahwakerja sama mereka tidak lain adalah untuk
kepentingan menegakkan keadilan social dan untuk membeli kepentingan orang-orang
kecil.
MAKALAH SOSIAL PENDIDIKAN TENTANG AGAMA DAN GOLONGAN
MASYARAKAT

BAB III

KESIMPULAN
Agama mempunyai kaitan yang sangat erat dalam kehidupan bermasyarakat, agama mempunyai
fungsi sebagai peranan agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat
yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena keternatasan dan ketidakpastian.
Pentingnya keterlibatan pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan ini adalah dalam
aspek pembangunan unsure ruhaniah. Dalam pelaksanaanya. Bahkan pemimpin agama dalam
berperan lebih luas; bukan hanya terbatas pada pembangunan ruhani masyarakat tetapi juga
dapat berperan sebagai motivator, pembimbing. Dan pembei landasan etis dan moral serta
menjadi mediator dalam seluruh kegiatan aspek pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Masyarakat, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006.
2. Scharf, R, Betty, Sosilogi Agama, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004.
3. Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.

Anda mungkin juga menyukai