Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan keras
tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah
yang meliputi tulang frontal, temporal, orbitozygomatikus, nasal, maksila dan
mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor
yang datang dari luar.1,2,3

Di Department of Plastic and Reconstructive Surgery, Inha University


Hospital, Incheon, South Korea, sebanyak 49,4% akibat kekerasan, 14,5% trauma
terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor, 14.5% akibat terjatuh, cedera saat
berolahraga 11,3%, akibat kecelakan kerja 7.6% dan akibat kecelakaan lainnya
2,8%.3

Fraktur midfasial melibatkan banyak struktur yang terdiri dari fraktur


zygomatik omaksilar/ zygomatic omaksillari complex termasuk fraktur Le fort,
dan fraktur nasoorbitoethmoid / nasoorbitalethmoid. Fraktur midfasial cenderung
terjadi pada sisi benturan dan bagian yang lemah seperti sutura, dan foramen.
Fraktur zygoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling sering terjadi,
umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan sepertiga bagian tengah
wajah. Hal ini dikarenakan posisi zygoma agak menonjol pada daerah
sekitarnya.4,5

Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita


secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi
okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai
susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi
dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen tulang.6

1
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah,
yaitu tulang frontal, temporal, orbito zigomatikus, nasal, maksila dan
mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari
faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan.
Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling
sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan
lokasi zigoma yang lebih menonjol. Zigoma mempunyai peran yang penting
dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma dapat
mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada
zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat.

2. ETIOLOGI / FAKTOR RESIKO


Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial
itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan
akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari
tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu
lintas
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada
pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang
keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya,
seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan
rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas.
3

3. KLASIFIKASI
a. Fraktur kompleks Zigomatikum
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila,
tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut
biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih
tepat bila injuri semacam ini disebut “fraktur kompleks zigomatik”.
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta
suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal,
dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada
daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi merupakan
etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa
terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.
Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”,
namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang
berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi
orbita, penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas

Pandangan frontal dari fraktur zigomatik Pandangan submentoverteks dari


kompleks (www.emedicine.com) fraktur zigomatik kompleks
(www.emedicine.com)

b. Arkus zigomatikus
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur
zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada
arkus, yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film
4

submentoverteks dan secara klinis berupa gangguan kosmetik pada


kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik.
4. PATOFISIOLOGI
Gaya yang menyebabkan cidera dapat dibedakan jadi 2, yaitu high
impact atau low impact. Keduanya dibedakan apakah lebih besar atau lebih
kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Setiap region pada wajah membutuhkan
gaya tertentu hingga menyebabkan kerusakan dan masing masing region
berbeda – beda. Margo Supraorbital, maxilla, dan mandibula (bagian
syimphisis dan angulus) dan frontal membutuhkan gaya yang high impact
agar bias mengalami kerusakan. Sedangkan os zygoma dan os nasal dapat
mngalami kerusakan hanya dengan terkena gaya yang low impact.
Fraktur kompleks zygomaticomaxilla : fraktur ini disebabkan oleh
trauma langsung. Garis fraktur meluas melalui sutura zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, zygomaticomaxlla dan artikulasi dengan ala magna os
sphenoid. Garis fraktur biasanya meluas hingga foramen intraorbita dan
lantai orbita. Cidera ocular yang bersamaan juga sering terjadi.

5. MANIFESTASI KLINIS
a. Fraktur Kompleks Zigomatikum
1) Depersi malar
2) Pendataran tulang pipi,
3) Nyeri tekan penonjolan zygoma.
4) Flame sign : kerusakan dan depresi tendon canthal lateral,
pendarahan sub conjunctival, paresthesi pada sisi lateral hidung dan
bibir bagian atas, diplopia akibat m. rectus inferior, intraoral
ecchimosis
b. Arkus Zigomatikum
1) Nyeri saat palpasi
2) Keterbatasan gerak mandibula disebabkan interferensi pergerakan
processus coronoideus mandibula pada pemeriksaan fisik
5

6. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran
tulang, segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma
bervariasi dari tidak ada intervensi dan observasi meredanya oedem,
disfungsi otot ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi
interna. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak
mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian
menunjukkan bahwa antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan
perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan, perawatan yang tepat harus
diberikan seperti fraktur lain yang mengalami pergeseran yang
membutuhkan reduksi dan alat fiksasi.
a. Penatalaksanaan Medis
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.
Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies
klasik.
Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi :
1) Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,
2) Mengidentifikasi fasia temporalis,
3) Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari
aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk
fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari.
Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.
Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen – fragmen
harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak
perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian
atas lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara
efektif.
Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, A. Insisi
temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia
temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator
6
7

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada
sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis, pembengkakan
kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya
tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi
terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada pemeriksaan intra
oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di
daerah penyangga zigomatik, kemungkinan penyumbatan oklusi didaerah
molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara palpasi terdapat
kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik,
anestesia gusi atas.
Pemeriksaan fraktur komplek zigomatikus dilakukan dengan foto
rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan CT scan

Pemeriksaan dengan proyeksi


waters dari fraktur kompleks
zigomatik
8

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Survei Awal
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan
prioritas perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan
mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang
dianjurkan olehAmerican College of Surgeon ialah perawatan trauma
ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
1) Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
2) Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen
fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
3) Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas atas.
B: Breathing and adequate ventilation
1) Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior
dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.
C: Circulation with control of hemorrhage
1) Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk
meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
2) Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan
perdarahan di kepala.
3) Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi
wajah yang meluas dan perdarahan kepala.
D: Disability: neurologic examination
1) Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil,
dan reaksi.
2) Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara
langsung maupun tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran
9

pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan


neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.
3) Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan
sensoris (alkohol atau obat) yang tidak berhubungan dengan trauma
intrakranial.
E: Exposure/ enviromental control
1) Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
2) Menghilangkan lensa kontak.
b. Penilaian GCS
Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk
memeriksa kesadaran yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi trauma maksilofasial.
Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon membuka
mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan
berdasarkan skor yang diperoleh berdasarkan tabel berikut.

c. Riwayat penyakit, Keluhan utama dan pemeriksaan klinis


Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat
penyakit pasien penderita fraktur maksilofasial ialah:
1) Bagaimana kejadiannya?
2) Kapan kejadiannya?
3) Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan
alat yang kemungkinan dapat menyebabkannya?
4) Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5) Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri,
sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-
obatan, imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan
terdahulu yang pernah dilakukan.
10

Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya


menimbulkan keluhan sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya
kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.
Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan
ketajaman penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di
daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi jalan nafas.
Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan
oklusi, nyeri pada rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh
pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi
neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena trauma, termasuk dada,
abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat
adanya trauma seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma.
Ekimosis di periorbital, terutama dengan adanya perdarahan
subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur
zigomatikus kompleks dan fraktur rima orbita.
Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati
dengan memeriksa penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil
terhadap cahaya.
Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area
inferior dan lateral mandibula serta sendi temporomandibular.
Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi pada area gingiva dan
kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila,
stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien
menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik
maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat
adanya kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau
zigoma. Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk
mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya
11

edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus


kompleks, jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi
dan tekan kearah superior lateral.
d. Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis
diperlukan untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk
mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat
memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.

N Diagnosa NOC NIC


O
1 Nyeri akut berhubungan dengan: NOC : NIC :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, ❖ Pain Level, - Lakukan pengkajian nyeri secara
psikologis), kerusakan jaringan ❖ pain control, komprehensif termasuk lokasi,
DS: karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
❖ comfort level
- Laporan secara verbal dan faktor presipitasi
Setelah dilakukan tinfakan
DO: - Observasi reaksi nonverbal dari
keperawatan
- Posisi untuk menahan nyeri ketidaknyamanan
selama …. Pasien tidak
- Tingkahlaku berhatihati - Bantu pasien dan keluarga untuk
mengalami
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak mencari dan menemukan dukungan
nyeri, dengan kriteria hasil:
capek, sulit atau gerakan kacau, - Kontrol lingkungan yang dapat
- Mampu mengontrol nyeri
menyeringai) mempengaruhi nyeri seperti suhu
(tahu penyebab nyeri, mampu
- Terfokus pada diri sendiri ruangan, pencahayaan dan kebisingan
menggunakan tehnik non
- Fokus menyempit (penurunan - Kurangi faktor presipitasi nyeri
farmakologi untuk
persepsi waktu, kerusakan proses - Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
mengurangi nyeri, mencari
berpikir, penurunan interaksi menentukan intervensi
bantuan)
dengan orang dan lingkungan) - Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
- Melaporkan bahwa nyeri
- Tingkah laku distraksi, contoh : napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
berkurang dengan
jalanjalan,menemui orang lain hangat/ dingin
menggunakan manajemen
dan/atau aktivitas, aktivitas - Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
berulangulang) nyeri: ……...
- Mampu mengenali nyeri
- Respon autonom (seperti
(skala, intensitas, frekuensi  Tingkatkan istirahat
diaphoresis, perubahan tekanan
dan tanda nyeri)  Berikan informasi tentang nyeri seperti
darah, perubahan nafas, nadi dan penyebab nyeri, berapa lama nyeri
- Menyatakan rasa nyaman
dilatasi pupil) akan berkurang dan antisipasi
setelah nyeri berkurang
- Perubahan autonomic dalam tonus ketidaknyamanan dari prosedur
- Tanda vital dalam rentang
otot (mungkin dalam rentang dari
normal  Monitor vital sign sebelum dan
lemah ke kaku) sesudah pemberian analgesic pertama
- Tidak mengalami gangguan
- Tingkah laku ekspresif (contoh : kali
tidur
gelisah, merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan
minum
2 Kerusakan integritas jaringan NOC: NIC :
berhubungan dengan: Gangguan Pressure ulcer prevention
12

sirkulasi, iritasi kimia (ekskresi dan ❖ Tissue integrity : skin and Wound care
sekresi tubuh, medikasi), deficit mucous membranes - Anjurkan pasien untuk menggunakan
cairan, kerusakan mobilitas fisik, ❖ Wound healing : primary and pakaian yang longgar
keterbatasan pengetahuan, faktor secondary intention - Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
mekanik (tekanan, gesekan), Setelah dilakukan tindakan - Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
kurangnya nutrisi, radiasi, faktor keperawatan selama …. setiap dua jam sekali
suhu (suhu yang ekstrim) Kerusakan integritas jaringan - Monitor kulit akan adanya kemerahan
DO : pasien teratasi dengan kriteria - Oleskan lotion atau minyak/baby oil
- Kerusakan jaringan (membrane hasil: pada daerah yang tertekan
mukosa, integumen, subkutan) - Perfusi jaringan normal - Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
- Tidak ada tandatanda infeksi - Monitor status nutrisi pasien
- Ketebalan dan tekstur - Memandikan pasien dengan sabun dan
jaringan normal air hangat
- Menunjukkan pemahaman - Kaji lingkungan dan peralatan yang
dalam proses perbaikan kulit menyebabkan tekanan
dan mencegah terjadinya - Observasi luka : lokasi, dimensi,
cidera berulang kedalaman luka, karakteristik,warna
- Menunjukkan terjadinya cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
proses penyembuhan luka tandatanda infeksi lokal, formasi traktus
- Ajarkan pada keluarga tentang luka dan
perawatan luka Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKTP, vitamin
- Cegah kontaminasi feses dan urin
- Lakukan tehnik perawatan luka dengan
steril
- Berikan posisi yang mengurangi tekanan
pada luka
- Hindari kerutan pada tempat tidur
N Diagnosa Intervensi Rasional
1 Potensial terjadinya syok sehubungan INDENPENDEN:
dengan perdarahan yang banyak  Observasi tanda-tanda vital.  Untuk mengetahui tanda-tanda syok
sedini mungkin
 Mengkaji sumber, lokasi, dan  Untuk menentukan tindakan
banyaknya per darahan
 Memberikan posisi supinasi  Untuk mengurangi per darahan dan
 Memberikan banyak cairan mencegah kekurangan darah ke otak.
(minum)

KOLABORASI:
 Pemberian cairan per infus  Untuk mencegah kekurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang.
 Pemberian obat koagulan sia  Membantu proses pembekuan darah dan
(vit.K, Adona) dan untuk meng hentikan perdarahan
penghentian perdarahan
dengan fiksasi.
 Pemeriksaan laboratorium  Untuk mengetahui kadar Hb, Ht apakah
(Hb, Ht) perlu transfusi atau tidak.
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto
radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior
view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang
13

memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal


dan periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi
bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya
dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien dengan trauma
wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai
gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai
tambahan penilaian radiografi.
Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat
menggunakan Water’s view, lateral skull view, posteroanterior skull
view, dansubmental vertex view.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

3 Potensial infeksi sehubungan dengan INDEPENDEN:


luka terbuka.  Kaji keadaan luka  Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
(kontinuitas dari kulit)
terhadap adanya: edema,
rubor, kalor, dolor, fungsi
laesa.
 Anjurkan pasien untuk tidak  Meminimalkan terjadinya kontaminasi.
memegang bagian yang luka.
 Merawat luka dengan meng-  Mencegah kontaminasi dan
gunakan tehnik aseptik kemungkinan infeksi silang.
 Mewaspadai adanya keluhan  Merupakan indikasi adanya osteomilitis.
nyeri mendadak, keterbatasan
gerak, edema lokal, eritema
pada daerah luka.

KOLABORASI:
 Pemeriksaan darah : leokosit  Lekosit yang meningkat artinya sudah
terjadi proses infeksi
Pemberian obat-obatan :
 antibiotika dan TT (Toksoid  Untuk mencegah kelanjutan terjadinya
Tetanus) infeksi dan pencegahan tetanus.
 Persiapan untuk operasi  Mempercepat proses penyembuhan luka
sesuai indikasi dan dan penyegahan peningkatan
infeksi.
Gangguan aktivitas s/d keru-sakan INDEPENDEN:
neuromuskuler skeletal, nyeri,  Kaji tingkat immobilisasi  Pasien akan membatasi gerak karena
immobilisasi. yang disebabkan oleh edema salah persepsi (persepsi tidak
dan persepsi pasien tentang proporsional
immobilisasi tersebut.
14

 Mendorong partisipasi dalam  Memberikan kesempatan untuk


aktivitas rekreasi (menonton mengeluarkan energi, memusatkan
TV, membaca koran dll ). perhatian, meningkatkan perasaan me-
ngontrol diri pasien dan membantu
dalam mengurangi isolasi sosial.
 Menganjurkan pasien untuk  Meningkatkan aliran darah ke otot dan
melakukan latihan pasif dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
aktif pada yang cedera mempertahankan mobilitas sendi,
maupun yang tidak. mencegah kontraktur / atropi dan
reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
 Membantu pasien dalam  Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi
perawatan diri otot, meningkatkan pasien dalam
mengontrol situasi, meningkatkan
kemauan pasien untuk sembuh.
 Auskultasi bising usus,  Bedrest, penggunaan analgetika dan
monitor kebiasaan eliminasi perubahan diit dapat menyebabkan
dan menganjurkan agar b.a.b. penu-runan peristaltik usus dan
teratur. konstipasi.
 Memberikan diit tinggi  Mempercepat proses penyembuhan,
protein , vitamin , dan mencegah penurunan BB, karena pada
mineral. immobilisasi biasanya terjadi penurunan
BB.
15

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Jong W D. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC;2010 ; 419-20.

2. Menon S, Sinha R, Thapliyal G, Bandyopadhyay. Management fracture


zygomatic in hospital: A retrospective study. J Maxilofacial Oral Surg 2011
Juni; 10 (2):136-41.

3. Hwang K, Hye Sun. Analysis of facial bone fractures: An 11-year study of


2,094 patients. Indian J of Plastic Surg 2010; Vol 43:42-48

4. Vibha Singh, et al, 2012, The Maxillofacial Injuries, Departments of Oral and
Maxillofacial Surgery, Anaesthesia, K.G. Medical University, Lucknow, India,
National Journal of Maxillofacial Surgery Vol 3.

5. Rekosprawir S. Fraktur Epidemiologi fraktur maksilofasial. 2010. From :


http://id.scribd.com/doc/56587918/01-Epidemiology-of-Maxillofacial-
Fracture-SNT , 29 November 2017

6. Mesgarzadeh AH, Shahamfar M, Azar S. Analysis of the pattern of


maxillofacial in north western of Iran: A retrospective study. J emerg Trauma
Shock 2011 Jan-Mar; 4 (1):48-52.

7. J Babak, T Francisco. Facial Bone Anatomy. 2016. From :


http://emedicine.medscape.com/article/835401-overview , 30 November 2017

8. R Putz, R Pabst. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22. Jakarta : EGC ;
2006 ; 32.

9. Putri A. Fraktur zygomaticomaxilaris compleks. Mei 2010.

10. Dharma M. Dear plastic. Perhimpunan ahli bedah plastik Indonesia.


Available from: http://www.darplastic.com/umum/bagian-ketiga.html

11. Borton, C. Zygomatic arch and orbital fractures. 2010


16

12. Rekosprawiro S. Fraktur zygoma dalam bedah kepala dan leher diagnostik
fisik. Surabaya: 2010; hal 90.

13. S Stuart, D Dan. Zygomatic Complex Fracture and Management. 2016.


From : http://emedicine.medscape.com/article/1218360-treatment

14. F. R. Kloss1, R. G. Stigler1, T. Tuli1, M. Rasse1, K. Laimer, R. Gassner.


Complications related to midfacial fractures: operative versus non-surgical
treatment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg; 40: 33–37. 2011

15. L. Kaukola, J. Snäll, R. Roine, H. Sintonen, H. Thorén. Health-related quality


of life of patients with zygomatic fracture.Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2017
Sep 1;22 (5):e636-42

Anda mungkin juga menyukai