Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sehat,baik secara fisik,mental,spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sumber daya

di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana,tenaga,perbekalan kesehatan,sediaan farmasi

dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan

untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah

daerah, dan atau masyarakat (UU RI No.36/09, I:1 (1,2)). Di Indonesia masih banyak

penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satunya diantaranya ialah cacing perut

yang ditularkan melalui tanah. Pravalensi kecacingan di Indonesia pada umumnya masih

sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko

tinggi terjangkit penyakit ini (Keputusan Menteri Kesehatan No. 424/MENKES/VI/2006).

Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi

di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected diseases). Penyakit yang

termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang

muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit

yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap,

penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian (Sudomo,

2008).

Lebih dari dua miliar manusia di seluruh dunia terinfeksi oleh cacing dan sering kali

oleh beberapa jenis cacing sekaligus terutama di daerah tropik miskin. Di negara

berkembang, termasuk Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum yang sama

pentingnya dengan misal-nya malaria, atau TB. Infeksinya pun dapat terjadi oleh beberapa

1
jenis cacing sekaligus. Diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita infeksi

cacing (Tjay; Kirana, 2015:200). Hal ini dikarenakan kebersihan personal yang kurang,

rumah-rumah yang kumuh, dan sanitasi lingkungan yang buruk. Hal ini sesuai dengan

penelitian (Ayu, 2002) di mana ditemukan 83,8% infeksi cacing pada pemulung anak.

Di Indonesia penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing usus, khususnya yang

ditularkan melalui tanah frekuensinya tinggi yaitu berkisar antara 20-90% (Safar, 2009:158).

Infeksi tersebut disebabkan oleh Ascaris lumbricodies, Trichuris trichiura, dan cacing

tambang (Necarator americanus dan Ancylostoma duodenale (Nurdian, Yudha, 2005).

Infeksi dengan cacing Ascaris lumbricodies adalah penyebab paling besar prevelensinya

diantara penyakit cacing lainnya. Penyakit ini diperkirakan menginfeksi lebih dari 1 miliar

orang. Penularannya pada manusia terjadi karena tertelannya telur cacing yang mengandung

larva infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar. Sayuran mentah yang

mengandung telur cacing yang berasal dari pupuk kotoran manusia (Widoyono, 2011:178)

Infeksi kecacingan dapat dikurangi dengan pemberian obat-obat sintetis pada

penderita, contoh obat sintetis yang dapat digunakan yaitu piperazine sitrat, pyrantel pamoate,

levamisole. Obat yang paling sering digunakan adalah piperazin sitrat. Piperazin sitrat

bekerja melumpuhkan cacing kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus.

Obat ini memiliki efek samping, diantaranya mual, muntah, dan reaksi alergi (Tjay; Kirana,

2015:208). Oleh karena itu, diperlukan pengobatan alternatif infeksi cacing yang memiliki

efek samping rendah,dan terjangkau. Sehingga masyarakat diberikan pilihan alternatif yaitu

menggunakan obat-obat yang bersifat alamiah (obat-obat tradisional).

Di Indonesia masyarakat sudah mengenal obat tradisonal yang dapat digunakan untuk

melawan cacing. Salah satunya adalah tanaman rimpang temu giring (Curcuma heyneana)

yang berkhasiat Anthelmintik. Rimpang temu giring adalah sejenis tumbuhan yang

2
digunakan sebagai obat tradisional. Temu giring kadang-kadang dianggap sepele ini

menyimpan banyak kegunaan dan khasiat.

Rimpang temu giring (Curcuma heyneana) merupakan tanaman semak semusim yang

tumbuh hingga setinggi 1m. Terdiri dari pelepah daun, tegak, permukaan licin, membentuk

rimpang, hijau muda (Herbie, Tandi, 2015;783). Temu giring biasa hidup di daerah

pekarangan atau daratan rendah dengan suhu yang agak lembab dan sedikit cahaya. Rimpang

temu giring mengandung flavonoid, minyak atsiri, kurkumin, monoterpen, sesquiterpen,

saponin, tanin, dan zat pati (Hidayat; Napitupulu, 2015:393). Kandungan saponin dalam temu

giring diduga sebagai anthelmintik. Penelitian Kuntari (2008) saponin memiliki efek

menghambat kerja enzim kolinesterase, penghambatan kerja enzim kolinesterase

menyebabkan paralisis otot hingga berujung kematian pada cacing.

Masyarakat biasa menggunakan rimpang temu giring dengan cara 20 gram rimpang

temu giring kemudian direbus dengan segelas air, tambahkan sedikit garam. Setelah dingin,

saring airnya. Lalu, airnya diminum (Gendrowati, Fitri, 2015:93). Penggunaan rimpang temu

giring sebagai anthelmintik bisa menggunakan rimpang temu giring dalam keadaan segar

maupun kering. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Evi Diah dkk (2013) bahwa air

rebusan rimpang temu giring dimulai dengan konsentrasi memiliki daya anthelmintik.

Oleh karena itu penulis tertarik menggunakan infusa dalam penelitian ini, yaitu

menyari dengan air pada suhu 90˚C selama 15 menit.

Uji daya efektivitas anthelmintik secara in vitro ini menggunakan hewan percobaan

Ascaridia galli yaitu spesies cacing gelang yang menyerang unggas (ayam). Hal ini

dikarenakan mendapatkan cacing Ascaris lumbricodies cukup sulit, sebab cacing Ascaris

lumbricodies tersebut harus dikeluarkan dari tubuh penderita dalam keadaan hidup tanpa

pengaruh obat cacing (Kendyaranto, 2008). Cacing ini dipilih karena mempunyai genus yang

3
sama dengan Ascaris lumbricodies, yaitu Ascaris sama-sama bisa diobati dengan piperazin.

Piperazin salah satu obat anthelmintik yang efektif terhadap cacing Ascaridia galli

(Soekardono; Partosoedjono, 1991:25).

Pada penelitian ini digunakan infusa dengan berbagai konsentrasi yang disesuaikan

dengan cara pemakaian di masyarakat dengan tujuan menentukan daya efektivitas yang

dapat mematikan cacing Asacaris galli. Daya anthelmintik pada penelitian ini ditunjukkan

dengan jumlah cacing yang mati dalam waktu tertentu setelah cacing direndam dalam infusa

temu giring pada berbagai konsentrasi, kemudian hasil yang didapat dibandingkan dengan

kontrol.

Hal ini yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang “Uji

Efektivitas Daya Anthelmintik Infusa Temu Giring (Curcuma Heyneana) Segar dan Kering

Terhadap Cacing Ascaridia Galli Secara In Vitro”

B. Rumusan Masalah

Apakah infusa rimpang temu giring (Curcuma heyneana) mempunyai daya

anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli?

4
C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui daya anthelmintik infusa rimpang temu giring (Curcuma heyneana)

terhadap cacing ascaridia galli.

2. Tujuan Khusus

Mengetahui konsentrasi infusa rimpang temu giring (Curcuma heyneana) segar

maupun kering yang efektif terhadap cacing Ascaridia galli dibandingkan dengan

piperazin sitrat.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Institusi

Menambah pengetahuan dan mengaplikasikan keilmuan yang telah di peroleh,

khususnya di bidang Farmakologi, Farmakognosi, dan Parasitologi serta

menambah pengalaman penulis dalam membuktikan khasiat dari temu giring

sebagai anthelmintik.

2. Manfaat bagi Akademik

Menambah kepustakaan dan literatur pada perpustakaan kampus jurusan farmasi.

Dan menambah informasi tentang tanaman rimpang temu giring sebagai obat

anthelmintik.

3. Manfaat bagi Masyarakat

Memberikan informasi bagi masyarakat bahwa tanaman rimpang temu giring

dapat menajdi obat herbal untuk mengatasi infeksi kecacingan.

5
E. Ruang Lingkup Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen, membahas

tentang rimpang temu giring (Curcuma heyneana) keadaan segar maupun kering

yang berkhasiat sebagai anthelmintik dengan cara mematikan cacing. Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah infusa temu giring dengan konsentrasi 10%. 20%, 30%,

40% berdasarkan data empiris yang dibandingkan dengan piperazin sitrat 1%, dan

variabel terikat adalah jumlah kematian cacing Ascaridia galli

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Infeksi Kecacingan

Pada umumnya cacing jarang menimbulkan penyakit serius, tetapi dapat

menyebabkan gangguan kesehatan kronis. Di negara berkembang, termasuk Indonesia,

penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum yang sama pentingnya dengan misal-nya

malaria, atau TB. Infeksinya pun dapat terjadi oleh beberapa jenis cacing sekaligus

(Tjay; Kirana, 2015:200). Penyakit ini banyak terdapat di negara-negara berkembang,

termasuk Indonesia. Diperikirakan lebih dari 60% anak-anak menderita penyakit infeksi

kecacingan (Widjajanti, 2008:58)

Infeksi kecacingan umumnya terjadi melalui mulut, adakalanya melaui luka di

kulit atau lewat telur atau larvanya, yang ada di mana-mana di aats tanah. Terlebih lagi

bila pembuangan kotoran (tinja) dilakukan dengan sembarangan dan tidak memenuhi

persyaratan higiene, mudah sekali terkena infeksi. Tergantung dari jenisnya, cacing tetap

bermukim dalam saluran cerna atau berpenetrasi ke jaringan (Tjay; Kirana, 2015:200)

Kecacingan sering diderita oleh balita dan anak-anak. Biasanya ditemukan pada

balita atau ank-anak yang gizinya kurang baik. Kebersihan yang kurang juga dapat

menjadi faktor pencetusnya. Penyebab nya dalah cacing Ascaris lumbriciodes dan cacing

tambang yang dapat menimbulkan anemia (Arty; Nagiga, 2009:47). Penyakit ini sangat

berbahaya karena dapat menjalar ke luar usus dan masuk ke organ-organ lain jika tidak

cepat-cepat diobati (Wudjajanti, 2008:59).

7
Gejala dan keluhan dapat disebabkan oleh efek toksik dari produk pertukaran zat

cacing, penyumbatan usus halus dan saluran empedu atau penarikan zat gizi yang

penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa gangguan

lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang-kejang, dan diare berkala dengan

hilangnya nafsu makan (anoreksia). Obstruksi usus buntu dan saluran pankreas dapat

menimbulkan appendiciitis dan pancratitis. Pada sejumlah cacing yang menghisap darah,

tuan rumah dapat menderita kekurangan darah (anemia) (Tjay; Kirana, 2015:201).

B. Cacing Ascaridia galli

Gambar 1

Cacing Ascaridia galli

Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Eumatoda

Kelas : Nematoda

Divisi : Secermentea

Ordo : Ascaridia

8
Famili : Ascarididae

Genus : Ascaridia

Spesies : Ascaridia galli

1. Epidemilogi

Cacing ascaridia galli tersebar secara meluas padanegara-negara di seluruh

dunia. Penyebaran ascaridiasis dapat terjadi pada keadaan temperatur tropis dan sub

tropis. Ascaridiasis pada ayam pertama dilaporkan terjadi di Jerman, selanjutnya di

Brazil, India, Zanziber, Pilipina, Belgia, China, Kanada, dan Inggris. Selain pada

ayam, Ascaridia galli juga ditemukan pada jenis unggas laiinya seperti angsa, kalkun,

dan burung liar (Rianto, 2011).

2. Morfologi

Cacing ascaridia galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada

unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan

berwarna putih kekuning-kuningan. Cacing ini memiliki kurtikula ekstraseluler yang

tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda pada cacing dewasa.

Pada bagian antrior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir,

satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi

terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh (Rianto, 2011).

Panjang cacing jantan 50-76 mm. Panjang cacing betina 72-116 mm. Telurnya tak

bersegmen waktu keluar bersama tinja dan dindingnya licin, berukuran 73-92 × 45-

57 mikron (Soekardono; Partosoedjono, 1991:27).

9
3. Pengobatan

Infeksi kecacingan pada ayam bisa diobati dengan Piperazine, Phenotiazine,

Hygromycin B (Soekardono; Partosoedjono, 1991:25).

C. Anthelmintik

Anthelmintika atau obat cacing (Yun.anti = lawan, helmins = cacing) adalah

obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam

istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran

cerna maupun obat-obat sistemik yang membasmi cacing maupun larvanya yang

menghinggapi dan jaringan tubuh (Tjay; Kirana, 2015:201).

D. Piperazine Sitrat

Gambar 2

Struktur Piperazine Sitrat

Piperazin, 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat (3:2) dengan rumus molekul

(C4H10N2)3.2C6H8O7. Piperazin sitrat mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih

dari 100,5% (C4H10N2)3.2C6H8O7 terhitung terhadap zat anhidrat. Kelarutannya adalah larut

10
dalam air, tidak larut dalam etanol dan dalam eter. Larutan (1 dalam 10) menunjukan pH

lebih kurang 5 (Depkes RI, 1995:680).

Piperazin (1949) sangat efektif terhadap Oxyruis dan Ascaris berdasarkan

perintangan penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian

dikeluarkan dari tubuh oleh gerakan peristaltik usus. Di samping itu piperazin juga

berkhasiat laksan lemah (Tjay; Kirana, 2015:208).

Dosis dewasa 75mg/kg berat badan atau dosis tunggal dari 3g selama 2 hari. Dosis

anak-anak 50mg/kg bera badan, yakni 1-2 tahun 1g, 3-5 tahun 2g, dan diatas 6 tahun 3g

sekaligus (Tjay; Kirana, 2015:208).

Menurut penelitian Vienda Redisti, Eka Nur(2013) dan Gebrilla (2015) bahwa

piperazin sitrat 1% dapat membunuh cacing Ascaridia galli dalam waktu 10 jam. Oleh

karena itu peneliti menggunakan larutan piperazin sitrat dengan konsentrasi 1% sebagai

kontrol positif dan waktu penelitian 10 jam.

E. Obat Tradisional

Menurut Undang-undang No. 36/09, 1:1 (9)) obat tradisional adalah bahan

atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan

sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-temurun

telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Masyarakat cenderung

memilih untuk kembali ke alam dari pada memanfaatkan obat-obatan kimia yang

secara segi finansial maupun fungsi justru merugikan pengguna sendiri, kembalinya

masyarakat memilih tanaman obat daripada obat-obatan kimia sering disebut dengan

back to nature (Hariana, Arief, 2015:2).

11
F. Rimpang Temu Giring

Gambar 3

Rimpang Temu Giring

1. Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma heyneana

2. Karakteristik Umum

Temu giring yang termasuk anggota Zingiberaceae tersebar di jawa, terutama

di jawa tengah dan jawa timur. Tanaman bermpang pahit itu ditemukan tumbuh

liar maupun dibudidayakan. Apabila rimpang dibelah, terlihat warna kekuningan

di bagian tengah dan kuning terang di bagian pinggir, berbau khas temu giring.

Akar samping memanjang alias menyebar ke kiri dan kanan batang secara

memanjang (Ismawan, Bambang, 2013:612).

12
Tumbuhan semak, semusim, tegak, tinggi 1 m. Batang semu, terdiri dari

pelepah daun, tegak, permukaan licin, membentuk rimpang, hijau muda. Daun

tunggal, permukaan licin, tepi rata, ujung dan pangkal runcing, panjang 40-50

cm, lebar 15-18 cm, pertulangan menyirip, pelepah 25-35 cm, hijau muda.

Daun tunggal, permukaan licin, tepi rata, ujung dan pangkal runcing, panjang

40-50 cm, lebar 15-40 cm, hijau muda, pangkal meruncing, ujung membulat,

rimpang bagianluar kuning koyor, irisan rimpang atau rimpang bagian dalam

kuning. Braktea atau daun pelindung hijau muda pada bagian bawah, merah

muda pada bagian atas, pangkal meruncing, ujung membulat, mahkota bunga dan

kelopak kuning muda (Herbie, Tandi, 2015:783).

3. Deskripsi Morfologi

a. Daun

Daun tunggal, permukaan licin, tepi rata, ujung dan pangkal runcing, panjang

40-50 cm, lebar 15-18 cm, pertulangan menyirip, pelepah 25-35 cm, hijau muda.

Keseluruhan daun berwarna.

b. Batang

Batang semu, terdiri dari pelepah daun, tegak, permukaan licin, membentuk

rimpang, hijau muda.

c. Bunga

Biasanya keluar dari samping batang semu. Pinggiran mahkota bunga

berwarna merah.

13
d. Rimpang

Bentuknya panjang, sempit, dan membengkok ke bawah. Bagian dalam

rimpang mirip dengan temu mangga. Rasa rimpang sampingnya pahit.

Rimpang biasanya berbentuk bujur sangkar serta bercabang.

4. Kandungan kimia

Rimpang temu giring mengandung flavonoid, minyak atsiri, kurkumin,

monoterpen, sesquiterpen, saponin, tanin, dan zat pati (Hidayat; Napitupulu,

2015:393). Saponin diduga memiliki daya anthelmintik. Menurut penelitian Kuntari

(2008) saponin memiliki efek menghambat kerja enzim kolinesterase. Enzim

kolinesterase merupakan enzim yang berfungsi yntuk menghidrolisis asetilkolin.

Asetilkolon merupakan zat yang dilepaskan dari ujung saraf motorik untuk

mengaktivasi reseptor sehingga mengawali serangkaian kontraksi. Penghambatan

kerja enzim kolinesterase menyebabkan paralisis otot hingga berujung kematian pada

cacing (Rahmalia, 2010).

5. Sifat dan Efek Farmakologi

Rimpang temu giring rasanya pahit dan dingin. Berkhasiat sebagai

anthelmintikum dan adopositas (Hariana, Arief, 2015;380).

6. Bagian Tanaman yang Digunakan

Bagian yang biasa digunakan masyarakat untuk pengobatan adalah bagian

rimpang dari temu giring (Herbie, Tandi, 2015:783).

14
7. Kegunaan

Temu giring mempunyai banyak khasiat antara lain mengobati cacingan, dan

penyakit kulit. Temu giring juga diketahui sangat bermanfaat untuk kecantikan, mulai

dari menmgangkat sel-sel kulit mati, menghaluskan kulit, mengangkat kotoran,

mencerahkan kulit, mengatasi bau badan. Masyarakat Indonesia juga banyak

memanfaatkan sebagai bedak dan lulur (Hidayat; Napitupulu, 2015;393).

8. Cara Pemakaian untuk Pengobatan Kecacingan

Cara penggunaan sebagai ramuan obat cacing dengan rimpang temu giring

disiapkan 20 gram rimpang temu giring kemudian direbus dengan segelas air,

tambahkan sedikit garam. Setelah dingin, saring airnya. Lalu, airnya diminum

(Gendrowati, Fitri, 2015:93)

G. Infusa

Infusa adalah sediaan air yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air

pada suhu 90oC selama 15 menit. Cara pembuatan campur simplisia dengan derajat

halus yang sesuai dalam panci dengan air yang secukupnya, panaskan di atas

penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu 90oC sambil sekali-sekali diaduk.

Serkai selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui

ampas sehingga diperoleh volume infusa yang dihendaki. Kecuali dinyatakan lain,

infusa yang mengandung bukan bahan-bahan berkhasiat keras, dibuat dengan

menggunakan 10% simplisia (Depkes RI, 1995:9).

15
H. Perencanaan Konsentrasi
Konsentrasi yang digunakan peneliti adalah 10%, 20%, 30%, 40%. Konsentrasi

tersebut disesuaikan dengan dosis empiris dari rimpang temu giring yaitu sekitar 20 gram

dalam 100 ml (20%) sebagai konsentrasi di tengah, dimulai dari konsentrasi 10% lalu

berikutnya merupakan kelipata dua puluh.

I. Uji Anthelmintik

Prinsip metode adalah cacing akan memperlihatkan gerakan yang berbeda

dengan cacing normal apabia diinkubasi dalam medium yang mengandung obat

anthelmintik, bila obat anthelmintik tersebut bekerja melumpuhan atau membunuh

cacing tersebut. Hewan percobaan yang digunakan adalah Ascaris lumbricoides jantan

dan betina atau spesies Ascaris lain, jantan dan betina. Prosedur kerja menurut buku

Kelompok Kerja Ilmiah (1993) :

1. Cawan petri disiapkan, masing-masing bertisi larutan NaCl 0.9% b/v, larutan uji

pada berbagai konsentrasi, dan larutan baku pembanding (piperazin sitrat) yang

telah dihangatkan terlebih dahulu pada suhu 37oC.

2. Ke dalam masing-masing cawan petri dimasukan cacing jantan atau betina yang

masih aktif bergerak (normal).

3. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 3 jam (diamati cacing yang mati, paralisis atau

masih normal setelah diinkubasi, cacing-cacing tersebut diusik dengan batang

pengaduk. Jika cacing diam, dipindahkan ke dalam air panas pada suhu 50oC.

Apabila dengan cara ini cacing tetap diam, berarti cacing mati, tetapi jika bergerak

cacing hanya paralisis)

Hasil yang diperoleh dicatat.

16
J. Kerangka Teori

Infeksi Kecacingan

Pengobatan

Obat Tradisional

Temu giring

saponin

Daya Anthelmintik
Gambar 4

Gambar 4

Kerangka Teori

K. Kerangka Konsep

 Zat uji infusa


rimpang temu giring
dengan konsentrasi : 17
a. 10%
b. 20%
c. 30%
Jumlah Kematian Cacing
Ascaridia galli

Gambar 5

Kerangka konsep

L. Definisi Operasional

Tabel 1

Definisi Operasional

Definisi Cara Hasil Skala


No Variabel Alat Ukur
Oprasional Ukur Ukur Ukur
1 Variabel Infusa yang Menimbang Gelas ukur Konsentra Ratio
bebas : diperoleh rimpang si infusa
Konsentrasi dengan jalan temu giring Timbangan rimpang
Infusa menyari 10, 20,30,40 temu
Rimpang rimpang temu gram dan giring
Temu giring dengan mengukur 10%,20%,
Giring suhu 90oC volume 30%, 40%.
selama 15 larutan air
menit infusa
kemudian di rimpang
saring. temu giring
hingga 100
ml.
2 Variabel Cacing yang Memasukan Pengamatan Persentase Ratio
Terikat : tidak cacing ke (%)
Jumlah bergerak dalam kematian
Kematian ketika diusik larutan uji cacing
Cacing. pada suhu dan
37oC dan diinkubasi
50oC yang di pada suhu
amati tiap 1 37oC
jam sampai
jam ke 10

M. Hipotesis

18
Infusa rimpang temu giring (Curcuma heyneana) efektif membunuh cacing Ascaridia

galli secara in vitro.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen, dengan

menampilkan data-data yang diperoleh setelah adanya perlakuan terhadap sampel. Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah infusa rimpang temu giring dengan konsentrasi 10%, 20%,

30%, 40% dan variabel terikat adalah jumlah kematian cacing Ascaridia galli.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah tanaman rimpang temu giring (Curcuma heyneana)

diperoleh dari desa Sukadana kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung yang

sebelumnya telah dideterminasi di Jurusan Farmasi, Poltekes Tanjungkarang dan Ascaridia

galli diperoleh dari Pasar Smep Tanjungkarang yang sebelumnya telah dideterminasi di Balai

Veterier Lampung (BVL).

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

19
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Poltekes Tanjungkarang pada bulan Mei

sampai dengan Juni 2016.

D. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dari hasil pengamatan

hewan uji, baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Data yang diperoleh berupa

kuantitatif. Data kuantitatif yang diperoleh yaitu jumlah cacing yang mati pada waktu

tertentu.

1. Perhitungan Pengulangan

Pengulangan dihitung dengan rumus Federer

(n-1)(t-1) >15

Dengan nilai n adalah jumlah pengulangan dari t adalah jumlah perlakuan. Dalam

penelitian ini menggunakan 6 perlakuan, jadi rumus di atas menjadi

(n-1) (t-1) > 15

(n-1) (6-1) > 15

(n-1) (5) > 15

5n-5 > 15

5n > 20

20
n >4

dari hasil perhitungan diperoleh jumlah pengulangan minimal adalah 4 kali. Jadi,

peneliti memilih 4 kali pengulangan dalam penelitian ini.

2. Alat dan Bahan

a. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik,

termometer, beaker glass, inkubator, gelas ukur 100ml, cawan petri, batang pengaduk

dan spatel, pinset, cawan porselen, pipet volume 5 ml, labu ukur 100ml, erlenmeyer,

panci, dan kertas saring.

b. Bahan

Bahan yang digunakan adalah :

1) Tanaman rimpang temu giring (Curcuma heyneana) yang diperoleh dari desa

Sukadana kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung.

2) Sirup piperazin sitrat 15 ml dengan merek dagang x.

3) NaCl 0,9%

4) Aquadest

5) Cacing Ascaridia galli yang diperoleh dari usus ayam kampung di tempat

pemotongan ayam Pasar Smep Tanjungkarang.

3. Cara Kerja

a. Pengambilan Cacing Ascaridia galli


21
Cacing Ascaridia galli diperoleh dari usus ayam kampung di tempat

pemotongan ayam Pasar Smep Tanjungkarang yang sebelumnya telah dideterminasi

di Balai Veterier Lampung (BVL). Cacing didapat dengan cara membelah satu per

satu usus ayam kampung yang baru dipotong. Bila ayam tersebut terinfeksi oleh

cacing, maka di dalam ususnya akan ditemukan cacing Ascaridia galli. Cacing

diambil menggunakan pinset lalu diseleksi dan dimasukan ke dalam larutan NaCl

0,9% yang telah dipanaskan pada suhu 37oC di dalam termos. Setelah jumlah cacing

tercukupi, maka penelitian dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya. Cacing hanya dapat

digunakan satu kali setiap perlakuan dan tidak dapat disimpan terlalu lama.

b. Pembuatan Infusa Rimpang Temu Giring

Temu giring yang digunakan adalah bagian rimpangnya yang sebelumnya

sudah di determinasi di Jurusan Farmasi, Poltekes Tanjungkarang. Kemudian rimpang

temu giring dibersihkan dengan cara dicuci dengan air bersih hingga tidak ada

kotoran, setelah bersih kemudian rimpang temu giring dirajang, selanjutnya rimpang

temu giring ditimbang, kemudian direbus dengan 100 ml air pada suhu 90oC selama

15 menit.

Pembuatan larutan infusa rimpang temu giring dengan konsentrasi 20% :

1) Ditimbang rimpang temu giring yang telah dirajang 20 g.

2) Dipanaskan dengan air 100 ml.

3) Tunggu sampai suhu 90oC, lalu tunggu 15 menit.

4) Infusa tersebut lalu disaring dengan kertas saring.

5) Jika volume berkurang ditambahkan air melalui saringan sampai di peroleh 100

ml.

22
c. Pembuatan Larutan Piperazin Sitrat

Pembuatan larutan piperazin sitrat 1g/5 ml dalam 15 ml dengan konsentrasi

1% v/v.

Pembuatan larutan piperazin sitrat dengan konsentrasi 1% :

1) Dimasukan sirup piperazin sitrat sebanyak 5 ml ke dalam gelas ukur.

2) Dimasukan ke dalam beaker glass yang telah dikalibrasi 100 ml.

3) Dibilas gelas ukur dengan aquadest secukupnya.

4) Ditambahkan aquadest sampai 100 ml.

d. Persiapan Uji Anthelmintik

Cacing yang digunakan sebanyak 120 ekor cacing Ascaridia galli. Kriteria sampel
yang dibutuhkan yaitu cacing dewasa, aktif bergerak, ukuean 7-11 cm, tidak tampak
cacat anatomi. Dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, dimana pada setiap kelompok
terdiri atas 4 cawan petri yang tiap cawan petri terdiri atas 5 ekor cacing.

1) Kelompok 1 (kelangsungan hidup sebagai kontrol negatif). Pada kelompok ini,


cacing diberi perlakuan dengan cara direndam dalam larutan NaCl 0.9% dengan 4
kali pengulangan.
2) Kelompok 2 (sebagai kontrol positif). Pada kelompok ini cacing diberi perlakuan
dengan cara direndam dalam larutan pepirazin sitrat pada konsentrasi 1% v/v
dalam 4 cawan petri.
3) Kelompok 3-6 (kelompo uji). Pada kelompok ini cacaing diberi perlakuan dengan
cara direandam dalam larutan infusa temu giring pada konsentrasi 10%, 20%,
30%, 40% dalam 4 cawan petri.

23
e. Persiapan Uji Anthelmintik

Menurut buku Panduan Pengujian dan Pengembangan Fitofarmaka (1993)

yang sebelumnya sudah dilakukan Eka Nur (2012), uji daya anthelmintik infusa

rimpang temu hitam secara In vitro dengan langkah-langkah :

a. Disiapkan cawan petri untuk 6 kelompok perlakuan yaitu kontol positif

(larutan piperazin sitrat konsentrasi 1% v/v dengan 4 cawan petri, 25 ml

larutan tiap konsentrasi) dan larutan uji (kelompok infusa rimpang temu

giring dengan 4 cawan petri, 25 ml larutan uji pada masing-masing

konsentrasi).

b. Cacing Ascaridia galli yang masih aktif bergerak dimasukkan kedalam

cawan petri pada setiap konsentrasi diisi 5 ekor cacing Ascaridia galli dan

setiap perlakuan dilakukan dalam 4 cawan petri.

c. Larutan yang sudah ada hewan ujinya diinkubasi dengan suhu 37oC. Amati

kondisi cacing setiap 1 jam dengan cara mengusik cacing dengan batang

pengaduk, apakah cacing mati atau masih normal setelah dinkubasi. Jika

cacing diam, dipindahkan kedalam air panas dengan suhu 50oC. Apabila

dengan cara ini cacing tetap diam, berarti cacing itu telah mati, tetapi jika

bergerak berarti cacing tersebut hanya paralisis. Hasil yang diperoleh

dicatat setiap 1 jam, batasan mati dalam percobaan ini adalah bila cacing

mati tidak bergerak bila dimasukan ke dalam air panas dengan suhu 50 oC

(pada penelitian ini hanya dicatat jumlah cacing yang mati pada setiap jam

nya hingga jam ke 10).

24
E. Alur Penelitian

Studi Pustaka

Pembuatan Infusa

Pengumpulan Cacing
Ascaridia Galli

Eksperimen

Pengamatan

Pengumpulan Data

Analisis Data

Gambar 6
Alur Penelitian

F. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data pada uji anthelmintik yang dilakukan adalah membandingkan berbagai

konsentrasi uji dengan kontrol positif. Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat.

Analisis data bivariat adalah analisis data yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan. Data bivariat didapat dengan membandingkan jumlah kematian cacing pada

masing-masing konsentrasi yang telah didapatkan rata-rata untuk mengetahui ada tidaknya

25
perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui hubungan dua variabel tersebut biasanya

digunakan pengujian statistik. Uji statistik yang di gunakan adalah ANOVA (Analysis of

Variance) yaitu dengan melihat perbedaan antara F hitung dan F tabel pada tarif kepercayaan

95%, kemudian bila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan pada uji beda nyata terkecil

(BNT) dengan taraf kepercayaan 95% (Notoatmodjo, 2012:183).

26

Anda mungkin juga menyukai