Puisi
Puisi
isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku
besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie
SEBUAH TANYA
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya.
kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. Wajah wajah yang tidak kita kenal
berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
1. Makna
Puisi ini diciptakan oleh seorang mahasiswa pada tahun 1969 yang bernama lengkap Soe
Hoek Gie, seorang mahasiswa Universitas Indonesia jurusan Sastra indonesia, seorang Aktifis dan
juga mencipta MAPALA (mahasiswa pecinta alam) pertama di indonesia.
Puisi ini bermakna tentang keadaan sebuah negri yang pemimpinnya mempunyai perlakuan
yang lebih istimewa daripada rakyatnya yang susah terluntang lantung karena keadaan ekonomi
ditambah kebijakan kebijakan pemerintah yang menyulitkan. Berikut penjelasan makna bait per bait :
Pada masa kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Khattab, ketika Suriah
dijangkiti wabah thaun alias campak yang menewaskan banyak orang, Sang Gubernur, Abu
Ubaidah bin Jarrah dikirimi surat oleh sang khalifah. Isi surat tersebut adalah agar sang
gubernur segera kembali ke Madinah agar tidak tertular wabah. Hal ini sangat wajar dan
masuk akal, negara memfasilitasi dan melindungi kesehatan dan keselamatan pejabat publik.
Namun dalam surat balasannya Ibnu Jarrah mengatakan: adalah tidak pada tempatnya
seorang pemimpin meninggalkan rakyatnya yang tengah bergelut dengan wabah dan
kematian. Biarlah cobaan ini aku hadapi bersama-sama mereka.
Kisah 14 abad yang lalu ini membawa dua pesan yaitu empati dan keteladanan.
Sebagai pejabat negara, boleh saja Ibnu Jarrah langsung angkat kaki meninggalkan tempat
yang berresiko bagi kesehatannya. Tetapi ia tidak melakukan itu. Ia membuat keputusan yang
mengedepankan akal sehat, empati dan keteladanan. Orang sinis boleh menganggap ini
sebagai cerita-cerita langit. Namun perlu digarisbawahi bahwa kisah ini benar-benar ada,
bukan sebuah bualan sejarah.
Kontras dengan kisah di negeri ini. Ketika kinerjanya yang memble banyak disoroti,
termasuk kebiasaan mendengkur dalam forum sidang, para wakil rakyat yang terhormat
kembali membuat sensasi. Ketika rakyat kecil gelisah dengan rencana kenaikan tarif listrik,
ketika orang-orang pinggiran berjibaku dengan tabung elpiji yang meledak dimana-mana,
anggota dewan yang mulia mengembuskan isu tak kalah menyesakkan.
Ditilik dari gaya bertuturnya, bait-bait puisi diatas ditulis oleh seorang yang terbiasa
hidup dalam kemapanan, namun jengah dengan kondisinya. Sang penulis puisi punya segala
syarat untuk membiasakan diri dengan pola hidup yang berkualitas. Ia terpelajar, dari
keluarga berkecukupan dan memiliki sumber daya finansial yang sangat memadai untuk
hidup secara sangat bermartabat.
Tetapi semua kondisi diatas tidak digunakannya untuk menjustifikasi dirinya hidup
dalam kenyamanan. Ia memilih hidup sederhana. Ia menyatakan tabu pada kesenangan dan
kegemerlapan yang tidak pada tempatnya. Mengapa? Karena pada tahun 1969 saat puisi itu
ditulis, nusantara ini sedang dilanda wabah busung lapar. Di jakarta begitu panjangnya orang
mengantri untuk setakar minyak tanah, anak-anak bersekolah tanpa sarapan dan bertelanjang
kaki. Beberapa bulan setelah ia menulis puisi diatas, atau sehari sebelum ulangtahunnya ke
27, pada Desember 1969, penulis puisi itu, Soe Hok Gie, menempuh kematian dengan cara
yang tak dipilih oleh orang-orang yang hidup mapan, tewas karena gas beracun di Puncak
Semeru.
Kuncinya adalah hati. Disitulah bermukimnya empati dan akal sehat. Gie dan Ibnu
Jarrah, hidup pada kurun masa dan sekat geografis yang berbeda. Tetapi mereka punya
kelembutan dan kepekaan hati yang sama. Maka bolehlah sekarang kita melontarkan sebuah
tanya: kemanakah hati nurani para penguasa? tak cukupkah kisah Gie dan Ibnu Jarrah sebagai
pelajaran? adakah empati dan akal sehat telah dibinasakan oleh ambisi dan egoisme?
Struktur dalam puisi tersebut terangkai dengan sebagaimana mestinya sehingga makna di
setiap kata, kalimat, bait, ataupun seluruh puisi dapat disampaikan dengan baik. Berikut penjelasan
struktur bahasa yang terdapat pada puisi tersebut :