KATARAK DIABETIKA
Buyung Ramadhan MP
22010114210151
Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya jernih
dan bening menjadi keruh. Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena proses
kongenital atau karena proses degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut
juga katarak senilis yang dibagi menjadi empat stadium; Insipien, Immatur, Matur
dan Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang mempengaruhi timbulnya
katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang mempercepat
proses timbulnya katarak ini. Dari 200 pasien dengan katarak senilis yang
dilakukan tes toleransi glukosa oleh Dukmore dan Tun (1980) ditemukan dan
disimpulkan bahwa intoleransi glukosa sering dijumpai pada katarak senilis yang
tidak menunjukkan glikosuria dan gula darah puasa yang normal pada
pemeriksaan rutin. Terdapat beberapa teori yang hendak menjelaskan patofisiologi
progresifitas katarak pada penderita diabetes, serta penelitian-penelitian yang telah
berhasil membuktikan korelasi antara awitan usia menderita katarak dengan
lamanya menderita diabetes.
BAB II
PEMBAHASAN
Kapsula lensa
Kapsula lensa memiliki sifat yang elastis, membran basalisnya yang
transparan terbentuk dari kolagen tipe IV yang ditaruh di bawah oleh sel-sel
epitelial. Kapsula terdiri dari substansi lensa yang dapat mengkerut selama
perubahan akomodatif. Lapis terluar dari kapsula lensa adalah lamela zonularis
yang berperan dalam melekatnya serat-serat zonula. Kapsul lensa tertebal pada
bagian anterior dan posterior preekuatorial dan tertipis pada daerah kutub
posterior sentral di mana m. Kapsul lensa anterior lebih tebal memiliki ketipisan
sekitar 2-4 dari kapsul posterior dan terus meningkat ketebalannya selama
kehidupan. Serat zonular Lensa disokong oleh serat-serat zonular yang berasal
dari lamina basalis dari epitelium non-pigmentosa pars plana dan pars plikata
korpus siliar. Serat-serat zonula ini memasuki kapsula lensa pada regio ekuatorial
secara kontinu. Seiring usia, serat-serat zonula ekuatorial ini beregresi,
meninggalkan lapis anterior dan posterior yang tampak sebagai bentuk segitiga
pada potongan melintang dari cincin zonula.
Epitel lensa
Terletak tepat di belakang kapsula anterior lensa, lapisan ini merupakan
lapisan tunggal dari sel-sel epitelial. Sel-sel ini secara metabolik aktif dan
melakukan semua aktivitas sel normal termasuk biosintesis DNA, RNA, protein
dan lipid. Sel-sel ini juga menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi
dari lensa. Sel-sel epitelial aktif melakukan mitosis dengan aktifitas terbesar pada
sintesis DNA pramitosis yang terjadi pada cincin di sekitar anterior lensa yang
disebut zona germinativum. Sel-sel yang baru terbentuk ini bermigrasi menuju
ekuator di mana sel-sel ini melakukan diferensiasi menjadi serat-serat. Dengan
sel-sel epitelial bermigrasi menuju bow region dari lensa, maka proses
differensiasi menjadi serat lensa dimulai. Mungkin, bagian dari perubahan
morfologis yang paling dramatis terjadi ketika sel-sel epitelial memanjang
membentuk sel serat lensa. Perubahan ini terkait dengan peningkatan massa
protein selular pada membran untuk setiap individu sel-sel serat. Pada waktu yang
sama, sel-sel kehilangan organel-organelnya, termasuk inti sel, mitokondria, dan
ribosom. Hilangnya organel-organel ini sangat menguntungkan, karena cahaya
dapat melalui lensa tanpa tersebar atau terserap oleh organel-organel ini.
Bagaimana pun, karena serat-serat sel lensa yang baru ini kehilangan fungsi
metaboliknya yang sebelumnya dilakukan oleh organel-organel ini, kini serat
lensa terganting dari energi yang dihasilkan oleh proses glikolisis.
Epitelium Lensa
Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan asam
amino yang lebih tinggi dari aqueous dan vitreus di sekelilingnya. Sebaliknya,
lensa mengandung kadar ion natrium (Na+) ion klorida (Cl-) dan air yang lebih
sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan kation antara di dalam dan di
luar lensa adalah hasil dari kemampuan permeabilitas membran sel-sel lensa dan
aktifitas dari pompa (Na+, K+-ATPase) yang terdapat pada membran sel dari
epitelium lensa dan setiap serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara
memompa ion natrium keluar dari dan menarik ion kalium ke dalam. Mekanisme
ini tergantung dari pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na+, K+-ATPase.
Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh inhibitor spesifik ATPase ouabain.
Inhibisi dari Na+, K+-ATPase akan menyebabkan hilangnya keseimbangan kation
dan meningkatnya kadar air dalam lensa. Walaupun Na+, K+-ATPase terhambat
pada perkembangan katarak kortikal masih belum jelas, beberapa studi telah
menunjukkan penurunan aktifitas Na+, K+-ATPase, sedangkan yang lainnya tidak
tidak menunjukkan perubahan apa pun. Dan studi-studi lain telah memperkirakan
bahwa permeabilitas membran meningkat seiring dengan perkembangan katarak.
Jalur yang kurang aktif untuk utilisasi G6P dalam lensa adalah heksosa
monofosfat shunt (HMP shunt), yang dikenal juga dengan istilah jalur pentosa
monofosfat. Sekitar 5% dari glukosa lensa dimetabolisme melalui jalur ini
sekalipun jalur ini distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa. Aktifitas HMP
shunt lebih tinggi pada lensa dibandingkan dengan jaringan lain dalam tubuh
namun perannya masih belum bisa ditetapkan. Sebagaimana pada jaringan lain,
dapat menghasilkan NADPH (sebuah bentuk terreduksi dari nicotinamide-adenine
dinucleotide phosphate (NADP)) untuk biosintesis asam lemak dan biosintesis
ribosa untuk nukleotida. Juga dihasilkan pula NADPH untuk aktifitas glutation
reduktase dan aldose reduktase dalam lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt
memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat. Aldose reduktase
adalah enzim kunci pada jalur lain metabolisme karbohidrat pada lensa, yaitu jalur
sorbitol. Enzim ini telah ditemukan memainkan peranan yang penting dalam
pembentukan katarak “gula”.
Sebagaimana ditekankan sebelumnya, reaksi heksokinase memiliki
keterbatasan dalam memfosforilasi glukosa dalam lensa dan dihambat oleh
mekanisme umpan balik dari produk glikolisis. Maka, ketika kadar glukosa
meningkat dalam lensa sebagaimana terjadi pada keadaan hiperglikemia, jalur
sorbitol teraktifasi lebih daripada glikolisis dan terjadi akumulasi dari sorbitol.
Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase.
Sayangnya enzim ini memilii affinitas yang rendah yang berarti sorbitol akan
terakumulasi sebelum mengalami metabolisme labih lanjut. Karakteristik ini,
dikombinasikan dengan kurangnya permeabilitas lensa terhadap sorbitol berakhir
dengan retensi sorbitol dalam lensa. Tingginya rasio NADPH/NADH mendorong
reaksi ke arah tersebut, akumulasi dari NADP yang terjadi sebagai konsekuensi
teraktivasinya jalur sorbitol dapat menyebabkan stimulasi HMP shunt yang terjadi
pada peningkatan glukosa lensa. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, stress
oksidatif yang terjadi pada diabetes terkait dengan penurunan kadar glutation dan
penurunan kadar NADPH, dengan demikian peningkatan sorbitol dehidrogenase
terkait dengan terganggunya kadar NAD+ yang bermanifestasi sebagai modifikasi
protein oleh glikosilasi non-enzimatik pada protein lensa. Penelitian yang
dilakukan oleh Murya, dkk (2006) menunjukkan bahwa kadar Katalase pada
pasien dengan katarak diabetik 16,42 unit/ml sedangkan pada katarak senilis
57,27 unit/ml. Kadar Superoksida dismutase pada katarak diabetik 9,19 unit/ml
dan kadarnya pada katarak senilis adalah 25,30 unit/ml. Penelitian ini
menyimpulkan penurunan kadar superoksida dismutase dan katalase yang lebih
rendah secara nyata dan bermakna pada pasien dengan katarak diabetik
dibandingkan dengan katarak senilis. Maurya menyimpulkan peran dari enzim-
enzim antioksidan yang penting dalam melindungi jaringan dari perusakan
oksidatif serta stress oksdatif termasuk faktor penting yang berperan dalam
patogenesis katarak diabetik. Penggunaan antioksidan akan menghambat atau
mencegah pembetukan katarak.(13) Sejalan dengan sorbitol, fruktosa juga
terbentuk pada lensa dengan kadar tinggi glukosa. Bersamaan, kedua gula tersebut
meningkatkan tekanan osmotik di dalam lensa dan menarik air. Pada mulanya
pompa tergantung energi pada lensa mampu mengkompensasi, tetapi akhirnya
kemampuan tersebut terlewati. Hasilnya adalah pembengkakan serat, rusaknya
arsitektur sitoskeletal normal dan kekeruhan lensa.
Diabetes Mellitus dan Katarak
Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi
dan amplitudo akomodatifnya. Dengan peningkatan kadar gula darah, juga diikuti
dengan kadar glukosa pada aqueous humor. Karena kadar glukosa darah yang
meningkat pada aqueous humor dan glukosa masuk ke dalam lensa melalui difusi,
kadar glukosa dalam lensa akan meningkat. Beberapa molekul glukosa akan
diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase yang tidak dimetabolisme
namun menetap di dalam lensa.
Bersama dengan itu, tekanan osmotik akan menyebabkan influks dari air
ke dalam lensa yang menyebabkan pembengkakan dari serat-serat lensa. Keadaan
hidrasi lentikular dapat mempengaruhi kemampuan/kekuatan refraksi lensa.
Pasien dengan diabetes dapat menunjukkan perubahan kekuatan refraksi
berdasarkan perubahan pada kadar glukosa darah yang dialami. Perubahan miopik
akut dapat mengindikasikan diabetes yang tidak terdiagnosa atau diabetes yang
tidak terkontrol. Seorang dengan diabetes memiliki amplitudo akomodasi yang
menurun dibandingkan dengan kontrol pada usia yang sama, dan presbiopia dapat
terjadi pada usia yang lebih muda pada pasien dengan diabetes jika dibandingkan
dengan yang tidak mengalaminya. Bukti-bukti eksperimental memperkirakan
bahwa glikosilasi dari protein lensa terlibat dalam proses pembentukan katarak.
Glikosilasi dari protein lensa, di mana glukosa atau gula-gula terreduksi lainnya
bereaksi dengan grup e-amino dari residu lisin atau amino terminal dari protein
yang mengakibatkan pembentukan basa schiff. Basa schiff ini akan mengalami
perombakan secara Amadori melalui reaksi Maillard yang akan menghasilkan
ketoamin yang lebih stabil dari produk Amadori (produk glikosilasi awal). Pada
tahap akhir, produk Amadori mengalami dehidrasi dan perombakan kembali untuk
membentuk lintas silang antara protein terkait, menghasilkan agregat protein atau
Advanced Glycocylated End Products (AGEs).(11) Jansirani (2004) melakukan
eksperimen dengan mengumpulkan nukleus-nukleus lensa dari setiap operasi
ECCE (Extra Capsular Cataract Extraction) dengan membandingkan kadar
glukosa, protein dan protein terglikosilasi antara dua populasi; katarak senilis
dengan diabetes, dan katarak senilis non-diabetik dari berbagai stadium. Dan hasil
yang ditemukan adalah kadar protein terglikosilasi tertinggi ditemukan pada
katarak senilis hipermatur (p<0,01) ketika dibandingkan dengan katarak tipe
lainnya termasuk dengan yang diabetik. Jansirani dkk menyimpulkan bahwa kadar
glukosa yang tinggi bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam glikosilasi
protein lensa.
Katarak adalah penyebab tersering dari gangguan penglihatan pada
pasien dengan diabetes. Sekali pun terdapat dua tipe dari katarak yang telah
ditemukan, pola-pola yang lain dapat pula dijumpai. Katarak diabetik sejati, atau
snowflake cataract, terdiri dari perubahan bilateral tersebar pada subkapsular lensa
secara tiba-tiba, dan progresi akut yang secara tipikal terdapat pada usia muda
dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Kekeruhan multipel abu-abu putih
subkapsular dengan penampilan seperti serpihan-serpihan salju terlihat pada
korteks anterior superfisial dan korteks posterior lensa. Vakuol-vakuol dapat
tampak pada kapsula lensa dan celah-celah terbentuk pada korteks. Intumesensi
dan maturitas dari katarak kortikal akan mengikuti setelahnya. Para peneliti
percaya bahwa perubahan metabolik yang mendasari terkait dengan katarak
diabetik sejati pada manusia sangat dekat sekali dengan katarak sorbitol yang
dipelajari pada binatang percobaan. Sekalipun katarak diabetik sejati jarang sekali
ditemukan pada praktek klinis saat ini, segala macam bentuk maturitas progresif
dari katarak bilateral kortikal pada anak atau dewasa muda harus mengingatkan
para dokter akan kemungkinan diabetes mellitus. Resiko tinggi pada katarak
terkait usia pada pasien dengan diabetes dapat merupakan akibat dari akumulasi
sorbitol dalam lensa, perubahan hidrasi lensa, dan peningkatan glikosilasi protein
pada lensa diabetik. Klein, dkk menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa
diabetes mellitus terkait dengan insidens selama dari 5 tahun dari katarak kortikal
dan subkapsular posterior dan dengan progresi dari beberapa kekeruhan minor
kortikal dan subkapsular posterior lensa. Perubahan-perubahan ini terkait dengan
kadar glukosa darah. Sedangkan Perkins (1984) mendapatkan selisih prosentase
sedikit lebih banyak pada subkapsular posterior dengan diabetes sebanyak 11,3%
dan 11% pada non-diabetik
BAB III
PENUTUP
Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya kernih
dan bening menjadi keruh. Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena proses
kongenital atau karena proses degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut
juga katarak senilis yang dibagi menjadi empat stadium; Insipien, Immatur, Matur
dan Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang mempengaruhi timbulnya
katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang mempercepat
proses timbulnya katarak ini.
Dasar patogenesis yang melandasi penurunan visus pada katarak dengan
diabetes adalah teori akumulasi sorbitol yang terbentuk dari aktifasi kalur polyol
pada keadaan hiperglikemia yang mana lebih lanjut akumulasi sorbitol dalam
lensa akan menarik air kedalam lensa sehingga terjadi hidrasi lensa yang
merupakan dasar patofisiologi ternetuknya katarak. Dan yang kedua adalah teori
glikosilasi protein, dimana adanya AGE akan mengganggu struktur sitoskeletal
yang dengan sendirinya akan berakibat pada turunnya kejernihan lensa. Operasi
katarak dengan diabetes bukanlah suatu kontraindikasi jika terdapat retinopati
diabetik non-proliferatif. Didasarkan dari penelitian-penelitian yang ada,
didapatkan bahwa teknik fakoemulsifikasi memberikan hasil yang lebih baik
dengan komplikasi post operasi yang lebih kecil. Pada adanya retinopati diabetik
lanjut, pasien perlu dijelaskan akan kemungkinan hasil postoperasi yang tidak
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Votey Scott, Peters Anne. Diabetes Mellitus Type 2. Emedicine Specialties. 2010.
Wong Jencia, Molyneaux L. Timing is Everthing: Age of Onset Influence Long
Term Retinopathy Risk in Type 2 Diabetes, Independent of Tradisional Risk
Faktors. Diabetes Care. 2008; Volume 31:1985-1990.
Cheng Y, Gregg E. Assosiation of A1c and Fasting plasma Glukose Level With
Diabetic retinopathy Prevalence. Diabetes care. 2009;volume 32:2027-2032.