Referat Hematemesis Melena
Referat Hematemesis Melena
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
saluran cerna atas. Sejak tahun 1945, angka kematian di Amerika Serikat oleh
sebab perdarahan saluran cerna atas mencapai 5–10 % dan tidak berubah
hingga saat ini.
Insiden perdarahan saluran cerna atas dua kali lebih sering pada pria
daripada wanita dalam seluruh tingkatan usia; tetapi jumlah angka kematian
tetap sama pada kedua jenis kelamin. Angka kematian meningkat pada usia
yang lebih tua (>60 tahun) pada pria dan wanita.
B. TUJUAN PENULISAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
A. ANATOMI SALURAN CERNA
B. DEFINISI
3
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah karena
enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran
kopi(3)(4). Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter)
dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas serta
dicernanya darah pada usus halus(3)(4).
C. ETIOLOGI
4
b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan melena
daripada hematemesis. Pasien juga mengeluh disfagia, badan mengurus dan
anemis. Hanya sesekali penderita muntah darah tidak masif. Pada
panendoskopi jelas terlihat gambaran karsinoma yang hampir menutup
esophagus dan mudah berdarah terletak di sepertiga bawah esophagus(5).
c. Sindrom Mallory-Weiss
Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi (vomitus tanpa
darah). Muntah hebat mengakibatkan ruptur mukosa dan submukosa
daerah kardia atau esophagus bawah sehingga muncul perdarahan. Karena
laserasi aktif disertai ulserasi, maka timbul perdarahan. Laserasi muncul
akibat terlalu sering muntah sehingga tekanan intraabdominal naik
menyebabkan pecahnya arteri di submukosa esophagus/ kardia. Sifat
perdarahan hematemesis tidak masif, timbul setelah pasien berulangkali
muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri di epigastrium. Misalnya pada
hiperemesis gravidarum(5).
d. Esofagogastritis korosiva
Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang muntah darah
setelah tidak sengaja meminum air keras untuk patri. Air keras tersebut
mengandung asam sitrat dan asam HCl yang bersifat korosif untuk mukosa
mulut, esophagus dan lambung. Penderita juga mengeluh nyeri dan panas
seperti terbakar di mulut, dada dan epigastrium(5).
e. Esofagitis dan tukak esophagus
Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat
intermiten atau kronis, biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul
melena daripada hemetemesis. Tukak esophagus jarang menimbulkan
perdarahan jika dibandingkan dengan tukak lambung dan duodenum(5).
2. Kelainan di lambung
a. Gastritis erosiva hemoragika
Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi
mukosa lambung atau obat yang merangsang timbulnya tukak
5
dapat menimbulkan hematemesis yaitu : golongan kortikosteroid,
butazolidin, reserpin, spironolakton dan lain-lain. Golongan obat-obat
tersebut menimbulkan hiperasiditas(2)(6).
b. Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama di
angulus dan prepilorus bila dibandingkan dengan tukak duodeni. Tukak
lambung akut biasanya bersifat dangkal dan multipel yang dapat
digolongkan sebagai erosi(5).
3. Kelainan di duodenum
a. Tukak duodeni
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan panendoskopi
terletak di bulbus. Sebagian pasien mengeluhkan hematemesis dan melena,
sedangkan sebagian kecil mengeluh melena saja. Sebelum perdarahan,
pasien mengeluh nyeri dan pedih di perut atas agak ke kanan. Keluhan ini
juga dirasakan waktu tengah malam saat sedang tidur pulas sehingga
terbangun. Untuk mengurangi rasa nyeri dan pedih, pasien biasanya
mengkonsumsi roti atau susu(5).
6
b. Karsinoma papilla Vateri
Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma di
ampula menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pancreas
yang umumnya sudah dalam fase lanjut. Gejala yang timbul selain
kolestatik ekstrahepatal, juga dapat menimbulkan perdarahan tersembunyi
(occult bleeding), sangat jarang timbul hematemesis. Selain itu pasien juga
mengeluh badan lemah, mual dan muntah(5).
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai berikut :
1. Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau adanya anemia
defisiensi Fe+)
2. Teori erupsi : karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau peningkatan
tekanan intraabdomen yang tiba-tiba karena mengedan, mengangkat barang
berat, dan lain-lain
7
E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda, tergantung pada(6) :
1. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
2. Kecepatan perdarahan
3. Penyakit penyebab perdarahan
4. Keadaan penderita sebelum perdarahan
Pada hematemesis, warna darah yang dimuntahkan tergantung dari asam
hidroklorida dalam lambung dan campurannya dengan darah. Jika vomitus terjadi
segera setelah perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah dan baru
beberapa waktu kemudian penampakannya menjadi merah gelap, coklat atau
hitam. Bekuan darah yang mengendap pada muntahan akan tampak seperti ampas
kopi yang khas. Hematemesis biasanya menunjukkan perdarahan di sebelah
proksimal ligamentum Treitz karena darah yang memasuki traktus gastrointestinal
di bawah duodenum jarang masuk ke dalam lambung(2).
Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl sehingga
terbentuk hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter (lengket) dan menimbulkan
bau khas. Konsistensi ini berbeda dengan tinja yang berwarna hitam/ gelap yang
muncul setelah orang mengkonsumsi zat besi, bismuth atau licorice. Perdarahan
gastrointestinal sekalipun hanya terdeteksi dengan tes occult bleeding yang positif,
menunjukkan penyakit serius yang harus segera diobservasi(2).
8
Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda sistemik kecuali
perdarahan pada manula atau pasien anemia dengan jumlah kehilangan darah yang
sedikit sudah menimbulkan perubahan hemodinamika. Perdarahan yang banyak
dan cepat mengakibatkan penurunan venous return ke jantung, penurunan curah
jantung (cardiac output) dan peningkatan tahanan perifer akibat refleks
vasokonstriksi. Hipotensi ortostatik 10 mmHg (Tilt test) menandakan perdarahan
minimal 20% dari volume total darah. Gejala yang sering menyertai : sinkop,
kepala terasa ringan, mual, perspirasi (berkeringat), dan haus. Jika darah keluar
±40 % terjadi renjatan (syok) disertai takikardi dan hipotensi. Gejala pucat
menonjol dan kulit penderita teraba dingin(2).
Pasien muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna atas singkat dan
berulang disertai kolaps hemodinamik dan endoskopi “normal”, dipertimbangkan
lesi Dieulafoy (adanya arteri submukosa dekat cardia yang menyebabkan
perdarahan saluran cerna intermiten yang banyak)(3).
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Hemoptoe(8)
2. Hematokezia(8)
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis(9)
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan frekuensi
perdarahan
9
h. Riwayat tranfusi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan fokus pada
status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi(9) : a. Tekanan darah dan nadi
posisi baring
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100 x/menit
b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20 mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran turun
f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal berikut(9): a.
Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800 – 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan
evaluasi jumlah perdarahan, dengan criteria(10) :
Perdarahan (%) Keadaan hemodinamik
<8 Hemodinamik stabil
8 – 15 Hipotensi ortostatik
15 – 25 Renjatan (syok)
25 – 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)
Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah(10) :
a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites, splenomegali,
eritema palmaris, edema tungkai)
10
b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik mortalitas
dengan interpretasi :
3. Pemeriksaan Penunjang(8)
a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor pembekuan primer
atau sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT
c. Elektrolit : Na, K, Cl
d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru kronis
f. Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai
pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi
prognostik dengan mengidentifikasi stigmata perdarahan(3)
I. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-
breathingcirculation (ABC). Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan
memadai, segera dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi(10).
11
Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti(10):
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal no
18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi
12
merah, noda hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari,
mengurangi frekuensi ulserasi dan striktur.
5) Terapi pembedahan(10)
a) Shunting
b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c) Devaskularisasi + splenektomi
b. Tukak peptic(10)
1) Terapi medikamentosa
a) PPI (proton pump inhibitor)(9) : obat anti sekresi asam untuk
mencegah perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80
mg/iv lalu per infuse 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam
b) Obat vasoaktif
2) Terapi endoskopi(10)
a) Injeksi(9) : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan
adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5–1 ml/suntik dengan batas 10 ml
atau alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml
13
tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta
risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya
Algoritma Penatalaksanaan Penderita Perdarahan SCBA
pulang dalam keadaan anemis, karena itu selain obat pencegah perdarahan
ulang perlu ditambahkan preparat Fe.
J. KOMPLIKASI(8)
1. Syok hipovolemik
14
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan
15
BAB III
KESIMPULAN
1. Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) yaitu perdarahan dari lumen saluran cerna
di atas ligamentum Treitz mengakibatkan hematemesis dan melena.
2. Hematemesis adalah muntah darah dalam bentuk segar atau berubah karena
enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan berbentuk butiran kopi.
3. Melena adalah tinja yang lengket dan hitam seperti aspal dengan bau khas.
4. Etiologi perdarahan SCBA antara lain :
a. Kelainan esophagus : pecah varises esophagus, Ca esophagus, sindrom
Mallory-Weiss, esofagogastritis korosiva, esofagitis & tukak esofagus
b. Kelainan lambung : gastritis erosif hemoragika, tukak lambung, Ca lambung
c. Pemeriksaan penunjang : tes darah, faal hemostasis, elektrolit, faal hati, EKG
& foto thorax, endoskopi (gold standar) 7. Diagnosis bandingnya yaitu
hemoptoe dan hematokezia.
10. Komplikasinya yaitu : syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut,
sindrom hepatorenal koma hepatikum, anemia karena perdarahan.
LAMPIRAN
16
Lampiran 1 : Hasil Endoskopi
Varises Esofagus
Ca-esofagus
Mallory-Weiss syndrom
Esofagogastritis korosiva
Tukak lambung
17
Ca-lambung
Tukak duodeni
Ca-papila Vateri
DAFTAR PUSTAKA
(1) Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan
Bagian Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
1999 : 53 – 62.
(2) Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam
Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259 – 62.
(7) Purwadianto, A. & Budi S. Hematemesis & Melena : dalam Kedaruratan Medik.
Jakarta : Binarupa Aksara. 2000 : 105 – 10.
18
(9) Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006 : 289 – 97
19