Anda di halaman 1dari 27

Case Report

Necrotizing Enterocolitis

Oleh :

Adelin Prima Devita 1740312402

Dian Anggraini 1110312114

Intan Ekaverta 1740312424

Pembimbing

dr. Rahmiyetti, SpA

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RS. ACHMAD MUKHTAR BUKITTINGGI

2018
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Enterokolitis nekrotikans (EKN) biasa juga disebut sebagai NEC merupakan


penyakit saluran cerna pada bayi baru lahir, ditandai dengan kematian jaringan
luas yang terjadi pada dinding usus. Penyakit ini menjadi salah satu masalah pada
bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR). Pada umumnya NEC lebih
sering ditemukan pada bayi prematur daripada bayi cukup bulan. Faktor resiko
penyebab terjadinya NEC adalah kelahiran prematur, pemberian makanan enteral
dini, perlukaan mukosa usus, dan adanya bakteri pada usus. Angka kejadian NEC
mencapai 6 % pada bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1500 gram di
seluruh dunia, dan cenderung meningkat pada akhir dekade ini. Beberapa penulis
melaporkan angka kejadian berkisar antara 1,5-7,5% pada bayi yang dirawat di
Unit Perawatan Intensif. Angka kejadian NEC berbeda dari satu rumah sakit
dengan dengan rumah sakit lainnya.
Angka kematian NEC cukup tinggi. Pada tahun 1980 angka kematian NEC
di Amerika Serikat adalah 29%. Sedangkan di Rumah Sakit Anak & Bunda,
Harapan Kita pada tahun 1988-1989, dari 35 penderita NEC dilaporkan kematian
terjadi pada 19 kasus (54,3%). Diagnosis NEC di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 60-an jarang sekali ditegakkan.
Kewaspadaan terhadap penyakit ini baru meningkat sesudah tahun 1972. Pada
penelusuran catatan medik di subbagian Perinatologi FKUI/RSCM, sejak tahun
1982-1985 menunjukkan 1 kasus pada tahun 1980, 2 kasus tahun 1982, 3 kasus
pada tahun 1983, 4 kasus padatahun 1984 dan 3 kasus pada tahun 1985. NEC
merupakan penyebab kematian neonatal ketiga terbesar dengan angka mortalitas
keseluruhan sebanyak 10-15 persen.

Angka kejadian NEC berbanding terbalik dengan berat lahir. NEC


mempengaruhi 11,5% dari bayi berat 401-750 gram, 9% berat bayi lahir 751-
1000 g, 6% bayi berat 1001-1250 g, dan 4% berat bayi 1251-1500 g. Dua set data
memperlihatkan bahwa kejadian NEC relatif rendah di taiwan (7%). Angka
kematian Bayi kurang bulan dengan berat lahir sangat rendah lebih tinggi di
Taiwan dari Amerika karena NEC.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Necrotizing Enterocolitic (NEC) atau disebut juga Enterokolitis


Nekrotikan (EKN) adalah penyakit gastrointestinal didapat yang paling sering
terjadi pada bayi baru lahir, dimana terjadi inflamasi dan nekrosis menyebar atau
dalam satu bidang pada lapisan mukosa dan submukosa usus.6

2.2 Anatomi, Fisiologi, dan Histologi

2.2.1. Usus halus

Di sepanjang sekitar 5 meter usus halus, terdapat tiga regio yang berbeda.
Sfingter pilorus menandai awal duodenum, yang sebagian besar terletak retro
peritonium dan terfiksasi dilokasinya. Di duodenum isi lambung bercampur
dengan produk sekresi ductus biliaris communis dan ductus pancreaticus. Setelah
duodenum, usus halus dapat bergerak dan menggantung melalui mesenterium
pada rongga peritonium. Dua perlima proksimal dinamai jejunum. Tiga perlima
distal dinamai ileum berakhir dikatup ileosaekum dipermulaan usus besar.11

Gambaran mikroskopik yang paling mencolok pada usus halus adalah


adanya vilus (tonjolan mukosa dengan tinggi sekitar 1 mm) dalam jumlah besar.
Setiap vilus mengandung satu cabang terminal dari sistem arteri, vena, dan limfe.
Hal ini memungkinkan zat-zat yang diserap dari lumen usus oleh enterosit (sel
epitel permukaan) mudah dipindahkan ke sistem sirkulasi. Dengan mikroskop
elektron, setiap enterosit memperlihatkan banyak mikrovilus, yaitu evaginasi
membran plasma yang semakin meningkatkan luas permukaan penyerapan.
Mikrovilus membentuk brush border yang menghadap kelumen usus.11

2.2.2. Usus besar

Kolon berperan dalam penyerapan air dan elektrolit, sekresi


mukus, pembentukan, pengeluaran, dan penyimpanan zat yang tidak diserap.
Kolon juga rumah bagi flora mikroba usus. Permukaan kolon terdiri atas epitel
kolumnar tanpa vilus dan hanya sedikit lipatan kecuali di rektum distal. Epitel
memiliki mikrovilus yang pendek dan ireguler. Terdapat banyak kelenjar yang
mengandung sel goblet, sel endokrin, dan sel adbsorbtif. Pencernaan di kolon
terjadi akibat kerja mikroflora kolon. Penyerapan cairan dan elektrolit telah
banyak diteliti dan merupakan fungsi utama kolon. Produk sekresi kolon adalah
musin. Suatu konjugat glikoprotein yang kompleks berfungsi melumasi dan
melindungi kolon.11

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi NEC hingga saat ini belum dapat dipastikan, namun diyakini erat
kaitannya dengan terjadinya iskemik intestinal, faktor koloni bakteri dan faktor
makanan. Iskemik menyebabkan rusaknya dinding saluran cerna, sehingga rentan
pada invasi bakteri. NEC jarang terjadi sebelum tindakan pemberian makanan dan
sedikit terjadi pada bayi yang mendapat ASI. Bagaimanapun sekali pemberian
makanan dimulai, hal tersebut sudah cukup untuk menyebabkan proliferasi bakteri
yang dapat menembus dinding saluran cerna yang rusak dan menghasilkan gas
hidrogen. Gas tersebut bisa berkumpul dalam dinding saluran cerna (pneumotosis
intestinalis) atau memasuki vena portal.6

NEC sering dihubungkan dengan dengan faktor resiko: 10

1) Prematur

Kasus EKN terjadi pada lebih dari 90% bayi prematur dan BBLSR.
Penelitian yang membuktikan kelahiran prematur merupakan faktor risiko utama
kejadian EKN, menggunakan manusia dan hewan sebagai subyek penelitian. Dari
hasil penelitian tersebut menggambarkan keadaan intestinal yang imatur pada bayi
prematur. Imaturitas intestinalis menyebabkan perubahan komponen-komponen
sistem pertahanan usus, motilitas, regulasi aliran darah dan reaksi inflamasi yang
berperan dalam terjadinya kerusakan pada mukosa intestinal.

1
2) BBLR

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat
badan kurang dari 2500 gram. Keadaan organ-organ BBLR yang belum matang
merupakan faktor risiko terjadinya EKN pada BBLR. Kejadian EKN tertinggi
pada bayi berat lahir <1500 gram. Etiologi EKN pada BBLR bersifat multifaktor,
yaitu dapat disebabkan oleh faktor yang menyebabkan trauma hipoksik iskemik
pada saluran cerna yang masih imatur, kolonisasi bakteri patogen dan substrat
protein yang berlebihan dalam lumen.

3) Iskemia intestinalis

Hasil suatu studi pada hewan baru lahir menunjukkan perbedaan sirkulasi
saluran cerna yang menjadi predisposisi terjadinya EKN. Resistensi pembuluh
darah basal saluran cerna meningkat pada fetus dan menurun dengan signifikan
segera setelah lahir. Hal ini menimbulkan peningkatan kecepatan aliran darah
saluran cerna yang dibutuhkan untuk pertumbuhan saluran cerna dan somatik
yang kuat.

Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa pada keadaan hipoksemia


terjadi vasodilatasi dan peningkatan perfusi saluran cerna, namun hipoksia berat
akan menyebabkan vasokonstriksi dan iskemia atau hipoksia saluran cerna. Hal
ini dimediasi keseimbangan antara molekul dilatator (nitrit oksida, NO) dan
konstriktor (endotelin). Keadaan hipoksia menyebabkan disfungsi endotel
berakibat pada penurunan NO dan kenaikan endotelin. Endotelin yang bersifat
vasopresor mengarah pada iskemia saluran cerna dan nekrosis jaringan.

4) Macam nutrisi enteral

Faktor macam nutrisi enteral dalam patogenesis EKN merupakan wilayah


penting penelitian. Penelitian telah mengidentifikasi bahwa pemberian nutrisi
secara enteral ke dalam lumen usus neonatal menyebabkan gangguan integritas
mukosa, aliran darah, dan motilitas. Nutrisi yang terserap di usus kecil dan besar
dapat menyebabkan proliferasi bakteri enterik. Bakteri enterik dapat menghasilkan
gas intraluminal yang menyebabkan distensi, pneumatosis intestinalis,

2
peningkatan tekanan intraluminal dan penurunan aliran darah. Oleh karena itu,
strategi pencegahan EKN telah difokuskan pada strategi pemberian nutrisi dan
memahami karakteristik mikroorganisme di saluran pencernaan.

Pemberian ASI berhubungan dengan penurunan EKN pada bayi prematur.


Sifat imunologi unik dari ASI, seperti sekresi IgA, makrofag dan limfosit spesifik,
dan keberadaan bakteri patogenik seperti Bifidobacteria dan molekul sekretorik
dengan sifat antibakteri, dapat berkontribusi untuk efek perlindungan di mukosa
traktus intestinal. ASI mendorong pertumbuhan Bifidobacteria, yang
menghasilkan asam asetat dan laktat yang menghambat pertumbuhan patogen
organisme gram negatif. Bayi BBLR mengalami keterlambatan dalam
pembentukan Bifidobacteria. Sebuah percobaan memberikan bukti tambahan
bahwa ASI memberikan perlindungan terhadap EKN. Neonatus dalam penelitian
ini dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama yang diberikan hanya susu
formula, kelompok kedua yang diberikan gabungan formula dan ASI dan
kelompok ketiga yang diberikan ASI saja. Insiden terendah dari EKN adalah pada
kelompok ketiga yang diberikan hanya ASI saja, dibanding kelompok pertama
dan kelompok kedua.

5) Kolonisasi Bakteri abnormal

Di dalam uterus, usus janin terus dibasahi dalam cairan amnion yang steril,
diperkaya dengan nutrisi, hormon dan faktor-faktor pertumbuhan yang membantu
perkembangan dari traktus intestinal. Saat lahir, bayi akan meninggalkan
lingkungan yang steril tersebut. Pemberian ASI pada bayi akan membentuk
kolonisasi beberapa jenis organisme pada minggu pertama kehidupan, termasuk
spesies anaerob seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli. Dibandingkan dengan
bayi yang dirawat di rumah sakit, saluran cerna pada bayi prematur memiliki
spesies yang sedikit dan bakteri anaerob yang lebih sedikit atau mungkin sama
sekali tidak ada. Kolonisasi oleh bakteri komensal merupakan sebuah flora usus
yang stabil dan sangat penting bagi perkembangan struktur intestinal.
Ketidakseimbangan kolonisasi bakteri, dimana terdapat ketidakseimbangan antara
bakteri patogen dan komensal menyebabkan dominasi dan proliferasi patologis
yang dilakukan oleh bakteri patogen.

3
9) Asfiksia

Observasi sebelumnya mengenai epidemiologi EKN mengidentifikasi


asfiksia sebagai faktor risiko penting terjadinya EKN. Kegagalan bayi untuk
bernafas segera setelah lahir mengakibatkan iskemia intestinalis. Faktor risiko
asfiksia terhadap kejadian EKN berdasarkan hipotesis Touloukian dkk (1971).

Hasil penelitian pada bayi babi yang baru lahir, ketika mengalami asfiksia
dengan segera menurunkan aliran darah pada mukosa usus. Pemeriksaan histologi
segera pada segmen usus yang terkena menunjukkan gambaran yang sangat mirip
dengan neonatus yang mengalami EKN. Resusitasi dapat memperburuk kondisi
neonatus. Pemberian resusitasi dapat menyebabkan peningkatan kerapuhan
kapiler selama kondisi iskemia, diikuti oleh kemacetan vaskular setelah resusitasi.

2.5 Gambaran Klinis

Bayi dengan EKN mempunyai variasi gejala klinis dan onset bisa secara
tersembunyi maupun tiba-tiba. Onset EKN biasanya muncul pada usia kurang dari
3 minggu pertama. Hal ini lebih sering terjadi pada bayi prematur yang paling
kecil. Penyebabnya belum diketahui, tetapi cedera hipoksia pada dinding usus
mungkin berhubungan dengan septikemia, serangan apnue, dan kolonisasi usus
oleh organisme tertentu mungkin merupakan faktor presipitat.6

Secara khas, NEC yang dicurigai derajat I terdiri atas temuan klinik yang
tidak spesifik dan dapat menyerupai kondisi yang biasa lainnya pada bayi
prematur temuan klinis antara lain:7

1. Ketidakstabilan Suhu

2. Letargi

3. Apnue dan bradikardi

4. Hipoglikemia

5. Perfusi perifer buruk

6. Intoleransi makan

4
7. Emesis

8. Distensi Abdomen ringan

9. Peningkatan residu gaster pra pemberian makan melalui selang

NEC pasti derajat II terdiri atas temuan klinis non spesifik yang telah
disebutkan ditambah:

1. Distensi abdomen berat

2. Nyeri tekan abdomen

3. Feses berdarah

4. Lengkung pada usus teraba

5. Edema dinding abdomen

6. Bunyi usus yang mungkin menurun

NEC lanjut derajat III terjadi bila sakit akut. Tanda-tanda dan gejala yang
berkaitan meliputi

1. Kemunduran tanda-tanda vital

2. Adanya bukti syok septik

3. Edema dan eritema dinding abdomen

4. Massa Kuadran kanan bawah

5. Asidosis (metabolik dan/respiratorik)

Kriteria Bell’s menurut Gomella:7

Stadium 1 (suspek NEC)

a. kelainan sistemik : tandanya tidak spesifik, termasuk apnu, bradikardia,


letargi dan suhu tidak stabil.

5
b. kelainan abdominal : termasuk intoleransi makanan, rekuren residual lambung,
dan distensi abdominal.

c. kelainan radiologik : gambaran radiologi bisa normal atau tidak spesifik.

Stadium 2 (terbukti NEC)

a. kelainan sistemik : seperti stadium 1 ditambah dengan nyeri tekan abdominal


dan trombositopenia.

b. kelainan abdominal : distensi abdominal yang menetap, nyeri tekan, edema


dinding usus, bising usus hilang dan perdarahan per rektal.

c. kelainan radiologik : gambaran radiologi yang sering adalah pneumatosis


intestinal dengan atau tanpa udara vena porta atau asites.

Stadium 3 (NEC lanjut)

a. kelainan sistemik : termasuk asidosis respiratorik dan asidosis metabolik, gagal


nafas, hipotensi, penurunan jumlah urin, neutropenia dan disseminated
intravascular coagulation (DIC).

b. kelainan abdominal : distensi abdomen dengan edema, indurasi dan diskolorasi.

c. kelainan radiologik : gambaran yang sering dijumpai adalah pneumo


peritoneum(udara bebas dalam rongga peritoneal sekunder terhadap perforasi).

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik : intoleransi makanan, peningkatan residu lambung,


perut kembung, hematochezia, perubahan warna dinding perut, massa perut.

Pemeriksaan laboratorium yang menggambarkan tanda-tanda sepsis :6,7,8

Leukopenia (hitung sel darah putih total di bawah 6000/mm3)

Trombositopenia (hitung trombosit dibawah 50.000/mm3)

6
Ketidakseimbangan elektrolit. Gangguan elektrolit seperti hiponatremia dan
hipernatremia serta hiperkalemia sering terjadi.

Analisa gas darah apakah terjadi Asidosis (metabolik dan atau respiratorik)

Kultur specimen darah, urin, feses, dan Cairan serebrospinal sebaiknyadiperiksa


untuk kemungkinan adanya virus, bakteri, dan jamur yang patogen.

Temuan radiologis merupakan dasar untuk mengonfirmasi diagnosis NEC.


Radiografi standar anteroposterior dan dekubitus lateral kiri dapat menunjukkan
tanda tanda berikut: 13,14

Distensi Fokal atau gas nonspesifik pada lengkung usus

Penebalan dinding usus dari adanya edema

Pnematosis intestinal (gelembung udara pada dinding usus)

Lengkung usus yang berdilatasi

Udara vena porta

Pnemoperitonium (udara abdomen bebas)

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis didasarkan pada tiga prinsip umum yaitu


mengistirahatkan usus mencegah berlanjutnya cedera, mengoreksi atau
memodifikasi respon sistemik 7

Hentikan minum enteral

Pasang pipa lambung untuk drainase

Mulailah infus glukosa atau garam normal

Mulailah antibiotik: Beri ampisilin (atau penisilin) dan gentamisin ditambah


metronidazol (jika tersedia) selama 10 hari.Jika bayi mengalami apnu atau
mempunyai tanda bahaya lainnya, berikan oksigen melalui pipa nasal. Jika apnu

7
berlanjut, beri aminofilin atau kafein IV Jika bayi pucat, cek hemoglobin dan
berikan transfusi jika hemoglobin < 10 g/dL.3

Lakukan pemeriksaan foto abdomen pada posisi A-P supinasi dan lateral
sinarhorizontal. Jika terdapat gas dalam rongga perut di luar usus, mungkin sudah
terjadi perforasi usus. Mintalah dokter bedah untuk segera melihat bayi. Periksa
bayi dengan seksama setiap hari. Mulai lagi pemberian ASI melalui pipa lambung
jika abdomen lembut dan tidak nyeri-tekan, BAB normal tanpa ada darah dan
tidak muntah kehijauan. Mulailah memberi ASI pelan-pelan dan tingkatkan
perlahan-lahan sebanyak1-2 mL/minum setiap hari.6

2.8 Pencegahan

Enterokolitis nekrotikan merupakan ancaman serius pada bayi


khusunya prematur. Penelitian prospekti terhadap bayi berat lahir rendah di India
dengan menggunakan ASI donor dari manusia, didapatkan kejadian infeksi lebih
sedikit secara bermakna dan tidak terdapat infeksi berat pada kelompok yang
diberi ASI manusia, sedangkan bayi pada kelompok yang tidak mendapat ASI
(kontrol) banyak mengalami diare, pneumonia, sepsis dan meningitis.6

Mencegah prematuritas, pemberian antibiotic enteral dan penggunaan


cairan perenteral secara bijak, pemberian IgG dan IgM enteral, penundaan atau
melambatkan pemberian makanan pendampinng ASI, pemberian ASI
dan penggunaan prebiotik dapat menjadi pendekatan yang paling baik dalam
mencegah Enterokolitis Nekrotikan.6

8
BAB III
ILUSTRASI KASUS

 Identitas Pasien
Nama : By. Ny Nila Sari Dewi 1
Umur/ : 0 bulan/ 21-06-2018
tanggal lahir
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Labuang Jr. Kubu Diateh Panyalaian X Koto, Tanah
Datar, Sumatera Barat
No. MR : 500118

 Keluhan Utama
NBBLR 1.800 gram.
 Riwayat Penyakit Sekarang
- NBBLR 1.800 gram, PB 45 cm, lahir SC a.i. gemelli + letak sungsang,
kondisi ketuban hijau, apgar score 4/5.
- Ibu baik, leukosit 10.860/mm3, tekanan darah 110/70 mmHg, suhu
36,90C
- Bayi lahir tidak menangis spontan, lambat bernafas, nafas cuping
hidung ada, retraksi dinding dada cekung ada, merintih ada, kulit
pucat, membiru tidak ada, kuning tidak ada, cacat tidak ada
- Injeksi Neo K 1 mg diberikan 5 menit setelah lahir
- Gentamisin tetes mata diberikan 6 menit setelah lahir
 Riwayat Keluarga
Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang
1. Laki-laki 10 tahun Sehat
2. Laki-laki 7 tahun Sehat
3. Perempuan (pasien) 0 bulan Sakit
4. Perempuan 0 bulan Sakit

9
 Riwayat Kehamilan Ibu Sekarang
G3P3A0H3
Presentasi bayi : Bokong
Penyakit selama hamil : Tidak ada
Pemeriksaan kehamilan : Ke bidan dan dokter ahli kebidanan
Tindakan selama kehamilan : Tidak ada
Kebiasaan ibu selama hamil : Tidak merokok dan minum obat-obatan
Lama hamil : 31 – 32 minggu (Ballard)
HPHT : 07-11-2017
TM : 14-08-2018
Pemeriksaan waktu hamil
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 36,90C
Leukosit : 10.860/mm3
 Riwayat Persalinan
Persalinan dilaksanakan di Rumah Sakit Ahmad Muchtar Bukittinggi
secara SC atas indikasi gemelli dan letak sungsang, dipimpin oleh dokter
spesialis Obstetri dan Ginekologi. Lahir bayi kembar, keduanya
perempuan dengan berat lahir anak pertama 1.800 kg dan dan anak kedua
1.800 kg, panjang badan anak pertama 45 cm dan anak kedua 45 cm, apgar
score anak pertama 4/5 dan anak kedua 7/8.
 Keadaan Bayi Saat Lahir
Lahir tanggal : 21-06-2018
Jam : 08.05
Jenis kelamin : Perempuan
Kondisi saat lahir : Tidak langsung menangis

10
 APGAR SCORE
Tanda 0 1 2 Jumlah
Frekuensi [ ]( ) [ ]( ) <100 [x](v)
Jantung tidak >100 2 2
ada
Usaha [x]( ) [ ](v) lambat [ ]( )
Bernapas tidak menangis 0 1
ada kuat
Tonus [ ]( ) [x](v) ekstrimitas [ ]( )
Otos lumpuh fleksi sedikit gerakan 1 1
aktif
Reflex [ ]( ) [x](v) gerakan [ ]( )
tidak sedikit reaksi 1 1
bereaksi melawan
Warna [x](v) [ ]( ) badan [ ]( )
Kulit biru- kemerahan, tangan kemerahan 0 0
pucat dan kaki kebiruan
Nilai 4/5

 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Keadaan : Cukup aktif
Berat badan : 1.800 gr
Panjang badan : 45 cm
Frekuensi jantung : 137 x/menit
Frekuensi nafas : 65 x/menit
Suhu : 37,10C
Sianosis : Ada
Ikterus : Tidak ada
Down score :

11
Nilai 0 1 2
Frekuensi <60x/me 60-80x/menit √ >80x/menit
nafas nit
Retraksi Tidak Retraksi ringan Retraksi berat √
ada
Sianosis Tidak Hilang dengan O2 √ Menetap
ada dengan O2
Air entry Ada Menurun √ Tidak
terdengar
Merintih Tidak Terdengar dengan Terdengar √
ada stetoskop tanpa alat
bantu
Nilai 7

Kepala :
Bentuk bulat
Ubun-ubun besar 1,5 x 1,5 cm
Ubun-ubun kecil 0,5 x 0,5 cm
Jejas persalinan tidak ada
Mata : Konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak
ada
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung ada
Mulut : Sianosis sirkuit oral
Leher : tidak ditemukan kelainan
Torax
Bentuk : Normochest, retraksi (+) subintercostal
Jantung : Irama reguler, bising tidak ada
Paru : Bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen
Permukaan : Cekung

12
Kondisi : Lemas
Hati :¼x¼
Limpa : Tidak teraba
Tali pusat : Segar
Umbilikus : Tidak ada kelainan
Genitalia : Tidak ditemukan kelainan
Ekstrimitas
Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik
Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik
Kulit : Hangat
Anus : Ada
Tulang-tulang : Tidak ditemukan kelainan
Reflex
Moro : Positif
Rooting : Positif
Isap : Positif
Pegang : Positif
Ukuran
Lingkar kepala : 33 cm
Lingkar dada : 34 cm
Lingkar kaki : 35 cm
Panjang lengan :17 cm
Panjang kaki : 18 cm
Simfisis kaki : 21 cm
Kepala-simfisis : 19 cm
 Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Hb : 10,0 gr/dl
Leukosit : 13.540/mm3
Hitung jenis: 0/2/11/53/31/3
Retikulosit : 7,4 %
Kesan : Anemia ringan

13
PENATALAKSANAAN
 Tatalaksana kegawatdaruratan
- Manajemen termoregulasi
- Manajemen jalan nafas
 Tatalaksana nutrisi
- ASI 4 x 1 ml (0,5 ml oral, 0,5 ml OGT)
- IVFD Dextrose 10% + kalsium glukonas 10 mg/kg
- Aminofusin 30 ml/ jam
 Tatalaksana medikamentosa
Amphicilin 2x90 mg IV
Gentamisin 1x5 mg IV

RESUME
21-06-2018 (Hari rawatan ke-1)
Lahir bayi perempuan dengan BBL 1.800 gr, PB 45 cm, lahir SC a.i. gemelli +
letak sungsang, kondisi ketuban hijau, apgar score 4/5. Bayi lahir tidak
menangis spontan, lambat bernafas, nafas cuping hidung ada, retraksi dinding
dada cekung ada, merintih ada, kulit pucat.
Pada bayi dilakukan manajemen termoregulasi dan manajemen jalan nafas.
Bayi dirawat di inkubator, dipasang CPAP FiO2 25% peep 8 mmHg, dan diberi
infus dextrose 10% drip calsium 4 gtt/menit. Pada bayi juga diberi ASI 4x1 cc
dengan 0,5 cc diberikan oral, dan 0,5 cc melalui OGT. Bayi diberikan
aminofusin 30 ml/24 jam, amphicilin 2x90 mg, Gentamisin 1x1,8 mg.
Direncanakan pemeriksaan elektrolit dan GDR.
22-06-2018 (Hari rawatan ke-2)
Retraksi (+) minimal, terdapat abdomen distensi dan OGT dekompresi cairan
lambung merah (darah). Pada bayi dilakukan transfusi PRC dan dipuasakan.
Terpasang infus 5 ml/jam + aminofusin 30 ml/jam.
23-06-2018 (Hari rawatan ke-3)
Bayi kembung. Dicurigai adanya enterokolitis nekrotikans. Terhadap bayi
diberikan ranitidin 2 x 1,8 mg dan transfusi PRC 2 unit. Pada bayi diberikan

14
terapi amphicilin 2x90 mg, cefotaxim 2x90 mg, rnitidin 2x1,8 mg, dan
aminofusin 30 cc/jam.
24-06-2018 (Hari rawatan ke-4)
Terhadap bayi dilakukan pemeriksaan elektrolit dengan hasil: Ca: 0,17 mg/dl,
K: 5,16 mEq/l, Na: 139,1 mEq/l, Cl: 114,4 mEq/l. Direncanakan pemeriksaan
foto polos abdomen 2 posisi, bayi dipuasakan.
25-06-2018 (Hari rawatan ke-5)
Lanjutkan terapi, aminofusin diberikan 45 ml/jam.
26-06-2018 (Hari rawatan ke-6)
Bayi kembung, kekuningan (ikterik grade III). Dilakukan fototerapi. Foto polos
abdomen 2 posisi, setelah diekspertise, didapatkan kesan pneumoperitoneum.
Pasien dirujuk ke bedah anak.

Gambar 1 Foto Polos abdomen posisi supine

Gambar 2 Foto polos abdomen posisi cross table

15
27-06-2018 (Hari rawatan ke-7)
Pada bayi dilakukan mini laparatomi atas indikasi pneumoperitonium + NEC.
Bayi dipasang drainase dari peritoneum. Antibiotik diganti meropenem dan
metronidazol. Fototerapi stop sementara dan dilanjutkan pada pukul 19.00
WIB.
28-06-2018 (Hari rawatan ke-8)
Dilakukan pemeriksaan lab dengan hasil:
HGB : 12,1 gr/dl
HCT : 34,1%
WBC : 10.220/mm3
PLT : 50,300/mm3
Direncanakan kultur darah dan sensitivitas.
29-06-2018 (Hari rawatan ke-9)
Pada bayi, dengan fototerapi lanjut, ikterik teratasi. Bayi pucat, distensi
abdomen, perut membesar.
30-06-2018 (Hari rawatan ke-10)
Lanjutkan terapi.
01-07-2018 (Hari rawatan ke-11)
Lanjutkan terapi.
02-07-2018 (Hari rawatan ke-12)
Bayi hipeertermi dengan suhu 38,30 C.
03-07-2018 (Hari rawatan ke-13)
NEC perbaikan. Bayi diberikan lipid 10 cc/24 jam
04-07-2018 (Hari rawatan ke-14)
Lanjutkan terapi.
05-07-2018 (Hari rawatan ke-15)
Lanjutkan terapi.
06-07-2018 (Hari rawatan ke-16)
Lanjutkan terapi.
07-07-2018 (Hari rawatan ke-17)
Pada bayi diberikan minum ASI:
OGT:

16
2 x 10 cc
2 x 15 cc
2 x 20 cc
Aff IVFD 2 x 25 cc
Bayi pucat pada pukul 15.00, SpO2 78%. Pada bayi dipasang O2 nasal kanul 0,1
LPM. Dilakukan pemeriksaan darah, didapatkan:
Hb : 10,6 gr/dl
Leukosit : 5.360 y/L
PLT : 169.000 y/L
Pada bayi diberikan PRC 3x20 cc 1x sehari , lasix 1,7 mg pertengahan, stop
ranitidin, dan stop antibiotik saat aff IVFD.
08-07-2018 (Hari rawatan ke-18)
Transfusi 1 x sehari. Antibiotik dilanjutkan (meropenem dan metronidazol).
Minum ASI 8x25 cc OGT. Bayi sianosis, diberikan O2 nasal 0,2 L/menit.
Dilakukan aff heacting, ganti perban 1x2 hari. Bayi transfusi PRC kolf I +
injeksi lasix.
09-07-2018 (Hari rawatan ke-19)
Bayi dirawat gabung dengan ibu.
10-07-2018 (Hari rawatan ke-20)
Bayi stabil.

17
BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan neonatus berjenis kelamin perempuan usia 19 hari pada


saat pemeriksaan. Pasien telah menjalani rawatan di rumah sakit selama 19 hari.
Neonatus ini termasuk kedalam golongan neonatus berisiko tinggi. Adapun risiko
yang terdapat pada pasien ini adalah lahir premature dengan usia gestasi 31-32
minggu, gemeli, dan memiliki risiko infeksi yang berasal dari ibu yakni
dibuktikan dengan adanya ketuban hijau saat proses persalinan dan leukosit ibu
yang melebihi nilai normal (10.080/mm3).15

Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan lahir bayi adalah 1.800
gram, yang termasuk kedalam golongan neonatus berat badan lahir rendah
(NBLLR).15 Pada pemeriksaan fisik dan neurologi saat lahir dengan menggunakan
skor Ballard menunjukkan bahwa usia gestasi sesuai dengan kehamilan 31-32
minggu. Hasil plot berat badan dengan usia kehamilan menunjukkan bahwa
pasien ini Sesuai Masa Kehamilan (SMK). Prematuritas yang dialami oleh pasien
ini berarti tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan janin terganggu (PJT) yang dapat
berisiko menimbulkan prematuritas. Selain itu, apabila terdapat temuan PJT pada
pasien ini perlu diperhatikan bahwa terdapat risiko tambahan bagi tumbuh
kembang pasien selanjutnya.15

Pada neonatus NBBLR dan premature perlu diperhatikan terapi diet


dengan mempertimbangkan pemberian ASI secara perlahan. Pemberian diet pada
pasien ini sejalan dengan pedoman yang diberikan oleh IDAI. Pemberian minum
awal dilakukan dengan menggunakan gavage feeding. Jumlah minum awal adalah
sebesar ≤10 ml/kgBB/hari. Jika toleransi baik, minum ditingkatkan dengan
tambahan 2-4 ml dengan interval 3 jam.15 Namun, toleransi pada pasien ini kurang
baik karena NEC yang dialaminya. Oleh karena itu, dalam beberapa hari rawatan
pasien harus puasa dan mendapatkan nutrisi parenteral total. Peningkatan jumlah
ASI sebanyak 20 ml/kgBB/hari dinaikkan perlahan dengan menilai toleransi
pasien terhadap intake yang diberikan (muntah, kembung) hingga mencapai dosis
180 ml/kgBB/hari.15 Seiring dengan pertambahan berat badan pasien,

18
penambahan jumlah ASI dilakukan agar jumlah pemberian tetap 180
ml/kgBB/hari.1 Namun poin yang disebutkan sebelum ini hanya dilakukan jika
bayi sudah mendapat ASI penuh (jika berat 2.000 gram) dan usia >7 hari dan
belum tercapai pada pasien ini.15

Pasien ini mengalami kegawatdaruratan neonatus salah satunya adalah


distress napas. Pemeriksaan fisik ditemukan pasien sesak napas, merintih,
menangis lambat, adanya retraksi dan penggunaan otot bantu napas yakni adanya
napas cuping hidung. Penatalaksanaan pasien ini adalah dengan memberikan alat
bantu napas berupa CPAP.15

Selain itu, pada saat mulai rawatan pasien juga menunjukkan adanya
tanda-tanda sepsis onset dini (kurang dari usia 72 jam).1 Pasien ini memiliki
beberapa faktor risiko mayor untuk terjadinya sepsis yakni adanya ketuban berbau
dan berwarna hijau disertai leukosit ibu yang meningkat. Sementara faktor risiko
minor yang ditemukan adalah nilai APGAR yang rendah (4/5), usia gestasi yang
<37 minggu, dan kehamilan ganda. Sementara temuan yang mengarahkan kepada
kecurigaan sepsis yang ditemukan pada pasien ini adalah adanya kesulitan
bernafas, kondisi memburuk secara cepat, bayi letargi, dan perut kembung.15

Tabel 1. Pengelompokan Faktor Risiko Sepsis Neonatal16

Risiko Mayor
1. Ketuban pecah >24 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >38oC
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin yang menetap >160x/menit
5. Ketuban berbau
Risiko Minor
1. Ketuban pecah >12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >37,5oC
3. Nilai APGAR rendah (menit ke-1 <5, menit ke-5 <7)
4. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) <1500 gram
5. Usia gestasi <37 minggu
6. Kehamilan ganda
7. Keputihan pada ibu
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK)/tersangka ISK yang tidak diobati

19
Pemikiran akan adanya diagnosis sepsis onset dini pada pasien
menyebabkan pemberian antibiotic dilakukan sejak hari rawatan 1. Antibiotic
yang disarankan untuk sepsis neonatus pada kali pertama adalah ampisilin dan
gentamisin.15 Bila organisme tidak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan
gejala infeksi setelah 48 jam, ampisilin diganti dengan sefotaksim dan gentamisin
tetap dilanjutkan.15 Namun pada pasien diberikan ampicillin dan sefotaksim mulai
dari hari pertama rawatan. Kemungkinan pemilihan antibiotic ini didasarkan
kepada pola kuman rumah sakit. Pemilihan dosis pasien ini telah sesuai dengan
dosis neonatus yang ditetapkan. Selain terapi medikamentosa, pasien juga
mendapatkan fototerapi yang dianjurkan pada pasien sebab adanya keluhan
kuning pada pasien ini. Secara teori disebutkan bahwa indikasi dilakukannya
fototerapi pada bayi berat badan lahir 1800 gram adalah bila kadar bilirubin serum
total 10-12 mg/dl.17

Permasalahan lain pada pasien yang kritis adalah necrotizing


enterocolitis (NEC). Prevalensi NEC lebih besar terjadi pada bayi premature
dengan 70%-90% kasus terjadi pada bayi berat lahir rendah berisiko tinggi.17-19
Secara epidemiologi, NEC paling sering terjadi pada usia gestasi 30-32,3 sesuai
dengan usia gestasi pasien. Oleh sebab itu, pasien ini termasuk kedalam kelompok
berisiko untuk terjadinya NEC. Kejadian NEC berkaitan dengan imaturitas
saluran cerna yang merupakan predisposisi terjadinya jejas intestinal. Respon
yang tidak adekuat terhadap jejas tersebut akan berakibat pada kerusakan
integritas usus, iskemia juga akan menyebabkan hal yang sama.17 Faktor risiko
lain yang dapat menyebabkan NEC pada pasien ini adalah hipoksia yang
dialaminya. Hipoksia yang dialami oleh pasien akan mengurangi perfusi ke
sirkulasi mesenterika sehingga terjadi iskemia intestinal yang kemudian berlanjut
menjadi nekrosis.17

Pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan distress pernapasan dan letargi.


Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kelainan berupa distensi, kembung, dan
manifestasi perdarahan saluran cerna berupa adanya darah dari pipa orogaster.17
Hasil pemeriksaan fisik mengarahkan kecurigaan terhadap NEC sehingga langkah
selanjutnya yang diambil adalah dengan melakukan pemeriksaan foto polos

20
abdomen 2 posisi. Hasil foto polos abdomen dua posisi menunjukkan gambaran
udara bebas masif di rongga peritoneum, dengan adanya distensi usus dan
hilangnya gambaran preperitoneal fat line dan psoas lain yang sesuai dengan
kesan pneumoperitoneum. Komplikasi yang berbahaya pada pasien ini adalah
peritonitis sehingga memerlukan penatalaksanaan bedah segera. Pembedahan
diperlukan untuk menghindari syok.17 Gambaran pneumoperitonium pada foto
polos abdomen 2 posisi pasien merupakan indikasi dilakukannya pembedahan.
Sementara itu, pemasangan drainase peritoneal setelah operasi merupakan sebuah
alternative tindakan laparatomi eksplorasi pada bayi prematur.18 Penatalaksanaan
pasien ini sudah sesuai dengan rekomendasi yakni dengan melakukan puasa dan
pemberian nutrisi parenteral total, dekompresi lambung dengan sonde nasogastrik,
dan pemberian antibiotik.

Pasien ini mengalami NEC yang disertai dengan adanya perforasi


(dibuktikan dengan gambaran udara bebas massif di rongga abdomen dari hasil
foto polos). Literature menunjukkan bahwa kejadian perforasi pada NEC
berkaitan dengan beberapa faktor, adapun faktor yang dimiliki oleh pasien ini
adalah usia gestasi 30-34 minggu dan berat badan lahir rendah. Akan tetapi, pada
kehamilan ganda lebih banyak ditemukan kasus NEC tanpa perforasi.19

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Stoll Barbara, Chapman. The High-Risk Infant, In : Kliegman RM, Behrman


RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelsons Textbook of Pediatrics. 18th
Edition. Philadelphia : Saunders, 2007 ; p 701-10.
2. Dalmanik Sylvia M. Klasifikasi Bayi Menurut Berat Lahir dan Masa
Gestasi. Dalam : Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Badan Penerbit IDAI .
2008 ; 11-30.
3. Profil Kesehatan Propinsi D.I Yogyakarta Tahun 2005. Dinas Kesehatan
Propinsi D.I Yogyakarta. 2005. Dari www.depkes.go.id
4. Dogra VS. Intrauterine Growth Retardation. 2006. Downloaded from
www.emedicine.com.
5. Vandenbosche RC, Kirchner JT. Intrauterine Growth Retardation. 1998.
Downloaded from www.aafp.com.
6. Children Hospital Los Angeles. Enterokolitis Necrotikan. diakses pada
tanggal 11 Juli 2018
.http://www.chla.org/site/c.ipINKTOAJsG/b.4356869/k.7128/ Necrotizing_
Enterocolitis.htm#.Uq0vuifMiXQ.
7. Lucile Parkchard Children Stanford. Enterocolitis Necrotikan. Diakses
tannggal 15 Desember 2013.
http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/hrnewborn/nec.html3
8. World Health Organization. Enterokolitis Nekrotikan Dalam : Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Tim Adaptasi Indonesia :
editor.2009; h.67-68.4.
9. Robbins & Cotran. .
Enterokolitis Nekrotikan dalam Buku Saku Dasar Patologis Penyakit (Edisi
7), Jakarta: EGC. 2006.
10. Hull, David & Derek I. Johnston. Dasar-dasar Pediatri, Edisi 3.. 2008.
11. Stephen J. Mcphee. William F .Ganong . Penyakit gastrointestinal dalam
Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis (Edisi 5)
Jakarta:EGC. 2011.
12. Richard E. Behrman. Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. Sindromausus
pendek dalam Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Jakarta : EGC. 1999. Hal.
1346-47.
13. Robbins, Kumar, Cotran . Buku Ajar Patologi (Volume 2) (Edisi 7) Jakarta:
EGC. 2007.

22
14. Shu Fen Wu, Michael Caplan, Nectrozing Enterocolitis: Old problem with
newhope. ELSEVIER Journal of Neonatolog.
15. Maheswart A, Carlo WA. Necrotizing Enterocolitis. In: Kliegman RM (Ed).
Nelson Textbook of Pediatric 20th Edition.Philadelphia: Elsevier Inc. 2016.
Hal. 869-71.
16. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED.(Ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Doketer Anak
Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Penerbitan Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2009
17. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis
neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90.
18. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, Yulianti K.(Ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Doketer
Anak Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Penerbitan Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2011.
19. Yu L, Tian J, Zhao X, Cheng P, Chen X, Yu Y, Ding X, Zhu X, Xiao Z.
Bowel Perforation in Premature Infants with Necrotizing Enterocolitis: Risk
Factors and Outcomes. Hindawi Publishing Corporation. Gastroenterology
Research and Practice. 2016. Hal. 1-6

23

Anda mungkin juga menyukai