Anda di halaman 1dari 88

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Undang-undang RI No.8/2016 tentang penyandang disabilitas Pasal 1 ayat (1)

mendefinisikan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami

keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama

yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan

kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara

lainnya berdasarkan kesamaan hak. Definisi penyandang disabilitas sensorik

menurut UU RI No.8/2016 adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca

indra, antara lain disabilitas netra (tunanetra), disabilitas rungu (tunarungu),

dan/atau disabilitas wicara (tunawicara).1

Tunanetra adalah kondisi gangguan indra penglihatan atau kerusakan indra

penglihatan berdasarkan hasil tes ketajaman penglihatan dengan Snellen Chart.

Tunanetra berdasarkan tajam penglihatan diklasifikasikan menjadi low vision jika

tajam penglihatan kurang dari 6/20, buta jika tajam penglihatan sama dengan 0.2

Estimasi jumlah individu tunanetra di seluruh dunia pada tahun 2010 adalah

285 juta orang (4,24%), dengan buta total sebanyak 39 juta orang (0,58%) dan

low vision sebanyak 246 juta orang (3,65%).3 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2013 menyatakan prevalensi kebutaan pada anak berusia 5-14 tahun sebesar

4.802 orang (0,01%) dan severe low vision sebesar 14.407 orang (0,03%).4

1
2

Ketunanetraan menyebabkan berbagai masalah antara lain kesulitan dalam

bidang pendidikan, interaksi sosial, masalah emosi dan kesehatan.5 Anak

tunanetra memiliki kesehatan rongga mulut lebih buruk dibandingkan anak

normal.6 Indeks DMFT/dmft pada anak tunanetra di India (rata-rata DMFT 4,87

pada usia 6-12 tahun) dan di Riyadh (rata-rata dmft 6,58 pada usia 6-7 tahun dan

rata-rata DMFT 3,89 pada usia 11-12 tahun). Penelitian ini juga melaporkan status

kebersihan mulut pada anak tunanetra lebih buruk dibandingkan dengan anak

normal.7,8 Penelitian Zenith9 melaporkan indeks dmft 4,87 dan indeks DMFT 4,04

pada siswa tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri A Kota Bandung.

Penelitian Ahmad dkk10 meneliti kebersihan gigi dan mulut pada 80 anak

tunanetra, dimana 44 anak (55%) memiliki kebersihan gigi dan mulut yang buruk

dan 22,7% diantaranya mengalami karies gigi.

Kesehatan rongga mulut yang buruk pada anak tunanetra disebabkan

pengawasan orang tua/pengasuh yang kurang saat menyikat gigi, keterampilan

motorik yang kurang, orang tua dan anak tidak menyadari kebutuhan melakukan

kunjungan ke dokter gigi secara teratur, pengetahuan yang kurang tentang

kesehatan gigi dan mulut serta teknik menyikat gigi yang belum tepat.11-13 Edukasi

kesehatan gigi dan mulut khususnya penyikatan gigi diperlukan sebagai tindakan

pencegahan sehingga dapat mengurangi prevalensi karies gigi dan penyakit

perodontal pada anak tunanetra.14,15 Tujuan edukasi kesehatan gigi dan mulut

adalah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap yang dapat mendorong perubahan

perilaku yang baik sehingga didapatkan keadaan rongga mulut yang sehat.16,17
3

Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan didapatkan setelah seseorang mengadakan

penginderaan melalui panca indera terhadap suatu objek tertentu.12 Tingkat

pengetahuan seseorang berhubungan dengan pembentukan sikap, dimana sikap

merupakan faktor presidposisi terbentuk perilaku. Perilaku yang didasari

pengetahuan akan bertahan lebih lama dibandingkan perilaku yang tidak didasari

dengan pengetahuan.18 Seorang anak yang memiliki pengetahuan tentang

kesehatan gigi dan mulut sejak usia dini diharapkan mempunyai sikap dan

perilaku yang lebih baik sehingga terbentuk kebiasaan pemeliharaan kebersihan

gigi dan mulut.19

Anak tunanetra memiliki hambatan untuk memahami dan menguasai teknik

praktik kebersihan gigi dan mulut karena gangguan atau kerusakan indra

penglihatan. Beberapa intervensi metode edukasi kesehatan gigi dan mulut pada

anak tunanetra telah diteliti. Schnuth20 menggunakan kaset audio, model gigi

sulung dan gigi permanen serta permainan sebagai alat bantu pada saat

memberikan edukasi kesehatan gigi dan mulut pada anak tunanetra. Nandini8

menggunakan musik dalam melakukan edukasi penyikatan gigi, setiap pergantian

musik digunakan sebagai indikasi bagi anak tunanetra untuk merubah permukaan

penyikatan.

Beberapa penelitian juga melakukan perbandingan efektivitas metode edukasi

penyikatan gigi dan teknik penyikatan gigi pada anak tunanetra. Chowdary dkk21

membandingkan metode edukasi penyikatan gigi demontrasi taktil dengan metode

edukasi tidak langsung Braille dan verbal terhadap kebersihan gigi dan mulut

pada anak tunanetra. Bhor dkk22 membandingkan efektivitas metode edukasi


4

kesehatan gigi dan mulut Braille dengan metode edukasi kesehatan gigi dan mulut

Braille dan oral health talk terhadap pengetahuan, perilaku serta status kebersihan

gigi dan mulut pada anak tunanetra berusia 12-17 tahun. Penelitian Ganapathi

dkk23 membandingkan efektivitas empat metode edukasi penyikatan gigi yaitu

verbal, Braille, model gigi dan kombinasi verbal, Braille dan model gigi terhadap

kebersihan gigi dan mulut pada anak tunanetra. Chrishantha dkk24

membandingkan efektivitas teknik penyikatan gigi metode Fones dan metode

modifikasi Bass pada anak tunanetra, menunjukkan bahwa metode Fones lebih

mudah dipahami dan diingat oleh anak tunanetra.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, metode edukasi

penyikatan gigi yang tepat dan sesuai untuk anak tunanetra adalah menggunakan

verbal, Braille dan demonstrasi taktil. Metode edukasi penyikatan gigi verbal

adalah metode edukasi dengan memberikan intruksi secara lisan. Metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille merupakan metode edukasi khusus bagi

tunanetra dengan media huruf Braille. Metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil merupakan metode edukasi khusus bagi anak tunanetra

melalui demonstrasi taktil dengan media boneka bergigi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian

untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan, sikap, perilaku serta

kebersihan gigi dan mulut pada anak tunanetra.


5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan.

2. Apakah terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap.

3. Apakah terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku.

4. Apakah terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan mulut.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk melihat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan, sikap,

perilaku serta kebersihan gigi dan mulut pada anak tunanetra.


6

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan berguna dari aspek teoritis maupun praktis

1.4.1 Aspek Teoritis

Aspek teoritis dari penelitian adalah :

1. Hasil penelitian dapat memberikan informasi ilmiah di bidang kedokteran

gigi mengenai perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan, sikap, perilaku serta

kebersihan gigi dan mulut pada anak tunanetra.

2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai landasan ilmiah untuk penelitian

selanjutnya.

1.4.2 Aspek Praktis

Aspek praktis dari penelitian adalah:

1. Memberikan informasi yang bermanfaat kepada dokter gigi, tenaga pendidik

dan masyarakat umum dalam memilih metode edukasi penyikatan gigi yang

efektif untuk anak tunanetra.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini akan membahas tentang tunanetra, edukasi

kesehatan gigi dan mulut pada anak tunanetra, serta kebersihan gigi dan mulut.

2.1.1 Tunanetra

Kata” tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “tuna”

yang artinya rusak atau cacat dan kata “netra” yang artinya adalah mata atau alat

penglihatan, jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan.25 Menurut Direktorat

Pembinaan Sekolah Luar Biasa, tunanetra adalah seseorang yang memiliki

hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indra penglihatan. Tunanetra

diklasifikasikan menjadi low vision dan kebutaan. Low vision adalah gangguan

penglihatan dengan ketajaman penglihatan kurang dari 6/20 dan bidang

penglihatan kurang dari 20°. Kebutaan adalah gangguan penglihatan dengan

ketajaman penglihatan dan bidang penglihatan sama dengan 0.25,26

2.1.1.1 Etiologi Tunanetra

Penyebab tunanetra dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara. Etiologi

tunanetra berdasarkan waktu terjadinya yaitu kongenital, intrauterin, perinatal dan

masa kanak-kanak. Kongenital antara lain kelainan genetik, penyakit retina

kongenital, retinoblastoma kongenital, aniridia, katarak kongenital dan glaukoma

7
8

kongenital. Intrauterin antara lain infeksi, trauma dan penggunaan obat-obatan

terlarang/alkohol oleh ibu. Etiologi perinatal antara lain ophthalmia neonatorum,

retinopathy of prematurity dan asfiksia. Etiologi pada masa kanak-kanak antara

lain retinoblastoma, glaukoma, toksoplasmosis herediter, high refraction error,

atrofi saraf optik atau atrofi sistem saraf pusat karena infeksi atau asfiksia.

Etiologi tunanetra juga dapat dibagi berdasarkan bagian yang mengalami

kerusakan antara lain orbita (anophthalmia, microphthalmia, coloboma, dan

glaucoma/buphthalmos), kornea (skar pada kornea), lensa (katarak, dislokasi dan

subluksasi lensa), uvea (aniridia dan uveitis), retina (retinopathy of prematurity,

albinism, skar akibat toksoplasmosis dan penyebab lainnya, distrofi retina, retinal

detachment dan retinoblastoma), saraf optik (atrofi dan hipoplasia) dan orbita

normal (kerusakan sistem saraf pusat, kesalahan refraksi dan nistagmus).25

2.1.1.2 Klasifikasi Tunanetra

Tunanetra dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa cara sebagai berikut:

1. Tunanetra berdasarkan waktu terjadinya, dapat digolongkan sebagai berikut:25

1) Tunanetra sebelum lahir adalah penderita tunanetra sejak dalam kandungan

atau sebelum usia satu tahun sehingga belum memiliki kesan visual.

2) Tunanetra batita adalah penderita tunanetra sebelum usia 3 tahun yang sudah

memiliki kesan visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

3) Tunanetra balita adalah penderita tunanetra sebelum usia 5 tahun yang

memiliki kesan visual kuat dan tetap harus dikembangkan.


9

4) Tunanetra pada usia sekolah dasar adalah penderita tunanetra sejak usia 6-12

tahun dan konsep visual telah terbentuk dengan baik.

5) Tunanetra remaja adalah penderita tunanetra sejak usia 13-19 tahun yang

telah memiliki kesan visual sangat mendalam.

6) Tunanetra dewasa adalah penderita tunanetra sejak usia 19 tahun ke atas.

2. Tunanetra berdasarkan ketajaman penglihatan dan bidang penglihatan, dapat

diklasifikasikan:25

1) Buta adalah penderita tunanetra yang tidak mampu menerima rangsang

cahaya sehingga ketajaman penglihatan sama dengan 0.

2) Low vision adalah penderita tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan

kurang dari 6/20 dan bidang penglihatan kurang dari 20˚. Jenis dari low

vision berdasarkan ketajaman penglihatan:

(1) Low vision moderat adalah low vision dengan ketajaman penglihatan

<6/20 sampai 3/20.

(2) Low vision berat adalah low vison dengan ketajaman penglihatan <3/20

sampai 1/20.

2.1.1.3 Kondisi Psikologi Anak Tunanetra

Kondisi psikologi pada anak tunanetra adalah sebagai berikut:26

1. Rasa curiga terhadap orang lain

Fungsi indra penglihatan berpengaruh terhadap penerimaan informasi visual

saat berkomunikasi dan berinteraksi. Anak tunanetra tidak memahami ekspresi

wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melalui suara saja. Jika teman
10

bicaranya berbicara dengan orang lain secara berbisik-bisik atau kurang jelas,

dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman dan timbulnya rasa curiga terhadap

orang lain.

2. Perasaan mudah tersinggung

Bercanda dan saling membicarakan saat berinteraksi dapat membuat anak

tunanetra tersinggung. Perasaan mudah tersinggung dapat diatasi dengan

memperkenalkan anak tunanetra dengan lingkungan sekitar untuk memberikan

pemahaman bahwa setiap orang memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur

kata dan cara berteman. Apabila anak tunanetra diajak bercanda maka dapat

mengikuti tanpa ada perasaan tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan.

3. Verbalisme

Anak tunanetra mengalami keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan

pada konsep abstrak. Konsep abstrak yang bersifat fatamorgana, seperti pelangi

dan lain sebagainya memiliki bagian-bagian yang tidak dapat dibuat media

konkret untuk menjelaskannya secara detail sehingga hanya dapat dijelaskan

melalui verbal. Pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-kata saja pada

konsep abstrak yang sulit dibuat media konkret yang dapat menyerupai.

4. Perasaan rendah diri

Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsep dirinya.

Implikasi dari tunanetra yaitu perasaan rendah diri untuk bergaul dan

berkompetisi dengan orang lain. Perasaan rendah diri disebabkan penglihatan

memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi. Perasaan


11

rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak normal. Perasaan tersebut akan

sangat dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.

5. Gerakan stereotype

Gerakan stereotype merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui

indra non-visual. Bentuk gerakan stereotype tersebut misalnya gerakan

mengayunkan badan ke depan ke belakang silih berganti, gerakan menggerakkan

kaki saat duduk, menggeleng-gelengkan kepala dan lain sebagainya. Gerakan

stereotype dilakukan sebagai pengganti saat anak tidak memiliki rangsangan dari

luar, sedangkan pada anak normal dapat dilakukan melalui pengamatan

lingkungan sekitar.

6. Suka berkhayal

Implikasi dari tunanetra yaitu anak suka berkhayal. Anak normal dapat

melakukan kegiatan melihat dan mencari informasi pada waktu luang. Kegiatan

melihat tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra, sehingga anak mengisi waktu

luang dengan berkhayal.

7. Berpikir kritis

Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak tunanetra dalam berpikir

kritis terhadap suatu permasalahan. Anak tunanetra memecahkan suatu

permasalahan dilakukan secara fokus dan kritis berdasarkan informasi yang telah

diperoleh dan terhindar dari pengaruh visual.

8. Pemberani

Anak tunanetra yang telah memiliki konsep diri yang baik akan memiliki sikap

pemberani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan


12

pengalamannya. Sikap pemberani merupakan konsep diri yang harus dilatih sejak

dini agar dapat mandiri, menerima keadaan dirinya dan mau berusaha dalam

mencapai cita-cita.

9. Ketergantungan yang berlebihan

Anak tunanetra dalam melakukan suatu hal yang bersifat baru membutuhkan

bantuan dan arahan agar bisa melakukannya. Anak tunanetra memiliki asumsi

bahwa dengan bantuan orang normal merasa lebih aman, sehingga akan

menjadikan anak memiliki ketergantungan secara berlebihan.

2.1.1.4 Perkembangan Motorik Anak Tunanetra

Penglihatan berperan penting dalam keterampilan motorik sebagai penuntun

dan pengontrol akuisisi, diferensiasi dan otomatisasi. Fungsi penglihatan dalam

akuisisi keterampilan motorik adalah fungsi insentif untuk memotivasi anak untuk

bergerak, fungsi spasial untuk memberikan informasi tentang jarak dan arah

gerakan dan benda, fungsi pelindung untuk mengantisipasi situasi berbahaya dan

mengendalikan/fungsi umpan balik untuk mendeteksi kesalahan dan memperbaiki

gerakan yang sedang berlangsung.27,28

Saat koordinasi antara mata dengan tangan sudah semakin baik maka anak

sudah dapat mengurus diri sendiri dengan pengawasan orang yang lebih tua.

Gerakan motorik halus pada anak normal 5 tahun, antara lain adalah anak mulai

dapat menyikat gigi, menyisir, memakai sepatu sendiri, mengancingkan pakaian,

serta makan sendiri dengan menggunakan sendok dan garpu. Gerakan motorik

halus pada anak tunanetra mengalami kesulitan, misalnya bermain dengan mainan
13

konstruksi dan menguasai keterampilan hidup sehari-hari seperti menggunakan

sendok, menyikat gigi dan menanggalkan pakaian. Perkembangan gerakan

motorik halus pada anak tunanetra lebih lambat dibandingkan gerakan motorik

kasar.29,30

Keterlambatan gerakan motorik dapat disebabkan rasa takut begerak,

kecemasan berlebihan dari orang tua, cedera yang pernah dialami dan

ketidakmampuan anak untuk mengamati dan meniru orang lain. Pola lokomotor

awal, termasuk merangkak, merayap, menjelajah dan berjalan mengalami

keterlambatan 4-6 bulan; pola stasioner seperti duduk menunjukkan keterlambatan

1-2 bulan.28,29,30

Masalah motorik lain meliputi deviasi postur, hipotonus dan keseimbangan.

Deviasi postur berhubungan dengan hipotonus dan ketidakmampuan untuk

mengamati postur tubuh yang normal. Hipotonus adalah tonus otot yang kurang

dan merupakan efek langsung kurang bergerak. Keseimbangan karena kekurangan

pengalaman gerakan dan latihan. Anak tunanetra sejak lahir membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk memperlajari suatu keterampilan.27,30

2.1.1.5 Pembelajaran pada Anak Tunanetra

Meskipun memiliki keterbatasan penglihatan, namun anak tunanetra memiliki

kebutuhan yang sama dalam pembelajaran. Menurut Tillman dan Obsorg terdapat

tiga karakteristik pembelajaran untuk anak tunanetra yaitu siswa tunanetra

menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak normal, namun

pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan; siswa tunanetra


14

mendapatkan nilai yang hampir sama dengan anak normal, dalam hal berhitung,

informasi dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman dan persamaan;

kosakata siswa tunanetra cenderung menggunakan kata-kata yang definitif,

sedangkan anak normal menggunakan kata-kata yang lebih luas.31,32

Menurut Lowenfeld33 terdapat tiga prinsip dalam proses pembelajaran bagi

anak tunanetra yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Pengalaman konkrit

Anak tunanetra mengenali objek melalui observasi taktil pada benda asli untuk

mengetahui bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat permukaan, kelenturan,

suhu dan sebagainya. Proses belajar mengajar dituntut semaksimal mungkin

menggunakan benda-benda konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat atau

media bantu pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Anak lebih

menyukai untuk berpikir konkret, melakukan dan melihat hal-hal konkret.

Penjelasan abstak seperti penjelasan dengan berbicara atau ceramah tidak tepat

untuk anak tunanetra. Penjelasan harus disajikan pada bentuk nyata yang dapat

mereka sentuh, rasakan dan mainkan.

2. Kesamaan pengalaman

Anak tunanetra dapat memperoleh pengalaman yang menyeluruh melalui indra

orang lain.

3. Belajar dengan bertindak

Anak tunanetra harus diajak untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran.

Prinsip belajar dengan bertindak sama dengan prinsip belajar sambil bekerja.

Perbedaannya adalah bagi anak tunanetra, melakukan sesuatu merupakan


15

pengalaman nyata yang tidak mudah terlupakan. Anak normal belajar mengenai

keindahan lingkungan cukup dengan melihat gambar atau foto sedangkan pada

anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara langsung di

lingkungan nyata. Pembelajaran tidak hanya bersifat informatif tetapi semaksimal

mungkin anak diajak ke dalam situasi nyata sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai.

Rini Hildayani34 menyatakan anak tunanetra memiliki kebutuhan pengalaman

secara kongkrit dan mempraktekkan secara langsung apa yang dipelajari (learning

by doing). Prinsip pendidikan untuk anak tunanetra adalah kebutuhan akan

pengalaman kongkrit dan mempraktekkan secara langsung dan berulang-ulang

sehingga terbentuk suatu kebiasaan untuk menangkap kesan terpadu.35

Metode pembelajaran pada anak tunanetra terbagi tiga sebagai berikut:35,36

1. Metode taktil

Anak tunanetra menggunakan sentuhan untuk belajar tentang lingkungannya.

Media visual yang digunakan di ruang kelas dimodifikasi sehingga dapat disentuh

oleh anak tunanetra. Diagram, model, peta dan grafik akan lebih besar nilai

edukasinya bagi anak tunanetra jika anak bisa melihat menggunakan sentuhan.

Sebagai contoh, menguraikan batas peta dengan tali yang memungkinkan anak

membaca peta.

2. Metode Audio

Pendengaran adalah salah satu indra yang dapat digunakan anak tunanetra

untuk mendapatkan informasi dari lingkungannya. Media pembelajaran yang

diberikan secara verbal bertujuan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian


16

dan kemampuan anak. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penyajian pesan

dibuat dengan mempertimbangkan materi yang tepat dan sajian yang menarik agar

siswa tidak merasa bosan. Media yang biasa digunakan pada metode audio adalah

ceramah, audiotaped textbooks, MP3 player, tape recorder, handphone dan

komputer.

3. Metode visual

Anak dengan low vison masih memiliki penglihatan yang dapat digunakan.

Pembelajaran akan lebih efisien jika anak dapat meningkatkan keterampilan

penglihatannya melalui pelatihan atau penggunaan alat bantu. Pena felt-tip hitam

dan pensil soft lead digunakan sebagai alat tulis karena kontrasnya yang tinggi.

Penambahan cahaya lampu pada ruang belajar anak membantu anak

meningkatkan keterampilan penglihatannya.

Sadiman dkk36 mengatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu

yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima

sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian siswa

sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Menurut fungsinya, media

pembelajaran dapat dibedakan menjadi media untuk menjelaskan konsep (alat

peraga) dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran (alat bantu

pembelajaran) sebagai berikut:37,38

1. Alat peraga yang dapat digunakan dalam pembelajaran anak tunanetra meliputi

objek atau situasi yang sebenarnya, benda asli yang diawetkan dan benda tiruan

(tiga dimensi dan dua dimensi).


17

2. Alat bantu pembelajaran, antara lain meliputi alat bantu berhitung (kubaritma,

abakus atau sempoa, dan kalkulator bersuara), alat bantu yang bersifat audio

seperti tape-recorder, alat bantu menulis huruf Braille (reglet, pen dan mesin

ketik Braille) dan alat bantu membaca huruf Braille (papan huruf dan optakon).

Braille adalah media yang paling baik untuk transmisi informasi tertulis kepada

orang tunanetra.

2.1.1.6 Kesehatan Gigi dan Mulut pada Anak Tunanetra

Kondisi tunanetra dapat berdampak pada kebersihan gigi dan mulut, beberapa

anak tunanetra memiliki kebersihan gigi dan mulut lebih buruk dibandingkan anak

normal. Jumlah kalkulus dan plak yang banyak dapat menyebabkan penyakit

periodontal dan karies gigi pada anak tunanetra. Kemampuan anak tunanetra

melakukan kegiatan kebersihan diri sehari-hari, termasuk menyikat gigi sangat

tergantung pada orang tua atau pengasuh. Anak tunanetra juga memiliki insidensi

trauma pada gigi dan jaringan lunak yang sedikit lebih tinggi dibandingkan anak

normal. Anomali gigi seperti hipoplasia email terkait penyakit kongenital

penyebab tunanetra. Suatu penelitian menyimpulkan terdapat hubungan antara

coloboma iris, hipodonsia dan amelogenesis imperfekta. Peningkatan abrasi email

juga dilaporkan pada anak tunanetra akibat bruksism.

2.2 Edukasi Kesehatan Gigi dan Mulut pada Anak Tunanetra

Pendidikan kesehatan adalah proses transmisi pengetahuan dan keterampilan

yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup. Edukasi kesehatan gigi dan
18

mulut dapat mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku anak, sehingga anak tidak

hanya mengetahui penyebab penyakit gigi dan mulut, tetapi juga menyadari

pentingnya tindakan pencegahan penyakit gigi dan mulut. Edukasi kesehatan gigi

dan mulut secara umum diberikan dalam bentuk poster dan pamflet yang

membutuhkan persepsi visual, oleh karena itu anak tunanetra membutuhkan

instruksi dan pendekatan khusus dalam edukasi kesehatan gigi dan mulut.40-44

Edukasi pada anak tunanetra menggunakan media khusus. Kurtz45 mengatakan

media edukasi yang dapat digunakan untuk anak tunanetra adalah media yang

dapat dijangkau dengan indra pendengaran dan perabaan. Media edukasi yang

dapat dijangkau dengan indra pendengaran antara lain alat bantu yang bersifat

audio seperti tape-recorder dan audio book, sedangkan media yang dapat

dijangkau dengan perabaan antara lain benda asli yang diawetkan, benda tiruan

(tiga dimensi dan dua dimensi) dan huruf Braille.46,47 Schnuth menggunakan kaset

audio, model gigi, typodont gigi sulung dan gigi permanen serta permainan

sebagai alat bantu visual saat mengedukasi anak tunanetra.45 Bhor dkk22

menggunaakan media edukasi kesehatan gigi dan mulut dengan tulisan Braille

dan oral health talk. Ganapathi dkk23 menggunakan audio record, tulisan Braille,

model gigi sebagai media edukasi pada anak tunanetra.

Edukasi kesehatan dapat didefinisikan sebagai usaha yang digunakan untuk

pembelajaran secara khusus yang bertujuan menciptakan kesehatan. Tiga tujuan

edukasi dasar sebagai berikut:


19

1. Kognitif: berkaitan dengan pemberian informasi dan peningkatan

pengetahuan.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi sesudah seseorang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu kemudian disimpan dalam

ingatan atau memori sebagai sistem penyimpanan informasi dan pengetahuan

manusia. Pengindraan melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, pengecapan dan perabaan. Pengetahuan didapat sebagai

akibat adanya stimulasi yang ditangkap panca indra. Pengetahuan dapat diperoleh

baik secara alami maupun secara terencana melalui proses edukasi diantaranya

proses belajar.18

Bloom18 menyatakan bahwa terdapat 6 tingkatan pengetahuan, yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Tingkat tahu adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang

spesifikdari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsang yang telah diterima, oleh

sebab itu “tahu” merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap

objek.
20

3) Aplikasi (aplication)

Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagiandi dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap

suatu materi atau objek. Penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang

ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengetahuan mengenai pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut umumnya telah

ditanamkan sejak dini oleh orang tua, guru dan petugas kesehatan. Sekolah

berperan penting dalam memberikan pengetahuan mengenai pemeliharaan

kesehatan gigi dan mulut. Kemajuan teknologi juga turut mendukung informasi

dan pengetahuan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut serta dapat diperoleh dari

berbagai media seperti televisi, majalah, koran, internet dan media massa

lainnya.18,19
21

2. Afektif: berkaitan dengan klarifikasi, pembentukan atau perubahan sikap,

kepercayaan, nilai atau pendapat.

Menurut Louis Thurstone, Renesis Linkert dan Charles Osgood18 sikap adalah

bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah

perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak

mendukung (unfavorable). Menurut La Peirre18 sikap diartikan sebagai suatu pola

perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri

dalam situasi sosial atau sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah

terkondisikan. Second dan Backman18 mendefinisikan sikap sebagai keteraturan

tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi

tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitanya. Sikap

merupakan hasil dari pengalaman atau pendidikan, dan dapat memiliki pengaruh

kuat atas perilaku. Sikap terhadap suatu objek akan memengaruhi perilaku

terhadap objek tersebut.

Seperti halnya pengetahuan, sikap juga terdiri dari beberapa tingkatan,

yaitu:18,19

1) Menerima, yaitu orang atau objek mau memperhatikan stimulus yang diberikan

(objek).

2) Merespon, yaitu suatu upaya memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

3) Menghargai, yaitu mau mengajak orang lain untuk mengajarkan atau

mendiskusikan masalah yang diberikan.


22

4) Bertanggung jawab, yaitu berani menanggung resiko atau segala sesuatu yang

dipilihnya.

Sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen

kognitif, komponen afektif dan komponen konatif:19

1) Komponen Kognitif

Komponen kognitif terdiri dari persepsi, kepercayaan dan stereotype yang

dimiliki individu mengenai sesuatu.

2) Komponen Afektif

Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut masalah emosional.

3) Komponen Konatif

Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu

sesuai dengan sikap.

Sikap (attitude) dapat mempengaruhi tingkah laku (behaviour), hubungan

antara sikap dan perilaku terdapat pada Theory of Reasoned Action (Teori

Tindakan Beralasan) yang kemudian diperbaiki dengan Theory of Planned

Behavior (Teori Perilaku Rencanaan). Theory of Reasoned Action (TRA) pertama

kali diperkenalkan oleh Martin Fishbein dan Ajzen. Theory of Reasoned Action

(TRA) mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku malalui proses

pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya

pada tiga hal :19

1) Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap

yang spesifik terhadap sesuatu.


23

2) Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-

norma objektif (subjective norms) yaitu keyakinan mengenai apa yang orang

lain inginkan pada perilaku.

3) Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif

membentuk suatu intensi atau niat berperilaku tertentu.

3. Behaviour: berkaitan dengan pengembangan keterampilan dan tindakan

Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu perilaku tertutup

(covert behaviour) dan perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku tertutup

(covert behaviour) terjadi bila respon terhadap stimuli masih belum dapat diamati

dari luar secara jelas, respon masih terbatas dalam perhatian, perasaan, persepsi,

pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Perilaku terbuka

(overt behaviour) terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau

praktik dan sudah dapat diamati dari luar.18,19

Menurut Abraham Harold Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar

yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial dan kasih sayang, penghargaan serta

aktualisasi diri. Perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya bersifat

simultan. Motivasi datang secara intriksik dan ekstrinsik. Motivasi terbaik datang

dari dalam diri sendiri, bukan dari pengaruh lingkungan. Motivasi perilaku dapat

ditingkatkan dapat ditempuh 4 cara antara lain, pertama memberikan reward

berbentuk hadiah, pujian, piagam, penghargaan, promosi edukasi dan jabatan.

Kedua, kompetisi atau persaingan yang sehat. Ketiga, menjelaskan tujuan atau

menciptakan tujuan antara. Keempat memberi informasi mengenai keberhasilan

kegiatan yang telah dilakukan untuk mendorong kebersihan yang lebih baik.
24

Perubahan perilaku merupakan tujuan edukasi atau penyuluhan kesehatan sebagai

penunjang program-program kesehatan lainnya.19

Menurut Bloom, perilaku dapat diamati secara langsung maupun menggunakan

alat. Indikator pengukuran perubahan perilaku, khususnya perilaku pemeliharaan

kesehatan dapat dilakukan melalui domain perilaku itu sendiri yaitu pengetahuan

(knowledge), sikap (attitude) dan praktik (practice). Perubahan perilaku

pemeliharaan kesehatan dapat diamati dari pengetahuan, sikap dan tindakan

seseorang.18,19

Pengetahuan dan sikap dapat dinilai dengan wawancara baik terstruktur

maupun mendalam dan diskusi kelompok terarah. Tindakan atau perilaku dapat

dinilai melalui observasi, tetapi dapat juga dilakukan wawancara dengan

mengingat kembali perilaku yang telah dilakukan responden beberapa waktu

lalu.19

2.2.1 Edukasi Penyikatan Gigi pada Anak Tunanetra

Tunanetra menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan,

keterbatasan dalam mobilitas serta keterbatasan dalam mendapatkan konsep,

pengalaman dan keterampilan baru. Hampir 80% keterampilan diperoleh manusia

melalui indra penglihatan termasuk menyikat gigi.48 Metode edukasi penyikatan

gigi konvensional yang melibatkan penggunaan persepsi visual, penggunaan

bahan disclosing untuk memvisualisasikan plak dan melakukan penyikatan gigi

untuk menghilangkan plak tidak dapat diterapkan pada anak tunanetra.

Perkembangan keterampilan motorik anak tunanetra lebih lambat dibandingkan


25

anak normal karena anak tunanetra tidak dapat belajar secara efektif dengan

melihat dan meniru.

Anak tunanetra lebih bergantung pada suara dan sentuhan, sehingga diperlukan

metode edukasi penyikatan gigi khusus melalui pendengaran dan perabaan.

Lebowitz49 menyatakan bahwa kebutaan tidak mengubah metode tetapi

melakukan modifikasi metode dan media edukasi. Penggunaan instruksi lisan dan

alat bantu taktil tepat untuk memberikan edukasi penyikatan gigi.49 O'Donnell dan

Crosswaite50 menyimpulkan anak tunanetra sangat adaptif dengan instruksi lisan

dan praktek kebersihan gigi dan mulut. Nandini8 menggunakan musik dalam

edukasi penyikatan gigi, dengan perubahan musik sebagai indikator bagi anak

untuk mengubah permukaan menyikat.

Penelitian Chrishantha dkk menyimpulkan bahwa teknik penyikatan gigi

metode Fones lebih mudah dipahami dan diingat oleh anak tunanetra

dibandingkan teknik penyikatan gigi metode modifikasi Bass. Metode Fones

memiliki kelebihan antara lain mencegah gingivitis, tidak membutuhkan

keterampilan tinggi, lebih mudah diingat dan dimengerti dalam satu kali pelatihan

seperti dilansir Research by Dental Tribune Internasional.24 Teknik Fones efektif

untuk anak dengan keterampilan motorik yang terbatas.51 Metode Fones adalah

teknik penyikatan gigi dimana bulu sikat di tempelkan tegak lurus pada

permukaan gigi yang dapat dilihat pada gambar 2.1.51


26

Gambar 2.1 Teknik Penyikatan Gigi Metode Fones


Dikutip dari Rao, A.51

2.3 Kebersihan Gigi dan Mulut

Kebersihan gigi dan mulut merupakan keadaan rongga mulut yang terjaga

kebersihannya dan terbebas dari plak dan kalkulus. Indeks kebersihan gigi dan

mulut awalnya mengukur 12 permukaan gigi, kemudian dikurangi menjadi 6

permukaan gigi yang dikenal sebagai Simplified Oral Hygiene Index atau OHI-S

oleh Green dan Vermillion.

Permukaan yang diperiksa untuk mengukur debris dan kalkulus adalah

permukaan labial gigi 11, 16, 26, 31 dan permukaan lingual 36 dan 46 yang dapat

dilihat pada gambar 2.2. Setiap permukaan gigi dibagi tiga secara horizontal

menjadi 1/3 gingiva, 1/3 tengah dan 1/3 insisal. Simplified Oral Hygiene Index

terdiri dari dua komponen, deposit lunak atau Simplified Debris Index (DI-S) dan

deposit terkalsifikasi atau Simplified Calculus Index (CI-S). 52


27

Gambar 2.2 Permukaan Gigi yang Diperiksa


Dikutip dari Hiremath5

Pemeriksaan Simplified Debris Index dilakukan dengan menempatkan sonde

bengkok pada 1/3 insisal gigi kemudian sonde dijalankan ke 1/3 gingiva. Kriteria

debris index dapat dilihat pada gambar 2.3. Skor Simplified Debris Index individu

didapat dengan menjumlahkan skor debris setiap permukaan gigi dan dibagi

jumlah permukaan gigi diperiksa.53

Gambar 2.3 Kriteria Debris Index


Dikutip dari Carranza53
Keterangan : 0 = Tidak ada debris atau stein; 1 = Ada debris lunak menutupi tdk lbh sepertiga gigi
atau adanya stein (bercak) ekstrinsik tanpa debris dgn tdk memperhitungkan
perluasannya, 2 = Adanya debris lunak menutupi lebih dari 1/3 gigi, 3 = Adanya
debris lunak menutupi lebih dari 2/3 gigi.

Pemeriksaan Simplified Calculus Index dilakukan dengan menempatkan sonde

bengkok pada 1/3 insisal gigi kemudian sonde dijalankan ke 1/3 gingiva. Kriteria

calculus index dapat dilihat pada gambar 2.4. Skor Simplified Calcukus Index
28

individu didapat dengan menjumlahkan skor debris setiap permukaan gigi dan

dibagi jumlah permukaan gigi diperiksa.53.53

Gambar 2.4 Kriteria Calculus Index


Dikutip dari Carranza53
Keterangan : 0 = Tidak ada kalkulus; 1 = Ada kalkulus supragingival menutupi lebih dari 1/3 gigi;
2 = Ada kalkulus supragingival lebih dari 1/3 gigi tapi belum melewati 2/3 gigi, atau
ada flek-flek kalkulus subgingival di sekeliling servikal gigi, atau kedua-duanya; 3 =
Ada kalkulus supragingival menutupi lebih dari 2/3 gigi, atau kalkulus subgingival
mengelilingi servikal gigi atau kedua-duanya.

2.2 Kerangka Pemikiran

Anak tunanetra memiliki kebersihan gigi dan mulut yang lebih buruk

dibandingkan anak normal. Kemampuan anak tunanetra melakukan kegiatan

kebersihan diri sehari-hari, termasuk menyikat gigi sangat tergantung pada orang

tua atau pengasuh.48

Hampir 80% keterampilan diperoleh manusia melalui indra penglihatan

termasuk menyikat gigi.48 Tunanetra menyebabkan keterbatasan dalam

mendapatkan konsep, keterampilan dan pengalaman baru Anak tunanetra

memerlukan edukasi menyikat gigi.48

Metode konvensional edukasi penyikatan gigi melibatkan penggunaan persepsi

visual, penggunaan bahan disclosing untuk memvisualisasikan plak dan

melakukan penyikatan gigi untuk menghilangkan plak tidak dapat diterapkan pada

anak dengan tunanetra. Anak tunanetra mengalami keterlambatan perkembangan


29

keterampilan dibandingkan anak normal, karena anak tidak dapat belajar secara

efektif dengan melihat dan meniru.

Anak tunanetra lebih bergantung pada suara dan sentuhan, sehingga diperlukan

metode edukasi khusus melalui pendengaran dan perabaan. Lebowitz48

menyatakan bahwa kebutaan tidak mengubah metode tetapi memodifikasi metode

dan media edukasi. Media edukasi kebersihan gigi dan mulut harus disesuaikan

dengan jenis tunanetra. Modifikasi metode edukasi kebersihan mulut dengan

penggunaan alat bantu antara lain tulisan tebal besar, huruf Braille, model gigi,

boneka bergigi, kaset audio dan intruksi lisan.49 Sanadhya dkk54 menyimpulan

perubahan rata-rata kebersihan gigi dan mulut, pengetahuan, sikap dan perilaku

yang signifikan setelah edukasi pada anak tunanetra. Ganapathi dkk23

menyimpulkan terdapat perbedaan rata-rata perubahan skor pengetahuan dan skor

plak yang siginifikan antara kelompok taktil dengan kelompok Braille.

Anak tunanetra

Keterbatasan dalam Keterbatasan dalam mendapatkan konsep,


mobilitas keterampilan dan pengalaman baru

Kebersihan gigi dan mulut buruk


Braille
dan verbal
Modifikasi
metode edukasi
penyikatan gigi Taktil dan
verbal
?

Pengetahuan Sikap Perilaku Kebersihan gigi dan mulut

Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran


30

Berdasarkan kerangka pemikiran, didapatkan premis-premis sebagai berikut :

Premis 1

Anak tunanetra memiliki kebersihan gigi dan mulut yang lebih buruk

dibandingkan anak normal.48

Premis 2

Hampir 80% keterampilan diperoleh manusia melalui indra penglihatan termasuk

menyikat gigi.48

Premis 3

Lebowitz49 menyatakan bahwa kebutaan tidak mengubah metode tetapi

memodifikasi metode dan media edukasi.

Premis 4

Modifikasi metode edukasi kebersihan mulut dengan penggunaan alat bantu

antara lain tulisan tebal besar, huruf Braille, model gigi, boneka bergigi, kaset

audio dan intruksi lisan.49

Premis 5

Sanadhya dkk54 menyimpulan perubahan rata-rata kebersihan gigi dan mulut,

pengetahuan, sikap, perilaku yang signifikan setelah edukasi pada anak tunanetra.

Premis 6

Ganapathi dkk23 menyimpulkan terdapat perbedaan rata-rata perubahan skor

pengetahuan dan skor plak yang signifikan secara statistik pada kelompok taktil

dan kelompok Braille.


31

2.3 Hipotesis

Berdasarkan premis-premis yang ada maka didapatkan hipotesis sebagai

berikut:

1. Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan (premis 1,2,3,4,5 dan 6).

2. Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap (premis 1,2,3,4 dan 5).

3. Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku (premis 1,2,3,4,dan 5).

4. Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan mulut (premis

1,2,3,4,5 dan 6).


BAB III

POPULASI, SAMPEL, ALAT, BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Populasi, Sampel, Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian dilakukan di SLB Negeri A Kota Bandung. Peneliti menggunakan

populasi/sampel/ alat dan bahan untuk melakukan penenlitian.

3.1.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah siswa di Sekolah Luar Biasa Negeri A Kota

Bandung berjumlah 86 orang.

3.1.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian berjumlah 20 orang diambil dari populasi dengan cara

purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan batasan waktu dan sesuai

dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan:

1. Kriteria inklusi

1) Anak dengan buta total sejak lahir.

2) Anak laki-laki dan perempuan berusia 7-16 tahun.

3) Anak dapat membaca huruf Braille.

2. Kriteria eksklusi

1) Anak memiliki disabilitas lain dan/atau penyakit sistemik.

2) Permukaan gigi yang diperiksa untuk mengukur debris dan kalkulus

terdapat karies.

32
33

3.1.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan oleh peneliti sebagai alat pengumpulan data dalam

penelitian antara lain :

1. Informed consent

2. Buku monitoring penyikatan gigi

3. Lembar pemeriksaan kebersihan gigi dan mulut

4. Kuesioner yang telah diuji validitas

5. Kaca mulut dan sonde bengkok

6. Buku Braille

7. Boneka gigi, sikat gigi, pasta gigi dan gelas kumur

8. Pensil dan pulpen

9. Sikat gigi dan gelas kumur

10. Lampu kepala

Gambar 3.1 Alat Penelitian


Keterangan: 1. Informed consent; 2. Buku monitoring penyikatan gigi; 3. Lembar pemeriksaan
kebersihan gigi dan mulut; 4. Kuesioner yang sudah diuji validasi; 5. Kaca mulut
dan sonde bengkok; 6. Buku Braille; 7. Boneka bergigi, sikat gigi, pasta gigi dan
gelas kumur; 8. Pensil dan pulpen; 9. Sikat gigi dan gelas kumur; 10. Lampu kepala
34

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain:

1. Handscoon

2. Pasta gigi

3. Masker

4. Tissue

5. Reward menyikat gigi

Gambar 3.2 Bahan Penelitian


Keterangan: 1. Handscoon; 2. Pasta gigi ; 3. Masker; 4. Tissue; 5.Reward menyikat gigi

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian meliputi:

3.2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain penelitian eksperimental

semu. Subjek penelitian dibagi atas dua kelompok, yaitu kelompok I (Braille dan

verbal) dan kelompok II (taktil dan verbal). Penelitian menggunakan kuesioner


35

yang diberikan kepada siswa SLB Negeri A Kota Bandung dengan teknik

wawancara. Kuesioner berisi pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan,

sikap dan perilaku anak mengenai penyikatan gigi. Kuesioner diberikan pada saat

awal dan akhir penelitian. Evaluasi penyikatan gigi di rumah dalam bentuk buku

monitoring yang diberikan kepada orang tua/wali sebelum penelitian dimulai.

Buku monitoring dikumpulkan pada akhir penelitian. Reward menyikat gigi

berupa mainan atau aksesoris diberikan kepada orang tua/wali untuk memotivasi

anak menyikat gigi di rumah.

3.2.2 Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian adalah sebagai berikut:

1. Variabel bebas : metode edukasi penyikatan gigi menggunakan

Braille dan verbal dan metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan taktil dan verbal

2. Variabel terikat : pengetahuan, sikap, perilaku, kebersihan gigi dan

mulut

3. Variabel penganggu : maloklusi, pola diet dan kerja sama orang tua.

3.2.3 Definisi Operasional Variabel

1. Metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal adalah

pembelajaran menyikat gigi dengan menggunakan buku Braille dan instruksi

lisan. Subjek membaca tulisan Braille pada buku Braille dengan bersuara.

Setelah subjek membaca tulisan Braille, kemudian peneliti memberikan


36

penjelasan. Subjek kemudian melakukan praktek menyikat gigi pada gambar

taktil yang terdapat pada buku Braille. Subjek kemudian melakukan praktek

menyikat gigi dengan bimbingan dari peneliti.

2. Metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal adalah

pembelajaran teknik menyikat gigi dengan menggunakan boneka gigi, alat dan

bahan menyikat gigi serta intruksi lisan. Peneliti melisankan cara menyikat

gigi, kemudian mempraktekan cara menyikat gigi diboneka gigi. Tangan kanan

subjek memegang tangan kanan peneliti dan tangan kiri subjek berada di gigi

boneka. Subjek melakukan praktek menyikat gigi pada boneka gigi kemudian

menyikat gigi dengan bimbingan dari peneliti.

3. Pengetahuan adalah tahu dan mampu mengingat informasi mengenai

penyikatan gigi yang diajarkan. Cara menilai pengetahuan dengan

menggunakan kuesioner yang berisi 15 pertanyaan dan telah di uji validasi

(lihat Lampiran 11). Penilaian kuesioner menggunakan skala Guttman. Rincian

nilai tentang pengetahuan adalah jika subjek menjawab benar bernilai 1 dan

jika salah bernilai 0, kemudian dijumlahkan untuk menilai pengetahuan.

4. Sikap adalah respon anak terhadap edukasi penyikatan gigi yang diajarkan.

Cara menilai sikap dengan menggunakan kuesioner yang berisi 10 pertanyaan

dan telah diuji validasi (lihat Lampiran 11). Penilaian kuesioner menggunakan

skala Likert dengan pilihan sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan

sangat tidak setuju. Nilai semua pernyataan dijumlahkan untuk menilai sikap.

Rincian nilai pernyataan positif :


37

5 = sangat setuju

4 = setuju

3 = kurang setuju

2 = tidak setuju

1 = sangat tidak setuju

Rincian nilai pernyataan negatif:

5 = sangat tidak setuju

4 = tidak setuju

3 = kurang setuju

2 = setuju

1 = sangat setuju

5. Perilaku adalah semua tindakan yang dilakukan anak untuk menjaga kebersihan

gigi dan mulut. Cara menilai perilaku adalah dengan menggunakan kuesioner

dan telah di uji validasi (lihat Lampiran 11). Penilaian kuesioner menggunakan

skala Guttman. Rincian nilai tentang perilaku adalah jika responden menjawab

benar bernilai 1 dan jika salah bernilai 0, kemudian dijumlahkan untuk menilai

perilaku.

6. Kebersihan gigi dan mulut adalah keadaan rongga mulut yang terjaga dan

terbebas dari plak dan kalkulus. Status kebersihan gigi dan mulut dapat

dihitung dengan menggunakan indeks kebersihan mulut, salah satunya adalah

Green dan Vermilion yang merupakan Simplified Oral Hygiene Index (OHI).

Terdiri dari dua komponen yang dijumlahkan. Simplified Debris Index (DI-S)

dan Simplified Calculus Index (CI-S). Setiap komponen dinilai dengan skala 0-
38

3. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan kaca mulut, dan sonde

bengkok. Permukaan yang diperiksa adalah permukaan fasial pada gigi molar

pertama permanen kanan atas, molar pertama permanen kiri atas, insisivus

pertama permanen kanan atas dan insisivus pertama kiri bawah serta

permukaan lingual pada gigi molar pertama permanen kanan bawah dan molar

pertama permanen kiri bawah. Setiap permukaan gigi dibagi secara horizontal

dalam 1/3 gingiva, 1/3 tengah dan 1/3 insisal/oklusal.

Skor DI-S pada setiap gigi yang diperiksa dberi skor 0 bila tidak ada plak, skor

1 bila plak ≤1/3 gingiva, skor 2 bila plak ≥1/3 gingiva sampai 1/3 tengah dan

skor 3 bila plak ≥ 1/3 insisal/oklusal. Skor DI-S individu didapat dengan

menjumlahkan skor debris setiap permukaan gigi dan dibagi jumlah permukaan

gigi diperiksa.

Penilaian CI-S dilakukan dengan menempatkan sonde bengkok secara lembut

ke dalam distal sulkus gingival dan diarahkan dari area kontak distal ke area

kontak mesial. Skor CI-S individu didapat dengan menjumlahkan skor kalkulus

tiap permukaan gigi dan dibagi jumlah permukaan diperiksa.

7. Anak tunanetra adalah anak dengan buta total sejak lahir yang telah didiagnosis

oleh dokter spesialis mata dan masih bersekolah di SLB Negeri A Kota

Bandung.

6. Teknik penyikatan gigi metode Fones adalah metode menyikat gigi dengan

gerakan memutar pada permukaan gigi yang menghadap ke labial dan bukal,

gerakan belakang ke depan pada permukaan oklusal serta gerakan mengcungkil

pada permukaan gigi yang menghadap ke palatal dan lingual.


39

3.2.4 Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian sebagai berikut:

1) Peneliti mendata anak yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negeri A

Kota Bandung.

2) Peneliti mengurus surat ijin penelitian ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan

untuk mendapatkan persetujuan etik atau Etichal Cleareance.

3) Peneliti mengajukan surat ijin penelitian kepada Badan Kesatuan Bangsa

dan Politik Provinsi Jawa Barat, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat,

Sekolah Luar Biasa Negeri A Kota Bandung dan Komisi Etik Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

4) Peneliti memilih subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

5) Peneliti membuat buku Braille: materi edukasi tulisan Braille dibuat di

Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI)) Abiyoso. Gambar taktil dibuat

menggunakan kain flanel. Peneliti merancang sketsa gambar, memilih

bahan, membuat gambar taktil, menyusun gambar taktil dan tulisan Braille

dalam kertas kartun board berukuran folio. Kertas kartun kemudian disusun

ke dalam odner file. Buku Braille diuji coba ke 4 orang subjek.

6) Pembuatan kuesioner: membuat pertanyaan kuesioner sesuai dengan materi

edukasi, memberikan kuesioner kepada 4 orang subjek. Hasil jawaban

kuesioner kemudian diuji validitas. Setelah kuesioner dinyatakan valid,

maka dipilih 15 pertanyaan untuk menilai pengetahuan, 10 pertanyaan

untuk menilai sikap dan 10 pertanyaan untuk menilai perilaku.


40

7) Peneliti membagi subjek penelitian dengan cara acak stratifikasi menjadi 2

kelompok yaitu kelompok I dan II. Masing-masing kelompok terdiri dari 5

orang anak yang berusia 7-11 tahun dan 5 orang anak yang berusia 12-16

tahun. Kelompok I diberi metode edukasi penyikatan gigi Braille dan

verbal. Kelompok II diberi metode edukasi penyikatan gigi taktil dan

verbal.

8) Peneliti melakukan penyuluhan dan penjelasan mengenai penelitian yang

akan dilaksanakan kepada orang tua/wali subjek,

9) Peneliti mempersilahkan orang tua/wali untuk mengisi dan menandatangani

informed consent,

10) Peneliti memberikan buku monitoring dan reward menyikat gigi.

11) Peneliti membuat jadwal edukasi penyikatan gigi.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian selesai, selanjutnya dilaksanakn tahap

penelitian sebagai berikut:

1) Edukasi penyikatan gigi diberikan sebanyak 2 kali seminggu selama 3

minggu berturut-turut.

2) Tempat penelitian dilakukan di dalam ruang kelas yang diisi oleh peneliti,

subjek, guru dan orang tua/wali.

3) Peneliti melakukan dan mencatat pemeriksaan kebersihan gigi dan mulut

subjek.

4) Peneliti memberikan pertanyaan kuesioner kepada subjek dengan teknik

wawancara dan mencatat jawaban subjek.


41

5) Peneliti memberikan edukasi penyikatan gigi.

6) Peneliti membimbing subjek menyikat gigi dengan teknik yang telah

diajarkan.

7) Peneliti melakukan dan mencatat pemeriksaan kebersihan gigi dan mulut

subjek satu minggu setelah edukasi berakhir.

8) Peneliti memberikan pertanyaan kuesioner kepada subjek dengan teknik

wawancara dan mencatat jawaban subjek.

9) Peneliti memberikan informasi kepada subjek, orang tua/wali, dan guru

bahwa edukasi telah selesai.

3. Tahap Evaluasi Penelitian

Setelah tahap peneliitian dilaksanakan, maka dilakukan tahap evaluasi

penelitian sebagai berikut :

1) Menghitung kelengkapan formulir informed consent, kuesioner serta

lembar pemeriksaan kebesihan gigi dan mulut.

2) Menghitung data hasil pemeriksaan kuesioner dan kebersihan gigi dan

mulut.

3) Memasukkan data penelitian ke excel

4) Pengolahan data yang telah terkumpul.

5) Penyajian data

6) Penyusunan laporan hasil penelitian.


42

3.2.5 Alur Penelitian

Ethical Clearance

Pemilihan dan pendataan sebjek penelitian

Informed Consent

Kelompok I Kelompok II

Kuesioner & Kuesioner &


Pemeriksaan OHI-S Pemeriksaan OHI-S

Metode edukasi penyikatan gigi Metode edukasi penyikatan gigi


menggunakan Braille dan verbal menggunakan taktil dan verbal

Kuesioner & Kuesioner &


Pemeriksaan OHI-S Pemeriksaan OHI-S

Analisis Statistik

Gambar 3.3 Bagan Alur Penelitian

3.2.6 Rancangan Analisis

Hipotesis 1, hipotesis 2 dan hipotesis 3 diuji statistik menggunakan uji non

parametrik dengan uji Wilcoxon-Mann/Whitney. Hipotesis 4 diuji statistik

menggunakan uji parametrik dengan uji t-tidak berpasangan. Sebelum hasil

pengukuran dianalisis secara statistik maka hipotesis kerja diubah menjadi

hipotesis statistik, penulis menentukan hipotesis statistik sebagai berikut:

1. H0: µ1 = µ2; Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan.


43

H1 : µ1 ≠ µ2 ; Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan.

Hipotesis di atas di uji dengan statistik t berbentuk = s

t= x1 - x2
1 1
s √𝑛1 + 𝑛2

Keterangan : x 1= rata-rata perubahan pengetahuan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal

x 2= rata-rata perubahan pengetahuan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal

s = simpang baku gabungan

n1 = ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal

n2 = ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal

Kriteria uji : Tolak H0 jika p-value < 0.05

2. H0: µ1 = µ2; Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap.

H1 : µ1 ≠ µ2 ; Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap.


44

Hipotesis di atas di uji dengan statistik t berbentuk = s

t= x1 - x2
1 1
s √𝑛1 + 𝑛2

Keterangan : x 1= rata-rata perubahan sikap metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal

x 2= rata-rata perubahan sikap metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal

s = simpang baku gabungan

n1 = ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal

n2 = ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal

Kriteria uji : Tolak H0 jika p-value < 0.05

3. H0 : µ1 = µ2 ; Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku.

H1 : µ1 ≠ µ2 ; Terdapat perbedaan efektiitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku.

Hipotesis di atas di uji dengan statistik t berbentuk = s

t= x1 - x2
1 1
s √𝑛1 + 𝑛2
45

Keterangan : x 1= rata-rata perubahan perilaku metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal

x 2= rata-rata perubahan perilaku metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan taktil dan verbal

s = simpang baku gabungan

n1= ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal

n2= ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal

Kriteria uji : Tolak H0 jika p-value < 0.05

4. H0: µ1 = µ2; Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan

mulut.

H1 : µ1 ≠ µ2 ; Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan

mulut.

Hipotesis di atas di uji dengan statistik t berbentuk = s

t= x1 - x2
1 1
s √𝑛1 + 𝑛2

Keterangan : x 1= rata-rata perubahan kebersihan gigi dan mulut metode

edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal


46

x 2= rata-rata perubahan kebersihan gigi dan mulut metode

edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal

s = simpang baku gabungan

n1= ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal

n2= ukuran sampel kelompok metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal

Kriteria uji : Tolak H0 jika p-value < 0.05.

3.2.7 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri A Kota Bandung mulai

tanggal 2 April 2018 sampai 03 Mei 2018.

3.3 Aspek Etik Penelitian

Penelitian diajukan untuk mendapatkan ethical clearance dari Komite Etik

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Penelitian dilakukan

memperhatikan aspek etik atau moral sebagai berikut:

1. Respect for person

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi dan mempunyai hak

memutuskan apakah bersedia atau tidak ikut serta dalam penelitian. Data

yang diberikan bersifat rahasia sehingga terdapat anonimitas.


47

2. Beneficence

Penelitian menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat untuk subjek, orang

tua/wali subjek.

3. Right to justice

Seluruh orang tua/wali subjek diberikan penjelasan yang rinci mengenai

penelitian yang akan dilakukan. Seluruh subjek diperlakukan secara adil

selama penelitian.

4. Risk and benefit

Peneliti akan berusaha dengan sungguh-sungguh agar penelitian tidak

menimbulkan kerugian dalam bentuk apapun kepada subjek dan orang

tua/wali. Peneliti berupaya agar penelitian dapat memberikan manfaat bagi

subjek dan orang tua/wali.

5. Informed consent

Surat persetujuan dari orang tua/wali harus sebagai bentuk kesediaan untuk

berpartisipasi dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan secara

lengkap mengenai penelitian yang akan dilakukan dan resiko yang mungkin

terjadi.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri A Kota Bandung pada

bulan April sampai Mei 2018. Jumlah anak yang diperiksa 86 anak dan memenuhi

kriteria inklusi sebanyak 20 anak, terdiri dari 10 anak laki-laki dan 10 anak

perempuan dengan rentang usia 7-16 tahun.

Pengetahuan, sikap, perilaku serta kebersihan gigi dan mulut subjek sebelum

dan setelah edukasi pada metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille

dan verbal dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Deskripsi Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan Kebersihan Gigi dan
Mulut Sebelum dan Setelah Edukasi pada Metode Edukasi
Penyikatan Gigi Menggunakan Braille dan Verbal.

Sebelum Setelah
Pengetahuan
x 8,2 14,6
SD 1,75 0,96
n 10 10

Sikap
x 34,6 41,6
SD 6,06 5,38
n 10 10

Perilaku
x 4,9 5,3
SD 0,57 0,32
n 10 10

Kebersihan Gigi dan Mulut


x 2,8 1,8
SD 1,03 0,60
n 10 10

48
49

Tabel 4.1 memperlihatkan peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku serta

penurunan kebersihan gigi dan mulut sebelum dan setelah edukasi penyikatan

gigi. Rata-rata pengetahuan sebelum dan setelah edukasi sebesar 8,2 dan 14,6;

rata-rata sikap sebelum dan setelah edukasi sebesar 34,6 dan 41,6; rata-rata

perilaku sebelum dan setelah edukasi sebesar 4,9 dan 5,3 serta rata-rata kebersihan

gigi dan mulut sebelum dan setelah edukasi sebesar 2,8 dan 1,8.

Pengetahuan, sikap, perilaku serta kebersihan gigi dan mulut subjek sebelum

dan setelah edukasi pada metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan

verbal dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Deskripsi Perubahan Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan


Kebersihan Gigi dan Mulut Sebelum dan Setelah Edukasi pada
Metode Edukasi Penyikatan Gigi Menggunakan Taktil dan
Verbal.

Sebelum Setelah

Pengetahuan
x 8 10,8
SD 2,11 2,57
n 10 10

Sikap
34,9 39,2
x 5,99 5,96
SD
10 10
n

Perilaku 4,7 5,1


x 0,67 0,71
SD 10 10
n

Kebersihan Gigi dan Mulut


x 2,9 1,3
SD 0,70 1,04
n 10 10
50

Tabel 4.2 memperlihatkan peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku serta

penurunan kebersihan gigi dan mulut sebelum dan setelah edukasi penyikatan

gigi. Rata-rata pengetahuan sebelum dan setelah edukasi sebesar 8 dan 10,8; rata-

rata sikap sebelum dan setelah edukasi sebesar 34,9 dan 39,2; rata-rata perilaku

sebelum dan setelah edukasi sebesar 4,7 dan 5,1 serta rata-rata kebersihan gigi dan

mulut sebelum dan setelah edukasi sebesar 2,9 dan 1,3.

Pengujian hipotesis pertama menggunakan uji Wilcoxon-Mann/Whitney untuk

melihat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan. Hasil analisis statistik dapat

dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Analisis Perbedaan Efektivitas antara Metode Edukasi Penyikatan


Gigi Menggunakan Braille dan Verbal dengan Metode Edukasi
Penyikatan Gigi Menggunakan Taktil dan Verbal terhadap
Pengetahuan.

Metode n Rata-rata SD p-value


Edukasi

BV 10 13,1 12,94 0,04*)


TV 10 7,9
Keterangan: BV = Braille dan verbal
TV =Taktil dan verbal
n = Ukuran sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)
*) = Signifikan

Hasil uji memperlihatkan terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi


51

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan yang

signifikan secara statistik (p-value = 0,04).

Pengujian hipotesis kedua menggunakan uji Wilcoxon-Mann/Whitney untuk

melihat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap. Hasil analisis statistik dapat dilihat

pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Analisis Perbedaan Efektivitas antara Metode Edukasi Penyikatan


Gigi Menggunakan Braille dan Verbal dengan Metode Edukasi
Penyikatan Gigi Menggunakan Taktil dan Verbal terhadap Sikap.

Metode n Rata-rata SD p-value


Edukasi

BV 10 15,2 13,15 0,04*)


TV 10 8,6

Keterangan: BV = Braille dan verbal


TV =Taktil dan verbal
n = Ukuran sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)
*) = Signifikan

Hasil uji memperlihatkan terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap yang signifikan

secara statistik (p-value = 0,04).

Pengujian hipotesis ketiga menggunakan uji Wilcoxon-Mann/Whitney untuk

melihat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi


52

menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku. Hasil analisis statistik dapat

dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Analisis Perbedaan Efektivitas antara Metode Edukasi Penyikatan


Gigi Menggunakan Braille dan Verbal dengan Metode Edukasi
Penyikatan Gigi Menggunakan Taktil dan Verbal terhadap
Perilaku.

Metode n Rata-rata SD p-value


Edukasi

BV 10 8,7 10,83 0,3


TV 10 6,3
Keterangan: BV = Braille dan verbal
TV =Taktil dan verbal
n = Ukuran sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)

Hasil uji memperlihatkan tidak terdapat perbedaan efektivitas antara metode

edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku yang signifikan

secara statistik (p-value = 0,3).

Pengujian hipotesis keempat menggunakan uji t tidak berpasangan untuk

melihat perbedaan antara metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille

dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal

terhadap kebersihan gigi dan mulut. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada

Tabel 4-6.
53

Tabel 4-6 Analisis Perbedaan Efektivitas antara Metode Edukasi Penyikatan


Gigi Menggunakan Braille dan Verbal dengan Metode Edukasi
Penyikatan Gigi Menggunakan Taktil dan Verbal terhadap
Kebersihan Gigi dan Mulut.

Metode n Rata-rata SD t-hitung p-value


Edukasi
BV 10 0,65 0,35 -4,61 0,0002*)
TV 10 1,57 0,52
Keterangan: BV = Braille dan verbal
TV =Taktil dan verbal
n = Ukuran sampel
SD = Standar Deviasi
p-value = Nilai kepercayaan (<0,05)
*) = Signifikan

Hasil uji memperlihatkan terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan

mulut yang signifikan secara statistik (p-value = 0.0002).

Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Analisis Perbedaan Efektivitas antara Metode


Edukasi Penyikatan Gigi Menggunakan Braille dan Verbal dengan
Metode Edukasi Penyikatan Gigi Menggunakan Taktil dan Verbal
terhadap Pengetahuan, Sikap. Perilaku serta Kebersihan Gigi dan
Mulut.

Metode Pengetahuan Sikap Perilaku Kebersihan


Edukasi Gigi dan Mulut
BV 13,1 15,2 8,7 0,65±0,35
TV 7,9 8,6 6,3 1,57± 0,52

BV vs TV z = 2,01 z = 3,57 z = 0,93 t = - 4,61


p = 0,04 p = 0,04 p = 0,3 p = 0,0002
Signifikan Signifikan Tidak Signifikan
Signifikan
Keterangan: BV = Braille dan verbal
TV =Taktil dan verbal
SD = Standar Deviasi
z = nilai z hitung
t = nilai t hitung
p = Nilai kepercayaan (<0,05)
54

4.2 Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis menggunakan uji Wilcoxon-Mann/Whitney untuk melihat

perbedaan efektivitas kedua metode edukasi penyikatan gigi terhadap

pengetahuan, sikap dan perilaku serta uji t-tidak berpasangan untuk melihat

perbedaan efektivitas kedua metode edukasi penyikatan gigi terhadap kebersihan

gigi dan mulut dengan uraian hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1: Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan.

Hasil yang mendukung : Analisis data secara statistik pada Tabel 4-3

menunjukkan terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan dengan nilai p-value = 0.04

atau p < 0,05.

Hasil yang tidak mendukung : Tidak ada

Simpulan : Hipotesis satu diterima.

Hipotesis 2: Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap.

Hasil yang mendukung : Analisis data secara statistik pada Tabel 4-4

menunjukkan terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi
55

menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap dengan nilai p-value = 0.04 atau p

< 0,05.

Hasil yang tidak mendukung : Tidak ada

Simpulan : Hipotesis dua diterima.

Hipotesis 3: Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku.

Hasil yang mendukung : Analisis data secara statistik pada Tabel 4-5

menunjukkan tidak terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku dengan nilai p-

value = 0.3 atau p ˃ 0,05.

Hasil yang tidak mendukung : Tidak ada

Simpulan : Hipotesis tiga ditolak.

Hipotesis 4: Terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan mulut.

Hasil yang mendukung : Analisis data secara statistik pada Tabel 4-6

menunjukkan terdapat perbedaan efektivitas antara metode edukasi penyikatan

gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi penyikatan gigi
56

menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan mulut dengan nilai p-

value = 0.0002 atau p <0,05.

Hasil yang tidak mendukung : Tidak ada

Simpulan : Hipotesis empat diterima.

4.3 Pembahasan

Edukasi secara umum merupakan salah satu faktor penting yang bertanggung

jawab atas perubahan perilaku pada anak.55 Edukasi kesehatan gigi dan mulut

adalah kunci untuk mencegah penyakit gigi dan mulut dan lebih efektif untuk

mendidik anak usia sekolah karena sekolah adalah lingkungan terbaik untuk

mengajarkan edukasi kesehatan gigi dan mulut. Edukasi dan promosi kesehatan

gigi dan mulut bertujuan untuk merubah perilaku individu untuk menjaga

kebersihan gigi dan mulut.56

Menyikat gigi merupakan perilaku kebersihan gigi dan mulut yang utama dan

sangat terkait dengan kesehatan gigi dan mulut yang baik. Sebagian besar anak

tunanetra tidak dapat menyikat gigi dengan tepat sehingga terjadi akumulasi plak

gigi yang dapat menyebabkan karies gigi dan penyakit periodontal. Edukasi

penyikatan gigi pada anak tunanetra memerlukan pendekatan khusus, waktu dan

kesabaran.8 Edukasi pada penelitian diberikan pada subjek satu per satu anak.

Drowning dan Demchack menyatakan edukasi keterampilan motorik pada anak

tunanetra lebih efektif jika diberikan satu per satu.57

Penelitian menggunakan teknik menyikat gigi metode Fones karena lebih

mudah dimengerti dan dilakukan oleh orang yang memiliki keterampilan motorik
57

yang kurang seperti anak tunanetra. Joybell C dkk menyimpulkan bahawa metode

Fones dan Modified Bass sangat efektif dalam meningkatkan kebersihan gigi dan

mulut pada anak tunanetra.24

Berbagai penelitian telah meneliti penggunaan berbagai jenis media edukasi

seperti instruksi lisan, alat bantu audio dan alat bantu taktil pada anak tunanetra.

Notoatmodjo menyatakan media edukasi adalah alat bantu penyampaian pesan

kesehatan yang berfungsi untuk menimbulkan minat sasaran, mencapai tujuan

lebih baik dan membantu mengatasi rintangan dalam memahami pesan.18

Penelitian menggunakan media edukasi taktil tidak langsung berupa buku Braille

dan media edukasi taktil langsung berupa boneka bergigi pada anak tunanetra.

Buku Braille berisi tentang bagian-bagian rongga mulut, jumlah gigi anak dan

gigi permanen, alat dan bahan menyikat gigi, cara menyikat gigi yang benar dan

cara menjaga kesehatan gigi dan mulut. Penelitian dilakukan selama empat

minggu, dimana edukasi dilakukan dua kali seminggu selama tiga minggu dan

satu minggu berikutnya dilakukan follow up. Teori Foster menyatakan bahwa

perubahan perilaku kesehatan dapat dinilai setelah 21 hari.58

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas antara metode

edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap pengetahuan. Hasil

penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad dkk yang

menyimpulkan bahwa Dental Braille Education dapat merubah pengetahuan dan

sikap pada anak tunanetra.59 Hasil penelitian dapat disebabkan penggunaan tulisan

Braille dan teknik membaca nyaring dalam proses pembelajaran. Braille


58

merupakan media pembelajaran utama yang digunakan dalam pembelajaran siswa

tunanetra.31,32 Manfaat teknik membaca nyaring adalah meningkatkan

keterampilan menyimak, memperkaya kosa kata, membantu meningkatkan

pemahaman membaca, meningkatkan daya ingat dan menumbuhkan minat baca

pada siswa.60 Subjek pada metode edukasi penyikatan menggunakan taktil dan

verbal mengungkapkan samar-samar mengingat teknik penyikatan gigi yang

diajarkan melalui penyuluhan individual.

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas antara metode

edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap sikap. Hasil penelitian

menunjukkan rata-rata sikap pada metode edukasi penyikatan gigi menggunakan

Braille dan verbal lebih besar dibandingkan pada metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan taktil dan verbal. Krosnick dkk menyatakan bahwa perubahan sikap

berhubungan dengan peningkatan pengetahuan.61

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa metode edukasi penyikatan gigi menggunakan

Braille dan verbal lebih efektif secara deskriptif dibandingkan metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal dalam merubah perilaku,

meskipun tidak terdapat perbedaan efektivitas yang signifikan secara statistik.

Hasil penelitian dapat disebabkan subjek kurang peduli dan tidak merasa beresiko

terkena penyakit gigi dan mulut. Nisbet dan Gick menyatakan “Agar perilaku

berubah, seseorang harus merasa rentan terhadap ancaman kesehatan, melihat

risiko penyakit menjadi berat dan mengambil tindakan untuk mencegah atau

mengurangi risiko”.62 Faktor lain yang mempengaruhi hasil penelitian adalah


59

faktor lingkungan terutama orang tua. Kedisiplinan dan motivasi orang tua yang

kurang sehingga subjek terkadang masih mempertahankan perilaku yang tidak

baik.

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas antara metode

edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal lebih dengan metode

edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap perilaku.

Penelitian yang dilakukan menyimpulkan terdapat perbedaan efektivitas antara

metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal dengan metode

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal terhadap kebersihan gigi dan

mulut. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ganapathi

dkk.23 menyimpulkan rata-rata kebersihan gigi dan mulut pada metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal lebih besar dibandingkan pada

metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal disebabkan

metode edukasi penyikatan gigi taktil dan verbal dilakukan demonstrasi taktil dan

praktek menyikat gigi menggunakan boneka bergigi sehingga melatih

keterampilan motorik subjek. O'Connell menyatakan kombinasi instruksi lisan

dan demonstrasi (bimbingan fisik dan demostrasi taktil) dengan umpan balik

koreksi dapat meningkatkan keterampilan pada anak tunanetra. Downing dan

Chen menyatakan bahwa demonstrasi taktil dan bimbingan fisik merupakan

teknik pemodelan untuk membantu anak tunanetra memperoleh keterampilan

motorik. Demonstrasi taktil membantu anak merasakan dan menjelajahi gerakan

anggota tubuh intrukstur pada model atau objek yang dapat membantu anak

belajar dan memahami suatu keterampilan. Subjek penelitian dapat merasakan dan
60

memahami gerakan tangan instruktur saat berputar, kecepatan gerakan, ritme

gerakan, arah dan presisi gerakan melalui demonstrasi taktil. Bimbingan fisik

membantu mengarahkan anggota tubuh anak ke posisi yang tepat untuk

melakukan keterampilan secara akurat.63

Penelitian memiliki kekurangan yaitu frekuensi dan durasi edukasi yang

kurang panjang, rentang usia sampel yang panjang. Perbedaan rentang usia yang

panjang mempengaruhi tingkat kognitif dan psikologi anak. Waktu follow up yang

pendek sehingga tidak dapat mengevaluasi retensi pengetahuan, sikap, perilaku

serta kebersihan gigi dan mulut setelah edukasi penyikatan gigi berakhir.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan dengan simpulan umum dan

simpulan khusus.

5.1.1 Simpulan Umum

1. Metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal lebih efektif

dibandingkan metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal

terhadap pengetahuan.

2. Metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal lebih efektif

dibandingkan metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal

terhadap sikap.

3. Metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal sama efektif

dengan metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal

terhadap perilaku.

4. Metode edukasi penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal kurang

efektif dibandingkan metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan

verbal terhadap kebersihan gigi dan mulut.

61
62

5.1.2 Simpulan Khusus

Dua metode edukasi penyikatan gigi dapat merubah pengetahuan, sikap,

perilaku serta kebersihan gigi dan mulut pada anak tunanetra. Metode edukasi

penyikatan gigi menggunakan Braille dan verbal lebih efektif dibandingkan

metode edukasi penyikatan gigi menggunakan taktil dan verbal dalam merubah

pengetahuan, sikap dan perilaku pada anak tunanetra. Metode edukasi penyikatan

gigi taktil dan verbal lebih efektif dibandingkan metode edukasi penyikatan gigi

menggunakan Braille dan verbal dalam merubah kebersihan gigi dan mulut pada

anak tunanetra.

5.2 Saran

Saran-saran yang diberikan oleh peneliti antara lain adalah:

1. Perlu dilakukan penelitian longitudinal yang melibatkan guru UKS, orang tua

dan pengasuh.

2. Perlu dilakukan penelitian mengenai metode edukasi penyikatan gigi dengan

Braille, taktil dan verbal.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan perubahan

pengetahuan, sikap, perilaku serta kebersihan gigi dan mulut setelah edukasi

penyikatan gigi terhadap kualitas hidup pada anak tunanetra.

4. Sebaiknya penelitian selanjutnya menggunakan rentang usia yang sama.

5. Perlu waktu follow up yang panjang sehingga dapat mengevaluasi retensi

pengetahuan, sikap, perilaku serta kebersihan gigi dan mulut setelah edukasi

penyikatan gigi berakhir.


DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesia. Undang-undang no. 8 tahun 2016: penyandang disabilitas.


[Djakarta]: Kementrian Dalam Negeri. 2016.

2. Direktorat Pendidikan Luar Biasa. Alat identifikasi anak berkebutuhan


khusus. Jakarta: Dirjen PLB. 2004. Available at:
www.ditplb.or.id/profile.php?id=43 diakses November 26, 2017.

3. World Health Organization. Global data on visual impairment 2010.


Available at www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINALforweb.pdf/
accessed November 26, 2017.

4. Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013.

5. Delphie B. Pembelajaran anak berkebutuhan khusus, dalam settingan


pendidikan inklusi. Jakarta: PT.Refika. 2006.

6. Vignehsa H, Soh G, Lo GL, Chellappah NK: Dental health of disabled


children in Singapore. Aust Dent J 1991, 36(2):151–156.

7. Reddy K, Sharma A. Prevalence of oral health status in visually impaired


children. J Indian Soc Pedod Prev Dent 2011, 29(1):25–27.

8. Nandini NS. New insights into improving the oral health of visually impaired
children. J Indian Soc Pedod Prev Dent 2003, 21(4):142–143.

9. Shetty V, Hegde AM, Bhandary S, Rai K: Oral health status of the visually
impaired children–a south Indian study. J Clin Pediatr Dent 2010, 34(3):213–
216.

10. Ahmad MS, Jindal MK, Khn S, H: HS: Oral health knowledge, practice, oral
hygiene status and dental caries prevalence among visually impaired students
in residential institute of Aligarh. J Dent Oral Hyg 2009, 1(2):022–026.

11. Bekiroglu N, Acar N, Kargul B: Caries experience and oral hygiene status of
a group of visually impaired children in istanbul, Turkey. Oral Health Prev
Dent 2012, 10(1):75–81.

12. Paskalin Z. Perbedaan indeks deft dan DMFT pada anak tunanetra di SLB-A
negeri bandung dan anak tunarungu di SLB-B cicendo bandung. Bandung:
Universitas Padjadjaran. 2010.

63
64

13. Mann J, Wolnerman JS, Lavie G, Carlin Y, Garfunkel AA. Periodontal


treatment needs and oral hygiene for institutionalized individuals with
handicapping conditions. Spec Care Dentist 1984;4:173-6.

14. Sheiham A, Watt RG. The common risk factor approach; a rational basis for
promoting oral health. Community Dent Oral Epidemiol 2000; 28: 399–406.

15. Yevlahova D, Satur J. Models for individual oral health promotion and their
effectiveness: a systematic review. Aust Dent J 2009; 54: 190-7.

16. Kay E, Locker D. A systematic review of the effectiveness of health


promotion aimed at improving oral health. Community Dent Health 1998; 15:
132-44.

17. Tolvanen M, Lahti S, Poulsen R, Seppa L, Pohjola V, Hausen H. Changes in


children’s oral health related behaviour, knowledge and attitudes during a 3.4
yr randomized clinical trial and oral health promotion program. Eur J Oral Sci
2009; 117: 390-7

18. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan teori dan aplikasi. Jakarta : PT Rineka


Cipta; 2005.

19. Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta; 2010.

20. Schnuth ML. Dental health education for the blind. Dental Hygiene 1977;
51:499-501.

21. Chowdary PB, Uloopi KS, Vinay C, Rao VV, Rayala C. Impact of verbal,
Braille text, and tactile oral hygiene awareness instructions on oral health
status of visually impaired children. J Indian Soc Pedod Prev Dent. 2016 Jan-
Mar;34(1):43-7.

22. Bhor K, Shetty V, Garcha V, Nimbulkar G C. Effect of oral health education


in the form of Braille and oral health talk on oral hygiene knowledge,
practices, and status of 12–17 years old visually impaired school girls in Pune
city: A comparative study. J Int Soc Prevent Communit Dent 2016;6:459-64.

23. Ganapathi AK, et al. Effectiveness of various sensory input methods in dental
health education among blind children- a comparative study. Journal of
Clinical and Diagnostic Research. 2015;9(10):75-78.

24. Joybell C, Krishnan R, Kumar S. Comparison of Two Brushing Methods-


Fone’s vs Modified Bass Method in Visually Impaired Children Using the
Audio Tactile Performance (ATP) Technique. J Clin Diagn Res. 2015 Mar;
9(3): ZC19–ZC22.
65

25. Tirtonegoro S, Soemarno. Otodidak anak tunanetra. Jakarta: Departemen


Pendidikan & Kebudayaan;1985. p.44.

26. Somantri S. Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika Aditama; 2007. p. 97

27. Prechtl HF, Cioni G, Einspieler C, Bos AF, Ferrari F. Role of vision on early
motor development: lessons from the blind. Dev Med Child Neurol 2001; 43:
198–201.

28. Elisa F, Josee L, Oreste FG, et al. Gross motor development and reach on
sound as critical tools for the development of the blind child. Brain Dev 2002;
24: 269–75.

29. Hallemans A, Ortibus E, Truijen S, Meire F. Development of independent


locomotion in children with a severe visual impairment. Res Dev Disabil
2011; 32: 2069–74.

30. Celano M, Hartmann EE, DuBois LG, Drews-Botsch C; On Behalf of the


Infant Aphakia Treatment Study Group. Motor skills of children with
unilateral visual impairment in the Infant Aphakia Treatment Study. Dev Med
Child Neurol 2016; 58: 154–59.

31. Abdullah N. Bagaimana mengajar anak tunanetra (di sekolah inklusi).


Magistra. 2012 Des;82:8-16.

32. Abdurrahman B. Media pembelajaran huruf latih dan hijaiyah Braille dengan
output suara untuk siswa tunanetra di slb a yaketunis yogyakarta (skripsi).
Universitas Negeri Yogyakarta. 2014.

33. Efriyanti R, Sumaryanti. Pengembangan model permainan untuk


pembelajaran kinestetik pada anak tunanetra. Jurnal Keolahragaan.
2016;4(1)1:74–84.

34. Delphie B. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, Dalam Setting


Pendidikan Inklusi. PT. Refika Aditama; 2010.

35. Efendi M. Psikopedagogik Anak Berkelainan. Nuansa; 2006

36. Bumi A.Bagaimana Mengajar Anak Tunanetra. Nuansa; 2006

37. Sutjihati S. Psikologi Anak Luar Biasa. PT. Refika Aditama;2006.

38. Sugiarmin M. Inklusi, Sekolah Ramah Untuk Semua, Nuansa; 2006.


66

39. N. Sadato, A. Pascual-Leone, J. Grafman, V. Ibanez, M.-P. Deiber, G. Dold,


M. Hallett, Activation of the primary visual cortex by Braille reading in blind
subjects, Nature; 1996; 380: 526–528.

40. N. Sadato A. Pascual-Leone J. Grafman, M.P. Deiber V. Ibanez M. Hallett.


Neural networks for Braille reading by the blind, Brain; 1998; 12: 1213–
1229.

41. N. Sadato, T. Okada, M. Honda, Y. Yonekura, Critical period for cross-modal


plasticity in blind humans: a functional MRI study, Neuroimage 16 (2002)
389–400.

42. Schembri A, Fiske J. The implications of visual impairment in an elderly


population in recognizing oral disease and maintaining oral health. Spec Care
Dent 2001; 21: 222-226.

43. Scully C, Diz Dios P, Kumar N. Special care in dentistry - handbook of oral
healthcare. pp 1-512. Churchill Livingstone, London, 2006.

44. Scully C, Cawson R A. Medical problems in dentistry, 4th ed. pp 178-180,


314-316, 351-354, 558-560. Oxford: Wright, 1998.

45. Greeley C B, Goldstein P A, Forrester D J. Oral manifestations in a group of


blind students. J Dent Child 1976; 26: 39-41.

46. Anaise J Z. Periodontal disease and oral hygiene in a group of blind and
sighted Israeli teenagers 14-17 years of age. Community Dent Oral Epidemiol
1979; 7: 353-356.

47. Winstanley M L. A synopsis of the project to evaluate the use of Braille text
and tactile aids when teaching dental health to blind children. Br Dent Surg
Assist 1983; Mar/Apr: 20-23.

48. Cohen S, Sarnat H, Shalgi G. The role of instruction and a brushing device on
the oral hygiene of blind children. Clin Prev Dent 1991; 13: 8-12.

49. Yalcinkaya SE, Atalay T. Improvement of oral hygiene knowledge in a group


of visually impaired students. Oral Health Prev Dent. 2006;4:243–253.

50. O’Donnell D, Crosswaite M A. Dental health education for the visually


impaired child. J R Soc Health 1990; 2: 60-61.

51. Rao A. Principles and practice of pedodontics. JP Medical Ltd; 2012

52. Hiremath SS. Textbook of preventive and community dentistry. Elsevier


India; 2011. 42, 180-184
67

53. Newman MG, Takei H, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza’s clinical
periodontology. Elsevier health sciences; 2011.

54. Sanadhya YK, Thakkar JP, Divakar DD et al. Effectiveness of oral health
education on knowledge, attitude, practices and oral hygiene status among
12-15-year-old schoolchildren of fishermen of Kutch district, Gujarat, India.
Int Marit Health. 2014;65(3):99-105.

55. Kwan SY, Petersen PE, Pine CM, Borutta A. Health promoting schools: an
opportunity for oral health promotion. Bulletin of the World Health
Organization. 2005; 83: 677-685.

56. Al-Darwish MS. Oral health knowledge, behaviour and practices among
school children in Qatar. Dent Res J (Isfahan). 2016 Jul-Aug; 13(4): 342–353.

57. Downing JE, Demchack MA. First steps: Determining individual abilities and
how best to support students. In J. E. Downing (Ed.), Including students with
severe and multiple disabilities in typical classrooms: Practical strategies for
teachers. Baltimore, MD: Paul H. Brookes; 2002: 27-70.

58. Foster D, Linehan C, Kirman B, Lawson S, James G. Motivating physical


activity at work: using persuasive social media for competitive step counting.
14th International Academic MindTrek Conference: Envisioning Future
Media Environments, MindTrek; Oct 6-8, 2010:pp. 111–6.

59. Sabilillah MF, Taftazani RZ, Sopianah Y, Fatmasari D. Pengaruh dental


braille education (DBE) terhadap oral hygiene pada anak tunanetra. Jurnal
Kesehatan Gigi. 2010; 3(2).

60. Hansen EG, Lee MJ, Forer DC. A ‘self-voicing’ test for individuals with
visual impairments. Journal of Visual Impairment and Blindness. 2002;
96(4):273–275.

61. Krosnick JA, Boninger DS, Chuang YC, Berent MK & Carnot CG. Attitude
strength: once construct or many related constructs?. Journal of Personality
and Social Psychology. 1993; 65:1132–1151.

62. Nisbet EKL, Gick ML. Can Health Psychology Help the Planet? Applying
Theory and Models of Health Behaviour to Environmental Actions. Canadian
Psychology. 2008; 49:296-303.

63. O’Connell M, Lieberman LJ, Petersen S. The use of tactile modeling and
physical guidance as instructional strategies in physical activity for children
who are blind. Journal of Visual Impairment & Blindness. 2006; 100(8).
RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS

Penulis lahir di Ujung Pandang, 30 Maret 1985

1. Tahun 1991 lulus Taman Kanak-kanak Kartika Wirabuana Makassar.

2. Tahun 1997 lulus Sekolah Dasar Inpres I Makassar.

3. Tahun 2000 lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Makassar.

4. Tahun 2003 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar.

5. Tahun 2007 lulus Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Hasanuddin Makassar.

6. Tahun 2010 lulus Program Profesi Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Hasanuddin Makassar.

7. Tahun 2015-sekarang, peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis

Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Padjadjaran Bandung.

68
LAMPIRAN

69
70

LAMPIRAN

Lampirn 1. Permohonan Ijin Penelitian


71

Lampiran 2. Pemohonan Ijin Penelitian


72

Lampiran 3. Permohonan Ijin Penelitian


73

Lampiran 4. Permohonan Ijin Penelitian


74

Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian


75

Lampiran 6. Surat Penugasan Dosen Pembimbing


76

Lampiran 7. Persetujuan Etik


77

Lampiran 8. Informed Consent

PSP untuk orangtua/wali

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN (PSP)


UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
DENGAN SUBJEK ANAK
(INFORMED CONSENT)

Saya telah membaca atau memperoleh penjelasan, sepenuhnya menyadari,


mengerti, dan memahami tentang tujuan, manfaat, dan risiko yang mungkin
timbul dalam penelitian, serta telah diberi kesempatan untuk bertanya dan telah
dijawab dengan memuaskan, juga sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri
anak/adik saya dari keikut- sertaannya, maka saya setuju/tidak setuju*) ikut
dalam penelitian ini, yang berjudul:

“Perbedaan Efektifitas Antara Dua Metode Edukasi Penyikatan Gigi


terhadap Tingkat Pengetahuan, Sikap, Perilaku, Kebersihan Gigi dan Mulut
pada Anak Tunanetra”

Saya dengan sukarela memilih anak/adik saya untuk ikut serta dalam penelitian
ini tanpa tekanan/paksaan siapapun. Saya akan diberikan salinan lembar
penjelasan dan formulir persetujuan yang telah saya tandatangani untuk arsip
saya.
Saya setuju:
Ya/Tidak*)

Tgl.: Tanda tangan (bila tidak


bisa dapat digunakan
cap jempol)
Nama Anak/Adik saya:
Umur:
Alamat:
Nama Orang Tua Wali:
Nama Peneliti:
Nama Saksi:

*) coret yang tidak perlu


78

Lampiran 9. Kuesioner Penelitian

Nama :
Jenis kelamin : laki-laki / perempuan
Kelas :
Usia :
Tanggal :

Pilihlah jawaban yang menurut Kamu paling tepat dan sesuai dengan kondisi
Kamu. Lingkari jawaban yang Kamu pilih pada pilihan jawaban yang diberikan.
Pengetahuan kode: 1-betul
0-salah
1. Gigi yang sehat adalah :
a) Gigi yang putih
b) Gigi yang tidak berlubang
c) Gigi yang berwarna kekuningan

2. Waktu yang tepat untuk menyikat gigi pada pagi hari:


a) Setelah bangun pagi
b) Setiap mandi pagi
c) Sesudah sarapan pagi

3. Berapa kali kita harus sikat gigi dalam sehari:


a) 1 kali sehari
b) 2 kali sehari
c) 3 kali sehari

4. Waktu yang tepat untuk menyikat gigi pada malam hari:


a) Setiap mandi sore
b) Sebelum tidur malam
c) Sesudah makan malam

5. Berapa lama waktu yang kamu perlukan ketika menyikat gigi?


a) Tidak tahu
b) Sekitar 2 menit
c) Sekitar 30 detik

6. Menurut kamu, tindakan yang baik adalah :


a) Sering makan makanan manis
b) Memakai sikat gigi secara bergantian.
79

c) Sikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung fluor

7. Sikat gigi yang baik digunakan untuk menyikat gigi adalah?


a) Bulu sikatnya lembut dan padat
b) Bulu sikatnya kasar dan longgar
c) Bulu sikatnya kasar dan padat

8. Bagian gigi yang dilakukan penyikatan adalah?


a) Depan saja
b) Belakang saja
c) Depan dan belakang

9. Bagian mulut yang juga disikat selain gigi adalah


a) Bibir
b) Lidah
c) Gusi

10. Gerakan untuk menyikat gigi yang menghadap ke bibir dan pipi adalah
a) Gerakan memutar
b) Gerakan belakang ke depan
c) Gerakan atas ke bawah

11. Gerakan untuk menyikat permukaan gigi yang menghaluskan makanan


adalah
a) Gerakan memutar
b) Gerakan belakang ke depan
c) Gerakan atas ke bawah

12. Berapa banyak gerakan memutar dilakukan :


a) 6 kali
b) 8 kali
c) 10 kali

13. Berapa kali berkumur setelah menyikat gigi


a) Satu kali
b) Dua kali
c) Tiga kali

14. Berapa banyak pasta gigi yang digunakan untuk menyikat gigi (untuk
anak SD)
a) Sebesar kacang hijau
b) Sebesar biji jagung
c) Sebesar biji salak

15. Permukaan gigi yang harus disikat adalah :


a) Bagian depan saja
80

b) Seluruh permukaan gigi


c) Bagian gigi yang dipakai untuk mengunyah

Sikap
1. Saya lebih suka menyikat gigi ketika mandi karena lebih praktis
a) Sangat tidak setuju
b) Tidak setuju
c) Kurang setuju
d) Setuju
e) Sangat setuju

2. Saya tidak mau menyikat gigi pada malam hari sebelum tidur
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju

3. Saya mau mengganti sikat gigi saya apabila bentuk bulu sikatnya sudah
longgar
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju

4. Saya tidak mau menggunakan pasta gigi ketika menyikat gigi


a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju

5. Menurut Kamu, menyikat gigi hanya perlu waktu 1 menit


a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju

6. Saya tidak mau menyikat gigi dengan teknik penyikatan gigi yang telah
diajarkan
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
81

d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju

7. Menyikat gigi dilakukan selama 2 menit


a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju
8. Saya menyikat gigi agar gigi agar gigi saya tidak berlubang
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju
9. Agar gigi saya tidak berlubang saya akan mengurangi makan makanan yang
manis dan lengket
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju
10. Saya tidak perlu ke dokter gigi enam bulan sekali
a) Sangat setuju
b) Setuju
c) Kurang setuju
d) Tidak setuju
e) Sangat tidak setuju

Perilaku
1. Apakah gigi kamu perlu disikat setiap hari?
a) Ya
b) Tidak

2. Apakah Kamu ingin menyikat gigi menggunakan pasta gigi yang


mengandung fluor?
a) Ya
b) Tidak

3. Pernahkah Kamu memakai sikat gigi orang lain?


a) Ya
b) Tidak

4. Apakah tadi malam sebelum tidur Kamu tidak menyikat gigi?


82

a) Ya
b) Tidak

5. Apakah tadi sesudah sarapan Kamu tidak menyikat gigi?


a) Ya
b) Tidak

6. Apakah kamu menyikat seluruh permukaan gigi?


a) Ya
b) Tidak

7. Apakah kamu telah menyikat gigi dengan cara yang benar?


a) Ya
b) Tidak

8. Apakah kamu akan menjaga kebersihan gigi dan mulut kamu meskipun
tanpa disuruh oleh orangtua?
a) Ya
b) Tidak

9. apakah kamu perlu menyikat gigi selama 2 menit?


a) Ya
b) Tidak

10. apakah kamu perlu menyikat lidah setelah menyikat gigi?


a) Ya
b) Tidak
83

Lampiran 10. Lembar Pemeriksaan Kebersihan Gigi dan Mulut


84

Lampiran 11 Uji Validitas Kuesioner


85

Lampiran 12. Uji Wilcoxon-Mann/Whitney Pengetahuan


86

Lampiran 13. Uji Wilcoxon-Mann/Whitney Sikap


87

Lampiran 14. Uji Wilcoxon-Mann/Whitney Perilaku


88

Lampiran 15. Uji t-tidak berpasangan Kebersihan Gigi dan Mulut

Anda mungkin juga menyukai