Anda di halaman 1dari 67

REFRAT

PSIKONEUROIMUNOLOGI LUPA PADA LANSIA

Disusun oleh:
Lina Kristanti Wibowo G99142012
Shinta Amalia Kartika G99142013
Rina Dwi Purnamasari G99142014
Iriyanti Maya Sari Barutu G99142015
Rizal Nur Rohman G99142016
Martha Oktavia Dewi S G99142017
Satrio Sarwo Trengginas G99142124
Wuryan Dewi M G99142125
Citra Aristasari G99142126
Siti Nur Hidayah G99142127
Rachmania Budiati G99142128

Pembimbing:
Istar Yuliadi, dr., M.Si

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
refrat yang berjudul: “Psikoneuroimunologi Lupa pada Lansia”. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan dan penyusunan refrat ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, baik berupa bimbingan maupun nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)
6. Yusvick M. Hadim, dr., Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra., MS
11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes
12. Istar Yuliardi, dr., M.Si
13. Rochmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
14. RH Budi M, dr., Sp.KJ (K)
15. Maria Rini I, dr., Sp.KJ
16. Adriesti H, dr., Sp.KJ (K)
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ
18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ
Penulis menyadari bahwa refrat ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan refrat ini.
Semoga refrat ini bermanfaat bagi kita semua.
Juni 2015

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Proses Penuaan pada Lanjut Usia .............................................................. 3

1. Definisi Lanjut Usia .............................................................................. 3

2. Klasifikasi Lansia .................................................................................. 3

3. Teori Menua .......................................................................................... 4

4. Stereotipe Psikologik Lansia ................................................................. 6

5. Sindroma Geriatrik ................................................................................ 7

6. Gangguan Mental yang Terjadi pada Pasien Lanjut Usia ................... 12

B. Fungsi Kognitif ....................................................................................... 17

1. Definisi Fungsi Kognitif ..................................................................... 17

2. Memori ............................................................................................... 19

3. Lupa .................................................................................................... 20

4. Lupa pada Lansia ................................................................................ 21

C. Demensia ................................................................................................. 23

1. Definisi Demensia .............................................................................. 23

2. Klasifikasi Demensia .......................................................................... 24

D. Psikoneuroimunologi .............................................................................. 33

1. Definisi Psikoneuroimunologi ............................................................ 33

2. Proses Kerja Psikoneuroimunologi .................................................... 34

3
3. Mekanisme Terjadinya Proses Lupa pada Lansia menurut
Psikoneuroimunologi ......................................................................... 36

E. Pemeriksaan Fungsi Kognititf ................................................................. 48

F. Penatalaksanaan Gangguan Psikiatri pada Pasien Lansia ....................... 53

1.Terapi Psikofarmakologi .................................................................... 53

2.Psikoterapi .......................................................................................... 54

BAB III. KESIMPULAN ........................................................................................... 56


DAFTAR PUSTAKA

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Limbic ................................................................................... 18


Gambar 2.2 Skema Proses Terbentuknya Memori............................................... 19
Gambar 2.3 Proses Memori.................................................................................. 20
Gambar 2.4 Patogenesis demensia Alzheimer dari segi neuropatologi ............... 29
Gambar 2.5 Patogenesis demensia Alzheimer dari segi protein prekursor
amyloid dan neurotransmiter ............................................................ 29
Gambar 2.6 Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu
kasus demensia vascular. Infark lakunar bilateral multipel
mengenai thalamus, kapsula interna dan globus palidus.................. 30
Gambar 2.7 Gambaran Demensia vascular .......................................................... 31
Gambar 2.8 Jalur Sumbu HPA-axis ..................................................................... 34
Gambar 2.9 Mekanisme Umpan Balik Kortisol................................................... 41
Gambar 2.10 Perubahan morfologis dan fungsional yang terjadi pada sel-sel
sistem saraf pusat saat penuaan ........................................................ 42
Gambar 2.11 Hubungan serta jalur stres, neurodegenerasi dan depresi................. 44
Gambar 2.12 Jalur neuordegenerasi melalui aktivitas metabolisme triptofan ....... 45
Gambar 2.13 Hubungan antara depresi dan demensia ........................................... 46
Gambar 2.14 Faktor-faktor patogenik yang memicu terjadinya penurunan fungsi
kognitif ............................................................................................... 47
Gambar 2.15 Defisit kognitif karena defisit kolinergik beserta penanganannya ... 47

5
BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini di seluruh dunia jumlah lanjut usia di perkirakan mencapai 500
juta dan di perkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar yang akan
menjadi 2 milyar di tahun 2050; 80% di antaranya tinggal di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia (WHO, 2002). Sedangkan jumlah lanjut usia di
Indonesia diperkirakan 18.575.000 jiwa. Angka tersebut sekitar 7% dari jumlah
seluruh penduduk yang diperkirakan sebesar 234.181.400 jiwa (BPS, 2009).
Proporsi populasi lanjut usia tersebut akan terus meningkat mencapai 11.34% di
tahun 2020 (Komnas Lansia,2010).
Salah satu masalah utama para lanjut usia adalah kemunduran fungsi
kognitif. Kemunduran fungsi kognitif tersebut selanjutnya mempengaruhi pola
interaksi mereka dengan lingkungan tempat tinggal, dengan anggota keluarga lain,
juga pola aktivitas sosialnya. Hal ini akan menambah beban keluarga, lingkungan
dan masyarakat (Darmojo, 2010). Penurunan fungsi kognitif terjadi pada hampir
semua lansia dan prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia (Kamijo
dkk, 2009).
Kognitif merupakan suatu proses pekerjaan pikiran yang dengannya kita
menjadi waspada akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek
pengamatan, pemikiran dan ingatan (Dorland, 2002). Kognitif terdiri dari berbagai
fungsi, meliputi orientasi, bahasa, atensi, kalkulasi, memori, konstruksi dan
penalaran (Goldman, 2000).
Mathur dan Moschis (2005) menunjukkan bahwa perubahan kognitif
seseorang dikarenakan perubahan biologis yang dialaminya dan umumnya
berhubungan dengan proses penuaan (Ong dkk, 2008). Proses penuaan tersebut
bisa menyebabkan defisit memori pada lansia dan diteliti secara luas oleh
gerontologist. Penuaan secara signifikan memengaruhi memori jangka pendek,
dimana beberapa aspek lain dari memori jangka panjang seperti memori
prosedural tetap dipertahankan (Riddle & Schindler, 2007).
Kemunduran fungsi kognitif dapat berupa mudah-lupa (forgetfulness)
yaitu bentuk gangguan kognitif yang paling ringan. Gangguan ini diperkirakan
dikeluhkan oleh 39% lanjut usia berusia 50-59 tahun, meningkat menjadi lebih
dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Di fase ini seseorang masih bisa berfungsi
normal kendati mulai sulit mengingat kembali informasi yang telah dipelajari. Jika
penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah 7% dari seluruh
penduduk, maka keluhan mudah-lupa tersebut diderita oleh setidaknya 3%
populasi di Indonesia. Mudah-lupa ini bisa berlanjut menjadi gangguan kognitif
ringan (Mild Cognitive Impairment) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis
yang paling berat. Demensia adalah suatu kemunduran intelektual berat dan
progresif yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian
seseorang (Kusumoputro, 2001).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Penuaan pada Lanjut Usia


1. Definisi Lanjut Usia
Lanjut usia (lansia) merupakan proses alamiah dan
berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomis, fisiologis, dan
biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya memengaruhi
keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Fatmah,
2010). Menurut Budi Anna Keliat yang dikutip Maryam et al. (2008),
usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Menurut UU No.12 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia, yang disebut lansia adalah seseorang yang telah
mencapai usia diatas 60 tahun.

2. Klasifikasi Lansia
Kementerian Kesehatan RI mengklasifikasikan lansia dalam
kategori sebagai berikut:
a. Pralansia (prasenilis), adalah seseorang berusia 45-58 tahun,
b. Lansia, adalah seseorang berusia 60 tahun atau lebih,
c. Lansia risiko tinggi, adalah seseorang yang berusia di atas 70 tahun
atau di atas 60 tahun dengan masalah kesehatan,
d. Lansi potensial, adalah seorang lansia yang masih mampu
melakukan pekerjaan atau kegiatan yang menghasilkan,
e. Lansia tidak potensial, adalah lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain.
Sedangkan World Heath Ogranization (WHO) mengklasifikasikan
lansia menjadi 3, yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun,

3
b. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,
c. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun,
d. Lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Dewi, 2014).

3. Teori Menua

Berbagai teori mengenai proses penuaan telah diajukan dimana


semua teori tersebut saling mengisi dan menjelaskan berbagai sebab dan
perubahan akibat proses menua.
a. Teori radikal bebas
Teori ini menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme
oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan
berbagai komponen penting selular, termasuk protein, DNA, dan
lipid menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun bertahan
lama dan mengganggu fungsi sel lainnya. Akumulasi radikal bebas
secara bertahap di dalam sel sejalan dengan waktu dan bila kadarnya
melebihi konsentrasi ambang maka mungkin berkontribusi pada
perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan penuaan
(Setiati et al., 2009).
Sebenarnya di dalam tubuh sendiri memiliki kemampuan untuk
menangkal radikal bebas. Walaupun telah ada sistem penangkal,
namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia
makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses kerusakan
terus terjadi. Kerusakan organel sel makin lama makin banyak dan
akhirnya sel mati (Darmojo, 2009).
b. Teori glikosilasi
Proses glikosilasi nonenzimatik yang menghasilkan pertautan
glukosa-protein yang disebut sebagai advanced glycation end
products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan protein dan
makromolekul lain yang termodifikasi sehingga menyebabkan
disfungsi pada hewan atau manusia yang menua. Protein glikolisasi
4
menunjukkan perubahan fungsional, meliputi menurunnya aktivitas
enzim dan menurunnya degradasi protein abnormal (Setiati et al.,
2009).
c. Teori DNA repair
Teori „DNA repair atau tepatnya mitochondrial DNA repair
terkait erat dengan teori radikal bebas. Mutasi DNA mitokondria
(mtDNA) dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) di
mitokondria saling memengaruhi satu sama lain, membentuk vicious
cycle yang secara eksponensial memperbanyak kerusakan oksidatif
dan disfungsi selular yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel.
Mutasi DNA di manusia terjadi setelah umur pertengahan tiga
puluhan, terakumulasi seiring pertambahan umur, dan jarang
melebihi 1 %. Rendahnya jumlah mutasi mtDNA yang terakumulasi
diakibatkan proses repair yang terjadi di tingkat mitokondria.
Adanya gangguan repair pada kerusakan oksidatif menyebabkan
percepatan proses penuaan (accelerated aging). Selain itu, mutasi
mtDNA akibat gangguan repair juga terkait dengan munculnya
keganasan, Diabetes Melitus, dan penyakit neurodegeneratif (Setiati
et al., 2009).
d. Teori “Genetic clock”
Menurut teori ini, menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies tertentu. Tiap spesies di dalam nuclei (inti sel) mempunyai
jam genetik yang telah diputar menurut replikasi tertentu. Jam ini
akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak
diputar, jadi menurut konsep ini bila jam lansia berhenti akan
meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan
atau penyakit akhir. Konsep “genetic clock” didukung oleh
kenyataan bahwa ini merupakan cara menerangkan mengapa pada
beberapa spesies terlihat adanya perbedaan harapan hidup yang
nyata (Darmojo, 2009).

5
e. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi
dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh
mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik
menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka
hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun (Darmojo, 2009).

4. Stereotipe psikologik lansia


Sifat-sifat stereotipe para lansia umumnya sesuai dengan
pembawaannya pada waktu muda. Beberapa tipe yang dikenal adalah
sebagai berikut:
a. Tipe konstruktif.
Lansia dengan tipe ini memiliki integritas baik, dapat menikmati
hidupnya, mempunyai toleransi tinggi, humoristik, fleksibel (luwes),
dan tahu diri. Biasanya sifat-sifat ini dibawanya sejak muda. Mereka
dapat menerima fakta-fakta proses menua, mengalami masa pensiun
dengan tenang, juga dalam menghadapi masa akhir (Darmojo, 2009).
b. Tipe ketergantungan (dependent)
Lansia dengan tipe ini masih dapat diterima di tengah masyarakat,
tetapi selalu pasif, tak berambisi, masih tahu diri, tak mempunyai
inisiatif, dan bertindak tidak praktis. Biasanya orang ini dikuasai
istrinya. Ia senang mengalami pensiun, bisa banyak makan dan
minum, tidak suka bekerja dan senang untuk berlibur (Darmojo,
2009).
c. Tipe defensif
Lansia dengan tipe ini umumnya mempunyai jabatan atau
pekerjaan yang tidak tetap pada masa mudanya. Lansia ini bersifat

6
selalu menolak bantuan, seringkali emosinya tidak dapat dikontrol,
memegang teguh pada kebiasaannya, bersifat kompulsif aktif.
Anehnya mereka takut menghadapi menjadi tua dan tidak menyenangi
masa pensiun (Darmojo, 2009).
d. Tipe bermusuhan (holisty)
Lansia dengan tipe ini menganggap orang lain yang menyebabkan
kegagalannya, selalu mengeluh, bersifat agresif, dan curiga.
Umumnya memiliki pekerjaan yang tidak stabil pada masa muda.
Mereka menjadi tua sebagai hal yang tidak baik, takut mati, iri hati
pada orang yang muda, dan aktif melakukan pekerjaan atau kegiatan
menghindari masa yang buruk (Darmojo, 2009).
e. Tipe membenci atau menyalahkan diri sendiri (selfhaters)
Lansia dengan tipe ini bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri,
tidak mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosio-
ekonomi. Biasanya mempunyai perkawinan yang tidak bahagia,
mempunyai sedikit hobi dan merasa menjadi korban dari keadaan.
Mereka menganggap kematian sebagai suatu kejadian yang
membebaskannya dari penderitaan (Darmojo, 2009).

5. Sindroma geriatrik
Sindroma geriatrik adalah kumpulan gejala atau sindroma mengenai
kesehatan yang sering dikeluhkan oleh para usia lanjut dan atau
keluarganya. Sindroma ini bukan suatu penyakit atau diagnosis, sehingga
diperlukan adanya asesmen atau penilaian lebih lanjut untuk mencari latar
belakang penyakit yang mendasari sindroma ini agar terapi dapat
dilakukan. Sindroma geriatri adalah sebagai berikut:
a. Imobilitas
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau
tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomi tubuh
menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Berbagai faktor fisik,

7
psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia
lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa
informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas yang
menyebabkan imobilisasi, penyakit yang memengaruhi kemampuan
mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan untuk mengeliminasi masalah
iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi (Kane et al., 2008).
b. Impaksi
Konstipasi merupakan keterlambatan dan kesulitan dalam
pengosongan isi perut (defekasi), yang terjadi akibat feses yang terlalu
keras atau volumenya yang terlalu kecil. Sekitar 30% di atas umur 60
tahun menggunakan laksatif sedikitnya satu kali seminggu. Dengan
meningkatnya usia, kesulitan buang air besar semakin sering terjadi.
Selain karena fungsi pencernaan tubuh menurun, juga disebabkan oleh
aktivitas fisik yang semakin berkurang serta pola makan yang kurang
serat. Banyak yang kemudian menggunakan laksatif untuk
mengatasinya sehingga menimbulkan ketergantungan (Sinurat, 2003).
c. Instabilitas
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya
instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai faktor intrinsik (faktor risiko yang ada
pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di
lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah
instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang
mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan
penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu,
sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih
aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak
licin (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007).

8
d. Iatrogenik
Iatrogenik atau penyakit akibat obat-obatan sering dijumpai pada
lansia yang mempunyaki riwayat penyakit dan membutuhkan
pengobatan dalam waktu yang lama, jika tanpa pengawasan dokter
maka akan menyebabkan timbulnya penyakit akibat obat-obatan
(Nasution, 2013).
e. Gangguan Intelektual
Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada
pasien lanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah
gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh
penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat
kesadaran. Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia
mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir,
menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga
kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya
aktivitas (Nasution, 2013).
f. Insomnia
Gangguan tidur seperti insomnia dapat berdampak pada kualtitas
hidup dan dapat berkontribusi pada timbulnya jatuh, trauma, dan
permasalahan kesehatan lainnya. Banyak faktor yaang dapat
memengaruhi tidur, antara lain ansietas, depresi, delirium, demensia,
penggunaan obat-obatan, alkohol, masalah medis seperti nyeri,
arthritis, kesulitan bernapas, dan sering merasa buang air kecil saat
malam hari (Health in Aging Foundation, 2012).
g. Inkontinensia (inkontinensia urin dan alvi)
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga
menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin
merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai pada
usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita dan 15-20% pria di atas

9
65 tahun mengalami inkontinensia urin. Inkontinensia urin merupakan
fenomena yang tersembunyi, disebabkan oleh keengganan pasien
menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter jarang
mendiskusikan hal ini kepada pasien (Kane et al., 2008; Cigolle et al.,
2007).
Sedangkan inkontinensia alvi adalah hilangnya kesadaran
pengeleluaran feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial
atau higienis. Definisi lain menyatakan, inkontinensia alvi sebagai
perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan
pembuangan feses melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi lebih
jarang dibandingkan inkontinensia urin (Kane et al., 2008).
h. Isolasi
Isolasi sosial merupakan suatu keadaan seseorang yang
mengalami ketidakmampuan unuk mengadakan hubungan dengan
orang lain atau lingkungan sekitar secara wajar (Utomo, 2014).
Banyak lansia mengalami isolasi sosial yang meningkat sesuai dengan
usia. Isolasi ini salah satunya disebabkan oleh adanya perubahan-
perubahan perilaku lansia yang tidak dapat diterima oleh orang lain
seperti inkontinensia, demensia dan lain-lain sehingga lansia
cenderung menarik diri (Nasution, 2013).
i. Impotensi
Impotensi merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau
mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan senggama yang
memuaskan yang terjadi paling sedikit tiga bulan. Hal ini disebabkan
oleh terjadinya hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin karena
adanya kekakuan pada dinding pembuluh darah, baik karena proses
menua ataupun penyakitnya (Nasution, 2013).

10
j. Penurunan Imunitas
Daya tahan menurun merupakan salah satu akibat dari proses
menua, meskipun kadang dapat disebabkan oleh penyakit yang
menahun, kurang gizi, dan lain-lain (Nasution, 2013).
k. Infeksi
Infeksi pada lansia merupakan penyebab kesakitan dan kematian
nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi
akibat beberapa hal antara lain: adanya penyakit komorbid kronik
yang cukup banyak, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi,
menurunnya daya komunikasi lansia sehingga jarang mengeluh,
sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini.
Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan
meningkatnya suhu tubuh, dan hal ini sering tidak dijumpai pada
lansia, 30-65% lansia yang terinfeksi sering tidak disertai peningkatan
suhu tubuh, sebaliknya suhu tubuh dapat turun dibawah 360C dan
gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa konfusio atau
delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba,
badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering
terjadi pada pasien usia lanjut (Kane et al., 2008).
l. Inanisi
Inanisi atau kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi
pada usia lanjut karena kehilangan berat badan fisiologis dan patologis
yang tidak disengaja. Anoreksia pada usia lanjut merupakan
penurunan fisiologis nafsu makan dan asupan makan yang
menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak diinginkan (Kane et
al., 2008). Pada pasien, kekurangan nutrisi disebabkan oleh keadaan
pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan nafsu makan
pasien. Pada umumnya lansia memiliki kebutuhan kalori yang lebih
sedikit daripada orang dewasa, tetapi membutuhkan lebih banyak
nutrisi tertentu, seperti kalsium, vitamin D, dan vitamin B12.

11
Malnutrisi dapat ditunjukkan dengan hilangnya berat badan. Hal ini
dapat menyebabkan permasalahan yang lain seperti kelemahan dan
jatuh, masalah pada tulang, dan diabetes (Health in Aging Foundation,
2012).
m. Gangguan pendengaran, penglihatan, dan sebagainya
Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada geriatri.
Prevalensi gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat dari
21% pada kelompok usia 70 tahun sampai 39% pada kelompok usia
85 tahun. Pada dasarnya, etiologi gangguan pendengaran sama untuk
semua umur, kecuali untuk kelompok geriatri. Presbikusis sensorik
yang sering sekali ditemukan pada geriatri disebabkan oleh degenerasi
dari organ korti dan ditandai gangguan pendengaran dengan frekuensi
tinggi. Pada pasien juga ditemui adanya gangguan pendengaran
sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi. Penatalaksanaan untuk
gangguan pendengaran pada geriatri adalah dengan cara
memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan bedah berupa
implantasi koklea (Salonen, 2013).
Permasalahan pengelihatan dapat menyebabkan jatuh, sehingga
dianjurkan untuk memeriksakan mata setiap dua tahun sekali.
Permasalahan pengelihatan yang sering terjadi pada usia lanjut antara
lain hipermetropia, glaukoma, katarak, presbiopia, retinopati
diabetika, dan degenerasi makular (Health in Aging Foundation,
2012).

6. Gangguan Mental yang Terjadi pada Pasien Lanjut Usia


a. Depresi
1) Definisi
Depresi merupakan salah satu gangguan keserasian antara
mood dan afek. Mood adalah suasana perasaan yang meresap dan
menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi

12
perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Maramis dan
Maramis, 2009).
Depresi ialah suasana perasaan tertekan (depressed mood)
yang dapat merupakan suatu diagnosis penyakit atau sebagai
sebuah gejala atau respons dari kondisi penyakit lain dan stres
terhadap lingkungan. Depresi pada lansia adalah depresi sesuai
kriteria DSM-IV. Depresi mayor pada lansia didiagnosa ketika
lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua gejala inti (mood
terdepresi dan kehilangan minat terhadap suatu hal atau
kesenangan) bersama dengan empat atau lebih gejala-gejala
berikut selama minimal 2 minggu: perasaan diri tidak berguna
atau perasaan bersalah, berkurangnya kemampuan untuk
berkonsentrasi atau membuat keputusan, kelelahan, agitasi atau
retardasi psikomotor, insomnia atau hipersomnia, perubahan
signifikan pada berat badan atau selera makan, dan pemikiran
berulang tentang kematian atau gagasan tentang bunuh diri
(American Psychiatric Association, 2000).
2) Etiologi
Gangguan depresi yang sering dijumpai pada lansia
merupakan masalah psikososiogeriatri dan perlu mendapat
perhatian khusus. Depresi pada lansia kadang-kadang tidak
terdiagnosis dan tidak mendapatkan penanganan yang semestinya
karena gejala-gejala yang muncul seringkali dianggap sebagai
suatu bagian dari proses penuaan yang normal. Prevalensi depresi
pada lansia adalah 15,9%, pada tahun 2020 di negara berkembang
akan menggantikan penyakit-penyakit infeksi sebagai urutan
teratas. Perlu ditegaskan bahwa depresi adalah suatu gangguan
atau penyakit, sedangkan proses penuaan bukanlah penyakit,
meskipun ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan
proses penuaan. Gangguan depresi dapat diobati, sehingga para

13
lansia dapat terbebas dari penderitaan yang diakibatkan oleh
depresinya serta bila mendapat dukungan dari lingkungan atau
keluarganya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidupnya
(Marchira et al, 2007).
3) Gambaran Klinis
Ciri-ciri pokok untuk episode depresif mayor adalah suatu
periode paling sedikit 2 minggu yang mana selama masa tersebut
terdapat mood depresi atau kehilangan ketertarikan atau
kesenangan dalam hampir semua aktivitas. Individu dengan
depresi juga harus mengalami paling sedikit empat gejala
tambahan yang ditarik dari suatu daftar yang meliputi perubahan-
perubahan dalam nafsu makan atau berat badan, tidur, dan
aktivitas psikomotorik, energi yang berkurang, perasaan tidak
berharga atau bersalah, kesulitan dalam berpikir, berkonsentrasi,
atau membuat keputusan, atau pemikiran-pemikiran berulang
tentang kematian atau pemikiran, rencana-rencana, atau usaha
untuk bunuh diri (American Psychiatric Association).
Dalam Gallo & Gonzales (2001) disebutkan gejala-gejala
depresi lain pada lanjut usia:
1. Kecemasan dan kekhawatiran,
2. Keputusasaan dan keadaan tidak berdaya,
3. Masalah-masalah somatik yang tidak dapat dijelaskan,
4. Iritabilitas,
5. Kepatuhan yang rendah terhadap terapi medis atau diet,
6. Psikosis.
Manifestasi depresi pada lansia berbeda dengan depresi pada
pasien yang lebih muda. Gejala-gejala depresi sering berbaur
dengan keluhan somatik. Keluhan somatik cenderung lebih
dominan dibandingkan dengan mood depresi. Gejala fisik yang
dapat menyertai depresi dapat bermacam-macam seperti sakit

14
kepala, berdebar-debar, sakit pinggang, gangguan gastrointestinal,
dan sebagainya. Penyakit fisik yang diderita lansia sering
mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan
penurunan berat badan. Inilah yang menyebabkan depresi pada
lansia sering tidak terdiagnosa maupun diterapi dengan baik
(Sumardika, 2013).
Penyebab lain kesulitan dalam mengenal depresi pada lansia
adalah baik lansia maupun keluarga biasanya tidak
memperdulikan gejala-gejala depresif. Mereka menganggap
bahwa gejala-gejala tersebut normal bagi orang yang telah
mencapai usia tua (Sari, 2011)
b. Kecemasan
1) Definisi
Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi
yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang
mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin
(konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti
rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa atau bersalah,
terancam dan sebagainya. Juga ada segi-segi yang terjadi di luar
kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang tidak
menyenangkan itu (Daradjat, 2001).
Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia,
gangguan obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum,
gangguan stres akut, gangguan stres pasca traumatik. Onset awal
gangguan panik pada lansia jarang terjadi. Tanda dan gejala fobia
pada lansia kurang serius daripada dewasa muda, tetapi efeknya
sama (Lukluk dan Bandiyah, 2008).
2) Etiologi
Kecemasan diklasifikasikan menjadi 4 yaitu cemas ringan,
sedang, berat, panik. Adanya kecemasan menyebabkan kesulitan

15
mulai tidur, masuk tidur memerlukan waktu lebih dari 60 menit,
timbulnya mimpi yang menakutkan dan mengalami kesukaran
bangun pagi hari, bangun dipagi hari merasa kurang segar. Dalam
suatu penelitian Epidemologi Catchment Area (ECA) di Amerika
Serikat yang dikutip oleh Supriyanti (2005) ditemukan 25% lansia
mengalami kecemasan yang disebabkan oleh gangguan tidur
(Sohat et al, 2014).
3) Gejala Klinis
Seseorang yang menderita gangguan kecemasan umum hidup
tiap hari, dalam ketegangan yang tinggal secara samar-samar
merasa takut atau cemas pada hampir sebagian besar waktunya
dan cenderung bereaksi secara berlebihan terhadap stres yang
ringan pun. Tidak mampu santai, mengalami gangguan tidur,
kelelahan, nyeri kepala, pening, jantung berdebar-debar adalah
keluhan fisik yang paling sering ditemukan (Lukluk dan
Bandiyah, 2008).
Gejala-gejala kecemasan yang dialami oleh lansia seperti
perasaan khawatir atau takut yang tidak rasional akan kejadian
yang akan terjadi, sulit tidur sepanjang malam, rasa tegang dan
cepat marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut/
khawatir terhadap penyakit yang berat, misalnya kanker dan
penyakit jantung yang sebenarnya tidak dideritanya, sering
membayangkan hal-hal yang menakutkan, rasa panik terhadap
masalah yang ringan (Lukluk dan Bandiyah, 2008).
4) Penanganan
Sejauh ini kecemasan dapat dikurangi dengan obat-obat
farmakologis dan psikoterapi, tetapi kebanyakan orang memilih
teknik alternatif yang murah dan aman. Terdapat berbagai macam
teknik alternatif yang dapat di pilih seperti pijat refleksi, yoga,
meditasi, dan aromaterapi. Salah satu terapi yang dapat digunakan

16
untuk menurunkan kecemasan pada lansia adalah dengan
memberikan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik
termasuk komunikasi interpersonal yaitu komunikasi antara
orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik
secara verbal dan nonverbal (Azizah, 2013).
Teori menyebutkan bahwa komunikasi merupakan hal yang
sangat penting dalam proses pemberian asuhan keperawatan.
Komunikasi yang terjalin baik akan menimbulkan kepercayaan
sehingga terjadi hubungan yang lebih hangat dan mendalam.
Kehangatan suatu hubungan akan mendorong pengungkapan
beban perasaan dan pikiran yang dirasakan oleh klien yang dapat
menjadi jembatan dalam menurunkan tingkat kecemasan yang
terjadi (Azizah, 2013).

B. Fungsi Kognitif
1. Definisi Fungsi Kognitif
Pengertian kognitif menurut behavioral neurology adalah suatu
proses dimana semua masukan sensoris (taktil, visual, dan auditorik)
akan diubah, diolah, disimpan, dan selanjutnya digunakan untuk
hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu
melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut (Wiyoto,
2002).
Menurut Sidhiarto dan Kusumoputro (2003) konsep yang paling
banyak dianut bahwa fungsi kognitif mencakup lima domain, yaitu :
a. Pemusatan perhatian
b. Bahasa
c. Daya ingat
d. Pengenalan ruang
e. Fungsi eksekutif.

17
Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri- sendiri
melainkan tergabung menjadi satu kesatuan yang disebut sistem limbic
(Markam, 2003). Struktur limbik terdiri dari amygdala, hpipocampus,
nucleus thalamic anterior, gyrus subcallosus, gyrus cinguli, gyrus
parahpipocampus, formasio hippocampus, dan corpus mamillare.
Alveus, fimbria, fornix, tractus mammilothalamikus, dan striae terminalis
membentuk jaras- jaras penghubung sistem ini (Snell, 2006; Waxmann,
2007).

Gambar 2.1 Sistem Limbic (Waxmann, 2007)

Menurut Devinsky dan D‟Esposito (2004) peran sentral sistem


limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi
neuroendokron, dan aktivitas otonom. Struktur sistem limbik yang
berkaitan langsung dengan memori ialah:
a. Hippocampus terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang.
b. Gyrus parahippocampus terlibat dalam pembentukan memori
spatial.
c. Fornix berperan dalam memori dan pembelajaran.
d. Hipothamalus berperan dalam perubahan memori baru dan memori
panjang.

18
e. Corpus mammilare berperan dalam pembentukan memori dan
pembelajaran.
f. Gyrus dentatus berperan dalam memori baru.
Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia dan
sebanyak 75% dari bagian otak besar merupakan area kognitif (Saladin,
2007).

2. Memori
Daya ingat sangat erat hubungannya dengan memori. Memori
merupakan proses yang rumit karena menghubungkan masa lalu dengan
masa sekarang (Lumbantobing, 2006). Maharatih et al. (2009) berpendapat
bahwa memori merupakan suatu fungsi untuk mendapatkan informasi
yang disimpan di otak dan merupakan kemampuan untuk membangkitkan
kembali kesan, pengalaman, dan apa yang sudah dipelajari di masa
lampau. Menurut Riyanti (2012) proses terbentuknya memori melalui 3
tahapan, yaitu encoding, storage, dan retrieval.
Encoding merupakan suatu proses merubah sifat suatu informasi
menjadi dalam bentuk yang sesuai dengan sifat-sifat memori individu.
Proses pengubahan memori ini dapat terjadi secara tidak sengaja maupun
sengaja. Kemampuan tiap individu untuk memasukkan segala informasi
yang diterimanya sangat dipengaruhi oleh memory span dari masing-
masing individu (Riyanti, 2012).
Proses storage atau retensi adalah proses mengendapkan informasi
yang diterima. Penyimpanan informasi ini merupakan mekanisme penting
dalam memori. Sistem penyimpanan ini sangat memengaruhi jenis memori
akan disimpan sebagai memori sensori, memori jangka pendek, atau
memori jangka panjang. Setiap proses belajar akan meninggalkan jejak
dalam ingatannya. Jejak ingatan ini memungkinkan seseorang untuk
mengingat apa yang dipelajarinya walau tidak semua jejak akan tersimpan
dengan baik. Retrieval meupakan proses mengingat kembali untuk

19
mencari dan menemukan informasi yang disimpan dalam memori. Proses
retrieval terdiri dari recall, recognition, dan redintegrative (Riyanti, 2012).

Gambar 2.2 Skema proses terbentuknya memori (Riyanti, 2012)


Proses penerimaan informasi yang diawali dengan diterimanya
informasi melalui penglihatan (visual input) atau pendengarannya
(auditory input) kemudian diteruskan oleh sensory register yang
dipengaruhi oleh perhatian (attention), ini merupakan bagian dari proses
input. Sensory register (memori sensoris) berkaitan dengan penyimpanan
informasi sementara yang dibawa oleh pancaindra. Setelah itu informasi
akan diterima dan masuk dalam ingatan jangka pendek (short term
memory). Ingatan jangka pendek erat kaitannya dengan working memory
capacity, bila menarik perhatian dan minat maka akan disimpan dalam
ingatan jangka panjang (long term memory). Bila sewaktu-waktu
diperlukan memori ini akan dipanggil kembali (Ellis, 1993; Riyanti, 2012).

Gambar 2.3 Proses Memori (Riyanti, 2012)

20
3. Lupa
Lupa merupakan suatu gejala dimana informasi yang disimpan tidak
dapat ditemukan kembali untuk digunakan. Menurut Riyanti (2012), teori
penyebab lupa ialah:
a. Decay Theory
Teori ini beranggapan bahwa memori menjadi semakin aus
dengan berlalunya waktu bila tidak diulang kembali. Informasi yang
disimpan dalam memori akan meninggalkan jejak yang bila dalam
jangka waktu yang lama tidal ditimbulkan kembali dalam alam sadar,
akan rusak atau menghilang.
b. Teori Interferensi
Teori ini beranggapan bahwa informasi yang sudah disimpan
dalam memori jangka panjang masih ada di dalam gudang memori
akan tetapi jejak ingatannya saling bercampur aduk dan saling
mengganggu satu dengan yang lain.
c. Teori Retrieval Failure
Teori ini mengatakan bahwa lupa terjadi karena adanya kegagalan
untuk mengingat kembali memori, bukan karena interferensi.
d. Teori Motivated Forgetting
Menurut teori ini, manusia cenderung melupakan hal-hal yang tidak
menyenangkan. Hal-hal tersebut akan ditekan dan tidak diperbolehkan
muncul ke alam sadar.
e. Teori Lupa Fisiologis
Proses mengingat akan mengakibatkan perubahan fisik di otak yang
disebut engram. Gangguan pada engram akan mengakibatkan lupa
yang disebut amnesia. Amnesia dapat berupa amnesia retrogard
maupun amnesia anterogard.

21
4. Lupa Pada Lansia
Diantara fungsi otak yang menurun secara linier dengan bertambahnya
usia adalah fungsi memori (daya ingat) berupa kemunduran dalam
kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi
yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval
from memory). Penurunan fungsi memori secara linier itu terjadi pada
kemampuan kognitif dan tidak mempengaruhi rentang hidup yang normal
(Strub dan Black, 1992).
Perubahan atau gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi
pada aspek tertentu, sebagai contoh memori primer (memori jangka
pendek/ short term memory) relatif tidak mengalami perubahan pada
penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder (memori jangka
panjang/ long term memory) mengalami perubahan bermakna. Artinya
kemampuan untuk mengirimkan informasi dari memori jangka pendek ke
jangka panjang mengalami kemunduran dengan penambahan usia. Dari
sebuah penelitian pada orang dengan kognisi normal berusia 62-100 tahun,
disimpulkan bahwa kemampuan proses belajar (learning) atau perolehan
(acquisition) mengalami penurunan yang sama secara bermakna pada
penambahan usia, tetapi tidak berhubungan dengan pendidikan, sedangkan
kemampuan ingatan tertunda (delayed recall atau forgetting) sedikit
menurun tetapi lazimnya tetap, terutama kalau faktor pembelajaran awal
dipertimbangkan (Petersen et al., 1992).
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian
informasi, proses penyimpanan, serta proses mengingat. Semua hal yang
berpengaruh kedalam tiga proses tersebut akan memengaruhi fungsi
memori. Gangguan memori sering menunjukkan gejala yang pertama
timbul pada demensia dini. Pada tahap demensia dini, tahap awal yang
terganggu adalah memori barunya, yakni cepat lupa apa yang dia kerjakan.
Namun lambat laun memori lama juga dapat terganggu (Sidiarto dan
Kusumoputro, 2003).

22
Kemunduran fungsi kognitif yang berupa mudah lupa (forgetfulness)
yaitu bentuk gangguan kognitif yang paling ringan. Gangguan ini
diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia berusia 50-59 tahun,
meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Di fase
ini seseorang masih bisa berfungsi normal kendati mulai sulit mengingat
kembali informasi yang telah dipelajari (Kusumoputro S dan Sidiarto L,
2001). Jika penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah
7% dari seluruh penduduk, maka keluhan mudah-lupa tersebut diderita
oleh setidaknya 3% populasi di Indonesia. Mudah-lupa ini bisa berlanjut
menjadi Gangguan Kognitif Ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI)
sampai ke Demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat
(Wreksoatmodjo, 2014).
Secara garis besar, penurunan fungsi kognitif menurut Wreksoatmodjo
(2014) dapat disebabkan oleh:
a. Ras,
b. Tekanan darah tinggi,
c. Aritmia jantung,
d. Diabetes melitus,
e. Sindrom metabolik,
f. Hipertiroid,
g. Alkohol,
h. Merokok,
i. Nutrisi,
j. Trauma kepala.

C. DEMENSIA
1. Definisi Dementia
Demensia adalah suatu sindrom kemunduran fungsi kognitif yang
sedemikian berat akibat gangguan otak yang bersifat kronik dan progresif
terutama pada fungsi luhur kortikal yang multipel seperti fungsi memori,

23
berpikir, orientasi, pemahaman, kemapuan berhitung, kemampuan
belajar, bahasa dan memutuskan, sehingga mengganggu aktivitas hidup
sehari- hari dan aktivitas sosial tanpa disertai penurunan kesadaran dan
sering kali dimulai dengan deteriorasi pengendalian emosi, perilaku
sosial, dan motivasi. Menurut adanya gejala demensia diklasifikasikan
menjadi demensia pada penyakit Alzheimer, demensia pada penyakit
vaskuler, dan demensia akibat penyakit lain yang diklasifikasikan seperti
pada penyakit Pick, Creutzfeltdt-Jacob, Huntington, Parkinson, HIV, dan
penyakit lain yang tak terdefinisi (Depkes, 1993; Sadock dan Sadock,
2009; Maramis dan Maramis, 2009; Witjaksana, 2010).

2. Klasifikasi Demensia
a. Demensia Alzheimer
Demensia berkaitan erat dengan usia lanjut. Penyakit alzheimer
ini 60% ditandai dengan munculnya demensia dan diperkirakan akan
meningkat terus. Gejala klasik penyakit alzheimer adalah kehilangan
memori yang terjadi secara bertahap, termasuk kesulitan menemukan
atau menyebutkan kata yang tepat, tidak mampu mengenali objek,
lupa cara menggunakan benda biasa dan sederhana, seperti pensil,
lupa mematikan kompor, menutup jendela atau menutup pintu,
suasana hati dan kepribadian dapat berubah, agitasi, masalah dengan
daya ingat, dan membuat keputusan yang buruk dapat menimbulkan
perilaku yang tidak biasa. Gejala ini sangat bervariasi dan bersifat
individual dan dapat terjadi dalam onset waktu yang berbeda- beda,
dapat lebih cepat atau lebih lambat. Gejala tersebut tidak selalu
merupakan penyakit alzheimer, tetapi apabila gejala tersebut
berlangsung semakin sering dan nyata, perlu dipertimbangkan
kemungkinan penyakit alzheimer (Nugroho, 2003; Maramis, 2009).
Demensia alzheimer dapat berlangsung dalam tiga stadium yaitu
stadium awal, stadium menengah, dan stadium lanjut. Stadium awal

24
atau demensia ringan ditandai dengan gejala yang sering diabaikan
dan disalahartikan sebagai usia lanjut atau sebagai bagian normal
dari proses menua. Umumnya klien menunjukkan gejala kesulitan
dalam berbahasa, mengalami kemunduran daya ingat secara
bermakna, disorientasi waktu dan tempat, sering tersesat ditempat
yang biasa dikenal, kesulitan membuat keputusan, kehilangan
inisiatif dan motivasi, dan kehilangan minat dalam hobi dan agitasi.
Intinya, walaupun terdapat gangguan berat daya kerja dan aktivitas
sosial, kapasitas untuk hidup mandiri tetap dengan higiene personal
masih cukup dan penilaian umum masih baik (Nugroho, 2003;
Maramis dan Maramis, 2009).
Stadium menengah atau demensia sedang ditandai dengan
proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata. Pada
stadium ini, klien mengalami kesulitan melakukan aktivitas
kehidupan sehari- hari dan menunjukkan gejala sangat mudah lupa
terutama untuk peristiwa yang baru dan nama orang, tidak dapat
mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul masalah, sangat
bergantung pada orang lain, semakin sulit berbicara, membutuhkan
bantuan untuk kebersihan diri, dan terjadi perubahan perilaku, serta
adanya gangguan kepribadian, sehingga berbahaya jika hidup sendiri
dan diperlukan berbagai tingkat suportivitas (Nugroho, 2003;
Maramis dan Maramis, 2009).
Stadium lanjut atau demensia berat ditandai dengan
ketidakmandirian dan inaktif total, tidak mengenali lagi anggota
keluarga (disorientasi orang), sukar memahami dan menilai
peristiwa, tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri,
kesulitan berjalan, mengalami inkontinensia (berkemih atau
defekasi), menunjukkan perilaku tidak wajar dimasyarakat, akhirnya
bergantung dikursi roda atau tempat tidur. Penderita tak mampu lagi

25
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari, tak dapat dimengerti atau
inkoheren (Nugroho, 2003; Maramis dan Maramis, 2009).
Faktor predisposisi dan resiko dari penyakit ini adalah usia,
riwayat penyakit alzheimer (keturunan), kelamin, pendidikan. Faktor
resiko yang kemungkinan juga berpengaruh ialah adanya keluarga
dengan sindrom Down, fertilitas yang kurang, kandungan
alumunium pada air minum, dan defisiensi kalsium (Sadock dan
Sadock, 2012).
Etiologi demensia alzheimer masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ada beberapa teori menjelaskan kemungkinan adanya faktor
genetik, faktor lingkungan, faktor infeksi, dan faktor neurotransmiter
(Maramis dan Maramis, 2009).
1) Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita
alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting dalam
proses penurunan fungsi kognitif.
a) Asetilkolin
Penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter
dengan cara biopsi stereotaktik dan otopsi jaringan otak pada
penderita alzheimer menunjukkan adanya penurunan aktivitas
kolin asetiltransferase, asetikolinesterase dan transport kolin
serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit
presinaptik dan postsinaptik kolinergik ini bersifat simetris
pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis,
hippocampus. Kelainan neurotransmiter asetilkolin
merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis
neurotransmiter lain pada penyakit alzheimer, dimana pada
jaringan biopsinya selalu didapatkan kehilangan kolinergik
Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada
orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya

26
daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik
sebagai patogenesis penyakit alzheimer (Ballard et al, 2013).
b) Noradrenalin
Kadar metabolisme norepinefrin dan dopimin didapatkan
menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya
neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat
yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi
dengan defisit kortikalbnoradrenergik. Ballard et al. (2013),
melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita
alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada
presinaptik neokorteks. Vermeiren et al. (2015), melaporkan
konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-
mortem penderita alzheimer.
c) Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil
metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks
serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada
nucleus basalis. Penurunan serotonin pada subregio
hipothalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada
anterior hipothalamus sedangkan pada posterior
paraventrikuler hipothalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan
hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada
nukleus rephe dorsalis (Sadock dan Sadock, 2012; Vermeiren
et al., 2015).
d) MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter
monoamine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu
MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan
sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi

27
terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan
peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontalis
sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal dan
menurun pada nucleus basalis (Sadock dan Sadock, 2012;
Vermeiren et al., 2015).
Patogenesis demensia Alzheimer dapat terjadi dari beberapa
cara tergantung kausanya. Diantaranya melalui jalur neuropatologi,
protein prekursor amiloid, dan neurotransmitter. Pada demensia
Alzheimer, terjadi atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara
signifikan, terutama saraf kolinergik (Sadock dan Sadock, 2012).
Kerusakan saraf kolinergik terutama pada daerah limbik otak
yang terlibat dalam pemunculan emosi, dan korteks yang terlibat
dalam proses memori dan pusat berpikir rasional. Kemudian terjadi
penurunan jumlah enzim asetil kolin transferase di korteks cerebral
dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis asetil kolin di
otak. Di otak juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid)
plaques dan neurofibrillary tangles, yang terpusat di area yang sama
dimana terjadi defisit kolinergik sehingga plak tersebut berisi deposit
protein β-amyloid. β-amyloid merupakan fragmen protein yang
terpotong dari amyloid precursor protein (APP), yang dikatalisis
oleh β-secretase, yang seharusnya terdegradasi dan tereliminasi pada
otak yang normal. β-amyloid dapat dijumpai di otak normal,
terutama pada orang usia di atas 40 tahun, tetapi tidak terkonsentrasi
di korteks atau sistem limbik (Sadock dan Sadock, 2012).
Pada demensia alzheimer, akumulasi β-amyloid dapat
membentuk plak karena berikatan dengan apolipoprotein E4
(ApoE4) dan menjadi keras sehingga tak larut. Neurofibrillary
tangles terdiri dari dua serabut terpilin tidak larut yang terdapat di
sel-sel otak. Serabut-serabut ini terutama terdiri dari protein „tau‟
yang membentuk bagiandari suatu mikrotubulus. Pada demensia

28
Alzheimer, protein „tau‟ menjadi tidak normal dan menyebabkan
struktur mikrotubulus menjadi rusak, sedangkan fungsi utama
mikrotubulus adalah membantu transport nutrisi dan substansi
penting lain dari satu bagian sel saraf ke bagian lain (Sadock dan
Sadock, 2012; Fernandez-Funez et al., 2015, Simoncini et a.l, 2015).

Gambar 2.4. Patogenesis demensia Alzheimer dari segi neuropatologi


(Fernandez-Funez et al., 2015)

Gambar 2.5. Patogenesis demensia Alzheimer dari segi protein prekursor


amiloid dan neurotransmiter (Fernandez-Funez et al., 2015)

29
b. Demensia Vaskuler
Demensia vaskuler disebabkan oleh penyakit vaskuler cerebral
yang multipel sehingga menimbulkan gejala berpola demensia.
Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat
hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan
terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan
sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkim
multipel yang menyebar luas pada otak. Penyebab infark berupa
oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli
dari tempat lain (misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan
ditemukan bruit karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau
pembesaran jantung (Depkes, 2002; Sadock dan Sadock, 2012).

Gambara 2.6 Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal


dari suatu kasus demensia vaskular. Infark lakunar bilateral multipel
mengenai thalamus, kapsula interna dan globus palidus (Wang et al.,
2009).

30
Gambar 2.7 Gambaran demensia vascular (Wang et al., 2009).

c. Demensia Penyakit Pick


Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah
frontotemporal. Daerah tersebut mengalami kehilangan neuronal,
gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa
elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimen
postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab dari
penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5%
dari semua demensia irreversibel. Penyakit ini paling sering pada laki-
laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat pertama dengan
penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia
alzheimer. Walaupun stadium awal penyakit lebih sering ditandai oleh
perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang
relatif bertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya:
hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan

31
pada penyakit Pick daripada pada penyakit Alzheimer (Sadock dan
Sadock, 2012).
d. Demensia Penyakit Creutzfeltdt-Jacob
Penyakit Creutzfeltdt-Jacob (spongioform encephalopathy)
merupakan gangguan saraf degeneratif yang sangat jarang dan tak
dapat disembuhkan atau mematikan. Penyakit ini ditandai dengan
penurunan fungsi mental dengan onset sangat cepat disertai kelainan
motorik. Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan jaringan otak oleh
suatu organisme mirip virus, yaitu suatu protein yang dapat ditularkan
yang disbeut prion. Penyebaran penyakit ini sporadik, sebagian kecil
diturunkan secara genetik dan sebagian lain karena kontaminasi
jaringan tubuh orang yang sakit. Diagnosis hanya dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan terhadap jaringan otak. Karena gejala
demensianya sangat mirip penyakit alzheimer, sering terjadi kesalahan
diagnosis. Namun, pada penyakit ini demensia total dapat terjadi
dalam waktu 6 bulan dan prognosis penyakit sangat buruk (Maramis
dan Maramis, 2009).
f. Demensia Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan
perkembangan demensia. Demensia pada penyakit ini terlihat sebagai
demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan abnormalitas motorik
yang lebih menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih
ringan dibandingkan demensia tipe kortikal. Demensia pada penyakit
Huntington menunjukkan perlambatan psikomotor dan kesulitan
dalam mengerjakan pekerjaan yang kompleks, akan tetapi memori,
bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan pertengahan
penyakit. Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan
gambaran klinis yang membedakannya dengan demensia tipe
alzheimer adalah tingginya insiden depresi dan psikosis, selain

32
gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik Demensia
penyakit Parkinson (Sadock dan Sadock, 2012).
g. Demensia Parkinson
Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme
merupakan penyakit pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan
dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen
pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan
kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson
sejajar dengan perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu
gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai bradifrenia
(Sadock dan Sadock, 2012).

D. Psikoneuroimunologi
1. Definisi Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi merupakan ilmu baru yang sedang berkembang
pesat akhir-akhir ini. Psikoneuroimunologi sendiri masih merupakan kata
baru (neologism) yang berasal dari perpaduan ketiga ilmu yang telah
memiliki paradigma sendiri, yaitu psikologi, neurologi, dan imunologi.
Adanya ketiga komponen tersebut seringkali menyebabkan
psikoneuroimunologi dipahami sebagai ilmu yang mengkaji interaksi
antara sistem imun, sistem saraf, dan psikis.
Dasar perkembangan bidang psikoneuroimunologi berawal dari
sebuah publikasi artikel penelitian Solomon et al. (1964) berjudul
“Emotion, immunity and disease: a speculative theoretical integration”.
Namun, istilah psikoneuroimunologi baru pertama kali digunakan oleh
Robert Ader ketika menyampaikan kuliah umumnya di American
Psychosomatic Society pada 1980.
Setelah tahun 1999, Ader (2000) memberikan definisi bahwa
psikoneuroimunologi merupakan kajian yang mempelajari interaksi antara
perilaku (behavior) fungsi neuroendokrin dan proses sistem imun, serta

33
berfokus pada imunoregulasi yang tidak otonom karena dipengaruhi oleh
kinerja otak.

2. Proses Kerja Psikoneuroimunologi


Menurut Cohen (2001), hubungan otak dengan sistem imun terjadi
melalui (1) sel di aksis hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA) axis, yang
melibatkan hormon sitokin, dan (2) sel yang terdapat di jalur automic
nerve system (ANS).
Sistem saraf pusat (otak) mempengaruhi sistem endokrin melalui
kelenjar pituitari, yang nantinya akan mengontrol sekresi hormon dan akan
berpengaruh pada modulasi sistem imun. Sekresi hormon tersebut akibat
adanya reseptor sel imun yang berikatan dengan molekul HPA dan
menyebabkan perubahan jumlah, fungsi, dan distribusi sel imun.
Sedangkan, pengaruh langsung dari sistem saraf otonom (ANS)
diperankan oleh kelenjar timus, limpa, dan sumsum tulang (Arder, 2000).

Gambar 2.8 Jalur HPA axis (Arder, 2000).

34
HPA axis terdiri atas rangkaian aktivitas hormon yang terlibat dalam
respon stres, yang terdiri dari corticotropin releasing hormone (CRH),
hormon yang diproduksi oleh hipotalamus; adenocorticotropic hormon
(ACTH), hormon yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis dan
kortisol, hormon perifer yang dikeluarkan oleh korteks adrenal (Arder,
2000; Cohen, 2001; Wingenfeld dan Wolf, 2011).
Pelepasan CRH dipicu oleh berbagai stresor baik psikologis maupun
fisiologis (lapar, inflamasi). Stresor juga menstimulir pelepasan arginine
vasopressine (AVP) oleh neuron paraventricular nucleus (PVN)
hipotalamus. Nukleus paraventrikular hipotalamus adalah penggerak
utama dari respon glukokortikoid terhadap stres. Stimulasi saraf
neurosekretori hipofisiotropik di medial parvoselular PVN menginisiasi
aktivasi HPA axis. Selanjutnya corticotropin releasing hormone (CRH)
dan arginine vasopressine (AVP) dilepaskan dari terminal saraf
neurosekretori di eminensia median dan diangkut ke hipofisis anterior
melalui sistem pembuluh darah portal dari tangkai hipofiseal. CRH dan
vasopresin bertindak sinergis untuk merangsang sekresi ACTH yang
tersimpan dari sel corticotrope. ACTH diangkut oleh darah ke korteks
adrenal kelenjar adrenal, di mana ia cepat merangsang biosintesis
kortikosteroid dari kolesterol untuk memproduksi kortisol (Arder, 2000;
Cohen, 2001; Wingenfeld dan Wolf, 2011).
Pelepasan kortisol secara simultan memiliki efek, termasuk
diantaranya peningkatan glukosa darah untuk mempertahankan regulasi
metabolisme. Pelepasan kortisol yang terus menerus akan menimbulkan
umpan balik negative pada hipotalamus maupun glandula hipofisis anterior
untuk menghentikan produksi CRH dan ACTH. Fungsi kortisol secara
umum adalah sebagai pengatur metabolisme glukosa, regulasi tekanan
darah, respon inflamasi, dan berperan dalam sistem imun. Peningkatan
kortisol dalam jumlah sedikit memiliki beberapa efek positif seperti
pemaksimalan fungsi memori, peningkatan sistem imun, menurunkan

35
sensitivitas terhadap sakit, membantu menyeimbangkan dan
mempertahankan homeostasis dalam tubuh. Akan tetapi, paparan kortisol
yang terlalu lama dan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menimbulkan
efek negatif seperti penurunan fungsi kognitif, penekanan fungsi glandula
tiroid, ketidakseimbangan gula darah, penurunan kepadatan tulang dan
massa otot, serta penurunan respon inflamasi dan sistem imun (Arder,
2000; Cohen, 2001; Wingenfeld dan Wolf, 2011).

3. Mekanisme terjadinya proses lupa pada lansia menurut


psikoneuroimunologi
a. Perubahan Aktifitas HPA-axis
Penuaan normal sering dihubungkan dengan hiperaktifitas HPA-
axis, yang ditunjukkan dengan peningkatan kortisol pada malam hari.
Fungsi hippocampus normal masih dibutuhkan karena digunakan
sebagai inhibitor HPA-axis. Perubahan struktural dan fungsional pada
hippocampus terjadi saat proses penuaan. Hal ini menyebabkan
ketidaksempurnaan proses inhibisi HPA-axis. Pada pasien demensia,
hiperaktifitas HPA-axis lebih terlihat karena adanya perubahan pada
hippocampus dan korteks. Peningkatan glukortikoid akan berakibat
toksik pada hippocampus (Wingenfeld dan Wolf, 2011).
b. Peran stres
Stres fisik dan psikologis memicu reaksi cepat dari sistem saraf
otonom dan reaksi lambat dari HPA-axis. CRH menstimulasi hipofisis
umtuk mensekresikan ACTH. ACTH kemudian menstimulasi korteks
adrenal untuk mensekresikan glukortikoid. Glukokortikoid adalah
hormon lipofilik yang dapat menembus blood-brain-barrier, yang
mempengaruhi beberapa regio otak. Efek glukokortikoid dimediasi oleh
reseptor intraseluler atau melalui interaksi hormon dengan reseptor
neurotransmiter di permukaan sel (Wolf, 2003).

36
Area-area di otak yang ditempati oleh reseptor glukokortikoid
adalah sebagai berikut :
1) Hippocampus : Penting untuk memori spasial dan memori
deklaratif
2) Amygdala : Berperan dalam modulasi memori
emosional
3) Prefrontal Cortex : Penting untuk memori kerja (jangka
pendek)
Area-area ini tidak hanya sebagai area target dari aksi glikortikoid,
tetapi juga berfungsi meregulasi umpan balik HPA-axis.
Glukokortikoid membentuk umpan balik negatif (menghambat aktifitas
HPA-axis) pada level hipofisis, hipothalamus, dan hippocampus.
Sedangkan umpan balik positif ditujukan ke level amygdala, prefrontal
cortex dan truncus cerebri, yang kemudian akan meningkatkan aktifitas
HPA-axis. Peningkatan kadar kortisol basal dalam jangka waktu lama
juga akan menyebabkan atrofi hippocampus, yang memengaruhi
responnya terhadap HPA-axis dan kemudian bisa menyebabkan
penurunan fungsi kognitif (Wolf, 2003). Hippocampus adalah area otak
yang paling peka terhadap glukokortikoid dan sangat sensitif terhadap
proses penuaan (Yau dan Seckl, 2012).
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa depresi kronis merupakan
faktor predisposisi terjadinya demensia. Seseorang yang mengalami
depresi dengan kecenderungan demensia juga memiliki kemampuan
kognitif yang kurang. Depresi dan demensia berkaitan dengan
terjadinya inflamasi di otak. Beberapa studi menyatakan bahwa sitokin
proinflamasi, seperti IFN-α kadarnya meningkat dalam darah pada
pasien depresi. Perubahan lain yaitu terjadi peningkatan β-amyloid
(Ab) dan aktivasi mikroglia di parenkim otak. Kombinasi dari Ab dan
sitokin proinflamasi meningkatkan apoptosis pada otak pasien (Visser
et al., 2000).

37
Sitokin proinflamasi lain yang berhubungan dengan penurunan
memori adalah IL-6 dan IL-1. Studi yang dilakukan oleh Blum-Degen
et al. (1995) menyatakan konsentrasi kedua sitokin tersebut berkaitan
dengan tingkat keparahan demensia. Peningkatan sitokin-sitokin
tersebut menjadi faktor yang menimbulkan gejala depresi mayor pada
lansia. Gejala tersebut antara lain mood depresi, cemas, gangguan
kognitif, gangguan tidur, anergia, kehilangan libido, dam defisit
memori jangka pendek. Gejala-gejala tersebut biasanya hilang ketika
konsentrasi plasma sitokin proinflamasi kembali ke normal.

c. Terkait Proses Neuroinflamasi


Penurunan fungsi kognitif merupakan salah satu bentuk
perubahan status mental pada lansia. Domain kognisi yang jelas
terlihat mengalami penurunan pada pertambahan usia adalah
kecepatan dalam memproses informasi, fungsi eksekutif, memori
kerja, fungsi visuospasial, refleksi pengetahuan semantik, dan
pemecahan masalah. Salah satu faktor yang dianggap mempengaruhi
hal penurunan fungsi kognitif adalah proses neuroinflamasi. Selama
beberapa dekade terakhir ini, banyak penelitian menemukan adanya
mekanisme inflamasi dalam proses penurunan fungsi kognitif yang
disebabkan karena proses penuaan. Domain yang jelas
memperlihatkan hubungan antara kognisi dan inflamasi adalah
fungsi eksekutif, kecepatan memproses informasi, dan memori kerja.
Fungsi eksekutif memerlukan koordinasi simultan dari beberapa
kemampuan untuk melakukan sesuatu. Memori kerja berhubungan
dengan koordinasi beberapa proses dalam jangka pendek. Kecepatan
memproses memnunjukkan kemampuan seberapa cepat merespon
dan bereaksi terhadap suatu informasi (Ownby, 2010).
Dalam studi eksperimental, substansi-substansi eksogen yang
menginduksi respon inflamasi mempunyai pengaruh yang negatif

38
terhadap kognisi dan mood (Reichenberg et al., 2001). Adanya
marker inflamasi berhubungan dengan defisit fungsi kognitif dan
penyakit yang berisiko menyebabkan gangguan fungsi kognitif.
Sitokin, interleukin, dan C-reactive protein adalah marker-marker
yang berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif pada dementia.
Marker biologis ini akan meningkat seiring dengan peningkatan
respon stres psikologis dan pertambahan usia. Sitokin akan jelas
meningkat pada kasus sindrom metabolik, yang sendirinya
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit Alzheimer dan
penurunan fungsi kognitif. Intervensi yang mengurangi inflamasi
dinilai mampu memperbaiki fungsi kognisi (Ownby, 2010).
Inflamasi pada otak diimplikasikan pada patogenesis penyakit
neuordegenartif kronis, seperti Alzheimer disease, demensia
vaskular, dan Parkinson disease (Blasko et al., 2004). Limbik dan
area asosiasi pada otak (struktur yang memegang peranan penting
pada fungsi kognitif, seperti antensi, memeori, dan persepsi)
mengandung lebih banyak enzim yang terlibat dalam respon
inflamasi, sehingga area ini memiliki peningkatan risiko kerusakan
kumulatif akibat inflamasi subkilinis (Raz dan Rodrigue, 2006).
Neuroinflamasi juga mempunyai efek negatif terhadap sistem
dopaminergik yang berhubungan dengan penuaan kognisi (Hunter et
al., 2009). Fungsi sistem dopaminergik ini terganggu pada daerah
striatum dan area temporal bagian frontal dan medial (Backman et
al., 2006).

d. Terkait dengan Depresi (Melalui HPA-axis)


Stres juga mempunyai efek negatif terhadap fungsi kognitif dan
meningkatkan kadar mediator inflamasi. Stres psikologis mengatifasi
aksis hipothalamus-pituitary-adrenal, yang kemudian menyebabkan
pengeluaran neurotransmiter noradrenergik. Stres tersebut

39
meningkatkan kadar kortisol yang nantinya akan menyebabkan
penurunan fungsi memori (Li et al., 2006). Peningkatan kadar
kortisol dalam sirkulasi berhubungan dengan defisit memori pada
orang tua melalui efeknya terhadap hipocampus (Lupien dan Lepage,
2001). IL-1 memegang peranan penting dalam respon stres dan efek
negatif pada kognisi (Goshen dan Yirmiya, 2009). IL-1 dan TNF-α
bisa menstimulasi HPA axis, yang selanjutnya dapat menyebabkan
defisit kognitif (Ownby, 2010). Salah satu studi mengatakan bahwa
semakin besar reaktifitas terhadap stres, semakin tinggi risiko terjadi
demensia pada 30 tahun ke depan (Crowe et al., 2007).

Gambar 2.9 Mekanisme umpan balik kortisol (Leonard B dan


Myint A, 2006)
e. Peran Mikroglia terhadap Inflamasi Otak
Astrosit dan mikroglia adalah sel-sel sistem saraf pusat yang
sensitif dengan efek penuaan karena kemampuan mereka untuk
turnover rendah (Ginhoux et al., 2010). Dengan bertambahnya usia,

40
mikroglia akan mengalami peningkatan dalam profil inflamasi dan
penurunan regulasi. Mikroglia akan menjadi hipertrofi dengan cell
bodies yang membesar dan mengalami proses kondensasi. Astrosit
mengatur ekspresi beberapa filamen intermedia dan elemen
sitoskeleton yang berhubungan dengan pembentukan fibrous selama
proses penuaan. Proses-proses tersebut menyebabkan terjadinya
gangguan dalam penurunan pengambilan glutamat, sehingga
meningkatkan terjadinya toksisitas. Contohnya pada kasus demensia
alzheimer, terjadi peningkatan ekspresi inflamasi oleh mikroglia,
yang secara khusus terjadi di area thalamus, temporal, cortex
entrorhinal (hippocampus), dan prefrontal cortex. Cortex
entrorhinal dan prefrontal cortex terlibat dalam proses belajar,
memori, dan proses kognitif yang lain (Fenn et al., 2014).
Hiperaktifitas mikroglia memiliki implikasi serius terhadap
komunikasi sistem imun dan otak. Selain terjadi propagasi sinyal
inflamasi dari sistem imun perifer ke otak, juga terjadi propagasi
umpan balik dari otak ke sitem imun perifer. Peningkatan ekspresi
dari mikroglia akan meningkatkan pelepasan IL-1β dan IL-1β akan
mengaktifkan HPA axis. Stimulasi HPA axis akan menyebabkan
pelepasan steroid endogen, yaitu kortisol. Hal ini akan memicu
terjadinya umpan balik negatif yang menghambat aktifasi sitem
imun bawaan dan meningkatkan respon imun adaftif. Tetapi, pada
otak yang menua terjadi ekspresi IL-1β yang terus menerus dalam
jangka waktu lama, yang secara kronis akan meningkatkan aktifitas
HPA axis. Hal ini akan menyebabkan penumpukan kadar kortisol,
terutama di area hippocampus. Peningkatan ini akan menyebabkan
terjadinya depresi dan gangguan kognitif (Fenn et al., 2004).

41
Gambar 2.10 Perubahan morfologis dan fungsional yang terjadi
pada sel-sel sistem saraf pusat saat penuaan (Fenn et al., 2014).

Respon inflamasi lokal di parenkim otak dikaitkan dengan


patogenesis sejumlah gangguan neurologis termasuk penyakit
Alzheimer dan penyakit Parkinson. Pada situs lesi ini, pelepasan
mikroglia diaktifkan melalui mediator inflamasi seperti TNF dan
PGE2. Telah diketahui pula bahwa PGE2 merupakan mediator
penting dari inflamasi. Studi in vitro menunjukkan bahwa sekresi
PGE2 dari pasien depresi meningkat (Liu dan Hong, 2003).
Sebaliknya, berbagai jenis antidepresan telah terbukti
menghambat sekresi sitokin proinflamasi dan mengurangi sintesis
PGE2. Sitokin proinflamasi meningkatkan bentuk induksi dari
siklooksigenase (COX2) di otak, sehingga diharapkan inhibitor
COX2 tidak hanya akan melemahkan perubahan inflamasi pusat
tetapi juga mengerahkan efek anti-depresan. Contohnya pada
pemberian celecoxib, bila diberikan untuk sekelompok besar pasien
yang menderita osteoarthritis, diketahui mengurangi gejala dari
mereka yang menderita depresi komorbiditas; 15% dari pasien
mengalami depresi pada awal penelitian, yang turun menjadi 3%

42
pada akhir periode pengobatan (Collantes-Esterez dan Fernandez-
Perrez, 2003).
Pemberian celecoxib menunjukkan hasil positif terhadap fungsi
kognitif pada pasien depresi, Celecoxib juga telah terbukti memiliki
efek menguntungkan sebagai komponen tambahan untuk clozapine
dalam pengobatan skizofrenia pada pasien yang hanya sebagian
merespon obat antipsikotik (Muller et al., 2004). Penurunan kadar
noradrenergik dan serotonergik menjadi penyebab perubahan
suasana hati, motivasi, dan perubahan kognitif yang berhubungan
dengan inflamasi otak. Selain itu, PGE2 telah terbukti mengurangi
pelepasan noradrenalin dari pusat neuron noradrenergik, efek yang
diblokir oleh inhibitor COX2. PGE2 diperikirakan menjadi salah
satu mediator inflamasi yang paling ampuh dalam hal inisiasi dan
propagasi peradangan di dalam otak. Mikroglia bertindak sebagai
makrofag di otak. Pada fase aktivasi, mikroglia melepaskan sitokin
proinflamasi, PGE2, dan metabolit neurotoksik. Bukti eksperimental
terbaru menunjukkan bahwa lipopolisakarida (LPS), penggerak
aktivitas makrofag dan penyebab radang otak, menyebabkan
mitokondria PGE2-sintase dan aktivitas COX2 di mikroglia
diaktifkan, sehingga meningkatkan sintesis PGE2 pada lokasi
inflamasi di otak (Ikeda-Matsuo et al., 2005).
Mekanisme ini mungkin dapat menjelaskan perubahan inflamasi
pada pasien dengan depresi atau demensia; perubahan yang
berkontribusi terhadap degenerasi neuron (neurodegenerasi). Nitrat
oksida (NO) juga dapat bertindak sebagai mediator inflamasi yang
memberikan kontribusi pada neurodegenerasi. Nitrat oksida (NO)
diproduksi oleh kedua bentuk konstitutif dan diinduksi NO sintase
(NOS) yang berkaitan dengan neuron dan mikroglia (Ikeda-Matsuo
et al., 2005).

43
Gambar 2.11 Hubungan serta jalur stres, neurodegenerasi dan
depresi.(Leonard B dan Myint A, 2006)

f. Peran metabolik neurotoksik pada jalur triptofan terhadap


neurodegenerasi
Menipisnya kadar triptofan akibat pola diet menyebabkan
penurunan serotonin di otak yang berhubungan dengan timbulnya
suasana hati depresif (Young et al., 1985). Triptofan dimetabolisme
melalui dua jalur utama, yaitu dengan triptofan-hidroksilase yang
mengarah ke sintesis serotonin di otak dan oleh indoleamin 2,3-
dioksigenase (IDO) dan triptofan 2,3-dioksigenase (KPP) yang
mengakibatkan pembentukan kynurenine.
Myrint dan Kim (2003) menjelaskan bahwa pada depresi,
metabolisme triptofan oleh IDO dan KPP meningkat sehingga
mengurangi ketersediaan asam amino untuk sintesis serotonin.
Enzim KPP terletak di hati, sementara IDO ditemukan di paru-paru,
plasenta, darah dan otak Aktivitas TDO meningkat searah dengan

44
aktivitas triptofan dan kortisol. Sebagai contoh pada
hiperkortisolemia yang sering terjadi pada depresi dan demensia,
KPP terlalu aktif pada pasien dengan gangguan ini. Sebaliknya,
aktivitas IDO meningkat oleh sitokin proinflamasi seperti IL-6 dan
IFNg, dan dihambat oleh sitokin antiinflamasi seperti IL-4.
Aktivitas KPP dan IDO kemungkinan akan meningkat pada
depresi dan demensia sebagai konsekuensi dari kenaikan kortisol dan
sitokin proinflamasi dalam sirkulasi. Ada dua tahap utama dalam
metabolisme triptofan melalui enzim dioxygenase. Setelah konversi
triptofan menjadi kynurenine oleh IDO atau KPP, kynurenine
dimetabolisme oleh kynurenine- hidroksilase menjadi metabolit
neurotoksik 3-hydroxykynurenine, asam 3-hidroksi- anthranilic , dan
asam quinolinic. Ketiga hasil enzimatis ini memicu aktivitas
mikroglia lebih lanjut di otak, sehingga dapat disimpulkan bahwa
metabolisme triptofan dan aktivasi mikroglia sangat berhubungan
terkait dengan neurodegenerasi (Myrint dan Kim, 2003).

Gambar 2.12 Jalur neuordegenerasi melalui aktivitas metabolisme


triptofan (Leonard B dan Myint A, 2006)

45
Gambar 2.13 Hubungan antara depresi dan demensia (Leonard B
dan Myint A, 2006)

g. Peran kelainan vaskuler dan sistem kolinergik


Faktor risiko vaskuler (hipertensi, hiperlipidemia, diabetes)
dan faktor kebiasaan (obesitas dan aktifitas fisik yang kurang)
berhubungan dengan terjadinya penurunan fungsi kognitif.
Beberapa mekanisme patogenik, seperti dementia Alzheimer,
atherosklerosis, penuaan, deposisi amyloid, dan hipertensi
menyebabkan penurunan kognisi melalui jalur inflamasi dan stres
oksidatif di dalam pembuluh darah. Hal-hal tersebut memicu
terjadinya disfungsi serebrovaskuler dan perubahan sawar darah
otak, yang kemudian akan mengubah kondisi lingkungan mikro di
dalam otak dan meningkatkan risiko area kognitif mengalami
iskemi dan hipoksia (Jellinger, 2013; John et al., 2003).
Penyakit serebrovaskuler adalah penyebab kedua tersering
dari defisit kognitif. Faktor patogenik yang penting juga adalah

46
destruksi sel-sel otak (Jellinger, 2013; John et al., 2003). Pada
kelainan-kelainan vaskuler di otak terlihat juga adanya defisit
kolinergik yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif. Defisit
kolinergik memicu terjadinya jalur inflamasi, melalui peningkatan
pelepasan sitokin dan peningkatan respon stres oksidatif (Wang et
al., 2009).

Gambar 2.14 Faktor-faktor patogenik yang memicu terjadinya


penurunan fungsi kognitif (Jellinger, 2013).

Gambar 2.15 Defisit kognitif karena defisit kolinergik beserta


penanganannya
47
E. Pemeriksaan Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori,
pemecahan masalah, pengambilan sikap, integrasi belajar, dan proses
komprehensif. Alat ukur atau metode pemeriksaan fungsi kognitif dapat
dilakukan dengan tanya jawab, kuesioner, atau peragaan.
Tujuan pemeriksaan kognitif:
1. Membantu menegakkan diagnosis,
2. Sebagai acuan untuk menyusun program terapi serta pelaksanaannya,
3. Sebagai alat evaluasi,
4. Sebagai data/ informasi yang dapat digunakan oleh pihak lain yang
berkepentingan.
Pemeriksaan dimulai dari yang bersifat umum, sederhana, serta mudah
diaplikasikan. Apabila hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan batasan normal,
baru ditingkatkan ke pemeriksaan yang lebih khusus dan kompleks
(Pudjiastuti dan Utomo, 2003).
Bentuk pemeriksaan fungsi kognitif yang umum digunakan, antara lain
status mini mental (MMSE atau Mini Mental State Examination), tes memori
visual, tes memori segera, tes memori pendek, tes memori panjang, orientasi,
dan tes atensi (Lumbantobing, 2000; Pudjiastuti dan Utomo, 2003).
1. Status Mini Mental (MMSE)
MMSE adalah pemeriksaan status mental singkat (waktu pengerjaan
5-10 menit) dan mudah diaplikasi (dapat dilaksanakan oleh semua profesi
kesehatan atau tenaga terlatih). Pemeriksaan ini juga digunakan sebagai
skrining demensia. MMSE digunakan untuk mengetahui fungsi kognitif
berupa orientasi, atensi, registrasi, kalkulasi, memori, dan bahasa.
Interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh saat pemeriksaan,
yaitu:
a. Skor 24-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal,
b. Skor 17-23 berarti kemungkinan gangguan kognitif,
c. Skor 0-15 berarti gangguan kognitif definitive.

48
2. Tes Memori Visual
Penilaian memori visual berguna untuk evaluasi memori pasien
dengan afasia dan pasien dengan kemampuan verbal yang kurang atau
dengan pendidikan kurang. Cara melakukan tes ialah pemeriksa
menggunakan 5 objek kecil yang dapat disembunyikan. Objek tersebut
disimpan di sekitar pasien. Saat disembunyikan, pemeriksa menyebutkan
nama objek sehingga pasien mengetahui apa dan dimana objek tersebut.
Setelah itu, pasien diberikan tugas lain untuk mengalihkan perhatiannya.
Setelah 5 menit berlalu, pasien ditanya kembali objek apa yang
disembunyikan dan dimana lokasinya.
3. Tes Memori Segera
Kemampuan memori segera biasanya dilakukan dengan tes
pengulangan angka yang disebutkan oleh pemeriksaan. Skor pada memori
pendek adalah orang dengan inteligensi rata-rata dapat dengan akurat
mengulangi 5 sampai 7 angka tanpa kesulitan.
4. Tes Memori Baru atau Pendek
Tes memori baru mencakup memori verbal dan memori visual. Tes ini
menilai kemampuan pasien mempelajari perubahan yang terjadi secara
kontinu. Pemeriksaan memori verbal dengan menilai memori baru tentang
orientasi, menilai kemampuan mempelajari hal baru dan tes memori 4 kata
yang tidak berhubungan. Orientasi berupa waktu, tempat, dan individu.
5. Tes Memori Panjang
Tes ini dapat menggunakan informasi pribadi, pengetahuan umum,
dan sejarah. Data pribadi pasien yang digunakan sebagai pertanyaan tes
dapat berupa kejadian atau hal-hal lain yang terjadi pada waktu lalu atau
masa kecil, serta membutuhkan verifikasi dari orang lain yang
mengetahuinya. Pengetahuan umum dan sejarah dipengaruhi oleh tingkat
edukasi, pengalaman sosial, dan inteligensi.

49
6. Orientasi
Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar
dengan pengalaman lampau. Aspek yang dinilai adalah orientasi orang,
tempat, waktu, dan suasana. Orientasi pasien yang terganggu mungkin
merupakan petunjuk bahwa memori jangka pendeknya tergangu.
7. Tes Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada
masalah yang dihadapi. Sedangkan, konsentrasi merupakan kemampuan
untuk mempertahankan fokus tersebut. Atensi pasien dapat dinilai dengan
tes mengulangi angka dan tes mengetukkan jari untuk angka atau huruf
tertentu. Skor penilaian: orang dewasa normal dapat mengulangi 6 hingga
7 angka.
Menurut Maharatih et al. (2010), terdapat skala pengukuran selain
MMSE yang digunakan untuk menentukan gangguan kognitif, yaitu:
1. Information Memory Concentration Test (IMCT)
IMCT menurut McDowell (2006) merupakan skala yang mengukur
orientasi, memori pendek dan panjang, dan konsentrasi untuk menentukan
demensia dan tingkat keparahannya. Interpretasi hasilnya adalah sebagai
berikut:
a. Skor 0-8: normal atau kerusakan minimal
b. Skor 9-19: kerusakan sedang
c. Skor 20-37: kerusakan berat
2. Global Deterioration Scale (GDS)
GDS disebut juga dengan skala Reisberg, digunakan untuk mengukur
progresi dari demensia Alzheimer. Skala ini membagi Alzheimer menjadi
7 tingkat kemampuan (Reisberg, 1982):
a. Tingkat 1: Tidak ditemukan kemunduran kognitif
Tidak ditemukan kesusahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
b. Tingkat 2: Kemunduran kognitif sangat ringan

50
Adanya kelupaan terhadap nama dan lokasi benda, kesulitan dalam
memilih kata-kata.
c. Tingkat 3: Kemunduran kognitif ringan
Kesulitan dalam berpergian ke lokasi yang baru, kesulitan dalam
menangani masalah dalam pekerjaan.
d. Tingkat 4: Kemunduran kognitif sedang
Kesulitan dalam melakukan tugas yang kompleks, seperti finansial,
belanja, atau merencanakan acara.
e. Tingkat 5: Kemunduran kognitif sedang agak berat
Membutuhkan bantuan untuk memilih pakaian, memerlukan dorongan
untuk mandi.
f. Tingkat 6: Kemunduran kognitif berat
Kehilangan kewaspadaan terhadap kejadian baru saja, membutuhkan
bantuan untuk mandi atau takut untuk mandi, berkurangnya
kemampuan untuk menggunakan toilet atau adanya inkontinensia.
g. Tingkat 7: Kemunduran kognitif sangat berat
Pembendaharaan kata menjadi terbatas hingga kata-kata tunggal,
kehilangan kemampuan untuk berjalan dan duduk, membutuhkan
bantuan untuk makan.
3. Brief Cognitive Rating Scale (BCRS)
BCRS digunakan untuk menentukan tingkatan demensia Alzheimer.
Penilaian dilakukan dalam 5 bidang atau aksis: Aksis 1 menilai konsentrasi
dan antensi, aksis 2 menilai gangguan memori pendek, aksis 3 menilai
gangguan memori panjang, aksis 4 menilai orientasi, dan aksis 5 menilai
perawatan diri secara fungsional. Jumlah skor total yang didapat, dibagi 5.
Interpretasi hasil berupa gangguan dibagi menjadi 7 tingkatan, sama
dengan GDS.

51
4. Functional Assessment and Staging Tool (FAST)
Menurut Reisberg (1984) FAST digunakan untuk mengevaluasi status
fungsional dan tingkat keparahan demensia. Dibagi menjadi 7 tingkatan,
yaitu:
a. Tingkat 1: dewasa normal tanpa gangguan kognitif,
b. Tingkat 2: dewasa tua normal dengan gangguan memori yang sangat
ringan,
c. Tingkat 3: demensia awal, gangguan memori mulai tampak pada
lingkungan kerja dan keluarga,
d. Tingkat 4: demensia ringan, gangguan memori lebih banyak dan
mengalami beberapa kesulitan dalam hal finansial menghitung uang,
dan berpergian ke lokasi baru,
e. Tingkat 5: demensia sedang, mulai membutuhkan bantuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari, seperti memilih baju. Tetapi, belum
membutuhkan bantuan untuk makan atau membersihkan diri. Penderita
mungkin tidak mengetahui tanggal, tetapi masih mengenali keluarga
dan teman-temannya,
f. Tingkat 6: demensia sedang agak berat. Penderita mulai melupakan
nama keluarga dan teman-temannya, membutuhkan bantuan lebih
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penderita dapat mengalami
delusi, halusinasi, atau obsesi, serta lebih merasakan kecemasan dan
dapat menjadi lebih kasar. Jam tidur penderita pada tingkatan ini mulai
terganggu, yaitu tidur di siang hari dan bangun di malam hari,
g. Tingkat 7: demensia berat
Pembicaraan penderita pada tingkatan ini banyak berkurang.
Kemampuan dalam mengendalikan buang air kecil dan besar
menghilang. Kemampuan berjalan menghilang. Penderita lebih sering
berada di kasur dan bisa meninggal akibat infeksi, seperti sepsis atau
pneumonia.

52
F. Penatalaksanaan Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia
Pendekatan terapi secara umum bertujuan untuk memberikan perawatan
medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta
terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang
merugikan (Sadock dan Sadock, 2012).
1. Terapi psikofarmakologi
a. Inhibitor cholinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan
inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana
penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk
mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat
memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung.
Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan
memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan
penderita Alzheimer (Sadock dan Sadock, 2012).
b. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer
didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym
yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini
disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian
thiamin hydrochlrorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan
peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi
dibandingkan plasebo selama periode yang sama (Sadock dan
Sadock, 2012).
c. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat
disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin
(catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis

53
dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan
hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
(Sadock dan Sadock, 2012).
d. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam
miktokondria dengan bantuan enzim ALC transferase. Penelitian ini
menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil
kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-2
gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan
bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan
fungsi kognitif (Sadock dan Sadock, 2012).

2. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada
pasien dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung
pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori
jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien
biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka
menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit
yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring
perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin
sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai
dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang
berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang (Sadock dan Sadock, 2012).
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif
dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat
alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan
dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan
disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak

54
fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien
mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu
pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan
fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien
untuk menemukan cara berdamai dengan defek fungsi ego, seperti
menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat
jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat
catatan untuk masalah-masalah daya ingat (Sadock dan Sadock, 2012).
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat
sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan
perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia
merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya (Sadock dan Sadock,
2012).

55
BAB III
KESIMPULAN

1. Saat ini di seluruh dunia jumlah lanjut usia di perkirakan mencapai 500
juta dan di perkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar.
Sedangkan di Indonesia 7% penduduknya merupakan lansia dan akan terus
meningkat mencapai 11.34% di tahun 2020.
2. Pertambahan jumlah lansia tentunya akan meningkatkan pula angka
kejadian penyakit yang sering diderita lansia terutama penyakit- penyakit
degenerative. Salah satu masalah utama para lanjut usia adalah
kemunduran fungsi kognitif. Kemunduran fungsi kognitif tersebut
selanjutnya mempengaruhi pola interaksi mereka dengan lingkungan
tempat tinggal, dengan anggota keluarga lain, juga pola aktivitas sosialnya,
sehingga akan menambah beban keluarga, lingkungan dan masyarakat
3. Psikoneuroimunologi berasal dari perpaduan ketiga ilmu yang telah
memiliki paradigma sendiri, yaitu psikologi, neurologi, dan imunologi,
sehingga psikoneuroimunologi dipahami sebagai ilmu yang mengkaji
interaksi antara sistem imun, sistem saraf, dan psikis.
4. Proses kerja psikoneuroimunologi terjadi melalui aksis hypothalamo-
pituitary-adrenal (HPA-axis) dan jalur automic nerve system (ANS).
5. Mekanisme terjadinya proses lupa pada lansia menurut
psikoneuroimunologi dapat disebabkan karena adanya perubahan aktivitas
HPA-axis, peran stress, terkait proses neuroinflamasi, dan terkait depresi
melalui HPA-axis, peran mikroglia terhadap inflamasi otak, peran
metabolik neurotoksik pada jalur triptofan terhadap neurodegenerasi, dan
peran kelainan vascular dan system kolinergik.
6. Penanganan gangguan kognitif pada lansia dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu dengan psikofarmaka dan psikososial.

56
DAFTAR PUSTAKA

Ader R (2000). On the development of psychoimmunoneurology. Eur Journal of


Pharmacol, 405

Agus AD (2013) Perbedaan successful aging pada lansia ditinjau dari jenis
kelamin. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Azizah (2013). Pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kecemasan lansia yang


tinggal di balai rehabilitasi sosial “mandiri” pucang gading semarang.
Jurnal Keperawatan Jiwa, 1(1):88-97

Ballard, C., Aarsland, D., Francis, P., et al. (2013). Neuropsychiatric symptoms in
patients with dementias associated with cortical Lewy bodies:
pathophysiology, clinical features, and pharmacological management.
Drugs Aging 2013. 30(8): 603-611, 23681401

BPS (2009) Statistik Indonesia 2009. Jakarta.

Cigolle CT, Langa KM, Kabeto MU, Tian Z, Blaum CS (2007) Geriatric
conditions and disability: the health and retirement study. American College
of Physicians.147(3):156-164

Cohen N, Kinney KS (2001). Exploring the phylogenetic history of neural-


immune system interaction. In psychoneuroimmunology 3rd ed, edited by
Robert Ader, David LF, Nicholas Cohen, volume 1, pp: 21-54

Crowe M, Andel R, Pedersen NL, Gatz M (2007).Do work-related stress and


reactivity to stress predict dementia more than 30 years later? Alzheimer Dis
Assoc Disord. Jul-Sep; 21(3):205-9.

Darmojo (2010). Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Devinsky dan D‟Esposito. (2004). Neurology of Cognitive and Behavioral


Disorders. New York: Oxford University Press.

Dewi SR (2014). Buku Ajar Keperawaratan Gerontik. Yogyakarta: Deepublish. p:


4-8.
Dini AA (2013). Sindrom geriatri (imobilitas, instabilitas, gangguan intelektual,
inkontinensia, infeksi, malnutrisi, gangguan pendengaran). Medula.
1(3):117-125.

Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002).


Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. P: 46-
67

Dorland WA (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: Penerbit


EGC

Ellis HC, Hunt, RR (1993). Fundamental of cognitive psychology. 5th ed.United


States: Wm. C. Brown Communications, Inc.

Fatmah (2010). Gizi Usia Lanjut. Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama.

Fenn AM, Corona AW, Godbout JP (2014). Aging and the Immune System. The
Wiley-Blackwell Handbook of Psychoneuroimmunology. First Edition.
Edited by Alexander W. Kusnecov and Hymie Anisman. John Wiley &
Sons, Ltd.

Fernandez-Funez, P., Lorena de Mena, Rincon-Limas, D. E (2015). Modeling the


complex pathology of Alzheimer's disease in Drosophila. Experimental
Neurology Journal 2015. S0014-4886(15)00169-7

Goldman HH (2000). Review of general psychiatry: an introduction to clinical


medicine. 5th ed. Singapore: McGraw-Hill.

Health in aging foundation (2012). A guide to geriatric syndromes: common and


often related medical conditions in older adults. Amerika: The official
foundation of The american geriatrics society

Hunter RL, Cheng B, Choi DY, et al (2009). Intrastriatal lipopolysac-charide


injection induces parkinsonism in C57/B6 mice. J Neuro-sci Res,
87:1913– 1921.

Jellinger KA (2013). Pathology and pathogenesis vascular cognitive impairment –


a critical update. Front. Aging Neuroscience, 5:17-22.

Kamijo, K., Hayashi, Y., Sakai, T., Yahiro, T., Tanaka, K., and Nishihira, Y.
(2009). Acute Effects of Aerobic Exercise on Cognitive Function in Older
Adults. The Journal of Gerontology, 2009; 356.

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B (2008). Essentials of clinical
geriatris. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.

Komisi Nasional Lanjut Usia (2010). Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta:
Komnas Lansia
Kusumoputro S, Sidiarto L (2001). Otak menua dan Alzhemier stadium ringan.
Neurona. 18(3): 4-8.

Li G, Cherrier MM, Tsu ang DW, et al (2006). Salivary cortisol and memory
function in human aging. Neurobiol Aging, 27:1705 –1714

Lumbantobing SM (2006). Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia. Edisi 4.


Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Maharatih, Nuhriawangsa, Sudiyanto (2009). Psikiatri Komprehensif. Jakarta:


Penerbit EGC

Maramis W dan Maramis A (2009). Catatan ilmu kedokteran jiwa edisi 2.


Surabaya: Airlangga University Press, pp: 285-306.

Marchira CR, Wirasto RT, Sumarni DW (2007). Pengaruh faktor-faktor


psikososial dan insomnia terhadap depresi pada lansia di kota Yogyakarta.
Berita Kedokteran Masyarakat, 23 (1): 1-5.

Maryam SR, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I (2008). Mengenal


Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika. p: 32

McDowell I (2006). Measuring health: A guide to rating scales and


questionnaires 3rd Ed. New York: Oxford University Press.

Nasution Z (2013). Pengaruh pengetahuan, sikap, dukungan keluarga dan kader


terhadap pemanfaatan posyandu lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas
Bandar Dolok, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang.
Medan: Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Ong, FS, Lu YY, Abessi M., and Philips DR (2008). The Correlates of Cognitive
Ageing and Adoption of Defensive-Ageing Strategies among Older Adults.
Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics Vol. 21 No. 2

Ownby RL (2010). Neuroinflammation and Cognitive Aging. Curr Psychiatry


Rep, 12:39-45

Papalia DE, Olds SW, and Feldman RD (2005). Human Development. 10th ed.
New York: McGraw-Hill.

Petersen RC, Smith MD, Kokmen E, Ivnik RJ, Tangalos EG (1992). Memory
Function In Normal Aging. Neurology. 42: 396-401. In: Berkala
NeuroSains Vol. 1 No. 1. pp. 11-15.

Pudjiastuti SS dan Utomo B (2003). Fisioterapi pada lansia. Jakarta: EGC.


Reichenberg A, Yirmiya R, Schuld A, et al (2001). Cytokine-associated emotional
and cognitive disturbances in humans. Arch Gen Psychiatry, 58:445 –
452

Reisberg B (1984). Functional assessment staging (FAST). Psychopharmacology


Bulletin, 24:653-659.

Reisberg B, Ferris S, de Leon MJ, Crook T (1982). Modified from global


deterioration scale. American Journal of Psychiatry, 139:1136-1139.

Riddle DR, and Schindler MK (2008). Brain Aging Research. Reviews in Clinical
Gerontology 2007 17; 225–239.

Riyanti (2012). Psikologi Umum 1. Jakarta: Universitas Gunadarma

Sadock, B. J. dan Sadock, V. A. (2012). Kaplan & Sadock‟s Concise Textbook of


Clinical Psychiatry, 2th Ed. Profitasari dan Tiara M. N. (alih bahasa).
Husny M. dan Retna N. E. S. (ed). Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis, Ed. 2. Jakarta: EGC.

Saladin K (2007). Anatomy and physiology the unity of form and function. 4th ed.
New York: McGraw-Hill Companies inc:513-561.

Sari NN (2011). Pengaruh dukungan sosial terhadap depresi pada lansia.


Repository USU
Salonen, Jaakko (2013). Hearing impairement and tinnitus in the elderly. Turku :
Universitas of Turku.

Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam.


Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia

Sidiarto dan Kusumoputro (2003). Memori Anda Setelah Usia 50 Tahun. Jakarta:
Penerbut UI

Simoncini C, Orsucci, D, Caldarazzo IE, et al. (2015). Alzheimer's Pathogenesis


and Its Link to the Mitochondrion. Oxidative Medicine and Cellular
Longevity. Id: 803942

Sinurat D (2003). Gambaran konsumsi serat serta kaitannya dengan penyakit dan
konstipasi pada lansia di Panti Tresna Werdha Abdi, Desa Cengkeh Turi,
Kecamatan Binjai Utara, Kotamadya Binjai tahun 2003. Medan:
Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Snell (2006). Neuronatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Penerbit
EGC

Sohat F, Bidjuni H, Kallo V (2014). Hubungan tingkat kecemasan dengan


insomnia pada lansia di balai penyantunan lanjut usia senja cerah paniki
kecamatan mapanget manado. Jurnal Keperawatan, 2 (2)

Solomon GF, Moos RH (1964). Emotions, immunity, and disease. A speculative


theoretical integration. Arch Gen Psychiatry 11:657-674.

Strub, R. L., Black, W (1992). Neurobehavioral disorders, A clinical approach.


Philadelphia: F.A.Davis Company.

Sumardika IW, Diniari NK (2013). Penanganan depresi pada pasien lansia dengan
penyakit kardiovaskular. E- Jurnal Medika Udayana, 1-12

Utomo B. Analisis faktor-faktor isolasi sosial pada lansia di Panti Werdha Wisma
Mulia Jakarta Barat. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

Vermeiren, Y, Van Dam D, Tony Aerts T ,et al. (2015). The monoaminergic
footprint of depression and psychosis in dementia with Lewy bodies
compared to Alzheimer‟s disease. Alzheimer's Research & Therapy 2015.
7:7

Wang J, Zhang H, Tang X (2009). Chollinergic deficiency involved in vascular


dementia : possible mechanisme and strategy treatment. Acta Pharmalogica
Sinica, 30: 879-888

Waxmann (2007). The Limbic System. In : Clinical Neuroanatomy. New York:


The Mac Graw Hill Companies

Wingenfield K, Wolf OT (2011). HPA Axis Alterations in Mental Disorders:


Impact on Memory and its Relevance for Therapeutic Interventions. CNS
Neuroscience and Therapeutics, 17: 714-22

Witjaksana, Roan (2010). Delirium dan Demensia. Online : http://www.Idijakbar.


com/prosiding/delirium.htm. 9 Juni 2015.

Wiyoto (2002). Gangguan fungsi kognitif pada stroke. Dalam : Pendidikan


Kedokteran Berkelanjutan. Surabaya: Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK
Unair.

Wolf OT (2003). HPA axis and memory. Best Practice and Research clinical
endocrinology and metabolism, 17(2): 287-99
Wreksoatmodjo (2014). Beberapa kondisi fisik dan penyakit yang merupakan
faktor risiko gangguan fungsi kognitif. CDK-212. 41: 1.

WHO (2002). Active Ageing: a policy framework. Geneva : WHO.

Anda mungkin juga menyukai