NORHASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga
Sosial Masyarakat di Banjarmasin” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Norhasanah
NRP I151120021
RINGKASAN
Penduduk lansia Tahun 2010 mencapai 23.9 juta (9.8%) dan perkiraan pada
tahun 2020 mencapai 28.8 juta (11.34%) (Depsos 2007). Menurut data statistik
Indonesia tahun 2013 angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan
perempuan) naik dari 67.8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73.6 tahun pada
periode 2020-2025. Semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk,
menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Proyeksi angka harapan hidup di Kalimantan Selatan pada periode 2010-2015 adalah
69.2 tahun dan pada periode 2020-2025 di proyeksikan meningkat menjadi 72.1
tahun (BPS 2013). Pada kenyataannya, jika dilihat dari jumlah penyandang masalah
kesejahteraan sosial pada kelompok lansia terlantar di Kalimantan Selatan pada tahun
2010 sebesar 18 815 lansia dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi 30
291 lansia. Di Banjarmasin angka tersebut juga mengalami peningkatan dari 380
lansia pada tahun 2010 menjadi 458 lansia pada tahun 2011 (BPS Kalsel 2011).
Meningkatnya jumlah lansia, menuntut perhatian yang juga semakin besar terhadap
kelompok ini, salah satunya terkait dengan masalah gizi. Peran dan fungsi dari
lembaga masyarakat atau swasta yang perduli terhadap lansia sangat diperlukan, agar
secara bersama-sama dapat membantu pemerintah menangani masalah kesejahteraan
sosial yang akan berdampak pada peningkatan gizi dan kesehatan lansia. Menurut
Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial
bagi kesehatan populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan
baik secara fisik maupun mental, dengan keadaan gizi yang baik diharapkan para
lansia akan tetap sehat, segar dan bersemangat dalam berkarya. Selain itu, usia
produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan dalam
pembangunan (Fatmah 2010).
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM) di Banjarmasin. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1)
mengidentifikasi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan,
aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada Panti Sosial
Tresna Werha (PSTW) dan Karang Lansia Sejahtera (KL); 2) menganalisis perbedaan
antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas
fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada PSTW dan KL; 3)
menganalisis pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik terhadap status gizi lansia
pada PSTW dan KL.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan lokasi penelitian
yaitu di Panti Sosial Tresna Werda Budi Sejahtera (PSTW) dan LSM Karang Lansia
Sejahtera (KL) di Banjarmasin. Total contoh sebanyak 60 lansia dari total populasi
sebanyak 117 lansia, diambil dengan teknik penarikan contoh acak berlapis dengan
alokasi proporsional. Pada PSTW diambil sebanyak 25 lansia dan pada KL sebanyak
35 lansia sebagai contoh. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur, tingkat pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan, status tempat tinggal, keinginan masuk panti, frekuensi
dijenguk oleh keluarga, kebiasaan olahraga, jenis kegiatan olahraga); data dukungan
sosial terkait dukungan emosi, instrumen, informasi, dan kepercayaan diri, termasuk
ada tidaknya upaya untuk peningkatan produktivitas; data aspek psikososial terkait
dengan tingkat depresi dan kepuasan hidup; data nafsu makan; data konsumsi pangan
(tingkat konsumsi energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral); data
aktivitas fisik; data status kesehatan (terkait dengan riwayat penyakit lansia meliputi:
jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit); data faktor genetik (umur hidup orang
tua); serta data antropometri (tinggi badan, berat badan, dan panjang depa). Data
sekunder meliputi data gambaran umum masing-masing lembaga termasuk jadwal
kegiatan lansia dimasing-masing lembaga.
Analisis data menggunakan Microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for
Windows dan SAS version 9.1 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan yaitu uji
beda Independent Sampel T-test, korelasi pearson, dan regresi linear. Tahapan analisis
multivariat dengan uji regresi linear menggunakan metode forward yaitu: 1) seluruh
variabel yang memiliki tingkat kemaknaan p<0.25 masuk kedalam pemodelan
analisis regresi sebagai variabel kandidat 2) variabel yang memiliki tingkat
kemaknaan p<0.05 merupakan variabel dominan yang berpengaruh terhadap variabel
dependen.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Lansia di PSTW lebih baik dalam hal
konsumsi sedangkan lansia di KL lebih baik dalam hal aspek psikologis (depresi dan
kepuasan hidup). Dukungan harga diri lebih banyak didapatkan oleh lansia di KL
dibandingkan PSTW, namun dukungan instrumen dan dukungan informasi lebih
banyak didapatkan oleh lansia di PSTW dibandingkan KL. Mengenai status gizi
lansia yang termasuk kategori lebih dari normal, lebih banyak dialami oleh lansia di
PSTW dibandingkan KL dan untuk status gizi yang kurang dari normal lebih banyak
dialami lansia di KL dibandingkan PSTW. Terkait aktivitas fisik yang termasuk
kategori ringan lebih banyak terdapat pada lansia di PSTW dibandingkan KL.
Terdapat hubungan antara dukungan emosi, dukungan penghargaan diri, nafsu
makan, tingkat kecukupan karbohidrat dan status kesehatan dengan status gizi lansia
berdasarkan hasil uji korelasi Pearson. Berdasarkan hasil uji regresi variabel dominan
yang berpengaruh terhadap status gizi yaitu tipe lembaga, dukungan emosi, nafsu
makan, dan tingkat kecukupan karbohidrat.
Kata kunci: lansia, LSM, status gizi, status kesehatan, panti sosial
SUMMARY
Elderly population in 2010 reached 23.9 million people (9.8%) and estimated in
2020 will stretch to 28.8 million (11.34%) (Depsos 2007). According to statistical
data of Indonesia in 2013 the life expectancy of the Indonesian population (men and
women) rose from 67.8 years old in the period 2000-2005 to 73.6 years old in the
period of 2020-2025. The increasing life expectancy of the population causing the
number of elderly people is increasing from year to year. Projected life expectancy in
South Kalimantan in the period of 2010-2015 is 69.2 years old and in the period of
2020-2025 is projected to increase to 72.1 years old (BPS 2013). In fact, judging
from the number of social welfare issues in a group of abandoned elderly in South
Kalimantan in 2010 range from 18 815 elderly and increased in 2011 to 30 291
elderly. In Banjarmasin these numbers also increased from 380 elderly people in 2010
to 458 elderly in 2011 (BPS Kalsel 2011). The increasing number of elderly, which
also requires greater attention to these groups, one of which related to nutritional
problems. The role and function of NGO that care for the elderly is necessary, so that
together could help the government deal with social welfare issues that will have an
impact on improving the nutrition and health of the elderly. Nutrients deficiency pose
a potential threat to the health of the elderly population (Sharkey et al. 2002).
Increasing age raises some changes both physically and mentally, with good
nutritional status of the elderly is expected to remain healthy, fresh and passionate in
the work. In addition, productive age can be improved so that they are still actively
involved in the development (Fatmah, 2010).
The main objective of this study was to analyze of factors affecting nutritional
status and health status of elderly at State Nursing Home and Non-Governmental
Organization (NGO) in Banjarmasin. Specifically, it was aimed to: 1) identify social
support, psychosocial aspects, appetite, food intake, physical activity, health status,
genetic factors and nutritional status of the elderly in State Nursing Home Budi
Sejahter (PSTW) and NGO Karang Lansia Sejahtera (KL); 2) analyze the differences
between social support, psychosocial aspects, appetite, food intake, physical activity,
health status, genetic factors and nutritional status of the elderly in PSTW and KL; 3)
analyze the effect of social support, psychosocial aspects, appetite, food intake,
physical activity, health status, genetic factors on the nutritional status of the elderly
in PSTW and KL.
This study used a cross sectional study design with study sites in State Nursing
Home Budi Sejahtera and Non-Governmental Organization Karang Lansia Sejahtera
in Banjarmasin. Total eligible subject were 60 elderly, taken by stratified random
sampling technique from total population of 117 elderly. Data collected included
primary and secondary data. Primary data includes respondent characteristic data
such as (name, age, educational level, occupation, marital status, residential status,
desire to join the institutions, the visitation frequency of family, exercise habits, types
of sports activities); data of social support related to emotional support, instrumental,
information, and self-esteem, including whether there is an effort to increase
productivity; psychosocial aspects data associated with the level of depression and
life satisfaction; appetite data; food consumption data (level of energy consumption,
protein, fat, carbohydrates, vitamins, and minerals); physical activity data; health
status data (related to the ailment history of the elderly include: the type of disease,
pain frequency, and duration of illness); data of genetic factors (parent’s lifespan); as
well as anthropometric data (height, weight, and length fathoms). Secondary data
includes data of a general overview of each institution, including the schedule of the
elderly in the respective institutions.
Data was analyzed using Microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for Windows
and SAS version 9.1 for Windows. Statistical analysis was done with different test of
Independent Samples T-test, Pearson correlation and linear regression. Stages of
multivariate analysis with linear regression using forward method, namely: 1) the
variables have a significance level of p <0.25 into modeling regression analysis as
candidate variables 2) variables with a significance level of p <0.05 is the dominant
variable affecting the dependent variable.
This study showed that the elderly in PSTW better in terms of consumption, while
the elderly in KL better in terms of the psychological aspects (depression and life
satisfaction). Self esteem support more is obtained by the elderly in KL than PSTW,
but the instrumental support and information support more is obtained by the elderly
in PSTW than KL. Regarding the nutritional status of elderly more than the normal
category, more experienced by the elderly in PSTW compared to KL, and for
nutritional status is less than normal, more experienced elderly in KL than PSTW.
Related physical activity which includes mild category more numerous in the elderly
in PSTW than KL. There is a relationship between emotional support, self support
esteem, appetite, carbohydrate adequacy and health status on nutritional status of
elderly based on the Pearson correlation test. Based on the results of the regression
test, the dominant variable affecting the nutritional status that is the type of
institution, emotional support, appetite, and the adequacy of carbohydrates.
Keywords: elderly, health status, NGO, nutritional status, state nursing home
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI
DAN KESEHATAN LANSIA PEREMPUAN PADA PANTI SOSIAL DAN
LEMBAGA SOSIAL MASYARAKAT DI BANJARMASIN
NORHASANAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Judul Tesis : Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi dan
Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial
Masyarakat di Banjarmasin
Nama : Norhasanah
NRP : I151120021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan
pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin” ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Hadi Riyadi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Dadang
Sukandar, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan banyak
masukan, saran, kritik yang membangun serta motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan baik.
2. Bapak Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji luar komisi dan ibu Dr Ir Sri
Anna Marliyati, MS selaku moderator dalam ujian tesis yang telah memberikan banyak
saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
3. Dirjen Dikti selaku penyelenggara program beasiswa pascasarjana (BPPS) atas
beasiswa yang telah diberikan kepada penulis selama dua tahun perkuliahan.
4. Orang tua ku Ibu Yurni Tasrifien, Ibu Hj. Nur Asipah dan Bapak H. Khazairin,
Kakak-kakakku Abang Romy, Abang Ijay, Kak Jijim, Kak Inuy, Kak Ipat, dan
Adikku Wiwi serta Suamiku Nur Adha Yuda terimakasih atas do’a, kasih sayang,
semangat, dukungan, motivasi, dan kesabaran yang diberikan.
5. Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera dan Ketua Lembaga Sosial
Masyarakat Karang Lansia Sejahtera beserta para staf dan para lansia yang telah
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
6. Seluruh teman kelas GMS 2012 atas kebersamaan, kekompakan, persahabatan,
motivasi, dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan studi baik pada saat
perkuliahan maupun melakukan penelitian di sekolah Pascasarjana IPB.
7. Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya
ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih
mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Norhasanah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan 3
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pikir 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Lanjut Usia 6
Dukungan Sosial 7
Tingkat Depresi 8
Kepuasan Hidup 9
Nafsu Makan 11
Konsumsi Pangan 11
Aktivitas Fisik 15
Status Kesehatan 16
Status Gizi 17
Faktor Genetik 20
3 METODE PENELITIAN 21
Desain dan Lokasi Penelitian 21
Populasi dan Contoh Penelitian 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 22
Pengolahan dan Analisis Data 23
Definisi Operasional 29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 30
Karakteristik Lansia di PSTW dan KL 31
Tingkat Depresi Lansia di PSTW dan KL 33
Kepuasan Hidup Lansia di PSTW dan KL 35
Dukungan Sosial Lansia di PSTW dan KL 38
Aktivitas Fisik Lansia di PSTW dan KL 40
Nafsu Makan Lansia di PSTW dan KL 41
Tingkat Kecukupan Energi Lansia di PSTW dan KL 41
Tingkat Kecukupan Protein Lansia di PSTW dan KL 42
Tingkat Kecukupan Lemak Lansia di PSTW dan KL 43
Tingkat Kecukupan Karbohidrat Lansia di PSTW dan KL 43
Tingkat Kecukupan Kalsium (Ca) Lansia di PSTW dan KL 44
Tingkat Kecukupan Zat Besi (Fe) Lansia di PSTW dan KL 45
Tingkat Kecukupan Vitamin A Lansia di PSTW dan KL 45
Tingkat Kecukupan Vitamin C Lansia di PSTW dan KL 46
Status Kesehatan Lansia di PSTW dan KL 46
Status Gizi Lansia di PSTW dan KL 47
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia 48
5 SIMPULAN DAN SARAN 57
Simpulan 57
Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN 64
RIWAYAT HIDUP 82
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Penduduk lansia Tahun 2010 mencapai 23.9 juta (9.8%) dan perkiraan pada
tahun 2020 mencapai 28.8 juta (11.34%) (Depsos 2007). Menurut data statistik
Indonesia tahun 2013 angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan
perempuan) naik dari 67.8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73.6 tahun pada
periode 2020-2025. Semakin meningkatnya usia harapan hidup, menyebabkan jumlah
penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Proyeksi angka harapan hidup di Kalimantan Selatan pada periode 2010-2015
adalah 69.2 tahun dan pada periode 2020-2025 di proyeksikan meningkat menjadi
72.1 tahun (BPS 2013). Pada kenyataannya, jika dilihat dari jumlah penyandang
masalah kesejahteraan sosial pada kelompok lansia terlantar di Kalimantan Selatan
pada tahun 2010 sebesar 18 815 lansia dan mengalami peningkatan pada tahun 2011
menjadi 30 291 lansia. Di Banjarmasin angka tersebut juga mengalami peningkatan
dari 380 lansia pada tahun 2010 menjadi 458 lansia pada tahun 2011 (BPS Kalsel
2011).
Meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, menuntut perhatian yang juga
semakin besar terhadap kelompok lansia, salah satunya terkait dengan masalah gizi.
Peran dan fungsi dari lembaga masyarakat atau swasta yang perduli terhadap lansia
sangat diperlukan, agar secara bersama-sama dapat membantu pemerintah menangani
masalah kesejahteraan sosial yang akan berdampak pada peningkatan gizi dan
kesehatan lansia.
Menurut Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah
ancaman potensial bagi kesehatan pada seluruh populasi lansia. Penambahan usia
menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental, dengan keadaan
gizi yang baik diharapkan para lansia akan tetap sehat, segar dan bersemangat dalam
berkarya. Melalui gizi yang baik, usia produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga
tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Fatmah 2010).
Berdasarkan kerangka pikir UNICEF terdapat dua penyebab langsung status
gizi yaitu asupan makan dan penyakit infeksi. Selain itu, hal lain yang juga
berpengaruh terhadap status gizi adalah faktor genetik dan aktivitas fisik. Selain
berpengaruh terhadap status gizi, faktor seperti asupan makan, aktivitas fisik, dan
faktor genetik juga berpengaruh terhadap status kesehatan. Asupan makan sangat
diperlukan untuk menjalankan berbagai fungsi baik di dalam tubuh terkait
metabolisme maupun di luar tubuh untuk dapat beraktivitas. Asupan energi dan zat
gizi yang sangat kurang dapat menyebabkan meningkatnya kehilangan berat badan
yang tanpa disadari (Payette 2005). Semakin tinggi aktivitas fisik, kebutuhan akan
energi dan zat gizi juga akan semakin meningkat. Konsumsi pangan yang cukup
disertai aktivitas fisik rutin akan meningkatkan status kesehatan (Romeo et al. 2010).
Konsumsi pangan berlebih, disertai aktivitas fisik kurang akan berdampak negatif
terhadap status gizi dan kesehatan.
2
Latihan fisik pada lansia penting untuk memperbaiki kondisi faali, psikologi
serta pengontrolan berat badan dan pola makannya. Aktivitas fisik rutin seperti jalan
santai, kegiatan berkebun, dan membantu pekerjaan rumah pada lansia terbukti dapat
mencegah kegagalan atau kelemahan fisik lansia terkait dengan meningkatnya
kesehatan, terhambatnya penuaan (aging) serta mempertahankan komposisi tubuh
(Petterson et al. 2009). Aktivitas fisik kurang disertai dengan IMT berlebih dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Arbab Zadeh et al. (2004) menyatakan
bahwa aktivitas fisik yang tidak aktif berhubungan dengan meningkatnya risiko
penyakit kardiovaskuler, IMT berlebih berkaitan dengan disabilitas (Groessl et al.
2004).
Pengaruh faktor genetik terhadap status kesehatan sesuai dengan teori blum
(1974) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi derajat
kesehatan seseorang adalah faktor keturunan (genetik). Status gizi dan status
kesehatan sangat ditentukan oleh kondisi yang dialami oleh lanjut usia. Status gizi
dan status kesehatan yang baik akan membawa seseorang kepada umur panjang yang
sehat dan produktif (Arisman 2009). Status kesehatan merupakan gambaran kondisi
kesehatan fisik seseorang terkait dengan jenis penyakit yang diderita, frekuensi
munculnya penyakit tersebut, dan lamanya hari sakit. Kondisi kesehatan ini erat
kaitannya dengan status gizi karena seseorang yang menderita sakit, apalagi dalam
waktu lama dan dengan frekuensi sakit yang sering cenderung mengalami penurunan
status gizi. Dampak dari status kesehatan yang baik adalah tercapainya status gizi
yang optimal. Ketika seseorang berada pada status gizi yang optimal, maka orang
tersebut tidak mudah terserang penyakit sehingga status kesehatannya juga baik.
Perubahan-perubahan pada tingkat demografi, lingkungan fisik serta sosial
dapat menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia
mengalami gejala depresi. Berdasarkan penelitian Rusilanti dkk. (2006) tingkat
depresi berkorelasi dengan dengan kondisi psikososial, dimana semakin rendah
tingkat depresi, semakin baik kondisi psikososial lansia. Harris (2004) menyatakan
bahwa depresi dapat mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan
kesejahteraan secara keseluruhan. Selain itu kondisi psikososial juga berkorelasi
dengan tingkat kepuasan hidup, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan hidup maka
semakin baik kondisi psikososial lansia. Kepuasan hidup lansia terkait dengan rasa
bahagia yang dialami lansia yang erat kaitannya dengan peran atau dukungan sosial
baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah.
Beberapa data menunjukkan bahwa usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial
Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah
normal sebanyak lebih dari 28% (Depkes 2003) di Bandung sebanyak 14.6%
(Patriasih et al. 2013). Di Yogyakarta 75% usia lanjut mempunyai kadar Hemoglobin
(Hb) kurang dari 12 g/dl (Depkes 2003). Pada Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
Karang Lansia (KL) di Banjarmasin, para lansia terlihat aktif dan produktif, mereka
tetap berkarya walaupun telah berada diusia senja. Mereka di dorong untuk dapat
mengembangkan potensi diri, mandiri, bahkan dapat membantu penghasilan keluarga.
Kegiatan yang mereka lakukan diantaranya membuat kerajinan seperti menganyam
purun menjadi tikar, tas, juga bungkus makanan. Adanya peran panti sosial atau
3
lembaga terkait dengan peningkatan produktivitas lansia lebih terlihat pada lembaga
KL dibandingkan PSTW.
Penelitian ini ingin mempelajari lebih dalam mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi lansia termasuk peran dukungan sosial dari panti atau
lembaga sosial masyarakat terutama terkait dengan peningkatan produktivitas lansia
yang berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan lansia.
Perumusan Masalah
Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia perempuan pada panti sosial dan LSM
di Banjarmasin.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia
perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia Sejahtera di
Banjarmasin.
2. Menganalisis perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan,
konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi
lansia perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia
Sejahtera di Banjarmasin.
3. Menganalisis pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan,
konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik terhadap status
gizi lansia perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia
Sejahtera di Banjarmasin.
4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu bahan kajian untuk
menambah wawasan pengetahuan terutama terkait dengan kondisi gizi dan kesehatan
lansia beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagi panti sosial atau lembaga
sosial masyarakat penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan menuju
pengelolaan kelembagaan yang lebih baik, jika terdapat kondisi yang masih belum
sesuai dan ternyata perlu diperbaiki terutama terkait dengan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan lansia. Selain itu, dapat digunakan
sebagai data dasar dalam melakukan intervensi agar dapat mencapai status gizi dan
kesehatan lansia yang lebih baik, sehingga dapat mengoptimalkan peran dan fungsi
panti sosial dan lembaga sosial masyarakat dalam penanggulangan masalah
kesejahteraan lansia yang berkaitan dengan status gizi dan kesehatan lansia.
Kerangka Pikir
Kondisi lansia erat kaitannya dengan penurunan berbagai fungsi indera seperti
menurunnya fungsi indera penciuman, indera perasa, dan juga menurunnya fungsi
gigi geligi. Kehilangan gigi menimbulkan kurangnya kenyamanan atau munculnya
rasa sakit saat mengunyah makanan. Kehilangan indera perasa dan penciuman
menyebabkan turunnya nafsu makan dan juga sensitivitas rasa manis dan asin
berkurang. Perubahan nafsu makan akan mempengaruhi pola konsumsi. Selanjutnya,
perubahan pola konsumsi ini akan mempengaruhi tingkat konsumsi lansia.
Perubahan nafsu makan juga berkaitan dengan aspek psikososial lansia yang
dapat diukur melalui tingkat depresi dan kepuasan hidup lansia. Ketika lansia merasa
puas dengan kehidupannya disertai tanpa adanya depresi maka rasa bahagia akan
muncul. Rasa bahagia yang dialami lansia akan berdampak terhadap nafsu makan
yang baik, sehingga asupan makan lansia meningkat dan pada akhirnya status gizi
dan kesehatan lansia juga akan menjadi baik. Depresi dan kepuasan hidup berkaitan
dengan dukungan sosial yang dapat berasal dari keluarga, teman, ataupun institusi
formal maupun non formal yang memberikan dukungan dalam bentuk bantuan fisik
maupun psikologis.
Agar dapat beraktivitas dengan baik, diperlukan konsumsi makan yang cukup.
Semakin tinggi aktivitas maka kebutuhan akan energi dan zat gizi yang berasal dari
konsumsi makanan juga akan meningkat. Tingkat konsumsi dan aktivitas fisik
berpengaruh terhadap status kesehatan. Konsumsi makanan yang tidak seimbang
dengan aktivitas fisik dalam artian konsumsi makan berlebih namun aktivitas fisik
kurang atau konsumsi makan kurang namun aktivitas fisik berlebih akan berdampak
negatif terhadap status kesehatan dan juga status gizi.
Selain konsumsi dan aktivitas, status kesehatan juga dipengaruhi oleh faktor
genetik. Orang yang memiliki orang tua yang berumur panjang cenderung memiliki
status kesehatan yang lebih baik dibanding yang tidak memiliki orang tua berumur
panjang. Umur hidup yang lama mencerminkan bahwa seseorang memiliki status
kesehatan yang baik.
5
Status kesehatan yang baik akan berdampak pada status gizi yang baik pula.
Status kesehatan yang buruk dapat mempengaruhi status gizi diantaranya melalui
terganggunya asupan makan lansia, terganggunya penyerapan dan pemanfaatan zat
gizi dalam jaringan tubuh dan juga berkaitan dengan obat-obatan yang dikonsumsi
oleh lansia akibat penyakit yang diderita lansia.
Penurunan Fungsi:
Pola Konsumsi: - Indera penciuman
Makanan pokok - Indera perasa
Lauk hewani - Gigi geligi Aspek Psikososial
Lauk nabati - Tingkat depresi
Sayuran - Kepuasan hidup
Buah-buahan
Minyak dan lemak
Gula Nafsu Makan
Dukungan sosial:
- Dukungan emosional
- Dukungan instrumen
Tingkat Konsumsi:
- Dukungan informasi
Energi
- Dukungan penghargaan
Protein diri
Lemak
Karbohidrat
Vitamin A
Vitamin C
Status Kesehatan:
Fe SApenyakit
- Jenis Faktor Genetik:
Ca - Frekuensi penyakit - Usia hidup
- Lamanya hari sakit orang tua
Aktivitas Fisik:
Status Gizi
Keterangan:
: hubungan yang diteliti
: hubungan yang tidak diteliti
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lanjut Usia
Dukungan Sosial
pengembangan potensi diri, para lansia juga dilatih untuk memiliki berbagai
keterampilan seperti membuat berbagai kerajinan dari botol plastik bekas yang
dibuat menjadi tas, tempat tisu, vas bunga dan hiasan dinding. Selain itu
kerajinan berupa anyaman purun (sejenis tanaman yang digunakan untuk
membuat tikar, dan lain-lain) yang dibuat menjadi tikar, tas, juga bungkus
makanan. Hasilnya sederhana, tetapi terlihat indah karena anyaman mereka
mampu membentuk beragam barang dengan beragam variasinya.
Tingkat Depresi
Salah satu masalah mental yang dialami lansia adalah depresi (Mezey et al.
1993). Depresi adalah istilah yang akrab digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Depresi adalah penyakit medis yang ditandai dengan kesedihan terus menerus,
kekecewaan dan hilangnya harga diri. Depresi mungkin disertai dengan
menurunnya energi dan konsentrasi, masalah tidur (insomnia), menurunnya nafsu
makan, kehilangan berat badan, dan sakit jasmani (Medical Encyclopedia 2010).
Depresi bukanlah bagian normal dari penuaan. Depresi merupakan sakit
yang dapat menimbulkan dampak serius jika tidak dikenali dan diobati. Depresi
merupakan masalah yang meluas di antara lansia, namun seringkali tidak dapat
secara baik dikenali atau dideteksi pada lansia. Gejala seperti rasa sedih, gangguan
tidur dan nafsu makan atau perubahan suasana hati mungkin dianggap sebagai
bagian normal pada lansia. Orang-orang terakadang menganggap bahwa masalah
dengan ingatan atau konsentrasi disebabkan oleh perubahan berpikir terkait
penuaan dibandingkan karena depresi. Lansia mengalami kesulitan untuk
berbicara mengenai perasaan sedih atau depresi (Better Health Channel 2010).
Smith (2010) menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat memicu
depresi, namun tidak semua depresi dapat ditelusuri penyebabnya. Faktor risiko
depresi pada lansia diantaranya:
1. Kesepian dan isolasi. Tinggal sendirian, berkurangnya aktivitas sosial,
berkurangnya mobilitas karena sakit
2. Hilangnya tujuan hidup. Perasaan hilangnya tujuan hidup atau identitas diri
karena masa pensiun atau keterbatasan aktivitas fisik
3. Masalah kesehatan. Sakit, disabilitas, penyakit kronis, menurunnya fungsi
kognitif, serta berbagai penyakit lain yang mengakibatkan perubahan tubuh
4. Pengobatan. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan risiko terkena
depresi
5. Takut. Rasa takut akan kematian atau kekhwatiran tentang masalah keuangan
serta kesehatan
6. Kehilangan mendadak. Kehilangan pasangan hidup, teman, keluarga bahkan
binatang peliharaan dapat memicu rasa tertekan pada lansia
Wirakusumah (2001) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan sosial,
kondisi yang terisolasi, kesepian dan berkurangnya aktivitas menjadikan para
lansia mengalami rasa frustasi dan kurang bersemangat. Akibatnya, selera makan
terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan berat
badan. Oleh karena itu, kondisi mental yang tidak sehat secara tidak langsung
dapat memicu terjadinya status gizi yang buruk. Watson (2003) menyebutkan
9
bahwa secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan seperti depresi akan
menimbulkan sifat apatis lansia terhadap makanan.
Perasaan depresi mencerminkan ketidakbahagiaan hidup seseorang yang
pada lansia sering disebabkan karena lansia merasa sendiri, tidak dihargai, dan
hanya menjadi beban bagi orang lain. Berdasarkan penelitian Patriasih et al.
(2013) lansia yang tinggal dipanti sosial di Bandung yang merasakan depresi
akibat merasa sendiri (feeling lonely) sebanyak 45%.
Depresi merupakan akumulasi dari stres berkepanjangan. Stress merupakan
ketidakmampuan menyelesikan masalah yang dihadapi, adanya tekanan,
penyebabnya banyak, bisa berupa konflik dan lain-lain. Stres termasuk tahap
pertama sebelum adanya frustrasi yang merupakan tahap kedua dan tahap ketiga
baru disebut depresi. Depresi merupakan gejala abnormal yang dialami seseorang
apabila tidak mampu mengatasi stressnya secara baik dan benar.
Stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh
yang dapat mempengaruhi kesehatan. Hubungan antara rasa stres dengan sakit
ditandai dengan proses pelepasan hormon, khususnya hormon catecholamins dan
corticostreroids yang dilepas oleh rangsangan sistem kardiovaskuler. Jika
pelepasan hormon ini sangat tinggi, maka dapat menyebabkan jantung berdebar-
debar sangat kencang sehingga dapat menyebabkan kematian. Perasaan stres juga
dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan fisiologis seperti asma, penyakit
kepala kronis, arthritis (rematik), beberapa penyakit kulit, hipertensi, CHD
(Chronic Heart Disease), dan juga kanker (Smet 1994).
Kepuasan Hidup
besar, dan sebaliknya perasaan menyesal hanya dirasakan sedikit. Selain itu, orang
yang merasa puas dengan hidupnya juga memiliki sikap positif tentang masa lalu
dan masa depan (Turner et al. 1990). Neugarten et al. dalam Barrett dan Murk
(2006) menambahkan, seseorang yang merasa puas dengan hidupnya dicirikan
dengan perasaan penuh optimis, konsep diri yang positif, dan juga merasa senang
dengan aktivitas yang dijalaninya.
Kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau
kepuasan hidup yang dirasakan oleh seseorang secara keseluruhan (Santrock
2002). Menurut Korff (2006), seseorang yang puas dengan hidupnya memandang
masa depan dengan penuh kebahagiaan. Berg (2008) mengemukakan bahwa
kepuasan hidup dicerminkan dengan kondisi kehidupan yang baik, sementara itu
Sousa dan Lyubomirsky (2001) menggambarkan kepuasan hidup sebagai kondisi
saat seseorang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup, serta mampu
menerima kondisi hidupnya secara keseluruhan.
Santrock (2002) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepuasan hidup lansia salah satunya adalah aktivitas yang dijalani oleh
lansia. Lansia yang banyak melakukan aktivitas di luar rumah lebih merasa puas
dengan hidupnya dibandingkan dengan lansia yang hanya berdiam diri di rumah.
Senada dengan Santrock, Neugarten dalam Santrock (2002) menyatakan bahwa
ketika seseorang yang terus hidup produktif, aktif, dan energik saat menginjak
masa tua, kepuasan hidup orang tersebut tidak akan menurun. Sementara itu Sousa
dan Lyubomirsky (2001) berpendapat bahwa kepribadian merupakan salah satu
faktor yang memainkan peran penting dalam menentukan kepuasan hidup. Aspek-
aspek kepribadian seperti ketahanan psikologis, empati, dan terbuka dengan
pengalaman memiliki hubungan dengan kepuasan hidup.
Neugarten et al. (1961) melihat kepuasan hidup dari lima aspek, yaitu:
1. Merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Aspek ini
menjelaskan bahwa seseorang yang menggunakan lebih banyak energinya
untuk beraktivitas, baik itu aktivitas yang melibatkan fisik maupun logika
memiliki kepuasan hidup yang lebih besar.
2. Menganggap hidup penuh arti dan menerima dengan tulus kondisi kehidupan
yaitu berhubungan dengan bagaimana seseorang aktif menerima tanggung
jawab yang ada dalam hidupnya daripada pasif menerima atau memaafkan apa
yang telah terjadi. Hal ini terkait dengan integritas Erikson, yaitu konsep yang
berhubungan dengan kebermaknaan hidup dan kurangnya rasa takut akan
kematian.
3. Merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar tujuan hidup, hal
ini berhubungan dengan keinginan dan pencapaian tujuan yang menyebabkan
seseorang merasa puas atau tidak puas dengan hidupnya.
4. Berpegang teguh pada gambaran diri positif, hal ini didasarkan pada aspek
fisik, emosi, dan dimensi intelektual seseorang. Seseorang yang tidak merasa
tua dan menganggap dirinya bijaksana atau kompeten, cenderung memiliki
kepuasan hidup yang lebih besar. Kehidupan sukses di masa lalu merupakan
salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang memiliki gambaran diri
positif.
5. Memiliki sikap hidup optimis dan suasana hati bahagia, hal ini berkaitan
dengan perasaan optimis, bahagia, dan sikap positif lainnya. Depresi,
kesedihan, kesepian, lekas marah, dan pesimis adalah perasaan yang akan
11
Nafsu Makan
Konsumsi Pangan
tahan tubuh terhadap penyakit. Sedang jumlah yang kecil yang tercermin dari nilai
energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan
lansia.
Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi lansia tetap sama
seperti yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang
berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya
dikurangi, disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi
makanan sumber protein, vitamin dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi
jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi dalam
jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai sumber vitamin
dan mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik.
Hal ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan
dalam buang air besar. Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut dapat
di atasi dengan mudah (Astawan dan Wahyuni 1988).
Pola konsumsi pangan lansia dapat dipengaruhi oleh perubahan akibat
proses menua yang terjadi pada lansia sehingga penyajian dan pengolahan
makanan pada lansia perlu mendapat perhatian khusus (Depkes 1998). Perubahan-
perubahan tersebut misalnya berkurangnya sensitifitas indera penciuman dan
perasa pada lansia mengakibatkan selera makan menurun. Lansia sering
mengalami gangguan pada gigi yang mengakibatkan lansia mengalami hambatan
dalam proses pengunyahan dan membatasi jenis makanan yang dikonsumsi
(Wirakusumah 2000).
Bagi lansia, pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat
membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-
sel tubuh sehingga dapat memperpanjang umur. Kebutuhan kalori pada lansia
berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori dasar
adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan
istirahat, misalnya: untuk jantung, usus, pernapasan dan ginjal.
Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas
asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi
makanan. Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri
dari jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang
(Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Dalam mengkaji asupan makanan
ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2) perhitungan
kebutuhan zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan kebutuhan gizi
(Depkes 2006).
Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain
tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, usia, jenis
kelamin dan faktor yang bersifat relatif, di antaranya yakni gangguan pencernaan
(ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization),
perbedaan pengeluaran (excretion) dan pengahancuran (destruction) zat tersebut
di dalam tubuh (Supariasa dkk. 2001).
Energi
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi yang dibutuhkan lansia
berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan
aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk
menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi
dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah
2010). Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia pada
periode lansia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka
metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Harris 2004).
Energi metabolisme basal adalah energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan aktivitas metabolisme sel dan jaringan, selain itu untuk
mengatur proses sirkulasi darah, pernafasan, pencernaan dan sistem urinari.
Kebutuhan energi setiap individu merupakan tingkat asupan energi yang didapat
dari makanan yang akan menyeimbangkan pengeluaran energi yang sesuai dengan
ukuran dan komposisi tubuh serta tingkat aktivitas fisik. Berat badan merupakan
indikator kecukupan energi karena tubuh secara unik memiliki kemampuan
mengubah karbohidrat, protein, dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi.
Oleh karena itu mengonsumsi makanan terlalu banyak atau sedikit secara terus
menerus akan berdampak pada perubahan berat badan (Frary dan Johnson 2000).
Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di
dalam makanan. Sumber energi dengan konsentrasi tinggi adalah bahan makanan
sumber lemak seperti minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian, sedangkan padi-
padian, umbi-umbian dan gula murni merupakan bahan makanan sumber
karbohidrat lainnya (Almatsier 2001).
Protein
Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari
serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh
akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk
membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, dan sel darah
merah (Fatmah 2010).
Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak berubah, beberapa studi
menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat badan dibutuhkan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi konsumsi protein 1-
1,25g/kg berat badan secara umum aman untuk lansia. Kebutuhan akan protein
akan meningkat sejalan dengan adanya penyakit akut dan kronis (Harris 2004).
Sumber protein dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu protein hewani dan
protein nabati. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai
mutu tertinggi (Almatsier 2001), sedangkan daging dan ikan merupakan sumber
protein hewani yang baik untuk dikonsumsi lansia (Watson 2009).
14
Vitamin
Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan
vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau
meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan
mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan Seiring
berlangsungnya proses penuaan, maka kepadatan zat gizi dalam makanan menjadi
hal yang lebih diperhatikan. Makanan yang disediakan harus memiliki cukup
vitamin maupun mineral (Harris 2004).
Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walau
ketersediaanya di dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan diperlukan
bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat beberapa jenis
vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan mencegah timbulnya
radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin C (Fatmah 2010).
Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan,
diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi,
pencegahan kanker dan penyakit jantung (Watson 2009). Sumber vitamin A
terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai
sumber utama. Sayuran, terutama sayuran berdaun hijau dan buah berwarna
kuning-jingga mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005).
Kekurangan atau kelebihan vitamin A akan menimbulkan efek samping atau
penyakit. Kelebihan vitamin A akan menyebabkan toksisitas dan jarang terjadi
pada usia lanjut; sedangkan kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons
kekebalan yang menurun (sering terkena penyakit infeksi), terhambatnya
perkembangan mental dan yang lebih parah adalah terjadinya xeroftalmia.
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau
kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit.
Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari serangan
kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih,
mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi.
Vitamin C merupakan komponen penting dalam pemecahan kolesterol dalam
tubuh. Kolesterol sulit dikeluarkan jika vitamin ini berada dalam jumlah sedikit
dalam diet, yang dapat menimbulkan kadar kolesterol darah yang meningkat.
Vitamin C yang berasal dari buah-buahan dan sayuran dapat meningkatkan kadar
kolesterol HDL dan menurunkan LDL (Fatmah 2010).
Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah jika dibandingkan
dengan orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi
vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris
2004). Sayur dan buah merupakan sumber vitamin C yang baik untuk dikonsumsi
(Almatsier 2001).
Mineral
Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama
tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses
penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem
imunitas tubuh (Fatmah 2010).
Kalsium tidak hanya penting untuk pencegahan pengobatan hipertensi,
tetapi juga dapat menurunkan kolesterol darah. Asupan kalsium yang tinggi (1000
15
mg atau lebih) dapat mempengaruhi absorpsi lemak dan kolesterol. Kalsium dan
magnesium berkompetisi di dalam usus untuk di absorpsi, dan jika asupan diet
dari salah satu mineral tersebut meningkat, maka dapat mempengaruhi absorpsi
mineral lainnya (Fatmah 2010).
Sumber utama kalsium adalah susu dan produk olahan susu, seperti keju.
Ikan dimakan dengan tulang termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium
yang baik. Serealia, kacang-kacangan dan produk olahan kacang-kacangan seperti
tahu dan tempe, serta sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga,
tetapi bahan makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium
seperti serat fitat dan oksalat (Almatsier 2001).
Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh, yaitu sebanyak 3-5 gram. Zat besi memiliki beberapa fungsi esensial di
dalam tubuh seperti alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai
alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim di
dalam jaringan tubuh. Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk zat besi-
hem seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat
besi non-hem dalam makanan nabati (Almatsier 2001).
Aktivitas Fisik
Status Kesehatan
Status Gizi
Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang
masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output)
akan zat gizi tersebut (Supariasa, dkk 2001). Keadaan gizi seseorang
mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi
18
kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah
proses yang digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi
(kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang
harus diberikan pada seseorang (Depkes 2003).
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan
gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat
objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah
tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium
perorangan serta sumber lain (Arisman 2009).
Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Penilaian secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis,
biokimia, dan biofisik sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga, yaitu
survei konsumsi pangan, statistika vital dan faktor ekologi (Supariasa dkk. 2001).
Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan
komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan.
Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar
lengan atas (LILA) dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia adalah
pola distribusi lemak (Muis 2006).
Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh,
yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan
tinggi badan karena kompresi vertebrata, kifosis dan osteoporosis. Pengukuran
tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri
tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan
pengukuran tinggi lutut atau pengukuran rentang lengan (Muis 2006).
Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi dengan tinggi badan dan mungkin
digunakan untuk memprediksi tinggi badan seseorang dengan kifosis atau
seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson 2005). Tinggi lutut
direkomendasikan oleh WHO (1995) dalam Fatmah (2010) untuk digunakan
sebagai predikor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
Alat pengukuran tinggi lutut yaitu penggaris kayu/stainless steel dengan mata
pisau menempel pada sudut 900 dan segitiga kayu untuk membentuk sudut 900
pada kaki kiri. Cara pengukuran yaitu:
1) lansia diukur dalam posisi duduk atau berbaring diatas lantai atau kasur dengan
permukaan rafa tanpa menggunakan bantal atau alas kepala; 2) segitiga kayu
diletakkan pada kaki kiri antara tulang kering dengan tulang paha membentuk
sudut 900; 3) penggaris kayu/stainless steel ditempatkan diantara tumit sampai
bagian terrtinggi dari tulang lutut. Pembacaan dilakukan pada alat ukur dengan
ketelitian 0.1 cm.
Estimasi tinggi badan lainnya yaitu dapat menggunakan panjang depa.
panjang depa merupakan salah satu prediktor tinggi badan lansia dan dianggap
sebagai pengganti ukuran tinggi badan lansia. Panjang depa relatif kurang
dipengaruhi oleh pertambahan usia. Akan tetapi, panjang depa pada kelompok
lansia cenderung lebih rendah daripada kelompok dewasa muda. Pada kelompok
lansia terlihat adanya penururnan nilai panjang depa yang lebih lambat
dibandingkan dengan penurunann tinggi badan, sehingga dapat disimpulakn
bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah seiring pertambahan usia
(Tayie FAK et al. 2003).
19
Faktor Genetik
3 METODE PENELITIAN
Populasi pada penelitian ini adalah semua penghuni PSTW dan semua
lansia binaan KL. Contoh ditentukan berdasarkan kriteria inklusi yaitu perempuan
berusia ≥55 tahun, tidak mengalami gangguan pendengaran, dapat berkomunikasi
dengan baik dan bersedia di wawancara sebagai contoh.
Besar contoh ditentukan melalui penarikan contoh acak berlapis dengan
alokasi proporsional yang didapatkan melalui perhitungan berikut ini:
Keterangan:
s = simpangan baku status gizi lansia pada penelitian Patriasih R et al. 2013
α = derajat kepercayaan (95%)
v = derajat bebas
d = limit error atau presisi mutlak
n = jumlah contoh minimal yang diperlukan
n1 = jumlah contoh minimal yang diperlukan pada PSTW
n2 = jumlah contoh minimal yang diperlukan pada KL
N1 = jumlah populasi PSTW
N2 = jumlah populasi KL
N = jumlah populasi PSTW + KL
22
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur,
tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status tempat tinggal, keinginan
masuk panti, frekuensi dijenguk oleh keluarga, kebiasaan olahraga, jenis kegiatan
olahraga); data karakteristik keluarga responden (jumlah anggota keluarga
responden, status dalam keluarga, jenis kelamin anggota keluarga, umur,
pendidikan, dan pekerjaan anggota keluarga); data dukungan sosial lembaga
termasuk ada tidaknya upaya untuk peningkatan produktivitas, upaya pemenuhan
kebutuhan hidup lansia seperti pelayanan kesehatan, kebutuhan konsumsi, dan
lain-lain; data aspek psikososial terkait dengan tingkat depresi dan kepuasan
hidup; data nafsu makan; data konsumsi pangan (tingkat konsumsi energi, protein,
lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral); data aktivitas fisik; data status
kesehatan (terkait dengan riwayat penyakit infeksi lansia meliputi: jenis penyakit,
frekuensi sakit, dan lama sakit); data faktor genetik (umur hidup orang tua); serta
data antropometri (tinggi badan, berat badan, dan panjang depa). Data sekunder
yang dikumpulkan meliputi data gambaran umum masing-masing lembaga
termasuk jadwal kegiatan lansia dimasing-masing lembaga.
Data karakteristik reponden dan keluarga responden, data peran atau
dukungan sosial lembaga, data spek psikososial, data nafsu makan, data konsumsi
pangan, data aktivitas fisik, data status kesehatan, dan data faktor genetik
dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan alat bantu kuesioner. Data
peran lembaga dikumpulkan melalui wawancara dengan pihak pengelola pada
masing-masing lembaga untuk mengetahui ada atau tidaknya upaya untuk
peningkatan produktivitas, upaya pemenuhan kebutuhan hidup lansia seperti
pelayanan kesehatan, kebutuhan konsumsi, dan lain-lain.
Data dukungan sosial di dikumpulkan melalui wawancara menggunakan
kuesioner yang berisi pertanyaan terkait dengan dukungan emosi, dukungan
instrument, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan diri (Cutrona 1996).
Data aspek psikososial terkait dengan tingkat depresi dikumpulkan melalui
wawancara menggunakan kuesioner Skala Depresi Geriatrik (SDG) versi pendek
(Yesavage 1988) yang berisi 15 pertanyaan bersifat tertutup. Jawaban diperoleh
dengan menyanyakan pertanyaan kuesioner secara langsung maupun tidak
langsung (sesuai dengan cerita yang disampaikan lansia selama proses
wawancara). Pertanyaan terbuka diajukan untuk mengetahui berbagai alasan yang
melatarbelakangi jawaban setiap pertanyaan sehingga dapat mendukung jawaban
yang diberikan lansia.
Data aspek psikososial terkait dengan tingkat kepuasan hidup dikumpulkan
melalui wawancara menggunakan kuesioner terkait indeks skala kepuasan hidup
Neugarten et al. (1961) yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Total jumlah pertanyaan variabel kepuasan hidup adalah sebanyak 25
item pertanyaan dari 5 sub variabel yang masing-masing terdiri dari 5 pertanyaan.
5 sub variabel tersebut berkaitan dengan perasaan senang dengan aktivitas yang
dilakukan, menanggap hidup penuh arti, keberhasilan mencapai tujuan hidup,
memiliki gambaran diri positif, serta sikap hidup optimis.
23
kualitatif dengan penjelasan mengenai ada atau tidaknya upaya untuk peningkatan
produktivitas, upaya pemenuhan kebutuhan hidup lansia seperti pelayanan
kesehatan, kebutuhan konsumsi, dan lain-lain, disertai dengan bentuk dan jadwal
kegiatan yang dilakukan dan lain sebagainya.
Jawaban responden terhadap masing masing pertanyaan yang berkaitan
dengan tingkat kepuasan hidup, diubah ke dalam bentuk rasio dengan
menjumlahkan setiap jawaban hingga mendapatkan skor komposit. Setelah
mendapatkan skor setiap variabel, selanjutnya skor dikelompokkan menjadi tiga
kategori berdasarkan kelas interval yaitu rendah, sedang, dan tinggi, dengan
rumus:
Rentang nilai pada kuesioner adalah dari 0 (sangat lemah, sama sekali tidak
lapar, atau tidak ada sama sekali) sampai dengan 100 (sangat kuat, sangat lapar,
atau banyak sekali). Skor nafsu makan diukur sebelum dan sesudah makan siang,
karena keinginan untuk mengonsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh nafsu
makan/rasa kenyang. Berdasarkan teori glukostatik oleh Mayer (1953) dalam
Siagian (2006) menyatakan bahwa kadar glukosa dalam darah yang rendah
memicu/merangsang keinginan untuk mengonsumsi pangan (nafsu makan).
Sementara itu, kadar glukosa darah yang tinggi menimbulkan rasa kenyang dan
pada gilirannya menghentikan asupan makan.
Dilakukan pada saat makan siang karena makan siang diasumsikan lebih
mewakili waktu makan lainnya. Ketika siang selera seseorang lebih ideal
dibanding waktu pagi/baru bangun tidur atau ketika menjelang malam.
Data nafsu makan dihitung dengan rumus:
Tabel 2 Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk lansia perempuan per orang
per hari
Zat Gizi Angka Kecukupan Gizi
50-64 tahun 65-80 tahun 80+
Energi (kkal) 1900 1550 1425
Protein (g) 57 56 12
Lemak (g) 53 43 40
Karbohidrat 285 252 232
Kalsium (mg) 1000 1000 1000
Fe (mg) 12 12 12
2
Vitamin A (µg/hari) 500 500 500
Vitamin C (mg) 75 75 75
Sumber: LIPI, Angka Kecukupan Gizi, 2012
26
Tingkat konsumsi energi dan zat gizi dapat dihitung dengan rumus
(Hardinsyah dan Briawan 2002):
Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Ki = Asupan energi dan zat gizi dari hasil recall
AKGi = Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan
Data diolah dengan memasukkan persentasi tingkat konsumsi energi dan zat
gizi masing-masing contoh sudah ditemukan kedalam kategori tingkat kecukupan
energi dan zat gizi. Kategori tingkat kecukupan energi (Depkes 1996) yaitu defisit
tingkat berat, <70% AKG; defisit tingkat sedang, 70-79% AKG; defisit tingkat
ringan 80-89% AKG; normal, 90-119% AKG; dan lebih ≥120% AKG. Sedangkan
untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi dua yaitu:
kurang (<70% AKG) dan cukup (≥70% AKG) (Gibson 2005). Data tingkat
konsumsi masing-masing contoh yang sudah dikategorikan sesuai masing-masing
kategori disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Data hasil aktivitas fisik yang dikumpulkan melalui wawancara
menggunakan IPAQ selanjutnya dikategorkan berdasarkan panduan proses dan
analisis data IPAQ (2005) dibagi menjadi tiga kategori aktivitas fisik yaitu:
1. Ringan; jika jawaban responden tidak termasuk kategori sedang atau kategori
berat.
2. Sedang; jika terdapat salah satu jawaban responden, terkait dengan hal seperti:
a. 3 hari atau lebih responden melakukan aktivitas fisik berat lebih dari 20
menit per harinya
b. 5 hari atau lebih responden melakukan aktivitas fisik sedang secara rutin
atau berjalan paling sedikit 30 menit perhari
c. 5 hari atau lebih melakukan aktivitas fisik berupa kombinasi seperti
berjalan, aktifitas fisik sedang atau berat yang rutin selama paling sedikit
600 menit/minggu.
3. Berat; jika terdapat salah satu jawaban responden, terkait dengan hal seperti:
a. Melakukan aktifitas berat selama paling sedikit 3 hari dan jika
diakumulasikan paling sedikit selama 1500 menit/minggu
d. 7 hari atau lebih melakukan aktivitas fisik berupa kombinasi seperti
berjalan, aktifitas fisik sedang atau berat yang rutin selama paling sedikit
3000 menit/minggu.
Data aktivitas fisik responden selanjutnya disajikan secara deskriptif dalam bentuk
tabulasi.
Data status kesehatan yang dikumpulkan dihitung skor morbiditas nya
dengan mengalikan lama hari sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap jenis
penyakit, seperti rumus berikut (Dijaissyah 2011):
Skor morbiditas= lama hari sakit x frekuensi sakit
Skor morbiditas dapat dikategorikan berdasarkan perhitungan interval kelas
(Sugiono 2009) dengan kategori rendah (0–20), sedang (21–40), dan tinggi (41–
60). Sedangkan status kesehatan berbanding terbalik dengan skor morbiditas.
Status kesehatan yang tinggi menunjukkan skor morbiditas yang rendah.
Kategori status kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu: rendah jika skor
morbiditas 41–60, sedang jika skor morbiditas 21–40, dan tinggi jika skor
27
Kategori status gizi menurut Depkes RI yaitu sangat kurus (IMT<17), kurus
(IMT 17.0–18.4), normal (IMT 18.5–24.9), kelebihan berat badan/overweight
(IMT 25.0–26.9), gemuk (IMT ≥ 27–28.9), dan sangat gemuk (IMT ≥29)
(Kurniasih, 2010). Data status gizi responden selanjutnya disajikan secara
deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Data terkait faktor genetik yang dikumpulkan melalui wawancara
menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terkait dengan umur hidup orang tua
dikelompokkan berdasarkan rentang kelompok umur hidup selanjutnya disajikan
secara deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Pengolahan data dilakukan dengan program Microsoft Excel 2013, SPSS
version 16.0 for Windows dan SAS version 9.1 for Windows. Analisis statistik
yang dilakukan yaitu uji beda Independent Sampel T-test untuk menguji
perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada
panti sosial dan LSM, korelasi pearson untuk menguji hubungan dukungan sosial,
aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status
kesehatan, faktor genetik dengan status gizi lansia pada panti sosial dan LSM, dan
regresi linear untuk menguji pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu
makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan
status gizi lansia pada panti sosial dan LSM. Tahapan analisis dengan uji regresi
linear menggunakan metode forward yaitu: 1) seluruh variabel yang memiliki
tingkat kemaknaan p<0.25 masuk kedalam pemodelan analisis regresi sebagai
variabel kandidat 2) variabel yang memiliki tingkat kemaknaan p<0.05
merupakan variabel dominan yang berpengaruh terhadap variabel dependen.
Model regresi linear ganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Model 1:
y1 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 + β10X10
+ β11X11 + β12X12 + β13X13 + β14X14 + β15X15 + β16X16 + β17X17 + β18X18 +
β19X19 + β20X20 + β21X21 + β22X22 + β23X23 + ε
Keterangan:
y1 = Status gizi (IMT)
β0 = Intersep
β 1X1 = Tipe lembaga
β 2X2 = Usia hidup ayah
β 3X3 = Usia hidup ibu
β 4X4 = Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan
β 5X5 = Perasaan menganggap hidup penuh arti
β 6X6 = Keberhasilan mencapai tujuan hidup
β 7X7 = Perasaan memiliki gambaran diri positif
28
Model 2:
y2 = β0 + β 1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + 8X8 + β9X9 + β10X10
+ β11X11 + β12X12 + β13X13 + β14X14 + β15X15 + β16X16 + β17X17 + β18X18 +
β19X19 + β20X20 + β21X21 + β22X22 + ε
Keterangan:
y2 = Status kesehatan (skor morbiditas)
β0 = Intersep
β 1X1 = Tipe lembaga
β 2X2 = Usia hidup ayah
β 3X3 = Usia hidup ibu
β 4X4 = Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan
β 5X5 = Perasaan menganggap hidup penuh arti
β 6X6 = Keberhasilan mencapai tujuan hidup
β 7X7 = Perasaan memiliki gambaran diri positif
β 8X8 = Sikap hidup optimis
β 9X9 = Dukungan emosi
β 10X10 = Dukungan instrumen
β 11X11 = Dukungan informasi
β 12X12 = Dukungan penghargaan diri
β 13X13 = Aktivitas fisik
β 14X14 = Nafsu makan
β 15X15 = Tingkat kecukupan energi
β 16X16 = Tingkat kecukupan protein
β 17X17 = Tingkat kecukupan lemak
β 18X18 = Tingkat kecukupan karbohidrat
β 19X19 = Tingkat kecukupan Ca
β 20X20 = Tingkat kecukupan Fe
β 21X21 = Tingkat kecukupan vitamin A
β 22X22 = Tingkat kecukupan vitamin C
ε = Galat (error)
29
Definisi Operasional
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera adalah adalah suatu wadah atau
lembaga yang membina atau memberikan pendampingan bagi lansia yang
dikelola oleh pemerintah.
Lembaga Sosial Masyarakat Karang Lansia adalah suatu wadah atau lembaga
yang membina atau memberikan pendampingan bagi lansia berbasis
masyarakat atau diluar panti.
Dukungan sosial adalah bantuan yang didapatkan lansia dari orang-orang di
sekitarnya, yang dilihat dari aspek emosi, instrumen, informasi, dan
penghargaan diri termasuk dukungan berupa upaya meningkatkan
produktivitas lansia agar lansia dapat lebih sehat, aktif dan produktif.
Dukungan Emosi adalah perhatian, ungkapan cinta, dan empati yang membuat
seseorang merasa nyaman dan dicintai.
Dukungan Instrumen adalah bantuan yang diberikan dalam bentuk uang, tempat
tinggal, dan bantuan fisik lainnya.
Dukungan Informasi adalah saran, petunjuk dan nasehat yang membantu
seseorang menyelesaikan permasalahannya.
Dukungan Self-esteem adalah penghargaan yang diberikan terhadap kemampuan,
perasaan, dan gagasan seseorang.
Tingkat depresi adalah keadaan emosi yang dirasakan responden yang diukur
menggunakan Skala Depresi Geriatrik (SDG) versi pendek dengan kategori
normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), dan depresi berat
(12-15).
Kepuasan hidup adalah persepsi lansia tentang kondisi hidup yang dialaminya
berkaitan dengan perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan,
menanggap hidup penuh arti, keberhasilan mencapai tujuan hidup, memiliki
gambaran diri positif, serta sikap hidup optimis.
Nafsu makan adalah gambaran berapa besar keinginan makan, rasa lapar, dan
konsumsi prospektif yang ditunjukkan dengan skor dengan rentang antara
0-100 dimana rata-rata dari ketiga faktor tersebut akan menghasilkaan skor
nafsu makan. Skor nafsu makan digunakan untuk menilai nafsu makan
seseorang.
Tingkat konsumsi adalah keadaan konsumsi pangan yang dapat menggambarkan
seberapa tingkatan kecukupan seseorang dalam mengkonsumsi pangan,
yang diukur dengan melalui asupan makan yang didapatkan melalui recall
konsumsi kemudian dibandingkan dengan AKG. Kategori tingkat konsumsi
energi dan protein dibagi menjadi defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit
tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG),
normal (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG). Sedangkan kategori
tingkat konsumsi vitamin dan mineral dibagi menjadi kurang (<70% AKG)
dan cukup (≥77% AKG).
Aktivitas fisik adalah jenis aktivitas fisik dan berapa lama waktu yang digunakan
untuk melakukan aktivitas tersebut selama 7 hari dengan kategori ringan,
sedang, dan berat.
Status kesehatan adalah adalah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari jenis
30
Usia
Kategori lansia berdasarkan usia dikelompokkan menjadi tiga yakni usia 55-
59 tahun, 60-64 tahun, dan >65 tahun. Kategori ini didasarkan pada batasan usia
lansia dari Departemen Kesehatan RI (2006) dimana usia 55-59 tahun atau disebut
virilitas (prasenium) merupakan masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
kematangan jiwa, usia 60-64 tahun atau disebut usia lanjut dini (senescen), dan
usia >65 tahun merupakan kelompok lansia yang beresiko tinggi menderita
berbagai penyakit degeneratif. Sebaran lansia berdasarkan kelompok usia di
PSTW dan KL masing-masing dapat dilihat pada Tabel 3.
Pendidikan
Riwayat pendidikan yang pernah ditempuh lansia dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD)/sekolah rakyat, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan riwayat pendidikan masing-masing
dapat dilihat pada Tabel 4.
sekali. Tujuan dari kegiatan arisan tersebut selain belajar mengelola keuangan
juga dapat meningkatkan interaksi sosial bagi para lansia dan pengelola KL.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan dukungan penghargaan diri pada PSTW dan KL dengan
p=0.230 (p>0.05). Kategori dukungan penghargaan diri yang paling banyak baik
di PSTW maupun KL adalah kategori sedang masing-masing sebanyak 48% dan
51.4%.
Aktivitas fisik lansia dibagi menjadi 3 kategori yaitu aktivitas fisik ringan,
sedang, dan berat. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan aktivitas fisik
dapat dilihat pada Tabel 11.
Nafsu makan dibagi menjadi 3 kategori yaitu nafsu makan kurang, cukup,
dan baik. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan nafsu makan dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tingkat kecukupan energi yang dibagi menjadi 5 kategori yaitu defisit tingkat
berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal, dan lebih. Sebaran
lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada
Tabel 13.
yang termasuk kategori defisit tingkat sedang di PSTW sebanyak 32% sedangkan
di KL sebanyak 25.7%, yang termasuk kategori defisit tingkat ringan di PSTW
sebanyak 8% sedangkan di KL sebanyak 11.4%, yang termasuk kategori normal
di PSTW sebanyak 24% sedangkan di KL sebanyak 11.4%, tidak terdapat lansia
dengan tingkat kecukupan energi yang termasuk dalam kategori lebih, baik di
PSTW maupun KL.
Tingkat kecukupan lemak yang dibagi menjadi 5 kategori yaitu defisit tingkat
berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal, dan lebih. Sebaran
lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan lemak dapat dilihat pada
Tabel 15.
Status gizi dibagi menjadi 6 kategori yaitu sangat kurus, kurus, normal,
kelebihan berat badan/overweight, gemuk, dan sangat gemuk. Sebaran lansia di
PSTW dan KL berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 22.
berupa komitmen lembaga memotivasi suatu lembaga untuk ikut terlibat dalam
peningkatan produktivitas sosial meskipun tanpa adanya imbalan berupa
penghargaan atau upah, hal inilah yang akan memicu terwujudnya kesehatan
lansia.
Tabel 23 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua, tingkat
depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik, nafsu makan,
tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta status kesehatan terhadap
status gizi (IMT)
Variabel R p-value
Tipe lembaga 0.036 0.147
Usia hidup ayah 0.018 0.302
Usia hidup ibu 0.032 0.173
Tingkat depresi 0.003 0.659
Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan 0.000 0.922
Menganggap hidup penuh arti 0.017 0.315
Keberhasilan mencapai tujuan hidup 0.024 0.234
Memiliki gambaran diri positif 0.007 0.525
Sikap hidup optimis 0.001 0.661
Kepuasan hidup total 0.010 0.408
Dukungan emosi 0.070 0.042*
Dukungan instrumen 0.015 0.351
Dukungan informasi 0.015 0.351
Dukungan penghargaan diri 0.070 0.043*
Aktivitas fisik 0.027 0.210
Nafsu makan 0.077 0.032*
Tingkat kecukupan energi 0.035 0.150
Tingkat kecukupan Protein 0.005 0.595
Tingkat kecukupan lemak 0.003 0.668
Tingkat kecukupan Karbohidrat 0.080 0.029*
Tingkat kecukupan Ca 0.008 0.496
Tingkat kecukupan Fe 0.033 0.163
Tingkat kecukupan Vit. A 0.003 0.675
Tingkat kecukupan Vit. C 0.000 0.825
Status Kesehatan (skor morbiditas) 0.065 0.049*
*Hasil uji korelasi pearson, signifikan pada p<0.05
hidupnya saat ini. Mengutip teori dalam materi Prof. Rhenald Kasali (Nadia 2013)
bahwa kesejahteraan sosial bukan semata-mata uang, penentu kebahagiaan adalah
apa yang dirasakan dari dalam hati. Semakin tua konsumsi akan makin turun, dan
kebutuhan akan kesehatan semakin meningkat. Unsur penting sehat itu adalah
kebahagiaan. Ketika berbahagia kita tidak selalu terfokus pada diri sendiri, kita
cenderung menyukai orang lain dan ingin berbagi keberuntungan bahkan dengan
orang asing. Ketika muram, kita menjadi gampang curiga, suka menyendiri, dan
fokus pada kebutuhan diri sendiri. Jadi salah satu strateginya adalah mendorong
lanjut usia untuk melakukan berbagai kegiatan dan terlibat aktivitas sosial.
Selain dari lembaga dukungan penghargaan diri lansia di KL juga didapatkan
dari keluarga dimana lansia masih turut andil dalam memberikan solusi ketika
terdapat masalah dalam keluarga, hal tersebut membuat lansia merasa dihargai.
Dalam materi Prof. Rhenald Kasali (Nadia 2013) juga dinyatakan bahwa keluarga
tetap menjadi suplemen terbesar bagi kebahagiaan lansia. Permasalahan
kesejahteraan lansia khususnya yang berkaitan dengan kebahagiaannya tidak bisa
diambil alih semua oleh negara, karena tidak terlepas dari pentingnya hubungan
batiniah antara orang tua dan anak.
Dukungan penghargaan diri lansia di PSTW terutama didapatkan oleh lansia
yang memang masih aktif dan produktif seperti membantu kegiatan memandikan
jenazah, membantu membersihkan sampah, dan lain sebagainya. Terdapat
beberapa lansia yang menyatakan bahwa apa yang dia kerjakan dianggap penting
dan dipuji oleh pengelola panti sosial dan lansia tersebut menyatakan bahwa pihak
pengelola panti masih percaya dengan kemampuannya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan lansia kegiatan keterampilan seperti menyulam atau menjahit
juga terdapat di PSTW, namun belum bersifat rutin.
Harga diri yang rendah secara tidak langsung berpengaruh terhadap status
gizi. Harga diri yang rendah berkaitan dengan meningkatnya depresi yang
cenderung terjadi pada usia lanjut (Rodda et al. 2011). Harga diri yang rendah
juga berkaitan dengan menurunnya kepuasan hidup. Hasil dari beberapa studi
literatur menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara harga diri dengan
kepuasan hidup (Cecen 2008; Dilmac dan Eksi 2008; Lai et al. 2007; Leung et al.
2005; Zhang dan Leung 2002). Menurunnya kepuasan hidup akan semakin
meningkatkan depresi. Harga diri yang rendah, meningkatnya depresi, dan
gangguan makan mempunyai dampak negatif terhadap status gizi (Marshall et al.
2012). Depresi pada lansia cenderung menyebabkan lansia apatis terhadap
makanan (Watson 2003). Sikap apatis lansia terhadap makanan berkaitan dengan
menurunnya nafsu makan. Menurut Fairburn (2001) hilangnya nafsu terhadap
makanan (anorexia) merupakan salah satu karakter dari gangguan makan.
Hilangnya nafsu makan sendiri merupakan salah satu tanda dan gejala deprsesi
(Robinson et al. 2014). Menurunnya nafsu makan lansia berdampak pada
menurunnya asupan makan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan status
gizi.
Melalui dukungan penghargaan diri yang diantaranya dapat dilakukan
melalui upaya peningkatan produktivitas lansia sehingga membuat lansia merasa
bahagia dan dihargai, motivasi hidup lansia akan meningkat. Sebagian besar
waktu lansia yang cenderung merasa murung dan tertekan sebagai salah satu
gejala depresi (American Psychiatric Association 2013) dapat berkurang. Hal
tersebut dapat memicu semangat lansia untuk menjalani hidup termasuk
51
dilakukan tidak menjamin status gizi akan semakin baik, karena belum tentu
aktivitas yang disenangi merupakan aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan.
Tidak terdapat hubungan dukungan instrumen dan dukungan informasi
terhadap status gizi lansia. Mengutip teori dalam materi Prof. Renald Kasali
(Nadia 2013) bahwa kesejahteraan sosial bukan semata-mata uang, penentu
kebahagiaan adalah apa yang dirasakan dari dalam hati. Jadi kebahagiaan hati,
tidak semata-mata karena dukungan instrumen (keuangan, tenaga, dan lain-lain)
namun dukungan penghargaan diri dan dukungan emosi tidak kalah penting dalam
mewujudkan kebahagiaan tersebut. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat
hubungan antara dukungan penghargaan diri dan dukungan emosi terhadap tingkat
depresi dan juga kepuasan hidup total (p<0.05), dan terdapat hubungan antara
tingkat depresi dan kepuasan hidup total terhadap nafsu makan (p<0.05). Melalui
peningkatan nafsu makan maka tingkat konsumsi akan meningkat sehingga status
gizi juga meningkat. Jadi, dukungan instrumen dan informasi tidak berhubungan
langsung dengan status gizi, namun hubungannya lebih mengarah kepada
penurunan depresi dan peningkatan kepuasan hidup yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap nafsu makan.
Tidak terdapat hubungan antara kepuasan hidup (perasaan menganggap hidup
penuh arti, keberhasilan mencapai tujuan hidup, memiliki gambaran diri positif,
dan sikap hidup optimis) terhadap status gizi. Kepuasan hidup tidak berhubungan
langsung dengan status gizi. Namun hubungannya lebih kearah nafsu makan.
Berdasarkan uji korelasi pearson, terdapat hubungan antara kepuasan hidup total
terhadap nafsu makan (P<0.05).
Tidak terdapat hubungan antara tingkat depresi terhadap status gizi lansia.
Hal tersebut di duga karena persentase depresi berat pada lansia dan KL sangat
kecil yaitu hanya 3.3%. disamping itu, tingkat depresi sendiri tidak berhubungan
langsung dengan status gizi, namun hubungannya lebih mengarah kepada
peningkatan nafsu makan. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat hubungan
antara tingkat depresi terhadap nafsu makan (p<0.05).
Tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik terhadap status gizi lansia.
Pengaruh aktivitas fisik terhadap status gizi sangat berkaitan dengan asupan
makan, dimana untuk mendapatkan status gizi yang optimal didukung oleh
aktivitas fisik dan asupan makan yang cukup. Jika aktivitas fisik berlebih, namun
asupan makan tidak mencukupi atau sebaliknya maka status gizi tidak akan
optimal. Jadi aktivitas fisik yang tinggi belum tentu meningkatkan status gizi, jika
tidak diimbangi dengan asupan makan yang memadai.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi terhadap status gizi
lansia. Secara alami terjadi penurunan fungsi fisiologis pada lansia seiring
bertambahnya usia. Proses menua ditandai dengan kehilangan massa otot secara
progresif yang dimulai sejak usia 40 tahun disertai penurunan metabolisme basal
sebesar 2%. Pada usia lebih dari 70 tahun lansia mengalami kehilangan 40%
massa ototnya dibandingkan kelompok usia muda. Penurunan fungsi fisiologis
pada lansia memiliki kaitan erat dengan penurunan status gizi terkait menurunnya
kemampuan mengunyah makanan dan berkurangnya sekresi enzim pencernaan
yang dapat menyebabkan malabsorpsi. Diantaranya adalah berkurangnya enzim
yang dikeluarkan oleh pankreas seperti enzim amilase, tripsin dan lipase yang
berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Sehingga
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menjadi tidak sebaik ketika masih
53
muda. Jadi, walaupun tingkat kecukupan energi yang sebagian besar berasal dari
karbohidrat, protein, dan lemak terpenuhi namun jika enzim yang diperlukan
untuk metabolisme zat gizi tersebut kurang, maka akan mengganggu metabolisme
dari zat gizi tersebut, sehingga tidak dapat berfungsi optimal.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan lemak terhadap status gizi
lansia. Status gizi lansia sangat dipengaruhi oleh proses menua. Peningkatan
lemak tubuh terjadi secara alami ketika tubuh menua, lemak subkutan terdistribusi
dari ekstremitas kebatang tubuh yang dimulai pada usia awal 40 tahun. Sebagian
besar masalah gizi lansia adalah kasus gizi berlebih seperti obesitas (Fatmah
2010). Walaupun tingkat kecukupan lemak lansia kurang, status gizi lansia dapat
mengalami peningkatan akibat meningkatnya massa lemak tubuh secara alami.
Apalagi didukung oleh aktivitas fisik yang kurang.
Selain itu, tidak terdapatnya hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat,
protein, dan lemak terhadap status gizi dapat berkaitan dengan perubahan
kemampuan penyerapan zat makanan yang terjadi pada lansia. Perubahan tersebut
diantaranya adalah terjadinya atrofi mukosa usus halus sehingga luas
permukaannya berkurang, hal ini menyebabkan jumlah villi dari usus halus yang
berperan penting dalam penyerapan zat gizi menjadi berkurang, keadaan ini dapat
menurunkan proses penyerapan zat gizi.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan Ca, Fe, vitamin A,
vitamin C terhadap status gizi lansia. Ca, Fe, vitamin A, dan vitamin C merupakan
zat gizi mikro. Berbeda halnya dengan zat gizi makro, zat gizi mikro ini
memberikan sumbangan energi yang lebih kecil bagi tubuh, sehingga
hubungannya tidak berpengaruh besar terhadap status gizi secara langsung. Selain
itu, keadaan malabsorpsi akibat berkurangnya sekresi enzim pencernaan juga
dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan kalsium. Walaupun Ca, Fe, vitamin A,
dan vitamin C merupakan zat gizi mikro artinya dibutuhkan dalam jumlah yang
sedikit, namun masing-masing zat gizi tersebut mempunyai manfaat yang besar
terhadap kesehatan diantaranya Ca berperan besar bagi kesehatan tulang.
Seiring bertambahnya usia terjadi penurunan massa tulang yang berkaitan
dengan meningkatnya prevalensi osteoporosis pada lansia dimana satu dari dua
wanita berusia 50 tahun atau lebih menderita retak tulang yang disebabkan
osteoporosis dalam kehidupannya. Tingkat kecukupan Ca sebaiknya dipenuhi
sejak usia dini, karena puncak massa tulang dicapai pada usia 30-35 tahun dan
menurun setelah itu (Fatmah 2010). Fe adalah komponen penting bagi tubuh. Fe
merupakan bagian dari hemoglobin (Hb), dimana Hb terdiri dari Fe, protoporfirin,
dan mioglobin yang merupakan suatu oksigen yang mengantarkan eritrosit yang
berfungsi penting bagi tubuh (fatmah 2010). Sekitar 6 dari 10 lansia mengalami
anemia gizi, diantaranya akibat kurangnya asupan Fe dan vitamin C (Kurniasih
dkk. 2010). Vitamin A selain berfungsi didalam imunitas tubuh dan penglihatan,
pada lansia vitamin A juga berfungsi untuk melawan radikal bebas yang
menyebabkan penuaan atau sebagai antioksidan. Vitamin C berfungsi antara lain
meningkatkan kekebalan tubuh, melindungi dari serangan kanker, melindungi
arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, mencegah katarak, dan
mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010).
Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan 4 variabel dominan yang
berpengaruh terhadap status gizi yaitu tipe lembaga, dukungan emosi, nafsu
makan, dan tingkat kecukupan karbohidrat seperti terlihat pada Tabel 24.
54
terhadap status gizi lansia di PSTW sebesar 0.164 dibandingkan KL, dengan nilai
R2 dari nafsu makan terhadap status gizi sebesar 0.150 menunjukkan bahwa status
gizi dijelaskan atau dipengaruhi oleh nafsu makan sebesar 15%. Berdasarkan
penelitian Drapeau et al. (2005) nafsu makan berpengaruh terhadap total asupan
energi, dimana semakin tinggi nafsu makan maka total asupan energi semakin
besar (p=0.03; r=0.32). Peningkatan asupan energi yang cukup, dalam artian tidak
berlebihan akan meningkatkan status gizi lansia.
Terdapat pengaruh negatif antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan
status gizi, semakin tinggi tingkat kecukupan karbohidrat maka status gizi
semakin turun. Pengaruh tingkat kecukupan karbohidrat terhadap status gizi lansia
di PSTW sebesar 0.079 dibandingkan KL, dengan nilai R2 dari tingkat kecukupan
karbohidrat terhadap status gizi sebesar 0.079 menunjukkan bahwa status gizi
dijelaskan atau dipengaruhi oleh tingkat kecukupan karbohidrat sebesar 7.9%.
Tingkat kecukupan karbohidrat yang tinggi belum tentu akan meningkatkan status
gizi lansia, mengingat lansia cenderung mengalami deplesi jaringan termasuk
massa otot. Selain itu kecenderungan lansia yang rentan menderita penyakit
degeneratif juga berkaitan dengan kehilangan berat badan. Prevalensi DM sebesar
15.8% didapatkan pada kelompok usia 60-70 tahun dan lansia wanita memiliki
prevalensi lebih tinggi dari lansia pria (Khairani 2007). Regenerasi akibat
kehilangan berat badan terkait penyakit yang diderita lansia menurut Roberts et al.
(1994) cukup sulit untuk diperbaiki. Penurunan berat badan pada lansia cenderung
lebih besar dibandingkan orang dewasa walaupun diberikan asupan makanan yang
tinggi energi (Roberts et al. 2000).
Karbohidrat merupakan sumber energi utama, konsumsi karbohidrat berlebih
terutama sumber karbohidrat sederhana dapat meningkatkan resiko menderita
penyakit diabetes mellitus (DM). Menurut Hauner et al. (2012) tingginya
konsumsi minuman dengan pemanis gula (sukrosa) meningkatkan resiko DM tipe
2. Menurut Fatmah (2010) penyakit terkait karbohidrat diantaranya adalah DM,
dimana terjadi defisiensi insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam
sel-sel yang menyebabkan gula darah meningkat. Timbunan glukosa tersebut
tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi yang berguna bagi sel-sel
yang membutuhkannya sehingga harus dibuang melalui ginjal kedalam urin, yang
dengan demikian dapat menyebabkan glukosuria. Karena glukosa tidak dapat
digunakan sebagai penghasil energi, akibatnya lemak dan protein lebih banyak
dipecah untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan yang pada gilirannya akan
meningkatkan glukoneogenesis.
Kelebihan glukosa tubuh pada keadaan normal disimpan sebagai glikogen
hati dan otot untuk cadangan energi yang disebut glikogenesis yang sewaktu-
waktu dapat diubah kembali menjadi glukosa bila dibutuhkan (glikogenolisis).
Seseorang dengan DM tidak mampu melakukan transfer glukosa kedalam otot dan
sel lemak sehingga sel-sel tubuh akan kelaparan dan terjadi peningkatan
katabolisme lemak dan protein. Hal ini menyebabkan penderita DM sering merasa
lapar tetapi tidak bisa gemuk, bahkan cenderung menjadi kurus.
Hasil analisis bivariat variabel independen dengan dependen (status
kesehatan) dengan uji Pearson didapatkan bahwa variabel yang masuk kedalam
pemodelan (variabel kandidat) dengan p<0.25 pada penelitian ini adalah tipe
lembaga, usia hidup ayah, perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan,
keberhasilan mencapai tujuan hidup, dukungan emosi, nafsu makan, tingkat
56
Tabel 25 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua, tingkat
depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik, nafsu makan,
tingkat kecukupan energi dan zat gizi terhadap status kesehatan (skor
morbiditas)
Variabel R p-value
Tipe lembaga 0.038 0.138
Usia hidup ayah 0.050 0.086
Usia hidup ibu 0.013 0.382
Tingkat depresi 0.001 0.801
Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan 0.040 0.131
Menganggap hidup penuh arti 0.009 0.475
Keberhasilan mencapai tujuan hidup 0.040 0.125
Memiliki gambaran diri positif 0.007 0.513
Sikap hidup optimis 0.013 0.395
Kepuasan hidup total 0.000 0.933
Dukungan emosi 0.027 0.207
Dukungan instrumen 0.000 0.820
Dukungan informasi 0.000 0.820
Dukungan penghargaan diri 0.000 0.956
Aktivitas fisik 0.011 0.427
Nafsu makan 0.064 0.052
Tingkat kecukupan energi 0.033 0.168
Tingkat kecukupan Protein 0.000 0.951
Tingkat kecukupan lemak 0.041 0.122
Tingkat kecukupan Karbohidrat 0.002 0.720
Tingkat kecukupan Ca 0.003 0.700
Tingkat kecukupan Fe 0.015 0.346
Tingkat kecukupan Vit. A 0.000 0.830
Tingkat kecukupan Vit. C 0.000 0.888
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Cohen AB, Koeing HG. 2003. Religion, Religiosity and Spirituality in the
Bipsychosocial Model of Health and Ageing. Ageing International. 28 (3):
215-241.
Cutrona CE. 1996. Social Support in Couples. California: Sage Publications Inc.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang
Dewasa. Jakarta: Depkes.
__________________________. 1998. Kebijaksanaan Program-Pedoman
pembinaan Kesehatan usia Lanjut Bagi petugas Kesehatan. Direktorat
Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Jakarta.
__________________________. 2003. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut
Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
__________________________. 2006. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut
untuk tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Ditjen
Binkesmas Depkes RI.
__________________________. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
[Depsos] Departemen Sosial. 2007. Penduduk lanjut usia di Indonesia dan
masalah kesejahteraannya. [Internet]. Tersedia pada:
http://www.depsos.go.id.
Devoldre I, Davis MH, Verhofstadt LL, Buysse A. 2010. Emphaty and social
support provision in couples: social support and the need to study the
underlying processes. Journal of Psychology. 144(3): 259-284.
Dijaissyah, N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi dan status kesehatan
siswa PAUD [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Dilmac, B and Eksi, H. 2008. Investigation the relationship between life
satisfaction and self esteem among vocational schools students. Selcuk
University the a journal of Institute of Social Sciences. 20: 279-289.
Drapeau V, John B, Fanny T, Claire L, Denis R, and Angelo T. 2005. Appetite
sensations as a marker of overall intake. British Journal of Nutrition. 93: 273-
280.
Fairburn, C.G. 2001. Eating Disordes. In Encyclopedia of Life sciences; John
Wiley & Sons, Ltd: Chiscester, UK.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga.
Frary CD, Johnson RK. 2000. Energy. Di dalam: Mahan LK, Stump E, Editor.
Krause’s: Food, Nutrition and Diet Therapy. Ed ke-11. USA: Elsevier.
Gibson RS. 2005. Principle Nutrition Asessment. New York: Oxford University
Press.
Groessl EJ, Kaplan RM, Barrett-Connor E, Ganiats TG. 2004. Body mass index
and quality of well-being in a community of older adults. Am J Prev Med.
26: 126–129.
Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan
(Assessment and Planning Food Consumption). Dictates Department of
Community Nutrition and Family Resources. Faculty of Agriculture. Bogor:
IPB.
Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S,
editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11th ed. USA: Elsevier.
319-396.
60
pada:http://www.komnaslansia.go.id/modules.php?name=News&file=article
&sid=81.
Neugarten, BL, Havighurst, RJ, Tobin, SS. 1961. Title, The Measurement of Life
Satisfaction. Journal of Gerontology. 16: 134 -143.
Notoatmojo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Nugrahaningsih MRS. 2006. Hubungan antara Rasa Kesepian dengan
Kecenderungan Depresi pada Lansia. [Thesis]. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Patmonodewo S, Atmodiwirdjo ET, Mahmud S, Utami SC, Singgih, Soewondo
dan Mutachir Y. 2001. Bunga Rampai Perkembangan Pribadi dari Bayi
samapi Lanjut Usia. Jakarta: UI-Press.
Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, Khomsan A. 2013. A Study on Nutritional Status,
Health Characteristics and Psychososial Aspects of the Elderly Living With
Their Family and of Those Living in Nursing Home. Reseach Report:
Departement of Home Economics Education, Faculty of Technology and
Vocational Education, Indonesia University Education and Neys-van
Hoogstraten Foundation.
Payette, H. 2005. Nutrition ass Adeterminant Of Functional Autonomy and
Quality of Life in Aging: A Research Program. Canadian Journal of
Physiology and Pharmacology. 83, 11.
Peterson MJ, Giuliani C, Morey MC, Piepir CF, Evenson KR, Mercer V, Cohen
HJ, Visser M, Brach JS, Kritchevsky SB, Goodpaster BH, Rubin S,
Satterfield S, Newman AB, Simonsick EM. 2009. Physical Activity ass a
Preventive factor for Frailty: The Health, Aging, and Body Composition
Study. The Journal of Gerontology. 64A, 1.
Puspitasari, A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi
dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur,
Jakarta Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Reed T, Carmelli D, Robinson TF, Rinehart SA, Williams CJ. 2003. More
Favorable Midlife Cardiovaskular Risk Factor levels in male Twins and
Mortality After 25 Years Follow Up Is Related to Longevity of Their
parents. The Journals of Gerontology. 58A, 4.
Roberts SB, Fuss P, Heyman MB, Evans WJ, Tsay R, Rasmussen H, Fiatarone M,
Cortiella J, Dalla GE & Vernon YR. 1994. Control of food intake in older
man. JAMA 272, 1601-1606.
Roberts SB. 2000. Regulation of energy intake in relation to metabolic state and
nutritional status. European Journal of Clinical Nutrition. 54 (Suppl 3):
S64±S69
Robinson L, Smith M and Segal J. 2014. Depression in Older Adults and the
Elderly. [Internet]. [diunduh 13 Oktober 2014]. Tersedia pada:
http://www.helpguide.org/articles/depression/depression-in-older-adults-and-
the-elderly.htm.
Romeo J, Warnberg J, Pozo T, Marcos A. 2010. Session 6: Role of Physical
Activity on Immune Function Physical Activity, Immunity and Infection.
Proceedings of the Nutrition Society. 69: 390-399.
62
LAMPIRAN
Lampiran 1 lanjutan
Lampiran 1 lanjutan
Lampiran 1 lanjutan
Parameter Estimates
Lampiran 2 lanjutan
Lampiran 2 lanjutan
Lampiran 2 lanjutan
Parameter Estimates
Nama
Usia/tahun lahir
Berat badan ………….kg
Tinggi badan ………….cm
Tinggi lutut ………….cm
Panjang depa ………….cm
Status pernikahan 1. Menikah
2. Tidak menikah
Pendidikan terakhir 1. Tidak sekolah
2. SD/Sekolah rakyat*)
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan tinggi
Pekerjaan 1. PNS/Pensiunan PNS
2. Pedagang
3. Petani
4. Penjahit
5. Jasa (tukang cuci, pembantu RT)
6. Buruh
7. Ibu rumah tangga
8. Lainnya, sebutkan
Status tempat tinggal* 1. Sendiri
2. Tinggal dengan
suami/anak/cucu/saudara/lainnya*)
Keinginan masuk panti** 1. Keinginan sendiri
2. Keinginan keluarga
Frekuensi dijenguk oleh 1. Tidak pernah
keluarga** 2. 1 kali/bulan
3. 2 kali/bulan
4. 3 kali/bulan
5. 4 kali/bulan
6. Lainnya, sebutkan:
Kebiasaan olahraga 1. Ya
2. Tidak
Jenis kegiatan olahraga 1. Jalan kaki
2. Senam
3. Lainnya…
Rutin keposyandu lansia 1. Ya
2. Tidak
Keterangan:
* khusus di isi untuk lansia pada lembaga KL
** khusus di isi untuk lansia pada lembaga PSTW
*) coret yang tidak perlu
73
Keterangan:
(3) Status keluarga 1=suami, 2=anak, 3=cucu, 4=saudara, 5=lainnya sebutkan
(4) Jenis kelamin 1=laki-laki, 2=perempuan
(5) Umur dalam tahun
(6) Pendidikan 1=Tidak sekolah, 2=SD, 3=SMP, 4=SMA, 5=Perguruan
tinggi, 6=lainnya sebutkan
(7) Pekerjaan 1=PNS, 2=pedagang, 3=petani, 4=buruh, 5=penjahit,
6=lainnya sebutkan
74
0 100
Sangat Sangat
lemah kuat
2. Lapar:
Seberapa laparkah perasaan Anda
0 100
Sama sekali Sangat
tidak lapar lapar
3. Konsumsi prospektif:
0 100
Tidak ada Banyak
sama sekali sekali
78
Selingan
Makan siang
Selingan
Makan
sore/malam
Selingan
79
Penimbangan berat badan lansia Foto bersama lansia di wisma melati PSTW
RIWAYAT HIDUP