Anda di halaman 1dari 98

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI

DAN KESEHATAN LANSIA PEREMPUAN PADA PANTI SOSIAL DAN


LEMBAGA SOSIAL MASYARAKAT DI BANJARMASIN

NORHASANAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga
Sosial Masyarakat di Banjarmasin” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Norhasanah
NRP I151120021
RINGKASAN

NORHASANAH. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan


Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin.
Dibimbing oleh HADI RIYADI dan DADANG SUKANDAR.

Penduduk lansia Tahun 2010 mencapai 23.9 juta (9.8%) dan perkiraan pada
tahun 2020 mencapai 28.8 juta (11.34%) (Depsos 2007). Menurut data statistik
Indonesia tahun 2013 angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan
perempuan) naik dari 67.8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73.6 tahun pada
periode 2020-2025. Semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk,
menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Proyeksi angka harapan hidup di Kalimantan Selatan pada periode 2010-2015 adalah
69.2 tahun dan pada periode 2020-2025 di proyeksikan meningkat menjadi 72.1
tahun (BPS 2013). Pada kenyataannya, jika dilihat dari jumlah penyandang masalah
kesejahteraan sosial pada kelompok lansia terlantar di Kalimantan Selatan pada tahun
2010 sebesar 18 815 lansia dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi 30
291 lansia. Di Banjarmasin angka tersebut juga mengalami peningkatan dari 380
lansia pada tahun 2010 menjadi 458 lansia pada tahun 2011 (BPS Kalsel 2011).
Meningkatnya jumlah lansia, menuntut perhatian yang juga semakin besar terhadap
kelompok ini, salah satunya terkait dengan masalah gizi. Peran dan fungsi dari
lembaga masyarakat atau swasta yang perduli terhadap lansia sangat diperlukan, agar
secara bersama-sama dapat membantu pemerintah menangani masalah kesejahteraan
sosial yang akan berdampak pada peningkatan gizi dan kesehatan lansia. Menurut
Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial
bagi kesehatan populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan
baik secara fisik maupun mental, dengan keadaan gizi yang baik diharapkan para
lansia akan tetap sehat, segar dan bersemangat dalam berkarya. Selain itu, usia
produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan dalam
pembangunan (Fatmah 2010).
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM) di Banjarmasin. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1)
mengidentifikasi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan,
aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada Panti Sosial
Tresna Werha (PSTW) dan Karang Lansia Sejahtera (KL); 2) menganalisis perbedaan
antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas
fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada PSTW dan KL; 3)
menganalisis pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik terhadap status gizi lansia
pada PSTW dan KL.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan lokasi penelitian
yaitu di Panti Sosial Tresna Werda Budi Sejahtera (PSTW) dan LSM Karang Lansia
Sejahtera (KL) di Banjarmasin. Total contoh sebanyak 60 lansia dari total populasi
sebanyak 117 lansia, diambil dengan teknik penarikan contoh acak berlapis dengan
alokasi proporsional. Pada PSTW diambil sebanyak 25 lansia dan pada KL sebanyak
35 lansia sebagai contoh. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur, tingkat pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan, status tempat tinggal, keinginan masuk panti, frekuensi
dijenguk oleh keluarga, kebiasaan olahraga, jenis kegiatan olahraga); data dukungan
sosial terkait dukungan emosi, instrumen, informasi, dan kepercayaan diri, termasuk
ada tidaknya upaya untuk peningkatan produktivitas; data aspek psikososial terkait
dengan tingkat depresi dan kepuasan hidup; data nafsu makan; data konsumsi pangan
(tingkat konsumsi energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral); data
aktivitas fisik; data status kesehatan (terkait dengan riwayat penyakit lansia meliputi:
jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit); data faktor genetik (umur hidup orang
tua); serta data antropometri (tinggi badan, berat badan, dan panjang depa). Data
sekunder meliputi data gambaran umum masing-masing lembaga termasuk jadwal
kegiatan lansia dimasing-masing lembaga.
Analisis data menggunakan Microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for
Windows dan SAS version 9.1 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan yaitu uji
beda Independent Sampel T-test, korelasi pearson, dan regresi linear. Tahapan analisis
multivariat dengan uji regresi linear menggunakan metode forward yaitu: 1) seluruh
variabel yang memiliki tingkat kemaknaan p<0.25 masuk kedalam pemodelan
analisis regresi sebagai variabel kandidat 2) variabel yang memiliki tingkat
kemaknaan p<0.05 merupakan variabel dominan yang berpengaruh terhadap variabel
dependen.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Lansia di PSTW lebih baik dalam hal
konsumsi sedangkan lansia di KL lebih baik dalam hal aspek psikologis (depresi dan
kepuasan hidup). Dukungan harga diri lebih banyak didapatkan oleh lansia di KL
dibandingkan PSTW, namun dukungan instrumen dan dukungan informasi lebih
banyak didapatkan oleh lansia di PSTW dibandingkan KL. Mengenai status gizi
lansia yang termasuk kategori lebih dari normal, lebih banyak dialami oleh lansia di
PSTW dibandingkan KL dan untuk status gizi yang kurang dari normal lebih banyak
dialami lansia di KL dibandingkan PSTW. Terkait aktivitas fisik yang termasuk
kategori ringan lebih banyak terdapat pada lansia di PSTW dibandingkan KL.
Terdapat hubungan antara dukungan emosi, dukungan penghargaan diri, nafsu
makan, tingkat kecukupan karbohidrat dan status kesehatan dengan status gizi lansia
berdasarkan hasil uji korelasi Pearson. Berdasarkan hasil uji regresi variabel dominan
yang berpengaruh terhadap status gizi yaitu tipe lembaga, dukungan emosi, nafsu
makan, dan tingkat kecukupan karbohidrat.

Kata kunci: lansia, LSM, status gizi, status kesehatan, panti sosial
SUMMARY

NORHASANAH. Analysis of Factors Affecting Nutritional Status and Health Status


of Female Elderly at State Nursing Home and Non-Governmental Organization in
Banjarmasin. Supervised by HADI RIYADI and DADANG SUKANDAR.

Elderly population in 2010 reached 23.9 million people (9.8%) and estimated in
2020 will stretch to 28.8 million (11.34%) (Depsos 2007). According to statistical
data of Indonesia in 2013 the life expectancy of the Indonesian population (men and
women) rose from 67.8 years old in the period 2000-2005 to 73.6 years old in the
period of 2020-2025. The increasing life expectancy of the population causing the
number of elderly people is increasing from year to year. Projected life expectancy in
South Kalimantan in the period of 2010-2015 is 69.2 years old and in the period of
2020-2025 is projected to increase to 72.1 years old (BPS 2013). In fact, judging
from the number of social welfare issues in a group of abandoned elderly in South
Kalimantan in 2010 range from 18 815 elderly and increased in 2011 to 30 291
elderly. In Banjarmasin these numbers also increased from 380 elderly people in 2010
to 458 elderly in 2011 (BPS Kalsel 2011). The increasing number of elderly, which
also requires greater attention to these groups, one of which related to nutritional
problems. The role and function of NGO that care for the elderly is necessary, so that
together could help the government deal with social welfare issues that will have an
impact on improving the nutrition and health of the elderly. Nutrients deficiency pose
a potential threat to the health of the elderly population (Sharkey et al. 2002).
Increasing age raises some changes both physically and mentally, with good
nutritional status of the elderly is expected to remain healthy, fresh and passionate in
the work. In addition, productive age can be improved so that they are still actively
involved in the development (Fatmah, 2010).
The main objective of this study was to analyze of factors affecting nutritional
status and health status of elderly at State Nursing Home and Non-Governmental
Organization (NGO) in Banjarmasin. Specifically, it was aimed to: 1) identify social
support, psychosocial aspects, appetite, food intake, physical activity, health status,
genetic factors and nutritional status of the elderly in State Nursing Home Budi
Sejahter (PSTW) and NGO Karang Lansia Sejahtera (KL); 2) analyze the differences
between social support, psychosocial aspects, appetite, food intake, physical activity,
health status, genetic factors and nutritional status of the elderly in PSTW and KL; 3)
analyze the effect of social support, psychosocial aspects, appetite, food intake,
physical activity, health status, genetic factors on the nutritional status of the elderly
in PSTW and KL.
This study used a cross sectional study design with study sites in State Nursing
Home Budi Sejahtera and Non-Governmental Organization Karang Lansia Sejahtera
in Banjarmasin. Total eligible subject were 60 elderly, taken by stratified random
sampling technique from total population of 117 elderly. Data collected included
primary and secondary data. Primary data includes respondent characteristic data
such as (name, age, educational level, occupation, marital status, residential status,
desire to join the institutions, the visitation frequency of family, exercise habits, types
of sports activities); data of social support related to emotional support, instrumental,
information, and self-esteem, including whether there is an effort to increase
productivity; psychosocial aspects data associated with the level of depression and
life satisfaction; appetite data; food consumption data (level of energy consumption,
protein, fat, carbohydrates, vitamins, and minerals); physical activity data; health
status data (related to the ailment history of the elderly include: the type of disease,
pain frequency, and duration of illness); data of genetic factors (parent’s lifespan); as
well as anthropometric data (height, weight, and length fathoms). Secondary data
includes data of a general overview of each institution, including the schedule of the
elderly in the respective institutions.
Data was analyzed using Microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for Windows
and SAS version 9.1 for Windows. Statistical analysis was done with different test of
Independent Samples T-test, Pearson correlation and linear regression. Stages of
multivariate analysis with linear regression using forward method, namely: 1) the
variables have a significance level of p <0.25 into modeling regression analysis as
candidate variables 2) variables with a significance level of p <0.05 is the dominant
variable affecting the dependent variable.
This study showed that the elderly in PSTW better in terms of consumption, while
the elderly in KL better in terms of the psychological aspects (depression and life
satisfaction). Self esteem support more is obtained by the elderly in KL than PSTW,
but the instrumental support and information support more is obtained by the elderly
in PSTW than KL. Regarding the nutritional status of elderly more than the normal
category, more experienced by the elderly in PSTW compared to KL, and for
nutritional status is less than normal, more experienced elderly in KL than PSTW.
Related physical activity which includes mild category more numerous in the elderly
in PSTW than KL. There is a relationship between emotional support, self support
esteem, appetite, carbohydrate adequacy and health status on nutritional status of
elderly based on the Pearson correlation test. Based on the results of the regression
test, the dominant variable affecting the nutritional status that is the type of
institution, emotional support, appetite, and the adequacy of carbohydrates.

Keywords: elderly, health status, NGO, nutritional status, state nursing home
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI
DAN KESEHATAN LANSIA PEREMPUAN PADA PANTI SOSIAL DAN
LEMBAGA SOSIAL MASYARAKAT DI BANJARMASIN

NORHASANAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Judul Tesis : Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi dan
Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial
Masyarakat di Banjarmasin
Nama : Norhasanah
NRP : I151120021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Hadi Riyadi, MS Prof Dr Dadang Sukandar, MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan
pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin” ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-
besarnya kepada:

1. Bapak Dr Ir Hadi Riyadi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Dadang
Sukandar, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan banyak
masukan, saran, kritik yang membangun serta motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan baik.
2. Bapak Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji luar komisi dan ibu Dr Ir Sri
Anna Marliyati, MS selaku moderator dalam ujian tesis yang telah memberikan banyak
saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
3. Dirjen Dikti selaku penyelenggara program beasiswa pascasarjana (BPPS) atas
beasiswa yang telah diberikan kepada penulis selama dua tahun perkuliahan.
4. Orang tua ku Ibu Yurni Tasrifien, Ibu Hj. Nur Asipah dan Bapak H. Khazairin,
Kakak-kakakku Abang Romy, Abang Ijay, Kak Jijim, Kak Inuy, Kak Ipat, dan
Adikku Wiwi serta Suamiku Nur Adha Yuda terimakasih atas do’a, kasih sayang,
semangat, dukungan, motivasi, dan kesabaran yang diberikan.
5. Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera dan Ketua Lembaga Sosial
Masyarakat Karang Lansia Sejahtera beserta para staf dan para lansia yang telah
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
6. Seluruh teman kelas GMS 2012 atas kebersamaan, kekompakan, persahabatan,
motivasi, dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan studi baik pada saat
perkuliahan maupun melakukan penelitian di sekolah Pascasarjana IPB.
7. Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya
ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih
mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2015

Norhasanah
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan 3
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pikir 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Lanjut Usia 6
Dukungan Sosial 7
Tingkat Depresi 8
Kepuasan Hidup 9
Nafsu Makan 11
Konsumsi Pangan 11
Aktivitas Fisik 15
Status Kesehatan 16
Status Gizi 17
Faktor Genetik 20
3 METODE PENELITIAN 21
Desain dan Lokasi Penelitian 21
Populasi dan Contoh Penelitian 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 22
Pengolahan dan Analisis Data 23
Definisi Operasional 29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 30
Karakteristik Lansia di PSTW dan KL 31
Tingkat Depresi Lansia di PSTW dan KL 33
Kepuasan Hidup Lansia di PSTW dan KL 35
Dukungan Sosial Lansia di PSTW dan KL 38
Aktivitas Fisik Lansia di PSTW dan KL 40
Nafsu Makan Lansia di PSTW dan KL 41
Tingkat Kecukupan Energi Lansia di PSTW dan KL 41
Tingkat Kecukupan Protein Lansia di PSTW dan KL 42
Tingkat Kecukupan Lemak Lansia di PSTW dan KL 43
Tingkat Kecukupan Karbohidrat Lansia di PSTW dan KL 43
Tingkat Kecukupan Kalsium (Ca) Lansia di PSTW dan KL 44
Tingkat Kecukupan Zat Besi (Fe) Lansia di PSTW dan KL 45
Tingkat Kecukupan Vitamin A Lansia di PSTW dan KL 45
Tingkat Kecukupan Vitamin C Lansia di PSTW dan KL 46
Status Kesehatan Lansia di PSTW dan KL 46
Status Gizi Lansia di PSTW dan KL 47
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia 48
5 SIMPULAN DAN SARAN 57
Simpulan 57
Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN 64
RIWAYAT HIDUP 82
DAFTAR TABEL

1 Ambang batas IMT orang Dewasa untuk Indonesia 19


2 Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk lansia perempuan per orang
per hari 25
3 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan kelompok usia 31
4 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan riwayat pendidikan 32
5 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ayah 32
6 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ibu 33
7 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat depresi 33
8 Sebaran jawaban responden di PSTW dan KL terkait dengan tingkat depresi 34
9 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kepuasan hidup 36
10 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan dukungan sosial 39
11 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan aktivitas fisik 40
12 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan nafsu makan 41
13 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan energi 41
14 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan protein 42
15 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan lemak 43
16 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat 44
17 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Ca 44
18 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Fe 45
19 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan vit. A 45
20 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan vit. C 46
21 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan status kesehatan
(skor morbiditas) 47
22 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan status gizi (IMT) 47
23 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua,
tingkat depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik,
nafsu makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta
status kesehatan dengan status gizi (IMT) 49
24 Variabel dominan yang berpengaruh terhadap status gizi (IMT) 54
25 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua,
tingkat depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik,
nafsu makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan
status kesehatan (skor morbiditas) 56
DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi


dan status kesehatan lansia 5

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi (IMT) 64


2 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan
(skor morbiditas) 68
3 Kuesioner karakteristik lansia 72
4 Kuesioner karakteristik keluarga lansia 73
5 Kuesioner dukungan sosial 74
6 Kuesioner tingkat depresi 75
7 Kuesioner kepuasan hidup 76
8 Kuesioner nafsu makan 77
9 Kuesioner recall 24 jam 78
10 Kuesioner aktivitas fisik 79
11 Kuesioner status kesehatan 80
12 Dokumentasi penelitian 81
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penduduk lansia Tahun 2010 mencapai 23.9 juta (9.8%) dan perkiraan pada
tahun 2020 mencapai 28.8 juta (11.34%) (Depsos 2007). Menurut data statistik
Indonesia tahun 2013 angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan
perempuan) naik dari 67.8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73.6 tahun pada
periode 2020-2025. Semakin meningkatnya usia harapan hidup, menyebabkan jumlah
penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Proyeksi angka harapan hidup di Kalimantan Selatan pada periode 2010-2015
adalah 69.2 tahun dan pada periode 2020-2025 di proyeksikan meningkat menjadi
72.1 tahun (BPS 2013). Pada kenyataannya, jika dilihat dari jumlah penyandang
masalah kesejahteraan sosial pada kelompok lansia terlantar di Kalimantan Selatan
pada tahun 2010 sebesar 18 815 lansia dan mengalami peningkatan pada tahun 2011
menjadi 30 291 lansia. Di Banjarmasin angka tersebut juga mengalami peningkatan
dari 380 lansia pada tahun 2010 menjadi 458 lansia pada tahun 2011 (BPS Kalsel
2011).
Meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, menuntut perhatian yang juga
semakin besar terhadap kelompok lansia, salah satunya terkait dengan masalah gizi.
Peran dan fungsi dari lembaga masyarakat atau swasta yang perduli terhadap lansia
sangat diperlukan, agar secara bersama-sama dapat membantu pemerintah menangani
masalah kesejahteraan sosial yang akan berdampak pada peningkatan gizi dan
kesehatan lansia.
Menurut Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah
ancaman potensial bagi kesehatan pada seluruh populasi lansia. Penambahan usia
menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental, dengan keadaan
gizi yang baik diharapkan para lansia akan tetap sehat, segar dan bersemangat dalam
berkarya. Melalui gizi yang baik, usia produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga
tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Fatmah 2010).
Berdasarkan kerangka pikir UNICEF terdapat dua penyebab langsung status
gizi yaitu asupan makan dan penyakit infeksi. Selain itu, hal lain yang juga
berpengaruh terhadap status gizi adalah faktor genetik dan aktivitas fisik. Selain
berpengaruh terhadap status gizi, faktor seperti asupan makan, aktivitas fisik, dan
faktor genetik juga berpengaruh terhadap status kesehatan. Asupan makan sangat
diperlukan untuk menjalankan berbagai fungsi baik di dalam tubuh terkait
metabolisme maupun di luar tubuh untuk dapat beraktivitas. Asupan energi dan zat
gizi yang sangat kurang dapat menyebabkan meningkatnya kehilangan berat badan
yang tanpa disadari (Payette 2005). Semakin tinggi aktivitas fisik, kebutuhan akan
energi dan zat gizi juga akan semakin meningkat. Konsumsi pangan yang cukup
disertai aktivitas fisik rutin akan meningkatkan status kesehatan (Romeo et al. 2010).
Konsumsi pangan berlebih, disertai aktivitas fisik kurang akan berdampak negatif
terhadap status gizi dan kesehatan.
2

Latihan fisik pada lansia penting untuk memperbaiki kondisi faali, psikologi
serta pengontrolan berat badan dan pola makannya. Aktivitas fisik rutin seperti jalan
santai, kegiatan berkebun, dan membantu pekerjaan rumah pada lansia terbukti dapat
mencegah kegagalan atau kelemahan fisik lansia terkait dengan meningkatnya
kesehatan, terhambatnya penuaan (aging) serta mempertahankan komposisi tubuh
(Petterson et al. 2009). Aktivitas fisik kurang disertai dengan IMT berlebih dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Arbab Zadeh et al. (2004) menyatakan
bahwa aktivitas fisik yang tidak aktif berhubungan dengan meningkatnya risiko
penyakit kardiovaskuler, IMT berlebih berkaitan dengan disabilitas (Groessl et al.
2004).
Pengaruh faktor genetik terhadap status kesehatan sesuai dengan teori blum
(1974) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi derajat
kesehatan seseorang adalah faktor keturunan (genetik). Status gizi dan status
kesehatan sangat ditentukan oleh kondisi yang dialami oleh lanjut usia. Status gizi
dan status kesehatan yang baik akan membawa seseorang kepada umur panjang yang
sehat dan produktif (Arisman 2009). Status kesehatan merupakan gambaran kondisi
kesehatan fisik seseorang terkait dengan jenis penyakit yang diderita, frekuensi
munculnya penyakit tersebut, dan lamanya hari sakit. Kondisi kesehatan ini erat
kaitannya dengan status gizi karena seseorang yang menderita sakit, apalagi dalam
waktu lama dan dengan frekuensi sakit yang sering cenderung mengalami penurunan
status gizi. Dampak dari status kesehatan yang baik adalah tercapainya status gizi
yang optimal. Ketika seseorang berada pada status gizi yang optimal, maka orang
tersebut tidak mudah terserang penyakit sehingga status kesehatannya juga baik.
Perubahan-perubahan pada tingkat demografi, lingkungan fisik serta sosial
dapat menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia
mengalami gejala depresi. Berdasarkan penelitian Rusilanti dkk. (2006) tingkat
depresi berkorelasi dengan dengan kondisi psikososial, dimana semakin rendah
tingkat depresi, semakin baik kondisi psikososial lansia. Harris (2004) menyatakan
bahwa depresi dapat mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan
kesejahteraan secara keseluruhan. Selain itu kondisi psikososial juga berkorelasi
dengan tingkat kepuasan hidup, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan hidup maka
semakin baik kondisi psikososial lansia. Kepuasan hidup lansia terkait dengan rasa
bahagia yang dialami lansia yang erat kaitannya dengan peran atau dukungan sosial
baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah.
Beberapa data menunjukkan bahwa usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial
Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah
normal sebanyak lebih dari 28% (Depkes 2003) di Bandung sebanyak 14.6%
(Patriasih et al. 2013). Di Yogyakarta 75% usia lanjut mempunyai kadar Hemoglobin
(Hb) kurang dari 12 g/dl (Depkes 2003). Pada Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
Karang Lansia (KL) di Banjarmasin, para lansia terlihat aktif dan produktif, mereka
tetap berkarya walaupun telah berada diusia senja. Mereka di dorong untuk dapat
mengembangkan potensi diri, mandiri, bahkan dapat membantu penghasilan keluarga.
Kegiatan yang mereka lakukan diantaranya membuat kerajinan seperti menganyam
purun menjadi tikar, tas, juga bungkus makanan. Adanya peran panti sosial atau
3

lembaga terkait dengan peningkatan produktivitas lansia lebih terlihat pada lembaga
KL dibandingkan PSTW.
Penelitian ini ingin mempelajari lebih dalam mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi lansia termasuk peran dukungan sosial dari panti atau
lembaga sosial masyarakat terutama terkait dengan peningkatan produktivitas lansia
yang berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan lansia.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


1. Bagaimana kondisi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia
perempuan pada panti sosial dan LSM di Banjarmasin.
2. Apakah terdapat perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu
makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan
status gizi lansia perempuan pada panti sosial dan LSM di Banjarmasin.
3. Apakah terdapat pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan,
konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik terhadap status
gizi lansia perempuan pada panti sosial dan LSM di Banjarmasin.

Tujuan

Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia perempuan pada panti sosial dan LSM
di Banjarmasin.

Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia
perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia Sejahtera di
Banjarmasin.
2. Menganalisis perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan,
konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi
lansia perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia
Sejahtera di Banjarmasin.
3. Menganalisis pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan,
konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik terhadap status
gizi lansia perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia
Sejahtera di Banjarmasin.
4

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu bahan kajian untuk
menambah wawasan pengetahuan terutama terkait dengan kondisi gizi dan kesehatan
lansia beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagi panti sosial atau lembaga
sosial masyarakat penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan menuju
pengelolaan kelembagaan yang lebih baik, jika terdapat kondisi yang masih belum
sesuai dan ternyata perlu diperbaiki terutama terkait dengan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan lansia. Selain itu, dapat digunakan
sebagai data dasar dalam melakukan intervensi agar dapat mencapai status gizi dan
kesehatan lansia yang lebih baik, sehingga dapat mengoptimalkan peran dan fungsi
panti sosial dan lembaga sosial masyarakat dalam penanggulangan masalah
kesejahteraan lansia yang berkaitan dengan status gizi dan kesehatan lansia.

Kerangka Pikir

Kondisi lansia erat kaitannya dengan penurunan berbagai fungsi indera seperti
menurunnya fungsi indera penciuman, indera perasa, dan juga menurunnya fungsi
gigi geligi. Kehilangan gigi menimbulkan kurangnya kenyamanan atau munculnya
rasa sakit saat mengunyah makanan. Kehilangan indera perasa dan penciuman
menyebabkan turunnya nafsu makan dan juga sensitivitas rasa manis dan asin
berkurang. Perubahan nafsu makan akan mempengaruhi pola konsumsi. Selanjutnya,
perubahan pola konsumsi ini akan mempengaruhi tingkat konsumsi lansia.
Perubahan nafsu makan juga berkaitan dengan aspek psikososial lansia yang
dapat diukur melalui tingkat depresi dan kepuasan hidup lansia. Ketika lansia merasa
puas dengan kehidupannya disertai tanpa adanya depresi maka rasa bahagia akan
muncul. Rasa bahagia yang dialami lansia akan berdampak terhadap nafsu makan
yang baik, sehingga asupan makan lansia meningkat dan pada akhirnya status gizi
dan kesehatan lansia juga akan menjadi baik. Depresi dan kepuasan hidup berkaitan
dengan dukungan sosial yang dapat berasal dari keluarga, teman, ataupun institusi
formal maupun non formal yang memberikan dukungan dalam bentuk bantuan fisik
maupun psikologis.
Agar dapat beraktivitas dengan baik, diperlukan konsumsi makan yang cukup.
Semakin tinggi aktivitas maka kebutuhan akan energi dan zat gizi yang berasal dari
konsumsi makanan juga akan meningkat. Tingkat konsumsi dan aktivitas fisik
berpengaruh terhadap status kesehatan. Konsumsi makanan yang tidak seimbang
dengan aktivitas fisik dalam artian konsumsi makan berlebih namun aktivitas fisik
kurang atau konsumsi makan kurang namun aktivitas fisik berlebih akan berdampak
negatif terhadap status kesehatan dan juga status gizi.
Selain konsumsi dan aktivitas, status kesehatan juga dipengaruhi oleh faktor
genetik. Orang yang memiliki orang tua yang berumur panjang cenderung memiliki
status kesehatan yang lebih baik dibanding yang tidak memiliki orang tua berumur
panjang. Umur hidup yang lama mencerminkan bahwa seseorang memiliki status
kesehatan yang baik.
5

Status kesehatan yang baik akan berdampak pada status gizi yang baik pula.
Status kesehatan yang buruk dapat mempengaruhi status gizi diantaranya melalui
terganggunya asupan makan lansia, terganggunya penyerapan dan pemanfaatan zat
gizi dalam jaringan tubuh dan juga berkaitan dengan obat-obatan yang dikonsumsi
oleh lansia akibat penyakit yang diderita lansia.

Penurunan Fungsi:
Pola Konsumsi: - Indera penciuman
 Makanan pokok - Indera perasa
 Lauk hewani - Gigi geligi Aspek Psikososial
 Lauk nabati - Tingkat depresi
 Sayuran - Kepuasan hidup
 Buah-buahan
 Minyak dan lemak
 Gula Nafsu Makan

Dukungan sosial:
- Dukungan emosional
- Dukungan instrumen
Tingkat Konsumsi:
- Dukungan informasi
 Energi
- Dukungan penghargaan
 Protein diri
 Lemak
 Karbohidrat
 Vitamin A
 Vitamin C
Status Kesehatan:
 Fe SApenyakit
- Jenis Faktor Genetik:
 Ca - Frekuensi penyakit - Usia hidup
- Lamanya hari sakit orang tua

Aktivitas Fisik:
Status Gizi

Keterangan:
: hubungan yang diteliti
: hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pikir faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi


dan status kesehatan lansia
6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lanjut Usia

Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses


perubahan yang rumit dan panjang, dimulai dari pembuahan sel telur dan berlanjut
sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besar, perkembangan manusia terdiri
dari beberapa tahap, yaitu meliputi kehidupan sebelum lahir, sewaktu bayi, masa
kanak-kanak, remaja, masa dewasa dan masa usia lanjut (Fatmah 2010).
Pengertian usia lanjut dapat dibedakan atas dua macam, yaitu usia lanjut
kronoligis atau usia kalender dan usia lanjut biologis. Usia kronoligis mudah
diketahui dan dihitung, yaitu saat seseorang merayakan ulang tahunnya.
Sebaliknya usia biologis adalah usia yang sesungguhnya dimiliki seseorang. Usia
biologis menunjukkan kondisi jaringan yang sebenarnya. Terlepas dari beberapa
usia kronoligis seseorang, banyaknya kemunduran jaringan yang terjadi akan
menyebabkan meningkatnya usia biologis orang yang bersangkutan. Usia biologis
inilah yang sesungguhnya dapat diupayakan agar tidak terlalu cepat bertambah
(Almatsier dkk. 2011).
Usia lanjut dapat memberi persepsi yang berbeda, tergantung dari siapa
yang menyebutnya dan untuk apa. Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai
usia saat memasuki masa pensiun yaitu di atas 55 tahun (Muis dkk. 1992).
Namun, batasan lansia menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lansia, adalah 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut WHO dalam
Notoatmojo (2007), mengklasifikasikan golongan usia sebagai berikut: usia
pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly),
antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old), antara 75-90 tahun dan usia sangat tua
(very old), di atas 90 tahun.
Proses menua merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
perubahan-perubahan fisik, psikologik, fungsi dan sosial ekonomi sekelompok
penduduk. Dari segi fisik penuaan sel-sel dapat berakibat pada penurunan
cadangan faali berbagai fungsi, seperti ginjal, jantung dan sebagainya; kegagalan
mempertahankan mekanisme homeostatik, misalnya gangguan pengontrolan
tekanan darah; dan kegagalan sistem imunitas dengan akibat pada peningkatan
penyakit keganasan dan autoimun. Perubahan fisik yang berkelanjutan dengan
gangguan fungsi akan berhubungan dengan gangguan masukan zat gizi dan energi
yang terjadi mulai dari alat penguyah, pengecap, pencernaan dan penyerapan.
Intoleransi terhadap beberapa makanan dan obstipasi sering menjadi bagian dari
keluhan para lanjut usia (Muis dkk. 1992).
Wirakusumah (2001) menyatakan bahwa perubahan-perubahan secara fisik
maupun mental, banyak terjadi saat seseorang memasuki usia senja. Perubahan
terjadi secara fisik, komposisi tubuh, penglihatan, sistem pencernaan, sistem
jantung, sistem pernapasan, otak, sistem syaraf, sistem katabolisme, sistem
hormon dan sistem ekskresi.
7

Dukungan Sosial

Konsep dukungan sosial didasarkan pada asumsi bahwa semua individu


hidup saling bergantung satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu.
Dukungan sosial adalah sikap tanggap seseorang atas kebutuhan orang lain yang
muncul dari peristiwa yang merugikan kehidupan seseorang. Bentuk dukungan
sosial dapat berupa bersikap peduli dengan mengakui keberadaan orang lain baik
secara nilai yang dianut, perasaan, maupun tindakan yang dilakukan, dan
memfasilitasi seseorang untuk mengatasi masalah yang dialami olehnya melalui
penyediaan informasi, bantuan, atau sumberdaya fisik (Cutrona 1996). Dukungan
sosial dapat juga diberikan melalui pemberian ikatan emosional antara satu sama
lain, dan berfungsi sebagai penghubung informasi untuk setiap individu (Lou
2009).
Dukungan sosial juga dapat diartikan sebagai salah satu cara individu
membantu individu lain untuk mengatasi kesulitan yang dialami, dan membuat
seseorang merasa aman berada di dalam lingkungannya (Devoldre et al. 2010).
Cutrona (1996) melihat dukungan sosial berdasarkan empat aspek, yaitu: 1)
dukungan emosional, mencakup ungkapan cinta, empati, dan perhatian yang
diberikan oleh orang lain untuk membuat seseorang merasa nyaman, dihargai, dan
dicintai; 2) dukungan instrumen, merupakan bentuk dukungan yang diberikan
melalui bantuan sumberdaya fisik seperti uang, tempat tinggal, atau berupa
bantuan fisik lainnya; 3) dukungan informasi, mencakup saran, petunjuk, atau
berupa nasehat yang diberikan untuk membantu seseorang memenuhi
kebutuhannya atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya; 4) dukungan
self-esteem, bantuan yang diberikan melalui penghargaan yang diberikan terhadap
kualitas yang dimiliki seseorang, percaya dengan kemampuan seseorang, dan juga
memberikan persetujuan terhadap gagasan, perasaan, dan apa yang dilakukan oleh
orang tersebut.
Menurut Lubben & Gironda (2003) dalam Lou (2009), dukungan sosial
dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu: 1) Keluarga, seperti pasangan hidup, anak,
cucu, saudara kandung atau kerabat lain yang memiliki hubungan dekat dan
harmonis; 2) Teman, yaitu bisa berupa rekan kerja yang juga ikut berperan dalam
karir atau kehidupan seseorang; 3) Sumber lain yang terpercaya, seperti institusi-
institusi formal maupun non formal yang memberikan dukungan dalam bentuk
bantuan fisik maupun psikologis, atau juga bisa di dapatkan dari lingkungan
sekitar seperti tetangga.
Kemunduran fungsi tubuh dan berkurangnya peran di masyarakat bagi
lansia dapat membuat emosi yang labil, mudah tersinggung, gampang merasa
dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan dan tidak berguna. Lansia
dengan problem tersebut menjadi rentan terhadap gangguan psikiatrik seperti
depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan obat (Akhmadi
2006). Ketidakmampuan keluarga lansia dalam mengatasi masalah–masalah yang
dihadapai para lansia, dapat menyebabkan para lansia dititipkan ke panti jompo.
Salah satu strategi untuk membuat lansia bahagia sehingga terhindar dari
depresi adalah mendorong lansia untuk melakukan berbagai kegiatan dan terlibat
dalam aktivitas sosial. Seperti halnya yang dilakukan di lembaga karang lansia,
melalui dukungan agar bisa mengembangkan potensi diri, hidup mandiri, tetap
bersemangat, dan berkarya. Selain mendapatkan pembinaan seputar
8

pengembangan potensi diri, para lansia juga dilatih untuk memiliki berbagai
keterampilan seperti membuat berbagai kerajinan dari botol plastik bekas yang
dibuat menjadi tas, tempat tisu, vas bunga dan hiasan dinding. Selain itu
kerajinan berupa anyaman purun (sejenis tanaman yang digunakan untuk
membuat tikar, dan lain-lain) yang dibuat menjadi tikar, tas, juga bungkus
makanan. Hasilnya sederhana, tetapi terlihat indah karena anyaman mereka
mampu membentuk beragam barang dengan beragam variasinya.

Tingkat Depresi

Salah satu masalah mental yang dialami lansia adalah depresi (Mezey et al.
1993). Depresi adalah istilah yang akrab digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Depresi adalah penyakit medis yang ditandai dengan kesedihan terus menerus,
kekecewaan dan hilangnya harga diri. Depresi mungkin disertai dengan
menurunnya energi dan konsentrasi, masalah tidur (insomnia), menurunnya nafsu
makan, kehilangan berat badan, dan sakit jasmani (Medical Encyclopedia 2010).
Depresi bukanlah bagian normal dari penuaan. Depresi merupakan sakit
yang dapat menimbulkan dampak serius jika tidak dikenali dan diobati. Depresi
merupakan masalah yang meluas di antara lansia, namun seringkali tidak dapat
secara baik dikenali atau dideteksi pada lansia. Gejala seperti rasa sedih, gangguan
tidur dan nafsu makan atau perubahan suasana hati mungkin dianggap sebagai
bagian normal pada lansia. Orang-orang terakadang menganggap bahwa masalah
dengan ingatan atau konsentrasi disebabkan oleh perubahan berpikir terkait
penuaan dibandingkan karena depresi. Lansia mengalami kesulitan untuk
berbicara mengenai perasaan sedih atau depresi (Better Health Channel 2010).
Smith (2010) menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat memicu
depresi, namun tidak semua depresi dapat ditelusuri penyebabnya. Faktor risiko
depresi pada lansia diantaranya:
1. Kesepian dan isolasi. Tinggal sendirian, berkurangnya aktivitas sosial,
berkurangnya mobilitas karena sakit
2. Hilangnya tujuan hidup. Perasaan hilangnya tujuan hidup atau identitas diri
karena masa pensiun atau keterbatasan aktivitas fisik
3. Masalah kesehatan. Sakit, disabilitas, penyakit kronis, menurunnya fungsi
kognitif, serta berbagai penyakit lain yang mengakibatkan perubahan tubuh
4. Pengobatan. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan risiko terkena
depresi
5. Takut. Rasa takut akan kematian atau kekhwatiran tentang masalah keuangan
serta kesehatan
6. Kehilangan mendadak. Kehilangan pasangan hidup, teman, keluarga bahkan
binatang peliharaan dapat memicu rasa tertekan pada lansia
Wirakusumah (2001) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan sosial,
kondisi yang terisolasi, kesepian dan berkurangnya aktivitas menjadikan para
lansia mengalami rasa frustasi dan kurang bersemangat. Akibatnya, selera makan
terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan berat
badan. Oleh karena itu, kondisi mental yang tidak sehat secara tidak langsung
dapat memicu terjadinya status gizi yang buruk. Watson (2003) menyebutkan
9

bahwa secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan seperti depresi akan
menimbulkan sifat apatis lansia terhadap makanan.
Perasaan depresi mencerminkan ketidakbahagiaan hidup seseorang yang
pada lansia sering disebabkan karena lansia merasa sendiri, tidak dihargai, dan
hanya menjadi beban bagi orang lain. Berdasarkan penelitian Patriasih et al.
(2013) lansia yang tinggal dipanti sosial di Bandung yang merasakan depresi
akibat merasa sendiri (feeling lonely) sebanyak 45%.
Depresi merupakan akumulasi dari stres berkepanjangan. Stress merupakan
ketidakmampuan menyelesikan masalah yang dihadapi, adanya tekanan,
penyebabnya banyak, bisa berupa konflik dan lain-lain. Stres termasuk tahap
pertama sebelum adanya frustrasi yang merupakan tahap kedua dan tahap ketiga
baru disebut depresi. Depresi merupakan gejala abnormal yang dialami seseorang
apabila tidak mampu mengatasi stressnya secara baik dan benar.
Stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh
yang dapat mempengaruhi kesehatan. Hubungan antara rasa stres dengan sakit
ditandai dengan proses pelepasan hormon, khususnya hormon catecholamins dan
corticostreroids yang dilepas oleh rangsangan sistem kardiovaskuler. Jika
pelepasan hormon ini sangat tinggi, maka dapat menyebabkan jantung berdebar-
debar sangat kencang sehingga dapat menyebabkan kematian. Perasaan stres juga
dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan fisiologis seperti asma, penyakit
kepala kronis, arthritis (rematik), beberapa penyakit kulit, hipertensi, CHD
(Chronic Heart Disease), dan juga kanker (Smet 1994).

Skala Depresi Geriatrik


Skala depresi dapat bermanfaat untuk memeriksa depresi atau distres
psikologi menyeluruh. Skala Depresi Geriatrik (SDG) didisain sebagai alat tes
skrining depresi pada lansia. Konsep dasar dari SDG adalah depresi pada lansia
sama halnya seperti pada orang muda (gangguan tidur, hilangnya berat badan,
pesimis akan masa depan) sebagai efek penuaan atau karena sakit jasmani. Skala
depresi geriatrik (SDG) didisain secara sederhana, jelas, dan merupakan skala
pelaporan sendiri. Meskipun secara normal SDG didisain sebagai skala pelaporan
sendiri, SDG juga dapat dibacakan oleh pewawancara dan wawancara dapat
dilakukan melalui telepon Yesavage (1988).
Yesavage (1988) mengusulkan bentuk singkat dari SDG. Hal ini ditujukan
untuk mengurangi masalah kelelahan terutama pada responden dengan sakit fisik
atau demensia. Bentuk singkat SDG hanya berisi 15 pertanyaan terpilih. Skala
depresi geriatrik (SDG) fokus pada aspek perasaan dari depresi. Skala ini mudah
digunakan dan dilaporkan secara cepat. Skala depresi geriatrik (SDG) telah
digunakan baik pada contoh komunitas ataupun pasien, dan hasilnya memiliki
reliabilitas dan sensitivitas yang tinggi diantara lansia. Selain itu, SDG versi
pendek telah divalidasi untuk kebutuhan klinis dan penelitian.

Kepuasan Hidup

Kepuasan hidup sangat penting dalam mencapai kesuksesan dalam usia


lanjut. Seseorang yang merasa telah memberi banyak penghargaan dalam
hidupnya biasanya menghadapi masa depan dengan kepuasan pribadi yang cukup
10

besar, dan sebaliknya perasaan menyesal hanya dirasakan sedikit. Selain itu, orang
yang merasa puas dengan hidupnya juga memiliki sikap positif tentang masa lalu
dan masa depan (Turner et al. 1990). Neugarten et al. dalam Barrett dan Murk
(2006) menambahkan, seseorang yang merasa puas dengan hidupnya dicirikan
dengan perasaan penuh optimis, konsep diri yang positif, dan juga merasa senang
dengan aktivitas yang dijalaninya.
Kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau
kepuasan hidup yang dirasakan oleh seseorang secara keseluruhan (Santrock
2002). Menurut Korff (2006), seseorang yang puas dengan hidupnya memandang
masa depan dengan penuh kebahagiaan. Berg (2008) mengemukakan bahwa
kepuasan hidup dicerminkan dengan kondisi kehidupan yang baik, sementara itu
Sousa dan Lyubomirsky (2001) menggambarkan kepuasan hidup sebagai kondisi
saat seseorang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup, serta mampu
menerima kondisi hidupnya secara keseluruhan.
Santrock (2002) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepuasan hidup lansia salah satunya adalah aktivitas yang dijalani oleh
lansia. Lansia yang banyak melakukan aktivitas di luar rumah lebih merasa puas
dengan hidupnya dibandingkan dengan lansia yang hanya berdiam diri di rumah.
Senada dengan Santrock, Neugarten dalam Santrock (2002) menyatakan bahwa
ketika seseorang yang terus hidup produktif, aktif, dan energik saat menginjak
masa tua, kepuasan hidup orang tersebut tidak akan menurun. Sementara itu Sousa
dan Lyubomirsky (2001) berpendapat bahwa kepribadian merupakan salah satu
faktor yang memainkan peran penting dalam menentukan kepuasan hidup. Aspek-
aspek kepribadian seperti ketahanan psikologis, empati, dan terbuka dengan
pengalaman memiliki hubungan dengan kepuasan hidup.
Neugarten et al. (1961) melihat kepuasan hidup dari lima aspek, yaitu:
1. Merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Aspek ini
menjelaskan bahwa seseorang yang menggunakan lebih banyak energinya
untuk beraktivitas, baik itu aktivitas yang melibatkan fisik maupun logika
memiliki kepuasan hidup yang lebih besar.
2. Menganggap hidup penuh arti dan menerima dengan tulus kondisi kehidupan
yaitu berhubungan dengan bagaimana seseorang aktif menerima tanggung
jawab yang ada dalam hidupnya daripada pasif menerima atau memaafkan apa
yang telah terjadi. Hal ini terkait dengan integritas Erikson, yaitu konsep yang
berhubungan dengan kebermaknaan hidup dan kurangnya rasa takut akan
kematian.
3. Merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar tujuan hidup, hal
ini berhubungan dengan keinginan dan pencapaian tujuan yang menyebabkan
seseorang merasa puas atau tidak puas dengan hidupnya.
4. Berpegang teguh pada gambaran diri positif, hal ini didasarkan pada aspek
fisik, emosi, dan dimensi intelektual seseorang. Seseorang yang tidak merasa
tua dan menganggap dirinya bijaksana atau kompeten, cenderung memiliki
kepuasan hidup yang lebih besar. Kehidupan sukses di masa lalu merupakan
salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang memiliki gambaran diri
positif.
5. Memiliki sikap hidup optimis dan suasana hati bahagia, hal ini berkaitan
dengan perasaan optimis, bahagia, dan sikap positif lainnya. Depresi,
kesedihan, kesepian, lekas marah, dan pesimis adalah perasaan yang akan
11

membuat seseorang tidak merasa puas dengan hidupnya. Aspek ini


menjelaskan bahwa seseorang yang merasa bahagia dengan kehidupan yang
dijalaninya sekarang akan merasa jauh lebih puas dengan hidupnya di masa
depan.

Nafsu Makan

Banyaknya kuantitas konsumsi pangan seseorang per hari dipengaruhi oleh


dua hal pokok, yaitu ukuran saji makanan dan frekuensi konsumsi pangan. Kedua
variable ini diatur oleh mekanisme yang jelas. Lapar diartikan sebagai sensasi
yang dirasakan oleh seseorang yang mendorong dia untuk mencari dan
mengonsumsi pangan. Sensasi ini muncul beberapa saat setelah terjadi
penyerapan makanan/zat gizi dari pangan yang dikonsumsi sebelumnya. Pada
masa ini timbul keinginan untuk makan (Siagian 2006).
Tingkat keinginan untuk makan dinyatakan dengan skor nafsu makan.
Walaupun mekanismenya belum dapat dipahami secara jelas, di duga salah satu
penyebabnya adalah turunnya kadar glukosa darah. Setelah mengonsumsi pangan
dengan kuantitas tertentu, terjadi penekanan rasa lapar dan pada akhirnya
mengarah ke penghentian asupan pangan. Proses ini dikenal sebagai kekenyangan
(satiation). Perasaan kenyang akan diikuti oleh suatu masa (periode waktu) di
mana perasaan lapar tidak hadir disebut sebagai satiety (Jequier dan Tappy 1999).
Berdasarkan cara pengukurannya, nafsu makan digolongkan menjadi dua,
yaitu nafsu makan objektif (objective appetite) dan nafsu makan subjektif
(subjective appetite). Nafsu makan objektif diukur dengan mendeteksi hormon-
hormon yang berkaitan dengan rasa lapar/kenyang, seperti leptin. Sedangkan
nafsu makan subjektif diukur dengan cara meminta subjek mengungkapkan
perasaan laparnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan tanda pada
suatu garis rentang skala mulai sangat tidak kenyang sampai sangat kenyang.
Interpretasi rasa kenyang dinyatakan dengan skor nafsu makan.
Menurut Fatmah (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan selera
makan lansia antara lain: kehilangan gigi, yang menimbulkan kurangnya
kenyamanan atau munculnya rasa sakit saat mengunyah makanan; kehilangan
indera perasa dan penciuman, yang menyebabkan turunnya nafsu makan dan juga
sensitivitas rasa manis dan asin berkurang; berkurangnya cairan saluran cerna
(sekresi pepsin), dan enzim-enzim pencernaan proteolitik, yang mengakibatkan
penyerapan protein tidak berjalan efisien; berkurangnya sekresi saliva, yang dapat
menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses
kerusakan pada gigi; serta penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang
waktu singgah (transit time) dalam saluran gastrointestinal mengakibatkan
pembesaran perut dan konstipasi.

Konsumsi Pangan

Menurut Arisman (2009), lansia memerlukan pangan yang relatif kecil


jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk
mengimbangi penyusutan faali yang cepat serta untuk mempertahankan daya
12

tahan tubuh terhadap penyakit. Sedang jumlah yang kecil yang tercermin dari nilai
energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan
lansia.
Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi lansia tetap sama
seperti yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang
berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya
dikurangi, disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi
makanan sumber protein, vitamin dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi
jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi dalam
jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai sumber vitamin
dan mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik.
Hal ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan
dalam buang air besar. Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut dapat
di atasi dengan mudah (Astawan dan Wahyuni 1988).
Pola konsumsi pangan lansia dapat dipengaruhi oleh perubahan akibat
proses menua yang terjadi pada lansia sehingga penyajian dan pengolahan
makanan pada lansia perlu mendapat perhatian khusus (Depkes 1998). Perubahan-
perubahan tersebut misalnya berkurangnya sensitifitas indera penciuman dan
perasa pada lansia mengakibatkan selera makan menurun. Lansia sering
mengalami gangguan pada gigi yang mengakibatkan lansia mengalami hambatan
dalam proses pengunyahan dan membatasi jenis makanan yang dikonsumsi
(Wirakusumah 2000).
Bagi lansia, pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat
membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-
sel tubuh sehingga dapat memperpanjang umur. Kebutuhan kalori pada lansia
berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori dasar
adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan
istirahat, misalnya: untuk jantung, usus, pernapasan dan ginjal.
Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas
asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi
makanan. Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri
dari jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang
(Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Dalam mengkaji asupan makanan
ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2) perhitungan
kebutuhan zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan kebutuhan gizi
(Depkes 2006).

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lansia

Meningkatnya usia akan diikuti dengan menurunnya aktivitas tubuh yang


berakibat pada menurunnya kebutuhan kalori. Seseorang yang berusia 70 tahun
akan mengalami metabolisme basal 20% lebih rendah bila dibandingkan dengan
mereka yang berusia 30 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka konsumsi kalori
harus dikurangi untuk menghindari risiko kegemukan dan serangan penyakit lain
(Astawan dan Wahyuni 1988).
13

Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain
tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, usia, jenis
kelamin dan faktor yang bersifat relatif, di antaranya yakni gangguan pencernaan
(ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization),
perbedaan pengeluaran (excretion) dan pengahancuran (destruction) zat tersebut
di dalam tubuh (Supariasa dkk. 2001).

Energi
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi yang dibutuhkan lansia
berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan
aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk
menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi
dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah
2010). Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia pada
periode lansia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka
metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Harris 2004).
Energi metabolisme basal adalah energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan aktivitas metabolisme sel dan jaringan, selain itu untuk
mengatur proses sirkulasi darah, pernafasan, pencernaan dan sistem urinari.
Kebutuhan energi setiap individu merupakan tingkat asupan energi yang didapat
dari makanan yang akan menyeimbangkan pengeluaran energi yang sesuai dengan
ukuran dan komposisi tubuh serta tingkat aktivitas fisik. Berat badan merupakan
indikator kecukupan energi karena tubuh secara unik memiliki kemampuan
mengubah karbohidrat, protein, dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi.
Oleh karena itu mengonsumsi makanan terlalu banyak atau sedikit secara terus
menerus akan berdampak pada perubahan berat badan (Frary dan Johnson 2000).
Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di
dalam makanan. Sumber energi dengan konsentrasi tinggi adalah bahan makanan
sumber lemak seperti minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian, sedangkan padi-
padian, umbi-umbian dan gula murni merupakan bahan makanan sumber
karbohidrat lainnya (Almatsier 2001).

Protein
Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari
serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh
akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk
membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, dan sel darah
merah (Fatmah 2010).
Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak berubah, beberapa studi
menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat badan dibutuhkan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi konsumsi protein 1-
1,25g/kg berat badan secara umum aman untuk lansia. Kebutuhan akan protein
akan meningkat sejalan dengan adanya penyakit akut dan kronis (Harris 2004).
Sumber protein dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu protein hewani dan
protein nabati. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai
mutu tertinggi (Almatsier 2001), sedangkan daging dan ikan merupakan sumber
protein hewani yang baik untuk dikonsumsi lansia (Watson 2009).
14

Vitamin
Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan
vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau
meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan
mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan Seiring
berlangsungnya proses penuaan, maka kepadatan zat gizi dalam makanan menjadi
hal yang lebih diperhatikan. Makanan yang disediakan harus memiliki cukup
vitamin maupun mineral (Harris 2004).
Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walau
ketersediaanya di dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan diperlukan
bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat beberapa jenis
vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan mencegah timbulnya
radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin C (Fatmah 2010).
Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan,
diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi,
pencegahan kanker dan penyakit jantung (Watson 2009). Sumber vitamin A
terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai
sumber utama. Sayuran, terutama sayuran berdaun hijau dan buah berwarna
kuning-jingga mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005).
Kekurangan atau kelebihan vitamin A akan menimbulkan efek samping atau
penyakit. Kelebihan vitamin A akan menyebabkan toksisitas dan jarang terjadi
pada usia lanjut; sedangkan kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons
kekebalan yang menurun (sering terkena penyakit infeksi), terhambatnya
perkembangan mental dan yang lebih parah adalah terjadinya xeroftalmia.
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau
kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit.
Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari serangan
kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih,
mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi.
Vitamin C merupakan komponen penting dalam pemecahan kolesterol dalam
tubuh. Kolesterol sulit dikeluarkan jika vitamin ini berada dalam jumlah sedikit
dalam diet, yang dapat menimbulkan kadar kolesterol darah yang meningkat.
Vitamin C yang berasal dari buah-buahan dan sayuran dapat meningkatkan kadar
kolesterol HDL dan menurunkan LDL (Fatmah 2010).
Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah jika dibandingkan
dengan orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi
vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris
2004). Sayur dan buah merupakan sumber vitamin C yang baik untuk dikonsumsi
(Almatsier 2001).

Mineral
Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama
tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses
penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem
imunitas tubuh (Fatmah 2010).
Kalsium tidak hanya penting untuk pencegahan pengobatan hipertensi,
tetapi juga dapat menurunkan kolesterol darah. Asupan kalsium yang tinggi (1000
15

mg atau lebih) dapat mempengaruhi absorpsi lemak dan kolesterol. Kalsium dan
magnesium berkompetisi di dalam usus untuk di absorpsi, dan jika asupan diet
dari salah satu mineral tersebut meningkat, maka dapat mempengaruhi absorpsi
mineral lainnya (Fatmah 2010).
Sumber utama kalsium adalah susu dan produk olahan susu, seperti keju.
Ikan dimakan dengan tulang termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium
yang baik. Serealia, kacang-kacangan dan produk olahan kacang-kacangan seperti
tahu dan tempe, serta sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga,
tetapi bahan makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium
seperti serat fitat dan oksalat (Almatsier 2001).
Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh, yaitu sebanyak 3-5 gram. Zat besi memiliki beberapa fungsi esensial di
dalam tubuh seperti alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai
alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim di
dalam jaringan tubuh. Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk zat besi-
hem seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat
besi non-hem dalam makanan nabati (Almatsier 2001).

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi


Untuk menilai tingkat kecukupan makanan (energi dan zat gizi), diperlukan
suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recomended Dietary Allowance
(RDA) untuk populasi yang diteliti. Untuk Indonesia, Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dianjurkan. Dasar pengajian Angka Kecukupan Gizi (AKG)
didasarkan pada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan,
aktivitas, kondisi khusus (hamil dan menyusui) (Supariasa dkk. 2001).
Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan
membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kebutuhan zat
gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen (%).
Menurut Hardinsyah dkk (2002) rumus perhitungan tingkat kecukupan
secara umum adalah TKG i = (Ki/AKGi) x100%. Depkes (1996)
mengkategorikan tingkat kecukupan ke dalam kategori defisit tingkat berat
(<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal
(90-119%) dan lebih (≥120%). Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan
mineral dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77%) dan cukup (≥77%)
(Gibson 2005).

Aktivitas Fisik

Lansia akan mengalami penurunan aktivitas fisik. Salah satu factor


penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan terjadinya
kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktivitas yang
menuntut ketangkasan fisik. Penurunan aktivitas fisik pada lansia harus diimbangi
dengan penurunan asupan energi, hal ini untuk mencegah terjadinya ozat besitas.
Jika asupan energi tidak diimbangi dengan penurunan kalori maka akan
mengakibatkan keseimbangan kalori positif (kelebihan kalori) sehingga akan
meningkatkan risiko terjadinya serangan beberapa penyakit degeneratif
(Wirakusumah 2001).
16

Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan


pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan
mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang
hari. Aktivitas fisik sangat penting bagi lansia. Dengan melakukan aktivitas fisik,
maka lansia tersebut dapat mempertahankan bahkan meningkatkan derajat
kesehatannya. Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang sesuai bagi lansia di
Indonesia, di antaranya ketahanan (endurance), kelenturan (flexibility) dan
kekuatan (strength) (Fatmah 2010).
Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan dapat membantu jantung,
paru-paru, otot dan sistem sirkulasi darah agar tetap sehat dan membuat kita lebih
bertenaga, contoh: berjalan kaki, lari ringan, senam dan berkebun. Aktivitas yang
bersifat kelenturan dapat membantu pergerakan menjadi lebih mudah,
mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur), dan membuat sendi berfungsi
dengan baik, contoh: peregangan, senam taichi/yoga, mencuci pakaian dan
mengepel lantai. Aktivitas yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja
otot tubuh dalam menahan suatu beban yang diterima, menjaga tulang tetap kuat
dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan
terhadap penyakit seperti osteoporosis, contoh: push up, naik turun tangga,
membawa belanjaan dan senam terstruktur dan terukur (fitness) (Fatmah 2010).
Aktivitas fisik utama yang penting dalam meningkatkan kesehatan lansia
adalah olahraga (Almatsier dkk. 2011). Sebaiknya olahraga dilakukan dengan
seimbang, baik dari lamanya berolahraga, intensitas (seberapa keras dilakukan),
maupun seringnya (frekuensi) berolahraga. Intensitas akan semakin meningkat
seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan tubuh, sedangkan lama dan
seringnya berolahraga sebaiknya dijaga selalu konstan ketika tingkat yang baik
sudah tercapai (Fatmah 2010).
Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan risiko kegemukan, diabetes
melitus tipe II, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, osteoporosis, beberapa
jenis kanker dan depresi. Aktivitas juga dapat memperpaiki kualitas hidup
seseorang melalui peningkatan kebugaran dan perbaikan rasa sehat. Elemen/unsur
program gerak badan yang baik seperti aerobik 3-5 kali dalam seminggu selama
30-60 menit, latihan angkat beban ringan, kelenturan latihan keseimbangan dan
pelemasan otot untuk mempertahankan kelenturan tubuh (Komnas Lansia 2010).

Status Kesehatan

Status kesehatan adalah keadaan kesehatan pada waktu tertentu (Smet


1994). Status Kesehatan dapat dicerminkan oleh variabel morbiditas dan status
gizi. Morbiditas meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular.
Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan,
kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan
hidup, status gizi dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan
masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang
mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu
diperlukan suatu alat yang dapat memberikan indikasi untuk menggambarkan
keadaan kesehatan. Alat tersebut adalah indikator kesehatan yang dapat digunakan
untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan kesehatan dan
17

merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan (Depkes


2007). Menurut Sediaoetama (2006) salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk menilai keadaan kesehatan gizi masyarakat secara tidak langsung yaitu
morbiditas (angka sakit), mortalitas dan berat lahir bayi yang rendah.
Seiring dengan peningkatan usia, timbul masalah-masalah yang tidak
dijumpai pada usia muda seperti gangguan kesehatan, gangguan kejiwaan dan
gangguan adaptasi sosial. Hal ini disebabkan oleh proses menua sebagai akibat
berubahnya kualitas kebutuhan pokok sebagai manusia yang berjalan kurang
seimbang. Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang
dan penyakit yang diderita. (Astawan dan Wahyuni 1988).
Jenis-jenis penyakit yang umum diderita lansia Indonesia adalah penyakit
kardiovaskuler, TBC paru, gangguan pernapasan dan penyakit yang timbul karena
infeksi. Pada masa yang akan datang, penyakit lansia akan berubah dari infeksi
menjadi penyakit degeneratif yang memerlukan pelayanan kesehatan yang
sempurna dan biaya mahal (Patmonodewo, dkk 2001). Namun, menurut Muis,
dkk (1992) penyakit yang umum diderita oleh lansia yaitu penyakit jantung dan
pembuluh darah, sendi dan tulang serta endokrin dan metabolik.
Depkes (2003) menambahkan bahwa penyakit atau gangguan kesehatan
pada usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan
degeneratif, seperti penyakit hipertensi, diabates melitus, osteoporosis, demensia,
gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan
keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagiannya.
Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih
sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan,
influenza) atau infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia, TBC), infeksi
saluran kemih, infeksi kulit. Penelitian epidemiologik berhasil mengidentifikasi
berbagai faktor risiko bagi kejadian penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar
faktor risiko tersebut berasal dari pola konsumsi bahan-bahan makanan tertentu
oleh segment penduduk, maupun bangsa tertentu pula (Muis dkk. 1992).
Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya
keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. hal ini sesuai dengan kerangka
pikir UNICEF. Hasil penelitian Puspitasari (2011) pada lansia peserta home care
dan bukan home care yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara
status gizi dan status kesehatan (r=-0,289; p<0,05). Penyakit salah gizi merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian untuk banyak penyakit infeksi primer.
Namun, di sisi lain keberadaan penyakit akan meningkatkan kebutuhan tubuh
terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami penyakit akan kehilangan nafsu
makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini
akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi
(Soehardjo 2008).

Status Gizi

Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang
masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output)
akan zat gizi tersebut (Supariasa, dkk 2001). Keadaan gizi seseorang
mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi
18

kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah
proses yang digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi
(kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang
harus diberikan pada seseorang (Depkes 2003).
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan
gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat
objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah
tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium
perorangan serta sumber lain (Arisman 2009).
Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Penilaian secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis,
biokimia, dan biofisik sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga, yaitu
survei konsumsi pangan, statistika vital dan faktor ekologi (Supariasa dkk. 2001).
Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan
komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan.
Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar
lengan atas (LILA) dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia adalah
pola distribusi lemak (Muis 2006).
Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh,
yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan
tinggi badan karena kompresi vertebrata, kifosis dan osteoporosis. Pengukuran
tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri
tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan
pengukuran tinggi lutut atau pengukuran rentang lengan (Muis 2006).
Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi dengan tinggi badan dan mungkin
digunakan untuk memprediksi tinggi badan seseorang dengan kifosis atau
seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson 2005). Tinggi lutut
direkomendasikan oleh WHO (1995) dalam Fatmah (2010) untuk digunakan
sebagai predikor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
Alat pengukuran tinggi lutut yaitu penggaris kayu/stainless steel dengan mata
pisau menempel pada sudut 900 dan segitiga kayu untuk membentuk sudut 900
pada kaki kiri. Cara pengukuran yaitu:
1) lansia diukur dalam posisi duduk atau berbaring diatas lantai atau kasur dengan
permukaan rafa tanpa menggunakan bantal atau alas kepala; 2) segitiga kayu
diletakkan pada kaki kiri antara tulang kering dengan tulang paha membentuk
sudut 900; 3) penggaris kayu/stainless steel ditempatkan diantara tumit sampai
bagian terrtinggi dari tulang lutut. Pembacaan dilakukan pada alat ukur dengan
ketelitian 0.1 cm.
Estimasi tinggi badan lainnya yaitu dapat menggunakan panjang depa.
panjang depa merupakan salah satu prediktor tinggi badan lansia dan dianggap
sebagai pengganti ukuran tinggi badan lansia. Panjang depa relatif kurang
dipengaruhi oleh pertambahan usia. Akan tetapi, panjang depa pada kelompok
lansia cenderung lebih rendah daripada kelompok dewasa muda. Pada kelompok
lansia terlihat adanya penururnan nilai panjang depa yang lebih lambat
dibandingkan dengan penurunann tinggi badan, sehingga dapat disimpulakn
bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah seiring pertambahan usia
(Tayie FAK et al. 2003).
19

Kondisi/syarat pengukuran panjang depa dalam Fatmah (2010) yaitu: 1)


lansia yang diukur harus memiliki kedua taangan yang dapat direntangkan
sepanjang mungkin dalam posisi lurus mendatar/horizontal dan tidak dikepal; 2)
panjang depa tidak dianjurkan diukur dalam posisi berbaring atau telentang karena
dapat mengurangi tingkat ketelitian hasil pengukuran sehingga hasilnya kurang
akurat (WHO 1995). Alat pengukuran panjang depa menggunakan mistar kayu
sepanjang 2 meter. Cara pengukuran: 1) lansia berdiri dengan bahu dan kaki
menempel membelakangi tembok sepanjang pita pengukuran yang ditempel
ditembok; 2) bagian atas kedua lengan hingga ujung telapak tangan menempel
erat di dinding sepanjang mungkin; 3) pembacaan dilakukan dengan ketelitian 0.1
cm mulai dari bagian ujung jari tengah tangan kanan hingga ujung jari tengah
tangan kiri.
Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status
gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang
dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku
bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada
bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa
diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, asites
dan hepatomegalia (Supariasa dkk. 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi
berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Klasifikasi
status gizi berdasarkan IMT untuk orang dewasa di Indonesia (Kurniasih dkk.
2010) dapat dilihat pada Tabel 2. Sama seperti orang dewasa, salah satu cara
menentukan status gizi lansia adalah berdasarkan IMT.

Tabel 1 Ambang batas IMT Orang Dewasa untuk Indonesia


Klasifikasi IMT (kg/m2)
Sangat kurus <17
Kurus 17.0-18.4
Normal 18.5-24.9
Kelebihan berat badan/overweight 25.0-26.9
Gemuk ≥27-28.9
Sangat gemuk ≥29
Sumber: Depkes RI dalam Kurniasih et al. (2010)

Lansia merupakan golongan yang rawan mengalami malnutrisi. Malnutrisi


secara nyata dapat mempengaruhi kesejahteraan lansia, menyebabkan penurunan
status fungsional dan membuat masalah medis semakin buruk. Beberapa data juga
menunjukkan bahwa lebih daripada 28% usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial
Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di
bawah normal (Depkes 2003).
Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang
bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan,
isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik,
gangguan indera, gangguan mental, dan kemiskinan hingga kurangnya asupan
makanan. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorpsi, penggunaan obat-obatan,
peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme (Muis 2006). Faktor-faktor ini
dapat menyebabkan malnutrisi pada lansia dan jika bergabung maka akan
20

mengakibatkan keburukan nutrisi yang akhirnya dapat membahayakan status


kesehatan mereka (Watson 2003).

Faktor Genetik

Menurut Dan Buettner dalam Cahyono (2008) panjangnya umur seseorang


paling tidak ditentukan oleh faktor genetika dan pola hidup. Dalam buku yang
ditulis oleh Sa’abah (2001) jika dilihat dari sudut seluler, penuaan adalah berupa
terjadinya kematian sel dan kerusakan jaringan serta adanya peran ekspresi gen
dengan tidak mengesampingkan pengaruh lingkungan yang berperan sebagai
pemercepat atau pemerlambat proses laju penuaan. Teori penuaan yang
memisahkan sebab genetis dan non genetis tidaklah tepat karena penuaan tidaklah
dikendalikan oleh satu mekanisme saja, tetapi faktor genetika dan faktor
lingkungan ikut menentukan.
Tubuh memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dari kerusakan,
baik akibat internal maupun eksternal, yang dikenal sebagai cadangan
pemeliharaan selama hidup. Faktor ini ditentukan oleh gen berupa kapasitas
metabolis dan kemampuannya menanggapi stress. Cadangan pemeliharaan yang
dibangun oleh gen, baik buruknya ditentukan oleh hasil interaksi gen dan
lingkungannya (epigenetis) selama masa pertumbuhan. Cadangan pemeliharaan
ini sewaktu muda berkisar antara 4-10 kali dari yang dibutuhkan tubuh untuk
menjaga kesetimbangan (homeostatis) normal. Hal-hal yang mempengaruhi
seperti kondisi lingkungan dan emosional (hormonal) sangat berperan. Anak yang
meiliki gen panjang umur, jika masa-masa pertumbuhannya terganggu, pada
akhirnya akan cepat tua. Akan tetapi, proses penuaan dapat juga dipercepat oleh
faktor lingkungan ketika dewasa (stres, kerusakan, dan penyakit) atau akibat
instabilitas genetis.
Umur panjang dipengaruhi oleh faktor genetik dan atau mempunyai gen
yang mengurangi efek dari penyakit yg berhubungan dengan penuaan. Ada
beberapa gen yang diperkirakan terlibat dalam pengaturan sinyal insulin,
immunoinflammatory response, stress resistance atau fungsi pernapasan. Namun,
gen yang terbukti mempengaruhi umur panjang adalah APOE yang berperan
penting dalam pengaturan lipoprotein dimana lipoprotein tersebut mempengaruhi
umur panjang. Di okinawa rata-rata orang memiliki hubungan kekerabatan dengan
orang yang ber umur panjang juga akan memiliki umur yang panjang dengan
kekuatan hubungan sesama saudara kandung perempuan sebesar 2.58 kali dan
laki-laki 5.43 kali (Willcox et al. 2006).
21

3 METODE PENELITIAN

Desain dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study berlokasi di Panti


Sosial Tresna Werda (PSTW) Budi Sejahtera dan Lembaga Sosial Masyarakat
(LSM) Karang Lansia (KL) di Banjarmasin. PSTW Budi Sejahtera merupakan
panti sosial yang dikelola oleh pemerintah, sedangkan Karang Lansia Sejahtera
merupakan tempat pembinaan lansia di luar panti yang dikelola oleh masyarakat.
Lokasi penelitian ditentukan secara purposif yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian yaitu untuk mengetahui kondisi gizi dan kesehatan lansia pada dua
lembaga yang berbeda, dan dengan pertimbangan lainnya bahwa lembaga seperti
panti sosial dan LSM lansia memiliki jumlah lansia yang relatif banyak,
kemudahan akses dan perizinan serta populasi yang beragam.

Populasi dan Contoh Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua penghuni PSTW dan semua
lansia binaan KL. Contoh ditentukan berdasarkan kriteria inklusi yaitu perempuan
berusia ≥55 tahun, tidak mengalami gangguan pendengaran, dapat berkomunikasi
dengan baik dan bersedia di wawancara sebagai contoh.
Besar contoh ditentukan melalui penarikan contoh acak berlapis dengan
alokasi proporsional yang didapatkan melalui perhitungan berikut ini:

Keterangan:
s = simpangan baku status gizi lansia pada penelitian Patriasih R et al. 2013
α = derajat kepercayaan (95%)
v = derajat bebas
d = limit error atau presisi mutlak
n = jumlah contoh minimal yang diperlukan
n1 = jumlah contoh minimal yang diperlukan pada PSTW
n2 = jumlah contoh minimal yang diperlukan pada KL
N1 = jumlah populasi PSTW
N2 = jumlah populasi KL
N = jumlah populasi PSTW + KL
22

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur,
tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status tempat tinggal, keinginan
masuk panti, frekuensi dijenguk oleh keluarga, kebiasaan olahraga, jenis kegiatan
olahraga); data karakteristik keluarga responden (jumlah anggota keluarga
responden, status dalam keluarga, jenis kelamin anggota keluarga, umur,
pendidikan, dan pekerjaan anggota keluarga); data dukungan sosial lembaga
termasuk ada tidaknya upaya untuk peningkatan produktivitas, upaya pemenuhan
kebutuhan hidup lansia seperti pelayanan kesehatan, kebutuhan konsumsi, dan
lain-lain; data aspek psikososial terkait dengan tingkat depresi dan kepuasan
hidup; data nafsu makan; data konsumsi pangan (tingkat konsumsi energi, protein,
lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral); data aktivitas fisik; data status
kesehatan (terkait dengan riwayat penyakit infeksi lansia meliputi: jenis penyakit,
frekuensi sakit, dan lama sakit); data faktor genetik (umur hidup orang tua); serta
data antropometri (tinggi badan, berat badan, dan panjang depa). Data sekunder
yang dikumpulkan meliputi data gambaran umum masing-masing lembaga
termasuk jadwal kegiatan lansia dimasing-masing lembaga.
Data karakteristik reponden dan keluarga responden, data peran atau
dukungan sosial lembaga, data spek psikososial, data nafsu makan, data konsumsi
pangan, data aktivitas fisik, data status kesehatan, dan data faktor genetik
dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan alat bantu kuesioner. Data
peran lembaga dikumpulkan melalui wawancara dengan pihak pengelola pada
masing-masing lembaga untuk mengetahui ada atau tidaknya upaya untuk
peningkatan produktivitas, upaya pemenuhan kebutuhan hidup lansia seperti
pelayanan kesehatan, kebutuhan konsumsi, dan lain-lain.
Data dukungan sosial di dikumpulkan melalui wawancara menggunakan
kuesioner yang berisi pertanyaan terkait dengan dukungan emosi, dukungan
instrument, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan diri (Cutrona 1996).
Data aspek psikososial terkait dengan tingkat depresi dikumpulkan melalui
wawancara menggunakan kuesioner Skala Depresi Geriatrik (SDG) versi pendek
(Yesavage 1988) yang berisi 15 pertanyaan bersifat tertutup. Jawaban diperoleh
dengan menyanyakan pertanyaan kuesioner secara langsung maupun tidak
langsung (sesuai dengan cerita yang disampaikan lansia selama proses
wawancara). Pertanyaan terbuka diajukan untuk mengetahui berbagai alasan yang
melatarbelakangi jawaban setiap pertanyaan sehingga dapat mendukung jawaban
yang diberikan lansia.
Data aspek psikososial terkait dengan tingkat kepuasan hidup dikumpulkan
melalui wawancara menggunakan kuesioner terkait indeks skala kepuasan hidup
Neugarten et al. (1961) yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Total jumlah pertanyaan variabel kepuasan hidup adalah sebanyak 25
item pertanyaan dari 5 sub variabel yang masing-masing terdiri dari 5 pertanyaan.
5 sub variabel tersebut berkaitan dengan perasaan senang dengan aktivitas yang
dilakukan, menanggap hidup penuh arti, keberhasilan mencapai tujuan hidup,
memiliki gambaran diri positif, serta sikap hidup optimis.
23

Data nafsu makan dikumpulkan melalui wawancara menggunakan


motivation to eat questionnaire (MEQ). Caranya dengan meminta subjek untuk
mengekspresikan perasaan nafsu makannya. Subjek diminta membubuhkan tanda
pada suatu garis rentang skala nafsu makan terkait dengan pertanyaan mengenai
keinginan makan, rasa lapar, dan konsumsi prospektif (seberapa banyak pangan
yang dapat dihabiskan) (Anderson et al. 2003).
Data tingkat konsumsi akan dikumpulkan melalui wawancara menggunakan
kuesioner recall 2x24 jam untuk mendapatkan data konsumsi pangan berupa
ukuran rumah tangga (URT).
Data aktivitas fisik dikumpulkan melalui wawancara menggunakan
International Physical Activity Questionnare (IPAQ). Pertanyaan terkait dengan
jenis aktivitas yang dilakukan oleh responden selama 7 hari dan berapa lama
waktu yang dibunakan untuk melakukan aktivitas tersebut, yang dirangkum dalam
beberapa pertanyaan. Data status kesehatan akan dikumpulkan melalui wawancara
menggunakan kuesioner berisi pertanyaan terkait dengan jenis penyakit, frekuensi
sakit, lama sakit dan tindakan pengobatan. Riwayat penyakit dilihat dari jenis
penyakit yang dialami contoh selama 3 bulan terakhir.
Data terkait faktor genetik dikumpulkan melalui wawancara menggunakan
kuesioner dengan menanyakan umur hidup orang tua. Data antropometri
dikumpulkan melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.
Bagi lansia yang tidak dapat diukur tinggi badannya dilakukan pengukuran
panjang depa sebagai prediktor tinggi badan. Fatmah (2008) merekomendasikan
model prediksi tinggi badan lansia perempuan menggunakan panjang depa dengan
rumus: 28.312 + 0.784 PD.
Penimbangan berat badan menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 1
kg. Lansia berdiri di atas timbangan dan pandangan lurus kedepan tanpa
menggenggam atau menyentuh apapun, sepatu, tas, barang lain dilepas, kemudian
angka penunjuk dibaca. Tinggi badan diukur dengan mikrotoa dan pembacaannya
dilakukan dengan skala 0.1 cm. Pengukuran panjang depa dilakukan dengan
menggunakan mistar kayu sepanjang 2 meter. Cara pengukuran panjang depa
yaitu: 1) lansia berdiri dengan bahu dan kaki menempel membelakangi tembok
sepanjang pita pengukuran yang ditempel ditembok; 2) bagian atas kedua lengan
hingga ujung telapak tangan menempel erat di dinding sepanjang mungkin; 3)
pembacaan dilakukan dengan ketelitian 0.1 cm mulai dari bagian ujung jari tengah
tangan kanan hingga ujung jari tengah tangan kiri.

Pengolahan dan Analisis Data

Tahapan pengolahan data dimulai dari editing, coding, entri, cleaning,


selanjutnya dianalisis. Penyusunan coding sebagai panduan entri dan pengolahan
data. Selanjutnya dilakukan entri data sesuai kode yang telah dibuat dan cleaning
data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukan data. Pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2013 dan dianalisis dengan
menggunakan program SPSS version 16.0 for Windows dan SAS version 9.1 for
Windows.
Pengolahan data peran lembaga yang dikumpulkan melalui wawancara
dengan pihak pengelola pada masing-masing lembaga di deskripsikan secara
24

kualitatif dengan penjelasan mengenai ada atau tidaknya upaya untuk peningkatan
produktivitas, upaya pemenuhan kebutuhan hidup lansia seperti pelayanan
kesehatan, kebutuhan konsumsi, dan lain-lain, disertai dengan bentuk dan jadwal
kegiatan yang dilakukan dan lain sebagainya.
Jawaban responden terhadap masing masing pertanyaan yang berkaitan
dengan tingkat kepuasan hidup, diubah ke dalam bentuk rasio dengan
menjumlahkan setiap jawaban hingga mendapatkan skor komposit. Setelah
mendapatkan skor setiap variabel, selanjutnya skor dikelompokkan menjadi tiga
kategori berdasarkan kelas interval yaitu rendah, sedang, dan tinggi, dengan
rumus:

Kategori masing-masing 5 sub variabel yang meliputi perasaan senang


dengan aktivitas yang dilakukan, menanggap hidup penuh arti, keberhasilan
mencapai tujuan hidup, memiliki gambaran diri positif, serta sikap hidup optimis,
yang masing-masing terdiri dari 5 pertanyaan berdasarkan interval kelas adalah
rendah, jika skor jawaban responden berada pada interval kelas 5–10; sedang, 11–
15; dan tinggi, 16–20. Sedangkan untuk kepuasan hidup secara keseluruhan atau
kepuasan hidup total kategorinya rendah, jika skor jawaban responden berada
pada interval kelas 25–50; sedang, 51–75; dan tinggi, 75–100.
Pengolahan data tingkat depresi diukur dari jawaban responden terhadap 15
pertanyaan tertutup dalam kuesioner SDG, dimana masing-masing jawaban
terhadap pertanyaan diberi skor 1 dan 0 dengan skor maksimal 15. Beberapa
pertanyaan ada yang bersifat invers (kebalikannya). Tingkat depresi
dikelompokkan menjadi 4 kategori berdasarkan interval kelas, yaitu normal (0-4),
depresi ringan (5–8), depresi sedang (9–11), depresi berat (12–15). Jawaban
responden terhadap pertanyaan terbuka digunakan sebagai pendukung pada setiap
jawaban dari pertanyaan tertutup. Data tingkat depresi responden selanjutnya
disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Jawaban responden terkait dukungan sosial yang terdiri dari dukungan
emosi, dukungan instrumen, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan diri
yang telah dijumlahkan menghasilkan skor masing-masing. Selanjutnya hasil skor
juga dikategorikan berdasarkan interval kelas. Kategori dukungan emosi
didasarkan pada skor yaitu rendah (8–16), sedang (17–24), dan tinggi (25–32).
Kategori dukungan instrumen berdasarkan skor yaitu rendah (7–14), sedang (15-
21), dan tinggi (22–28). Kategori dukungan informasi berdasarkan skor yaitu
rendah (6–12), sedang (13–18), dan tinggi (19–24). Kategori dukungan
penghargaan diri berdasarkan skor yaitu rendah (4–8), sedang (9–12), dan tinggi
(13-16).
Data nafsu makan yang dikumpulkan melalui kuesioner MEQ yang terdiri
dari tiga pertanyaan di nilai rentangnya, yaitu:
a. Keinginan makan: seberapa kuat keinginan anda untuk makan saat ini?
Sangat lemah------------------------------------------------------sangat kuat
b. Lapar: Seberapa laparkah perasaan anda saat ini?
Sama sekali tidak lapar------------------------------------------sangat lapar
c. Konsumsi prospektif: seberapa banyak pangan dapat anda habiskan?
Tidak ada sama sekali-------------------------------------------banyak sekali
25

Rentang nilai pada kuesioner adalah dari 0 (sangat lemah, sama sekali tidak
lapar, atau tidak ada sama sekali) sampai dengan 100 (sangat kuat, sangat lapar,
atau banyak sekali). Skor nafsu makan diukur sebelum dan sesudah makan siang,
karena keinginan untuk mengonsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh nafsu
makan/rasa kenyang. Berdasarkan teori glukostatik oleh Mayer (1953) dalam
Siagian (2006) menyatakan bahwa kadar glukosa dalam darah yang rendah
memicu/merangsang keinginan untuk mengonsumsi pangan (nafsu makan).
Sementara itu, kadar glukosa darah yang tinggi menimbulkan rasa kenyang dan
pada gilirannya menghentikan asupan makan.
Dilakukan pada saat makan siang karena makan siang diasumsikan lebih
mewakili waktu makan lainnya. Ketika siang selera seseorang lebih ideal
dibanding waktu pagi/baru bangun tidur atau ketika menjelang malam.
Data nafsu makan dihitung dengan rumus:

Responden didampingi ketika mengisi MEQ dan sebelumnya dijelaskan


dulu bagaimana cara mengisi MEQ. Hasil data berupa skor nafsu makan yang di
ukur antara rentang 0-100 dan dapat diasumsikan bahwa ketika skor nya berada
pada rentang 0-33 berarti nafsu makan kurang; rentang 34-67 berarti nafsu makan
cukup; dan rentang 68-100 berarti nafsu makan baik. Data nafsu makan responden
selanjutnya disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Data tingkat konsumsi yang dikumpulkan melalui wawancara menggunakan
kuesioner recall 24 jam berupa konsumsi makanan selama 2x24 jam dalam bentuk
URT dikonversikan kedalam berat (gram), selanjutnya dihitung kandungan
gizinya menggunakan daftar komposisi bahan makanan. Data yang dihitung
adalah kandungan energi dan zat gizi meliputi: kandungan protein, lemak,
karbohidrat, vitamin A, vitamin C, zat besi, dan kalsium.
Persentasi tingkat konsumsi energi dan zat gizi contoh ditentukan dengan
cara membandingkan jumlah asupan energi dan zat gizi yang dihitung
berdasarkan hasil recall dengan energi dan zat gizi AKG. AKG terkait energi,
protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin C, zat besi dan kalsium dapat
dilihat pada AKG (2012).

Tabel 2 Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk lansia perempuan per orang
per hari
Zat Gizi Angka Kecukupan Gizi
50-64 tahun 65-80 tahun 80+
Energi (kkal) 1900 1550 1425
Protein (g) 57 56 12
Lemak (g) 53 43 40
Karbohidrat 285 252 232
Kalsium (mg) 1000 1000 1000
Fe (mg) 12 12 12
2
Vitamin A (µg/hari) 500 500 500
Vitamin C (mg) 75 75 75
Sumber: LIPI, Angka Kecukupan Gizi, 2012
26

Tingkat konsumsi energi dan zat gizi dapat dihitung dengan rumus
(Hardinsyah dan Briawan 2002):

Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Ki = Asupan energi dan zat gizi dari hasil recall
AKGi = Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan
Data diolah dengan memasukkan persentasi tingkat konsumsi energi dan zat
gizi masing-masing contoh sudah ditemukan kedalam kategori tingkat kecukupan
energi dan zat gizi. Kategori tingkat kecukupan energi (Depkes 1996) yaitu defisit
tingkat berat, <70% AKG; defisit tingkat sedang, 70-79% AKG; defisit tingkat
ringan 80-89% AKG; normal, 90-119% AKG; dan lebih ≥120% AKG. Sedangkan
untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi dua yaitu:
kurang (<70% AKG) dan cukup (≥70% AKG) (Gibson 2005). Data tingkat
konsumsi masing-masing contoh yang sudah dikategorikan sesuai masing-masing
kategori disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Data hasil aktivitas fisik yang dikumpulkan melalui wawancara
menggunakan IPAQ selanjutnya dikategorkan berdasarkan panduan proses dan
analisis data IPAQ (2005) dibagi menjadi tiga kategori aktivitas fisik yaitu:
1. Ringan; jika jawaban responden tidak termasuk kategori sedang atau kategori
berat.
2. Sedang; jika terdapat salah satu jawaban responden, terkait dengan hal seperti:
a. 3 hari atau lebih responden melakukan aktivitas fisik berat lebih dari 20
menit per harinya
b. 5 hari atau lebih responden melakukan aktivitas fisik sedang secara rutin
atau berjalan paling sedikit 30 menit perhari
c. 5 hari atau lebih melakukan aktivitas fisik berupa kombinasi seperti
berjalan, aktifitas fisik sedang atau berat yang rutin selama paling sedikit
600 menit/minggu.
3. Berat; jika terdapat salah satu jawaban responden, terkait dengan hal seperti:
a. Melakukan aktifitas berat selama paling sedikit 3 hari dan jika
diakumulasikan paling sedikit selama 1500 menit/minggu
d. 7 hari atau lebih melakukan aktivitas fisik berupa kombinasi seperti
berjalan, aktifitas fisik sedang atau berat yang rutin selama paling sedikit
3000 menit/minggu.
Data aktivitas fisik responden selanjutnya disajikan secara deskriptif dalam bentuk
tabulasi.
Data status kesehatan yang dikumpulkan dihitung skor morbiditas nya
dengan mengalikan lama hari sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap jenis
penyakit, seperti rumus berikut (Dijaissyah 2011):
Skor morbiditas= lama hari sakit x frekuensi sakit
Skor morbiditas dapat dikategorikan berdasarkan perhitungan interval kelas
(Sugiono 2009) dengan kategori rendah (0–20), sedang (21–40), dan tinggi (41–
60). Sedangkan status kesehatan berbanding terbalik dengan skor morbiditas.
Status kesehatan yang tinggi menunjukkan skor morbiditas yang rendah.
Kategori status kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu: rendah jika skor
morbiditas 41–60, sedang jika skor morbiditas 21–40, dan tinggi jika skor
27

morbiditas 0–20. Data sstatus kesehatan responden selanjutnya disajikan secara


deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Data antropometri yang dikumpulkan melalui penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan atau panjang depa, selanjutnya diolah untuk
mendapatkan gambaran status gizi responden. Status gizi lansia ditentukan
berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh (IMT) dengan rumus:

Kategori status gizi menurut Depkes RI yaitu sangat kurus (IMT<17), kurus
(IMT 17.0–18.4), normal (IMT 18.5–24.9), kelebihan berat badan/overweight
(IMT 25.0–26.9), gemuk (IMT ≥ 27–28.9), dan sangat gemuk (IMT ≥29)
(Kurniasih, 2010). Data status gizi responden selanjutnya disajikan secara
deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Data terkait faktor genetik yang dikumpulkan melalui wawancara
menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terkait dengan umur hidup orang tua
dikelompokkan berdasarkan rentang kelompok umur hidup selanjutnya disajikan
secara deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Pengolahan data dilakukan dengan program Microsoft Excel 2013, SPSS
version 16.0 for Windows dan SAS version 9.1 for Windows. Analisis statistik
yang dilakukan yaitu uji beda Independent Sampel T-test untuk menguji
perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada
panti sosial dan LSM, korelasi pearson untuk menguji hubungan dukungan sosial,
aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status
kesehatan, faktor genetik dengan status gizi lansia pada panti sosial dan LSM, dan
regresi linear untuk menguji pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu
makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan
status gizi lansia pada panti sosial dan LSM. Tahapan analisis dengan uji regresi
linear menggunakan metode forward yaitu: 1) seluruh variabel yang memiliki
tingkat kemaknaan p<0.25 masuk kedalam pemodelan analisis regresi sebagai
variabel kandidat 2) variabel yang memiliki tingkat kemaknaan p<0.05
merupakan variabel dominan yang berpengaruh terhadap variabel dependen.
Model regresi linear ganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Model 1:
y1 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 + β10X10
+ β11X11 + β12X12 + β13X13 + β14X14 + β15X15 + β16X16 + β17X17 + β18X18 +
β19X19 + β20X20 + β21X21 + β22X22 + β23X23 + ε
Keterangan:
y1 = Status gizi (IMT)
β0 = Intersep
β 1X1 = Tipe lembaga
β 2X2 = Usia hidup ayah
β 3X3 = Usia hidup ibu
β 4X4 = Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan
β 5X5 = Perasaan menganggap hidup penuh arti
β 6X6 = Keberhasilan mencapai tujuan hidup
β 7X7 = Perasaan memiliki gambaran diri positif
28

β 8X8 = Sikap hidup optimis


β 9X9 = Dukungan emosi
β 10X10 = Dukungan instrumen
β 11X11 = Dukungan informasi
β 12X12 = Dukungan penghargaan diri
β 13X13 = Aktivitas fisik
β 14X14 = Nafsu makan
β 15X15 = Tingkat kecukupan energi
β 16X16 = Tingkat kecukupan protein
β 17X17 = Tingkat kecukupan lemak
β 18X18 = Tingkat kecukupan karbohidrat
β 19X19 = Tingkat kecukupan Ca
β 20X20 = Tingkat kecukupan Fe
β 21X21 = Tingkat kecukupan vitamin A
β 22X22 = Tingkat kecukupan vitamin C
β 23X23 = Status kesehatan (skor morbiditas)
ε = Galat (error)

Model 2:
y2 = β0 + β 1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + 8X8 + β9X9 + β10X10
+ β11X11 + β12X12 + β13X13 + β14X14 + β15X15 + β16X16 + β17X17 + β18X18 +
β19X19 + β20X20 + β21X21 + β22X22 + ε
Keterangan:
y2 = Status kesehatan (skor morbiditas)
β0 = Intersep
β 1X1 = Tipe lembaga
β 2X2 = Usia hidup ayah
β 3X3 = Usia hidup ibu
β 4X4 = Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan
β 5X5 = Perasaan menganggap hidup penuh arti
β 6X6 = Keberhasilan mencapai tujuan hidup
β 7X7 = Perasaan memiliki gambaran diri positif
β 8X8 = Sikap hidup optimis
β 9X9 = Dukungan emosi
β 10X10 = Dukungan instrumen
β 11X11 = Dukungan informasi
β 12X12 = Dukungan penghargaan diri
β 13X13 = Aktivitas fisik
β 14X14 = Nafsu makan
β 15X15 = Tingkat kecukupan energi
β 16X16 = Tingkat kecukupan protein
β 17X17 = Tingkat kecukupan lemak
β 18X18 = Tingkat kecukupan karbohidrat
β 19X19 = Tingkat kecukupan Ca
β 20X20 = Tingkat kecukupan Fe
β 21X21 = Tingkat kecukupan vitamin A
β 22X22 = Tingkat kecukupan vitamin C
ε = Galat (error)
29

Definisi Operasional

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera adalah adalah suatu wadah atau
lembaga yang membina atau memberikan pendampingan bagi lansia yang
dikelola oleh pemerintah.
Lembaga Sosial Masyarakat Karang Lansia adalah suatu wadah atau lembaga
yang membina atau memberikan pendampingan bagi lansia berbasis
masyarakat atau diluar panti.
Dukungan sosial adalah bantuan yang didapatkan lansia dari orang-orang di
sekitarnya, yang dilihat dari aspek emosi, instrumen, informasi, dan
penghargaan diri termasuk dukungan berupa upaya meningkatkan
produktivitas lansia agar lansia dapat lebih sehat, aktif dan produktif.
Dukungan Emosi adalah perhatian, ungkapan cinta, dan empati yang membuat
seseorang merasa nyaman dan dicintai.
Dukungan Instrumen adalah bantuan yang diberikan dalam bentuk uang, tempat
tinggal, dan bantuan fisik lainnya.
Dukungan Informasi adalah saran, petunjuk dan nasehat yang membantu
seseorang menyelesaikan permasalahannya.
Dukungan Self-esteem adalah penghargaan yang diberikan terhadap kemampuan,
perasaan, dan gagasan seseorang.
Tingkat depresi adalah keadaan emosi yang dirasakan responden yang diukur
menggunakan Skala Depresi Geriatrik (SDG) versi pendek dengan kategori
normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), dan depresi berat
(12-15).
Kepuasan hidup adalah persepsi lansia tentang kondisi hidup yang dialaminya
berkaitan dengan perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan,
menanggap hidup penuh arti, keberhasilan mencapai tujuan hidup, memiliki
gambaran diri positif, serta sikap hidup optimis.
Nafsu makan adalah gambaran berapa besar keinginan makan, rasa lapar, dan
konsumsi prospektif yang ditunjukkan dengan skor dengan rentang antara
0-100 dimana rata-rata dari ketiga faktor tersebut akan menghasilkaan skor
nafsu makan. Skor nafsu makan digunakan untuk menilai nafsu makan
seseorang.
Tingkat konsumsi adalah keadaan konsumsi pangan yang dapat menggambarkan
seberapa tingkatan kecukupan seseorang dalam mengkonsumsi pangan,
yang diukur dengan melalui asupan makan yang didapatkan melalui recall
konsumsi kemudian dibandingkan dengan AKG. Kategori tingkat konsumsi
energi dan protein dibagi menjadi defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit
tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG),
normal (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG). Sedangkan kategori
tingkat konsumsi vitamin dan mineral dibagi menjadi kurang (<70% AKG)
dan cukup (≥77% AKG).
Aktivitas fisik adalah jenis aktivitas fisik dan berapa lama waktu yang digunakan
untuk melakukan aktivitas tersebut selama 7 hari dengan kategori ringan,
sedang, dan berat.
Status kesehatan adalah adalah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari jenis
30

penyakit, skor morbidiats dan tindakan pengobatannya selama 3 bulan


terakhir dengan kategori rendah (jika skor morbiditas 41-60), sedang (jika
skor morbiditas 21-40), dan tinggi (jika skor morbiditas 0-20).
Faktor genetik adalah faktor yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia
ditinjau dari umur hidup orang tua (ayah dan ibu) lansia.
Status gizi adalah adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan dengan pengukuran
berat badan dan tinggi badan atau menggunakan estimasi tinggi badan
berdasarkan panjang depa, selanjutnya dihitung Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan kategori sangat kurus (IMT<17), kurus (IMT 17.0-18.4), normal
(IMT 18.5-24.9), kelebihan berat badan/overweight (IMT 25.0-26.9),
gemuk (IMT ≥ 27-28.9), dan sangat gemuk (IMT ≥29).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Panti Sosial Tresna Werda (PSTW) Budi Sejahtera


Panti sosial ini berdiri tahun 1977 dengan nama Sasana Tresna Werdha Rawa
Sejahtera berlokasi di JL. A. Yani Km. 18,700 Kelurahan Landasan Ulin Barat
dengan daya tampung 50 orang, mengingat kondisi bangunan yang kurang
memenuhi syarat, maka sejak tahun 1981 dipindahkan kelokasi yang baru yaitu Jl.
A. yani Km. 21,700 Landasan Ulin Tengah Banjarbaru dengan nama Panti Sosial
Tresna Werda (PSTW) Budi Sejahtera sesuai dengan SK Mensos Nomor:
6.HUK/1994 tanggal 5 Pebruari 1994 dengan kapasitas daya tampung 100 orang.
Visi dari PSTW Budi Sejahtera adalah terwujudnya pelayanan bagi lanjut
usia terlantar agar hidup dengan aman, tentram lahir dan batin. Sedangkan
misinya adalah: memantapkan peran dan fungsi panti, meningkatkan kualitas
pelayanan lanjut usia, meningkatkan jangkauan pelayanan, serta meningkatkan
sarana dan prasarana pelayanan. Adapun tujuan dari panti sosial adalah untuk
mengembalikan harkat dan martabat lanjut usia agar dapat hidup layak seperti
warga masyarakat pada umumnya, serta membantu program pengentasan
kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.
Sasaran pelayanan PSTW Budi Sejahtera adalah para lanjut usia yang berasal
dari wilayah Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri dari 11 Kabupaten dan 2
Kota dengan persyaratan administrasi teknis, yaitu: 1) lansia berusia 60 tahun
keatas; 2) kehidupan mereka terlantar; 3) tidak berdaya mencari nafkah untuk
keperluan hidupnya; 4) keluarga lansia tersebut secara ekonomi tidak mampu; dan
5) dapat mengurus dirinya sendiri, tanpa bantuan orang lain atau sehat jasmani
dan rohani dengan dilengkapi surat keterangan dokter.
Jenis pelayanan yang diberikan yaitu berupa pelayanan sosial (bimbingan
individu/kelompok), pelayanan fisik (pengasramaan, permakanan, pakaian,
kesehatan, dan lain-lain), pelayanan psikososial (konsultasi, terapi kelompok, dan
lain-lain), pelayanan keterampilan (kegiatan penyaluran hobi/bakat dan pengisian
waktu luang), pelayanan pendampingan (mendampingi kegiatan sehari-hari),
pelayanan pemakaman (pengurusan jenazah). PSTW Budi Sejahtera adalah panti
31

milik pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan yang biaya operasionalnya


dibebankan pada anggaran daerah (APBD).

Lembaga Sosial Masyarakat Karang Lansia (KL) Sejahtera


Karang lansia sejahtera berdiri pada tanggal 5 April 1997 berlokasi di Jl.
HKSN Komp. SKKT Alalak Utara Banjarmasin Kalimantan Selatan. Latar
belakang berdirinya karang lansia adalah semakin banyak lansia yang terlantar,
terbatasnya anggaran yang dimiliki pemerintah, terbatasnya daya tampung panti
jompo milik pemerintah, dan belum banyak lembaga/organisasi sosial yang
bergerak menangani pemasalahan lansia.
Karang lansia merupakan suatu wadah atau lembaga yang membina atau
memberikan pendampingan bagi lansia berbasis masyarakat atau diluar panti.
Persyaratan menjadi anggota karang lansia sejahtera adalah beralamat di Alalak
Utara, berusia minimal 50 tahun, bersedia mengikuti kegiatan rutin yang
diselenggarakan pengurus, dan memiliki kartu anggota.
Bentuk kegiatan yang dilaksanakan di karang lansia berupa pertemuan rutin
bulanan, arisan antar anggota lansia, posyandu lansia, senam lansia, koperasi
(simpan pinjam), kegiatan keagamaan, rekreasi bersama, pengembangan usaha
bersama lansia (anyaman tikar purun, kerajinan memanfaatkan sampah plastik
yang dibuat menjadi tas, dompet, topi, taplak meja, sarung botol aqua, tatakan
gelas, bunga, dan lain-lain), pembuatan makanan ringan/catering), mengikuti
kegiatan-kegiatan hari lanjut usia nasional serta penyaluran bantuan atau
bingkisan/paket untuk lansia.

Karakteristik Lansia di PSTW dan KL

Usia
Kategori lansia berdasarkan usia dikelompokkan menjadi tiga yakni usia 55-
59 tahun, 60-64 tahun, dan >65 tahun. Kategori ini didasarkan pada batasan usia
lansia dari Departemen Kesehatan RI (2006) dimana usia 55-59 tahun atau disebut
virilitas (prasenium) merupakan masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
kematangan jiwa, usia 60-64 tahun atau disebut usia lanjut dini (senescen), dan
usia >65 tahun merupakan kelompok lansia yang beresiko tinggi menderita
berbagai penyakit degeneratif. Sebaran lansia berdasarkan kelompok usia di
PSTW dan KL masing-masing dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan kelompok usia


Usia PSTW KL Total
p-value
(tahun) n % n % n %
55-59 0 0.0 4 11.4 4 6.7
60-64 5 20.0 4 11.4 9 15.0
>65 20 80.0 27 77.1 47 78.3 0.721
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SDa 71 ± 8 70 ± 8 70.5 ± 8
a
Rata-rata ± SD: rata-rata usia lansia (tahun) ± standar deviasi
32

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan usia lansia pada PSTW dan KL dengan p=0.721 (p>0.05).
Sebagian besar lansia baik di PSTW maupun di KL berusia >65 tahun yaitu
masing-masing sebanyak 80% dan 77.1%.

Pendidikan
Riwayat pendidikan yang pernah ditempuh lansia dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD)/sekolah rakyat, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan riwayat pendidikan masing-masing
dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan riwayat pendidikan


PSTW KL Total
Pendidikan p-value
n % n % n %
Tidak sekolah 9 36.0 30 85.7 39 65.0
SD/sekolah rakyat 11 44.0 5 14.3 16 26.7
SLTP 3 12.0 0 0.0 3 5.0 0.000*
SLTA 2 8.0 0 0.0 2 3.3
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
*berbeda nyata pada p<0.01

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan riwayat pendidikan lansia pada PSTW dan KL dengan p=0.000
(p<0.01). Lansia di PSTW paling banyak pernah menempuh pendidikan
SD/sekolah rakyat yaitu 44%, sedangkan di KL sebagian besar lansia tidak
menempuh pendidikan sama sekali atau tidak sekolah yaitu 85.7%.

Usia hidup Orang Tua (Ayah dan Ibu)


Usia hidup orang tua (ayah dan ibu) dikelompokkan berdasarkan kategori
WHO yaitu kelompok usia 45-59 tahun (usia pertengahan/middle age), usia 60-74
tahun (lansia/elderly), usia 75-90 tahun (lansia tua/old), dan usia >90 tahun (usia
sangat tua/very old). Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ayah
dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan sebaran lansia di PSTW dan KL
berdasarkan usia hidup ibu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ayah


Usia hidup ayah PSTW KL Total
p-value
(tahun) n % n % n %
45-59 6 24.0 1 2.9 7 11.7
60-74 12 48.0 10 28.6 22 36.7
75-90 5 20.0 13 37.1 18 30.0
0.014*
>90 2 8.0 11 31.4 13 21.6
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SDa 69 ± 22 82 ± 16 76 ± 20
a
Rata-rata ± SD: rata-rata usia hidup ayah lansia (tahun) ± standar deviasi; *berbeda nyata pada
p<0.05
33

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan usia hidup ayah lansia pada PSTW dan KL dengan p=0.014 (p<0.05).
Usia hidup ayah para lansia di PSTW paling banyak adalah kelompok usia 60-74
tahun yaitu 48%, sedangkan lansia di KL usia hidup ayah 75-90 tahun adalah
yang terbanyak yaitu 37.1% dengan selisih yang tidak terlalu jauh dengan usia
hidup ayah >90 tahun yaitu 31.4%. Usia hidup ayah di KL tampak lebih lama
dengan rata-rata usia hidup 82 tahun dibanding PSTW dengan rata-rata 69 tahun.

Tabel 6 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ibu


Usia hidup ibu PSTW KL Total
p-value
(tahun) n % n % n %
45-59 9 36.0 3 8.6 12 20.0
60-74 9 36.0 15 42.9 24 40.0
75-90 5 20.0 15 42.9 20 33.3
0.205
>90 2 8.0 2 5.7 4 6.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata±SDa 66 ± 26 74 ± 15 70 ± 21
a
Rata-rata ± SD: rata-rata usia hidup ibu lansia (tahun) ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan usia hidup ibu lansia pada PSTW dan KL dengan p=0.205
(p>0.05). Usia hidup ibu para lansia di PSTW paling banyak adalah kelompok
usia 45-59 tahun dan 60-74 tahun dengan jumlah masing-masing sama yaitu 36%,
sedangkan lansia di KL usia hidup ibu 60-74 tahun dan 75-90 tahun adalah yang
terbanyak dengan jumlah yang masing-masing juga sama yaitu 42.9%.

Tingkat Depresi Lansia di PSTW dan KL

Tingkat depresi dikategorikan menjadi depresi berat, depresi sedang, depresi


ringan, dan normal. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat depresi
dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat depresi


Tingkat depresi PSTW KL Total
p-value
(skor) n % n % n %
Depresi berat (12-15) 2 8.0 0 0.0 2 3.3
Depresi sedang (9-11) 7 28.0 6 17.1 13 21.7
Depresi ringan (5-8) 10 40.0 7 20.0 17 28.3
0.002*
Normal (0-4) 6 24.0 22 62.9 28 46.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SDa 7.00 ± 3.12 4.26 ± 3.33 5.40 ± 3.50
a
Rata-rata ± SD: rata-rata skor tingkat depresi lansia ± standar deviasi; *berbeda nyata pada p<0.01

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan tingkat depresi lansia pada PSTW dan KL dengan p=0.002 (p<0.01).
Masalah depresi pada lansia di PSTW paling banyak termasuk dalam kategori
depresi ringan sebanyak 40%, sedangkan di KL sebagian besar lansia termasuk
dalam kategori tidak mengalami depresi sebanyak 62.9%. Lansia yang termasuk
34

dalam kategori depresi berat di PSTW sebanyak 8% sedangkan di KL tidak


terdapat lansia yang termasuk dalam kategori depresi berat.
Penyebab depresi yang tampak berbeda diantara PSTW dan KL berdasarkan
persentase jawaban terkait pertanyaan yang berhubungan dengan tingkat depresi
dari tabel 9 dapat dilihat bahwa perasaan hidup hampa pada PSTW sebanyak 48%
sedangkan KL sebanyak 22.9%). Sering merasa bosan merupakan penyebab
depresi yang lebih banyak dialami lansia di PSTW yaitu sebanyak 88% dibanding
KL hanya sebanyak 22%. Terkait perasaan sering merasa bahagia lebih banyak
dialami lansia di KL yaitu sebanyak 94.3% dibanding lansia di PSTW yaitu
sebanyak 56%. Perasaan merasa tidak berdaya, merasa tidak ada harapan, dan
merasa bahwa orang lain selalu lebih baik lebih banyak dialami lansia di PSTW
dibanding KL. Ketidaksukaan terhadap hal baru juga lebih banyak dialami lansia
di PSTW dibanding KL (PSTW sebanyak 64% sedangkan KL sebanyak 37.1%).
Perasaan hampa yang dialami lansia di PSTW disebabkan karena kesepian
atau merasa sendiri karena lansia di PSTW merasa jauh dari keluarga, berbeda
halnya dengan lansia di KL yang masih bisa sering bertemu keluarga. Semakin
besar rasa kesepian kecenderungan depresi juga makin besar, sebaliknya dengan
berkurangnya rasa kesepian maka depresi juga akan berkurang (Nugrahaningsih
2006). Salah satu penyebab depresi adalah rasa kesepian (loneliness) yang sering
terjadi pada lansia (Robinson et al. 2014). Hubungan yang tidak bahagia dengan
keluarga dan rendahnya harga diri berkaitan dengan depresi (Maiden 2014).
Penyebab depresi pada lansia di PSTW dan KL berdasarkan hasil wawancara
menggunakan kuesioner lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran jawaban responden di PSTW dan KL terkait dengan tingkat


depresi
Jawaban
Ya Tidak
Pertanyaan
PSTW KL PSTW KL
n % n % n % n %
1. Rasa puas dengan 21 84.0 30 85.7 4 16.0 5 14.3
kehidupan saat ini
2. Mengurangi aktivitas dari 18 72.0 18 51.4 7 28.0 17 48.6
biasanya
3. Merasa hidup hampa 12 48.0 8 22.9 13 52.0 27 77.1
4. Merasa sering bosan 22 88.0 15 42.9 3 12.0 20 57.1
5. Sering merasa bersemangat 23 92.0 33 94.3 2 8.0 2 5.7
6. Sering cemas dan khawatir 22 88.0 28 80.0 3 12.0 7 20.0
7. Sering merasa bahagia 14 56.0 33 94.3 11 44.0 2 5.7
8. Merasa tidak berdaya 15 60.0 11 31.4 10 40.0 24 68.6
9. Tidak suka melakukan hal 16 64.0 13 37.1 9 36.0 22 62.9
baru
10. Sering merasa lupa 3 12.0 1 2.9 22 88.0 34 97.1
11. Bersyukur dapat hidup 23 92.0 34 97.1 2 8.0 1 2.9
hingga saat ini
12. Merasa diri tidak berharga 4 16.0 5 14.3 21 84.0 30 85.7
13. Merasa cukup berenergi 15 60.0 25 71.4 10 40.0 10 28.6
14. Merasa tidak ada harapan 17 68.0 15 42.9 8 32.0 20 57.1
15. Merasa bahwa orang lain 22 88.0 18 51.4 3 12.0 17 48.6
selalu lebih baik
35

Secara keseluruhan hal yang dapat mengurangi depresi baik di PSTW


maupun KL dengan persentase jawaban ya masing-masing sebanyak 92% dan
97.1% adalah rasa bersyukur dapat hidup hingga saat ini, berdasarkan hasil
wawancara lansia di PSTW maupun di KL mengungkapkan rasa syukur dan
terimakasih dengan apa yang mereka miliki saat ini. Walaupun jauh dari keluarga
lansia di PSTW merasa tetap bersyukur karena di rawat dengan baik di panti
sosial dan mendapatkan fasilitas yang cukup seperti tempat tinggal, makanan yang
di jamin setiap hari, pemeriksaan kesehatan, dan lain sebagainya. Demikian pula
lansia di KL, mereka merasa bersyukur bisa dekat dengan keluarga walaupun
hidup dengan keterbatasan. Penelitian Patriasih et al. (2013) menyatakan bahwa
faktor yang paling besar mempengaruhi persepsi kebahagiaan lansia sehingga
mereka merasa bahagia adalah rasa bersyukur dengan apa yang mereka miliki
(96.9%).
Cara menangani depresi diantaranya adalah meningkatkan aktivitas fisik dan
bersosialisasi dengan orang lain. Aktivitas fisik memiliki efek yang sangat kuat
dalam meningkatkan suasana hati, bahkan sama efektifnya dengan antidepresan.
Sedangkan sosialisasi mempunyai peran besar untuk menghilangkan depresi
melaui dukungan yang didapatkan dari orang lain (Robinson et al. 2014). Salah
satu upaya peningkatan aktivitas lansia di KL adalah melalui kegiatan yang
menunjang keterampilan lansia seperti membuat anyaman tikar, bunga, tas dari
plastik bekas, dan lain sebagainya. Hal ini selain membantu mengurangi depresi
juga meningkatkan harga diri lansia, karena masih dipercaya melakukan sesuatu
yang berguna dan bermanfaat membuat lansia merasa dihargai. Selain itu juga
terdapat kegiatan rutin seperti senam lansia, arisan, posyandu lansia dan lain
sebagainya.
Lansia di PSTW juga memiliki aktivitas rutin seperti ceramah agama, senam
lansia, posyandu lansia, namun tidak semua lansia rutin mengikuti kegiatan
seperti ceramah agama dan senam lansia tersebut dengan alasan susah bergerak,
padahal menurut Cohen (2003) depresi yang merupakan salah satu masalah
kesehatan mental dapat ditangani salah satunya melalui pendekatan kerohanian
atau keagamaan. Melalui pendekatan keagamaan juga dapat meningkatkan
kebahagiaan lansia. Terkait dengan kegiatan yang menunjang keterampilan lansia
masih belum bersifat rutin.

Kepuasan Hidup Lansia di PSTW dan KL

Variabel kepuasan hidup selain dinilai berdasarkan kepuasan hidup total,


penilaian juga dibagi menjadi 5 sub variabel yang meliputi perasaan senang
dengan aktivitas yang dilakukan, menanggap hidup penuh arti, keberhasilan
mencapai tujuan hidup, memiliki gambaran diri positif, serta sikap hidup optimis.
Kategori tingkat kepuasan hidup dibagi menjadi 3 yaitu kepuasan hidup rendah,
sedang, dan tinggi.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan terkait perasaan senang lansia dengan aktivitas yang dilakukan
pada PSTW dan KL dengan p=0.986 (p>0.05). Sebagian besar lansia mengaku
senang dengan aktivitas yang mereka lakukan. Kategori terkait perasaan senang
dengan aktivitas yang dilakukan paling banyak berada dalam kategori tinggi baik
36

pada PSTW maupun KL masing-masing sebanyak 56% dan 54.3%. Sebaran


lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kepuasan hidup lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kepuasan hidup


PSTW KL Total
Kepuasan hidup p-value
n % n % n %
1. Perasaan senang dengan
aktivitas yang dilakukan
(skor)
0.986
Rendah (5-10) 1 4.0 1 2.9 2 3.3
Sedang (11-15) 10 40.0 15 42.9 25 41.7
Tinggi (16-20) 14 56.0 19 54.3 33 55.0
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SD 15.44 ± 2.38 15.43 ± 2.52 15.43 ± 2.45
2. Menganggap hidup
penuh arti (skor)
Rendah (5-10) 7 28.0 1 2.9 8 13.3 0.002**
Sedang (11-15) 14 56.0 23 65.7 37 61.7
Tinggi (16-20) 4 16.0 11 31.4 15 25.0
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SD 12.88 ± 2.73 15.03 ± 1.98 14.13 ± 2.53
3. Keberhasilan mencapai
tujuan hidup (skor)
Rendah (5-10) 2 8.0 1 2.9 3 5.0
0.000**
Sedang (11-15) 23 92.0 18 51.4 41 68.3
Tinggi (16-20) 0 0.0 16 45.7 16 26.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SD 12.60 ± 1.50 15.34 ± 1.47 14.20 ± 2.00
4. Memiliki gambaran diri
positif (skor)
Rendah (5-10) 3 12.0 1 2.9 4 6.7
0.015*
Sedang (11-15) 16 64.0 24 68.6 40 66.7
Tinggi (16-20) 6 24.0 10 28.6 16 26.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SD 13.64 ± 2.32 14.97 ± 1.42 14.42 ± 1.95
5. Sikap hidup optimis
(skor)
Rendah (5-10) 6 24.0 3 8.6 9 15.0 0.030*
Sedang (11-15) 18 72.0 29 82.9 47 78.3
Tinggi (16-20) 1 4.0 3 8.6 4 6.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SD 11.92 ± 2.10 13.09 ± 1.82 12.60 ± 2.01
6. Kepuasan hidup total
(skor)
Rendah (25-50) 2 8.0 0 0.0 2 3.3
0.002**
Sedang (51-75) 21 84.0 21 60.0 42 70.0
Tinggi (75-100) 2 8.0 14 40.0 16 26.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SD 66.48 ± 9.36 73.86 ± 7.53 70.78 ± 9.04
*berbeda nyata pada p<0.05; **berbeda nyata pada p<0.01
37

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan terkait perasaan lansia yang menganggap hidup penuh arti pada PSTW
dan KL dengan p=0.002 (p<0.05). Walaupun kategori terkait perasaan lansia yang
menganggap hidup penuh arti paling banyak berada dalam kategori sedang baik
pada PSTW maupun KL masing-masing sebanyak 56% dan 65.7%, namun lansia
di KL mempunyai rata-rata skor lebih tinggi dibanding PSTW terkait perasaan
menganggap hidup penuh arti. Berdasarkan hasil wawancara terhadap lansia,
anggapan hidup yang lebih berarti pada lansia di KL dibanding di PSTW
berkaitan dengan rasa bersyukur dengan apa yang dimiliki oleh lansia dan
menganggap bahwa kehidupan yang mereka jalani saat ini sudah cukup baik
sehingga lansia merasa puas dengan kehidupannya. Lansia di KL menyatakan
bahwa mereka bersyukur bisa dekat dengan keluarganya dan mendapatkan
perhatian yang cukup dari keluarga walaupun perhatian yang diberikan tidak
selalu berupa materi namun dengan dukungan seperti sering dijenguk oleh
keluarga membuat lansia di KL merasa diperhatikan dan dihargai. Lansia di KL
kebanyakan tinggal dirumah sendiri, walaupun tinggal dirumah kurang layak,
namun mereka sudah merasa cukup bahagia.
Sebagian besar lansia di KL mengaku bahwa mereka lebih senang tetap
tinggal dirumahnya, meskipun diajak oleh anaknya untuk tinggal bersama.
Sedangkan lansia di PSTW menyatakan bahwa kehidupan yang mereka jalani saat
ini bukan merupakan kehidupan yang mereka idamkan. Seandainya ada pilihan
bisa dekat dengan keluarga, tentunya mereka lebih memilih tinggal bersama
keluarga atau setidaknya dekat dengan keluarga.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan terkait keberhasilan mencapai tujuan hidup pada PSTW dan KL dengan
p=0.000 (p<0.01). Kategori terkait keberhasilan mencapai tujuan hidup paling
banyak terdapat pada kategori sedang baik pada PSTW maupun KL masing-
masing sebanyak 92% dan 51.4%, namun tidak terdapat kategori tinggi di PSTW
sedangkan di KL sebanyak 45.7%.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap lansia di KL, anggapan bahwa tujuan
hidup mereka telah berhasil terkait dengan pernyataan bahwa mereka merasa puas
dengan apa yang mereka capai selama ini dan sebagian besar keinginan mereka
telah tercapai. Diantara keinginan tersebut adalah dapat menyaksikan anak-anak
mereka hidup bahagia bersama keluarganya dan masih tetap memperhatikan orang
tua mereka. Sedangkan lansia di PSTW cenderung merasa kurang diperhatikan
sehingga membuat para lansia tersebut merasa tidak puas dengan kehidupannya.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan terkait perasaan memiliki gambaran diri positif pada PSTW dan KL
dengan p=0.015 (p<0.05). Kategori terkait dengan perasaan memiliki gambaran
diri positif paling banyak terdapat pada kategori sedang baik pada PSTW maupun
KL masing-masing sebanyak 64% dan 68.6%. Namun yang termasuk dalam
kategori rendah lebih banyak terdapat pada lansia di PSTW yaitu sebanyak 12%
sedangkan di KL hanya sebanyak 2.9%.
Berdasarkan hasil wawancara, lansia di KL merasa lebih berguna untuk
orang-orang yang ada disekitar seperti keluarga, teman, atau orang lain. Mereka
merasa masih produktif melalui kegiatan yang dilakukan di karang lansia seperti
membuat kerajinan yang walaupun hasilnya tidak terlalu besar, namun hasilnya
masih bisa digunakan untuk belanja sendiri dan membantu ekonomi keluarga.
38

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test yang menunjukkan bahwa


terdapat perbedaan sikap hidup optimis pada PSTW dan KL dengan p=0.030
(p<0.05). Kategori terkait dengan sikap hidup optimis paling banyak terdapat pada
kategori sedang baik pada PSTW maupun KL masing-masing sebanyak 72% dan
82.9%. Namun yang termasuk dalam kategori rendah lebih banyak terdapat pada
lansia di PSTW yaitu sebanyak 24% sedangkan di KL hanya sebanyak 8.6%.
Berdasarkan hasil wawancara, lansia di KL merasa lebih optimis saat berpikir
tentang masa depan sedangkan lansia di PSTW meskipun mereka cenderung
merasa tidak mencemaskan masa depan, mereka mengaku pasrah dengan apa
yang terjadi.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kepuasan hidup secara keseluruhan pada PSTW dan KL dengan
p=0.002 (p<0.01). Kategori terkait dengan kepuasan hidup total paling banyak
terdapat pada kategori sedang baik pada PSTW maupun KL masing-masing
sebanyak 84% dan 60%. Namun tidak terdapat lansia di KL yang termasuk dalam
kategori rendah sedangkan di PSTW sebanyak 8% dan yang termasuk kategori
tinggi di PSTW lebih rendah yaitu sebanyak 8% dibandingkan KL yaitu sebanyak
14%.
Lansia di KL memiliki anggapan hidup lebih berarti dibanding PSTW, begitu
pula dengan perasaan terkait keberhasilan mencapai tujuan hidup, perasaan
memiliki gambaran diri positif, dan sikap hidup optimis lebih dimiliki oleh lansia
di KL dibanding PSTW.

Dukungan Sosial Lansia di PSTW dan KL

Variabel dukungan sosial dibagi menjadi 4 sub variabel yaitu dukungan


emosi, dukungan instrumen, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan diri
(self esteem). Kategori dukungan sosial pada masing-masing sub variabel dibagi
menjadi 3 yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Sebaran lansia di PSTW dan KL
berdasarkan tingkat dukungan sosial dapat dilihat pada Tabel 10.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan dukungan emosi pada PSTW dan KL dengan p=0.064
(p>0.05). Kategori dukungan emosi yang paling banyak baik di PSTW maupun
KL adalah kategori sedang masing-masing sebanyak 48% dan 57.1%.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan dukungan instrumen pada PSTW dan KL dengan p=0.000 (p<0.01).
Tidak terdapat kategori rendah terkait dengan dukungan instrumen terhadap lansia
baik di PSTW maupun di KL, yang termasuk kategori sedang di PSTW sebanyak
48% sedangkan di KL sebanyak 100%. Tidak terdapat kategori tinggi terkait
dengan dukungan instrumen di KL sedangkan di PSTW sebanyak 52%.
Sebagai lembaga dengan dana operasional rutin berasal dari APBD, PSTW
memiliki fasilitas yang lebih baik dibanding KL, seperti pelayanan makan yang
rutin 3x sehari, fasilitas tempat tinggal, fasilitas pemeriksaan kesehatan rutin satu
minggu sekali. Sedangkan di KL pemeriksaan kesehatan hanya satu bulan sekali
yang terintegrasi dengan posyandu lansia. Keterbatasan fasilitas di KL berkaitan
dengan besarnya dana yang didapatkan yang dapat berasal dari swadaya
39

masyarakat, bantuan pemerintah atau perusahaan swasta yang memang belum


bersifat rutin.

Tabel 10 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan dukungan sosial


PSTW KL Total
Dukungan sosial p-value
n % n % n %
1. Dukungan emosi (skor)
Rendah (8-16) 2 8.0 0 0.0 2 3.3
0.064
Sedang (17-24) 12 48.0 20 57.1 32 53.3
Tinggi (25-32) 11 44.0 15 42.9 26 43.3
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata±SD 23.76±4.87 25.80±2.56 24.95±3.80
2. Dukungan instrumen
(skor)
Sedang (15-21) 12 48.0 35 100.0 47 78.3 0.000*
Tinggi (25-28) 13 52.0 0 0.0 13 21.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata±SD 24.64±3.57 21.00±0.00 22.52±2.91
3. Dukungan informasi
(skor)
Sedang (13-18) 12 48.0 35 100.0 47 78.3 0.000*
Tinggi (19-24) 13 52.0 0 0.0 13 21.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata±SD 21.12±3.06 18.00±0.00 19.30±2.49
4. Dukungan penghargaan
diri (skor)
Rendah (4-8) 2 8.0 0 0.0 2 3.3
0.230
Sedang (9-12) 12 48.0 18 51.4 30 50.0
Tinggi (13-16) 11 44.0 17 48.6 28 46.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata±SD 12.48±2.45 13.14±1.36 12.87±1.91
*berbeda nyata pada p<0.01

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan dukungan informasi pada PSTW dan KL dengan p=0.000 (p<0.01).
Tidak terdapat kategori rendah terkait dengan dukungan informasi terhadap lansia
baik di PSTW maupun di KL, yang termasuk kategori sedang di PSTW sebanyak
48% sedangkan di KL sebanyak 100%. Tidak terdapat kategori tinggi terkait
dengan dukungan informasi di KL sedangkan di PSTW sebanyak 44%.
Dukungan informasi yang dimaksud berkaitan dengan informasi kesehatan
seperti informasi tentang pelayanan kesehatan, resep obat, pentingnya berolahraga
dan menjaga pola makan, termasuk juga cara mengelola keuangan lansia, rutinnya
pemeriksaan kesehatan satu kali seminggu di PSTW memudahkan penyampaian
informasi kepada lansia terkait pemeliharaan kesehatannya. Namun, bukan berarti
lansia di KL tidak puas terhadap dukungan informasi yang diberikan, 100% lansia
di KL menyatakan cukup puas dengan dukungan informasi yang diberikan
terutama berkaitan dengan cara mengelola keuangan lansia. Walaupun hasil dari
kegiatan keterampilan lansia di KL tidak begitu banyak, namun para lansia di KL
di bimbing untuk mengelola penghasilannya melalui kegiatan arisan satu bulan
40

sekali. Tujuan dari kegiatan arisan tersebut selain belajar mengelola keuangan
juga dapat meningkatkan interaksi sosial bagi para lansia dan pengelola KL.
Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan dukungan penghargaan diri pada PSTW dan KL dengan
p=0.230 (p>0.05). Kategori dukungan penghargaan diri yang paling banyak baik
di PSTW maupun KL adalah kategori sedang masing-masing sebanyak 48% dan
51.4%.

Aktivitas Fisik Lansia di PSTW dan KL

Aktivitas fisik lansia dibagi menjadi 3 kategori yaitu aktivitas fisik ringan,
sedang, dan berat. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan aktivitas fisik
dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan aktivitas fisik


PSTW KL Total
Aktivitas fisik p-value
n % n % n %
Ringan 12 48.0 11 31.4 23 38.3
Sedang 13 52.0 18 51.4 31 51.7
0.000*
Berat 0 0.0 6 17.1 6 10.0
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata2 ± SDa 912.36 ± 86.16 738.09 ± 204.11 810.70 ± 185.84
a
Rata2 ± SD: rata-rata lamanya melakukan aktivitas fisik ringan (menit/hari), seperti duduk-duduk
atau berbaring dalam sehari, termasuk waktu berbincang-bincang, membaca, atau nonton televisi
tetapi tidak termasuk waktu tidur ± standar deviasi; *berbeda nyata pada p<0.01

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan aktivitas fisik pada PSTW dan KL dengan p=0.000 (p<0.01). Aktivitas
fisik yang paling banyak dilakukan lansia adalah aktivitas fisik sedang baik pada
PSTW maupun KL masing-masing sebanyak 52% dan 51.4%. Lansia dengan
aktivitas fisik ringan lebih banyak dilakukan oleh lansia di PSTW yaitu sebanyak
48% sedangkan di KL sebanyak 31.4% dan tidak terdapat lansia dengan aktivitas
fisik berat di PSTW sedangkan di KL sebanyak 17.1%.
Sebanyak 48% lansia di PSTW mempunyai aktivitas fisik ringan hal ini
berkaitan dengan kurangnya kegiatan yang mereka lakukan, hampir seharian
mereka hanya duduk-duduk santai tanpa melakukan kegiatan apapun selain
melakukan kegiatan sehari-hari seperti mencuci pakaian atau alat makan sendiri.
Berdasarkan wawancara lansia di PSTW menyatakan bahwa memang terdapat
kegiatan yang diadakan oleh pengelola panti seperti kegiatan rutin ceramah
agama, senam lansia sekali seminggu namun sebagian besar lansia tidak rutin
mengikuti kegiatan tersebut dengan alasan kondisi fisik yang susah bergerak
karena faktor usia. Berbeda halnya dengan lansia di KL, selain aktif turut
membantu kegiatan rumah tangga sehari-hari seperti memasak, mencuci baju, atau
membantu menjaga cucu, lansia di KL juga aktif dalam kegiatan rutin LSM
seperti senam lansia dan arisan lansia satu bulan sekali, kegiatan rutin membuat
keterampilan seperti anyaman tikar dari tanaman purun, mengelola plastik bekas
yang rutin dilakukan seminggu sekali.
41

Nafsu Makan Lansia di PSTW dan KL

Nafsu makan dibagi menjadi 3 kategori yaitu nafsu makan kurang, cukup,
dan baik. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan nafsu makan dapat dilihat
pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan nafsu makan


Nafsu makan PSTW KL Total
p-value
(skor) n % n % n %
Kurang (0-33) 9 36.0 11 31.4 20 33.3
Cukup (36-47) 8 32.0 16 45.7 24 40.0
0.768
Baik (68-100) 8 32.0 8 22.9 16 26.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata-rata ± SDa 62.13 ± 17.61 63.43 ± 15.20 62.89 ± 16.11
a
Rata-rata ± SD: rata-rata skor nafsu makan lansia ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan nafsu makan lansia pada PSTW dan KL dengan p=0.768
(p>0.05). Lansia dengan nafsu makan kurang di PSTW sebanyak 36% sedangkan
di KL sebanyak 31.4%, lansia dengan nafsu makan cukup di PSTW sebanyak
32% sedangkan di KL sebanyak 45.7%, lansia dengan nafsu makan baik di PSTW
sebanyak 32% sedangkan di KL sebanyak 22.9%.

Tingkat Kecukupan Energi Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan energi yang dibagi menjadi 5 kategori yaitu defisit tingkat
berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal, dan lebih. Sebaran
lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada
Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan energi


Tingkat kecukupan energi PSTW KL Total
p-value
(% AKG) n % n % n %
Defisit tingkat berat (<70) 9 36.0 18 51.4 27 45.0
Defisit tingkat sedang (70-79) 8 32.0 9 25.7 17 28.3
Defisit tingkat ringan (80-89) 2 8.0 4 11.4 6 20.0
Normal (90-119) 6 24.0 4 11.4 10 16.7
0.103
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata2 AKG ± SDa 1363 ± 442 1368 ± 326 1366 ± 375
Rata2 asupan ± SDa 1018 ± 355 922 ± 280 962 ± 314
Rata2 TK ± SDa 76.97 ± 20.91 68.38 ± 18.33 71.96 ± 19.74
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan energi (kkal) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2
asupan ± SD: rata-rata asupan energi (kkal) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat
kecukupan energi (% AKG) ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi lansia pada PSTW dan KL dengan
p=0.103 (p>0.05). Tingkat kecukupan energi lansia di PSTW yang termasuk
kategori defisit tingkat berat sebanyak 36% sedangkan di KL sebanyak 51.4%,
42

yang termasuk kategori defisit tingkat sedang di PSTW sebanyak 32% sedangkan
di KL sebanyak 25.7%, yang termasuk kategori defisit tingkat ringan di PSTW
sebanyak 8% sedangkan di KL sebanyak 11.4%, yang termasuk kategori normal
di PSTW sebanyak 24% sedangkan di KL sebanyak 11.4%, tidak terdapat lansia
dengan tingkat kecukupan energi yang termasuk dalam kategori lebih, baik di
PSTW maupun KL.

Tingkat Kecukupan Protein Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan protein yang dibagi menjadi 5 kategori yaitu defisit


tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal, dan lebih.
Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan protein dapat
dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan protein


Tingkat kecukupan protein PSTW KL Total
p-value
(% AKG) n % n % n %
Defisit tingkat berat (<70) 7 28.0 22 62.9 29 48.3
Defisit tingkat sedang (70-79) 4 16.0 5 14.3 9 15.0
Defisit tingkat ringan (80-89) 1 4.0 7 20.0 8 13.3
Normal (90-119) 10 40.0 1 2.9 11 18.3
Lebih (≥120) 3 12.0 0 0.0 3 5.0 0.016*
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata2 AKG ± SDa 44.60 ± 16.63 46.53 ± 11.77 45.72 ± 13.90
Rata2 asupan ± SDa 37.84 ± 15.19 27.35 ± 11.37 31.72 ± 13.99
Rata2 TK ± SDa 99.99 ± 78.18 58.78 ± 19.87 75.95 ± 55.98
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan protein (g) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2
asupan ± SD: rata-rata asupan protein (g) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat
kecukupan protein (% AKG) ± standar deviasi; *berbeda nyata pada p<0.05

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan tingkat kecukupan protein pada PSTW dan KL dengan p=0.016
(p<0.05). Tingkat kecukupan protein yang paling banyak di PSTW berada dalam
kategori normal yaitu 40%, sedangkan di KL berada dalam kategori defisit tingkat
berat yaitu 62.9%.
PSTW menyediakan fasilitas permakanan bagi para lansia sebanyak 3 kali
sehari yang terdiri dari nasi, lauk pauk seperti ikan atau telur atau daging, sayuran
dan buah. Sumber protein sendiri sudah terpenuhi jika lansia selalu menghabiskan
makanan yang diberikan. Berbeda dengan lansia di KL yang tidak mendapatkan
fasilitas permakanan oleh lembaga. Para lansia di KL menyediakan sendiri
makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian
besar lansia masih belum menerapkan pola makan gizi seimbang, menu makanan
sehari-hari ada yang hanya terdiri dari nasi dengan sedikit ikan atau telur sebagai
sumber protein, para lansia juga jarang mengkonsumsi bahan makanan seperti
tempe atau tahu demikian juga dengan sayuran dan buah.
43

Tingkat Kecukupan Lemak Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan lemak yang dibagi menjadi 5 kategori yaitu defisit tingkat
berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal, dan lebih. Sebaran
lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan lemak dapat dilihat pada
Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan lemak


Tingkat kecukupan lemak PSTW KL Total
p-value
(% AKG) n % n % n %
Defisit tingkat berat (<70) 12 48.0 32 91.4 44 73.3
Defisit tingkat sedang (70-79) 2 8.0 2 5.7 4 6.7
Defisit tingkat ringan (80-89) 0 0.0 1 2.9 1 1.7
Normal (90-119) 9 36.0 0 0.0 9 15.0
Lebih (≥120) 2 8.0 0 0.0 2 3.3 0.000*
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata2 AKG ± SDa 37.89 ± 12.34 38.03 ± 9.08 37.97 ± 10.46
Rata2 asupan ± SDa 28.74 ± 10.15 14.76 ± 8.45 20.77 ± 11.46
Rata2 TK ± SDa 79.99 ± 29.17 38.78 ± 19.71 55.95 ± 31.46
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan lemak (g) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2
asupan ± SD: rata-rata asupan lemak (g) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat
kecukupan lemak (% AKG) ± standar deviasi; *berbeda nyata pada p<0.01

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan tingkat kecukupan lemak lansia pada PSTW dan KL dengan p=0.000
(p<0.01). Lansia di KL lebih banyak mengalami tingkat kecukupan lemak dalam
kategori defisit tingkat berat yaitu sebanyak 91.4%. Lansia di KL cenderung
menkonsumsi makanan yang masih belum seimbang termasuk dalam konsumsi
lemak.
Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar lansia di KL hanya
mengkonsumsi makanan dengan menu seperti nasi dan ikan saja. Walaupun ikan
yang dikonsumsi kebanyakan diolah dengan digoreng menggunakan minyak
sebagai salah satu sumber lemak namun jumlah ikannya pun belum sesuai standar
porsi untuk sekali makan, sehingga kandungan lemaknya pun juga kurang. Jika
mengkonsumsi telur dadar jumlahnya tidak sampai satu butir, terkadang hanya
setengahnya saja. Berbeda dengan lansia di PSTW, dengan adanya penyediaan
menu yang lengkap setiap kali makan seperti nasi, telur atau ikan, serta sayuran
dan buah memungkinkan para lansia untuk memenuhi asupan makannya termasuk
asupan lemak. Meskipun berdasarkan hasil wawancara tidak semua lansia mampu
menghabiskan makanan yang disediakan terkait dengan nafsu makan.

Tingkat Kecukupan Karbohidrat Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan karbohidrat yang dibagi menjadi 5 kategori yaitu defisit


tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal, dan lebih.
Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat dapat
dilihat pada Tabel 16.
44

Tabel 16 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan


karbohidrat
Tingkat kecukupan PSTW KL Total
p-value
Karbohidrat (% AKG) n % n % n %
Defisit tingkat berat (<70) 12 48.0 8 22.9 20 33.3
Defisit tingkat sedang (70-79) 4 16.0 14 40.0 18 30.0
Defisit tingkat ringan (80-89) 2 8.0 3 8.6 5 8.3
Normal (90-119) 7 28.0 5 14.3 12 20.0
Lebih (≥120) 0 0.0 5 14.3 5 8.3 0.197
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata2 AKG ± SDa 216.89 ± 65.14 217.82 ± 48.53 217.43 ± 55.53
Rata2 asupan ± SDa 155.50 ± 61.44 171.24 ± 47.74 164.68 ± 53.95
Rata2 TK ± SDa 72.99 ± 22.12 81.07 ± 25.40 77.70 ± 24.22
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan karbohidrat (g) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2
asupan ± SD: rata-rata asupan karbohidrat (g) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat
kecukupan karbohidrat (% AKG) ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan tingkat kecukupan karbohidrat pada PSTW dan KL dengan
p=0.197 (p>0.05). Tingkat kecukupan karbohidrat yang paling banyak baik di
PSTW berada dalam kategori defisit tingkat berat yaitu sebanyak 48%, sedangkan
di KL paling banyak termasuk dalam kategori defisit tingkat sedang yaitu
sebanyak 40%.

Tingkat Kecukupan Kalsium (Ca) Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan Ca yang dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang dan


cukup. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Ca dapat
dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Ca


Tingkat kecukupan PSTW KL Total
p-value
Ca (% AKG) n % n % n %
Kurang (<70) 16 64.0 34 97.1 50 83.3
Cukup (≥70) 9 36.0 1 2.9 10 16.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
0.281
Rata2 AKG ± SDa 839.69 ± 225.09 847.35 ± 172.71 844.10 ± 194.81
Rata2 asupan ± SDa 706.50 ± 700.44 153.02 ± 123.13 387.55 ± 536.41
Rata2 TK ± SDa 83.64 ± 83.90 17.93 ± 14.18 45.77 ± 64.03
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan Ca (mg) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2 asupan
± SD: rata-rata asupan Ca (mg) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat kecukupan Ca
(% AKG) ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan tingkat kecukupan Ca pada PSTW dan KL dengan p=0.281
(p>0.05). Gambaran tingkat kecukupan Ca pada sebagian besar lansia, baik di
PSTW maupun KL sama-sama berada dalam kategori tingkat kecukupan Ca
kurang yaitu masing-masing sebanyak 64% dan 97.1%.
45

Tingkat Kecukupan Zat Besi (Fe) Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan Fe yang dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang dan


cukup. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Fe dapat
dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Fe


Tingkat kecukupan PSTW KL Total
p-value
Fe (% AKG) n % n % n %
Kurang (<70) 6 24.0 30 85.7 36 60.0
Cukup (≥70) 19 76.0 5 14.3 24 40.0
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
0.000*
Rata2 AKG ± SDa 10.08 ± 2.70 10.08 ± 2.11 10.08 ± 2.35
Rata2 asupan ± SDa 10.06 ± 3.10 4.69 ± 2.45 6.93 ± 3.81
Rata2 TK ± SDa 107.92 ± 49.73 46.56 ± 22.98 72.13 ± 47.33
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan Fe (mg) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2 asupan
± SD: rata-rata asupan Fe (mg) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat kecukupan Fe
(% AKG) ± standar deviasi; *berbeda nyata pada p<0.01

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan tingkat kecukupan Fe pada PSTW dan KL dengan p=0.000 (p<0.01).
Tingkat kecukupan Fe lansia di PSTW sebagian besar termasuk dalam kategori
cukup yaitu 76%, sedangkan di KL sebagian besar termasuk kategori kurang yaitu
85.7%. Tingkat kecukupan Fe berkaitan dengan tingkat kecukupan protein.
Penyediaan menu pada lansia PSTW dengan sumber protein yang cukup,
memungkinkan terpenuhinya sumber Fe yang juga cukup terutama bagi lansia
yang mampu menghabiskan makanan yang disediakan.

Tingkat Kecukupan Vitamin A Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan vitamin A yang dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang


dan cukup. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan
vitamin A dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan vit. A


Tingkat kecukupan PSTW KL Total p-
vitamin A (% AKG) n % n % n % value
Kurang (<70%) 2 8.0 26 74.3 28 46.7
Cukup (≥70%) 23 92.0 9 25.7 32 53.3
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
0.023*
Rata2 AKG ± SDa 419.84 ± 112.54 434.05 ± 90.06 427.08 ± 100.93
Rata2 asupan ± SDa 514.61 ± 197.23 197.55 ± 170.56 352.97 ± 242.57
Rata2 TK ± SDa 128.93 ± 53.62 46.07 ± 44.12 86.69 ± 64.06
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan vitamin A (RE) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2
asupan ± SD: rata-rata asupan vitamin A (RE) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat
kecukupan vitamin A (% AKG) ± standar deviasi; *berbeda nyata pada p<0.05

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan tingkat kecukupan vitamin A pada PSTW dan KL dengan p=0.023
46

(p<0.05). Sebagian besar lansia di PSTW termasuk dalam katergori tingkat


kecukupan vitamin A cukup (92%), sedangkan lansia di KL sebagian besar
termasuk dalam kategori tingkat kecukupan vitamin A yang kurang (74.3%).
Kekurangan vitamin A yang kurang pada lansia di KL disebabkan karena
kurangnya asupan sumber makanan yang mengandung vitamin A. Sumber
vitamin A banyak ditemukan terutama pada sayuran dan buah berwarna, dalam
menu makanan sehari-hari lansia di KL sangat jarang mengkonsumsi sumber
makanan tersebut.

Tingkat Kecukupan Vitamin C Lansia di PSTW dan KL

Tingkat kecukupan vitamin C yang dibagi menjadi 2 kategori yaitu kurang


dan cukup. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan
vitamin C dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan vit. C


Tingkat kecukupan PSTW KL Total
p-value
vitamin C (% AKG) n % n % n %
Kurang (<70%) 18 72.0 28 80.0 46 76.7
Cukup (≥70%) 7 28.0 7 20.0 14 23.3
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
0.943
Rata2 AKG ± SDa 62.98 ± 16.88 63.01 ± 13.16 62.99 ± 14.69
Rata2 asupan ± SDa 41.65 ± 29.96 41.45 ± 93.91 41.53 ± 73.80
Rata2 TK ± SDa 64.49 ± 35.02 66.53 ± 150.97 65.68 ± 116.76
a
Rata2 AKG ± SD: rata-rata kebutuhan vitamin C (mg) berdasarkan AKG ± standar deviasi; Rata2
asupan ± SD: rata-rata asupan vitamin C (mg) ± standar deviasi; Rata2 TK ± SD: rata-rata tingkat
kecukupan vitamin C (% AKG) ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan tingkat kecukupan vitamin C pada PSTW dan KL dengan
p=0.943 (p>0.05). Sebagian besar lansia, baik di PSTW maupun KL termasuk
dalam kategori tingkat kecukupan vitamin C kurang yaitu masing-masing
sebanyak 72% dan 80%. Sumber utama vitamin C terdapat pada sayuran dan
buah, terutama yang berwarna cerah seperti tomat, wortel, jeruk, dan lain
sebagainya. Namun, konsumsi sayur dan buah pada lansia masih tergolong jarang
terutama pada lansia di KL.

Status Kesehatan Lansia di PSTW dan KL

Status kesehatan dinilai berdasarkan skor morbiditas dimana semakin tinggi


skor morbiditas maka derajat status kesehatan akan semakin rendah demikian pula
sebaliknya. Status kesehatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang dan
tinggi. Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan status kesehatan dapat dilihat
pada Tabel 21.
47

Tabel 21 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan status kesehatan


Status kesehatan PSTW KL Total
p-value
(skor morbiditas) n % n % n %
Rendah (41-60) 2 8.0 1 2.9 3 5.0
Sedang (21-40) 2 8.0 0 0.0 2 3.3
Tinggi (0-20) 21 84.0 34 97.1 55 91.7 0.190
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata2 ± SDa 7.72 ± 17.37 2.74 ± 7.73 4.82 ± 12.78
a
Rata2 ± SD: rata-rata skor morbiditas dari penyakit infeksi ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan status kesehatan pada PSTW dan KL dengan p=0.190
(p>0.05). Sebagian besar lansia, baik di PSTW maupun KL sama-sama berada
dalam kategori status kesehatan tinggi yaitu masing-masing sebanyak 84% dan
97.1%.

Status Gizi Lansia di PSTW dan KL

Status gizi dibagi menjadi 6 kategori yaitu sangat kurus, kurus, normal,
kelebihan berat badan/overweight, gemuk, dan sangat gemuk. Sebaran lansia di
PSTW dan KL berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan status gizi (IMT)


PSTW KL Total
IMT(kg/m2) p-value
n % n % n %
Sangat kurus (<17) 2 8.0 6 17.1 8 13.3
Kurus (17.0-18.4) 4 16.0 5 14.3 9 15.0
Normal (18.5-24.9) 10 40.0 15 42.9 25 41.7
Overweight (25.0-26.9) 4 16.0 4 11.4 8 13.3
0.177
Gemuk (≥27-28.9) 2 8.0 4 11.4 6 10.0
Sangat gemuk (≥29) 3 12.0 1 2.9 4 6.7
Total 25 100.0 35 100.0 60 100.0
Rata2 ± SDa 22.76 ± 6.13 20.83 ± 4.06 21.63 ± 5.07
a
Rata2 ± SD: rata-rata status gizi (IMT) ± standar deviasi

Hasil uji statistik Independent Sampel T-test menunjukkan bahwa tidak


terdapat perbedaan status gizi pada PSTW dan KL dengan p=0.177 (p>0.05).
Status gizi lansia di PSTW dan KL paling banyak sama-sama berada dalam
kategori normal yaitu masing-masing sebanyak 40% dan 42.9%.
Lansia dengan status gizi kurang dari normal yaitu sangat kurus lebih banyak
dialami lansia di KL yaitu 17.1% dibanding lansia di PSTW sebanyak 8%. Lansia
dengan status gizi lebih dari normal yaitu overweight lebih banyak dialami lansia
di PSTW yaitu 16% dibanding di KL sebanyak 11.4%. Demikian pula status gizi
sangat gemuk lebih banyak dialami lansia di PSTW yaitu 12% dibanding di KL
hanya 2.9%.
48

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia

Analisis regresi linear berfungsi untuk mendapatkan model yang terbaik


dalam menentukan faktor potensial atau dominan yang berpengaruh terhadap
variabel dependen (status gizi dan status kesehatan). Pemilihan variabel kandidat
dilakukan dengan cara analisis bivariat terlebih dahulu antara seluruh variabel
independen dengan variabel dependen. Hasil analisis bivariat ini menentukan
variabel kandidat untuk masuk kedalam model yang didasarkan pada
pertimbangan nilai F statistik yang dibandingkan dengan F tabel mempunyai
p<0.25 yang nantinya akan menghasilkan variabel dominan dalam analisis regresi
linear. Analisis regresi dilakukan secara serentak terhadap 2 lembaga (PSTW dan
KL) dengan analisis regresi variabel dummy dengan tipe PSTW=1 dan KL=0.
Hasil analisis bivariat variabel independen dengan dependen (status gizi)
dengan uji korelasi pearson didapatkan bahwa variabel yang termasuk kedalam
pemodelan (variabel kandidat) dengan p<0.25 pada penelitian ini adalah tipe
lembaga, usia hidup ibu, keberhasilan mencapai tujuan hidup, tingkat kecukupan
energi, tingkat kecukupan lemak dan tingkat kecukupan Fe. Variabel kandidat
dengan p<0.05 adalah dukungan emosi, dukungan penghargaan diri, nafsu makan,
tingkat kecukupan karbohidrat dan status kesehatan. Sedangkan variabel lainnya
tidak temasuk pemodelan (variabel kandidat) karena p>0.25 seperti terlihat pada
Tabel 23.
Terdapat hubungan antara dukungan emosi dengan status gizi lansia.
Menurut Cutrona (1996) dukungan emosional mencakup ungkapan cinta, empati,
dan perhatian yang diberikan oleh orang lain untuk membuat seseorang merasa
nyaman, dihargai, dan dicintai. Masalah emosional pada lansia terkait dengan
masalah sosial dimana peran sosial seperti keluarga, teman, atau lembaga sangat
diperlukan oleh seorang lansia untuk mengatasi rasa kesepian yang rentan dialami
lansia, sebagai tempat untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan, yang mengerti
permasalahan yang dialami lansia, tempat bertukar pikiran, yang membuat lansia
merasa nyaman dan merasa dibutuhkan, dan lain sebagainya. Ketika lansia
mengalami masalah sosial, dukungan emosi yang seharusnya ada justru tidak
didapatkan, maka emosional lansia tersebut rentan terganggu karena tidak adanya
tempat untuk mencurahkan emosi, hal ini dapat mempengaruhi status gizi lansia.
Menurut Volkert (2013) Faktor usia berkaitan dengan sistem regulasi nafsu makan
yang kompleks, sehingga muncul istilah yang dinamakan anoreksia akibat proses
penuaan yang rentan dialami oleh lansia terkait dengan penurunan asupan makan
yang dapat menyebabkan malnutrisi, hal ini akan semakin parah jika terdapat
masalah kesehatan atau masalah sosial.
Terdapat hubungan antara dukungan penghargaan diri dengan status gizi
lansia. Dukungan penghargaan diri merupakan bantuan yang diberikan melalui
penghargaan terhadap kualitas yang dimiliki seseorang, percaya dengan
kemampuan seseorang, dan juga memberikan persetujuan terhadap gagasan,
perasaan, dan apa yang dilakukan oleh orang tersebut (Cutrona 1996). Hal-hal
tersebut cenderung membuat lansia merasa dihargai.
Sebagai lembaga yang bergerak dalam kegiatan terkait dengan produktivitas
sosial, KL turut berperan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia.
Menurut Siegrist (2004) produktivitas sosial termasuk pekerja sukarela berkaitan
dengan kesehatan dan kebahagian pada populasi lansia. Adanya motivasi internal
49

berupa komitmen lembaga memotivasi suatu lembaga untuk ikut terlibat dalam
peningkatan produktivitas sosial meskipun tanpa adanya imbalan berupa
penghargaan atau upah, hal inilah yang akan memicu terwujudnya kesehatan
lansia.

Tabel 23 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua, tingkat
depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik, nafsu makan,
tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta status kesehatan terhadap
status gizi (IMT)
Variabel R p-value
Tipe lembaga 0.036 0.147
Usia hidup ayah 0.018 0.302
Usia hidup ibu 0.032 0.173
Tingkat depresi 0.003 0.659
Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan 0.000 0.922
Menganggap hidup penuh arti 0.017 0.315
Keberhasilan mencapai tujuan hidup 0.024 0.234
Memiliki gambaran diri positif 0.007 0.525
Sikap hidup optimis 0.001 0.661
Kepuasan hidup total 0.010 0.408
Dukungan emosi 0.070 0.042*
Dukungan instrumen 0.015 0.351
Dukungan informasi 0.015 0.351
Dukungan penghargaan diri 0.070 0.043*
Aktivitas fisik 0.027 0.210
Nafsu makan 0.077 0.032*
Tingkat kecukupan energi 0.035 0.150
Tingkat kecukupan Protein 0.005 0.595
Tingkat kecukupan lemak 0.003 0.668
Tingkat kecukupan Karbohidrat 0.080 0.029*
Tingkat kecukupan Ca 0.008 0.496
Tingkat kecukupan Fe 0.033 0.163
Tingkat kecukupan Vit. A 0.003 0.675
Tingkat kecukupan Vit. C 0.000 0.825
Status Kesehatan (skor morbiditas) 0.065 0.049*
*Hasil uji korelasi pearson, signifikan pada p<0.05

Dukungan penghargaan diri bagi lansia di KL terwujud dalam kegiatan


lembaga yang mengupayakan peningkatan produktivitas lansia melalui kegiatan
keterampilan seperti membuat anyaman tikar dari tanaman purun, mengelola
plastik bekas yang rutin dilakukan seminggu sekali. Melalui kegiatan tersebut
lansia di KL menyatakan bahwa mereka merasa dianggap penting dan merasa
masih diberikan kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Para
lansia di KL di dorong untuk dapat mengembangkan potensi diri, mandiri, bahkan
dapat membantu penghasilan keluarga. Walaupun penghasilan yang didapat tidak
terlalu besar, namun kegiatan aktif dan produktif yang dilakukan membuat para
lansia merasa bahagia. Berdasarkan penelitian Sulandari dkk. (2009) lansia yang
tergolong aktif dan produktif 100% dari mereka menyatakan bahwa mereka
merasa senang dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Sedangkan yang
tergolong tidak atau kurang produktif, hanya 52% dari mereka yang menikmati
50

hidupnya saat ini. Mengutip teori dalam materi Prof. Rhenald Kasali (Nadia 2013)
bahwa kesejahteraan sosial bukan semata-mata uang, penentu kebahagiaan adalah
apa yang dirasakan dari dalam hati. Semakin tua konsumsi akan makin turun, dan
kebutuhan akan kesehatan semakin meningkat. Unsur penting sehat itu adalah
kebahagiaan. Ketika berbahagia kita tidak selalu terfokus pada diri sendiri, kita
cenderung menyukai orang lain dan ingin berbagi keberuntungan bahkan dengan
orang asing. Ketika muram, kita menjadi gampang curiga, suka menyendiri, dan
fokus pada kebutuhan diri sendiri. Jadi salah satu strateginya adalah mendorong
lanjut usia untuk melakukan berbagai kegiatan dan terlibat aktivitas sosial.
Selain dari lembaga dukungan penghargaan diri lansia di KL juga didapatkan
dari keluarga dimana lansia masih turut andil dalam memberikan solusi ketika
terdapat masalah dalam keluarga, hal tersebut membuat lansia merasa dihargai.
Dalam materi Prof. Rhenald Kasali (Nadia 2013) juga dinyatakan bahwa keluarga
tetap menjadi suplemen terbesar bagi kebahagiaan lansia. Permasalahan
kesejahteraan lansia khususnya yang berkaitan dengan kebahagiaannya tidak bisa
diambil alih semua oleh negara, karena tidak terlepas dari pentingnya hubungan
batiniah antara orang tua dan anak.
Dukungan penghargaan diri lansia di PSTW terutama didapatkan oleh lansia
yang memang masih aktif dan produktif seperti membantu kegiatan memandikan
jenazah, membantu membersihkan sampah, dan lain sebagainya. Terdapat
beberapa lansia yang menyatakan bahwa apa yang dia kerjakan dianggap penting
dan dipuji oleh pengelola panti sosial dan lansia tersebut menyatakan bahwa pihak
pengelola panti masih percaya dengan kemampuannya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan lansia kegiatan keterampilan seperti menyulam atau menjahit
juga terdapat di PSTW, namun belum bersifat rutin.
Harga diri yang rendah secara tidak langsung berpengaruh terhadap status
gizi. Harga diri yang rendah berkaitan dengan meningkatnya depresi yang
cenderung terjadi pada usia lanjut (Rodda et al. 2011). Harga diri yang rendah
juga berkaitan dengan menurunnya kepuasan hidup. Hasil dari beberapa studi
literatur menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara harga diri dengan
kepuasan hidup (Cecen 2008; Dilmac dan Eksi 2008; Lai et al. 2007; Leung et al.
2005; Zhang dan Leung 2002). Menurunnya kepuasan hidup akan semakin
meningkatkan depresi. Harga diri yang rendah, meningkatnya depresi, dan
gangguan makan mempunyai dampak negatif terhadap status gizi (Marshall et al.
2012). Depresi pada lansia cenderung menyebabkan lansia apatis terhadap
makanan (Watson 2003). Sikap apatis lansia terhadap makanan berkaitan dengan
menurunnya nafsu makan. Menurut Fairburn (2001) hilangnya nafsu terhadap
makanan (anorexia) merupakan salah satu karakter dari gangguan makan.
Hilangnya nafsu makan sendiri merupakan salah satu tanda dan gejala deprsesi
(Robinson et al. 2014). Menurunnya nafsu makan lansia berdampak pada
menurunnya asupan makan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan status
gizi.
Melalui dukungan penghargaan diri yang diantaranya dapat dilakukan
melalui upaya peningkatan produktivitas lansia sehingga membuat lansia merasa
bahagia dan dihargai, motivasi hidup lansia akan meningkat. Sebagian besar
waktu lansia yang cenderung merasa murung dan tertekan sebagai salah satu
gejala depresi (American Psychiatric Association 2013) dapat berkurang. Hal
tersebut dapat memicu semangat lansia untuk menjalani hidup termasuk
51

memperbaiki nafsu makan lansia yang berdampak pada peningkatan asupan


makan dan meningkatnya status gizi.
Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi
lansia. Karbohidrat merupakan sumber energi utama selain lemak dan protein.
Menurut Almatsier (2001) energi dapat diperoleh dari karbohidrat, lemak dan
protein yang ada di dalam makanan. Sumber energi dengan konsentrasi tinggi
adalah bahan makanan sumber lemak seperti minyak, kacang-kacangan dan biji-
bijian, sedangkan padi-padian, umbi-umbian dan gula murni merupakan bahan
makanan sumber karbohidrat lainnya. Berat badan merupakan indikator
kecukupan energi karena tubuh secara unik memiliki kemampuan mengubah
karbohidrat, protein, dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi. Oleh karena
itu mengonsumsi makanan terlalu banyak atau sedikit secara terus menerus akan
berdampak pada perubahan berat badan (Frary dan Johnson 2000). Energi yang
dibutuhkan lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa
karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga
dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh
agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat
masih muda (Fatmah 2010). Menurut Arisman (2009), lansia memerlukan pangan
yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Mutu yang tinggi
dimaksudkan untuk mengimbangi penyusutan faali yang cepat serta untuk
mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Sedangkan jumlah yang
kecil yang tercermin dari nilai energinya.
Terdapat hubungan antara status kesehatan dengan status gizi lansia. Status
gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan
penyakit terutama penyakit infeksi. Hasil penelitian Puspitasari (2011) pada lansia
peserta home care dan bukan home care yang menyatakan adanya hubungan yang
signifikan antara status gizi dan status kesehatan (r=-0,289; p<0,05). Penyakit
salah gizi merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian untuk banyak
penyakit infeksi primer. Keberadaan penyakit di sisi lain akan meningkatkan
kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami penyakit akan
kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan
zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi
kurang gizi (Soehardjo 2008).
Tidak terdapat hubungan antara faktor genetik (usia hidup orangtua) terhadap
status gizi lansia. Faktor genetik berhubungan langsung dengan status kesehatan
tapi tidak berhubungan langsung dengan status gizi. Berdasarkan penelitian Reed
et al. (2003) usia hidup orang tua berhubungan dengan tingginya profil lipid dan
hipertensi pada keturunannya. Dalam penelitian ini status kesehatan yang diteliti
berkaitan dengan skor morbiditas dari penyakit infeksi bukan berdasarkan
penyakit degeneratif.
Tidak terdapat hubungan antara perasaan senang dengan aktivitas yang
dilakukan terhadap status gizi lansia. Jika dilihat dari jenis aktivitas fisik, lansia di
PSTW berbeda dengan lansia di KL. Dimana aktivitas ringan lebih banyak
dialami oleh lansia di PSTW dibandingkan KL yaitu masing-masing 48% dan
31.4%. Tidak terdapat lansia dengan kategori aktivitas berat di PSTW, sedangkan
di KL terdapat sebanyak 17.1%. Lansia di PSTW dan KL sama-sama menyukai
aktivitas yang mereka lakukan. Perasaan semakin senang dengan aktivitas yang
52

dilakukan tidak menjamin status gizi akan semakin baik, karena belum tentu
aktivitas yang disenangi merupakan aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan.
Tidak terdapat hubungan dukungan instrumen dan dukungan informasi
terhadap status gizi lansia. Mengutip teori dalam materi Prof. Renald Kasali
(Nadia 2013) bahwa kesejahteraan sosial bukan semata-mata uang, penentu
kebahagiaan adalah apa yang dirasakan dari dalam hati. Jadi kebahagiaan hati,
tidak semata-mata karena dukungan instrumen (keuangan, tenaga, dan lain-lain)
namun dukungan penghargaan diri dan dukungan emosi tidak kalah penting dalam
mewujudkan kebahagiaan tersebut. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat
hubungan antara dukungan penghargaan diri dan dukungan emosi terhadap tingkat
depresi dan juga kepuasan hidup total (p<0.05), dan terdapat hubungan antara
tingkat depresi dan kepuasan hidup total terhadap nafsu makan (p<0.05). Melalui
peningkatan nafsu makan maka tingkat konsumsi akan meningkat sehingga status
gizi juga meningkat. Jadi, dukungan instrumen dan informasi tidak berhubungan
langsung dengan status gizi, namun hubungannya lebih mengarah kepada
penurunan depresi dan peningkatan kepuasan hidup yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap nafsu makan.
Tidak terdapat hubungan antara kepuasan hidup (perasaan menganggap hidup
penuh arti, keberhasilan mencapai tujuan hidup, memiliki gambaran diri positif,
dan sikap hidup optimis) terhadap status gizi. Kepuasan hidup tidak berhubungan
langsung dengan status gizi. Namun hubungannya lebih kearah nafsu makan.
Berdasarkan uji korelasi pearson, terdapat hubungan antara kepuasan hidup total
terhadap nafsu makan (P<0.05).
Tidak terdapat hubungan antara tingkat depresi terhadap status gizi lansia.
Hal tersebut di duga karena persentase depresi berat pada lansia dan KL sangat
kecil yaitu hanya 3.3%. disamping itu, tingkat depresi sendiri tidak berhubungan
langsung dengan status gizi, namun hubungannya lebih mengarah kepada
peningkatan nafsu makan. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat hubungan
antara tingkat depresi terhadap nafsu makan (p<0.05).
Tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik terhadap status gizi lansia.
Pengaruh aktivitas fisik terhadap status gizi sangat berkaitan dengan asupan
makan, dimana untuk mendapatkan status gizi yang optimal didukung oleh
aktivitas fisik dan asupan makan yang cukup. Jika aktivitas fisik berlebih, namun
asupan makan tidak mencukupi atau sebaliknya maka status gizi tidak akan
optimal. Jadi aktivitas fisik yang tinggi belum tentu meningkatkan status gizi, jika
tidak diimbangi dengan asupan makan yang memadai.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi terhadap status gizi
lansia. Secara alami terjadi penurunan fungsi fisiologis pada lansia seiring
bertambahnya usia. Proses menua ditandai dengan kehilangan massa otot secara
progresif yang dimulai sejak usia 40 tahun disertai penurunan metabolisme basal
sebesar 2%. Pada usia lebih dari 70 tahun lansia mengalami kehilangan 40%
massa ototnya dibandingkan kelompok usia muda. Penurunan fungsi fisiologis
pada lansia memiliki kaitan erat dengan penurunan status gizi terkait menurunnya
kemampuan mengunyah makanan dan berkurangnya sekresi enzim pencernaan
yang dapat menyebabkan malabsorpsi. Diantaranya adalah berkurangnya enzim
yang dikeluarkan oleh pankreas seperti enzim amilase, tripsin dan lipase yang
berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Sehingga
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menjadi tidak sebaik ketika masih
53

muda. Jadi, walaupun tingkat kecukupan energi yang sebagian besar berasal dari
karbohidrat, protein, dan lemak terpenuhi namun jika enzim yang diperlukan
untuk metabolisme zat gizi tersebut kurang, maka akan mengganggu metabolisme
dari zat gizi tersebut, sehingga tidak dapat berfungsi optimal.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan lemak terhadap status gizi
lansia. Status gizi lansia sangat dipengaruhi oleh proses menua. Peningkatan
lemak tubuh terjadi secara alami ketika tubuh menua, lemak subkutan terdistribusi
dari ekstremitas kebatang tubuh yang dimulai pada usia awal 40 tahun. Sebagian
besar masalah gizi lansia adalah kasus gizi berlebih seperti obesitas (Fatmah
2010). Walaupun tingkat kecukupan lemak lansia kurang, status gizi lansia dapat
mengalami peningkatan akibat meningkatnya massa lemak tubuh secara alami.
Apalagi didukung oleh aktivitas fisik yang kurang.
Selain itu, tidak terdapatnya hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat,
protein, dan lemak terhadap status gizi dapat berkaitan dengan perubahan
kemampuan penyerapan zat makanan yang terjadi pada lansia. Perubahan tersebut
diantaranya adalah terjadinya atrofi mukosa usus halus sehingga luas
permukaannya berkurang, hal ini menyebabkan jumlah villi dari usus halus yang
berperan penting dalam penyerapan zat gizi menjadi berkurang, keadaan ini dapat
menurunkan proses penyerapan zat gizi.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan Ca, Fe, vitamin A,
vitamin C terhadap status gizi lansia. Ca, Fe, vitamin A, dan vitamin C merupakan
zat gizi mikro. Berbeda halnya dengan zat gizi makro, zat gizi mikro ini
memberikan sumbangan energi yang lebih kecil bagi tubuh, sehingga
hubungannya tidak berpengaruh besar terhadap status gizi secara langsung. Selain
itu, keadaan malabsorpsi akibat berkurangnya sekresi enzim pencernaan juga
dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan kalsium. Walaupun Ca, Fe, vitamin A,
dan vitamin C merupakan zat gizi mikro artinya dibutuhkan dalam jumlah yang
sedikit, namun masing-masing zat gizi tersebut mempunyai manfaat yang besar
terhadap kesehatan diantaranya Ca berperan besar bagi kesehatan tulang.
Seiring bertambahnya usia terjadi penurunan massa tulang yang berkaitan
dengan meningkatnya prevalensi osteoporosis pada lansia dimana satu dari dua
wanita berusia 50 tahun atau lebih menderita retak tulang yang disebabkan
osteoporosis dalam kehidupannya. Tingkat kecukupan Ca sebaiknya dipenuhi
sejak usia dini, karena puncak massa tulang dicapai pada usia 30-35 tahun dan
menurun setelah itu (Fatmah 2010). Fe adalah komponen penting bagi tubuh. Fe
merupakan bagian dari hemoglobin (Hb), dimana Hb terdiri dari Fe, protoporfirin,
dan mioglobin yang merupakan suatu oksigen yang mengantarkan eritrosit yang
berfungsi penting bagi tubuh (fatmah 2010). Sekitar 6 dari 10 lansia mengalami
anemia gizi, diantaranya akibat kurangnya asupan Fe dan vitamin C (Kurniasih
dkk. 2010). Vitamin A selain berfungsi didalam imunitas tubuh dan penglihatan,
pada lansia vitamin A juga berfungsi untuk melawan radikal bebas yang
menyebabkan penuaan atau sebagai antioksidan. Vitamin C berfungsi antara lain
meningkatkan kekebalan tubuh, melindungi dari serangan kanker, melindungi
arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, mencegah katarak, dan
mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010).
Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan 4 variabel dominan yang
berpengaruh terhadap status gizi yaitu tipe lembaga, dukungan emosi, nafsu
makan, dan tingkat kecukupan karbohidrat seperti terlihat pada Tabel 24.
54

Tabel 24 Variabel dominan yang berpengaruh terhadap status gizi (IMT)


Parameter
Variabel Partial R-square p-value
estimate
Intercept 28.278
Tipe lembaga 11.679 0.102 0.003**
Dukungan emosi -0.295 0.090 0.009**
Nafsu makan 0.164 0.150 0.002**
Tingkat kecukupan karbohidrat -0.079 0.079 0.029*
Hasil uji regresi linear, *signifikan pada p<0.05; **signifikan pada p<0.01

Berdasarkan hasil uji regresi yang dilakukan, diketahui bahwa terdapat


pengaruh positif antara tipe lembaga dengan status gizi. PSTW mempunyai
pengaruh positif terhadap status gizi sebesar 11.679 dibandingkan KL. Nilai R2
dari tipe lembaga terhadap status gizi sebesar 0.102 menunjukkan bahwa status
gizi dijelaskan atau dipengaruhi oleh tipe lembaga sebesar 10.2%. Berdasarkan
persentase status gizi overweight dan status gizi sangat gemuk di PSTW lebih
besar dibanding KL masing-masing yaitu 16% dan 11.4% untuk status gizi
overweight, dan 12% dan 2.9% untuk status gizi sangat gemuk. Sedangkan lansia
dengan status gizi sangat kurus di PSTW sebanyak 8% dan di KL persentasenya
lebih besar yaitu 17.1%.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan terkait dengan pelayanan fisik
(penyediaan makanan) PSTW memang jauh berbeda dengan KL. Lansia di PSTW
mendapatkan pelayanan makanan 3 kali sehari sedangkan di KL tidak disediakan
jenis pelayanan terkait penyediaan makanan. Hal ini berkaitan dengan kemudahan
akses mendapatkan makanan, dimana lansia di PSTW lebih mudah mendapatkan
makanan karena sudah disediakan, sedangkan lansia di KL harus menyediakan
sendiri makanannya setiap hari. Kemudahan akses terhadap makanan diprediksi
mengarah kepada gaya hidup yang menyebabkan overweight dan obesitas (Lebel
et al 2012). Aktifitas fisik yang kurang juga memicu terbentuknya obesitas.
berdasarkan data aktifitas fisik, lansia di PSTW lebih banyak yang melakukan
aktivitas ringan dibanding KL masing-masing yaitu 48% dan 31.4%.
Terdapat pengaruh negatif antara dukungan emosi dengan status gizi,
semakin tinggi dukungan emosi maka status gizi semakin turun. Pengaruh
dukungan emosi terhadap status gizi lansia di PSTW sebesar 0.295 di bandingkan
KL, dengan nilai R2 dari dukungan emosi terhadap status gizi sebesar 0.090
menunjukkan bahwa status gizi dijelaskan atau dipengaruhi oleh dukungan emosi
sebesar 9%. Dukungan emosi memang cenderung membuat seseorang merasa
nyaman, namun ketika dukungan tersebut berlebihan juga akan berdampak negatif
terhadap orang yang diberi dukungan. Misalkan ketika lansia selalu dapat
meluapkan semua perasaan yang dia anggap tidak nyaman, namun selalu
mendapatkan dukungan emosi dari seseorang, lansia tersebut cenderung merasa
benar mengenai apa yang dilakukannya karena terlalu terbawa perasaan. Lansia
cenderung memiliki emosi yang lebih sensitiif berkaitan dengan faktor usia dan
juga penyakit yang diderita. Emosi berlebihan pada lansia berkaitan dengan nafsu
makannya. Jika lebih mengarah kepada emosi negatif dapat berakibat terhadap
penurunan nafsu makan yang jika terus menerus terjadi maka dapat menurunkan
status gizi.
Terdapat pengaruh positif antara nafsu makan dengan status gizi, semakin
tinggi nafsu makan maka status gizi semakin optimal. Pengaruh nafsu makan
55

terhadap status gizi lansia di PSTW sebesar 0.164 dibandingkan KL, dengan nilai
R2 dari nafsu makan terhadap status gizi sebesar 0.150 menunjukkan bahwa status
gizi dijelaskan atau dipengaruhi oleh nafsu makan sebesar 15%. Berdasarkan
penelitian Drapeau et al. (2005) nafsu makan berpengaruh terhadap total asupan
energi, dimana semakin tinggi nafsu makan maka total asupan energi semakin
besar (p=0.03; r=0.32). Peningkatan asupan energi yang cukup, dalam artian tidak
berlebihan akan meningkatkan status gizi lansia.
Terdapat pengaruh negatif antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan
status gizi, semakin tinggi tingkat kecukupan karbohidrat maka status gizi
semakin turun. Pengaruh tingkat kecukupan karbohidrat terhadap status gizi lansia
di PSTW sebesar 0.079 dibandingkan KL, dengan nilai R2 dari tingkat kecukupan
karbohidrat terhadap status gizi sebesar 0.079 menunjukkan bahwa status gizi
dijelaskan atau dipengaruhi oleh tingkat kecukupan karbohidrat sebesar 7.9%.
Tingkat kecukupan karbohidrat yang tinggi belum tentu akan meningkatkan status
gizi lansia, mengingat lansia cenderung mengalami deplesi jaringan termasuk
massa otot. Selain itu kecenderungan lansia yang rentan menderita penyakit
degeneratif juga berkaitan dengan kehilangan berat badan. Prevalensi DM sebesar
15.8% didapatkan pada kelompok usia 60-70 tahun dan lansia wanita memiliki
prevalensi lebih tinggi dari lansia pria (Khairani 2007). Regenerasi akibat
kehilangan berat badan terkait penyakit yang diderita lansia menurut Roberts et al.
(1994) cukup sulit untuk diperbaiki. Penurunan berat badan pada lansia cenderung
lebih besar dibandingkan orang dewasa walaupun diberikan asupan makanan yang
tinggi energi (Roberts et al. 2000).
Karbohidrat merupakan sumber energi utama, konsumsi karbohidrat berlebih
terutama sumber karbohidrat sederhana dapat meningkatkan resiko menderita
penyakit diabetes mellitus (DM). Menurut Hauner et al. (2012) tingginya
konsumsi minuman dengan pemanis gula (sukrosa) meningkatkan resiko DM tipe
2. Menurut Fatmah (2010) penyakit terkait karbohidrat diantaranya adalah DM,
dimana terjadi defisiensi insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam
sel-sel yang menyebabkan gula darah meningkat. Timbunan glukosa tersebut
tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi yang berguna bagi sel-sel
yang membutuhkannya sehingga harus dibuang melalui ginjal kedalam urin, yang
dengan demikian dapat menyebabkan glukosuria. Karena glukosa tidak dapat
digunakan sebagai penghasil energi, akibatnya lemak dan protein lebih banyak
dipecah untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan yang pada gilirannya akan
meningkatkan glukoneogenesis.
Kelebihan glukosa tubuh pada keadaan normal disimpan sebagai glikogen
hati dan otot untuk cadangan energi yang disebut glikogenesis yang sewaktu-
waktu dapat diubah kembali menjadi glukosa bila dibutuhkan (glikogenolisis).
Seseorang dengan DM tidak mampu melakukan transfer glukosa kedalam otot dan
sel lemak sehingga sel-sel tubuh akan kelaparan dan terjadi peningkatan
katabolisme lemak dan protein. Hal ini menyebabkan penderita DM sering merasa
lapar tetapi tidak bisa gemuk, bahkan cenderung menjadi kurus.
Hasil analisis bivariat variabel independen dengan dependen (status
kesehatan) dengan uji Pearson didapatkan bahwa variabel yang masuk kedalam
pemodelan (variabel kandidat) dengan p<0.25 pada penelitian ini adalah tipe
lembaga, usia hidup ayah, perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan,
keberhasilan mencapai tujuan hidup, dukungan emosi, nafsu makan, tingkat
56

kecukupan energi, dan tingkat kecukupan lemak. Sedangkan variabel lainnya


tidak temasuk pemodelan (variabel kandidat) karena p>0.25 seperti terlihat pada
Tabel 25.

Tabel 25 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua, tingkat
depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik, nafsu makan,
tingkat kecukupan energi dan zat gizi terhadap status kesehatan (skor
morbiditas)
Variabel R p-value
Tipe lembaga 0.038 0.138
Usia hidup ayah 0.050 0.086
Usia hidup ibu 0.013 0.382
Tingkat depresi 0.001 0.801
Perasaan senang dengan aktivitas yang dilakukan 0.040 0.131
Menganggap hidup penuh arti 0.009 0.475
Keberhasilan mencapai tujuan hidup 0.040 0.125
Memiliki gambaran diri positif 0.007 0.513
Sikap hidup optimis 0.013 0.395
Kepuasan hidup total 0.000 0.933
Dukungan emosi 0.027 0.207
Dukungan instrumen 0.000 0.820
Dukungan informasi 0.000 0.820
Dukungan penghargaan diri 0.000 0.956
Aktivitas fisik 0.011 0.427
Nafsu makan 0.064 0.052
Tingkat kecukupan energi 0.033 0.168
Tingkat kecukupan Protein 0.000 0.951
Tingkat kecukupan lemak 0.041 0.122
Tingkat kecukupan Karbohidrat 0.002 0.720
Tingkat kecukupan Ca 0.003 0.700
Tingkat kecukupan Fe 0.015 0.346
Tingkat kecukupan Vit. A 0.000 0.830
Tingkat kecukupan Vit. C 0.000 0.888

Berdasarkan hasil proses analisis yang telah dilakukan terkait dengan


variabel dependen status kesehatan, didapatkan bahwa tidak terdapat pengaruh
tipe lembaga, usia hidup orang tua, tingkat depresi, kepuasan hidup, dukungan
sosial, aktivitas fisik, nafsu makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi terhadap
status kesehatan (skor morbiditas) dari penyakit infeksi (p>0.05).
Status kesehatan (penyakit infeksi) disebabkan oleh banyak faktor, selain
tipe lembaga, usia hidup orang tua, tingkat depresi, kepuasan hidup, dukungan
sosial, aktivitas fisik, nafsu makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi terhadap
penyakit infeksi juga berkaitan dengan faktor lain seperti personal hygiene dan
sanitasi, imunitas atau daya tahan tubuh dan lain-lain. Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian terkait status kesehatan, sebagian besar lansia baik di PSTW maupun
KL sama-sama memiliki status kesehatan yang tinggi yaitu masing-masing 84%
dan 97.1%, sedangkan lansia yang memiliki status kesehatan dengan kategori
rendah sangat sedikit yaitu 8% pada PSTW dan hanya 2.9% pada KL.
57

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Selama proses identifikasi data yang sebagian besar dilakukan melalui


wawancara, didapatkan bahwa pada dasarnya para lansia cukup antusias
mengikuti proses wawancara. Para lansia cenderung merasa senang ketika di ajak
berbicara, mengungkapkan pendapat, dan menceritakan tentang kehidupannya
terutama mengenai hal yang berkaitan dengan kesehatan.
Lansia di PSTW lebih baik dalam hal konsumsi sedangkan lansia di KL
lebih baik dalam hal aspek psikologis (depresi dan kepuasan hidup). Dukungan
penghargaan diri lebih banyak didapatkan oleh lansia di KL dibandingkan PSTW,
namun dukungan instrumen dan dukungan informasi lebih banyak didapatkan
oleh lansia di PSTW dibandingkan KL. Mengenai status gizi lansia yang
termasuk kategori lebih dari normal, lebih banyak dialami oleh lansia di PSTW
dibandingkan KL dan untuk status gizi yang kurang dari normal lebih banyak
dialami lansia di KL dibandingkan PSTW. Terkait aktivitas fisik yang termasuk
kategori ringan lebih banyak terdapat pada lansia di PSTW dibandingkan KL.
Terdapat hubungan antara dukungan emosi, dukungan penghargaan diri,
nafsu makan, tingkat kecukupan karbohidrat dan status kesehatan dengan status
gizi lansia berdasarkan hasil uji korelasi Pearson. Terdapat pengaruh positif antara
tipe lembaga dengan status gizi, PSTW mempunyai pengaruh terhadap status gizi
sebesar 9.179 dibandingkan KL. Terdapat pengaruh negatif antara dukungan
emosi dengan status gizi, pengaruh dukungan emosi terhadap status gizi lansia di
PSTW sebesar 0.282 di bandingkan KL. Terdapat pengaruh positif antara nafsu
makan dengan status gizi, pengaruh nafsu makan terhadap status gizi lansia di
PSTW sebesar 0.172 dibandingkan KL. Terdapat pengaruh negatif antara tingkat
kecukupan karbohidrat dengan status gizi, pengaruh tingkat kecukupan
karbohidrat terhadap status gizi lansia di PSTW sebesar 0.088 dibandingkan KL.

Saran

1. Bagi pemerintah provinsi Kalimantan Selatan khususnya Kota Banjarmasin,


upaya perbaikan masalah kesejahteraan sosial lansia terutama berkaitan dengan
status gizi harus menjadi perhatian serius, bukan hanya dengan pengalokasian
anggaran untuk panti sosial pemerintah namun juga lebih diperuntukkan bagi
lembaga sosial masyarakat agar lebih dapat mengoptimalkan peran dan
fungsinya dalam membantu pemerintah secara bersama-sama menanggulangi
masalah kesejahteraan sosial lansia terutama berkaitan dengan status gizi.
2. Bagi KL diperlukan upaya untuk meningkatkan pemahaman kepada lansia
terkait pentingnya gizi seimbang yang dapat dilakukan melalui pemberian
edukasi seperti penyuluhan baik secara langsung kepada lansia maupun kepada
keluarganya.
3. Bagi PSTW diharapkan dapat melakukan komunikasi lebih mendalam secara
individual terutama bagi lansia yang mengalami masalah psikososial seperti
58

depresi atau kurangnya kepuasan hidup, meningkatkan kegiatan yang


merangsang produktivitas lansia sehingga lansia merasa lebih dihargai dan
lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan serta tetap dapat ikut serta
berperan dalam pembangunan. Namun, perlu juga untuk lebih memantapkan
dan meningkatkan program-program yang sudah ada yang berkaitan dengan
upaya perbaikan status gizi lansia, seperti penyuluhan atau edukasi kepada para
lansia mengenai pentingnya gizi seimbang dan aktifitas fisik bagi lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi. 2006. Psikologi Sosial. Jakarta: Rieneka Cipta Brickman.


Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Almatsier S, Soetardjo S dan Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur
Kehidupan. Jakarta: Gramedia.
American Psychiatric Association. 2013. Depression. In Diagnostic and
Statistical Manual of mental Disorders (5th ed.). New York, NY: Author.
Anderson GH, Woodend DM. 2003. Effect of Sucrose and Safflower Oil Per
loads on short Term Appetite and Food Intake. Appetite. 37: 185-195.
Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula. Palembang:
Universitas Sriwijaya Press.
Arbab-Zadeh A, Dijk E, Prasad A, Fu Q, Torres P, Zhang R et al. 2004. Effect of
aging and physical activity on left ventricular compliance. Circulation. 110:
1799–1805.
Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Palembang: Universitas Sriwijaya
Press
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Harapan Hidup. [Internet]. Tersedia
pada: http://www.datastatistik-indonesia.com/portal.
[BPS Kalsel] Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan. 2011. Jumlah
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menurut Kabupaten/
Kota Tahun 2010. [Internet]. Tersedia pada: http://www.Kalsel.bps.go.id.
Barret JA, Murk PJ. 2006. Life satisfaction index for the third age (LSITA): a
measurement of succesful aging. [Internet]. Tersedia pada:
https://scholarworks.iupui.edu/bitstream/handle/1805/1160/Barrett_%26_M.
Berg AI. 2008. Life satisfaction in late life: markers and predictors of level and
change among 80+ year olds. [Internet]. Tersedia pada:
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/17873/1/gupea_2077_17873_1.pdf.
Better Health Channel. 2010. Depression and ageing. [Internet]. Tersedia pada:
http://www.betterhealth.gov.au.
Cahyono, JB. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Cecen, AR. 2008. Sense of coherence, family sense of coherence and self esteem
in predicting life satisfaction among university students. Journal of Theory
and Practice in Education. 6 (3): 415-431.
59

Cohen AB, Koeing HG. 2003. Religion, Religiosity and Spirituality in the
Bipsychosocial Model of Health and Ageing. Ageing International. 28 (3):
215-241.
Cutrona CE. 1996. Social Support in Couples. California: Sage Publications Inc.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang
Dewasa. Jakarta: Depkes.
__________________________. 1998. Kebijaksanaan Program-Pedoman
pembinaan Kesehatan usia Lanjut Bagi petugas Kesehatan. Direktorat
Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Jakarta.
__________________________. 2003. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut
Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
__________________________. 2006. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut
untuk tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Ditjen
Binkesmas Depkes RI.
__________________________. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
[Depsos] Departemen Sosial. 2007. Penduduk lanjut usia di Indonesia dan
masalah kesejahteraannya. [Internet]. Tersedia pada:
http://www.depsos.go.id.
Devoldre I, Davis MH, Verhofstadt LL, Buysse A. 2010. Emphaty and social
support provision in couples: social support and the need to study the
underlying processes. Journal of Psychology. 144(3): 259-284.
Dijaissyah, N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi dan status kesehatan
siswa PAUD [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Dilmac, B and Eksi, H. 2008. Investigation the relationship between life
satisfaction and self esteem among vocational schools students. Selcuk
University the a journal of Institute of Social Sciences. 20: 279-289.
Drapeau V, John B, Fanny T, Claire L, Denis R, and Angelo T. 2005. Appetite
sensations as a marker of overall intake. British Journal of Nutrition. 93: 273-
280.
Fairburn, C.G. 2001. Eating Disordes. In Encyclopedia of Life sciences; John
Wiley & Sons, Ltd: Chiscester, UK.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga.
Frary CD, Johnson RK. 2000. Energy. Di dalam: Mahan LK, Stump E, Editor.
Krause’s: Food, Nutrition and Diet Therapy. Ed ke-11. USA: Elsevier.
Gibson RS. 2005. Principle Nutrition Asessment. New York: Oxford University
Press.
Groessl EJ, Kaplan RM, Barrett-Connor E, Ganiats TG. 2004. Body mass index
and quality of well-being in a community of older adults. Am J Prev Med.
26: 126–129.
Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan
(Assessment and Planning Food Consumption). Dictates Department of
Community Nutrition and Family Resources. Faculty of Agriculture. Bogor:
IPB.
Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S,
editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11th ed. USA: Elsevier.
319-396.
60

Hauner H, Bechthold A, Boeing H, Bronstrup A, Buyken A, Bonnet E L,


Linseisen J, Schulze M, Strohm D, Wolfram G.. 2012. Evidence-Based
Guideline of the German Nutrition Society: Carbohydrate Intake and
Prevention of Nutrition-Related Diseases. Annals of Nutrition & Metabolism.
60 (Suppl 1): 1-58.
International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). 2005. Guidelines for Data
Processing and analysis of the IPAQ, Short and Long Forms.
Jequier E, Tappy L. 1999. Regulation of Body Weight in Human. Physiol Rev.
79:451-480.
Khairani, Rita. 2007. Prevalensi diabetes melitus dan hubungannya dengan
kualitas hidup lanjut usia di masyarakat. Universitas Medicina. 26: 18-26.
[Komnas Lansia] Komisi Nasional Lansia. 2010. Pedoman Active Ageing
(Penuaan Aktif) Bagi Pengelola dan Masyarakat. Jakarta: Komnas Lansia.
Korff SC. 2006. Religious orientation as a predictor of life satisfaction within the
elderly population. [Internet]. Tersedia pada:
http://search.proquest.com/docview/304933820/fulltextPDF/13BE6B791707
Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti M P, Imam S. 2010. Sehat dan Bugar Berkat
Gizi Seimbang. PT Gramedia: Jakarta.
Lai JHW, Bond MH, & Hui NHH. 2007. The role of social axioms in predicting
life satisfaction; a longitudinal study in Hong Kong. Journal of Hapiness
Studies. 8: 517-535.
Lasheras C, Gonzales S, Huerta JM, Braga S, et al. 2003. Plasma iron is
associated with lipid peroxidation in an elderly population. Journal of trace
elements in medicine and biology. 17: 3.
Lebel L, Krittasudthacheewa C, Salamanca A, Sriyasak P. 2012. Lifestyle and
consumption in cities and the links with health and well being: the case of
obesity. Current opinion in environmental sustainability. 4: 405-413.
Leung BWC, Moneta GB, McBride-Chang C. 2005. Think Positively and feel
positively: Optimism and life satisfaction in late life. International Journal of
Aging and Human Development. 61(4): 335-365.
Lou VWQ. 2009. Life satisfaction of older adults in Hongkong: the role of social
support from grandchildren. Social Indicator Research. 95:377-391.
Maiden SFK, Mohd. Sidik S, Rampal L, Mukhtar F. 2014. Prevalence, Associated
Factors and Predictors of Depression among Adults in the Commnity of
Selangor, Malaysia. Plos One. 9 (4): e95395.
Medical Encyclopedia. 2010. Depression elderly. [Internet]. Tersedia pada:
http://www.nlm.nih.gov.
Mezey MD, Rauckhorst LH, Stokes SA. 1993. Health Assessment of The Older
Individula. New York: Springer Publishing Company.
Muis F, Nurkinasih dan Darmojo B. 1992. Gizi untuk usia lanjut. Prosiding :
Kongres Nasional Persagi IX dan KPGI, Semarang, 17-19 November 1992.
Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Ahli Gizi Indonesia
Muis F. 2006. Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-
Darmojo R, editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI hlm. 539-547.
Nadia. 2013. Mengubah Paradigma Lanjut Usia Pasif Menjadi Aktif, Sehat dan
Produktif. Disarikan dari Paparan Prof. Rhenald Kasali (Pendiri&Ketua
Yayasan Rumah Perubahan). [Internet]. [diunduh 12 Oktober 2014]. Tersedia
61

pada:http://www.komnaslansia.go.id/modules.php?name=News&file=article
&sid=81.
Neugarten, BL, Havighurst, RJ, Tobin, SS. 1961. Title, The Measurement of Life
Satisfaction. Journal of Gerontology. 16: 134 -143.
Notoatmojo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Nugrahaningsih MRS. 2006. Hubungan antara Rasa Kesepian dengan
Kecenderungan Depresi pada Lansia. [Thesis]. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Patmonodewo S, Atmodiwirdjo ET, Mahmud S, Utami SC, Singgih, Soewondo
dan Mutachir Y. 2001. Bunga Rampai Perkembangan Pribadi dari Bayi
samapi Lanjut Usia. Jakarta: UI-Press.
Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, Khomsan A. 2013. A Study on Nutritional Status,
Health Characteristics and Psychososial Aspects of the Elderly Living With
Their Family and of Those Living in Nursing Home. Reseach Report:
Departement of Home Economics Education, Faculty of Technology and
Vocational Education, Indonesia University Education and Neys-van
Hoogstraten Foundation.
Payette, H. 2005. Nutrition ass Adeterminant Of Functional Autonomy and
Quality of Life in Aging: A Research Program. Canadian Journal of
Physiology and Pharmacology. 83, 11.
Peterson MJ, Giuliani C, Morey MC, Piepir CF, Evenson KR, Mercer V, Cohen
HJ, Visser M, Brach JS, Kritchevsky SB, Goodpaster BH, Rubin S,
Satterfield S, Newman AB, Simonsick EM. 2009. Physical Activity ass a
Preventive factor for Frailty: The Health, Aging, and Body Composition
Study. The Journal of Gerontology. 64A, 1.
Puspitasari, A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi
dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur,
Jakarta Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Reed T, Carmelli D, Robinson TF, Rinehart SA, Williams CJ. 2003. More
Favorable Midlife Cardiovaskular Risk Factor levels in male Twins and
Mortality After 25 Years Follow Up Is Related to Longevity of Their
parents. The Journals of Gerontology. 58A, 4.
Roberts SB, Fuss P, Heyman MB, Evans WJ, Tsay R, Rasmussen H, Fiatarone M,
Cortiella J, Dalla GE & Vernon YR. 1994. Control of food intake in older
man. JAMA 272, 1601-1606.
Roberts SB. 2000. Regulation of energy intake in relation to metabolic state and
nutritional status. European Journal of Clinical Nutrition. 54 (Suppl 3):
S64±S69
Robinson L, Smith M and Segal J. 2014. Depression in Older Adults and the
Elderly. [Internet]. [diunduh 13 Oktober 2014]. Tersedia pada:
http://www.helpguide.org/articles/depression/depression-in-older-adults-and-
the-elderly.htm.
Romeo J, Warnberg J, Pozo T, Marcos A. 2010. Session 6: Role of Physical
Activity on Immune Function Physical Activity, Immunity and Infection.
Proceedings of the Nutrition Society. 69: 390-399.
62

Rusilanti, Kusharto CM, Wahyuni Ekawati S. 2006. Aspek Psikososial, Aktivitas


Fisik, dan Konsumsi Makanan Lansia di Masyarakat. Jurnal Gizi dan
Pangan, 1(2): 1-7.
Sa’abah, MU. 2001. Bagaimana Awet Muda dan Panjang Usia. Jakarta: Gema
Insani Press.
Santrock JW. 2002. Life–Span Development. Sixth Edition. New York: Brown
and Benchmark Publisher.
Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa Jilid I. Jakarta:
Dian Rakyat.
Sharkey JR, Branch LG, Zohoori N, Busby J and Haines PS. 2002. Inadequate
Nutrient Intakes Among Homebound Elderly and Their Correlation With
Individual Characteristics And Health-Related Factors. Am J Clin Nut.
76:1435-45
Siagian. 2006. Pengaruh Indeks Glikemik dan Komposisi Zat Gizi Pangan Serta
Frekuensi Pemberian Makan Pada Respon Glikemik, Nafsu Makan, dan
Profil Lipid Orang Dewasa Obes dan Normal [Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga,
Institut Pertanian Bogor.
Siegrist J, Knesebeck OVD, Pollack CE. 2004. Social Productivity and Well-
being of Older People: A Sociological Exploration. Social Theory & Health.
2: 1-17.
Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.
Smith M. 2010. Depression in older adult and elderly. http://helpguide.org [6
Agustus 2010.
Soehardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara
bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Sousa L, Lyubomirsky S. 2001. Life satisfaction. Encylopedia of women and
gender: sex similarities and differences and the impact of society on gender,
pp. 667-676.
Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC
Sulandari S, Martyastanti D, Mutaqwarohmah R. 2009. Bentuk-bentuk
Produktivitas Orang Lanjut Usia. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala
Psikologi Vol. 11 (1): 58-68.
Tayie FAK. 2003. Arm Span and Half Span as Alternatives for Height ini Adults:
a sample from Ghana. African Journal of Food Agriculture, Nutrition and
Development. 3:1-6.
Turner JS, Helms DB. 1990. Lifespan Development. Fourth Edition. New York:
Holt, Rinehart and Winston, inc.
Volkert, D. 2013. Malnutrition in Older Adults – Urgent Need for Action: A Plea
for Improving the Nutritional Situation of Older Adults. Gerontology.
59:328-333.
Watson R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC.
Watson RR. 2009. Handbook of Nutrition In The Aged. Edisi ke-4. CRC Press.
Willcox, D. 2006. Genetic Determinants of Exeptional Human Lonngevity:
Insights from the Okinawa Centenarian Study. American Aging Association.
28:313-332.
Wirakusumah, ES. 2000. Tetap Bugar di Usia Lanjut. Jakarta: Trubus Agriwidya.
______________. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta : Puspa Swara.
63

Yesavage Jerome A. 1986. Geriatric Depression Scale. Psychopharmacology


Bulletin. 24 (4): 709-711.
Zhang LW, Leung JP. 2002. Moderating effects of gender and age on the
relationship between self esteem and life satisfaction in main land Chinese.
International Journal of Psychology. 37(2): 83-91.
64

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

The REG Procedure


Dependent Variable: Statusgizi
Number of Observations Read 60

Number of Observations Used 60

Forward Selection: Step 1


Statistics for Entry
DF = 1,58

Variable Tolerance Model F Value Pr > F


R-Square

lembaga 1.000000 0.0359 2.16 0.1471

umurhdpayah 1.000000 0.0183 1.08 0.3025

umurhdpibu 1.000000 0.0317 1.90 0.1734

Tkdepresi 1.000000 0.0034 0.20 0.6588

kephdp1 1.000000 0.0002 0.01 0.9218

kephdp2 1.000000 0.0174 1.03 0.3146

kephdp3 1.000000 0.0243 1.45 0.2341

kephdp4 1.000000 0.0070 0.41 0.5249

kephdp5 1.000000 0.0014 0.08 0.7736

kephdptot 1.000000 0.0103 0.61 0.4397

dukemosi 1.000000 0.0692 4.31 0.0423

dukinstrument 1.000000 0.0150 0.89 0.3507

dukinfo 1.000000 0.0150 0.89 0.3507

dukselfesteem 1.000000 0.0690 4.30 0.0426

lamaaktifringan 1.000000 0.0270 1.61 0.2098


65

Lampiran 1 lanjutan

Statistics for Entry


DF = 1,58

Variable Tolerance Model F Value Pr > F


R-Square

skornafsumkn 1.000000 0.0766 4.81 0.0323

TkEnergi 1.000000 0.0353 2.12 0.1504

TkProtein 1.000000 0.0049 0.29 0.5952

TkLemak 1.000000 0.0032 0.19 0.6677

TkKH 1.000000 0.0792 4.99 0.0293

TkCa 1.000000 0.0080 0.47 0.4964

TkFe 1.000000 0.0333 2.00 0.1626

TkVitA 1.000000 0.0030 0.18 0.6754

TkVitC 1.000000 0.0008 0.05 0.8251

skormorbiditas 1.000000 0.0651 4.04 0.0491


66

Lampiran 1 lanjutan

Summary of Forward Selection

Step Variable Number Partial Model C(p) F Pr > F


Entered Vars In R- R- Value
Square Square

1 TkKH 1 0.0792 0.0792 43.3260 4.99 0.0293

2 skornafsumkn 2 0.1502 0.2294 29.1264 11.11 0.0015

3 dukemosi 3 0.0898 0.3192 21.4440 7.38 0.0087

4 TkProtein 4 0.0263 0.3454 20.6115 2.21 0.1432

5 TkFe 5 0.0184 0.3638 20.6283 1.56 0.2170

6 lembaga 6 0.1018 0.4656 11.6434 10.10 0.0025

7 TkLemak 7 0.0234 0.4890 11.1216 2.38 0.1290

8 lamaaktifringan 8 0.0190 0.5080 11.0693 1.97 0.1663

9 kephdp1 9 0.0260 0.5340 10.2693 2.78 0.1014

10 kephdp3 10 0.0418 0.5758 7.7553 4.83 0.0327

11 skormorbiditas 11 0.0191 0.5949 7.6988 2.26 0.1394

12 umurhdpayah 12 0.0177 0.6126 7.7935 2.14 0.1499

13 umurhdpibu 13 0.0108 0.6234 8.6266 1.32 0.2563

14 kephdp2 14 0.0109 0.6343 9.4541 1.34 0.2536

15 kephdp4 15 0.0103 0.6446 10.3378 1.28 0.2638

16 TkVitC 16 0.0128 0.6574 10.9598 1.60 0.2123

17 dukselfesteem 17 0.0070 0.6644 12.2015 0.88 0.3536


67

Lampiran 1 lanjutan

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard t Value Pr > |t| Variance


Estimate Error Inflation

Intercept 1 28.27768 6.87396 4.11 0.0002 0

Lembaga 1 11.67938 2.33203 5.01 <.0001 6.54758

umurhdpayah 1 0.06224 0.03399 1.83 0.0742 2.21219

umurhdpibu 1 -0.03881 0.02985 -1.30 0.2007 1.83209

kephdp1 1 -0.97337 0.33483 -2.91 0.0058 3.26469

kephdp2 1 -0.54617 0.33773 -1.62 0.1133 3.56832

kephdp3 1 1.13131 0.52856 2.14 0.0382 5.48016

kephdp4 1 0.54011 0.44601 1.21 0.2327 3.68826

dukemosi 1 -0.29497 0.20620 -1.43 0.1600 2.99368

dukselfesteem 1 0.36510 0.38925 0.94 0.3536 2.68852

lamaaktifringan 1 -0.01134 0.00403 -2.81 0.0074 2.73404

skornafsumkn 1 0.16426 0.04143 3.97 0.0003 2.16771

TkProtein 1 -0.03152 0.00976 -3.23 0.0024 1.45307

TkLemak 1 -0.02473 0.02282 -1.08 0.2846 2.52544

TkKH 1 -0.07851 0.02238 -3.51 0.0011 1.42524

TkFe 1 -0.05369 0.01676 -3.20 0.0026 3.06699

TkVitC 1 0.00562 0.00432 1.30 0.1999 1.23733

skormorbiditas 1 0.05664 0.04063 1.39 0.1706 1.31229


68

Lampiran 2 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi status


kesehatan
The REG Procedure
Dependent Variable: status kesehatan
Number of Observations Read 60

Number of Observations Used 60

Forward Selection: Step 1


Statistics for Entry
DF = 1,58

Variable Tolerance Model F Value Pr > F


R-Square

lembaga 1.000000 0.0375 2.26 0.1381

umurhdpayah 1.000000 0.0501 3.06 0.0856

umurhdpibu 1.000000 0.0132 0.78 0.3817

Tkdepresi 1.000000 0.0011 0.06 0.8013

kephdp1 1.000000 0.0390 2.35 0.1307

kephdp2 1.000000 0.0088 0.52 0.4751

kephdp3 1.000000 0.0401 2.42 0.1252

kephdp4 1.000000 0.0074 0.43 0.5137

kephdp5 1.000000 0.0125 0.74 0.3945

kephdptot 1.000000 0.0001 0.01 0.9331

dukemosi 1.000000 0.0273 1.63 0.2071

dukinstrument 1.000000 0.0009 0.05 0.8202

dukinfo 1.000000 0.0009 0.05 0.8202

dukselfesteem 1.000000 0.0001 0.00 0.9557

lamaaktifringan 1.000000 0.0109 0.64 0.4270

skornafsumkn 1.000000 0.0637 3.95 0.0517

TkEnergi 1.000000 0.0326 1.95 0.1677


69

Lampiran 2 lanjutan

Statistics for Entry


DF = 1,58

Variable Tolerance Model F Value Pr > F


R-Square

TkProtein 1.000000 0.0001 0.00 0.9509

TkLemak 1.000000 0.0408 2.47 0.1217

TkKH 1.000000 0.0022 0.13 0.7198

TkCa 1.000000 0.0026 0.15 0.6995

TkFe 1.000000 0.0153 0.90 0.3460

TkVitA 1.000000 0.0008 0.05 0.8304

TkVitC 1.000000 0.0003 0.02 0.8875


70

Lampiran 2 lanjutan

Summary of Forward Selection

Step Variable Number Partial Model C(p) F Value Pr > F


Entered Vars In R-Square R-Square

1 skornafsumkn 1 0.0637 0.0637 -1.4903 3.95 0.0517

2 kephdp3 2 0.0596 0.1233 -2.9600 3.87 0.0539

3 kephdp5 3 0.0368 0.1601 -3.1017 2.45 0.1230

4 TkCa 4 0.0314 0.1915 -2.9313 2.14 0.1494

5 dukemosi 5 0.0257 0.2172 -2.4259 1.77 0.1889

6 dukselfesteem 6 0.0271 0.2443 -2.0030 1.90 0.1739

7 Tkdepresi 7 0.0172 0.2615 -1.0039 1.21 0.2763

8 kephdp1 8 0.0419 0.3034 -1.4444 3.07 0.0858

9 dukinstrument 9 0.0247 0.3281 -0.8805 1.84 0.1816

10 kephdp2 10 0.0101 0.3381 0.5329 0.75 0.3920

11 TkLemak 11 0.0118 0.3499 1.8475 0.87 0.3558


71

Lampiran 2 lanjutan

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard t Value Pr > |t| Variance


Estimate Error Inflation

Intercept 1 -21.32307 32.01894 -0.67 0.5086 0

Tkdepresi 1 1.93630 0.91487 2.12 0.0395 4.62273

kephdp1 1 1.97751 1.07786 1.83 0.0728 3.14180

kephdp2 1 -1.05722 1.06730 -0.99 0.3269 3.30933

kephdp3 1 -1.59413 1.45567 -1.10 0.2789 3.85993

kephdp5 1 3.16667 1.31535 2.41 0.0200 3.16224

dukemosi 1 -1.01022 0.66620 -1.52 0.1360 2.90197

dukinstrument 1 -1.43770 0.86100 -1.67 0.1015 2.83595

dukselfesteem 1 2.24953 1.20225 1.87 0.0674 2.38176

skornafsumkn 1 0.14995 0.11625 1.29 0.2033 1.58519

TkLemak 1 0.06019 0.06455 0.93 0.3558 1.87654

TkCa 1 -0.02110 0.01253 -1.68 0.0987 1.45072


72

Lampiran 3 Kuesioner karakteristik lansia

Nama
Usia/tahun lahir
Berat badan ………….kg
Tinggi badan ………….cm
Tinggi lutut ………….cm
Panjang depa ………….cm
Status pernikahan 1. Menikah
2. Tidak menikah
Pendidikan terakhir 1. Tidak sekolah
2. SD/Sekolah rakyat*)
3. SMP
4. SMA
5. Perguruan tinggi
Pekerjaan 1. PNS/Pensiunan PNS
2. Pedagang
3. Petani
4. Penjahit
5. Jasa (tukang cuci, pembantu RT)
6. Buruh
7. Ibu rumah tangga
8. Lainnya, sebutkan
Status tempat tinggal* 1. Sendiri
2. Tinggal dengan
suami/anak/cucu/saudara/lainnya*)
Keinginan masuk panti** 1. Keinginan sendiri
2. Keinginan keluarga
Frekuensi dijenguk oleh 1. Tidak pernah
keluarga** 2. 1 kali/bulan
3. 2 kali/bulan
4. 3 kali/bulan
5. 4 kali/bulan
6. Lainnya, sebutkan:
Kebiasaan olahraga 1. Ya
2. Tidak
Jenis kegiatan olahraga 1. Jalan kaki
2. Senam
3. Lainnya…
Rutin keposyandu lansia 1. Ya
2. Tidak
Keterangan:
* khusus di isi untuk lansia pada lembaga KL
** khusus di isi untuk lansia pada lembaga PSTW
*) coret yang tidak perlu
73

Lampiran 4 Kuesioner karakteristik keluarga lansia

Jumlah anggota keluarga lansia:


1. Anak……………..orang
2. Cucu……….........orang
3. Saudara………….orang

Status dalam Jenis


No. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan
keluarga kelamin
(1) (2) (5) (6) (7)
(3) (4)

Keterangan:
(3) Status keluarga 1=suami, 2=anak, 3=cucu, 4=saudara, 5=lainnya sebutkan
(4) Jenis kelamin 1=laki-laki, 2=perempuan
(5) Umur dalam tahun
(6) Pendidikan 1=Tidak sekolah, 2=SD, 3=SMP, 4=SMA, 5=Perguruan
tinggi, 6=lainnya sebutkan
(7) Pekerjaan 1=PNS, 2=pedagang, 3=petani, 4=buruh, 5=penjahit,
6=lainnya sebutkan
74

Lampiran 5 Kuesioner dukungan sosial

No. Pertanyaan Jawaban


a Dukungan emosi
1 Saya memiliki seseorang ketika saya merasa kesepian 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
2 Saya memiliki seseorang yang selalu ada untuk berbagi 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
kebahagiaan dan kesedihan
3 Saya memiliki seseorang yang mengerti permasalahan saya 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
4 Saya memiliki seseorang yang bisa dihubungi untuk 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
mendengarkan keluh kesah
5 Saya memiliki seseorang yang bisa menghibur ketika bersedih 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
6 Saya memiliki seseorang yang selalu siap untuk bertukar 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
pikiran
7 Saya memiliki seseorang yang sering mengucapkan kata-kata sayang 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
8 Saya memiliki seseorang yang membuat merasa nyaman dan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
dibutuhkan
b Dukungan instrumen
1 Saya memiliki seseorang yang bersedia mengantarkan berobat 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
2 Saya memiliki seseorang yang bersedia menjemput ketika 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
butuh tumpangan
3 Saya memiliki seseorang yang selalu membantu ketika 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
kesulitan keuangan
4 Saya memiliki seseorang yang membantu melakukan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
pekerjaan dirumah
5 Saya memiliki seseorang yang bersedia menyiapkan makanan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
6 Saya memiliki seseorang yang memijat kaki dan tangan saat 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
letih
7 Saya memiliki seseorang yang bersedia menampung untuk 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
beristirahat
c Dukungan informasi
1 Saya memiliki seseorang yang memberitahu tentang pelayanan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
kesehatan
2 Saya memiliki seseorang yang memberitahu resep obat yang 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
harus diminum
3 Saya memiliki seseorang yang memberitahu tempat membeli 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
atau mendapatkan obat terdekat
4 Saya memiliki seseorang yang memberitahu cara mengelola 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
keuangan
5 Saya memiliki seseorang yang memberi saran terkait makanan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
yang sesuai kebutuhan saya
6 Saya memiliki seseorang yang mengingatkan untuk rutin 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
berolahraga
d Dukungan penghargaan diri
1 Saya memiliki seseorang yang memuji apa yang saya kerjakan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
2 Saya memiliki seseorang yang menganggap penting semua 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
yang saya kerjakan
3 Saya memiliki seseorang yang percaya dengan kemampuan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
saya
4 Saya memiliki seseorang yang ketika saya memberikan solusi 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
terhadap suatu permasalahan, solusi saya selalu ditanggapi
Keterangan: STS : Sangat Tidak Setuju
TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
75

Lampiran 6 Kuesioner tingkat depresi

No. Pertanyaan Jawaban


1 Apakah anda merasa puas dengan kehidupan anda? 1. Ya 2. Tidak
2 Apakah anda mengurangi kegemaran atau aktivitas 1. Ya 2. Tidak
biasanya?
3 Apakah anda merasa hidup ini hampa? 1. Ya 2. Tidak
4 Apakah anda sering merasa bosan? 1. Ya 2. Tidak
5 Apakah anda memilki semangat yang baik pada 1. Ya 2. Tidak
sebagian besar waktu?
6 Apakah anda takut sesuatu hal buruk akan terjadi? 1. Ya 2. Tidak
7 Apakah anda merasa bahagia pada sebagian besar 1. Ya 2. Tidak
waktu?
8 Apakah anda merasa tidak berdaya? 1. Ya 2. Tidak
9 Apakah anda memilih tinggal di rumah, dibanding 1. Ya 2. Tidak
pergi keluar dan melakukan sesuatu?
10 Apakah anda memiliki masalah dengan ingatan 1. Ya 2. Tidak
dari biasanya?
11 Apakah anda berpikir bahwa bisa hidup sampai 1. Ya 2. Tidak
saat ini adalah sesuatu yang menyenangkan?
12 Apakah anda merasa tidak berharga dengan diri 1. Ya 2. Tidak
anda sekarang?
13 Apakah anda merasa penuh dengan energi? 1. Ya 2. Tidak
14 Apakah anda merasa keadaan saat ini tidak ada 1. Ya 2. Tidak
harapan?
15 Apakah anda merasa sebagian besar orang, lebih 1. Ya 2. Tidak
baik dari pada anda?
76

Lampiran 7 Kuesioner kepuasan hidup

No. Pertanyaan Jawaban


a Senang dengan aktivitas yang dilakukan
1 Saya bahagia di usia sekarang 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
2 Saya menikmati kegiatan yang dilakukan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
akhir-akhir ini
3 Saya tidak merasa lelah sehingga rajin 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
beraktivitas
4 Saya senang jika diajak berpartisipasi 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
5 Saya merasa bersemangat mengikuti 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
kegiatan apa saja
b Menanggap hidup penuh arti
1 Hidup yang saya jalani sangat baik 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
2 Saya puas dengan hidup saya 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
3 Ketika melihat hidup saya kebelakang, saya 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
bersyukur dengan hidup saya saat ini
4 Hidup yang dijalani sekarang adalah 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
kehidupan yang diidamkan selama ini
5 Ini adalah waktu terbaik dalam hidup saya 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
c Keberhasilan mencapai tujuan hidup
1 Saya banyak mengambil kesempatan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
2 Saya mendapatkan sebagian besar apa yang 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
saya inginkan
3 Saya merasa puas dengan apa yang telah 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
dicapai selama ini
4 Saya tidak menginginkan apa-apa lagi, 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
karena merasa cukup dengan apa yang
dimiliki sekarang
5 Kehidupan pernikahan berjalan sesuai 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
dengan apa yang diharapkan
d Memiliki gambaran diri positif
1 Dibandingkan teman-teman yang lain, saya 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
merasa yang paling berhasil
2 Merasa hidup adil pada saya 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
3 Merasa berguna untuk orang-orang yang 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
ada disekitar
4 Menerima dengan tulus kondisi kehidupan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
5 Berfikiran positif terhadap masa depan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
e Sikap hidup optimis 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
1 Bersemangat untuk terus menjalani 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
kehidupan
2 Merasa optimis saat berfikir tentang masa 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
depan
3 Tidak mencemaskan masa depan 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
4 Tidak pasrah dengan apa yang terjadi 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
5 Tidak merasa marah kalau apa yang 1. STS 2. TS 3. S 4. SS
dilakukan tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan
Keterangan:
STS : Sangat Tidak Setuju
TS : Tidak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
77

Lampiran 8 Kuesioner nafsu makan

Gambaran nafsu makan lansia


1. Keinginan makan:

Seberapa kuat keinginan Anda untuk makan

0 100
Sangat Sangat
lemah kuat

2. Lapar:
Seberapa laparkah perasaan Anda

0 100
Sama sekali Sangat
tidak lapar lapar

3. Konsumsi prospektif:

Seberapa banyak pangan yang Anda perkirakan dapat Anda habiskan

0 100
Tidak ada Banyak
sama sekali sekali
78

Lampiran 9 Kuesioner recall 24 jam

Gambaran asupan makan lansia selama 24 jam


Kode Berat
Waktu makan Menu Bahan makanan
Pangan URT Gram
Makan pagi

Selingan

Makan siang

Selingan

Makan
sore/malam

Selingan
79

Lampiran 10 Kuesioner aktivitas fisik

1 Apakah anda biasa melakukan aktifitas fisik berat, 1. Ya


yang dilakukan terus menerus paling sedikit 2. Tidak → soal 4
selama 10 menit setiap kali melakukannya?
2 Biasanya berapa hari dalam seminggu, anda …….. hari
melakukan aktivitas fisik berat tersebut?
3 Biasanya dalam sehari, berapa lama anda …….. jam ………menit
melakukan aktifitas fisik berat tersebut?
4 Apakah anda biasa melakukan aktivitas fisik 1. Ya
sedang, yang dilakukan terus menerus paling 2. Tidak → soal 6
sedikit selama 10 menit setiap kalinya?
5 Biasanya berapa hari dalam seminggu, anda ……...hari
melakukan aktivitas fisik sedang tersebut?
6 Biasanya dalam sehari, berapa lama anda …….. jam ………menit
melakukan aktifitas fisik sedang tersebut?
7 Biasanya berapa lama anda melakukan duduk- …….. jam ………menit
duduk atau berbaring dalam sehari-hari? (baik
ditempat kerja, dirumah, diperjalanan
(transportasi), termasuk waktu berbincang-
bincang, transportasi dengan kendaraan, bis,
angkot, membaca atau nonton televisi tetapi tidak
termasuk waktu tidur.
80

Lampiran 11 Kuesioner status kesehatan

Gambaran status kesehatan lansia selama 3 bulan terakhir


Frekuensi sakit
Lama sakit
Riwayat penyakit Pernah/tidak sakit (…kali/3 bulan
(hari)
terakhir)
ISPA 1. ya 2. tidak
Tuberculosis 1. ya 2. tidak
Diare 1. ya 2. tidak
Influenza 1. ya 2. tidak
Demam 1. ya 2. tidak
Abses (penimbunan 1. ya 2. tidak
nanah)
Lainnya:

Jika sakit biasanya yang dilakukan?


1. Berobat ke puskesmas
2. Berobat ke dokter
3. Membeli obat ke warung dengan resep sendiri
4. Membeli obat ke apotek dengan resep apoteker
5. Memakai obat tradisional
81

Lampiran 12 Dokumentasi penelitian

Kegiatan wawancara dengan lansia Pengukuran panjang depa lansia

Penimbangan berat badan lansia Foto bersama lansia di wisma melati PSTW

Foto bersama lansia di KL Kegiatan Lansia di KL

Hasil keterampilan lansia di KL


82

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan


Selatan pada tanggal 19 September 1984 sebagai anak keenam dari enam
bersaudara dari pasangan Bapak Husaini dan Ibu Yurni Tasrifien. Penulis
menempuh pendidikan menengah atas di SMU Negeri 1 Marabahan, lulus pada
tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan Diploma III di Jurusan Gizi
Politeknik Kesehatan Banjarmasin, lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2007
penulis diterima di Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Brawijaya dan menamatkannya pada tahun 2009. Kesempatan melanjutkan studi
program magister sains (S-2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat diperoleh
pada tahun 2012 melalui Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Dirjen
Dikti.
Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada salah satu sekolah tinggi ilmu
kesehatan swasta (Stikes Husada Borneo) di Banjarbaru Provinsi Kalimantan
Selatan sejak tahun 2009.
Sebuah jurnal berjudul “Analysis of factors affecting nutritional status and
health status of elderly at State Nursing Home and Non-Governmental
Organization” pada Pakistan Journal of Nutrition di accepted pada tahun 2014
yang merupakan karya ilmiah bagian dari program S2.

Anda mungkin juga menyukai