Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Darah sangat penting bagi kehidupan. Darah membawa oksigen dan nutrisi

ke setiap bagian tubuh. Selain itu, darah juga melawan infeksi dan menyembuhkan

luka. Oleh karena itu, kelainan darah dapat memiliki efek besar pada kesehatan.

Kelainan darah ini bisa terjadi dari intensitas dari ringan sampai sangat parah. Pada

orang dengan kelainan darah dapat terjadi gangguan perdarahan hebat dan tidak

hanya mempengaruhi sistem hematologi, namun juga dapat menyerang sistem

lainnya.

Kelainan darah awalnya terpusat di daerah tropis dan subtropis, tetapi

sekarang umum di seluruh dunia karena banyaknya migrasi.1 Kelainan darah ini

membutuhkan pelayanan yang cukup sulit karena memerlukan adanya pendekatan

genetik dalam sistem layanan kesehatan.

Sebagian besar kelainan darah bersifat herediter atau genetik, yang berarti

penyakit ini diturunkan dari orang tua ke anak. Kelainan darah yang bersifat

herediter atau genetik inilah yang sulit dicegah, sehingga dari mulai sebelum

kehamilan sampai setelah persalinan diperlukan adanya pemeriksaan dan pelayanan

yang holistik baik bagi ibu dan juga janinnya. Maka dari itu, penulis akan membahas

kelainan darah herediter pada kehamilan. Pada tulisan ini akan dibahas tiga kelainan

yaitu Inkompabilitas Rhesus, Thalassemia, dan Hemofilia.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inkompabilitas Rhesus

2.1.1 Pengertian Rhesus

Ada empat jenis darah utama pada manusia yaitu O, A, B atau AB.

Golongan darah juga diklasifikasikan sebagai negatif atau positif. Hal ini mengacu

pada 'faktor Rhesus' darah yang merupakan protein pada permukaan sel darah merah.

Jika terdapat protein ini pada permukaan sel darah merah disebut Rhesus D (RhD)

positif, jika tidak ada berarti Rhesus D negatif.2

2.1.2 Epidemiologi

Di Australia, 17% dari orang yang RhD negatif, namun ini bervariasi di

seluruh kelompok etnis. Kira-kira 85% orang kulit putih mempunyai Rhesus positif

dan 15% Rhesus negatif. Kira-kira 5% primipara Rhesus negatif akan mengalami

respon antibodi yang ringan.2

2.1.3 Patofisiologi Inkompabilitas Rhesus

Proses terjadinya hemolisis pada penyakit isoimun akibat inkompatibilitas Rh

adalah sebagai berikut:3

1) Ibu mempunyai golongan Rh negatif

2) Fetus mempunyai golongan Rh positif


3) Masuknya eritrosit fetus ke sirkulasi maternal melalui proses perdarahan
fetomaternal
4) Terjadi sensitisasi maternal oleh antigen D dari eritrosit fetus

2
5) Terbentuk anti D maternal sebagai respon terhadap antigen D fetus
6) Kemudian anti D maternal secara transplasenta masuk kedalam sirkulasi
fetus
7) Antibodi tersebut melekat pada eritrosit fetus
8) Menyebabkan aglutinasi kemudian eritrosit tersebut menjadi lisis
(hemolisis)

Keadaan ini menyebabkan tubuh bayi mencoba untuk mengimbangi

kekurangan sel darah merah (anemia) dengan melepaskan sel darah merah yang

belum matang, yang disebut erythroblasts dari sumsum tulang4. Keadaan inilah yang

disebut eritroblastosis fetalis. Kelebihan eritroblast dapat menyebabkan hati dan

limpa menjadi membesar, berpotensi menyebabkan kerusakan hati atau rupturnya

limpa. Peningkatan pada produksi eritroblast ini menyebabkan dampak pada

produksi jenis sel darah, seperti trombosit dan faktor-faktor lain yang penting untuk

pembekuan darah. Karena darah kekurangan faktor pembekuan, perdarahan yang

berlebihan bisa menjadi komplikasi.

Sel-sel darah merah yang hancur melepaskan pigmen merah darah

(hemoglobin) yang terdegradasi menjadi bilirubin. Bilirubin biasanya diproduksi

sebagai sel darah merah mati, tetapi tubuh hanya dilengkapi untuk menangani

bilirubin tingkat rendah tertentu dalam aliran darah pada satu waktu.

Tingginya kadar bilirubin terakumulasi, menyebabkan hiperbilirubinemia,

suatu kondisi di mana bayi menjadi kuning. Penyakit kuning terlihat jelas dari warna

kekuningan pada mata dan kulit bayi. Jika hiperbilirubinemia tidak dapat

dikendalikan, bayi berkembang menjadi ‘kernikterus’. Kernikterus berarti bilirubin

disimpan di otak, mungkin menyebabkan kerusakan permanen,5 hepatosplenomegali

dan pada pemeriksaan darah tepi akan didapat anemia, retikulositolis, jumlah

3
normoblas dan eritroblas lebih banyak daripada biasa, banyak sel darah (seri

granulosit) muda. Kadar bilirubin direct dan indirect meninggi, juga terdapat

bilirubin dalam urin dan tinja.6

Gejala lain yang mungkin ada termasuk tingkat insulin yang tinggi dan gula

darah rendah, serta kondisi yang disebut Hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditandai

dengan akumulasi cairan dalam tubuh bayi, menimbulkan penampilan janin yang

bengkak. Akumulasi cairan ini menghambat pernapasan normal, karena paru-paru

tidak dapat memperluas sepenuhnya dan mungkin berisi cairan. Jika kondisi ini terus

berlanjut untuk jangka waktu yang panjang, dapat mengganggu pertumbuhan

paru-paru. Hydrops fetalis dan anemia juga dapat berkontribusi untuk masalah

jantung.5

Hydrops fetalis yang hanya dapat hidup beberapa jam dengan gejala edema

yang berat, asites, anemia dan hepatosplenomegali. Biasanya bayi seperti ini

mempunyai plasenta yang besar, bayi tampak pucat dan cairan amnion berwarna

kuning emas. Bayi juga mungkin lahir mati (‘stillbirth’)6 .

Pengaruh kelainan ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, akan tetapi

menjadi makin nyata pada anak yang dilahirkan selanjutnya. Bila Ibu sebelum

mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah yang inkompatibel atau

Ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai Rh positif, pengaruh

kelainan inkompatibilitas Rh ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian.6

4
Gambar 1. Pada Ibu dengan rhesus negatif: jika janin dengan rhesus positif
(kiri), jika janin dengan rhesus negative (kanan)2

2.1.4 Sensitisasi Rh Selama Kehamilan

Sejumlah kecil darah dari janin dapat melewati plasenta ke dalam sistem Ibu.7 Hal ini

terkadang bisa terjadi selama kehamilan, persalinan, dan kelahiran. Ini juga dapat

terjadi jika seorang Ibu Rh-negatif telah mengalami salah satu dari berikut selama

kehamilan:

 Amniosentesis

 Chorionic Villus Sampling (CVS)

 Perdarahan selama kehamilan

 Rotasi manual bayi dalam posisi sungsang sebelum persalinan

 Trauma tumpul ke perut selama kehamilan

5
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi jenis Rh dan antibody anti D (uji Coombs tidak langsung) harus

terdeteksi pada setiap kunjungan prenatal pertama. Wanita yang memiliki RhD

negatif dengan screentest antibodi anti D positif dianggap Rh alloimmunized.7

Langkah berikut harus menjadi penilaian status RhD janin untuk menentukan apakah

kehamilan berisiko untuk berkembang menjadi penyakit hemolitik janin dan bayi

baru lahir (Hemolytic Disease of the Fetus and Newborn).

Jika janin RhD-negatif, tidak diperlukan intervensi apapun terlepas dari

antibodi titer Ibu. Jika ayah RhD negatif, maka janin juga RhD negatif. Jika ayah

RhD positif, dapat berupa homozigot atau heterozigot untuk alel D. Jika dia

homozigot untuk alel D, janin RhD positif. Namun, jika fenotip ayah adalah antigen

D positif dan genotipenya heterozigot, status antigen janin harus ditentukan oleh

amniosentesis pada usia kehamilan 15 minggu (dengan PCR sel janin).7

Chorionic villus sampling juga memungkinkan, tapi memiliki kelemahan

yang berpotensi memburuknya titer antibodi ibu karena mungkin perdarahan

fetomaternal. Karena risiko kecil diagnosis prenatal invasif, banyak center memilih

untuk melakukan amniosentesis hanya jika titer anti-Rh mencapai nilai kritis 1:16

atau lebih tinggi.7

2.1.6 Manajemen Pertama pada Kehamilan Rh Alloimmunized

Dalam kasus kehamilan yang terkena pertama, Ibu harus menjalani

penentuan titer antibodi anti-D. Secara umum, wanita dengan titer tinggi dari 1: 4

harus dipertimbangkan sebagai Rh alloimmunized. Titer cenderung berkorelasi lebih

terpercaya dengan tingkat keparahan penyakit janin pada kehamilan tersensitasi

pertama daripada kehamilan berikutnya. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan setiap

6
bulan sampai 24 minggu kehamilan, setelah itu, titer harus diulang setiap 2 minggu.

Jika titer tetap di bawah titer kritis, persalinan dapat dilakukan saat cukup bulan.

Titer kritis (critical titer) didefinisikan sebagai titer dikaitkan dengan risiko yang

signifikan untuk terjadi Hydrops fetalis.

Biasanya, kehamilan di mana titer antibodi 1: 8 atau lebih rendah dapat

dikelola oleh pemantauan serial titer antibodi maternal. Sebaliknya, jika titer 1:16

atau lebih tinggi, penilaian kesehatan janin adalah wajib dengan ultrasonografi untuk

evaluasi Middle Cerebral Artery Peak Systolic Velocity (MCA-PSV) atau

amniosentesis serial jika pemeriksaan tersebut tidak tersedia.7

2.1.7 Penilaian Kesehatan Janin

Penilaian ultrasonografi secara rinci memiliki peran penting dalam diagnosis

dan pengelolaan anemia pada janin. Temuan sonografi dalam kasus hidrops termasuk

asites, efusi pleura dan perikardial serta edema. Beberapa temuan sonografi lainnya

telah diusulkan sebagai indikator kemungkinan Hydrops fetalis (polihidramnion,

peningkatan ketebalan plasenta, dilatasi miokard dan usus) namun tidak satupun dari

ini telah terbukti menjadi prediksi hidrops janin7

Di masa lalu, analisis spektrofotometri cairan ketuban, diperkenalkan oleh

Liley pada tahun 1961, secara rutin dilakukan untuk mendeteksi adanya anemia bayi.

Karena panjang gelombang di mana bilirubin menyerap cahaya 420-460 nm, jumlah

pergeseran densitas optik dari linearitas pada 450 nm (delta OD450) dalam sampel

cairan ketuban dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat hemolisis fetus.

Studi tentang kecepatan sistolik puncak di arteri serebri (Middle Cerebral

Artery/MCA) tyang menunjukkan bahwa hal itu dapat digunakan untuk mendeteksi

anemia sedang dan berat pada fetus non-hydropic. Karena anemia, akan terjadi

7
penurunan viskositas darah, kecepatan puncak sistolik (Peak Systolic Velocity/PSV)

dari hasil aliran darah meningkat pada kasus anemia. Studi MCA Doppler Serial

dilakukan setiap 1-2 minggu tergantung pada tren. Evaluasi MCA-PSV dapat

diperoleh sejak 18 minggu kehamilan, tetapi harus berhati-hati setelah 35 minggu,

karena kemungkinan peningkatan positif palsu.7

Pengambilan sampel darah dengan kordosentesis, adalah satu-satunya

pendekatan definitif dalam mendiagnosis anemia fetus dan asidosis dengan

pengukuran langsung dari hemoglobin dan status asam-basa fetus. Ketika hematokrit

fetus kurang dari 30%, satu-satunya pilihan terapi adalah transfusi fetus intrauterine.

Sumber sel darah merah untuk transfusi intrauterin biasanya golongan darah O,

RhD-negatif, cytomegalovirus negatif.

Beberapa center lebih suka menggunakan darah ibu sebagai sumber sel

darah merah. Unit yang diradiasi untuk mencegah reaksi graft-versus-host dan

diproses melalui filter sedikit leukosit. Tujuan dari transfusi intrauterin adalah untuk

mempertahankan nilai hemoglobin janin lebih dari 9 g/dL.

Transfusi intrauterin serial, jika diperlukan, biasanya dilakukan sampai usia

kehamilan 34 minggu, karena setelah usia itu, resiko dari prosedur lebih besar dari

manfaat. Dalam menentukan waktu persalinan yang optimal, usia kehamilan,

keparahan anemia, dan kematangan paru semua harus dipertimbangkan. Jika

pengawasan janin tetap meyakinkan (nilai MCA-PSV <1,5 MoMs atau analisis

spektrofotometri tidak menunjukkan anemia fetal yang parah), persalinan harus

diinduksi pada 37-38 minggu kehamilan. Jika pengawasan janin tidak meyakinkan,

persalinan harus direncanakan setelah konfirmasi kematangan paru fetus.7

8
Gambar 2. Hasil USG Janin dengan Hydrops Fetalis.8

2.1.8 Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan injeksi yang disebut anti-D atau

imunoglobulin RhD. Ini dapat diberikan untuk mencegah respon imun ibu terhadap

RhD positif sel darah janin. Anti-D ini berfungsi dengan menghancurkan setiap sel

darah janin yang ada dalam aliran darah ibu. Hal ini mencegah tubuh ibu

memproduksi antibodi.7 Anti-D harus diberikan sesegera mungkin setelah peristiwa

sensitisasi dan idealnya dalam waktu 72 jam. Jika ini tidak dilakukan, masih ada

kemungkinan adanya manfaat memberikan anti-D hingga 10 hari setelah sensitisasi.9

 Dosis 250 IU anti-D harus diberikan sampai dengan usia kehamilan 12 minggu

 Dosis 625 IU anti-D harus diberikan setelah usia kehamilan 12 minggu

9
Anti-D ini disarankan karena penelitian menunjukkan bahwa:

Ibu RhD negatif yang melahirkan bayi RhD positif dan diberikan anti-D dalam

waktu 72 jam setelah kelahiran cenderung lebih sedikit membuat antibodi

terhadap bayi RhD positif di kemudian hari.



Ibu dengan RhD negatif yang diberikan anti-D pada kehamilan cenderung lebih

sedikit memiliki sel darah janin dalam sistem fetomaternal (anti-D

menghancurkan sel-sel darah janin di aliran darah ibu). Ini mungkin berarti

bahwa ada lebih sedikit kesempatan untuk tubuh ibu untuk membuat antibodi

untuk menyerang sel-sel darah janin. Anti-D tidak sepenuhnya menghilangkan

kemungkinan membuat antibodi, namun dapat mengurangi kesempatan

pembentukan tersebut.9

2.2 Thalasemia

2.2.1 Definisi Thalassemia

Thalassemia adalah penyakit kelainan darah di mana hemoglobin tidak

berfungsi secara normal. Hemoglobin merupakan kompleks protein yang terdiri dari

heme yang mengandung besi dan globin. Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah

merah berfungsi mengantarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh anggota tubuh.

Pada penderita thalassemia, kadar hemoglobin yang berfungsi baik lebih rendah

dibandingkan orang normal. Oleh karena itu, tingkat oksigen dalam tubuh penderita

thalassemia lebih rendah.

Pasien thalassemia akan senantiasa mengalami anemia akibat gangguan

produksi hemoglobin. Derajat anemia yang terjadi dapat bervariasi dari ringan

hingga berat. Anemia ini merupakan masalah utama pada thalassemia mayor, baik

pasien thalassemia-β mayor ataupun β-Hb E. Transfusi darah merupakan tata laksana

10
suportif utama pada pasien thalassemia dengan tujuan mempertahankan kadar

hemoglobin 9-10 g/dL untuk meningkatkan tumbuh kembang anak serta mengurangi

deformitas tulang dan hepatosplenomegali akibat hematopoeisis ekstramedular.10

Anemia herediter pada thalassemia menyebabkan pasien harus mendapatkan

transfusi darah terus menerus yang dapat menimbulkan komplikasi penimbunan zat

besi dalam tubuh.11 Pada pasien yang tidak sering mendapatkan transfusi darah pun,

tetap terjadi absorpsi besi abnormal yang menyebabkan penumpukan besi berkisar

2–5 gram per tahun.

Kelebihan besi ini menyebabkan kapasitas transferin serum untuk mengikat

besi bebas akan terlampaui sehingga besi bebas ini akan menghasilkan radikal bebas

yang berbahaya bagi tubuh. Kelebihan besi (iron overload) ini dideposit dalam

berbagai organ terutama di hati dan jantung hingga terjadi disfungsi organ tersebut

dan mengakibatkan gangguan tumbuh kembang.10

2.2.2 Epidemiologi

Thalassemia merupakan salah satu penyakit genetik terbanyak di dunia.

Pembawa sifat thalassemia-β dan thalassemia-α mencapai 1,67% populasi dunia

sedangkan pembawa sifat hemoglobin E sekitar 0,95%. Pembawa sifat thalassemia-β

di Indonesia ditemukan lebih tinggi yaitu 3%-10%, pembawa sifat thalassemia-α

2,6%- 11% dan pembawa sifat hemoglobin E 1,5%-33%.

Di Pusat Thalassemia Jakarta pada akhir bulan Maret 2007 tercatat 1264

pasien dengan 80-100 pasien baru setiap tahun. Kasus thalassemia-β merupakan

kasus yang terbanyak didapatkan yaitu 50,6%, thalassemia β-HbE 46,7% dan

thalassemia-α 2,2%.10

11
2.2.3 Etiologi

Mutasi DNA pada hemoglobin merupakan penyebab seseorang menderita

thalassemia. Penyakit ini terjadi akibat faktor genetika, namun penyebab pasti

kenapa mutasi gen ini terjadi tidak diketahui.

2.2.4 Tipe-tipe Thalassemia

Bagian hemoglobin yang terkena mutasi dan jumlah mutasi yang diwariskan

dari orang tua memengaruhi tipe thalassemia yang diderita. Mutasi dapat

memengaruhi hemoglobin yang terdiri dari 2 protein alfa dan 2 protein beta.

Thalassemia yang diderita akan makin parah jika gen yang mengalami utasi makin

banyak. Berikut ini adalah penjelasan tipe-tipe thalassemia.

a. Thalassemia alfa

Protein hemoglobin alfa terdiri atas empat gen yang berasal dari kedua orang tua,

yang masing-masing mewariskan dua gen. Berikut ini adalah penjelasan mutasi gen

thalassemia alfa:

o Gejala thalassemia tidak muncul jika satu gen yang mengalami mutasi, tapi

orang tersebut bisa menurunkan penyakit ini kepada anaknya karena dia

merupakan inang atau pembawa penyakit thalassemia.

o Gejala thalassemia yang muncul hanya bersifat ringan jika dua gen mengalami

mutasi, dan kondisi ini disebut dengan thalassemia alfa minor.

o Gejala thalassemia yang muncul bersifat menengah hingga parah jika tiga gen

mengalami mutasi. Kondisi ini disebut juga dengan penyakit hemoglobin H.

12
o Janin biasa akan mati atau bayi yang baru dilahirkan akan meninggal sesaat

setelah dilahirkan jika empat gen mengalami mutasi. Kondisi ini disebut dengan

thalassemia alfa mayor.

b. Thalassemia beta

Protein hemoglobin beta terdiri atas dua gen yang berasal dari orang tua, yang

masing-masing mewariskan satu gen. Berikut ini adalah penjelasan mutasi gen

thalassemia beta:

o Gejala thalassemia yang muncul hanya bersifat ringan jika hanya satu gen yang

mengalami mutasi, dan disebut dengan thalassemia beta minor.

o Gejala thalassemia yang muncul bersifat menengah hingga parah jika dua gen

mengalami mutasi, dan disebut dengan thalassemia beta mayor atau anemia

Cooley. Dua gen yang mengalami mutasi juga bisa disebut thalassemia beta

intermedia jika gejala yang dialami bersifat lebih ringan. Biasanya bayi yang

mengalami kondisi ini sehat saat dilahirkan, namun setelah berusia dua tahun,

gejala baru akan muncul.

2.2.5 Asuhan Prenatal

Thalasemia dikaitkan dengan peningkatan risiko bagi ibu dan bayi. Secara

khusus, ada isu-isu terjadinya cardiomyopathy pada ibu karena kelebihan zat besi dan

peningkatan risiko pembatasan pertumbuhan janin (Fetal Growth Restriction/FGR).12

Wanita dengan thalassemia mayor juga dapat terkena endokrinopati: khususnya,

diabetes mellitus, hipotiroidisme dan hipoparatiroidisme karena meningkatnya beban

besi.13

13
Wanita dengan thalassemia sering mengkonsumsi obat, beberapa di

antaranya mungkin teratogenik, misalnya Deferiprone. Penelitian pada hewan

dengan Deferasirox tidak menunjukkan efek teratogenik, namun hanya ada data

keamanan terbatas penggunaannya pada kehamilan. Deferasirox dan Deferiprone

idealnya harus dihentikan 3 bulan sebelum kehamilan, diganti menjadi

Desferioksamin.

Desferioksamin memiliki waktu paruh pendek dan aman untuk infus selama

terapi induksi ovulasi. Desferioksamin harus dihindari pada trimester pertama karena

masih kurangnya data keamanan. Desferioksamin digunakan secara aman setelah 20

minggu kehamilan pada dosis rendah.12

Semua wanita dengan thalassemia mayor harus menerima transfusi darah

secara teratur bertujuan untuk mencapai hemoglobin 100 g/L (10g/dL). Keputusan

untuk memulai rejimen transfusi adalah berdasarkan gejala ibu dan pertumbuhan

janin. Jika ada perburukan anemia pada ibu atau bukti FGR, transfusi rutin harus

dimulai bertujuan untuk pemeliharaan konsentrasi hemoglobin di atas 100 g/L.

Awalnya 2-3 unit transfusi harus diberikan dengan tambahan transfusi jika perlu pada

minggu selanjutnya sampai hemoglobin mencapai 120 g/L. Hemoglobin harus

dipantau setelah 2 sampai 3 minggu dan 2 unit transfusi diberikan jika hemoglobin

turun di bawah 100 g/L.12

Umumnya, pada pasien non-transfusi, jika hemoglobin di atas 80 g/L pada

kehamilan 36 minggu, transfusi dapat dihindari sebelum persalinan. Jika hemoglobin

kurang dari 80 g/L, target untuk transfusi tambahan 2 unit di usia kehamilan 37-38

minggu. Transfusi postnatal dapat diberikan seperlunya.12

14
2.2.6 Asuhan Antenatal

Ibu harus disarankan melakukan pemeriksaan awal di minggu 7-9 kehamilan,

ditambah dengan pemeriksaan rutin trimester pertama (11-14 minggu kehamilan) dan

pemeriksaan detail kelainan secara rinci pada usia kehamilan 18-20 minggu

kehamilan, Ibu harus disarankan scan biometri janin setiap 4 minggu dari umur

kehamilan 24 minggu. Wanita dengan thalassemia dan diabetes memiliki risiko lebih

tinggi terhadap abortus pada awal kehamilan. Anemia berat pada Ibu merupakan

predisposisi FGR pada wanita dengan thalassaemia.14 Anemia kronis mempengaruhi

transfer nutrisi plasenta dan karena itu dapat mempengaruhi pertumbuhan janin.

Ibu dengan thalasemia harus diperiksa setiap bulan sampai 28 minggu

kehamilan dan kemudian setiap dua minggu. Tim harus menyediakan pemeriksaan

rutin serta perawatan spesialis. Semua wanita dengan thalassemia mayor harus

menjalani penilaian jantung pada usia 28 minggu kehamilan dan setelah itu

menyesuaikan.12

2.2.7 Asuhan Intrapartum

Waktu persalinan harus sesuai dengan panduan nasional. Bagian kebidanan,

anestesi dan staf hematologi harus diberitahu segera setelah ibu masuk ke ruang

persalinan. Adanya antibodi sel darah merah, darah harus cross-match untuk

persalinan karena ini mungkin menunda ketersediaan darah. Pada wanita dengan

thalasemia, desferioksamin intravena sebanyak 2 gram selama 24 jam harus

diberikan selama persalinan.12

Pemantauan janin intrapartum terus menerus harus dikerjakan. Thalassemia

sendiri bukan merupakan indikasi untuk operasi caesar. Manajemen aktif kala III

persalinan dianjurkan untuk meminimalkan kehilangan darah.

15
2.2.8 Asuhan Post Partum

Ada risiko tinggi tromboemboli vena karena adanya sel darah merah yang

abnormal dalam sirkulasi. Ibu harus menerima profilaksis heparin berat molekul

rendah selama di rumah sakit. Selain itu, heparin berat molekul rendah harus

diberikan selama 7 hari pasca persalinan per vaginam atau selama 6 minggu setelah

sectio caesarea.15

Ibu boleh tetap menyusui dan harus diberikan dukungan. Ibu dengan

talasemia mayor yang berencana untuk menyusui harus mengulang rejimen

desferioksamin segera setelah infus desferioksamin intravena 24 jam selesai pasca

melahirkan. Desferioksamin disekresi di payudara susu tetapi tidak diserap secara

oral dan karena itu tidak berbahaya bagi bayi yang baru lahir.12

Jika ibu memutuskan untuk tidak menyusui, intravena atau infus subkutan

desferioksamin dilanjutkan sampai keluar dari rumah sakit atau sampai dimulainya

kembali rejimen sebelumnya di bawah pengawasan dokter hematologi.12

2.3 Hemofilia

2.3.1 Definisi Hemofilia

Proses pembekuan darah membutuhkan unsur-unsur seperti trombosit,

faktor-faktor pembekuan, dan sebagainya. Di dalam kasus hemofilia, terdapat mutasi

gen yang menyebabkan tubuh tidak cukup memiliki faktor pembekuan tertentu.

Sebagai contoh, hemofilia A disebabkan kurangnya faktor pembekuan VIII dan

hemofilia B disebabkan kurangnya faktor pembekuan IX di dalam darah.

Untaian DNA atau sebutan lainnya adalah kromosom merupakan suatu

rangkaian instruksi lengkap yang mengendalikan produksi berbagai faktor.

16
Kromosom bukan hanya menentukan jenis kelamin pada bayi, namun juga mengatur

kinerja sel-sel di dalam tubuh. Semua manusia memiliki sepasang kromosom seks di

mana komposisi pada wanita adalah XX dan pada pria adalah XY. Hemofilia adalah

penyakit yang diwariskan melalui mutasi pada kromosom X. Oleh sebab itu pria

cenderung menjadi pengidap, sementara wanita cenderung menjadi pewaris atau

pembawa mutasi gen tersebut.

2.3.2 Pemeriksaan Antenatal

Harus ada pedoman yang memadai untuk skrining genetik dan konseling

yang idealnya harus diselesaikan sebelum hamil. Diagnosis praimplantasi genetik

(Preimplantation Genetic Diagnosis / PGD) sekarang dapat digunakan dalam

beberapa kondisi genetik termasuk hemofilia dan mungkin dianggap oleh beberapa

pasangan di dalam preferensi untuk diagnosis prenatal invasif yang konvensional

dengan teknik chorionic villus sampling (CVS).16

2.3.3 Pemeriksaan di Masa Kehamilan

Dalam masa kehamilan, di mana ibu dikonfirmasi sebagai carrier atau

diduga hemofilia A atau B, penentuan jenis kelamin janin harus dilakukan sebagai

bagian dari perawatan antenatal karena ini akan sangat membantu dalam mengelola

kehamilan dan persalinan.

Penentuan jenis kelamin janin dapat dilakukan baik dengan USG di 18-20

minggu kehamilan atau dengan menguji sel DNA bebas yang bersirkulasi

(circulating cell-free DNA) dari darah ibu untuk sekuens spesifik kromosom-Y.17

Teknik yang terakhir mungkin tidak tersedia di semua pusat tetapi telah berhasil dari

mulai minggu ketujuh kehamilan. Oleh karena itu, teknik ini memiliki potensi untuk

17
memberikan hasil pada tahap awal kehamilan dan dapat membantu

menginformasikan keputusan tentang pemeriksaan selanjutnya untuk diagnosis

prenatal. 18

Metode pemeriksaan selanjutnya yang bisa dilakukan diantaranya

adalah chorionic villus sampling (CVS) atau amniosentesis. Namun pelaksanaan

kedua tes ini memiliki resiko menyebabkan keguguran dan kelahiran prematur.

Tes CVS biasanya dilakukan saat kehamilan memasuki usia sebelas hingga

empat belas minggu dan tes amniosentesis biasanya dilakukan di usia kehamilan lima

belas hingga dua puluh minggu. Sampel yang biasanya diuji dalam tes CVS adalah

sampel jaringan plasenta, sedangkan dalam amniosentesis adalah sampel cairan

amniotik.18

Jenis pemeriksaan hemofilia ketiga adalah tes darah yang dilakukan sesudah

bayi lahir. Tes ini meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi faktor-faktor

pembekuan, seperti faktor pembekuan VIII (8) dan IX (9).

18
Gambar 3. Chorionic Villus Sampling19

2.3.4 Penggunaan Faktor-faktor Koagulasi

Kadar faktor VIII akan meningkat seiring kehamilan, sedangkan kadar

faktor IX tidak. Salah satu cara untuk mencegah perdarahan masif selama dan setelah

persalinan adalah pemberian profilaksis faktor pembekuan yang sesuai. Pada tahun

1983, dilaporkan pada prepersalinan dengan pemberian automated plasma exchange

pada carrier hemofilia B. Sebuah teknik baru-baru ini diperkenalkan untuk

memperbaiki gangguan hemostatik janin dengan hemophilia. Infus intrauterine dari

rekombinan faktor VIII diberikan selama awal persalinan; walaupun neonatal terlihat

19
normal, janin dapat membuat inhibitor terhadap faktor rekombinan yang diberikan

sebagai pengobatan jika diberikan pada awal usia 1 tahun.18

2.4.5 Cara Persalinan

Di masa lalu, persalinan pervaginam adalah kontraindikasi untuk penderita

carrier hemofilia karena kemungkinan perdarahan yang tidak terkendali, kebutuhan

untuk prosedur invasif di bawah anestesi (misalnya: analgesia epidural), dan

perdarahan intrauterin jika dengan vakum atau ekstraksi forsep menjadi penting

selama persalinan. Operasi sectio caesarea memberikan dokter kandungan kontrol

terhadap persalinan dan sering digunakan untuk carrier hemofilia. Selama dua

dekade terakhir, laporan menunjukkan bahwa kehamilan pada carrier hemofilia bisa

baik, bahkan dengan persalinan pervaginam. Ljung et al20 melaporkan hasil yang

baik dari persalinan pervaginam dari 117 persalinan di Swedia. Mereka

menyimpulkan bahwa risiko perdarahan serius dengan persalinan pervaginam kecil

dan sectio caesarea tidak harus selalu dilakukan.

Dalam satu survei, 57% dari dokter kandungan memilih persalinan

pervaginam pada carrier hemofilia dan 11% mengatakan mereka lebih menyukai

operasi caesar; 85% mengatakan mereka jarang digunakan ekstraksi vakum dan 74%

mengatakan mereka jarang digunakan forceps untuk carrier hemofilia. Perdarahan

intrakranial telah dilaporkan pada 1% sampai 4% dari penderita hemofilia bayi baru

lahir. Persalinan dengan ekstraksi vakum masih tidak dianjurkan karena resiko

perdarahan intrauterin dan sefalhematoma berat. Dari 17 persalinan dengan ekstraksi

vakum, 12 bayi dilaporkan memiliki hematoma subgaleal atau kepala, dan empat

terjadi perdarahan intrakranial.21

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Modell B, Darlison M. Global Epidemiology of Haemoglobin Disorders and


Derived Service Indicators. Bulletin of the World Health Organization. June
2008; Vol. 86: 6, p417-96. Tersedia dari:
http://www.who.int/bulletin/volumes/86/6/06-036673/en/

2. Queensland Departement of Health. Being Rhesus D Negative in Pregnancy.


Queensland Clinical Guidelines. 2015; : I15.61-V4-R16. Tersedia dari :
http://www.health.qld.gov.au/qcg/documents/c-anti-d.pdf

3. Santriati Y, Syarif I, Asnil PO. Inkompatibilitas Rhesus dengan Kern Ikterus.


Majalah Kedokteran Andalas. 1997; Vol. 21 No. 2.

4. Farlex Inc. Erythroblastosis Fetalis. Diakses tanggal: 15 September 2016.


Tersedia dari:
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/erythroblastosis+fetalis

5. Alatas H, Hassan R. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta; 2007.

6. American Congress of Obstetricians and Gynecologists. The Rh Factor: How It


Can Affect Your Pregnancy. September 2013; FAQ-027. Tersedia dari:
http://www.acog.org/Patients/FAQs/The-Rh-Factor-How-It-Can-Affect-Your-Pre
gnancy

7. Obstetric Management in Rh Alloimmunizated Pregnancy. Journal of Prenatal


Medicine J Prenat Med. 2009 Apr-Jun; 3(2): 25–27. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3279102/

8. Radiopaedia. From The Case: Hydrops Fetalis. 2014. Tersedia dari:


http://radiopaedia.org/images/5989494

9. Sunshine Coast Hospital and Healh Service. Rhesus Negative Blood


Group:Antenatal Management Screening. Maret 2015. Tersedia dari:
https://www.health.qld.gov.au/sunshinecoast/docs/rhesus-neg-blood-schhs.pdf

10. Gatot D, Amalia P, Sari TT, Chozie NA. Pendekatan Mutakhir Kelasi Besi pada
Thalassemia. Sari Pediatri. 2007; Vol. 8, No. 4: 78 – 84.

11. Olivieri NF. The β-Thalassemias. N Engl J Med. 1999;341:99-109.

21
12. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Management of Beta
Thalassaemia in Pregnancy. Green-top Guideline No. 66 March 2014;p.8-11.
Tersedia dari:
https://www.rcog.org.uk/globalassets/documents/guidelines/gtg_66_thalassaemia.
pdf

13. Origa R, Piga A, Quarta G, Forni GL, Longo F, Melpignano A, et al. Pregnancy
and β-thalassemia: an Italian multicenter experience. Haematologica
2010;95:376–81

14. Luewan S, Srisupundit K, Tongsong T. Outcomes of pregnancies complicated by


beta-thalassemia/hemoglobin E disease. Int J Gynaecol Obstet 2009;104:203–5.

15. Eldor A, Rachmilewitz EA. The Hypercoagulable State in Thalassemia. Blood


2002;99:36–43

16. Lavery S. Preimplantation genetic diagnosis of haemophilia. Br J Haematol


2009; 144:303-307

17. Bustamante-Aragones A et al. Foetal Sex Determination in Maternal Blood From


Seventh Week Of Gestation And Its Role In Diagnosing Haemophilia in The
Foetuses of Female Carriers. Haemophilia 2008; 14:593-598.

18. Chalmers E, Williams M, Brennand J, Liesner R ,Collins P ,Richards M.


Guideline On The Management of Haemophilia in The Fetus And Neonate.
British Committee for Standards in Haematology.

19. Summit Medical Group. Chorionic Villus Sampling (Genetic Test) During
Pregnancy. 2016. Diakses tanggal: 15 September 2016. Tersedia dari:
http://www.summitmedicalgroup.com/library/adult_health/obg_chorionic_villus_
sampling/

20. Ljung R, Lindgren AC, Petrini P, Tengborn L. Normal Vaginal Delivery is to be


Recommended for Haemophilia Carrier Gravidae. Acta Paediatr 1994;83:609-11.

21. Canadian Family Physician. Mother Risk Update. Le Médecin de famille


canadien. 2003; Vol 49.

22

Anda mungkin juga menyukai