Anda di halaman 1dari 12

Perdarahan fetal-maternal

Definisi

Perdarahan fetal-maternal adalah kebocoran sel darah janin kedalam

sirkulasi maternal. Kebocoran darah fetal ke sirkulasi maternal dapat terjadi

mulai saat pertengahan trimester pertama sampai persalinan. Kejadian ini

mungkin disebabkan penerobosan sel darah fetal pada sirkulasi plasenta dan

memasuki sirkulasi ibu. Dan hal ini berlanjut terus sehingga pada saat kehamilan

mencapai usia cukup bulan darah fetal dapat dideteksi pada sekitar 50% ibu

hamil.

Pada umumnya kebocoran terjadi hanya sedikit, pada 96-98% kasus;

darah janin total yang terdapat dalam sirkulasi ibu hanya sekitar 2 ml. Keadaan

seperti ini tidak berbahaya bagi janin kecuali bila terdapat inkompatibilitas antara

ibu dengan janinnya yang berhubungan dengan antigen D dari sel darah merah.

Inkompatibilitas D timbul apabila ibu yang tidak mempunyai antigen D ( D

negatif) hamil dan mengandung bayi yang mempunyai antigen D ( D positif).

Sekali diproduksi, antibodi IgG Rh ibu akan melewati plasenta dengan

bebas menuju sirkulasi fetal dan akan membentuk reaksi antigen-antibodi

kompleks dengan eritrosit fetal yang mengandung Rh positif dan terjadilah

penghancuran eritrosit fetal dengan segala akibatnya. Keadaan ini menimbulkan

isoimunisasi yang dapat menimbulkan berbagai variasi hemolisis pada janin.

Pada kehamilan pertama, 50% janin mengalami hemolisis yang sangat ringan

sehingga tidak membutuhkan pengobatan pasca salin, 25-30% bayi yang baru

lahir tersebut mengalami anemia hemolitik dan hiperbilirubinemi dalam berbagai

derajat keparahan, bahkan sebagian kecil dapat mengalami hidropik (Hydrops


fetalis), Erythroblastosis Fetalis (EBF) atau kematian janin di dalam rahim. Pada

kehamilan berikutnya kejadian hemolisis akan bertambah berat sehingga

membahayakan janin baik dalam rahim maupun segera setelah dilahirkan.

Selain pada saat persalinan, perdarahan fetal maternal yang juga

menyebabkan isoimunisasi pada ibu dengan Rh negatif yang mengandung janin

Rh positif juga terjadi pada keadaan: setelah abortus , setelah tindakan

amniosentesis, setelah kordosentesis, setelah tindakan pengambilan sampel vili

koriales (chorionic villus sampling, CVS), kehamilan ektopik, manipulasi janin

(misalnya pada versi luar), perdarahan antepartum, kematian janin di dalam rahim

dan Ibu pernah mendapat transfusi darah yang mengandung komponen Rh positif

Risiko untuk mendapat sensitasi tergantung dari 3 faktor:

1. Volume perdarahan transplasental

2. Reaksi imun respons ibu

3. Adanya inkompatibilitas ABO yang timbul bersamaan

Diagnostik Pendarahan Fetal Maternal

Ada beberapa diagnostik dalam pendarahan fetal maternal antara lain:

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan ini dapat membantu meramalkan kejadian penyakit hemolitik

akibat inkompatibilitas Rh atau ABO, sehingga dibutuhkan anamnesis untuk

mendapatkan informasi tentang:

a. Golongan darah ibu

Apabila ibu mempunyai Rh negatif, periksa golongan darah suaminya dan

janinnya. Apabila suaminya juga Rh negatif, ulangi pemeriksaan pada

kehamilan 28 minggu, apabila benar keduanya Rh negatif tidak ada


kekhawatiran untuk timbul Rh isoimunisasi. Apabila suaminya

mempunyai tipe Rh positif, periksa antibodi ibu. Antibodi IgM tidak

menyebabkan kehamilan berisiko terhadap erythroblastosis fetalis (EBF),

namun terdeteksinya IgG berisiko untuk timbulnya EBF.

b. Riwayat obstetri

Riwayat obstetri yang lalu pada ibu hamil dengan Rh negatif seperti:

kehamilan ektopik, abortus spontan lebih dari 32 hari gestasi ( > 46 hari

dari hari pertama haid terakhir), pernah mendapat transfusi darah Rh

positif, Pernah melahirkan bayi Rh positif, pernah melahirkan bayi yang

tidak segolongan (ABO kompatibilitas), pernah melahirkan bayi hidrops,

pernah solusio plasenta , pernah preeklampsi/eklampsi, pernah melahirkan

dengan seksio sesarea

2. Amniosintesis

Cairan amnion janin yang mengalami anemia hemolitik in utero akan banyak

mengandung bilirubin. Karena janin menelan dan mengeluarkan cairan

amnion (dari urin) maka bilirubin cairan amnion menggambarkan derajat

hemolisis yang terjadi pada janin. Pada kehamilan normal yang tidak

mengalami sensitasi, bilirubin dalam cairan amnion meningkat pada

kehamilan muda, sampai pada puncaknya pada usia kehamilan 25 minggu

dan menurun sampai pada umur kehamilan cukup bulan.

a. Dengan bantuan Real Time Ultrasound untuk amniosentesis, dapat

menghindarkan trauma pada plasenta, janin atau tali pusat. Harus

diperhatikan bahwa perlukaan pada plasenta atau tali pusat dapat

meningkatkan kemungkinan hemolisis. Diambil 10 - 20 ml cairan amnion

dan harus segera dimasukkan kedalam tabung yang opak (tidak tembus
cahaya) untuk menghindarkan kemungkinan perubahan absorpsi bilirubin

akibat cahaya.

b. Spektrofotometri dilakukan pada cairan amnion untuk mengukur densitas

optik (optical density)

c. Kurva Liley, dirancang untuk meramalkan beratnya hemolisis pada

kehamilan trimester ke tiga. Angka yang dipercaya apabila terdapat angka

yang sangat tinggi atau yang sangat rendah setelah diterapkan pada kurva.

Untuk itu perlu dilakukan amniosentesis serial. Terdapat tiga daerah pada

kurva (Zone I, II dan III). Apabila kadar bilirubin terdapat pada zone I,

janin tidak terancam hemolisis, dan kadar hemoglobin tali pusatnya > 12

g/dl. ( normal pada kehamilan cukup bulan adalah 16,5 g/dl) dan dapat

dilahirkan per vaginam. Pada Zone II biasanya kadar hemoglobin tali

pusat mencapai 8 - 12 g/dl, janin harus segera dilahirkan; pada Zone III

menunjukkan janin dalam keadaan bahaya, harus mendapat transfusi in

utero atau dilahirkan, kematian dalam rahim dapat terjadi dalam waktu 7 -

10 hari.

3. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) atau cordocentesis

Contoh darah umbilikus diambil dengan cara aspirasi dengan jarum dengan

bantuan ultrasound, dan memungkinkan kita memeriksa darah janin yakni:

Hemoglobin dan hematokrit , Golongan darah (ABO) dan tipe Rh, Titer

Coombs direk ( antibodi yang melekat pada eritrosit janin), kadar bilirubin,

hitung retikulosit, kadar protein serum , apabila janin mempunyai Rh negatif

(sesuai dengan ibunya), tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai

sensitasi sampai akhir kehamilan., PUBS dapat menentukan hematokrit janin

dan menentukan beratnya keadaan anemia, pemeriksaan ini lebih akurat


dibanding dengan amniosentesis, dapat dipakai pada trimester ke dua (kurva

Liley hanya untuk trimester ke tiga)

4. Real time ultrasound

Dapat mendeteksi kelainan janin akibat isoimunisasi seperti:

a. Keadaan patologis dini yang mengawali hydrops fetalis seperti adanya

polihidramnion atau hepatosplenomegali pada janin.

b. Gambaran lanjut dari hydrops fetalis seperti peningkatan ekhogenitas

abdomen akibat edema, kardiomegali, asites dan hidrotoraks, edema pada

kulit kepala dan ekstremitas, kelainan postur janin ("Budha stance"),

defleksi tulang belakang akibat pembengkakan abdomen dan penurunan

aktivitas janin yang merupakan ciri khas pada kelainan hemolisis yang

berat; juga kelainan pada plasenta (hipertrofi dan penebalan akibat edema).

5. Pemeriksaan Lain

Determinasi Hemoglobin Janin:

a. Pemeriksaan mikroskopik langsung (Du test): melihat Hb janin secara

mikroskopik langsung

b. Rosette test:

Suatu uji kualitatif cukup sensitif pada perdarahan fetomaternal yang

sedikit (sekitar 4-7 eritrosit), namun harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan

kuantitatif seperti Kleinhauer-Betke acid elution test atau flow cytometri.

Contoh darah ibu yang mengandung darah janin direaksikan dengan serum

anti D komersial. Jika darah janin Rh(D) positif, maka antibodi akan

terikat. Bila darah janin sangat sedikit, aglutinasi tidak akan terjadi,

sehingga antibodi berlebih dicuci dari reaksi dan ditambahkan sel

indikator yang akan menyempurnakan proses aglutinasi dan membentuk


rosett. Jumlah rosett yang terlihat dibawah mikroskop proporsinya sesuai

dengan jumlah darah janin. Tidak adanya gambaran rosett

mengindikasikan bahwa darah janin bukan Rh(D) positif .

c. Uji Kleihauer Betke (acid elution test for fetal hemoglobin)

Darah vena ibu dianalisis terhadap keberadaan darah fetal dengan teknik

pewarnaan eosin. Dengan cara ini, Hb janin akan tampak berwarna merah

muda sedangkan Hb dewasa yang terbuang pada saat pencucian asam

hanya akan tampak sebagai “ghost cells”. Pemeriksaan ini bertujuan untuk

menentukan jumlah imunoglobulin Rh yang harus diberikan pada seorang

wanita dengan Rh negatif untuk mencegah pembentukan antibodi atau

protein abnormal lain terhadap janinnya. Semakin besar kebocoran darah

janin ke dalam darah ibu, maka semakin besar jumlah imunoglobulin yang

diperlukan. Peningkatan kadar HbF juga didapatkan pada berbagai

keadaan hemoglobinopati, pada thalasemia ß ,pada persistensi hemoglobin

herediter, pada anemi megaloblastik, anemi myelofibroaplastik,

erythroleukemia dsb.

d. Flow cytometric detection

Cara pemeriksaan ini lebih unggul dibanding pemeriksaan Kleihauer

Betke karena ternyata memiliki sensitivitas, presisi dan linearitas yang

lebih baik. Antibodi monoklonal murine yang ditujukan untuk melawan

hemoglobin fetus (HbF), yang merupakan konyugasi fluorokhrom dan

digunakan dalam pemeriksaan multiparametrik flow cytometric assay,

dikembangkan untuk menentukan jumlah sel darah merah janin dalam

darah ibu. Dilakukan metode pewarnaan intraseluler dengan menggunakan

fiksasi glutaraldehid dan Triton X-100 untuk permeabilisasi sebelum


inkubasi dengan reagen yang spesifik untuk antibodi monoklonal tersebut.

Pemeriksaan ini dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya

perdarahan fetal-maternal termasuk trauma dimana dicurigai terjadi

kerusakan plasenta, setelah amniosentesis atau pasca salin dengan

inkompatibilitas rhesus ibu dan janin. Spesifisitas dan presisi yang lebih

baik dari metoda pemeriksaan ini mengurangi jumlah positif palsu dari

pemeriksaan Kleihauer – Betke.

Pengelolaan

Kapan kita harus melakukan pemeriksaan invasif

1. Wanita hamil dengan Rh(D)-negatif yang mempunyai partner/suami dengan

Rh(D) positif. Pemeriksaan amniosentesis untuk genotyping janin dilakukan

pada awal trimester ke dua. Bila janin Rh(D)-negatif, maka tidak diperlukan

tindakan lanjutan.

2. Wanita hamil dengan partner/suami dengan golongan Rh yang sama yang

memiliki riwayat obstetri buruk yang ringan. Bila kadar antibodi stabil, tidak

terdapat kelainan pada pemeriksaansonografi serta Doppler v. umbilikalis

normal, maka dilakukan terapi ekspektatif. Bila kadar antibodi meningkat

sampai melebihi 15 IU/ml atau titer 1/128 atau terdapat peningkatan kadar

antibodi dengan cepat pada janin yang belum cukup bulan, pemeriksaan

invasif perlu dilakukan untuk menentukan terapi selanjutnya. Baik

pemeriksaan amniosentesis maupun kordosentesis sangat tergantung pada alat

yang tersedia dan umur kehamilan. Pada usia kehamilan di bawah 27 minggu,

pemeriksaan sampel darah janin lebih dipercaya untuk menentukan anemi

janin. Setelah kehamilan 27 minggu, beberapa pusat penelitian lebih suka


melakukan amniosentesis untuk menentukan janin mana yang berisiko untuk

mengalami anemi berat sebelum beralih ke pemeriksaan sampel darah janin

atau transfusi darah janin. Beberapa pusat lain lebih menyukai pemeriksaan

sampel darah janin secara serial. Dari pemeriksaan ini, kadar hematokrit di

bawah 2 SD dari rata – rata pada umur kehamilan tersebut, merupakan

indikasi untuk melakukan transfusi darah intrauterin. Jika didapatkan anemi

ringan dengan hematokrit > 30%, pemeriksaan titer Coombs direk dan hitung

retikulosit dapat dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas.

Jumlah retikulosit yang tinggi atau tes Coombs yang positif kuat dengan kadar

hematokrit yang normal menunjukkan bahwa janin berisiko untuk mengalami

anemi dan pemeriksaan perlu diulang 1–2 minggu kemudian. Jika ketiga

parameter memberikan hasil yang normal, pemeriksaan ulang dapat dilakukan

5-6 minggu kemudian.

3. Riwayat obstetrik buruk berat dengan partner/suami dengan golongan Rh

sama. Pada keadaan ini pemeriksaan sampel darah janin perlu dilakukan + 10

minggu lebih awal dari usia kehamilan saat terjadinya kematian janin atau

transfusi fetal yang lalu. Walaupun begitu, pemeriksaan ini tidak dilakukan

sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu kecuali bila sudah tampak tanda

hydrops. Setelah pemeriksaan yang pertama, tergantung hasilnya, segera

dilakukan transfusi fetal dan dilanjutkan secara teratur sampai persalinan atau

dilakukan pemeriksaan serial.

4. Kasus khusus – kematian janin sebelum kehamilan 20 minggu. Pada wanita –

wanita ini, transfusi darah janin harus dilakukan sebelum usia kehamilan 20

minggu. Risiko transfusi intravaskuler pada saat ini sangat besar sehingga

transfusi intraperitoneal lebih disukai


Penapisan Rh dan Pemberian Rh0 (D) Imunoglobulin

1. Pada kunjungan pertama tentukan golongan darah (ABO) ibu dan ayah, tipe

Rh dan skirining antibodi ( Pemeriksaan Coombs indirek).

2. Bila ibu Rh negatif, ulangi penapisan antibodi Rh pada minggu ke 26 (diulang

pada umur kehamilan minggu ke 28 - 34) bila negatif berikan imunoglobulin

Rh0 (D) Imunoglobulin 300 µg i.m.

3. Setelah persalinan, periksa golongan darah (ABO) neonatus dan tipe Rh-nya.

Bila bayinya Rh positif, ibu diberi lagi 300 µg Rh0 (D) Imunoglobulin i.m.

dalam waktu 72 jam setelah persalinan.

Kebutuhan Tambahan Terhadap Rh0 (D) Imunoglobulin

1. Bila dalam kehamilan (tidak tergantung umur kehamilan) diduga ada

perdarahan fetal-maternal, harus dilakukan pemeriksaan Kleihauer-Betke.

Apabila hasilnya positif, berikan 10 µg Rh0 (D) Imunoglobulin untuk setiap

ml darah janin yang mungkin terdapat dalam sirkulasi ibu.

2. Bila ibu Rh negatif dengan riwayat abortus dalam trimester pertama (spontan

atau diterminasi), berikan 50 µg Rh0 (D) Imunoglobulin

3. Ibu dengan Rh negatif membutuhkan 300 µg Rh0 (D) Imunoglobulin bila

akan dilakukan amniosentesis, bila terjadi kehamilan ektopik atau bila terjadi

solusio plasenta

Transfusi Intrauterin
Indikasi untuk transfusi intrauterin adalah bila pemeriksaan contoh darah

janin menunjukkan nilai hematokrit yang rendah atau bila terjadi hidrops.

Transfusi dapat diberikan secara intravaskuler, intraperitoneal atau kombinasinya.

1. Transfusi intravaskuler

Keuntungan cara ini adalah karena memungkinkan

a. Penentuan golongan darah janin. Janin mungkin memiliki golongan

Rhesus negatif sehingga pemeriksaan lanjutan tidak diperlukan.

b. Penilaian hematokrit dan hemoglobin langsung.

c. Pengukuran kadar hematokrit pra- dan pasca transfusi.

d. Memungkinkan ketepatan jumlah darah yang ditransfusikan.

e. Darah ditransfusikan ke dalam sirkulasi janin sehingga menghindarkan

transport limfatik dari rongga peritoneal.

f. Koreksi keadaan anemi lebih efektif pada keadaan hydrops.

g. Perbaikan keadaan hydrops in utero.

h. Menghindarkan trauma pada organ intraperitoneal janin.

i. Memungkinkan penentuan waktu untuk transfusi selanjutnya dan waktu

optimal untuk persalinan dengan mengukur penurunan nilai hematokrit

setiap hari.

j. Pengobatan dapat dilanjutkan sampai trimester ketiga sehingga

menghindarkan komplikasi akibat persalinan prematur atau transfusi ganti

setelahnya.

2. Transfusi Intraperitoneal

Transfusi intraperitoneal dilakukan dengan meletakkan sel darah merah

donor di dalam rongga peritoneum janin sehingga akan diabsorbsi ke dalam

sirkulasi janin melalui saluran limfatik subdiafragma dan thorax. Adanya


ascites janin akan mengurangi efektifitas dari tindakan ini. Karena itu pada

janin yang mengalami hydrops, transfusi intravaskuler lebih berhasil untuk

memperbaiki keadaan hydrops.

Teknik Trnasfusi Intraperitoneal yaitu digunakan jarum spinal no. 18

atau 20 yang dimasukkan ke rongga peritoneum janin dengan tuntunan USG.

Idealnya, jarum masuk melalui dinding perut depan dibawah v. umbilikalis

dan di atas kandung kemih sehingga trauma terhadap hepar yang mungkin

membesar dapat dihindarkan. Untuk memastikan bahwa jarum sudah masuk

ke dalam rongga peritoneum, dilakukan aspirasi cairan ascites atau bila tidak

terdapat ascites, dimasukkan sedikit larutan salin sambil dipantau dengan

USG. Dapat diberikan pankuronium bromid intraperitoneal untuk mengurangi

gerak janin. Bila jarum sudah dipastikan berada dalam rongga peritoneum,

transfusi dapat dilakukan dengan kecepatan 10 ml permenit. Pemantauan

dengan USG tetap dilakukan untuk memastikan ujung jarum berada di

tempatnya dan memantau denyut jantung janin. Jika terjadi bradikardi

menetap maka transfusi harus dihentikan.

Keuntungan antara lain sebagai berikut:

a. Merupakan cara terpilih untuk kehamilan yang sangat muda (< 18

minggu) ketika transfusi intravaskuler sangat riskan untuk dilakukan.

b. Memungkinkan untuk melakukan transfusi pada setiap posisi janin dan

plasenta.

c. Jika dikombinasikan dengan transfusi intravaskuler, memungkinkan untuk

memberikan darah dengan jumlah yang lebih banyak (sehingga

memperpanjang jarak antara 2 transfusi) tanpa kuatir membebani sirkulasi

janin secara berlebihan.


Kerugiannya antara lain sebagai berikut:

a. Tidak cocok dilakukan pada fetus hydrops.

b. Tidak dapat menentukan kadar hemoglobin sebelum dan setelah transfusi

untuk memperkirakan jumlah darah yang akan ditransfusikan.

3. Kombinasi transfusi intravaskuler dan intraperitoneal

Kombinasi cara transfusi ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah

darah transfusi tanpa membebani sirkulasi janin secara berlebihan, sehingga

dapat memperpanjang jarak antara 2 transfusi. Dari penelitian yang dilakukan

terhadap 99 kasus transfusi intrauterin dan 59 diantaranya mendapat transfusi

kombinasi, ternyata terdapat perbedaan jarak antara 2 transfusi yang

bermakna. Walaupun perbedaan waktu ini hanya 3 hari, tetapi ternyata kadar

hematokrit sebelum transfusi pada kasus yang mendapat transfusi kombinasi

adalah 3,9 g/dl lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semua darah yang

ditransfusikan intraperitoneal diabsorbsi secara efektif.

Teknik transfusi kombinasi adalah dengan melakukan transfusi

intravaskuler terlebih dahulu. Jumlah darah yang ditransfusikan adalah jumlah

yang dibutuhkan untuk mencapai kadar hematokrit 40%. Selanjutnya, jarum

dilepaskan dari tempat tusukan di v. umbilikalis dan dimasukkan ke rongga

peritoneum janin. Jumlah darah yang ditransfusikan intraperitoneal adalah

jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai kadar hematokrit 60% bila diberikan

secara intravaskuler.

Anda mungkin juga menyukai