Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA 1

Ikterus Neonatorum akibat Inkompatibilitas ABO


Angeline Bongelia Friska
102012347
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11510
angelinefriska94@yahoo.com

ABSTRAK
Ikterik neonatorum dapat disebabkan oleh inkompatibilitas system ABO pada ibu dan
anak. Ibu akan membentuk antibodi terhadap anak yang menyebabkan hemolisis atau destruksi
eritrosit neonatus yang mengakibatkan timbulnya ikterus pada anak. Ikterus ini dapat terjadi
setelah 24 jam setelah kelahiran. Manifestasi klinis yang dapat muncul berupa ikterik, anemia
ringan tanpa disertai pucat, polikromasia, retikulositosis, dan sferositosis. Penatalksanaan yang
paling baik adalah dengan fototerapi, namun jika semakin parah dapat dilakukan transfuse tukar.
Kata Kunci : Gejala klinis, Penatalaksanaan Ikterik Neonatorum akibat Inkompatibilitas ABO.

ABSTRACT
Neonatal jaundice can be caused by ABO incompatibility system between the mother and
child. The mother will make antibodies against children which causes erythrocyte hemolysis or
destruction. Jaundice can occur after 24 hours after birth. The clinical manifestations that may
occur are jaundice, mild anemia without the pale, polikromasia, reticulocytosis, and
spherocytosis . The best management of the jaundice is phototherapy , but if it gets worse can do
exchange transfusion
Keywords : Clinical Symptoms , Treatment Neonatorum jaundice due to ABO incompatibility.

TINJAUAN PUSTAKA 2

PENDAHULUAN
Ikterus dapat merupakan suatu pertanda adanya penyakit (patologik) atau adanya
gangguan fungsional (fisiologik). Dikatakan ikterus patologik apabila di dapati ikterus dengan
dasar patologik atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia yaitu
bila peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin
serum lebih dari 15 mg/dl (250 mol/L) pada bayi cukup bulan dan 12 mg/dl (250 mol/L) pada
bayi kurang bulan. Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab yang
paling sering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas golongan
darah (Rh, ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis hematom dan lainlain. Pada Inkompatibilitas ABO, hiperbilirubinemia lebih menonjol dibandingkan dengan
anemia dan timbulnya pada 24 jam pertama.1
Inkompatibilitas ABO adalah ketidak sesuaian golongan darah antara ibu dan bayi.
Inkompatibilitas ABO dapat meyebabkan reaksi isoimun berupa hemolisis yang terjadi apabila
antibodi anti-A dan anti-B pada ibu dengan golongan darah O, A, atau B dapat melewati plasenta
dan mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B, atau AB pada janin. Ibu dengan
golongan darah A atau B antibodi alami yang dimilikinya berupa antibodi kelas IgM yang tidak
dapat menembus plasenta. Sedangkan pada ibu dengan golongan darah O antibodi alaminya
didominasi oleh antibodi kelas IgG yang dapat menembus plasenta. Antibodi anti-A dan anti-B
pada ibu dengan golongan darah O yang dapat melewati plasenta akan mensensitisasi sel darah
merah dengan antigen A, B, atau AB pada janin. Meski inkompatibilitas ABO tidak
menyebabkan hidrops fetalis seperti pada kasus isoimunisasi Rh, namun penyakit ini masih
berpotensi menjadi alasan di balik kasus anemia dan ikterus pada neonatus.1
Pada makalah ini saya akan membahas mengenai ikterik pada neonatus yang disebabkan
oleh inkompabilitas sistem ABO antara ibu dan anak. Saya berharap makalah ini dapat
membantu mahasiswa memahami lebih dalam mengenai tanda, gejala, terlebih penatalaksanaan
yang harus dilakukan saat mendapat pasien neonates dengan ikterik.

TINJAUAN PUSTAKA 3

ISI
ANAMNESIS
Pada anamnesis yang dilakukan secara alloanamnesis pada ibu, hal-hal yang perlu
ditanyakan guna menegakkan diagnosis adalah riwayat kehamilan dengan komplikasi (obatobatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal), penyakit ibu semasa
hamil dapat menjadi faktor predisposisi penyebab ikterus neonatorum karena membuat bayi
menjadi sepsis, tes TORCH juga ditanyakan untuk menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan
ikterus akibat infeksi congenital, riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi, riwayat
kehamilan yang perlu ditanyakan adalah berbagai permasalahan pada saat sang ibu melahirkan
(trauma lahir), riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya, riwayat
inkompatibilitas darah. Riwayat inkompatibilitas darah wajib ditanyakan karena berhubungan
dengan penegakkan diagnosis kerja dan karena prevalensiikterus neonatorum akibat
inkompatibilitas darah cukup tinggi serta riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran
hepar dan limpa.1
PEMERIKSAAN FISIK
Ikterik pada neonates dengan inkompatibilitas ABO terlihat setelah kurang dari 24 jam
post partum. Pemeriksaan ikterik dilakukan pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup.
Ikterus akan terlihatlebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan
yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Untuk menilai kadar bilirubin secara klinis, Kramer memperkenalkan penilaian klinis
derajat ikterus neonatal. Penilaian tersebut adalah sebagai berikut; kramer I (daerah kepala
dengan bilirubin total 5 7 mg), kramer II (daerah dada pusat dengan bilirubin total 7 10
mg%), kramer III (perut dibawah pusat - lutut dengan bilirubin total 10 13 mg), kramer IV
(lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki dengan bilirubin
total 13 17 mg%), dan kramer V (hingga telapak tangan dan telapak kaki dengan bilirubin
total >17 mg%).1
Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan
adanya hepatosplenomegali, petekie, dan mikrosefali pada bayi-bayi dengan anemia hemolitik,

TINJAUAN PUSTAKA 4

sepsis, dan infeksi kongenital. Temuan diagnosis yang tipikal pada bayi dengan ibu alloimunisasi ialah ikterik, kulit pucat dan hepatosplenomegali, hidrops fetal dapat ditemukan pada
kasus yang hebat. Kadang hiperbilirubinemia yang terkonjugasi dapat ditemukan dikarenakan
disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada bayi-bayi dengan kasus hemolitik yang berat.
Anemia yang terjadi sering oleh karena destruksi sel darah merah yang diselimuti oleh antibodi
oleh sistem retikuloendotelial dan pada beberapa janin, anemia terjadi karena destruksi
intravaskuler. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa pada kasus

berat dapat

ditemukan hidrops fetal dan hidrops fetal ini merupakan hasil akhir dari kombinasi beberapa
mekanisme tubuh yang terjadi di dalam tubuh janin, yaitu oleh karena hipoksia janin, anemia,
gagal jantung kongestif, dan hipoproteinemia sekunder akibat disfungsi hepatik. Secara klinis,
ikterus yang signifikan terjadi pada 20% janin dengan inkompatibilitas ABO namun hanya 5%
saja yang memberikan manifestasi klinis yang jelas.2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Dalam uji laboratorium,
bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek
diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan bilirubin direk. Ikterik kerap nampak jika
kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15
mg/dl, namun jika masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14
hari, sedangkan jika kadarnya >15 mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus
patologik.
Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi dilakukan untuk mengetahui apakah
terjadi inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah
Pada pemeriksaan darah akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi,
retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat
mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang
ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis.
Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang

TINJAUAN PUSTAKA 5

rendah dapat diamati pada bayi yang sudah melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan
konsentrasi hemoglobin normal, dan temuan apus darah yang normal.
Pemeriksaan Coombst test adalah pemeriksaan

yang digunakan untuk mendeteksi

adanya antibodi pada permukaan eritrosit dan anti-ab eritrosit dalam serum.

Antibodi ini

menyelimuti permukaan sel eritrosit yang meyebabkan umur eritrosit menjadi lebih pendek dan
sering menyebabkan reaksi inkompetibel pada transfuse darah. Pemeriksaan Coombs test
dilakukan secara direk (langsung) dan indirek (tidak langsung). Direct Coombs Test juga dapat
dilakukan pada bayi yang baru lahir dengan darah Rh+ yang ibunya memiliki Rh-. Hasil
pengujian akan menunjukkan apakah darah ibu telah membuat antibodi dan apakah antibodi
tersebut telah pindah kepada bayi melalui plasenta. Indirect Coombs Test umumnya dilakukan
sebelum transfusi darah dan dapat juga untuk menentukan titer antibodi Rh+ pada darah seorang
wanita Rh-. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam
periode 1 hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu
diidentifikasi dan ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan
kekhawatiran karena antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan
hemolisis. Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui menyebabkan anemia hemolitik, dan jika
titer di atas ambang kritis diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut. Untuk antibodi titer-D, titer
di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan kematian janin pada penyakit hemolitik, meskipun
hal ini bervariasi antara lab. Titer yang sama atau lebih dari kritis ini menandakan kemungkinan
penyakit hemolitik yang parah. Test antibodi direk akan positif hanya pada 20-40% bayi dengan
inkompatibilitas ABO. Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan
anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh+,
anti A, anti B dari neonatus).1-3
DIAGNOSIS KERJA
Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi
berbeda sewaktu masa kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A, B, AB dan O.
Golongan darah ditentukan melalui tipe molekul (antigen) pada permukaan sel darah merah. Jika
individu dengan golongan darah A memiliki antigen A, dan golongan darah B memilki antigen B,
golongan darah AB memiliki baik antigen A dan B sedangkan golongan darah O tidak memiliki

TINJAUAN PUSTAKA 6

antigen. Golongan darah yang berbeda menghasilkan antibodi yang berbeda-beda. Ketika
golongan darah yang berbeda tercampur, suatu respon kekebalan tubuh terjadi dan antibodi
terbentuk untuk menyerang antigen asing di dalam darah. Inkompatibilitas ABO seringkali
terjdai pada ibu dengan golongan darah O dan bayi dengan golongan darah baik A atau B. Ibu
dengan golongan darah O menghasilkan antibodi anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk
memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel darah merah janin. Penhancuran sel darah
merah menyebabkan peningkatan produksi bilirubin, yang merupakan produk sisa. Apabila
terlalu banyak bilirubin yang dihasilkan, akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan
ikterus akan memerlukan fototerapi atau transfusi ganti untuk kasus berat. Apabila bayi tidak
ditangani, bayi akan menderita cerebral palsy. Sampai saat ini, tidak ada pencegahan yang dapat
memperkirakan inkompatibilitas ABO. Tidak seperti inkompatibilitas Rh, inkompatibilitas ABO
dapat terjadi pada kehamilan pertama dan gejalanya tidak memburuk pada kehamilan
berikutnya.3
DIAGNOSIS BANDING
Inkompatibilitas Rhesus adalah kondisi medis dimana ibu dengan darah rhesus negatif
(Rh-negatif) dan bayi dengan darah rhesus positif (Rh-positif) sewaktu kehamilan. Perbedaan
golongan darah yang ditandai dengan tipe protein yang ditemukan pada permukaan sel darah
merah. Apabila faktor protein Rh muncul, individu dikatakan Rh positif. Di sisi lain, tidak
ditemukannya

faktor

Rh

mengindikasikan

individu

tersebut

merupakan

Rh-negatif.

Inkompatibilitas Rh hanya dapat terjadi ketika ibu dengan Rh-negatif dan janinnya dengan Rhpositif. Sistem kekebalan tubuh ibu menganggap sel-sel janin sebagai benda asing, menyebabkan
antibodi anti-Rh memasuki peredaran darah bayi dan menghancurkan sel-sel darah merah bayi.
Inkompatibilitas Rh sering tidak menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, akan tetapi,
risiko meningkat seiring dengan setiap kehamilan. Hal ini terjadi karena darah ibu berespon
terhadap antibodi anti-Rh yang dihasilkan terhadap sel darah merah Rh-positif (darah ibu
dikatakan tersensitasi) akibat percampuran darah setelah melahirkan anak pertama. Pada
kehamilan berikutnya dengan bayi Rh-positif, antibodi anti-Rh akan mengenali janin sebagai
benda asing dan menyerang sel-sel darah merah janin. Hal ini berpotensi menyebabkan
komplikasi yang mengancam jiwa pada bayi, seperti anemia, ikterus, kerusakan otak, kematian

TINJAUAN PUSTAKA 7

prematur janin di dalam kandungan ibu. Berikut tabel perbandingan inkompabilitas ABO dan Rh
(Tabel 1).4
Tabel 1. Perbandingan Inkompabilitas ABO dan Rh.4
Characteristics
Clinical aspects

Rh

ABO

First Born

5%

50%

Later pregnancies

More severe

No increased severity

Stillborn/hydrops

Frequent

Rare

Severe anemia

Frequent

Rare

Jaundice

Moderate to severe,

Mild

Frequent

Laboratory findings

Late anemia

Frequent

Rare

Direct antibody test

Positive

Weakly positive

Indirect Coombs test

Positive

Usually positive

Spherocytosis

Rare

Frequent

GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis yang terlihat dapat berupa bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning
apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin
indirek pada kulit mempunyaikecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga;
sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning kehijauan atau
kuning kotor. Pada inkompatibilitas ABO, sebagian besar kasusnya ringan, dengan ikterus
sebagai satu-satunya manifestasi klinis. Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saat
lahir; tidak ada pucat dan hidrops fetalis sangat jarang. Jika ditemukan, hati dan limpa tidak
sangatmembesar. Ikterus biasanya muncul dalam 24 jam pertama. Jika ikterus ini tidak ditangani,
dapat menjadi cukup berat dan menyebabkan kernikterus sampai kematian. Anemia biasanya
ringan atau tidak ada, dan tidak didapat tanda- tanda pucat. Konsentrasi hemoglobin biasanya

TINJAUAN PUSTAKA 8

normal, tapi bisa juga rendah sebesar 8 mg/dl. Polikromasia, retikulositosis (naik sampai 30%),
dan peningkatan jumlah sel darah merah yang berinti ini dapat dilihat. Sferositosis (naik sampai
40%) terlihat pada neonatus yang secara klinis mengalami penyakit hemolitik ABO.5
ETILOGI
Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab dari penyakit hemolitik pada
neonatus. Penyakit ini diakibatkan antibodi anti-A dan anti-B serta komponen lainnya dari ibu
masuk ke peredaran darah janin melewati plasenta. Biasanya, kasus ini terjadi pada janin
dengangolongan darah A atau B dari ibu yang bergolongan darah O, karena antibodi yang
ditemukan pada golongan darah O ibu adalah dari kelas IgG, sedangkan ibu dengan golongan
darah atau B juga mempunyai anti-B (pada golongan darah A) dan anti-A (pada golongan darah
B) yang sebagian besar didominasi dari kelas IgM.6
EPIDEMIOLOGI
Inkompatibilitas ABO merupakan penyebab tersering penyakit hemolitik pada neonatus.
Inkompatibilitas ABO paling sering terjadi pada kehamilan pertama dan terjadi pada kira-kira
12% kehamilan, dengan 3% neonatus mengalami gejala klinis. Kurang dari 1% kehamilan
berkaitan dengan hemolisis signifikan.6
PATOFISIOLOGI
Inkompabilitas golongan darah utama antara ibu dan janin biasanya mengakibatkan
penyakit yang lebih ringan daripada penyakit inkompabilitas Rh. Antibodi ibu akan dibentuk
melawan sel B jika ibu adalah golongan darah A atau melawan sel A jika ibu adalah golongan
darah B. namun biasanya ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan A atau B. walaupun
inkompabilitas ABO terjadi pada 20-25% kehamilan, penyakit hemolitik hanya berkembang
pada 10% dari bayi-bayi ini, dan biasanya bayinya adalah golongan A1, yang sifatnya lebih
antigenik daripada A2. Antigenitas faktor ABO yang rendah pada janin dan bayi baru lahir dapat
menyebabkan insidens penyakit hemolitik ABO berat yang relative rendah dibandingkan
insidens inkompabilitas tantara golongan darah ibu dan anak. Walaupun antibodi terhadap faktor
A dan B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibody alamiah), faktor-faktor ini biasanya
terdapat pada fraksi 19S (IgM) gama globulin, dan tidak melewati plasenta, namun antibodi

TINJAUAN PUSTAKA 9

terhadap antigen A uniavalen innkomplit (albumin aktif) yang terdpat pada fraksi 7S (IgG) dpat
melewati plasenta, sehingga penyakit hemolitik isoimun A-O dapat ditemukan pada bayi pertama
yang dilahirkan. Ibu yang telah menjadi imun terhadap faktor A atau B dari kehamilan
inkompatibel sebelumnya juga menunjukkan antibodi dalam fraksi gamma globulin 7S. antibodi
imun ini terutama merupakan faktor mediator penyakit isoimun ABO. 7
PENATALAKSANAAN MEDIKAMENTOSA
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan Hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan
mempunyai tujuan menghilangkan anemia, menghilangkan antibodi maternal dan eritrosit
tersensitisasi, meningkatkan badan serum albumin, menurunkan serum bilirubin.
Fenobarbital
Fenobarbital memperbesar konjugasi dan eksresi bilirubin. Pemberiannya akan
membatasi perkembangan ikterus fisioogis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan
dosis 90mg/24 jam sebelum persalinan atau pada bayi saat lahir dengan dosis 10mg/kg/24 jam.
Meskipun demikian, fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada
bayi neonatus.
Timah (Sn)-protoporfirin
Pemberiannya juga telah diusulkan untuk mengurangi kadar bilirubin. Timah tersebut
dapat menghambat konversi biliverdin menjadi bilirubin melalui heme oksigenase. Walaupun
kadar bilirubin dapat turun, pengaruhnya tidak lebih besar daripada yang dicapai dengan
fototerapi. Komplikasi dapat berupa eritema sementara jika bayi sedang menjalani fototerapi.8
PENATALAKSANAAN NON MEDIKAMENTOSA
Fototerapi dapat efektif dlam menurunkan kadar bilirubin serum. Jika tidak, pengobatan
diarahkan pada koreksi tingkat anemia atau hiperbilirubinemia yang membahayakan dengan
jalan melakukan transfuse tukar memakai darah yang golongannya sama seperti golongan darah
ibu.

TINJAUAN PUSTAKA 10

Fototerapi
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Beberapa
ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototherapi profilaksis pada 24 jam pertama pada bayi
resiko tinggi dan berat badan lahir rendah (BBLR). Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan
dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa
dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapat dikeluarkan melalui urin dan feses. Di
samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam
cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam
usus sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin keluar bersama faeces. Foto terapi
mengubah bilirubin alamiah melalui suatu reaksi yang menetap pada isomer bilirubin struktural
yang diekskresi oleh ginjal pada keadaan yang tidak terkonjugasi, dengan demikian kadar
bilirubin akan menurun.. Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam dan tidak melebihi 500
jam. Masukan cairan yang adekuat akan meminimalkan kadar bilirubin. Masukan cairan rumatan
harus ditingkatkan hingga 30% bahkan 100% bila bayi sedang mendapat fototerapi untuk
mengkompensasi kehilangan cairan insensible.
Komplikasi fototerapi dapat berupa dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan
mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada BBLR
kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar. Frekuensi defikasi meningkat sebagai
meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus, timbul
kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa kulit kemerahan) tetapi akan
hilang setelah terapi selesai, gangguan retina bila mata tidak ditutup, kenaikan suhu akibat sinar
lampu. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan
diberikan ekstra minum. Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.
Transfusi Tukar
Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi semua keadaan dengan kadar
bilirubin indirek < 20 mg% , kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam,
anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, serta bayi dengan kadar
hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk positif.

TINJAUAN PUSTAKA 11

Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas bilirubin
ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai tambahan, prosedur
ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops,
atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi. Transfusi
tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan ketika bayi mengalami
ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO sehingga jenis ikterusnya dapat
dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki risiko neurotoksisitas yang lebih tinggi
dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini dilakukan dengan mengurangi kadar bilirubin
hingga hampir 50% dan juga menghilangkan sekitar 80% sel darah merah abnormal yang telah
tersensitisasi serta melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat
invasif dan bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko mortalitas
sebesar 1-5%, dapat pula

berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC), infeksi,

gangguan elektrolit, ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus dilakukan secara hatihati. Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk mempercepat
keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya akan lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus
hemolisis yang diperantarai oleh antibodi.8
KOMPLIKASI
Komplikasi dari penyakit hemolitik adalah kernicterus yaitu keadaan dimana bilirubin
terbawa oleh darah sampai ke otak sehingga menyebabkan kerusakan otak baik sementara
maupun permanen. Selain itu jika terjadi anemia yang berat dapat menyebabkan gagal jantung.
Dapat juga menyebabkan hidrops fetalis dimana janin yang cacat keluar spontan kira-kira pada
usia kehamilan 17 minggu.8
PROGNOSIS
Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun dapat berkurang
sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin yang bertahan hidup dari
gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau begitu, abnormalitas

TINJAUAN PUSTAKA 12

neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat beratnya anemia dan asfiksia perinatal.
Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.8
PENCEGAHAN
Bentuk-bentuk pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kemungkinan
hiperbilirubinemia pada bayi, antara lain; pengawasan antenatal yang baik, menghindari obat
yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa gestasi dan kelahiran, seperti
sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain, pencegahan dan mengobati hipoksia pada
janin dan neonates, iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir, pemberian makanan dini,
pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.8

KESIMPULAN
Ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas ABO merupakan psalah satu penyebab
tersering pada kelahiran bayi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ketidakcocokan sistem
golongan darah ibu dan anak dimana antibodi ibu menyerang eritrosit bayi sehingga
menyebabkan hemolisis dan terjadi peningkatan bilirubin dengan manifestasi klinis berupa
ikterik/kuning pada 24 jam setelah kelahiran. Penatalaksanaan pada ikterus neonatorum karena
inkompatibilitas ABO dapat berupa fototerapi, transfuse tukar dan dapat juga didukung oleh
pemberian fenobarbital dan timah-protoporfirin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Swartz M. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2010.h. 128-30.3.
2. Abraham MR, Julien IE, Hoffman CD, Rudolph. Buku ajar pediatri Rudolph. Jakarta: EGC;
2009.h.183-9.4.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi ke-15. Jakarta:
EGC; 2000.h.682.5.
4. Waldron PE, Cashore WJ, editors. Hemolytic diseases of the fetus and newborn. Cambridge:
Cambridge University Press; 2005.h.91-119

TINJAUAN PUSTAKA 13

5. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia harper. Edisi ke-22. Jakarta:
EGC; 2001.h.393-9.
6. Etika R, Harianto A, Indarso F. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Divisi Neonatologi bagian
Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya; 2006: h.3.8.
7. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 2, edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI;
2007: h.5049.
8. Miall L, Rudolf M, Levene M. Paediatrics at a glance. Second edition. USA: Blackwell

Publishing, 2007.p.53-72.

Anda mungkin juga menyukai