Usia : 58 tahun
Agama : Islam
No. RM : 74.23.94
ANAMNESA
Os datang ke RS dengan keluhan batuk berdahak yang sulit dikeluarkan sejak 1 bulan
SMRS. Demam dirasakan naik turun intermitten, pilek (+), suara serak (+), tenggorokan
nyeri bila menelan. Keluhan BB menurun, berkeringat pada malam hari disangkal. Os
mengeluhkan mata dan kulit bewarna kuning, perut dan kedua kaki sering bengkak, mual (+),
muntah (-), muntah bewarna hitam (-), perut terasa kembung, nyeri ulu hati (+) perih, nafsu
makan menurun, badan terasa lemas. BAB bewarna hitam disangkal. BAB tidak ada keluhan,
biasa dan tidak diare. BAK bewarna teh pekat. Riwayat transfusi darah disangkal.
Os dengan riwayat sirosis hepatis dengan hepatitis C sejak 9 tahun yang lalu. Dari awal
pengobatan Os teratur kontrol, namun karna tugas di daerah Os tidak kontrol dan melakukan
kontrol terakhir 3 tahun yang lalu. Pengobatan terakhir yaitu Hp pro, aldactone, furosemid.
Os membeli obat sendiri di apotek selama 3 tahun. Riwayat muntah darah dan BAB bewarna
hitam (+), Kedua tungkai sering bengkak dan perut terasa begah, semakin membesar
dirasakan sejak 9 tahun yang lalu.
- Hepatitis C
- Sirosis sejak 9 tahun yang lalu
- Diabetes Mellitus (-)
- Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- TB paru (-)
Riwayat Alergi
Os tidak memiliki alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan dan cuaca dingin disangkal
Riwayat Pengobatan
Riwayat Psikososial
Makan teratur 3 kali sehari. Minum jamu (-), merokok (-), riwayat konsumsi alkohol (-).
Riwayat transfusi darah (-). Aktifitas kurang, jarang berolahraga.
PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
TD : 130/80 mmHg
N : 80x/menit
RR : 20x/menit,
S : 36,5 oC
Status gizi
BB : kg
TB : cm
IMT : (Obesitas I)
Keadaan Umum
Kesadaran : Composmentis
Status Generalis
Mata : Alis madarosis (-), bulu mata rontok (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(+/+), refleks pupil (+/+), d 2 mm, isokor dextra-sinistra. Edema palpebra (-/-),
pergerakan mata kesegala arah baik.
Kulit : Kulit warna sawo matang, kering (+), efloresensi (+), scar (+) di regio abdomen, ikterus pada
kulit (+), sianosis (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), kulit kaki bewarna hitam
dextra-sinistra.
KGB : Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula
serta tidak ada nyeri penekanan
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-), polip nasal (-/-), nyeri tekan (-),
hidung bagian luar tidak ada kelainan, pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, nyeri tekan processus mastoideus (-/-), otore (-/-), darah (-/-), pendengaran
baik
Mulut : Bibir kering (+), stomatitis (-), lidah tidak kotor dan tremor, gusi berdarah (-), gigi
geligi lengkap, faring hiperemis (+), T1/T1
Dada : Normochest
PULMO
Inspeksi Statis : Bentuk dan pergerakan simetris dextra-sinistra, scar (-), retraksi otot
pernapasan (-)
Dinamis : Bentuk dan pergerakan simetris dextra-sinistra, scar (-), retraksi otot
pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris dextra-sinistra, nyeri tekan (-/-), tidak ada bagian dada
yang tertinggal saat bernapas
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru, batas paru-hepar setinggi ICS VI,
midclavicularis dextra
Kesan : abnormal
JANTUNG
ABDOMEN
Inspeksi : cembung membesar, distensi (-), scar (+) post appendektomi dan SC, caput
medusa (-), spider nevi (-), venectasi (-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan abdomen (-), Hepatomegali (-),
splenomegali (+) S 6, rebound sign (-), Ballotement (-/-)
Perkusi : timpani pada 4 kuadran abdomen, shifting dullness (+), undulasi tes (+)
PUNGGUNG : Vokal fremitus simetris dextra-sinistra, nyeri ketok (-) skoliosis (-) kifosis
(-) lordosis (-), CVA -/-
EXTREMITAS
Atas : akral hangat, kulit kering, udem (-/-), palmar eritem (-), peteki (-), ekimosis (-)
Bawah : akral hangat, kulit kering bersisik warna kulit kaki hitam, udem tungkai (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
01 Agustus 2011
Diff Count
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil H5 % 1–3
Neutrofil 69 % 52 – 76
Limfosit L 18 % 20 – 40
Monosit 6 % 2–8
Hematokrit L 35 % 37 – 43
LED H 60 Mm 0 – 20
Hemostasis
MIKROBIOLOGI
Specimen Sputum
Leukosit : 30 – 40 / LPK
Epitel : 40 – 50 / LPK
Negative
Negative
Negative
Ro Thorax
LIMPA membesar
v. Lienalis melebar
Bentuk normal
Dinding menebal
Batu negative
PANKREAS normal
Lain-Lain Asites
Follow Up
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil H8 % 1–3
Neutrofil 60 % 52 – 76
Limfosit L 16 % 20 – 40
Monosit H 13 % 2–8
Hematokrit L 36 % 37 – 43
Trombosit L 49 103/ µL 150 – 440
RESUME
ASSESSMENT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh, rata-rata sekitar 1.500 gr atau 2,5 %
berat badan pada orang dewasa normal. Permukaan superior adalah cembung dan
terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati
adalah cekung dan merupakan atap ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati
memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior
dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tdak terlihat dari luar. Lobus kiri
dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat
dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding
depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil
pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa
ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah
peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yag dinamakan kapsula Glisson, yang
meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di
permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk rangka untuk
cabang-cabang vena porta, arteria hepatika, dan saluran empedu.(Sylvia, 1995)
Struktur mikroskopik
Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan
heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun radial
mengelilingi vena sentralis. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang
dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika. Tidak
seperti kapiler lain, sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer
merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan
benda asing lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai massa sel
monosit-makrofag yang lebih banyak daripada yang terdapat dalam hati, jadi hati
merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen
toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian
perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular
membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang dinamakan kanalikuli, berjalan
ditengah-tengah lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi
ke dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin
besar, hingga menjadi saluran empedu yang besar (duktus koledokus). (Sylvia, 1995)
2.3 Klasifikasi
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum
adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-
gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari
proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis.
Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul
lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran
mikro dan makronodular. Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara
etiologis dan morfologis menjadi :
1. Alkoholik
2. Kriptogenik dan Post hepatitis (pasca nekrosis)
3. Biliaris
4. Kardiak
5. Metabolik, keturunan, dan terkait obat
(Nurdjanah, Siti. 2007)
2.4 Etiologi
a. Penyakit Infeksi
- Bruselosis
- Ekinokokus
- Skistomiasis
- Toksoplasmosis
- Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)
2.5 Patogenesis
Gambar 1. Patogenesis Fibrosis dan Sirosis Hati (Teks dan Atlas Berwarna
Patofisiologi hal.173)
Meskipun etiologi dari berbagai bentuk sirosis tidak dimengerti dengan baik, ada
tiga pola khas yang ditemukan pada kebanyakan kasus sirosis Laennec, postnekrotik,
dan biliaris. Sirosis dapat juga terjadi setelah penyumbatan pada aliran keluar darah
atau setelah kerusakan hati lain, misal pada stadium akhir penyakit penyimpanan
(hemokromatosis, penyakit Wilson) atau defisiensi enzim yang ditentukan secara
genetik.
Factor yang terlibat dalam kerusakan sel hati adalah :
- defisiensi ATP akibat gangguan metabolisme energy sel
- peningkatan pembentukan metabolit oksigen yang sangat reaktif
- defisiensi antioksidan (misal, glutation) dan/atau kerusakan enzim perlindungan
(glutation peroksidase, superoksidase dismutase) yang timbul bersamaan.
Metabolit O2 misalnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid
(peroksidase lemak). Hal ini membantu terjadinya kerusakan membran plasma dan
organel sel (lisosom, reticulum endoplasma). Akibatnya, konsentrasi Ca 2+ di sitosol
meningkat, yang mengaktifkan protease dan enzim lain sehingga akhirnya terjadi
kerusakan sel yang bersifat ireversibel. Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap. Jika
hepatosit yang rusak mati, diantaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan
pelepasan sitokim dari matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan debris sel yang
mati akan mengaktifkan sel Kupffer di sinusoid hati dan menarik sel inflamasi
(granulosit, limfosit, dan monosit). Berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin kemudian
dilepaskan dari sel Kupffer dan dari sel inflamasi yang terlibat. Faktor pertumbuhan ini
dan sitokin selanjutnya :
- Mengubah sel ito penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas
- Mengubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag aktif
- Memicu proliferasi fibroblast
Aksi kemotaktik transforming growth factor β (TGF-β) dan protein kemotaktik
monosit 1 (MCP-1), yang dilepaskan dari sel ito (dirangsang oleh tumor necrosis factor
α (TNF-α), platelet-derived growth factor (PDGF), dan interleukin) akan memperkuat
proses ini, demikian pula dengan sejumlah zat sinyal lainnuya. Akibat sejumlah
interaksi ini (penjelasan yang lebih rinci belum sepenuhnya dipahami), pembentukan
matriks sel ditingkatkan oleh miofibroblas dan fibroblast, berarti menyebabkan
peningkatan penimbunan kolagen (tipe I, III dan IV), proteoglikan (dekorin, biglikan,
lumikan, agrekan) dan glikoprotein (fibronektin, laminin, tenaskin, undulin) di ruang
Disse. Fibrosis glikoprotein di ruang Disse menghambat pertukaran zat antara sinusoid
darah dan hepatosit, serta meningkatkan resistansi aliran di sinusoid.
Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak (mula-mula oleh metaloprotease),
dan hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika nekrosis terbatas di lobules hati,
penggantian struktur yang sempurna dimungkinkan terjadi. Namun, jika nekrosis telah
meluas menembus parenkim oerifer lobules hati, akan terbentuk septa jaringan ikat.
Akibatnya, regenerasi fungsional yang sempurna tidak mungkin lagi terjadi dan akan
terbentuk nodul (sirosis). (Lang, Florian. 2007)
Sirosis Laennec
Sirosis Laennec (juga disebut sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi) merupakan
suatu pola sirosis yang aneh yang dihubungkan dengan penyalahgunaan alkohol kronik.
Sirosis jenis ini merupakan 50% atau lebih dari seluruh kasus sirosis. Hubungan yang
pasti antara penyalahgunaan alkohol dengan sirosis Laennec tidaklah diketahui,
meskipun asosiasi keduanya demikian jelas dan pasti. Perubahan pertama pada hati
yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara gradual di dalam sel-sel hati
(infiltrasi lemak). Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan
metabolik, termasuk pembentukan trigliserida secara berlebihan, pemakaiannya yang
berkurang dalam pembentukan lipoprotein, dan penurunan oksidasi asam lemak.
Mungkin pula bahwa individu yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan,
tidak makan secara layak dan gagal mengkonsumsi protein dalam jumlah yang cukup
untuk menghasilkan faktor-faktor lipotropik yang diperlukan untuk transpor lemak
dalam jumlah cukup (kolin dan metionin). Diketahui bahwa diet rendah protein akan
menekan aktivitas dari dehidrogenase alkohol, yaitu enzim utama dalam metabolisme
alkohol. Namun demikian, sebab utama kerusakan pada hati diduga merupakan efek
langsung alkohol terhadap sel-sel hati, yang akan diperberat oleh keadaan malnutrisi.
Degenerasi lemak yang tak berkomplikasi pada hati seperti yang dapat terlihat pada
alkoholisme dini, dapat reversibel asalkan individu tersebut berhenti minum alkohol;
beberapa kasus dari kondisi yang relatif jinak ini akan berkembang menjadi sirosis.
Secara makroskopis, hati membesar, rapuh, dan tampak berlemak, dan mengalami
gangguan fungsional akibat akumulasi lemak yang banyak tersebut.
Bila kebiasaan minum alkohol diteruskan, apalagi bila menjadi semakin hebat,
maka terjadi sesuatu (belum diketahui apa) yang akan memacu seluruh proses sehingga
akan terbentuk jaringan parut yang tersebar luas. Sebagian pakar yakin bahwa lesi kritis
dalam perkembangan sirosis hati mungkin adalah hepatitis alkoholik. Hepatitis
alkoholik ditandai secara histologis oleh nekrosis hepatoselular dan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear (PMN) di hati. Akan tetapi, tidak semua pasien yang memiliki lesi
hepatitis alkoholik akan berkembang menjadi sirosis hati yang lengkap.
Pada kasus sirosis Laennec yang sangat lanjut, lembaran-lembaran jaringan ikat
yang tebal terbentuk pada pinggir-pinggir lobulus, membagi parenkim menjadi nodula-
nodula halus. Nodula-nodula ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai
usaha hati untuk mengganti sel-sel yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang-sarang
sel-sel degenerasi dan regenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosa yang tebal.
Pada keadaan ini, sirosis sering disebut sebagai sirosis nodular halus. Hati akan
menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada stadium akhir sirosis,
dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati. (Sylvia,1995)
Sirosis Postnekrotik
Ciri yang agak aneh dari sirosis postnekrotik adalah bahwa tampaknya merupakan
predisposisi terhadap neoplasma hati primer (hepatoma). Hal ini juga terlihat pada
sirosis Laennec, namun dalam derajat yang lebih ringan. (Sylvia, 1995)
Sirosis biliaris
Kerusakan sel hati yang dimulai di sekitar duktus biliaris akan menimbulkan pola
sirosis yang dikenal sebagai sirosis biliaris. Tipe ini bertanggung jawab atas 15% dari
seluruh kasus sirosis. Penyebab sirosis biliaris yang paling umum adalah obstruksi
biliaris posthepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa
hati dengan akibat kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi
lobulus, namun jarang memotong lobulus seperti pada sirosis Laennec. Hati membesar,
keras, bergranula halus, dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal
dan primer dari sindrom, demikian pula pruritus, malabsorpsi dan steatorea.
Sirosis biliaris primer menampilkan pola yang agak mirip dengan sirosis biliaris
sekunder yang baru saja dijelaskan di atas, namun lebih jarang ditemukan.
Penyebabnya yang berkaitan dengan lesi-lesi duktulus empedu intrahepatik, tidak
diketahui. Sumbat empedu sering ditemukan dalam kapiler-kapiler dan duktulus
empedu, dan sel-sel hati seringkali mengandung pigmen hijau. Saluran empedu
ekstrahepatik tidak ikut terlibat. Komplikasi hipertensi portal jarang terjadi. (Sylvia,
1995)
2.6 Diagnosa
a. Gejala Klinis
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang
tersebut di bawah ini :
1. Kegagalan Prekim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalophati hepatitis
(Maryati,Sri. 2003)
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, nafsu
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki
dapat timbul impotensi, testis mengecil, dan buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya
gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta
perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai
koma.(Nurdjanah, Siti. 2007)
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi
gangguan arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan
perenkim hati yang masing- masing memperlihatkan gejala klinis berupa :
1. Kegagalan sirosis hati
a. Edema
b. Ikterus
c. Koma
d. spider nevi
e. alopesia pectoralis
f. ginekomastia
g. kerusakan hati
h. asites
i. rambut pubis rontok
j. eritema palmaris
k. atropi testis
l. kelainan darah (anemia,hematom/mudah terjadi perdarahan)
2. Hipertensi portal
a. varises oesophagus
b. spleenomegali
c. perubahan sum-sum tulang
d. caput meduse
e. asites
f. collateral vein hemorrhoid
g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
(Maryati, Sri. 2003)
Eritema palmaris, warna merah saga pada tenar dan hipothenar telapak tangan. Hal
ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormone estrogen. Tanda ini juga
tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artrisis rheumatoid,
hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Fetor hepatikum,
bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi di metail
sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.
Ikterus-pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi
bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan,
sorsofleksi tangan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran Laboratoris
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu
seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan
spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotrans ferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, bilirubin, albumain, dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan
alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil priuvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat dari pada ALT, namun bila
trasaminase normal tidak menyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sclerosis primer dan
sirosis biler primer.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang.
Pemeriksaan hati yang bisa mulai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular,
permukaan irregular dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG
juga bisa melihat asites, splenomegli, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta,
serta skrining adanya karisnoma hati pada pasien sirosis.
2.7 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup
pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasinya yang sering dijumpai antara lain peritonitis bacterial spontan, yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen.
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal yaitu pada
esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena cava menyebabkan
dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus). Varises ini terjadi pada sekitar 70%
penderita sirosis lanjut. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian.
Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding abdomen, dan timbulnya
sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus (caput medusa).
Dilatasi anastomosis antara cabang-cabang vena mesenterika inferior dan vena-vena
rectum sering mengakibatkan terjadinya haemoroid interna. Perdarahan dari haemoroid
yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan tidak setinggi tekanan pada esophagus
oleh karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat
dijelaskan berdasarkan kongesti pasif kronik akibat bendungan, dan tekanan darah yang
meningkat pada vena lienalis. (Sylvia, 1995)
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainna organic ginjal. Kerusakan hati
lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi
glomerulus.
Salah satu mainfestasi hipertensi porta adalah varises esophagus. Dua puluh sampai
40% pasien sirosis dengan varises esophagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua pertigannya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan
beberapa cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati.
Mula-mula ada ganguan tidur, (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul
gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom hepatopulmonal
terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal. (Nurdjanah, Siti. 2007)
Ensefalopati hepatik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak yang
disebabkan oleh isi usus yang tidak dimetabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi
bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat
pembedahan) yang memungkinkan darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam
jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolic yang bertanggung jawab atas timbulnya
ensefalopati tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena
intoksikasi otak oleh hasil pemecahan metabolism protein oleh bakteri dalam usus.
Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati
atau karena adanya pirau. Ammonia yang dalam keadaan normal diubah menjadi urea
oleh hati, merupakan salah satu zat yang diketahui bersifat toksik dan dianggap dapat
mengganggu metabolisme otak. (Sylvia, 1995)
2.8 Penatalaksanaan
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti :
1. Astises
2. Spontaneous bacterial peritonitis
3. Hepatorenal syndrome
4. Ensefalophaty hepatic
Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah
kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel
stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi
utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti
peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan
sebagai anti fibrosis. Selian itu obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.
(Nurdjanah, Siti. 2007)
Tirah baring dan diawali diet rendah gram, konsumsi garam sebanyak 5,2 grm atau
90 mmol/hari. Diet rendah garam di kombinasi dengan obat-obatan duretik. Awalnya
dengan pemberian spironolakton denggan dosis 100 – 200 mg sekali sehari. Respons
diuretic bisa di monitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema
kaki atau atau 1 kg /hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan
bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 iter danj dilindungi dengan
pemberian albumin. (Nurdjanah, Siti. 2007)
- Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam
dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4
hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia
dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic
adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya
bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka
dapat kita kombinasikan dengan furosemid.
Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada
keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites
dapat dilakukan 5-10 liter/hari, dengan catatan harus dilakukan infuse albumin
sebanyak 6–8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat
menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C,
Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin
> 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. (Maryani,Sri. 2003)
Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe
yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus.
Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada
kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya terjadi
secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus
menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Adanya kecurigaan akan SBP bila
dijumpai keadaan sebagai berikut :
- Spontaneous bacterial peritonitis
- Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites
- Clinical feature my be absent and WBC normal
- Ascites protein usually <1 g/dl
- Usually monomicrobial and Gram-Negative
- Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs
- 50% die
- 69 % recurrent in 1 year
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),
secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya
tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3
minggu. (Maryani. Sri. 2003)
Hepatorenal Sindrome
Adapun criteria diagnostik dapat kita lihat sebagai berikut :
A. Major
- Chronic liver disease with ascietes
- Low glomerular fitration rate
- Serum creatin > 1,5 mg/dl
- Creatine clearance (24 hour) < 4,0 ml/minute
- Absence of shock, severe infection,fluid losses and Nephrotoxic drugs
- Proteinuria < 500 mg/day
- No improvement following plasma volume expansion
B. Minor
- Urine volume < 1 liter / day
- Urine Sodium < 10 mmol/litre
- Urine osmolarity > plasma osmolarity
- Serum Sodium concentration < 13 mmol / liter
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan,
pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan
infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam,
potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic. Manitol tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis
yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan shock. TIPS
hasil jelek pada Child’s C, dan dapat dipertimbangkan pada pasien yang akan dilakukan
transplantasi. Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan
dan fungsi ginjal. (Maryani, Sri. 2003)
Ensefalopati Hepatik
Varises Esofagus
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering dinomor
duakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu. Prrinsip
penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil,
dalam keadaan ini maka dilakukan :
- Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
- Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya
yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan,
evaluasi darah
- Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K,
Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin
- Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan
perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan Skleroterapi /
Ligasi aatau Oesophageal Transection. (Maryani, Sri. 2003)
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta
(propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prparat somatostatin atau
okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Klasifikasi Chilld Pugh (tabel 2) juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang
akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada
tidaknya asites dan ensefalopati juga status ntrisi. Klasifikasi ini terdiri dair Child A, B
dan C. klasifikasi child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B dan C berturut-
turut 100, 80 dan 45%.
Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease
(MELD ) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.
(Nurdjanah, Siti. 2007)
Tabel 2 Klasifikasi Fungsi Hati Chills Pasien sirosis Hati dalam Terminologi cadangan
DAFTAR PUSTAKA