Anda di halaman 1dari 43

Referat

Intoksikasi Alkohol

Disusun oleh:

Muhammad Reyhan, S.Ked 04054821719003


Imanuel, S.Ked 04054821719004
Mentari Faisal Putri 04054821719006
Aulia Hayyu Ravenia, S.Ked 04054821719113
Ayulaisitawati, S.Ked 04054821719114
Latifah Binti Latif, S.Ked 04084821719244
Moganashini Ravi, S.Ked 04084821719245

Pembimbing:
dr. Baringin Sitanggang

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul


Intoksikasi Alkohol

Oleh:

Muhammad Reyhan, S.Ked 04054821719003


Imanuel, S.Ked 04054821719004
Mentari Faisal Putri 04054821719006
Aulia Hayyu Ravenia, S.Ked 04054821719113
Ayulaisitawati, S.Ked 04054821719114
Latifah Binti Latif, S.Ked 04084821719244
Moganashini Ravi, S.Ked 04084821719245

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
periode 09 Juli 2018 s/d 13 Agustus 2018.

Palembang, Agustus 2018

dr. Baringin Sitanggang

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.
Referat dengan judul “Sudden Death” ini diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSMH Palembang periode 09 Juli 2018 s/d 13 Agustus 2018.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Baringin Sitanggang sebagai
dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis
selama menyusun referat ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis sehingga referat ini
dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran agar
referat ini menjadi semakin baik.

Palembang, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3
2.1 Definisi toksikologi ............................................................................. 3
2.2. Etiologi intoksikasi ............................................................................. 5
2.3. Jenis-jenis keracunan.......................................................................... 6
2.3.1. Keracunan Karbon Monoksida ................................................... 6
2.3.1.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO ................. 6
2.3.2. Keracunan Sianida ..................................................................... 7
2.3.2.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Sianida ........... 7
2.3.3. Keracunan Arsen ....................................................................... 8
2.3.3.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan AS.................. 8
2.3.4. Keracunan Alkohol ..................................................................... 9
2.3.4.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol.......... 9
2.4. Klasifikasi Intoksikasi ................................................................... 10
2.5. Mekanisme kerja racun.................................................................. 11
2.6. Faktor yang mempengaruhi keracunan.......................................... 12
2.7. Klasifikasi Intoksikasi ................................................................... 12
2.4. Klasifikasi Intoksikasi ........................................................................ 11
2.5. Mekanisme kerja racun ...................................................................... 11
2.6. Faktor yang mempengaruhi keracunan .............................................. 12
2.7. Tanda dan Gejala Intoksikasi ............................................................. 13
2.8. Penegakan Diagnosis.......................................................................... 15
2.9. Terapi Intoksikasi ............................................................................... 17
2.10. Pemeriksaan Korban Mati Akibat Keracuanan ................................ 29

iv
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 36
BAB IV CONTOH KASUS INTOKSIKASI .................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38

v
BAB I
PENDAHULUAN

Racun adalah suatu zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi yang dalam
dosis toksik akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh yang dapat berakhir dengan
penyakit atau kematian. Racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara yang
dihirup pada saat bernafas (inhalasi), ditelan (peroral), melalui penyutikan
(parenteral atau injeksi), penyerapan melalui kulit yang sehat atau sakit, atau dapat
pula melalui anus atau vagina. Setelah masuk ke dalam tubuh racun dapat bereaksi
secara lokal, sistemik atau keduanya.
Racun dapat bekerja secara lokal dan akan menimbulkan rasa nyeri yang
hebat, tidak jarang disertai dengan perforasi. Sebagian dari racun dapat masuk ke
dalam darah dan menimbulkan efek sistemik seperti penekanan pusat nafas. Efek
sistemik ini dikarenakan racun mempunyai afinitas terhadap salah satu organ atau
sistem. Termasuk dalam golongan ini yaitu narkotika, barbiturat, alkohol, digitalis,
asam oksalat, karbon monoksida, sianida, dan intektisida golongan “chlorinated
hydrocarbon”.
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua
zat dapat menjadi racun bila diberikan dalam dosis yang tidak seharusnya.
Intoksikasi atau keracunan merupakan permasalahan serius yang perlu ditangani
secara baik. insiden keracunan di dunia secara pasti tidak diketahui, dapat
diperkirakan sekitar 500.000 orang meninggal setiap tahun akibat berbagai macam
keracunan. WHO secara konservatif memperkirakan bahwa kasus keracunan paling
tinggi terjadi di negara-negara sedang berkembang dan meningkat hampir dua kali
lipat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Dari laporan Badan Pom untuk kasus
keracunan Nasional yang terjadi di Indonesia tahun 2014 kasus keracunan obat
sebanyak 717.
Studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap
oranisme/ mahluk hidup disebut toksikologi. Toksikologi bermanfaat untuk
memprediksi atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu

1
zat terhadap manusia dan lingkungannya.1 Dalam kedokteran forensik pemanfaatan
ilmu toksikologi sangat dibutuhkan untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari
toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari
racun yang didapatkan dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya.
Dalam pemeriksaan forensik terdapat dua tujuan pembuktian keracunan atau
intoksikasi, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian dengan
membuktikan adanya racun dalam jumlah yang mematikan dan yang kedua untuk
mengetahui seberapa jauh racun atau keracunan mempengaruhi terjadinya suatu
peristiwa, misalnya kecelakaan lalu lintas, pembunuhan dan perkosaan. Tujuan
kedua lebih mementingkan rekontruksi kasus dan pembuktian bahwa racun
memang berperan dalam peristiwa tersebut.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Toksikologi


Toksikologi berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos merupakan studi
mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap organism atau
mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala, mekanisme, cara
detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistem biologis makhluk hidup.
Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akibat yang
berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya.
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-
gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban
yang meninggal.
Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu
investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan
obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti
kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran. Yang menjadi
perhatian utama dalam toksikologi forensik bukanlah keluaran aspek hukum dari
investigasi secara toksikologi, namun mengenai teknologi dan teknik dalam
memperoleh serta menginterpretasi hasil seperti: pemahaman perilaku zat, sumber
penyebab keracunan atau pencemaran, metode pengambilan sampel dan metode
analisa, interpretasi data terkait dengan gejala atau efek atau dampak yang timbul
serta bukti-bukti lainnya yang tersedia. Toksikologi forensik adalah salah satu dari
cabang ilmu forensik. Menurut Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science
adalah “the application of science to low”, maka secara umum ilmu forensik
(forensik sains) dapat dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu
pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan.
Keracunan ialah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian. Semua zat dapat menjadi racun
bila diberikan dalam dosis yang tidak seharusnya. Berdasarkan sumber dapat
digolongkan menjadi racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan; opium, kokain,

3
kurare, aflatoksin. Dari hewan; bias/toksin ular/laba-laba/hewan laut. Mineral;
arsen, timah hitam. Dan berasal dari sintetik; heroin.

2.2. Etiologi intoksikasi1,2.3


Ada berbagai macam kelompok bahan yang dapat menyebabkan keracunan,
antara lain:
1. Bahan kimia umum (Chemical toxicants) yang terdiri dari berbagai
golongan seperti pestisida (organoklorin, organofosfat, karbamat),
golongan gas (nitrogen metana, karbon monoksida, klor), golongan logam
(timbal, posfor, air raksa, arsen), golongan bahan organik (akrilamida,
anilin, benzena toluene, vinil klorida fenol).
2. Racun yang dihasilkan oleh makluk hidup (Biological toxicants) mis:
sengatan serangga, gigitan ular berbisa, anjing dll
3. Racun yang dihasilkan oleh jenis bakteri (Bacterial toxicants) mis: Bacillus
cereus, Compilobacter jejuni, Clostridium botulinum, Escherichia coli dll
4. Racun yang dihasilkan oleh tumbuh tumbuhan (Botanical toxicants) mis:
jamur amnita, jamur psilosibin, oleander, kecubung dll.
Secara umum racun menurut wujudnya dibedakan menjadi 3 yaitu: Padat
(Obat-obatan dan makanan), cair (alkohol, bensin, minyak tanah, zat kimia,
pestisida, bisa/racun hewan), gas (CO). Berdasarkan tempat racun berada, dapat
dibagi menjadi racun yang terdapat dialam bebas, misalnya gas racun dialam, racun
yang terdapat dirumah tangga; misalnya detergen, disenfektan, insektisida,
pembersih (cleaners). Racun yang digunakan dalam pertanian, misalnya
insektisida, herbisida, pestisida. Racun yang digunakan dalam industri dan
laboratorium, misalnya asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat alam
makanan, misalnya CN dalam singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat
aditif serta racun dalam bentuk obat, misalnya hipnotik, sedatif, dll.

4
Gambar 2.1 Sumber Racun7

Dapat pula pembagian racun berdasarkan organ tubuh yang dipengaruhi,


misalnya racun yang bersifat hepatotoksik, nefrotoksik. Berdasarkan mekanisme
kerja, dikenal racun yang mengikat gugus sulfhidril (-SH) misalnya Pb, yang
berpengaruh pada ATP-ase, yang membentuk methemoglobin misalnya nitrat dan
nitrit. (Nitrat dalam usus oleh flora usus diubah menjadi nitrit).
Pembagian lain didasarkan atas cara kerja/efek yang ditimbulkan. Ada
racun yang bekerja lokal dan menimbulkan beberapa reaksi misalnya
peransanganm peradangan atau korosif. Keadaan ini dapat menimbulkan rasa nyeri
yang hebat dan dapat menyebabkan kematian akibat syok neurogenik. Contoh racun
korosif adalah asam dan basa kuat: H2SO4, HNO3, NaOH, KOH; golongan
halogen seperti fenol, lisol dan senyawa logam. Racun yang bekerja sisitemik dan
mempunyai afinitas terhadap salah satu sistem misalnya barbiturat, alkohol, morfin
terhadap susunan saraf pusat, digitalis, oksalat terhadap jantung, CO terhadap
hemoglobin darah. Terdapat pula racun yang mempunyai efek lokal dan sistemik
sekaligus misalnya asam karbol menyebabkan erosi lambung dan sebagian yang
diabsorbsi akan menimbulkan depresi susunan sarap pusat. Tetra-etil yang masih
terdapat dalam campuran bensin selain mempunyai efek iritasi, jika diserap dapat
menimbulkan hemolisis akut.

5
2.3. Jenis-Jenis Keracunan
2.3.1. Keracunan Karbon Monoksida (CO)
----Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Sejak
di kenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang
mengandung CO. Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
meransang selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah
menyebar.
2.3.1.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO
----Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis
adanya kontak dan di temukannya gejala keracunan CO. Pada korban yang mati
tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang
(cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih.
Warna lebam mayat seperti itu juga dapat ditemukan pada mayat yang di dinginkan,
pada korban keracunan sianida dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad
renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam darahnya terbentuk nitroksi
hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan dengan pemeriksaan
sederhana. Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang
ototnya berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan
warna merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah
yang keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan
darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain.
Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hyperemia visera. Pada otak
besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat bertahan hidup
lebih dari ½ jam.
----Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di
eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat
berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan darah. Kelainan
yang dapat di temukan adalah kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang
timbul selama penderita di rawat. Otak, pada substansia alba dan korteks kedua
belah otak, globus palidus dapat di temukan petekiae. Kelainan ini tidak

6
patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap keadaan hipoksia otak yang
cukup lama dapat menimbulkan petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada otak
memberi gambaran:
- Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin.
- Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang mengandung
trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di sebut ring hemorrhage
- Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang
mengandung trombi.
- Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat
hipoksia dan memecah.
Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di
muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian
ujung muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti
kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak. Ditemukan eritema dan
vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak badan, baik di tempat
yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh
hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit. Pneunomonia hipostatik paru mudah
terjadi karena gangguan peredaran darah. Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.

2.3.2. Keracunan Sianida


----Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida dalam
takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang dengan
cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa tokoh nazi Kematian akibat
keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri dan pembunuhan. Tetapi
mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada penyemprotan
(fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang kapal.

2.3.2.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Sianida


----Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat
tercium bau amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat tercium
dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung.

7
Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita cepat
teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus dingat bahwa
tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk mencium
bau khas tersebut bersifat genatik sex-linked trait. Sianosis pada wajah dan bibir,
busa keluar dari mulut, dan lebam mayat berwarna terang, karena darah vena kaya
akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb.
----Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau amandel yang khas pada
waktu membuka rongga dada, perutdan otak serta lambung (bila racun melalui
mulut) darah, otot dan penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya
hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh. Pada korban yang menelan
garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi
dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada perabaan
mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang
dapat terjadi antemortal atau posmortal.

2.3.3. Keracunan Arsen (As)


----Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk membunuh
orang lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan dengan arsen
dimasa sekarang ini. Disamping itu keracunan arsen kadang-kadang dapat terjadi
karena kecelakaan dalam industri dan pertanian akibat memakan/meminum
makanan/minuman yang terkontaminasi dengan arsen. Kematian akibat keracunan
arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya
menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga dapat didiagnosa
sebagai suatu penyakit.

2.3.3.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik As


----Korban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda
dehidrasi. Pada pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung,
mukosa berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan (flea bitten
appearance). Iritasi lambung dapat menyebabkan produksi musin yang menutupi
mukosa dengan akibat partikel-partikel As berwarna kuning sedangkan As2O3

8
tampak sebagai partikel berwarna putih. Pada jantung ditemukan perdarahan sub-
endokard pada septum. Histologik jantung menunjukkan infiltrasi sel-sel radang
bulat pada miokard. Sedangkan organ lain parenkimnya berwarna putih. Korban
mati akibat keracunan arsin. Bila korban cepat meninggal setelah menghirup arsin,
akan terlihat tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut. Bila meninggalnya
lambat, dapat ditemukan ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan
ginjal berupa degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban
mati akibat keracunan kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk.
Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik).

2.3.4. Keracunan Alkohol


----Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan
keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau
kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan mengemudi sehingga
cenderung menimbulkan kecelakaan lalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya.
Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri dan hilangnya kapasitas untuk
berfikir kritis mungkin menimbulkan tindakan yang melanggar hukum seperti
perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun tindakan bunuh diri.

2.3.4.1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol


----Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan
petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol
darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari
darah vena. Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin
ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan
tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung
menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi
kadangkadang tidak ada kelainan. Organ-organ termasuk otak dan darah berbau
alkohol. Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran
pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian
parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna.

9
----Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan
fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada
beberapa tempat, gambaran seran lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi,
edema dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati
alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis tubuli
ginjal dan kerusakan miokardium.

2.4. Klasifikasi intoksikasi1,3,4


Mekanisme cara terjadinya keracunan dibagi menjadi 4, yaitu:
 Self Poisoning: Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan
tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak akan membahayakan. Jadi
pasien tidak bermaksdu untuk bunuh diri, biasanya hanya untuk menarik
perhatian lingkungan sekitarnya. Pada anak muda kadang-kadang dilakukan
untuk coba-coba tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan
dirinya.
 Attemted suicide: dalam hal ini, pasien memang bermaksud untuk bunuh diri,
tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali bila ia
salah tafsir tentang dosis yang dimakanya.
 Accidental poisoning: ini jelas merupakan kecelakaan, tanpa factor sengaja
sama sekali.
 Homicidal poisoning: keracunan ini akibat tindakan criminal yaitu seseorang
dengan sengaja meracuni orang lain.
Klasifikasi menurut mula waktu terjadinya keracunan di bagi menjadi yang
bersifat akut dan kronik. Untuk akut lebih mudah dikenal daripada keracunan
kronik, biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu. Ciri lain ialah sering
mengenai orang banyak, misalnya pada kercunan makanan, dapat mengenai seluruh
keluarga atau warga sekampung. Gejala keracunan akut dapat menyerupai setiap
sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan keracunan pada
keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, kejang, diare, koma, dan
sebagainya.

10
Untuk diagnosis keracunan kronik sulit dibuat karena gejala yang timbul
perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul akut sesudah pajanan
berkali-kali dalam waktu yang cukup lama dan dengan dosis yang kecil. Suatu ciri
khas ialah bahwa zat penyebab dieksresi lebih lama dari 24 jam, waktu paruhnya
panjang, sehingga terjadi akumulasi.

2.5. Mekanisme kerja racun5


Mekanisme kerja racun dapat dibagi dalam beberapa hal yaitu2:
1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:
- Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.
- Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.
- Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan
sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian
yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena
peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran
pencernaan.
2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini
biasanya memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh
yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.
Misalnya:
- Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan
syaraf pusat.
- Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
- Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
- CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim
pernafasan.
- Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.

11
- Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus
terutama berpengaruh terhadap hati.
3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum
Misalnya:
- Asam oksalat
- Asam karbol
- Arsen
- Garam Pb

2.6. Faktor yang Mempengaruhi Keracunan1,2,3,4,5


1. Cara masuk. Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara
inhalasi. Cara masuk lain secara berturut-turut melalui intravena,
intramuskular, intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah
melalui kulit yang sehat.
2. Umur. Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat.
Bayi prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal
belum sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup.
3. Kondisi tubuh. Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami
keracunan. Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbs jadi lebih
lambat.
4. Kebiasaan. Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin dikarenakan
terjadi toleransi pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
alkohol.
5. Idiosinkrasi dan alergi. Pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran
maka akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada
racun yang bersifat lokal, misalnya asam sulfat.
6. Waktu pemberian.

12
2.7. Tanda dan Gejala intoksikasi1,2,5
Ketika Anda mengembangkan gejala tergantung pada penyebab yang tepat
dari keracunan makanan. Jenis yang paling umum dari keracunan makanan
umumnya menimbulkan gejala dalam waktu 2 - 6 jam makan makanan.
Gejala mungkin termasuk:
 Perut kram
 Diare (mungkin berdarah)
 Demam dan menggigil
 Sakit kepala
 Mual dan muntah
 Kelemahan (mungkin serius dan menyebabkan serangan pernapasan,
seperti dalam kasus botulisme)
Hal ini dapat menyebabkan jumlah yang banyak kehilangan cairan yang
berakibat pada dehidrasi. Di negara-negara berkembang di mana epidemi menular
menyebabkan penyakit diare, ribuan orang mati karena dehidrasi.
Seperti telah dijelaskan pada bagian atas, sistem organ lainnya dapat terinfeksi dan
terkena keracunan makanan. Gejala akan tergantung pada apa sistem organ yang
terlibat (misalnya, ensefalopati akibat infeksi otak).

13
Tabel 1. Gangguan klinis dan penyebab keracunan2
Gejala klinis Gangguan klinis dan penyebab keracunan
Penampilan secara Agitasi (amphetamine, cocaine, lysergic acid
Umum diethylamide, opiat withdrwal) Apathy, drowsiness, coma
(hypnotik, pelarut organik, lithium)
Gangguan system Electro-encephalogram (EEG) [central depresant], fungís
saraf motorik (alcohol, penyalah gunaan obat), gangguan
berjalan/gerak (hallucinogen, amfetamine, butyrophenon,
carbamazepin, lithium, cocaine), kejang
Tekanan darah Hipotensi (phenothiazine), Hipertensi (kortikosteroid,
cocaine, phenylpropanolamine, antikolinergik)
Jantung Pulse, Elektrokardiogram (EKG) [trisiklik antidepresant,
orphenadrine], Tidak teratur (phenothiazine,
procainamide, amiodarone, lidocaine), heart block
(calcium bloker, beta bloker, digitalis, cocaine, trisiklik
antidepresant).
Temperatur Hipertermia (LSD, cocaine,
methylenedioxymethylamfetamin(mdma))
Respirasi Depresi pernapasan (opiat, barbiturat, benzodiazepine),
hipoventilasi (salisilat)
Otot Spasme dan Kram (Botulism, Crimidine, Striknin)
Kulit Kering (Parasimpatolitik Trisiklik Antidepresant),
Berwarna: merah (carbon monoksida), biru (sianosis),
kuning (liver damage: alkohol, jamur, rifampicin)
Gejala klinis Gangguan klinis dan penyebab keracunan
Mata Pinpoint (opiat, cholinesterase inhibitor), Dilatasi pupil
(atropin, amfetamin, cocaine), Kemerahan (cannabis)
Hidung Nasal Septum Komplikasi (cocaine)
Abdomen diare (laxative, organophosphat), Obstruksi (opiat,
atropine), Radiography (timbale, thalium)

14
Bau Bisa dilihat dari Keringat, Mulut, Pakaian, Sisa Muntah:
Alkohol (etanol, cleaner), Aceton/Nail Remover (Aceton,
Metabolic acidosis), Ammonia (Ammonia), Almond
(Sianida), Pemutih/Klorine (Hipoklorit, klorin),
Disinfektan (Kreosat, Phenol, Tar), Formaldehyde
(formaldehyde, methanol, Bawang (Arsenik,
Dimethylsulfoxide, Malation, Paration, Phospor kuning),
Asap (nikotin, carbonmonoksida), Pelarut organik (diethyl
eter, chloroform, dichloromethane), Kacang (rodentisida)

2.8. Penegakan diagnosis2,3,5


1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan
racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau
mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya
sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga
korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan
malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut
merupakan aib bagi pihak keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda/gejala keracunan zat
yang diduga.
Adanya tanda/gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus
tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian
karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang
mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.
3. Secara analisis kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa
makanan/obat/zat yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang
digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum
dapat dibuktikan secara analisis kimia, kemungkinan-kemungkinan

15
seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban
menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara
makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang
diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus
keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab
kematian, juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai
penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah
mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini
kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat
ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
5. Secara analisis kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di
dalam tubuh/jaringan/cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisis kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan
tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan
dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis
letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara
sistematik, diagnosis kematian karena racun tidak dapat ditegakkan
misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung
korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian
pada kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria
keempat dan kelima merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh
dilupakan.

16
2.9. Terapi intoksikasi1,2,3,4,5
Tindakan dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: tindangan ABC dan Usaha Terapetik
lain-nya, serta pemberian antidotum. Tindakan Umum adalah tindakan Airway,
Breathing, Circulation, Usaha Terapetik lain (Mempertahankan Keseimbangan
elektrolit, air, asam dan basa; Decontamination; dan Eliminasi). Sedangkan
Tindakan pemberian antidotum adalah spesifik tergantung dari penyebab
keracunannya.
Tindakan A, B, C dan Usaha Teratik Lain
A. Airway (Jalur Napas)
Usahakan saluran napas tetap bebas sehingga pasien dapat bernapas
secara spontan. Pasien diletakkan pada posisi berbaring dan usahakan
tidak ada benda asing, sisa makanan, darah, atau muntah dari dalam
mulut. Selain itu usahakan posisi lidah tidak menghalangi saluran napas.
Apabila perlu, pasang pipa endotrakeal.
B. Breathing (Pernapasan)
Pada tindakan ini, pernapasan pasien perlu dijaga agar tetap baik.
Bila perlu, dilakukan pernapasan buatan. Pada orang yang keracunan
udara yang respirasinya dimungkinkan mengandung racun yang
berbahaya (seperti asam sianida) maka bantuan pernapasan harus
dilakukan dengan menggunakan kantong napas, paling tidak sipenolong
harus bernapas berpaling dari pasein. Pemberian oksigen murni
terutama untuk orang yang menderita sianosis (pewarnaan kulit menjadi
merah biru akibat kurangnya penjenuhan darah dengan oksigen, yang
paling mudah terlihat dari bibir dan kuku jari). Tetapi pemberian
oksigen murni tidak boeh lebih lama dari 6-8 jam. Karena dapat terjadi
udema paru-paru yang tokisk yang menyebabkan difusi O2 dan CO2
terhambat. Udema adalah penimbunan cairan secara patologik dalam
ruang khususnya dalam ruang interstitium (ruang interstitium = ruang
yang terdapat diantara kompleks parenkhim yang khas bagi organ
tertentu, mengandung jaringan ikat, pembuluh dan saraf). Udema paru-
paru toksik dapat disebabkan juga oleh gas yang merangsang seperi klor

17
dan oleh zat yang pada saat muntah masuk ke saluran napas. Gejala:
terdapat rangsangan ingin batuk, kesulitan bernapas, dan tidak tenang.
Gambaran sempurna udema adalah kadang terjadi tanpa keluhan,
beberapa selang waktu kemudian ditandai sianosis dan keluarnya busa
warna coklat pada hidung dan mulut. Akibat selanjutnya yang dapat
terjadi adalah kematian. Apabila terjadi hal ini segera diberi
glukortikoid. Hal yang penting dilakukan adalah istirahat total apabila
keracuanan tampak ringan dan usahakan tubuh tetap hangat. Jika
dipastikan terjadi udema paru-paru maka: letakkan tubuh bagian atas
pada posisi yang tinggi, pemberian oksigen, menyedot sekret yang ada,
pemberian furosemida 60-200 mg iv., digitalis misal digoxin 0,25 iv,
untuk pencegahan infeksi dapat diberikan antibiotika golongan penisilin
yang berspektrum luas.
C. Circulation (Peredaran darah)
Pada tindakan ini, penting dipertahankan tekanan darah dan nadi
pasien dalam batas normal. Bila perlu, berikan cairan infus normal salin,
dektrosa, atau ringer laktat. Pada kondisi jantung berhenti-ditandai
dengan hilangnya pulsa karotid, berhentinya pernapsan, pucat seperti
mayat (kulit sianotik abu-abu), pingsan, pupil dilatasi dan tidak bereaksi
– maka harus dilakukan massage jantng dari luar untuk mendapatkan
sirkulasi minimum dan mengektifkan kembali jantung. Jika jantung
berhenti tanpa sebab jelas, dapat diberi 0,3 -0,5 mg adrenalin (intra vena
atau intracardiac), defibrilasi eksterna dengan 100-400 watt perdetik,
disertai lidocain 100 mg injeksi bolus yang diikuti infus tetes pada hasil
terapi yang dicapai.
D. Usaha Terapetik Lain
D.1. Mempertahankan Keseimbangan elektrolit, air, asam dan basa
Pada kondisi dehidrasi yang disebabkan antara lain karena diare atau
muntah maka dapat diberikan cairan oralit untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang. Pada kasus metabolik asidosis, dapat diberikan infsus
larutan natriumhidrogenkarbonat 8,5% atau larutan trometamol 0,3

18
molar. Sedangkan pada metabolik alkalosis, maka diberikan infus L-
argininhidroklorida 1 molar atau L-lisinhidroklorida 1 molar dengan
selalu mengawai kesetimbangan asam –basa.
D.2. Decontamination (Pembersihan)
Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi absorbsi bahan racun dengan
melakukan pembersihan. Hal ini tergantung dari bagaimana cara bahan
tersebut masuk kedalam tubuh.
a. Pertolongan pada keracunan eksterna
• Keracunan pada kulit
Apabila racun mengenai kulit, maka pakaian yang terkena racun
harus diganti. Kemudian daerah yang terkena dibilas dengan air
hangat atau pasien diharuskan untuk mandi. Jika kulit terluka parah
maka cuci dengan air (yang tidak terlalu hangat) dan sabun.
Penanganan lain yang dapat dilakukan yaitu membersihkan dengan
polietilenglikol 400.
• Kerusakan pada mata
Jika zat merangsang mata (zat apapun tanpa membedakan jenis
bahannya), maka mata harus dicuci bersih dengan menggunakan
banyak air, sebaiknya pada kondisi kelopak mata terbalik.
Kemudian mata dapat dibilas dengan larutan seperti larutan
hidrogenkarbonat 2% jika mata tekena zat asam ATAU dibilas
dengan asam asetat 1% / larutan asam borat 2% jika mata terkena
alkali. Mata harus dibilas terus menerus selama 5- 10 menit
sebelum dilakukan pemeriksaan. Bila mata terkena benda padat
maka harus digunakan anastesi lokal untuk mengeluarkan benda
tersebut dari mata. Untuk mencegah menutupnya mata dengan kuat
sehingga dapat mempermudah pembersihan, dapat diberikan
beberapa tetes larutan anastesi lokal. Jika terdapat air kapur masuk
ke mata, hal ini dapat menyebabkan pengeruhan kornea tau
penimbunan calsium pada permukaan mata. Penanganan hal ini
dilakukan dengan pemberian Natrium edetan (dinatrium – EDTA –

19
0.35 sampai 1,85%). Larutan ini akan membuat endapan kalsium
menjadi larut. Larutan lain yang kadang-kadang juga digunakan
adalah amonium tartrat netral 10%. Apabila mata terkena gas air
mata mengakibatkan terjadainya rangsangan yang intensif pada
konjungtiva, menimbulkan nyeri menusuk pada mata sehingga
terbentuk air mata yang banyak. Pada mata yang hanya terpejan
sedikit gas air mata, maka pembentukan air mata adalah merupakan
pertolongan yang dapat memulihkan mata dengan sendirinya.
Tetapi pada kasus yang berat, maka mata sebaiknya dibilas dengan
air atau lebih baik menggunakan larutan natriun hidrogen karbonat
2% dalam waktu cukup lama. Jika rasa sakit tetap dirasakan maka
perlu digunakan anastesi lokal dengan dibawah pengawasan dokter.
Pada konsentrasi yang tinggi, gas air mata dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan selaput lendir paru-paru dan bahkan
kemungkinan dapat terjadi udema paru-paru.

b. Penanganan pada keracunan oral


Pada kasus keracunanan secara oral, ada beberapa penanganan
yang bisa dilakukan:
 Menghindari absorbsi sejumlah racun yang ada dalam
saluran pencernaan dengan memberikan adsorbensia dan atau
laksansia dan pada kasus keracunan tertentu diberikan parafin cair

Adsorben yang paling banyak digunakan dan bermanfaat adalah


karbon aktif. Dosis yang digunakan pada orang dewasa normal
adalah 50 gram dalam ½ - 1 liter air. Racun akan diabsorbsi oleh
karbon aktif dan air minum yang diminum bersama karbon aktif
tersebut akan membantu mengencerkan racun. Pada keracunan
basa organik dapat digunakan campuran Magnesium Oksida dan
karbon aktif dengan perbandingan 1:2. Adsorbsi zat organic akan
paling kuat bila zat tersebut dalam bentuk terdisosiasi. Penetralan

20
lambung yang asam oleh magnesium hidroksida pada keracunan
basa akan meningkatkan kerja adsorben. Pada suasana yang basa,
akan membuat basa organik tetap dalam bentuk senyawanya dan
tidak terdisosisi. Disamping itu dengan adanya peningkatan pH
akan meningkatkan pengendapan ion logam berat. Sidat adsorbs
dari karbon aktif tidak akan terpengaruh dengan keberadaan
magnesium oksida atau laksansia garam (magnesium sulfat dan
natrium sulfat.) Kadang tanin juga ditambahkan, dengan komposisi
karbon aktif: magnesium oksida: tannin = 2 :1: 1. Kombinasi ini
dikenal denga antidote universal. Tanin berfungsi untuk
mengndapkan zat tertentu yang berasal dari tanaman terutama
alkaloid. Pemakaian karbon aktif ini tidak mempengaruhi
pembilasan lambung. Tetapi jika direncanakanakan dilakukannya
pembilasan lambung maka sebaiknya cairan yang diberikan
bersama karbon aktif dibatasi. Hal ini untuk mencegah masuknya
racun dari lambung ke usus. Jika racun bersifat korosif (asam atau
basa kuat) maka pemberian protein (seperti susu) sangat
bermanfaat karena dapat menetralisasi, mengadsorbsi, dan
meringankan keluhan.
Garam Laksansia bekerja dengan merangsang peristaltik pada
saluran cerna dan penggunaan pada penanggulangan keracunan
dapat memberikan hasil yang baik. Garam laksansia dapat
mengencerkan racun dengan memperlambat absorbsi air karena
efek osmotic yang ditimbulkan. Contoh garam laksansia adalah
natrium sulfat. Untuk penggunaannya:10 gram natrium sulfat
dilarutkan dalam 100 ml air hangat. Efek kerja terjadi setelah 3 – 5
jam.
Minyak parafin digunakan untuk mengatasi keracunan
pelarut organik. Minyak parafin ini mempunyai sifat yang sulit
untuk diabsorbsi. Minyak parafin akan bercampur dengan pelarut

21
organik, dengan cara ini maka akan menurunkan absorbsi dari
pelarut organic tersebut.
 Menetralkan atau menginaktivasi racun secara kimia
menjadi bentuk yang kurang/tidak toksik, yaitu dengan membentuk
garam yang sukar larut atau perubahan menjadi senyawa yang tidak
berkhasiat atau tidak toksik.
Penetralan racun yang bersifat asam dapat dinetralkan
dengan susu atau antasida, dan Basa dapat dinetralkan dengan asam
encer (seperti dengan 3 sendok makan cuka dapur dalam segelas
air).
Contoh perubahan menjadi senyawa yang tidak aktif:
pemberian kalium permanganate bersama cairan pembilas lambung
(pada perbandingan 1:10000) pada keracunan. Hal ini akan
merusak secara oksidatif menjadi fosfat yang tidak toksik.

 Mengosongkan saluran cerna dengan cepat dengan cara


seperti: bilas lambung atau membuat muntah sebelum absorbsi
terjadi.
Pembilasan lambung dapat dilakukan pada indikasi tertentu
(misalnya keracunan organo fosfat seperti baygon), sehingga racun
yang masuk dapat dihilangkan. Pembilasan lambung harus selalu
dibawah pengawasan dokter sesuai dengan keadaan pasien. Setelah
dilakukan bilas lambung, lebih baik diberikan adsorbensia dan
laksansia garam jika didapat dugaan bahwa sebagian racun masuk
ke usus.

D.3. Eliminasi
Pada tindakan ini, dilakukan pembersihan racun dimana diperkirakan
racun telah beredar dalam darah, dengan cara antara lain: peningkatan
ekskresi kedalam urin dengan cara diuresis dan pengubahan pH urin dan
hemodialisa.

22
- Peningkatan ekskresi kedalam urin dengan cara diuresis dan
pengubahan pH urin
Zat lipofil yang umumnya termasuk asam dan basa lemah, bila dalam
bentuk tak terionisasi dapat melewati sawar lipid tanpa kesulitan
sehingga dapat masuk kedalam organ – organ penting seperti otak. Pada
ginjal, setelah racun melewati proses ultrafiltrasi maka 90 % elektrolit
dan air akan direabsorbsi dari urin, sehingga racun akan dipekatkan
kurang lebih 10 kali konsentrasi dalam plasma. Dari jumlah ini, yang
tidak terikat pada protein plasma tergantung dari jumlah racun yang
pada urin. Selanjutnya racun dapat berdifusi kembali kedalam plasma
melalui membran lipid epitel. Sehingga hampir 90% racun dalam urin
dapat diabsorbsi kembali. Jadi hanya sekitar 10% saja yang benar-benar
keluar bersama urin. Jika proses reabsorbsi pasif dapat dikurangi maka
laju ekskresi dapat ditingkatkan sehingga waktu paruh akan turun. Cara
yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah pH urin yaitu:
membasakan urin / meningkatkat pH urin sehingga memperbesar
ionisasi asam organik lemah, atau mengasamkan urin / menurunkan pH
urin yang akan menaikkan ionisasi basa organik lemah. Zat organik
yang terionisasi, tidak akan dibsorbsi kembali. Maka kecepatan ekskresi
dalam urin akan meningkat. Dengan melihat nilai kecepatan absorbsi
maka akan diketahui apakah pengubahan pH urin akan bermanfaat.

Cara yang lain untuk meningkatkan ekskresi kedalam urin adalah


penggunaan diuresis. Diuresis adalah zat yang dapat merangsang
terjadinya ekskresi melalui urin. Diuresis paksa dapat dilakukan dengan
pemberian Osmodiuretika (seperti manitol) atau diuretic jerat henle
(seperti: furosemida) dalam bentuk infus. Selanjutnya dilakukan terapi
penggantian cairan dan elektrolit yang hilang. Diuresis paksa tidak
boleh dilakukan pada keadaan syok, dekompensasi jantung, gagal ginjal,
edema paru, dan keracunan akibat bahan yang tidak dapat diekskresi
melalui ginjal.

23
- Hemodialisa
Pengertian proses hemodialisa dalam hal ini adalah terjadinya difusi
pasif racun dari plasma kedalam cairan diálisis melalui sebuah
membran. Tindakan ini dilakukan pada keracunan dengan koma yang
dalam, hipotensi berat, kelainan asam basa dan elektrolit, penyakit ginjal
berat, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit hati, dan pada
kehamilan. Umumnya dilakukan pada keracunan pada dosis letal dari
bahan alcohol, barbiturat, karbamat, paracetamol, aspirin, amfetamin,
logam berat dan striknin.
Pada proses hemodialisis ini menguntungkan karena susunan
caiaran diálisis dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
Pada proses dialisis in dapat ditambahkan adsorbensia. Adsorbensia
cukup menguntungkan karena sifat ikatan yang kuat serta kapasitas
ikatan yang tinggi untuk beberapa zat. Tetapi penggunanaan zat ini
memiliki kerugian yaitu komponen yang tidak toksis seperti vitamin,
hormon, asam amino dan bahan makanan juga dapat ditarik dari plasma.
Pelaksanaan tindakan ini cukup merepotkan dan mahal, tetapi
tindakan ini harus dilakukan pada kasus keracunan berat seperti pada
keracuanan zat nefrotoksik kuat (misal: raksa (II florida). Zat
nefrotoksik dapat menimbulkan kerusakan ginjal yang parah sehingga
eliminasi ginjal akan sangat berkurang. Langkah ini berlaku pada racun
yang dapat melewati membran diálisis. Pada umumnya pada zat yang
mengalami ultraflitrasi oleh ginjal. Berikut ini adalah zat yang perlu
dilakukan diálisis jika kadar pada plasma melampaui konsentrasi berikut
ini, antara lain untuk: metanol (50 mg/100 ml plasma), fenobarbital (20
mg/ 100 ml plasma), dan asam salisilat (90 mg / 100 ml plasma). Untuk
zat yang eliminasinya cepat sehingga waktu paruh dalam plasma lebih
singkat atau kurang lebih sama dengan dengan yang digunakan pada
diálisis, tentu tidak perlu menggunakan proses ini.

24
Antidotum spesifik1,2,3,6
Antidotum untuk melawan efek racun yang telah masuk kedalam organ
target. Tidak semua racun mempunyai antidot yang spesifik. Berikut ini merupakan
antidotum spesifik yang dapat digunakan untuk meringankan gejala intoksikasi.
Tabel 2. Antidotum spesifik
NO. ANTIDOTUM INDIKASI CARA KERJA DOSIS

1. Aluminium Keracunan paraquat, Memblok absorpsi 250 ml suspensi 30% tiap jam
silikat bentonit diquat lewat usus untuk 24-48 jam (selalu
diberikan bersama MgS)

2. Atropin Keracunan obat/bahan Memblok reseptor 1,2-2,4 mg ulangi tiap 5-10


dengan efek muskarinik menit sampai tampak tanda
muskarinik atropinisasi (mulut kering,
pulsus >70x/menit)

3. Kalsium Keracunan fluorida Mengikat ion Fe 2,5% gel untuk luka bakar kulit,
glukonat 50% i.v yang timbul 10% injeksi pelan 10 ml

hiperkalemia Mengurangi paralisis 10-20 g dalam 25 ml air diikuti


otot lurik karena K+ 10 ml larutan 10%
naik

hipermagnesemia Idem Idem

Keracunan oksalat Menghilangkan Idem


hipokalsemia

4. Dekstrosa Keracunan insulin, Meningkatkan ladar 50 ml larut


OAD gula darah

5. Dicobalt edetate Keracunan sianida atau Mengikat sianida 600 mg i.v kemudian 300 mg
derivatnya menjadi lagi jika respon belum tampak
cobaltisoanid atau
cobaltosianid

6. Dimercaprol Keracunan As, Cu, Pb, Kelasi logam 2,5-5 mg/kg i.v tiap 4 jam untuk
atau Hg 2 hari kemudian 2,5 mg 2x/hari
dan diteruskan 1x/hari

7. Etanol Keracunan etilenglikol Inhibisi metabolisme 50 mg oral atau i.v kemudian


dan methanol methanol menjadi 10-12 g/jam lewat infuse
(derivatnya) formaldehid dan asa
format yang toksik

25
NO. ANTIDOTUM INDIKASI CARA KERJA DOSIS

8. Asam folanat Keracunan antagonis Menerobos blockade Keracunan metotreksat 60 mg


asam folat (missal metabolisme asam 2x/hari i.v diikuti 15 mg/6 jam
trimetoprim, folat per oral sampai 5 hari
metotreksat, dan
pirimetamin) Keracunan trimetoprim 3-6 mg
i.v kemudian 15 mg/hari per
oral sampai 5-7 hari

9. Metionin Keracunan Mengembalikan 2,5 mg per oral kemudian


parasetamol cadangan glutation, diikuti 2,5 mg tiap 4 jam untuk
mencegah kerusakan 3 dosis (10 g dalam 12 jam)
hati dan ginjal

10. Methylen blue Keracunan bahan- Memacu konversi 1-2 mg/kg atau 0,1 ml larutan
bahan penyebab metHb menjadi Hb 1%/kg i.v pelan infuse pada
methemoglobinemia penderita kekurangan G6PD,
(cresol, dapson, nitrat, tambahkan vit C 1 g i.v pelan
femol, primakuin) atau 200 mg oral 3x/hari untuk
mencegah hemolisis karena
methylen blue

11. Nalokson Meracunan narkotika Inhibisi kompetitif 0,4-2,4 mg i.v ulangi tiap 2-3
(opioid) pada reseptor menit sehingga total menjadi 10
mg, diberikan bersama infuse

12. Natrium Membuat urin lebih Meningkatkan Tergantung pada pH urin yang
bikarbonat (Bic alkalis untuk ekskresi ion karbonat harus terus dimonitor
Nat) mencegah presipitasi
Kristal sulfonamide
dalam tubulus renalis
dan mengoreksi
asidosis metabolic

13. NaK-edetate Keracunan Pb Kelasi 50-75 mg/kg i.v infuse tiap 5


(CaEDTA) jam untuk 5 hari (tiap 2 g
EDTA diencerkan dalam 200
ml RL)

14. Na-Nitrit Keracunan sianida dan Membentuk metHb 10 ml larutan 3% i.v dalam 3
derivatnya atau yang mempunyai menit kemudian diberi 25 ml
hydrogen sulfide afinitas tinggi larutan 50% Na-tiosulfat dalam
terhadap ion CN- dan 10 menit
HS- sehingga
terbentuk

26
NO. ANTIDOTUM INDIKASI CARA KERJA DOSIS

sianometHb dan
sulfurmetHb

15. Na-tiosulfat Keracunan sianida dan Meningkatkan 25 ml larutan 50% i.v dalam 10
derivatnya cadangan tiosulfat menit kemudian 10 ml larutan
tubuh yang penting 3% Na-nitrit i.v selama 3 menit
untuk mengubah CN-
menjadi tiosianat

Tabel 3. Antidotum spesifik keracunan insektisida


Golongan Tujuan Penatalaksanaan

Insektisida
Organofosfat Mengembalikan aktivitas  Atropinisasi (SA 2 mg i.v, diulang tiap
AChE (monitoring 5-10 menit sampai atropinisasi penuh
(malation, paration, diazinon, aktivitas AChE dalam (muka merah, hipersalivasi berkurang,
abate) eritrosit dan plasma), mata midriasis, takikardi)
simtomatik  Pralidoksim (p.r.n) 1000 mg i.v dalam
5 menit

 Dekontaminasi racun dari kulit dan


membrana mukosa

 Diazepam atau fenobarbital

Karbamat (Propoxur, karbaril) Sama dengan intoksikasi organofosfat,


tetapi jangan diberikan pralidoksim

Organoklorin Cegah gejala life-  Ca-glukonas 10%, i.v. 10 mL lambat


threatening, meningkatkan  Cholestyramin (ekskresi racun
eliminasi racun, meningkat 3-18x, T ½ turun dari 140
menjadi 80 jam, pemulihan gejala
simtomatik
klinis lebih cepat
 Dekontaminasi racun dari kulit dan
membrana mukosa
 Diazepam atau fenobarbital

Herbisida
Derivat bipyridil (paraquat, Menghambat absorpsi  Bilas lambung, katartik
diquat) lewat usus, meningkatkan  Aluminium silikat, bentonite
eliminasi  HD, hemoperfusa

27
Dinitrofenol Mengurangi simtom  Berendam es
(simtomatik)  Pemberian O2
 Koreksi cairan dan elektrolit

Fungisida
Pentachlorophenol Meningkatkan eliminasi Cholestyramine
melalui feses

Hexachlorobenzene Meningkatkan eliminasi Binatang: pemberian mineral oil


melalui feses

Dithiocarbamat Mengurangi hambatan


enzim mikrosomal hepar
(gugus sulfhidril)

Rodentisida
Warfarin Mengembalikan vitamin K1, 50 mg i.m atau 3x50 mg per
penjendalan darah oral

Strychnine Mencegah kejang dan  dizepam


memperbaiki respirasi  intubasi dan ventilator mekanik

Asam fluoroasetat Mengembalikan asetat gliserol monoasetat


tubuh

Thallium Meningkatkan eliminasi Ferric ferrocyanide (mengikat thallium


racun dalam usus); HD; forced diuresis)

-naphthylthiourea Menghambat aktivitas (eksperimntal)


sulfhidril

Fumigant
Sianida Mencegah metHb-emia  Na-tiosulfat 25% 50 mL i.v. dalam 10
dan mengeliminasi racun menit
 Na-nitrit 3% 10 mL i.v. dalam 3 menit

Methyl bromide Obat-obat yang mengembalikan aktivitas


sulfhidril

28
2.10. Pemeriksaan Korban Mati akibat Keracunan
Sebelum melakukan pemeriksaan atas korban mati keracunan, kumpulkan
dulu informasi sebanyak-banyaknya, misalnya perihal pekerjaan korban, dan lain-
lain. Kelainan pada korban mati keracunan dapat diabagi 2 kelompok:
1. Kematian yang berlangsung cepat (rapid poisoning death)
- Kongesti atau perbendungan alat-alat dalam
- Edema paru-paru, otak dan ginjal
- Tanda-tanda korosif
- Bau yang khas dari hidung dan mulut
- Lebam mayat yang khas
2. Kematian berlangsung lambat
- Terdapat kelainan yang khas untuk tiap jenis racun
- Keracunan arsen akan menunjukkan: pigmentasi, hiperkeratosis dan
rontoknya rambut
- Keracunan karbonmonoksida: perlunakan pada globus palidus, perdarahan
berbintik pada substansia alba dan mm.papilares serta sdanya ring
hemorrhages pada otak
- Keracunan alkohol : chirrhosis hepatis, perdarahan pada saluran
pencernaan.

1. Pemeriksaan Luar
- Pakaian, catat warna bercak, bau serta distribusinya
a. Pada pembunuhan : bercak tidak beraturan
b. Pada bunuh diri : bercak beraturan, pada bagian tangan dari atas ke bawah
c. Pada kecelakaan : tidak khas
- Lebam mayat, perhatikan warnanya
a. Merah terang : keracunan sianida atau terkena benda yang bersuhu rendah
b. Cheery-red : keracunan monoksida
c. Cokelat kebiruan : keracunan anilin, nitrobenzena, kina, potasium-chlorate
dan acetanilide.

29
- Bercak dan warna di sekitar mulut dan distribusi
a. Yodium : warna kulit menjadi hitam
b. Nitrat : warna kulit menjadi kuning
c. Zat-zat korosif : luka bakar berwarna merah cokelat
d. distribusi memberi informasi perihal cara kematian
- Bau dari mulut dan hidung, yaitu dengan cara menekan dinding dada dan
dekatkan hidung pemeriksa pada mulut atau hidung, untuk mengetahui bau
yang keluar.
a. Sianida : berbau amandel
b. Alkohol, insektisida, asam karbol : bau khas dan mudah dikenali
- Kelainan lain
a. Bekas suntikan, di daerah lipat siku, punggung tangan, lengan atas, penis dan
sekitar puting susu : keracunan narkotika
b. Skin blisters : keracunan narkotika, barbiturat dan karbonmonoksida
c. Kulit menjadi kuning : keracunan fosfor, tembaga dan keracunan chlorinated
hydrocarbon insecticide.

2. Pemeriksaan Dalam
Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah terdapat bau
yang tidak biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak tercium "bau racun"
maka sebaiknya rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu agar bau visera perut
tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila dicurigai adalah sianida. Bau
sianida, alkohol, kloroform, dan eter akan tercium paling kuat dalam rongga
tengkorak. Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang
menimbulkan hemolisis (bisa ular), pirogarol, hidrokuinon, dinitrophenol dan
arsen. Darah dan organ-organ dalam berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun
yang menimbulkan gangguan trombosit, akan terdapat banyak bercak perdarahan,
pada organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat menimbulkan kematian,
misalnya sianida, alcohol, kloroform maka darah dalam jantung dan pembuluh
darah besar tetap cair tidak terdapat bekuan darah.

30
Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat
atau menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian atas
dibuka sampai pada ikatan atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan selaput
lendir diperhatikan akan adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis dan glotis
perhatikan apakah terdapat hiperemi atau edema, disebabkan oleh inhalasi atau
aspirasi gas atau uap yang meransang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat yang
meransang. Edema glotis juga dapat ditemukan pada pemakaian akibat syok
anafilaktik, misalnya akibat penisilin. Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan
kelainan yang tidak spesifik, berupa pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang
meransang seperti klorin dan nitrogen oksida ditemukan pembendungan dan edema
hebat, serta emfisema akut karena terjadi batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada
lambung dan usus dua belas jari lambung dibuka sepanjang kurvakura mayor dan
diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung
warnanya dan terdiri dari bahan-bahan apa. Bila terdapat tablet atau kapsul diambil
dengan sendok dan disimpan secara terpisah untuk mencegah disintegrasi
tablet/kapsul.
Pada kasus-kasus non-toksikologik hendaknya pembukaan lambung
ditunda sampai saat akhir otopsi atau sampai pemeriksa telah menemukan penyebab
kematian. Hal ini penting karena umumnya pemeriksa baru teringat pada keracunan
setelah pada akhir autopsi ia tidak dapat menemukan penyebab kematian.
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah
korban menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu tersebut.
Pada hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak sering
ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan
fosfor, karbon tetraklorida, klorform dantrinitro toulena.
Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat
disebabkan oleh racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks
membengkak, gambaran tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning. Perubahan
ini dapat dijumpai pada keracunan dengan persenyawaan bismuth, air raksa,
sulfonamide, fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya analisis toksikologik
ginjal terbatas pada kasus-kasus keracunan logam berat atau pada pencarian racun

31
secara umum atau pada pemeriksaan histologik ditemukan Kristal-kristal Caoksalat
atau sulfonamide. Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang
bersih, seluruh urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota
lain untuk dilakukan pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung
kemih dan dikirim dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali.
Walaupun kandung kemih dalam keadaan kosong, kandung kemih harus tetap
diambil untuk pemriksaan toksikologik. Pemeriksaan otak biasanya tidak
ditemukan adanya edema otak pada kasus kematian yang cepat, misalnya pada
kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada keracunan kronik arsen atau timah
hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat ditemukan pada keracunan
karbonmonoksida, barbiturat, nitrogen oksida, dan logam berat seperti air raksa air
raksa, arsen dan tmah hitam. Obat-obat yang bekerja pada otak tidak selalu terdapat
dalam konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.
Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida bila
korban hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak
dalam otot septum interventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada
muskulus papilaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot
tersebut sehingga tampak gambaran seperti kipas. Pada pemeriksaan limpa selain
pembendungan akut limpa tidak menunjukkan kelainan patologik. Pada keracunan
sianida, limpa diambil karena karena kadar sianida dalam limpa beberapa kali lebih
besar daripada kadar dalam darah. Empedu merupakan bahan yang baik untuk
penentuan glutetimida, quabaina, morfin dan heroin. Pada keracunan karena
inhalasi gas atau uap beracun, paru-paru diambil, dalam botol kedap udara.
Jaringan lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan kemudian
dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa korban
meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan diambil dalam
radius 5-10 cm.
---- Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil.
Rambut diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan
kemudian diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang

32
proksimal dan bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan
pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap bagian rambut yang telah digunting
beberapa bagian yang dimulai dari bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya
½ inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya. Kuku
diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku kedua ibu
jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa diawetkan. Ahli
toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari proksimal. Kadar tertinggi
ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.

Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik


----Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu
autopsy daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk mengambil
bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik atas jaringan
yang sudah busuk atau sudah diawetkan. Pengambilan darah dari jantung dilakukan
secara terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml.
Darah tepi sebanyak 30-50 ml, diambila dari vena iliaka komunis bukan darah dari
vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting,
diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF
1% dan yang lain tanpa pengawet.
----Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam kandung kemih
untuk pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung beserta isinya. Usus beserta
isinya berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu beberapa jam setelah
menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat kematian dan dapat pula ditemukan
pil yang tidak hancur oleh lambung. Organ hati harus diambil setelah disisihkan
untuk pemeriksaan patologi anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan
racun sangat kecil, hanya beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat
rendah dan untuk menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati
merupakan tempat detoksikasi tubuh terpenting.
----Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi
logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara histologik
ditemukan Caoksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan lipoid dalam otak

33
mampu menahan racun. Misalnya CHCI3 tetap ada walaupun jaringan otak telah
membusuk. Otak bagian tengah penting pada intoksikasi CN karena tahan terhadap
pembusukan. Untuk menghidari cairan empedu mengalir ke hati dan mengacaukan
pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu jangan dibuka.
----Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan cara
yang telah disebutkan, adalah:
1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu)

Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi


Idealnya terdiri dari 9 wadah dikarenakan masing-masing bahan
pemeriksaan diletakkan
secara tersendiri, yaitu:
1. 2 buah peles a 2 liter untuk hati dan usus
2. 3 peles a 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan ginjal
3. 4 botol a 25 ml untuk darah (2 buah), urin dan empedu
4. Wadah harus dibersihkan dahulu dengan mencucinya memakai asam kromat
hangat dan dibilas dengan aquades serta dikeringkan.
5. Bahan Pengawet
Yang terbaik adalah tanpa bahan pengawet, bila terpaksa dapat digunakan bahan
pengawet
1. Alkohol absolut
2. Larutan garam dapur jenuh
3. Larutan NaF 1 %
4. Larutan NaF + Na sitrat
5. Na benzoat + fenil merkuri nitrat
Volume pengawet sebaiknya dua kali volume bahan pemeriksaan.

34
Cara Pengiriman
----Untuk melakukan pengiriman bahan pemeriksaan forensik, harus memenuhi
kriteria:
1. Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan
2. Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk kontrol
3. Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label
4. Hasil autopsi harus dilampirkan secara singkat
5. Adanya surat permintaan dari penyidik
----Jika jenazah akan diawetkan, maka pengambilan contoh bahan harus dilakukan
sebelum pengawetan. Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alkohol
tidak dapat dipakai sebagai disinfektan lokal saat pengambilan darah. Sebagai
gantinya dapat digunakan sublimat 1% atau merkuri klorida 1%.

35
BAB III
KESIMPULAN

Intoksikasi merupakan masuknya zat yang dapat membahayakan kesehatan


tubuh bahkan dapat menyebabkan kematian. Cara racun masuk kedalam tubuh
dapat melalui peroral (ingesti), inhalasi, parenteral (injeksi), penyerapan melalui
kulit yang sehat atau sakit dan per-rektal atau pervaginal. Mekanisme kerja racun
dalam tubuh yaitu bekerja lokal atau setempat (zat-zat korosif), bekerja secara
sistemik (narkotika, karbon-monoksida, sianida, insektisida) dan racun yang
bekerja secara lokal maupun sistemik (asam oksalat, arsen). Toksikologi forensik,
adalah penerapan toksikologi untuk membantu investigasi medikolegal dalam
kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan.
Kriteria diagnostik pada keracunan yang terpenting adalah dari pemeriksaan
dalam, yakni dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan
keracunan dari racun yang diduga serta analisa kimia atau pemeriksan toksikologik.
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan bertujuan untuk mencari penyebab
kematian (jenis racun penyebab), dan mengetahui mengapa suatu peristiwa dapat
terjadi (rekaan rekontruksi) atau sudah sejauh mana racun tersebut berperan.
Pemeriksaan atas korban keracunan yang terpenting yaitu mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya tentang korban (pekerjaan, perkiraan racun yang
digunakan dan sebagainya), serta pemeriksa tidak diperkenankan merokok,
menggunakan banyak air, disinfektan untuk menghilangkan bau dan bahan-bahan
kimia yang dapat mengganggu penafsiran pada pemeriksaan.
Prinsip penatalaksaan pada kasus intoksikasi yaitu tindakan umum berupa
tindakan Airway, Breathing, Circulation, Usaha Terapetik lain (Mempertahankan
Keseimbangan elektrolit, air, asam dan basa; Decontamination; dan Eliminasi),
serta pemberian antidotum spesifik tergantung dari penyebab keracunannya.
Dengan pemahaman toksikologi dan dukungan disiplin ilmu yang terkait,
maka dapat diambil strategi/langkah yang tepat yang diperlukan agar dapat
membuat suatu kesimpulan mengenai kasus terkait keracunan.

36
BAB IV
CONTOH KASUS INTOKSIKASI

Pasien Ny. B, 27 tahun, dibawa ke IGD dengan keluhan muntah - muntah frekuensi
± > 5 kali, muntah berwarna hijau kekuningan, darah (-), Pasien meminum pestisida
sebanyak 1/2 botol (1 botol = 500cc). Pasien juga mengeluh nyeri perut. Sesak nafas
(+) Berkeringat banyak (+). Demam (-). Buang air kecil (-) dalam 1 jam terakhir.

Pada pemeriksaan luar di dapatkan;


1. Bau: Bau minyak tanah.
2. Pakaian: Bercak berwarna coklat.
3. Kelainan pada tempat masuk racun: Luka bakar atau korosif pada bibir,
mulut dan kulit disekitarnya.
4. Kulit: Hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada telapak tangan
dan kaki.
5. Kuku: Sedikit menebal secara tidak teratur.
6. Rambut: Rontok.
7. Sklera: Ikterik.

DIAGNOSIS KERJA
Intoksikasi Insektida

PENATALAKSANAAN
• O2 2 liter/ menit (kp)
• IVFD RL loading 2 liter (2 Line) TD 110/80 mmHg
• Inj Sulfas Atropin 2 mg iv 3 menit  inj sulfas atropin 1 mg atropinisasi.
• Inj omeprazole 1 ampul/ 24 jam iv
• Pasang NGT  Gastric lavage dengan Nacl 1 -2 liter.
• Pasang DC (0,5-1ml/kg/jam).

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansyur. Toksikologi Keamanan Unsur Dan Bidang-Bidang Toksikologi.


htpp://www.freewweb.com.

2. William G. Eckert. Introduction to Forensic Sciencis Second Adition. New


york, Elsevier: 1992

3. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.


Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta
4. Fitriana, AV. 2015. Forensic Toxicology. J MAJORITY: Volume 4 Nomor 4,
Diakses pada 19 Juli 2018 dalam http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.
php/majority/article/viewFile/571/575.
5. Wirasuta, M. G, Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan
Analisis, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-55.
6. Bell, S. Forensic Chemistry. Pearson Education Inc., 2006
7. Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan
dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic
Sciences 2008; 1(1):35-39
8. Hadikusumo, Nawawi, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, IKF III, FK Uiversitas
Gajah Mada.
9. Dolinak D. Toxycology. In: Dolinak D. Matshes E. Lew E. Forensic pathology:
Principles and practice. USA: Elsevier academic press; 2005.p.346-66.

38

Anda mungkin juga menyukai