Materi Konstruksi Bangunan Dan Evaluasi Pekerjaan Bangunan PDF
Materi Konstruksi Bangunan Dan Evaluasi Pekerjaan Bangunan PDF
I. PENDAHULUAN
Pada proyek konstruksi memungkinkan adanya kasus hukum yang terjadi karena adanya
penyimpangan terhadap kontrak. Kasus hukum tersebut berdampak bagi pihak yang mengelola
pekerjaan konstruksi berupa sanksi hukum perdata maupun pidana. Penyimpangan terhadap
kontrak baik volume, kualitas maupun waktu pelaksanaan memungkinkan terjadinya kegagalan
bangunan. Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi semua pihak
yang terkait dalam pengelolaan pekerjaan konstruksi harus bertanggungjawab apabila terjadi
kegagalan bangunan.
Semua pihak baik owner, perencana, pelaksana, dan pengawas dalam pekerjaan konstruksi perlu
memahami dengan cermat apa yang menjadi kewajiban dan haknya sesuai dengan perjanjian
dalam kontrak serta peraturan yang berlaku sehingga tidak terjadi penyimpangan dan kegagalan
bangunan/ konstruksi.
Sering terdapat pemberitaan berbagai mengenai permasalahan teknis lapangan mulai dari yang
kecil sampai masalah kegagalan bangunan pada proyek konstruksi, yang dikaitkan dengan masalah
Korupsi. Oleh sebab itu, dalam Pekerjaan Konstruksi di lingkup pemerintah terkait dengan
keuangan negara perlu adanya bentuk perjanjian, peraturan termasuk perundang-undangan yang
mengatur.
Dengan demikian, perlu adanya sinkronisasi antara regulasi dan praktik di lapangan sehingga tidak
ada pihak yang dirugikan baik pelaku konstruksi maupun keuangan negara.
MAKSUD
Memberikan pemahaman bagi Penyelenggara Jasa Konstruksi akan hukum kontrak sehingga dapat
diupayakan pencegahan penyelewengan maupun resiko dari pelaksanaan kontrak.
TUJUAN
Memperoleh pemahaman yang setara oleh masing-masing pelaku konstruksi baik owner,
perencana, pengawas maupun pelaksana dan aparat hukum mengenai hukum kontrak dalam
lingkup perumahan dan permukiman; Mensinkronkan peraturan yang ada dan akan dibuat dengan
praktik di lapangan berdasarkan pengalaman para pelaku konstruksi.
SASARAN
Tercapainya sikronisasi undang-undang dan peraturan yang ada dan yang akan dibuat dengan
praktik di lapangan berdasarkan pengalaman pelaku konstruksi.
Halaman 1/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
Halaman 2/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai
dengan fungsi yang ditetapkan.
11. Pengkaji teknis adalah orang perorangan, atau badan hukum yang mempunyai sertifikat
keahlian untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi bangunan gedung
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
12. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau
organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat
dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
13. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar
bangunan gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi bangunan
gedung.
14. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri.
15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah kabupaten atau kota beserta perangkat daerah
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, kecuali untuk Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta adalah gubernur.
A. Persyaratan Umum
1. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
2. Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin
mendirikan bangunan.
3. Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
4. Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung
harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi
permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah
lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya
setempat.
Halaman 3/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
Halaman 4/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan
pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.
11. Persyaratan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di
bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan batas-batas lokasi, keamanan, dan
tidak mengganggu fungsi utilitas kota, serta pelaksanaan pembangunannya.
12. Ketentuan mengenai persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
B. Persyaratan Keselamatan
1. Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan,
serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya
kebakaran dan bahaya petir.
2. Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan struktur bangunan gedung
yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan.
3. Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya
kebakaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan
gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi
pasif dan/atau proteksi aktif.
4. Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah bahaya petir sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan
pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir.
5. Persyaratan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam
mendukung beban muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan
kemampuan struktur bangunan gedung
6. yang stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebanan maksimum dalam mendukung
beban muatan hidup dan beban muatan mati, serta untuk daerah/zona tertentu
kemampuan untuk mendukung beban muatan yang timbul akibat perilaku alam.
7. Besarnya beban muatan dihitung berdasarkan fungsi bangunan gedung pada kondisi
pembebanan maksimum dan variasi pembebanan agar bila terjadi keruntuhan pengguna
bangunan gedung masih dapat menyelamatkan diri.
8. Ketentuan mengenai pembebanan, ketahanan terhadap gempa bumi dan/atau angin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
9. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan system proteksi pasif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan stabilitas struktur dan
elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan, serta proteksi pada
Halaman 5/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap
kebakaran.
10. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan system proteksi aktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan peralatan dalam
mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan
kebakaran.
11. Bangunan gedung, selain rumah tinggal, harus dilengkapi dengan system proteksi pasif dan
aktif.
12. Ketentuan mengenai sistem pengamanan bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
13. Pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (4) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melindungi
semua bagian bangunan gedung, termasuk manusia di dalamnya terhadap bahaya
sambaran petir.
14. Sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan instalasi
penangkal petir yang harus dipasang pada setiap bangunan gedung yang karena letak, sifat
geografis, bentuk, dan penggunaannya mempunyai risiko terkena sambaran petir.
15. Ketentuan mengenai sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
A. KETENTUAN UMUM
1. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan
konstruksi;
2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masingmasing beserta kelengkapannya, untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain;
3. Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik
pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi;
4. Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya
menyediakan layanan jasa konstruksi;
5. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum
antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi;
6. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh
penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan
maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak
kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan
penyedia jasa dan/atau pengguna jasa;
7. Forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa
konstruksi dan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasa
konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri;
Halaman 6/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
8. Registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan
keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha
sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat;
9. Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik
lain;
10. Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain;
11. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai
selesai dan diserahterimakan.
Halaman 7/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
f. Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi
yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil.
g. Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat
melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.
h. Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau
yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk
perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.
i. Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau
mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta
kelengkapannya.
j. Ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bentuk
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan bidang usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
D. SANKSI
Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana
atas pelanggaran Undang-undang ini.
SANKSI ADIMINITRASI
1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada
penyedia jasa berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi;
e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi.
Halaman 8/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada
pengguna jasa berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi;
e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi;
f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
3. Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
SANKSI PIDANA
1. Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi
ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan
bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling
banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
2. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau
tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5
(lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai
kontrak.
3. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan
sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi
melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5
(lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari
nilai kontrak.
Namun dalam praktiknya, penyelenggaraan pekerjaan tersebut tidak cukup mudah untuk
bisa dikerjakaan dengan sempurna mengingat banyaknya parameter yang harus
diperhatikan. Serta masih terjadinya perbedaan presepsi dalam memahami permasalahan
yang muncul mulai dari permasalahan Administrasi, dilanjutkan masalah teknis yang
menyebabkan penyelenggaraan Bangunan ini dianggap menjadi tidak dapat diselesaikan
dengan baik. Sehingga timbul masalah pidana terhadap penyelenggaraan pekerjaan
Konstruksi.
Halaman 9/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
Untuk itu diperlukan pemahaman yang sama atas beberapa permasalahan yang timbul
terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, khususnya masalah Administrasi dan masalah
Teknis.
Cara perhitungan yang berbeda dan cara pengakuan besarnya Volume terpasang, sering
menjadi perbedaan yang mendasar dan hasil pengakuan perhitungan Volume inilah yang
mejadi sumber yang disengketakan.
Sedangkan untuk pemeriksaan Kualitas Bangunan yang sering menjadi pengamatan dalam
pemeriksaan kasus suatu bangunan adalah sebagai berikut.
1. Pemeriksaan Mutu Material Beton
2. Pemeriksaan Mutu Material Baja
3. Pemeriksaan Mutu Material Kayu
Pemeriksaan tersebut diatas, diutamakan pada bagian material struktur bangunan, namun
jarang sekali dilakukan pemeriksaan terhadap material non struktur. Padahal secara nilai
ekonomis penggunaan material non struktur lebih besar.
Cara mengevaluasi dan mengakui kualitas material yang berbeda juga mejadi sumber yang
disengketakan. Bahkan pemahaman dari penggunaan SNI yang terkait dengan pengujian
material tidak dilaksanakan dengan baik pula.
Sebetulnya permasalahan teknis pada bangunan Konstruksi Gedung cukup banyak, namun
sebesar apapun permasalahan teknis, akan dapat diselesaikan secara teknis pula.
Penyelesaian masalah teknis diharapkan agar Konstruksi Bangunan Gedung dapat
mempunyai kehandalan yang cukup sehingga dapat dihindari adanya Kegagalan Konstruksi
maupun Kegagalan Bangunan.
Halaman 10/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
1. Beton harus diuji dengan ketentuan 7.6(2) hingga 7.6(5). Teknisi pengujian lapangan yang
memenuhi kualifikasi harus melakukan pengujian beton segar di lokasi konstruksi,
menyiapkan contoh-contoh uji silinder yang diperlukan dan mencatat suhu beton segar
pada saat menyiapkan contoh uji untuk pengujian kuat tekan. Teknisi laboratorium yang
mempunyai kualifikasi harus melakukan semua pengujian-pengujian laboratorium yang
disyaratkan.
2. Frekuensi pengujian
(1) Pengujian kekuatan masing-masing mutu beton yang dicor setiap harinya haruslah dari
satu contoh uji per hari, atau tidak kurang dari satu contoh uji untuk setiap 120 m3
beton, atau tidak kurang dari satu contoh uji untuk setiap 500 m2 luasan permukaan
lantai atau dinding.
(2) Pada suatu pekerjaan pengecoran, jika volume total adalah sedemikian hingga
frekuensi pengujian yang disyaratkan oleh 7.6(2(1)) hanya akan menghasilkan jumlah
uji kekuatan beton kurang dari 5 untuk suatu mutu beton, maka contoh uji harus
diambil dari paling sedikit 5 adukan yang dipilih secara acak atau dari masing-masing
adukan bilamana jumlah adukan yang digunakan adalah kurang dari lima.
(3) Jika volume total dari suatu mutu beton yang digunakan kurang dari 40 m3, maka
pengujian kuat tekan tidak perlu dilakukan bila bukti terpenuhinya kuat tekan
diserahkan dan disetujui oleh pengawas lapangan.
(4) Suatu uji kuat tekan harus merupakan nilai kuat tekan rata-rata dari dua contoh uji
silinder yang berasal dari adukan beton yang sama dan diuji pada umur beton 28 hari
atau pada umur uji yang ditetapkan untuk penentuan fc’.
Halaman 11/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
(2) Perawatan benda uji di lapangan harus mengikuti SNI 03-4810-1998, Metode
pembuatan dan perawatan benda uji di lapangan.
(3) Benda-benda uji silinder yang dirawat di lapangan harus dicor pada waktu yang
bersamaan dan diambil dari contoh adukan beton yang sama dengan yang digunakan
untuk uji di laboratorium.
(4) Prosedur untuk perlindungan dan perawatan beton harus diperketat jika kuat tekan
beton yang dirawat di lapangan menghasilkan nilai fc’ yang kurang dari 85% kuat tekan
beton pembanding yang dirawat di laboratorium. Batasan 85% tersebut tidak berlaku
jika kuat tekan beton yang dirawat di lapangan menghasilkan nilai yang melebihi fc’
sebesar minimal 3,5 MPa.
Halaman 12/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
IX. PENUTUP
Demikian materi mengenai Konstruksi Bangunan, khususnya Bangunan Gedung ini kami sampaikan.
Semoga dengan adanya kegiatan Sosialisasi Undang-Undang dan Peraturan Bidang Perumahan dan
Permukiman tentang Hukum kontrak konstruksi dapat mencapai peningkatan pemahaman
mengenai hukum kontrak bagi pelaku konstruksi dan meningkatkan pemahaman mengenai hukum
kontrak dalam lingkup perumahan dan permukiman baik bagi owner, perencana, pengawai
maupun pelaksana serta tercapainya sikronisasi peraturan yang ada dan yang akan dibuat dengan
praktik dilapangan berdasarkan pengalaman pelaku konstruksi.
Penyusun,
Halaman 13/13