Anda di halaman 1dari 8

RINGKASAN MATERI

Materi: spesifikasi dan karakteristik bahan bangunan dengan berbasis green material dan
berbagai jenis pekerjaan konstruksi yang mendasari gambar konstruksi gedung dengan
mengangkat isu-isu global terkait green building dan sustainable building yang dijadikan
dasar dalam penggambaran konstruksi.
A. PENGERTIAN GREEN BUILDING
Green building menurut World Green Building Council (2016) sebuah
bangunan yang memiliki proses desain, kontruksi, dan operasional yang mampu
menciptakan dampak positif terhadap iklim dan lingkungan alam.
Menurut Green Building Council Indonesia atau GBCI (2010), bangunan hijau
adalah bangunan yang dimana sejak mulai dalam tahap perencanaan, pembangunan,
pengoperasian hingga dalam operasional pemeliharaannya memperlihatkan aspek-
aspek dalam melindungi, menghemat, serta mengurangi penggunaan sumber daya
alam, menjaga mutu dari kualitas udara di ruangan, dan memperhatikan kesehatan
penghuninya yang semuanya berpegang pada kaidah pembangunan yang
berkesinambungan.
Green building merupakan salah satu konsep yang muncul dalam mendukung
pembangunan rendah karbon yakni melalui kebijakan dan program peningkatan
efisiensi energi, air dan material bangunan serta peningkatan penggunaan teknologi
rendah karbon. Penerapan green building bukan saja memberikan manfaat secara
ekologis, tetapi juga bernilai ekonomis, dengan cara menurunkan biaya operasional
dan perawatan gedung. Bangunan ramah lingkungan (green building) menurut
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 tahun 2010 tentang Kriteria
dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan, adalah suatu bangunan yang
menerapkan prinsip lingkungan dalam perancangan, pembangunan, pengoperasian,
dan pengeloaannya dan aspek penting penanganan dampak perubahan iklim.
Green building merupakan solusi konsep properti untuk mengambil peran
dalam mengurangi dampak global warming. Menurut Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 8 tahun 2010, bangunan ramah lingkungan (green building)
adalah suatu bangunan yang menerapkan prinsip lingkungan dalam perancangan,
pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaannya dalam aspek penting penanganan
dampak perubahan iklim. Prinsip lingkungan yang dimaksud adalah mementingkan
unsur pelestarian fungsi lingkungan. Salah satu aspek yang dilihat adalah penggunaan
material, sehingga material memegang peranan penting terkait dengan tujuan hemat
energi dan ramah lingkungan. Pemilihan material bangunan yang tepat yaitu dengan
menggunakan green material atau material ramah lingkungan dapat menghasilkan
bangunan yang berkualitas sekaligus ramah lingkungan, khususnya pemanfaatan
material ekologis atau material yang ramah lingkungan.

B. KONSEP GREEN BUILDING


Dengan konsep green building diharapkan bisa mengurangi penggunaan
energi serta dampak polusi sekaligus juga desain bangunan menjadi ramah
lingkungan. Dalam Bulan Mutu Nasional dan Hari Standar Dunia, 2008 dijelaskan
bahwa dalam merancang dan mendesain ”Intelligent dan Green Building” harus
memperhatikan:
1. Pemanfaatan material yang berkelanjutan
2. Keterkaitan dengan ekologi lokal
3. Konservasi energi
4. Efisiensi penggunaan air
5. Penanganan limbah
6. Memperkuat keterkaitan dengan alam
7. Pemakaian kembali/renovasi bangunan

C. KRITERIA GREEN BUILDING


Dalam Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum tentang
Pedoman Teknis Bangunan Hijau, kriteria bangunan hijau dibedakan menjadi dua,
yaitu: Pertama, kriteria pembangunan yang mencakup aspek perencanaan dan
pelaksanaan. Kedua, kriteria pemanfaatan yang mencakup aspek pemeliharaan, aspek
perawatan, dan aspek pemeriksaan berkala. Kriteria spesifik dari tahap pelaksanaan
adalah:
1. Manajemen efisiensi energi
2. Manajemen efisiensi air
3. Manajemen penggunaan material
4. Manajemen pelaksanaan konstruksi

Green building dirancang secara keseluruhan untuk mengurangi dampak


lingkungan pada kesehatan manusia yaitu dengan:

1. Efisien menggunakan energi, air, dan sumber daya lainnya


2. Melindungi kesehatan karyawan dan meningkatkan produktivitas kerja
3. Mengurangi limbah, polusi, dan degradasi lingkungan

D. MANFAAT GREEN BUILDING


EPA (2014) menyebutkan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan bangunan
hijau di antaranya:
1. Manfaat Lingkungan
a. Meningkatkan dan melindungi biodiversitas dan ekosistem
b. Memperbaiki kualitas air dan udara
c. Mengurangi aliran limbah
d. Konservasi dan restorasi sumber daya alam
2. Manfaat Ekonomi
a. Mengurangi biaya operasional
b. Menciptakan, memperluas dan membentuk pasar untuk produk
dan pelayanan ramah lingkungan
c. Memperbaiki produktivitas pengguna gedung
d. Mengoptimalkan daur hidup performa ekonomi
3. Manfaat Sosial
a. Meningkatkan kesehatan dan kenyamanan pengguna gedung
b. Meningkatkan kualitas estetika
c. Meminimalkan ketegangan pada infrastruktur lokal
d. Meningkatkan kualitas hidup secara umum
Menurut Ervianto (2009) mengatakan manfaat dari kepemilikan bangunan
hijau yaitu:
1. Rendahnya biaya operasional, sebagai akibat efisiensi dalam pemanfaatan
energi dan air.
2. Lebih nyaman, dikarenakan suhu dan kelembaban ruang terjaga.
3. Pembangunan wajib memberikan perhatian dalam hal pemilihan material
yang relatif sedikit mengandung bahan kimia.
4. Sistem sirkulasi udara yang mampu menciptakan lingkungan dalam ruang
yang sehat.
5. Mudah dan murah dalam penggantian berbagai komponen bangunan
6. Biaya perawatan dan perawatannya yang relatif rendah.

E. KRITERIA GREEN BUILDING


Terkait dengan pembangunan ramah lingkungan atau juga bisa disebut
bangunan hijau/green building, terdapat dua kebijakan pemerintah yang memuat
kriteria dari sebuah bangunan agar dapat disebut banguan ramah lingkungan/
green building yaitu dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan
Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum. Dalam Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2010 tentang Kriteria dan
Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan. Bab II pasal 4, bangunan dapat
dikategorikan sebagai
bangunan ramah lingkungan apabila memenuhi kriteria antara lain:
a. Menggunakan material bangunan yang ramah lingkungan.
b. Terdapat fasilitas, sarana dan prasarana untuk konservasi sumber daya air
dalam bangunan gedung.
c. Terdapat fasilitas, sarana dan prasarana konservasi dan diversifikasi energi.
d. Menggunakan bahan yang bukan perusak ozon dalam bangunan gedung.
e. Terdapat fasilitas, sarana dan prasarana pengelolaan air limbah domestik pada
bangunan gedung.
f. Terdapat fasilitas pemilah sampah.
g. Memperhatikan aspek kesehatan bagi penghuni bangunan
h. Terdapat fasilitas, sarana dan prasarana pengelolaan tapak berkelanjutan
i. Terdapat fasilitas, sarana dan prasarana untuk mengantisipasi bencana
Dari Peraturan Menteri ini dapat dilihat bahwa aspek material memiliki peran
yang utama dalam menentukan kriteria sebuah bangunan ramah lingkungan. Sub
kriteria dari penggunaan material adalah penggunaan material bangunan yang bersifat
eco-label dan merupakan material bangunan lokal.

F. PENGERTIAN GREEN MATERIAL


Green material memiliki arti yang lebih luas dari sekedar material ramah
lingkungan. Pengertian material ramah lingkungan sendiri pada umumnya
menyangkut dari sisi produk material itu sendiri. Material ramah lingkungan adalah
material yang pada saat digunakan dan dibuang, tidak memiliki potensi merusak
lingkungan dan mengganggu kesehatan. Sedangkan, green material memiliki
pengertian lebih besar selain hanya dari sisi produk materialnya saja yang ramah
lingkungan. Tetapi, juga meninjau keberlanjutan dari sumber material, proses
produksi, proses distribusi, dan proses pemasangan. Serta dapat mendukung
penghematan energi (energi listrik dan air), meningkatkan kesehatan dan
kenyamanan, dan efisiensi manajemen perawatan bangunannya.
Peneliti senior United State Green Building Council (USGBC), Martin
Mulvihill menyatakan bahwa bahan kimia yang digunakan dari sumber bahan baku ke
bangunan, dan melalui dekomisioning, haruslah aman bagi kesehatan manusia dan
lingkungan. Selain itu, material harus berasal dari bahan yang dapat digunakan
kembali atau terbarukan, dibuat secara aman dan efisien tanpa menciptakan polusi
atau limbah yang berbahaya. Pendapat Mulvihill yang terakhir ini biasanya kita kenal
dengan istilah green material. Sedangkan menurut Wulfram I. Ervianto (2013),
material ekologis atau ramah lingkungan yaitu material yang bersumber dari alam dan
tidak mengandung zat-zat yang mengganggu kesehatan, misalnya batu alam, kayu,
bambu, tanah liat. Selain itu, menurut Frick & Suskiyatno (2007) bahan bangunan
dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek penggolongan ramah lingkungannya, seperti
bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali (regenerative), bahan bangunan
alam yang dapat digunakan kembali (recycling), bahan bangunan alam yang
mengalami perubahan transformasi sederhana, bahan bangunan alam yang mengalami
beberapa tingkat perubahan transformasi, serta bahan bangunan komposit.
Penerapan green material dalam pemenuhan green building harus tetap
didasarkan pada tahapan bangunan, baik dari perencanaan, konstruksi, hingga
penghunian. Untuk itu, perlu diketahui apakah aturan mengenai green material dapat
diterapkan pada keseluruhan siklus hidup bangunan, khususnya di Indonesia.
Berdasarkan pembahasan ini, maka tulisan ini bertujuan untuk menganalisis hubungan
penerapan aspek material ramah lingkungan (green material) pada kriteria green
building dengan siklus pengadaan material bangunan (building material life cycle).

G. FAKTOR DAN STRATEGI YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN DALAM


MEMILIH MATERIAL BANGUNAN
Kebutuhan akan pembangunan properti yang semakin meningkat mendorong
pihak industri material bangunan untuk menghasilkan inovasi produk material
bangunan yang ramah lingkungan sehingga dapat bersaing di pasar industri.
Pemilihan dalam produk material menjadi aspek yang sangat penting dalam
mewujudkan konsep green building. Menurut Siagian (2005) terdapat beberapa faktor
dan strategi yang harus dipertimbangkan dalam memilih material bangunan:
a. Bangunan yang dirancang dapat dipakai kembali dan memperhatikan
sampah/buangan bangunan pada saat pemakaian
b. Bahan bangunna tersebut dapat dipakai kembali (didaur ulang)
c. Keaslian material
d. Energi yang diwujudkan (embodied energy)
e. Produksi material
f. Dampak dari material
g. Material yang mengandung racun
h. Efisiensi ventilasi
i. Teknik konstruksi yang digunakan
j. Memprioritaskan material alami
k. Mempertimbangkan durabilitas dan umur dari produk

H. KRITERIA GREEN MATERIAL


1. Tidak beracun, sebelum maupun sesudah digunakan.
2. Dalam proses pembuatannya tidak memproduksi zat-zat berbahaya bagi
lingkungan.
3. Dapat menghubungkan kita dengan alam, dalam arti kita makin dekat dengan
alam karena kesan alami dari material tersebut (misalnya bata mengingatkan
kita pada tanah, kayu pada pepohonan).
4. Bisa didapatkan dengan mudah dan dekat (tidak memerlukan ongkos atau
proses memindahkan yang besar karena menghemat energi BBM untuk
memindahkan material tersebut ke lokasi pembangunan).
5. Bahan material yang dapat terurai dengan mudah secara alami.

I. FAKTOR DAN STRATEGI MEMILIH MATERIAL


Menurut Siagian (2005) terdapat beberapa faktor dan strategi yang harus
dipertimbangkan dalam memilih material bangunan:
1. Bangunan yang dirancang dapat dipakai kembali dan memperhatikan
sampah/buangan bangunan pada saat pemakaian.
2. Bahan bangunna tersebut dapat dipakai kembali (didaur ulang).
3. Keaslian material.
4. Energi yang diwujudkan (embodied energy).
5. Produksi material.
6. Dampak dari material.
7. Material yang mengandung racun.
8. Efisiensi ventilasi.
9. Teknik konstruksi yang digunakan.
10. Memprioritaskan material alami.
11. Mempertimbangkan durabilitas dan umur dari produk.

J. ASPEK PENGGUNAAN MATERIAL


Pada aspek penggunaan material, dapat dibagi lagi menjadi beberapa kriteria
material dalam bangunan ramah lingkungan, yaitu:
1. Menggunakan material secara efisien dan cermat untuk mengurangi sisa bahan
tak terpakai (zero waste, zero defect, dan sistem pracetak).
2. Menggunakan material yang bahan baku dan proses produksinya ramah
lingkungan.
3. Menyiapkan area pemilahan dan menyelenggarakan manajemen sampah untuk
tempat material sisa pelaksanaan proyek sebelum digunakan kembali dan/atau
didaur ulang.
4. Mengutamakan penggunaan material lokal hasil olahan yang mudahdiperoleh
di sekitar kawasan proyek.
5. Menggunakan pemasok bahan konstruksi yang bersedia membawa/mengambil
kembali kemasan pembungkus, pallets, dan material yang tidak terpakai atau
material sisa yang ditimbulkan oleh produk yang disediakannya.
6. Melakukan penjadwalan pengadaan material secara akurat untuk mengurangi
penyimpanan.
7. Mendorong penggunaan kembali material untuk kantor proyek, bedeng
pekerja konstruksi, dan gudang.
8. Mendorong penggunaan kembali alat bantu konstruksi seperti cetakan beton,
perancah, dan alat bantu lainnya.

K. GLOBALISASI BAHAN BANGUNAN


Teknologi pembuatan bahan bangunan berkembang pesat, dan akan terus
dikembangkan. Bahan bangunan yang dihasilkan semakin kuat, akurat dalam ukuran,
terstandarisasi secara internasional, semakin awet, semakin beragam dari segi estetis,
dan banyak sifat “lebih baik” lainnya. Isu krisis lingkungan tentu saja mempengaruhi
juga bidang produksi bahan bangunan. Sudah umum sekarang dipromosikan bahan
bangunan yang “hijau”, lebih efisien, lebih murah, lebih ringan tapi kuat, lebih ramah
terhadap lingkungan, dan promosi lainnya. Promosi sering dinilai negatif karena
kebanyakan agar barang dagangannya laku, tapi tentu saja tidak selalu demikian.
Produksi bahan bangunan tentu saja sangat mengandalkan bahan baku yang
berasal dari alam. Semakin banyak jumlah manusia di bumi akan membutuhkan
bangunan yang semakin banyak, dan semakin banyak pula dibutuhkan bahan
bangunan, yang berarti semakin banyak sumber daya alam terkuras untuk memenuhi
kebutuhan ini. Sumber daya alam seperti pasir, batu, tanah liat, tanaman, logam dan
lain-lainnya yang menunjang produksi bahan bangunan semakin berkurang, sementara
lingkungan buatan yang ditunjang oleh bahan bangunan buatan semakin bertambah,
dengan perbandingan yang semakin lama semakin pincang.
Terjadi pergeseran dari penggunaan bahan lokal menjadi bahan yang
diproduksi secara besar-besaran dan didistribusikan secara global, dari tanpa atau
minimal pemrosesan menjadi bahan yang diolah maksimal, bahan yang sederhana
menjadi bahan komposit yang direkayasa, dicampur dan ditambah bahan kimia untuk
mengubah sifat bahan. (Dusastre, 1). Hasilnya adalah penggunaan bahan bangunan
secara konsumtif dan menimbulkan banyak limbah.
Kemampuan ekonomi pihak pemilik bangunan banyak mendorong terjadinya
globalisasi bahan bangunan, berpindah dari ujung bumi yang satu ke yang lain.
Kemajuan alat transportasi juga membuat perpindahan barang menjadi lebih mudah
dan cepat. Kemudahan dan kecepatan adalah kenyamanan yang melenakan, namun di
sisi lain berarti semakin cepat menghabiskan sumber daya alam untuk bahan
bangunan.
Krisis lingkungan dan bumi mendorong banyak pihak untuk menemukan
bahan
bangunan yang ramah lingkungan. Banyak pihak menyatakan bahan bangunan
tertentu
sebagai ramah lingkungan sementara bahan bangunan tertentu lainnya tidak ramah
lingkungan. Masalahnya mungkin bukan sekedar pengkategorian seperti itu, tapi lebih
pada usaha untuk membuat semua bahan bangunan dapat bersifat ramah terhadap
lingkungan. Untuk ini dibutuhkan ketepatan penggunaan sesuai sifat bahan bangunan
serta kondisi yang dihadapi.
L. BAHAN LOKAL
Bahan lokal sering dianggap lebih berkelanjutan, mungkin dengan pemikiran
tidak perlu banyak biaya transportasi serta tidak menimbulkan banyak polusi akibat
transportasi tersebut. Bahan lokal ini pasti berasal dari sumber daya alam setempat,
yang mempunyai kecepatan tertentu untuk tumbuh atau memulihkan diri. Kecepatan
ini harus diperbandingkan dengan kecepatan penggunaan oleh manusia. Bila
kecepatan penggunaan oleh manusia lebih tinggi, maka alam akan ketinggalan dalam
pemulihan dirinya, dan alam akan mulai berkurang dan rusak. Pada titik ini, bahan
lokal yang semula banyak dianggap sebagai bahan yang berkelanjutan, akan tidak
demikian lagi. Hal ini membutuhkan perhitungan dan pengawasan terhadap
pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai contoh, pada suatu daerah terdapat hutan bambu, yang digunakan
sebagai bahan bangunan. Semula, ketika penduduk daerah tersebut masih sedikit,
penggunaan bambu tidak melampaui kecepatan produksi hutan bambu tersebut. Hutan
bambu selalu dapat memenuhi kebutuhan manusia. Bambu menjadi bahan bangunan
yang berkelanjutan, ramah lingkungan.
Ketika jumlah manusia di daerah tersebut bertambah, dan kebutuhan akan
bangunan meningkat pesat, semakin banyak dan semakin cepat bambu ditebang,
digunakan untuk membangun rumah. Rumah bertambah, biasanya menggusur hutan
atau daerah hijau lainnya. Andaikan saja luas hutan tetap, dengan kecepatan produksi
tetap pula. Maka suatu saat, volume kebutuhan akan bambu sebagai bahan bangunan
akan melampaui kecepatan produksi hutan bambu. Saat itu, bambu bukan lagi bahan
bangunan yang ramah lingkungan. Saat itu, penggunaan bambu sebagai bahan
bangunan akan mengancam keberlangsungan hidup hutan bambu tersebut, serta
semua spesies lain yang tergantung hidupnya kepada hutan bambu tersebut.
Sifat ramah lingkungan dari bahan bangunan bambu dengan demikian tidak
absolut, tergantung pada kecepatan produksi alam, dan jumlah serta kecepatan
pemakaian. Kecenderungan pertambahan jumlah manusia, dengan demikian, akan
cenderung membuat semua bahan bangunan alami tidak lagi ramah lingkungan.
Dibutuhkan perhitungan untuk mengetahui kecepatan tumbuh bambu, serta tingkat
kebutuhan akan bahan bangunan dari bambu. Ketika permintaan akan bambu
melampaui kecepatan tumbuhnya, penggunaan bambu harus dibatasi maksimal sama
dengan kecepatan tumbuh.
Penerapan teknologi untuk meningkatkan kekuatan dan keawetan bambu akan
membuat bahan bangunan bambu tahan lama, sehingga tidak perlu terlalu sering
diganti dengan bambu baru. Hal ini akan mengurangi pengambilan bambu dari alam,
mengurangi kecepatan terlampauinya daya dukung hutan bambu. Anggapan bahan
lokal lebih berkelanjutan perlu disertai dengan kesadaran, kondisi seperti apa yang
dapat mendukung anggapan tersebut.

M. EFISIENSI PENGGUNAAN BAHAN BANGUNAN


Bahan bangunan yang ramah lingkungan, bila diperlakukan dengan cara yang
tidak tepat, akan berubah menjadi tidak lagi ramah lingkungan. Cara penggunaan
akan sangat menentukan tingkat “kehijauan” suatu bahan bangunan. Suatu bahan
bangunan yang ramah lingkungan, bila digunakan tidak sesuai dengan fungsinya,
akan berubah menjadi tidak lagi ramah lingkungan. Sebagai contoh, bahan lantai
keramik untuk ruang dalam bangunan, bila digunakan di luar ruangan, akan terpapar
cuaca, sehingga akan cepat rusak dan harus sering diganti. Ketidaktepatan
penempatan bahan bangunan membuatnya tidak lagi ramah lingkungan.
Contoh lainnya, bahan dinding keramik yang dipasang dalam posisi miring
atau lekukan horizontal, akan cepat kotor karena ditempeli debu, dan bila tidak rutin
dibersihkan akan cepat rusak. Banyak bentuk detail arsitektur yang dibuat untuk
menghasilkan “nilai estetis” lebih, namun sering jadi berlebihan, dan menimbulkan
tambahan biaya yang tidak perlu, mengakibatkan penggunaan fungsi yang tidak
maksimal, menyulitkan pembersihan dan perawatan, serta perbaikan.
Penggunaan lampu hemat energi, bila tidak disertai sikap berhemat, akan
percuma saja. Misalnya pengguna ruangan selalu tidak mematikan lampu ketika
keluar ruangan, sehingga lampu menyala terus sementara di dalam ruangan sudah
tidak ada lagi kegiatan, atau lampu ruang luar yang dibiarkan menyala terus walaupun
matahari sudah terang. Begitu pula dengan bahan atau peralatan bangunan lainnya.
Penentuan ukuran atau dimensi dalam rancangan arsitektur perlu disesuaikan
dengan ukuran bahan bangunan yang tersedia di pasaran. Ketidak sesuaian akan
mengakibatkan banyak pemotongan bahan yang mengakibatkan limbah, pencemaran,
dan pemborosan biaya. Rancangan arsitektur yang unik dan tidak mengikuti bentuk
dan ukuran bahan yang tersedia, membutuhkan bahan bangunan yang harus dirancang
dan diproduksi khusus. Hal ini akan meningkatkan biaya dan sangat tidak efisien.
Memang akan ada pendapat bahwa hal ini membatasi kreatifitas perancang, namun
dari sudut pandang ramah lingkungan memang demikian adanya. Perbedaan sudut
pandang sering membuat tujuan rancangan ramah lingkungan menjadi sulit tercapai.
Bentuk rancangan juga sering membuat bagian-bagian tertentu bangunan sulit
terjangkau oleh petugas dan alat kebersihan dan perawatan, yang mengakibatkan
bagian-bagian tersebut menjadi cepat rusak, dan mengurangi usia pakai bahan
bangunan. Efisiensi sebaiknya tidak dilihat sebagai pembatas kreatifitas, tapi
tantangan untuk melahirkan kreatifitas yang sekaligus ramah lingkungan. Rancangan
yang “mengejar” nilai estetis tapi mengakibatkan bahan bangunan menjadi cepat
rusak dan tampil lusuh, justru akan mengurangi nilai estetis itu sendiri.
Faktor kemampuan ekonomi pemilik bangunan sangat menentukan tingkat
keramahlingkungan suatu bahan dan bangunan. Orang yang lebih mampu biasanya
menginginkan kenyamanan lebih tinggi, dan “kebutuhan” untuk menonjolkan
prestisnya. Mereka minta rancangan dengan standar ruangan melebihi luas
secukupnya, penggunaan bahan yang lebih mahal, bila perlu mengimpor dari luar
negeri, bentuk bangunan yang tidak sekedar fungsional tapi lebih menonjolkan aspek
estetis yang sering berlebihan, dan faktor-faktor lain, yang kesemuanya membuat
bahan bangunan dan bangunan menjadi tidak ramah lingkungan. Dan masih banyak
aspek-aspek lainnya yang dapat mempengaruhi dan membuat bahan bangunan yang
semula ramah menjadi tidak ramah lingkungan karena penggunaan yang melebihi
kebutuhan secukupnya, mengarah kepada kemewahan dan pemborosan.

Anda mungkin juga menyukai