LP Kusta Temen Abah
LP Kusta Temen Abah
Laporan Pendahuluan
Morbus Hansen (Kusta)
A. Definisi
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal
sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
sebelumnya diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas
pada tahun 2008, yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan
Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous
leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang
ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873
sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai
lepra.
Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan
hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata
leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan
yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak
seharusnya diderita oleh pasien kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan
lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta
tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada
penyakit tzaraath.
B. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium
leprae, yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 micrm, lebar 0,2
– 0,5 micrm. Biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup
dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Sampai saat ini yang dianggap
3
C. Klasifikasi
4
D. Manifestasi klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling manifestasi klinis dari penyakit
kusta adalah :
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
a. Mengenai kulit dan saraf.
5
b. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas
jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
c. Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama
dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer
yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
d. Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda
adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
a. Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
b. Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas
tipe TT.
c. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
d. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid Borderline ( BB )
a. Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
b. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
c. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi
melebihi tipe BT, cenderung simetris.
d. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
e. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral
pada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe
ini.
4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda
khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan
penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
6
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
a. Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar
normal.
b. Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-
kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
c. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
d. Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain :
7
E. Patofisiologi
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,
beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae ke kulit
tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu
tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen
dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel
macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann
jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan
macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak
mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas
merusak jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel
epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian
longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
F. Pathway
8
M. Leprae M. Tuberkoloid
G. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukanlesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan.
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien.
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidungapabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir
hidung lebihdulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasienkusta.
3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat.
4) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehlneelsen atau kinyoun gabett.
10
H. Komplikasi
Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah
kerusakan uratsaraf tepi,kecacatan,terjadinya kerontokan alis
mata,menebalnya cupingtelinga,kadang-kadang terjadi hidung pelanaakibat
dari kerusakan tulang rawanhidung,pada bentuk yang parah bisa terjadi wajah
singa(faces leonina).
11
I. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kustadan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1. Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum
di depan petugas, DDS (Diamino Difenil Sulfon) tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien
tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum
di depan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum di depan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah. DDS 100
mg/hari diminum di rumah, pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
3. Dosis untuk anak
Klofazimin: umur di bawah 10 tahun: bulanan100mg/bln, harian
50mg/2kali/minggu; umur 11-14 tahun: bulanan 100mg/bln, harian
50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
12
J. Fokus pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat
mengidentifikasi mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan (Nasrul Effendi, 1995 : 18).
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat,
tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen, mengeluh adanya
bercak-bercak Disertai hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan dan
peningkatan suhu.
13
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit kusta biasanya adanya bercak-bercak merah disertai
hiperanastesi dan odema pada ektrimitas pada bagian perifer seperti
tangan, kaki serta bisa juga terjadi peningkatan suhu tubuh.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis, asma dan
alergi, jantung koroner.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya merupakan penyakit menular, maka anggota keluarga
mempunyai resiko beasar tertular dengan kontak lama.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien
biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan
saraf tepi motorik.
b. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akanrontok.
c. Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
d. Sistem persarafan
1) Kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi sensorik ini
menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa. Akibat kurang/mati
14
rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada
kornea mata mengkibatkan kurang/hilangnya reflek kedip.
2) Kerusakan fungsi motorikm, kekuatan otot tangan dan kaki dapat
menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi)
karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga
kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.
e. Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
f. Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
5. Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami
gangguan terutama pada body image, penderita merasa rendah diri
dan merasa terkucilkan sedangkaan pada tatalaksana hidup sehat pada
umumnya klien kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan
sering kontak langsung dengan penderita kusta. Karena kurangnya
pengetahuan tentang penyakitnya maka timbul masalah dalam
perawatan diri.
15
K. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan
kehilangan fungsi tubuh.
L. Intervensi
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi
kerusakan integritas kulit. Dengan kriteria hasil :
a. Klien mampu mengidentifiksi tentang keadaan kulitnya saat ini.
b. Klien mampu mengungkapkan tenteng perubahan kulit yang terjadi
pada dirinya.
c. Klien mampu mendemonstrasikan yang dianjurkan oleh perawat
mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.
d. Menunjukkan regenerasi jaringan, mencapai penyembuhan tepat
waktu pada lesi.
Intervensi :
a. Kaji/ catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan
kondisi sekitar luka.
b. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.
c. Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.
d. Anjurkan klien untuk mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari
tekanan.
19
Intervensi :
a. Observasi TTV.
b. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
c. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.
d. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif.
e. Anjurkan keluarga/orang yang terdekat untuk memberi dukungan dan
bantuan latihan.
f. Kolaborasi dengan TIM Medis dalam menjadwalkan pengobatan dan
aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat.
4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan
kehilangan fungsi tubuh.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 diharapkan tidak
terjadi gangguan citra diri. Dengan Kriteria Hasil :
a. Klien mampu mengidentifiksi dan mulai menerima tentang keadaan
dirinya.
b. Klien mampu mengungkapkan tenteng perubahan fisik yang terjadi
pada dirinya.
c. Keluarga mampu mendemonstrasikan yang dianjurkan oleh perawat
untuk memberikan kelompok pendukung untuk pasien.
d. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri, Memasukkan perubahan
dalam konsep diri tanpa harga diri negatif.
Intervensi :
a. Kaji makna perubahan pada pasien.
b. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.
Perhatikan perilaku menarik diri.
c. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan
memberikan keyakinan yang salah.
d. Anjurkan pada keluarga untuk memberikan kelompok pendukung
untuk pasien.
21
Daftar Pustaka