Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi
oleh semangat pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal
inilah yang kemudian menjadi roh dari politik itu sendiri, yakni sebuah
perjuangan untuk mencapai kepentingan umum. Runtuhnya rezim otoriter
Soeharto pada tahun 1998 yang lalu, sebenarnya membuka jalan bagi sistem
politik di Indonesia untuk menerapkan praktik politik yang sebenarnya. Praktik
politik di masa Orde Baru yang kental dengan budaya KKN (Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme), otoriter, dan demokrasi yang semu, diharapkan tidak terjadi lagi pada
masa reformasi pasca 1998. Dengan demikian, reformasi 1998 sebenarnya
merupakan pintu gerbang menuju sistem demokrasi di Indonesia yang lebih sehat.
Kondisi politik riil dalam kurun 10 tahun terakhir, terlihat secara nyata telah
terjadi pergeseran nilai. Tampak pada praktik politik yang ditunjukkan oleh sikap
para wakil rakyat yang duduk di parlemen. Praktik politik masih kental dengan
budaya korupsi, berorientasi kepentingan pribadi dan golongan, serta
menghalalkan segala cara.
Toto Sugiarto dalam artikelnya yang berjudul “Politik yang Tak Berjiwa”
(TEMPO, 22 September 2008),mengambarkan fenomena yang dipraktikkan oleh
partai politik menjelang Pemilu. Sejalan dengan menyimpangnya orientasi politik,
partai politik pun ikut mengalami perubahan fungsi, yang seharusnya merupakan
wadah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat berubah menjadi
industri kekuasaan. Partai politik tidak menjadi sarana untuk mewujudkan dan
memperjuangan roh politik yang sesungguhnya. Cara-cara yang digunakan oleh
partai politik dalam meraih kekuasaan, yang secara konkrit berwujud pada
perolehan kursi di parlemen, merupakan cara-cara yang cenderung instan serta
tidak dimulai oleh perjuangan dari bawah.
Beberapa waktu belakangan ini, terjadi sebuah fenomena menarik dalam
kehidupan demokrasi di Indonesia. Artis, sebagai bagian dari warga negara,
1
ramai-ramai mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik untuk
menduduki jabatan publik. Dalam konteks sejarah politik bangsa, masuknya artis
dalam kancah politik bukan sesuatu yang baru. Artis telah membanjiri kehidupan
politik praktis, terutama sejak masa Orde Baru (1966-1998). Hampir semua partai
politik saat itu punya unsur artis dalam aktivitas politiknya.
Tidak ada sebuah syarat baku yang sama diterapkan di seluruh dunia untuk
menguji kelayakan dan kepantasan seorang wakil rakyat. Namun setidaknya dari
semangat demokrasi, baik dalam makna normatif, prosedural ataupun substansial,
diisyaratkan tiga karakteristik yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat, yakni
memiliki kejelasan visi (vision), daya dukung publik yang memadai
(acceptibility), dan rasa tanggung jawab (responsibility).
Ketiganya jelas syarat minimal untuk membentuk sebuah demokrasi yang
rasional, kontekstual, dan bermoral. Dalam praktiknya, ketiga syarat itu tidak
disematkan pada sekelompok orang tertentu. Bahkan dalam logika demokrasi,
yang mengakui persamaan, semua orang dianggap mungkin untuk memiliki
ketiganya.
Atas dasar pemahaman inilah secara substansial seorang artis sebagai
seorang warga negara patut diperlakukan sama dengan kalangan lain yang
memiliki profesi bukan artis. Persoalannya adalah apakah artis yang saat ini
berputar haluan menjadi wakil rakyat memiliki kemampuan untuk memenuhi
ketiga syarat itu? Tentu saja kita tidak bisa menghakimi seseorang dari kulit
luarnya sebagaimana pepatah don't judge the book form it’s cover.
Mungkin saja seorang artis itu memang benar-benar bisa memenuhi ketiganya.
Sementara belum tentu juga mereka yang bukan dari kalangan artis benar-benar
bisa memenuhi ketiganya. Terbukti mereka yang tertangkap melakukan korupsi
dan dicap sebagai "politisi busuk" berasal dari beragam latar belakang profesi.
Namun, tidak salah juga jika ada kalangan yang mengkhawatirkan masuknya artis
dalam dunia perpolitikan kita.
Alasannya sederhana, dengan maraknya infotainment, sebenarnya gerak langkah
artis sudah terpantau habis-habisan oleh publik. Dari informasi yang didapatkan
itu, memang jarang sekali artis-artis tertangkap sedang melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan pengasahan kapabilitas sebagai seorang wakil rakyat. Yang
2
menjadi pertanyaan bagi sebagian besar masyarakat adalah apakah kita mau
menyerahkan nasib kita kepada orang yang masih harus belajar banyak? Apakah
mereka mampu membawa aspirasi masyarakat ?

1.2. DATA
Sebagian data hasil Pemilu 2004 Para Caleg Selebritis :
Peringkat Peringkat
Daerah No. Perolehan Perolehan
No. Nama Partai
Pemilihan Urut dalam dalam
Partai Dapil
Guruh
1 PDI-P Jatim 6 1 1 1
Soekarno
P.
2 Nurul Arifin Jabar 6 3 1 1
Golkar
Ruhut P.
4 Jabar 1 2 1 3
Sitompul Golkar
P.
Angelina
5 Demokra Jateng 6 1 1 3
Sondakh
t

6 Dedi Sutomo PDI-P Jateng 2 1 1 4

7 Marissa Haque PDI-P Jabar 2 2 1 4

P.
8 Adji Masaid Demokra Jatim 2 1 1 5
t

9 Dede Yusuf PAN Jabar 9 1 1 9

10 Nia Daniati PKPB Jambi 2 1 17

Pepeng
13 PKS Jatim 10 1 1 28
Subardi

3
14 Rieke Pitaloka PKB Jabar 4 1 1 32

15 Gusti Randa PKB Jabar 5 2 2 32

16 Emilia Contesa PPP Jatim 7 2 2 36

17 Anneke Putri PKS DKI 2 7 6 39

18 Ray Sahetapi PKB Sulses 2 1 1 40

20 Mark Sungkar PBR Jateng 6 1 1 52

P.
21 Rae Sita Supit Jabar 5 11 9 53
Golkar

22 Usi Karundeng P. PIB Sulut 2 1 56

Slamet R.
23 PNBK Jabar 2 1 1 58
Djarot

25 Dana Iswara P. PIB Jateng 5 4 1 85

Hengki
26 PPP Jateng 6 2 1 85
Tornado
Muchsin
27 PDK DKI 2 3 2 103
Alatas

28 Asrul Zulmi P. PIB DKI 1 8 9 203

1.3. RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
a. Apa yang melatarbelakangi artis terjun ke dunia politik Indonesia ?
b. Bagaimana kiprah artis dikancah perpolitikan Indonesia ?

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. PERAN ARTIS SEBAGAI VOTE GATTER (PENARIK MASSA)


Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha
untuk menentukan paraturan_peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian
besar warga, untuk membawa masyarakat kearah kehidupan bersama yang
harmonis.
Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam
kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta
cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai
apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan
antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang terlah di
tentukan itu.
Akan tetapi, kegiatan-kegiatan ini dapat menimbulkan konflik karena
nilai-nilai yang dikejar biasanya langkah sifatnya. Dipihak lain, di negara
demokrasi, kegiatan ini juga memerlukan kerja sama karna kehidupan manusia
bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai
usaha penyelesaian konflik atau consensus.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaanya, kegiatan politik
disamping segi-segi yang baik, juga menyangkut segi-segi negative. Hal ini
disebabkan karna politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik
maupun yang buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat
mendalam dan sering bertentangan, mencakup rasa cinta benci, setia, bangga,
malu dan marah. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari acap kali berhadapan
dengan banyak kegiatan yang tak terpuji. Singkatnya, politik adalah perebutan
kekuasaan, tahta, dan harta. Di bwah ini ada dua sarjana yang menguraikan
definisi politik yang berkaitan dengan masalah konflik dan consensus.
1. Menurut Rod Hague et al; politik adalah kegiatan yang menyangkut cara
bagaimna kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan

5
mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan antara
anggotanya.
2. Menurut Andrew Heywood; politik adalah kegiatan suatu bangsa yang
bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-
peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas
dari gejala konflik dan kerja sama.
Celebrity Politics" mulai dikenal dalam terminologi Ilmu politik setelah
para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi terjun ke dunia
politik , bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau pengumpul suara.
Tapi, mereka, serius mengejar kursi jabatan publik seperti anggota DPR, bupati,
walikota, gubernur atau bahkan presiden.
Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina membuktikan bahwa film dan
televisi telah menjadi pembuat raja ("kingmaker") yang memungkinkan Arnold
Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph Estrada menjadi
Presiden Filipina.
Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis
dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media,
khususnya televisi, dan demokrasi. Fenomena selebriti berpolitik bukan barang
baru lagi di Indonesia, entah itu menjadi alat politik atau benar-benar terjun ke
dunia Politik. Selebriti menjadi alat politik jamak kita jumpai di masa Orde Baru,
dimana GOLKAR menggunakan sejumlah selebriti sebagai pendulang suara
ketika melakukan kampanye. Bahkan secara terang-terangan menggunakan
organisasi profesi artis semacam PARFI dan PAPMI sebagai salah satu kendaraan
politik. Setelah era reformasi, fenomena ini justru semakin menguat. Sebagaimana
ditulis Eep Saefuloh Fatah yang dimuat di Kompas, 22 Januari 2008, pada pemilu
2004 dari sekitar 30 selebriti yang memperebutkan kursi Legislatif, enam selebriti
berhasil menjadi anggota legislatif.
Tidak hanya kursi legislatif yang menjadi incaran para selebriti. Arena
pertarungan politik mereka justru meluas, yakni memperebutkan jabatan Kepala
Daerah. Tentu kita masih ingat dengan “perjuangan” Marissa Haque mencalonkan
diri sebagai Calon Gubernur Banten meski akhirnya kalah melawan incumbent.

6
Dan terakhir Rano Karno memperoleh kemenangan suara dalam pemilihan Wakil
Bupati Banten.
Terdapat dua jenis “politisi selebriti” menurut John Street - sebagaimana dikutip
oleh Eep- yaitu:
1. Para pejabat publik yang berlatar belakang belakang dunia hiburan, bisnis
pertunjukkan ataupun olahraga.
2. Para selebriti yang menggunakan “panggung” keartisan untuk menyuarakan
“kepentingan” politik.
Untuk jenis yang pertama ada Ronald Reagen dan Arnold Schwarzenegger di
Amerika Serikat sebagai contoh. Di Indonesia sendiri terdapat nama-nama
semacam Adjie Massaid dan Rano Karno dan lain sebagainya.
Sebagaimana para politikus yang bertarung di arena politik demi
kepentingan kekuasaan, para selebriti pun ternyata perlu berpolitik untuk
mencapai puncak ketenaran dan sebisa mungkin mempertahankannya. Dalam
berpolitik ada dua cara yang biasa dilakukan oleh para selebriti yaitu Good Policy
dan Bad Policy.
Cara pertama dapat diartikan berpolitik dengan menunjukkan profesionalitas
sesuai profesi. Sangat jarang menemukan selebriti di Indonesia yang
menggunakan good policy untuk meraih kepopulerannya. Sebaliknya adalah
banyak selebriti yang dikenal oleh masyarakat bukan karena karya-karyanya tapi
lebih kepada tingkah laku negatif. Misalnya melakukan perselingkuhan, kawin
cerai atau terjerat narkoba.
Ironisnya, bad policy nampaknya lebih menjadi pilihan bagi banyak
selebriti kita, terutama selebriti yang tiba-tiba terkenal karena sering tampil di
acara gossip. Hal inilah yang menjadikan kata selebriti mengalami pergeseran
makna. Siapapun yang pernah muncul dalam tayangan infotaintment otomatis
akan mendapatkan gelar selebriti. Tidak peduli apakah orang tersebut memang
sudah dikenal karena karyanya atau belum.

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. LATAR BELAKANG ARTIS INDONESIA TERJUN KEDUNIA POLITIK


Panggung politik dalam negeri belakangan ini makin diramaikan
kehadiran artis. Tak ada yang tahu pasti apakah ketertarikan sejumlah selebritis itu
terjun ke politik karena sekadar memanfaatkan popularitas ataukah memang
punya kapasitas. Yang pasti, pentas politik negeri ini diwarnai fenomena baru,
yakni "selebritis politik"
Sejak pemilu kepala daerah secara langsung dan pemilihan anggota legislatif
ditetapkan berdasarkan jumlah suara, makin banyak artis berkiprah di politik.
Salah satu faktor penting dalam pemilihan langsung, popularitas sangat
menentukan tingkat elektabilitas. Hal itulah yang menjadi modal artis untuk
menembus panggung politik. Memang ada beberapa artis yang gagal, tetapi tak
sedikit yang sukses menjadi politisi atau birokrat.
Wajah menarik caleg artis tidak menjamin tingkat elektibilitas di mata
rakyat. Kualitas kemampuan berpolitik tetap menjadi pertimbangan tersendiri.
Menjadi anggota dewan menggiurkan banyak kalangan, tak terkecuali artis. Oleh
karena itu, banyak sejumlah kalangan tertarik untuk berkompetisi menduduki
kursi sebagai anggota dewan, termasuk para artis.
Jika tidak ingin dicap hanya mengandalkan popularitas dengan gaya hidup ala
selebritis, kapasitas artis yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif wajib
disiapkan. Kapasitas itu terkait dalam hal keterampilan berpolitik, termasuk di
dalamnya kemampuan berstrategi, bernegosiasi, beradu argumen serta
menjalankan tugasnya untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Wajah menarik dan mengundang decak kagum banyak kalangan, tapi kualitas
kapasitas tidak boleh dilupakan. Sebab, keterampilan untuk menjadi seorang artis
dan politisi memang jauh berbeda. Meskipun sama-sama menjadi tokoh publik,
tapi keduanya adalah dunia yang sangat berbeda.
Berprofesi sebagai artis membutuhkan keterampilan di bidang seni peran, suara,
ataupun gerak. Sementara dunia politik adalah keterampilan seni berkompromi
8
dan berstrategi. Untuk itu, dengan maraknya bintang-bintang selebriti yang masuk
ke dunia politik, Hal itu mengundang keraguan sebagian kalangan.
Apakah mereka memiliki kapasitas untuk menjadi seorang politisi?
Mampukah mereka bernegosiasi dan beradu argumentasi dengan lawan politik
untuk memenangkan ide-ide dan gagasan mereka? Tidak sedikit pihak yang
meragukan kapasitas dan kapabilitas seorang artis dalam menjalani perannya
sebagai anggota legislatif.
Bukan bermaksud menganggap remeh. Memang, tidak mudah untuk menjadi
seorang politisi yang amanah. Bukan hanya kalangan artis, orang dengan latar
belakang kiprah dan sepak terjang di bidang politik pun tidak jarang yang
akhirnya lupa dengan kekuasaan. Lupa akan tanggung jawab yang sebenarnya di
laksanakan.
Sebagaimana diungkapkan Lord Acton (1887) ”Power tends to corrupt,and
absolute power corrupts absolutely”. Siapa pun orangnya dan apa pun latar
belakangnya,jika sudah memiliki kekuasaan akan mendapatkan banyak godaan
untuk menyalahgunakan kekuasaannya itu.Tidak peduli dia seorang artis, aktivis,
atau lainnya memungkinkan ketika sudah duduk menjadi anggota dewan
berpotensi melakukan korupsi.
Pemilu-pemilu pada saat ini diwarnai dengan makin banyaknya selebriti
yang terjun ke dunia politik. Bintang film, pemain sinetron, komedian, penyanyi
dan presenter televisi ramai-ramai menjadi calon legislatif dari partainya masing-
masing. Dulunya para artis berada di panggung kampanye kebanyakan hanya
untuk menghibur. Para politisi membawa bintang film, penyanyi dan pelawak
keliling berkampanye untuk dijadikan pengumpul suara (vote getter) atau bahkan
sekadar pengumpul massa. Kini, sejumlah artis berada di panggung kampanye
benar-benar serius untuk berkampanye supaya partainya menang dan dirinya
terpilih menjadi anggota legislatif. Pada masa kampanye, mereka bukan hanya
menjadi juru kampanye (jurkam), tetapi serius mengejar kursi jabatan publik.
Ada sejumlah faktor yang memungkinkan para selebriti memasuki dunia politik.
Para ahli berpendapat bahwa selebriti politik muncul akibat perkembangan media,
khususnya televisi dan demokrasi. Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina
membuktikan bahwa film dan televisi menjadi pembuat raja (kingmaker) yang
9
memungkinkan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph
Estrada menjadi Presiden Filipina.
Televisi telah menjadi bagian dari kehidupan rakyat di manapun termasuk
di Tanah Air. Hampir 80 persen rakyat Indonesia memiliki akses ke televisi,
sekalipun banyak yang tidak memiliki perangkat elektronik tersebut. Kenyataan
membuktikan bahwa televisi telah menjadi sumber informasi yang utama dari
masyarakat.
Era televisi ini menguntungkan para selebriti karena mereka mampu
menggunakan medium ini untuk menggalang kepopularitasan dan citra diri.
Selebriti biasanya photogenic, yang wanita berparas ayu dan yang lelaki ganteng
dan gagah. Mereka sangat pandai menarik perhatian media. Apapun yang mereka
lakukan dan bicarakan bisa menjadi berita. Dari mulai rekaman album baru
sampai kawin cerai jadi bahan utama acara semacam Cek&Recek atau Kabar
Kabari. Begitupun ketika memasuki dunia politik, para selebriti mendapat
perhatian dan liputan besar dari media.

3.2. KIPRAH ARTIS DI KANCAH PERPOLITIKAN INDONESIA


Pemilihan umum secara langsung memberikan angin segar bagi mereka
yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu profesi yang diuntungkan
adalah kaum selebritis yang wajahnya seringkali menghiasi layar televisi. Mereka
pun berbondong-bondong alih profesi dari yang sebelumnya seorang artis menjadi
politisi.
Hubungan antara artis dan partai politik menjadi saling menguntungkan
satu sama lain. Popularitas sang artis dijadikan sebagai magnet untuk menarik
masa agar turut memilih partai yang dianaungi artis tersebut. Sebagai
ganjarannya, artis diberikan kesempatan untuk tampil menjadi wakil rakyat
maupun calon kepala daerah. Simbiosis mutualisme jenis baru yang mulai jamak
berlaku dalam kancah politik di negeri ini.
Secara kelembagaan, fungsi partai politik adalah menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat. Selain itu turut berfungsi sebagai pengkaderan anggota dan
memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Partai politik juga mempunyai
kedudukan yang sangat besar sebagai satu-satunya kendaraan untuk
10
melanggengkan jalan menuju singgasana anggota dewan dan kepala daerah.
Sedangkan langkah lain melalui pencalonan individu belum bisa dilaksanakan.
Timbul kekhawatiran jika artis yang diusung sebagai tokoh politik hanya
dijadikan alat untuk meraup banyak suara. Padahal, mayoritas artis tidak memiliki
latar belakang bergelut di bidang politik. Dengan kata lain, masih ada banyak
orang yang lebih kompeten daripada mereka. Selama mereka popular dan dikenal
oleh masyarakat, kompetensi bukanlah persoalan besar.
Inilah yang membuat banyak keraguan tentang kiprah para artis dalam kancah
politik Sedangkan fungsi partai politik sangat berat dan kompleks. Salah besar
jika fungsi itu harus dijalankan oleh orang-orang yang hanya sekadar
mengandalkan popularitas. Selain itu banyak anggapan negatif terhadap selebritis
yang terjun ke dunia politik. Mereka dianggap tidak memiliki loyalitas tehadap
partainya. Hal ini disebabkan penanaman ideologi bagi artis hanya sebatas di
permukaan sehingga mereka seringkali tergoda untuk pindah ke partai lain.
Para politisi instan itu juga dianggap telah merusak sistim kaderisasi partai.
Dengan popularitasnya, mereka dapat menyingkirkan kader partai yang merintis
karir sejak awal. Melihat kondisi demikian, seharusnya partai politik harus lebih
selektif dalam memilih kader partai. Jangan silau terhadap popularitas seseorang.
Hal yang paling substansial malah dilupakan. Kompetensi dan integritas harus
menjadi landasan kuat dalam memutuskan apakah layak atau tidak menjadi wakil
rakyat. Bukan berarti artis tidak boleh berkecimpung di dalam partai politik,
hanya saja harus ada proses seleksi yang adil dan seimbang bagi seluruh kader
partai. Selama artis tersebut dapat memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan, maka
dia layak. Sebaliknya, jika artis itu hanya mengandalkan popularitas, partai harus
berani untuk menolak.
Hubungan artis dan partai politik seharusnya bisa menjadi kekuatan yang
menghasilkan energi positif. Popularitas sang artis akan lebih diterima oleh
masyarakat. Dengan demikian, artis dapat bertindak sebagai penghubung gap
antara partai politik dengan masyarakat yang notabene adalah konstituennya.
Faktanya, seringkali masyarakat tidak kenal dengan wakil-wakilnya yang
berperan sebagai eksekutif maupun legislatif. Dengan demikian, artis memiliki
bargaining position yang lebih dibandingkan lainnya. Namun, jangan sampai artis
11
mengkultuskan selebritas politik demi memenuhi hasrat dengan
mengesampingkan kepentingan.
McGinniss (1969) dalam The Selling of The President 1968 pernah
menyebutkan adanya kekuatan penting yang diperankan oleh media massa dalam
pemilihan. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut
membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat. Terbukti, ada
peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang kandidat setelah
dipublikasikan media massa.
Itu berarti, media mampu membentuk dan mempopulerkan seorang artis.
Citra artis sebagai orang yang berpenampilan bisa masuk kriteria masyarakat
untuk memilihnya, lepas dari apakah artis ini mempunyai track record (rekam
jejak) yang baik atau tidak. Apalagi, masyarakat semakin lama semakin “muak”
dengan perilaku elite politik bukan artis. Mereka disibukkan dengan mengurusi
kepentingan diri dan kelompoknya.
Di sisi lain ada artis yang tiba-tiba muncul dan sudah dikenal oleh
masyarakat lewat ekspos media massa. Dengan keluguan dan mengandalkan
popularitas, mereka kemudian tampil ke gelanggang politik. Artis menjadi
alternatif pilihan mereka. Seolah ada kesepakatan di masyarakat, yang penting
bukan elite politik yang selama ini dikenal dan didukung oleh partai politik.
Di birokrasi pemerintahan, ada Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, Wakil
Bupati Tangerang Rano Karno, dan Wakil Bupati Garut Dicky Chandra. Pada
DPR periode 2009-2014 lebih banyak lagi, di antaranya Theresia EE Pardede
(Tere), Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, Rachel Mariam Sayidina, Tantowi
Yahya, Adjie Massaid, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), dan Venna Melinda
dan lain sebagainya.

12
BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Pemilihan umum secara langsung memberikan angin segar bagi mereka
yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu profesi yang diuntungkan
adalah kaum artis yang wajahnya seringkali menghiasi layar televisi. Sehingga
mereka pun berbondong-bondong alih profesi dari yang sebelumnya seorang artis
menjadi politisi.
Hubungan antara artis dan partai politik menjadi saling menguntungkan
satu sama lain. Popularitas sang artis dijadikan sebagai magnet untuk menarik
masa agar turut memilih partai yang dianaungi artis tersebut. Sebagai
ganjarannya, artis diberikan kesempatan untuk tampil menjadi wakil rakyat
maupun calon kepala daerah. Simbiosis mutualisme jenis baru yang mulai jamak
berlaku dalam kancah politik di negeri ini.
Secara kelembagaan, fungsi partai politik adalah menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. Selain itu turut berfungsi sebagai pengkaderan
anggota dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Partai politik juga
mempunyai kedudukan yang sangat besar sebagai satu-satunya kendaraan untuk
melanggengkan jalan menuju singgasana anggota dewan dan kepala daerah.
Kehadiran artis dalam dinamika politik Indonesia menjadi implikasi yang
tidak terpisahkan dari sistem pemilihan langsung serta keterbukaan informasi dan
perkembangan media. Bahkan pemanfaatan artis sebagai caleg dalam Pemilu
2009 lalu dinilai sebagai upaya vote getter menjadi bagian struktur politik partai,
walaupun banyak elit partai yang akhirnya kecolongan dengan revisi UU 10/2008
tentang Pemilu pada pasal 214 tentang penetapan caleg terpilih berdasarkan suara
terbanyak. Saat itu banyak elit partai berada di nomor urut puncak dan artis
ditempatkan di nomor urut bawah sebagai pendulang suara partai, namun ternyata
sang artis dengan popularitasnya berhasil mengungguli suara elit partai.

13
4.2. SARAN
Adapun saran yang dapat saya berikan adalah agar kita sebagai masyarakat
yang memilih wakil rakyak tidak hanya melihat pada kepopuleran seseorang saja
akan tetapi juga lebih melihat pada kemampuan yang di miliki oleh wakil rakyat
dalam membawa aspirasi masyarakat.

14

Anda mungkin juga menyukai