Anda di halaman 1dari 17

KONSENSUS NASIONAL

Penatalaksanaan
Dispepsia dan lnfeksi Helicobacter pylori

Editor:
Marcellus Simadibrata K
Dadang Makmun
MurdaniAbdullah
Ari FahrialSyam
Achmad Fauzi
Kaka Renaldi
Hasan Mauleha
Amanda P Utari

2014
-xilt-
l. Pendahuluan
Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik sehari-
hari dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang,
mulai dari semua gejala yang berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai
diekklusinya gejala refluks hingga ke definisiterkiniyang mengacu kepada
kriteria Roma lll.1

.tnfeki Helicobacter pylori (Hp) saat ini dipandang sebagai salah satu
fakior penting dalam menangani dispepsia, baik organik maupun fungsional,
sehingga pembahasan mengenai dispepsia perlu dihubungkan dengan
penanganan infeksi Hp. Berbagai studi meta-analisis menunjukkan adanya
hubungan antara infeksi Hp dengan penyakit gastroduodenal yang ditandai
keluhan/gejala dispepsia.l3
Prevalensi infeksi Hp di Asia cukup tinggi, sehingga perlu diperhatikan
dalam pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia. Eradikasi Hp
telah terbukti efektif dalam menghilangkan gejala dispepsia organi( tetapi
untuk dispepsia fungsional masih diperlukan penelitian lebih lanjut.4
Konsensus ini disusun untuk memberikan panduan pada dokter umum,
spesialis dan konsultan dalam penatalaksanaan dispepsia. Konsensus ini
menggabungkan penatalaksanaan dispepsia dan infeksi Hp, sehingga akan
dicapai hasilyang lebih baik. ::

ll. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah
'beberapa gejala
satu atau berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada
saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.s Untuk dispepsia fungsional,
keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

0
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeki Herto btrtet pyloil I f
I
l!!. Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30olo

dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan d6kter spesialis
gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan
tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil
penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, lndonesia, Korea, Malaysia,
Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5o/o pasien
dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional.s r

Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam
beberapa senter di lndonesia pada Januari 2003 sampai April 2004rdidapatkan
44,7 Vo kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,570 kasus
dengan ulkus gaster; dan normal pada8,2o/o kasus.6
Di lndonesia, data prcvalensi infeki Hp pada pasien ulkus peptikum
(tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OA|Ns)
bervariasi dari 90-100Yo dan untuk pasien dispepsia fungsional,sebanyak 20-
40% dengah.berbagai metode diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan
histopatologi).7 "-' :

Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan


endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di lndonesia
(2003-2004) ditemukan sebesar '10.2o/o. Prevalensiyang cukup tinggi ditemui
di Makasar tahun 201 1 (55o/o), Solo tahun 2008 (51,870), Yogyakarta (30.60/o)

dan Surabaya tahun 2013 (23,5a/o), serta prevalensi terendah di Jakarta (8olo).
6,8-10

lV. Patofsiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan
anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.r Dispepsia
fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan
motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral,
dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah
genetik gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal
sebelumnya.lrr2

olspepsla dan lnfeksl Hel/c obocterNoil


2 I Konsensus Nasional Penatalaksanaan

I
1V.1. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas
lambung dalam menerima makanan (impoired gaslric accommodation),
inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung.
Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme
utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan
begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan
t
rasa penuh.5,r2

1V.2. Peranan hipersensitivitas viseral


Hipersensitivitas viseral herperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional,terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik periferdan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal
lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat
gejala dispepsia.s

1V.3. Peranan faktor psikososial


Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan
dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan
dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia furlgsional.sr2

1V.4. Peranan asam lambung


Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia
I fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari
beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai
sekresi asam lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial.s
I
1V.5. Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39olo sampai
87ol0. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten
namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-ggjala dispepsia fungsional.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Hel noi*nr rr,*S 3


|

I
Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin , serta perubahan ekpresi
muscle-specific micro0NAs berhubungan dengan proses patofisiologi
dispepsia fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut.s,r:

V. Diagnosis
V.1. Dlagnosis Dispepsia
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenr.6m,
gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia
fungsional mengacu kepada kriteria Roma lll.Kriteria Roma lll belurn divalidasi
di lndonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti
konsep dari kriteria diagnosis Roma lll dengan penambahan gejala berupa
kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala
dispepsia fungsional.5
Dispepsia menurut kriteria Roma lll adalah suatu penyakit dengan satu
atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
. Nyeriepigastrium
. Rasa terbakar di epigastrium
. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
. Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Roma lll membagidispepsia fungsional menjadi2 subgrup, yakni
epigastric pain syndrome dan postprandioldistress syndrome. Akan tetapi, bukti
terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua
pertiga pasien dispepsia.t

4 I Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Herto bocter iloil


I
Pemeriksaan penunjang
(sesuai indikasi):
- Laboratorium darah
- Endoskopi
- Urea Breath Test
- USG Abdomen

- Dispepsia organik
- Ulkus peptikurtr
- Gastritis erosif
- Gastritis sedang-berat
- Kanker lambung

* Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan


tumpang tindih antara dispepsia
denganGERD

Gambar 1.Alur Diagnosis dispepsia belum diinvestigasi

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-
pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia
yaitu:
. Penurunan berat badan (unintended)
. Disfagia progresif

. Perdarahan saluran cerna


. Anemia
. Demam

. Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun


Pasien-pasien dengan keluhan seperti diatas harus dilakukan investigasi
terlebih dahulu dengan endoskopi.s

KonsensusNasionalPenatalaksanaanDispepsiadanlnfeksiHe//coiaatWAri,l
5
V.2. Dlagnosis infeksi Hp'a
Tes diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui
endoskopi (ropid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak
langsung tanpa endoskopi (i.rrea breoth test, stool test, urine test, dan
serologi). Urea breath test saat ini sudah menjadi 'gold standord untuk
pemeriksaan Hp, salah 'satu ureo breoth test yang ada antara lain r3CO,
breath analyzer.syarat untukmelakukan pemeriksaan Hp,yaitu harusbebas
antibiotik dan PPI (proton-pumpinhibitor) selama 2 minggu. Ada beberapa
faktor yang fedu dipertimbangkan: situasi klinis, prevalensi infeksi,
prevalensi infeksi dalam populasi, probabilitas infeki prates, perbedaan
dalam performa tes, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes,
seperti penggunaan terapi antisekretorik dan antibiotik.

Tabel 1. Perbandingan berbagai metode tes diagnosis infeksi Hp


Tes Sn Sp Keteranqan
Denqan endoskopi
Rapid urease >98Vo 99o/o . Cepat dan murah
test . Sensitivitas pascaterapi
berkurang
. Sampel diambil dariantrum
Histologi >95o/o >95o/o . Deteksi meningkat dengan
pewarnaan khusus (Warthin-
Starry/ hemaktoksilin-eosin/
Giemsa)
. Sampel diambildariantrum dan
korous
Kultur . Sangat spesifik, sensitivitas
buruk bila media transportasi
tidak tersedia
. Dibutuhkan pengalaman
. Mahal, sering tidak tersedia
. Sampel diambildariantrum dan
korpus
. Media yang digunakan antara
laiir Soarrow

6 I Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi l ei icobacter Wloti

I
PCR . Sensitif dan spesifik
. Tidak terstandarisasi
. Sampel diambildariantrum dan
korpus
. Terhitunq ekperimental
Tanoa endoskopi
SerologiELlSA 85-92o/o 79-83Vo . Kurang akurat dan tidak
' menggambarkan infeksi aktif
. Prediktor infeksi yang handal
di negara berkembang dengan
prevalensi tinggi
. Tidak direkomendasikan setelah
terapi
. Murah dan tersedia
13C urea 95o/o 960/o . Direkomendasikan untuk
breath test diagnosis Hp sebelum terapila
(UBT) misal: . Tes terpilih untuk konfirmasi
l3Carbreath eradikasi
analyzer . Pasien tidak boleh
mengkonsumsi PPldan
antibiotik selama 2 minggu
sebelum pemeriksaan
dilakukant5x6
. Ketersediaan bervariasi
Antigen feses 95o/o 94o/o Tidak sering digunakan meskipun
sensitivitas dan spesifi sltas tinggi,
sebelum dan sesudah terapi
Serologi Sangat buruk dan tidak dapat
finqer-stick menvamai serolooi ELISA
Antibodidi Saat ini urine test belum tersedia
urin: di lndonesia :

. Rapid Urine 73,2- 78,6-


TeStl7-re 82% 90,70/o
. Urine-based
ELlSAts,te 74,4- 68-81o/o
90o/o
Sn: sensitivitas, LISA: enzyme assayt
PCR polymerase chain reoction, PPI: proton-pu mp inhibitor

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Heli *O*nrOvUrl 7


|

*
Vl. Tata laksana
Tata lakana dispepsia dimulai dengan usaha untuk'identifi kasi patofi siologi
dan faktor penyebab sebanyak mungkin.l' Terapi dispepsia sudah dapat
dimulai berdasarkan sindroma klinis yani dominan (belum diinvestigasi) dan
dilanjutkan sesuai hasil investigasi.

V|.1. Dispepsia belum diinvestigasi


Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemerikaa*n
adanya Hp.tr,tr Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor
.
risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal. r

Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam


lambung (PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau
H2-Receptor Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya
rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasar,kan dominasi keluhan dan
riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengFmbangan
obat baru yang bekerja melaluidown -regulation proton pumpyang diharapkan
memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPl, yaitu DLBS 2411.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test ond treat
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.
Test and treat dilakukan pada:2o
. Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon
terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal
selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
. Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum
pernah diperiksa.
. Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus
gastroduodenal.
. Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura
trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin 812.
Test and treattidak dilakukan pada:2o
. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
. Anak-anak dengan dispepsia fungsional

Konrensus Nasional Penatalaksanaan Dlspepsla dan lnfeki Herl coboaer)ybri


8 I
I
V1.2. Dispepsia yang telah diinvestigasi
. Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi
empiril! melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan
endoskopi dengan atau tanpa pemerikaan histopatologi sebelum ditangani
sebagai dispepsia fungsional.
Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan' bahwa pada
beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.

V1.2.1. Dispepsia organik


Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosaldamage) sesuai hasil endoskopi,
terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang
termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis
hemoragik duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan.
Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang
diberikan antara lain kombinasi PPl, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole
2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

V 1.2.2. Dispepsia f u n gsional


Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa,
terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.
Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,
itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa
pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait deng-an perlambatan
pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena
potensi komplikasi kardiovaskular.l 1

Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien


dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang
baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien
dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dipandingkan plasebo.
Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak
menunjukkan hasil yang lebih baikdibandjng plasebo.s

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfekl Hel/co bactetpyloti ,


I
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin
sentral mungkin merupakan faktor penting dalam .respon terhadap terapi
antidepresan pada pasien dispepsia fungsional.5

Vl.3.Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp2o


Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap
gejala'dispepsia. Dala,m salah"satu studi cross-sectionalpada 21 pasien di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa terapi
eradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien dispepsia
dengan persentase perbaikan gejala sebesar 760/o dan 8106 penernuan Hp
negatif yang diperilsa dengan UBT.2t
Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa
terapi eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan
klaritromisin) selama 7 hari lebih baik dariterapi selama 5 hari.22

1 OI Konsen5us Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeki Hell cobocter pylori

I
Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hpt+'zr
Obat Dosis Durasi
i{l''ia '$td..l
PPI* 2x1 7-14hari
Amoksisilin 1000 mg (2xl )
Klaritromisin 500 mq (2x1)

PPI* 2x1 7-14hari


Bismut subsalisilat 2x2 tablet
Metronidazole 500 mg (3x1)
Tetrasiklin 250 mq (4x1)

PPI* 2x1 7-14hari


Amoksisilin 1000 mg (2xl)
Klaritromisin 500 mg (2x1)
Metronidazole 500 mq (3xI)
r4g obat aagagal: denga n rqji
n i "C i pa kai.rb-i rn en
a n.

iiriiitctJritromisin
i
'j'":*I I

':'
PPI* 2x1 7-14hari
Bismut subsalisilat 2x2 tablet
Metronidazole 500 mg (3x1)
Tetrasikilin 250 mq (4x1)
PPI* 2x1 7-14hari
Amoksisilin 1000 mg (2xl)
Levofloksasin 500 mq (2x'l)

PPI* 2x'l 7-14hari


Amoksisilin 1000 mg (2x1)
Levofloksasin 500 mg (2x1)
Rifabutin
*PPl yang digunakan antara lain rabeprazole 20 mg, lansoprazole 30
mg,omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, esomeprazole 40 mg.
Catatan :Terapi sekuensial (dapat diberikan sebagai lini pertama apabila tidak
ada data resistensi klaritromisin) : PPI + amoxicillin selama 5 hari diikuti PPI +
klaritromisin dan nitroimidazole (tinidazole) selama 5 hari.

l(onsensus Nasional Penatnlaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Heli coboctet pylort ,,


I

l
Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk
melakukan kultur dan tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum
memberikan terapi.Tes molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Hp
dan reslstensi klaritromisin dan/atau fluorokuinolon secara langsung melalui
blopsllambung.
Setelah pemberian terapi eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus
dllakukan dengan menggunakan UBT atau H. pyloristool antigen monaclonal
tcrtPemerlksaan dapat dilakukan dalam waktu paling tidak4 minggu setelah
akhlr darl terapi yang diberikan. Untuk HpSA, ada kemungkinan hasil false
posltlve.

Konsensu., Nasionnl Penatalaksanaan DispePsia dan lnfeksi Hel iqba'tet pylati


1 2 I
I

J
Vll: Lampiran
Lampiran 1. Algoritme Tata Laksana Dispepsia di Berbagai Tingkat
Kesehatan5

W
ffi
*Tanda bahaya: penurunan berat badan (unintended), disfagia progresif,
muntah rekuren/persisten, perdarahan saluran cerna, anemia, demam, massa
daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung, dispepsia
awitan baru pada Pasien >45 tahun.
PF: pemeriksaan fisik, SCBA: saluran cerna bagian atas, PPK-1: Pemberi
Petayanan KesehatanTingkat Pertama, PPK-2-3: Pemberi Pqlayanan Kesehatan
Tingkat Kedua dan Ketiga.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Heil ,oinrt", eVtori '13
|

t
Lampiran 2. AlgoritmeTata Laksana Dlspcpsla Fungsionalt

PPI: proton -pu m p inhi bitor.

I
Dispepsia dan lnf€ksi I'telicobdctetpylori
14 I Konsensus Nasional Penatalaksanaan
I
I
Daftar Pustaka

1. Ford AC, Moayyedl P Dyspepsia. Cutr Opln Gastt@ntercl. 20t 3;29662'8.


2. Saad AM, Choudhary A, Bechtold ML. Effect of Hellcob.cter prod treatment on gastroesophageal r€llux disease (GERD):
metaanatysis of randomlzed controlled trlals, ScaiH J Gastro€ntetol 20'l 247:1 2F35.
3. TangCt YeF,LiuWPanXl-QlanJ,ZhangGX.EradlcationofHellcobacterpylorllnfstlonreducesth€incidenceofpeptlculcer
dlserse in patient3 using nonsteroldal antl-inflammatory drugsr a meta-analysls. Helicobacter 2olZl 7:28@6.
4. LeeYY, ChuaAS. lnvenigating functlonal dyspepsit in A'ia.J Neulogastloenterol Motll 2012;18:239-45.
5. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvlt S, et al. Asian consensus report on functional dyspepsia. J Neurogastrenterol Motil
2012;18:150{8.
6. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. Evaluatlon ofthe usc of rapid urease test Pronto Dry to detect H pylorl ln patlents with
dyspepsle ln several clties in lndonesla.Wotld J Gastroenterol 2006;12:621G8.
7. Ranl AA, Fauzl A. lnfelGl Hellcobacter pylorl dan penyakitganreduodenal. ln: Sudoyo AW Seqohadi B, Alwi l, Simadibrata M,
Setlstl 5, eda Buku AJar llmu Penyaklt Dalam. Jakana: P6at Penerbitan llmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:3316. o

8. Hldrylri Pt lswan Abba! Nusl lA Malmunah U. Hubungan Seroporitivitas CagA H.pylori dengan Deraiat Keparahan Gastritis
pada Paslen Dispepsla. Dlvisl Gastrcnterohepatologi Depanemen llmu Penyakit Dalam FK UNAIR -RSU Dr Sctomo
Surabaya;2ol3. (Unpubllshed manuKrlpt). '
9. Jumlatrdata Helicobacter pylorl posltil RSUD Or Moewardl Surakarta; 2008. (Unpublished raw data). t

to. Par€wangl AML Jumlah data Helicobact€r pylori posltlf di Makassar. Makassari RSUP dr Wahldin Sudkohusodo; 2011.
(Unpubliahrd raw data).
'll.FutagamltShlmpukuM,YlnYetal.Pathophysiologyoffundionoldyspepsia.JNipPonMedSch20ll;78280-5.
12. ChoungRtTalleyNJ.Novelmechanlsmslnfundlonaldyspepsla.WorldJGanroenterol2006;12673-7.
1 3.
Harmon RC, Peura DA, Evaluation and managerrent of dyspePsia. Th€rap Adv Gastroenterol 201 0;3:87-98.
I 4.
Hunt RH, Xlro SD, Megraud F. et al. Hellcobacter pylorl ln developing countrles. World Gastroenterology Organisation Global
Guldellne. J Gastrcintesdn Ltoer Dis 201 1;20:29$304.
15. Altschuler S, PeuE DA, Helicobacter pylorl and peptic ulcer dis€ase. ln: McNally PR, ed. Gl/Livet s€<rets Plus.4th ed.
Phlladelphla, Pa: Elsevier Mosby; 201o:chap 1 l.
16. Chey WD, Woo& M, Schelman JM, Nostrant I-L Del Valle J. Lansopmzole and ranitidine affed the accura(y of the l4c-urea
bmth t€st by a pH dapendcnt mechanism. Am J Gas$oenterol, 1gg7;92t44645o.
17. Nguyen LI, UchldaT,TrulamotoV et al. Evaluatlon of rapid urine testfor the detection of Hellcobacter pylori infection in the
Vlctnamese populatlon. Dlg Dls Scl 201 0;55:89-93.
'18. Leodolter A Vak, q Bazoll F, et al. European multlcentre validatlon trlal of two new non"invasive tests for the detection of
Hellcobactcr pylorl lntibodles: urine-based EUSA and npid urinetest. Allment Pharma€olTher 2003;18;927-31.
19. Demlray curbuz E Gon€n C, Bekmen N, et al. The dlagnostic accuracy of urlne lgc antibody tesB for the detection of
Heli(obact€r pylorl lnfedlon inTurkish dy5peptlc patlents,TurkJ Ga5tro€nterol 201?23:753'8.
20. Malferth.ln€r e Megraud F, OMoraln CA, et al. Manag?ment of Hellcobacter pylori infection-th€ Maastrlcht lV/ Florence
Consensus Repolt Gut 20'l 2;6 :646-64.
1

21. Utla |( Syam AF, Slmadlbrata M, s€tiatl S, Manan C. Clinlcal evaluatlonof dyspepsia in patlents with functional dyspepsia,
with the history of Helicobacter pylorl eradication therapy in Clpto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Acta Med lndones
2010;42:86-93.
22. Syam AF, Abdullah M, Rani AA et al. A comparlson of 5 or 7 days of rabeprazole triple therapy fot eradication of Helicobacter
pylori. Med J lndones 2010:1 13-7.
23. Chey WD, Wong BC, kactlce ParameteE Committee of the Am€flan College of G. Amerlcan College of Gastoenterology
guideline on the management ofHellcobacter pylorl infection. Am J Gastloenterol 2007;'102:1808.25.

KonsensusNasionalPemtalaksanaanDispepsiadanlnfeksiHe/lcobacterpyloti
16 I
I

Anda mungkin juga menyukai