1
1. Struktur linguistiknya dibangun atas suatu sistem akar-akar kata yang
tegas.
2. Struktur semantiknya diatur oleh sistem medan semantik tertentu yang
menentukan struktur konseptual yang terdapat dalam kosakatanya dan
dimantapkan secara permanen oleh hal-hal yang disebut diatas
3. Kata, makna, tata bahasa, dan persajakannya telah direkam dan
dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara
ketetapan semantiknya
Susunan bahasa al-Qur’an mengandung unsur keindahan
bahasa Ilahi yang dapat membuat manusia terkagum dan terpesona bila
mendengar atau membacanya karena bahasa al-Qur’an terpadu secara
harmonis antara isi dan maknanya. Dengan keberadaan al-Qur’an
bangsa Arab telah diuntungkan, paling tidak oleh tiga aspek, Pertama
aspek bahasa, dengan digunakan bahasa Arab sebagai bahasa al-
Qur’an menjadikan bahasa Arab terjaga dari kepunahan dan menjadi
bahasa mendunia sehingga Doktor Ramdan Abu Tawab menulis satu
bab dalam bukunya, law la al-Qur’an ma kanat arabiyah (Kalaulah
bukan karena al-Qur’an, musnah sudah bahasa Arab). Kedua , aspek
politik. Dimana sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab tidak ada
artinya, mereka masih menjadi bangsa yang terbelakang, bangsa yang
bar-bar hingga Allah mengangkat derajat mereka dengan datangnya
seorang nabi yang membawa ajaran Islam. Bersamaan dengan
penyebaran dakwah, Islam telah mengenalkan bangsa Arab ke seluruh
dunia dan menjadikannya bangsa yang memiliki kemuliaan dengan
Islam.
Pembahasan
2
Kembali kepada bahasa Arab dan tradisi penggunaannya
menurut bangsa Arab merupakan pondasi yang dipehitungkan di
dalam penafsiran; karena Al Quran turun dengan bahasa Arab yang
jelas. Lafal-lafalnya mengarahkan makna-makana yang dituju di
dalam penentuan bahasa Arab. Dan pengetahuan kebahasaan ini akan
seimbang dengan salah satu dari dua cara: (1) Intuisi yang tidak
mengarah kepada kesalahan, dan tidak ada perusak makna yang berupa
tradisi (penggunaan) yang buruk dan dzauq yang mencampur-adukkan
lafal. Seperti pengetahuan yang berada di dalam bangsa Arab yang Al
Quran di turunkan di kalangan mereka. Dan mereka pada masa itu
merupakan pemilik bahasa. (2) Dengan menyimak dan mempelajari,
sebagaimana pengetahuan (kebahasaan) yang terjadi pada kaum
muwallad (orang Arab yang sudah berbaur dengan kaum non Arab)
yang mempelajari Bahasa Arab, dan sudah terbiasa dengan uslub/gaya
bahasa orang-orang fasih.
Apapun itu, seorang penafsir tidak akan benar dalam
memahami Al Quran dan merenunginya kecuali jika sudah menguasai
keahlian tentang himpunan-himpunan ilmi-ilmu Bahasa Arab. Yaitu:
matan bahasa, nahwu, shorof, ma'ani, bayan, dan lebih dari itu adalah
gaya bahasa Arab dan penempatan-penempatanya dalam
bayan/penguraiannya. Dan ilmu ma'ani dan bayan masih memerlukan
spekulasi dan relasi terhadap ilmu tafsir; karena keduanya merupakan
perantara untuk menguraikan kekhususan-kekhususan balaghoh yang
berada di dalam Al Quran, dan nilai-nilai mukjizat yang terkandung di
dalamnua. Berapa banyak ayat yang haknya dirampas, dan
keindahannya dihilangkan; karena sebab kelalaian di dalam dua ilm
ini; karena digunakan oleh orang-orang bodoh dengan cara yang salah,
dan mengarahkannya kepada arah yang tidak benar.
3
Tidaklah suatu tafsir hanya kembali kepada bahasa, makna dari
nama-namanya, nahwu, i'rob, dan sebagainya. Karena metode penafsir
di dalam penafsirannya adalah bersumber kepada bahasa Arab dan
tradisi pengunaannya. Orang yang tidak menguasai bahasa Arab dan
hakikatnya tidak memiliki hak untuk meletakkan kakinya dalam dunia
penafsiran, atau hubungan yang dekat dengan kajian tafsir. Al Syafii
berkata: "Sebagian dari himpunan ilmu Al Quran adalah mengetahui
bawa semua isi Kitab Allah hanya diturunkan dengan bahasa Arab".
Dan Al Rozi berkata: "sesungguhnya bahasa dan nahwu berlaku
dasar/inti untuk menafsirkan teks".
]97 :)} [مريم97( سانِكَ ِلت َبش َِر ِب ِه ْالمتَّقِينَ َوت ْنذ َِر ِب ِه قَ ْو ًما لدًّا
َ {فَإِنَّ َما َيس َّْرنَاه ِب ِل
4
"Sesungguhnya kami memudahkan Al Quran dengan lisanmu,
agar kamu dapat memberikan kabar gembira kepada orang-orang
yang bertakwa dan memberikan ancaman kepada kaum-kaum yang
membantah"
5
penafsiran. Jika hal ini merupakan hal yang tidak benar, maka Rasul
akan menjelaskannya, dan menjelaskan mana yang benar. Ibn Abbas
pernah menyatakan bahwa “Apabila anda bertanya kepadaku tentang
kata-kata Al-qur’an yang asing, maka carilah ia dalam puisi (pra-
Islam) karena puisi adalah diwannya orang Arab”. Upaya ini rupanya
telah diikuti oleh beberapa ulama’lain seperti: Abu Ubaydah (w 825
M), Al-Jahiz (w. 869 M), Qadhi Abdul Jabbar (1024 M), Abd Qahir
Aljurjani (1078 M), dan Azzamakhsari (w. 1144) (Ichwan, 2003:42).
Tidak samar lagi bahwa bahasa memiliki obyek yang luas pada
bagian tiga yang awal. Berkata Abu Bakar Al Ambari: "telah datang
dari sahabat-sabahat Rasul dan para tabiin untuk menjadikan bahasa
dan syiir sebagai sumber dalam menafsirkan kata-kata yang
aneh/ghorib dan musykil/ketidak-jelasan, sebuah perkara yang
menjelaskan benarnya pandangan ahli nahwu dalam hal itu dan
sebagai penjelasan salahnya pandangan uang mengingkari mereka
dalam hal itu".
6
Keenam: yang dinukil di dalam tafsir-tafsir lafal Al Quran dan
ungkapan-ungkapannya adalah terbatas. Sementara rahasia-rahasia al
Quran dan hikmah-hikmahnya tidak terbatas, maka harus kembali
kepada bahasa dan mengambil aturan-aturan yang berlaku di dalam
bahasa untuk memahami maksud-maksud Al Quran dan mencari
penjelasan rahasia-rahasianya.
7
telah menyatakan kaidah ini di dalam tafsirnya yang agung: "Dan
mengarahkan makna-makna Al Quran kepada makna yang dhohir
adalah lebih baik daripada mengarahkannya kepada makna yang
samar lagi jarang digunakan".
]24 :{ َّل َيذوقونَ فِي َها َب ْردًا َو َّل ش ََرابًا} [النبأ
8
dengan makna yang berlawanan dengannya. karena melestarikan
tujuan yang dimaksud. Ibnul Qoyyim berkata: "Al Quran memiliki
tradisi yang khusus, dan makna-makna berbeda, yang tidak akan
cocok kecuali dengan yang lain. Tidak boleh menafsirkannya dengan
selain tradisinya di dalam makna-maknanya; karena perbandingan
makna-makna Al Quran dengan yang lain adalah perbandingan lafal-
lafalnya dengan lafal yang lain, bahkan lebih jauh. Sebagaimana
lafal-lafalnya adalah rajanya lafal, lafal yang teragung, dan terfasih,
maka makna-maknya juga demikian."
9
Dan jika tidak terdapat tradisi, maka tidak sah pemberlakuan
pemahaman ini atas sesuatu yang tidak diakui oleh tuntutan-tuntutan
kebahasaan dan aturan-aturannya.
10
makna tangan dengan makna nikmat dari sisi bahasa, karena jika ia
kembalikan tafsir firman Allah "bi yaddayya" dengan arti kenikmatan
kepada ijma', maka para muslimun sepakat dengan apa yang ia
kehendaki. Jika ia kembali kepada bahasa, maka tidak ada di dalam
bahasa yang menyatakan bahwa makna tangan adalah nikmat."
d. Kedatangan dari asal usul bahasa yang benar. Dan ini menuntut
keharusan pengaitan terhadap sejumlah kaidah-kaidah tafsir
dalam bahasa.
11
yang bernuansa i'rob. Renungilah kaidah ini, dan ingat-ingat di dalam
hati. Maka kamu akan mendapatkan manfaat dalam mengetahui
kelemahan beberapa banyak pandangan dari kalangan pentafsir dan
kepalsuannya. Dan kamu pastikam bahwa itu bukan maksudnya Allah
ta'ala di dalam firman-Nya".
12
membenarkan kaidah nahwu, merobohkan seratus kaidah yang
sepertinya lebih mudah daripada memalsukan maka ayat."
13
Dhorof, yang merupakan kata "yaum" jika kita melihat makna,
maka wajib dikaitkan dengan masdar yaitu "roja'a", maka maknanya:
sungguh atas pengembalian pada hari itu di hari itu ia adalah maha
yang mampu. Tapi, i'rob menolaknya; karena tidak boleh ada
pemisahan antara masdar dan ma'mulnya, maka ia menjadikan amilnya
ditakdirkan/dikira-kirakan yang ditunjukkan oleh masdar.
Penutup
14