Anda di halaman 1dari 14

DHAWABITH AL-LUGHAWY

DALAM ILMU USHUL AT-TAFSIR


Pengantar

Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan bahasa


sebagai bunyi yang digunakan oleh setiap kaum untuk menyampaikan
maksudnya. Bunyi-bunyi bahasa menurut Plato secara implisit
mengandung makna-makna tertentu. Aminuddin mengartikan bahasa
sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat
untuk berkerja sama, berinteraksi dan mengindentifikasi diri. Sebagai
media komunikasi, bahasa harus dapat dipahami dan dimengerti, untuk
itu bahasa harus bersifat sistematis dan sistemis. Bahasa mesti bersifat
sistematis karena bahasa memiliki kaidah atau aturan tertentu, dan
bersifat sistemis karena memilki subsistem, yaitu, subsistem fonologis,
subsistem gramatikal dan subsistem leksikal.1
Sebagaimana fungsi bahasa pada umumnya bertujuan sebagai sarana
untuk mengungkapkan ekspresi perasaan dan pikiran yang dituangkan dalam
simbol suara, gerak, huruf dan kata. Begitupula halnya dengan bahasa Arab,
namun bahasa Arab yang menjadi medium bahasa al-Qur’an telah berproses
menjadi bahasa Agama yang memilki fungsi dan peran yang lebih dari
sekedar sebagai bahasa manusia pada umumnya.
Bahasa Agama, dalam hal ini al-Qur’an, merupakan sesuatu
yang bersifat transenden dan universal. Ia memilki kelebihan dan
keistimewaan tersendiri dibandingkan bahasa-bahasa yang ada. Syed
M. Naquib al-Attas, sebagaimana yang dukutip oleh Sugeng,
menyebutkan bahwa bahasa Arab tidak termasuk dalam kategori
bahasa-bahasa lainnya berkenaan dengan struktur semantiknya
disebabkan kenyataan sebagai berikut.

1 Alwasilah Chaedar A. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik,


(Bandung: Angkasa, 1993), h. 67

1
1. Struktur linguistiknya dibangun atas suatu sistem akar-akar kata yang
tegas.
2. Struktur semantiknya diatur oleh sistem medan semantik tertentu yang
menentukan struktur konseptual yang terdapat dalam kosakatanya dan
dimantapkan secara permanen oleh hal-hal yang disebut diatas
3. Kata, makna, tata bahasa, dan persajakannya telah direkam dan
dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara
ketetapan semantiknya
Susunan bahasa al-Qur’an mengandung unsur keindahan
bahasa Ilahi yang dapat membuat manusia terkagum dan terpesona bila
mendengar atau membacanya karena bahasa al-Qur’an terpadu secara
harmonis antara isi dan maknanya. Dengan keberadaan al-Qur’an
bangsa Arab telah diuntungkan, paling tidak oleh tiga aspek, Pertama
aspek bahasa, dengan digunakan bahasa Arab sebagai bahasa al-
Qur’an menjadikan bahasa Arab terjaga dari kepunahan dan menjadi
bahasa mendunia sehingga Doktor Ramdan Abu Tawab menulis satu
bab dalam bukunya, law la al-Qur’an ma kanat arabiyah (Kalaulah
bukan karena al-Qur’an, musnah sudah bahasa Arab). Kedua , aspek
politik. Dimana sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab tidak ada
artinya, mereka masih menjadi bangsa yang terbelakang, bangsa yang
bar-bar hingga Allah mengangkat derajat mereka dengan datangnya
seorang nabi yang membawa ajaran Islam. Bersamaan dengan
penyebaran dakwah, Islam telah mengenalkan bangsa Arab ke seluruh
dunia dan menjadikannya bangsa yang memiliki kemuliaan dengan
Islam.

Pembahasan

2
Kembali kepada bahasa Arab dan tradisi penggunaannya
menurut bangsa Arab merupakan pondasi yang dipehitungkan di
dalam penafsiran; karena Al Quran turun dengan bahasa Arab yang
jelas. Lafal-lafalnya mengarahkan makna-makana yang dituju di
dalam penentuan bahasa Arab. Dan pengetahuan kebahasaan ini akan
seimbang dengan salah satu dari dua cara: (1) Intuisi yang tidak
mengarah kepada kesalahan, dan tidak ada perusak makna yang berupa
tradisi (penggunaan) yang buruk dan dzauq yang mencampur-adukkan
lafal. Seperti pengetahuan yang berada di dalam bangsa Arab yang Al
Quran di turunkan di kalangan mereka. Dan mereka pada masa itu
merupakan pemilik bahasa. (2) Dengan menyimak dan mempelajari,
sebagaimana pengetahuan (kebahasaan) yang terjadi pada kaum
muwallad (orang Arab yang sudah berbaur dengan kaum non Arab)
yang mempelajari Bahasa Arab, dan sudah terbiasa dengan uslub/gaya
bahasa orang-orang fasih.
Apapun itu, seorang penafsir tidak akan benar dalam
memahami Al Quran dan merenunginya kecuali jika sudah menguasai
keahlian tentang himpunan-himpunan ilmi-ilmu Bahasa Arab. Yaitu:
matan bahasa, nahwu, shorof, ma'ani, bayan, dan lebih dari itu adalah
gaya bahasa Arab dan penempatan-penempatanya dalam
bayan/penguraiannya. Dan ilmu ma'ani dan bayan masih memerlukan
spekulasi dan relasi terhadap ilmu tafsir; karena keduanya merupakan
perantara untuk menguraikan kekhususan-kekhususan balaghoh yang
berada di dalam Al Quran, dan nilai-nilai mukjizat yang terkandung di
dalamnua. Berapa banyak ayat yang haknya dirampas, dan
keindahannya dihilangkan; karena sebab kelalaian di dalam dua ilm
ini; karena digunakan oleh orang-orang bodoh dengan cara yang salah,
dan mengarahkannya kepada arah yang tidak benar.

3
Tidaklah suatu tafsir hanya kembali kepada bahasa, makna dari
nama-namanya, nahwu, i'rob, dan sebagainya. Karena metode penafsir
di dalam penafsirannya adalah bersumber kepada bahasa Arab dan
tradisi pengunaannya. Orang yang tidak menguasai bahasa Arab dan
hakikatnya tidak memiliki hak untuk meletakkan kakinya dalam dunia
penafsiran, atau hubungan yang dekat dengan kajian tafsir. Al Syafii
berkata: "Sebagian dari himpunan ilmu Al Quran adalah mengetahui
bawa semua isi Kitab Allah hanya diturunkan dengan bahasa Arab".
Dan Al Rozi berkata: "sesungguhnya bahasa dan nahwu berlaku
dasar/inti untuk menafsirkan teks".

Argumentasi pengambilan bahasa dalam penafsiran.

Teks-teks syariat sudah begitu banyak yang menunjukkan


kehujahan bahasa dalam penafsiran. Amal para salaf soleh
memberlakukan ilmu bahasa sebagai sumber pemahaman dan
penggalian makna. Dan ini didukung oleh dalil logis yang pasti.
Sehingga tidak meninggalkan sedikitpun kesempatan untuk ragu.
Uraiannya dari beberapa sisi:

Pertama: dari Al Quranul karim:

]2 :‫)} [يوسف‬2( َ‫{إِنَّا أ َ ْنزَ ْلنَاه ق ْرآنًا َع َربِيًّا لَعَلَّك ْم تَ ْع ِقلون‬

"Sesungguhnya kami turunkan kitab berupa Al Quran yang


berbahasa Arab, agar kalian berakal"

]97 :‫)} [مريم‬97( ‫سانِكَ ِلت َبش َِر ِب ِه ْالمتَّقِينَ َوت ْنذ َِر ِب ِه قَ ْو ًما لدًّا‬
َ ‫{فَإِنَّ َما َيس َّْرنَاه ِب ِل‬

4
"Sesungguhnya kami memudahkan Al Quran dengan lisanmu,
agar kamu dapat memberikan kabar gembira kepada orang-orang
yang bertakwa dan memberikan ancaman kepada kaum-kaum yang
membantah"

]4 :‫ان قَ ْو ِم ِه ِلي َب ِينَ لَه ْم} [إبراهيم‬


ِ ‫س‬َ ‫س ْلنَا ِم ْن َرسول ِإ َّّل ِب ِل‬
َ ‫{ َو َما أَ ْر‬

"Dan tidaklah kami utus seorang rasul kecuali dengan lisan


kaumnya agar dapat memberi penjelasan kepada mereka".

Ayat-ayat ini dan yang serupa dengannya memberikan faidah


bahwa Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab. Tidak akan
memahaminya kecuali orang yang diberi pengetahuan tentang bahasa
ini, dan penguasaan terhadap makna-maknanya. Dan dengan itu semua
manusia tidak akan beralasan di depan Allah dan mengatakan: kami
tidak memahami apa yang dibicarakkan kepada kami.

Kedua: Nabi saw menafsirkan lafal Al Quran, kata-kata yang


asing dengan cara yang tidak berbenturan dengan cara bicara bangsa
Arab dan penunjukan maknanya. Dan Nabi menyebutkan beberapa
model pembicaraan yang sesuai dengan model mereka dalam hal
majaz dan isti'aroh. Seperti penafsirannya terhadap kata "benang
hitam" dan "benang putih" ketika hal itu tidak dipahami oleh Adiy bin
Hatim.

Ketiga: berlaku di kalangan sahabat ra dalam memahami


makna-makna Al Quran dan perenungannya atas kondisi yang mereka
temui dari bahasa mereka yang Al Quran turun dengan bahasa ini,
cara-cara penggunaannya, dengan pengetahuan yang meliputi intuisi
Arab yang murni dan fitrah yang normal. Nabi Muhammad saw tidak
mengingkari mereka atas pengambilan sumber dari bahasa dalam

5
penafsiran. Jika hal ini merupakan hal yang tidak benar, maka Rasul
akan menjelaskannya, dan menjelaskan mana yang benar. Ibn Abbas
pernah menyatakan bahwa “Apabila anda bertanya kepadaku tentang
kata-kata Al-qur’an yang asing, maka carilah ia dalam puisi (pra-
Islam) karena puisi adalah diwannya orang Arab”. Upaya ini rupanya
telah diikuti oleh beberapa ulama’lain seperti: Abu Ubaydah (w 825
M), Al-Jahiz (w. 869 M), Qadhi Abdul Jabbar (1024 M), Abd Qahir
Aljurjani (1078 M), dan Azzamakhsari (w. 1144) (Ichwan, 2003:42).

Ke empat: didapatkan dari para salaf pengambilan sumber dari


bahasa dan pengambilan dengan syarat-syarat kebahasaan dalam
penafsiran. Amal ini berlaku tanpa adanya pengingkaran. Ibnu Abbas
berkata: tafsir ada empat macam: (1) cara yang diketahui oleh orang
Arab dari pembicaraannya. (2) penafsiran yang seseorang tidak
dimaafkan untuk tidak mengetahuinya (3) tafsir yang diketahui oleh
para ulama (4) tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.

Tidak samar lagi bahwa bahasa memiliki obyek yang luas pada
bagian tiga yang awal. Berkata Abu Bakar Al Ambari: "telah datang
dari sahabat-sabahat Rasul dan para tabiin untuk menjadikan bahasa
dan syiir sebagai sumber dalam menafsirkan kata-kata yang
aneh/ghorib dan musykil/ketidak-jelasan, sebuah perkara yang
menjelaskan benarnya pandangan ahli nahwu dalam hal itu dan
sebagai penjelasan salahnya pandangan uang mengingkari mereka
dalam hal itu".

Kelima: seandainya Al Quran dapat difahami dengan selain


bahasa Arab, maka unsur penantangan di dalamnya tidak akan lurus.
Karena unsur penantangan tidak akan berada di luar lingkup kaum
yang dikhitobi, dan kebiasaan dalam berkomunikasi.

6
Keenam: yang dinukil di dalam tafsir-tafsir lafal Al Quran dan
ungkapan-ungkapannya adalah terbatas. Sementara rahasia-rahasia al
Quran dan hikmah-hikmahnya tidak terbatas, maka harus kembali
kepada bahasa dan mengambil aturan-aturan yang berlaku di dalam
bahasa untuk memahami maksud-maksud Al Quran dan mencari
penjelasan rahasia-rahasianya.

Standar-standar pengambilan bahasa dalam penafsiran

Kebenaran tafsir atas makna bahasa dan aturan-atiran


kebahasaan tidak akan lurus kecuali dengan memperhatikan standar-
standar berikut:

a. Memperhatikan makna yang paling sering digunakan, poluler,


dan fasih. bukan yang syadz/aneh, atau jarang dalam penafsiran
menurut bahasa; karena Al Quran turun dengan bahasa yang
paling fasihnya bahasa Arab dan paling populer. Maka jangan
menggunakan makna yang aneh dalam penggunaan bangsa
Arab, dan mengarahkan obyeknya dengan memaksakann diri.
Dan ini merupakan suatu pandangan yang tidak layak dengan
ungkapan yang baik, bagaimana dengan bayan Al Quran yang
mengandung mukjizat?

Dari sini sudah menjadi keharusan bagi seorang penafsir untuk


membiasakan diri dengan kefasihan dan kandungan mukjizat. Jangan
sampai manafsirkan Al Quran dengan bahasa yang aneh, pengunaan
yang jarang, dan susunan yang buruk. Karena makna-makna Al Quran
hanya diarahkan kepada makna yang paling fasih dan paling populer
yang sudah menjadi tradisi ungkapan Bahasa Arab. Imam At Thobari

7
telah menyatakan kaidah ini di dalam tafsirnya yang agung: "Dan
mengarahkan makna-makna Al Quran kepada makna yang dhohir
adalah lebih baik daripada mengarahkannya kepada makna yang
samar lagi jarang digunakan".

Dan diantara penafsiran yang aneh adalah pernyataan mereka:


Yang dimaksud dengan Al Bard di dalam firman Allah:

]24 :‫{ َّل َيذوقونَ فِي َها َب ْردًا َو َّل ش ََرابًا} [النبأ‬

"dan mereka tidak merasakan bard dan minuman".

Menafsirkannya dengan an-naum (tidur). Makna ini adalah


makna yang jarang penggunaannya di bahasa Arab. Dan bahasa yang
populer adalah sesuatu yang dapat mendinginkan hawa panas di dalam
jasad. Maka tidak dapat dipindahkan kepada makna tidur. Karena
bersandar kepada makna yang paling populer dan sering. At Thobari
berkata: "Tidur, walaupun dapat mendinginkan rasa kehausan, maka
ditanyakan kepadanya: apakah karena itu keberadaan dingin? Padahal
itu bukan namanya yang terkenal, dan mentakwil Al Quran adalah
dengan makna yang lebih populer dari ungkapan bangsa Arab, bukan
yang lain."

b. Memperhatikan tradisi Al Quran dan kebiasaan di dalam


penggunaannua.

Jika Al Quran memiliki tradisi yang khusus dalam penentuan


makna-makna atau istilah yang berbeda di dalam lafal-lafal, maka
wajib mengarahkan kepada jalur yang biasanya dalam penggunaan-
penggunaannya. Karena setiap orang yang berbicara memiliki istilah-
istilah yang khusus yang dituju. Tidak boleh menafsirkan isi Al Quran

8
dengan makna yang berlawanan dengannya. karena melestarikan
tujuan yang dimaksud. Ibnul Qoyyim berkata: "Al Quran memiliki
tradisi yang khusus, dan makna-makna berbeda, yang tidak akan
cocok kecuali dengan yang lain. Tidak boleh menafsirkannya dengan
selain tradisinya di dalam makna-maknanya; karena perbandingan
makna-makna Al Quran dengan yang lain adalah perbandingan lafal-
lafalnya dengan lafal yang lain, bahkan lebih jauh. Sebagaimana
lafal-lafalnya adalah rajanya lafal, lafal yang teragung, dan terfasih,
maka makna-maknya juga demikian."

c. Mengarahkan teks-teks Al Quran kepada kebiasaan bangsa


Ummiyyin dalam pengungkapan kata.

Ini merupakan sebuah kaidah yang agung, yang tak diketahui


oleh para penafsir dalam menguraikan mufrodat dan makna-makna Al
Quran. Sehingga dapat menarik kepada penunjukan kata, dan merusak
susunan kata. Makna dari kaidah ini: bahwa Al Quran ketika turun
dengan bahasa Arab, maka wajib memahaminya, merenunginya
dengan kaidah-kaidah dan penggunaan-penggunaan yang berlaku.
Apalagi mengetahui kebiasaan bangsa ummiyyin dalam berbicara.
Mereka dinamakan dengan nama itu karena mereka sebelumnya tidak
mengetahui ilmu-ilmu bangsa sebelumnya. Karena al ummi
disandarkan kepada al um (ibu). Dan dia masih berada dalam kondisi
asal, lahir dari ibu, yang belum belajar menulis atau lainnya. Ia masih
berada dalam kondisi asal kelahiran, yang dilahirkan dalam keadaan
lahir.

Dapat diambil kesimpulan dari kaidah ini, bahwa bangsa Arab


jika memiliki tradisi yang beredar di dalam lisan mereka, maka tidak
mungkin menutup mata darinya dalam memahami teks-teks Al Quran.

9
Dan jika tidak terdapat tradisi, maka tidak sah pemberlakuan
pemahaman ini atas sesuatu yang tidak diakui oleh tuntutan-tuntutan
kebahasaan dan aturan-aturannya.

Dari beberapa contoh di mana tafsir tidak sesuai dengan tradisi


bangsa Ummiyin dalam komunikasi adalah sebagian ahli bid'ah
menafsirkan al-yad dengan nikmat. Di dalam firman Allah:

َّ َ‫{ ِل َما َخلَ ْقت بِيَد‬


]75 :‫ي} [ص‬

"terhadap apa yang diciptakan oleh nikmatku"

Dan penafsiran ini adalah penafsiran yang salah, tidak


dibenarkan oleh bahasa Arab dan tradisi para ahlul khitob/Bangsa
Arab. Al Asy'ri mengkritisinya, dengan uraian yang panjang lebar. Ia
berkata: "Tidak boleh di dalam bahasa Arab dan tradisi bangsa Arab
untuk perkataan seseorang: aku menciptakannya dengan kedua
tanganku, sementara yang dimaksud adalah kenikmatan. Jika Allah
menggunakan kominikasi bangsa Arab, dengan bahasanya,
pemahaman yang berlaku di dalamnya, dan masuk di akal, tidak boleh
di kalangan ahli bahasa mengatakan: dengan kedua tanganku dengan
maksud kenikmatan. Maka, betapa salahnya makna firman Allah:
dengan kedua tanganku dan maksudnya adalah kenikmatan. Dan tidak
boleh mengatakan: aku berhak atasmu sebuah tangan, dengan makna
aku berhak mendapatkan kenikmatan atasmu. Seseorang menolak
penggunaan bahasa, dan tidak kembali kepada ahli lisan, maka ia
menolak bahwa makna dari tangan adalah kenikmatan. Karena ia
tidak mungkin berpegangan bahwa makna tangan adalah kenikmatan
kecuali dari segi bahasa. Jika ia menolak bahasa, maka ia harus
menafsirkan Al Quran tidak dengan bahasa, dan tidak menetapkan

10
makna tangan dengan makna nikmat dari sisi bahasa, karena jika ia
kembalikan tafsir firman Allah "bi yaddayya" dengan arti kenikmatan
kepada ijma', maka para muslimun sepakat dengan apa yang ia
kehendaki. Jika ia kembali kepada bahasa, maka tidak ada di dalam
bahasa yang menyatakan bahwa makna tangan adalah nikmat."

d. Kedatangan dari asal usul bahasa yang benar. Dan ini menuntut
keharusan pengaitan terhadap sejumlah kaidah-kaidah tafsir
dalam bahasa.

Pertama: tidak mengarahkan firman Allah hanya dengan


kemungkinan makna nahwu atau kebahasaan. Dan ini merupakan
proses yang sangat sulit, banyak dari pakar i'rob yang mengi'robi al
quran yang tergelincir di dalamnya. Karena mereka mengi'robi ayat
dengan kemungkinan yang ada di da lam susunan jumlah. Dan
memahami dari susunan itu dengan makna apa saja yang sesuai. Dan
ini adalah kesalahan besar yang dapat memutuskan pendengar bahwa
yang dimaksud dari Al Quran adalah perkara yang lain. Walaupun
makna ini dapat dimungkinkan di dalam susunan yang lain,
danungkapan yang lain. Maka, tidak harus dimungkinkan di dalam Al
Quran. Seperti ungkapan sebagian dari mereka di dalam bacaan:

)‫(واألرحام إن هللا كان عليكم رقيبا‬

Dengan membaca jar, bahwa itu adalah sumpah. Ibnul Qoyyim


telah menyelesaikan uraiannya setelah mengkritisi kesalahan-
kesalahan para pakar i'rob dalam bab ini dengan menyusun sebuah
kaidah yang tidak diarahkan kecuali kepadanya dalam tafsir
kebahasaan: "tidak boleh mengarahkan tafsir kepada makna-makna
yang dangkal, hanya dengan adanya kemungkinan ilmu nahwu

11
yang bernuansa i'rob. Renungilah kaidah ini, dan ingat-ingat di dalam
hati. Maka kamu akan mendapatkan manfaat dalam mengetahui
kelemahan beberapa banyak pandangan dari kalangan pentafsir dan
kepalsuannya. Dan kamu pastikam bahwa itu bukan maksudnya Allah
ta'ala di dalam firman-Nya".

Kedua: menghindari i'rob-i'rob yang bertentangan dengan


dhohir dan susunan redaksi. Ini merupakan caranya para ahli bid'ah
dan para orang-orang fanatik yang mengarahkan teks-teks kepada
makna-makna yang tidak tidak dimampui oleh teks semata-mata
sebagai pembenaran pandangan mereka, menjadikan tujuan ini sebagai
kandungan-kandungan makna i'rob yang dimungkinkan yang ditunjuk
oleh dhohirnya lafal dan susunan redaksi. Dan sebagian mereka
memperbolehkan bahwa di dalam firman Allah: "lil fuqoro" sebagai
badal/pengganti dari firmannya: "wa lidzil qurba" (dan untuk para
kerabat dekat). Padahal pemisahan di antara keduanya adalah sangat
jauh, tujuan utama dari hal itu adalah penguatan terhadap pandangan
fiqih mereka yang mengatakan bahwa dzil qurba tidak berhak
mendapatkan fa'i karena kedekatan mereka. Tapi karena kefaqiran
mereka jika mereka adalah orang-0rang fakir.

Ketiga: menghindari pemalsuan dalam makna-makna Al


Quran karena sebagai pembenaran terhadap kaidah nahwu. Jika para
pakar nahwu mentakdirkan sebuah takdir yang dimungkinkan oleh
kajian nahwu, dan terdapat dalil syariat yang menegahnya, maka takdir
tersebut ditinggalkan dan mencari yang lain yang sesyai dengan kalam
syariat, dan memberlakukannya sesuai dengan kaidah-kaidahnya.
Ibnul Qoyyim berkata: "Tidak boleh memalsukan Kalamullah karena

12
membenarkan kaidah nahwu, merobohkan seratus kaidah yang
sepertinya lebih mudah daripada memalsukan maka ayat."

e. Mencari makna dhohir dengan mendengarkan, jika


dibutuhkan; karena di dalam Al Quran terdapat kata-kata yang
aneh, mubham/samar, dan peletakan-peletakan khusus di
dalam bayan yang jika hanya dengan pemahaman saja tidak
cukup untuk mengetahuinya dan menjadikan sumber dari ranah
kebahasaan. Tapi harus dari penukilan dan pendengaran.
Barang siapa yang membagi-bagi pemahamannya, dan
membenturkannya dengan kaidah-kaidah bahasa di dalam bab
ini, tanpa mencari dari penukilan, maka kesalahan akan banyak
terjadi, dan dikumpulkan bersama golongan para penafsir
dengan pandangan yang buruk. Dan tidak terdapat perbedaan
dalam kaidah ini di antara para penafsor dan ulama-ulama Al
Quran.
f. Mendahulukan makna daripada i'rob dalam ranah kontadiksi.
Jika di dalam sebuah kalam bahwa makna mengundang sebuah
perintah, dan i'rob menolaknya, maka maknalah yang
didahulukan dan wajib menggunakannya, dan i'robnya harius
ditakwil, sehingga menjadi senada dan maknanya benar. Di
sini para ulama Al Quran menetapkan kaidahnya yang populer:
lafal yang satu dan i'rob terkadang terjadi kontra, maka yang
didahulukan adalah kebenaran makna dan i'robnya ditakwilkan
kebenarannya.
Dan dari penerapan kaidah ini adalah firman Allah:
]9 ،8 :‫)} [الطارق‬9( ‫) يَ ْو َم ت ْبلَى الس ََّرائِر‬8( ‫{ ِإنَّه َعلَى َرجْ ِع ِه لَقَادِر‬
"Sungguh ia maha kuasa untuk mengembalikannya, hari di
mana hati dicoba".

13
Dhorof, yang merupakan kata "yaum" jika kita melihat makna,
maka wajib dikaitkan dengan masdar yaitu "roja'a", maka maknanya:
sungguh atas pengembalian pada hari itu di hari itu ia adalah maha
yang mampu. Tapi, i'rob menolaknya; karena tidak boleh ada
pemisahan antara masdar dan ma'mulnya, maka ia menjadikan amilnya
ditakdirkan/dikira-kirakan yang ditunjukkan oleh masdar.

Penutup

Bahasa Arab memiliki peranan penting untuk memahami Al-


Qur’an dan menafsirkannya. Bahasa Arab merupakan salah satu di
antara syarat-syarat ijtihad dalam menentukan hukum dengan
meggunakan dalil syar’i yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadith.
Mempelajari bahasa Arab merupakan keharusan, karena tidak
mungkin memahami al-Qur’an kecuali dengan memahami bahasa
Arab. Seseorang yang menjelaskan makna al-Qur’an tanpa memiliki
kemampuan bahasa Arab akan rentan menimbulkan kekeliruan

14

Anda mungkin juga menyukai