Tokolitik
Tokolitik
Rate This
I. PENDAHULUAN
Kelahiran bayi prematur dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas perinatal, di
negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris persalinan prematur adalah penyebab
tertinggi angka morbiditas dan mortalitas perinatal, dimana komplikasi yang
diakibatkan oleh persalinan pretem lebih dari 10% dari seluruh kehamilan oleh karena
itu persalinan prematur merupakan hal yang patut mendapat perhatian khusus
mengenai penatalaksanaannya disamping upaya pencegahannya.1-11
Tujuan penanganan persalinan dan kelahiran prematur adalah untuk mencegah dan
menghentikan terjadinya kontraksi uterus dengan obat-obatan tokolitiksampai
kehamilan seaterm mungkin atau sampai janin mempunyai maturitas paru yang
dinggap cukup mampu untuk hidup di luar kandungan. Walaupun kemungkinan
obat tokolitik hanya berhasil sementara, tetapi penundaan ini penting untuk
memberikan kesempatan untuk pemberian kortikosteroid untuk merangsang
pematangan paru- paru.1-3,5
• Hipertiroid
Fetal :
• Gawat janin
• Korioamnionitis
• Janin mati
• IUGR
Pemberian dosis obat haruslah mulai dari dosis terkecil dengan peningkatan setiap15-
30 menit sesuai dengan keperluan untuk menghambat kontraksi uterus. Denyut nadi
ibu tidak boleh lebih dari 130 x/m dan kita harus menyesuaikan dosis tokolitik jika
efek samping timbul.15
Ritodrin biasanya diberikan intravena dengan dosis awal 50-100μg/m dan ditingkatkan
50μg/m setiap 15-20 menit sampai kontraksi uterus berhenti, dengan dosis maksimum
350μg/m. Beberapa peneliti telah menggunakan Ritodrin intra muskuler dengan dosis
5-10 mg setiap 2-4 jam. Terapi oral yang dianjurkan adalah 10 mg setiap 2 jam atau 20
mg setiap 4 jam selama 24-48 jam dengan dosis tidak boleh melebihi 120 mg/hari.8,15
Dosis Terbutalin dianjurkan 2,5μg/m setiap 20 menit sampai kontraksi uterus berhenti
atau dosis maximum sebanyak 20 μg/m tercapai. Terbutalin dapat diberikan subkutan
dengan dosis 250 μg setiap 3 jam. Terapi oral sudah harus diberikan sebanyak 2,5-5mg
setiap 2-4 jam paling lambat dalam 24-48 jam.8,15
Setelah ancaman persalinan prematur dapat dihentikan sekurang-kurangnya 1
jam, tokolitik dapat diturunkan pada interval 20 menit sampai dosis efektif terendah
yang dicapai dan dipelihara selama 12 jam. 30 menit sebelum pemberian terapi intra
vena terapi oral sudah harus diberikan dan diulang setiap 2-4 jam salama 24-48 jam.8,15
C. Efek-efek Terhadap Ibu
Efek-efek terhadap ibu dan komplikasi-komplikasi penggunaan terapi ß – adrenergik
agonis banyak ditemukan dan lebih sering terjadi daripada efek-efek terhadap fetus
maupun neonatus. Terdapat informasi yang bertentangan apakah efek- efek ini lebih
sering terjadi pada penggunaan ritodrin atau terbutalin. Secara umum, tidak ada
perbedaan efek samping antara Ritodrin dengan terbutalin, kecuali bahwa terbutalin
oral menyebabkan perubahan signifikan pada toleransi glukosa ibu, sedangkan ritodrin
oral tidak menimbulkan efek demikian.15
Berikut adalah efek-efek maternal akibat terapi tokolitik dengan golongan ß-
Adrenergik agonis :1,8-11,15,16,19
Fisiologi :
• Agitasi
• Sakit kepala
• Mual
• Muntah
• Demam
• Halusinasi
Metabolik :
• Hiperglisemia
• Diabetik ketoasidosis
• Hiperinsulinemia
• Hiperlaktasidemia
• Hipokalemia
• Hipokalsemia
Jantung :
• Edema pulmonum
• Takikardi
• Palpitasi
• Hipotensi
• Gagal jantung
• Aritmia, dll
• Takikardi
• Aritmia
• Hiperglisemia
• Hiperinsulinemia
Neonatal :
• Takikardi
• Hipokalsemia
• Hiperbilirubinemia
• Hipoglikemi
• Hipotensi
• Aritmia
Belum ada laporan mengenai efek terhadap APGAR skor. Hal yang paling penting,
follow up jangka panjang pada anak-anak yang terpapar ritodrin tidak menunjukkan
efek buruk terhadap pertumbuhan.15
Penggunaan klinis beta-adrenergik secara luas selama 45 tahun belum memastikan
adanya efek-efek signifikan terhadap fetus dan neonatus.15
VI. PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID SEBAGAI
TOKOLITIK
Prostaglandin sebagai salah satu pencetus proses persalinan (kontraksi uterus) yang
penting maka para peneliti menganggap bahwa prostaglandin synthetase inhibitor
dalam hal ini Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) dapat digunakan
sebagai tokolitik. Salah satu obat-obat golongan ini yang dapat
dipakai tokolitik adalah Indomethacin.1,8,10,11,19,20
A. Farmakokinetik
OAINS bekerja primer sebagai penghambat cyclooxygenase. Indomethacin adalah obat
dari golongan ini yang memiliki potensi untuk digunakan sebagaitokolitik. Obat ini
dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui urin.19
Indomethacin secara cepat dapat menembus plasenta, dalam 2 jam kadar dalam darah
bayi 50% dari kadar dalam darah ibu dan akan menjadi sama dalam 6 jam. Waktu
paruh indomethacin pada fetus adalah 14,7 jam yang lebih lama disbanding pada ibu
yang hanya 2,2 jam, hal inilah yang dapat mengakibatkan gangguan hati ada fetus.19
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Indomethacin dapat dapat diberikan peroral atau peranal, dosis yang digunakan sebagai
terapi pada persalinan prematur adalah 150-300 mg/hari, dengan dosis awal adalah
100-200 mg peranal atau 50-100 mg peroral dan kemudian 25-50 mg setiap 4- 6 jam.
Setelah pemberian dosis awal kadar optimal dicapai dalam 1-2 jam yang dapat dicapai
oleh pemberian dengan cara peranal.19
Indomethacin dikontraindikasikan untuk ibu-ibu yang menderita kerusakan ginjal, hati,
asma, oligohidramnion, ulkus peptikum dan alergi.9-11,18,19,21
C. Efek-efek Terhadap Ibu
Bila dibandingkan dengan magnesium sulfat atau ritodrin, efek samping maternal
indomethacin lebih minimal dan jarang terjadi. Kemungkinan efek yang paling sering
terjadi adalah iritasi gastrointestinal termasuk mual, sakit lambung, heartburn, dan
muntah yang berkaitan dengan terapi oral obat ini. Antasida dapat membantu bila
gejala-gejala ini terjadi. Akan tetapi, kebanyakan pasien dapat mentoleransi
indomethacin oral dan hanya mengalami sedikit efek samping.16,19
Karena aspirin dapat berefek pada perdarahan, Lent dkk meneliti efek pemakaian
indomethacin sebagai tokolitik terhadap sistim koagulasi ibu, dan menyimpulkan
bahwa tidak ada efek terhadap proses koagulasi. Akan tetapi, terjadi perubahan yang
menonjol dan bersifat akut pada masa perdarahan ibu, sehingga meningkatkan resiko
terjadinya perdarahan yang banyak saat persalinan. Bila seorang wanita melahirkan
ketika masih dalam terapi obat tersebut atau jika mempunyai indikasi fetal maupun
maternal untuk tindakan operasi, maka dokter harus memeriksa waktu perdarahan dan
mengenali adanya resiko perdarahan. Walaupun perdarahan postpartum termasuk
resiko maternal, efek samping ini jarang terjadi karena kadar obat dalam darah
menurun dengan cepat ketika obat dihentikan.6,11,18,19
Terapi indomethacin yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi ginajal pada ibu.
Interaksi serius dapat terjadi bila obat diberikan bersama dengan golongan
aminoglikosid. Pemantauan fungsi ginjal dianjurkan bila obat yang potensial
nefrotoksik digunakan bersamaan atau segera setelah penggunaan indomethacin.
Waktu rata-rata pemulihan fungsi ginjal adalah 5 hari. Timbulnya insufisiensi ginjal
akut pada ibu mungkin berhubungan dengan kombinasi antara perubahan aliran darah
ginjal dengan adanya restriksi cairan.19
Indomethacin yang digunakan bersama-sama ß bloker menyebabkan hipertensi yang
berat pada ibu.Bagaimana mekanisme OAINS ini menyebabkan hipertensi tidak
diketahui, tetapi perlu hati-hati dan dihindari pemakaiannya pada wanita-wanita
dengan preeklampsi. Indomethacin juga bersifat antipiretik. Penggunaannya dapat
menutupi demam yang timbul akibat korioamnionitis subklinis. Perdarahan rectal
dapat terjadi akibat pemberian berulang indomethacin suppositoria, terapi oral setelah
dosis awal dapat mencegah efek samping tersebut pada ibu, sedangkan pemberian
sacara perrektal dapat mencegah efek samping pada system gastrointestinal pada ibu.
Pemberian indomethacin secara vaginal pada penderita dengan selaput ketuban yang
masih intak sudah dilakukan dan tidak menunjukkan timbulnya komplikasi. Cara
pemberian ini tidak dianjurkan terutama pada pasien dengan pecahnya ketuban
sebelum waktu. Bukti eksperimental pada binatang percobaan menunjukkan bahwa
indomethacin tidak berefek terhadap oksigenasi fetal atau aliran darah fetal-maternal.
Perfusi uteroplasenta juga tidak terganggu, demikian pula tekanan darah dan denyut
jantung ibu. Penggunaan indomethacin selama lebih dari 7 hari, berkaitan dengan
timbulnya depresi, pusing, dan psikosis dan sering sakit kepala.9,17,19
D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus
Indomethacin telah ditemukan berkaitan dengan adanya morbiditas pada bayi baru
lahir, terutama jika terapi tokolitik tidak berhasil dan bayi dilahirkan premature atau
obat digunakan lebih dari 2 hari. Laporan-laporan ini dan lainnya menunjukkan bahwa
bila terapi indomethacin ini melebihi 48 jam, maka terjadi peningkatan resiko bagi
neonatus untuk mengalami enterokolitis nekrotikans, perdarahan intraventrikuler,
peningkatan resiko displasia bronkhopulmoner, gagal napas, disfungsi ginjal, dan
insiden yang lebih tinggi untuk terjadinya penutupan duktus arteriosus yang dini akibat
indomethacin setelah lahir. Konstriksi duktus arteriosus, oligohidramnion, merupakan
efek samping yang paling serius berkaitan dengan penggunaan obat ini.1,9,11,18-20
Indomethacin telah dicurigai menyebabkan konstriksi duktus arteriosus fetal, konstriksi
parsial duktus akibat indomethacin belum didokumentasikan oleh beberapa peneliti,
walaupun penelitian yang lain telah menemukan kejadiannya yang ternyata cukup
sering mendekati 50%. Konstriksi duktus pada neonatus bersifat reversibel dan akan
hilang bila terapi indomethacin dihentikan. Semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa konstriksi duktus jarang terjadi sebelum 34 minggu, tetapi frekuensinya
meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan. Walaupun dosis efektif terkecil yang
digunakan, konstriksi duktus tidak bergantung pada kadar obat dalam serum fetal.
Penutupan prematur duktus arteriosus dapat menyebabkan hipertensi pulmonal primer
pada neonatus yang dapat berakibat fatal.1,19
Bila persalinan terjadi dalam 48 jam sejak pemberian indomethacin atau terapi
melebihi 48 jam, akan menyebabkan peningkatan resiko morbiditas neonatal.
Konsentrasi magnesium pada serum wanita normal berkisar antara 1,83 mEq/l dan
turun menjadi 1,39 mEq/l pada wanita hamil.5,11,23
Magnesium dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal oleh karena itu konsentrasi
magnesium plasma ditentukan oleh jumlah pemberian melalui infus dan kecepatan
filtrasi glomerulus.23
MgSO4 mempunyai dua cara yang memungkinkannya bekerja sebagaitokolitik yang
pertama peningkatan kadar MgSO4 menurunkan pelepasan asetilkolin oleh motor and
plates pada neuromuskular junction sehingga mencegah masuknya kalsium, cara yang
kedua MgSO4 berperan sebagai antagonis kalsium pada sel dan ekstrasel.9,11,16,23,25
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Intoksikasi MgSO4 dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin
memadai, refleks patella ada dan tidak ada depresi pernapasan. Refleks patella
menghilang pada kadar 10 mEq/l (antara 9-13 mg/dl) dan pada kadar plasma lebih dari
10 mEq/l akan timbul depresi pernapasan dan henti napas dapat terjadi pada kadar
plasma 12 mEq/l atau lebih. MgSO4 sebagai terapi tokolitikdimulai dengan dosis awal
4-6 gr secara intravana yang diberikan selama 15-30 menit dan diikuti dengan dosis 2-4
gr/jam selama 24 jam.5,8,9,23,25 selama terapi tokolitik dilakukan konsentrasi serum
ibu biasanya dipelihara antara 4-9 mg/dl. Untuk meminimalisir atau mencegah
terjadinya intoksikasi seperti hal di atas maka perlunya disediakan kalsium glukonas 1
gr sebagai anti dotum dari MgSO4.8,9,23,25
C. Efek Terhadap Ibu
Elliot merupakan salah satu dari yang pertama kali menggambarkan efek samping
maternal yang dapat timbul pada pasien yang menerima magnesium sulfat untuk
menghambat persalinan prematur. Pada 355 pasien dengan diagnosis persalinan
prematur yang diterapi dengan magnesium sulfat setelah dirujuk dari rumah sakit lain,
efek samping muncul pada 7% pasien, dan 2% diantaranya perlu dihentikan
pemberiannya. Komplikasi yang terlihat berupa edema pulmonal, nyeri dada, nausea
berat atau kemerahan, mengantuk, dan pandangan kabur. Namun, secara keseluruhan,
efek samping terhadap ibu jarang terjadi. Pada studi ini, magnesium sulfat juga
dianggap sebagai obat yang berhasil, murah dan relatif non toksik dengan efek samping
yang sedikit. Banyak penyelidik telah mengkonfirmasi penemuan ini, membuat
magnesium sulfat menjadi obattokolitik yang umum digunakan.5,9,18,23,25
Efek samping yang paling signifikan dari terapi magnesium sulfat adalah
berkembangnya edema pulmonal. Elliot menemukan insiden sebesar 1,1% pada pasien
yang menerima tokolitik magnesium sulfat. Resiko ini lebih kecil pada magnesium
sulfat jika dibandingkan dengan ß-adrenergik agonis. Edema pulmonal merupakan
komplikasi yang serius dan berpotensi mematikan akibat komplikasi terapi tokolitik.
Armson mengevaluasi dinamika ibu-janin selama terapi tokolitik dengan kedua obat
ini, menyimpulkan bahwa retensi natrium tampaknya menjadi penyebab utama
ekspansi volume plasma pada pasien. Ekspansi volume selama terapi magnesium sulfat
mungkin berkaitan dengan overhidrasi intravena. Ekspansi atau overload cairan
merupakan mekanisme utama untuk terjadinya edema pulmonal selama
terapi tokolitik. Ginjal merupakan jalur eksresi utama dari magnesium. Jika timbul
fungsi ginjal yang buruk, atau rata-rata infus magnesium terlalu tinggi,
maka hipermagnesia dengan sekuele yang signifikan dan serius tidak hanya untuk
pasien namun juga untuk janinnya dapat timbul. Efek samping termasuk penurunan
reflex patella, depresi pernafasan, perubahan konduksi miokardium, henti nafas, dan
henti jantung. Pada pasien yang menerima magnesium sulfat intravena, kadar
magnesium serum dan keseimbangan cairan harus diawasi ketat.5,9,10,23
Henti nafas dapat muncul pada pasien dengan miastenia gravis dan diterapi dengan
magnesium sulfat. Karena resiko ini, pasien dengan miastenia gravis harusnya tidak
menerima baik magnesium sulfat atau ß-adrenergik agonis sebagai
obat tokolitik.9,10,18,23,25
D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus
Sebagian besar, penggunaan terapi infus magnesium sulfat intravena hanya memiliki
resiko yang sedikit terhadap janin dan neonatus.23
Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janin dan
ibu. Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat pada neonatus dari
pasien yang menerima infus magnesium sulfat jangka panjang (lebih dari 1 minggu).
Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang secara radiografi seperti
perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang parietal, dan mineralisasi tulang yang
abnormal.23
Laporan kasus telah menyatakan bahwa beberapa obat, ketika digunakan dengan
magnesium sulfat, dapat mengakibatkan komplikasi. Penggunaan magnesium sulfat
dengan gentamisin dan aminoglikosida lain telah menyebabkan potensiasi kelemahan
neuromuskuler, selain itu magnesium yang ditambah nifedipin dapat menyebabkan
efek hipotensif yang bermakna karena potensiasi nifedipin terhadap aksi
penghambatan neuromuskular dari magnesium.5,6,11,23
Ketika magnesium sulfat digunakan dengan hati-hati sebagai obat tokolitik, efek
sampingnya terhadap ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau
merusak.23
VIII. PERANAN CALCIUM CHANNEL BLOCKER (NIFEDIPINE) SEBAGAI
TOKOLITIK
Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus
dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung
padavoltase. Terdapat beberapa kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar
pengalaman klinis adalah dengan nifedipin.26
Awal 1960an nifedipine digunakan sebagai anti angina dan juga merupakan salah satu
obat anti hipertensi yang sudah lama digunakan pada ibu hamil maupun tidak hamil.
Pada saat ini obat ini juga diketahui memiliki peran di bidang obstetri dan ginekologi
khususnya pada penanganan persalinan prematur.5,26,27
Obat ini populer karena murah, mudah penggunaannya dan sedikit insiden terjadinya
efek samping. Obat ini terbukti menjadi obat tokolitik yang efektif baik ketika
dibandingkan dengan plasebo atau obat-obat lainnya. Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa efektivitas obat ini sama dengan ritodrin dalam mencegah
persalinan prematur.5,26
A. Farmakokinetik
Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral ataupun
sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah 15-90 menit
setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi dalam plasma dicapai
setelah 5 menit pemberian. Lama kerja obat pada pemberian dosis tunggal dapat
sampai 6 jam dan tidak terjadi efek komulatif pada pemberian oral setiap 6 jam.
C. Efek Samping
Efek samping yang dilaporkan sampai saat ini dan telah dibandingkan dengan golongan
beta agonis seperti nyeri dada (1% vs 5%), palpitasi (2% vs 16%), takikardi (6% vs 76%),
hipotensi (3% vs 6%), dyspneu (0,3% vs 7%), mual (12% vs 16%), muntah ( 7% vs 22%)
dan sakit kepala (10% vs 19%) serta satu kasus dengan edema pulmonum yang mana
wanita tersebut juga mendapat terapitokolitik salbutamol selama 7 hari dibandingkan
dengan grup ß agonis terdapat 2 orang yang menderita edema pulmonum.1-3
Insidensi terjadinya efek samping kardiovaskular pada pemakaian atosiban
dibandingkan ritodrin jauh lebih rendah (4% dibanding 84,8%, p<0,001). Rata-rata
penurunan nadi pada pemakaian atosiban, hanya sedikit dan tidak bermakna (dari 88
x/m, menjadi 84 x/m). Pada pemakaian ritodrin terdapat peningkatan nadi yang nyata
pada 6 jam pertama pemberian tokolitik (dari 87 x/m menjadi 117 x/m), sesudah
terapi selesai nadi menurun namun masih melebihi nadi awal (105 x /m, p<0,0001).
Pada pemakaian ritodrin dan atosiban tidak didapatkan kematian janin, kematian
neonatal yang terjadi pada keduanya sama, namun tidak disebabkan oleh efek dari
pemberian obat tetapi akibat imaturitas (<26 minggu). Kejadian bradikardia dan fetal
distress pada kedua kelompok sama, sedangkan denyut jantung janin pada kelompok
atosiban menurun tidak bermakna (dari 142 kali/menit menjadi 138 kali/menit), pada
ritodrin meningkat dari 142 kali/menit menjadi 155 kali/menit (p<0,0001).2,3
Antagonis oksitosin mempunyai efek inhibisi pada pengeluaran air susu pada hewan
menyusui. Akan tetapi, efek samping pada masa post partum hampir tidak ada karena
waktu paruhnya yang relatif pendek (16,4 + 2,2 menit pada wanita yang tidak hamil)
dan sifatnya yang reversibel. Pengaturan sentral reseptor-reseptor uterus yang
berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap atosiban belum diketahui.
Atosiban tidak mengubah sensitivitas miometrium kehamilan terhadap oksitosin.2,3
D. Terapi pemeliharaan Atosiban sebagai tokolitik
Terapi pemeliharaan pada atosiban diberikan menggunakan 3 ml pompa infuse
subkutan, dengan dosis secara kontinyu 6 mL/jam (30ĩg/menit). Terapi pemeliharaan
dihentikan pada umur kehamilan 36 minggu, persalinan, atau kemajuan persalinan
menimbulkan perlunya diberikan tokolitik dengan cara lain. Penelitian secara
randomisasi buta ganda, pada 517 wanita yang sudah mendapatkan atosiban dan
dilanjutkan terapi pemeliharaan pada 252 menerima plasebo dan 281 wanita
mendapatkan injeksi atosiban subkutan, didapatkan hasil timbulnya tanda persalinan
preterm kembali pada kelompok yang mendapatkan terapi atosiban lebih lama muncul
dibandingkan plasebo (rata-rata 32,6 hari, dibanding 27,6 hari, p=0.02).
Proporsi pasien yang membutuhkan terapi ulang dengan atosiban intravena lebih besar
pada pasien yang mendapatkan terapi pemeliharaan plasebo. Efek samping pemberian
terapi pemeliharaan dengan atosiban dan plasebo sebanding, kecuali tentang
munculnya reaksi pada lokasi suntikan, yang lebih sering terjadi pada kelompok
atosiban.2
X. KESIMPULAN
Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk di
dalamnya β agonis, calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor,
magnesium sulfat, antagonis receptor oxytocin yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangan sebagai preparattokolitik.
Penggunaan terapi tokolitik tidak mengurangi angka kelahiran prematur dan
peningkatan luaran bayi tetapi berfungsi ketika akan merujuk pasien ke tempat rujukan
untuk lebih mendapatkan pelayanan yang sempurn dan untuk pemberian terapi
kortikosteroid selama 48 jam untuk pematangan paru.
Selain itu pentingnya pengawasan terhadap ibu selama pemakaian
terapitokolitik untuk menghindari efek-efek yang dapat timbul baik pada ibu maupun
pada bayi.
XI. RUJUKAN
1. Groom KM, Bennett PR. Tocolysis for the Treatment of Preterm Labour – A Clinically
Based Review. The Obstetrician & Gynaecologist. 2004.
2. Sulistiari R. Atosiban Sebagai Tokolitik.: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
3. Draycott TJ, Mahmood TA, Fisk N, Marlow N, Tuffnel DJ, Wan Po. Tocolytic Drug for
Women in Preterm Labour: Clinical guidelines no. 1(B), Royal College of Obstetricians
and Gynecologists. 2002.
4. Ganla KM, Shroff SA, Desail S, Bhinde AG.A Prospective Comparison of Nifedipine and
Isoxsuprine for Tocolysis. Nowrosjee Wadia Maternity Hospital, Parel, Mumbai.
Research Article. 2000.
5. Winarta IM, Peranan Antagonis Kalsium Sebagai Tikolitik. Lab/SMF Ilmu Kebidanan
dan Penyakit Kandungan FK UNUD/RS Sanglah. Denpasar. 2002.
6. Cararach V, Palacio M, Martinez S, Deulofeu P, Sanchez M, Cobo T, Coll O. Nifedipine
versus Ritodrine for Suppression of Preterm Labor Comparison of Their Efficacy and
Secondary Effects. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive
Biology. 2006;127:205-08.
7. Boggess KA. Pathophysiology of Preterm Birth: Emerging Concepts of Maternal
Infection. Clin Perinatol. 2005;32:561-69.
8. Huddleston JF, Ramos LS, Huddleston KW. Acute Management of Preterm Labor. Clin
Perinatol. 2003;30:803-824
9. American Academy of Family Physician. Preterm Labor: Diagnosis and Treatment. 1998
10. American College of Obstetricians and Gynecologist. Physicians Insurance. Preterm
Labor.1995
11. Cunningham FG. Kelahiran Preterm. Obstetri Williams. Edisi 21, Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2006 : 763-808
12. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. POGI. Persalinan Preterm. 2004 ; 364-83
13. Wani MP, Barakzai N, Graham I, Glyceryl Trinitrate vs Ritodrine for the Treatment of
Preterm Labor. International Journal of the Obstetrics & Gynecology and Reproductive.
2004;85:165-67.
14. Hill WC. Risk and Complication of Tocolysis. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:725-40
15. Boyle JG. Beta-Adrenergik Agonist. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:688-
96
16. Hernandez DM, Rivera MJ, Ocampo AN, Palma JA, Lopez HS. Drug Therapy and
Adverse Drug Reactions to Terbutaline in Obstetric Patient: A Prospective Cohort Study
in Hospitalized Women. BMC Pregnancy and Childbirth. 2002.
17. Berkman ND, Thorp JM, Lohr KN, Carey TS, Hartmann KE, Gavin NI, Hasselblad V,
Idicula AE. Tocolytic Treatment for the Management of Preterm Labor: A Review of the
Evidence. Am J Obstet Gynecol. 2003;188:1648-59.
18. Management of Preterm Labor. URL: http://www.guideline.gov. Downloaded from
National Guideline Clearinghouse, February 12, 2006.
19. Gordon MC, Samuel P. Indomethacin. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:697-705
20. Suarez RD, Grobman WA, Parilla BV. Indomethacin Tocolysis and Intraventricular
Hemorrhage. Department of Obstetrics and Gynecology, Nothwestern Memorial
Hospital. Chicago, Illinois. 2001; 97:921-25.
21. NSW Pregnancy & Newborn Services Network. Protocol for Administration of Tocolytic
Agent for Threatened Preterm Labour. 2002.
22. Sakai M, Tanebe K, Sasaki Y, Momma K, Yoneda S, Saaito S. Evaluation of the Tocolytic
Effect of A Selective Cyclooxygenase-2 Inhibitor in A Mouse Model of
Lipopolysaccharide- Induced Preterm Delivery. Molecular Human Reproduction.
2001;7:595-602.
23. Gordon MC, Iams JD. Magnesium Sulfat. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:706- 1226
24. Tan TC, Devendra K, Tan LK, Tan HK. Tocolytic Treatment for the Management of
Preterm Labour: A Systematic Review. Singapore Med J. 2006.
25. American Medical Association. Terbutaline Pump and Tocolytic Therapy. 2005.
26. Dyson D, Ray D. Calcium Channel Blockers. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995;
38:713-21
27. Papatsonis NM, Lok AR, Bos JM, Geijn HP, Dekker GA. Calcium Channel Blockers in
the Management of Preterm Labor and Hypertension in Pregnancy. European Journal
of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2001;97:122-40.
28. Shubert PJ. Atosiban. Clinical Obstetrics and Gynecology. 1995; 38:722-24
29. Reinheimer TM, Bee WH, Resendez JC, Meyer JK, Haluska GJ, Chellman GJ. Barusiban
A New Higly Potent and Long-Acting Oxytocin Antagonist: Pharmacokinetic and
Pharmacodynamic Comparison with Atosiban an A Cynomolgus Monkey Model of
Preterm Labor. The Journal of Clinical Endocrinology & metabolism 90. 2005;4:2275-
81.
30. Tosun F, Gonenc A, Simsek B. Comparison of the tocolytic Effects of Ritidrine and Ca++
Channel Blockers on Serum Oestradiol and Progesterone Levels. Department of
Biochemistry, Faculty of Pharmacy, Gazy University, Ankara-Turkey. Research Article.
2001.
31. Cunningham FG. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Obstetri Williams. Edisi 21,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006 : 661-65. 27