Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rizki Auliya Istiana Putri / 0118077

Penatalaksanaan kehamilan ektopik (ectopic pregnancy) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tatalaksana
expectant, medikamentosa, dan pembedahan.

1.Tatalaksana Expectant (Menunggu dan Waspada)

Selain bisa menyebabkan ruptur, kehamilan ektopik juga bisa berakhir dengan abortus tuba ataupun
resorbsi. Tatalaksana expectant ini adalah tatalaksana tanpa intrevensi baik medikamentosa maupun
intervensi bedah. Sesuai dengan namanya tatalaksana ini dilakukan dengan cara menunggu kehamilan
ektopik berakhir sendiri tanpa terjadinya ruptur. Namun, tidak semua pasien dapat ditatalaksana seperti
ini. Pasien yang dapat menjadi kandidat tatalaksana ini adalah pasien yang asimtomatis dan
hemodinamik stabil tanpa adanya tanda-tanda ruptur. Selain itu,pasien juga harus memiliki bukti
objektif terjadinya resolusi seperti kadar β-hCG yang menurun. Namun, pada tatalaksana ini perlu
ditekankan bahwa pasien harus betul-betul patuh untuk melakukan follow-up rutin serta harus mau
menerima bahwa risiko ruptur tetap ada.

2. Medikamentosa.

Obat yang paling umum digunakan sebagai terapi pada kehamilan ektopik adalah methotrexate.
Methotrexate merupakan antagonis asam folat yang menginhibisi sintesis DNA pada sel yang aktif
membelah, temasuk trofoblas. Pemberian secara tepat pada pasien terpilih memiliki tingkat kesuksesan
sampai 94%. Methotrexate telah lama diketahui efektif mengobati berbagai jenis kanker dan penyakit
autoimun.Keefektifan penggunaan methotrexate pada jaringan tropoblastik berasal dari pengalaman
menggunakan obat ini pada mola hidatidosa dan koriokarsinoma. Dalam penggunaannya pada
kehamilan ektopik, pemberian methotrexate dapat dilakukan dengan injeksi dosis tunggal ataupun
multipel. Kehamilan ektopik yang berlokasi di serviks, ovarium, insterstisial, dan cornu tuba sangat
diuntungkan dengan terapi methotrexate ini karena intervensi bedah pada kasus-kasus tersebut
memiliki risiko perdarahan yang tinggi bahkan seringkali harus berakhir dengan histerektomi dan
ooforektomi.Seorang pasien dengan kehamilan ektopik yang akan memulai terapi methotrexate
haruslah memiliki kadar β-hCG yang abnormal dan pada identifikasi dengan USG tidak ditemukan
kantung kehamilan intrauterin.

Selain itu pasien juga harus memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut ini:

A. Pasien harus memiliki kondisi hemodinamik yang stabil tanpa tanda dan gejala perdarahan aktif atau
hemoperitoneum.

B. Pasien harus dan bisa dipercaya untuk dapat datang kembali untuk follow-up

C. Pada pengukuran USG, ukuran hasil konsepsi tidak boleh lebih besar dari 4 cm sebagai dimensi
terbesarnya atau lebih dari 3.5cm jika dengan aktivitas jantung janin.

D.Tidak adanya aktivitas jantung janin


E. Tidak adanya bukti terjadinya ruptur

Kadar β-hCG ≤000 mIU/Ml.

Beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi pemberian methotrexate adalah:

✓ Hipersensitivitas terhadap methotreaxte.

✓ Menyusui.

✓ Gangguan hepar, seperti pada liver alcohol disease, disfungsi hepar, dan tipe lainnya dari penyakit
hepar.

✓ Blood disorder, seperti dyscrasia darah, leukopenia, trombositopenia, anemia, dan disfungsi
hematologi.

✓ Penyakit organ lain, seperti pada penyakit paru yang sedang aktif, ulkus peptikum, disfungsi renal,
alkoholisme, dan imunodefisiensi.

Terapi methoteraxate memiliki berbagai efek samping. Efek samping obat yang paling sering terjadi
adalah mual, muntah, stomatitis, diare, distres lambung, pusing, dan peningkatan enzim hepar. Efek
samping yang lebih jarang terjadi berupa nefrotoksisitas, pneumonitis interstisial, dan dermatitis alopesi.
Pada penggunaan untuk kehamilan ektopi, efek samping yang dapat timbul adalah peningkatan nyeri
abdomen, peningkatan kadar β-hCG selama hari ke 1 s.d 3 pengobatan, dan perdarahan pervaginam
atau spotting.Selama pemberian terapi dengan methotrexate, pasien juga harus diingatkan bahwa
masih ada kemungkinan terjadinya ruptur sehingga pasien harus waspada jika mengalami gejala ruptur
tuba seperti nyeri abdomen, perdarahan pervaginam yang memberat, pusing yang hebat, takikardia,
atau penurunan kesadaran.Risiko ruptur kehamilan ektopik pada pengobatan methotrexate berkisar 7-
14%. Pada sebuah studi case control, dari 81 perempuan dengan kehamilan ektopik yang diobati dengan
methotrexate, 62 di antaranya menunjukan resolusi sementara 19 orang mengalami ruptur tuba.Selain
peringatan mengenai kemungkinan terjadinya ruptur, tidak lupa juga diingatkan kepada pasien untuk
sementara menghindari minuman beralkohol, vitamin yang mengandung asam folat, dan obat-obatan
golongan NSAID, serta berhubungan seksual sampai diperbolehkan kembali.

⃣Regimen dosis Multipel.

Pemberian regimen methotrexate dosis multipel pada kehamilan ektopik harus disertai pemberian
leucovorin. Leucovorin adalah asam folat yang merupakan produk akhir dari reaksi yang dikatalisasi oleh
dihidrofolat reduktase. Normalnya, sel yang membelah mengabsorbsi leucovorin sehingga dapat
menrunkan aksi methotreaxate, dengan kata lain menurunkan efek samping sistemik methotrexate.
Dosis regimen methotrexate pada pemberian dengan cara ini adalah 1 mg/kg IM, diberikan pada hari ke
0, 2, 4, dan 6 diikuti dengan pemberian regimen leucovorin dengan dosis 0.1 mg/kg pada hari ke 1, 3, 5,
dan 7. Karena insidens efek samping yang cukup tinggi dan masalah kepatuhan pasien untuk berobat,
pemberian methotrexate dosis multipel mulai ditinggalkan.
️⃣Regimen Dosis Tunggal

Pemberian methotrexate dengan cara injeksi dosis tunggal lebih populer dilakukan saat ini. Sebuah studi
menunjukan bahwa pemberian methotrexate baik dengan dosis multipel maupun dosis tunggal memiliki
efektivitas yang serupa. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/m2 IM. Secara umum, wanita dengan tinggi
160 cm dan berat badan 60 kg, biasanya membutuhkan dosis 80 mg. Dengan metode ini, efek samping
menjadi lebih rendah sehingga penggunaan leucovorin tidak diperlukan.

Pada pemberian dosis tunggal, follow up yang dilakukan adalah sebagai berikut:

√ Pada hari ke-0 (satu hari sebelum pemberian obat) dilakukan pemeriksaan kadar β-hCG, USG, dan
dengan atau tanpa D&C.

√ Pada hari ke-1 (hari pemberian obat) dilakukan pemeriksaan kadar β-hCG, SGOT, SGPT, BUN, dan
kreatinin darah.

√ Pada hari ke-4, dilakukan pemeriksaan β-hCG.

√ Pada hari ke-7 perubahan kadar β-Hcg diamati, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan darah
lengkap.

3. Pembedahan

Intervensi bedah yang dapat dilakukan sebagai terapi pada kehamilan ektopik adalah salpingektomi dan
salpingostomi. Salpingektomi adalah pembedahan untuk menyingkirkan/membuang Tuba Fallopi.
Sementara salpingostomi adalah metode membuka Tuba Fallopi, tetapi tanpa menyingkirkan tuba.
Salpingostomi dikenal juga dengan sebutan neosalpingostomi atau fimbrioplasti. Disebut demikian
karena prosedur ini merupakan prosedur rekonstruksi tuba dengan cara membuka fimbriae tuba dan
memperbaikinya. Pada perempuan tanpa faktor risiko infertilitas atau sudah tidak berkeinginan untuk
memiliki anak lagi, salpingektomi lebih dianjurkan. Kedua metode pembedahan ini dapat dilakukan baik
secara laparoskopi maupun laparotomi. Namun, saat ini laparoskopi lebih sering digunakan karena lebih
cepat dan cenderung memiliki efek samping yang lebih rendah.

Anda mungkin juga menyukai