Anda di halaman 1dari 10

9

Jawaban di Antara Jawaban

Sejak semalam, Zahiy hanya duduk termenung di terminal yang


terletak tidak jauh dari masjid Darussholah, tempat ia menerima
penawaran untuk menjadi takmir masjid dari pemuda yang baru saja ia
kenal sore itu, Roland.
Sejak malam itu juga, Zahiy hanya bisa memandang lugu pada sarung,
baju koko, serta kopiah hadiah dari lelaki yang sampai kini masih ia kenang,
lelaki terbaik yang pernah ia temui selama perjalanan hidupnya, Pak Arie.
Beriring adzan subuh yang mengumandang merdu membelah fajar,
Zahiy berkli-kali menarik nafas panjang, bergeming di antara keraguan dan
keyakinan yang silih berganti dating mengusik ketenangan di dalam
hatinya. Baru kali inilah seorang Zahiy merasakan keresahan yang begitu
menyesakkannya, keresahan yang melebihi resah dan khawatir saai ia sama
sekali tidak mendapatkan penghasilan dari mengamen, hingga ia tidak bisa
makan seharian, bahkan terkadang sampai dua hari lebiih hingga membuat
tubuhnyamelemah. Tapi kali ini, keresahan itu benar-benar membuat
tubuhnya lemah tanpa sebab
Haruskah aku melangkah menjauh dari tempat ini ?
Ataukah aku harus menuju Masjid Darussholah itu ? mengabdikan
diriku untuk Allah, berharap semoga sosok anggun itu bisa kembali
bertemu denganku, hingga rinduku akan sedikit berkurang saat aku
menatap senyuman indahnya ?
Ataukah….aku hanya diam di sini …. Menikmati fajar padahal
seharusnya aku dating ke Masjid Darussholah sana, memberikan jawaban
untuk pemuda bernama Roland itu ?
Berbagai pertanyaan hadir dalam benar Zahiy, pertanyaan yang terus
berputar tanpa pernah menghadirkan sebuah jawaban yang dinanti.
“Zahiy,” sapa Rahmat yang baru muncul seraya membawa gitar
mininya.
Zahiy menoleh, lalu tersenyum simpul, menampakkan resah yang
tengah menyelimutinya erat.
“Ada apa? Tumben sepagi ini kamu sudah terbangun. Biasanya kan
molor?” Tanya Zahiy
Rahmat masih berdiri kosong, cukup lama I hanya diam, menahan
kata yang ingin ia ucapkan pagi itu, sampai akhirnya ia duduk bersebelahan
dengan Zahiy, dan segera mengungkap keresahan yang juga ia rasakan
semalam, keresahan yang hadir usai ia mendengar ajakan Zahiy untuk
mengubah jalan hidup keduanya.
“Aku semalam tidak bisa tidur. Aku memang merebahkan tubuhku
tapi aku tidak mampu memejamkan mataku. Aku terus memaksa, tapi
gagal. Kata-katamu telah menyirnakan semua egoku. Membuat aku luluh
dalam sebuah harapan yang baru. Harapan agar kita bisa berubah lebih
baik,” balas Rahmat datar seraya meletakkan gitar mininya di bawah kursi,
memasukkannya agak ke dalam agar tidak terinjak saat ada kaki yang
melangkah.
“Jadi kamu mau kita bersama menjadi takmir Masjid Darussholah,
mengabdikan diri kita kepada Dzat yang telah memberi kita kesempatan
untuk bernapas hingga saat ini?”
Tanpa ragu, Rahmat mengangguk cepat, menyetujui semua
permintaan Zahiy.
“Baguslah. Semoga Allah bisa menerima taubat kita, “ujar Zahiy.
Rahmat mengamini lirih.
“Ya sudah. Ayo kita ke Masjid Darussholah!” ajak Zahiy semangat
“Bentar, Zahiy, aku mau mengambil sarungku. Dulu aku memiliki
sarung peninggalan dari nenek. Tapi sejak nenek meninggal aku hanyaa
menyimpan sarung itu di gudang terminal belakang karena sarung itulah
satu0satunya kenangan yang ditinggal nenek.”
Zahiy terharu, pantas saja ia sering melihat Rahmat duduk seraya
mengamati tas kecil miliknya yang ternyata berisi sebuah sarung berwarna
biru tua yang ia sembunyikan.
“Zahiy, kok melamun ? Ayo!
Zahiy tergagap.
Keduanya melangkah, beriring kalimat-kalimat Ilahi yang hamper
selesai dikumandangkan sang muadzin. Melangkah dengan keyakinan,
keyakinan bahwa keduanya mampu menjadi sosok yang lebih baik pagi ini,
m,enghapus kenangan kelam tentang perjalanan hidup keduanya sebagai
anak jalanan yang hanya berisi catatan hitam.

“Akhi, sudah hamper iqamat. Kenapa Akhi masih di sini?” Tanya Rifki.
Penampilannya tanpak sederhana, mengenakan baju koko putih cerah,
sarung berwarna hitam, dipadu songkok nasional yang sedikit memerah
karena terkena air.
“Maaf Akhi, sedang menunggu seseorang, “balas Ronald. Rifki
tersenyum, mencoba menerka apa yang kini tengah bersembul di dalam
pikiran sahabatnya itu, Roland.
“Apa ada orang yang akan menjadi badal saya untuk menjadi takmkir
masjid?” Tanya Rifki
“Insya Allah. Semoga di pagi ini ia akan dating. Sesuai dengan yang
saya harapkan.”
“Amin. Ya sudah. Sekarang Akhi masuk dulu. Saya harap Akhi yang
akan menjadi imam kali ini. Sebelum besok saya harus ke Kalimantan.”
“Akhi saja.” Sanggah Roland mempersiapkan Rifki yang memang
selalu menjadi imam shalat subuh dan maghrib. Untuk shalat Zhuhur, Ashar
dan Isya’ jatah imam sudah ditentukan langsung dari pengurus Masjid
Darussholah. Biasanya Roland juga menjadi imam, namun kali ini Roland
menolaknya. pikirannya sedang tidak tenang.
“Ya sudah. Ayo Akhi, silahkan, “Rifki segera mempersilahkan Roland
masuk ke Masjid Darussholah. Sudsh ada sekitar dua puluh jamaah yang
berdiri berbaris rapat, menunggu masuknya imam.
“iya.”
Roland dan Rifki segera melangkah. Tanpa disadari keduanya, dua
orang pemuda tengah berdiri mematung di depan gerbang Masjid
Darussholah. Keraguan menyelimuti keduanya. Mereka hanya mampu
untuk saling tatap. Menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan
dalam hati.
“Ayo! Sudah hamper shalat tuh!” ujar Rahmat datar.
Zahiy hanya diam mematung di depan gerbang, apa yang baru saja
dikatakan Rahmat seakan tak mampu tertangkap saraf pendengarannya,
hingga Rahmat pun kembali mengulangi.
“Zahiy!” Rahmat menggoyang tubuh Zahiy hingga membuat sarung
yang melingkar di leher Zahiy terjatuh.
“Maaf Mat, maaf,” balas Zahiy menyadari kesalahannya seraya
mengambil sarung yang baru saja terjatuh.
“Iya. Sudah mau dimulai. Ayo masuk! Yakinlah. Lagi pula suara kamu
kan bagus. Mungkin udah takdirmu jadi takmir di sini dan yang jelas, kamu
juga akan mendapat jatah adzan lima waktu!”
“Terima kasih! Semoga semua bisa lebih indah ya, Mat.”
“Amin.”
Rahmat tersenyum. Ia sadari, telah lama ia tak mengucapkan kata
amin sejak bertaun-tahun lalu, tepatnya sejak ia harus hidup sendiri,
kehilangan orang-orang yang ia sayangi, orang tua, nenek serta saudara-
saudaranya yang tak lagi menganggapnya ada. Rahmat pun sudah tak
peduli ke mana saudaranya itu. Yang kini ada di pikiran Rahmat hanya dua
hal, bahagia dan bertahan hidup.
Iqamat pun berkumandang. Para jamaah sudah menyiapkan jiwa
mereka setenahg mungkin., Zahiy dan Rahmat tanpa ragu lagi langsung
masuk ke dalam Masjid Darussholah, bersiap memasrahkan semuanya
kepada Dia Yang Esa.
Aku melangkah untuk-Mu….
Karena aku yakini….
Di setiap langkah ini….
Akan ada sebuah titik bahagia….
Yang akan memenuhi lembaran kelam dalam jiwa ini….
Titik yang akan mengubah lembaran itu….
Menjadi sebuah cahaya terindah di hari esok….
“Ayah….! Ibu….!” Salju berteriak tanpa henti.
Suaranya terdengar parau beradu deru angina yang berembus begitu
kencang tak beratuuran. Entah dari mana angina itu berasal, semua masih
terselubungi oleh gelap, tiada satu cahaya pun yang mampu dilihat salju.
“Ayah….,” desah Salju berteriak.
Nadanya terdegar semakin lirih. Kini Salju tertunduk pasrah,
merebahkan tubuhnya entah di mana, hanya dingin yang terlahir itu
meninggalkannya jauh, membiarkan Salju terus terperangkapp dalam
kegelapan. Membiarkannya terdiam dalam ketakutan, seakan tak pernah
peduli dengan Salju yang merupakan darah daging kedua orang tua itu.
Cukup lama keheningan terjadi, hanya syair-syair duka yang kini
mampu Salju tuai dalam kegelapannya, berharap aka nada seseorang yang
mampu memberinya cahaya, agar ia bisa melihat semu, meihat apa yang
telah lama ia rasa, tanpa pernah ia tau apa dan bagaimana rupa dari semua
itu. Ia ingin melihat orang-orang yang telah berbagai cerita demgannya,
Vano, Elysa, Pak Arie, juga orang yang sangat ia sayangi, orang yang telah
menggantikan sosok ibu yang menghilang dalam hidupnya, Nurlita.
Allahu akbar….Allahu akbar….
Suara adzan menggema dengan indah, menebar ketenangan.
“Allah….Allah…. kenapa engkau hadirkan semua ini dalam kelemahan
jiwa hamba ? kenapa ? kenapa semua duka ini enggan terusir dalam hidup
hamba? Ya Allah, ke mana malaikat-Mu yang akan membuat hamba mampu
melihat cahaya ? ke mana malaikat-Mu yang akan mengantar hamba pada
kebahagian, pada sebuah cahaya yang indah? Ke mana ?” desah Salju.
Tangisnya memecah kesunyian, beriring kalimat adzan yang masih jelas
terdengar, semakin keras, keras dank eras.
Kalimat adzan nan merdu ityulah yang akhirnya menghentikan
kerisauan Salju, menghentikan lelahan air matanya saat ia menyesal dengan
semua yang telah terjadi pada hidupnya.
“Indah….”
Hanya kalimat itu yang akhirnya mampu Salju ucapkan saat adzan
berakhir, saat kalimat penyejuk jiwa-jiwa yang rindu akan cinta-Nya itu
usai. Salju tertegun, siapa pemilik suara indah itu ?
“Apakah dia malaikatku?”
“Zahiy,” seseorang memanggil salah satu dari pemuda yang kini
tengah duduk bercanda di serambi Masjid Darussholag.
Keduanya menoleh serempak. Salah satu dari pemuda itu mengulas
senyum, sedangkan satunya hanya menyimpan Tanya tentang siapa
pemuda tamoang yang memanggil sahabatnya, Zahiy.
“Akhi Roland,” balas Zahiy, mencoba menirukan bagaimana Roland
yang juga memanggilnya dengan embel-embel akhi3, walaupun dalam
hatinya ia hanya bisa tersenyum, karena ia sama sekali tidak tahu apa arti
di balik panggilan akhi tersebut.
“Assalamu’alaikum.” Seorang pemuda muncul beriring dengan Roland
seraya mengucapkan salam.
“Wa’alaikumssalam,” koor Roland, Zahiy, dan Rahmat.
“Akhi, kenalkan ini Rifki! Ini sahabat saya yang akan segera keluar
daerah. Meninggalkan rumah Allah nan indah ini. Dan sahabat saya ini yang
sebelumnya yang menjadi takmir masjid di sini.”
“Rifki,” pemuda yang bernama Rifki itu memperkenalkan diri seraya
mengulirkan tangannya.
“Zahiy.” Zahiy membalas uluran tangan Rifki. Rahmat juga melakukan
hal yang sama seraya menyebut namanya.
“Rahmat.”
Roland tersenyum. “Akhi, bagaimana ? Apa akhi sudah siap dengan
apa yang pernah kita bicarakan?” Tanya Roland. Ia yang semula berdiri
segera mencari posisi duduk yang menurutnya nyaman, tidak jauh dari
posisi Zahiy dan Rahmat. Rifki pun memlih duduk bersebelahan dengan
Rahmat.
“Tentang permintaan mas kemaren ya ? “Zahiy balik bertanya
Roland mengangguk
“Tapi saya ragu, Mas. Saya hanya hidup di jalanan selama ini. Bahkan
saya seakan tidak lagi memiliki masa depan. Yang saya lalui hanya
kubangan-kubangan dosa yang terus menjerumuskan saya.Kubangan-
kubangan nista yang menjauhkan saya dari Allah.Saya sendiri tidak yakin…
apakah saya mampu menjadi seperti yang Mas harapkan,”balas Zahiy.
“Mampu tidaknya kita harus yakin kalau kita mampu.Kita harus
selalu yakin dengan jiwa kita.Bahwa Allah pasti akan memberi jalan bagi
setiap hamba yang mau berusaha.”
“Lalu apakah Allah bisa menerima taubat kami berdua? Sedangkan
kami sama sekali tidak pernah mengingat-Nya.Selalu meninggalkan semua
perintah-Nya.Bahkan tak jarang kami menghina keagungan sifat-Nya,”
timpal Rahmat memberi pertanyaan kepada Roland. Ia yakin pemuda
tampan di depannya itu bukan pemuda biasa.Hingga ia pun tak ragu
menanyakan semua kegelisahan yang hadir kala ia kembali teringat tentang
Tuhan.
“Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang permintaan saya
kemarin,bagaimana jika kita saling bertukar cerita?Saling berbagi
pengalaman dalam hidup kita.Gimana,mau ndak?”usul Roland memecah
ketegangan.
“Boleh,Mas,tapi nanti pertanyaannya dijawab ya?”balas Zahiy.
Ronald tersenyum.
“Saya memiliki sebuah cerita yang mungkin bisa memberi inspirasi
untuk kita semua.Cerita ini saya dapatkan dari Ustadz ngaji saya sewaktu
masih di pesantren dulu….”
Ada seorang kakek yang tinggal di India.Umurnya sudah lebih dari 70
tahun.Sepanjang hidupnya selama 70 tahun itu,ia gunakan hanya untuk
menyembah berhala yang terbuat dari batu.Setiap hari ia begitu taat
menyembah tuhannya itu.
Suatu ketika,kakek ini punya suatu keinginan.Ia pun kemudian
mendatangi tuhannya seraya memohon agar doanya dapat dikabulkan.
“Oh,tuhanku Latta.Oh,tuhanku Uzza.Tujuh puluh tahun aku terus-
menerus menyembahmu.Selama itu,tak ada sesuatu pun yang aku
mohonkan kepadamu.Sekarang,aku ada permohonan kepadamu.Mohon
kabulkanlah permohonanku ini.”
Kakek itu memohon sambil merengek-rengek kepada Latta dan Uzza
kiranya doanya dapat dikabulkan.Demikian seterusnya dia lakukan.Setelah
sampai tujuh puluh kali doa itu ia panjatkan,tak ada sedikit pun pengabulan
dari berhala tuhannya yang ia peroleh.Maka kakek itu sedih sekali dan
akhirnya putus asa.
Dalam keputusasaannya itu,ternyata Allah Swt. Memberi hidayah
kepada si kakek.Hati sang kakek Dia lapangkan agar segera sadar akan
kekeliruannya selama ini.Gantilah kakek itu berdoa kepada Allah Swt.
“Ya Allah Swt., baru sekarang aku menghadap-Mu.Aku memohon
sesuatu kepada-Mu.Kabulkanlah, ya Allah Swt., permohonanku ini.”
Selesai kakek itu bermunajat kepada Allah Swt., maka sesaat
kemudian ia mendengar jawaban dari Allah.
“Wahai hamba-Ku,mintalah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan
memberimu.”
Waktu para malaikat mendengar jawaban yang diberikan Allah Swt.
Kepada sang kakek,maka gemparlah para malaikat.
“Ya Allah Swt., tujuh puluh tahun lamanya orang itu musyrik dan
menyembah berhala.Dan telah tujuh puluh kali pula ia memohon kepada
berhalanya agar dikabulkan permohonannya, namun itu tidak terjadi.
Sekarang, ia baru sekali saja berdoa kepada-Mu, mengapa Engkau kabulkan
permohonannya itu?”
Mendengar pertanyaan para malaikat itu,maka Allah Swt. Segera
memberi penjelasan.
“Wahai para malaikat,jika berhala yang benda mati itu tidak bisa
mengabulkan permohonannya dan Aku pun juga tidak, lalu di mana letak
perbedaannya antara Aku dan berhala itu?”

Ronald hening sejenak,menarik napas panjang,sedangkan Rifki,Zahiy,


dan Rahmat masih khusyuk menyimak cerita Ronald tentang seorang kakek
yang sudah menyembah berhala selama 70 tahun itu.Ronald kembali
menarik napas panjang untuk kesekian kalinya,lalu melanjutkan rangkaian
kata yang kini sudah berjubel dalam benaknya.
“Bagaimana?Betapa Allah Maha Pemurah…Allah Maha Penerima
Taubat.Allah Maha Mengabulkan… apa pun yang kita inginkan insya Allah
pasti Allah kabulkan. Apa pun yang kita butuhkan pasti Allah berikan.
‘”Katakanlah:’Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Pengampun lagi maha Penyayang.”
Ronald menerangkan dengan jelas.Zahiy mengangguk pelan.Ada
sesuatu yang berdesir di dalam jiwanya.Kini sebuah keyakinan perlahan
muncul dalam jiwa Zahiy,yakin ia mampu berubah lebih baik,yakin ia akan
bisa meraih cinta-Nya nan agung.Cinta yang sudah lama jauh dari
kehidupannya, dan kini ia akan segera melangkah tanpa keraguan lagi.
“Alhamdulillah.Akhi, sudah masuk waktu dhuha.Bagaimana kalau
setelah ini kita shalat berjamaah?” ujar Rifki memperingatkan.Matahari
sudah naik satu tombak lebih, itu artinya sudah masuk waktu dhuha.Waktu
saat semua hamba bisa bermunajat dengan melaksanakan shalat Dhuha,
shalat yang akan memperlancar urusan rezeki.
“Iya,Akhi.Eh,Akhi Zahiy,Akhi Rahmat,bagaimana?Apa akhi berdua
sudah siap untuk menjadi badal dalam mengurusi rumah Allah ini?” tanya
Roland memastikan.
Serempak dan tanpa keraguan lagi,Zahiy dan Rahmat mengangguk.
Seketika, Roland dan Rifki mengucapkan hamdalah, lega.
Matahari pagi tampak semakin indah dengan sinar emasnya yang
anggun, meninggi perlahan menuju peraduan siang, menjadi saksi bisu
betapa bahagia jiwa yang telah lama lupa akan Dzat Yang Esa, bahagia kini
jiwa itu bisa kembali bertemu dengan ketenangan yang memang mereka
rindu.

Allah...
Di fajar ini... hamba menyebut-Mu...
Dalam tasbih dan dzikir rinduku
Mengharap sebuah bingkai ridha-Mu...
Allah...
Di fajar ini... hamba bergeming tentang-Mu...
Mengharap sebuah rindu...
Yang akan mengantar hamba untuk berjamu dengan-Mu
Allah...
Hamba merindu-Mu...
Merindu semua tentang-Mu...
Tentang kuasa-Mu...
Tentang keindahan-Mu...
Merindu rahmat-Mu...
Merindu cinta agung-Mu...
Allah...
Allah...
Bukalah jiwa hamba...
Selamatkanlah hambah dalam napas ini...
Allah...
Engkaulah jalan terakhir yang akan tertuju dalam hidup ini...

Anda mungkin juga menyukai