Anda di halaman 1dari 4

Panggilan Senja

Oleh: winda

Laki-laki berkemeja merah itu masih tetap pada posisinya, enggan untuk beranjak walau
di sekelilingnya nampak tak ada orang. Entalah apa alasannya sehingga ia begitu nyamannya
duduk sendiri di sudut bangunan sebuah mesjid, bertepatan dengan tanggal 30 oktober 2016.
yang mana hari ini adalah hari pernikahan sahabatnya yang digelar secara sederhana di sebuah
mesjid yang menjadi tempat lamunan pria berkemeja merah tadi, ialah zaid.
Seorang laki-laki dari pelosok desa yang yang menyebrang pulau untuk sebuah impian
bahagia kedepan. Ia dikenal dengan seorang yang baik, lembut dalam bertutur dan tegas dalam
aturan, maka tidak heran zaid diberi amanah sebagai Ketua Lembaga Dakwah difakultasnya.
Dengan kharismatik dan jiwa socialnya yang baik dikalangan mahasiswa, serta di anurgahi
wajah gagah nan perkasa, maka banyak yang menaruh simpati padanya. Tak terkecuali fathiya,
seorang junior di jurusan dan juga dikampungnya, yang telah lama memendam kekaguman pada
seniornya.
Hingga tepat dihari itu, Fathiya juga turut meramaikan pernikahan sahabatnya (rukayah).
Pandangan terarah pada sosok laki-laki yang duduk termenung, raut bahagia tampak di wajah
nya. Kekagumannya pada laki-laki berjenggot tipis itu tak bisa di sembunyikkan, tanpa
disadarinya sofi ( sahabat fathiya) sudah berdiri sekitar 1 menit disampingnya.

“ fatthhhh…., ngapain di sini? Kesana yuk, ijab qabul sudah mau mulai tuh”
“ oh iya ( kaget), sudah datang pengantinnya yah?
“ iya, sudah dari tadi, kamu sih di sini terus dari tadi saya perhaatiin, ciyyyye…. kamu
tadi lirik-lirik zaid yah,( sofi tersenyum sambil meledek fathiya)
“apaan sih, .jawab fathiya sambil mengelak

Percakapan mereka terputus, saat pengantin laki-laki mulai mengucap ikrar janji suci
dihadapan ayah rukayah ( sahabat sofi dan fathiyya). Haru biru menyelimuti semua yang hadir
dalam walimahan itu. Tak terasa air mata fathiya berjatuhan menimpali wajah hingga membahasi
kerudungnya dibagian dagu. Walaupun mereka hanya bisa menyaksikannya lewat layar lcd yang
telah disiapkan panitia, namun acara yang sakral itu berjalan dengan syahdu.

Tentu saja, moment bahagia yang diliputi keberkahan itu tidak disia-siakan oleh fathiya,
bibir fathiya senantiasa berdzikir sembari melantungkan doa dalam hatinya agar ia bisa di
pertemukan dengan seorang yang telah lama tertaut dihatinya. Dengan harapan agar doanya
diaamiinkan oleh malaikat yang menjadi saksi terucapnya mitsaqon gholizoh.

***
Beberapa hari pasca peristiwa itu, saat senja mulai beranjak pergi fathiya berjalan sendiri
sambil menyandang tas ransel dibelakangnya, pikirannya mulai mengusik heningnya jalan ketika
ia kembali menghayalkan seorang pria namun sayang angan-angannya hilang saat ia tersandung
batu ditepi jalan, dengan perasaan malu ia terus bergegas dengan cepat hingga ia batinnya
mengucap isgtifar

“astagfirullah.., ada apa ini?” rasa takut sejenak menglabui dirinya, takut pada perkara yang
bisa menjatuhkan zina. Meski begitu, perasaan kagum itu tak mungkin bisa dihilangkan secepat
itu. Belum lama ia mencoba menenangkan hatinya dengan memotivasi untuk tetap mencintai
pada koridor-Nya , tiba-tiba suara kendaraan beroda dua melaju tepat di samping fathiya.

“Assalamu’alaikum,, fath baru mau pulang yah? (suara zaid tergendar disamping fathiya)
“wa’alaikumus salam iyah kak, tadi dosennya kelamaan keluar kelas ( ucap fathiya)
“ oh begitu, saya duluan yah, hati-hati fath. ( jawab zaid sambil mengendarai motornya berlalu
meninggalkan fathiya)
“ iyah kak”

Perasaan merah jambu menguasai hati fathiya, wajahnya merah merona. Pukul 18.02 WITA, ia
tiba dikos, bergegas mepersiapkan perlengkapan untuk mandi, usai mandi fathiya melaksanakan
sholat magrib. Kali ini fathiya begitu khusyuk , air matanya beruai tanpa tertahankan segala
kegundahan hanya bisa ia serahkan kepada Rabb yang maha permberi. Perasaan campur aduk, ia
menengadahkan tanganya berharap Allah berikan jalan. Di ruangan berbentuk persegi namun
tidak terlalu padat hanya beberpa barang-barang besar yang mengisi kosonya ruangan itu.
Matanya tertuju di atas meja, dimana ada beberapa buku dan polpen. Dengan segera ia menulis
dan merangkai kata selembar kertas yang beiringan dengan air mata.

Assalamu’alaikum
Saya tak tahu harus memulai darimana untuk menulis ini. Namun selembar kertas ini akan
mewakili semua perasaanku. Aku takut pada Allah, aku takut atas banyaknya dosa. Kak maafkan
aku,aku selalu mencari celah untuk melihat kaka. Aku sungguh tertegun dengan pribadi kaka,
yang lembut dalam berkata dan tegas dalam menjujung titah perintah Illahi.

Aku takut pada gelimang dosa, dengan mengalihkan pikiranku pada kaka, dan melibatkan kaka
dalam keiinginanku yang tak berdasar. Kak, bantu aku untuk taat , untuk menjadi muslimah
yang sholihah, untuk menjaga diri dari segala bujuk rayu syetan, untuk tidak terjebak dalam
nasfu bejat duniawi, dan dalam pedihnya pengharapan.

***
Keesokan harinya, fathiya memantapkan hatinya untuk memberikan surat yang ia tulis
semalaman kepada Zaid dengan perantara temannya yang ia percayai untuk mampu menjaga
semua. Sorak tawa menghiasi ruangan kelas saat ketua tingkat menyampaikan bahwa dosen yang
mengajar mata kuliah pagi ini berhalangan hadir,berbeda dengan fathia yang tengah duduk
termenung tepat sudut kiri paling belakang diantara banyak kursi yang tertata rapi, dengan
pikiran tidak karuan, antara menyesali atau bahagia dengan keputusan yang ia buat.
Hingga tepat pukul 09.03, Ia dikagetkan dering ponselnya yang menunjukan pesan singkat
sedang menyapa. Dengan deg-degan ia segera membuka ponselnya, sembari mengucap
“bismillah”
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh
Bismillah, aku telah membaca surat yang telah kau kirim dik,namun saya mohon maaf dik. Saya
telah lebih duluan. Saya telah mengkhitbah seorang akhwat di kampus yang sama. Bahkan kamu
kenal orangnya dik.
Afwan
Semoga pesan singkat ini bisa memberi pemahaman bagi adik.
Wa’alaikumus salam warohmatullahi wabarakatuh.
Sungai kecil mulai mengalir begitu deras, tanganya bergetar, namun ia harus tetap tegar karena
Keimanannya pada Allah telah menghujam kuat dalam dadanya bahwa jodoh, ajal dan rezeki
semua di tangan Allah. Dengan nafas yang behembus begitu cepat, ia mencoba memapah raga
dan segera berlari meninggalkan tempat duduknya, menuju mushola yang berjarak kisaran 10 m
dari ruangan yang menjadi saksi perjuangan nya meraih gelar sarjana.

***
Selang beberapa menit, fathia kemudian duduk sembari berpikir untuk menentuk pintu yang lain
dalam meraih keridhoan Allah, tangannya meraih buku dan pensil yang bersembunyi dibalik tas
ransel yang selalu setia menemani keseharianya, menulis cita-citanya dengan memantapkan
untuk menyelesaikan studi nya sesegera mungkin sesaat setelah ia melaksanakan sholat Dhuha.

*Allah sebaik-baik perancang*

Anda mungkin juga menyukai