Anda di halaman 1dari 8

Anatomi Thoraks dan Fraktur Iga (Etiologi, Tanda dan Gejala,

Pemeriksaan Diagnostik dan Penatalaksanaan)


Oleh Putri Adekayanty, 1506732892, Fakultas Ilmu Keperawatan

Toraks merupakan salah satu saluran pernapasan bagian bawah. Ruangan


toraks yang disusun oleh rangka tulang memberikan perlindungan pada paru,
jantung, dan pembuluh darah. Lapisan paling luar dari toraks tersusun atas 12
pasang tulang rusuk. Tulang rusuk berhubungan pada bagian posterior dengan
prosesus transversus vertebra torakalis pada tulang belakang. Pada bagian depan,
tujuh pasang tulang rusuk melekat pada sternum melalui kartilago. Rusuk ke-8, 9,
dan 10 merupakan rusuk palsu yang saling dilekatkan oleh kartilago kostalis.
Tulang rusuk ke-11 dan 12 merupakan rusuk melayang yang memungkinkan
ekspansi dada penuh karena mereka tidak terlekat pada sternum.

Tulang sternum adalah sebuah tulang pipih yang terbagi menjadi 3 bagian,
yaitu manubrium sterni, badan sterni dan prosesus xiphoidus. Manubrium sterni
adalah bagian atas sternum yang memiliki panjang 5 cm. Manubrium berartikulasi
clavicula (tulang selangka), cartilago costa ke-1 dan bagian atas cartilago costa
ke-2. Badan sternum (corpus sterni) merupakan tulang panjang, pipih agak
bergerigi, dan berartikulasi dengan cartilago costa ke-2, cartilago costa ke-3
sampai ke-7. Prosesus xiphoideus memiliki artikulasi atas dengan corpus.
Terdapat 12 pasang tulang iga (costae). Costae ke- 1 sampai 7 disebut
costae sejati memiliki artikulas dengan columna vertebralis di posterior dan
dengan strenum melalui cartilago costalis di anterior. Costae ke- 8 sampai 10
disebut costae palsu memiliki artikulasi dengan cartilago costa diatas (ke-7) dan
dengan columna vertebralis di anterior. Dan costae ke- 11 dan 12 disebut costae
melayang karena tidak memiliki artikulasi di anterior.

Cartilago costalis merupakan batang-batang cartilago hialin yang


menghubungkan costae 1 – 10 dengan sternum. Cartilago costalis 7 – 10
dihubungkan dengan satu cartilage dengan pertautan cartilago corpus dan
xiphoideus. Cartilago costalis costae 11 – 12 pendek,tebal, tajam, tidak mencapai
sternum, dan berujung pada otot dinding perut. Setiap rongga memiliki tiga otot
menyerupai otot dinding abdomen,

 Musculus intercostalis eksterna, otot ini mengisi rongga intercostalis


dari vertebra di posterior sampai perbatasan kostokondral (antara
costae dan cartilago costae) di anterior dimana otot tersebut berubah
menjadi membran intercostalis anterior yang tipis.
 Musculus intercostalis interna, otot ini mengisi rongga intercostalis
dari sternum di anterior sampai angulus costae di posterior dimana otot
ini berubah menjadi membran intercostalis posterior yang mencapai
collumna vertebralis di belakang
 Musculus intercostalis terdalam (innermost), yang merupakan lapisan
otot intercosalis yang berada di dalam dan berisi saraf dan pembuluh
darah intercostalis.

Mediastinum merupakan rongga di tengah toraks yang di lateralnya di


kelilingi rongga pleura, inferior oleh diafragma, dan superior oleh pintu masuk
toraks. Mediastinum terbagi menjadi mediastinum superior dan inferior.
Mediastinum superior berhubungan dengan radiks leher melalui pintu atas toraks.
Mediastinum inferior dibagi menjadi tiga kompartemen:
-Mediastinum anterior, daerah di depan perikardium yang berisi timus
dengan jaringan limfoid dan adiposa.

-Mediastinum posterior, berada di belakang jantung dan berisi esofagus,


duktus toraksikus, aorta desendens, dan trunkus nervus otonom.

-Mediastinum medius, berisi jantung dan radiks pembuluh besar, serta


perikardium

Tubuh manusia memerlukan suplai oksigen untuk proses metabolisme


dengan cara bernapas. Bila terjadi gangguan pada sistem pernapasan, akan
mengganggu metabolisme pada manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan
penanganan yang benar untuk membantu mengembalikan fungsi normal saluran
pernapasan. Seperti yang tertera pada kasus, terjadinya gangguan pada sistem
pernapasannya akibat kecelakaan lalu lintas. Salah satu gangguannya yaitu
hemopneuthoraks yang merupakan gabungan dari hemothoraks dan
pneumthoraks. Penderita hemopneuthoraks akan sulit bernapas karena paru-
parunya tidak bisa leluasa dilakukan. Pada kasus, klien diduga mengalami
hemopneuthoraks karena trauma dada seperti fraktur iga.

Menurut Black & Hawks (2009), fraktur iga merupakan gangguan


kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Pada saat terjadi fraktur juga terjadi
gangguan pada jaringan lunak. Sedangkan menurut Tambayong (2000), fraktur
iga adalah terputusnya keutuhan tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma
atau kecelakaan. Rusuk kelima dan kesembilan merupakan yang paling sering
terkena fraktur. Rusuk yang patah akan menggangu ventilasi karena menyebabkan
rasa nyeri yang dapat menyebabkan napas dangkal, akumulasi sekret pada daerah
yang terinfeksi, serta penurunan daya kembang paru (Black & Hawks, 2014).

Manifestasi klinis yang dialami penderita fraktur iga, yaitu nyeri dada
yang hebat disertai rasa tegang di atas area fraktur saat inspirasi dan palpasi yang
menyebabkan rasa gelisah kesakitan pada klien, pernapasan dangkal untuk
mengurangi gerakan dada, spasme otot disekitar daerah fraktur, kemungkinan
memar di daerah fraktur, takipnea, dispnea, dan sebagainya (Black & Hawks,
2014).

Penyebab fraktur iga disebabkan oleh trauma dan oleh bukan trauma.
 Disebabkan trauma
1. Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang dapat menyebabkan adanya fraktur iga antara lain
kecelakaan lalu lintas, pukulan pada dada, jatuh, tumbukan pada dada atau
perkelahian
2. Trauma tembus
Trauma tembus yang biasanya menimbulkan frakur iga adalah luka tusuk dan luka
tembus.
 Disebabkan bukan trauma
Terutama akibat gerakan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena
adanya gerakan berlebihan dan stress fraktur, seperti gerakan olahraga: lempar
martil, softball, tennis. Selain itu juga dapat disebabkan oleh kegiatan mendorong
benda berat, terutama pada penderita osteoporosis.

Beberapa tanda dan gejala yang muncul pada penderita fraktur iga
diantaranya
 Nyeri tekan, crepnitus dan deformitas dinding dada
 Sianosis dan takipnea
 Tampak cemas dan takut (akibat nyeri saat bernapas)
 Napas cepat, dangkal dan tersendat
 Nyeri pada daerah fraktur saat bernapas dan batuk

Pada kasus pemicu dijelaskan bahwa seorang laki-laki berusia 25 tahun


diantar ke IGD korban kecelakaan lalu lintas. Pasien tampak gelisah, kesakitan,
tampak sesak, pernapasan dangkal dan cepat, gerakan dada paradoks, tampak jejas
di area dada, RR 32 x/menit, hasil Xray dada fraktur iga 5-8 dextra dan
hemopneumotoraks dekstra. Pasien direncanakan pemasangan WSD. Dalam hal
ini, perawat harus memahami hasil dari pemeriksaan diagnostik pasien untuk
menyusun asuhan keperawatan yang tepat.

Menurut Black & Hawks (2014), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan


klien fraktur iga adalah rontgen dada, analisa gas darah (AGD) dan pemeriksaan
EKG. Rontgen dada dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pada paru.
Pemeriksaan dada dengan menggunakan x-ray dilakukan untuk mengetahui
seberapa banyak tulang yang patah dan apakah patahan tulang tersebut melukai
pleura. Pada kasus tertera bahwa klien mengalami fraktur iga 5-8 dextra dan
hemopneuthoraks dextra. Hal ini dapat terjadi karena ujung tulang patah dapat
merobek permukaan paru (Black & Hawks, 2014).

Contoh hasil foto thoraks pada klien dengan fraktur tulang rusuk, pneumothorax dan
hemothorax. Sumber: (Radiology Masterclass, 2014)
Pemeriksaan EKG dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pada
jantung akibat benturan. Pada kasus klien yang mengalami cedera dada, perawat
perlu memperhatikan adanya ketidaknormalan pada hasil pola yang ditunjukkan
oleh EKG. Kebanyakan ketidaknormalan pada EKG yang diakibatkan oleh trauma
dada terjadi dalam 48 jam setelah cedera (Lad, Gorman, Watson & Kennedy,
2014).

Sedangkan pemeriksaan AGD dilakukan secara rutin untuk memantau


efektivitas pernapasan dan mendetesi asidosis. Analisa Gas Darah (AGD)
merupakan tes diagnostik yang dilakukan untuk menentukan status oksigenasi dan
asam basa (Muttaqin, 2008). AGD akan memberikan gambaran obyektif tentang
oksigenasi darah arteri, pertukaran gas alveoli dan keseimbangan asam basa.

Dalam penanganan klien fraktur iga, setidaknya perlu dikaji berulang


hingga 48 jam setelah terjadinya cedera. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Setelah itu dilajutkan dengan pemeriksaan pneumothoraks
atau hemothoraks. Sehingga bila terjadi pneumothoraks atau hemothoraks dapat
ditangani dengan cepat. Biasanya, fraktur iga ditangani secara konservatif.
Penanganan konservatif tersebut dengan fisioterapi dada, immobilisasi dan
manajemen nyeri yang tepat (Black & Hawks, 2014).

Di awal penanganan haurs berfokus pada bebasnya jalan napas, ventilasi,


kontrol pendarahan, stabilisasi dari fraktur thoraks apapun dan immobilisasu
tulang belakang. Status pernapasan lain seperti kecepatan dan kedalaman napas
gerakan dada, volume tidak spontan dan nilai AGD harus dipantai dengan ketat.
Kontrol nyeri yang adekuat dan menahan dada saat batuk dan bernapas dalam
akan membantu klien dengan fraktur iga. Jika nyeri hebat hingga mengganggu
ventilasi secara signifikan, larutan anesti lokal dapat diinjeksikan di lokasi fraktur
blok saraf interkostal dapat digunakan. Selain itu, klien fraktur iga juga dapat
diajarkan teknik relaksasi napas dalam. Teknik relaksasi napas dalam merupakan
salah satu bentuk asuhan keperawatan (Smeltzer & Bare, 2010). Perawat
mengajarkan klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat
(inspirasi maksimal) dan cara menghembuskan napas secara perlahan. Hal ini
dapat membantu klien untuk menurunkan intensitas nyeri serta meningkatkan
ventilasi paru dan oksigenasi darah.
Daftar Pustaka

Black, J. M. dan Hawks, J. H. (2009). Medical-Surgical Nursing : Clinical


Management for Positive Outcomes. Singapore: Elsevier.

Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Singapore: Elsevier.

Gibson,J. (2002). Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer & Bare . (2008). Textbook of Medical Surgical Nursing Vol.2.


Philadelphia: Linppincott William & Wilkins

Anda mungkin juga menyukai