Anda di halaman 1dari 9

KOMPLIKASI ANESTESI

1. Patah Jarum
Penyebab:
Gerakan tiba-tiba jarum gauge (ukuran) kecil, jarum yang dibengkokkan .
Pencegahan:
Kenalilah anatomi daerah yang akan dianestesi, gunakan jarum gauge besar, jangan
gunakan jarum sampai porosnya, pake jarum sekali saja, jangan mengubah arah jarum,
beritahu pasien sebelum penyuntikan.
Penanganan:
Tenang, jangan panic, pasien jangan bergerak, mulut harus tetap terbuka jika
pragmennya kelihatan, angkat dengan hemostat keal, jika tidak terlihat diinsisi, beritahu
pasien, kirim ke ahli bedah mulut.

2. Rasa Terbakar Pada Injeksi


Sebab:
pH larutan melampaui batas, injeksi larutan cepat, kontaminasi larutan catridge dengan
larutan sterilisasi, larutan anestesi yang hangat
Masalah:
Bisa terjadi iritasi jaringan, jaringan menjadi rusak.
Pencegahan:
Gunakan anestetik lokal yang pH kira-kira 5, injeksi larutan perlahan-lahan (1ml/menit),
cartridge disimpan pada suhu kamar, lokal anestetik tetap steril.

3. Rasa Sakit pada Injeksi


Sebab:
Teknik injeksi salah, jarum tumpul, deposit larutan cepat, jarum mengenai periosteum.
Pencegahan:
Penyuntikan yang benar, pakai jarum yang tajam, pakai larutan anestesi yang steril,
injeksikan jarum perlahan-lahan, hindari penyuntikan yang berulang-ulang.
Penanganan:
Tidak perlu penanganan khusus.
4. Parastesi (kelainan saraf akibat anestesi): tidak terasa.
Sebab:
Trauma (iritasi mekanis pada nervus akibat injeksi jarum/ larutan anestetik sendiri.)
Masalah:
Dapat terjadi selamanya, luka jaringan.
Pencegahan:
Injeksi yang tepat, penggunaan cartridge yang baik.
Penanganan:
Tenangkan pasien, pemeriksaan pasien (lamanya parastesia), pemeriksaan ulang sampai
gejala hilang, konsul ke ahli bedah, mulut atau neurologi.

5. Trismus (gangguan membuka mulut).


Sebab:
Trauma pada otot untuk membuka mulut, iritasi, larutan, pendarahan, infeksi rendah
pada otot.
Masalah:
Rasa sakit, hemobility (kemampuan mandibula untuk bergerak menurun).
Pencegahan:
Pakai jarum suntik tajam, asepsis saat melakukan suntikan, hindari injeksi berulang-
ulang, volume anestesi minimal.
Penanganan:
Terapi panas (kompres daerah trismus 15-20 menit) setiap jam. Analgetik obat relaksasi
otot, fisioterapi (buka mulut 5- 10 menit tiap 3 jam), megunyah permen karet, bila ada
infeksi beri antibiotik alat yang digunakan untuk membuka mulut saat trismus.

6. Hematoma (efusi darah kedalam ruang vaskuler).


Sebab:
Robeknya pembuluh darah vena/ arteri akibat penyuntikan, tertusuknya arteri/ vena, dan
efusi darah.
Pencegahan:
Anatomi dan cara injeksi harus diketahui sesuai dengan indikasi, jumlah penetrasi jarum
seminimal mungkin.
Penanganan:
Penekanan pada pembuluh darah yang terkena, analgetik bila nyeri, aplikasi pada pada
hari berikutnya.

7. Infeksi.
Sebab:
Jarum dan daerah operasi tidak steril, infeksi mukosa masuk kedalam jaringa, teknik
pemakaian alat yang salah
Pencegahan:
Jarum steril, aseptic, hindari indikasi berulang-ulang.
Penanganan:
Terapi panas, analgesic, antibiotic.

8. Udema (Pembengkakan Jaringan)


Sebab:
Trauma selama injekasi, infeksi, alergi, pendarahan, irirtasi larutan analgesic.
Pencegahan:
Pemakaian alat anestesi lokal yang betul, injeksi atraumatik, teliti pasien sebelum
pemberian larutan analgesic.
Penanganan:
Mengurangi pembengkakan secepat mungkin, bila udema berhubungan dengan
pernafasan maka dirawat dengan epinefrin 8,3 mg IV/Im, antihistramin IV/im.
Kortikosteroid IV/ IM, supinasi, berikan basic life support, tracheastomi, bila sumbat
nafas, evaluasi pasien.

9. Bibir Tergigit.
Sebab:
Pemakaian long acting anestesi lokal.
Masalah:
Bengkak dan sakit.
Pencegahan:
Pilih anastetik durasi pendek, jangan makan/minum yang panas, jangan mengigit bibir.
Penanganan:
Analgesi, antibiotic, kumur air hangat beri vaselinàlipstik.

10. Paralyse N. Facialis (N. Facialis ter anestesi)


Sebab:
Masuknya larutan anestesi ke daam kapsul/ substransi grandula parotid.
Masalah:
Kehilangan fungsi motoris otot ekspersi wajah. Mata tidak bisa mengedip.
Pencegahan:
Blok yang benar untuk n. Alveaolaris inferior, jarum jangan menyimpang lebih kepost
Waktu blok n. alveolaris inferior.
Penanganan:
Beritahu pasien, bahan ini bersifat sementara, anjurkan secara periodic membuka dan
menutup mata.

11. Lesi Intra Oral Pasca Anestesi.


Penyebab:
Stomatitis apthosa rekuren, herpes simpleks.
Masalah:
Pasien mengeluh sensitivitas akut pada daerah uslerasi.
Penanganan:
Simptomatik, kumur-kumur dengan larutan dipenhidramin dan susu magnesium.
Sloughing pada Jaringan.

12. Sloughing pada Jaringan.


Penyebab:
Epitel desquamasi, abses steril.
Masalah:
Sakit hebat.
Pencegahan:
Pakai topical anestesi, bila memakai vasokonstriktor jangan berlebihan.
Penanganan:
Secara simptomatik, rasa sakit diobati dengan analgesic (aspirin/ kodein secara topical)
13. Syncope (fainting).
Merupakan bentuk shock neurogenik.
Penyebab:
Isohemia cereoral sekunder, penurunan volume darah ke otak, trauma psikologi.
Masalah:
Kehilangan kesadaran.
Pencegahan:
Fentilasi yang cukup, posisi kepala lebih rendah dari tubuh, hentikan bila terjadi
perubahan wajah pasien.
Penanganan:
Posisikan kepala lebih rendah dari tubuh, kaki sedikit diangkat, bila sadar anjurkan tarik
nafas dalam-dalam, rangsang pernaasan dengan wangi-wangian.

Sumber artikel:
http://nindyika.wordpress.com
http://dentnote.wordpress.com
http://myblog-iraandir.blogspot.com
KOMPLIKASI ANESTESI DAN BAHAYA ANESTESI

A. KOMPLIKASI ANESTESI
Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan
anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi segera dapat timbul pada
waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga walaupun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik (Thaib, 1989). Menurut Ellis & Campbell
(1986), secara umum komplikasi anestesi yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain: pembuluh
darah, intubasi, dan saraf superfisialis.
a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan memar, eksavasasi obat yang
dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis serta kerusakan
struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf (Ellis & Campbell, 1986). Beberapa obat
yang mencakup Benzodiazepin dan Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi
vena yang lama lebih mungkin menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.

b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh orang yang
tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai
kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika dibiarkan tidak
terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan
dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa hidung, intubasi
hidung sering memfraktura concha (Ellis & Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur
tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan
mulut posterior struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.

c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea lateralis sewaktu
mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia
menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris sewaktu ia
menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan paralisis dan kehilangan sensasi
dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang
menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas
caput humeri, jika lengan diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell,
1986).

2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak
terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal
hipostatik, plurisi, dan superinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001).
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran pernapasan akut
selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit
dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika
saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup
sekresi dan kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal dapat
menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien obstetri dan
kedaruratan yang tak dipersiapkan.
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah, biasanya karena
kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat,
depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang
tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan
restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan
dengan pemberian oksigen.
Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbul kemudian adalah konvalesensi,
biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis sekunder terhadap lepasnya thrombus dari
vena pelvis atau betis. Thrombus vena profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien
mengeluh pembengkakan atau nyeri tekan otot betis (Ellis & Campbell, 1986). Embolisme
pulmonalis bisa tampil sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa
dengan infark myocardium mayor, yang kadang–kadang sulit dibedakan.

3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia
jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah
systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi
dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat
anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi
hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit
hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara
faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi,
gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.

4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Insidens virus Hepatitis
A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan sekitar 100–400
per sejuta pada suatu waktu (Ellis & Campbell, 1986). Mungkin bahwa zat anestesi
mengurangi kemanjuran susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi
yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin
harus dihalangi.

5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan penurunan
suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera, bisa
timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda,
pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika
kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah
(Ellis & Campbell, 1986).

B. BAHAYA ANESTESI
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab pada
mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak
diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi (Bulto & Blogg, 1994). Bahaya lain mungkin
tidak berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi
terhadap penderita.
Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:
1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi”
Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak sepenting kematian akibat
anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif yang terjadi selama pembedahan tidak
dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk kematian dalam keadaan teranestesi tetapi bukan
akibat anestesi walaupun ahli anestesi telah mempunyai peran yang penting untuk berusaha
mempertahankan hidup penderita dengan secepatnya melakukan transfusi darah
(Bulto & Blogg, 1994).

2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan


Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung yang
saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan
oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia respiratorik)
maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah henti jantung) (Bulto & Blogg,
1994). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah anafilaksis
akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.

3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi


Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan sebagian atau total
maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak (Bulto & Blogg, 1994). Keadaan
seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin
anestesi, saluran pernapasan atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai
kapiler, dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel
akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi
pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen,
demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif (henti jantung) (Bulto &
Blogg, 1994).

Anda mungkin juga menyukai