Anda di halaman 1dari 55

KOMPLIKASI

ANESTESI
LOKAL
DRG. FAUZAN AKMAL
PENGERTIAN ANESTESI
LOKAL
 Tindakan yang menghilangkan rasa nyeri atau sakit untuk
sementara pada salah satu bagian tubuh.

 secara topikal atau suntikan

 tanpa disertai hilangnya tingkat kesadaran.


PENGGOLONGAN
ANESTESI LOKAL
 Bahan anestesi lokal terbagi atas dua golongan yaitu ester
dan amida.

 Golongan ester : kokain, prokain, 2-kloroprokain, tetrakain


dan benzokain

 Golongan amida : lidokain, mepivakain, bupivakain,


prilokain, etidokain dan artikain
JENIS ANESTESI LOKAL

Prokain Lidokain Bupivakain

Golongan Ester Amida Amida

Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 menit

Lama Kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam

Metabolisme Plasma Hepar Hepar

Dosis 12 6 2
Maksimal
(mm/KgBB)
Potensi 1 3 15

Toksisitas 1 2 10
KELEBIHAN ANESTESI
LOKAL
1. Penderita masih memiliki kesadaran
2. Gangguan fisiologis yang kecil, karena itu cocok untuk
penderita dengan resiko tinggi
3. Angka morbiditas rendah
4. Penderita dapat pulang sendiri tanpa harus diantar
5. Tidak diperlukan tenaga tambahan yang terlatih
6. Tidak terlalu sukar untuk menguasainya
7. Biaya yang relatif kecil
8. Penderita tidak perlu melakukan puasa sebelumnya.
KEKURANGAN ANESTESI
LOKAL
1. Penderita mempunyai perasaan takut yang berlebihan
2. Terjadi infeksi pada tempat insersi jarum
3. Penderita alergi terhadap bermacam-macam obat anestesi
lokal
4. Penderita tidak kooperatif (penderita anak-anak, retardasi
mental)
5. Tindakan bedah yang besar
6. Terdapat anomali anatomis penderita, sehingga sukar atau
tidak dapat dilakukan anestesi lokal
MEKANISME ANESTESI
LOKAL
Perpindahan ion kalsium pada Pengikatan molekul anestesi lokal
reseptor saraf pada reseptor

Mengurangi konduktivitas sodium Menghambat kanal sodium

Gagal mencapai ambang batas


Menekan terjadinya depolarisasi
potensial

Kurangnya aksi potensial yang


Konduksi saraf menjadi terhambat
terjadi
ARMAMENTARIUM
 Peralatan yang digunakan pada anestesi lokal  karpul, ampul, jarum
TIPE – TIPE ANESTESI
LOKAL
1. Anestesi topikal

 Melalui penempelan pada daerah kulit dan membran mukosa yang


dipenetrasi untuk mengebaskan ujung-ujung saraf superfisial
 Sering digunakan sebelum dilakukan penyuntikan.
 Bahan aktif yang terkandung dalam larutan adalah lignokain hidroklorida
10% dalam basis air dari aerosol atau biasa disebut semprotan klor etil.
anestesi topikal
2. Anestesi Infiltrasi

 Teknik ini digunakan untuk anestesi pada gigi atas dan gigi
anterior bawah.

 Efek anestesi didapatkan dengan mendepositkan larutan di


sekitar akar gigi, pada sebelah bukal di bagian sulkus 
larutan berdifusi ke plat luar tulang  mengenai saraf.
Anestesi infiltrasi
3. Anestesi Blok

 anestetikum di injeksi di suatu titik antara otak dan daerah


yang menembus batang saraf atau serabut saraf yang akan
memblok sensasi yang datang.

 injeksi blok yang paling umum digunakan adalah blok


mandibula, selain itu ada blok mental, blok saraf alveolar
superior posterior dan blok infraorbital.
Anestesi Blok
KOMPLIKASI LOKAL
1. Kerusakan jarum
 Penyebab : gerakan tiba-tiba yang tidak terduga pada pasien saat jarum menusuk otot atau
kontak periosteum.

 Pencegahan :
1. Jangan memaksakan jarum pada jaringan yang keras (tulang atau periosteum)
2. Jangan mengubah arah jarum selagi jarum berada jauh di dalam jaringan
3. Jangan menggunakan jarum dengan diameter yang terlalu kecil
4. Jangan mensteril ulang jarum habis pakai
5. Jangan menginsersikan jarum terlalu jauh ke dalam jaringan; sisakan sedikitnya sepertiga
panjang jarum di luar jaringan
6. Jangan mengejutkan penderita dengan insersi jarum yang tiba-tiba tanpa sepengetahuan
penderita..
Daerah jarum yang sering rusak
2. Parastesi (anestesi yang menetap)

 Penyebab :
1. Kerusakan saraf akibat trauma pada teknik inferior alveolar nerve block
atau berasal dari larutan yang sudah terkontaminasi oleh alkohol 
menimbulkan edema  meningkatkan tekanan disekitar saraf 
parastesi.
2. Perdarahan di sekitar selubung saraf  peningkatan tekanan pada saraf
 parastesi
parastesi

 dapat sembuh secara spontan dalam waktu beberapa minggu.


 bila dalam waktu tiga bulan tidak ada tanda-tanda regenerasi saraf, dapat
diindikasikan untuk perbaikan saraf melalui tindakan bedah.
3. Hematoma
 Penyebab :
1. Pada saat jarum dimasukkan  menembus pembuluh darah 
kebocoran  darah merembes jaringan sekitarnya.
2. Gangguan koagulasi pada pasien
Hematoma

 Paling sering terjadi pada blok saraf alveolar superior


posterior, karena struktur dan posisi vena pleksus pterigoid
yang bervariasi.
 Hematoma karena blok mandibula terlihat secara intraoral
 Hematoma akibat blok saraf alveolar superior posterior
terlihat secara ekstraoral.
Hematoma

 Tanda-tanda klinis hematoma karena perdarahan arteri


antara lain :
1. Pembengkakan ekstra oral yang timbulnya mendadak
2. Asimetri wajah
3. Trismus ringan.
Hematoma
 Pencegahan :
1. Pentingnya pengetahuan anatomi organ yang terlibat.
2. Minimalkan kedalaman penetrasi pada blok saraf alveolar superior
posterior.
3. Gunakan jarum yang pendek pada blok zigomatik .
4. Jangan gunakan jarum untuk menjajaki jaringan.
Hematoma

 Hematoma tidak berbahaya. Bisa sembuh sendiri.


 Gangguan kosmetik

 Penanganannya :
1. Kompres dingin pada hari pertama setelah kejadian untuk menghambat
pembengkakan
2. Terapi panas setelah 24 jam
3. Pemberian antibiotika bila dicurigai adanya infeksi.
4. Pemberian anti nyeri
Hematoma
4. Edema

 Penyebab :
1. Trauma selama injeksi
2. Infeksi
3. Alergi
4. Hemoragi
5. Injeksi larutan yang dapat menyebabkan perih (alkohol atau larutan sterilisasi
lain)

 Pencegahan :
1. Perawatan dan pemeliharaan peralatan anestesi lokal
2. Lakukan injeksi yang tidak menimbulkan trauma.
3. Lakukan evaluasi medis yang adekuat pada pasien sebelum pemberian obat.
5. Trismus
 Trismus adalah kondisi kesulitan membuka rahang karena
kejang otot.
 Trismus termasuk salah satu komplikasi anestesi lokal yang
umum dijumpai, khususnya setelah tindakan mandibular
nerve block

 Penyebab :
1. Trauma pada otot atau pembuluh darah.
2. Larutan anestesi lokal yang terkontaminasi dengan alkohol
mengiritasi jaringan  trismus.
3. Perdarahan.
4. infeksi derajat ringan pada otot yang disebabkan oleh
karena insersi jarum.
5. Penyebab utama trismus adalah gangguan pada musculus
pterygoideus internus (medialis)oleh karena insersi jarum
Trismus
 Pencegahan :
1. Gunakan jarum sekali pakai yang tajam dan steril.
2. Perawatan dan pemeliharaan ampul
3. Jarum yang terkontaminasi harus segera diganti
4. Latih teknik insersi dan injeksi yang atraumatik
5. Hindari injeksi berulang dan insersi berkali-kali pada daerah yang sama.
6. Gunakan anestesi lokal dengan volume yang tepat.
Trismus
 Penanganan :
1. Pada trismus ringan, pengobatan secara simptomatik, yaitu : analgesik
dan kumur-kumur air garam hangat. Antibiotika bila dicurigai infeksi.
2. Pada trismus yang agak berat dan berlangsung lama, pengobatan dengan
kompres panas, latihan buka tutup mulut, analgesik, dan bila perlu dapat
ditambahkan antibiotika dan CNS muscle relaxant.
6. Nyeri saat penyuntikan
 Penyebab nyeri :
1. Injeksi yang kurang hati-hati
2. Jarum tumpul akibat pemakaian injeksi
3. Posisi bevel yang salah. Bevel seharusnya ditempatkan paralel ke
permukaan 30 tulang untuk mencegah ujung yang tajam pada jarum
menusuk periosteum yang padat.
4. Penyuntikan larutan non isotonik atau yang sudah terkontaminasi.
5. Tekanan yang cukup besar pada saat mendepositkan larutan pada
jaringan
6. infeksi pada tempat insersi jarum.
Nyeri saat penyuntikan

 Pencegahan :
1. Gunakan jarum yang tajam
2. Area tempat insersi diulasi larutan anestesi topikal
3. Insersi jarum dilakukan perlahan-lahan dan sedapat
mungkin hindarkan trauma yang tak diperlukan.
4. Injeksikan larutan anestesi dengan perlahan-lahan dan
gunakan tekanan yang sekecil mungkin.
7. Rasa terbakar pada
penyuntikan
 Penyebab :
1. pH larutan anestesi lokal yang didepositkan ke jaringan
lunak tidak normal.
2. Injeksi yang terlalu cepat.
3. Ampul yang disimpan dalam alkohol atau bahan sterilisasi
lainnya dapat menyebabkan alkohol berdifusi kedalam
ampul.
Rasa Terbakar saat Penyuntikan

 Pencegahan :
1. Ph larutan anestesi netral sekitar 7,4.
2. Memperlambat kecepatan injeksi. Kecepatan yang ideal
adalah 1 mL/min. Jangan melewati 1,8 mL/min.
3. Ampul harus disimpan dalam temperatur ruangan dalam
kontainer aslinya atau kontainer yang sesuai tanpa alkohol
atau bahan sterilisasi lainnya.
8. Infeksi

 Penyebab :
1. Jarum yang telah terkontaminasi sebelum melakukan
anestesi.
2. Injeksi pada daerah yang mengalami infeksi
3. Pemakaian cartridge atau jarum pada lebih dari satu pasien
4. Injeksi berulang-ulang pada tempat yang sama
Infeksi
 Pencegahan infeksi :
1. Gunakan jarum yang steril
2. Menghindari kontak jarum dengan permukaan yang tidak steril.
3. Perawatan dan pemeliharaan ampul :
a. Gunakan ampul hanya sekali
b. Simpan ampul dalam wadah aslinya.
c. Bersihkan leher ampul dengan alcohol steril
4. Persiapkan jaringan sebelum penetrasi. Keringkan dan gunakan antiseptik
topikal.
Infeksi

 Penanganan :
1. Antibiotika adekuat
Bisa sembuh.
9. Nerve Block yang Tidak
Diinginkan
 Insersi jarum mengenai kapsul kelenjar parotis dan menyebabkan anestesia
pada nervus facialis .
Akibatnya : paralisa hemifacialis, hilangnya reflek menutup dari kelopak
mata yang bersifat sementara.
Nerve Block yang Tidak Diinginkan

 Insersi jarum pada arteri carotis interna, atau penyebaran


larutan anestesi pada lateral pharyngeal space  blokade
saraf simpatis yang melayani kepala.
Manifestasinya berupa : ptosis kelopak mata bagian atas,
vasodilatasi konjungtiva dan kepala bagian kiri,
penyumbatan rongga hidung, dan konstriksi pupil. Bila
terjadi juga blokade pada nervus laryngeus recurrens dapat
menyebabkan suara serak dan perasaan tercekik.
Nerve Block yang Tidak Diinginkan

 Injeksi larutan anestesi ke dalam pembuluh darah arteri


(arteri alveolaris inferior atau cabang-cabang arteri di
rahang atas) dapat menyebabkan distribusi obat anestesia
tersebut ke dalam arteri meningeus medialis yang
berhubungan dengan arteria ophthalmicus.
Simptoma klinis yang mungkin terjadi adalah : pusing,
diplopia akibat palsy otot bola mata, atau bahkan dapat
terjadi kebutaan sementara adalah : infraorbital nerve block,
posterior superior alveolar nerve block, maxillary nerve
block
Nerve Block yang Tidak Diinginkan

 Pencegahan :
pada anestesi mandibula jika larutan didepositkan hanya jika
telah terjadi kontak ujung jarum dengan tulang (aspek
medial ramus).
Jika jarum meleset ke posterior dan tidak terjadi kontak pada
tulang, jarum harus ditarik kembali hampir seluruhnya dari
jaringan, barel ditarik ke posterior dan jarum diinsersikan
kembali sampai terjadi kontak dengan tulang.
KOMPLIKASI AKIBAT
LARUTAN ANESTESI LOKAL
1. Toksisikasi

 Gejala :
a. Tanda-tanda ringan seperti : penderita bicara lebih banyak, gelisah,
pusing, tinnitus, pandangan kabur, nausea, denyut nadi dan tekanan
darah meningkat.
b. Pada keadaan lanjut : nystagmus, fasikulasi otot, tremor pada
pelupuk mata, rahang dan ekstremitas pada keadaan yang lebih berat
dapat terjadi konvulsi dengan gejala tonic-clonic seizure.
c. Gejala depresi sistim susunan saraf pusat yang ditandai dengan
turunnya tekanan darah, denyut nadi cepat dan lemah, kadang-
kadang terjadi bradikardi, apnea, dan hilangnya kesadaran penderita.
d. Pada dosis yang fatal dapat terjadi kematian karena kegagalan
pernafasan.
Toksisitosis

 Reaksi toksik yang disebabkan karena overdosis obat


biasanya berlangsung cukup lama; konsentrasi puncak
dalam darah tercapai dalam waktu 15-60 menit.
 Reaksi toksik yang terjadi karena injeksi intravaskuler
timbulnya relatif cepat (1 sampai 2 menit)
 Pada umumnya berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu
lama (tidak lebih dari 30 menit).
Toksisitosis

 Penanganan :
1. Pada keadaan yang ringan : observasi tanda-tanda vital,
penghentian tindakan anestesi dan menenangkan
penderita.
2. Pada keadaan yang agak berat dapat dilakukan pemberian
oksigen. Apabila terjadi konvulsi sebaiknya diberikan
diazepam, barbiturat short-acting atau long acting,
Succinylcholine chloride (skletal muscle relaxant).
Toksisitosis

 Pencegahan :
1. Penderita telah dievaluasi secukupnya sebelum diberikan
anestesi lokal
2. Gunakan larutan anestesi yang mengandung
vasokonstrikor sejauh tidak kontra indikasi.
3. Gunakan obat anestesi seminimal mungkin
4. Gunakan konsentrasi obat anestesi seminimal mungkin
5. Injeksi dilakukan secara perlahan-lahan
6. Selalu lakukan aspirasi sebelum injeksi obat anestesi.
2. Idiosyncrasy

 Setiap reaksi terhadap pemberian suatu obat dimana gejala-gejala yang


timbul tidak dapat digolongkan sebagai reaksi otoksik atau alergik.
 Reaksi yang terjadi bukan disebabkan oleh efek farmakologi obat
melainkan karena pengaruh faktor emosional penderita.
Idiosyncrasy

 Penanganan :
Prinsip : Mempertahankan jalan napas penerita agar intake
oksigen dapat terjamin, dan mengevaluasi sistim sirkulasi
darah penderita, dengan cara :
1. mengubah posisi duduk penderita
2. obat-obatan atau cairan infus bila diperlukan
3. Reaksi Alergi

 Jika timbul biasanya ditandai dengan perubahan pada kulit,


mukosa dan pembuluh darah. Reaksi yang mungkin timbul
adalah : asma, rhinitis, angioneurotic edema, erytema,
pruritus, urticaria dan bercak kulit yang lain.

 Untuk menangani keadaan ini dapat diberikan antihistamin


(diphenhydramine, 25-50 mg) intramuskuler.
Reaksi Alergi

 Bila terjadi shok anafilaktik tempatkan penderita pada posisi


supine dan untuk penanggulangannya dapat diberikan
epinephrine hydrochloride (adrenalin 1:1.000)
intramuskuler atau subkutan sebanyak 0,2 sampai 0,5 ml
ditambah dengan pemberian oksigen. Pada kasus-kasus
berat perawatan di atas dapat ditambah dengan injeksi
antihistamin IM atau IV (misalnya : diphenhydramine 50
mg), dan/atau glucocorticoid IM atau IV, misalnya
hydrocortisone soium succinate 100 mg dengan tujuan
untuk mengembalikan tekanan darah.
4. Syncope (Fainting)

 Syncope merupakan bentuk neurogenic shock yang


disebabkan karena terjadinya iskemia cerebral sebagai
akibat dari vasodilatasi dan turunnya perfusi jaringan
serebral.
 Keadaan ini terutama dipengaruhi oleh faktor emotional
stress seperti : perasan gelisah, takut, rasa sakit yang sangat.
Faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan syncope adalah
perasaan lapar (renahnya kadar gula darah), kelelahan,
posisi uuk tegak, dan suhu udara yang panas dan lembab.
Syncope

 Gejala-gejala klinis neurogenic syncope yaitu : pucat,


berkeringat, sering menguap, takhikardi, pusing, mual,
lemah dan jantung berdebar. Biasanya penderita
mengeluhkan akan pinsan namun kesadaran paa umumnya
masih ada.
Syncope

 Penanganan :
1. Tempatkan penderita pada posisi supine dengan posisi
tungkai setinggi kepala.
2. Penderita diinstruksikan untuk menarik napas dalam
beberapa kali
3. Kendorkan pakaian yang terlalu ketat
4. Berikan bau-bauan yang dapat merangsang pernapasan
seperti : amonia atau alkohol
5. Bila perlu dapat dilakukan inhalasi oksigen
Referensi

 Malamed S,Handbook of local anesthesia, 4th edition.1997


 Basak Keskin Yalcin. Complications Associated with Local
Anesthesia in Oral and Maxillofacial Surgery, IntechOpen,
July 4th 2019
 Jagatiya M, Carroll C. A Buccal Haematoma Following
Administration of an Inferior Alveolar Nerve Block. ED
Science 2017
 Josip Biočić et al. A Large Cheek Hematoma as a
Complication of Local Anesthesia: Case Report.Acta
stomatol Croat. 2018
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai