Anda di halaman 1dari 12

SINUS LIFTING

MAKALAH ILMU BEDAH MULUT II

PENYUSUN :

Tichvy Tammama

Irsan Kurniawan

Agung Tri Prakoso

PEMBIMBING :

Tis Karasutisna, drg., Sp.BM.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS BEDAH MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2011

1
2

SINUS LIFTING

I. PENDAHULUAN

Penggunaan implant dalam memperbaiki fungsi dan estetik pada kasus kehilangan gigi
sebagian maupun seluruhnya sudah tidak diragukan lagi. Dasar ilmiah keberhasilan ini adalah
terjadinya osteointegrasi implant dengan tulang dan keadaan klinis penderita yang meliputi
kualitas dan kuantitas tulang yang mencukupi (Pascoal, 2000; McGlumphy, 2003).

Berkurangnya ketinggian tulang alveolar pada bagian posterior maksila merupakan


permasalahan yang sering dijumpai dalam pemasangan implant. Hal ini diakibatkan dari resorbsi
tulang alveolar sejalan dengan hilangnya gigi, kehilangan tulang karena penyakit periodontal,
pneumatization sinus maksilaris, atau kombinasi diatas (Stephen,et al 2005; Pascoal, 2000).

Menurut Block kunci keberhasilan penempatan dental implant pada daerah posterior
maksila adalah ketebalan tulang 10 mm, sehingga jika ketebalan antara sinus maksilaris dan crest
alveolar kurang dari 10 mm perlu dilakukan penambahan ketebalan alveolus dasar sinus dengan
bone graft (Block, 2001).

Sinus lift atau sinus procedure atau dikenal juga dengan nama maxillary sinus floor
augmentation procedure adalah suatu tindakan pembedahan untuk menambah massa tulang
alveolar didasar sinus maksila pada prosedur pemasangan dental implant, dapat berasal dari
tulang bagian tubuh seperti iliac crest, atau bone graft (manusia/binatang/artifisial) (Boyne,
2005).

Sinus lift procedure pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Hilt Tatum Jr pada tahun 1974.
Pada Februari 1975, Tatum melakukan sinus graft yang pertama di Lee County Hospital,
Opelika, Alabama. Setelah itu berkembang berbagai instrument untuk sinus lift procedure.
Tatum memperkenalkan konsep ini pertama kalinya di The Alabama Implants Congress
Birmingham, Alabama, pada tahun 1976 dan perkembangan tekniknya setiap tahun sampai pada
tahun 1986. Pada tahun tersebut Tatum mempublikasikan sebuah artikel yang menggambarkan
prosedur sinus lift (Boyne, 2005).
3

II. ANATOMI SINUS MAKSILARIS

Sinus maksilaris merupakan rongga sinus yang terbesar dari empat pasang sinus
paranasal. Sinus paranasal adalah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus ini merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala sehingga berbentuk rongga di dalam tulang dan semua sinus mempunyai
muara ke dalam rongga hidung (Million, 1994).

Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung.
Perkembangan sinus dimulai pada fetus usia 3 - 4 bulan. Saat anak lahir sinus maksilaris telah ada
dan umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-8 tahun. Saat lahir sinus maksilaris
bervolume 6 - 8 ml, kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu sebesar 15 ml saat dewasa (Million, 1994).

Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang paling besar dan berupa rongga
berbentuk piramid (gambar 1). Dasar piramid terletak pada permukaan medial dan membentuk
dinding lateral rongga hidung. Apeknya meluas ke lateral arah prosesus zigomatikus maksilaris.
Dinding sebelah atas atau atap dari sinus merupakan dasar orbita. Dinding posterior meluas
sepanjang maksila dan turun ke arah tuber maksila. Sebelah anterior dan lateral dari sinus meluas
ke regio gigi kaninus atau premolar membentuk fosa kanina. Dasar dari sinus membentuk dasar
prosesus alveolaris. Pada orang dewasa panjang anteroposterior rata-rata 34 mm, tinggi 33 mm,
dan lebar 23 mm. Sedangkan volumenya kira-kira 15 cc. Antrum berhubungan dengan rongga
hidung melalui ostium pada dinding lateral hidung dibawah concha nasalis medialis (Pedersen,
1988; Dym, 2001; Peterson, 2003).

Gambar 1. Anatomi Sinus Maksilaris (Putz & Pabst, 1997; Dym, 2001; Pedersen, 1988; Peterson,
2003)
4

Sinus yang sehat dikelilingi oleh epitelium respiratori yang kolumnar, bersilia dan
pseudo-stratifikasi. Epitelium ini melekat erat terhadap periosteum. Glandula mukus dan serus
tambahan terdapat dalam submukosa dan memberikan selimut mukus yang melapisi epitelium
(Dimitroulis, 1997; Pedersen, 1988).

Mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa rongga hidung yaitu epitel torak bertingkat semu
bersilia yang mengandung sel-sel goblet. Mukosa ini berperan sebagai pertahanan terhadap
infeksi melalui dua hal yaitu produksi lendir dan daya pembersihan silia (Hilger, 1997).

Infudibulum etmoid adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berada tepat sesudah
ostium sinus maksilaris. Pembengkakan infudibulum yang sempit misalnya akibat radang atau
alergi dapat mengganggu drainase sinus maksilaris dan menyebabkan sinusitis.

Sinus maksilaris dipersarafi oleh cabang kedua nervus Trigeminus, n.palatinus mayor,
n.nasalis posterolateral, dan n.alveolaris superior cabang n.infraorbitalis. Suplai darah diperoleh
dari arteri etmoidalis anterior untuk bagian atas sinus, arteri sfenopalatinus untuk bagian medial,
arteri infraorbitalis untuk dinding anterolateral dan arteri alveolaris superior untuk dinding
posterolateral sinus, disertai venanya masing-masing. Drainase limfatik berjalan melalui kelenjar
limfe submandibula dan retrofaringeal (Dimitroulis, 1997; Pedersen, 1988; Dym, 2001).

Fungsi utama sinus maksilaris adalah membantu melembabkan udara inpirasi pernafasan
dan mengurangi bobot tulang wajah. Sedangkan fungsi sekundernya adalah alat resonansi dan
modulasi suara (Dym, 2001).

Gambaran klinis mukosa sinus bervariasi tiap individu. Mukosa sinus dapat terlihat mulai
dari warna merah muda sampai kebiru-biruan.Umumnya mukosa sinus merupakan lapisan tipis
seperti kertas tissue basah (Charles A.Babbush,2005).

III. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI TEKNIK SINUS LIFTING

Indikasinya adalah ketinggian tulang yang tidak memadai di daerah posterior maksila
yang diakibatkan oleh ekspansi sinus maksilaris dan oleh adanya proses atrofi sehingga terjadi
pengurangan prosesus maksila yang akan dirawat dengan implant dental atau protesa yang
5

memerlukan dukungan tulang alveolar dan pada penderita dengan kualitas tulang yang tidak
adekuat. Ketinggian tulang 4-5 mm atau kurang termasuk indikasi untuk dilakukan sinus lifting
(Asbjorn Jokstad , 2008).

Kontra indikasi meliputi penderita dengan kelainan sistemik, akut atau kronis sinusitis
penyakit tulang, dan penyakit darah serta kebersihan mulut yang kurang baik, juga penderita yang
tidak kooperatif (Pascoal, 2000 ; Charles A.Babbush,2005 ; Karl-Erik Kahnberg,2005).

IV. TEKNIK PEMBEDAHAN

Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam teknik ini adalah menjaga keutuhan dari
mukosa sinus. Sebagaimana yang telah diketahui jika ada ada partikel yang menembus kavitas
dari sinus maksilaris, pada umumnya menyebabkan reaksi inflamasi dan berakibat pada
hilangnya bahan graft diaplikasikan, bahkan pada kasus dimana bone graft dan implant langsung
dilakukan pada saat yang sama kegagalan dari implant dapat terjadi. Kondisi dari sinus
maksilaris yang mengalami inflamasi harus ditangani terlebih dahulu sebelum dilaksanakan
prosedur sinus lifting. Dalam pelaksanaan mungkin dapat terjadi perforasi dari mukosa sinus.
Jika terjadi perforasi, hal yang paling penting dilakukan adalah menjaga dan mencegah bone
graft agar tidak bergerak dan masuk kedalam sinus dengan pemberian membrane. Jika hal
tersebut tidak dapat atau sulit dilakukan sebaiknya prosedur dihentikan (Karl-Erik Kahnberg, 2005;
Charles A.Babbush, 2005).

4.1 TEKNIK TRANSALVEOLAR OSTEOTOME SINUS LIFTING

Summers (1994) memperkenalkan teknik osteotome sinus elevation dengan transcrestal


approach. Sejak saat itu berkembang berbagai macam teknik dengan cara memodifikasi teknik
yang diketemukan oleh Summers seperti: crestal bone core elevation oleh Toffler 2001,
hydraulic sinus floor elevation oleh Chen and Cha 2005, balloon sinus floor elevation oleh Kfir
2007 (Asbjorn Jokstad, 2008).
Pembedahan teknik transalveolar osteotome sinus lifting:
1. Pasien kumur-kumur chlorhexidin 0,1% selama kurang lebih 1 menit.
6

2. Lokasi anestesi pada daerah bukal dan palatal.


3. Insisi di bagian tengah alveolar dengan full-thickness mucoperiosteal flap.
4. Posisi implant ditentukan dengan surgical stent atau clipper kemudian penandaan
dengan round bur ukuran setengah millimeter.
5. Osteotome diawali dengan nomor kecil dan menggunakan palu osteotome .

Gambar 2. Instrumen Osteotome yang digunakan pada teknik transalveolar osteotome


(Pjetursson, 2008).

6. Setelah sisa tulang terangkat dan mukosa sinus terdorong dengan alat osteotome
dilakukan valsava manuver (blow test) (Gambar 3).

Gambar 3. Valsava manuver (blow test) untuk mengetahui mukosa sinus tidak perforasi
(Pjetursson, 2008).

7. Pemadatan bahan bone graft tulang dengan alat osteotome


7

8. Pemasangan dental implant


9. Flap ditutup dengan jahitan interrupted dan dibiarkan selama 7-10 hari

Gambar 4. Skema transalveolar osteotome teknik (Pjetursson, 2008).

Gambar 5. Osteotome teknik (Karl-Erik Kahnberg, 2005)

Teknik ini memiliki resiko kemungkinan terjadinya fraktur tulang pada dasar sinus dan
robeknya mukosa sinus

4.2 TEKNIK LATERAL WINDOW SINUS LIFTING


8

Pembedahan dengan teknik sinus lifting dilakukan dengan menggunakan prosedur


modifikasi Caldwell-Luc, dan dapat dilakukan dibawah anestesi umum maupun anastesi lokal.
Insisi pada vestibular sekitar 3 cm (flap trapesium) dibuat mulai dari gigi kaninus atas sampai
premolar kedua. Insisi diusahakan berada pada tulang yang solid dan tidak berada diatas antral
sinus.

Selanjutnya dengan menggunakan periosteal elevator dibuat flap mukoperiosteal. Flap


mukoperiosteal dipisahkan dengan jaringan tulang untuk mendapatkan pandangan ke permukaan
maksila. Selanjutnya dibuat window dengan mengambil dinding depan tulang maksila untuk
mencapai rongga sinus dan memudahkan inspeksi dan akses langsung ke lubang sinus
maksilaris (gambar 6).

Gambar 6. Skema teknik lateral window sinus lifting (Pjetursson, 2008).

Kemudian batas pemotongan tulang terletak antara 2 - 4 mm diatas dasar sinus. Dengan
menggunakan bor bundar dilakukan pemotongan dengan irigasi sampai batas membran antrum
yang berwama abu-abu. Window dibuat agak lebar untuk akses ke mukosa sinus.
Mukosa/membran dilepaskan untuk tempat bahan transplantasi (Gray, 1999).
9

Selanjutnya dilakukan pemadatan bahan transplantasi dan defek ditutup dengan membrane
penutup yang bisa diresorbsi. Flap ditutup dengan jahitan interrupted dan dibiarkan selama 7-10
hari (Pascoal, 2000).

Perkembangan menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir adalah dengan penggunaan


Piezoelectic surgery pada osteotomi lateral window. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh
Vercellotti pada tahun 2001 di Eropa. Piezoelectric surgery merupakan ultrasonic dengan
kecepatan rendah (30kHz), hanya dapat memotong jaringan keras, sehingga mengurangi
komplikasi intraoperasi seperti perdarahan dan perforasi membran sinus (Asbjorn Jokstad, 2008).

Gambar 7. Piezoelectic surgery (Asbjorn Jokstad , 2008).

4.3 KRITERIA KEBERHASILAN


10

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implant adalah bila secara klinis tidak
terlihat adanya tanda dan gejala inflamasi, ketidaknyamanan dan perubahan sensasi, tahan lama
dan mampu menahan daya yang diterima, tidak ada kerusakan jaringan sekitarnya serta tidak
adanya gambaran radiolusen yang progresif pada jaringan tulang sekitar. Juga meliputi ketebalan
tulang alveolar, keadaan membran sinus dan tipe implant yang dipilih (Kurokawa dkk, 2002).

4.4 KOMPLIKASI

Komplikasi yang bisa terjadi pada teknik sinus lifting adalah infeksi yang akan
menyebabkan kegagalan dan kehilangan tulang donor. Tidak bersatunya tulang donor dengan
tulang resipien yang akan mengakibatkan tulang donor lama-kelamaan hilang dan diresorbsi serta
hematom .

V. KESIMPULAN

Teknik lateral window dan transalveolar osteotome sinus lifting dapat digunakan untuk
/kasus ketinggian tulang yang tidak memadai di daerah posterior maksila yang diakibatkan oleh
ekspansi sinus maksilaris dan oleh adanya proses atrofi sehingga terjadi pengurangan prosesus
maksila untuk persiapan pemasangan dental implant. Graft dibiarkan dalam waktu antara 6- 9 bulan.
Penempatan implant sebaiknya ditunda jika kestabilan tidak dapat dipenuhi. Hal ini dilakukan untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
11

Asbjorn Jokstad . 2008. Osseointegration and Dental Implants. Iowa.Wiley-Blackwell

Block MS. 2001. Maxillary sinus grafting. Dalam: Color Atlas of Dental Implant
Surgery. Saunders Company. Toronto. h.83-96

Boyne, PJ. 2005. De novo bone induction by recombinant human bone morphogenetic protein-2
(rhBMP-2) in maxillary sinus floor augmentation. J Oral Maxillofac Surg 2005;63:1693-
1707

Charles A. Babbush. 2005. Dental Implant, The Art and Science. Toronto. WB Saunders
Company

Dimitroulis G. 1997. A Synopsis of Minor Oral Surgery. Boston: Linacre House. h.99-105.

Dym H, Ogle OE. 2001. Atlas of Minor Oral Surgery. Philadelphia: WB. Saunders Co. h.126-9.

Gray CF, Redpath TW, Smith FW, Staff RT, Bainton R. 1999. Assesment Of The Sinus Lift
Operation By Magnetic Resonance Imaging. Br J Oral Maxillofac Surg. 37, 285 – 289.

Hilger PA. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam GL. Adams et al: Boeis Buku
Ajar Penyakit THT, alih bahasa; C. Wijaya. 6thed, Jakarta:EGC. h.173-89.

Karl-Erik Kahnberg. 2005. Bone Grafting Techniques for Maxillary Implants.Oxford. Blackwell
Munksgaard
Kurokawa H. 2002. Evaluation of A Modified Method for Maxillary Sinus Surgery-
Reimplantation of The Anterior Bony Wall of The Maxillary Sinus. Asia J Oral Maxillofac
Surg. 3, 144 - 147.

McGlumphy EA, Larsen PE. 2003. Contemporary Implant Dentistry Contemporary Oral and
Maxillofacial Surgery. 4thed. St.Louis-Mosby.

Million R, Cassisi NJ. 1994. Management of Head and Neck Cancer A Multidiciplinary
Approach. 2nded, Philadelphia: J.B. Lippincott Co. h.551-96.

Pascoal AJ. 2000. Bone Grafting and Maxillary Sinus Augmentation. The online Journal of
Dentistry and Oral Medicine. www.epub.org.br/ojdom/vol()3n03/casol7/.graft.htm.
12

Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Alih Bahasa : Purwanto. Jakarta; EGC.
h.266-70

Peterson LJ. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4thed. St Louis: Mosby. h.417-
25

Pjetursson BI, Lang NP. 2008. Elevation of the maxillary sinus floor. Dalam:
Lindhe J, Karring T, Lang NP. Clinical Periodontology and Implant
Dentistry. 4 thEd. Blackwell company. Singapura. h.1099-118

Putz R, Pabst R. 1997. Sobota Atlas of Human Anatomy. Vol. 1, Baltimore: William Wilkins.

Stephen 5. Wallace, et all. 2005. Sinus Augmentation Utilizing Anorganic Bovine Bone (Bio-
Oss) with Absorbable and Nonabsorbable Membranes Placed over the Lateral Window:
Histomorphometric and Clinical Analyses. (Int J Penodontics Restorative Dent 2005; 25:
551-559.)

Anda mungkin juga menyukai