Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Hemodinamik merupakan dinamika aliran darah untuk memenuhi


kebutuhan jaringan. Hemodinamik yang tidak stabil sebagai tanda klinis,
merupakan manifestasi dari kegagalan perfusi yang disebut juga sebagai syok
sirkulasi. Tanda fisik dari kegagalan sirkulasi akut termasuk hipotensi, denyut
jantung abnormal, akral dingin, sianosis perifer dan penurunan urine output. (Weil,
2005)

Syok sirkulasi disebabkan oleh berbagai mekanisme patologik yang dipicu


oleh kondisi traumatik atau non traumatik. Kondisi non-traumatik yang dapat
menyebabkan gangguan hemodinamik seperti dehidrasi, perdarahan non trauma
(ruptur varises esofagus) menyebabkan syok hipovolemi, faktor kardiogenik
(infark miokard akut, kardiomiopati tahap akhir, penyakit katup jantung,
miokarditis atau aritmia jantung) menyebabkan syok kardiogenik, emboli paru
menyebabkan syok obstruktif dan faktor distributif (sepsis berat atau reaksi
anafilaktik) menyebabkan syok distributif. (Vincent & Backer, 2013)
Berdasarkan studi yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandous
(Takaendengan,
didapatkan kasus non trauma yang datang ke IGD sebanyak 70.13%.
Wowiling, & Wagiu, 2016)
Resusitasi yang efektif di instalasi gawat darurat memerlukan
identifikasi dan koreksi sirkulasi inadekuat yang cepat sebelum terjadi kerusakan
organ lebih lanjut dan ireversibel.(4) Oleh karena uraian diatas maka penulis
tertarik mengenai penanganan pasien non traumatik dengan hemodinamik tidak
stabil di instalasi gawat darurat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP KERACUNAN
A. Pengertian Keracunan
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara
yang menghambat respon pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian.
Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada
kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan
keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan
dan hewan. Beberapa contoh keracunan antara lain keracunan obat dan zat kimia,
gigitan ular dan serangga, dan keracunan gas.

B. Etiologi
Sumber racun bermacam-macam seperti polusi limbah industri yang
menggandung logam berat, bahkan makanan yang terkontaminasi oleh kuman seperti
salmonella, sthapilococcus clostridiumbotulinum, jamur beracun. Begitupula
berbagaimacam obat jika diberikan melampaui dosis normal, tidak menyembuhkan
penyakitnya melainkan memberikan efek samping yang merupakan racun bagi
tubuh.
1. Keracunan singkong
2. Keracunan jamur beracun
3. Keracunan bahan makanan yang terkontaminasi
4. Keracunan kerang dan ikan laut
5. Keracunan limbah gas dan partikel
6. Keraunan sekantan lebah
7. Keracunan gigitan ular

C. Patofisiologi
Makanan yang kita konsumsi dalam keseharian bermacam-macam baik ragam
maupun jenis makanan itu. Makanan yang sehat dapat dikatakan makanan yang
layak untuk tubuh dan tidak menyebabakan sakit, baik seketika maupun mendatang.

2
Dalam mengkonsumsi makanan perlu diperhatikan tentang kebersihan makanan,
kesehatan, serta zat gizi yang terkandung didalam makanan tersebut. Hendaknya kita
harus pandai dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi supaya makanan
tersebut bebas dari zat-zat yang dapat merusak tubuh seperti toksik atau racun.
Makanan yang telah terkontaminasi toksis atau zat racun sampai dilambung, lalu
lambung akan meyadakan perlawanan sebagai adaptasi pertahanan diri terhadap
benda atau zat asing yang masuk kedalam lambung dengan gejala mual, lalu
lambung akan berusaha membuang zat tersebut dengan cara memuntahkannya.
Karena seringnya muntah maka tubuh akan mengalami dehidrasi akibat banyaknya
cairan tubuh yang keluar dengan muntahan. Karena dehidrasi yang tinggi maka lama
kelamaan tubuh akan lemas dan banyak menggeluarkan keringat dingin. Banyaknya
cairan yang keluar, terjadinya dehidrasi, dan keluarnya keringat dingin akan
merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk mempertahankan homeostasis tubuh
dengan terjadinya rasa haus. Apabila rasa haus tidak segera diatasi maka dehidrasi
berat tidak dapat dihindari, bahkan dapat menyebabkan pingsan sampai kematian

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari keracunan bergantung pada agen yang teringestis. Berikut
ini adalah beberapa contoh :
1. Mual
2. Takikardi / bradikardi
3. Salifasi
4. Pupil berdilatasi
5. Diare
6. Asidosis metabolic
7. Hipertermi / hipertermia
8. Kejang
9. Letargi
10. Mulut kering
11. Stupor
12. Delirium
13. Koma

3
E. Komplikasi
1. Henti nafas
2. Henti jantung
3. Krosi eshofagus / trakea jika subtansi penyebab teringesti
4. Syok, sindrom gawat pernafasan akut
5. Edema serebral, konfulsi

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan lengkap ( urin, gula darah, cairan
lambung, analisa gas adarah, darah lengkap, osmolalitas serum, elektrolit, pupuk urea
N, kreatinin, glukosa, trasaminase hati), EKG, foto toraks / abdomen, skrining,
toksikologi untuk kelebihan dosis obat, testoksikologi kuantitatif

G. Penatalaksanaan
1. Rangsangan muntah pada keracunan hidro karbon masih merupakan kontrofersi
karena bahaya terjadinya aspirasi pneumonia, karena itu rangsang muntah tidak
dianjurkan pada keracunan hidrokarbon, kecuali bila yang ditelan cukup banyak
1 ml /kg BB atau bila hidrokarbon yang ditelan tercampur atau merupakan
bahan pelarut dari bahan beracun yang berbahaya seperti pada pestisida maka
rangsangan muntah atau kumbah lambung harus segera dilakuakan denga
perlindungan jalan nafas.
2. Pemberian oksigen kalau ada tanda-tanda distres nafas atau kalau berat bisa
dilakuakan intubasi dan pemberian nafas buatan dengan fentilator.
3. Antibiotika pemberian antibiotika masih merupakan kontrofersi pada keracunan
hidro karbon antibiotika diberikan bila keadaan penderita memang sangat berat,
membutuhkan bantuan pernafasan dengan alat atau anak-anak
immunocompromized.

4
II. Fisiologi Hemodinamik
A. Pengertian Hemodinamik

Hemodinamik merupakan dinamika aliran darah untuk memenuhi kebutuhan


jaringan. Kestabilan hemodinamik dipengaruhi oleh delapan sistem yang saling
berhubungan, adanya gangguan pada salah satu sistem dapat menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik. (Weil, 2005)
1. Aliran darah balik (venous return) menuju jantung kanan atau preload
2. Kontraktilitas otot jantung, termasuk denyut jantung dan ritme yang menentukan
volume sekuncup dan curah jantung terkait denyut jantung dan ritme
3. Tahanan arteriolar (prekapiler) yang merupakan afterload jantung
4. Sirkuit kapiler yang merupakan tempat perpindahan substrat
5. Tahanan venular (postkapiler) yang berperan penting sebagai pengontrol tekanan
hidrostatik kapiler
6. Pirau arteri vena pada lokasi dan keadaan tertentu
7. Kapasitas vena yang pada keadaan syok akan bertambah luas untuk menyimpan
sejumlah besar darah ketika terjadi penurunan preolad dan curah jantung
8. Terakhir, aliran darah sistemik menurun kapanpun ada sumbatan pada aliran
darah misal karena emboli paru atau diseksi aorta.

Gambar 2.1 Lokasi yang mempengaruhi hemodinamik (Weil, 2005)


Curah jantung merupakan hasil kali dari volume sekuncup dengan denyut
jantung, volume sekuncup merupakan volume darah yang dipompakan oleh jantung
menuju sirkulasi sistemik, sebanyak lebih kurang 70 mL darah dipompakan jantung

5
orang dewasa, volume sekuncup dipengaruhi oleh kontraktilitas miokard dan aliran
balik vena, kondisi patologis seperti kekurangan volume darah akibat perdarahan,
dehidrasi menyebabkan penurunan volume darah sehingga menurunkan aliran balik
vena sehingga menurunkan curah jantung (syok hipovolemik). Infark miokard, gagal
jantung menyebabkan menurunnya kontraktilitas miokard sehingga menurunkan
curah jantung yang dapat berujung ke pada keadaan syok (syok kardiogenik). (Sherwood,
2012)

Denyut jantung normal berkisar antara 60 sampai 100 kali permenit, denyut
jantung dipengaruhi oleh akitifitas saraf simpatis dan parasimpatis, saraf simpatis
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan parasimpatis memperlambat denyut
jantung, adanya gangguan dalam sistem konduksi jantung dapat menyebabkan
gangguan irama jantung (aritmia) berupa bradikardi (denyut jantung <60 kali
permenit) atau takikardi (>100 kali permenit), gangguan sistem konduksi dapat
disebabkan oleh beberapa kelainan seperti, ketidakseimbangan elektrolit dan
hormonal, infark miokard, atau gagal jantung. Gangguan denyut jantung yang berat
dapat mempengaruhi curah jantung, misal aritmia berat dalam bentuk ventrikular
takikardi dapat menjadi masalah karena denyut jantung yang sangat cepat
mengakibatkan ketidak seimbangan antara waktu sistol dan diastol sehingga volume
sekuncup yang dihasilkan tidak adekuat. (Sherwood, 2012)

Gambar 2.2 Faktor tekanan darah (Sutedjo, 2007)


Resistensi perifer merupakan tahanan pada pembuluh darah periferi yang
dipengaruhi tonus arteri dan arteriol serta elastisitas dinding pembuluh darah selain
itu viskositas darah juga memengaruhi resistensi perifer, viskositas darah

6
dipengaruhi oleh molekul zat zat terlarut pada darah. (Sherwood, 2012; Sutedjo,
2007)

B. Gangguan Hemodinamik
Ketidakstabilan hemodinamik merupakan suatu keadaan terjadinya kegagalan
perfusi yang menunjukkan gejala klinis berupa syok sirkulasi dan atau gagal jantung
lanjutan, atau terdapat satu atau lebih abnormalitas hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital namun nilai-nilai tersebut tidak selalu bersifat patologis. Tanda-tanda fisik
kegagalan sirkulasi akut merujuk pada gejala syok diantaranya hipotensi, frekuensi
denyut nadi yang tidak normal, ekstremitas dingin, sianosis perifer, serta penurunan
urin output. (Weil, 2005)
Secara patofisiologi, gangguan hemodinamik dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi berupa transpor oksigen ke jaringan atau perfusi yang tidak adekuat
sehingga terjadilah syok. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan
tahanan vaskuler sistemik terutama di arteri, berkurangnya aliran darah balik,
penurunan pengisian ventrikel, serta penurunan curah jantung. (Hardisman, 2013)
Mekanisme kompensasi akan diaktifkan sebagai respon terhadap hipoperfusi
jaringan. Sistesm saraf otonom adrenergik akan segera teraktivasi dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah vena. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
peningkatan preload. Sementara itu vasokonstriksi seluruh pembuluh darah arteri
dapat mempertahankan tekanan darah arteri dan dan memaksimalkan kontraktilitas
miokardium. Mekanisme ini berfungsi untuk mengoptimalkan cardiac output serta
memelihara perfusi arteri koroner dan otak agar adekuat. Maka dari itu pada fase
awal syok akan ditandai dengan takikardi. (Graham & Parke, 2005)
Hipotensi akan terjadi ketika tidak terjadi lagi mekanisme kompensasi atau
ketika sistem saraf otonom tidak dapat berespon dengan baik. Hal ini dapat terjadi
akibat pengaruh usia lanjut, obat-obatan (β blocker), neuropati otonom, atau
insufisiensi adrenal. Pengisian jantung yang kurang pada keadaan hipovolemia berat
akan menyebabkan respon takikardi berubah menjadi bradikardi. Syok yang terus
berlanjut akan menyebabkan sel dan jaringan menjadi iskemik dan terjadi
metabolisme anaerob. Asidosis laktat akan menstimulasi mekanisme kompensasi
yaitu hiperventilasi. (Graham & Parke, 2005)

7
Syok disebabkan oleh 4 faktor mekanisme patologis, dehidrasi, perdarahan non
trauma (ruptur varises esofagus) menyebabkan syok hipovolemi, faktor kardiogenik
(infark miokard akut, kardiomiopati tahap akhir, penyakit katup jantung, miokarditis
atau aritmia jantung) menyebabkan syok kardiogenik, emboli paru menyebabkan
syok obstruktif dan faktor distributif (sepsis berat atau reaksi anafilaktik)
menyebabkan syok distributif (shock sirkulasi).
Mekanisme dari syok hipovolemik, kardiogenik, dan obstruktif ditandai oleh
curah jantung yang rendah sehingga transport oksigen menjadi tidak adekuat. Pada
syok distributif, defisit utama terletak pada perifer dengan penurunan tahanan
pembuluh darah sistemik, dan gangguan ekstraksi oksigen. Sehingga pada beberapa
kasus curah jantung tinggi, walaupun dapat juga rendah sebagai efek depresi
miokardial. Pasien dengan kegagalan sirkulasi akut memiliki kombinasi dari
mekanisme tersebut. Misalnya, pasien dengan syok distributif dari pankreatitis berat,
anafilaksis, atau sepsis mungkin juga mengalami syok hipovolemia dan kardiogenik
dari depresi miokard.
a. Syok Hipovolemik
Penurunan volume intravaskular dapat menyebabkan syok hipovolemik karena
kehilangan darah atau cairan. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. (Weil, 2005; Hardisman, 2013)
b. Syok Kardiogenik
Terjadi akibat gangguan kontraktilitas miokardium, sehingga jantung gagal
berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat.
Gangguan ini dapat terjadi pada saat sistolik atau diastolik atau dapat terjadi
akibat obstruksi pada sirkulasi jantung. (Leksana, 2015)
c. Syok Distributif
Terjadi apabila terdapat gangguan vasomotor akibat gangguan distribusi aliran
darah karena vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang bersirkulasi tidak
adekuat untuk menunjang perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer dapat
menyebabkan hipovolemia. Beberapa syok yang termasuk ke dalam syok
distributif adalah sebagai berikut: (Leksana, 2015)

8
C. Penilaian Klinis pada Pasien dengan Hemodinamik Tidak Stabil
Diagnosis ketidakstabilan hemodinamik dapat ditegakkan berdasarkan tanda-
tanda klinis, hemodinamik, dan biokimia. Tanda-tanda klinis syok adalah hipotensi
yang berkaitan dengan penurunan perfusi jaringan yang dapat tervisualisasi melalui
tiga aspek. Pertama yaitu perfusi perifer (kulit teraba dingin, basah, biru, atau pucat),
perfusi ginjal (penurunan urin output <0,5 ml/kgBB/jam), dan perfusi ke otak
(penurunan status mental). (Cecconi, Backer, & Antonelli, 2014)
Pemeriksaan fisik dapat menilai hemodinamik secara cepat dan minimal invasif.
Pasien yang sadar dan dapat berbicara dengan baik merupakan suatu indikator
perfusi ke otak masih baik. Pasien dengan keluhan nyeri dada iskemik menandakan
terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen ke miokardium
(McCanny, Colreavy, & Bakker, 2013)
Hal utama yang paling penting dilakukan dalam menilai ketidakstabilan
hemodinamik adalah identifikasi mekanisme utama penyebab syok (hipovolemik,
kardiogenik, obstruktif, atau distributif). Perlu dipikirkan penyebabnya apakah
trauma, infeksi, nyeri dada, dan sebagainya, serta evaluasi klinis yang dapat
menentukan jenis syok. Namun pada situasi yang kompleks seperti cardiac
tamponade pada pasien trauma atau syok septik pada pasien gagal jantung kronik,
diagnosis dapat menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, pemeriksaan tambahan perlu
dilakukan terutama pada pasien dengan komorbiditas. (Cecconi, Backer, &
Antonelli, 2014)
Syok distributif biasanya ditandai dengan peningkatan cardiac output. Syok
hipovolemik berhubungan dengan penurunan tekanan darah, sedangkan pada syok
kardiogenik tekanan darah dapat meningkat. Syok obstruktif beruhubungan dengan
peningkatan tekanan arteri pulmonal dan dilatasi ruang jantung kanan. (Cecconi,
Backer, & Antonelli, 2014) Metode penilaian klinis untuk mengevaluasi
ketidakstabilan hemodinamik yang umum dilakukan adalah pemeriksaan tanda-tanda
vital dan perfusi organ spesifik seperti capillary refill time dan urin output. Tanda-
tanda vital secara umum digunakan untuk menentukan triase, pengaktifan tim
emergensi medis, dan juga sebagai komponen sistem penilaian tingkat keparahan
suatu penyakit. (Sevransky, 2009) Akan tetapi, penilaian tanda-tanda vital saja tidak
dapat mengenali syok. Hal ini dikarenakan interaksi antara sistem saraf otonom
simpatis dan parasimpatis dapat mempengaruhi frekuensi denyut nadi baik itu

9
normal, meningkat, ataupun menurun. Syok tidak dapat disingkirkan atas dasar
tanda-tanda vital yang normal saja. (Graham & Parke, 2005)

Gambar 2.4 Tanda syok sirkulasi (Vincent & Backer, 2013)

a. Frekuensi Denyut Nadi


Adanya perubahan pada frekuensi denyut nadi dapat menjadi suatu tanda
awal ketidakstabilan hemodinamik. Walaupun terdapat berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi frekuensi denyut nadi (demam, aktivitas fisik, obat-
obatan, dan status hormon tiroid), peningkatan frekuensi denyut nadi
merupakan tanda yang sering muncul akibat tingginya kadar katekolamin
endogen, kehilangan darah, atau dehidrasi. Sehingga peningkatan atau
penurunan frekuensi denyut digunakan sebagai suatu kriteria untuk
mengaktifkan tim emergensi medis. Akan tetapi, peningkatan atau penurunan
frekuensi denyut nadi bersifat sensitif tetapi tidak spesifik untuk
mendiagnosis ketidakstabilan hemodinamik. (Sevransky, 2009)

10
b. Frekuensi Napas
Frekuensi napas telah dimasukkan pada sebagian besar sistem penilaian
keparahan penyakit dan merupakan suatu kriteria diagnostik untuk gagal
napas akut dan memulai pengaktifan tim emergensi. Walaupun frekuensi
napas dapat menjadi informasi yang berguna mengenai keparahan penyakit,
namun masih kurang adekuat dalam hal spesifisitas dan sensitivitas sebagai
uji diagnostik ketidakstabilan hemodinamik. Perubahan frekuensi napas dapat
lebih berguna sebagai marker respon terapi. (Sevransky, 2009)

c. Tekanan Darah
Tekanan darah yang adekuat dibutuhkan untuk memelihara perfusi organ
yang memiliki mekanisme autoregulasi seperti otak dan ginjal. Oleh karena
itu, tekanan darah atau tekanan arteri rata-rata merupakan indikator yang
penting untuk penyakit kritis atau ketidakstabilan hemodinamik. Tekanan
darah sistolik <90 mmHg atau menurun sebesar >40 mmHg merupakan suatu
kriteria diagnostik untuk sepsis berat dan syok septik. Nilai (mean arterial
pressure) MAP <65 mmHg dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas pada
pasien dengan syok septik. (Sevransky, 2009)

d. Temperatur
Temperatur yang ekstrim dapat menggambarkan suatu kondisi klinis yang
tidak stabil dan temperatur merupakan salah satu komponen penting dalam
menentukan derajat keparahan penyakit. Namun temperatur bukan
merupakan indikator yang spesifik untuk ketidakstabilan hemodinamik,
seperti pada sepsis berat dapat terjadi hipertermia. Selain itu, temperatur kulit
dan ekstremitas dapat berhubungan dengan cardiac output. (Sevransky, 2009)
Penilaian temperatur kulit dapat dilakukan dengan menggunakan
permukaan dorsal tangan pemeriksa atau jari. Hal ini karena area tersebut
paling sensitif dalam menggambarkan temperatur. Dikatakan ekstremitas
dingin apabila seluruh ekstremitas yang diraba oleh pemeriksa teraba dingin
atau hanya ekstemitas bawah saja meskipun ekstremitas atas hangat tanpa
adanya penyakit vaskular. (Lima & Bakker, 2005)

11
e. Capillary Refill Time (CRT)
CRT sering digunakan untuk menilai derajat ketidakstabilan hemodinamik
pada pasien di IGD maupun ICU. Dijelaskan bahwa adanya keterlambatan
kembalinya warna normal kulit setelah pengosongan kapiler dengan
melakukan penekanan diakibatkan oleh penurunan perfusi perifer. Nilai CRT
<2 detik dianggap normal, namun nilai CRT dapat dipengaruhi oleh usia dan
jenis kelamin. Pada anak-anak dan dewasa muda, nilai normal CRT adalah 2
detik, sedangkan pada perempuan dewasa nilai normal CRT lebih panjang
yaitu 2,9 detik serta pada lanjut usia adalah 4.9 detik. Oleh karena terdapat
variasi nilai normal CRT, adanya pemanjangan nilai CRT tidak dapat
memprediksi kehilangan 450 ml darah pada orang dewasa pendonor atau
pasien dengan hipovolemik yang datang ke IGD. (Sevransky, 2009; Lima &
Bakker, 2005)
f. Urin Output
Oliguria meupakan suatu tanda hipoperfusi yang spesifik yaitu perfusi
renal atau cardiac output yang tidak adekuat. Urine output berguna untuk
evaluasi terapi cairan dalam meningkatkan cardiac output dan telah menjadi
marker perfusi pada banyak percobaan klinis. Sebuah konsensus terbaru
merekomendasikan target urin output pada pemberian terapi adalah 0,5
ml/kgBB/jam. (Sevransky, 2009)
g. Elektrokardiografi
Takiaritmia merupakan suatu tanda yang biasa ditemukan pada keadaan
hipoperfusi. Pemasangan EKG 12 sandapan dapat dilakukan untuk menilai
irama jantung dan untuk meilihat segmen ST dan gelombang T. Pemantauan
segmen ST beserta perubahan lainnya dapat mengenali iskemik miokardium
secara dini. (McCanny, Colreavy, & Bakker, 2013)
h. Tekanan Darah Arteri
Walaupun penilaian tekanan darah noninvasif bersifat akurat dalam menilai
ketidakstabilan hemodinamik, penting untuk melakukan pemantauan secara
invasif. Area kateterisasi yang biasa dilakukan adalah pada arteri radialis,
meskipun juga dapat dilakukan pada arteri femoralis, arteri brakialis, dan
arteri aksilaris. (Bailey, 2003)

12
Penilaian tekanan darah arteri merupakan suatu landasan penilaian
hemodinamik. Interpretasi tekanan darah arteri yang rendah pada pasien
bergantung tekanan arteri pasien tersebut sehari-hari. MAP dapat
memperkirakan tekanan perfusi organ. Ketika stroke volume menurun, MAP
dapat dipertahankan dengan meningkatkan frekuensi denyut nadi atau tonus
vasomotor perifer. Sedangkan peningkatan tekanan arteri terutama dalam
keadaan akut berhubungan dengan peningkatan resistensi vaskular dan
gangguan perfusi jaringan. (McCanny, Colreavy, & Bakker, 2013)

i. Pemeriksaan Laboratorium
Asidosis metabolik pada keadaan syok sirkulasi menandakan terjadinya
kelebihan ion hidrogen ketika ambang metabolisme anaerob sudah terlewati.
Lebih tepatnya, mekanisme ini terjadi akibat terjadinya perubahan
metabolisme aerob menjadi anaerob melalui siklus asam trikarboksilat. Oleh
karena itu, kadar laktat arteri merupakan indikator spesifik untuk konsekuensi
metabolik akibat kegagalan perfusi dan lebih spesifik lagi kegagalan oxygen
delivery akibat anaerobiosis. Nilai ambang batas laktat arteri adalah 2 mEq/L
(atau mmol/L), namun pada keadaan syok septik, nilai laktat arteri >1,5
mmol/L dapat meningkatkan mortalitas. (Weil, 2005; Cecconi, Backer, &
Antonelli, 2014)
D. Penatalaksanaan
Dukungan hemodinamik yang adekuat pada pasien dalam syok sangat penting
untuk mencegah disfungsi atau kegagalan organ. Resusitasi harus dimulai bahkan
ketika investigasi akan penyebab sedang dilakukan. Ketika sudah ditemukan,
penyebab harus dikoreksi secara cepat (misal intervensi koroner perkutan untuk
sindrom koroner akut, trombolisis atau embolektomi untuk emboli paru masif, dan
pemberian antibiotik dan source control untuk syok sepsis) (Vincent & Backer,
2013)
Kateter arteri harus dipasang untuk monitoring tekanan darah arteri dan sampel
darah, ditambah kateter vena sentral untuk pemberian cairan dan agen vasoaktif dan
untuk memandu terapi cairan. Manajemen awal pada syok berorientasi dari masalah
penyebab dan tujuannya sama walau berbeda penyebabnya dan cara untuk
mencapainya. Komponen penting resusitasi haruslah memenuhi kriteria VIP

13
(Ventilate (pemberian oksigen) – Infused (resusitasi cairan) – Pump (pemberian agen
vasoaktif). (Vincent & Backer, 2013)

Dukungan ventilasi
Pemberian oksigen harus dimulai segera untuk meningkatkan penghantaran
oksigen dan mencegah hipertensi pulmonar. Pulse oksimetri kurang handal karena
vasokontriksi perifer dan untuk menentukan kebutuhan oksigen lebih baik dengan
monitoring gas darah.
Ventilasi dengan mask memiliki keterbatasan dalam tatalaksana syok karena
kegagalan teknis dapat menyebabkan cardiac arrest. Sehingga intubasi endotrakeal
harus dilakukan untuk menyediakan jalan ventilasi mekanik pada pasien dengan
sesak napas berat, hipoksemia, atau asidemia persisten (pH <7.30). Ventilasi
mekanik invasif memiliki keuntungan tambahan seperti menurunkan kebutuhan
oksigen dari otot respirasi dan menurunkan afterload ventrikel kiri dengan
meningkatkan tekanan intrathorakik. Penurunan cepat tekanan arterial setelah
pemasangan ventilasi mekanik invasif menunjukkan adanya hipovolemia dan
penurunan aliran balik vena. Penggunaan agen sedatif harus dengan dosis minimum
untuk menghindari penurunan lebih jauh tekanan arterial dan curah jantung. (Weil,
2005)

Resusitasi cairan
Terapi cairan untuk memperbaiki aliran darah mikrovaskular dan meningkatkan
curah jantung merupakan bagian dari tatalaksana bentuk syok apapun. Bahkan pasien
dengan syok kardiogenik bisa mendapatkan manfaat dari cairan, karena edema akut
dapat terjadi akibat penurunan volume intravaskular. Namun, pemberian cairan harus
dimonitor, karena bila berlebihan dapat meningkatkan risiko edema lebih berat.
(Vincent & Backer, 2013)
Batasan untuk resusitasi cairan sulit untuk didefinisikan. Secara umum, tujuan
terapi cairan untuk curah jantung adalah membuat jantung tidak tergantung preload
(pada bagian plateau kurva frank-sterling), namun hal ini sulit dinilai secara klinis
(Vincent & Backer, 2013)

14
Teknik challenge cairan harus digunakan untuk menentukan respon pasien
terhadap cairan sementara itu membatasi risiko dari efek samping. Teknik ini
memiliki 4 elemen sebagai berikut. Pertama, tipe cairan, kristaloid merupakan
pilihan pertama, karena diterima tubuh dengan baik dan harganya murah.
Penggunaan albumin untuk mengoreksi pasien hipoalbuminemia. Kedua, jumlah
pemberian cairan harus betul betul ditentukan. Cairan harus diberikan segera unuk
menginduksi respon cepat. Biasanya, cairan 300 – 500 ml diberikan selama periode
20 – 30 menit. Ketiga, tujuan cairan harus betul ditentukan. Pada syok, tujuannya
adalah untuk meningkatkan tekanan arteri sistemik, walaupun pemberiannya dapa
menurunkan denyut jantung atau meningkatkan produksi urin. Keempat, keamanan
harus ditentukan, edema paru merupakan komplikasi serius dari pemberian cairan.
Walaupun tidak ada pedoman yang sempurna, batas dalam tekanan vena sentral
beberapa milimeter air raksa diatas nilai baseline biasanya menjadi batas untuk
mencegah kelebihan cairan. (Vincent & Backer, 2013)
Resusitasi cairan agresif untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) lebih dari 8
mmHg merupakan standar dalam manajemen pasien dengan sepsis berat dan syok
sepsis. Namun beberapa uji coba klinis menunjukkan tidak ada perbaikan outcome
pada pasien sepsis dan syok sepsis. (Marik & Bellomo, 2016)
Pada pasien dengan syok sepsis dan sepsis berat, early goal directed therapy
(EGDT) memberikan manfaat signifikan dengan outcome baik. (EGDT). Namun
pada sebuah metaanalisis PRISM menyatakan EGDT tidak memberikan hasil lebih
baik pada outcome dibandingkan perawatan biasa dan berhubungan dengan tingginya
biaya perawatan rumah sakit. (Investigators, 2017)

15
Gambar 2.5 Protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) pada sepsis dan syok
sepsis berat (EGDT) (Investigators, 2017)

Agen vasoaktif
Vasopressor
Jika hipotensi berat atau menetap walau telah diberikan cairan maka hal
tersebut merupakan indikasi penggunaan vasoaktif. Pemberian vasopressor dapat
diberikan selagi pemberian cairan berjalan. Agonis adrenergik merupakan
vasopresor lini pertama karena onset cepat, potensi tinggi dan waktu paruh yang
singkat sehingga memudahkan penyesuaian dosis. Rangsangan pada tiap reseptor
adrenergik memiliki efek menguntungkan dan merugikan. Sebagai contoh
rangsangan beta adrenergik dapat meningkatkan aliran darah namun juga
meningkatkan risiko iskemi miokardium karena meningkatkan kebutuhan oksigen
jantung. (Vincent & Backer, 2013)
Norepinefrin dipertimbangkan sebagai vasopresor pilihan perama karena
merangsang alfa adrenergik namun memiliki efek sedikit pada beta adrenergik
yang membantu untuk menjaga curah jantung. Pemberian norepinefrin memiliki
efek signifikan pada tekanan arteri rerata, dengan perubahan sedikit pada denyut

16
atau curah jantun. Dosis biasanya 0.1 – 2.0 mikrogram perkilogram berat badan
per menit.
Dopamin memeiliki efek beta adrenergik dominan pada dosis rendah dan
efek alfa adrenergik pada dosis yang lebih tinggi, namun efeknya relatif lemah.
Perangsangan dopaminergik juga memiliki efek endokrin sehingga menyebabkan
imunosupresi, melalui penurunan produksi prolaktin.
Pada sebuah studi uji coba acak terkontrol double blind menunjukkan
dopamin tidak memiliki keuntungan lebih dibanding norepinephrin sebagai
vasopresor lini pertama; lebih lanjut, dopamin cenderung menimbulkan aritmia
dan berhubungan dengan peningkatan risiko kematian pasien dengan syok
kardiogenik dan sepsis. (Backer, Biston, & Devriendt, 2010)
Epinefrin memiliki efek dominan pada beta adrenergik dengan dosis rendah
dan alfa adrenergik pada dosis tinggi, epinefrin memiliki efek samping aritmia,
penurunan aliran darah splanik, dan peningkatan kadar laktat darah. Sehingga
(Backer, Biston, &
epinefrin digunakan sebagai lini kedua untuk kasus yang berat.
Devriendt, 2010)

Agen Inotropik
Dobutamin sebagai agen inotropik merupakan pilihan untuk meningkatkan
curah jantung, dan tidak terkait dengan pemberian norepinefrin. Dobutamin
memiliki efek beta adrenergik dominan. Dosis awal diatas 20 mikrogram per
kgBB per menit dapat meningkatkan curah jantung dan memberikan keuntungan
tambahan. Sebuah studi meta analisis mengevaluasi penggunaan inotrope dan
vasopressor untuk pasien kritis dan menemuan tidak ada hubungan dengan
perbedaan mortalitas pada keseluruhan populasi. (Belleti, Castro, & Silvetti,
2015)

Vasodilator
Dengan menurunkan afterload ventrikel, agen vasodilator dapat
meningkatkan curah jantung tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium.
Keterbatasan utama obat ini adalah risiko menurunnya tekanan arterial ke tingkat

17
yang mengancam perfusi. Namun pada beberapa pasien pengguanaan nitrat dapat
memperbaiki perfusi mikrovaskular dan seluler. (Vincent & Backer, 2013)

Gambar 2.4 Fase tatalaksana syok (Vincent & Backer, 2013)

Tatalaksana syok memiliki 4 tahapan dimana tahap pertama salvage yaitu


berfokus pada pencapaian target minimum tekanan darah dan curah jantung serta
melakukan prosedur life saving. Prosedur life saving terkait akan penyebabnya
misalnya pasien syok kardiogenik akibat sindrom koroner akut dengan Intervensi
Koroner Perkutan (IKP), pemberian antibiotik pada sepsis. (Vincent & Backer, 2013)
Pada pasien bradikardi dengan hemodinamik yang tidak stabil yang datang
ke IGD pemberian atropin memiliki respon yang baik. Pasien yang mengalami
bradikardia memiliki respon yang lebih terhadap dosis tunggal atau lebih rendah
dibandingkan pasien dengan AV blok. (Brady, Swart, & De Behnke, 1999)
Tahap selanjutnya tahap optimisasi berfokus pada menyediakan kebutuhan
oksigen seluler, resusitasi hemodinamik yang adekuat akan menurunkan
inflamasi, disfungsi mitokondria, dan aktifasi caspase. Pengukuran SpO2 dan
kadar laktat dapat membantu panduan terapi dan perlu dilakukan monitoring
curah jantung. Tahap stabilisasi berfokus pada pencegahan disfungsi organ,
bahkan setelah hemodinamik stabil. Suplai oksigen bukan lagi menjadi masalah
utama, dan support organ menjadi lebih berguna pada fase ini. Yang terakhir fase
de-eskalasi berfokus pada penghentian terapi vasoaktif dan memberikan terapi
yang membantu mencapai balance cairan negatif. (Vincent & Backer, 2013)

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan kegagalan perfusi (syok
sirkulasi) didefinisikan lebih jelas ketika adanya tanda syok sirkulasi dan
mekanisme yang mendasarinya. Terdapat 4 mekanisme yang mendasarinya yaitu
hipovolemi, kardiogenik, distributif, dan obstruktif.
Syok sirkulasi berhubungan degan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Identifikasi segera merupakan hal penting sehingga manajemen agresif dapat
dimulai. Tatalaksana yang sesuai berdasarkan dari pemahaman dari mekanisme
patofisiologi yang mendasarinya. Tatalaksana termasuk koreksi dari penyebab
syok dan stabilisasi hemodinamik, melalui pemberian oksigen, cairan dan agen
vasoaktif. Respon pasien dapat dimonitor evaluasi klinis secara hati hati dan
pengukuran laktat darah.

19
DAFTAR PUSTAKA

Backer, D. D., Biston, P., & Devriendt, J. (2010, March). Comparison of Dopamine and
Norepinephrine in the Treatment of Shock. NEJM, 362(9), 779-789.

Bailey, J. (2003). Hemodynamic Instability . Associate Professor in the Department of


Anesthesiology, Cardiac Anesthesia and Critical Care Medicine Division, Emory
University School of Medicine, Atlanta, Georgia, USA.

Belleti, A., Castro, L., & Silvetti, S. (2015). The Effects of Inotropes and Vasopressors on
Mortality. Br J Anaesth, 115(5), 656-675.

Rivers, E., & Nguyent, B. (2001, November). Early Goal Directed Therapy in The
Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. NEJM, 345(19), 1368-1377.

20

Anda mungkin juga menyukai