Anda di halaman 1dari 29

ENDOMETRIOSIS

I. PENDAHULUAN
Angka kejadian endometriosis cenderung meningkat setiap tahun,
walaupun data pastinya belum dapat diketahui. Menurut Jacob (2007), angka
kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi
epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-
69,5% pada kelompok infertilitas. Bila presentase tersebut dikaitkan dengan
jumlah penduduk sekarang, maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta
penderita endometriosis pada wanita usia produktif. Kaum perempuan
tampaknya perlu mewaspadai penyakit yang seringkali ditandai dengan nyeri
hebat pada saat haid (Widhi, 2007).1,4
Penyebab endometriosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik,
gangguan sistem kekebalan yang memungkinkan sel endometrium melekat dan
berkembang, serta pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Sumber lain
menyebutkan bahwa pestisida dalam makanan dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hormon. Faktor-faktor lingkungan seperti pemakaian
wadah plastik, microwave, dan alat memasak dengan jenis tertentu dapat
menjadi penyebab endometriosis.1,4,5
Penyakit endometriosis umumnya muncul pada usia produktif. Angka
kejadian endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya dan lebih 50%
terjadi pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat tergantung
pada letak sel endometrium ini berpindah. Yang paling menonjol adalah
adanya nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat
keluhan nyeri kronis hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat
keluhan infertil. Tetapi ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa
menopause dan bahkan ada yang melaporkan terjadi pada 40% pasien
histerektomi (pengangkatan rahim). Selain itu juga, 10% endometriosis ini
dapat muncul pada mereka yang mempunyai riwayat endometriosis dalam
keluarganya. 1,4,5

1
II. DEFINISI
Endometriosis didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium yang
tumbuh diluar dari jaringan uterus. Endometriosis ini dapat ditemukan di antara
serabut otot miometrium (adenomiosis atau endometriosis uteri) atau di
berbagai lokasi di rongga panggul. Daerah yang paling sering terkena adalah
organ pelvis dan peritoneum, walaupun daerah lain bisa terkena. Endometriosis
dapat muncul, namun sangat jarang, pada wanita postmenopause, dan biasanya
terjadi pada wanita usia reproduktif.1,2

Gambar 1. Lokasi yang sering ditemukan adanya endometriosis


(Dikutip dari kepustakaan 3)

Manifestasi klinisnya dapat berupa lesi, biasanya didapatkan pada


permukaan peritoneum dari organ reproduksi, tetapi dapat juga muncul
didaerah mana saja di tubuh wanita (gambar 1). Ukuran dari lesi sangat
bervariasi mulai dari mikroskopik hingga massa invasif yang luas yang
mengikis bagian dalam organ dan menyebabkan perlengketan luas. Pada
beberapa kasus endometriosis dapat berupa asimptomatik, dapat pula
menimbulkan gejala nyeri pinggang bahkan sampai infertilitas. Dampak

2
psikologis dari rasa nyeri hebat yang terjadi semakin bertambah akibat
pengaruh penyakit ini terhadap fertilitas pasien. Penyakit ini tak pernah
sembuh sempurna dan terapi ditujukan untuk penekanan lesi secara medis
(medical supression) – maupun secara pembedahan (surgical excision) untuk
meringankan keluhan penderita1,2

III. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Insiden endometriosis sulit untuk dinilai, kebanyakan wanita dengan
penyakit ini seringkali tanpa gejala, dan modalitas pencitraan memiliki
sensitivitas rendah untuk diagnosis. Wanita dengan endometriosis umumnya
tidak menunjukkan gejala, subfertil, atau menderita berbagai tingkat nyeri
panggul. Metode utama dari diagnosis adalah laparoskopi, dengan atau tanpa
biopsi untuk diagnosis histologis (Kennedy, 2005; Marchino, 2005). Dengan
menggunakan standar ini, peneliti telah melaporkan kejadian tahunan
endometriosis menjadi 1,6 kasus per 1.000 perempuan berusia antara 15 dan
49 tahun (Houston, 1987). Pada wanita tanpa gejala, prevalensi endometriosis
berkisar 2% - 22%, tergantung pada populasi yang diteliti (Eskenazi, 1997;
Mahmood, 1991; Moen, 1997). Namun, karena kaitannya dengan infertilitas
dan nyeri pelvis, endometriosis terutama lebih menonjol pada sub-populasi
perempuan dengan keluhan ini. Pada wanita infertil, prevalensi telah
dilaporkan antara 20% sampai 50% dan pada mereka dengan nyeri panggul,
40%sampai 50%.3
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini terjadi
peningkatan angka kejadian. Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan di
antara semua operasi pelvik. Endometriosis jarang terjadi pada orang negro,
dan lebih sering didapatkan pada wanita-wanita dari golongan sosio-ekonomi
tinggi. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering
ditemukan pada wanita yang belum menikah pada usia muda, dan yang tidak
mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara klinis yang terus
menerus tanpa diselingi kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya
endometriosis.4

3
Setiap tahunnya angka kejadian endometriosis terus bertambah, dan
hingga saat ini diperkirakan ada 70 juta penderita penyakit ini. Di Amerika
Serikat, diperkirakan lebih dari 7 juta wanita mengidap endometriosis. Angka
kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi
epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-
69,5% pada kelompok infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan
jumlah penduduk sekarang, maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta
penderita endometriosis pada wanita usia produktif.5

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI


A. Uterus
Uterus adalah suatu struktur otot yang cukup kuat, bagian luarnya ditutupi
oleh peritoneum sedangkan rongga dalamnya dilapisi oleh mukosa uterus.
Dalam keadaan tidak hamil, uterus terletak dalam rongga panggul di antara
kandung kemih dan rektum. Uterus berbentuk seperti buah pear, mempunyai
rongga yang terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: badan uterus (korpus uteri),
leher uterus (serviks uteri), dan rongga uterus (kavum uteri). Bagian uterus
antara kedua pangkal tuba, yang disebut fundus uteri, merupakan bagian
proksimal uterus. Serviks uteri terbagi atas dua bagian yaitu pars supravaginal
dan pars vaginal. Bagian uterus antara serviks uteri dan korpus disebut ismus
atau segmen bawah uterus, bagian penting dalam kehamilan dan persalinan
karena akan mengalami peregangan.6
Dinding uterus secara histologik terdiri atas tiga lapisan: lapisan serosa
(lapisan peritoneum), lapisan otot (lapisan miometrium), lapisan mukosa
(endometrium). Posisi dan letak uterus dalam rongga panggul terfiksasi dengan
baik karena disokong dan dipertahankan oleh: tonus uterus sendiri, tekanan
intra abdominal, otot-otot dasar panggul, dan ligamen-ligamen seperti
ligamentum kardinal kanan dan kiri, ligamentum sakrouterina, ligamentum
rotundum, ligamentum latum, dan ligamentum infundibulopelvikum.6

4
Pada uterus selaput yang melapisi permukaan dalam miometrium disebut
endometrium. Endometrium ini mempunyai tiga fungsi penting, yaitu sebagai
tempat nidasi, tempat terjadinya proses haid, dan sebagai petunjuk gangguan
fungsional dari steroid seks. Pada usia reproduksi dan dalam keadaan tidak
hamil, endometrium mengalami berbagai perubahan siklik yang berkaitan
dengan aktivitas ovarium. Endometrium terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan
basal dan lapisan fungsional. Dibawah pengaruh estrogen, lapisan fungsional
akan berploriferasi dan di bawah pengaruh estrogen dan progesteron lapisan itu
akan mengalami sekresi. Bila terjadi fertilisasi dan implantasi, maka dari
lapisan ini akan dibentuk desidua, dan bila tidak, akan timbul haid lagi.4

Gambar 2. Uterus (Dikutip dari kepustakaan 7)

5
B. Ovarium

Gambar 3. Ovarium (Dikutip dari kepustakaan 3)

Terdapat dua ovarium di tubuh wanita, masing-masing di kiri dan kanan


uterus, dilapisi mesovarium dan tergantung di belakang ligamentum latum.
Bentuknya seperti buah almon, sebesar ibu jari tangan berukuran 2,5-5cm x
1,5-2 cm x 0,6-1 cm. Ovarium ini posisinya ditunjang oleh mesovarium,
ligamentum ovarika, dan ligamentum infundibulopelvikum.6
Menurut strukturnya ovarium terdiri dari: korteks dan medulla. Korteks
atau zona parenkimatosa terdiri dari tunika albuginea, yaitu epitel kubik,
jaringan ikat, stroma, folikel primordial, dan folikel de Graaf. Medulla atau
zona vaskulosa terdiri dari stroma berisi pembuluh darah, serabut saraf, dan
otot polos.Pada wanita diperkirakan sekitar 100 ribu folikel primer. Pada masa
reproduktif, tiap bulan satu folikel atau terkadang dua folikel akan matang.
Fungsi ovarium yang utama adalah menghasilkan sel telur, menghasilkan
hormon progesteron dan estrogen serta berperan dalam proses siklus haid.6

6
Gambar 4. Siklus Haid (Dikutip dari Kepustakaan 3)

Siklus haid dapat dibedakan atas dua, yaitu4:


Siklus Ovarium
1. Fase Folikular
Siklus diawali dengan hari pertama menstruasi atau terlepasnya
endometrium. FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel primordial
dalam ovarium. Umumnya, hanya satu yang terus berkembang dan menjadi
folikel de Graaf dan yang lainnya berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah
ovum dan dua lapisan sel yang mengelilinginya. Lapisan dalam, yaitu sel-sel
granulosa mensintesis progesteron yang disekresi ke dalam cairan folikular
selama paruh pertama siklus menstruasi dan bekerja sebagai prekursor pada
sintesis estrogen oleh lapisan sel teka interna yang mengelilinginya. Estrogen
disintesis dalam sel-sel lutein pada teka interna. Di dalam folikel, oosit primer
mulai menjalani proses pematangannya. Pada waktu yang sama, folikel yang
sedang berkembang mensekresi estrogen lebih banyak. Peningkatan estrogen
memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik untuk menekan produksi

7
FSH, sehingga lobus anterior hipofisis dapat mengeluarkan hormon
gonadotropin yang kedua, yakni LH (Luteinizing Hormone).4
2. Fase Ovulasi
Estrogen merupakan faktor utama yang berperan pada ovulasi.
Peningkatan jumlah estrogen mengakibatkan feed back positif ke hipofisis
anterior untuk menghasilkan LH. Sekresi LH terjadi perlahan-lahan pada hari
ke-8 hingga 12, dan semakin cepat di atas hari 12. Di bawah pengaruh LH,
folikel de Graaf menjadi lebih matang mendekati permukaan ovarium dan
kemudian terjadilah ovulasi.4
Pada ovulasi ini kadang-kadang terdapat perdarahan sedikit yang akan
merangsang peritoneum di pelvis, sehingga timbul rasa sakit yang disebut
intermenstrual pain. Setelah ovulasi terjadi, folikel de Graaf berubah menjadi
korpus rubrum (berwarna merah oleh karena perdarahan tersebut di atas) yang
kemudian menjadi korpus luteum (warnanya menjadi kuning) yang
menghasilkan progesteron dan akan berpengaruh terhadap endometrium.
3. Fase Luteal
Fase ini ditandai dengan produksi progesteron oleh korpus luteum dalam
ovarium. Produksi progesteron bergantung dari produksi LH oleh hipofisis.
Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi dan ini mengakibatkan
kadar estrogen dan progeteron menurun. Bila terjadi pembuahan dalam masa
ovulasi, maka korpus luteum tersebut dipertahankan.4

Siklus Endometrium
1. Fase Proliferasi
Segera setelah menstruasi, endometrium dalam keadaan tipis dan dalam
keadaan istirahat. Kadar estrogen yang meningkat dari folikel yang
berkembang akan merangsang stroma endometrium untuk mulai tumbuh dan
menebal, kelenjar-kelenjar menjadi hipertrofi dan berproliferasi serta
pembuluh darah menjadi banyak. Kelenjar-kelenjar dan stroma berkembang
sama cepatnya. Kelenjar makin bertambah panjang tetapi tetap lurus dan
berbentuk tubulus. Stroma cukup padat pada lapisan basal tetapi makin ke

8
permukaan semakin longgar. Pembuluh darah akan mulai berbentuk spiral dan
lebih kecil. Lamanya fase proliferasi sangat berbeda-beda pada tiap orang dan
berakhir pada saat terjadinya ovulasi.4
2. Fase Sekresi
Setelah ovulasi, dibawah pengaruh progesteron yang meningkat dan terus
diproduksinya estrogen oleh korpus luteum, endometrium mulai menebal.
Kelenjar menjadi lebih besar dan berkelok-kelok dan epitel kelenjar menjadi
berlipat-lipat. Stroma menjadi edematosa dan pembuluh darah menjadi makin
berebentuk spiral dan melebar. Lamanya fase sekresi sama pada setiap
perempuan yaitu 14 ± 2 hari.4
3. Fase Menstruasi
Korpus luteum berfungsi sampai kira-kira hari ke-23 atau 24 pada siklus
28 hari. Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi dan ini
mengakibatkan kadar estrogen dan progesteron menurun. Menurunnya kadar
estrogen dan progesteron menimbulkan efek pada arteri yang berkelok-kelok di
endometrium. Tampak dilatasi dan statis sengan hiperemia yang diikuti oleh
spasme dan iskemia. Sesudah itu terjadi degenerasi serta perdarahan dan
pelepasan endometrium yang nekrotik. Proses ini disebut haid atau mensis.
Bilamana ada pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut
akan dipertahankan, bahkan berkembang menjadi korpus luteum graviditatis.4
Perdarahan menstruasi sebagian besar berasal dari arteri dan sebagian kecil
dari vena. Sekret yang dikeluarkan agak berbau karena adanya sekresi dari
kelenjar sebaseus dan dekomposisi elemen darah. Darah menstruasi memiliki
jumlah protrombin dan fibrinogen yang kurang tetapi kaya akan kalsium.
Secara mikroskopik darah menstruasi terdiri dari sel-sel darah merah, sejumlah
besar leukosit,epitel vagina, mukus servikal, fragmen endometrium dengan
makrofag, histiosit, sel mast dan bakteri. Sekret menstruasi juga terdiri dari
kolestrol, estrogen, lipid dan prostaglandin.4

9
V. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Walaupun tanda dan gejala dari endometriosis telah dikemukakan sejak
tahun 1800, tetapi baru dikenal oleh kalangan dunia kesehatan baru pada aband
ke-20. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan kelainan histologi dari
Endometriosis.3,8,9,10
1. Teori Menstruasi Retrograde
Banyak teori tentang patogenesis endometriosis yang telah dikemukakan,
namun teori menstruasi retrograde yang paling banyak diterima secara
eksperimen maupun kinis oleh banyak ahli. Teori menstruasi retrograde atau
juga dikenal sebagai teori implantasi pertama dikemukakan oleh Sampson pada
tahun 1927, menyatakan bahwa terjadi refluks jaringan endometritik yang
viabel melalui tuba Fallopi saat menstruasi dan mengadakan implantasi pada
permukaan peritoneum dan organ pelvik. Teori ini berdasarkan 3 asumsi:
pertama, terjadi menstruasi retrograde melalui tuba Fallopi selama menstruasi;
kedua, refluks jaringan endometritik viabel pada kavum pertoneum; ketiga,
jaringan endometritik yang viabel dapat melengket pada peritoneum melalui
rangkaian proses invasi, implantasi, dan proliferasi. Awalnya teori ini tidak
populer dan cukup lama ditinggalkan karena menstruasi retrograde
diasumsikan sangat jarang terjadi. Beberapa penelitian kemudian membuktikan
bahwa angka kejadian menstruasi retrograde cukup tinggi. Mula-mula oleh
Watkins pada tahun 1938 yang melaporkan adanya tumpahan darah haid
melalui tuba Fallopi wanita yang dilakukan operasi laparotomi saat haid.
Setelah itu Goodal melaporkan menstruasi retrograde terjadi pada 50 persen
wanita yang dilakukan laparotomi saat haid. Penelitian terakhir dengan
pemeriksaan laparoskopi melaporkan angka kejadian menstruasi retrograde
mencapai 70-90 persen wanita.8

10
Gambar 5. Teori Mentruasi Retrograde (Dikutip dari kepustakaan 11)

2. Teori Metaplasia Selomik


Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena
rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan
hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasia dari
sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori metaplasia
selom (coelomic) menunjukkan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan
pluripotensial yang dapat mengalami transformasi metaplasia menjadi jaringan
histologi yang tidak dapat dibedakan dari endometrium normal. Karena
ovarium dan progenitor endometrium, saluran mullerian, berasal dari epitel
selom, metaplasia dapat menjelaskan perkembangan endometriosis ovarium.
Selain itu, teori tersebut telah diperluas sampai mencakup peritoneum karena
potensi proliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini
menarik pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada
wanita premenarche dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma
prostat diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya
endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang
teori ini. 3,9,10

11
3. Teori Imunologik
Menurut teori ini faktor genetik dan imunologis sangat berperan terhadap
timbulnya endometriosis. Ditemukan penurunan imunitas seluler pada jaringan
endometrium wanita yang menderita endometriosis. Cairan peritoneumnya
ditemukan aktivitas makrofag yang meningkat, penurunan aktivitas natural
killer cell, dan penurunan aktivitas sel-sel limfosit. Makrofag akan
mengaktifkan jaringan endometriosis dan penurunan sistem imunologis tubuh
akan menyebabkan jaringan endometriosis terus tumbuh tanpa hambatan.
Makin banyak regurgitasi darah haid, makin banyak pula sistem pertahanan
tubuh yang terpakai. Pada wanita dengan darah haid sedikit, atau pada wanita
yang jarang haid, sangat jarang ditemukan endometriosis. Disamping itu masih
terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran
melalui darah ataupun limfe.3,8
4. Teori Penyebaran Limfatik dan Hematogen
Bukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran
limfatik atau vaskular menyebar dari jaringan endometrium. Temuan
endometriosis di lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha,
memperkuat teori ini. Wilayah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik
berlimpah. Dengan demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada ditemukan
implantasi peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang
terisolasi, diduga menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan
adenokarsinoma endometrium untuk menyebar melalui jalur limfatik
menunjukkan endometrium dapat diangkut melalui jalur ini. Meskipun teori ini
tetap menarik, beberapa studi telah melakukan eksperimen mengevaluasi
bentuk transmisi endometriosis ini.3
Dari beberapa teori penyebab endometriosis yang dikemukakan beberapa
pustaka juga memaparkan faktor-faktor resiko yang terdapat pada
endometriosis:
1. Familial Clustering
Beberapa bukti yang berkaitan dalam terjadinya endometriosis. Meskipun
pola warisan genetik mendel yang telah diidentifikasi tidak jelas, kejadian

12
meningkat pada anak kandung. Sebagai contoh dalam studi genetik wanita
dengan endometriosis, Simpson dan rekan-rekannya (1980) mencatat bahwa
5,9% dari saudara kandung perempuan dan 8,1% dari ibu yang telah menderita
endometriosis dibandingkan dengan 1% dari saudara perempuan tingkat
pertama suami. Penelitian lebih lanjut telah mengungkapkan bahwa wanita
dengan endometriosis dan anak kandung yang menderita endometriosis lebih
cenderung memiliki endometriosis berat (61%) daripada wanita tanpa anak
kandung yang menderita endometriosis (24%). Selain itu, Stefansson dan
rekan-rekannya (2002), dalam analisis mereka dari studi berbasis populasi
besar di Islandia, menunjukkan koefisien kekerabatan yang lebih tinggi pada
wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan kontrol. Dalam studi ini,
rasio risiko adalah 5.2 untuk saudara kandung dan 1,56 untuk sepupu. Studi
juga menunjukkan indeks untuk endometriosis pada pasangan kembar
monozigot, memberi kesan sebuah dasar genetik.3
2. Cacat Anatomi
Obstruksi saluran reproduksi dapat menjadi predisposisi perkembangan
endometriosis, kemungkinan melalui eksaserbasi menstruasi retrograd. Dengan
demikian, endometriosis telah diidentifikasi pada wanita dengan selaput dara
imperforata dan septum vagina transversal. Karena asosiasi ini, laparoskopi
diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan
pada saat operasi korektif untuk banyak anomali. Perbaikan cacat anatomi
tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko pengembangan endometriosis.3
3. Polusi Lingkungan
Ada banyak penelitian menunjukkan paparan polusi lingkungan mungkin
memainkan peran dalam perkembangan endometriosis. Polusi yang paling
sering adalah 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioksin (TCDD) dan senyawa
dioxinlain. Pada saat berikatan, TCDD mengaktifkan reseptor aril hidrokarbon.
Fungsi reseptor ini sebagai faktor transkripsi dasar, dan mirip dengan
kelompok reseptor hormon steroid protein, mengarahkan ke berbagai
transkripsi gen. Akibatnya, TCDD dan senyawa dioxin lain bisa merangsang
endometriosis melalui peningkatan jumlah interleukin, aktivasi enzim sitokrom

13
P-450 seperti aromatase, dan perubahan dalam remodeling jaringan. Selain itu,
TCDD dalam hubungannya dengan kehadiran estrogen untuk merangsang
pembentukan endometriosis, dan dengan adanya TCDD untuk memblokir
progesteron yang menginduksi regresi endometriosis.3
Dalam lingkungan, TCDD dan senyawa dioxin adalah limbah pengolahan
produk industri. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi atau kontak
yang tidak disengaja adalah bentuk paparan yang paling sering terjadi.
Meskipun endometriosis dan TCDD pada awalnya dikaitkan dengan binatang
primata, studi pada manusia juga mencatat prevalensi endometriosis lebih
tinggi pada wanita dengan konsentrasi dioxin dalam ASI (air susu ibu) yang
tinggi. Selain itu, studi selanjutnya telah menunjukkan jumlah dioxin serum
lebih tinggi pada wanita infertil dengan endometriosis dibandingkan dengan
infertil kontrol.3

VI. GEJALA KLINIS


Endometriosis didapatkan pada wanita subfertil, dengan gejala dismenore,
dispareunia, atau nyeri pelvik kronik. Namun tidak menutup kemungkinan
gejala ini disebabkan oleh adanya penyakit lain. Endometriosis bisa tanpa
gejala, bahkan pada wanita dengan ovarium endometriosis ataupun
endometriosis rektovaginal yang sangat invasif.9
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah:4,10
-
Dismenore pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu
haid yang semakin lama semakin menghebat. Penyebab dari dismenore
ini tidak diketahui, tetapi mungkin ada hubungannya dengan
vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu
sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu didapatkan pada
endometriosis walaupun kelainan sudah luas, sebaliknya kelainan
ringan dapat menimbulkan rasa nyeri yang lebih hebat.
-
Dispareunia yang merupakan gejala yang sering dijumpai, disebabkan
oleh karena adanya endometriosis di dalam kavum douglas.

14
Diskezia atau nyeri pada saat defekasi terutama pada waktu haid,
disebabkan oleh adanya endometriosis pada rektosigmoid. Kadang-
kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut.
-
Endometriosis pada kandung kencing jarang terdapat, gejalanya berupa
gangguan miksi dan hematuria pada waktu haid.
-
Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi apabila kelainan pada
ovarium yang luas sehingga mengganggu fungsi ovarium.
-
Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas.
Sebanyak 30% - 40% wanita dengan endometriosis mengalami
infertilitas. Menurut Rubin kemungkinan untuk hamil pada wanita
dengan endometriosis ialah kurang lebih separuh dari wanita biasa.
Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis
adalah apabila motilitas tuba terganggu akibat fibrosis dan perlekatan
jaringan di sekitarnya.

Pada pemeriksaan ginekologi, khususnya pada pemeriksaan


vaginorektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan pada benda-
benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan
pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan
terfiksasi.4

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis endometriosis dibuat atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat dilihat dari gejala klinis
seperti yang dijelaskan diatas. Sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat
dilakukan inspeksi visual yang teliti yang mungkin dapat menemukan
implantasi pada luka yang sudah sembuh, terutama pada parut episiotomi dan
parut seksio sesaria terutama dengan insisi pfannensteil. Sedangkan pada
pemeriksaan bimanual, dapat ditemukan nyeri tekan pada nodul di forniks
posterior vagina dan ligamen sakrouterina serta nyeri saat gerakan uterus.
Posisi uterus mungkin menetap dan retroversi karena adhesi pada cul-de-sac.

15
Pemeriksaan spekulum juga dapat dilakukan untuk menilai ada tidaknya lesi
kebiruan atau kemerahan pada serviks atau forniks posterior. Biopsi mungkin
dapat dilakukan untuk membuktikan lesi tersebut suatu endometriosis atau
tidak.3,10
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada endometriosis, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lain nyeri pelvik. Pemeriksaan darah rutin, urin rutin,
kultur urin dan vaginal swab mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi
atau penyakit menular seksual penyakit infeksi panggul.3
Selain itu, serum antigen kanker CA-125 sering meningkat pada wanita
dengan endometriosis. Namun, marker ini juga meningkat pada penyakit pelvik
lain dan mempunyai spesifitas yang kecil dalam diagnosis endometriosis.3
2. Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal telah digunakan dalam
membantu mendiagnosis endometriosis. Walaupun USG transvaginal
digunakan untuk mengevaluasi gejala terkait endometriosis dan akurat dalam
mendeteksi endometrioma, gambaran endometriosis superfisial dan adhesi
endometriotik yang didapatkan tidak adekuat. Teknik radiologi lainnya seperti
CT-Scan, dan MRI, dapat digunakan hanya untuk sebagai konfirmasi tambahan
saja, tapi tidak dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis utama, karena
selain biaya lebih mahal dari USG, informasi yang diberikan masih dapat
kurang jelas.3
3. Pemeriksaan Laparoskopi
Diagnosis pasti endometriosis hanya dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologik. Gambaran dari
endometriosis pada pemeriksaan laparoskopi ini sangat variabel. Gambaran
klasik endometriosis yaitu kista berwarna ‘blue-black powder-burn’. Selain itu,
dapat juga ditemukan lesi non-klasik yaitu gambaran lesi berwarna merah,
putih, tidak berpigmen dan vesikuler. Lesi merah merupakan tipe
endometriosis yang aktif. Lokasi yang sering terdapat ialah pada ovarium, dan

16
biasanya di sini didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista
biru kecil sampai kista besar berisi darah tua menyerupai coklat.3,10,12

Gambar 6. Lesi kemerahan endometriosis pada berbagai tempat.


(Dikutip dari kepustakaan 10)

Gambar 7. Lesi endometriosis pada peritoneum


(Dikutip dari kepustakaan 10)

17
Gambar 8. Lesi endometriosis pada cavum douglasi dan sebelah kanan dari
lig.sakrouterina Dikutip dari kepustakaan 10)

4. Pemeriksaan Histopatologik
Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan ciri-ciri khas endometriosis,
yaitu kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan
baru berupa eritrosit pigmen hemosiderin dan sel-sel radang dan jaringan ikat,
sebagai reaksi jaringan normal di sekelilingnya.3

Gambar 9. Pemeriksaan histopatogik.


Tampak kelenjar dan stroma endometrium pada colon.
(Dikutip dari kepustakaan 3)

18
VIII. KLASIFIKASI
Sistem klasifikasi yang paling luas digunakan adalah klasifikasi dari
American Fertility Society. Sistem ini berdasarkan gambaran klinis, ukuran dan
kedalaman implantasi pada ovari dan peritoneum; kewujudan, penjalaran dan
tipe adhesi adnexal; derajat obliterasi cul-de-sac. Parameter seperti derajat
nyeri dan infertilitas tidak dimasukkan. Tambahan pula identifikasi visual
endometriosis ini tidak akurat pada kebanyakan kasus; oleh itu sistem
klasifikasi ini hanya untuk penggunaan praktis harian.1,3

Gambar 10. Revisi Klasifikasi Endometriosis oleh ‘The American Fertility


Society’
(Dikutip dari kepustakaan 1)

19
Pada tahun 2009, seorang peneliti yang berasal dari Amerika Serikat
mengembangkan sebuah indeks fertilitas pada penderita endometriosis setelah
surgical staging, yaitu Endometriosis Fertility Index (EFI) dengan
menggunakan status fungsional dari tuba, ovarium, dan fimbri, untuk
memprediksi kemungkinan mereka hamil secara alami.13

Tabel 1. Derajat Disfungsi Tuba, Fimbria, dan Ovarium


(Dikutip dari kepustakaan 12)

IX. DIAGNOSIS BANDING


Adenomiosis uteri, radang pelvik dengan tumor adneksa dapat
menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis
jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum Douglasi
dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri
dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat
menimbulkan kesukaran diagnosis banding dengan kista ovarium.4

X. PENATALAKSANAAN
Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita itu,
tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk pengobatan,

20
dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor yang paling
penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah apakah pasien
mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai pengobatan akan
berbeda berdasarkan gejala.3,13
1. Terapi Ekpektatif
Beberapa peneliti memakai strategi pengobatan yang disebut terapi
ekspektatif. Penderita endometriosis yang didiagnosis dengan laparoskopi,
akan diobservasi untuk mencapai suatu kehamilan tanpa terapi (treatment-
independent therapy). Dasar dari terapi ekspektatif adalah endometriosis yang
ringan tanpa disertai keluhan simptomatik tidak akan memberikan efek pada
fertilitas.14
Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita dengan gejala dan
kelainan fisik yang ringan. Pada wanita yang sudah agak berumur, pengawasan
ini bisa dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala
endometriosis hilang sendiri. Sikap yang sama diambil pada wanita yang lebih
muda, yang tidak mempunyai persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada
wanita yang ingin mempunyai anak, jika ditunggu 1 tahun tidak terjadi
kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap infertilitas dan diambil sikap
yang lebih aktif. Pada observasi seperti yang diterangkan sebelumnya, harus
dilakukan pemeriksaan secara periodik dan teratur untuk meneliti
perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah sikap ekspektatif. Dalam
masa observasi ini dapat diberikan pengobatan paliatif berupa pemberian
analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.4
Terapi analgesik yang sering digunakan untuk penderita endometriosis
adalah obat anti inflamasi non steroid (NSAID). NSAID menghambat
siklooksigenase isoenzim 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2), dan dalam kelompok
ini, selektif COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-2 isoenzyme. Enzim
ini bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin yang terlibat dalam rasa
sakit dan peradangan yang terkait dengan endometriosis. Obat anti-inflamasi
nonsteroid menjadi lini pertama terapi pada wanita dengan dismenorea primer
atau nyeri panggul sebelum konfirmasi laparoskopi endometriosis, dan pada

21
wanita dengan gejala rasa sakit yang minimal atau ringan yang berhubungan
dengan endometriosis diketahui. Jenis NSAID yang umum digunakan yaitu
ibuprofen dan asam mefenamat.3

2. Terapi Hormonal
Sebagai dasar pengobatan hormonal ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi
jaringan endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, yang
dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa
jaringan endometriosis pada umumnya mengandung reseptor estrogen,
progesteron dan androgen. Pada hewan coba, estrogen merangsang
pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi sedangkan
pengaruh progesteron kontroversial. Progesteron sendiri mungkin merangsang
pertumbuhan endometriosis, namun progesteron sintetik yang umumnya
mempunyai efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan
endometriosis.4
Atas dasar tersebut, maka prinsip dasar pengobatan hormonal
endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon yang rendah estrogen
dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan
endometriosis. Sedangkan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid,
yang berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal
maupun jaringan endometriosis. Prinsip kedua yaitu menciptakan lingkungan
hormon yang tinggi androgen atau tinggi progestogen (progesteron sintetik)
yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis.4

- Pil Kontrasepsi Kombinasi


Pil Kontrasepsi Kombinasi (estrogen dan progestron) dapat digunakan
untuk terapi endometriosis. Obat ini berkerja dengan cara menghambat aksis
hipotalamik-ovari. Ia menghambat hormon luteinizing (LH) dan hormon
stimulasi folikel (FSH), menghalang ovulasi dan menyebabkan dinding
endometrium menjadi atrofi.3,13

22
Terapi standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3 mg
norgestrel per hari. Bila terjadi ‘breakthrough’, dosis ditingkatkan menjadi
0,05 mg etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per hari atau maksimal 0,08 mg
etinil estradiol dan 0,8 mg norgestrel per hari. Pemberian tersebut terus
menerus setiap hari selama 6-9 bulan, bahkan ada yang menganjurkan minimal
satu tahun dan bila perlu dilanjutkan sampai 2-3 tahun.4
Dilaporkan bahwa 30% penderita menyatakan keluhannya berkurang dan
hanya 18% yang secara obyektif mengalami kesembuhan, 41% penderita tidak
menyelesaikan terapinya karena mengalami efek samping. Efek samping dari
terapi ini seperti nyeri kepala, nausea, perdarahan ireguler, dan pertambahan
berat badan.4,13

- Gonadotropin-releasing Hormon Analog (GnRH analog)


GnRH analog telah digunakan secara efektif untuk membebaskan nyeri
dan mengurangi ukuran dari implantasi endometriosis. Obat ini menekan
produksi estrogen oleh ovarium dengan menghambat sekresi hormon pengatur
dari kelenjar pituitari. Sebagai akibatnya, periode-periode menstruasi berhenti,
seperti menopause. Agonis GnRH mensuplai stimulasi secara konstan pada
reseptor LHRH. Ini menghambat aksis pituitari-ovarium dan menyebabkan
sekresi FSH dan LH berkurang sekaligus kadar estrogen dan progesteron turut
berkurang. Ini menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi dan
hipoestrogenik.Dosis yang dianjurkan adalah leuprolin asetat 3,75 mg/bulan
secara injeksi intramuskular selama 6 bulan. Terapi ini dilimitasi selama 6
bulan untuk menghindari efek samping yang dapat terjadi karena keadaan
hipoestrogenik seperti sakit kepala, hot flushes, depresi, pengurangan densitas
tulang, perubahan mood dan perubahan profil lipoprotein.1,10,13

- Androgen
Preparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis 5
mg sampai 10 mg per hari. Kerugian terapi ini adalah dapat menyebabkan
maskulinisasi terutama pada dosis jangka panjang. Selain itu masih mungkin
terjadi ovulasi atau kehamilan terutama pada dosis 5 mg perhari. Bila terjadi

23
kehamilan, terapi harus dihentikan karena dapat menyebabkan cacat bawaan
pada janin.4
- Progestin
Progestin mempunyai efek antiendometriotik yang menyebabkan
desidualisasi dan atrofi pada jaringan endometrium. Progestin juga
menghambat ovulasi dengan menghambat luteinizing hormon (LH) dan
mungkin dapat menyebabkan amenore. Dosis yang diberikan adalah
medroksiprogesteron asetat 30-50 mg per hari atau noerestisteron asetat 30 mg
per hari. Pemberian parenteral dapat menggunakan medroksiprogesteron asetat
150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap bulan.Penghentian terapi
parenteral dapat diikuti dengan anovulasi selama 6-12 bulan, sehingga cara ini
tidak menguntungkan bagi mereka yang ingin segera mempunyai anak. Lama
pengobatan dengan progestogen yang dianjurkan adalah 6-9 bulan. Efek
samping yang dapat terjadi adalah ‘breakthrough bleeding’, perubahan mood,
perdarahan ireguler, amenore, muntah, pertambahan berat badan dan retensi
cairan. Terapi ini sesuai untuk penderita endometriosis yang tidak segera ingin
hamil.3,4

- Danazol
Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen
rendah.Dosis yang digunakan untuk endometriosis ringan (stadium 2) atau
sedang (stadium 3) adalah 400 mg perhari sedangkan untuk endometriosis
yang berat (stadium 4) dapat diberikan sampai 800 mg perhari. Lama
pemberian minimal 6 bulan dapat pula diberikan 12 minggu sebelum terapi
pembedahan konservatik dilakukan. Danazol memilki efek samping berupa
akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan,
dan edema.Kehamilan dan menyusui merupakan kontrindikasi absolut dari
pemakaian danazol.6

24
3. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan dapat digunakan pada penderita endometriosis yang
berat atau yang tidak berespon baik dengan terapi medis atau penderita dengan
keluhan infertilitas, terapi pembedahan ini terdiri daripada terapi pembedahan
konservatif dan pembedahan definitif.11,14
a) Terapi Konservatif
Terapi ini bertujuan untuk mengembalikan anatomi normal penderita dan
mengurangi serta menghilangkan lesi endometriotik. Pembedahan konservatif
dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi atau laparoskopi
operatif.3,10
o Eksisi atau destruksi dengan cara vaporisasi laser, elektrokoagulasi,
koagulasi termal secara langsung pada permukaan lesi atau dapat juga
eksisi komplit pada endometrioma.
o Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) adalah prosedur
pembedahan konservatif yang digunakan untuk mengatasi dismenore, atau
nyeri saat menstruasi, yang disebabkan oleh endometriosis. Selama
prosedur, dokter bedah dapat memotong, membakar, atau menghancurkan
bundel saraf simpatik dan para-simpatik. Saraf ini membawa sensasi rasa
sakit dari uterus, dan ilmuwan percaya bahwa saraf ini yang terlibat dalam
dismenore. Studi menunjukkan bahwa LUNA dapat mengurangi
dismenore pada 80 persen wanita.
b) Terapi Definitif
Terapi ini terdiri dari histerektomi dengan bilateral salfingooferektomi,
eksisi luas pada permukaan peritoneal atau endometrioma dan adhesiolisis.
Histerektomi total dan oferektomi bilateral sesuai untuk penderita yang tidak
mau mempertahankan fungsi reproduksinya. Namun, sesudah histerektomi dan
oforektomi bilateral, pasien mempunyai resiko hipoestrogenisme prematur
seperti ‘hot flushes’, osteoporosis dan menurunnya libido. Biasanya setelah
operasi ini, diberikan terapi pengganti hormon post-operatif. Gabungan dosis
rendah estrogen-progestin adalah bentuk pengobatan yang diinginkan dari
terapi hormon postmenopause setelah perawatan bedah radikal.3,10,15

25
XI. PENCEGAHAN
Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis.
Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan
sesudah kehamilan kerana regrasi endometrium dalam sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu
lama, dan sesudah perkawinan hendaklah diusahakan mendapat anak-anak
yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak
hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis timbul. Selain
itu, jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada
waktu haid, kerana dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke
tuba dan ke rongga panggul.4

XII. PROGNOSIS
Konseling yang tepat pada penderita endometriosis memerlukan perhatian
pada beberapa aspek penyakit tersebut. Yang paling penting adalah penilaian
awal derajat penyakit secara operatif. Gejala dan keinginan pasien untuk
mendapatkan anak turut menjadi penentu jenis terapi yang sesuai. Perhatian
jangka panjang harus dilakukan karena semua terapi memberikan perbaikan
namun tidak menyembuhkan, walaupun setelah terapi definitif, endometriosis
masih dapat muncul kembali. Namun resikonya cukup rendah (kira-kira 30%).
Terapi pengganti estrogen tidak meningkatkan resiko secara signifikan. Selain
itu, setelah terapi konservatif, dilaporkan kadar kekambuhan bervariasi namun
umumnya lebih 10% dalam 3 tahun dan lebih 35% dalam 5 tahun. Kadar
rekurensi setelah terapi medis juga bervariasi dan dilaporkan hampir sama
dengan terapi pembedahan. Walaupun banyak penderita mengetahui
endometriosis mempunyai sifat progresif yang lama, namun terapi konservatif
dapat mencegah histerektomi pada kebanyakan kasus. Penyebab endometriosis
pada setiap individu tidak dapat langsung diprediksi dan modalitas terapi akan
datang harus lebih baik dari terapi yang ada saat ini.1

26
XIII. KESIMPULAN
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas
kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium ataupun di luar
uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut
adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis. Lokasi yang sering
ditemukan endometriosis adalah pada ovarium, septum retrovaginal dan rongga
pelvik. Penyebab utama endometriosis belum dapat dipastikan, akan tetapi
kemungkinan dapat disebabkan aliran menstruasi mundur, metaplasia,
penyebaran limfatik dan vaskuler, faktor imunologik serta induksi hormonal.
Gejala endometriosis yang sering dirasakan oleh penderita yaitu antara lain
berupa nyeri haid (dismenore), nyeri panggul kronik, nyeri saat berhubungan
(dispareunia) dan infertilitas. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan laparoskopi.
Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita
itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk
pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor
yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah
apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai
pengobatan akan berbeda berdasarkan gejala. Penanganan dapat dilakukan
dengan terapi medis seperti pemberian analgesik, GnRH agonis, progestin, pil
kontrasepsi oral dan danazol. Sedangkan untuk terapi pembedahan, sering
dilakukan secara konservatif yaitu dengan laparoskopi dan laparotomi melalui
pelepasan pelekatan, merusak jaringan endometriotik, rekonstruksi anatomi
sebaik mungkin, mengangkat kista dan melenyapkan implantasi dengan sinar
atau elektrokauter dan secara definitif dengan histerektomi, bilateral
salfingooferektomi, eksisi luas pada permukaan peritoneal atau endometrioma
dan adhesiolisis.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Alan DeCherney, Kenneth Muse. Endometriosis. In: Alan DeCherney,


Lauren Nathan, Murphy Goodwin, Neri Laufer, eds. (Lange) Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Ed. 10th. Amerika: The
McGraw-Hill Companies. 2007
2. Derek Llewellyn , Jones. Fundamentals of Obstetrics and Gynaecology,
Ed. 6th. Sydney: Hipokrates. 2002. p.254-9
3. Bruce, Carr. Endometriosis. In: John Schorge, Joseph Schaffer, Lisa
Halvorson, Barbara Hoffman, Karen Bradshaw, Gary Cunningham.
Williams Gynecology. China: The McGraw-Hill Companies. 2008
4. Prabowo, Raden Prajitno. Endometriosis. Dalam: Wikojosastro H, Abdul
Bari Saifuddin, Triatmojo Rachimhadhi. Ilmu Kandungan, Edisi ke 2.
Jakarta; Balai Penerbit FKUI:2008.p.316-27
5. Danudjo Oepomo, T. Dampak Endometriosis pada Kualitas Hidup
Perempuan. [serial online]. [cited 2016 August 22]. Available from:
http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1366&bih=551&sclient=psyab&q=
Dampak+Endometriosis+pada+Kualitas+Hidup+Perempuan
6. Mochtar R. Anatomi Alat-Alat Kandungan. Dalam: Sinopsis Obstetri, edisi
2. Jakarta: EGC. 1998: p.5-12
7. Anonymous. Chapter 27 Uterine Anatomy. [serial online]. [cited 2016
August 22]. Available from:
http://apbrwww5.apsu.edu/thompsonj/Anatomy%20&%20Physiology/202
0/2020%20Exam%20Reviews/Exam%205/CH27%20Uterine%20Anatom
y.htm
8. Overton, Caroline., Davis, Colin,. McMillan, Lindsay,. Shaw, Robert W.
An Atlas of Endometriosis Third Edition. United Kingdom; Informa
Healthcare:2007
14th
9. Berek J. Berek & Novak's Gynecology, Ed. . California: Lippincott
Williams & Wilkins. 2007

28
10. Kapoor D. Endometriosis.[serial online]. [cited 2016 August 22].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/271899-
overview#showall
11. Krotec JW, Perkins S. Endometriosis for Dummies. New York: Wiley
Publishing, Inc. 2007.p.55-77
12. Adamson, GD. Pasta, DJ. Endometriosis Fertility Index: The New,
Validated Endometriosis Staging System. [serial online]. [cited 2016
August 22]. Available from:
http://www.endometriosiszone.org/content/PDF/EFI-Endometriosis-FNS-
Fertil-Steril-Article.pdf
13. Pernol M. Benson and Pernolls, Handbook of Obstetrics Gynecology, Ed.
10th. Amerika: The McGraw-Hill Companies. 2001.p.755-67
14. Nusratudin A. Hubungan Endometriosis dan Infertilitas. [serial online].
[cited 2016 August 22]. Available from: http://med.unhas.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=163:hubungan-endometriosis-dan-
infertilitas&catid=101&Itemid=48.\
15. Fairley, Diana Hamilton. Endometriosis. In : Lecture Notes Obstetrics and
Gynaecology 2nd Edition. USA:Blackwell Publishing I.td.2004.p.240-2

29

Anda mungkin juga menyukai