Anda di halaman 1dari 36

Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan berarti aku orang yang
terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian.
Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup
mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam
menaati Rabb-nya.
Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya
menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat.
Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-
orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-
Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya.
Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada
sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat
peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan.
Maka terus meneruslah berada pada mejelis-mejelis dzikir (mejelis ilmu), semoga Allah ‘Azza
wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan
diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita. Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim
Seekor ular masuk ke dalam tempat kerja seorang tukang kayu, setelah ia kian kemari mencari
mangsa di sore hari.
Sudah menjadi kebiasaan tukang kayu itu meninggalkan sebagian alat-alat kerjanya di atas sebuah meja.
Di antaranya ada sebuah gergaji.
Di tengah-tengah pencariannya ke sana sini, tubuhnya lewat di atas sebuah gergaji. Hal itu membuat
kulitnya sedikit terluka. Ular itu jadi kesal. Sebagai bentuk balasan ia dengan segera mematuk gergaji
dengan kuat. Dia berusaha menggigitnya. Perbuatan itu justru membuat darah mengalir dari mulutnya.
Ular itu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dia berkeyakinan gergaji itu menyerangnya. Dia merasa
bahwa dirinya pasti mati. Tapi ia tidak ingin mati begitu saja. Harus ada perlawanan akhir yang
mengerahkan seluruh kemampuan. Tidak boleh menyerah begitu saja.
Lalu ia melilit gergaji itu sekuat-kuatnya. Dia berusaha melumat gergaji dengan kekuatan badannya.
Ketika tukang kayu bangun di pagi hari ia melihat gergajinya. Dan di sampingnya ada ular yang sudah
mati. Tidak ada penyebabnya selain marah dan emosinya.
Pelajaran:
Kadang-kadang di saat marah, kita berusaha untuk melukai perasaan orang lain. Setelah semua berlalu
dan kesempatan telah tiada kita baru tahu bahwa yang kita lukai sebenarnya diri kita sendiri.
Oleh karena itu, kemarahan itu adalah setan yang menguasai akal kita. Dia mengendalikan perasaan kita
yang membuat perkataan dan perbuatan kita bagaikan orang tak waras. Hingga kita tidak menyadari apa
yang kita ucapkan dan lakukan ketika marah.
Sudah sepantasnya kita ikuti tuntunan Rasulullah di saat marah. Kita ucapkan istighfar, kemudian kita
merubah posisi supaya bisa mengendalikan emosi. Kalau perlu pergi berwudhu' mendinginkan anggota
tubuh dan perasaan. Kalau belum juga teredam, shalat sunat dua rakaat dan baca al Qur'an serta
tadabburi.
Bila cara seperti itu belum juga bisa membendung kemarahan, waspadailah kalau-kalau kita bukan
kesetanan lagi. Tapi sudah berubah menjadi setan sebenarnya. Karena setan justru marah bila dibacakan
ayat al Qur'an.
Di awal rasa marah itu muncul seseorang harus mengendalikan dirinya. Kalau tidak, ia akan kehilangan
kewarasan hingga akhirnya tidak mampu menguasai diri.
Betapa banyak rasa marah sesaat yang mengakibat penyesalan seumur hidup. Bahkan penyesalan
sampai ke akhirat.
Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari rasa marah yang mengalahkan kemampuan akal untuk
menguasai diri. Lebih penting dari itu, semoga Allah menyelamatkan kita dari segala yang menyebabkan
kemarahan.

*Oleh Zulfi Akma


Putus asa akan menghampiri kita saat kita menempuh perjalanan yang panjang atau
mendapatkan kegagalan dari perjalanan-perjalanan yang kita tempuh. Bagaimana agar kita tidak putus
asa?

Mari kita ibaratkan perjalanan panjang seperti lari marathon. Anda pernah marathon? Yang kita rasakan
pada saat kita sedang berlari dalam jarak yang jauh ialah keinginan segera berhenti, minum, dan
beristirahat. Lalu mengapa tidak berhenti? Jika Anda berlari atas inisiatif sendiri, kemungkinan Anda
berhenti akan lebih besar ketimbang seorang atlit yang sedang berlomba. Mengapa? Karena imbalan
yang akan didapat lebih menarik dan lebih jelas. Kalau dia tidak sampai, bukan hanya tidak akan
mendapatkan juara, tetapi juga malu. Jadi agar Anda tidak putus asa, maka Anda harus memiliki tujuan
yang sangat menggairahkan Anda dan jelas.

Mungkin saja, saat kita berlari, kita tidak ingin untuk berhenti. Tetapi akhirnya berhenti juga karena kita
sangat kelelahan. Dengan kata lain energi kita sudah terkuras habis. Seorang atlit tidak akan mudah
kelelahan karena dia memiliki energi yang cukup. Energi yang tentu saja didapat dari latihan yang cukup
dan makanan yang dikonsumsinya. Begitu juga jika kita tidak ingin cepat putus asa maka kita harus
memiliki energi yang cukup. Baik energi dalam arti sebenarnya, maupun energi dalam arti motivasi.

Gagal lagi, gagal lagi, dan gagal lagi. Hal seperti ini pun akan memungkinkan kita putus asa. Anda telah
mencoba, Anda telah bersabar, dan Anda telah berusaha, namun kegagalan dan kegagalan yang
menemui Anda. Keadaan seperti ini bisa diibaratkan seperti sesorang yang sedang mencari suatu tempat
tetapi tidak mengetahui harus lewat mana.

Jika jalan yang Anda ketahui sedikit, maka Anda akan cepat berhenti karena tidak ada jalan lagi yang bisa
ditempuh. Tetapi jika Anda mengetahui banyak jalan, maka Anda mencoba jalan yang lainnya sampai
menemukan jalan yang benar. Semakin banyak jalan yang Anda ketahui dan energi Anda masih cukup
maka kemungkin untuk bergerak terus masih sangat memungkinkan.

Jalan yang dimaksud disini adalah ide. Saat Anda gagal dengan satu ide, maka Anda bisa mencoba ide
yang lain. Ide tersebut bisa Anda dapatkan baik dari ide sendiri maupun ide dari orang lain. Agar bisa
menghasilkan ide sendiri maka diperlukan kreativitas. Sementara untuk mengetahui ide dari orang lain,
maka yang diperlukan adalah menuntut ilmu.
Jamil Azzaini
Inspirator Sukses Mulia

Saya tahu istilah One Day One Juz (ODOJ) dari twiter. Dari namanya tentu Anda bisa menebak
apa aktivitasnya. Ya, dalam satu hari kita menyelesaikan membaca Al Qur’an satu juz. Beberapa
follower saya mengirimkan bahan untuk membantu promosi. Namun karena saya belum
menjalankan program ini saya tak bersedia mempromosikannya.

Bagi saya, apa yang saya promosikan dan sarankan maka saya harus menjalankannya terlebih
dahulu. Saya paling tidak nyaman dan tersiksa menyarankan atau mengajak orang melakukan
sesuatu sementara saya sendiri belum menjalankannya. Maka program ODOJ ini saya anggap
“angin lalu” ketika itu.

Sampai suatu hari, sebelum saya terbang ke Hongkong, di bandara saya skype-an atau webcam-
an dengan anak pertama saya Nadhira di Jerman. Saya berbincang tentang berbagai topik selama
kurang lebih satu jam. Di sela-sela perbincangan itu Nadhira bertanya, “Bapak ikut program One
Day One Juz, gak?” “Tidak,” jawab saya.

Seketika itu Nadhira membombardir saya dengan berbagai pertanyaan, “Bapak sanggup kan
ngisi training dua jam tanpa henti setiap hari? Program ini paling hanya satu jam setiap hari,
masak sih bapak gak punya waktu?”

“Bapak sanggup kan membaca buku-buku yang bapak senangi berjam-jam? Tetapi mengapa
untuk membaca Kita Suci dari Allah bapak enggan?” tambahnya lagi.

Belum sempat saya menjawab, Nadhira sudah membuat pertanyaan renungan lagi, “Siapa yang
membuat bapak sanggup mengisi training berjam-jam? Allah, kan? Siapa yang membuat bapak
bisa menulis setiap hari? Allah, kan? Tetapi mengapa bapak jarang membaca surat cinta dari
Allah? Malu dong pak. Katanya bapak ingin memeluk Rasulullah masak membaca satu juz
setiap hari gak sanggup. Ayo pak, bapak pasti bisa!”

Usai webcam-an dengan Nadhira saya mencari mushola di Garuda Lounge, saya bersujud dan
menangis sepuas-puasnya. Di mushola kecil itu saya berbisik lirih, “Hampir setiap hari saya
berbagi ilmu personal development dan leadership tetapi saya sedikit bercengkerama dengan
sumber ilmu yaitu Kitab Suci yang kebenaranya dijamin pasti.”

Batin saya terus bergejolak, bisikan dari dalam hati kembali muncul, “Sang Nabi yang ingin saya
peluk berada di tempat yang tinggi, tidak mungkin saya sampai tempat itu bila tak membaca
Kitab Suci. Duh, betapa rendah dan hinanya diri ini. Sungguh tak pantas menginginkan sesuatu
yang tinggi namun tak diiringi aksi yang mampu mencapai tempat yang tinggi itu.”

Akhirnya, One Day One Juz adalah program baru yang akan saya lakukan secara rutin di tahun
2014. Kini saya sedang berlatih menyiapkan hal itu setiap hari. Terima kasih kepada penggagas
program ODOJ, juga terima kasih kepada anak pertamaku Nadhira. Semoga setiap huruf yang
saya baca pahalanya mengalir kepada kalian semua. Kesadaran berbuat baik memang terkadang
datang memerlukan waktu dan perantara, tapi lebih baik terlambat dibandingkan tak terlibat.

Salam SuksesMulia
Ibnu al Qayyim al Jauziyah berkata:
Jangan kamu rusak kebahagiaanmu dengan rasa cemas!

Jangan rusak akalmu dengan kepesimisan!

Jangan rusak keberhasilanmu dengan kepongahan!

Jangan rusak keoptimasan orang lain dengan menjatuhkan mentalnya!

Jangan rusak harimu sekarang dengan melihat hari kemaren!

Kalau kamu perhatikan kondisi dirimu, kamu pasti menemukan bahwa Allah telah memberimu
segala sesuatu tanpa kamu minta.

Oleh karena itu yakinlah bahwa Allah tidak akan menghalangi dirimu dari kebutuhan yang kamu
inginkan, kecuali dibalik keterhalangan itu ada kebaikan.

Barangkali saja kamu lagi tidur pulas, sementara pintu-pintu langit diketuk puluhan do'a yang
ditujukan untukmu, yang berasal dari orang fakir/miskin yang kamu bantu, atau orang sedih yang
kamu hibur, atau dari orang lewat yang kamu senyum kepadanya, atau orang dalam kesempitan
yang kamu lapangi. Maka jangan sekali-kali memandang kecil segala perbuatan baik untuk
selamanya.
Jangan Melihat dari Sudut Pandang Sempit
Suatu hari seorang suami pulang kerja, dan mendapati tiga orang anaknya sedang berada
di depan rumah. Semuanya bermain lumpur, dan masih memakai pakaian tidur. Berarti semenjak
bangun tidur, mereka belum mandi dan belum berganti pakaian.

Sang suami melangkah menuju rumah lebih jauh.. Ternyata .. kotak-kotak bekas bungkus
makanan tersebar di mana-mana. Kertas-kertas bungkus dan plastik bertebaran tidak karuan. Dan
… pintu rumah bagian depan dalam keadaan terbuka.

Begitu ia melewati pintu dan memasuki rumah... MasyaAllah … kacau … berantakan … ada
lampu yang pecah. Ada sajadah yang tertempel dengan permen karet di dinding. Televisi dalam
keadaan on dan dengan volume maksimal. Boneka bertebaran di mana-mana. Pakaian acak-
acakan tidak karuan menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

Dapur? Ooooh tempat cucian piring penuh dengan piring kotor. Sisa makanan pagi masih ada di
atas meja makan. Pintu kulkas terbuka lebar.

Sang suami mencoba melihat lantai atas. Ia langkahi boneka-boneka yang berserakan itu. Ia
injak-injak pula pakaian yang berserakan tersebut. Maksudnya adalah hendak mendapatkan
istrinya, siapa tahu ada masalah serius dengannya.

Pertama sekali ia dikejutkan oleh air yang meluber dari kamar mandi. Semua handuk berada di
atas lantai dan basah kuyup. Sabun telah berubah menjadi buih. Tisu kamar mandi sudah tidak
karuan rupa, bentuk dan tempatnya. Cermin penuh dengan coretan-coretan odol..

dan....

Begitu ia melompat ke kamar tidur...

Ia dapati istrinya sedang tiduran sambil membaca komik!!!

?????#$%!###

Melihat kepanikan sang suami, sang istri memandang kepadanya dengan tersenyum.

Dengan penuh keheranan sang suami bertanya: “Apa yang terjadi hari ini wahai istriku?!!”

Sekali lagi sang istri tersenyum seraya berkata:

“Bukankah setiap kali pulang kerja engkau bertanya dengan penuh ketidakpuasan: 'Apa sih
yang kamu kerjakan hari ini wahai istriku' bukankah begitu wahai suamiku tersayang?!”

"Betul," jawab sang suami.

“Baik,” kata sang istri, "hari ini, aku tidak melakukan apa yang biasanya aku lakukan”.

***

Pesan yang ingin disampaikan adalah:

1. Penting sekali semua orang memahami, betapa orang lain mati-matian dalam menyelesaikan
pekerjaannya, dan betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang lain itu agar
kehidupan ini tetap berimbang, berimbang antara MENGAMBIL dan MEMBERI, TAKE and
GIVE.

2. Dan … agar tidak ada yang mengira bahwa dialah satu-satunya orang yang habis-habisan
dalam berkorban, menanggung derita, menghadapi kesulitan dan masalah serta
menyelesaikannya.

3. Dan … jangan dikira bahwa orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang tampaknya santai,
diam, dan enak-enakan … jangan dikira bahwa mereka tidak mempunyai andil apa-apa.

4. Oleh karena itu, HARGAILAH JERIH PAYAH DAN KIPRAH ORANG LAIN dan JANGAN
MELIHAT DARI SUDUT PANDANG YANG SEMPIT.

*by Musyafa AR
Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :
Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan berarti aku orang yang
terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian.

Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup
mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam
menaati Rabb-nya.

Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya
menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat.

Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-
orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-
Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya.

Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada
sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat
peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan.

Maka terus meneruslah berada pada mejelis-mejelis dzikir (mejelis ilmu), semoga Allah ‘Azza
wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan
diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita. Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.
"Berhenti Berarti Mati" | Oleh Ustadz Abdul
Muiz
Oleh: Ustadz Abdul Muiz

Anas bin Malik mengatakan tentang Abdullah bin Ummi Maktum yang secara kondisi fisik buta.
Tapi pada perang Yarmuk, Abdullah bin Ummi Maktum hadir di tengah para mujahidin di medan
perang, memakai baju besi, memegang bendera. Anas bin Malik bertanya, wahai Abdullah bin
Ummi Maktum, bukankah Rasulullah saw telah memberi udzur kepadamu? Ia menjawab, “Ya
betul, memang dalam Al Quran telah diberikan udzur kepada orang buta. Tetapi saya
menginginkan dengan kehadiran saya di sini, di medan perang, paling tidak dapat menambah
jumlah tentara Islam.”

***

Diceritakan lagi ketika tentara Holagu masuk ke kota Baghdad, terdapat seorang ulama yang
juga buta. Dia menghadang tentara dengan mengayunkan pedang ke kanan dan ke kiri barangkali
ada musuh yang kena. Secara logika, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang dalam kondisi
seperti itu? Barangkali kalau dia duduk di rumah dia tidak dosa dan tidak ada pertanggung
jawabannya di sisi Allah. Tapi masalahnya, ia ingin berkontribusi, ingin aktif.

***

Kisah kisah semacam ini banyak dalam kisah tabiin. Yang kita inginkan dalam tarbiyah adalah
para kader dakwah seperti itu. Meskipun sudah udzur tetap saja bersemangat berjuang, berjuang,
berjuang. Kendala fisik, materi, kondisi ekonomi, minimnya sarana, dan kendala-kendala
duniawi lain bukanlah halangan manakala iman sudah tertanam kuat di dada.

Suatu ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya muridnya,

“mataa yajidul abdu tha’marrahah?”


("kapan seseorang bisa beristirahat?”)

Ia menjawab,

“Indamaa yatha’u ihda qadamaihi fil jannah”


(“Jika kita telah menginjakkan kaki di Surga, maka disanalah kita akan beristirahat”).

Artinya sebelum mati, tidak ada waktu untuk senang senang istirahat.

Laa rahata li du’at illa ba’dal mamaat (tidak ada kamus berleha-leha bagi para da'i kecuali
setelah mati). Itu kata Syaikh Ahmad Rasyid.

Jadi barangsiapa yang mau istirahat silahkan mati. Meskipun setelah itu juga belum tentu bisa
istirahat karena tidak ada amal.***
"Rizqi dan Keyakinan Utuh" | Salim A Fillah

Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak
dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya
dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam
perkara dunia.

-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau
salah rancang dan keliru cetak!”

Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti
dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai
makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai
manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba
dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang
nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih
dan sesak menjadi seekor cicak.

Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita
mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.

Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah
yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang
harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang
harus mengejar dengan terbang.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya
tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi Rizqi,
sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang
Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang
Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap,
perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih
dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si
nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang
melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya,
sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.

“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya. Dia
Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)
“Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-
binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor
keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah
di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor,
liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.

***

“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa


Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal
terhadapnya.”

Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan
mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh
baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.

Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur,
menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan,
membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia
mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir
yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam
cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab
sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan
lumpur di sudut-sudut ladang garam.

Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda
melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia
dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang
jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum
akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil
pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang
rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.

Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya,
membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan
lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan.
Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan
sebuah suapan yang didahului doa.

Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala
puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak
henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang
diembannya.

***

Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri
yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang
murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah
adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.
Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui
pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita,
dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam,
bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya?
Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja,
“Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba
adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!”

Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang
harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya
adalah kayanya jiwa.”

Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”,
demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di
langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan
menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan
menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang
Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.

***

Ada dua cara Allah mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami oleh Maryam binti
‘Imran, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.

Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imran untuk menjadikan buah hati yang
dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia bayangkan adalah seorang anak
lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al Quds, pengurai Taurat yang fasih, dan pembimbing
ummat yang penuh teladan. Tetapi Allah yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak
perempuan.

“Maka Rabbnya menerima nadzar keluarga ‘Imran dengan penerimaan yang baik. Allah
tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan Allah jadikan Zakaria
sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di dalam
mihrab, dia dapati ada rizqi di sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan
ini?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah mengaruniakan rizqi pada
siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS Ali ‘Imran [3]: 37)

Betapa jua, Allah Yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang Bunda membawa bayi
Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani Israil, Ahbar, dan para Rahib berkumpul,
berharap untuk mendapatkan hak asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan
pena-pena dalam undian, Allah mengamanahkan Maryam pada Zakaria.

Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik, dibimbing insan terbaik.
Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrab Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya,
mengkhidmahkan diri untuk rumah Allah. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan
Rabbnya, bahkan seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Allah bagi gadis suci
ini.

Tapi setiap insan diuji Allah dengan karunia terkait apa yang paling dijunjung tinggi oleh
jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan
dirinya, yang kudus dalam hati, fikiran, serta perbuatannya. Allah memilihnya untuk
mengandung bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia terlebih
dulu disentuh seorang pria.
Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.

Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8 mil dari Mihrabnya di Baitul
Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar,
“Bahwa hidup Maryam ketika itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri
karena terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita yang akan
melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan teduh.”

“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia
berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam [20]: 23)

Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang. Bahwa anak itu
akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak
Allah”, lanjut Buya Hamka, “Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan
percaya? Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa ada lelaki
yang menjadi bapak.”

Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Allah itu, bersebab rasa berat
yang menekan-nekan hati dan menyesakkan dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya
aku mati sebelum ini”, seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar
dijelaskan pada kaum Bani Israil yang sebagiannya suka usil.

“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan Maryam. Sungguh
Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada siapapun yang mengenal, dan tidak
sampai menjadi buah mulut orang-orang. “Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan
telah memuncak sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”

Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati.
Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal
pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak
kepadamu.” (QS Maryam [20]: 24-25)

Yang pernah bertamu pada Allah dan menjenguk Rasulullah, pastinya telah melihat pohon
kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan di bagian bawahnya. Di Madinah Al
Munawwarah, kami pernah mencoba menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming
sedikitpun juga. Maka bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan,
serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya agar buah ranumnya
jatuh ke bumi.

Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.

Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Allah harus jadi yang mula-mula. Maka dengan
kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan seluruh sisa tenaganya untuk
menggerakkan pangkal pokok yang besar itu, satu demi satu, ruthab pun lepas dari tangkainya.

Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrab dengan iman yang
berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan Maryam yang menyesali diri menunjukkan
ketaksempurnaan penerimaannya akan ketetapan Allah. Hal itulah yang membuatnya tak
mendapat rizqi yang langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan
meengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.

Allah menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara penganugrahan. Lalu kita
tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan
ikhtiyar yang harus kita tempuh.

Salim A Fillah

10 BEKAL AMAL
Dakwah Islamiyah adalah harakatu ishlah wa taghyir (gerakan perbaikan dan perubahan).
Perbaikan dan perubahan dari jahiliyah kepada Islam; dari syirik kepada tauhid; dari
penyembahan makhluk kepada penyembahan Khaliq; dari orientasi dunia kepada orientasi
akhirat; dari kezaliman tirani kepada keadilan Islam; dari hukum nenek moyang buatan manusia
kepada syariat Allah; dan dari perilaku tercela kepada perilaku terpuji.
Dengan begitu dakwah islamiyah juga merupakan gerakan iqomatuddin (penegakkan agama).
Sebuah proses menyeluruh yang mengupayakan terjadinya peralihan struktur ideologi, budaya
dan kekuasaan dalam sebuah masyarakat.
“…supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” (QS. Al-Anfal, 8:
39)
Tentu saja hal ini bukan perkara mudah. Karena demikian banyak waktu dan tenaga yang akan
terkuras. Demikian panjang dan terjal jalan yang harus dilalui. Oleh karena itu para pengemban
dakwah wajib menyiapkan bekal yang cukup di perjalanan.
(1) Ilmu dan Pemahaman
Bekal utama para pengemban dakwah adalah ilmu dan pemahaman. Muhammad Abdullah Al-
Khatib dan Muhammad Abdul Halim Hamid dalam Nazharat fi risalatut ta’lim menyatakan,
“Pemahaman yang benar dapat membantu mewujudkan amal yang benar, penerapannya yang
tepat, dan dapat memelihara pemiliknya dari ketergelinciran.”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “Barangsiapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka
unsur merusaknya lebih banyak daripada mashlahatnya.”
Orang ikhlas yang beramal, tetapi tidak memiliki pemahaman yang benar dan tidak mampu
menempatkan sesuatu pada tempatnya, dapat tersesat jauh dari jalan kebenaran.

(2) Keikhlasan

Selain ilmu dan pemahaman, bekal lain yang harus disiapkan para pengemban dakwah adalah
keikhlasan. Sehingga amalnya tidak tercampuri oleh keinginan-keinginan jiwa yang bersifat
sementara, seperti menginginkan keuntungan materi, kedudukan, harta, ketenaran, tempat di hati
manusia, pujian dari mereka, menghindari cercaan mereka, mengikuti bisikan nafsu, atau ambisi-
ambisi lainnya yang dapat dipadukan dalam satu kalimat, yaitu melakukan amal untuk selain
Allah, apa pun bentuknya.

Para pengemban dakwah hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya
kepada Allah dan mengharap keridhaan-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, prestise,
pangkat maupun gelar. Dengan begitu ia menjadi ‘tentara aqidah’, bukan tentara kepentingan
yang hanya mencari kemanfaatan dunia.

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). (QS. Al-An’am, 6:
162-163)

(3) Stamina Amal

Peradaban Islam mustahil terwujud dengan amal tak beraturan, sporadis, reaksioner, temporer
dan tambal sulam. Apalagi sekedar menebar slogan mentereng dan propaganda kosong. Oleh
karena itu, para pengemban dakwah wajib membekali diri mereka dengan stamina amal yang
kuat. Karena mereka akan melakukan amal secara berkesinambungan, tanpa lelah dan tanpa
bosan. Ingatlah, sungguh tiada tempat sedikitpun bagi orang-orang yang malas dan berpangku
tangan dalam barisan dakwah.
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
(QS. At-Taubah, 9: 105)

(4) Ruhul Jihad

Tanpa jihad, dakwah tidak akan pernah hidup. Urutan jihad yang pertama yang dituntut dari para
pengemban dakwah adalah pengingkaran hati terhadap kemaksiatan pada Allah, dan puncaknya
adalah berperang di jalan Allah ta’ala. Diantara keduanya ada jihad dengan lisan, pena, tangan,
dan kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zalim.

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. (QS. Al-Hajj, 22:
78)

Ibnu Abbas ra berkata tentang pengertian jihad,

“Jihad adalah menguras potensi dalam membela agama Allah, dan tidak takut cercaan orang
yang mencerca dalam melaksanakan agama Allah.”

Muqatil berkata,

Makna jihad adalah “Bekerjalah untuk Allah dengan sebenar-benar kerja, dan beribadahlah
dengan sebenar-benar ibadah.”

Ibnul Mubarak berkata,

“Jihad adalah mujahadah terhadap jiwa dan hawa nafsu.”

DR. Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata,

“Jihad adalah mencurahkan potensi dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dan membentuk
masyarakat muslim. Sedangkan mencurahkan tenaga dengan melakukan perang adalah salah satu
jenis dari jihad. Tujuan jihad adalah membentuk masyarakat yang islami, dan membentuk
Negara Islam yang benar.”

(5) Tadhiyah

At-Tadhiyah adalah mengorbankan jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala-galanya demi
mencapai tujuan.

Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. (QS. At-Taubah, 9: 111)

Marilah kita teladani Abu Bakar yang rela mengorbankan seluruh hartanya pada masa
peperangan Tabuk. Begitu pula Shuhaib Ar-Rumi rela melepas apa yang dimiliki ke tangan kaum
musyrikin untuk membela agama Allah hijrah dari Makkah ke Madinah.

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah;
dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.(QS. Al-baqarah, 2: 207)

(6) Taat pada Qiyadah

Amal harakah islamiyah adalah amal jama’i. Ada jundi (prajurit) dan ada qiyadah (komandan).
Keduanya terikat dalam perjuangan dilandasi kesamaan visi, misi, dan program. Sikap taat—
karena Allah—kepada qiyadah adalah keharusan dalam sebuah amal jama’i.
Apa yang akan terjadi jika program dan tugas dakwah yang telah direncanakan diterima oleh
telinga yang tidak mampu mendengar, semangat yang melempem, serta hati yang
berkecenderungan untuk membantah dan sombong? Tentu saja proyek-proyek besar akan
mandeg seketika, amal-amal mulia akan mengalami kelumpuhan dan terkubur tanpa ada seorang
pun yang melayatnya.

Kita tentu tahu ibrah agung dalam peperangan Uhud, bagaimana Rasulullah saw memerintahkan
para pemanah untuk tidak meninggalkan posisi mereka apa pun yang terjadi. Akan tetapi tatkala
mereka melihat kemenangan seolah-olah telah berpihak pada kaum muslimin, mereka turun
meninggalkan posisinya dan melanggar perintah Rasulullah saw. Akhirnya terjadi serangan balik
dari musyrikin yang menyebabkan 70 orang muslimin syahid. Pelajaran ini menegaskan tentang
wajibnya ketaatan.

Karena itu para pengemban dakwah harus senantiasa siap melaksanakan perintah qiyadah dan
merealisir dengan segera, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun
malas.

(7) Tsabat

Tsabat artinya teguh beramal sebagai mujahid dalam memperjuangkan tujuannya, betapa pun
jauh jangkauan dan lama waktunya.

Seorang pengemban dakwah hendaknya tetap dalam keadaan seperti itu sampai bertemu Allah
swt. Niscaya ia akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu hidup mulia atau mati
syahid.

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya), (QS. Al-Ahzab, 33: 23)

(8) Tajarrud

Tajarrud artinya totalitas atau bersungguh-sungguh pada suatu urusan. Di antara tanda-tanda
sikap tajarrud yang harus dimiliki para pengemban dakwah adalah:

Pertama, mampu mensikapi manusia atau segala sesuatu dengan timbangan dakwah. Apakah ia
berhak mendapatkan loyalitas atau berhak mendapatkan permusuhan.

Sesungguhnya telah ada suri tauldan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami
berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-
lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)

Kedua, tidak merasa berat mempersembahkan jiwa di jalan Allah ta’ala dan mengatur segala
urusannya serta seluruh kehidupannya sejalan dengan hukum-hukum dan perintah-perintah Allah
ta’ala.

Para pengemban dakwah harus mampu menegakkan al-haq di dalam jiwa, nurani, dan kehidupan
mereka, dalam bentuk aqidah, akhlak, ibadah, dan perilaku sehari-hari. Hasan Hudhaibi berkata:
“Wahai Ikhwan, tegakkanlah Islam di dalam hatimu, tentu ia akan tegak di bumimu.”

(9) Menjaga Ukhuwah

Ukhuwah adalah kekuatan iman yang menumbuhkan perasaan simpati, emosi yang tulus,
kecintaan, kasih sayang, penghargaan, penghormatan, dan saling percaya antar orang-orang yang
terikat dengan akidah tauhid dan manhaj Islam. Ukhuwah dapat menumbuhkan sikap saling
tolong menolong, saling mengutamakan orang lain, saling mengasihi, saling memaafkan, saling
berlapang dada, saling menanggung, dan saling mengokohkan.

Tingkatan ukhuwah yang paling rendah adalah salamatush shadr (bersihnya hati dari buruk
sangka) dan yang tertinggi adalah itsar (mengutamakan orang lain). Seandainya para pengemban
dakwah mengalami penurunan dari tingkatan ukhuwah yang paling rendah—yaitu salamatush
shadr—maka perpecahan akan muncul dan pertentangan akan semakin meluas. Kedua hal ini
dapat mengantarkan jama’ah dakwah pada kekalahan dan kehancuran.

Taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar., (QS. Al-Anfal, 8: 46)

(10) Tsiqah

Bekal terakhir yang harus disiapkan para pengemban dakwah adalah tsiqah, yakni rasa puasnya
seorang prajurit atas komandannya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya, dengan kepuasan
mendalam yang menumbuhkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan, dan ketaatan.

Para prajurit dakwah hendaknya selalu waspada dan berhati-hati terhadap musuh-musuh yang
selalu berupaya menimbulkan friksi internal demi memenangkan pertarungan melawan al-haq.
Untuk itu para pengemban dakwah harus menjaga dan memperkokoh tsiqah-nya pada pemimpin
agar dakwah terus bergulir mencapai tujuannya.

Wallahu a’lam.

*Maraji’: Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, Muhammad Abdullah Al-Khatib & Muhammad
Abdul halim Hamid.

Jangan Berhenti Merawat Keimanan


Oleh Abdullah Haidir

Umumnya, jalan-jalan ketaatan yang Allah berikan akan mengantarkan kita pada hidayah dan
keimanan yang lebih kuat. Sebaliknya, jalan-jalan keburukan dan kemaksiatan yang Allah larang,
akan mengantarkan kita pada kelemahan iman dan kesesatan.

Akan tetapi, jangan pernah berhenti pada kondisi yang kita alami sekarang ini. Jika kita berada
dalam hidayah, jangan sombong, seakan-akan keselamatan telah diboyong. Sedangkan jika kita
berada dalam kubangan dosa, bertaubatlah segera. Jangan putus asa, seakan tidak ada pintu
keselamatan yang terbuka.

Prinsipnya…. Jangan pernah berhenti merawat, menjaga, menyuburkan keimanan, baik dengan
doa, ibadah dan berbagai ketaatan serta menjauh dari kemaksiatan.

Sebab, dalam beberapa kondisi, hidayah adalah misteri;

Nabi Musa yang diasuh Fir'aun menjadi tokoh beriman dan pejuang, namun Kan'an yang diasuh
oleh Nabi Nuh alaihissalam, justeru kufur dan membangkang….

Asiah isteri Fir'aun yang tinggal di istana bersamanya, tetap istiqamah dalam iman. Namun isteri
Nabi Nuh dan Nabi Luth alaihimassalam justeru memilih kesesatan.

Abu Thalib yang begitu dekat dengan Rasulullah saw, meninggal tanpa membawa iman,
sementara Ushairam (salah seorang shahabat yang baru masuk Islam, tak lama kemudian syahid
di medan juang) di kesempatan terakhir kehidupannya membawa syahid meraih impian.

Najasyi, raja Habasyah, negeri tujuan hijrah para shahabat pertama kali, dikabarkan akhirnya
menerima Islam dan mati membawa keimanan. Sementara Ubaidillah bin Jahsy yang hijrah
bersama isterinya Ummu Habibah ke Habasyah untuk menyelamatkan imannya dari kekejaman
kafir Quraisy, justeru di sana murtad, dan akhirnya mati dalam kekufuran.

Di negeri-negeri Islam, tidak sedikit generasi muslim yang kepincut budaya western, sedikit
demi sedikit mereka menjauhi Islam sebagai pedomannya. Sementara di Eropa-Amerika yang
menjadi sumber budaya tersebut, orang kafir berbondong-bondong mempelajari Islam untuk
memeluknya.

Di kantor dakwah tempat saya bekerja (Riyadh), hampir setiap hari ada orang mengucapkan
syahadat ingin mendapatkan nikmat Islam, tapi sekitar dua pekan lalu saya kedatangan suami
yang membawa isterinya (warga Indonesia). Dia mengadu bahwa isterinya ingin keluar dari
Islam...!

Allahumma yaa muqallibal quluub, tsabbit quluubanaa alaa diinik….


Allahumma tawaffana muslimiin wa alhiqnaa bisshaalihiin....
Yaa Allah yang membolakbalikkan hati, tetapkan hati kami dalam agama-Mu…
Ya Allah, matikan kami sebagai orang muslim dan kumpulkan kami bersama orang-orang
saleh....

Salah Faham Tentang Istikharah


Hakekat istikharah adalah “penyerahan urusan dan pilihan terbaik kepada Allah SWT”, sesuai
dengan namanya: “istikharah” yang artinya meminta dan menyerahkan yang terbaik, meskipun
urusan itu bisa jadi tidak disukainya.
...

Oleh : Musyafa Ahmad Rahim, Lc.


(Kaderisasi DPP PKS)

Rasulullah SAW bersabda:

‫خاَعرعة‬ ‫سرت ع‬ ‫معناَ ا رل ن‬ ‫م هيععلر ل ه‬ ‫سل ل ع‬ ‫ه عو ع‬ ‫ا ععلعني ر‬ ‫صللىَّ ه‬ ‫ه ع‬ ‫ل الل ل ر‬ ‫سوُ ه‬ ‫ن عر ه‬ ‫ عكاَ ع‬:‫ل‬ ‫ عقاَ ع‬،َ‫ما‬ ‫ي الل لهه ععننهه ع‬ ‫ض ع‬ ‫ه عر ر‬ ‫ن ععنبرد الل ل ر‬ ‫جاَبررر نب ر‬ ‫ن ع‬ ‫عع ن‬
‫ن عغنيرر‬ ‫م‬
‫ر‬ ‫ن‬
‫عن ن ع ععن ر ن‬‫ي‬ ‫ت‬ ‫ع‬ ‫ن‬
‫ك‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ك‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫ن‬
‫ل‬ ‫ع‬
‫ف‬ ،‫ر‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ل‬
‫ع ل ع ه ن ر ن ر‬َ‫با‬ ‫م‬ ‫ك‬
‫ه‬ ‫د‬‫ح‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ذا‬
‫ع‬ ‫ر‬ ‫إ‬ " : ‫ل‬
‫ع ه ه‬ ُ‫قو‬ ‫ي‬ ،‫ن‬ ‫ر‬ ْ‫رآ‬ ‫ق‬
‫ع ه ن‬‫ال‬ ‫ن‬ ‫م‬
‫ر‬ ‫ة‬‫ع‬ ‫ر‬
‫ع‬ ُ‫سو‬ ‫س‬ ‫ال‬ َ‫نا‬ ‫م‬
‫ع ه ع ه ع‬‫ل‬ ‫ل‬
‫ر‬ ‫ع‬‫ي‬ َ‫ما‬ ‫ع‬
‫ك‬ ،َ‫ها‬‫ع‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ر‬ ‫ك‬‫ه‬ ‫ر‬
‫ه ر‬ ُ‫مو‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫في‬ ‫ر‬
‫ك‬‫ عفرإن ل ع‬،‫م‬ ‫ظي ر‬‫ك العع ر‬ ‫ضرل ع‬ ‫ن عف ن‬ ‫ك رم ن‬ ‫سأهل ع‬ ‫ع‬ ‫ عوأ ن‬،‫ك‬ ‫ع‬ ‫ك برهقندعرتر ع‬ ‫سعتنقردهر ع‬ ‫ع‬
‫ك عوأ ن‬ ‫م ع‬ ‫ك بررعنل ر‬ ‫خيهر ع‬ ‫سعت ر‬ ‫ع‬
‫م إررلني أ ن‬ ‫ الل لهه ل‬:‫ل‬ ‫م لريعهق ن‬ ‫ هث ل‬،‫ة‬ ‫ض ر‬ ‫العفرري ع‬
‫خنيرر رلي رفي رديرني‬ ‫هعذا النمعر ع‬ ‫ع‬ ‫ن ع‬ ‫مأ ل‬‫ع‬ ‫ع‬
‫ت تعنعل ه‬ ‫ن هكنن ع‬ ‫م إر ن‬ ‫ اللهه ل‬،‫ب‬‫ل‬ ‫ت ععللهم الهغهيوُ ر‬ ‫ عوأنن ع‬،‫م‬‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫م عول ع أنعل ه‬ ‫ع‬ ‫ن‬
‫ عوتعنعل ه‬،‫تعنقردهر عول ع أقردهر‬ ‫ع‬
‫ن‬ ‫ عوإر ن‬،‫ه‬ ‫ك رلي رفي ر‬ ‫ر‬
‫ل ع ر ن‬ َ‫با‬ ‫م‬ ‫ث‬
‫ه‬ ،‫لي‬ ‫ر‬ ‫ه‬ ‫ر‬
‫عع ل ن ه‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ي‬‫و‬ ‫لي‬ ‫ر‬ ‫ه‬
‫هن ه‬‫ر‬ ‫د‬ ‫ق‬‫ن‬ َ‫فا‬‫ع‬ - ‫ه‬
‫ر‬ ‫ل‬
‫ر‬ ‫ج‬‫ر‬ ْ‫وآ‬ ‫ع‬ ِ‫ري‬ ‫م‬
‫ر ن ر‬‫ع‬ ‫أ‬ ‫ل‬ ‫ج‬
‫ر‬ َ‫عا‬‫ع‬ ‫ل‬
‫ع‬ ‫ع‬
َ‫قا‬ ‫و‬
‫ن‬ ‫ع‬ ‫أ‬ - ِ‫ري‬‫ة أع ن ر‬
‫م‬ ‫شي عوععاَقربع ر‬ ‫عوعمععاَ ر‬
-‫ه‬ ‫جرل ر‬ ‫ل أنمرريِ عوآْ ر‬ ‫ع‬ ‫ج ر‬ ‫ل رفي ععاَ ر‬ ‫ع‬
‫ أنو عقاَ ع‬- ِ‫ة أنمرري‬ ‫ع‬ ‫شي عوععاَقربع ر‬ ‫شرر رلي رفي رديرني عوعمععاَ ر‬ ‫هعذا النمعر ع‬ ‫ع‬ ‫ن ع‬ ‫مأ ل‬ ‫ع‬ ‫ت تعنعلع ه‬ ‫هكنن ع‬
‫جعتهه« )رواه‬ ‫حاَ ع‬ ‫مي ع‬ ‫س رل‬ ‫ »عوهي ع‬:‫ل‬ ‫ع‬
‫ضرني " قاَ ع‬ ‫م أنر ر‬‫ع‬ ‫ هث ل‬،‫ن‬ ‫ث كاَ ع‬ ‫ع‬ ‫حني ه‬ ‫خنيعر ع‬ ‫ن‬
‫ عواقهدنر رلي ال ع‬،‫صررفرني ععننهه‬ ‫ن‬ ‫صررفهه ععرلني عوا ن‬ ‫ن‬ ‫عفاَ ن‬
(‫[ وغيره‬7390 ،6382 ،1162] ِ‫البخاَري‬.

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata: Rasulullah SAW mengajarkan istikharah kepada kami
dalam segala urusan, semuanya, sebagaimana beliau mengajarkan sebuah surat dari Al-Qur’an,
beliau bersabda: “Jika salah seorang diantara kamu mempunyai keinginan terhadap sesuatu,
hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat yang bukan fardhu, kemudian membaca doa: ‘Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon yang terbaik kepada-Mu dengan wasilah ilmu-Mu dan
memohon takdir kepada-Mu dengan wasilah qudrat-Mu, dan aku memohon kepada-Mu sebagian
dari karunia-Mu yang agung, sebab Engkau memiliki qudrat (kemampuan) sedangkan aku tidak
memilikinya, dan Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau adalah Dzat
yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini –
dipersilahkan menyebutkan urusan dan hajatnya- adalah yang terbaik untukku dalam agamaku,
kehidupanku dan kesudahan urusanku’ – atau ia berkata: ‘urusanku sekarang dan kemudian’ –‘
maka takdirkanlah untukku dan mudahkanlah untukku, kemudian, berikanlah keberkahan
kepadaku dalam urusan itu, dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini – dipersilahkan
menyebutkan urusan dan hajatnya – adalah buruk untukku dalam agamaku, kehidupanku dan
kesudahan urusanku’ – atau ia berkata: ‘urusanku sekarang dan kemudian’ – ‘maka palingkan ia
dariku dan palingkan diriku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku di mana pun ia
berada, kemudian, jadikan diriku ridha kepadanya’”.

(HR Bukhari [1162, 6382 dan 7390) dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

Pemahaman-pemahaman salah tentang Istikharah:

1. Hanya Diperlukan Saat Ragu-Ragu Memilih

Sebagian orang memahami bahwa shalat istikharah hanya disyari’atkan saat seseorang ragu-ragu
dalam memilih diantara dua perkara.

Pemahaman ini tidaklah benar, sebab hadits Rasulullah SAW menjelaskan: “Idza hamma
ahadukum bil amri” (Jika salah seorang diantara kamu mempunyai keinginan terhadap sesuatu).

Terlihat di sini bahwa Rasulullah SAW TIDAK BERSABDA: “Idza taraddada” (jika salah
seorang diantara kamu ragu-ragu).

Perlu juga diketahui bahwa kata: “hamma” menunjukkan suatu peringkat dari suatu keinginan. Ia
adalah marhalah (tahapan) lebih rendah dan lebih ringan dari azam yang berarti tekad.

Agar lebih jelas peringkat-peringkat ini, baik juga kita kutip perkataan seorang pelantun yang
menjelaskan hal ini:

َ‫مععا‬ ‫س( عفاَ ن‬


‫ستتتتعت ر‬ ‫ث اللننفتتتت ر‬ ‫ عفتتتتت ) ع‬،(‫طرر‬
‫حتتتتردني ه‬ ‫س( عذعكتتتتهرنوا ÷ عفتتتتت ) ع‬
‫ختتتتاَ ر‬ ‫ج ر‬
‫هتتتتاَ ر‬
‫ ) ع‬:‫س‬
‫متتتت ر‬
‫خ ن‬ ‫ب انلعق ن‬
‫صتتتترد ع‬ ‫عمعراترتتتت ه‬

‫ه اعل ع ن‬
َ‫ختتتتتهذ عقتتتتتند عوعقععتتتتتا‬ ‫ستتتتتعوُىَ نال ع ر‬
‫خنيتتتتترر عفرفنيتتتتت ر‬ ‫م( هكل سعهتتتتتاَ هرفرععتتتتت ن‬
‫ت÷ ر‬ ‫م( عفتتتتتت )ععتتتتتنز ر‬
‫هتتتتت ر‬
‫ه) ع‬
‫يعرلنيتتتتت ر‬

Perintah “maksud” atau “tujuan” itu ada lima yang mereka sebutkan: “Hajis” (gerakan hati), lalu
“Khathir” (lintasan, gagasan), lalu “Haditsun-nafs” (suara jiwa), maka dengarkanlah.

Disusul “hammun” (keinginan), lalu “azam” (tekad). Semua itu tidak terhitung dan tidak tercatat
kecuali dua tingkatan yang terakhir. Inilah pendapat yang terpilih.

Jadi, seandainya seseorang berkeinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia tidak
mempunyai opsi pilihan kecuali satu pilihan saja, dimana ia telah mempunyai “hamm”
(keinginan) untuk melakukannya, maka sebelum ia benar-benar melakukannya, hendaklah ia
melakukan shalat istikharah, dan jika ia memiliki “hamm” untuk tidak melakukannya atau
meninggalkannya, hendaklah ia melakukan istikharah terlebih dahulu.

Adapun jika dihadapannya ada sekian banyak opsi pilihan, maka:

- Pertama sekali hendaklah ia melakukan musyawarah, meminta pendapat kepada orang-orang


yang terpercaya, baik dari kalangan ahli ilmu, ulama’, maupun pakar dan ahli, agar mereka
membantunya untuk menyisakan satu pilihan saja dari sekian banyak pilihan, lalu,

- Jika ia berkeinginan melakukan pilihan yang tinggal satu ini, sebelum ia benar-benar
melakukannya, hendaklah ia melakukan istikharah.

2. Istikharah Hanya Berlaku Untuk Urusan Tertentu Saja


Sebagian orang meyakini bahwa istikharah hanya disyariatkan untuk dilakukan terhadap urusan-
urusan tertentu saja, misalnya: urusan pernikahan, bepergian dan semacamnya. Atau istilahnya:
urusan-urusan besar, strategis, genting dan berdampak panjang atau luas.

Keyakinan ini tidaklah benar, sebab, sahabat nabi yang meriwayatkan dan menyampaikan
informasi itu kepada kita, yaitu Jabir bin Abdillah As-Salami mengatakan: “kana yu’allimuna al-
istikharata fil umuri kulliha”, artinya: “Rasulullah SAW mengajarkan kepada kami untuk
melakukan istikharah dalam segala urusan, semuanya”.

Jelas di sini bahwa ia tidak mengatakan: “fi ba’dhil umur” (pada sebagian urusan), atau “fil
umuri al-kabirah” (dalam urusan-urusan besar”.

Akibat dari keyakinan yang salah ini, manusia menjadi ogah melakukan istikharah dalam urusan
yang mereka pandang kecil, remeh, sepele, tidak penting, tidak strategis, tidak berdampak
panjang, tidak berdampak besar dan sebagainya, padahal, bisa jadi, dan ini sangat mungkin,
urusan yang dipandang kecil itu sebenarnya memiliki dampak serius dan besar bagi kehidupan
dunia dan akhirat-nya.

3. Mesti Shalat Khusus Istikharah

Ada juga sebagian manusia yang meyakini bahwa istikharah mestilah dilakukan dalam bentuk
shalat khusus yang bernama shalat istikharah.

Keyakinan ini pun tidaklah benar, sebab hadits nabi menjelaskannya demikian: “falyarka’
rak’atain min ghairil faridhah” (hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at yang bukan fardhu).

Penegasan Rasulullah SAW: “min ghairil faridhah” (yang bukan fardhu) mencakup shalat
tahiyyatul masjid, shalat sunnat Rawatib, Shalat Dhuha, Sunnat Wudhu dan shalat-shalat sunnat
lainnya. Sehingga, sangat dimungkinkan, disamping diniatkan sebagai shalat-shalat sunnat
tersebut, disertai juga niat istikharah dan hal ini termasuk yang dibenarkan oleh syari’at, dimana
terjadi double niat dalam sebuah ibadah, yaitu saat salah satu ibadah bukan menjadi tujuan
utama, semacam shalat istikharah ini.

4. Harus Ada Rasa Plong Setelah Istikharah

Ada lagi sebagian manusia yang meyakini keharusan adanya insyirah shadr (dada yang plong)
setelah melakukan istikharah.

Hal ini sebenarnya tidak ada dalilnya, sebab, hakekat istikharah adalah “penyerahan urusan dan
pilihan terbaik kepada Allah SWT”, sesuai dengan namanya: “istikharah” yang artinya meminta
dan menyerahkan yang terbaik, meskipun urusan itu bisa jadi tidak disukainya. Bukankah Allah
SWT berfirman:

‫م عوعأنهتتت ن‬
‫م لع‬ ‫م عوالل لتتهه يعنعلعتت ه‬
‫شتترر ل لهكتت ن‬ ‫شتتنيئْاَا عو ه‬
‫هتتعوُ ع‬ ‫ستتىَّ عأن هت ر‬
‫حبستتوُنا ع‬ ‫م عوعع ع‬‫خنيتترر ل لهكتت ن‬ ‫شنيئْاَا عو ه‬
‫هعوُ ع‬ ‫سىَّ عأن تعنكعر ه‬
‫هوُنا ع‬ ‫عوعع ع‬
(216 : ‫ن ) البقتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتترة‬ ‫تعنعلع همتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتوُ ع‬

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. (QS.Al-Baqarah: 216)

Akibat harus adanya insyirah tersebut, sering terjadi, seseorang malah menjadi semakin bingung
dan semakin ragu-ragu setelah ber-istikharah. Dan bisa jadi ia lalu melakukan istikharah
berulang-ulang. Alih-alih mendapatkan insyirah shadr (rasanya plong di dada), justru ia semakin
ragu dan semakin bingung, terlebih jika dari awal memang ia sudah memiliki perasaan tidak sreg
kepada apa yang akan dilakukannya.
Terkadang juga, sepertinya seseorang “memaksa” Allah SWT agar menyetujui pilihannya,
sehingga cara dan sikap ini tentunya tidak bisa disebut istikharah lagi, sebab, seperti telah
dijelaskan, istikharah artinya adalah memohon dan menyerahkan yang terbaik kepada Allah
SWT, dan bukan memaksa Allah SWT untuk menyetujui pilihannya.

Yang benar adalah bahwa apa yang dikehendaki Allah SWT, akan dimudahkan urusannya oleh
Allah SWT: “faqdirhu li wa yassirhu li” takdirkan dan mudahkanlah untukku.

Dan apa yang ditakdirkan dan dimudahkan Allah SWT itu, kita mohonkan untuk diberkahi oleh-
Nya: “tsumma barik li fihi” kemudian berkahilah ia untukku. Wallahu a’lam

5. Mesti Mimpi

Sebagian orang meyakini bahwa setelah istikharah mestilah mimpi melihat sesuatu yang
menunjukkan bahwa pilhannya tepat dan benar, atau memberi petunjuk kepada yang mana
seseorang harus memilih. Sehingga, bisa jadi seseorang lama sekali menunggu dan tidak segera
melakukan sesuatu dikarenakan ia belum bermimpi seperti yang diharapkan.

Keyakinan seperti tidak memiliki dalil sama sekali. Sebab, apa yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW menjelaskan bahwa hendaklah seseorang segera melakukan suatu perbuatan setelah ber-
istikharah dengan penyerahan sepenuhnya kepada Allah SWT, sebagaimana telah dijelaskan di
depan. Jika ia bermimpi melihat sesuatu yang baik, hal itu merupakan nurun ‘ala nur (cahaya di
atas cahaya), yaitu cahaya penyerahan kepada Allah SWT yang merupakan refleksi keimanannya
– insyaAllah – dan cahaya mimpi baik yang Allah SWT berikan kepadanya. Namun, jika tidak
bermimpi, ya silahkan terus jalan saja dan tidak usah menunggu mimpi.

Inilah sebagian keyakinan yang salah tentang istikharah semoga ada manfaatnya.

Bagi yang ingin pendalaman lebih jauh, silahkan merujuk ke sebuah buku kecil berjudul: Sirrun
Najah wa Miftahul Khair wal Barakah wal Falah (Rahasia Sukses dan Kuci Kebaikan,
Keberkahan dan Keberuntungan) yang ditulis oleh Syekh DR. Muhammad bin Abdul Aziz al-
Musnid.

Dua Fakta Satu Jalan Keluar


Masih banyak orang yang merasa bahwa sebagai muslim sekaligus pekerja profesional, sudah
beruntung bila mampu menjalankan kewajiban sholat lima waktu secara sempurna. Ibadah-
ibadah lain semisal puasa sunah, membaca qur'an, sholat malam seringkali dinilai sebagai
ibadah-ibadah istimewa yang hanya dapat dinikmati mereka-mereka yang sehari-harinya total
terjun di bidang agama: bidang yang memungkinkan seseorang mendapat nafkah dunia sekaligus
mengejar pahala akhirat.

Benarkah mengejar dunia tidak pernah bisa kita sandingkan dengan kesibukan kita untuk
mengejar akhirat? Benarkah kaum profesional tidak sanggup menyibukkan dirinya dengan
ibadah-ibadah yang disunnahkan?

Ternyata, romadhan menunjukkan dua fakta penting yang meyakinkan para profesional bahwa
mereka pun sanggup mengisi hidupnya dengan banyak amalan. Buktinya?

1. Ternyata, di tengah kesibukan dari pagi hingga sore hari di kantor maupun di tempat-tempat
mencari nafkah, ternyata kita tidak mati lemas karena seharian tidak makan minum. Begitu juga
yang terjadi ketika kita mengurangi waktu istirahat di malam hari dan menukarnya dengan sholat
malam dan membaca qur'an. Keesokan harinya baik-baik saja. Ini menandakan bahwa meskipun
harus menuntaskan tugas-tugas sebagai karyawan kantoran atau pun pengusaha, kaum
profesional bisa juga menjalankan ibadah-ibadah yang lebih banyak.

Maka, di luar Romadhon pun mereka seharusnya bisa memperbanyak ibadah. Tidak hanya sholat
lima waktu dengan sempurna, melainkan juga berpuasa sunnah, membaca qur'an dan
menegakkan sholat malam. Bisa,.... pasti bisa!

2. Selama berpuasa kita bisa menahan keinginan dan dorongan untuk makan minum, meredam
marah dan bahkan menahan rasa kantuk. Ini menjadi sinyal positif bahwa kita mampu
menjadikan ruh sebagai pemimpin dari badan kita.

Seperti kita tahu, ruh dan badan selalu tarik menarik. Jika fisik tubuh kita lebih dominan,
seseorang cenderung menjadi pribadi yang lemah. Maka ruh harus menjadi panglima yang
memimpin tubuh kita. Ini bisa diterapkan di bulan-bulan lain. Bisa... pasti bisa!

Tapi mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa dua fakta di atas dapat terwujud karena
Romadhon memang bulan penuh berkah. Salah satu berkahnya adalah karena adanya dorongan
yang luar biasa sehingga yang beribadah bukan hanya satu dua orang, tapi banyak orang.

Nah, itulah satu jalan keluar yang bisa kita jadikan jalan keluar agar ibadah kita tidak sekadar
menegakkan sholat lima waktu. Agar sehari-hari kita bisa memperbanyak ibadah, maka jangan
lupa untuk mengajak orang-orang lain. Mulai dari keluarga, tetangga dan teman-teman muslim
yang kita kenal, beritahu dan libatkan mereka sama-sama ikut kita menjalankan puasa-puasa
yang disunnahkan, membaca qur'an, menegakkan sholat malam, menahan emosi, banyak
berbagi, dll.

Ketahuilah, memang demikianlah karakter seorang muslim yang benar. Mereka gemar
berjamaah, rindu ibadah bersama-sama.

Mochamad Husni
(Praktisi Humas sebuah perusahaan nasional)
twitter: @mochus; facebook: mochusni@yahoo.com

Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat


yang dicintai Allah"
Rasulullah pernah berkata kepada al-Mundzir, kepala kabilah Abdul Qais, "Sesungguhnya
pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah, yaitu sifat penyabar dan tidak suka tergesa-gesa."
Lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah aku berusaha berperilaku seperti itu, atau Allah
menjadikanku berwatak dengan keduanya?" Nabi SAW menjawab, "Allahlah yang
menjadikanmu berwatak dengan keduanya." Al-Mundzir pun berucap, "Segala puji bagi Allah
yang telah menjadikanku berwatak dengan dua tabiat yang dicintai Allah dan Rasul-Nya." (HR
Abu Dawud).

Sikap penyabar, lembut, kalem, dan tenang tak hanya dimiliki dan diserukan oleh Rasulullah,
tapi juga dianjurkan oleh nabi-nabi yang lain. Mengapa begitu, karena kesabaran seorang
penyabar--kata Ahmad ar-Rasyid dalam bukunya al-`Awa'iq--adalah benteng yang akan
melindunginya dari fitnah, sifat pemarah, dan egois, sehingga ia mampu berlaku adil dalam
berbagai keputusannya. Sedangkan sifat "tidak ceroboh" akan memberikan kesempatan untuk
menganalisis dan menimbang-nimbang, sehingga tidak ada lagi keraguan.

Sementara itu, sifat ceroboh dan tergesa-gesa menjadikan seseorang tidak cermat dalam
menyelesaikan persoalannya, karena ada nafsu yang ikut bermain di dalamnya. Orang yang
tergopoh-gopoh sering bertindak keliru dalam hidupnya yang akhirnya membuahkan penyesalan.
Kecerobohan juga sering menjadi penyebab dari hilangnya keteguhan dan komitmen seseorang.

Orang yang tergesa-gesa akan mudah patah semangat manakala dibenturkan oleh perkara yang
sepele sekalipun. Sebaliknya, orang yang lembut, kalem, dan tenang mempunyai konsentrasi
yang tinggi untuk menata dirinya agar lebih baik. Ia kelihatannya berada dalam kebisuan, tapi
pikirannya bergerak dinamis. Ia bertindak bukan dengan nafsu dan amarahnya, tapi bergerak
dengan pikirannya.

Nabi meraih simpati yang besar dari umat manusia, karena Allah SWT telah melembutkan
hatinya sebagaimana firman-Nya: "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu ...." (Ali Imran [3] : 159).

Kalau teori manajemen modern merekomendasikan bahwa sebuah manajemen yang baik harus
mengandung unsur POAC (planning, organizing, actuating, dan controlling), maka seorang yang
kalem, lembut, dan tidak tergopoh-gopoh akan memiliki kesempatan yang full untuk melakukan
controlling. Hal ini senapas dengan sabda Nabi: "Perlahan-lahan dari Allah dan tergesa-gesa dari
setan." (HR Baihaqi).

Sifat kalem, tenang, dan perlahan-lahan tentu tidak identik dengan kelambanan sehingga
melewati deadline, namun ia bergerak secara tertata. Demikian pula sifat tergesa-gesa; ia harus
dibedakan dengan sikap positif dan penuh percaya diri, yang kadang ditampilkan dan dikesankan
dengan bertindak tergesa-gesa dan terburu-buru. Seorang Mukmin yang sejati, yang mempunyai
tsiqah (kepercayaan) yang tinggi pada Allah juga kerap kali bertindak dinamis. Tentu saja naif
untuk menyebut mereka bertindak ceroboh.

Istiqomah dan Langkah-langkahnya

Dr. Muzani Jalaluddin


(Dosen Universitas Negeri Jakarta)

Tarbiyah sudah membawa kita ke alam yang insyaallah penuh berkah dan nikmat. Tidak semua
mendapatkan jalan ini. Masing-masing atas izin Allah SWT melalui cara dan jalur yang berbeda
untuk sampai ke alam tarbiyah ini. Oleh karena itu sangat pantas bagi tiap kader dakwah untuk
mensyukuri alam tarbiyah ini salah satunya dengan istiqomah di jalan dakwah. Tulisan ini sedikit
mengingatkan akan makna dan langkah-langkah istiqomah yang sudah barang tentu setiap kader
dakwah ini sudah pernah mempelajari masalah ini.

Ketenangan merupakan suatu impian dan tujuan utama bagi manusia dalam menjalani hidup.
Ujung dari pada kemenangan manusia adalah mendapatkan ketenangan dan kedamaian bukan
hanya di dunia melainkan juga di akhirat.

Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : “Tuhan kami adalah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan) : janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu.”(Fusshilat 30-32).

Ayat ini menerangkan bahwa dengan beristiqomah manusia mampu berjaya di dunia dan di
akhirat. Dan istiqomah itu sendiri merupakan suatu pola sikap hidup manusia yang harus
dinyatakan setelah ia benar-benar bersaksi bahwa ia telah beriman kepada Allah SWT.

Jika kita kaitkan dengan surat Fusshilat ayat 30 bahwa istiqomah pada ayat tersebut adalah
keteguhan seseorang untuk memosisikan dirinya agar selalu berpegang teguh kepada
keimanannya.

Di dalam beberapa tafsir yang mashur juga akan kita dapatkan keterangan-keterangan yang
menerangkan makna istiqomah yang terdapat dalam surat Fussilat ayat 30-32. Dari tafsir-tafsir
tersebut ada satu arti yang terlihat lebih sempurna dan lengkap dibandingkan yang lainnya yaitu
Istiqomah berarti lurus/tetap di dalam ketaatan baik secara keyakinan, perkataan, maupun
perangai diiringi dengan kontinuitas.

Maka jelaslah bagi kita bahwa istiqomah adalah konsekuensi seorang mukmin kepada
keimanannya yang diaplikasikan secara penuh baik secara batiniyah maupun lahiriyah secara
terus menerus.

Sekarang timbullah pertanyaan, apakah keistiqomahan itu sesuatu hal mudah untuk dicapai?

Maka jawabannya tentunya tidak. Karena jikalau istiqomah itu mudah didapatkan maka tidak
sesuai dengan peranan ayat 30 surat Fussilat yang berbunyi ‫ثمم استقاموا‬. Kata ‫ ثمم‬dalam bahasa arab
artinya lalu / kemudian merupakan sebuah kata yang berkaitan erat dengan proses sesuatu yang
membutuhkan waktu yang cukup lama.

Begitu juga keterangan-keterangan Allah SWT di dalam Al-Qur’an serta hadits-hadits Rasulullah
SAW serta segala alam yang ada ini membuktikan bahwa manusia memang harus berikhtiar
keras untuk mencapai kebenaran termasuk istiqomah itu sendiri.

Allah berfirman : Tunjukilah kami jalan yang lurus...

"Ihdina" (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang
dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.

Allah mengajari kita agar kita harus selalu berupaya untuk memohon kepadaNya agar selalu
diberi kemampuan untuk berjalan di atas jalanNya yang lurus. Maka bagaimanakah kita bisa
sampai kepada titik istiqomah ? Disini kami berusaha untuk menerangkan langkah-langkah yang
insya Allah dapat membantu kita dalam beristiqomah.

Tiga Duri di Jalan Dakwah


Tiga Duri di Jalan Dakwah
(Tadabur QS Ali Imron Ayat 146)

Oleh : Zulhamdi M. Saad, Lc


‫ضفعففوا‬ ‫صاضبفهمم افيِ ضسابيِال ا ا‬
‫ا ضوضما ض‬ ‫ضوضكأ ضبِيِن بِمن انابييِ ضقاضتضل ضمضعفه اربِبييِوضن ضكاثيِرر ضفضما ضوضهفنوا لاضما أض ض‬
‫صااباريِضن‬
‫ب ال ا‬ ‫ح ي‬ ‫ضوضما امسضتضكافنوا ضو ا‬
‫اف فيِ ا‬
Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah. Allah menyukai orang-orang
yang sabar. (3:146)

Dakwah adalah sebuah perjalanan panjang yang takkan pernah sepi dari rintangan dan cobaan
bagi mereka yang melaluinya. Usianya lebih panjang dari penyeru dakwah itu sendiri. Para
Rosul dan Nabi yang telah merintis dan melaluinya telah memberikan banyak pelajaran bagi
mereka yang meneruskan estafet dakwah ini. Al-Quranpun telah mengabadikan risalah panjang
ini.
Rintangan dan ujian dalam berjuang di jalan dakwah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa
dihindari bahkan lari darinya. Ia pasti akan menghampiri, jangan pernah berhenti, karena para
nabi dan pengikutnya tak pernah berhenti ataupun lemah karena rintangan ini. Nabi Nuh telah
menghadapi cacian kaumnya, nabi Ibrahim dibakar dalam nyala api, nabi Isa dimusuhi, bahkan
nabi Muhammad SAW mendapat ancaman dibunuh setelah sering kali mendapat cacian, hinaan
dan penyiksaan. Tak ada satupun dari mereka yang bergeming, ataupun lemah lalu berhenti
dalam dakwahnya kecuali tetap kokoh dan semakin gigih dalam mengajak untuk menyembah
Allah SWT semata.

Allah swt berfirman:

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka
di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar.
(3:146 )

Di dalam ayat yang saat ini kita tadaburi memberikan sebuah pelajaran dalam sebuah
perjuangan. Dalam perjuang para rasul dan para pengikutnya, mereka tidak pernah berputus asa,
menjadi lemah ataupun berhenti dalam dakwah atas cobaan yang menimpah mereka. Di dalam
ayat ini ada 3 sifat yang menjadi duri di jalan dakwah, sifat yang mesti diwaspadai oleh para dai
penyeruh kebenaran sehingga mereka tidak terjatuh dalam golongan orang-orang yang
berjatuhan di jalan dakwah.

Sifat pertama adalah: sifat wahn (Famaa wahanu)

Sifat wahn dapat diartikan seperti dalam sebuah hadist ketika para sahabat bertanya kepada
Rosulullah tentang sebuah penyakit wahn: “Wama al-wahn ya Rosulallah?” Rasulullah
menjawab :”Hubbuddunya wa karohiyatul maut”. Wahn adalah sifat cinta dunia dan takut mati.
Sifat wahn banyak membuat para penyeruh dakwah berguguran, boleh jadi karena tidak kuat atas
siksaan, ataupun godaan dunia yang melenahkan. Seorang yang telah memasuki arena dakwah
dalam pertarungan hak dan kebatilan akan dihadapkan dengan hal ini. Sekali lagi sejarah telah
menceritakan itu. Bukankah Rasulullah juga ditawari harta yang bergelimang? Tawaran untuk
menjadi penguasa di jazirah arab? Serta dijanjikan wanita arab yang paling mempesona (ajmalu
nisail ‘arob)? Asalkan Rasul meninggalkan dakwahnya. Namun jawaban yang Rasulullah
katakan: “Kalaupun sekiranya mereka meletakkan matahari ditangan kananku dan rembulan
ditangan kiriku niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini”.

Sifat kedua adalah: (Wama dho’ufu) atau sifat dho’f yaitu sifat lemah.

Tentulah sebuah keharusan ketika sebuah kebenaran berteriak lantang dan mulai menyadarkan
kebisuan dan keterlenaan banyak orang, dakwah akan berhadapan dengan sebuah kekuatan yang
akan menghadangnya. Begitulah ketika Fir’aun menghadang dakwah nabi Musa, begitulah
ketika Abu Jahal dan Abu Lahab menghalang-halangi dakwah Rosulullah. Begitulah Gamal
Abdul Naser menghalangi dakwah Al-Banna dan Ikhwan. Namun mereka tidak pernah merasa
lemah atas apa yang menimpa mereka. Inilah pelajaran penting dari dakwah bahwa sifat tsabat
adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki bagi pengembannya.

Sifat ketiga adalah: (Wamastakanu) adalah sifat istikan, yaitu sifat berdiam diri.

Wamastakanu: Mereka tidak pernah berdiam diri, para dai terus bergerak di tengah kesulitan dan
cobaan. Seorang dai sejati tidak pernah menunggu panggilan untuk berdakwah. Bagaimana
mungkin ia akan bisa berdiam sedangkan kemungkaran berada di sekelilingnya. Ketika dakwah
belum juga menampakkan hasilnya, maka tidaklah membuat dai kemudian berdiam diri, karena
yang dituntut darinya bukanlah hasil. Namun yang dipinta darinya hanyalah amal, sedangkan
hasil adalah urusan Allah semata.

Ketiga hal di atas: Wahn, dho’f dan istikan hendaklah mesti dihindari dan dibuang jauh-jauh dari
kamus para dai. Maka dari itu untuk menjaga kualitas ruhiyah agar tetap tsabat para pejuang
dakwah hendaklah tidak bosan-bosan untuk mengulang-ulang sebuah doa yang juga diucapkan
oleh para nabi dan pengikutnya, dalam ayat selanjutnya, ayat 147 disebutkan Robbanaa ighfir
lana dzunubanaa wa isrofanaa fii amrinaa wa tsabbit aqdaamanaa wanshurna ‘alal qoumil
kafiriin”. Artinya: Wahai Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan sikap berlebihan kami
dalam urusan kami, kuatkanlah langkah kaki kami, dan tolonglah kami atas orang-orang yang
kafir”.

Semoga Allah menguatkan langkah kita dalam menapaki jalan dakwah ini. Tsabat atas ujian dan
rintangan yang menghadang di atas jalan ini. Amiin. Wallahu a’lam bishowab.

Washolallhu ‘ala muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi wasallam

ALLAH SWT tak pernah membuat kita


gagal
ALLAH SWT tak pernah membuat kita gagal. Kalau kita gagal, kemungkinannya hanya dua:

(1) Hanya soal waktu. Maka teruslah berjuang, tanpa kenal menyerah.

(2) ALLAH SWT sedang mempersiapkan sesuatu yang jauh lebih baik untuk kita. Sebab yang
selama ini kita perjuangkan ternyata bukanlah yang terbaik untuk kita. Karena itu, selalulah
berbaik sangka padaNya.

(Aishah Samia Safa)

Lilitan Perangkap
Oleh: Abdul Hamid al-Bilaly
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Orang yang ingat pada lilitan perangkap, maka akan mudah
baginya meninggalkan sebutir biji” (Al-Fawaid, hal. 89).

Imam Ibnul Qayyim mengambil perumpamaan seorang itu laksana seekor burung kelaparan
melihat perangkap yang didalamnya terdapat makanan yang dapat menyelamatkannya dari
kelaparan yang dideritanya itu.

Dia lantas kebingungan, antara dua ketertarikan dan dua ketakutan. Antara tertarik pada makanan
dengan pancaran warnanya dan tertarik untuk menyelamatkan diri dan ingin hidup. Antara takut
pada kelaparan yang berakibat pada kematian dan rasa takutnya pada perangkap yang juga
berakibat pada kematian.

Dia harus memilih, apakah dia lebih dikuasai oleh rasa laparnya dan daya tarik makanan yang
dicarinya lalu melupakan akibat-akibatnya dan dia pun akan terjerembab didalam perangkap
menjadi tawanan pemburu yang akan menyembelihnya atau memperlakukan sekehendaknya.
Ataukah dia akan mengingat akibat semuanya itu sehingga dia menghindarinya dan lebih
memilih keselamatan, bersabar menahan lapar, daripada hidup dalam keadaan kenyang tapi
menjadi tawanan.

Demikian pula halnya orang yang ingat pada siksa kubur, pertanyaan Munkar Nakir, goncangan
hari kiamat yang menakutkan, diungkapnya kesalahan di akhirat, kebingungan dan penyesalan di
akhirat, serta ingat pada pengadilan Allah pada hari kiamat, niscaya ia tidak akan mengutamakan
‘perhiasan’ yang dibaliknya tersembunyi sesuatu yang menyulut kemurkaan Allah dan yang
dapat menjauhkannya dari jalanNya.
Dan nisacaya ia akan lebih memilih kelaparan dan kekurangan harta daripada menjadi nista dan
diperbudak oleh setan yang memperlakukannya sesukanya. Hal ini karena “dunia” itu seperti
kata Yahya bin Mu’adz adalah “khamernya setan”, siapa yang mabuk karenanya, ia tidak bakal
sadar, kecuali bila telah berada di antara golongan orang-orang yang mati sambil menyesal
diantara orang-orang yang merugi. (Shifatush Shafwah, 4/98).

"Jangan rusak kebahagiaanmu dengan rasa


cemas"
Ibnu al Qayyim al Jauziyah berkata:
Jangan kamu rusak kebahagiaanmu dengan rasa cemas!

Jangan rusak akalmu dengan kepesimisan!


Jangan rusak keberhasilanmu dengan kepongahan!

Jangan rusak keoptimasan orang lain dengan menjatuhkan mentalnya!

Jangan rusak harimu sekarang dengan melihat hari kemaren!

Kalau kamu perhatikan kondisi dirimu, kamu pasti menemukan bahwa Allah telah memberimu
segala sesuatu tanpa kamu minta.

Oleh karena itu yakinlah bahwa Allah tidak akan menghalangi dirimu dari kebutuhan yang kamu
inginkan, kecuali dibalik keterhalangan itu ada kebaikan.

Barangkali saja kamu lagi tidur pulas, sementara pintu-pintu langit diketuk puluhan do'a yang
ditujukan untukmu, yang berasal dari orang fakir/miskin yang kamu bantu, atau orang sedih yang
kamu hibur, atau dari orang lewat yang kamu senyum kepadanya, atau orang dalam kesempitan
yang kamu lapangi. Maka jangan sekali-kali memandang kecil segala perbuatan baik untuk
selamanya.

Bunuhlah setiap waktu kosong dengan


'pisau' kesibukan!
'Aidh al-Qarni
Orang-orang yang banyak menganggur dalam hidup ini, biasanya akan menjadi penebar isu dan
desas desus yang tak bermanfaat. Itu karena akal pikiran mereka selalu melayangdayang tak tahu
arah. Dan,
{Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang.}
(QS. At-Taubah: 87)

Saat paling berbahaya bagi akal adalah manakala pemiliknya menganggur dan tak berbuat apa-
apa. Orang seperti itu, ibarat mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa sopir, akan
mudah oleng ke kanan dan ke kiri.

Bila pada suatu hari Anda mendapatkan diri Anda menganggur tanpa kegiatan, bersiaplah untuk
bersedih, gundah, dan cemas! Sebab, dalam keadaan kosong itulah pikiran Anda akan
menerawang ke mana-mana; mulai dari mengingat kegelapan masa lalu, menyesali kesialan
masa kini, hingga mencemaskan kelamnya masa depan yang belum tentu Anda alami. Dan itu,
membuat akal pikiran Anda tak terkendali dan mudah lepas kontrol. Maka dari itu, saya
nasehatkan kepada Anda dan diriku sendiri bahwa mengerjakan amalan-amalan yang bermanfaat
adalah lebih baik daripada terlarut dalam kekosongan yang membinasakan. Singkatnya,
membiarkan diri dalam kekosongan itu sama halnya dengan bunuh diri dan merusak tubuh
dengan narkoba.

Waktu kosong itu tak ubahnya dengan siksaan halus ala penjara Cina; meletakkan si narapidana
di bawah pipa air yang hanya dapat meneteskan air satu tetes setiap menit selama bertahun-
tahun. Dan dalam masa penantian yang panjang itulah, biasanya seorang napi akan menjadi stres
dan gila.

Berhenti dari kesibukan itu kelengahan, dan waktu kosong adalah pencuri yang culas. Adapun
akal Anda, tak lain merupakan mangsa empuk yang siap dicabik-cabik oleh ganasnya terkaman
kedua hal tadi; kelengahan dan si "pencuri".

Karena itu bangkitlah sekarang juga. Kerjakan shalat, baca buku, bertasbih, mengkaji, menulis,
merapikan meja kerja, merapikan kamar, atau berbuatlah sesuatu yang bermanfaat bagi orang
lain untuk mengusir kekosongan itu! Ini, karena aku ingin mengingatkan Anda agar tidak
berhenti sejenak pun dari melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Bunuhlah setiap waktu kosong dengan 'pisau' kesibukan! Dengan cara itu, dokter-dokter dunia
akan berani menjamin bahwa Anda telah mencapai 50% dari kebahagiaan. Lihatlah para petani,
nelayan, dan para kuli bangunan! Mereka dengan ceria mendendangkan lagu-lagu seperti
burung-burung di alam bebas. Mereka tidak seperti Anda yang tidur di atas ranjang empuk, tetapi
selalu gelisah dan menyeka air mata kesedihan.

*Isi Waktu Luang Dengan Berbuat! (Laa Tahzan)

Kedengkian Menyebabkan Memilih Jalan


Kesesatan
Sebagian orang yang sesat dan memilih jalan kesesatan bukanlah karena ia tidak
tahu mana yang hak dan mana yang batil.

Akan tetapi dia tersesat karena kebencian dan kedengkiannya kepada orang lain atau kelompok
lain.

Awalnya sepele, akan tetapi karena kebenciannya itu dibiarkan tumbuh dan berkembang, bahkan
dipupuk dengan perangai jahat dan kata-kata berbisa, akhirnya ia tidak merasa lagi bahwa dia
sesat, bahkan merasa dirinya benar dan berada pada pihak yang benar.

Awalnya mungkin ada perperangan batin yang dahsyat seperti yang pernah dirasakan oleh
Umayyah bin Abi Shalt dan Abu Jahal. Akan tetapi ketika bertemu dengan teman seide atau
komunitas seperangai, kedengkian itu mengkristal hingga menutup batinnya untuk melihat
kebenaran. Akhirnya sampai pandangannya terbalikpun tidak dia sadari lagi.

Sifat-sifatnya yang dulu mulia akhirnya terkikis menjadi biadab. Semua hanya berubah karena
benci dan dengki.

Sejarah mencatat banyak sekali orang bertipe seperti ini. Di antaranya para pembesar kafir
Quraisy yang menjadi penentang dakwah Rasulullah, seperti: Walid bin Mughirah, Al 'Ash bin
Wail, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'aith, 'Utbah bin Rabi'ah, Nadhar bin Harits, juga
gembong munafik Ibnu Ubay bin Salul dan seluruh Yahudi Madinah yang tidak mau beriman
kepada Rasulullah.

Baik itu kedengkiannya kepada pribadi Rasulullah maupun kebenciannya kepada keluarga atau
suku Rasulullah. Seperti, bagaimana dahsyatnya kedengkian Bani Makhzum (suku Abu Jahal)
kepada Bani Hasyim (suku Rasulullah).

Atau yang lebih dahsyat dari itu bagaimana kedengkian Bani Hanifah (suku besar Musailimah al
Kadzdzab) kepada Bani Mudhar (suku besar Rasulullah).

Seluruh orang yang kita sebutkan di atas awalnya adalah orang-orang mulia yang bersifat dengan
sifat baik. Para pemilik akal cerdas yang menjadi rujukan. Hingga mereka dijadikan panutan dan
pemuka masyarakat. Tapi sayang sekali, mereka jadi jahat justru ketika kebenaran dan hidayah
datang menyapa.

Allah berfirmah dalam surat al Baqarah 109:

‫حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق‬


"...karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka..."

Ya Allah, sucikan hati kami dari kedengkian yang menghitamkan hati nurani. Pertemukan kami
dengan teman-teman yang saling mengingatkan untuk menjauhi sifat keji. Dan jauhkan kami dari
orang-orang yang meracuni batin kami dengan perangai yang Engkau murkai.

*by Zulfi Akmal


(Al Azhar, Cairo)

Tajamkan dengan Cita-cita Kesyahidan


“Prajurit yang tidak punya tugas,
sangat potensial membuat kekisruhan”

Inilah pengalaman medan para pendahulu kita untuk menjadi sendi-sendi dalam kehidupan
berjamaah ini.

Kerinduan akan syahid akan lebih banyak menyedot energi kita untuk beramal dari berpangku
tangan, lebih berkompetisi dari menyerah diri, menyibukkan untuk banyak memberi dari
mengoreksi, untuk banyak berfikir hal-hal yang pokok dari hal-hal yang cabang.

“Dan barang siapa yang meminta kesyahidan dengan penuh kejujuran, maka Allah akan
menyampaikanya walaupun ia meninggal diatas tempat tidurnya”. ( HR. Muslim)

“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah bersatu berkumpul
untuk mencurahkan mahabbah hanya kepadaMu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam
rangka menyeru (dijalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah
ikatan pertaliannya, ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah
dengan cahay-Mu yang tidak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan
keindahan tawakkal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifat-Mu, dan matikanlah dalam
keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
penolong”.

Hamasah dan Iradah Qawiyah: Sebuah


Keharusan
Oleh Anis Byarwati & Wahid Surhim
Perjalanan dakwah masih panjang. Salah satu faktor yang membuat kita dapat bertahan dan terus
eksis di jalan dakwah adalah adanya hamasah (semangat) dan iradah (kehendak) kuat yang
tertanam dalam jiwa kita. Tanpa iradah mustahil kita bergerak dan melangkah untuk kepentingan
dakwah. Dan tanpa hamasah yang membara, jiwa-jiwa kita akan mudah lemah dan terpuruk.
Iradah dan hamasah lahir dari kekuatan “yaqzhah ruhiyah” (kesiagaan ruhani). Iradah dan
hamasah-lah yang menjadi anak panah yang membimbing kita untuk sampai sasaran-sasaran
dakwah.

Muassis dakwah ini menginginkan kader-kader yang bergabung di dalamnya adalah kader-kader
yang memiliki jiwa-jiwa muda yang senantiasa membara dan semangat yang menggelora dalam
medan dakwah.

“….Bisa saya katakan bahwa yang pertama kali kita siapkan adalah kebangkitan ruhani,
hidupnya hati, serta kesadaran penuh yang ada dalam jiwa dan perasaan... Kami menginginkan
jiwa-jiwa yang hidup, kuat, tangguh, hati-hati yang segar serta memiliki semangat yang
berkobar, perasaan dan ghirah yang selalu bergelora, ruh-ruh yang bersemangat, selalu optimis,
merindukan nilai-nilai yang luhur, tujuan mulia serta mau bekerja keras untuk menggapainya...”
(Risalah Da’watuna Fii Thaurin Jadiid).

Beliau juga menegaskan, “Dan tidak ada bekal yang layak bagi umat dalam meniti jalan yang
keras dan mengerikan ini kecuali jiwa yang beriman, tekad kuat nan jujur, kegemaran berkorban
dan berani menanggung resiko. Dan tanpa ini semua gerakan dakwah akan dikalahkan dan
kegagalan menjadi sahabat putra-putra dakwah.” (Risalah Hal Nahnu Qaumun ‘Amaliyyun).

Jiwa yang hidup, kuat, tangguh, dan berani menghadapi realita hidup, akan mampu menghadapi
resiko dan konsekwensi perjuangan. Amatlah pantas perintah Allah SWT pada orang beriman
agar menghadapi musuh dengan jiwa yang tegar dan konsisten pada keyakinan. “Hai orang-
orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh hatilah kamu dan
sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Q.S. Al Anfal: 45).

Pujangga termasyhur, Al Buhturi dalam baris syairnya mengungkapkan bahwa jiwa yang berani
hidup dengan menghadapi resiko apapun dan tetap tegar berdiri di atas pijakannya adalah
‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu’ (jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menyala-
nyala).***

Kekuatan Berjamaah

Oleh KH Didin Hafidhuddin


Salah satu kekuatan umat yang harus terus-menerus dijaga dan dipelihara dengan penuh
kesungguhan dan keikhlasan adalah kekuatan berjamaah, baik dalam ibadah maupun muamalah.

Berjamaah dalam ibadah seperti dalam shalat fardhu akan melahirkan kekuatan ukhuwah
Islamiyah sekaligus akan melahirkan izzah atau harga diri umat. Sebagaimana dinyatakan dalam
QS al-Fath [48]:29 "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orangorang yang bersama dengan
dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya ...."

Orang yang suka berjamaah dalam ibadah terutama di masjid akan dijaga oleh Allah SWT dari
berbagai macam musibah yang berujung pada keburukan. Jika pun mendapatkan musibah,
masalah dan tantangan dalam hidupnya maka ujungnya adalah kebaikan dan keberkahan.

Rasulullah SAW bersabda dalam Hadis Riwayat Imam Hakim, "Apabila Allah SWT akan
menurunkan suatu penyakit, maka akan dijauhkan dari orangorang yang suka memakmurkan
masjid (ibadah secara berjamaah)."

Jika pun orang itu menderita sakit, maka ujung sakitnya itu akan menyebabkan diampuni segala
dosa dan kesalahannya. Jika hidupnya mengalami kekurangan, maka akan dibukakan pintu-pintu
rezeki oleh Allah SWT. Sebaliknya, jika orang itu mendapatkan berbagai nikmat dari Allah SWT,
seperti kesehatan, harta, jabatan, dan kedudukan, maka ujungnya adalah kebaikan dan
kemaslahatan.

Kebiasaan dan kesungguhan berjamaah dalam ibadah diharapkan akan melahirkan kesadaran
berjamaah dalam bermuamalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan bersama.

Sebagai contoh, untuk membangun kekuatan ekonomi umat, maka diperlukan kebersamaan dan
kejamaahan baik dalam membangun SDM yang berkualitas, institusi ekonomi yang kuat, bahkan
juga modal yang banyak.

Gerakan ekonomi syariah yang sejak beberapa tahun terakhir ini digalakkan, hakikatnya adalah
gerakan bersama untuk saling membantu, dukung-mendukung antar berbagai kelompok umat,
dengan tujuan akan meningkatkan ekonomi umat.

Demikian pula dalam dunia pendidikan, maka berjamaah ini mutlak diperlukan karena
pendidikan itu adalah sebuah proses dan amaliah yang panjang yang membutuhkan energi yang
cukup besar, dan energi ini bisa didapatkan dengan membangun kesadaran kolektif atau
kesadaran berjamaah.

Firman Allah SWT dalam QS at-Taubah [9]:71 "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."

Karena itu, berjamaah dalam ibadah dan muamalah harus dianggap sebagai sebuah kebutuhan
dan keniscayaan, agar pembangunan umat dalam berbagai bidang kehidupan ini dapat dipelihara
dan dijaga kesinambungannya.

*sumber: Republika (11/2/11)

"Iman Yang Benar"


Iman
Orang yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mereka
tidak bimbang dan berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Merekalah orang-orang
yang benar.

Iman artinya keyakinan yang benar dan amal yang saleh. Seorang hamba yang beramal saleh dan
berkeyakinan bahwa memiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki semua sifat kesempurnaan
dan Mahasuci dari segala macam cacat, mendapati dalam hatinya kenikmatan iman setiap
berhadapan dengan Allah Swt.

Iman menciptakan mukjizat. Para sahabat Rasul Saw memenuhi hatinya dengan dengan iman,
karenanya mereka mendapat kenikmatan. Dengan kekuatan imannya dan kebenaran imannya,
mereka terdorong untuk terjun di medan jihad. Dengan kepercayaan yang penuh kepada Tuhan
mereka, jalan-jalan yang terjal berbatu pun menjadi halus dan yang sulit pun menjadi mudah. Hal
ini karena seorang mukmin yang yakin kepada Tuhannya tidak pernah mengenal kata putus asa.
Ia siap menghadapi tantangan seberat apa pun dan siap menempuh kesulitan sebesar apa pun.

Mukmin yang kuat imannya siap berjuang demi menegakkan agamanya meskipun ia harus
menanggung seluruh risiko di jalannya: mati syahid atau menang. Ia tidak pernah dilemahkan
oleh gelombang fitnah atau peristiwa apa pun. Ia tegar laksana batu karang.

Karenanya, sepatutnyalah kita mengharapkan petunjuk Allah; berman kepada-Nya dengan


keimanan yang hak sehingga dapat merasakan nikmatnya, selanjutnya jiwa kita melambung ke
hadirat Allah Tuhan semesta alam bersama para nabi, orang-orang shahiq, para syuhada, dan
orang-orang saleh. Merekalah kawan-kawan terbaik.

Benarlah Rasulullah Saw tatkala bersabda,”Tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya, ia
merasakan nikmatnya iman: jika Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selainnya, jika
mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan jika benci kembali kepada kekufuran
sebagaimana bencinya jika dilempar ke dalam api.”
(dikutip dari Kitab "Qabasat min Hayati Ar-Rasul" karya Muhammad Ahmad Assaf)

Membuang 'Sampah Pikiran'

Ternyata, yang membuat hidup kita tidak bahagia adalah diri kita sendiri. Penyikapan yang
buruk terhadap suatu kejadian adalah sumber penderitaan.
...

Ada kisah menarik dari Anas bin Malik. Suatu ketika ia berjalan dengan Rasulullah SAW. Ketika
itu, datanglah seorang Arab badui dari arah belakang. Dengan serta-merta ia menarik jubah
najraani yang dikenakan Rasulullah SAW.

Anas barkata, "Aku memandang leher Rasulullah dan melihat bahwa jubah itu telah
meninggalkan bekas merah di sana karena kerasnya tarikan. Orang badui itu kemudian berkata,
'Wahai Muhammad, beri aku sebagian dari kekayaan Allah yang ada di tanganmu'. Rasul
kemudian menolah kepadanya, dan tarsenyum, lalu memerintahkan agar orang itu diberi uang,"

Kisah ini menggambarkan betapa mulianya akhlak Rasulullah SAW. Beliau tidak pernah
membalas keburukan orang dengan keburukan lagi. Saat dihina, beliau tidak marah atau sakit
hati. Beliau justru mendoakan kebaikan. Mengapa Rasulullah SAW mampu tenang dan bijak
menghadapi gangguan orang lain? Jawabnya, Rasulullah SAW memiliki kelapangan dada dan
kejernihan pikiran.

Ternyata, yang membuat hidup kita tidak bahagia adalah diri kita. Penyikapan yang buruk
terhadap suatu kejadian adalah sumber penderitaan. Mirip orang yang sariawan makan keripik
pedas. la menangis, marah, dan uring-uringan. Yang membuat ia menderita bukan keripiknya,
melainkan lidahnya yang berpenyakit. Bagi orang yang tidak sariawan, keripik tersebut nikmat
dan renyah.

Saudaraku ada banyak hal yang membuat hidup kita tidak nyaman. Salah satunya adalah
kegemaran menyimpan ’memori-memori’ buruk. Otak bisa diibaratkan wadah penyimpanan
yang akan kotor ketika kita mengisinya dengan sampah.

Pengalaman-pengalaman buruk, separti penghinaan, perlakukan buruk, cemoohan,


ketersinggungan, kegagalan, dan lainnya; adalah "sampah" yang barpotensi mengotori pikiran.
Semakin sering kita menyimpan memori buruk di otak, semakin negatif sikap dan perilaku kita.

Karena itu, satu syarat agar hidup kita bahagia adalah membersihkan kepala dari "sampah-
sampah" busuk. Bagaimana caranya? Pertama, selalu berusaha mengingat kebaikan orang dan
melupakan keburukannya. Saat orang lain menyakiti kita, carilah seribu satu alasan agar kita
tidak benci. Ingatlah selalu kebaikannya. Jangan sampai kita mengabaikan seribu kebaikan
orang, hanya karena satu keburukan yang boleh jadi tidak sengaja ia lakukan.

Kedua, segera lupakan semua perlakuan buruk orang lain. lbaratnya, kalau tinta mengotori muka,
maka tindakan yang bijak adalah segera membersihkannya, bukan membiarkannya, atau
menunjukkannya pada yang lain. Demikian pula saat orang berlaku buruk pada kita, menghina
misalnya, alangkah bijak bila kita segera menghapusnya, bukan memendamnya, membesar-
besarkannya, atau menunjukkannya pada banyak orang.

Ketiga, mohonlah kepada Allah SWT agar diberi hati yang lapang dan pikiran yang jernih. Ada
doa dalam Alquran yang bisa kita panjatkan,
"Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku; dan lepaskanlah kekakuan dari
lidahku; agar mereka mengerti perkataanku."

Robbisyrohliy shodriy wayassirliy amriy ....(OS Thaahaa [20]: 25-28).

"Kekeliruan Seputar Masalah Taubat" by


Ustadz @abdullahhaidir1

Oleh Abdullah Haidir, Lc

Menganggap bahwa taubat hanya layak dilakukan apabila telah yakin bahwa dirinya tidak akan
kembali bermaksiat.

Menunda-nunda bertaubat karena khawatir dirinya akan mengulangi kemaksiatan yang sama.

Kian larut dalam maksiat tanpa keinginan mengurangi. Menganggap bahwa hal tersebut tak
bermanfaat selama masih suka berdosa.

Jika kembali berbuat dosa dirinya menganggap telah mempermainkn taubat dan bersikap
munafik.

Lebih mengedepankan motivasi duniawi ketimbang ikhlas semata krn Allah seraya berharap
ridho dan ampunanNya.

Rancu dlm memahami antar "tekad" tak kembali bermaksiat dengan "jaminan" tidak kembali
bermaksiat.

Tekad tidak kembali bermaksiat adalah syarat taubat. Tapi jaminan tdk kembali bermaksiat
bukan syarat taubat.

Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama dan menjauhi majelis orang-orang saleh dan majelis
zikir dengan anggapan dirinya masih penuh kotoran maksiat.

Hanya suka membesar-besarkan dosanya, lupa dengan kemurahan dan ampunan Allah yg lebih
besar.
Tidak bertaubat lagi jika ternyata mengulangi maksiat dengan anggapan taubat berikutnya tidak
diterima.

Yang benar, jika bermaksiat lagi, taubat lagi... bermaksiat lagi, taubat lagi. Kalahkan setan oleh
taubatmu sebelum dia mengalahkanmu dg ke-putus asa-an mu..

Sebelum nyawa sampai kerongkongan, atau matahari terbit dari barat, tidak ada yg menutup
pintu taubat, selama ikhlas...

Mari kita bertaubat..... Astaghfirullahal aziim wa atuubu ilaih.....

"Mentadabburi Kehidupan Surga dengan


Segala Nikmatnya"

Oleh Zulfi Akmal


Al-Azhar Cairo

***

Mencoba mentadabburi kehidupan surga dengan segala nikmatnya.

Dalam haditsnya Rasulullah mengatakan bahwa nikmat surga itu sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan terbetik di dalam hati.

Artinya: Selagi kita sanggup membayangkan sesuatu yang sangat indah dan nikmat, maka itu
tidak ada apa-apanya dibanding surga.

Kalau di dunia seseorang makan, yang merasakan nikmat hanya mulut, hidung dan tenggorokan
saja. Sementara telinga, penglihatan, perasaan dan pikiran belum tentu, karena barangkali suara
di sekitarnya bising memekakkan telinga, atau pemandangan di sekitarnya kurang menyejukkan
mata, atau ia ada masalah yang membebani jiwanya, paling kurang ia memikirkan berapa biaya
yang harus ia keluarkan untuk membayar makanan yang lezat.

Belum lagi masalah yang ditimbulkan oleh makanan yang harus dihentikan ketika sudah
kenyang. Betapapun enak, lezat dan bergizinya makanan, selera akan berhenti menginginkannya
ketika perut sudah penuh. Beberapa jam kemudian ia butuh ke toilet untuk membuang ampasnya.
Belum lagi kalau ia mengidap penyakit kolesterol, jantung, darah tinggi, asam urat, sariawan,
penyakit gula dsb, nikmat makan tadi betul-betul hanya di tenggorokan.

Itu baru satu nikmat makan, belum lagi nikmat-nikmat lainnya.

Adapun di surga tempat kenikmatan mutlak, tanpa cacat, tanpa tapi, tanpa efek samping, tanpa
cemas dan khawatir.

Kenikmatan yang dirasakan seluruh anggota tubuh dan jiwa dalam satu waktu sekaligus tanpa
kurang dan tanpa cacat sedikitpun. Ketika mulut, penciuman dan tenggorokan menikmati
enaknya makanan, di saat itu juga mata menikmati indahnya pemandangan, telinga
mendengarkan indahnya suara dan irama yang merdu, pikiran bahagia tanpa khawatir harus
mengeluarkan biaya dan berakhirnya nikmat, perasaan tentram tanpa cemas akan timbulnya
penyakit. Didampingi oleh orang yang dicintai dan mencintai dengan suasana penuh cinta. Betul-
betul nikmat yang dirasakan oleh setiap lembar bulu dan rambut serta pori-pori.
Ya Allah, kami memohon keredhaan-Mu dan surga-Mu...

Anda mungkin juga menyukai