Salah satu ciri khas dari investor kawakan adalah memiliki falsafah investasi yang
sederhana namun susah untuk dilakukan. Begitu juga dengan Peter Lynch,
mantan fund manager andalan Fidelity Magellan. Peter Lynch adalah seorang
lulusan Wharton yang merupakan salah satu perguruan tinggi yang memiliki
program MBA terbaik di US. Yang cukup mengejutkan adalah kesederhanaan
falsafahnya dalam investasi saham. Salah satu prinsipnya adalah hanya membeli
saham yang dipahaminya. Jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi, lupakan saham
tersebut.
Walaupun begitu, Peter Lynch juga mengatakan bahwa sering terjadi mispersepsi
mengenai prinsipnya tersebut. Hanya karena kita memahami bisnis di balik suatu
saham, tidak serta merta kita bisa langsung membelinya. Kita tetap harus
memahami kondisi fundamentalnya dan yang terpenting, apakah saham tersebut
dijual dengan harga yang sewajarnya?
Free Cash Flow per Share – to – Current Price Ratio >= 35% –> Pass –
Bonus
Net Cash per Share – to – Current Price Ratio
– 30% <= Net Cash per Share – to – Current Price Ratio < 40% –> Pass – Good
– 40% <= Net Cash per Share – to – Current Price Ratio < 50% –> Pass –
Better
– Net Cash per Share – to – Current Price Ratio >=540% –> Pass – Best
Sales. Nilai penjualan HMSP adalah 43,4 triliun rupiah, jauh di ambang bawah
827 miliar. Dengan demikian HMSP lolos pada pengujian ini.
EPS. Nilai EPS HMSP tahun 2010 adalah 1.465 rupiah per lembar saham dan
jelas-jelas tidak negatif sehingga lolos dari pengujian.
Sampai dengan tahap ini dapat dikatakan bahwa HMSP lolos dari screening ala Peter
Lynch dan cukup layak dijadikan wahana investasi kita. Tahap selanjutnya adalah
bonus dan bersifat tidak wajib.
4 Votes
Peter Lynch merupakan salah satu icon pencetus saham-saham GARP (Growth at
Reasonable Price). Bagi saya, GARP cocok untuk digunakan di Indonesia karena
terfokus pada kualitas dan pertumbuhan. Jika masih ada yang membutuhkan
informasi tentang GARP atau metode screening Peter Lynch bisa membaca artikel-
artikel lama di blog ini:
Apa itu GARP?
GARP in Action
Metode screening Peter Lynch
Contoh penggunaan metode screening Peter Lynch
Saya akan memberikan hasil screening ala Peter Lynch berdasarkan laporan
keuangan 2011. Saat ini IHSG cenderung turun dan memberikan kita kesempatan
untuk mendapatkan saham-saham bagus dengan harga yang murah.
Hasil screening ini mungkin dapat memberikan jalan untuk mendapatkan saham
yang layak untuk dikoleksi.
Seperti juga pada artikel-artikel sebelumnya, hasil ini tidak bersifat mutlak karena
analisis menyeluruh tetap harus dilakukan. Screening hanyalah merupakan alat
bantu untuk memilah-milah saham-saham yang menjadi kandidat investasi kita.
Apa saja saham-saham tersebut?
Saya sengaja hanya menyertakan saham-saham yang masuk ke dalam kategori Fast
Grower (growth > 20%). Pada kenyataannya saat ini BEI dipenuhi oleh saham-
saham yang masuk ke dalam kategori tersebut.
Selain memenuhi kriteria-kriteria pemilihan saham seperti yang diutarakan oleh
Peter Lynch, saya juga memberikan 2 kriteria tambahan untuk memperkecil risiko:
Graham sendiri tidak luput dari depresi besar tahun 1929 yang menyebabkan dana
investasi nasabah yang dikelolanya ikut terseret bersama dengan investor lain.
Berangkat dari sinilah Graham mulai meletakkan dasar-dasar filosofi investasinya
yang bersifat konservatif dan bertujuan untuk melindungi keamanan modal.
Kenyataan membuktikan bahwa Graham hanya membutuhkan waktu lima tahun
untuk mengembalikan modal nasabahnya sementara DJIA membutuhkan waktu 25
tahun untuk kembali ke level sebelum depresi besar terjadi. Tentu saja ini membuat
nama Graham semakin bersinar dan mendapatkan penghormatan atas integritasnya
sebagai fund manager. Salah satu muridnya yang bahkan dapat jauh melebihi track
recordnya tak lain adalah Warren Buffett yang merupakan orang terkaya ke-2 di
dunia sebagai hasil dari investasi. Oleh karena itu, tentulah akan sangat menarik
untuk mencoba menerapkan strategi investasi Ben Graham. Walaupun untuk dapat
secara akurat menerapkannya membutuhkan waktu dan usaha yang cukup besar,
namun konsep-konsep dasar mengenai cara melakukan screening saham dan valuasi
dari Graham bisa kita terapkan karena cukup sederhana.
Tulisan ini akan dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama akan membahas
mengenai strategi untuk melakukan screening saham-saham yang layak untuk
menjadi sarana investasi kita. Yang dimaksud dengan screening adalah
seperti ’menyaring’. Kita akan mencoba menyaring saham-saham yang memenuhi
kriteria investasi Graham. Tentu saja, penyaringan tersebut bertujuan mencari
saham-saham yang berfundamental kuat sehingga investasi kita tidak akan bersifat
spekulatif. Tulisan pada bagian kedua akan membahas bagaimana cara melakukan
valuasi saham. Jika pada tulisan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana cara
menentukan harga wajar saham a la Buffett, maka kali ini kita akan mencoba
melakukan valuasi menggunakan metode dari gurunya, yaitu Benjamin Graham.
Prinsip-prinsip investasi Ben Graham dituangkan pada kedua bukunya yang sangat
legendaris, yaitu Intellegent Investor dan Security Analysis.
Konsep screening Graham sendiri dengan sangat bagus telah dirangkum oleh John
P. Reese dan Jack M. Forehand dalam bukunya: ‘The Guru Investor’. Rangkuman
tersebut akan dipaparkan pada tulisan bagian pertama ini.
Strategi Graham dalam Memilih Saham
1. Sektor. Graham secara pribadi tidak berinvestasi pada saham-saham teknologi.
Oleh karena itu, kriteria pertama kita adalah sebagai berikut:
Sektor
Seluruh saham kecuali saham teknologi ≥ Pilih
Saham-saham teknologi < Buang
2. Revenue. Untuk mengurangi risiko, Graham menginginkan perusahaan yang
cukup besar karena kinerjanya cenderung lebih stabil, memiliki aset yang lebih
besar, dan jarang memberikan kejutan-kejutan yang tidak mengenakkan. Graham
merekomendasikan untuk berinvestasi pada perusahaan dengan revenue tahunan
minimal $50 juta atau untuk kondisi saat ini setara dengan $340 juta.
Komentar: Kondisi di bursa saham AS berbeda dengan bursa saham Indonesia
(BEI). Kapitalisasi pasar NYSE (New York Stock Exchange) adalah sekitar $28.5
triliun dengan jumlah perusahaan terdaftar sebanyak 2,773. Artinya, kapitalisasi
pasar rata-rata perusahaan di NYSE adalah $10.3 miliar. BEI sendiri memiliki
kapitalisasi pasar sebesar $233 miliar (dengan asumsi kurs USD/IDR 9200) dengan
405 perusahaan yang terdaftar. Berdasarkan hal tersebut, kapitalisasi pasar rata-rata
perusahaan di BEI adalah $576 juta. Dengan membandingkan kapitalisasi rata-rata
perusahaan di BEI terhadap NYSE, maka revenue minimal untuk penyesuaian
kriteria Graham untuk BEI adalah sebesar ($576 juta/$10.3 miliar) x $340 juta, atau
sekitar $19 juta. Jika kita nyatakan dalam Rupiah, nilai tersebut setara dengan Rp
175 miliar. Dengan demikian kriteria kedua kita adalah:
Revenue:
≥ Rp 175 miliar → Pilih
< Rp 175 miliar → Buang
3. Current Ratio. Graham menyukai perusahaan dengan likuiditas yang tinggi
sehingga risiko terkena permasalahan keuangan menjadi semakin kecil. Salah satu
parameter yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas adalah current
ratio (current assets / current liabilities). Maka kriteria ketiga adalah:
Current Ratio
Current Ratio ≥ 2 → Pilih
Current ratio < 2 dan perusahaan adalah perusahaan utilitas atau telekomunikasi
→ Pilih
Current ratio < 2 untuk perusahaan selain itu → Buang
Pada bagian kedua dari tulisan ini akan dipaparkan bagaimana cara Graham untuk
melakukan valuasi saham. Kita juga akan mencoba untuk melakukan studi kasus
pada beberapa saham, baik screening maupun valuasinya.
Formula ini akan menghasilkan valuasi yang sangat agresif karena perusahaan yang
tingkat pertumbuhan labanya 15% akan memiliki nilai wajar 38.5 x EPS. Walaupun
Graham menekankan perlunya margin of safety (selisih antara harga pasar dengan
harga wajarnya), formula tersebut tetap terasa sangat agresif. Graham
merekomendasikan margin of safety sebesar 50% yang berarti perusahaan seperti
contoh di atas layak untuk dibeli jika harganya adalah 19.25 x EPS (dengan kata lain
P/E ratio-nya adalah 19.25). Akan sangat mudah untuk mencari saham-saham
dengan P/E ratio sebesar itu dan agak meragukan jika saham dengan P/E ratio
setinggi itu disebut dengan value stock.
Graham tampaknya menyadari kelemahan formula tersebut dan pada tahun 1974 ia
merevisinya menjadi:
Komentar Saya:
4.4 → Nilai 4.4 yang merepresentasikan risk-free rate harus disesuaikan agar dapat
diterapkan di Indonesia. Instrumen risk free-rate yang dapat digunakan adalah BI
rate yang saat ini adalah 6.5%.
G → Kita harus sangat berhati-hati dalam memprediksikan pertumbuhan laba
jangka panjang suatu perusahaan. Sangat sulit untuk mempertahankan
pertumbuhan laba jangka panjang sebesar 15% secara konsisten (walaupun bukan
berarti tidak ada).
Penawaran dari saya untuk modifikasi formula valuasi Graham untuk Indonesia
adalah sebagai berikut:
V = EPS x (8.5 + 2G) x (6.5/AAA)
Contoh kasus 1: saham PT. Unilever (UNVR).
EPS = 399.769
G = 17.53 (saya mendapatkan nilai ini dari reuters) pada bagian long term growth
rate. Karena nilainya terlalu tinggi saya turunkan menjadi 15 saja.
AAA = 11.625% (Obligasi Bank Ekspor Indonesia IV Tahun 2009 Seri B)
Dengan data yang ada tersebut maka harga wajar saham Unilever adalah sebagai
berikut:
Dengan margin of safety 50%, level aman untuk membeli saham UNVR adalah
4,446.
Nilai ini jauh di bawah harga saham UNVR saat ini, yaitu 15,800 yang
merepresentasikan P/E ratio sebesar 39.52. Sangat tinggi, bahkan untuk saham di
Indonesia.
Contoh kasus 2: saham PT. Adira Multi Finance (ADMF).
EPS = 399.769
Dengan data yang ada tersebut maka harga wajar saham ADMF adalah sebagai
berikut:
Demikian yang dapat disampaikan mengenai metode valuasi Graham. Tentu saja
metode valuasi sudah jauh berkembang saat ini. Walaupun begitu, konsep mengenai
valuasi ini dengan kesederhanaannya dapat menghindarkan kita dari pembelian
saham yang harganya terlalu mahal.
Metode screening dari Ben Graham dapat dibaca pada artikel ini.
Apa saja saham-saham tersebut?
Terlihat bahwa hanya 4 saham yang lolos dari penyaringan, yaitu BRAM, LION,
LMSH, dan MRAT. Pilihan ada di tangan Anda.
Rate This
Salah satu metode screening yang cukup menarik dikemukakan oleh Joseph
Piotroski. Metode screening ini akan mencari saham-saham yang membaik
kinerjanya secara relatif dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Saham dinilai berdasarkan kriteria tertentu dan diberikan skor yang dikenal dengan
nama F-Score. Skor akan bernilai 1 s.d 9 dengan 9 sebagai nilai terbaik.
Untuk menyegarkan kembali, scoring method-nya adalah sbb:
Untuk setiap kriteria yang berhasil dipenuhi, berikan nilai 1.
Terdapat 9 emiten yang memiliki F-Score 9. Jangan lupa untuk memeriksa dan
menganalisis lebih jauh secara terperinci.
Hasil Valuasi Beberapa Saham dengan Menggabungkan
Metode Graham-Lynch
Posted on September 14, 2010by parahita
1 Votes
Apabila pada tulisan beberapa waktu yang lalu saya membahas mengenai bagaimana
melakukan valuasi dengan metode yang diperkenalkan oleh Benjamin Graham,
maka pada kali ini saya akan mencoba menyajikan hasil valuasi untuk beberapa
saham pilihan. Growth saya ambil dari reuters.com yang merepresentasikan estimasi
dari beberapa analis saham. Data EPS yang saya gunakan adalah data Full Year
2009. Agak terlambat memang. Jika Anda ingin mengupdate dengan data kuartalan
terbaru dipersilakan.
Hasilnya adalah sbb:
Terlihat bahwa jika menggunakan metode Graham (saya menggunakan versi yang
konservatifnya), sebagian besar saham masih undervalued. Tentu saja hal ini
menimbulkan pertanyaan tersendiri. Untuk mengurangi keraguan, saya mencoba
menggabungkannya dengan metode PEG (PER to growth) dari Peter Lynch yang
juga telah saya bahas sebelumnya di sini. Jika suatu saham undervalued tetapi
memiliki PEG > 1 maka saya akan memberikan remarks “WARNING”. Artinya,
sebaiknya kita menunggu harga sahamnya turun dahulu sebelum melakukan
pembelian.
1 Votes
Cara yang sangat umum digunakan untuk menentukan apakah suatu saham dijual
terlalu mahal atau terlalu murah adalah dengan menggunakan PER (Price to Earning
Ratio). PER dapat didapatkan dengan mudah dengan membagi harga saham dengan
EPS (Earning per Share). Saham dengan PER 10x memberikan kita informasi bahwa
jika kita membeli saham tersebut, dibutuhkan waktu 10 tahun supaya modal
pembelian kita impas. Tentu saja dengan catatan pertumbuhan laba ke depannya
nol.
Dengan membandingkan PER saham-saham yang berada di dalam satu industri, kita
bisa dengan cepat mengetahui apakah suatu saham overvalue atau undervalue.
Sayangnya PER ini memiliki suatu kelemahan mendasar. Jika seandainya PER ASII
(Astra International) lebih tinggi daripada PER IMAS (Indomobil), apakah kita bisa
memutuskan bahwa ASII dijual lebih mahal daripada IMAS? Jika Anda langsung
menjawab ya, maka Anda mengikuti permainan yang sangat berbahaya.
Katakanlah saham X memiliki PER = 10x dan saham Y memiliki PER = 18x. Saham
X terlihat lebih menarik sebagai sasaran investasi kita. Dengan membeli sahamnya,
kita bisa mengharapkan balik modal dalam waktu 10 tahun sementara saham Y
memerlukan waktu yang lebih lama (18 tahun). Benarkah?
Mari kita coba memandang dari sisi lain. Berdasarkan info dari laporan keuangan
mereka, ternyata didapatkan long-term EPS growth saham X adalah 4 sementara
saham Y berpotensi memiliki long-term growth EPS lebih tinggi yaitu 20%. Apa yang
dapat kita simpulkan?
Terlihat bahwa meskipun PER saham X lebih rendah daripada saham Y, kedua
saham tersebut memerlukan waktu yang sama (9 tahun) untuk balik modal.
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tinggi rendahnya
PER tidak bisa menjadi patokan kita untuk melakukan valuasi. Kita juga harus
memperhitungkan faktor growth. Kembali pada kasus di atas. Jika kita membagi
PER saham X dengan growthnya (nominal), maka kita dapatkan angka 10/4 = 2.5.
Angka ini disebut dengan PEG (P/E to Growth ratio). Dengan cara yang sama kita
bisa mendapatkan nilai PEG untuk saham Y adalah 0.9. Terlihat bahwa PEG saham
X lebih tinggi daripada saham Y.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saham dengan PER yang tinggi layak
sebagai investasi selama tingginya PER tersebut dapat ditopang dengan growth. Hal
lain yang menarik lainnya, dengan PEG kita dapat membandingkan saham-saham
pada industri yang berbeda. Peter Lynch, mantan fund manager Magellan Fund
merekomendasikan PEG tidak lebih dari 1. PEG yang lebih dari 1 mengindikasikan
growth tidak mampu menopang tingginya PER.
1 Votes
Tabel berikut berisikan saham-saham yang tumbuh dengan lambat
selama lima tahun terakhir. Saya menggunakan screener dari FT.com. Walaupun
masuk ke dalam kategori slow growers, bukan berarti saham-saham berikut tidak
layak untuk investasi. Pada umumnya, jika kita berinvestasi pada saham-saham slow
grower, dividen menjadi faktor yang penting. Dividend yield (dividend per share /
stock price) adalah andalan kita untuk mengkompensasi lambatnya pertumbuhan.
Sebenarnya meskipun cukup banyak saham di BEI yang masuk ke dalam
kategori slow growers, hanya saham-saham berikutlah yang lolos dari filter ala Peter
Lynch dan masih layak untuk kita koleksi.
1. P/E ratio. Bandingkan besarnya P/E ratio dengan perusahaan sejenis di dalam
satu industri.
2. Besarnya kepemilikan institusi. Semakin rendah semakin baik.
3. Periksa apakah para insider (direksi atau komisaris) membeli sahamnya. Jangan
lupa juga periksa apakah perusahaan melakukan stock buyback. Kedua hal
tersebut memberikan efek positif.
4. Periksa data historis pertumbuhan laba. Apakah labanya tumbuh dengan stabil
atau fluktuatif.
5. Apakah kondisi neracanya kuat? Cara paling mudah adalah memeriksa debt to
equity ratio.
6. Jumlah uang tunai (cash). Jika besarnya cash per share adalah 500 rupiah, maka
jarang terjadi harga sahamnya turun di bawah itu.
Khusus untuk saham slow growers, periksa hal-hal berikut:
1. Karena kita membeli saham jenis ini dengan harapan mendapatkan dividen,
periksa apakah perusahaan secara rutin membagikan dividen.
2. Jangan lupa memeriksa besarnya dividend payout ratio (dividend per share /
earnings per share). Jika nilainya cukup rendah, perusahaan akan memiliki
cadangan dana pada masa-masa sulit.
Sebagai investor, kita juga harus mengetahui kapan saatnya menjual. Selalu
perhatikan kondisi-kondisi yang harus kita pertimbangkan apakah saham slow
growers layak untuk dipertahankan atau tidak. Pertimbangkan untuk menjual
sahamnya apabila terjadi hal-hal berikut:
1. Harganya telah naik 30% – 50% sejak kita beli.
2. Kondisi fundamental sahamnya semakin memburuk. Pada kondisi ini, jangan
tertipu melihat harga saham yang terus menjadi semakin murah.
3. Perusahaan terus kehilangan pangsa selama dua tahun berturut-turut dan
mengganti agen iklannya.
4. Tidak mengeluarkan produk baru dan pengeluaran untuk riset dan
pengembangan dibatasi.
5. Dua akuisisi terhadap bisnis yang tidak berkaitan dengan core business mereka
gagal.
6. Perusahaan membayar terlalu mahal untuk mengakuisisi suatu bisnis. Neracanya
berubah dari tidak ada utang dan cash berlimpah menjadi tumpukan utang dan
tidak memiliki cash. Tidak ada dana yang dapat digunakan untuk
melakukan buybacksaham ketika harga sahamnya jatuh sekalipun.
7. Sekalipun harga sahamnya yang cukup rendah, dividend yield-nya tidak mampu
menarik investor untuk masuk.
Demikianlah hal-hal yang perlu kita perhatikan apabila ingin berinvestasi pada
saham-saham slow growers. Pada artikel selanjutnya kita akan berdiskusi tentang
saham-saham stalwarts dan Fast Growers.
1 Votes