Anda di halaman 1dari 23

Strategi Investasi Peter Lynch

Posted on July 14, 2011by parahita

Salah satu ciri khas dari investor kawakan adalah memiliki falsafah investasi yang
sederhana namun susah untuk dilakukan. Begitu juga dengan Peter Lynch,
mantan fund manager andalan Fidelity Magellan. Peter Lynch adalah seorang
lulusan Wharton yang merupakan salah satu perguruan tinggi yang memiliki
program MBA terbaik di US. Yang cukup mengejutkan adalah kesederhanaan
falsafahnya dalam investasi saham. Salah satu prinsipnya adalah hanya membeli
saham yang dipahaminya. Jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi, lupakan saham
tersebut.
Walaupun begitu, Peter Lynch juga mengatakan bahwa sering terjadi mispersepsi
mengenai prinsipnya tersebut. Hanya karena kita memahami bisnis di balik suatu
saham, tidak serta merta kita bisa langsung membelinya. Kita tetap harus
memahami kondisi fundamentalnya dan yang terpenting, apakah saham tersebut
dijual dengan harga yang sewajarnya?

Pada dasarnya, Peter Lynch membagi saham dalam beberapa kategori:


1. Fast Growers
Saham-saham yang masuk ke dalam kategori ini adalah saham-saham yang
memiliki pertumbuhan earning jangka panjang yang cukup tinggi (> 20%).
2. Stalwarts
Saham-saham yang masuk kategori kedua adalah saham-saham yang memiliki
pertumbuhan jangka panjang antara 10% – 20% per tahun. Biasanya yang masuk ke
dalam kategori ini adalah saham-saham yang mulai mature namun masih memiliki
potensi untuk tumbuh.
3. Slow Growers
Saham-saham yang masuk kategori ini adalah saham-saham yang memiliki
pertumbuhan EPS kurang dari 10%. Perusahaan yang masuk ke dalam kategori ini
biasanya adalah perusahaan yang mature dengan potensi pertumbuhan EPS
terbatas.
4. Cyclicals
Perusahaan cyclicals adalah perusahaan yang kinerjanya sangat bergantung pada
kondisi ekonomi. Contohnya adalah produsen mobil, produsen logam, dan
perkebunan.
5. Turnarounds
Perusahaan yang masuk ke dalam kategori ini adalah perusahaan yang sedang
berada dalam kesulitan namun ada tanda-tanda membaik. Jika kita dapat
mendeteksinya secara dini, potensi keuntungan yang akan kita dapatkan cukup
besar.
6. Asset Plays
Perusahan yang masuk ke dalam kategori ini memiliki nilai aset yang lebih tinggi
daripada yang tercatat di dalam pembukuannya. Menemukan perusahaan jenis ini
gampang-gampang susah karena kita harus mengetahui dengan pasti berapa nilai
sebenarnya dari aset-aset yang dimilikinya.

Strategi Investasi Peter Lynch: Step by Step


Buku “The Guru Investor” yang dituliskan oleh John P. Reese menjelaskan strategi
investasi Peter Lynch secara terperinci. Pada dasarnya, Peter Lynch membagi
perusahaan ke dalam tiga kategori. Lho kok hanya tiga? Bukannya di atas dijelaskan
bahwa terdapat enam jenis perusahaan? Karena kita ingin menganalisis secara
kuantitatif, maka yang paling mungkin dilakukan adalah mengambil hanya tiga
kategori saja, yaitu fast growers, stalwarts, dan slow growers. Setelah
menggolongkannya ke dalam salah satu dari ketiga kategori tersebut, kita akan
melakukan pengujian yang berlaku untuk kesemua saham di dalam kategori
tersebut. Setelah lolos, barulah kita melakukan pengujian yang spesifik untuk
masing-masing kategori.
Catatan: Ada beberapa pengujian tentang jumlah minimum sales (revenue) yang
dinyatakan dalam USD. Kita tidak bisa secara langsung mengkonversikan nilainya ke
dalam IDR. Karena revenue berkaitan dengan GDP, maka kita akan mencoba
membandingkan GDP US dengan Indonesia. Berdasarkan data IMF, GDP US adalah
USD 14.119 miliar sementara GDP Indonesia adalah USD 707 miliar. Dengan kata
lain, GDP Indonesia adalah sekitar 5,01% dari GDP US. Oleh karena
itu revenue sebesar USD 2 miliar di US setara dengan IDR 871 miliar (USD 2 miliar x
8.700 (kurs USD/IDR) x 5,01%).
LANGKAH 1: Mengklasifikasikan Perusahaan
EPS growth < 10% –> Slow-grower
10% <= EPS growth < 20% –> Stalwart
EPS growth >= 20% –> Fast-grower
LANGKAH 2: Tes Untuk Semua Saham
 PEG Ratio
Untuk stalwarts dan slow-growers tambahkan dividend yield pada
komponen growth :
0 < PEG Ratio <= 0,5 –> Pass – best case
0,5 < PEG Ratio <= 1 –> Pass
PEG Ratio > 1 –> Fail
 Change in Inventory – to – Sales Ratio
– Perusahan keuangan atau utilitas –> Pass (tidak dilakukan pengujian)

– Change in inventory/sales < 0 –> Pass – best case


– Change in inventory/sales = 0 –> Pass
– 0 <= Change in inventory/sales <= 5% à–>Pass – minimum
– Change in inventory/sales > 5% –> Fail

 Total Debt – Equity Ratio


– Perusahan keuangan atau utilitas –> Pass (tidak dilakukan pengujian)

– D/E < 30% –> Pass – best case


– 30% <= D/E < 50% –> Pass – normal
– 50% <= D/E < 80% –> Pass – mediocre
– D/E >= 80% dan perusahaan utilitas –> Pass
– D/E >= 80% dan bukan perusahaan utilitas –> Fail
Khusus untuk perusahaan keuangan:

 Equity – to – Assets Ratio (E/A)


– E/A >= 5% –> Pass
– E/A >= 13,5% –> Pass – best case
– E/A < 5% –> Fail
 ROA
– ROA >= 1% –> Pass
– ROA < 1% –> Fail
LANGKAH 3: Test Spesifik Untuk Masing-Masing Kategori
Untuk Fast-growers:
 P/E Ratio
– Sales > IDR 435 miliar dan PER <= 40 –> Pass
– Sales > IDR 435 miliar dan PER > 40 –> Fail
– Sales <= IDR 435 miliar –> N/A
 EPS growth
– 20% <= EPS growth <= 25% –> Pass – best case
– 25% < EPS growth <= 50% –> Pass
– EPS growth > 50% –> Fail
Untuk Stalwarts:
 Sales
– Sales >= IDR 827 miliar –> Pass
– Sales < IDR 827 miliar –> Fail
 EPS
– EPS > 0 –> Pass
– EPS <= 0 –> Fail
Untuk Slow-growers:
 Sales
– Sales >= IDR 435 miliar –> Pass
– Sales < IDR 435 miliar –> Fail
 Yield Compared with the S & P 500 Yield (untuk Indonesia bisa
menggunakan yield LQ-45)
– Yield ≥ yield LQ-45 dan ≥ 3% –> Pass
– Yield < 3% –> Fail
– Yield < S & P Yield –> Fail
LANGKAH 4: Kriteria Bonus (Tidak Wajib)
Pengujian di bawah tidak wajib namun jika kita menemukan saham yang lolos akan
lebih baik.

 Free Cash Flow per Share – to – Current Price Ratio >= 35% –> Pass –
Bonus
 Net Cash per Share – to – Current Price Ratio
– 30% <= Net Cash per Share – to – Current Price Ratio < 40% –> Pass – Good
– 40% <= Net Cash per Share – to – Current Price Ratio < 50% –> Pass –
Better
– Net Cash per Share – to – Current Price Ratio >=540% –> Pass – Best

Contoh Penggunaaan Metode Screening Peter Lynch


Posted on August 4, 2011by parahita
1 Votes

Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai bagaimana caranya


melakukan screening dengan menggunakan metode dari Peter Lynch, pada artikel
ini kita akan berdiskusi mengenai contoh penggunaannya. Perusahaan yang akan
akan kita jadikan contoh adalah PT Hanjaya Mandala Sampoerna, Tbk (kode BEI:
HMSP). HMSP sendiri merupakan perusahaan yang cukup mature dan merupakan
pemain penting pada industri rokok.
LANGKAH 1: Mengklasifikasikan Perusahaan
Berdasarkan laporan keuangan tahun 2006 – 2010, didapatkan bahwa EPS
growthHMSP adalah sebesar 16,13%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
HMSP tergolong stalwart.
LANGKAH 2: Tes Untuk Semua Saham
 PEG ratio. Dengan PER sebesar 19,21 (EOY 2010), EPS growth sebesar 16,13%,
dan dividend yield sebesar 5,42%, HMSP memiliki PEG ratio 0,89.
Karena PEG ratioHMSP kurang dari 1 maka HMSP lolos dari pengujian ini.
 Change in Inventory – to – Sales Ratio. Inventory-to-sales ratio tahun
2010 adalah 22,60%, turun dari tahun sebelumnya yang besarnya 24,48%.
Karena inventory-to-sales ratio menurun maka HMSP lolos dari pengujian ini.
 Total Debt – Equity Ratio. Dengan total debt sebesar hanya 87,2 miliar
rupiah dan ekuitas sebesar 10,2 triliun rupiah, total debt – equity ratio HMSP
hanyalah 0,85% dan tanpa ada keraguan lolos dari pengujian ini.
LANGKAH 3: Test Spesifik Untuk Masing-Masing Kategori
Karena HMSP tergolong perusahaan stalwart, maka dilakukan pengujian spesifik
terhadap poin-poin berikut:

 Sales. Nilai penjualan HMSP adalah 43,4 triliun rupiah, jauh di ambang bawah
827 miliar. Dengan demikian HMSP lolos pada pengujian ini.
 EPS. Nilai EPS HMSP tahun 2010 adalah 1.465 rupiah per lembar saham dan
jelas-jelas tidak negatif sehingga lolos dari pengujian.
Sampai dengan tahap ini dapat dikatakan bahwa HMSP lolos dari screening ala Peter
Lynch dan cukup layak dijadikan wahana investasi kita. Tahap selanjutnya adalah
bonus dan bersifat tidak wajib.

LANGKAH 4: Kriteria Bonus (Tidak Wajib)


 Free Cash Flow per Share – to – Current Price Ratio. Nilainya hanya
5,4% dan jauh dari ambang bawah sebesar 35% sehingga tidak lolos dari
pengujian ini.
 Net Cash per Share – to – Current Price Ratio. Nilainya hanya 2,6% dan
tidak lolos dari pengujian ini.
Metode screening ala Peter Lynch ini cukup bagus dalam menangkap saham-saham
yang potensial. Penggolongan saham berdasarkan pertumbuhannya juga merupakan
pemikiran yang bagus karena adanya pembedaan perlakuan dan pengujian untuk
masing-masing jenisnya.
Saham-Saham Pilihan 2012 (Bag. 1): Hasil Screening
dengan Metode dari Peter Lynch
Posted on May 28, 2012by parahita

4 Votes

Peter Lynch merupakan salah satu icon pencetus saham-saham GARP (Growth at
Reasonable Price). Bagi saya, GARP cocok untuk digunakan di Indonesia karena
terfokus pada kualitas dan pertumbuhan. Jika masih ada yang membutuhkan
informasi tentang GARP atau metode screening Peter Lynch bisa membaca artikel-
artikel lama di blog ini:
 Apa itu GARP?
 GARP in Action
 Metode screening Peter Lynch
 Contoh penggunaan metode screening Peter Lynch
Saya akan memberikan hasil screening ala Peter Lynch berdasarkan laporan
keuangan 2011. Saat ini IHSG cenderung turun dan memberikan kita kesempatan
untuk mendapatkan saham-saham bagus dengan harga yang murah.
Hasil screening ini mungkin dapat memberikan jalan untuk mendapatkan saham
yang layak untuk dikoleksi.
Seperti juga pada artikel-artikel sebelumnya, hasil ini tidak bersifat mutlak karena
analisis menyeluruh tetap harus dilakukan. Screening hanyalah merupakan alat
bantu untuk memilah-milah saham-saham yang menjadi kandidat investasi kita.
Apa saja saham-saham tersebut?
Saya sengaja hanya menyertakan saham-saham yang masuk ke dalam kategori Fast
Grower (growth > 20%). Pada kenyataannya saat ini BEI dipenuhi oleh saham-
saham yang masuk ke dalam kategori tersebut.
Selain memenuhi kriteria-kriteria pemilihan saham seperti yang diutarakan oleh
Peter Lynch, saya juga memberikan 2 kriteria tambahan untuk memperkecil risiko:

 Pertumbuhan laba bersih yang stabil selama 5 tahun terakhir.


 Tidak pernah mengalami kerugian selama 5 tahun terakhir.

Memilih Saham a la Benjamin Graham (Bagian 1)


Posted on May 26, 2010by parahita

Memilih Saham Berfundamental Kuat dengan Melakukan Screening

Courtesy of Buz Graham


Tidak diragukan lagi bahwa Benjamin Graham merupakan pelopor dari value
investing. Graham memandang saham sebagai sebuah bisnis dan bukan hanya
sebagai komoditi perdagangan. Menurut Graham, investasi adalah tindakan yang
melalui analisis mendalam, menjanjikan keamanan modal kita dan memberikan
imbal hasil yang memuaskan. Tindakan-tindakan yang tidak memenuhi syarat-
syarat tersebut bersifat spekulatif. Graham sendiri cenderung berhati-hati dan
konservatif dalam memilih saham. Hal ini dapat dimaklumi karena kepanikan
pasar tahun 1907 telah menyebabkan kebangkrutan bagi keluarganya akibat
tindakan spekulatif di bursa saham.

Graham sendiri tidak luput dari depresi besar tahun 1929 yang menyebabkan dana
investasi nasabah yang dikelolanya ikut terseret bersama dengan investor lain.
Berangkat dari sinilah Graham mulai meletakkan dasar-dasar filosofi investasinya
yang bersifat konservatif dan bertujuan untuk melindungi keamanan modal.
Kenyataan membuktikan bahwa Graham hanya membutuhkan waktu lima tahun
untuk mengembalikan modal nasabahnya sementara DJIA membutuhkan waktu 25
tahun untuk kembali ke level sebelum depresi besar terjadi. Tentu saja ini membuat
nama Graham semakin bersinar dan mendapatkan penghormatan atas integritasnya
sebagai fund manager. Salah satu muridnya yang bahkan dapat jauh melebihi track
recordnya tak lain adalah Warren Buffett yang merupakan orang terkaya ke-2 di
dunia sebagai hasil dari investasi. Oleh karena itu, tentulah akan sangat menarik
untuk mencoba menerapkan strategi investasi Ben Graham. Walaupun untuk dapat
secara akurat menerapkannya membutuhkan waktu dan usaha yang cukup besar,
namun konsep-konsep dasar mengenai cara melakukan screening saham dan valuasi
dari Graham bisa kita terapkan karena cukup sederhana.

Tulisan ini akan dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama akan membahas
mengenai strategi untuk melakukan screening saham-saham yang layak untuk
menjadi sarana investasi kita. Yang dimaksud dengan screening adalah
seperti ’menyaring’. Kita akan mencoba menyaring saham-saham yang memenuhi
kriteria investasi Graham. Tentu saja, penyaringan tersebut bertujuan mencari
saham-saham yang berfundamental kuat sehingga investasi kita tidak akan bersifat
spekulatif. Tulisan pada bagian kedua akan membahas bagaimana cara melakukan
valuasi saham. Jika pada tulisan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana cara
menentukan harga wajar saham a la Buffett, maka kali ini kita akan mencoba
melakukan valuasi menggunakan metode dari gurunya, yaitu Benjamin Graham.
Prinsip-prinsip investasi Ben Graham dituangkan pada kedua bukunya yang sangat
legendaris, yaitu Intellegent Investor dan Security Analysis.
Konsep screening Graham sendiri dengan sangat bagus telah dirangkum oleh John
P. Reese dan Jack M. Forehand dalam bukunya: ‘The Guru Investor’. Rangkuman
tersebut akan dipaparkan pada tulisan bagian pertama ini.
Strategi Graham dalam Memilih Saham
1. Sektor. Graham secara pribadi tidak berinvestasi pada saham-saham teknologi.
Oleh karena itu, kriteria pertama kita adalah sebagai berikut:
Sektor
Seluruh saham kecuali saham teknologi ≥ Pilih
Saham-saham teknologi < Buang
2. Revenue. Untuk mengurangi risiko, Graham menginginkan perusahaan yang
cukup besar karena kinerjanya cenderung lebih stabil, memiliki aset yang lebih
besar, dan jarang memberikan kejutan-kejutan yang tidak mengenakkan. Graham
merekomendasikan untuk berinvestasi pada perusahaan dengan revenue tahunan
minimal $50 juta atau untuk kondisi saat ini setara dengan $340 juta.
Komentar: Kondisi di bursa saham AS berbeda dengan bursa saham Indonesia
(BEI). Kapitalisasi pasar NYSE (New York Stock Exchange) adalah sekitar $28.5
triliun dengan jumlah perusahaan terdaftar sebanyak 2,773. Artinya, kapitalisasi
pasar rata-rata perusahaan di NYSE adalah $10.3 miliar. BEI sendiri memiliki
kapitalisasi pasar sebesar $233 miliar (dengan asumsi kurs USD/IDR 9200) dengan
405 perusahaan yang terdaftar. Berdasarkan hal tersebut, kapitalisasi pasar rata-rata
perusahaan di BEI adalah $576 juta. Dengan membandingkan kapitalisasi rata-rata
perusahaan di BEI terhadap NYSE, maka revenue minimal untuk penyesuaian
kriteria Graham untuk BEI adalah sebesar ($576 juta/$10.3 miliar) x $340 juta, atau
sekitar $19 juta. Jika kita nyatakan dalam Rupiah, nilai tersebut setara dengan Rp
175 miliar. Dengan demikian kriteria kedua kita adalah:
Revenue:
≥ Rp 175 miliar → Pilih
< Rp 175 miliar → Buang
3. Current Ratio. Graham menyukai perusahaan dengan likuiditas yang tinggi
sehingga risiko terkena permasalahan keuangan menjadi semakin kecil. Salah satu
parameter yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas adalah current
ratio (current assets / current liabilities). Maka kriteria ketiga adalah:
Current Ratio
Current Ratio ≥ 2 → Pilih
Current ratio < 2 dan perusahaan adalah perusahaan utilitas atau telekomunikasi
→ Pilih
Current ratio < 2 untuk perusahaan selain itu → Buang

4. Utang Jangka Panjang tehadap Net Current Assets. Graham tidak


menyukai perusahaan yang utangnya terlalu besar. Yang dimaksud dengan net
current assets adalah current asset dikurangi dengan current liabilities atau biasa
disebut juga dengan working capital (modal kerja). Kita harus memastikan bahwa
jika saat ini juga aset suatu perusahaan dilikuidasi, perusahaan tersebut mampu
untuk membayar utang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan
demikian kriteria kita selanjutnya:
Utang Jangka Panjang / Net Current Assets
Utang Jangka Panjang ≥ Net Current Assets → Pilih
Utang Jangka Panjang < Net Current Assets → Buang
5. Pertumbuhan EPS Jangka Panjang. Walaupun Graham adalah pelopor
value investing namun growth tetap berperan penting dalam pemilihan sahamnya.
Berbeda dengan growth investing, Graham menggunakan pertumbuhan EPS
(Earning per Share) masa lalu untuk memperkirakan pertumbuhan EPS di masa
datang. Dengan kata lain, Graham menggunakan pertumbuhan EPS sebagai
indikator kestabilan keuangan suatu perusahaan. Graham menggunakan data selama
10 tahun ke belakang sebagai acuan. Untuk lebih memastikan, Graham
membandingkan EPS rata-rata selama 3 tahun pada akhir dari periode 10 tahun
tersebut dengan EPS rata-rata selama 3 tahun pada awal dari periode 10 tahun
tersebut. Dengan demikian:
Pertumbuhan EPS Jangka Panjang (10 tahun ke belakang)
≥ 30% dan tidak ada EPS yang negatif selama 5 tahun terakhir → Pilih
< 30% → Buang
≥ 30% dan ada EPS yang negatif selama 5 tahun terakhir → Buang
6. P/E Ratio (Price to Earning Ratio). Rasio ini digunakan Graham untuk
membandingkan harga wajar suatu saham terhadap harga yang diberikan oleh pasar.
Graham menggunakan P/E ratio rata-rata selama 3 tahun terakhir. Oleh karena itu
kriteria berikutnya adalah:
P/E Ratio
P/E ratio ≤ 15 → Pilih
P/E ratio > 15 → Buang
7. P/BV Ratio (Price to Book Ratio). Rasio lain yang digunakan untuk
membandingkan harga wajar saham dengan harga di pasar adalah P/BV ratio.
Graham berpendapat bahwa perkalian antara P/BV ratio dengan P/E ratio tidak
boleh melebihi 22. Dengan demikian:
P/BV Ratio
P/BV x P/E ≤ 22 → Pilih
P/BV x P/E > 22 → Buang
8. Total D/E Ratio (Debt to Equity Ratio). Secara umum, total utang
perusahaan baik jangka pendek maupun jangka panjang tidak boleh melebihi nilai
ekuitasnya. Untuk perusahaan utilitas, telekomunikasi, dan jalan raya yang perlu
diperhatikan adalah Long Term Debt to Equity Ratio saja karena adanya earning
power. Maka:
Total D/E Ratio
D/E Ratio ≤ 100% → Pilih
Perusahaan utilitas, telekomunikasi, atau jalan raya LTD/E ≤ 100% → Pilih
D/E Ratio > 100% → Buang
Perusahaan utilitas, telekomunikasi, atau jalan raya LTD/E > 100% → Buang
9. Konsistensi Pembayaran Dividen. Graham sangat menyukai perusahaan
yang membayarkan dividen secara terus-menerus selama 20 tahun terakhir
berapapun jumlahnya.
Komentar: Saat ini sudah sangat jarang perusahaan yang sangat konsisten
membayarkan dividen. Perusahaan bisa saja tidak memberikan dividen namun
mempergunakan labanya untuk keperluan ekpansi atau buyback sahamnya. Oleh
karena itu saya pribadi tidak menjadikan kriteria ini sebagai suatu keharusan.
Kesembilan kriteria tersebut merupakan strategi Ben Graham untuk memilih suatu
saham. Tentu saja untuk tahap selanjutnya kita juga harus mengetahui harga wajar
dari suatu saham. Cara untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan valuasi.

Pada bagian kedua dari tulisan ini akan dipaparkan bagaimana cara Graham untuk
melakukan valuasi saham. Kita juga akan mencoba untuk melakukan studi kasus
pada beberapa saham, baik screening maupun valuasinya.

Memilih Saham a la Benjamin Graham (Bagian 2)


Posted on May 26, 2010by parahita
5 Votes

Bagaimana Graham Melakukan Valuasi Saham?

Gemerlapnya bursa saham seringkali bisa membuat orang terlena. Secara


alamiah manusia akan merasa lebih nyaman jika mengikuti pendapat bersama.
Sayangnya di bursa saham, kebersamaan seringkali dapat menjerumuskan kita ke
jurang terdalam. Euforia saham dot.com di Amerika Serikat pada akhir tahun ’90-
an adalah hasil dari kesalahan penerjemahan kolektif yang menyebabkan
malapetaka bagi sebagian besar pesertanya. Hal yang mirip terjadi pada saat
depresi besar melanda dunia pada tahun 1929. Para pelaku pasar sudah ’lupa’
bahwa harga saham tidak selamanya bisa naik, terlebih jika tidak ditopang oleh
kondisi fundamental yang kuat. Di sinilah valuasi saham kita akan menjadi
pijakan untuk dapat bersikap rasional di tengah hiruk pikuknya bursa saham.
Di luar dugaan saya, metode valuasi yang dipergunakan sangatlah sederhana,
terlebih jika kita bandingkan dengan proses screening yang dilakukannya untuk
mencari saham-saham berfundamental kokoh. Graham berargumen bahwa ia
berusaha menggunakan formula yang sederhana dan bertujuan mendapatkan hasil
yang mendekati hasil perhitungan dengan metode yang lebih kompleks.
Satu hal yang sangat penting adalah valuasi baru dapat dilakukan apabila suatu
saham telah lolos dari screening seperti yang saya paparkan di artikel sebelumnya.
Formula yang digunakan Graham adalah sebagai berikut (Security Analysis,
1962):
V = EPS x (8.5 + 2G)
Di mana:

V = Nilai intrinsik saham (harga wajar saham)


EPS = Earning per Share
8.5 = P/E wajar untuk perusahaan yang tidak tumbuh labanya
G = tingkat pertumbuhan laba jangka panjang (7 -10 tahun)

Formula ini akan menghasilkan valuasi yang sangat agresif karena perusahaan yang
tingkat pertumbuhan labanya 15% akan memiliki nilai wajar 38.5 x EPS. Walaupun
Graham menekankan perlunya margin of safety (selisih antara harga pasar dengan
harga wajarnya), formula tersebut tetap terasa sangat agresif. Graham
merekomendasikan margin of safety sebesar 50% yang berarti perusahaan seperti
contoh di atas layak untuk dibeli jika harganya adalah 19.25 x EPS (dengan kata lain
P/E ratio-nya adalah 19.25). Akan sangat mudah untuk mencari saham-saham
dengan P/E ratio sebesar itu dan agak meragukan jika saham dengan P/E ratio
setinggi itu disebut dengan value stock.
Graham tampaknya menyadari kelemahan formula tersebut dan pada tahun 1974 ia
merevisinya menjadi:

V = EPS x (8.5 + 2G) x (4.4/AAA)


Modifikasi tersebut menambahkan 4.4 yang merepresentasikan risk-free rate dan
AAA yang merepresentasikan kupon (bunga) dari obligasi korporat berkualitas
tinggi.
Kembali pada perusahaan pada pembahasan sebelumnya. Jika kupon obligasi
berkualitas tinggi adalah sekitar 10%, maka harga wajarnya menjadi (8.5 + 2×15)
x (4.4/10) x EPS = 16.94 x EPS. Dengan margin of safety sebesar 50% maka saham
tersebut layak dibeli pada harga 8.47 x EPS. Terlihat bahwa formula yang direvisi
tersebut memberikan hasil yang lebih valid dibandingkan sebelumnya.

Komentar Saya:
4.4 → Nilai 4.4 yang merepresentasikan risk-free rate harus disesuaikan agar dapat
diterapkan di Indonesia. Instrumen risk free-rate yang dapat digunakan adalah BI
rate yang saat ini adalah 6.5%.
G → Kita harus sangat berhati-hati dalam memprediksikan pertumbuhan laba
jangka panjang suatu perusahaan. Sangat sulit untuk mempertahankan
pertumbuhan laba jangka panjang sebesar 15% secara konsisten (walaupun bukan
berarti tidak ada).
Penawaran dari saya untuk modifikasi formula valuasi Graham untuk Indonesia
adalah sebagai berikut:
V = EPS x (8.5 + 2G) x (6.5/AAA)
Contoh kasus 1: saham PT. Unilever (UNVR).
EPS = 399.769

G = 17.53 (saya mendapatkan nilai ini dari reuters) pada bagian long term growth
rate. Karena nilainya terlalu tinggi saya turunkan menjadi 15 saja.
AAA = 11.625% (Obligasi Bank Ekspor Indonesia IV Tahun 2009 Seri B)
Dengan data yang ada tersebut maka harga wajar saham Unilever adalah sebagai
berikut:

V = 399.769 x (8.5 + 2×15) x (6.5/11.625) = 8,893

Dengan margin of safety 50%, level aman untuk membeli saham UNVR adalah
4,446.
Nilai ini jauh di bawah harga saham UNVR saat ini, yaitu 15,800 yang
merepresentasikan P/E ratio sebesar 39.52. Sangat tinggi, bahkan untuk saham di
Indonesia.
Contoh kasus 2: saham PT. Adira Multi Finance (ADMF).
EPS = 399.769

G = 32.10 (saya agak kurang nyaman dengan nilai ini dan


melakukan ‘downgrade’menjadi 15)
AAA = 11.625% (Obligasi Bank Ekspor Indonesia IV Tahun 2009 Seri B)

Dengan data yang ada tersebut maka harga wajar saham ADMF adalah sebagai
berikut:

V = 1,212.4 x (8.5 + 2×15) x (6.5/11.625) = 26,099


Dengan margin of safety 50%, level aman untuk membeli saham ADMF adalah
13,050. Harga saham ADMF saat ini adalah 9,150.
Jelas terlihat bahwa saham ADMF cukup menarik untuk dibeli pada level harga saat
ini.

Demikian yang dapat disampaikan mengenai metode valuasi Graham. Tentu saja
metode valuasi sudah jauh berkembang saat ini. Walaupun begitu, konsep mengenai
valuasi ini dengan kesederhanaannya dapat menghindarkan kita dari pembelian
saham yang harganya terlalu mahal.

Saham-Saham Pilihan 2012 (Bag. 2): Hasil Screening


dengan Metode dari Ben Graham
Mari kita lanjutkan perjalanan kita. Pada artikel ini kita akan melihat hasil screening
berdasarkan metode dari Benjamin Graham. Mengingat ketatnya kriteria yang
diberikan oleh Graham, tidaklah mengherankan hanya sedikit saham yang lolos dari
penyaringan.

Metode screening dari Ben Graham dapat dibaca pada artikel ini.
Apa saja saham-saham tersebut?

Terlihat bahwa hanya 4 saham yang lolos dari penyaringan, yaitu BRAM, LION,
LMSH, dan MRAT. Pilihan ada di tangan Anda.

Saham-Saham Pilihan 2012 (Bag. 3): Hasil Screening


dengan Piotroski F-Score
Posted on May 30, 2012by parahita

Rate This
Salah satu metode screening yang cukup menarik dikemukakan oleh Joseph
Piotroski. Metode screening ini akan mencari saham-saham yang membaik
kinerjanya secara relatif dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Saham dinilai berdasarkan kriteria tertentu dan diberikan skor yang dikenal dengan
nama F-Score. Skor akan bernilai 1 s.d 9 dengan 9 sebagai nilai terbaik.
Untuk menyegarkan kembali, scoring method-nya adalah sbb:
Untuk setiap kriteria yang berhasil dipenuhi, berikan nilai 1.

1. Net Income: Berikan skor 1 apabila net income positif.


2. Operating Cash Flow: Berikan skor 1 apabila operating cash flow positif.
3. Return On Assets: Berikan skor 1 apabila ROA lebih tinggi daripada ROA
tahun sebelumnya.
4. Quality of Earnings: Berikan skor 1 apabila operating cash flow lebih besar
daripada net income.
5. Long-Term Debt vs. Assets: Berikan skor 1 apabila rasio long-term debt to
assetslebih rendah dari tahun sebelumnya. (Skor 1 juga diberikan apabila tidak
memiliki utang walaupun aset meningkat).
6. Current Ratio: Berikan skor 1 apabila current ratio meningkat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
7. Shares Outstanding: Berikan skor 1 apabila jumlah saham beredar tidak lebih
besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya
8. Gross Margin: Berikan skor 1 apabila gross margin lebih tinggi dari tahun
sebelumnya.
9. Asset Turnover: Berikan skor 1 apabila pertumbuhan penjualan lebih tinggi
daripada pertumbuhan aset (asset turnover lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun lalu).
Artikel tentang Piotroski F-Score dapat dibaca di sini.
Berdasarkan laporan keuangan tahun 2011, saham apa sajakah yang memiliki nilai
tertinggi?

Terdapat 9 emiten yang memiliki F-Score 9. Jangan lupa untuk memeriksa dan
menganalisis lebih jauh secara terperinci.
Hasil Valuasi Beberapa Saham dengan Menggabungkan
Metode Graham-Lynch
Posted on September 14, 2010by parahita

1 Votes

Apabila pada tulisan beberapa waktu yang lalu saya membahas mengenai bagaimana
melakukan valuasi dengan metode yang diperkenalkan oleh Benjamin Graham,
maka pada kali ini saya akan mencoba menyajikan hasil valuasi untuk beberapa
saham pilihan. Growth saya ambil dari reuters.com yang merepresentasikan estimasi
dari beberapa analis saham. Data EPS yang saya gunakan adalah data Full Year
2009. Agak terlambat memang. Jika Anda ingin mengupdate dengan data kuartalan
terbaru dipersilakan.
Hasilnya adalah sbb:
Terlihat bahwa jika menggunakan metode Graham (saya menggunakan versi yang
konservatifnya), sebagian besar saham masih undervalued. Tentu saja hal ini
menimbulkan pertanyaan tersendiri. Untuk mengurangi keraguan, saya mencoba
menggabungkannya dengan metode PEG (PER to growth) dari Peter Lynch yang
juga telah saya bahas sebelumnya di sini. Jika suatu saham undervalued tetapi
memiliki PEG > 1 maka saya akan memberikan remarks “WARNING”. Artinya,
sebaiknya kita menunggu harga sahamnya turun dahulu sebelum melakukan
pembelian.

Layakkah Membeli Saham dengan PER yang Tinggi?


Posted on July 1, 2010by parahita

1 Votes

Cara yang sangat umum digunakan untuk menentukan apakah suatu saham dijual
terlalu mahal atau terlalu murah adalah dengan menggunakan PER (Price to Earning
Ratio). PER dapat didapatkan dengan mudah dengan membagi harga saham dengan
EPS (Earning per Share). Saham dengan PER 10x memberikan kita informasi bahwa
jika kita membeli saham tersebut, dibutuhkan waktu 10 tahun supaya modal
pembelian kita impas. Tentu saja dengan catatan pertumbuhan laba ke depannya
nol.

Dengan membandingkan PER saham-saham yang berada di dalam satu industri, kita
bisa dengan cepat mengetahui apakah suatu saham overvalue atau undervalue.
Sayangnya PER ini memiliki suatu kelemahan mendasar. Jika seandainya PER ASII
(Astra International) lebih tinggi daripada PER IMAS (Indomobil), apakah kita bisa
memutuskan bahwa ASII dijual lebih mahal daripada IMAS? Jika Anda langsung
menjawab ya, maka Anda mengikuti permainan yang sangat berbahaya.

Katakanlah saham X memiliki PER = 10x dan saham Y memiliki PER = 18x. Saham
X terlihat lebih menarik sebagai sasaran investasi kita. Dengan membeli sahamnya,
kita bisa mengharapkan balik modal dalam waktu 10 tahun sementara saham Y
memerlukan waktu yang lebih lama (18 tahun). Benarkah?

Mari kita coba memandang dari sisi lain. Berdasarkan info dari laporan keuangan
mereka, ternyata didapatkan long-term EPS growth saham X adalah 4 sementara
saham Y berpotensi memiliki long-term growth EPS lebih tinggi yaitu 20%. Apa yang
dapat kita simpulkan?

Mari kita simak ilustrasi berikut:

Terlihat bahwa meskipun PER saham X lebih rendah daripada saham Y, kedua
saham tersebut memerlukan waktu yang sama (9 tahun) untuk balik modal.
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tinggi rendahnya
PER tidak bisa menjadi patokan kita untuk melakukan valuasi. Kita juga harus
memperhitungkan faktor growth. Kembali pada kasus di atas. Jika kita membagi
PER saham X dengan growthnya (nominal), maka kita dapatkan angka 10/4 = 2.5.
Angka ini disebut dengan PEG (P/E to Growth ratio). Dengan cara yang sama kita
bisa mendapatkan nilai PEG untuk saham Y adalah 0.9. Terlihat bahwa PEG saham
X lebih tinggi daripada saham Y.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saham dengan PER yang tinggi layak
sebagai investasi selama tingginya PER tersebut dapat ditopang dengan growth. Hal
lain yang menarik lainnya, dengan PEG kita dapat membandingkan saham-saham
pada industri yang berbeda. Peter Lynch, mantan fund manager Magellan Fund
merekomendasikan PEG tidak lebih dari 1. PEG yang lebih dari 1 mengindikasikan
growth tidak mampu menopang tingginya PER.

Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan PEG:

1. Pastikan bahwa growth suatu perusahaan konsisten dan predictable.


2. Walaupun PER yang tinggi dapat dioffset dengan growth, bukan berarti semakin
tinggi growth semakin baik. Long term growth normal yang realistis dapat
dicapai maksimal sekitar 25%. Growth yang lebih tinggi dari itu dalam jangka
panjang sangat sulit untuk dipertahankan.
Di bawah ini adalah list PER dan PEG untuk beberapa saham berdasarkan laporan
keuangan FY 2009. Data LT Growth didapatkan dari reuters.

Kategori Saham I: Slow Growers


Posted on August 5, 2011by parahita

1 Votes
Tabel berikut berisikan saham-saham yang tumbuh dengan lambat
selama lima tahun terakhir. Saya menggunakan screener dari FT.com. Walaupun
masuk ke dalam kategori slow growers, bukan berarti saham-saham berikut tidak
layak untuk investasi. Pada umumnya, jika kita berinvestasi pada saham-saham slow
grower, dividen menjadi faktor yang penting. Dividend yield (dividend per share /
stock price) adalah andalan kita untuk mengkompensasi lambatnya pertumbuhan.
Sebenarnya meskipun cukup banyak saham di BEI yang masuk ke dalam
kategori slow growers, hanya saham-saham berikutlah yang lolos dari filter ala Peter
Lynch dan masih layak untuk kita koleksi.

Sebelum mengambil keputusan, pastikan bahwa kita telah memeriksa kesehatan


keuangannya. Secara umum, menurut Peter Lynch ada beberapa faktor yang bisa
menjadi panduan kita untuk melakukan analisis.

1. P/E ratio. Bandingkan besarnya P/E ratio dengan perusahaan sejenis di dalam
satu industri.
2. Besarnya kepemilikan institusi. Semakin rendah semakin baik.
3. Periksa apakah para insider (direksi atau komisaris) membeli sahamnya. Jangan
lupa juga periksa apakah perusahaan melakukan stock buyback. Kedua hal
tersebut memberikan efek positif.
4. Periksa data historis pertumbuhan laba. Apakah labanya tumbuh dengan stabil
atau fluktuatif.
5. Apakah kondisi neracanya kuat? Cara paling mudah adalah memeriksa debt to
equity ratio.
6. Jumlah uang tunai (cash). Jika besarnya cash per share adalah 500 rupiah, maka
jarang terjadi harga sahamnya turun di bawah itu.
Khusus untuk saham slow growers, periksa hal-hal berikut:
1. Karena kita membeli saham jenis ini dengan harapan mendapatkan dividen,
periksa apakah perusahaan secara rutin membagikan dividen.
2. Jangan lupa memeriksa besarnya dividend payout ratio (dividend per share /
earnings per share). Jika nilainya cukup rendah, perusahaan akan memiliki
cadangan dana pada masa-masa sulit.
Sebagai investor, kita juga harus mengetahui kapan saatnya menjual. Selalu
perhatikan kondisi-kondisi yang harus kita pertimbangkan apakah saham slow
growers layak untuk dipertahankan atau tidak. Pertimbangkan untuk menjual
sahamnya apabila terjadi hal-hal berikut:
1. Harganya telah naik 30% – 50% sejak kita beli.
2. Kondisi fundamental sahamnya semakin memburuk. Pada kondisi ini, jangan
tertipu melihat harga saham yang terus menjadi semakin murah.
3. Perusahaan terus kehilangan pangsa selama dua tahun berturut-turut dan
mengganti agen iklannya.
4. Tidak mengeluarkan produk baru dan pengeluaran untuk riset dan
pengembangan dibatasi.
5. Dua akuisisi terhadap bisnis yang tidak berkaitan dengan core business mereka
gagal.
6. Perusahaan membayar terlalu mahal untuk mengakuisisi suatu bisnis. Neracanya
berubah dari tidak ada utang dan cash berlimpah menjadi tumpukan utang dan
tidak memiliki cash. Tidak ada dana yang dapat digunakan untuk
melakukan buybacksaham ketika harga sahamnya jatuh sekalipun.
7. Sekalipun harga sahamnya yang cukup rendah, dividend yield-nya tidak mampu
menarik investor untuk masuk.
Demikianlah hal-hal yang perlu kita perhatikan apabila ingin berinvestasi pada
saham-saham slow growers. Pada artikel selanjutnya kita akan berdiskusi tentang
saham-saham stalwarts dan Fast Growers.

Kategori Saham II: Stalwart


Posted on February 6, 2012by parahita

1 Votes

Untuk melanjutkan artikel sebelumnya yang membahas tentang


saham-saham yang masuk ke dalam kategori Slow Grower, kali ini kita akan
membahas mengenai saham-saham yang masuk ke dalam kategori Stalwarts beserta
tips-tips untuk analisisnya.
Adalah Peter Lynch dalam bukunya yang berjudul One up On Wall Street yang
menjadi sumber penulisan artikel ini.
Stalwart adalah perusahaan yang sudah berukuran besar dan memiliki market
share yang cukup besar. Stalwart akan memberikan kita imbal hasil yang cukup
besar tapi tidak terlalu istimewa. Lalu apa gunanya memilih saham stalwart?
Perusahaan yang masuk ke dalam kategori ini biasanya cukup tahan terhadap krisis
(kecuali untuk saham cyclical) sehingga akan sangat menolong di masa resesi.

Khusus untuk saham stalwart, periksa hal-hal berikut:


1. Perhatikan aksi-aksi ekspansi yang dilakukannya. Pastikan bahwa ekspansinya
tidak akan merusak kinerjanya di masa depan.
2. Pastikan bahwa growth-nya cukup stabil selama beberapa tahun terakhir.
3. Perhatikan bagaimana pergerakan harga sahamnya di masa krisis.
Walaupun umumnya stalwart adalah saham-saham yang biasanya dipegang untuk
jangka panjang, ada beberapa hal yang harus kita waspadai dan dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk menjual.

1. PEG ratio sudah lebih dari 1


2. PER sudah terlalu tinggi
3. Produk baru yang dikeluarkan memberikan kontribusi yang kurang meyakinkan
4. Tidak ada pembelian saham oleh insiders (pihak manajemen) selama setahun
terakhir
5. Lini usaha andalannya berkinerja sangat buruk di masa krisis
6. Pertumbuhan melambat
Demikianlah hal-hal yang perlu kita perhatikan apabila ingin berinvestasi pada
saham-saham stalwart.

Kategori Saham III: Fast Grower


Posted on February 7, 2012by parahita
Rate This

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel-artikel sebelumnya


tentang slow grower dan stalwart.
Adalah Peter Lynch dalam bukunya yang berjudul One up On Wall Street yang
menjadi sumber penulisan artikel ini.
Saham-saham yang masuk ke dalam kategori Fast Grower adalah favorit dari Peter
Lynch karena biasanya memberikan gain yang sangat tinggi yang diistilahkan
sebagai tenbaggers (harganya naik hingga 10 kali lipat). Fast Grower adalah saham
yang berukuran sedang dan berkembang secara agresif. Yang perlu diperhatikan
pada saham-saham fast grower adalah adanya ruang untuk ekspansi. Tanpa itu,
pertumbuhannya akan terhambat. Yang harus diingat, risiko berinvestasi di saham-
saham fast growercukup tinggi sehingga harus benar-benar cermat dalam
melakukan analisis sebelum membeli.
Apa saja yang perlu diperhatikan saat memilih saham-saham yang masuk ke dalam
kategori ini?

1. Pastikan bahwa produk andalannya memberikan kontribusi yang cukup besar


terhadap penjualan.
2. Perhatikan tingkat pertumbuhannya, jangan sampai melebih 50% karena
biasanya tidak bisa bertahan lama.
3. Perusahaan telah berhasil berekspansi di banyak area. Jika bisnisnya hanya
berkutat di satu area (misalnya Jakarta), tunggu hingga ekspansinya merambah
ke daerah-daerah lain.
4. Ada ruang untuk ekspansi. Pertumbuhan perusahaan ada batasnya. Pastikan
bahwa perusahaan bisa tumbuh kencang di masa depan.
5. Pastikan PEG ratio tidak lebih dari 1
6. Perhatikan tingkat pertumbuhannya dari waktu ke waktu.
7. Tidak banyak investor institusional yang memegang saham ini dan tidak banyak
analis yang membahasnya. Dengan demikian kita bisa membelinya di harga yang
cukup murah.
Fast grower adalah saham-saham yang sedang berekspansi secara agresif sehingga
mengandung risiko yang cukup tinggi. Waspadai hal-hal berikut yang apabila terjadi,
pertimbangkan untuk menjual sahamnya.
1. Ekspansinya berhenti.
2. Hampir semua analis merekomendasikan untuk membeli sahamnya.
3. Porsi kepemilikan institusi sangat besar.
4. CEO-nya banyak diliput oleh majalah.
5. Sudah tidak ada ruang untuk ekspansi.
6. PER-nya sudah terlalu tinggi (> 40x).
7. Penjualan menurun.
8. Ekspansinya menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan.
9. Manajemennya mengundurkan diri dan bergabung dengan kompetitor.
10. Terlalu banyak melakukan road show untuk promosi kepada investor
institusional.
11. PER nya berada di level 30x sementara proyeksi pertumbuhan laba bersih ke
depan hanya 15-20 persen.
Demikianlah hal-hal yang perlu kita perhatikan apabila ingin berinvestasi pada
saham-saham fast grower.

Anda mungkin juga menyukai