Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN DEWASA II FRAKTUR EKSTREMITAS

OLEH: Nama mahasiswa NIM : Feky Dian Anggraini : 011310b003

Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Jl.
Gedongsongo, Candirejo – Ungaran Tahun Ajaran 2011/2012
Kata Pengantar Puji syukur kehadihat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih
sayangnya hingga selesainya laporan pendahuluan tentang Fraktur Ekstremitas ini,
shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada tauladan terbaik Rasulullah
Muhammad saw. Penulis mengucapkan banyak terimakasih pada pihak-pihak yang membantu
penyusunan laporan pendahuluan ini. Saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk
perbaikan lebih lanjut. Semoga laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari hari yang semakin meningkat selaras
dengan ilmu pengetahuan dan tekologi modern, manusia tidak akan pernah lepas dari
fungsi normal system musculoskeletal, salah satunya tulang yang merupakan alat
gerak utama pada manusia. Namun akibat dari manusia itu sendiri, fungsi tulang
dapat terganggu karena mengalami fraktur. Sebagaian besar fraktur terjadi karena
kecelakaan. Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih dari 7
juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi
cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni sekitar 46,2% dari
insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi
diistegritas tulang. Penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor
lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur
(Depkes RI, 2009). Insiden fraktur dapat diatasi dengan baik apabila dilakukan
tindakan segera. Kesembuhan pada penderita fraktur dipengaruhi oleh keadaan
fraktur, pemenuhan nutrisi yang baik, adanya perawatan yang baik dan adanya kondisi
psikologis yang baik dari penderita fraktur sendiri. Pada sebagian besar penderita
fraktur ditemukan adannya respon cemas yang akhirnya berdampak kepada adanya
perubahan konsep diri yang akan mempengaruhi proses keperawatan dan proses
pemenuhan nutrisi, hal ini dikarena sebagian besar penderita yang cemas kurang
memiliki nafsu makan dan kurang responsive terhadap pengobatan yang akhirnya sangat
mempengaruhi proses penyembuhan. Respon cemas yang terjadi pada individu yang
mengalami fraktur dipengaruhi oleh karakteristik, yakni umur, pendidikan, jenis
kelamin, pekerjaan (Bhecker, 2008). Peran perawat pada pasien fraktur ekstremitas
sangat banyak. Disini perawat sangat diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya
komplikasi sedini
mungkin pada pasien fraktur ekstremitas. Hal lain pada klien dengan post op fraktur
ekstremitas juga dapat menimbulkan permasalahan yang kompleks mulai dari nyeri,
resiko terjadi infeksi, resiko perdarahan, gangguan integritas kulit, serta
berbagai masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya. Berdasarkan masalah
diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul laporan pendahuluan tentang
asuhan keperawatan klien dengan fraktur ekstremitas.

B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Fraktur Ekstremitas. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui tentang pengertian Fraktur
Ekstremitas b. Mengetahui Etiologi dan faktor resiko Fraktur Ekstremitas c.
Mengetahui patofisiologi dan pathway Fraktur Ekstremitas d. Mengetahui tanda dan
gejala Fraktur Ekstremitas e. Mengetahui indikasi dan komplikasi dari Fraktur
Ekstremitas f. Mampu melakukan pemeriksaan diagnostik Fraktur Ekstremitas g.
Penatalaksanaan medis h. Mampu memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Fraktur Ekstremitas.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres
yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh
pukulan langsung,' gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot
ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh,
mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi,
rupiur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat
mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen
tulang (Brunner & Suddarth, 2002). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000).
Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical
Surgical Nursing. Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Ada lebih dari 150
klasifikasi fraktur. Lima yang utama adalah: 1. Incomplete: Fraktur hanya
melibatkan bagian potongan menyilang tulang. Salah satu sisi patah; yang lain
biasanya hanya bengkok (greenstick). 2. Complete: Garis fraktur melibatkan seluruh
potongan menyilang dari tulang, dan fragmen tulang biasanya berubah tempat. 3.
Tertutup (simple): Fraktur tidak meluas melewati kulit. 4. Terbuka (compound):
Fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi
infeksi.
5. Patologis: Fraktur terjadi pada penyakit tulang (seperti kanker, osteoporosis),
dengan tak ada trauma atau hanya minimal (Doenges, Marlyn, 2000). Fraktur
ekstremitas adalah terputusnya kontinuitas tulang pada ekstremitas, baik
ekstremitas atas ataupun bawah (Brunner & Sudarth, 2002). 2. Jenis Fraktur
Ekstremitas A. Fraktur Ekstremitas Atas 1. Fraktur Kolum Humeri Fraktur humerus
proksimal dapat terjadi pada kolum anatomikum maupun kolum sirurgikum humeri. Kolum
anatomikum humeri terletak tepat di bawah kaput humeri. Kolum sirurgikum humeri
terletak di bawah tuberkulum. Fraktur impaksi kolum sirurgikum humeri paling sering
terjadi pada wanita tua setelah jatuh dengan posisi tangan menyangga. Fraktur ini
pada dasarnya tidak bergeser. Pasien usia sebaya yang aktif dapat mengalami fraktur
kolum humeri dengan pergeseran dengan disertai kerusakan rotator cuff. Pasien
datang dengan lengan yang sakit tergantung tak berdaya pada tubuh dan disangga oleh
lengan yang sehat. Pengkajian neurovaskuler ekstremitas yang terkena sangat penting
untuk mengevaluasi dengan sempurna beratnya cedera dan kemungkinan keterlibatan
berkas neurovaskuler (saraf dan pembuluh darah) lengan. Kebanyakan fraktur impaksi
kolum sirurgikum humeri tidak mengalami pergeseran dan tidak memerlukan reduksi.
Lengan disangga dan diimobilisasi dengan sling dan balutan yang mengikat lengan ke
batang tubuh dengan baik. Bantalan lunak pada aksila untuk menyerap kelembaban dan
mencegah kerusakan kulit. Keterbatasan gerak dan kekakuan bahu terjadi akibat
disuse, maka, latihan pendulum dapat dimulai segera setelah dapat
ditoleransi oleh pasien. Gerakan awal sendi tak akan menggeser fragmen bila gerakan
dilakukan dalam batas-batas nyeri. Bila fraktur humerus mengalami pergeseran,
penanganan meliputi reduksi tertutup dengan visualisasi sinar-x, reduksi terbuka,
atau penggantian kaput humeri dengan prostesis. Pada fraktur jenis ini, latihan
dimulai hanya setelah periode imobilisasi telah cukup. 2. Fraktur Batang Humerus
Fraktur batang humerus paling sering disebabkan oleh (1) trauma langsung yang
mengakibatkan fraktur transversal, oblik, atau kominutif, atau (2) gaya memutar tak
langsung yang menghasilkan fraktur spiral. Saraf dan pembuluh darah brakhialis
dapat mengalami cedera pada fraktur ini. Lumpuh pergelangan tangan merupakan
petunjuk adanya cedera saraf radialis. Pengkajian neurovaskuler awal sangat penting
untuk membedakan antara trauma akibat cedera dan komplikasi akibat penanganan.
Kadang, berat lengan dapat membantu mengoreksi adanya pergeseran sehingga tidak
diperlukan pembedahan. Pada fraktur oblik, spiral atauu bergeser yang mengakibatkau
pemendekan batang humerus, dapat digunakan gips penggantung. Gips ini dirancang
sedemikian rupa sehingga beratnya dapat berfungsi sebagai traksi bagi lengan saat
pasien tegak, sehingga akan mereduksi dan mengimobilisasi fraktur. Gips penggantung
harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa disangga) karena berat gips
merupakan cara untuk melakukan traksi terusmenerus pada aksis panjang lengan.
Pasien dinasehati untuk tidur dalam posisi tegak sehingga traksi dari berat gips
dapat dipertahankan konstan. Komplikasi yang mungkin terjadi dengan cara terapi ini
adalah distraksi fraktur (penarikan fragmen tulang yang terlalu jauh) akibat berat
gips dan angulasi fraktur akibat gerakan fraktur yang berlebihan. Latihan jari
dimulai segera setelah gips dipasang, dan latihan pendulum bahu dilakukan sesuai
resep untuk mengembalikan gerakan
bahu aktif, sehingga dapat mencegah adesi kapsul sendi bahu. Latihan isometrik
dapat diberikan untuk mencegah atrofi otot. Setelah gips dilepas, dipasang sling
dan latihan bahu, siku, dan pergelangan tangan dimulai. Fraktur humerus memerlukan
waktu sekitar 10 minggu untuk sembuh bila ditangani dengan gips penggantung. Brace
fungsional merupakan bentuk penanganan lain yang dapat dipakai pada fraktur ini.
Fraktur terbuka batang humerus biasanya ditangani dengan fiksator ekterna. Reduksi
terbuka fraktur humerus diperlukan bila ada palsy syaraf, fraktur patologis, atau
bila ada penyakit sistemik atau neurologis (mis. penyakit Parkinson) yang tidak
memungkinkan pemasangan gips penggantung. 3. Fraktur pada Siku Fraktur humerus
distal akibat kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dengan siku menumpu (dengan
posisi ekstensi atau fleksi), atau hantaman langsung. Fraktur ini dapat
mengakibatkan kerusakan saraf akibat cedera pada saraf medianus, radialis, atau
ulnaris. Pasien dievaluasi adanya parestesia dan tanda gangguan peredaran darah
pada lengan bawah dan tangan. Komplikasi paling serius pada fraktur suprakondiler
humerus adalah kontraklur iskemik Volkmann, yang terjadi akibat pembengkakan
antekubital dan kerusakan arteri brakhialis. Perawat harus: a. Mengobservasi tangan
mengenai adanya pembengkakan, warna kulit, pengisian kapiler dasar kuku, dan
temperatur. Tangan yang sakit dan yang sehat dibandingkan. b. Mengkaji denyut nadi
radialis c. Mengkaji adanya parestesia (kesemutan dan terbakar) pada tangan, karena
kemungkinan menunjukkan duanya cedera saraf atau iskemia yang mengancam. d.
Mengkaji kemampuan menggerakkan jari. e. Mengkaji intensitas dan karakter nyeri.
f. Secara langsung mengukur tekanan jaringan sesuai resep. g. Melaporkan indikasi
adanya gangguan fungsi saraf atau gangguan perfusi peredaran darah segera sebelum
terjadi kerusakan yang tak dapat diperbaiki. Mungkin perlu dilakukan fasiotomi.
Tujuan terapi adalah reduksi dan stabilisasi segera fraktur, diikuti gerakan aktif
terkontrol bila pembengkakan lelah hilang dan penyembuhan telah mulai. Bila fraktur
tidak mengalami pergeseran, lengan diimobilisasi dengan gips atau bidai posterior
dengan siku difleksikan 45 sampai 90 derajat, atau siku dapat disangga dengan balut
tekan dan sling. Fraktur yang mengalami pergeseran biasanya dapat ditangani dengan
fraksi atau reduksi terbuka dan fiksasi interna. Eksisi fragmen tulang mungkin
perlu dilakukan. Kemudian dipasang penyokong eksterna tambahan dengan bidai gips.
Latihan jari aktif harus diusahakan. Latihan rentang gerak yang lembut sendi yang
cedera dimulai sejak sekitar 1 minggu setelah fiksasi interna dan setelah 2 minggu
pada reduksi tertutup. Gerakan dapat mempercepat penyembuhan pada sendi yang cedera
dengan menggerakkan cairan sinovial ke dalam kartilago artikularis. Latihan aktif
sendi siku dilakukan sesuai petunjuk dokter. Karena keterbatasan gerak residual
dapat terjadi bila tidak dilakukan program rehabilitasi intensif. 4. Fraktur Radius
dan Ulna a. Fraktur Kaput Radii. Fraktur kaput radii sering terjadi dan biasanya
terjadi akibat jatuh dan tangan menyangga dengan siku ekstensi. Bila terkumpul
banyak darah dalam sendi siku (hemartrosis), harus diaspirasi untuk mengurangi
nyeri dan memungkinkan gerakan awal. Imobilisasi untuk fraktur tanpa pergeseran ini
dilakukan dengan pembebatan. b. Fraktur Batang Radius dan Ulna. Fraktur pada batang
lengan bawah biasa terjadi pada anakanak. Baik radius maupun ulna atau keduanya
dapat mengalami patah
pada setiap ketinggian. Biasanya, akan terjadi pergeseran bila kedua tulang patah.
Fungsi unik lengan bawah untuk pronasi dan supinasi harus dipertahankan dengan
menjaga posisi dan keseja-jaran anatomik yang baik. Peredaran darah, gerakan, dan
perasaan tangan harus dikaji setelah pemasangan gips. Lengan ditinggikan untuk
mengontrol edema. Fleksi dan ekstensi jari-jari harus sering dilakukan untuk
mengurangi edema. Gerakan aktif bahu yang terkena sangat penting dilakukan. Reduksi
dan kesejajaran dikontrol dengan secara ketat dengan sinar-x agar yakin bahwa
imobilisasi telah memadai. 5. Fraktur Pergelangan Tangan Fraktur radius distal
(fraktur Colles) merupakan fraktur yang sering terjadi dan biasanya terjadi akibat
jatuh pada tangan dorsifleksi terbuka. Fraktur ini sering terjadi pada anak-anak
dan wanita tua dengan tulang osteoporosis dan jaringan tulang lemah yang tak mampu
menahan energi akibat jatuh. Pasien datang dengan deformitas pergelangan tangan,
deviasi radial, nyeri, bengkak, kelemahan, keterbatasan gerak jari dan kebas.
Penanganan biasanya terdiri dari reduksi tertutup dan imobilisasi dengan, gips.
Pada fraktur yang berat, dapat dipasang kawat Kirchner untuk mempertahankan
reduksi. Pergelangan tangan dan lengan bawah harus ditinggikan selama 48 jam
setelah reduksi untuk mengontrol pembengkakan. Pasien diajari untuk mengikuti
latihan jari yang berikut untuk mengurangi pembengkakan dan mencegah kekakuan: 1.
Mempertahankan tangan setinggi jantung. 2. Menggerakkan jari dari ekstensi penuh
sampai fleksi. Tahan dan lepaskan. (Ulangi paling tidak 10 kali tiap setengah jam
bila sedang terjaga.)
3. Mempergunakan tangan dalam aktivitas fungsional. 4. Secara aktif melatih bahu
dan siku. Jari dapat mengalami pembengkakan akibat berkurangnya aliran balik vena
dan pembuluh limfe. Fungsi sensoris saraf medianus dikaji dengan menusuk dengan
jarum aspek distal jari telunjuk, dan fungsi motoris dikaji dengan menguji
kemampuan menyentuhkan ibu jari ke kelingking. Gangguan peredaran darah dan fungsi
saraf harus segera ditangani dengan membebaskan semua balutan dan gips yang
menjerat. 6. Fraktur Tangan Trauma tangan sering memerlukan pembedahan rekonstruksi
ekstensif. Tujuan penanganan adalah selalu mengembalikan fungsi maksimal tangan.
Untuk fraktur tanpa pergeseran tulang distal (tulang jari), jari dibebat selama 3
sampai 4 minggu untuk mengurangi nyeri dan melindungi ujung jari dari trauma lebih
lanjut. Fraktur yang mengalami pergeseran dan fraktur terbuka mungkin memerlukan
reduksi terbuka dengan fiksasi interna, menggunakan kawat atau pin. B. Fraktur
Ekstremitas Bawah Tujuan penatalaksanaan fraktur ekstremitas bawah adalah: (1)
mencapai penyatuan tulang dengan panjang penuh dan kesejajaran normal tanpa
deformitas rotasi dan angular, (2) mempertahankan, kekuatan otot dan gerakan sendi,
dan (3) mempertahankan status ambulasi sebelum cedera pasien. Secara praktis semua
fraktur ekstremitas bawah memerlukan tongkat, walker, atau kruk selama masa
penyembuhan. Edema sering terjadi. Maka, fraktur ekstremitas bawah jangan
diletakkan dalam posisi menggantung selama periode waktu yang lama. Pasien didorong
untuk melakukan latihan teratur semua sendi yang tidak akan menyebabkan gerakan
fragmen tulang yang patah. Bila pasien sudah
bisa ambulasi, ekstremitas ditinggikan selama beberapa waktu tertentu untuk
meminimalkan edema berulang. Sebaiknya pasien berbaring saat meninggikan tangkai
yang sedang menyembur. Setelah alat imobilisasi dilepas, dapat dikenakan stoking
elastis untuk menyangga peredaran darah vena, jadi dapat mengurangi beratnya edema.
1. Fraktur Femur Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat. Bila bagian
kaput, fcoium, atau trokhanterik femur yang terkena, terjadilah fraktur pinggul.
Fraktur juga dapat terjadi pada batang femur dan di daerah lutut (fraktur
suprakondiler dan kondiler). 2. Fraktur Pinggul Ada insidensi tinggi fraktur
pinggul pada lansia, yang tulangnya biasanya sudah rapuh karena osteoporosis
(terutama wanita) dan yang cenderung sering jatuh. Kelemahan otot kwadrisep,
kerapuhan umum akibat usia, dan keadaan yang mengakibatkan penurunan perfusi arteri
ke otak (serangan iskemi transien, anemia, emboli, dan penyakit kardiovaskuler,
efek obat) berperan dalam insidensi terjadinya jatuh. Pasien yang mengalami fraktur
pinggul sering mempunyai kelainan medis yang berhubungan (mis. kardiovaskuler,
pulmonal, renal, endokrin). Klasifikasi fraktur pinggul: a. Fraktur intrakapsuler
adalah fraktur kolum femur. b. Fraktur ekstrakapsuler adalah fraktur daerah
trokhanterik (antara basis kolum femur dan trokhanter minor femur) dan daerah
subtrokhanterik. Penyembuhan fraktur kolum femur lebih sulit dibanding fraktur pada
daerah trokhanterik, karena sistem pembuluh darah yang memasok darah ke kaput dan
kolum femoris dapat mengalami kerusakan akibat fraktur. Pembuluh darah nutrisi
dalam tulang dapat terputus, dan sel tulang dapat mati. Dengan alasan ini, maka
sering terjadi nonunion atau nekrosis aseptik pada pasien dengan tipe fraktur ini.
Fraktur intertrokhanterik ekstrakapsuler mempunyai pasokan darah yang baik dan
segera menyembuh. Manifestasi Klinis fraktur pinggul. Pasien akan mengeluh nyeri
ringan pada selangkangan atau di sisi medial lutut. Pada fraktur ekstrakapsuler,
ektremitas jelas tampak memendek, dengan rotasi eksternal yang lebih besar
dibanding fraktur intrakapsuler, memperlihatkan spasme otot yang tidak memungkinkan
eksiremitas dalam posisi normal, dan terdapat hematoma besar atau daerah ekhimosis
yang diakibatkannya. Diagnosis fraktur pinggul ditegakkan dengan sinar-x.
Pendekatan Gerontologik fraktur femur: Fraktur pinggul merupakan penyumbang
terhadap angka kematian di atas usia 75. Stres dan imobilitas sehubungan dengan
trauma menyebabkan lansia menjadi rentan terhadap pneumonia, sepsis, dan penurunan
kemampuan untuk mengatasi masalah kesehatan lain. Kebanyakan lansia yang
dihospitalisasi karena fraktur pinggul mengalami konfusi, tidak hanya akibat stres
sehubungan dengan trauma, suasana asing, dan gangguan tidur tetapi juga karena
penyakit sistemik yang mendasarinya. Konfusi yang timbul pada beberapa pasien
lansia dapat disebabkan karena iskemia otak ringan. Faktor lain yang mungkin
berhubungan dengan konfusi meliputi respons terhadap obat dan anestesia,
malnutrisi, dehidrasi, proses infeksi, gangguan emosi, dan kehilangan darah
(Brunner & Suddarth, 2002). 3. Fraktur Batang Femur Diperlukan gaya yang besar
untuk mematahkan batang femur pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi
pada pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mengalami jatuh
dari kstinggian. Biasanya, pasien ini mengalami trauma multipel yang menyertainya.
Pasien datang dengan paha yang membesar, mengalami deformitas dan nyeri sekali dan
tidak dapat menggerakkan pinggul maupun lututnya. Fraktur dapat transversal, oblik,
spiral atau kominutif. Sering, pasien
mengalami syok, karena kehilangan darah 2 sampai 3 unit ke dalam jaringan, sering
terjadi pada fraktur ini. Terus bertambahnya diameter paha dapat menunjukkan tetap
berlangsungnya perdarahan. Pengkajian meliputi mengkaji status neurovaskuler
ekstremitas, terutama perfusi peredaran darah kaki. (Denyut nadi poplitea dan kaki
dan pengisian kapiler jari perlu dikaji). Alat pemantau ultrason Doppler mungkin
diperlukan untuk mengkaji aliran darah. 4. Fraktur Tibia dan Fibula Fraktur bawah
lutut paling sering adalah fraktur tibia (dan fibula) yang terjadi akibat pukulan
langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi, atau gerakan memuntir yang keras.
Fraktur tibia dan fibula sering terjadi dalam kaitan satu sama lain. Pasien datang
dengan nyeri, deformitas, hematoma yang jelas, dan edema berat. Sering kali
fraktur. ini melibatkan kerusakan jaringan-lunak berat karena jaringan subkutis di
daerah ini sangat tipis. Fungsi saraf peroneus dikaji untuk dipakai sebagai data
dasar. Jika fungsi saraf terganggu, pasien tak akan mampu melakukan gerakan
dorsofleksi ibu jari kaki dan mengalami gangguan sensasi pada sela jari pertama dan
kedua. Kerusakan arteri tibialis dikaji dengan menguji respons pengisian kapiler.
Pasien dipantau mengenai adanya sindrom kompartemen anterior. Gejalanya meliputi
nyeri yang tak berkurang dengan obat dan bertambah bila melakukan fleksi plantar,
tegang dan nyeri tekan otot di sebelah lateral krista tibia, dan parestesia.
Fraktur dekat sendi dapat mengakibatkan komplikasi berupa hemartrosis dan kerusakan
ligament (Brunner & Sudarth, 2002).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur 1) Faktor Ekstrinsik Adanya tekanan dari
luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah
tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. 2) Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang
terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti
kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang. ( Ignatavicius, Donna D, 1995 ). 4. Etiologi 1) Kekerasan
langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring. 2) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung
menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan. 3) Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat
jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993).
5. Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang
(Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993). Pathway:
6. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna. 1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Setelah terjadi
fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak
alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. 3. Pada fraktur tulang
panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). 4. Saat ekstremitas diperiksa
dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. (Uji krepitus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.) 5. Pembengkakan dan perubahan warna
lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan
justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan
patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala,
tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut (Brunner
& Suddarth, 2002). 7. Pemeriksaan Diagnostik a. Pemeriksaan ronsen: Menentukan
lokasi/luasnya fraktur/trauma. b. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI:
Memperlihatkan fraktur; juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak. c. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. d.
Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemqkonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respons stres normal setelah trauma. e. Kreatinin:
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. f. Profil koagulasi:
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel, atau cedera hati
(Doenges, Marlyn, 2000). 8. Penatalaksanaan a. Penatalaksanaan Kedaruratan. Bila
dicurigai adanya fraktur penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum
pasien dipindahkan bila pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari
kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan
di bawah tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen
patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan
lebih lanjut. Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan
sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan
lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah juga dapat dilakkan dengan membebat
kedua tungkai bersama, dengan ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas
yang cidera. Pada ekstrimitas atas lengan dapat dibebatkan pada dada atau lengan
bawah yang cidera digantung pada sling. Pada fraktur terbuka luka ditutup dengan
pembalut erdih atau steril untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam,
jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui
luka. b. Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur a. Reduksi fraktur, mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, fraksi,
atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih
tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelu reduksi dan
imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur, analgetik
sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi. Reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan manipulasi dan trksi manual. b.
Traksi , digunakan utuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan
denganspsme otot yang terjadi. c. Reduksi terbuka, alat fiksasi internal dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya. d. Imobilisasi Fraktur, setelah
direduksi fragmen tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips
atau fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
e. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada penyembuhan
tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi dibri tahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai
pendekatan. Latihan isometrik dan setting otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas
swemula diusahakan sesuai dengan batasan terapeutik. c. Perawatan Pasien Fraktur
tertutup Pasien dengan fraktur tertutup harus diusahan untuk kembali kepada
aktifitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan
penuh dan mobilitas memerlukan waktu berbulanbulan. Pasien diajari mengontrol
pembengkaa dan nyeri, mereka diorong untuk aktif dalam batas imoblisasi fraktur .
pengajaran pasien meliputi perawatan diri, informasi obat-obatan, pemantauan
kemungkinan potensial masalah, sdan perlunya supervisi perawatan kesehatan. d.
Perawatan Pasien Fraktur Terbuka Pada fraktur terbuka (yang berhubungan luka
terbuka memanjang sampai ke permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapat
resiko infeksi-osteomielitis, gas gangren, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah
untuk meminimalkan kemungkina infeksi luka , jaringan lunak da tulang untuk
mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang. Pasien dibawa ke ruang operasi,
dilakukan usapan luka, pengangkatan fragmen tulang mati atau mungkin graft tulang
(Brunner & Suddarth, 2002).
9. Komplikasi Fraktur a. Komplikasi Awal Komplikasi awal lainnya yang berhubungan
dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli, (emboli paru), yang dapat menyebabkan
kematianbeberapa minggu setelah cedera; dan koagulopati intravaskuler diseminata
(KID). 1. Syok. Syok hipevolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan
vertebra. Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur dan pelvis. Penanganan meliputi mempertahankan volume darah,
mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang pembebatan yang memadai, dan
melindungi pasien dari cedera lebih lanjut. 2. Sindrom Emboli Lemak. Setelah
terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multipel, atau cedera remuk, dapat
terjadi emboli lemak, khususnya pada, dewasa muda (20 sampai 30 tahun) pria. Pada
saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang
dilepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal, dan organ lain. Awitan gejalanya, yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling
sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam.
Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia. Gangguan
serebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari
agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai
respons terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak. Respons
pernapasan meliputi takipnea, dispnea, krepitasi, mengi, sputum putih kental
banyak, dan takikardia. Gas darah menunjukkan PO2 dibawah 60 mm Hg, dengan
alkalosis respiratori lebih dulu dan kemudian asidosis respiratori. Sinar-x dada
menunjukkan infiltrat klias "badai salju." Maka terjadi sindrom distres pernapasan
dewasa dan gagal jantung. 3. Sindrom Kompartemen Sindrom kompartemen merupakan
masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena (1) penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau
balutan yang menjerat, atau (2) peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (mis. iskemia. cedera remuk,
penyuntikan bahan penghancur [toksik] jaringan). Kompartemen lengan bawah atau
tungkai paling sering terkena. Kontraktur Volkaman merupakan contoh dari komplikasi
ini. Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan, yang tak dapat
dikontrol dengan opioid. Palpasi pada otot, bila memungkinkan, akan terasa
pembengkakan dan keras. Pencegahan dan Penatalaksanaan. Sindrom kompartemen dapat
dicegah dengan mengontrol edema, yang dapat dicapai dengan meninggikan ekstremitas
yang cedera setinggi jantung dan memberikan kompres es setelah cedera sesuai resep.
Bila telah terjadi sindroma kompartemen, balutan yang ketat harus dilonggarkan.
Fasiotomi (eksisi bedah membran fibrus yang menutupi dan membagi
otot)

mungkin

diperlukan

bila

upaya

konservatif

tak

dapat

mengembalikan perfusi jaringan dan mengurangi nyeri dalam 1 jam. 4. Komplikasi Awal
Lainnya: Tromboemboli, infeksi (semua fraktur terbuka dianggap mengalami
kontaminasi), dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID) merupakan kemungkinan
komplikasi akibat fraktur. KID meliputi sekelompok kelainan perdarahan dengan
berbagai penyebab, termasuk trauma masif. Manifestasi KID meliputi ekimosis,
perdarahan yang tak terduga setelah pembedahan, dan perdarahan dari membran mukosa,
tempat tusukan jarum infus, saluran gastrointestinal dan kemih. b. Komplikasi
Lambat 1. Penyatuan Terlambat atau Tidak Ada Penyatuan. Penyatuan terlambat terjadi
bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis, dan tempat
fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik
dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur menyembuh. Tidak
adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahau tulang.
Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan yang menetap pada tempat fraktur. Faktor
yang ikut berperan dalam masalah penyatuan meliputi infeksi pada tempat fraktur;
imerposisi jaringan di antara ujung-ujung tulang; imobilisasi dan manipulasi yang
tidak memadai, yang menghentikan pembentukan kalus; jarak yang terlalu jauh antara
fragmen tulang (gap tulang); kontak tulang yang terbatas; dan gangguan asupan darah
yang mengakibatkan nekrosis avaskuler. 2. Nekrosis Avaskuler Tulang. Nekrosis
avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Dapat terjadi
setelah fraktur (khususnya pada kolum femoris), dislokasi, terapi kortikosteroid
dosis-tinggi berkepanjangan,
penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit, dan penyakit lain. Tulang yang mati
mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami
nyeri dan keterbatasan gerak. Sinar-x menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps
struktural. Penanganan umumnya terdiri atas usaha mengembalikan vitalitas tulang
dengan graft tulang, penggantian prostesis atau artrodesis (penyatuan sendi). 3.
Reaksi terhadap Alat Fiksasi Interna. Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah
penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak
diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dar penurunan fungsi merupakan indikator
ulama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis
(pemasangan dan stabilisasi yang tak memadai); kegagalan material (alat yang cacat
atau rusak); berkaratnya alat, menyebabkan inflamasi lokal; respons alergi terhadap
campuran logam yang dipergunakan; dan remodeling osteoporotik di sekitar alat
fiksasi (stres yang dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut,
mengakibatkan osteoporosis disuse) ( Brunner & Suddarth, 2002). 10. Stadium
Penyembuhan Tulang Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: 1) Stadium Satu-
Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 –
48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler Pada
stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari
terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase
ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,. 3) Stadium Tiga-
Pembentukan Kallus Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang
dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan
osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel
yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat
pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu. 4) Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas
osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-
celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang
lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban
yang normal. 5) Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu
manset tulang yang padat. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya (Black, J.M,
et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993).
11. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur 1. Faktor yang
Mempercepat Penyembuhan Fraktur a. Imobilisasi fragmen tulang b. Kontak framon
tulang maksimal c. Asupan darah yang memadai d. Latihan-pembebanan berat badan
untuk tulang yang panjang e. Hormon-hormon pertumbuhan tiroid Kalsitenin, Vitamin
D, steroid anabolic f. Potensial listrik pada patahan tulang. 2. Faktor yang
Menghambat Penyembuhan Tulang a. Trauma lokal ekstensif b. Kehilangan Tulang c.
Imobilisasi tak memadai d. Rongga atau jaringan di antara fragmen tulang e. Infeksi
f. Keganasan local g. Penyakit tulang Metabolik (mis. Penyakit Paget) h. Radiasi
tulang (nekrosis radiasi) i. Nekrosis avaskuler j. Fraktur intraartikuler (cairan
synovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan
memperlambat pembentukan jendalan) k. Usia (lansia sembuh lebih lama) l.
Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan) (Brunner & Suddarth, 2002).
B. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. AKTIVITAS/ISTIRAHAT Tanda :
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur
itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).762
b. SIRKULASI Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respons terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah). Takikardia (respons stres,
hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa
hematoma pada sisi cedera. c. NEUROSENSORI Gejala : Tanda : Hilang gerakan/sensasi,
spasme otot. Kebas/kesemutan (parestesis). Deformitas lokal; angulasi abnormal,
pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat
kelemahan/hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau
trauma lain). d. NYERI/KENYAMANAN Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera
(mungkin terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada
imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi). e. KEAMANAN Tanda : warna. Pembengkakan
lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba). f. PENYULUHAN/PEMBELAJARAN
Gejala : Lingkungan cedera. DRG menunjukkan rerata lama dirawat: Femur 7,8 hari;
panggul/pelvis, 6,7 hari; lain-nya, 4,4 hari bila memerlukan perawatan di rumah
sakit. Pertimbangan Rencana Pemulangan : Memerlukan 2. Diagnosa dan Intervensi
bantuan dengan trasportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan/
perawatan rumah. Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan
3. Evaluasi Hasil yang diharapkan 1. Tidak mengalami nyeri . a. Tampak relaks b.
Mengungkapkan rasa nyaman c. Mempergunakan upaya untuk meningkatkan rasa nyaman d.
Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri dan rehabilitasi 2. Tidak mengalami
nyeri anggota fantom a. Melapor tidak merasakan persepsi rasa pada bagian yang
telah diamputasi b. Mengemukakan tiadanya perasaan tak normal pada sisa tungkai 3.
Mengalami penyembuhan luka a. Mengontrol edema sisa tungkai b. Mengalami jaringan
parut yang sembuh, tidak • nyeri tekan, tidak melekat c. Memperlihatkan perawatan
sisa tungkai 4. Memperlihatkan peningkatan citra tubuh a. Menerima perubahan citra
tubuh b. Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri c. Memperlihatkan
peningkatan kemandirian d. Memproyeksikan diri sebagai manusia utuh e. Mampu
kembali mengambil tanggung jawab peran f. Kembali kepada kontak sosial g.
Memperlihatkan rasa percaya diri dalam kemampuannya • 5. Memperlihatkan resolusi
kesedihan a. Mengekspresikan kesedihan b. Memanfaatkan keluarga dan sahabat untuk,
berbagi rasa c. Memusatkan diri pada fungsi masa depan 6. Mencapai kemandirian
perawatan diri a. Meminta bantuan bila diperlukan
b. Mempergunakan

alat

bantu

dan

pertolongan

untuk

memungkinkan perawatan diri c. Mengungkapkan kepuasan mengenai kemampuan


menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari 7. Mencapai mobilitas mandiri maksimal
a. Menghindari kontrakrur b. Memperlihatkan rentang gerak aktif penuh c. Tetap
seimbang saat duduk dan berpindah d. Meningkatnya kekuatan dan ketahanan e.
Memperlihatkan teknik berpindah yang aman f. Mampu menfungsionalkan prostesis
dengan aman g. Mampu mengatasi hambatan lingkungan untuk menjalankan mobilitas h.
Memanfaatkan layanan dan sumber daya komunitas saat diperlukan 8. Tidak
memperlihatkan komplikasi perdarahan, infeksi, kerusakan kulit a. Tidak mengalami
perdarahan berlebihan b. Kadar darah tetap c. Bebas dari tanda infeksi lokal
sistemik d. Mereposisi sendiri sesering mungkin e. Bebas dari masalah yang
berhubungan dengan tekanan f. Melaporkan setiap ada ketidaknyamanan dan iritasi
kulit segera posisi yang dapat menyebabkan terjadinya
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Fraktur ekstremitas adalah terputusnya kontinuitas
tulang pada ekstremitas, baik ekstremitas atas ataupun bawah. Insiden fraktur dapat
diatasi dengan baik apabila dilakukan tindakan segera. Kesembuhan pada penderita
fraktur dipengaruhi oleh keadaan fraktur, pemenuhan nutrisi yang baik, adanya
perawatan yang baik dan adanya kondisi psikologis yang baik dari penderita fraktur
sendiri. Pada sebagian besar penderita fraktur ditemukan adannya respon cemas yang
akhirnya berdampak kepada adanya perubahan konsep diri yang akan mempengaruhi
proses keperawatan dan proses pemenuhan nutrisi, hal ini dikarena sebagian besar
penderita yang cemas kurang memiliki nafsu makan dan kurang responsive terhadap
pengobatan yang akhirnya sangat mempengaruhi proses penyembuhan. Peran perawat pada
pasien fraktur ekstremitas sangat banyak. Disini perawat sangat diperlukan untuk
mengantisipasi terjadinya komplikasi sedini mungkin pada pasien fraktur
ekstremitas.

B. Saran Dari uraian diatas dapat kami sarankan sebaiknya para pembaca khususnya
perawat dengan kasus fraktur ekstremitas mengetahui tentang: komplikasi pada klien
dengan fraktur ekstremitas, pemeriksaan diagnostik yang perlu dilakukan dan dan
asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur ekstremitas.
DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”,
Jakarta : AGC. Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “ Rencana
Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC. Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran”, Jakarta : EGC. Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep
Klinis Prosesproses Penyakit”,Jakarta : EGC. Sudoyo Aru, dkk (2006) “Ilmu Penyakit
Dalam”. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai