Anda di halaman 1dari 5

(Sinar Harapan, 1969)

Beberapa Dari Topeng


Karya Danarto dalam
Pementasan Oedipus oleh
Bengkel Teater Jogjakarta
Seputar Teater Indonesia / Mei 3, 2017

Beberapa Dari Topeng Karya Danarto


Oleh: Syubah Asa

MASYARAKAT tradisional kita sudah lama kenal topeng-topeng dalam pelahiran-pelahiran kesenian mereka.
Tapi pembangunan apresiasi terhadap hubungan antara topeng dengan teater modern perlu ditunjang berkali-kali
dengan pengemukakan segi-segi yang kiranya menarik minat ke arah pengalaman topeng itu sendiri sebagai satu
fenomena kesenian.

Bahan yang kita gunakan adalah topeng-topeng Danarto pada pementasan OEDIPUS SANG RAJA, versi WS
Rendra September yang baru lalu.

DANARTO, pelukis, yang menciptakan topeng-topeng ini juga dikenal dalam penulisan cerpen yang cenderung
ke arah pendalaman mistis.
Semangat mistik ini (katakanlah begitu) seperti yang belakangan akan terlihat, menemui salurannya yang
semestinya. Manakala Rendra meng-approach dia dan memadukan penafsiran terhadap OEDIPUS REX naskah
dari abad mitologi Yunani, yang akan dipentaskannya dengan menonjolkan kembali nilai-nilai yang selama ini
hilang dalam pementasan-pementasan model neo klasik yang bersih dan galant itu.

Mula-mula yang menarik perhatian kita adalah motif-motif binatang (dan rasa-rasanya juga makhluk-makhluk
lain) yang menonjol keluar sebagai kesan latar-belakang sebagian besar dari topeng-topeng Danarto tersebut.

Apabila kita mengingat semangat kesatuan alam mewujud seperti yang pantasnya kita mengingat semangat
kesatuan alam mewujud seperti yang pantasnya meresap di kalangan tasauf (mistik) maka beberapa pelahiran
yang menunjukkan kecenderungan ke arah itu bisa dicari hubungannya; setidak-tidaknya dalam tingkat duga-
duga.

MULA-MULA itu menghadapi topeng OEDIPUS.

Kesan pertama, Oedipus adalah lambang nasib jahat. Rasanya ini jelas bukan wajah manusia. Apakah ini wajah
nasib jahat itu? Dari manakah motifnya itu diambil?

Barangkali ini wajah setan. Ada sesuatu pada mulutnya yang mengingatkan pada serigala. Mahkotanya yang
berduri-duri yang mengingatkan pada Patung Dewi Kemerdekaan di muka pelabuhan New York juga bisa
mengingatkan pada kita kisah Jesus yang disalibkan sekiranya kita tidak melihat mukanya.

Makhluk apa kiranya yang begini mengerikan, namun begini tepat menjadi manusia? Apakah ia teriakan
melolong kepada Nasib?

Ia adalah kekerasan membaja, dan derita metafisik. Ia wakil kita dalam gelombang keinginan kebebasan dan
semangat eksistensi alistis penyidikan aku (yang larut) dalam hubungan raksasa dengan langit. Oa adalah
pemberontakan, siapapun ia. Warnanya hijau umut bercampur lumpur.

Topeng OEDIPUS BUTA dengan warna putih dan kerut-kerut tua, merobah konflik-konflik metafisis menjadi
derita yang dipahami dengan kearifan seorang yang telah sampai. Tarikan-tarikan wajahnya yang mengingatkan
pada patung-patung kapur di gua-gua padas adalah tangis yang tenang dari ruh yang – bersama jasadnya – telah
melakukan pemberontakan dan yang akhirnya eksistensial membuktikan kekuasaan Nasib yang mutlak – satu
figur yang selamanya hidup, karena ia – begitu Sophocles – adalah kita. (Topeng ini tidak dipakai Rendra pada
pementasan malam kedua).

TOPENG IOCASTA mula-mula tampak sebagai over-size. Wajah Iocasta adalah topeng pada dirinya, dan
begini besar topeng ini.

Wajahnya adalah papan yang dibantingi kartu-kartu derita, yang disembunyikan di balik matanya yang sipit,
yang bersama tulang pipi yang menonjol melakukan keangkuhan aristokratik dan keangkuhan menghadapi
Nasib (ia sudah punya firasat dan lama-lama tahu juga bahwa Oedipus adalah anaknya. Tapi bukankah ia
mencoba menutupi?)

Seperti topeng pertama Oedipus, ada ketidak-senonohan pada mulutnya yang mengerikan. Dan seperti topeng
pertama Oedipus, ada disitu “sesuatu yang tidak seharusnya ada pada manusia”.

Wajahnya yang seperti batu-bata atau jantung pisang adalah darah kita, tapi bukan darah yang kita tusuk keluar
dari daging kita.

CREON, seperti tampak pada topengnya yang merah berani, adalah tokoh hero yang benar-benar bumi (tentu, ia
dikirim dari langit). Ia adalah beruang. Ia melambangkan kepahlawanan lumrah yang terlibat dalam soal-soal di
luar manusia hanya dalam kedudukannya sebagai perwira.
THEIRESIAS (lihat gambar) wakil Dewa dengan wajah putih perak, lambang kearifan yang lengkap.

Bayangan yang tampak dalam topeng ini adalah seekor kuda (barangkali kuda sembrani): kukuh, mulia, pantang
kerendahan. Dengan ujung-ujung pisau yang runcing di kanan-kiri, segi-segi tajam dari kebenaran dia lihat
membumbung dan menukik ke dalam satu kecepatan mistis yang tenang, keras dan tidak peduli.

Sebagai manusia ia punya temperamen, sebagai wakil Dewa ia tidak punya selera terhadap manusia yang semua
rahasianya ada di tangannya.

GEMBALA mula-mula menarik perhatian oleh warnanya yang kuning cerah. Mungkin warna ini dipilih dengan
pertimbangan komposisi, tapi secara lepas gembala itulah makhluk yang mesti dikasihani.

Dilihat dari pandangan manusia, ia sumber bencana (sekiranya ia membunuh Oedipus di masa anak-anak seperti
diperintahkan, bukankah semua soal sudah selesai?)

Ia harus pula diperhatikan sebagai kunci pembuka rahasia. Ia seekor kucing dengan mulut yang kecil
menguncup dan apriori menolak bicara – tokoh putus asa yang cita-citanya tinggal hanya menyimpan rahasia
serapi-rapi-nya.

Takut-takut. Dan mudah-mudahan bisa selalu sembunyi di bawah-bawah kolong. Dia adalah orang baik dan
sederhana tetapi Dewa di tempatkan dalam satu kedudukan yang tragis dan malang.

Sebagai kebalikan, ORANG KORINTHA adalah tokoh yang terbuka dibuat-buat, tipe orang rendahan yang
mendapatkan kedudukan tinggi (gembala yang akhirnya menjadi duta karena hadiah).

Ia datang dengan satu berita gembira yang justru menimbulkan malapetaka. Dan karenanya mengesankan ironi
yang lucu dan sedih. Ia baik. Tetapi seperti kambing, tidak ada apa-apa dalam batok kepalanya.

Terakhir kita dekati topeng-topeng yang mula-mula tampak seakan “lepas dari konteks” yaitu topeng-topeng
ISMENE dan ANTIGONE. Benarkah bahwa tidak ada apa-apa pada topeng ini selain kecantikan?

Sebenarnya bukan kecantikan ini yang terutama. Topeng-topeng ini disediakan bagi Lovely daughters; lembut,
manis terpelihara, baik dan tidak tahu hakikat apa yang terjadi.

Haruskah anak-anak muda ini mempunyai “kerut-kerut metafisis” atau kedasyahtan ngeri? Sekiranya derita
adalah karena si ayah menjadi buta dan si ibu bunuh diri, tak perlu seorang Sophocleslah yang menulis tragedi
ini.

Karena itu kemulusan mereka justru memberi tekanan pada apa yang seharusnya kita rangkum dari naskah besar
ini…. (***)

Sumber: Harian Sinar Harapan, 22 Oktober 1969

https://seputarteater.wordpress.com/2017/05/03/sinar-harapan-1969-beberapa-dari-topeng-karya-
danarto-dalam-pementasan-oedipus-oleh-bengkel-teater-jogjakarta/
TOPENG
untuk Danarto

/1/

Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya


wajahnya sendiri satu demi satu
dan digantungkannya di dinding. “Aku
ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon dimainkan,


ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-
topeng yang mendesah, yang berteriak,
yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih

harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.

/2/

“Di mana topengku?” tanyanya, entah kepada


siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerah
pipi, dan bedak berceceran di mana-mana;
dan tak ada topeng. “Di mana

topengku?” tanyanya. Tegangan listrik yang rendah,


sarang laba-laba di langit-langit,
dan obat penenang di telapak tangan. Tak ada
topeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran

harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri.

/3/

Tapi topeng tak boleh menjelma manusia;


ia, tentu saja, hafal sabda raja
dan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata
dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,

tak pernah tercantum dalam buku acara,


tak menerima upah, dan digantung saja di dinding
jika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggung
yang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya.
Ia tak berhak menjadi manusia.

Kita semua tentu sudah tahu bagaimana keberanian Wiji Thukul dalam memerangi tirani.
Namun jika ada yang belum, maka membaca puisi ini akan mampu mewakilkannya. Puisi
Bunga dan Tembok karyanya ini seakan menjadi ikrar dari perjuangan sampai matinya. Ya,
sampai mati.

BUNGA DAN TEMBOK


Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga


Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami


Di manapun – tirani harus tumbang!

Anda mungkin juga menyukai