Anda di halaman 1dari 16

PENTINGNYA PENGETAHUAN TENTANG SYOK HIPOVOLEMIK DAN CARA

PENANGANAN SERTA PENCEGAHANNYA TERHADAP PERAN MAHASISWA

KEPERAWATAN DALAM MENGHADAPI KONDISI GAWAT DARURAT

ESSAY

NANCY MONICA MADJID


14061003

PRORGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE
MANADO
2018
By. Nancy Monica Madjid

ESSAY

Pentingnya Pengetahuan Tentang Syok Hipovolemik dan Cara Penanganannya terhadap

Peran Mahasiswa Keperawatan dalam Menghadapi Kondisi Gawat Darurat

A. Latar Belakang
Saat ini kejadian syok hipovolemik menjadi salah satu kondisi yang memerlukan

tindakan segera di Intalasi Gawat Darurat (IGD). Pasien yang masuk di IGD dengan

syok hipovolemik memerlukan pemantauan ketat terhadap tanda – tanda klinis yang dan

juga pemamtauan pada status hemodinamik dan status intravaskular. Hal ini

dikarenakan bantuna sirkulasi dan medikasi pada pasien gawat darurat diberikan

berdasarkan ketepatan menilai status volume intravaskular pasien ( Hutabarat dalam

Lupy, 2014). Penanganan yang tepat dan sedini mungkin terhadap pasien syok juga

menjadi faktor yang penting untuk menentukan hasil pengobatan, karena penilaian yang

akurat dalam terhadap syok merupaka hal penting menuju tatalaksana yang adekuat

dalam mencegah terjadinya syok dan perdarahan (WHO dalam Daryani, dkk, 2016).

Oleh karena itu, syok hipovolemik menjadi salah satu masalah kegawatdaruratan yang

cukup serius dan perlu penanganan segera.


Syok hipovolemik terjadi karena adanya perdarahan/ kehilangan cairan dalam

waktu yang singkat yang sampai saat ini merupakan salah satu penyebab kematian di

negara – negara dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Penyebab syok hipovolemik

yang banyak terjadi diantaranya adalah cedera akibat kecelakaan. Menurut WHO

( 2011) cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta

kematian di seluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma yang mengalami syok
hipovolemik di rumah sakit tergolong tinggi pada rumah sakit dengan peralatan yang

kurang memadai yaitu sebesar 36% dibandingkan dengan rumah sakit dengan tingkat

pelayanan yang lengkap yaitu 6% (Lupy, 2014). Jadi dapat disimpulkan bahwa

penanganan di rumah sakit juga mempengaruhi angka kematian pada pasien dengan

syok hipovolemik.
Selain disebabkan oleh cedera akibat kecelakaan, syok hipovolemik juga banyak

disebabkan oleh demam berdarah dengue (DBD). DBD dapat mengakibatkan

manifestasi klinis berupa kebocoran plasma yang dapat mengakibatkan syok

hipovolemik yaitu sindrom syok dengue (SSD) (Pangaribuan, 2014). Angka kematian

(case fatality rate) yang disebabkan oleh DBD di Indonesia tergolong tinggi. Laporan

Kementrian Kesehatan mencatat di tahun 2015 pada bulan Oktober ada kasus DBD

dengan kematian mencapai 32 jiwa, sementara November ada 2.921 kasus dengan

angka kematian mencapai 37 jiwa dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian

(Daryani, dkk, 2016).


Syok hipovolemik juga biasanya terjadi pada wanita yang mengalami perdarahan

karena kasus obstetri. Angka kematian karena syok hipovolemik mencapai 500.000 per

tahun dan 99% kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Lupy, 2014). Pasein

yang meninggal diakibatkan karena setelah beberapa jam perdarahan, tidak adanya/

mendapat penatalaksanaan yang tepat dan adekuat (Lupy, 2014).


Selain kejadian – kejadian diatas, syok hipovolemik juka dapat terjadi pada balita.

Pada balita biasanya diakibatkan karena diare. Menurut WHO, angka kematian akibat

diare yang disertai syok hipovolemik pada balita di Brazil mencapai 800.000 jiwa.

Sebagian besar penderita meninggal karena tidak mendapat penanganan pada waktu

yang tepat (Diantoro, 2014).Maka perlu tindakan yang tepat dan segera untuk

menangani kasus syok hipovolemik, entah apa penyebabnya.


Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa seseorang di sertai syok

hipovolemik karena ada penyebabnya terlebihdahulu. Angka kematian akan semakin

tinggi yang hanya dikarenakan kurangnya penanganan yang tepat dan segera untuk

menangani kasus syok hipovolemik ini. Tenaga medis yang berperan untuk mengatasi

dan menangani masalah ini salah satunya adalah perawat. Oleh karena itu penulis

tertarik untuk membuat essay dengan mengangkat masalah tentang pentingnya

pengetahuan tentang syok hipovolemik dan cara penanganannya terhadap peran

mahasiswa keperawatan dalam menghadapi kondisi gawat darurat di rumah sakit.

B. Literature Review
Menurut Huda dan Kusuma (2016), mengatakan bahwa syok merupakan sindrom

klinis bukan diagnose yang terjadi akibat memnurunnya tekanan darah secara persisten

yang menyebabkan perfusi memburuk serta malfungsi organ vital. Syok dapat terjadi

karena kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskuler. Tanda dan

gejala yang biasanya muncul saat syok adalah tekanan darah menurun, nadi rendah,

kulit tampak pucat.


Penelitian yang dilakukan oleh Ivon Kristi Lupy dkk (2014), menjelaskan bahwa

syok hipovolemik merupakan salah satu kondisi yang memerlukan tindakan segera di

IGD. Pasien dengan syok memerlukan pemantauan ketat terhadap tanda – tanda klinis

serta status intravaskular. Peneliti menjelaskan bahwa syok hipovolemik terjadi karena

disebabkan oleh cedera akibat kecelakaan atau pasien trauma yang mengalami syok,

wanita yang mengalami perdarahan karena obstreti yang tidak mendapatkan

penatalaksanaan yang tepat dan adekuat, dan pada balita yang mengalami diare yang

disertai syok hipovolemik dan tidak mendapat penanganan pada waktu yang tepat.
Menurut peneliti syok hipovolemik sendiri bergantung pada efisiensi mekanisme

kompensasi seseorang dan kecepatan kehilangan darah. Tanda dan gejala syok harus
dimonitor oleh perawat secara berkala. Sebagai perawat harus mengenal dan

mempunyai kemampuan atau kecakapan untuk menangani kondisi ini, disetiap tempat/

ruangan. Perawat harus memberikan intervensi yang tepat atau manajemen

kegawatdaruratan untuk mongobati syok hipovolemik.


Dalam penelitian tersebut peneliti membahas tentang hubungan pengetahuan

perawat tentang syok hipovolemik dengan penatalaksanaan awal pasien di instalasi

gawat darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Hasil dalam penelitian dalam

penelitian ini adalah ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang syok

hipovolemik dengan penatalaksanaan awal pada pasien di instalasi gawat darurat RSUP

Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Penelitian ini sejalan dengan teori Notoatmodjo yang

menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka akan

berpengaruh terhadap upaya peningkatan perilaku kesehatan. Oleh karena itu hubungan

pengetahuan terhadap peran perawat dalam intervensi asuhan keperawatan gawat

darurat atau dapat dikatakan semakin baik pengetahuan seseorang maka semakin baik

pula dalam penatalaksanaan pada pasien atau dalam melaksanakan tindakan

keperawatan.
Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 30 responden, dimana responden –

responden tersebut adalah perawat yang bekerja di di instalasi gawat darurat RSUP Prof.

Dr. R. D. Kandou Manado. Instrumen yang digunakan peneliti adalah lembar kuesioner

tentang pengetahuan mengenai syok hipovolemik dan lembar observasi untuk menilai

penatalaksanaan awal pada pasien syok hipovolemik.


Pada penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Shita Intan

Desky Daryani (2016). Peneliti memaparkan bahwa syok merupakan gangguan sirkulasi

yang diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau

perfusi yang diakibatkan oleh hemodinamik. Syok hipovolemik merupakan syok yang
disebabkan oleh berkurangnya volume plasma di intrasvaskuler. Syok hipovolemik juga

merupakan syok yang terjadi pada pasien DHF (Dengue Haemoragic Faver) atau

Demam Berdarah Dengue. Pada penelitian ini peneliti berfokus pada penyakit ini dalam

menguraikan syok hipovolemik.


Dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa Demam berdarah dengue adalah

penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk

Aedes Aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan

kematian terutama pada anak, serta menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah.

Trombosit diperkirakan memiliki peranan penting dalam patogenesis, berdasarkan

kenyataannya bahwa DHF terjadi trombositopenia disertai peningkatan permeabilitas

kapiler. Manifestasi klinis yang muncul dari penyakit ini yang paling ditakutkan adalah

terjadinya perdarahan dan syok.


Dalam penelitian ini peneliti membahas tentang “upaya – upaya pencegahan

terjadinya perdarahan dan syok pada pasien DHF di RSUD Pandan Arang Boyolali”.

Dalam penelitian ini peneliti mendeskripsikan upaya pencegahan terjadinya perdarahan

dan syok pada pasien DHF (Dengue Haemoragic Faver). Selain itu peneliti juga

menganalisa pengkajian, intervensi, dan implementasi tentang resiko perdarahan dan

syok pada pasien DHF di RSUD Pandan Arang Boyolali. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa upaya pencegahan terjadinya perdarahan dan syok pada pasien DHF yang

dilakukan peneliti adalah dengan memberikan asuhan keperawatan DHF (Pengkajian,

Intervensi, implementasi, evaluasi dan dokumentasi).


Pengkajian yang dilakukan peneliti, didapatkan pasien mengeluh sedikit pusing

pada kepala dan sedikit nyeri pada abdomen. Menurut Dr.Soedarto (2010) menjelaskan

bahwa gejala atau keluhan yang sering muncul pada pasien DHF yaitu sakit kepala

bagian frontal yang berlangsung sekitar 1 – 5 hari yang tidak spesifik karena tergantung
dari kondisi masing – masing pasien. Pada penelitian Kautner, dkk, mengatakan demam,

muntah, dan nyeri perut merupakan gejala yang mencolok. Selanjutnya pemeriksaan

fisik yang didapatkan pada pasien terdapat patekie pada tangan dan kaki. Patekie terjadi

akibat kompleks imun antibodi-virus yang menimbulkan agresi trombosit sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi trombosit seperti trombositopenia. Pada umumnya

berat dan frekuensi perdarahan berkolerasi dengan jumlah trombosit. Menurut ( Yuliana,

2014 ) secara umum hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila

pasien dengan trombosit >50.000/μL maka biasanya asimptomatik, trombosit 30.000

sampai dengan 50.000/μL terdapat luka memar atau hematom. Trombosit 10.000

sampai dengan 30.000/μL terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan

memanjang bila ada luka. Trombosit <10.000/μL terjadi perdarahan mukosa seperti

(epitaksis, perdarahan gastrointestinal, dan genitourinaria) dan beresiko terjadi

perdarahan sistem saraf pusat. Dari gangguan tersebut yang disebabkan adanya

perdarahan dapat dilihat dari tanda dan gejala yang dialami pasien selain adanya petekie

yaitu pusing. (WHO, 2010).


Menurut penelitian dari (Taufik,dkk, dalam Daryani, 2016) menemukan bahwa

syok pada pasien Dengue Haemoragic Faver (DHF) lebih sering ditemukan pada pasien

dengan jumlah trombosit 50.000-100.000/ul. Kewaspadaan dini terhadap tanda-tanda

syok pada penderita DBD sangat penting, karena terjadinya kematian pada Dengue

Syok Syndrom (DSS) 10 kali lebih besar dibandingkan penderita DBD tanpa disertai

syok (Kemkes RI, 2013 dalam Yatra, 2015). Menurut (Yuliana,2014) adapun tanda

gejala dari syok pada pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu syok hipovolemik

dimulai dengan tanda – tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung

hidung, jari tangan dan jari kaki serta sianosis di sekitar mulut. Hal ini diakibatkan
karena adanya pengurangan volume plasma dan penurunan tekanan darah,

hemokosentrasi. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukkan

prognosis yang buruk. (Yuliana,2014). Nadi menjadi lembut dan cepat, kecil bahkan

sering tidak teraba (Misbakh,2015). Seringkali petkie pada dahi dan tungkai adanya

sianosis disekeliling mulut, Hati mungkin membesar sampai 4-6 cm dibawah tepi kosta

dan biasa keran serta nyeri tekan atau agak sakit.(Widagdo,2011). Perdarahan saluran

cerna yang nyata, biasanya pasca masa syok yang tidak terkoreksi. Data laboratorium

pada pasien dengan Dengue Syok Syndrom (DSS) yaitu kenaikan.


Intervensi yang biasanya dilakukan adalah monitor tanda vital sign pasien,

monitor nilai laboratorium yang meliputi Hematokrit, Trombosit, Protein Plasma

( NANDA NIC-NOC, 2013) kaji ada tidaknya tanda-tanda perdarahan. Anjurkan

keluarga klien untuk mengistirahatkan klien dan batasi aktivitas selama sakit (NANDA

NIC-NOC,2013) Anjurkan untuk minum air putih yang banyak (Yekti, 2011).

Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian antipiretik yaitu dengan Injeksi

amoxcicilin 500mg/8jam, Paracetamol 500mg/8jam.(Nugroho,2011) b) Intervensi lain

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan jumlah trombosit yaitu dengan memberikan

jus jambu biji merah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Prasetio, 2013)

Memberikan jus buah jambu biji merah pada pasien DHF berpotensi untuk

meningkatkan kadar trombosit pada penderita demam berdarah dengue. Kandungan

vitamin C yang ada pada buah ini memberikan kekebalan tubuh melawan infeksi

termasuk infeksi virus dengue. Senyawa lain seperti flavonoid juga memiliki fungsi

dalam menghambat virus dengue untuk bereplikasi sehingga tingkat virulensi dari virus

dengue berkurang. Hal ini akan mencegah perdarahan akibat rusaknya trombosit yang

disebabkan serangan virus dengue. (Prasetio, 2013). Selain jus jambu biji merah
menurut penelitian yang dilakukan oleh (Giyatmo,3013) menjelaskan bahwa pemberian

jus kurma merupakan salah satu tambahan diet alternatif dalam meningkatkan kadar

trombosit darah pada pasien dengan Demam Berdarah. Buah kurma meliki menzat-zat

berikut Gula (campuran glukosa, sukrosa, dan fruktosa), protein, lemak, serat, vitamin

A, B1, B2, B12, C, potasium, kalsium, besi, klorin, tembaga, magnesium, sulfur, fosfor,

dan beberapa enzim yang dapat berperan dalam penyembuhan berbagai penyakit.

(Rahmawan, dalam Giyatmo 2013).


Pada penelitian tersebut memaparkan bahwa dengan melakukan asuhan

keperawatan pada pasien DHF sudah sama dengan melakukan upaya pencegahan

terjadinya perdarahan dan syok pada pasien DHF.


Penelitian yang ketiga adalah penelitian tentang Faktor prognosis kematian

sindrom syok dengue yang di teliti oleh Anggy Pangaribuan, dkk (2014). Dalam

penelitian ini memaparkan bahwa patogenesis utama yang menyebabkan kematian pada

hampir seluruh pasien DBD adalah syok karena kebocoran plasma. Berdasarkan

penelitian – penelitan sebelumnya faktor yang menyebabkan kematian pada DSS sangat

beragam. Pada penelitian inilah peneliti akan memaparkan tentang faktor prognosisnya.
Dalam penelitian ini dari hasil yang diperoleh yaitu 221 kasus DSS dengan angka

kematian 59/221 (27%) dari data rekam medis bulan Januari 2006 – Juli 2012. Angka

kematian per tahun mulai dari tahun 2006 berturut-turut adalah 18/26 (69%), 8/13

(62%), 8/42 (19%), 9/42 (21%), 11/78 (14%), 2/13 (15%), 3/7(43%). Dari 96 kasus DSS

terdapat 32% usia ≤5 tahun dan 51% berjenis kelamin perempuan. Pasien DSS usia ≥5

tahun (51%) dan perempuan (64%) lebih banyak yang meninggal. Terdapat 77% kasus

DSS rujukan, 91% kasus rujukan meninggal. Hal ini menunjukan bahwa manajemen

cairan sebelum masuk rumah sakit tidak adekuat, perdarahan mayor dan prolonged

shock merupakan faktor prognosis independen kematian pada anak dengan SSD.
C. Pembahasan
Berdasarkan beberapa literatur yang dipaparkan diatas menjelaskan bahwa

pengetahuan dan cara penanganan serta pencegahan sangatlah penting pada pasien yang

mengalami kegawat daruratan akibat syok hipovolemik, mengingat hal ini dapat menekan

tingginya angka kematian akibat syok hipovolemik.


Seperti yang dijelaskan oleh Ivon Lupy (2014), mengatakan bahwa pengetahuan

perawat berpengaruh pada penatalaksanaan awal pasien dengan syok hipovolemik. Pada

penelitian ini meneliti tingkatan pendidikan perawat. Menurut Irmayanti et. al dalam

Lupy (2014), mengatakan bahwa pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pendidikan,

media, keterpaparan informasi, pengalaman dan lingkungan. Peneliti berpendapat bahwa

pengetahuan yang baik ini dikarenakan pendidikan dari perawat yang diteliti memiliki

latar belakang pendidikan yang cukup tinggi yaitu minimal D3 Keperawatan. Dimana hal

ini sesuai dengan ketentuan keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2001 bahwa tenaga

perawat di sarana pelayanan kesehatan minimal D3 Keperawatan.


Hal ini juga sejalan dengan penelitian Faridah dalam Lupy (2014) yang

menunjukan ada hubungan pengetahuan dengan peran perawat. Selain itu, penelitian

Eriawan dalam Lupy (2014) juga memiliki hasil yang sama yaitu menunjukan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan perawat dengan tindakan

keperawatan. Oleh karena itu sebagai calon seorang perawat, mahasiswa keperawatan

perlu dan penting untuk memiliki pengetahuan tentang syok hipovolemik dan cara

penangananya dengan cara menempu pendidikan yang sedang ditempu dengan belajar

yang maksimal.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Shita Intan Desky Daryani (2016)

membahas tentang upaya pencegahannya yaitu dengan melakukan asuhan keperawatan

tentang syok hipovolemik khususnya pada pasien Deman Berdarah Dengue. Dimana
DHF dapat menyebabkan syok karena berkurangnya volume plasma darah di

intravaskuler. Dalam asuhan keperawatannya, intervensi yang dilakukan adalah dengan

memonitor vital sign pasien, monitor nilai laboratorium yang meliputi Hematokrit,

Trombosit, Protein Plasma, kaji ada tidaknya tanda – tanda perdarahan, anjurkan keluarga

klien untuk mengistirahatkan klien dan batasi aktivitas selama sakit, anjurkan untuk

minum air putih yang banyak, serta kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian

antipiretik. Sehingga dari penelitian ini kita tahu bagaimana cara atau upaya untuk

mencegah terjadinya syok hipovolemik pada pasien demam berdarah dengue dengan

tepat dan sedini mungkin.


Selanjutnya pada penelitian yang diteliti oleh Anggy Pangaribuan, dkk (2014)

membahas tentang prognosis kematian akibat syok hipovolemik akibat demam berdarah

dengue. Anak dengan DSS dengan manajemen cairan yang tidak adekuat sebelum masuk

RSUP Dr. Sardjito atau masuk pertama kali mempunyai prognosis meninggal 2,7 kali

lebih besar atau 38 % lebih tinggi dibandingkan anak dengan DSS dengan manajemen

cairan adekuat. Pada pasien dengan gejala syok yang dapat diketahui secara awal dan

mendapat terapi cairan secara adekuat akan mengalami perbaikan secara cepat dan angka

kematian yang rendah 0,2%. Sekali terjadi syok dan tidak mendapat terapi yang baik ma

ka angka kematian meningkat menjadi 12%-44%.1,16 Pasien DBD dengan perdarahan

dan hemokonsentrasi akan mengalami tanda syok lebih dini, tetapi dengan manajemen

cairan yang tepat dan adekuat akan mengisi cairan intravaskular untuk mempertahankan

hemodinamik yang stabil sehingga dapat mencegah perkembangan ke arah syok.


Anak dengan DSS yang mengalami perdarahan mayor mempunyai prognosis

meninggal 8 kali lebih besar atau 88% lebih tinggi dibandingkan anak dengan DSS yang

tidak mengalami perdarahan mayor. Perdarahan pada infeksi dengue bisa disebabkan
karena vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati. Perdarahan mayor yang biasanya

berasal dari saluran cerna seperti hematemesis dan melena merupakan manifestasi

perdarahan berat yang paling sering ditemukan. Pasien dengan perdarahan masif atau

perdarahan tersembunyi yang tidak dapat diketahui, terutama perdarahan saluran cerna

dapat mengakibatkan syok, gagal hati dan ginjal, dan gagal banyak organ sampai

kematian. Anak dengan DSS yang mengalami syok berkepanjangan mempunyai

prognosis meninggal 16 kali lebih besar atau 88% lebih tinggi dibanding anak dengan

SSD yang tidak mengalami prolonged shock. Disfungsi sirkulasi atau syok pada DBD

disebabkan karena peningkatan permiabilitas vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma,

efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum, hipoproteinuria, hemokonsentrasi

dan hipovolemia yang mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena, preload miokard,

volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan

perfusi organ. Kondisi syok pada DBD berhubungan dengan angka kematian yang tinggi

(9%) dan meningkat menjadi 47% jika syok tidak tertangani dengan baik dan menjadi

profound shock. Syok berkepanjangan diikuti dengan asidosis metabolik, hipoksemia dan

dapat menimbulkan DIC sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan berat yang

berakhir dengan kematian


Oleh karena itu sangat penting bagi mahasiswa keperawatan untuk memiliki

pengetahuan yang cukup tentang syok hipovolemik dengan cara penanganannya. Hal ini

dikarenakan sebagai seorang calon perawat, mahasiswa harus mampu mengetahui hal

yang tepat yang harus dilakukan untuk menangani serta mencegah syok hipovolemik

serta harus menjadi perawat yang mampu mengenali tanda awal syok serta

penatalaksanaanny yang berupakan asuhan keperawatan yang tepat dan segera untuk

kasus syok hipovolemik ini.


D. Kesimpulan

Kondisi kegawatdaruratan dapat terjadi dimana saja, dan kapan saja. Sehingga

sudah menjadi tugas petugas kesehatan untuk menangani kasus dan masalah tersebut.

Salah satu yang menjadi kondisi kegawatdaruratan adalah kejadian syok hipovolemik.

Saat ini kejadian syok hipovolemik menjadi salah satu kondisi yang memerlukan

tindakan segera di Intalasi Gawat Darurat (IGD). Pasien yang masuk di IGD dengan

syok hipovolemik memerlukan pemantauan ketat terhadap tanda – tanda klinis yang dan

juga pemamtauan pada status hemodinamik dan status intravaskular. Hal ini

dikarenakan bantuna sirkulasi dan medikasi pada pasien gawat darurat diberikan

berdasarkan ketepatan menilai status volume intravaskular pasien ( Hutabarat dalam

Lupy, 2014).

Syok merupakan sindrom klinis bukan diagnose yang terjadi akibat menurunnya

tekanan darah secara persisten yang menyebabkan perfusi memburuk serta malfungsi

organ vital. Syok dapat terjadi karena kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang

intravaskuler. Tanda dan gejala yang biasanya muncul saat syok adalah tekanan darah

menurun, nadi rendah, kulit tampak pucat. Syok hipovolemik biasanya menjadi sindrom

klinis dari cedera akibat kecelakaan, pada wanita yang mengalami perdarahan obstrti,

syok hipovolemik akibat deman berdarah dengue dan pada anak yang mengalami diare

disertai syok hipovolemik.

Saat ini mahasiswa keperawatan menjadi salah satu bagian yang memiliki peran

yang sangat penting dalam penanganan kondisi gawat darurat, karena mahasiswa

keperawatan juga akan melakukan tindakan kegawatdaruratan baik pada saat mereka
turun praktek laboratorium klinik di rumah sakit maupun pada saat di luar rumah sakit.

Oleh karena itu, mahasiswa keperawatan perlu mendapatkan pengetahuan dan

keterampilan tentang bantuan hidup terhadap kondisi gawat darurat khususnya untuk

menangani dan mencegah terjadinya syok hipovolemik.


E. Daftar Pustaka

Nurarif, Amin Huda., & Kusuma, Hardhi. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan

Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Percetakan Mediaction;

Jogjakarta.

Pangaribuan, Anggy., Prawirohartono, Endy Prayanto., & Laksanawati, Ida Safitri. (2014).

Faktor Prognosis Kematain Sindrom Syok Dengue. Sari Pediartri, Vol. 15, No. 5,

Februari 2014.

Daryani, Shita Intan Desky., & Arifah, Sitti. (2016). Upaya Pencegahan Terjadinya Perdarahan

dan Syok pada Pasien DHF di RSUD Pandan Arang Boyolali.

Lupy, Ivon Kristi. (2014). Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Syok Hipovolemik dengan

Penatalaksanaan Awal Pasien Di Intalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou

Manado

Anda mungkin juga menyukai