Anda di halaman 1dari 23

Pengaruh posisi trendelenburg terhadap peningkatan tekanan darah pada

pasien dengan shok hipovolemik di ruang ICU RS X

Nama : Fauzi Iskandar

NIM : 19216240
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Syok hipovolemik sampai saat ini merupakan salah satu penyebab kematian di negara-negara
dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Angka kematian pada pasien trauma yang mengalam
i syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 94%. Se
dangkan angka kematian akibat trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit de
ngan peralatan yang kurang memadai mencapai 64% (Diantoro, 2016).

Penatalaksanaan syok hipovolemik tidak terlepas dari penerapan algoritma ABC, dimana per
awat berperan untuk menangani gangguan airway, breathing dan circulation segera. Masalah
paling mendasar pada syok hipovolemik adalah gangguan sirkulasi yang akan menyebabkan
kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga metabolisme sel akan terganggu. Dalam keada
an volume intravaskuler yang berkurang, tubuh berusaha untuk mempertahankan perfusi orga
n-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati,
dan kulit (Diantoro, 2016).

Syok Hipovolemik juga terjadi pada wanita dengan perdarahan karena kasus obstetric, angka
kematian akibat syok hipovolemik mencapai 500.000 per tahun dan 99% kematian tersebut te
rjadi di Negara berkembang. Sebagian besar penderita syok hipovolemik akibat perdarahan m
eninggal setelah beberapa jam terjadinya perdarahan karena tidak mendapat penatalaksanaan
yang tepat dan adekuat.

Jangka insidensi syok hipovolemik di Indonesia belum ada tercatat, namun menurut data
penyebab syok hipovolemik tertinggi pada anak-anak di negara berkembang adalah diare.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, angka diare pada balita di
Indonesia mencapai 11%, jauh meningkat dibanding tahun 2013 sebanyak 2,4%. Pada syok
hipovolemik akibat perdarahan, penyebab utama terbanyak adalah cedera traumatik. Masih
menurut data RISKESDAS tahun 2018, persentase terjadinya cedera meningkat dari tahun
2007 sebesar 7,5% menjadi 9,2% pada tahun 2018.

ICU adalah ruang khusus bagi pasien kritis yang perlu perawatan intensif dan pengawasan
terus menerus. ICU menyediakan tindakan medis yang bersifat kritis dan sistem pendukung
fungsi organ tubuh (life support) pada pasien yang sakit akut atau terluka parah. Beberapa
kondisi pasien yang ditangani di ICU adalah luka besar (major trauma), luka bakar parah,
gagal napas, pasien usai transplantasi organ, operasi kardiotoraks, dan tulang punggung
kompleks. Pasien yang tidak dalam kondisi akut memerlukan persetujuan dari dokter yang
bersangkutan untuk dikirim ke ICU.

Syok didefinisikan sebagai kolaps kardiovaskular yang menyebabkan penurunan perfusi


jaringan yang signifikan (Wacker & Winters, 2014). Hal ini ditandai dengan tekanan darah
sistolik di bawah 90 mmHg dan mean arterial pressure (MAP) lebih rendah dari 60 mmHg
atau penurunan MAP lebih dari 30% selama lebih dari 30 menit, oliguria dan penurunan
perfusi perifer (Kalla & Herring, 2013; Worthley , 2000). Syok hipovolemik dapat menjadi
bencana dengan cepat kecuali dikenali dan diobati segera. Meskipun kehilangan
gastrointestinal mungkin menjadi penyebab syok hipovolemik pada orang tua, tetapi jarang
menyebabkan perubahan hasil analisis gas darah.

Pengangkatan kaki pasif atau juga dikenal sebagai posisi Trendelenburg yang dimodifikasi
bukan hanya metode sederhana untuk memprediksi perbaikan hemodinamik pasien setelah
resusitasi cairan tetapi juga dapat meningkatkan tekanan darah pasien dengan meningkatkan
aliran darah kembali ke jantung dari tungkai bawah. Karena itu, bukti tentang posisi ini masih
kurang dan perlu dipelajari lebih lanjut.

Menurut data dari WHO diare dengan jumlah korban 1,5 juta jiwa masih menempati urutan
ke 7 dari sepuluh penyebab kematian di dunia dan disusul kecelakaan lalu lintas yang
menempati urutan ke 9 dari sepuluh penyebab kematian didunia dengan jumlah koban 1,3
juta orang (WHO, 2017).

Menurut World Health Organization (WHO) cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya
menyebabkan terjadinya 5 juta kematian diseluruh dunia. Angka kematian pada pasien
trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang
lengkap mencapai 6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma yang mengalami syok
hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang memadai mencapai 36%
(Diantoro, 2014).
Kasus syok hipovolemik yang paling sering ditemukan adalah yang disebabkan oleh
perdarahan. Oleh karena itu, syok hipovolemik dikenal juga dengan sebutan syok hemoragik
(Hardisman, 2013). Syok hipovolemik yang disebabkan oleh perdarahan merupakan salah
satu penyebab kematian di negara dengan mobilitas tinggi. Salah satu penyebab terjadinya
syok hemoragik tersebut diantaranya adalah kecelakaan lalu lintas. Angka kematian pada
pasien trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan
yang lengkap mencapai 6%, sedangkan di rumah sakit dengan peralatan yang kurang
memadai mencapai 36% (Lupy et al., 2014).
Menurut WHO, angka kematian akibat diare yang disertai syok hipovolemik di Brazil
mencapai 800.000 jiwa. Sebagian besar penderita meninggal karena tidak mendapat
penanganan pada waktu yang tepat (Diantoro, 2014).
Sedangkan insiden diare yang menyebabkan syok hipovolemik di Indonesia 6,7%. Lima
provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta
(8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%) (Riskesdas, 2013).
Menurut data dari WHO diare dengan jumlah korban 1,5 juta jiwa masih menempati urutan
ke 7 dari sepuluh penyebab kematian di dunia dan disusul kecelakaan lalu lintas yang
menempati urutan ke 9 dari sepuluh penyebab kematian didunia dengan jumlah koban 1,3
juta orang (WHO, 2017).

Jangka insidensi syok hipovolemik di Indonesia belum ada tercatat, namun menurut data
penyebab syok hipovolemik tertinggi pada anak-anak di negara berkembang adalah diare.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, angka diare pada balita di
Indonesia mencapai 11%, jauh meningkat dibanding tahun 2013 sebanyak 2,4%. Pada syok
hipovolemik akibat perdarahan, penyebab utama terbanyak adalah cedera traumatik. Masih
menurut data RISKESDAS tahun 2018, persentase terjadinya cedera meningkat dari tahun
2007 sebesar 7,5% menjadi 9,2% pada tahun 2018.

Pemberian resusitasi cairan dengan jenis dan jumlah yang tepat dan cepat diharapkan dapat m
eningkatkan status sirkulasi. Dikarenakan terapi cairan dapat meningkatkan aliran pembuluh
darah dan meningkatkan cardiac output yang merupakan bagian terpenting dalam penanganan
syok (Finfer, 2018).

Posisi modified Trendelenburg salah satunya adalah Passive Leg Raising atau modifikasi posi
si telentang dengan kepala diturunkan dan kaki diangkat. Passive leg Raising atau juga dikena
l sebagai posisi modified Trendelenburg adalah metode sederhana untuk memprediksi perbai
kan hemodinamik pasien dalam pemberian resusitasi cairan (Monnet and Teboul, 2015).
Manuver ini dapat dilakukan pada pasien yang bernapas spontan, pasien dengan tekanan dara
h sangat rendah, pasien syok, atau pasien dengan tanda klinis dehidrasi. Tujuan dari prosedur
ini adalah untuk mentransfer darah vena dari tubuh bagian bawah menuju 18 kompartemen in
tra-toraks dan menilai pengaruhnya terhadap curah jantung, MAP atau stroke volume (Rahma
wati dkk., 2021).

Berdasarkan hasil penelitian oleh (Vinthia, 2017) tentang pengaruh posisi trendelenburg terha
dap peningkatan tekanan darah pada pasien syok hipovolemik. posisi trendelenburg digunaka
n pada penanganan awal pada pasien syok hipovolemik. Teori fisiologis di balik posisi trende
lenburg adalah peningkatan aliran balik vena akan terjadi perubahan gradien hidrostatik deng
an kaki di tinggikan di atas jantung dan kepala di bawah ( journal of vascullar nurshing 201
9).

Respon pasien terhadap terapi cairan dievaluasi dari beberapa parameter klinis, seperti tanda
vital dan perfusi serta oksigenasi perifer. Kembalinya tekanan darah, tekanan nadi dan laju na
di menandakan perfusi mulai membaik. Perbaikan status mental dan sirkulasi kulit juga dapat
menandakan perbaikan perfusi dan produksi urin merupakan indikator yang spesifik untuk pe
rfusi ginjal yang menandakan aliran darah ke ginjal cukup (ACS Commitees on Trauma, 201
2 dalam Putra dan Adiputra, 2017).

Berdasarkan algoritma NICE (2013) dalam Monnet and Teboul, (2015), sebelum pasien diber
ikan cairan, sebaiknya dilakukan pengkajian apakah pasien mengalami hipovolemik, sehingg
a pasien benar-benar memerlukan resusitasi cairan. PLR merupakan suatu cara untuk menilai
responsivitas cairan, intervensi ini dapat dilakukan dengan memposisikan pasien dalam kondi
si datar, kemudian kaki di elevasi 45˚ selama 30 sampai 90 detik. Hemodinamik diukur setela
h dilakukan intervensi PLR, jika pasien menunjukkan tanda-tanda peningkatan hemodinamik
maka hal tersebut mengindikasikan bahwa diperlukan pemberian cairan. Kondisi pasien yang
ditandai dengan nafas semakin berat, mengindikasikan bahwa pasien kemungkinan mengala
mi overload cairan.

Berdasarkan latar belakang di atas yang sudah dijelaskan maka dapat menjadikan fenomena y
ang menarik bagi peneliti dan penting untuk diteliti yaitu pengaruh posisi trendelenburg terha
dap peningkatan tekanan darah pada pasien syok hipovolemik Di RS X.
Berdasarkan observasi awal posisi trendelenburg belum digunakan pada penanganan awal pa
da pasien syok hipovolemik, penanganan awal di RS X, yang diberikan pada pasien syok hip
ovolemik yaitu memberikan resusitasi cairan. Berdasarkan latar belakang di atas yang sudah
dijelaskan maka dapat menjadikan fenomena yang menarik bagi peneliti dan penting untuk di
teliti yaitu pengaruh posisi trendelenburg terhadap peningkatan tekanan darah pada pasien sy
ok hipovolemik Di RS X.

Identifikasi Masalah
1. Berdasarkan data rekam medik RS, pasien syok hipovolemik pada bulan agustus 2020 men
capai 60 pasien. Syok hipovolemik yang disebabkan karena kehilangan cairan di RS X pada b
ulan Agustus mencapai 12 pasien.
2. Posisi trendelenburg dapat meningkatkan tekanan darah, namun berdasarkan observasi aw
al dan wawancara di ruang ICU RS X belum menggunakan posisi trendelenburg dalam penan
ganan awal pada pasien syok hipovolemik.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian ringkas dalam latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melak
ukan literatur review terhadap “Apakah ada pengaruh posisi trendelenburg terhadap peningka
tan tekanan darah pada pasien shok hipovolemik?”

1.3 Pertanyaan Penelitian


Oleh sebab itu, peneliti melakukan penelitian ini berdasarkan pertanyaan penelitian
1. Bagaimana penangan pasien syok hipovolemik di ruang ICU RS X.
2. Apakah Posisi trendelenburg dapat meningkatkan tekanan darah, berdasarkan observasi a
wal dan wawancara di ruang ICU RS X belum menggunakan posisi trendelenburg dalam pen
anganan awal pada pasien syok hipovolemik.

1.4 . Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus

1.4.1 Tujuan Umum


Diidentifikasinya pengaruh posisi trendelenburg terhadap peningkatan tekanan darah pada
pasien syok hipovolemik pasien di ICU.

1.4.2 Tujuan Khusus penelitian adalah teridentifikasinya pengaruh posisi trendelenburg syok
hipovolemik

1.4.2.1 Tentang upaya peningkatan tekanan darah pada pasien pasien syok
hipovolemik

1.4.2.2 Upaya perawat terhadap penanganan syok hipovolemik dengan tujuan


meningkatan tekanan darah pasien setelah dilakukan posisi trendelenburg.

1.4.2.3 Pengaruh keselamatan pasien dengan syok hipovolemik dilakukan posisi


trendelenburg terhadap peningkatan darah pasien di rumah sakit.

1.4.2.4 Diketahuinya monitoring hemodiamik pada pasien syok hipovolemik dengan p


osisi trendelenburg.

1.4.2.5 Diketahuinya pemberian resusitasi cairan dengan jumlah cairan dan jenis caira
n pada pasien syok hipovolemik.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat yang positif bagi pasien dengan syok hipovolemik
maupun pasien perdarahan, masyarakat dan ilmu keperawatan. Manfaat ini akan dijabarkan at
as manfaat aplikatif, manfaat keilmuan, manfaat metodologi dan manfaat kebijakan.

1.5.1 Manfaat Aplikatif Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi prakt
ik keperawatan berupa:

1.5.1.1 Tersedianya modul intervensi yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam upaya
pengaruh posisi trendelenburg terhadap peningkatan tekanan darah pada pasien syok
hipovolemik.
1.5.1.2 Manfaat teoritis Rangkuman literatur ini diharapkan dapat memberikan informasi tent
ang pengelolaan pasien syok hipovolemik dengan pemberian resusitasi cairan dan dilakukan
posisi trendelenburg.

1.5.1.3 Bagi profesi keperawatan Sebagai bahan masukan bagi tenaga keperawatan khususny
a yang bekerja di ICU RS X.

1.5.1.4 Bagi peneliti selanjutnya Sebagai bahan referensi tambahan pemikiran dalam perkem
bangan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan peneliti tentang pengelolaan pasien syo
k hipovolemik dengan pemberian resusitasi cairan dan dilakukan posisi trendelenburg.

1.5.1.5 Bagi institusi pendidikan Diharapkan dapat bermanfaat sehingga bisa menambah kepu
stakaan mengenai pengelolaan pasien syok hipovolemik dengan pemberian resusitasi cairan
dan dilakukan posisi trendelenburg.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Dasar Syok Hipovolemik

1. Pengertian Syok merupakan keadaan ketika sel mengalami hipoksia sehingga terjadi ketida
kseimbangan antara oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh dan oksigen yang dibutuhkan o
leh tubuh. Hal ini sering disebabkan karena penurunan perfusi jaringan dan kegagalan sirkula
si (Simmons and Ventetuolo, 2017). Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat b
erkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh no
n fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasu
s-kasus syok hipovolemik yang paling sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingg
a syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan
oleh berbagai trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan lu
ka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Kolecki and Menckhoff, 2016). Syok
hipovolemik dapat didefinisikan sebagai berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan
dengan kapasitas pembuluh darah total (Roberts, 2012).

2. Etiologi Menurut Standl et al. (2018) penyebab dari syok hipovolemi dibagi dalam 4 bagia
n, yaitu:

a. Syok hemoragik, dikarenakan adanya perdarahan akut tanpa terjadi cedera pada jaringan lu
nak.
b. Syok hemoragik traumatik, dikarenakan adanya perdarahan akut yang disertai cedera pada
jaringan lunak ditambah dengan adanya pelepasan aktivasi sistem imun.
c. Syok hipovolemik karena kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis tanpa adanya perd
arahan.
d. Syok hipovolemik traumatik, karena kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis tanpa
adanya perdarahan, terjadi cedera pada jaringan lunak serta adanya pelepasan aktivasi sistem
imun.

3.Patofisiologi Secara klinis, syok hemoragik terjadi karena adanya perdarahan pada pembulu
h darah besar seperti perdarahan gastrointestinal, aneurisma aorta, atonia uteri, perdarahan pa
da telinga, hidung, tenggorokan. Syok terjadi karena adanya penurunan secara drastis volume
darah di sirkulasi darah, kehilangan sel darah merah secara massif sehingga meningkatkan hi
poksia pada jaringan. Syok hemoragik traumatic berbeda dengan syok hemoragik dikarenaka
n adanya tambahan cedera pada jaringan lunak yang memperparah terjadinya syok. Syok ini
biasanya terjadi karena ada cedera seperti kecelakaan dan jatuh dari ketinggian. Perdarahan di
fus, 8 hipotermia (< 340C) dan asidosis merupakan tanda yang mengancam jiwa (Gänsslen et
al., 2016.). Cedera pada jaringan lunak menyebabkan peradangan post akut, sehingga semaki
n menguatkan proses dari terjadinya syok. Pada tingkat sirkulasi mikro, interaksi leukosit-end
otel dan penghancuran proteoglikan dan glikosaminoglycan yang terikat dengan membrane e
ndotel menyebabkan adanya disfungsi mikro vascular dan terjadi sindrom kebocoran kapiler
(Standl et al., 2018). Di intraseluler tingkat ketidakseimbangan metabolise terjadi karena keru
sakan mitokondria dan pengaruh negatif pada sistem vasomotor (Standl et al., 2018). Syok hy
povolemia maupun syok hypovolemia traumatik menunjukan tanda terjadinya kehilangan cai
ran tanpa adanya perdarahan.

Syok hypovolemia dalam arti yang lebih sempit muncul karena adanya kehilangan cairan bai
k dari internal maupun eksternal dengan ketidakadekuatan intake cairan ke tubuh. Hal ini dap
at disebabkan oleh hipertermi, muntah atau diare persisten, masalah pada ginjal. Penyerapan s
ejumlah besar cairan ke dalam abdomen dapat menjadi penyebab utama berkurangnya sirkula
si volume plasma. Secara patologis peningkatan hematokrit, leukosit dan trombosit dapat mer
usak sifat reologi darah dan dapat merusak organ secara persisten walaupun pasien telah men
dapatkan terapi untuk syok (Standl et al., 2018). Syok hypovolemia traumatic terjadi karena l
uka bakar yang luas, luka bakar kimiawi, dan luka pada kulit bagian dalam. Trauma yang terj
adi juga mengaktivasi koagulasi dan sistem imun, dan memungkinkan perburukan pada makr
o-mikro sirkulasi. Reaksi peradangan menyebabkan kerusakan pada endothelium, meningkat
kan sindrom kebocoran kapiler, dan beberapa karena koagulopati (Standl et al., 2018).

3.Tanda dan gejala Menurut (Hardisman, 2013), tanda dan gejala syok hypovolemia ditentuk
an berdasar stadium yaitu:

a. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga maksimal 1
5% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan dengan vasokont
riksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sed
kit cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan na
fas masih dalam kedaan normal.
b. Stadium-II adalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi ar
teri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penu
runan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, penin
gkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas.
c. Stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada stad
ium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permeni
t, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah
sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat. 10
d. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat ini t
akikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gej
ala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40
% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan p
enurunan kesadaran atau letargik.

4.Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis syok


(Kowalak, 2011) yaitu:

a. Nilai hematokrit dapat menurun pada perdarahan atau meninggi pada jenis syok lain yang
disebabkan hypovolemia.
b. Pemeriksaan koagulasi dapat mendeteksi koagulopati akibat DIC (Diseminata Intravascula
r Coagulation).
c. Pemeriksaan laboratorium dapat mengungkapkan kenaikan jumlah sel darah putih dan laju
endap darah yang disebabkan cedera dan inflamasi, kenaikan kadar ureum dan kreatinin akib
at penurunan perfusi renal, peningkatan serum laktat yang terjadi sekunder karena metabolis
m anaerob, kenaikan kadar glukosa serum pada stadium dini syok karena hati melepas cadang
an glikogen sebagai respon terhadap stimulasi saraf simpatik.
d. Analisis gas darah arteri dapat mengungkapkan alkalosis respiratorik pada syok dalam stad
ium dini yang berkaitan dengan takipnea, asidosis respiratorik pada stadium selanjutnya yang
berkaitan dengan depresi pernapasan, dan asidosis metabolik pada stadium selanjutnya yang
terjadi sekunder karena metabolism anaerob.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada syok meliputi (Kowalak, 2011) :

a. Sindrom distress pernapasan akut


b. Nekrosis tubuler akut
c. Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC)
d. Hipoksia serebral
e. Kematian
Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda ta
nda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut
dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik t
ersebut yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang (Kole
cki and Menckhoff, 2016). Standl et al. (2018) menyatakan bahwa penanganan syok hipovole
mik terdiri dari resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid dengan akses vena perifer, da
n pada pasien karena perdarahan, segera kontrol perdarahan (tranfusi). Dalam mencegah terja
dinya hipoksia, disarankan untuk dilakukan intubasi dengan normal ventilasi.

Menurut Kolecki & Menckhoff (2016) Cairan resusitasi yang digunakan adalah 12 cairan isot
onik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/
KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hem
odinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutkan. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5
kali lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi cairan
kristaloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak terjadi perba
ikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan pemb
erian darah segera.

2. Penatalaksanaan Keperawatan Monitoring pada pasien syok yang dapat dilakukan yaitu (Si
mmons and Ventetuolo, 2017):

a. Monitor tekanan darah Pada pasien dengan syok hemoragik, tekanan darah sistol dipertaha
nkan >70 mmHg dengan MAP >65 mmHg. b. Mengukur CVP (Central Venous Pressure) Nil
ai CVP normal yaitu 5-7 mmHg pada orang dewasa dengan bernapas secara spontan. Nilai C
VP 3 detik, oliguria, warna kulit pucat dan/atau sianosis.
b. Perfusi perifer tidak efektif Perfusi perifer tidak efektif didefinisikan sebagai penurunan sir
kulasi darah pada level kapiler yang dapat mengganggu metabolisme tubuh (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016). Gejala dan tanda mayor dari masalah keperawatan ini ialah pengisian kapil
er >3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit pucat, tur
gor kulit menurun.
c. Hipovolemia Hipovolemia didefinisikan sebagai penurunan volume cairan intravascular, in
terstisial, dan/atau intraseluler (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Gejala dan tanda mayor d
ari masalah keperawatan ialah frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah m
enurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume uri
n menurun, hematokrit meningkat. Terkait dengan hasil pengkajian yang ditemukan di lapang
an praktik, penulis mengambil masalah keperawatan utama yaitu hipovolemia.

3. Intervensi Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat ya
ng didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Intervensi keperawatan yang dibahas pada ka
rya ilmiah ini berfokus pada masalah keperawatan hipovolemia.
4. Intervensi umum Intervensi umum yang dilakukan yaitu manajemen hypovolemia, yaitu:

1) Observasi a) Periksa tanda dan gejala hypovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi t
eraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membr
an mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah) b) Monitor inta
ke dan output cairan
2) Terapeutik a) Hitung kebutuhan cairan b) Berikan posisi modified trendelenburg c) Berika
n asupan cairan oral 3) Edukasi a) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral b) Anjurkan
menghindari perubahan posisi mendadak 4) Kolaborasi a) Kolaborasi pemberian cairan IV is
otonis (mis. NaCl, RL) b) Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa 2.5%, Na
Cl 0.4%) c) Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin, plasmanate) 32 d) Kolaborasi
pemberian produk darah.

Intervensi unggulan Intervensi unggulan ini yaitu pemberian posisi modified trendelenburg y
ang dalam hal ini mahasiswa menerapkan posisi passive leg raising (PLR). 4. Implementasi
Pelaksanaan / implementasi merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan dengan me
laksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan.
Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan perlind
ungann kepada pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahama
n tentang hak-hak pasien, tingkat perkembangan pasien. Dalam tahap pelaksanaan terdapat d
ua tindakan yaitu tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi (Aziz Alimul, 2009). 5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, meskipun evaluasi diletakkan pada
akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keper
awatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan apakah informasi yang telah dik
umpulkan sudah mencukupi dan apakah prilaku yang diobservasi telah sesuai. Diagnosa juga
perlu di evaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya. Tujuan dan intervensi dievaluas
i adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut dicapai secara efektif (Nursalam, 33 2001).
Evaluasi diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
a. Evaluasi formatif (proses) Fokus pada evaluasi proses (formatif) adalah aktivitas dari pros
es keperawatan dan hasil kwalitas palayanan asuhan keperawatan. evaluasi proses harus dila
ksan akan segera setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan untuk membantu men
ilai efektivitas intervensi tersebut. Evaluasi proses harus terus menerus dilaksanakan hingga t
ujuan yang telah ditentukan tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi proses terdir
i atasan alisis rencana asuhan keparawatan, pertemuan kelompok, wawancara, observasi klie
n, dan menggunakan form evaluasi. Ditulis pada catatan perawatan.

b. Evaluasi sumatif (hasil) Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kese
hatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan. Focus evaluasi hasil (su
matif) adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan keperawatan.
Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan secara paripurna.

BAB III

METODA PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di RS X bulan Agustus hingga Desember 2021. Desain penelitian de
ngan menggunakan desain Quasi eksperiment dengan pendekatan pre test and post test witho
ut control. (Dharma, 2011). Responden dalam penelitian ini ada 12 yang ada di Rumah Sakit.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Consecutive s
ampling.

Sampel dalam penelitian ini memiliki kriteria inklusi antara lain: Semua pasien syok hipovole
mik di ICU RS X pada bulan Agustus - Desember 2021 dan Responden yang bersedia menja
di responden.

Pengambilan sampel tersebut dihentikan oleh peneliti ketika sudah mendapatkan data diperlu
kan. (Dharma, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari peneliti ini diperoleh dari intervensi terhadap pasien syok hipovolemik yang berada di
ICU RS X tema antara lain pengaruh posisi trendelenburg terhadap tekanan darah pada pasie
n syok hipovolemik.

1. Hasil Analisa Univariat

Penelitian ini dilakukan di ICU RS X dengan jumlah responden 12 sesuai dengan kriteria inkl
usi dan eksklusi. Pemberian posisi trendelenburg dilakukan pada pasien syok hipovolemik.
Posisi trendelennbug pada penelitian ini posisi kepala lebih rendah dari kaki, posisi kaki 20º.
Analisa univariat pada penelitian ini meliputi karakteristik tekanan darah sistolik dan diastoli
k dijelaskan menggunakan nilai mean,media, modus, nilai maksimum dan minimum.

a. Karakteristik Tekanan Darah Sebelum Dilakukan Posisi Trendelenburg

Tabel 4.1 Hasil Analisis Tekanan Darah Sebelum Posisi Trendelenburg (n = 12)

Variabel Distribusi Data


Mean Median Modus SD Min Max
TD 89,2 90 90 6,69 80 100
Sisitolik
Sebelum
TD 59,2 60 60 6,69 50 70
Diastolik
Sebelum
Berdasarkan Tabel 4.1 meunjukan bahwa hasil rata-rata tekanan darah sistolik sebelum dilaku
kan pemberian posisi trendelenburg adalah 89,2 dengan nilai tekanan sistolik tertinggi 100 da
n nilai tekanan sistolik terendah 80. Sedangkan rata - rata tekanan darah diastolik adalah 59,2
dengan nilai tekanan diastolik tertinggi 70 dan nilai tekanan diastolik terendah 50. Pada pasie
n syok hipovolemik terjadi penurunan dalam batas normal atau hipotensi dilihat dari hasil dist
ribusi data mean, median, modus, standar deviasi, nilai minimal dan nilai maksimal.

b.Karakteristik Tekanan Darah Sesudah Dilakukan Posisi Trendelenburg

Tabel 4.1 Hasil Analisis Tekanan Darah Sesudah Posisi Trendelenburg (n = 12)

Variabel Distribusi Data


Mean Median Modus SD Min Max
TD 94,2 90 90 6,69 90 110
Sisitolik
Sesudah
TD 63,3 60 60 4,92 60 70
Diastolik
Sesudah

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukan bahwa hasil rata-rata tekanan darah sistolik sesudah dilak
ukan pemberian posisi trendelenburg adalah 94,2 dengan nilai tekanan sistolik tertinggi 110 d
an nilai tekanan sistolik terendah 90. Sedangkan rata- rata tekanan darah diastolik adalah 63,3
dengan nilai tekanan diastolik tertinggi 70 dan nilai tekanan diastolik terendah 60. Terjadi pe
ningkatan tekanan darah dilihat dari hasil distribusi data mean, median, modus, standar devia
si, nilai minimal dan nilai maksimal.

2. Hasil Analisa Bivariat

a. Uji Normalitas

Sebelum dilakukan analisis bivariat dilakukan uji normalitas, peneliti menggunakan uji norm
alitas dengan metode analisis parameter Shapiro-Wilk karena jumlah responden < 50. Hasil uj
i normalitas pada penelitian ini didapatkan hasil sebelum pemberian posisi trendelenburg nila
i p value 0,012 dan sesudah pemberian posisi trendelenburg p value 0,000 sehingga p value <
0,05 maka pada penelitian ini data tidak berdistribusi normal sehingga menggunakan uji non
parametik (wilxocon).

Variabel Distribusi Data


Mean Median Modus SD Min Max
TD 89,2 90 90 6,69 80 100
Sisitolik
Sebelum
TD 59,2 60 60 6,69 50 70
Diastolik
Sebelum

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukan hasil rata-rata darah sistolik sebelum dilakukan pemberia
n posisi trendelenburg adalah 89,2 dengan nilai tekanan sistolik tertinggi 100 dan nilai tekana
n sistolik terendah 80. Sedangkan rata- rata tekanan darah diastolik adalah 59,2 dengan nilai t
ekanan diastolik tertinggi 70 dan nilai tekanan diastolik terendah 50. Pada pasien syok hipovo
lemik terjadi penurunan dalam batas normal atau hipotensi dilihat dari hasil distribusi data me
an, median, modus, standar deviasi, nilai minimal dan nilai maksimal.

b. Karakteristik Tekanan Darah Sesudah Dilakukan Posisi Trendelenburg

Tabel 4.1 Hasil Analisis Tekanan Darah Sesudah Posisi Trendelenburg (n = 12)

Variabel Distribusi Data


Mean Median Modus SD Min Max
TD 94,2 90 90 6,69 90 110
Sisitolik
Sesudah
TD 63,3 60 60 4,92 60 70
Diastolik
Sesudah

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukan bahwa hasil rata-rata tekanan darah sistolik sesudah dilak
ukan pemberian posisi trendelenburg adalah 94,2 dengan nilai tekanan sistolik tertinggi 110 d
an nilai tekanan sistolik terendah 90. Sedangkan rata- rata tekanan darah diastolik adalah 63,3
dengan nilai tekanan diastolik tertinggi 70 dan nilai tekanan diastolik terendah 60. Terjadi pe
ningkatan tekanan darah dilihat dari hasil distribusi data mean, median, modus, standar devia
si, nilai minimal dan nilai maksimal.

2.Hasil Analisa Bivariat

b. Uji Normalitas

Sebelum dilakukan analisis bivariat dilakukan uji normalitas, peneliti menggunakan uji norm
alitas dengan metode analisis parameter Shapiro-Wilk karena jumlah responden < 50. Hasil u
ji normalitas pada penelitian ini didapatkan hasil sebelum pemberian posisi trendelenburg nil
ai p value 0,012 dan sesudah pemberian posisi trendelenburg p value 0,000 sehingga p value
< 0,05 maka pada penelitian ini data tidak berdistribusi normal sehingga menggunakan uji no
n parametik (wilxocon).

b. Uji Analiasa Data

Analisa bivariat dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh posisi trendelenburg terhada
p tekanan darah pada pasien syok hipovolemik. Analisis bivariat pada penelitian ini menggun
akan uji wilxocon. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 4.5 Hasil Uji Wilxocon

Variabel Pre-Post
TD Sistolik Z Asymp. Sig. (2-tailed) -2,449a 0,014
TD Diastolik Z Asymp. Sig. (2-tailed) -2,236a 0,025

Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukan hasil uji wilxocon tekanan darah sistolik nilai p value = 0,
014 dan tekanan darah diastolik nilai p value = 0,025 sehingga p value < 0,05 maka Ho di tol
ak dan Ha di terima bahwa terdapat pengaruh posisi trendelenburg terhadap tekanan darah pa
da pasien syok hipovolemik.

1)Tekanan Darah Sebelum Dilakukan Posisi Trendelenburg

Hasil penelitian ini menunjukkan tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum dilakukan pem
berian posisi trendelenburg pada pasien syok hipovolemik terjadi penurunan dalam batas nor
mal atau hipotensi dilihat dari hasil distribusi data mean, median, modus, standar deviasi, nila
i minimal dan nilai maksimal. Pengukuran tekanan darah sistolik sebagai indikator signifikan
hipotensi dan syok, biasanya ambang pada 90 mmHg (Kerby & Cusick, 2012).

Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka
bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan
preload berat, direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic ventrikel
kanan dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup
(stroke volume) dan curah jantung tidak adekuat (Isselbacher dkk, 1999 dalam Fitria, 2010).

Pada penderita syok hipovolemik gangguan pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat,
baik arteri (afterload), vena (preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan
tahanan vaskuler arteri atau arteriol akan menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan
intravaskuler dengan pembuluh tersebut sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi
sangat rendah yang akhirnya juga menyebabkan tidak terpenuhinya perfusi jaringan
(Hardisman, 2013). Jika syok hipovolemik terjadi kekurangan darah sekitar 15-30% maka
vasokontriksi arteri tidak lagi mampu mengkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga
terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, peningkatan
frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas (Soenarto, 2012).

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi
tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah,
terjadi respon sistim saraf simpatis yang mengakibatkan peningkataan kontraktilitas dan
frekwensi jantung. Dengan demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuuh perifer
sehingga telah terjadi penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi
penurunan tekanan nadi rata-rata (Worthley, 2000 dalam Hardisman, 2013).

2)Tekanan Darah Sesudah Dilakukan Posisi Trendelenburg

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil tekanan darah sistolik dan diastolik sesudah dil
akukan pemberian posisi trendelenburg pada pasien syok hipovolemik terjadi peningkatan tek
anan darah dilihat dari hasil distribusi data mean, median, modus, standar deviasi, nilai mini
mal dan nilai maksima sehingga terdapat pengaruh pemberian posisi trendelenburg terhadap t
ekanan darah pada pasien syok hipovolemik. Richard et al (2013) mengatakan posisis trendel
enburg dapat digunakan pada pasien syok untuk menstabilkan hemodinamik.

Selain adanya tindakan medis, tindakan mandiri keperawatan untuk mencegah terjadinya keti
dakstabilan tekanan darah atau hipotensi sangatlah penting. Salah satu tindakan yang dianjurk
an adalah posisi meninggikan atau elevasi kaki untuk mempercepat aliran balik darah dan terj
adinya peningkatan volume darah ke jantung (Potter & Perry, 2006).

Posisi trendelenburg adalah intervensi umum digunakan untuk menstabilkan pasien syok hem
odinamik, memiliki diasumsikan bahwa posisi kepala di bawah akan membuat gradient hidro
statik untuk meningkatakan aliran balik vena dan meningkatkan output jantung. (Clark AP, 2
007). Posisi trendelenburg tersebut kadang- kadang diubah dengan menekukkan lutut dan me
matahkan bagian bawah tempat tidur. Penyangga bahu sebaiknya tidak digunakan pada posisi
ini karena dapat menimbulkan kerusakan pada pleksus brakialis. Namun, apabila keadaan me
ndesak, penyangga tersebut harus diberi bantalan yang cukup dan diletakkan diatas prosesus
akromialis scapula, dan bukan di jaringan lunak diatas pleksusu brakialias (Gruendemann, 20
06).

Menurut Clark AP, (2007) menjelaskan penatalaksanaan pasien syok hipovolemik yaitu deng
an memposisikan kedua kaki pasien lebih tinggi dari dada (shock position) agar darah ke otak
maksimal. Muttaqin (2009) menjelaskan, Posisi trendelenburg adalah modifikasi posisi terlen
tang dengan kepala diturunkan. Clark AP, (2007) menegaskan manfaat dari posisi trendelenb
urg pada penanganan syok pada awal tahun 1900 an. Kepercayaan itu menyatakan bahwa seti
ap posisi trendelenburg memperbaiki aliran darah serebral. Efek posisi trendelenburg yang pa
ling nyata pada system respirasi adalah interfensi mekanik pada gerakan dada dan pembatasa
n ekspansi paru. Dengan kepala dan dada yang berada pada tingkat yang lebih rendah dari ab
domen. Clark AP, (2007) menjelaskan, posisi trendelenburg sangat dianjurkan untuk pengoba
tan syok hipovolemik karena kemampuannya untuk peningkatan aliran balik vena dan akan m
eningkatkan curah jantung.

3)Analisa Pengaruh Posisi Trendelenburg Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien Syok
Hipovolemik
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil uji wilcoxon tekanan darah sistolik nilai p value = 0,0
14 dan tekanan darah diastolik nilai p value = 0,025 sehingga p value < 0,05 maka Ho di tola
k dan Ha di terima bahwa terdapat pengaruh posisi

trendelenburg terhadap tekanan darah pada pasien syok hipovolemik. Sejalan dengan hasil pe
nelitian Kardos et al. (2006) mengatakan terdapat peningkatan tekanan darah sistolik setelah
pemberian posisi trendelenburg selama 3 menit. Hasil penelitian S. Ballesteros Peña et al. (20
11), mengatakan penggunaan posisi trendelenburg memiliki dampak pada status hemodinami
k.

Menurut (Mir, 2015), bahwa pasien dengan syok hipovolemik tersebut diberikann posisi tren
delenburg, dapat membuktikan tekanan darah sistolik kembali ke kisaran yang normal, tekana
n nadi yang pertamanya menurun menjadi normal. Teori yang mendasari elevasi ini adalah pe
ninggian ektermitas bawah yang melebihi jantung akan menyebabkan sirkulasi darah ke otak
menjadi lancar.

Penanganan pada syok hipovolemik dapat di baringkan telentang dengan kaki ditinggikan 30
cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat.
Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera tur
unkan kakinya kembali (Fitria, 2010).

Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai pasien, sekita
r 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak dinaikan. Tujuannya, untuk
meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi (Enita & Sri, 2010). Zork
o et al (2009) menunjukkan bahwa Posisi Trendelenburg dapat meningkatkan curah jantung s
aat cairan intravena diberikan bersamaan. Sedangkan Menurut Kolecki et al (2013) posisi tre
delenberg tidak dianjurkan lagi karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru.

Pengaturan posisi dimana anggota gerak bagian bawah diatur pada posisi lebih tinggi dari jan
tung sehingga membuat suatu perbedaan tekanan antara ujung kaki dan bagian badan atau jan
tung. Dengan adanya perbedaan tekanan maka darah akan bersifat seperti cairan yang mengal
ir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah sehingga tahanan pembuluh darah vena sent
ral lebih rendah daripada vena perifer yang mempunyai diameter relative lebih kecil dan adan
ya sistem katub yang senantiasa memungkinkan darah selalu mengalir ke jantung hal ini menj
adikan volume darah akan menuju jantung akan meningkat sehingga terjadi peningkatan alira
n balik vena yang akan meningkatkan volume sekuncupsehingga curah jantung juga meningk
at, hal ini akan meningkatkan tekanan darah pada pasien syok hipovolemik.

Simpulan dan saran

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh posisi trendelenburg


terhadapa tekanan darah pada pasien syok hipovolemik dapat di simpulkan sebagai berikut :

Dari hasil tekanan darah sisitolik dan diastolik pada pasien syok hipovolemik terjadi
penurunan dalambatas hipotensi. Hasil tekanan darah sistolik dan diastolik sesudah
dilakukan posisi trendelenburg terjadi peningkatan tekanan darah. Hasil analisa uji wilcoxon
menunjukan tekanan darah sistolik nilai p value = 0,014 dan tekanan darah diastolik nilai p
value = 0,025 sehingga p value < 0,05 maka Ho di tolak dan Ha di terima bahwa terdapat
pengaruh posisi trendelenburg terhadap tekanan darah pada pasien syok hipovolemik

B. Saran

Saran yang dapat diberikan antara lain adalah sebagai berikut :

Bagi Perawat, Perawat dapat mengimplikasikan posisi trendelenburg pada pasien


syok hipovolemik dengan memperhatiakan hemodinamik. Bagi Rumah Sakit diharapkan
Rumah Sakit dapat meningkatkan pelayanan kegawatdaruratan terutama pada pasien syok
hipovolemik.

Bagi Institusi Pendidikan Tindakan posisi trendelenburg dapat dipertimbangkan


menjadi materi yang diajarkan kepada para mahasiswa dalam managemen syok
hipovolemik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber ilmu atau refrensi baru
bagi para pendidik dan mahasiswa sehingga dapat menambah wawasan yang lebih luas
dalam hal intervensi keperawatan mandiri

Peneliti Selanjutnya Diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan kajian dan rujukan
dalam melakukan penelitian dengan menggunakan variabel berbeda seperti pemberian
posisi trendelenburg terhadap status hemodinamik pasien syok hipovolemik

Anda mungkin juga menyukai