Kisah Sukses Entrepreneur Muda
Kisah Sukses Entrepreneur Muda
Merry kini memimpin 50an konsultan dan manajer di bidang konsultan keuangan dan
sebagian besar diantara nya ialah warga Singapura. Dia juga meraih berbagai
penghargaan, baik di saat kuliah maupun setelah menjadi wirausahawan. Bahkan,
dialah motivator termuda di Asia dan menghasilkan buku laris “A gift from a Friend”
yang telah diterjemahkan ke dalam 7 bahasa. Tapi, betulkah itu cuma keajaiban?
Seperti tanaman, bibit yang baik hanya akan tumbuh subur jika kita menyiapkan tanah
dan pupuk yang baik pula. Begitu pula keajaiban. Keajaiban pada dasarnya datang
menghampiri orang – orang yang selama hidup nya bekerja keras dan berbuat yang
terbaik dengan tujuan hidup yang jelas.
Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Merry bermimpi untuk membalas
kebaikan orang tuanya dengan memberi mereka kebahagiaan. Tapi Merry sadar, dia
hanya bisa membahagiakan orang tua nya saat mereka masih sehat dan relatif muda,
bukan setelah mereka tua dan sakit – sakitan. Hal itulah yang menguatkan tekadnya
untuk sukses dan kaya dalam usia muda. Maka, sulung dari tiga bersaudara itupun
merantau ke Singapura.
Ayah dan ibu Merry memutuskan untuk mengirim putri sulungnya ke Singapura, sesaat
setelah kerusuhan bulan Mei 1998. Sebagai anak dari keluarga sederhana, Merry bukan
hanya membawa bekal materi yang minim, melainkan juga bahasa Inggris yang pas-
pasan namun dengan tekad yang membara.
Saat tiba di Singapura, uang sakunya hanya S$1000 (Rp 7 juta). Hanya dalam waktu
singkat, uang tersebut nyaris tak tersisa untuk membeli buku pelajaran yang mahal dan
kebutuhan sehari – hari.
Guna menambah penghasilan, di saat libur, dia bekerja paruh waktu sebagai pelayan
restaurant, penjaga toko bunga, dan penyebar berbagai pamflet produk di jalanan.
Kondisi yang serba minim justru membuatnya bekerja keras dan pantang menyerah.
bahkan dia berkali – kali mendapat penghargaan di kampusnya. Ditengah-tengah
kesibukannya belajar, Merry juga menyempatkan diri aktif dalam berbagai kegatan
sosial. Kegiatan ini membuatnya bisa memperluas jaringan sosial sekaligus
meningkatkan kemampuannya berbahasa Inggris.
Mereka khawatir dengan pilihan tersebut karena Merry nyaris tidak punya bekal
apapun, khususnya 3 syarat utama untuk terjun ke dunia bisnis, yaitu modal, keahlian,
dan relasi. Modal uang bisa dibilang nol. Relasi yang dimiliki hanya jaringan teman –
teman kampus, plus keahlian di bidang elektro. Di luar itu, dia masih harus menggung
hutang Rp 280 juta kepada pemerintah Singapura.
Namun, tekadnya untuk dapat menyenagkan orang tua nya ternyata mampu
mengalahkan semua rintangan. Maka dengan gagah berani iapun terbang bagai
rajawali untuk menjemput mimpinya di langit. Dia ingin menjadi orang yang luar biasa
sehingga harus siap dengan cobaan yang luar biasa. Merry tidak mau menjadi seperti
ayam yang mencari makan dengan mamatuk-matuk tanah untuk mendapatkan cacing.
Dia ingin menjadi seperti rajawali yang terbang tinggi dan memillih aneka makanan
yang tersedia di alam. Dia tidak mau menjadi bagian dari golongan karyawan yang
bekerja rutin dari pukul 09.00 pagi sampai pukul 05.00 sore, dan tentu saja dengan
rutinitas aliran rekening yang itu-itu saja sebagai gaji.
Sebagai gambaran, di Singapura, sarjana S-1 yang baru lulus hanya mendapat gaji
sekitar S$2500 (Rp 17,5 juta), suatu jumlah yang relatif kecil untuk standar hidup di
negara yang memiliki biaya hidup yang tinggi. Di sana, seorang pekerja harus
membayar 20% dari gajinya untuk CPF (Contributions Payable for Singapore
Citizens / tabungan wajib untuk hari tua). Juga S$ 1000 (Rp 7 Juta) untuk biaya hidup
(makan, akomodasi, biaya telepon genggam, dan lain – lain). Padahal Merry bertekad
untuk mengirim S$ 500 (Rp 3,5 juta)untuk orang tuanya di Jakarta setiap bulannya.
Otomatis, setiap bulan, uang yang di kantong hanya tersisa S$ 500 untuk membayar
pinjaman. Dengan bunga 4% per tahun, sedikitnya diperlukan waktu 10 tahun untuk
melunasi hutangnya terhadap pemerintah Singapura.
Dalam waktu 1 tahun, dia berhasil mengumpulkan modal untuk mulai merekrut staf
penjualan sekaligus mulai membangun tim impian (the dream team). Tim inilah yang
menjadi cikal bakal Merry Riana Organization (MRO), perusahaan yang bergerak di
bidang konsultan keuangan. Perusahaan inipun mulai memberinya keuntungan,
sehingga dalam waktu 4 tahun setelah lulus dari NTU, saat ia baru berusia 26 tahun,
Merry telah memilki kekayaan Rp 7 miliar. Dia pun dapat mewujudkan impiannya
untuk membahagiakan orang tuanya, mencukupi kebutuhan mereka dengan kualitas
yang terbaik.
Sukses tidak membuat Merry Riana melupakan sesama. Tak lama setelah bukunya
menjadi best seller di Singapura, Merry mendirikan proyek “A Gift From A Friend”
yang diambil dari judul bukunya. Komitmennya, untuk setiap buku yang terjual, dia
menyumbangkan satu buku gratis ke institusi / klub yang mendukung tujuan
organisasinya, yakni “kewirausahaan kaum muda” (youth enterpreneurship).
Selain itu, melalui program “Personal Mentorship Experience”, dalam sepekan, wanita
energik ini menyediakan dua jam dari waktunya yang sangat berharga untuk
membimbing orang-orang muda (20-30 tahun), agar mereka dapat meraih impian
mereka, dan Merry melakukan nya tanpa memungut biaya sepeserpun.
Merry memang tidak ingin menikmati kekayaan dan suksesnya hanya untuk diri
sendiri. Merry sadar, kasih telah memotivasinya untuk bekerja keras dan meraih
impiannya. Maka iapun membayarnya dengan cara membagikan suksesnya kepada
masyarakan lewat berbagai aktifitas sosialnya.
Saya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja di Jakarta. Orang tua saya mengirim
saya ke Singapura karena Jakarta saat itu dalam kondisi yang tidak aman pasca krisis
ekonomi 1997. Saya mulai kuliah di Nanyang Technological University tahun 1998
dengan biaya pinjaman ppendidikan S$40.000 dari pemerintah Singapore. Pinjaman
tersebut harus saya bayar kembali saat saya lulus dan telah bekerja. Kondosi ekonomi
yang minim ini membuat saya harus berhemat sehingga saya sering tidak mempunyai
uang untuk makan. Seringkali saya hanya makan mie instant atau tidak makan untuk
berhemat. Pada hari ulang tahun saya yang ke-20 saya berjanji pada diri saya sendiri
bahwa saya akan memiliki kebebasan finansial dalam 10 tahun, yang artinya sebelum
umur 30 tahun saya harus sudah mencapainya.
Pada mulanya motivasi utama saya untuk sukses ialah keinginan saya yang sangat
besar untuk menikmati buah sukses tersebut dengan kedua orang tua dan keluarga
saya. Saat ini, setelah keinginan itu tercapai, motivasi saya ialah untuk bisa membantu
orang lain mencapai kesuksesan supaya pada akhirnya mereka juga dapat memberi
kontribusi kepada masyarakat.
Apakah Merry sudah puas dengan achievment yang sudah diperoleh? Masih
adakah yag belum dicapai?
Saya selalu bersyukur atas berkat Tuhan dalam hidup saya. Saya sadar bahwa tanpa
anugerah dan pertolongan Tuhan, maka saya tidak akan bisa mendapatkan achievment
apapun juga. Saya sangat bersyukur bisa membangun rumah tangga saya dengan suami
yang selalu memberikan support dan dukungan untuk saya. Saya juga percaya bahwa
salah satu tujuan hidup saya ialah untuk terus mengembangkan talenta-talenta yang
Tuhan telah berikan dalam hidup saya ini. Jadi saya akan terus berusaha untu
bertumbuh, dan pada saat yang sama juga membantu orang-orang di sekitar saya untuk
berkembang bersama.
Saya berharap bisa memberikan impact positif ke sebanyak mungkin orang. Saya ingin
bisa sharing dan menyampaikan pesan-pesan saya lewat media massa yang jangkauan
nya lebih luas seperti TV dan radio. Visi saya ialah untuk menyentuh hati lebih banyak
orang lagi supaya mereka dapat meraih impian mereka dan pada akhirnya mereka bisa
memberikan kontribusi pada masyarakat. Pada saat ini saya sedang menulis buku saya
yang kedua. Buku pertama “A Gift From A Friend”, saya tulis agar generasi muda
dapat mencapai kebebasan finansial seperti saya. Salah satu pryek yang saya lakukan
saat ini ialah Project 100 yang kegiatannya mewawancarai orang-orang yang sukses di
bidangnya. Saya juga sedang mempersiapkan materi pelatihan dan training yang saya
yakin akan sangat berguna bagi perusahaan maupun untuk publik. Selain buku dan
training, beberapa bulan terakhir ini saya juga sudah mulai menulis blog hampir setiap
harinya. Saya menulis blog tentang kegiatan saya sehari-harinya dan juga sharing
sharing saya tentang bisnis, relationship, dan lain-lain. Dengan begini, saya bisa
menjangkau lebih banyak orang lagi.
Banyak orang yang takut untuk mencoba, karena mereka takut gagal. Saya selalu
berusaha mencapai achievment-achievement saya, karena saya “takut” kalau saya tidak
memaksimalkan talenta-talenta yang sudah Tuhan berikan pada saya. Saya percaya
bahwa Tuhan mempunyai maksud tertentu dengan hidup saya di dunia ini. Saya juga
percaya bahwa semakin saya “bersinar” di dunia ini, maka semakin banyak orang akan
lebih mengenal Tuhan saya, yang telah membuat achiement-achievment ini mungkin
untuk dicapai
sumber : merryriana.org
Dialah Farah Farce, seorang remaja cerdik berusia 15 tahun yang sudah pandai
berbisnis. Remaja kelahiran 22 April 1995 bernama asli Farah Kemala Qurratu’aini
ini telah memulai usaha mengimpor produk-produk fesyen bermerek dari berbagai
negara di Asia sejak duduk di bangku kelas 9 SMP. Hebatnya, bisnis tersebut ia
lakukan tanpa modal.
Kisah ini berawal dari kesukaan Farce akan produk branded sneakers. Ia rela berburu
sneakers hingga harus memesannya dari luar negeri melalui teman yang baru ia kenal
saat mengikuti bimbingan belajar. Karena menggunakan sistem pre order, Farce harus
menunggu pesanannya tersebut. Setelah menunggu cukup lama, pesanan sneakers
yang ia nanti-nantikan tersebut tak kunjung datang. Farce akhirnya geram dan
menanyakan kembali pesanannya ke sang penjual. Bukannya memberikan solusi, si
penjual yang kala itu juga masih duduk di kelas 9 SMP malah meminta Farce untuk
menghubungi langsung ke importir aslinya yang ternyata juga berdomisili di
Indonesia. “Aku kaget, Aku pikir orangnya (penjual sneakers) perantara langsungnya
dari sana. Tapi ternyata dia juga melalui perantara di sini,” jelas Farce.
Farce mengembangkan senyum setelah sneakers yang ia pesan dari temannya itu ia
terima. Ia juga merasa sneakers pertamanya tersebut sulit ditemui di pasaran Indonesia.
Dari situlah Farce melihat sebuah peluang bisnis. “Kenapa engga gue jualin juga ini di
sini?” Pikirnya. Berbekal kepercayaan diri yang tinggi, Farce pun akhirnya
menawarkan diri kepada sang importir untuk mau bekerja sama dengannya.
Farce yang sejak SD sudah hobi berjualan, memulai bisnis pertamanya dengan
melalukan pemasaran melalui situs jejaring sosial, Facebook. Ia memajang foto-foto
produknya dengan teaser khas bahasa anak sekolahan. Tak ayal, “masa percobaan”
yang diberikan sang importir dalam sebulan berhasil dilewati Farce dengan menjual ±
15 pasang sepatu impor.
Drop Ship
Dalam perjanjian bisnisnya, Farce menawarkan sistem drop ship kepada sang importir.
Drop ship merupakan sistem perdagangan yang paling banyak digunakan oleh para
pedagang online Indonesia. Sistem drop ship memberikan kemudahan bagi para
pedagang online yang tidak memiliki modal yang besar atau bahkan tidak bermodal.
Mereka hanya perlu melakukan pemasaran seluas-luasnya. Saat pesanan datang,
mereka dapat meminta para pembeli melakukan pembayaran di muka. Jika pesanan
dan pembayaran sudah diterima, para pedagang online tersebut tinggal melakukan
pesanan ke para supplier. Pengemasan dan pengiriman ke para pembeli sepenuhnya
dilakukan oleh supplier.
Berbeda dengan Farce. Meski dirinya juga melakukan sistem drop ship dalam
bisnisnya, ia tetap melakukan quality control sebelum produk-produk yang berhasil
dijualnya dikirimkan ke alamat pembeli. “Gimana pun semua barang harus transit ke
rumah aku dulu. Setelah aku cek barang ini bagus, baru aku kirim ke alamat pembeli.
Kalau barangnya jelek, aku kembalikan ke sana. Jadi prosesnya dari supplier di luar
negeri, ke rumah aku, baru ke alamat pembeli. Aku engga mau jualan barang jelek
sampe mengecewakan pelanggan,” tegasnya.
Kini Farce tak lagi mengandalkan importir yang ia kenal pertama kali saat memulai
bisnisnya. Ia telah berhasil melakukan perdagangan langsung dengan beberapa
pemasoknya di Cina, Inggris, Singapura, Vietnam dan Thailand. Produk-produknya
pun beragam, tak hanya sneakers, Farce juga sudah mulai merambah beberapa merek
produk-produk fesyen lainnya melalui http://farahfarce.blogspot.com/. Yang ia nanti
kini adalah kesuksesan..
***
Inilah Farce. Selain pandai berbisnis, ia juga cerdik bergaul. Tak hanya di dunia nyata,
ia juga memanfaatkan Twitter sebagai alat untuk memperkenalkan dirinya kepada para
pengusaha dan motivator terkenal.
Ia ingin tahu caranya orang hebat berusaha, Farce yang menggunakan username
@farceee iseng-iseng membaca timeline Twitter seorang milyuner inspiratif, Bong
Chandra. “Waktu itu gara-gara ada orang yang retweet tweet-nya Bong Chandra.
Nah, aku baca deh tuh timeline-nya Bong Chandra,” cerita Farce. Dari timeline
Twitter Bong Chandra, secara tak sengaja Farce akhirnya menemukan profil Putu
Putrayasa, Nyoman Sukadana, Joe Hartanto, dan Citra Hafiz lalu berkenalan via
Twitter. Setelah berkenalan dengan para pengusaha tersebut, tak lama kemudian Citra
Hafiz yang akhirnya mengenalkan Farce melalui Twitter kepada Director of Young
Entrepreneur Academy, Jaya Setiabudi.
Perkenalan Farce dengan Jaya Setiabudi sangat singkat dan hanya melalui media
online. Namun, Farce sepertinya berhasil membuat Jaya Setiabudi terpukau karena
usianya yang sangat belia namun sudah memiliki jiwa entrepreneurship yang kuat.
Pantas saja jika penulis buku ‘The Power of Kepepet’ tersebut hingga mau
memberikan mentoring langsung tentang dunia pemasaran kepada Farce.
Farce kini semakin “pede.” Apalagi ia memiliki cita-cita ingin berkuliah ke Eropa
tanpa bantuan dari orang tuanya. Ia merasa usahanya harus lebih giat lagi hingga
dalam waktu dekat ini Farce akan segera merilis sebuah merek sepatu yang diberi label
“Farce” yang akan ia distribusikan ke seluruh Indonesia.
Tak hanya itu, remaja yang seminggu lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-16
tahun ini juga telah dipercaya seorang pengusaha untuk mengurusi sebuah Event
Organizer yang khusus menyelenggarakan pesta sweet seventeen. Bagaimana dengan
Anda?
Berjualan Sejak SD
Memiliki tekad kuat untuk menjadi seorang pengusaha, Elang kecil mulai mengasah
jiwa bisnisnya dengan berjualan korek api dan tanah liat sewaktu duduk di bangku SD
dan SMP. Namun hal tersebut hanya dijalankannya berdasarkan mood dirinya.
Mengingak SMA, ia mulai menjalankan bisnis secara serius karena termotivasi untuk
mengumpulkan tabungan sejumlah Rp. 10.000.000,- yang akan digunakan sebagai
modal usaha ayam goring pada saat kuliah nanti. Berjualan donat menjadi pilihan
Elang saat itu, dengan membagi wilayah dengan teman lain. Ia menjajakan donat ke
sekolah-sekolah di sekitar kediamannya. Hasilnya pun terbilang lumayan, ia bisa
merlaup untung Rp. 50.000,- per hari selama berjualan donat. Namun kegiatan usaha
tersebut ditentang oleh orang tuanya, mengingat saat itu sudah mendekati Ujian Akhir
Nasional (UAN) dan khawatir hal tersebut dapat mengganggu proses belajarnya.
Kemudian ia mulai mencari cara untuk tetap dapat mengumpulkan uang tanpa
mengganggu pelajarannya. Maka Elang pun mulai mengikuti berbagai perlombaan,
baik akademis maupun non akademis. Ternyata benar, usahanya tidak sia-sia. Elang
berhasil menyabet juara di hamper setiap perlombaann yang diikutinya. Selain uang
dari hadiah lomba-lomba tersebut, ia juga mendapat tawaran beasiswa dari tiga
perguruan tinggi sekaligus. Namun pilihannya jatuh pada jurusan Manajemen di
Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai kampusnya.
Pemahaman Baru
Tak sampai disitu perjuangan Elang. Setelah mencoba berbagai profesi, kini ia kembali
menjajal peruntungan sebagai sales. Pilihannya kali ini adalah menjadi sales LCD dan
distributor lampu. Saat itu Elang genap duduk di semester tiga perguruan tinggi.
Namun karena bisnis tersebut bersifat musiman, Elang kemudian beralih lagi ke usaha
minyak goreng, ia memanfaatkan selisih harga yang didapat dari agen. Saat itu ia harus
menjalani segala sesuatunya sendirian, mulai dari pemasaran, keuangan, sampai
mendistribusikan dagangannya tersebut. Belum lagi kegiatan kuliah yang tentu cukup
menyita tenaga dan pikirannya. “Pernah suatu kali karena kelelahan, Saya sampai
tertidur sewaktu jam belajar di kampus.” kenang Elang. Setelah itu, baru lah ia
menyadari bahwa alangkah lebih baik apabila bekerja menggunakan otak daripada
otot.
Mengapakkan Sayap
Selain semangat wirausaha yang tinggi, pendekatan religinya juga sangat baik. Sering
ia menghabiskan malamnya untuk beribadah sekaligus dijadikan ajang instropeksi diri.
Inspirasi pun datang setelah ia melakukan rutinitas kegiatan ibadah malam hari. Elang
bermimpi melihat bangunan megah di Manhattan City. DI dalam mimpinya tersebut, Ia
tertegun hingga akhirnya bertanya kepada seseorang, “Siapa yang membuat bangunan
itu?” Si orang tersebut justru berbalik tanya kepada Elang, “Bukankah dirimu yang
membuatnya?”.
Dari mimpi tersebut, Elang kemudian mulai menekuni bisnis properti. Proyek
pertamanya ia menangkan melalui tender dengan pinjaman yang diperoleh dari bank.
Haru biru juga sempat ia rasakan saat menggeluti bisnis ini. Salah satu ujian mentalnya
adalah saat ia harus menanggung rugi sekitar Rp. 8.000.000,- per bulan selama dua
tahun yang disebabkan oleh gagal manajemen proyek.
Haru biru juga sempat ia rasakan saat menggeluti bisnis ini. Salah satu ujian mentalnya
adalah saat ia harus menanggung rugi sekitar Rp. 8.000.000,- per bulan selama dua
tahun yang disebabkan oleh gagal manajemen proyek. Belum lagi ketika ia gagal
mendapatkan modal karena si calon investor meninggal dunia tepat dua hari sebelum
penandatanganan kontrak dengannya. “Segala sesuatu pasti melalui proses, dan yang
terpenting adalah komitmen serta kecintaan terhadap proses tersebut.” ujar Elang.
Dari berbagai pengalaman tersebut, titik cerah pun kembali menghampiri Elang,
terlebih kepercayaan berbagai pihak terhadap kredibilitas kerjanya. Hingga akhirnya di
penghujung tahun 2009 ia bersama perusahaannya – Elang Group telah membangun 7
lokasi perumahan di daerah Bogor. Keistimewaannya adalah perumahan tersebut ia
prioritaskan bagi masyarakat kalangan kelas ekonomi menengah kebawah. Dapat
dilihat dari cicilan bulanan yang hanya Rp. 89.000,- per bulan dengan minimum
pendapatan Rp. 1.000.000,-. “Nilai sosial, ibadah, dan bisnis sepatutnya saling
berkaitan, dan Saya merasa bersyukur dapat melakukan hal tersebut.” cerita Elang.
Pada tahun 2010, Elang menyelesaikan 10.000 rumah sehat sederhana di wilayah
Bogor. Tujuannya adalah agar 70 juta rakyat kecil di Indonesia yang belum memiliki
rumah bisa mendapatkan rumah layak huni. Elang begitu gemilang..
Velly merupakan seorang perempuan tangguh yang tak kenal menyerah. Ia dan sang
suami, Gatut Cahyadi, rela mengorbankan karir mapannya demi masa depan yang
lebih baik. Semangatnya seperti api yang selalu menyala-nyala. Ia sempat jatuh bangun
saat mulai merintis berbagai jenis usaha sebelum akhirnya menemukan merek dagang
jenis F & B kebanggaannya ini. “Saya sudah mulai berbisnis pada tahun 2002. Bisnis
pertama saya adalah Pondok Sayur Asem, sebuah rumah makan sunda yang terletak
di Pekayon, Bekasi. Pada waktu yang sama, sebenarnya saya masih bekerja di sebuah
kantor advertising. Dua tahun kemudian, suami yang bekerja di sebuah perusahaan
Jepang datang membujuk saya untuk benar-benar terjun bebas ke dunia bisnis. “Saya
mengabulkan permintaannya, dan membangun sendiri sebuah perusahaan advertising.
Saya juga sempat menjalankan bisnis di bidang IT dan kerajinan tangan. Segala
macem bisnis lah saya jalanin. Tapi ternyata semua berjalan tidak semanis apa yang
kita bayangkan. Sampai akhirnySa aya mengalami krisis keuangan di tahun 2006.
Punya duit tinggal sedikit. Karena takut hilang, duit yang tinggal sedikit itu akhirnya
saya investasikan. Ternyata diinvestasikan malah hilang beneran. Jadi yang bener itu,
ya kita engga usah takut apa-apa (tertawa). Yang penting semangat harus terus kita
jaga,” papar wanita lulusan tahun 1993 Sastra Belanda Universitas Indonesia
tersebut.
Setelah itu Velly tidak lantas putus asa atas semua kegagalan yang ia alami.
Sebaliknya, kegagalan tersebut malah menjadikannya semakin kreatif. Berbagai
analisa ia lakukan guna menghindari kesalahan masa lalu. Hingga akhirnya terpikir
oleh Velly untuk merubah konsep Pondok Sayur Asem menjadi konsep kedai makanan
lain yang lebih menjual. “Saat krisis itu, Saya sempat kebingungan juga untuk bangkit
dari keadaan. Kami sudah tidak punya apa-apa. Aset kami hanya tinggal Pondok Sayur
Asem. Itu pun kondisinya sudah sangat memprihatinkan, bisa dibilang tidak
menghasilkan lah. Sementara kontrak propertinya masih sisa 1 tahun lagi. “Kondisi
tertekan seperti itu yang akhirnya memaksa kami untuk berpikir lebih keras agar bisa
bangkit dari krisis,” kenang Velly.
Berbeda dengan konsep sebelumnya, kali ini Velly berpikir untuk membuat kedai yang
membidik anak muda. Ia baru menyadari bahwa konsep Pondok Sayur Asem yang ia
usung sebelumnya tidak tepat. “Masyarakat saat ini sudah sangat mobile. Mereka
membutuhkan sajian yang serba cepat sebab mungkin waktu mereka sangat terbatas.
Sementara Pondok Sayur Asem menggunakan bahan baku yang serba fresh from the
oven. Saya ingin buat sesuatu yang bisa dimakan setiap saat,” ujar wanita asal
Bandung tersebut.
Velly pun sempat melancarkan riset kecil-kecilan untuk menentukan jenis makanan
apa yang hendak ia jual. Proses riset mengerucut setelah ia mendapatkan ide untuk
menjual burger. Menurutnya makan burger adalah tren anak muda saat ini. Alhasil ide
untuk menjual burger tersebut membawanya untuk menyelami berbagai resep burger
dari seluruh dunia. “Padahal saya tidak punya pengalaman bekerja atau sekolah chef.
Saya hanya belajar otodidak dari buku-buku resep burger. Saking banyaknya resep
yang saya pelajari, buku resep burger yang sudah terkumpul pun menjadi tidak
berguna. Saya buat sendiri burger versi saya. Versi lidah orang Indonesia,” ungkap
Velly yang ditemui Glow Up di Kantornya, PT. Kinarya Anak Negeri, Jln. RC.
Veteran No. 21, Jakara Selatan.
Setelah berhasil membuat sendiri resep burger yang selalu disebutnya sebagai burger
khas orang Indonesia tersebut, Velly kemudian melakukan test sampling untuk
mengetahui respon orang lain terhadap burgernya. Test sampling tersebut ia lakukan
kepada beberapa orang sahabatnya. ”Ada salah seorang temen saya yang sama sekali
tidak suka burger. Namun setelah memakan burger kreasi saya, dia langsung suka.
Padahal, sebelumnya ia paling tidak bisa makan burger lho,” ungkap Ibu cantik yang
gemar membaca Al-qur’an tersebut. Sejak saat itulah, dengan modal pinjaman dari
mantan bos, Velly kemudian putar haluan dari bisnis rumah makan Sunda kemudian
beralih ke sebuah bisnis kedai burger yang ia beri label Klenger Burger.
Rahasia kenikmatan burger kreasi Velly sebenarnya terletak pada bahan dasar yang
digunakan untuk membuat beef patty. Velly menggunakan jenis daging yang
teksturnya lebih berurat sehingga rasanya lebih kenyal saat dikunyah. Selain itu, saus
yang digunakan juga merupakan asli kreasi Velly yang diberi nama Klenger Mix.
Alhasil didapatlah Burger mengenyangkan bercita rasa gurih dan spicy.
Pada tahun yang sama setelah Grand Opening tanggal 10 Februari 2006, ternyata Velly
sudah bisa meraih kepercayaan para franchisee hingga ia mampu mencabangkannya
sebanyak 38 outlet. ”Padahal izin kami hanya SIUP Perorangan waktu itu. Surprise
banget buat Saya,” lanjut Velly.
Berkembang Pesat
Velly kini tersenyum manis. Walaupun ia mengaku sempat mengalami pencurian hak
paten Klenger Burger di tahun 2008, tetap saja hal tersebut tak berhasil membendung
perkembangan usahanya. Sebab hingga Februari 2010 , tak kurang dari 68 outlet sudah
terdaftar dalam outlet list PT. Kinarya Anak Negeri. Apa rahasia di balik kesuksesan
Velly bersama Klenger Burger? Terlihat dari semua yang ia lakukan, telah dapat
disimpulkan bahwa kuncinya adalah orisinalitas. Tidak menjadi yang pertama adalah
bukan kesalahan, namun bagaimana kita menyesuaikan diri sebagai bukan yang
pertama hingga menjadi yang terbaik adalah kewajiban seorang pengusaha, itulah yang
dilakukan Velly.
Glowers tentu bertanya-tanya, berapa investasi yang diperlukan untuk memiliki salah
satu outlet asuhan PT. Kinarya Anak Negeri? Investasi outlet yang paling terjangkau
adalah Burins. Investasinya hanya membutuhkan biaya ± Rp 15.000.000. Velly berani
memprediksi setiap chiller Burger Instan yang saat ini sudah tersebar di jaringan
Circle K dan Alfa Express di Jabodetabek dapat menjual 40 buah burger setiap
harinya dengan harga rata-rata per burger Rp 12.500. Beban-bebannya sebesarnya
80%, itu berarti Glowers bisa mengantongi Rp 2.950.000 setiap bulannya. Investasi
yang cocok untuk anak muda!
Bagi Glowers yang memiliki modal lebih besar, tidak ada salahnya untuk mencoba
berinvestasi pada jenis outlet Foodteran atau KFG. Investasi yang dibutuhkan yaitu
sebesar ± Rp 200.000.000 untuk outlet Foodteran yang rata-rata memiliki penjualan
bulanan sebesar Rp 90.000.000 dan ± Rp 500.000.000 untuk outlet KFG dengan rata-
rata penjualan bulanan sebesar Rp 150.000.000. Keduanya memiliki margin yang sama
sebesar 20% dari total omzet per bulan. Glowers pilih yang mana?
Prestasi Sekolah : Selalu menjadi juara kelas sejak SD hingga SMA, NEM SMP
peringkat no.1 se-Solo dan no.6 se-jawa, NEM SMA peringkat no.2 se-Solo dan no. 11
Nasional
Dari sinilah awalmula lahirnya Duta Business School, saat Febrian memulai usahanya
lagi dari nol, membuat perusahaan baru, bekerjasama dengan adiknya Randu Sekti W,
besrta rekan-rekannya Andhika H.P., Margono, Satriyo B.P. Adhi, dan Dani Purnama.
Kegigihan itulah yang membawanya hingga menjabat sebagai Presiden Direktur di PT.
DFI.
Mengingat usaha yang dikelolanya ini semakin berkembang, dengan jumlah member
yang telah mencapai angka lebih dari satu juta, menuntut Febrian untuk terus
memperbaiki sistem dan pelayanan secara intensif.
Menurutnya masih ada beberapa sistem yang mesti dibenahi, agar pelayanan yang
diberikan lebih baik dan memuaskan pelanggan. Misalnya sistem, website, produk,
maupun contents dan server. Bahkan, bapak dari satu anak ini tidak ragu mengeluarkan
uang milyaran rupiah untuk keperluan upgrade server.
Dengan kegiatan yang cukup padat, Febrian tetap menyisihkan waktunya untuk
berkumpul bersama keluarga, karena baginya keluarga tetap yang utama.
Niat teguhnya untuk mencapai kesuksesan ini, didasari oleh janjinya yang pernah
terucap sewaktu kecil kepada ibunya untuk menjadi orang terkaya di Solo. Semoga!
(Diceritakan kembali dari Majalah Go Freedom Edisi April 2009 Hal 13
Jakarta - Makanan lokal kadang kala tak terlalu banyak dilirik oleh banyak orang
sebagai potensi bisnis yang menggiurkan. Namun lain halnya dengan Firmansyah
Budi, pendiri Tela Krezz ini, yang sudah sejak tahun 2006 memulai bisnis kemitraan
makanan olahan singkong atau ketela (cassava) Tela Krezz (singkong goreng
berbumbu).
Kisah Firmansyah membangun bisnis makanan olahan singkong dengan bendera Tela
Krezz berawal hanya dari satu grobak pinjaman ibu-nya dengan modal awal Rp
200.000. Dari situ ia mulai memiliki keyakinan bahwa bisnis makanan olahan dari
singkong sangat berprospek.
Menurutnya, sangat malu sekali jika Indonesia masih terus mengimpor bahan baku
pangan yang memang tak bisa berkembang baik di Indonesia seperti gandum. Saat ini
kata dia, Indonesia termasuk negara penghasil singkong terbesar ketiga di dunia
dibawah Brazil.
Keyakinannya akhirnya terjawab, sekarang ini ia sudah memiliki ratusan mitra Tela
Krezz dengan omset yang menggiurkan. Firmansyah terinspirasi mengangkat pangan
singkong menjadi makanan olahan karena saat ini pasar pangan dalam negeri sudah
dibanjiri produk pangan impor seperti kedelai, tepung gandum, jagung, dan masih
banyak lainnya.
"Ini berawal dari keprihatinan saya, sekarang ini bahan baku makanan semuanya
gandum, yang impor. Kenapa tak pakai content lokal," kata Firmansyah kepada
detikFinance, akhir pekan lalu.
Firmansyah yang lulusan Sarjana Hukum ini, awalnya tak langsung menceburkan diri
ke ranah bisnis. Semenjak lulus kuliah 2004, ia masuk LSM bidang pembangunan
komunitas (community development), dari situlah matanya terbelalak soal banyaknya
kasus bermasalah TKI diluar negeri yang harusnya bisa dicegah jika ada lapangan
kerja di dalam negeri.
"Saya mimpinya kedepan, orang bisa aware dengan produk lokal kita, kalau tidak
maka kita akan tergusur," katanya.
Menurut pria kelahiran Semarang, 5 Desember 1981 ini, mengolah makanan seperti
singkong yang sudah terlanjur dipandang sebagai makanan 'ndeso' memang perlu
upaya keras. Konsep makanan Tela ia kembangkan dengan membuat makanan
singkong lebih moderen dan menarik.
"Kenapa saya tak mau disebut sebagai brownies, saya ingin dengan nama tela cake.
Jadi kalau kita bisa olah dengan moderen dan dinamis, kita bisa ubah mindset makanan
wong ndeso ini jadi moderen. Harus diubah mindsetnya, makanan itu kan karena
kebiasaan," jelasnya.
Ia mengaku saat ini mampu menjual 1000-1500 paket Tela Cake. Harga satu paket
Tela Cake dibandrol hingga Rp 28.000, tentunya sudah terbayang berapa omset dari
Firmansyah dari hanya menjual brownies ala singkong tersebut. Ini belum dihitung
dari produk Tela Krezz-nya yang lebih dahulu ia kembangkan.
Masih seputar pangan lokal, upaya Firmansyah tak cukup disitu. Pada tahun 2009 ia
juga mengembangkan produk olahan cocoa atau kakao menjadi makanan coklat yang
lezat dan menarik. Kali ini, Firmansyah membentuk divisi khusus di Tela Corporation
yang menjadi bendera resmi usahanya.
"Mulai 2009 saya juga membuat produk coklat roso (cokro), yang juga berkonsep
makanan oleh-oleh Jogjakarta," jelasnya.
Jika pun ada, produk coklat olahan di pasar Indonesia berasal dari impor dan bermerek
asing. Ia berharap coklat buatannya bisa menjadi pilihan pasar dan bisa mematahkan
dominasi produk coklat asing di pasar Indonesia.
Sehingga kata dia, dengan pemberdayaan pangan lokal serapan tenaga kerja lokal
semakin tinggi misalnya jika singkong dikembangkan maka berapa banyak petani yang
bisa hidup, berapa banyak kuli panggul yang bekerja, berapa banyak pekerja pemotong
singkong yang terserap dan lain-lain. Meskipun dengan idealisme yang tinggi,
Firmansyah tak gigit jari, usahanya yang dirintis sejak 2006 sudah membuahkan hasil
yang fantastis.
"Kalau dihitung-hitung omset saya sampai ratusan juta per bulan. Setahun bisa sampai
Rp 10 miliar lebih," katanya.
Firmansyah Budi
Bisnis tersebut saya jalankan dengan jatuh bangun. Dari awalnya yang sangat sepi
peminat - hanya 2 orang - sampai akhirnya peminatnya membludak hingga Primagama
dapat membuka cabang di ratusan kota di penjuru tanah air, dan menjadi lembaga
bimbingan belajar terbesar di Indonesia.
Bukan suatu kebetulan jika pengusaha sukses identik dengan kenekatan mereka untuk
berhenti sekolah atau kuliah. Seorang pengusaha sukses tidak ditentukan gelar sama
sekali. Inilah yang dipercaya Purdi ketika baru membangun usahanya.
Kuliah di 4 jurusan yang berbeda, Psikologi, Elektro, Sastra Inggris dan Farmasi di
Universitas Gajah Mada (UGM) dan IKIP Yogya membuktikan kecemerlangan otak
Purdi. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang
menurutnya membosankan. Ia yakin, gagal meraih gelar sarjana bukan berarti gagal
meraih cita-cita. Purdi muda yang penuh cita–cita dan idealisme ini pun nekad
meninggalkan bangku kuliah dan mulai serius untuk berbisnis.
Sejak saat itu Purdi mulai menajamkan intuisi bisnisnya. Dia melihat tingginya
antusiasme siswa SMA yang ingin masuk perguruan tinggi negeri yang punya nama,
seperti UGM. Ini merupakan peluang bisnis yang cukup potensial, bagaimana jika
mereka dibantu untuk memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, pikirnya
waktu itu. Purdi lalu mendapatkan ide untuk mendirikan bimbingan belajar yang diberi
nama, Primagama.
“Saya mulai usaha sejak tahun 1982. Mungkin karena nggak selesai kuliah itu yang
memotivasi saya menjadi pengusaha,” kisah Purdi. Lalu, dengan modal hasil melego
motornya seharga 300 ribu rupiah, ia mendirikan Bimbel Primagama dengan menyewa
tempat kecil dan disekat menjadi dua. Muridnya hanya 2 orang. Itu pun tetangga.
Biaya les cuma 50 ribu untuk dua bulan. Kalau tidak ada les maka uangnya bisa
dikembalikan.
Segala upaya dilakukan Purdi untuk membangun usahanya. Dua tahun setelah itu
nama Primagama mulai dikenal. Muridnya bertambah banyak dan semakin banyak
saja. Setelah sukses, banyak yang meniru nama Primagama. Purdi pun berinovasi
untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya ini. “Sebenarnya yang bikin
Primagama maju itu setelah ada program jaminan diri,” ungkapnya soal rahasia sukses
mengembangkan Bimbel Primagama. Dan berkat kerja keras selama ini Primagama
masih menjadi market leader di bisnis bimbingan belajar dengan lebih dari 700 outlet
di seluruh Indonesia.
Ciliandra Fangiono, Triliuner Termuda RI
Jumlah tersebut meningkat pesat dibandingkan tahun lalu yang tercatat US$42 miliar
atau hampir Rp380 triliun.
Pada urutan pertama, pemilik grup Djarum, Budi dan Michael Hartono, tercatat
sebagai orang paling kaya di Indonesia. Total kekayaannya senilai US$11 miliar atau
hampir Rp100 triliun.
Di antara daftar orang terkaya itu terdapat tujuh pendatang baru dengan total kekayaan
lebih dari US$8 miliar atau sekitar Rp72 triliun. Namun, di antara orang terkaya itu,
Ciliandra Fangiono, adalah triliunan termuda. Usianya baru 34 tahun.
Mantan kepala bankir investasi First Resources Ltd, yang mengelola lebih dari 247.000
hektare perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan itu memiliki kekayaan
US$1,1 miliar atau sekitar Rp9,9 triliun.
Dia dan kerabatnya, termasuk saudara laki-lakinya Cik Sigih, yang menjabat wakil
kepala eksekutif, memiliki 85 persen perusahaan pengelola kebun kelapa sawit itu.
First Resources juga tercatat di Bursa Efek Singapura.
Tahun lalu, melalui polesannya, saham perusahaan naik di atas 30 persen seiring
kenaikan harga kelapa sawit. Ayahnya, Martias, adalah pendiri perusahaan itu, tetapi
belum terlibat sejak 2003.
First Resources juga memiliki anak usaha PT Ciliandra Perkasa. Kegiatan utama
Ciliandra Perkasa di bidang usaha penanaman dan pemanenan kelapa sawit.
Perusahaan juga mengolah buah menjadi minyak sawit mentah serta inti sawit untuk
penjualan lokal dan ekspor.
Bapak dari dua anak itu dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia berada di peringkat
ke-20. Peringkat Ciliandra turun dibanding tahun lalu di posisi ke-18. Namun, dari
nilai kekayaan, pundi-pundi harta Ciliandra melesat dibanding 2009 sekitar US$710
juta atau setara Rp6,4 triliun.
Kekayaan Ciliandra mengalahkan sejumlah konglomerat papan atas lainnya yang lebih
senior seperti pendiri Grup Lippo, Mochtar Riady (US$730 juta), Ciputra (US$725
juta), dan Prajogo Pangestu (US$455 juta).
• VIVAnews