Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS OBSTETRI

KETUBAN PECAH DINI

Oleh

Oktavina Dwie Fitrandini

Clerksip RS Karsa Husada Batu

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama Istri : Ny. E

Nama Suami : Tn. W

Umur Istri : 30 th

Umur Suami : 35 th

Pendidikan Istri : SMP

Pendidikan Suami : SD

Lama Menikah :12th

Bangsa : Indonesia

Suku : Jawa

Alamat : Pagersari- Batu

ANAMNESIA

 Keluhan Utama : Keluar cairan dari jalan lahir


 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh keluar cairan dari jalan lahir tiba-tiba
mulai pukul 00.00. Cairan keluar terus menerus (merembes). Cairan bening tanpa
disertai darah,tidak berbau. Tidak disertai kenceng-kenceng.Pukul 01.30 pasien dibawa
ke Puskesmas Ngantang . hasil pemeriksaan ket(-), pembukaan 1cm. Kenceng-kenceng
mulai pukul 03.30. Pukul 05.30 pasien dirujuk ke RSKH. Cairan keluar merembes.
Kenceng-kenceng jarang. Demam (-).HPHT 28 oktober 2017, HPL: 4 juli 2018
 Riwayat Penyakit Dahulu : DM (-), HT (-), ISK (-)
 RPSos : Menikah 1x, 12th
 Riw. Paritas :
 Perempuan/aterm/Spt B/ Bidan/2200gr/ 11th
 Hamil ini
 Riw. Menstruasi : Menarche usia 13th, mens teratur, siklus 28 hari
 Riw. KB : Setelah melahirkan anak pertama KB suntik 3bl selama
5th. Dilanjutkan KB pil selama 2th. Dilanjutkan KB suntik 3 bl selama 2th, lalu
berhenti.
 Riw.Imunisasi: lupa
 Riw. ANC: 4x dibidan

PEMERIKSAAN FISIK

KU: cukup
Kesadaran: CM
TD: 120/80mmHg
Nadi: 82x/mnt
RR: 20x/mnt
T.ax: 36,5oC
TB: 148cm
BB: 58cm
LILA: 26cm

S.Generalis

K/L: A(-), I(-), C(-), D(-)


Thorax: S1/S2 tunggal, murmur (-), wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen:
Leopold 1: teraba lunak, kesan bokong, TFU 28cm
Leopold 2: teraba ekstremitas bagian kiri, DJJ 12,11,12
Leopold 3: kepala masuk PAP
Leopold 4: 2/5
Ekstremitas: akral hangat, odema (-)

VT Obstetri

Tampak cairan jernih merembes dari vulva


Posisi cervix ditengah,cukup lunak
Pembukaan 1cm
Eff 25%
Hodge I
Ket (-)
Presentasi kepala
Denominator :belum jelas
Tidak teraba bagian kecil janin atau tali pusat
Hodge I
UPD normal

DIAGNOSIS
G2 P1001 Ab000 UK 38-39 minggu T/H dengan Ketuban Pecah Dini

TATA LAKSANA
1. MRS
2. Injeksi Ceftriaxon 2x1gr (skin test)
3. D5+oksitosin ½ ampul (5 IU)

LAPORAN PERSALINAN

27 Juni 2018

Pukul 13.45

Pembukaan lengkap. Pasien dipimpin unutk mengejan

Pukul 14.00

Partus spontan belakang kepala. Bayi perempuan dengan berat lahir 2200gr dan panjang 48
cm. Lingkar dada 21cm dan lingkar kepala 31cm. Tidak ada kelainan kongenital.

Pukul 14.30

Placenta lahir manual dan lengkap. Kontraksi uterus baik. Perdarahan pervaginam ±200cc.
Perineum intak. Keadaan umum ibu postpartum baik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ketuban pecah dini adalah dimana ketuban pecah sebelum proses persalinan dan usia
gestasi ≥37 minggu. Jika ketuban pecah pada usia kehamilan <37 minggu maka disebut
ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Dyah & I Putu, 2014).

2.2 Etiologi

Dari sekian banyak kasus ketuban pecah dini, penyebab ketuban pecah dini masih tidak
dapat di jelaskan secara pasti (El-Messidi, 2010). Menurut Waters (2009), ketuban pecah dini
disebabkan oleh beberapa faktor resiko, yaitu:

1 Ascending Infection
Pada pemeriksaan kultur bakteri dari saluran genitalia 189 pasien ketuban pecah dini,
30,2% dari pasien memberikan hasil kultur yang positif. berbeda secara bermakna
terhadap kelompok kontrol yang hanya memberikan hasil positif 10,76%. dari
penelitian tersebut disimpulkan bahwa ada hubungan antara ketuban pecah dan infeksi
saluran genitalia.
2 Penaikan Tekanan Pada Rongga Amnion
Gameli dan Polihidramnion dapat meningkatkan tekanan dari dalam. Ketika ada defek
dari membran sepertikurangnya kolagen, elastisitas, tekanan yang tinggi dapat
menyebabkan pecahnya ketuban.
3 Kurang Nutrisi
kekurangan vitamin C dan Tembaga dari Ibu dapat menyebabkan kurangnya elastisitas
dari membran ketuban.
4 Dilatasi Serviks
Trauma atau operasi pada serviks dapat menyebabkan masuknya ujung dari ketuban,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan tekanan pada ujung yang masuk dan yang tidak
masuk berbeda (Li, 2013).

2.3 Epidemiologi

Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm dan pada kehamilan
midt trimester. Insiden KPD terjadi 10-12% pada semua kehamilan. Dalam istilah kehamilan
insiden bervariasi dari 6 hingga 19%, sedangkan di prematur kehamilan kejadian 6-8%. Insiden
KPD seluruh dunia bervariasi antara 5-10% dan hampir 80% terjadi pada usia kehamilan
(Adeniji et al., 2013; Endale et al., 2016). Dalam keadaan normal, 8-10% dari wanita hamil
akan mengalami KPD dan hanya 1% terjadi pada kehamilan prematur. Prevalensi prematur
KPD di dunia adalah 3-4,5% kehamilan, dan adalah penyumbang persalinan prematur 6-40%
atau prematur. Di Cina insiden KPD lebih tinggi, sekitar 19.53% dari semua kehamilan (Yu,
2015), sementara di Indonesia itu berkisar dari 4,5% untuk 7.6% (Wiradarma et al., 2013).

2.4 Patofisiologi

Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput ketuban
karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini dipengaruhi oleh
keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput
ketuban.
Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah
jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas kolagenolitik.
Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks metaloproteinase (MMP). MMP
merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah komponen-komponen matriks ektraseluler.
Enzim tersebut diproduksi dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada
pembelahan triple helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh
MMP-2 dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga
diproduksi penghambat metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-
1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-
2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1 (Garite, 2014).
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh karena
aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi. Saat mendekati
persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan kadar MMP yang meningkat
dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan menyebabkan terjadinya degradasi matriks
ektraseluler selaput ketuban. Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan
degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada
kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan kadar
protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang rendah.
Beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan ketuban pecah dini adalag
1. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme. Beberapa flora
vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus dan Trikomonas vaginalis
mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya degradasi membran dan akhirnya
melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan
merangsang produksi sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag.
Interleukin-1 dan tumor nekrosis faktor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan
aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga
merangsang produksi prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan
ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi kolagen
membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan
prekursor prostalglandin dari membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi juga
menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang
diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II yang
berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi prostalglandin. Sampai saat ini hubungan
langsung antara produksi prostalglandin dan ketuban pecah dini belum diketahui, namun
prostaglandin terutama E2 dan F2α telah dikenal sebagai mediator dalam persalinan mamalia
dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-33. Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat
ditelusuri metode skrining klasik, yaitu temperatur rektal ibu dimana dikatakan positif jika
temperatur rektal lebih 38°C, peningkatan denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit,
peningkatan leukosit dan cairan vaginal berbau (Garite, 2014).
2. Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler pada
jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan
MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci percobaan.
Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan produksi kolagenase pada
babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein
hormon relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat diproduksi secara lokal
oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek
inhibisi oleh progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9
dalam membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput
ketuban manusia saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis pecahnya
selaput ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan (Garite, 2014).
3. Kematian Sel Terprogram
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel
terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput ketuban. Pada
korioamnionitis terlihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit, yang
menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian sel yang
terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks ekstraseluler dimulai, menunjukkan
bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut. Namun
mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas (Garite, 2014).

4. Peregangan Selaput Ketuban


Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput ketuban seperti
prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang aktivitas MMP-1
pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan korionik bersifat kemotaktik
terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan
terganggunya keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya
menyebabkan pecahnya selaput ketuban.

2.5 Diagnosis

1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti urin
dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah dari
vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak dari jalan lahir.
2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru
pecah, dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas.
 Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan
dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan yang
keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang dinilai adalah
- Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari
serviks. Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari
amnion yang khas juga harus diperhatikan.
- Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diangnosis
KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk
memudahkan melihat pooling
- Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.
Kertas lakmus akan berubah menjadi biru jika PH 7,1 – 7,3. Sekret vagina
ibu memiliki PH 4 – 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi perubahan
warna. Kertas nitrazin ini dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan
dengan darah, semen atau vaginisis trichomiasis.
3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Mikroskopis
Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar
dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks
posterior. Cairan diswab dan dikeringkan diatas gelas objek dan dilihat dengan
mikroskop. Gambaran “ferning” menandakan cairan amnion
 Pemeriksaan AFP
Pemeriksaan alpha – fetoprotein (AFP), konsentrasinya tinggi didalam cairan
amnion tetapi tidak dicairan semen dan urin
 Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisa
 Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit
(Oligohidramnion atau anhidramnion). Oligohidramnion ditambah dengan hasil
anamnesis dapat membantu diagnosis tetapi bukan untuk menegakkan diagnosis
rupturnya membran fetal (Soewarto, 2016).
2.6 Tatalaksana

1. Konservatif :
 Usia gestasi < 32 minggu disarankan dirawat inap jika air ketuban masih keluar.
Tunggu hingga berhenti, berikan steroid, antibiotik; observasi kondisi ibu dan
janin.
 Usia gestasi 32-37 minggu
- Sebelum inpartu : steroid, profilaksis antibiotik, observasi tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin.
- Sudah ada tanda inpartu : berikan sterod, antibiotik, intrapartum profilaksis,
induksi setelah 24 jam.
 Usia gestasi . 37 minggu, evaluasi infeksi, pertimbangkan pemberian antibiotik
jika ketuban pecah sudah lama, terminasi kehamilan (pertimbangkan pemberian
induksi) (Taylor, 2010).
2. Aktif :
 Kehamilan > 37 minggu, induksi oksitosin atau misoprostol 25 𝜇𝑔-50 𝜇𝑔
Invaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda infeksi berikan antibiotik
dosis tinggi dan terminasi. Bila gagal, pertimbangkan SC. Jika pelvic score <5,
lakukan pematangan serviks, kemudian diinduksi. Jika tidak berhasil
pertimbangkan SC. Skor pelvic >5, lakukan induksi persalinan (Taylor, 2010).
3. Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik, terutama pada usia gestasi <37 minggu, dapat mengurangi
resiko terjadinya korioamnionitis, mengurangi jumlah kelahiran bayi dalam 2-7 hari,
dan mengurangi meobiditas neonatus. Salah satu rekomendasi mengenai antibiotik
antepartum, yaitu :
 Ampisilin 1-2 gram IV, setiap 4-6 jam, selama 48 jam.
 Eritromisin 250 mg IV, setiap 6 jam, selama 48 jam.
 Kemudian, lanjutkan dengan terapi oral selama 5 hari, amoksisilin
daneritromisin (4x250mg PO). Pada pasien alergi penisilin,
diberikan terapi tunggal klindamisin 3x60mg PO (Taylor, 2010).
4. Tokolisis
Tidak direkomendasikan pemberian tokolisis pada pasien yang mengalami
ketuban pecah dini diusia gestasi < 37 minggu. Pada beberapa penelitian, pemberian
tokolitik tidak memperpanjang periode laten. Meningkatkan luaran janin, atau
mengurangi morbiditas neonatus. Pemberian tokolisis diusia gestasi ≤ 34 minggu,
berfungsi untuk pematangan paru. Usia gestasi > 34 minggu, tidak perlu lagi untuk
pematangan paru (Taylor, 2010).

2.7 Komplikasi

1. Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut
dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis. Pada
sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami endomyometritis
purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia. Diketahui bahwa
yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan
sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien
yang melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta,, 4%
perlu mendapatkan transfuse darah karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada kasus
terlapor mengenai
kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama (Soewarto, 2016).
2. Komplikasi Janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih awal. Periode
laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan secara umum
bersifat proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh,
pada sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan mengalami
persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang
mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode
laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami
sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, necrotizing enterocolitis,
gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan (Soewarto,
2016).
3. Penatalaksanaan komplikasi
Pengenalan tanda infeksi intrauterin, tatalaksana infeksi intrauterin. Infeksi intrauterin
sering kronik dan asimptomatik sampai melahirkan atau sampai pecah ketuban. Bahkan setelah
melahirkan, kebanyakan wanita yang telah terlihat menderita korioamnionitis dari kultur tidak
memliki gejala lain selain kelahiran preterm: tidak ada demam, tidak ada nyeri perut, tidak ada
leukositosis, maupun takikardia janin. Jadi, mengidentifikasi wanita dengan infeksi intrauterin
adalah sebuah tantangan besar (Soewarto, 2016).
Tempat terbaik untuk mengetahui infeksi adalah cairan amnion. Selain mengandung bakteri,
cairan amnion pada wanita dengan infeksi intrauterin memiliki konsentrasi glukosa tinggi, sel
darah putih lebih banyak, komplemen C3 lebih banyak, dan beberapa sitokin. Mengukur hal di
atas diperlukan amniosentesis, namun belum jelas apakah amniosentesis memperbaiki keluaran
darikehamilan, bahkan pada wanita hamil dengan gejala persalinan prematur. Akan tetapi tidak
layak untuk mengambil cairan amnion secara rutin pada wanita yang tidak dalam proses
melahirkan. Pada awal 1970, penggunaan jangka panjang tetrasiklin, dimulai dari trimester
tengah, terbukti mengurangi frekuensi persalinan preterm pada wanita dengan bakteriuria
asimtomatik maupun tidak. Tetapi penanganan ini menjadi salah karena adanya displasia
tulang dan gigi pada bayi. Pada tahun-tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa
tatalaksana dengan metronidazol dan eritromisin oral dapat secara signifikan mengurangi
insiden persalinan preterm apabila diberlikan secara oral, bukan vaginal. Ada pula penelitian
yang menunjukkan efikasi metronidazol dan ampisilin yang menunda kelahiran, meningkatkan
rerata berat bayi lahir, mengurangi persalinan preterm dan morbiditas neonatal. Sekitar 70-80%
perempuan yang mengalami persalinan prematur tidak melahirkan prematur. Perempuan yang
tidak mengalami perubahan serviks tidak mengalami persalinan prematur sehingga sebaiknya
tidak diberikan tokolisis. Perempuan dengan kehamilan kembar sebaiknya tidak diterapi secara
berbeda dibandingkan kehamilan tunggal, kecuali jika risiko edema paru lebih besar saat
diberikan betamimetik atau magnesium sulfat. Belum ada bukti yang cukup untuk menilai
penggunaan steroid untuk maturitas paru-paru janin dan tokolisis sebelum gestasi 23 minggu
dan setelah 33 6/7 minggu. Amniosentesis dapat dipertimbangkan untuk menilai infeksi intra
amnion (IIA) (insidens sekitar 5-15%) dan maturitas paruparu(khususnya antara 33-35
minggu). IIA dapat diperkirakan berdasarkan status kehamilan dan panjang serviks.
Kortikosteroid (betametason 12 mg IM 2x 24 jam) diberikan kepada perempuan dengan
persalinan prematur sebelumnya pada 24-<34 minggu efektif dalam mencegah sindrom distres
pernapasan, perdarahan intraventrikel, enterokolitis nekrotikans dan mortalitas neonatal
(Taylor, 2010). Satu tahap kortikosteroid ekstra sebaiknya dipertimbangkan jika beberapa
minggu telah berlalu sejak pemberian awal kortikosteroid dan adanya episode baru dari KPD
preterm atau ancaman persalinan prematur pada usia gestasi awal. Satu tahapan tambahan
betametason terdiri dari 2x12 mg selang 24 jam, diterima pada usia gestasi <33 minggu,
minimal 14 hari setelah terapi pertama, yaitu saat usia gestasi <30 minggu, berhubungan
dengan penurunan sindrom distres pernapasan, bantuan ventilasi, penggunaan surfaktan, dan
morbiditas neonatal. Akan tetapi, pemberian kortikosteroid lebih dari dua tahap harus
dihindari. Pemberian magnesium sulfat intravena (dosis awal 6 gram selama 20-30 menit,
diikuti dosis pemeliharaan 2 gram/ jam) pada 24-<32 minggu segera dalam 12 jam sebelum
persalinan prematur berhubungan dengan penurunan insidens serebral palsi secara signifikan.
Tokolitik sebaiknya tidak digunakan tanpa penggunaan yang serentak dengan kortikosteroid
untuk maturasi paru-paru. Semua intervensi lain untuk mencegah persalinan prematur, meliputi
istirahat total, hidrasi, sedasi dan lain-lain tidak menunjukkan keuntungan dalam manajemen
persalinan prematur. Pada neonatus prematur, penundaan klem tali pusar selama 30-60 detik
(maksimal 120 detik) berhubungan dengan angka transfusi untuk anemia, hipotensi, dan
perdarahan intraventrikel yang lebih sedikit dibandingkan dengan klem segera (< 30 detik)
(Taylor, 2010).

2.8 Prognosis

Diagnosis dan tindakan yang tepat dan segera : prognosis baik


Diagnosis dan tindakan yang lambat : prognosis buruk, mortalitas tinggi (Dyah & I Putu, 2014)

DAFTAR PUSTAKA

Adeniji, A.O., Atanda, O.O.A. Interventions and Neonatal Outcomes in Patients with
Premature Rupture of Fetal Membranes at and Beyond 34 weeks Gestational Age at a
Tertiary Health Facility in Nigeria. British Journal of Medicine & Medical Research,
3(4): 1388-1397 (2013).
Alim,Zainal.2016.Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Ketuban Pecah Dini pada Ibu Hamil
Trimester III di Rumah Sakin Bantuan Lawang. Jurnal Hesti Wira Sakti, Volume 4,
Nomor 1, April 2016. hlm. 101-109
Dyah, Permata & I Putu, Gede K. 2014. Kapita Selekta: Ketuban Pecah Dini. Jilid 1 edisi IV.
Jakarta: Media Aesculapius.
Doddy AK, Soesbandoro SDA, Damanik H, Edi PW, Agus T. Ketuban Pecah Dini Dalam
Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan Ginekologi. Rumah Sakit Umum Mataram.
2010: hal 21-22.
Endale, T., Fentahun, N., Gemada, D., Hussen, M.A. Maternal and fetal outcomes in term
premature rupture of membrane. World J Emerg Med, 7(2): 147-152 (2016).
Garite TJ. Prematur Rupture of the Membrans. In: Creasy RK, Resnik R. Iams JD, editors.
Maternal-Fetal Medicine Principle and Practice (5th ed.). USA: W.B. Saunders, 2014
Manuaba IBG. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan
Bidan. Jakarta: EGC; 2000
Oxorn H, Forte W. Human Labor and Birth: Patologi dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta:
YEM, 2010
Sualman. K. 2009. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini. Jakarta: Pustaka Media.
Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. Dalam Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Bagian Ketiga:
Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir. Edisi Keempat. Cetakan
Kelima. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2016. hal 677-682.
Tahir,suriani.2015. Faktor Determinan Ketuban Pecah Dini
Taylor M. Pre-labour rupture of membranes. Dalam : Luesley DM, Baker PN, penyunting.
Obstetrics and gynaecology evidence-based text for MRCOG. Edisi ke-2. London:
Hodder Arnold; 2010. h.309-14
Yu, H., Wang, X., Gao, H., You, Y., Xing, A. Perinatal outcomes of pregnancies complicated
by preterm premature rupture of the membranes before 34 weeks of gestation in tertiary
center in China: A retrospective review. BioScience Trends, 9(1):35-41 (2015) .
Wiradharma dan Kardana. Risiko asfiksia pada ketuban pecah dini di RSUP Sanglah. Sari
Pediatri ;14: 316-9 (2013).
POMR
Initial Planning
Summary of Database Clue and cue Problem list diagnosis Diagnosis Therapy Monitoring Education

Identitas  Wanita, 41th Ketuban pecah G5 P4004 Ab000  DL 1. MRS  Keluhan pasien  Menjelaskan
Istri: Ny. I/ 41th/ IRT/ -Batu  Keluar cairan dini UK 37-38  CTG 2. Injeksi  Reaksi alergi kepada pasien dan
Suami: Tn. N/ dari jalan lahir minggu T/H
46th/Wiraswasta/ Batu  USG Ampicillin 2  Vital sign keluarganya
pukul 12.00 dengan KPD gr IV (skin  VT obs tentang kondisi
 His (-)
3 Juli 2018 13.00 test)  DJJ (CTG) ibu yang
 HPHT: 16
Anamnesis
oktober 2017 3. NS+oksitosin  Kontraksi mengalami
KU: keluar cairan dari jalan
lahir  TP: 23 juli 2018 1 ampul (10  Cairan ketuban ketuban pecah
RPS:  Leopold 1: IU) drip dini, komplikasi,
 Pasien mengeluh keluar teraba lunak, dan prognosisnya
cairan dari jalan lahir tiba- kesan bokong,  Menjelaskan
tiba mulai pukul 12.00. TFU 28cm. pemeriksaan
Cairan berwarna bening Leopold 2:
 Tidak disertai kenceng- penunjang yang
kenceng.
teraba akan dilakukan
 Tidak ada nyeri ekstremitas  Menjelaskan
 HPHT 16 Oktober 2017, bagian kiri, DJJ
tentang tindakan
TP: 23 juli 2018 134 x/menit
RPD: (-) Leopold 3: induksi persalinan
RPK: (-) kepala masuk  Menjelaskan
RPSos: Menikah 1x, 19th PAP terapi yang akan
Riw. Paritas: Leopold 4: 2/5 diberikan
1. Perempuan/Preterm/Spt/  Menjelaskan
Bidan/1500gr/ th.96/ 22 th
 VT Obstetri
2. Lakilaki/aterm/Spt/ Tampak cairan kepada keluarga
3000gr/th.2000/18 th jernih pasien untuk
3. Perempuan/aterm/Spt/ Pembukaan 2 cm membantu
Bidan/3000gr/ th.2005/ 13 Eff 25% mendukung dan
th Ket (-) menenangkan
4. Perempuan/aterm/Spt/
Bidan/3000gr/ th.2011/ 7 pasien agar
th merasa nyaman
5. Kehamilan sekarang  Menjelaskan
Riw. Menstruasi: Menarche kepada pasien dan
usia 14th, haid teratur, siklus
28 hari, lama haid 7 hari keluarganya
Riw. KB: Setelah melahirkan bahwa pasien
anak pertama KB suntik 3bl dalam proses
lalu sempat berhenti lalu persalinan
dilanjutkan Kb pil. lalu
berhenti
Riw. ANC: 1x dibidan

Pemeriksaan Fisik
KU: cukup
Kesadaran: CM
TD: 131/95mmHg
Nadi: 100x/mnt
RR: 20x/mnt
T.ax: 36,4oC
TB: 160cm
BB: 78cm
IMT : 25,3

S.Generalis
K/L: A(-), I(-), C(-), D(-)
Thorax: S1/S2 tunggal, murmur
(-), wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen:
Leopold 1: teraba lunak, kesan
bokong, TFU 31cm
Leopold 2: teraba ekstremitas
bagian kiri, DJJ 134x/menit
Leopold 3: kepala masuk PAP
Leopold 4: 2/5
Ekstremitas: akral hangat,
odema (-)

VT Obstetri
Tampak cairan jernih
Pembukaan 2cm
Eff 25%
Ket (-)
Presentasi kepala
Denominator :belum jelas

Anda mungkin juga menyukai