AP Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-Dr.a
AP Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-Dr.a
Agus Purwadianto
Pendahuluan
Isu etik bukanlah isu medik. Ini merupakan titik pijak awal pembahasan
permasalahan etika klinis. Kegagalan menemukan isu etik dalam kasus konkrit di klinik
seringkali akibat dangkalnya pemahaman tentang etika kedokteran dalam metode
deskriptif yang diajarkan sebelumnya. Pengetahuan etika dalam metode deskriptif
(apalagi dalam bentuk kuliah searah) kurang menerampilkan logika berpikir dalam
menguak aspek etis pasien yang dihadapinya, sehingga seringkali menyebabkan konflik
berkepanjangan. Hal ini sejalan dengan data bahwa klinisi 71% sering terbantu untuk
menemukan isu etik relevan oleh konsultan etik atau ”fatwa” komite etik rumah sakit
sebagai dasar pengelolaan pasiennya atau untuk metode belajar etika kedokteran.4
Padahal dengan latihan dialog berbasis pendekatan sistematik pemikiran klinis etis hal
itu dapat segera selesai.
Isu etik dalam kesejarahannya bersumber dari kaidah dasar moral (disingkat
KDM atau moral principle/principle-based ethics atau ethical guidelines) yang
merupakan acuan tertinggi moralitas manusia atau acuan generalisasi etik yang
menuntun suatu tindakan kemanusiaan.5 Bertolak dari Childress & Beauchamp yang
memaparkan adanya 4 KDM yakni beneficence, non-maleficence, justice dan autonomy
dalam ”buku suci”nya The Principles of Biomedical Ethics (1994). Ke 4 KDM tersebut
kemudian ditinjau melalui etika, secara deduktif, apakah masih merupakan maxim
(kaidah dasar) yang berlaku normatif ketika dokter menghadapi kasus konkrit di klinik.
Hal ini amat mempengaruhi cara pemikiran kritis logis dari etika normatif, salah satu
cabang etika. Beberapa cara meneliti keberlakuan normatif masing-masing KDM
tersebut pada galibnya merupakan upaya meneliti pembenaran moral (moral
justification) tuntunan tindakan tertentu pada kasus etis konkrit tertentu sehingga
tindakan klinisi dipandang sebagai tindakan etis, walaupun dalam suasana ketidak-
pastian medik dan penuh wacana moral yang mewarnai praktek medik. KDM
memberikan bahasa moral dan lingkup kerja analisis etik ditengah pluralitas manusia
seperti perbedaan agama, moral, politik bahkan perspektif filosofis. Inilah kekuatan 4
KDM (principle-based ethics) dalam memberi pegangan pembenaran moral
dokter/tenaga kesehatan yang bergerak dalam lapangan biomedik6.
Tindakan etis disini begitu kuatnya berakar sehingga dalam pandangan
etikolegal, tindakan tersebut merupakan lingkup atau rangkaian pola tindakan preskriptif
hukum. Tindakan etis sekaligus dasar dari tindakan hukum inilah pada kasus klinis akan
mewarnai pilihan konkrit kebebasan profesi yang dapat dibenarkan secara moral dan
dengan landasan bahasa ilmu mekanika kuantum dan termodinamika nirpulih serta teori informasi yang bertumpu
kepada hukum-hukum infomedik. Disini didalilkan bahwa penyakit manusia dapat diakibatkan oleh hasil interaksi
program yang melibatkan informasi dengan faal tubuh (pesan bio-aktif); saling pengaruh sadar atau tidak sadar
suatu determinan-sebab-kodeterminan-prevalensi-sebab-hasil; antara fisik dan psikis/faktor sosial (pesan psiko-
aktif/sosio-aktif); serta tekanan selektif alam (lingkup kesatuan kawasan tubuh, biosfer) - tekanan selektif budaya
(lingkup kesatuan kawasan jiwa, noosphere) dalam bentuk pesan tekno-aktif. Lihat pula Laurence Foss, ibid, hal.
hal. 298 – 301
4
LaPuma J, Stocking CB, Silverstein MD et al. An Ethics Consultation Service in a Teaching Hospital.
JAMA 1988; 206 : 808 – 811, yang dikutip Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for
Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore, USA, 1995, hal. 155.
5
Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore, USA,
1995, hal. 19
6
Gillon R. Medical Ethics : Four principles plus attention to scope. British Med. Journal No. 309, 1994,
hal. 184-188.
doktrin hukum dalam bentuk kewajiban etis (moral duty), sehingga dengan sendirinya
sulit atau tidak mungkin dokter/rumah sakit dijatuhi sanksi, baik etik, disiplin maupun
hukum.
Pada kasus klinis konkrit, isu etis seringkali sudah nampak jelas pada saat
mahasiswa memahami sekilas namun cukup sistematik (proses ”insight” kasus) karena
adanya satu KDM yang dominan atau khas. ”Insight” diperoleh dari pilihan ”sambil lalu” :
mana diantara 1 KDM yang paling menonjol tanpa analisis mendalam atau repot-repot
yang mewarnai isu etis kasus tersebut. 7 Misalnya adakah isu etis atau masalah otonomi
pasien, yang bermanifestasi pada kasus seperti : perlunya informed consent,
dipertahankannya rahasia pasien, keputusan terapi yang dibuat oleh remaja yang sakit
dll. Dalam konteks kasus tersebut, jelas bahwa isu etisnya diturunkan secara sederhana
dari keberlakuan normatif KDM yang paling relevan (hanya satu-satunya) yakni :
otonomi. Keberlakuan KDM otonomi sebagai isu etis disini adalah absolut atau sebagai
kebenaran yang tetap (fixed truth) yang membingkai ethical guidelines8 pada kasus
tersebut.
Ketegaran Moral.
Namun tak jarang, pada satu kasus klinis terdapat saling pengaruh
mempengaruhi lebih dari 1 KDM. ”Tabrakan” antar KDM dalam metode principle-based
ethics di satu sisi akan membingungkan para mahasiswa dalam tatanan klinik 12, mana
KDM yang ”harus dimenangkan”. Namun di sisi lain bila ada kelompok mahasiswa lain
yang menyanggah dengan KDM lain, justru akan memperkaya kemampuan kritis logis
karena atas dasar KDM beneficence misalnya, mahasiswa akan serta merta mampu
berargumen logis terhadap mahasiswa atau pihak lain (termasuk fasilitator atau nara
sumber senior sekalipun) yang mendasarkan diri pada argumen KDM autonomy.
Dalam proses identifikasi KDM mana yang paling relevan atas kasus konkrit
tertentu, ”tabrakan antar KDM” tadi demikian kentalnya sehingga tetap sulit diyakinkan
mana KDM yang paling dominan. Kasus yang memuat ”tabrakan antar KDM” ini hingga
ke tingkat analisis mendalam, yang (tinggal) memunculkan ”2 dari 4 KDM” yang
konteksnya secara nalar terkuat (artinya 2 KDM tersebut memiliki ketegaran moral yang
kuat, sedangkan 2 KDM lainnya ”tereliminasi” sementara), inilah yang memunculkan
suatu dilema etik. Pada kasus dilema atau simalakama etik ini bila dilakukan suatu
upaya diskusi yang kontinu dan makin mendalam, akan makin mengasyikkan karena
mahasiswa atau dokter akan berupaya mencari tambahan data baru yang berkaitan
dengan 3 konteks kasusnya (misalnya dengan menggali lagi 3 komponen non-medis
Jonsen & Siegler tersebut di atas).13
Maka tak jarang mereka akan lebih teliti dan ingin tahu lagi untuk melakukan
anamnesis baru (re-anamnesis) pasiennya atau keluarganya, sambil menunggu
terkumpulnya data medik baru (indikasi medik baru/yang lebih tepat, bila ada). Alhasil
siapa yang mampu mengumpulkan basis bukti data baru terbanyak dan relevan
(kontekstual), akan lebih berpeluang memilih satu di antara 2 KDM yang saling
bersitegang tersebut. Dialog antar 2 kubu yang saling mempertahankan KDM paling
absah disini merupakan proses terpenting permusyawaratan etis yang kelak merupakan
prosedur amat penting dalam keputusan klinis. Dengan begitu, jelas sekali disini bahwa
12
Tata-letak klinik disini adalah situasi yang dijadikan latar belakang pembelajaran adalah suasana klinik
(dimana ada hubungan dokter – pasien di sarana kesehatan tertentu). Tata-letak klinik dapat pula dan justru
harus dilakukan, pada mahasiswa tahun pertama akademik, tanpa harus menunggu tingkat klinik (early
clinical exposure method).
13
Hal ini akan sejalan dengan metode PBL (problem based learning) yang kini popular sebagai “roh”
pendidikan kedokteran di dunia. Artinya, pendalaman prinsip prima facie pada principle based ethics, sama
seperti metode pembelajaran lainnya apapun, tidak akan berarti apa-apa pada mahasiswa yang pasif dan
kurang bernalar.
dialog antar klinisi bukan hanya berorientasi pada hasil upaya mediknya belaka, tetapi
lebih pada proses.
Hal ini akan memberi ”perintah tanpa sadar” bagi mahasiswa/dokter untuk
mengobservasi ”sisi non medik” (dalam hal ini jadi sisi etis) pasiennya setiap saat ia
melakukan asesmen klinis. Pemilihan 1 KDM ter-”absah” sesuai konteksnya
berdasarkan data atau situasi konkrit terabsah inilah yang disebut pemilihan
berdasarkan asas prima facie. Dua KDM yang dilematis tadi tetap berlaku, sampai yang
paling mutakhir ada ”novum” (bukti/konteks absah terbaru) yang menggeser KDM
tersisih, dengan memunculkan KDM yang lebih unggul. Jadi disini, prima facie mirip
seperti ”troef card” pada permainan kartu bridge, dimana kartu bernominal kecil,
sepanjang telah ditetapkan sebagai ”troef”, senantiasa dimenangkan dibandingkan
dengan kartu As warna lain yang bukan ”troef” pada permainan saat itu.
Dengan prinsip prima facie, dialog klinisi (yang diperankan mahasiswa) tentang
dimensi etik pasiennya lebih mengemuka untuk memecahkan masalah etik klinis
ditengah berkecamuknya perspektif moral yang saling bertentangan satu sama lain atau
minimal tidak sejalan.14 Prinsip prima facie secara langsung atau tidak langsung akan
merangsang mahasiswa untuk belajar aktif (senantiasa mencari konteks terbaru yang
terabsah) dan komprehensif (tidak melulu ilmu kedokteran) khususnya dalam
mempermahir penerapan kedokteran sebagai ”seni” kelak setelah ia menghadapi pasien
sesungguhnya.
14
Adanya pemilihan isu etik ini akan sejalan dengan proses open inquiry (pada metode self directed
learning) yang amat bagus diterapkan sejak dini pada mahasiswa tingkat premedik atau preklinik. Isu open
inquiry ini sama relevannya ketika metode principle-based ethics ini diberlakukan pada mahasiswa tingkat
klinik, yakni memperkuat kemampuan problem solving mereka. Bila pelaksanaan pembelajaran etika
kedokteran ini terus menyambung dalam bentuk kontinuum, maka diharapkan mereka akan mahir
menyelesaikan kasus etika kedokteran.
The patient’s contexts for prima facie’s choice
(Agus Purwadianto, 2004)
Beneficence Autonomy
Non Justice
Time maleficence
Vu ln er ab les,
> 1 p er so n , o th er s
em er g en cy, lif e
sim ilar i ty, co m m u n ity /
sav in g , m in o r
so cial ’s r ig h ts
Dalam konteks beneficence, pada tabel di atas prinsip prima facienya adalah sesuatu yang
(berubah menjadi atau dalam keadaan) g umum. Artinya ketika kondisi pasien merupakan
kondisi yang wajar dan berlaku pada banyak pasien lainnya, sehingga dokter akan
melakukan yang terbaik untuk kepentingan pasien. Juga dalam hal ini dokter telah
melakukan kalkulasi dimana kebaikan yang akan dialami pasiennya akan lebih banyak
dibandingkan dengan kerugiannya.
Dalam konteks non maleficence, prinsip prima-facienya adalah ketika pasien (berubah
menjadi atau dalam keadaan) gawat darurat dimana diperlukan suatu intervensi medik
dalam rangka penyelamatan nyawanya. Dapat pula dalam konteks ketika menghadapi
pasien yang rentan, mudah dimarjinalisasikan dan berasal dari kelompok anak-anak atau
orang uzur ataupun juga kelompok perempuan (dalam konteks isu jender).
Dalam konteks autonomy, nampak prima facie disini muncul (berubah menjadi atau
dalam keadaan) pada sosok pasien yang berpendidikan, pencari nafkah, dewasa dan
berkepribadian matang.
Sementara justice nampak prima facienya pada (berubah menjadi atau dalam keadaan)
konteks membahas hak orang lain se lain diri pasien itu sendiri. Hak orang lain ini
khususnya mereka yang sama atau setara dalam mengalami gangguan kesehatan. di luar
diri pasien, serta membahas hak-hak sosial masyarakat atau komunitas sekitar pasien.
Kesimpulan.
Kepustakaan
Penulis, pendidikan terakhir doktor filsafat, adalah Sekretaris MKEK Pusat IDI, Sekjen
Jaringan Bioetika & Humaniora Kesehatan Indonesia, anggota Komisi Bioetika
Nasional, dan konsultan etikolegal beberapa rumah sakit di Jakarta.