Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 21 MODUL 1 "MANAJEMEN BENCANA "

Kelompok 5

Tutor: drg. Bambang Ristiono, MMR

Ketua: Deana Fricia

Sekretaris Papan: Anita Surya Ananda

Sekretaris Meja : Zakiya Chaleda Zia

Nama Anggota:

Laura Jasanddes Monalisa

Mumtaz Sonia Azmir Sarathul Fitriani

Ummul Aulia

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS ANDALAS
2017

MODUL 1

MANAJEMEN BENCANA

SKENARIO 1

“BENCANA ....UJIAN ATAU HUKUMAN”

Gempa bumin berkekuatan 7,9 SR menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang
banyak di Kota Raja. Drg Resti dan Ali pertugas dari Dinas Kesehatan Propinsi di bagian
penangulangan bencana ikut bergabung dengan tim yang ada di posko penaggulangan
bencana. Tampak kesibukan petugan mengumpulkan data-datakorban yang masuk. Drg Resti
melihat berbagai macam Satuan Tugas seperti SAR, TAGANA, Tim URC,dll. Semua bekerja
dan bergerak begitu cekatan tertib dan teratur dibawah satu komando. Ali menjelaskan bahwa
hal ini terjadi karena sudah disiapkannya mitigasi dan rencana kontijensi bencana disertai
kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dan pusat pelaksanaannya. Semuanya ditata dan
dilaksanakan dalam suatu manajemen bencana yang terpadu dan telah disiapkan sejak lama
mulai dari pra bencana, saat bencana dan pasca bencana.

Bagaimana saudara menjelaskan penanganan manajemen bencana yang tepat?

I. Terminologi
1. Mitigasi : aktivitas atau upaya yang berperan mengurangi korban dalam
bencana,baik upaya secara fisik maupun pembekalan kemampuan menghadapi resiko
2. SAR : tim kegiatan kemanusiaan secara sukarela oleh indivdu yang terlatih
untuk memberikan pertolongan terhadap korban musibah secara cepat,tepat, dan
efisien.
3. Kontijensi : proses manajemen (perencanaan) untuk menganalisa suatu
keadaan dalam menghadapi bencana yang kejadiannya tidak terduga atau
perubahannya cepat.
4. TAGANA : wadah generasi muda di lingkungan masyarakat yang
bergerak dalam bidang sosial terutama dalam menghadapi bencana.
5. Tim URC : tim reaksi cepat untuk menanggulangi bencana sehingga
mengurangi dampak bencana.

II. Identifikasi Masalah


1. Apa saja prinsip dari penanggulangan bencana?
2. Apa saja tahapan penanggulangan bencana?
3. Apa saja hambatan dalam penanggulangan bencana?
4. Apa saja kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana?
5. Apa saja satuan tugas penanggulangan bencana lain?
6. Apa saja kegiatan mitigasi bencana?
7. Apa tujuan dari mitigasi bencana?
8. Apa hubungan mitigasi dan kontijensi?
9. Siapa pihak yang berwenang mengatur mitigasi dan kontijensi?
10. Apa manfaat dari manajemen bencana?

III. Analisa Masalah


1. Prinsip dari penanggulangan bencana diantaranya:
- Koordinasi dan komunikasi
- Pendekatan komprehensif
- Kontrol kebijakan oleh Undang-Undang
- Cepat dan tepat
- Prioritas penyelamatan kemanusiaan

2. Tahapan penanggulangan bencana:

3. Hambatan dalam penanggulangan bencana:


- Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
- Sikap atau perilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya
alam
- Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidak
siapan
- Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya

4. Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana:


- Melakukan pelatihan tanggap bencana alam pada masyarakat
- Membentuk satuan tugas penanggulangan bencana
- Menetapkan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulanagan
bencana
- Memberikan pengenalan ancaman bencana
- Menyusun anggaran untuk penanggulangan bencana massal

5. Satuan tugas penanggulangan bencana lain :


- Satgas reaksi cepat: SAR, pemadam kebakaran, TNI.
- Satgas ruang hidup: unit kebersihan, unit penghijauan

6. Kegiatan mitigasi bencanA:


- Pengenalan dan pemantauan
- Pengembangan budaya bencana
- Pengenalan ancaman bencana
- Pembuatan tanda bahaya
- Pembuatan pendanaan

7. Tujuan dari mitigasi bencana


- Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi
penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi (economy costs)
dan kerusakan sumber daya alam.
- Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan.
- Meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam menghadapi
serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup
dan bekerja dengan aman.

8. Hubungan mitigasi dan kontijensi


Kontijensi berupa rencana analisis yang diimplementasikan dengan mitigasi.

9. Pihak yang berwenang mengatur mitigasi dan kontijensi


- Nasional  BNPB
- Daerah  BNPBD

10. Manfaat dari manajemen bencana


- Mengurangi kerugian
- Untuk mempercepat pemulihan pasca bencana
- Mengembalikan fungsi (rehabisasi)
- Untuk perbandingan
IV. Skema

Gempa 7,9 SR

Kerusakan dan
korban jiwa

Drg. Resty
Tim SAR, Pengumpulan
DINKES TAGANA, data korban
Petugas Ali Tim URC

Kebijakan Mitigasi
Manajemen dan Kontijensi
Bencana Bencana

Pra Bencana Saat Bencana Pasca Bencana


V. Tujuan Pembelajaran / Learning Objectives

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Satuan Tugas Penanggulangan


Bencana
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang mitigasi bencana
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang kontijensi bencana
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kebijakan dan landasan
penanggulangan bencana
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang manajemen bencana

VI. Kumpulan Informasi

1. SATUAN TUGAS PENANGGULANGAN BENCANA

Search and Rescue Unit (SAR)


Sistem SAR di Indonesia diadopsi dari ketentuan yang berlaku bagi seluruh negara yang
menjadi anggota IMO (International Maritime Organization) dan ICAO (International
Civil Aeronautical Organization). Diagram di bawah ini menggambarkan Sistem SAR
yang menjadi acuan kerja Basarnas.

Komponen SAR (SAR components)


Dalam penyelenggaraan operasi SAR, ada 5 komponen SAR yang merupakan bagian dari
sistem SAR yang harus dibangun kemampuannya, agar pelayanan jasa SAR dapat
dilakukan dengan baik. Komponen-komponen tersebut antara lain:
 Organisasi (SAR Organization), merupakan struktur organisasi SAR, meliputi
aspek pengerahan unsur, koordinasi, komando dan pengendalian, kewenangan,
lingkup penugasan dan tanggung jawab penanganan musibah.
 Komunikasi (Communication), sebagai sarana untuk melakukan fungsi deteksi
adanya musibah, fungsi komando dan pengendalian operasi dan koordinasi selama
operasi SAR.
 Fasilitas (SAR Facilities), adalah komponen unsur, peralatan/perlengkapan serta
fasilitas pendukung lainnya yang dapat digunakan dalam operasi/misi SAR.
 Pertolongan Darurat (Emergency Cares), adalah penyediaan peralatan atau fasilitas
perawatan darurat yang bersifat sementara ditempat kejadian, sampai ketempat
penampungan atau tersedianya fasilitas yang memadai.
 Dokumentasi (Documentation), berupa pendataan laporan, analisa serta data
kemampuan operasi SAR guna kepentingan misi SAR yang akan datang.
Tingkatan Keadaan Darurat (Emergency Phases):
a. Uncertainty Phase (Incerfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan dengan adanya keraguan mengenai
keselamatan jiwa seorang karena diketahui kemungkinan mereka dalam
menghadapi kesulitan.
b. Alert Phase (Alerfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan dengan adanya kekhawatiran
mengenai keselamatan jiwa seseorang karena adanya informasi yang jelas bahwa
mereka menghadapi kesulitan yang serius yang mengarah pada kesengsaraan
(distress).
c. Distress Phase (Detresfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan bila bantuan yang cepat sudah
dibutuhkan oleh seseorang yang tertimpa musibah karena telah terjadi ancaman
serius atau keadaan darurat bahaya. Berarti, dalam suatu operasi SAR informasi
musibah bias ditunjukkan tingkat keadaan darurat dan dapat langsung pada tingkat
Detresfa yang banyak terjadi.
Tahap Penyelenggaraan Operasi SAR (SAR Stages)
1. Tahap menyadari (awareness stage)
Adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat diduga akan muncul (saat
disadarinya terjadi keadaan darurat/musibah).
2. Tahap tindak awal (initial action stage)
Adalah tahap seleksi informasi yang diterima, untuk segera dianalisa dan
ditetapkan. Berdasarkan informasi tersebut, maka keadaan darurat saat itu
diklasifikasikan sebagai:
3. Tahap perencanaan (planning stage)
Yaitu saat dilakukan suatu tindakan sebagai tanggapan (respon) terhadap keadaan
sebelumnya, antara lain:
• Search Planning Event (tahap perencanaan pencarian).
• Search Planning Sequence (urutan perencanaan pencarian).
• Degree of Searching Planning (tingkatan perencanaan pencarian).
• Search Planning Computating (perhitungan perencanaan pencarian).
4. Tahap operasi (operation stage)
Detection Mode/Tracking Mode and Evacuation Mode, yaitu seperti dilakukan
operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan korban secara fisik. Tahap
operasi meliputi:
• Fasilitas SAR bergerak ke lokasi kejadian.
• Melakukan pencarian dan mendeteksi tanda-tanda yang ditemui yang
diperkirakan ditinggalkan survivor (Detection Mode).
• Mengikuti jejak atau tanda-tanda yang ditinggalkan survivor (Tracking Mode).
• Menolong/ menyelamatkan dan mengevakuasi korban (Evacuation Mode), dalam
hal ini memberi perawatan gawat darurat pada korban yang membutuhkannya dan
membaw korban yang cedera kepada perawatan yang memuaskan (evakuasi).
• Mengadakan briefing kepada SRU.
• Mengirim/ memberangkatkan fasilitas SAR.
• Melaksanakan operasi SAR di lokasi kejadian.
• Melakukan penggantian/ penjadualan SRU di lokasi kejadian.
5. Tahap pengakhiran (conclusion stage)
Merupakan tahap akhir operasi SAR, meliputi penarikan kembali SRU dari
lapangan ke posko, penyiagaan kembali tim SAR untuk menghadapi musibah
selanjutnya yang sewaktu-waktu dapat terjadi, evaluasi hasil kegiatan, mengadaan
pemberitaan (Press Release) dan menyerahkan jenasah korban/ survivor kepada
yang berhak serta mengembalikan SRU pada instansi induk masing-masing dan
pada kelompok masyarakat.

Tim Reaksi Cepat


Tim Reaksi Cepat BNPB disingkat TRC BNPB adalah suatu Tim yang dibentuk oleh
Kepala BNPB, terdiri dari instansi/lembaga teknis/non teknis terkait yang bertugas
melaksanakan kegiatan kaji cepat bencana dan dampak bencana pada saat tanggap
darurat meliputi penilaian kebutuhan (Needs Assessment), penilaian kerusakan dan
kerugian (Damage and Loses Assessment) serta memberikan dukungan
pendampingan (membantu SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/ SATLAK PB/BPBD
Kabupaten/Kota) dalam penanganan darurat bencana.

Tagana
 Tagana adalah relawan dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif
dalam penanggulangan bencana bidang bantuan sosial
 Tagana merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan
sosial berbasis masyarakat
Anggota TAGANA:
1. Anggota Tagana adalah seluruh warga negara Indonesia pria dan wanita yang
berumur 18 s.d 45 tahun disebut anggota aktif TAGANA serta terhimpun atau
berasal dari kelompok masyarakat atau organisasi tertentu
2. Untuk anggota TAGANA yang berumur di atas 45 tahun diorganisir dalam
LEGIUN TAGANA
3. Seorang anggota Tagana dinyatakan sah sebagai anggota resmi jika telah
mendapat surat keterangan dari dirjen Banjamsos setelah melalui proses
pelatihan baik yang diadakan oleh Depsos Pusat, Dinas/Institusi Sosial
Provinsi dan Kab/Kota serta Institusi lain yang mendapat pengakuan dari
Depsos
4. Setiap anggota Tagana akan mendapat Nomor Induk Anggota (NIA)
TAGANA melalui seleksi yang dilakukan oleh yang berwenang berdasarkan
ketentuan dan pedoman yang berlaku
Cara Perekrutan Anggota TAGANA
Perekrutan anggota Tagana berdasarkan :
1. Usulan dari organisasi atau kelompok perhimpunan komunitas tertentu
2. Perorangan (atas kemauan sendiri)
3. Kehormatan (khusus untuk pembina)

2. MITIGASI BENCANA
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Bencana sendiri adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat berupa
kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir, longsor, badai tropis,
dan lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di antaranya:
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
f. pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam;
g. pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi;
h. pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup
i. kegiatan mitigasi bencana lainnya. Robot sebagai perangkat bantu manusia, dapat
dikembangkan untuk turut melakukan mitigasi bencana. Robot mitigasi bencana
bekerja untuk mengurangi resiko terjadinya bencana.
Tujuan Mitigasi
Tujuan utama (ultimate goal) dari Mitigasi Bencana adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya
bagi penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi
(economy costs) dan kerusakan sumber daya alam.
2. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan.
3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam
menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga
masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe).
Jenis _ Jenis Mitigasi
Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi
struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-
usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain
meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan
memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula,
kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada
daerah-daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling
tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya.
 Mitigasi Struktural
Mitigsasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan
melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan
teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi
aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning
System yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability)
terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan
tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa
sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak
membahayakan apabila bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah
prosedur perancangan struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik
aksi dari bencana.
 Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya
tersebut di atas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan
suatu peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya
non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan
tata ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan
berbagaia aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga
bagian ari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup
di sekitar daerah rawan bencana.
Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi.
Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk
menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan
identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi
dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin
ditimbulkannya.
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural
harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi
untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana
harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang
memadai yang didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya
peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa
tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya
penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan
kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan untuk memprediksi,
mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan
agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan.

Asas dan Prinsip Dasar


Secara umum, Kebijaksanaan Penanggulangan Bencana di Indonesia didasarkan pada
asas-asas sebagai berikut :
1. Kebersamaan dan kesukarelaan
2. Koordinasi dan Intergrasi
3. Kemandirian
4. Cepat dan tepat
5. Prioritas
6. Kesiapsiagaan
7. Kesemestaan

Dalam penyusunan strategi nasional mengenai mitigasi bencana terdapat beberapa


prinsip yang harus dipertimbangkan untuk dijadikan dasar penyusunan kebijaksanaan.
Sebagai contoh beberapa prinsip yang digunakan Federal Emergency Management
Agency (FEMA) dalam konteks Indonesia dapat digunakan, yaitu
Langkah/kegiatan untuk mengurangi dampak/resiko dari bencana:
1. Diutamakan untuk keberhasilan ekonomi jangka panjang secara keseluruhan
2. Sejalan (compatible) dengan bencana lain
3. Dievaluasi agar diperoleh hasil terbaik
4. Sejalan dengan bencana teknologi
5. Bersifat lokal
6. Penekanan pada mitigasi pro-aktif, sebelum tanggap-darurat
7. Identifikasi bahaya (Hazard Identification) dan penilaian resiko (Risk
Assesment)
8. Kerjasama pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan pihak swasta
9. Sejalan dengan perlindungan/pelestarian sumberdaya alam/lingkungan
10. Pihak yang memilih untuk memperkirakan resiko yang lebih besar harus
bertanggungjawab atas pilihan tersebut
Beberapa pertimbangan dalam menyusun program mitigasi, khususnya di Indonesia
adalah :
1. Mitigasi bencana harus diintegrasikan dengan proses pembangunan
2. Fokus bukan hanya dalam mitigasi bencana tapi juga pendidikan, pangan,
tenaga kerja, perumahan dan kebutuhan dasar lainnya
3. Sinkron terhadap kondisi sosial, budaya serta ekonomi setempat
4. Dalam sektor informal, ditekankan bagaimana meningkatkan kapasitas
masyarakat untuk membuat keputusan, menolong diri sendiri dan membangun
sendiri
5. Menggunakan sumber daya dan dana lokal (sesuai prinsip desentralisasi)
6. Mempelajari pengembangan konstruksi rumah yang aman bagi golongan
masyarakat tidak mampu, dan pilihan subsidi biaya tambahan membangun
rumah
7. Mempelajari teknik merombak (pola dan struktur) pemukiman
8. Mempelajari tata guna lahan untuk melindungi masyarakat yang tinggal di
daerah yang rentan bencana dan kerugian, baik secara sosial, ekonomi,
maupun implikasi politik
Mudah dimengerti dan diikuti oleh masyarakat

3. KONTIJENSI BENCANA

Pedoman Perencanaan Kontinjensi yang dikembangkan oleh IASC (The Inter-Agency


Standing Committee) , Federasi Internasional, dan BNPB.
Ketiga lembaga merangkum bahwa Rencana Kontinjensi sebaiknya dicirikan oleh
prinsip-prinsip berikut:
 Proses pengembangan rencana adalah partisipatif
 Rencana itu berfokus pada bahaya tunggal
 Rencana itu berdasarkan scenario
 Skenario dan tujuan dikembangkan sebagai suatu kesepakatan bersama,
sebagai hasil konsesus umum.
 Rencana itu tidak bersifat rahasia/tertutup
 Peran & tanggung jawab harus diidentifikasi
 Rencana itu dibuat untuk menangani keadaan darurat
Ketiga organisasi di atas memasukkan aspek-aspek berikut dalam proses perencanaan
kontinjensi:
 Menganalisis potensi kedaruratan;
 Mnganalisis potensi dampak kemanusiaan dan konsekuensi kedaruratan yang
teridentifikasi;
 Menyusun tujuan, strategi, kebijakan dan prosedur yang jelas dan menegaskan
tindakan kritis yang harus diambil guna menanggapi suatu kedaruratan, dan;
Memastikan bahwa kesepakatan terekam dan tindakan yang perlu diambil
guna menyempurnakan kesiapsiagaan.

Proses IASC berfokus lebih pada kolaborasi antarlembaga, baik dalam penyusunan
rencana maupun dalam penerapan. Modelnya terdiri atas enam langkah:

1. Menyiapkan dan Menyelenggarakan Proses Perencanaan Kontinjensi. Sasaran


dibatasi dan peran serta ditentukan, jadwal ditetapkan, serta tugas dan
tanggung jawab didokumentasi.
2. Analisis Bahaya dan Risiko, Penyusunan Skenario, Pengembangan Asumsi
Perencanaan. Analisis tersebut dikembangkan untuk memberikan perencana
pemahaman yang kuat tentang bahaya yang dihadapi masyarakat, dan
dampaknya.
3. Menentukan Tujuan dan Strategi Tanggapan. Skenario lalu dikembangkan,
yang digunakan untuk menetapkan tujuan dan intervensi strategi.
4. Menentukan Pengaturan Manajemen dan Koordinasi untuk Tanggap
Kemanusiaan. Disini, manajemen dan mekanisme koordinasi ditetapkan.
5. Mengembangkan Rencana Tanggapan. Rencana tanggapan dikembangkan,
yang mana di dalam konteks IASC biasanya berarti bahwa masing-masing
sektor atau gugus mengembangkan rencana atau program layanan khusus yang
diyakini perlu, sesuia dengan skenario yang telah disepakati bersama.
6. Menerapkan Kesiapsiagaan. Akhirnya, rencana-rencana tanggapan setiap
sektor dan badan dikonsolidasikan dan diperiksa untuk memastikan bahwa
rencana mereka konsisten dengan tujuan dan strategi keseluruhan, dan dengan
tugas dan tanggung jawab yang sudah ditetapkan di langkah sebelumnya.

Proses Federasi Internasional berfokus pada penyusunan rencana bersama, berbagi


dan menyilang informasi di antara sektor, serta berfokus pada koordinasi, dan
kerjasama. Sektor-sektor utama yang dirujuk oleh Federasi Internasional adalah
kesehatan, pangan dan gizi, bantuan kedaruratan, mta-pencaharian, naungan,
air/sanitasi, dan peningkatan higiene, keselamatan, keamanan, dan
perlindungan.Modelnya terdiri atas enam langkah:

1. Penyusunan rencana bencana kelembagaan. Menentukan mandat


kelembagaan, serta kerangka kebijakan dan hukum yang akan menjadi dasar
bagi anggota Federasi Internasional untuk rencana tanggapan dan kontinjensi.
2. Analisis Bahaya dan Risiko, Penyusunan Skenario, Pengembangan Asumsi
Perencanaan. Analisis tersebut dikembangkan untuk memberikan perencana
pemahaman yang kuat tentang bahaya yang dihadapi masyarakat, dan
dampaknya.
3. Identifikasi dan pengerahan sumber daya. Mengenali secara terinci potensi
kebutuhan kemanusiaan, tindakan dan sumber daya yang dibutuhkan (yang
mencakup kapasitas, kemampuan, dan ketersediaan sumber daya), serta
kendala dan kesenjangan.
4. Peringatan dini, sistem peringatan, dan pemicu. Peringatan dini digunakan
sebagai informasi dasar, khususnya untuk pengembangan skenario. Penafsiran
yang hati-hati atas tanda-tanda peringatan dini dibutuhkan untuk
memverifikasi informasi dan menganalisis implikasi guna membenarkan
inisiasi atau implementasi rencana kontinjensi yang mencakup potensi strategi
tanggap bencana dan prosedur operasi standar (SOP).
5. Saling kerjasama dan komunikasi. Penyusunan rencana bersama, berbagi dan
menyilang informasi di antara sektor-sektor, koordinasi, serta kerjasamaadalah
esensial, karena semua sektor saling mengait dan mempengaruhi.
6. Tanggung jawab di antara sektor-sektor. perencanaan tanggap bencana dan
kontinjensi perlu berisi rangkuman mengenai cara kebutuhan dan fungsi di
antara sektor-sektor akan ditangani, termasuk di dalamnya pembagian tugas
dan tanggung jawab, persiapan kelembagaan, tindak lanjut, evaluasi, dan
pemutakhiran rencana

Proses B)PB berfokus pada kelompok kerja yang terdiri atas berbagai perwakilan
masyarakat dan pemerintah sebagai bentuk nyata akan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana. Modelnya terdiri
atas tujuh langkah:
1. Analisis risiko. Tahap ini melakukan pengumpulan informasi yang cukup
mengenai bahaya, risiko, dan kerentanan yang terkait dengan kejadian
kedaruratan yang diprediksikan.
2. Asumsi Kejadian. Menentukan akar penyebab kejadian, cara kejadian akan
berlangsung dan gejala yang dapat diamati yang akan mengisyaratkan
kejadian yang akan terjadi.
3. Pengembangan skenario. Beberapa skenario dikembangkan dengan
mempertimbangkan berbagai bentuk kejadian darurat yang diramalkan
menggunakan dimensi-dimensi waktu, ruang, dan magnitut sebagai parameter.
Skenario ini harus juga memproyeksikan dampak bencana pada nyawa
manusia, perumahan, harta benda, nafkah, dan infrastruktur serta kejadian
pemicu terkait dan ambang atau threshold untuk pengaktifan sistem tanggap
darurat.
4. Identifikasi Kebijakan & Strategi. Kegiatan tanggap bahaya dan kontinjensi
memerlukan sebuah visi. Pada tingkat nasional, terdapat kebijakan dasar untuk
penanggulangan bencana yang juga memberikan platform yang dibutuhkan
bagi perencanaan kontinjensi. Beberapa contoh mencakup Keputusan Presiden
Nomor 03/2001 dan Undang-Undang Nomor 24/2007.
5. Analisis Kesenjangan. Tahap ini berfokus pada analisis dan pengaturan di
antara sektor-sektor, menjawab pertanyaan tentang penampilan setiap sector
saat kedaruratan terjadi, menetapkan tujuan sektor, menentukan indikator di
antara sektor, menentukan kebutuhan dengan membandingkan sumber daya
yang ada dengan kebutuhan yang diproyeksikan, dan menggambar bagan arus
untuk kegiatan sektor dan cara tugas-tugas disebarkan kepada anggota sektor.
6. Perumusan rencana ke depan. Tahap ini merupakan rangkaian konsolidasi
mulai dari menyusun draf sampai merampungkan Rencana Kontinjensi.
Rencana kontinjensi yang baik harus membatasi tugas dan fungsi dan
memperjelasnya sedini mungkin.
7. Pengesahan dan Pengaktifan. Rencana akhir harus diserahkan kepada otoritas
yang terkait, yakni kepada Kepala BPBD, Walikota, dan DPRD. Pengesahan
sedemikian sangat penting untuk memastikan komitmen kelembagaan dari
para pihak yang terlibat dan menjadikan rencana kerja tidak sekedar bersifat
akademis tetapi menjadi rencana tindakan resmi. Sama pentingnya adalah
bahwa pengesahan ini akan memberikan pembenaran bagi otoritas local
dimana di dalam situasi kedaruratan, jumlah sumber daya yang sudah
direncanakan bisa dikeluarkan dengan segera. Pengesahan resmi juga akan
mendorong otoritas memandang rencana dengan sungguh-sungguh dan
berperan serta dalam pemantauan peringatan dini serta pernyataan keadaan
darurat nantinya, jika diperlukan.

4. KEBIJAKAN DAN LANDASAN PENANGGULANGAN BENCANA

UU RI Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana


 BAB I KETENTUAN UMUM
 Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
 BAB II
 Pasal 3
Penanggulangan bencana berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Pasal 4
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan
bermasyarakat,
g. berbangsa, dan bernegara.
 BAB III
 Pasal 6
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana
siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan
dampak bencana.
 Pasal 7
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan
kebijakan pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana; penetapan status dan tingkatan
bencana nasional dan daerah;
c. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan negara lain, badan-badan, atau pihakpihak internasional lain;
d. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi
sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
e. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan
f. pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk
melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang
berskala nasional.

Kebijakan Provinsi Sumatra Barat Dalam Penanggulangan Bencana


 UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
 PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan, PP 22/2008 tentang
Pendanaan, PP 23/2008 tentang peran serta lembaga internasional dan asing
 Kepmenkes 1227/2007 tentang regionalisasi
 Kepmenkes 1228/2007 tentang Sumatera Barat sebagai Sub Regional
 PERDA 5/2007 tentang Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Barat
 SK Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat No. 360/10/P2B/VI/2011
tentang Tim Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat

Peraturan Kepala BNPB


 Perka No. 1 Tahun 2008 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
 Perka No. 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah
 Perka No. 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana
 Perka No. 6 Tahun 2008tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai
 Perka No. 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan
Kebutuhan Dasar
 Perka No. 8 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pemberian Dan Besaran Bantuan Santunan
Duka Cita
 Perka No. 9 Tahun 2008 Tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat Banan Nasional
Penanggulangan Bencana
 Perka No. 10 Tahun 2008 Tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana
 Perka No. 11 Tahun 2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pasca
Bencana
 Perka No. 12 Tahun 2008 Tentang Kajian Pembentukan Dan Penyelenggaraan Unit
Pelaksana Teknis
 Perka No. 13 Tahun 2008 Tentang Pedoman Manajemen Logistik Dan Peralatan
Penanggulangan Bencana
 Perka No. 3 Tahun 2010 Tentang Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-
2014
 Perka No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko
Bencana 2010-2012

Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan mengamati :


 Kebersihan mulut (oral hygiene / OH) : baik / cukup / jelek
Ini dapat ditetapkan dengan Indeks OHIS, pasien yang kebersihan mulutnya jelek
kemungkinan besar kebersihan mulutnya akan lebih jelek lagi selama perawatan
dilakukan , oleh karena itu motivasi kebersihan mulut perlu diberikan sebelum
perawatan ortodontik dilakukan.
 Keadaan lidah : normal / macroglossia / microglossia
Pasien yang mempunyai lidah besar ditandai oleh :
o Ukuran lidah tampak besar dibandingkan ukuran lengkung giginya
o Dalam keadaan relax membuka mulut, lidah tampak luber menutupi
permukaan oklusal gigi-gigi bawah.
o Pada tepi lidah tampak bercak-bercak akibat tekanan permukaan lingual
mahkota gigi (tongue of identation)
o Gigi-gigi tampak renggang-renggang (general diastema)
 Palatum : normal / tinggi / rendah serta normal / lebar / sempit
Pasien dengan pertumbuhan rahang rahang atas kelateral kurang (kontraksi)
biasanya palatumnya tinggi sempit, sedangkan yang pertumbuhan berlebihan
(distraksi) biasanya mempunyai palatum rendah lebar. Jika ada kelainan lainnya
seperti adanya peradangan, tumor, torus, palatoschisis,dll. Dicatat.
 Gingiva : Normal / hypertophy / hypotropy
Adanya peradangan pada gingiva bisa ditetentukan dengan gingival indeks (GI)
15
 Mucosa : normal / inflamasi / kelainan lainnya
Pasien dengan oral hygiene yang jelek biasanya mempunyai gingiva dan mucosa
yang inflamasi dan hypertropy.
 Frenulum labii superior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis
 Frenulum labii inferior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis
 Frenulum lingualis : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis
Pemeriksaan frenulum dilakukan untuk mengetahui posisi perlekatannya
(insersio) pada marginal gingiva serta ketebalannya, apakah akan mengganggu
pengucapan kata-kata tertentu dan apakah akan mengganggu pemakaian plat
ortodontik yang akan dipasang.
 Tonsila palatina : normal / inflamasi / hypertrophy
 Tonsila lingualis : normal / inflamasi / hypertrophy
 Tonsila pharengea : normal / inflamasi / hypertrophy
Apakah ada amandel yang membengkak? Dilakukan pemeriksaan dengan
menekan lidah pasien dengan kaca mulut, jika dicurigai adanya kelaianan yang
serius pasien dikonsulkan ke dokter ahli THT sebelum dipasangi alat ortodontik.
 Bentuk lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah : Parabola / Setengahn elips /
Trapeziod / U-form / V-form / Setengah lingkaran
 Pemeriksaan gigi geligi :
o Rumus gigi : Periksa elemen gigi apa saja yang ada pada pasien. Tulislah
rumus gigi sesuai dengan gigi yang sudah erupsi dan beri keterangan.
o Apel gigi : Periksa gigi-gigi yang telah mengalami perawatan dan gigi
yang tidak normal atau telah mengalami perawatan.

5. MANAJEMEN BENCANA

Model Manajemen Bencana


Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa (hazard) pada komunitas
yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi berbagai
implikasi dari kejadian luar biasa tersebut. Manajemen bencana pada dasarnya
berupaya untuk menghindarkan masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi
kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Terdapat lima model
manajemen bencana yaitu:
 Disaster management continuum model. Model ini mungkin merupakan model
yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih
mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model
ini meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation,
preparedness, dan early warning.
 Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini membagi
tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu
dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana.
Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management continuum
model.
 Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang
ada pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation,
reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap
dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi
bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih
dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti
rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
 The crunch and release model. Manajemen bencana ini menekankan upaya
mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak
rentan maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard
tetap terjadi.
 Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen
bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan
maupun hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko
tersebut.

Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka UU No. 24 tahun 2007


menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Rumusan
penanggulangan bencana dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu:
 Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.
 Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan
yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2007 secara
skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Kebijakan Manajemen Bencana


Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan manajemen bencana mengalami beberapa
perubahan kecenderungan seperti dapat dilihat dalam tabel. Beberapa kecenderungan
yang perlu diperhatikan adalah:
 Konteks politik yang semakin mendorong kebijakan manajemen bencana
menjadi tanggung jawab legal.
 Penekanan yang semakin besar pada peningkatan ketahanan masyarakat atau
pengurangan kerentanan.
 Solusi manajemen bencana ditekankan pada pengorganisasian masyarakat dan
proses pembangunan.
Dalam penetapan sebuah kebijakan manajemen bencana, proses yang pada umumnya
terjadi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penetapan agenda, pengambilan keputusan,
formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Di dalam kasus
Indonesia, Pemerintah Pusat saat ini berada pada tahap formulasi kebijakan (proses
penyusunan beberapa Peraturan Pemerintah sedang berlangsung) dan implementasi
kebijakan (BNPB telah dibentuk dan sedang mendorong proses pembentukan BPBD
di daerah). Sementara Pemerintah Daerah sedang berada pada tahap penetapan agenda
dan pengambilan keputusan. Beberapa daerah yang mengalami bencana besar sudah
melangkah lebih jauh pada tahap formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan.
Kebijakan manajemen bencana yang ideal selain harus dikembangkan melalui proses
yang benar, juga perlu secara jelas menetapkan hal-hal sebagai berikut:
 Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
 Alokasi sumberdaya yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta
antara berbagai fungsi yang terkait.
 Perubahan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan tegas.
 Mekanisme kerja dan pengaturan antara berbagai portofolio lembaga yang
terkait dengan bencana.

Pada Pra Bencana


Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
1. Dalam situasi tidak terjadi bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang
berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak
menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
2. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan, peringatan dini
dan mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana.
a. Kesiapsiagaan
b. Peringatan Dini
c. Mitigasi Bencana
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi
stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
Saat Tanggap Darurat
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya;
2. penentuan status keadaan darurat bencana;
3. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4. pemenuhan kebutuhan dasar;
5. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
1. rehabilitasi; dan
2. rekonstruksi.

VII. Daftar Pustaka

1. http://psba.ugm.ac.id/?page_id=1003

2. khambali, I. 2017.Manajemen Penanggulangan Bencana. Jakarta : Andi Publisher.


3. Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Bencana, Edisi 2012. Jakarta:Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. 2012.

Anda mungkin juga menyukai