Anda di halaman 1dari 285

Panduan Praktek Klinik

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

1. DISPEPSIA FUNGSIONAL

Definisi :
Dispepsia fungsional adalah gejala penyakit yang berasal dari daerah lambung dan
duodenum yang bersifat spesipik berupa perasaan nyeri pada ulu hati,kembung sesudah
makan,cepat kenyang, perasaan terbakar pada ulu hati tanpa ditemukan kelainan struktural
setelah dilakukan investigasi termasuk dengan alat endoskopi dan keluhan ini telah
berlangsung selama 3 bulan dan onset terjadinya paling tidak sudah ada dalam 6 bulan
terakhir.

Anamnesis
Pada anamnesis dijumpai keluhan kembung sesudah makan,perasaan cepat kenyang,adanya
nyeri pada ulu hati atau perasaan terbakar pada ulu hati.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik biasanya tidak dijumpai kelainan,terkadang hanya terdapat nyeri tekan
pada daerah epigastrium.Pemeriksaan lainnya bertujuan untuk menyingkirkan penyebab lain
yang dapat menimbulkan keluhan yang sama seperti pemeriksaan palpasi abdomen apakah
ada pembengkakan hati,nyeri mc burney untuk appendisitis ,serta pemeriksaan palpasi dari
kandung empedu.

Diferensial Diagnosis
Gastro esophageal refluks disease ( GERD)
Gastritis dan ulkus lambung
Cholesistitis
Angina Pectoris

Pemeriksaan Penunjang
a.Tes darah dan urin rutin
b. E K G (Elektrokardiografi)
c.Endoskopi (Gastroskopi)
d.Test CLO untuk Helicobacter pylori
e.Scintigraphi
f.Manometri atau barostat inflasi
g.Parasetamol absorbsion test,c -13 octanoid acid test

Diagnosis :
Diagnosis ditegakkan setelah anamnesis dijumpai gejala dispepsia kemudian pada
pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan lain sebagai penyebab keluhan ,lalu dilakukan
investigasi baik dengan USG maupun endoskopi tidak dijumpai kelainan organik seperti
ulkus,tumor dan polip.Pemeriksaan test CLO dan sejenisnya diperlukan untuk menilai adanya
bakteri H.pylori sebagai penyebab terjadinya dispepsia fungsional.
Pemeriksaan penunjang lainnya seperti scintigraphi,manometri,barostat inflasi,tet
parasetamol dan c-13 Oktanoid dibutuhkan bila ingin memastikan diagnosis terutama
digunakan untuk penelitian.

1
Terapi :
1.Obat Penekan Asam
Omeprazol 10 mg dan 20 mg dosis 1 x 1 caps perhari
Lansoprazol 15 dan 30 mg dosis 1 x 1 caps perhari
Ranitidin 150 mg dosis 2 x 1 tab perhari
Famotidin 20 mg dosis 2 x 1 tab perhari
2.Obat antispasmodik dan pelindung mukosa lambung
Koloida bismuth dosis 2-4 x240 mg perhari
Antasida,Sukralfat dan Misoprostol tidak signifikan dibanding plasebo.
3.Obat promotiliti
1.Metochlorpramid 10 mg dosis 3x 1 tab perhari
2.Domperidon 10 mg dosis 3 x 1 tab perhari
4.Obat yang mempengaruhi hipersensitifitas visceral
Amintriptilin 25 mg dosis 1-3 x 1 tab perhari
4.Terapi eradikasi H.pylori.
Triple therapi :
Lansoprazol 15 - 30 mg atau omeprazol 10-20 mg 2 x 1caps+ amoksisilin 2x 1 gr +
clarithromysin 500 mg 2x 1
atau Lansoprazol 2x1 caps + metronidazol 400 mg 2x sehari+claritromysin 500 mg 2x1
Quadruple therapi :
Lansoprazole 15-30 mg atau omeprazole 10-20 mg 2 x 1caps+bismuth 240 mg 2x sehari +
metronidazole 400 mg 2-3x perhari + Tetracyclin 500 mg 4 x perhari.
Terapi pada resistensi
Lanso prazole 15-30 mg atau omeprazol 10-20 mg 2x perhari+ levofloksasin 250 mg atau
500 mg 1x1 tab dan amoksisilin 1 gr 2x sehari.
Bisa juga dengan Lansoprazol 15-30 mg atau omeprazol 10-20 mg + rifabutin 150 mg dan
amoksisilin 1 gr 2x perhari.

Daftar Pustaka
1) Aro P,Talley N.J ,Ronkinen J,Storskrubb,at all, Anxiety is associated with
uninvestigated and functional dyspepsia (Rome III criteria) in a swedish population-
based study.Gastroenterology, 2009,137 : 94-100.
2) Moaeyyedi P , Soo S, Deeks J, at all , Systemattic review : Antasida ,H2 reseptor
antagonist,prokinetic,bismuth and sucralfate therapy for non ulcer dyspepsia.Aliment
pharmacol ther, 2003 ,17 : 1215-1227.
3) O’Morain C , Role of Helicobacter pylori in functional dyspepsia.World Journal
Gastroenterology ,2006,12: 2677-2680.
4) Rita B, Braden K , Functional dyspepsia .Ther Adv Gastroenterology : 2010. P : 145-
164.
5) Samelli G ,Cuomo R , Janseen J ,at all ,Simptoms pattern and pathophysiological
mechanism in dyspeptic patients with and without H.pylori .Dig .Dis.Sei.2008 ,48 p :
3165-5169.

2
2.H E P A T O M A

Definisi :
Hepatoma merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel hepatosit
(Karsinoma hepatoselular) atau dari epitel saluran empedu intra hepatik ( Karsinoma
kolangioseluler) dan campuran keduanya.

Anamnesis
Nyeri abdomen kanan atas atau kembung dan tak nyaman nyeri tersamar pada perut kanan
atas. Pembengkakan atau massa pada perut kanan atas,anoreksia,letih dan berat badan
menurun,demam,ikterus dan perdarahan serta kulit gatal.

Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi terlihat Pembengkakan pada perut kanan atas, bila diawali sirosis hati dijumpai
adanya gangguan hati kronis berupa spider naevy,palmar erythema,kaput meduse,kolateral
vein
Pada palpasi : Teraba pembesaran hati dibawah arcus costa ,permukaan berbenjol atau tidak
rata dan nyeri tekan,bisa pula disertai oleh ascites maupun edema tungkai.

Diferensial Diagnosis :
Liver metastase
Liver Abses
Hemangioma
Ca Gaster

Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium
LFT ( Liver Function Test)
Hbs Ag , Anti Hbs , Ig M anti HCV
Alpa feto Protein
2.Pemeriksaan Radiologi :
U S G (Ultra Sono Graphy) abdomen
C T Scan ( Computed Tomography) abdomen
MRI ( Magnetic Resonance Imaging)
Angiografi arteri hepatika
3.Biopsi hati

Terapi Hepatoma :
1.Jumlah tumor : Tunggal
Ukuran tumor : 2 cm
Child Pugh Class : A atau B
Tindakan : Resection
2. Jumlah tumor : Tunggal
Ukuran tumor : 2,1-3 cm
Child Pugh Class : A atau B
Tindakan : Resection,transplantation atau ablation.
3. Jumlah tumor : Tunggal
Ukuran tumor : 3,1-5 cm

3
Chid Pugh Class : A atau B
Tindakan : Resection atau tranplantation
4.Jumlah tumor : 2 atau 3 nodul
Ukuran tumor : ≤ 3 cm
Child Pugh Class : A atau B
Tindakan : Transplantation atau ablation
5.Jumlah tumor : 2 atau 3 nodul
Ukuran tumor :≤ 3 cm
Child Pugh Class : C
Tindakan : Palliative care
6.Jumlah tumor : 2 atau 3 nodul
Ukuran tumor > 3 cm
Child Pugh Class: A atau B
Tindakan : Chemoembolisasi
7.Jumlah tumor 4 atau lebih nodul
Child Pugh Class : A atau B
Tindakan : Chemoembolisasi
8.Jumlah tumor 4 atau lebih
Child Pugh Class: C
Tindakan : Palliative care.

Jenis Terapi Hepatoma


1.Surgical resection
Pada pasien tanpa sirosis hati dengan hepatoma yang masih sangat baru ( Early stage).Pada
pasien dengan sirosis hati hasil yang baik bila besar tumor ≤ 3 cm, tidak dijumpai hipertensi
portal dengan hepatik venous pressure > 10 mmHg dan total bilirubin normal ≤ 1 mg
perdeciliter.

2.Liver tranplantasi
Pada nodul soliter dengan besar < 5 cm, atau dengan 3 nodul dengan ukuran diameter tiap
tiap nodul < 3cm
3.Local Ablation (Radiofrequency ablation)
Pengobatan terutama untuk early stage hepatoma yang tidak bagus hasilnya bila dilakukan
reseksi atau tranplantasi,dengan besar diameter tumor 2-3 cm
4.Transarterial Chemoembolisasi (TACE) dan radioembolisasi
Child pugh A,tidak dijumpai ekstra hepatik metastase,,atau invasi vasculer.
5.Sorafenid ( Nexapar)
dosis 2 x 1 tab (200 mg) perhari.
Untuk Child-pugh class A atau B

4
ALGORITMA PENATALAKSANAAN HEPATOMA (HCC)

HCC

Stage 0 Stage A-C Stage D

PST 0. Child Pugh A PST 0-2. Child Pugh A-B PST >2. Child Pugh C

Very Early Stage 0 Early Stage (A) Intermediate Stage (B) Advanced Stage (C) Terminal Stage (D)
Single < 2 cm Single or 3 Multinodular Portal invasion
Carcinoma insito nodules < = 3 cm PS 0 N1, M1, PS 1-2
PS 0

Single 3 Nodules ≤ 3 cm

Portal pressure/billirubin

Increased Associated diseases

Normal No Yes

Resection Liver transplantion RF/PEI TACE Sorafenib Best supportive


(CLT/LDLT) care

Curative treatment (30-40%) Target : 20% Target : 40% Target : 10%


Median OS > 60 mo; 5yr survival: 40-70% OS: 20 mo (45-14) OS: 11 mo (6-14) OS: <3 mo
Updated BCLC Staging system and treatment strategy, 2011

5
Daftar Pustaka

1) Amir A ,Qamar MD, Hepatocellular Carsinoma dan cholangio carsinoma,Current


diagnosis and treatment,lange,USA,2009,p :510-517.
2) Budi H, Unggul, Aru W ,Karsinoma hati,Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1,edisi
1V,Jakarta FK UI,2006
3) Hasyem B ,El-serag,Hepatocellular carsinoma,N.Eng J.med,2011 ,365 ; 1118-1127

6
3. Ikterus Obstruktif (obstructive jaundice)
Pendahuluan
Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual.
Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang
bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik
sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan
gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik.
Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut
pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi
bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur
intervensi lainnya untuk pengobatan.
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan
evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi
oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya
meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis
sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu
dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel
darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut
ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati
membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl
transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam
glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide
dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan
kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi
urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan
kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin.
Defenisi
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat
akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40
mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik.
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‘jaune’ artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin
untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh
deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.

Diagnosis
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati. Anamnesis ditujukan
pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri
perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan pasien ikterus lain,
alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan pembedahan.
Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin. Penyakit yang
menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice ‘medis’
seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan
ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice ‘surgical’ melalui
kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi bilirubin
termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka bakar, dan
reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis

7
dan akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik
dan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis
viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat
disebabkan oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker
periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing primer.
Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan antara kerusakan
pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari
obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi
intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus, anamnesis menyeluruh,
pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis non-invasif membedakan
obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan
dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris
umum
biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan
jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah
keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung empedu
menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-
tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit
karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada
pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya
sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor
(dikenal hukum Courvoisier).

Hukum Courvoisier
“Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung
empedu”. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,
ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal.
Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum
bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah
lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan
produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada
ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi.
Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya ditemukan pada pasien dengan
obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu
kandung empedu umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada
bilirubin serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada
obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier
parsial.
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh
gangguan pada sel-sell hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu. Bilirubin
direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan
saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal
bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui
ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu
adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada

8
kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses
menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus
(pigmen tidak dapat mencapai usus).

Pemeriksaan Penunjang
USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang
pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat
ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor.
Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu
empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi
sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan
penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu
memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.
Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat
menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan
ginjal. Aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu
empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat
kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan endoskopi
melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran
pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada
kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan
yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki
kanul.
Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya
dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic
Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui
jarum yang ditusukkan ke arah hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila
ujung jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT)
adalah pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya
kelainan hati dapat diperlihatkan lokasinya dengan tepat.
Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan
biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-
tanda obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran
empedu.
Penatalaksanaan jaundice obstruktif
Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan untuk
menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut
dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor. Upaya
untuk menghilangkan sumbatan dapat dengan tindakan endoskopi baik melalui papila Vater
atau dengan laparoskopi.
Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab
sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat
dialirkan. Drainase dapat dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa

9
nasobilier, pipa T pada duktus koledokus atau kolesistotomi. Drainase interna dapat
dilakukan dengan membuat pintasan biliodigestif. Drainase interna ini dapat berupa
kolesisto-jejunostomi, koledoko-duodenostomi, koledoko-jejunostomi atau hepatiko-
jejunostomi.

Daftar Pustaka
1) Lesmana L. A, Batu empedu, dalam Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid 1, Edisi
III, Balai penerbit FK UI, Jakarta, 1996, hal. 380-90
2) Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) diagnostik
dan teraupetik pada Obstruksi Bilier. http:// http://www.kalbe.co.id
3) Matthingly D, Seward C, Bedside Diagnosis, Edisi 13, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993, Hal. 215.
4) Medline Plus. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP).
http://www.nlm.nih.gov.
5) Podolsky D. K, Issel B. K, Penyakit Kandung Empedu dan Duktus Billiaris,
Horrison; Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, vol. 4, Edisi 13, EGC, Jakarta, 2000,
Hal. 1688-1693
6) Price S. A, Wilson L. M, Patofisiologi Konsep klinis Proses-proses penyakit, EGC,
Jakarta, 1994, Hal. 453.
7) Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam : Principles of
Surgery fifth edition, editor : Schwatz, Shires, spencer. Singapore : McGraw-Hill,
1989. 1091-1099.
8) Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam
FKUI. 2006. 422-425.

10
4. HEPATITIS C
Definisi
Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Dikatakan akut apabila
inflamasi (radang) hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama kurang dari 6
bulan, dan kronis apabila hepatitis yang tetap bertahan selama lebih dari 6 bulan. Keadaan
kronis pada anak-anak lebih sukar dirumuskan karena perjalanan penyakitnya lebih ringan
daripada orang dewasa.1
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C
(HCV= Hepatitis C virus).1,

Etiologi
Virus hepatitis C adalah adalah virus RNA berkapsul berdiameter 50-60 nm yang
mengandung RNA rantai tunggal yang dapat diproses secara langsung untuk memproduksi
protein-protein virus.1,2,3,4,7 Genom HCV digolongkan dalam Flavivirus bersama-sama
dengan virus hepatitis G, Yellow fever, dan Dengue. Virus ini umumnya masuk kedalam
darah melalui tranfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung masuk
ke sirkulasi darah.1,2,3,4,8
Kecepatan replikasi HCV sangat besar, melebihi HIV maupun HBV. Virus ini bereplikasi
melalui RNA-dependent RNA polimerase yang akan menghasilkan salinan RNA virus tanpa
mekanisme proof-reading (mekanisme yang akan menghancurkan salinan nukleotida yang
tidak persis sama dengan aslinya).2,3,4,8,9 Kondisi ini akan menyebabkan timbulnya banyak
salinan-salinan RNA HCV yang sedikit berbeda namun masih berhubungan satu sama lain
pada pasien yang disebut quasispecies.8 Sekarang ini ada sekurang-kurangnya enam tipe
utama dari virus Hepatitis C (yang sering disebut genotipe) dan lebih dari 50 subtipenya.1,2,3,4
Hal ini merupakan alasan mengapa tubuh tidak dapat melawan virus dengan efektif dan
penelitian belum dapat membuat vaksin melawan virus Hepatitis C.1,2,3,4 Genotipe tidak
menentukan seberapa parah dan seberapa cepat perkembangan penyakit Hepatitis C, akan
tetapi genotipe tertentu mungkin tidak merespon sebaik yang lain dalam pengobatan.1
Genotipe 1a dan 1b adalah genotipe yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan
Eropa Barat, diikuti oleh genotipe 2 dan 3. Genotipe lain tampaknya tidak pernah ditemukan
di negara-negara pada kedua kawasan tersebut, tapi banyak ditemukan di negara atau
kawasan lain.1 Genotipe 4 banyak ditemukan di Mesir, genotipe 5 di Afrika Selatan
sedangkan genotipe 6 di Asia Tenggara.1 Pengetahuan mengenai genotipe ini sangat penting
karena dapat dipakai untuk memprediksi respon terhadap antivirus (sustained virological
response = SVR) dan menentukan durasi terapi.1 Genotipe 2 dan 3 adalah genotipe yang telah
diketahui memiliki respon lebih baik dibandingkan genotipe 1.1
Genotipe tidak akan berubah selama masa infeksi (course of infection) sehingga tidak
perlu pemeriksaan ulangan terhadap genotip. Derajat beratnya penyakit tidak memiliki kaitan
dengan genotipe virus.1

Epidemiologi
World Health Organization (WHO) melaporkan lebih kurang 170 juta jiwa di seluruh
dunia terinfeksi secara kronik oleh hepatitis C (Hepatitis C Virus = HCV).1,7 Prevalensi
global infeksi HCV adalah 2,9%.1 Menurut data WHO, angka prevalensi ini amat bervariasi
dalam distribusi secara geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga
tertinggi 5,3% di Afrika.1 Prevalensi HCV di Indonesia sangat bervariasi, dikarenakan
geografis negara Indonesia yang sangat luas.1 Hasil pemeriksaan pendahulu anti-HCV pada
donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya adalah
antara 3,1%-4%.1 Dengan bantuan Namru-2 dimana dimungkinkan untuk pengguna reagen
anti-HCV generasi kedua dan juga bantuan unit PUTD Palang Merah Indonesia, data donor

11
darah di kota-kota besar menunjukkan prevalensi yang lebih kecil 0,5-3,37% dibandingkan
data yang sebelumnya. 1

Gejala Klinis
Manifestasi klinis hepatitis virus C dikenal mulai dari hepatitis akut, fulminan, kronis,
yang dapat berkembang menjadi sirosis atau kanker hati.1,2,3,4
Infeksi Akut
Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal.
Hanya 20-30% kasus yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7 – 8 minggu (berkisar 2
– 26 minggu) setelah terjadinya paparan.1,4
Infeksi virus hepatitis terbagi 3 fase, yaitu fase prodormal, fase ikterik, dan fase
convalescent. 4 Pada fase prodormal, onset terjadi pada hari 1-14, namun rata-rata timbul
pada hari 5-7 setelah paparan. 4 Keluhan yang sering yaitu malaise, fatique, mual dan muntah,
kehilangan selera makan, low grade fever, flu like symptoms, dan kebanyakan pasien
mengeluh adanya nyeri pada perut kanan atas. 4
Pada fase ikterik, gejala yang sering ditimbulkan yaitu warna kuning pada mukosa
sklera pada awalnya dan berlanjut pada perubahan warna pada kulit.4 Durasi ikterik
bervariasi, biasanya antara 4 hari sampai beberapa bulan, namun rata-rata 2-3 minggu.4 Urin
menjadi gelap, feses berwarna seperti dempol (pucat). Selama fase ini, setengah penderita
menunjukkan gejala gatal-gatal. 4
Pada fase convalescent, kebanyakan gejala di atas menghilang (resolve). 4 Ikterik tidak
ditemukan, warna pada kulit, urin dan feses kembali ke warna yang semula. Kembalinya
nafsu makan dan adanya peningkatan berat badan menunjukkan sudah adanya tahap
penyembuhan. 4
Umumnya secara klinik gejala HCV akut lebih ringan daripada hepatitis virus akut
lainnya. Masa inkubasi HCV terletak antara HAV dengan HBV, yaitu sekitar 2 – 26 minggu,
dengan rata-rata 8 minggu.2 Pada penderita hepatitis akut ditemukan Anti HCV positif pada
75,5% HNANB pasca-tranfusi, 35% pada HNANB sporadik dan hanya 2,4 pada HBV.
Sebagian besar penderita yang terserang HCV akut akan menjurus menjadi kronis.2
RNA virus hepatitis C dapat terdeteksi sebelum gejala muncul, namun level dari
viremia pada 6 bulan pertama dapat dorman dan tidak terdeksi walaupun orang tersebut
sedang dalam infeksi yang persisten. 2,9 Gejala awal yang ditunjukkan tergantung dari usia
saat terjadinya paparan, sistem imun penderita, adanya penyakit hati sebelumnya dan tingkat
inokulasi virus.4,9
Level serum dari enzim hati seperti alanin aminotransferase (ALT) meningkat 10 kali
lebih tinggi dari pada normal, kemudian menurun, dan untuk orang dengan infeksi yang
persisten didapatkan kadar ALT naik turun (fluktuatif).2 Serum bilirubin juga dapat
meningkat setelah beberapa minggu gejala pertama muncul, namun akhirnya kembali ke level
yang normal. Secara garis besar, angka mortalitas pada infeksi akut tergolong rendah. 2

Infeksi kronis
Infeksi akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun kriteria dari hepatitis
kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2 kali nilai normal, yang
berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronis sangat
jarang terjadi. 4 Jangka waktu dimana berbagai tahap penyakit hati berkembang sangat
bervariasi. Diperlukan waktu 20 – 30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi
pada 15 – 20% pasien hepatitis C kronis.5 Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati
tergantung beberapa faktor resiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B
atau Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya

12
infeksi dan kadar CD4 yang sangat rendah.1,11 Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko
terjadinya karsinoma hepatoselular adalah sekitar 1-4% pertahun.1 Karsinoma hepatoseluler
dapat terjadi tanpa diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang terjadi.1

Cara Penularan
Pada umumnya cara penularan HCV adalah parental. Semula penularan HCV
dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah
ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara penularan
lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HBV, yaitu:3,4
1. Penularan horizontal
Penularan HCV terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah atau
komponen produk darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena.
2.Penularan vertikal
Penularan vertikal adalah penularan dari seseorang ibu pengidap atau penderita
Hepatitis C kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau beberapa saat
persalinan

Diagnosis
Penegakan diagnosis pada hepatitis virus C berdasarkan uji serologi untuk memeriksa
antibodi dan Uji HCV RNA.1,2,3,4
1. Uji serologi
Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibodi telah membantu mengurangi
risiko infeksi terkait transfusi. Sekali pasien pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil
pemeriksaan serologi akan tetap positif, namun kadar antibodi anti-HCV akan menurun
secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami reaksi
spontan.1,2,3,4
Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay
yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi k-3 yang banyak
dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein struktural-struktural yang dapat
mendeteksi keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih
tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respon terapi yang
telah dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah
pernah dilakukan sebelumnya.1 Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblot assay,
RIBA) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif.1
Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk setting
populasi low-risk seperti pada bank darah.1 Namun dengan tersedianya metode enzyme
immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka
konfirmasi denga RIBA telah menjadi kurang diperlukan. 1,2,3,4

2. Uji HCV RNA


HCV RNA dapat terdeteksi dan diukur dengan teknik amplifikasi termasuk reverse
transcription polymerase chain reation (RT-PCR). Genotip HCV dapat dinilai dengan
analisis phylogenetic dari rantai nukleotida atau deteksi mutasi point spesifik subtipe pada
RT-PCR amplifikasi RNA. HCV RNA dideteksi dalam waktu 2 minggu infeksi dan juga
digunakan untuk konfirmasi terjadinya infeksi akut. Bagaimanapun uji HCV RNA yang rutin
tidak dianjurkan secara langsung karena standarisasi uji tersebut yang masih rendah. 1,2,3,4

3. Biopsi Hati
Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang pasien
dengan infeksi HCV kronis.1 Biopsi berguna untuk menentukan derajat beratnya penyakit

13
(tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi.1 Pemeriksaan ini juga
bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab hati yang lain, seperti fitur
alkoholik, non-alcoholic steatohepatits (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-
induced atau overload besi. 1,2,3,4

Penatalaksanaan
Diagnosa dan pengobatan awal sangatlah mendesak dan penting. Persentase yang
signifikan dari orang yang melakukannya dapat sembuh dari Hepatitis C dan menunjukan
perbaikan hatinya. Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari
tubuh sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir
penyakit hati.1,9
Tujuan pengobatan hepatitis C kronik adalah mencegah komplikasi penyakit hati, termasuk
HCC.1,2,3,4 Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan: Umur, jenis kelamin,
genotip virus, jumlah virus, dan stadium fibrosis terutama fibrosis stadium 3 dan 4.9 Pasien
dengan stadium fibrosis F0 (fibrosis tidak ada) dan F1 (fibrosis hepar yang minimal) tidak
memerlukan terapi antiviral keuali pada pasien yang gejala klinisnya berat atau dalam
stadium yang lebih lanjut pada hasil biopsi hatinya dan untuk orang-orang yang sangat
berharap pada pengobatan.9
Pengobatan HCV kronik adalah dengan menggunakan infterferon alfa dan
ribavirin.1,2,3,4, Umumnya disepakati bila genotipe HCV adalah genotipe 1 dan 4, maka terapi
perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama
24 minggu.1,9
1. Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk
meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya.2
2. Pegylated interferon alfa
Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut "polyethylene
glycol (PEG)" dengan molekul interferon alfa.2 Modifikasi interferon alfa ini lebih
lama ada dalam tubuh, dan beberapa penelitian menunjukkan lebih efektif dalam
membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis dibandingkan
interferon alfa biasa.2
3. Ribavirin.
Obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan Hepatitis C
kronis.2 Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus Hepatitis C,
tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa sendiri.
Untuk Interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu
dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat
dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan
setiap minggu dengan dosis 1,5 ag/kgBB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180
ug (untuk PegInterveron 40 KD). Pemberian Interferon diikuti dengan pemberian
Ribavirin dengan dosis pada pasien berat badan < 50 kg sebesar 800 mg setiap hari,
50 – 70 kg sebesar 1000 mg setiap hari, dan > 70 kg sebesar 1200 setiap hari dibagi
dalam 2 kali pemberian.2
4. Direct acting Antiviral.

14
5. KARSINOMA KOLON

Definisi
Karsinoma kolon adalah tumor ganas epitelial pada usus besar yang memanjang dari
sekum hingga rektum.

Insidensi
Karsinoma kolon merupakan kanker ketiga yang paling umum pada laki-laki dan
perempuan di Amerika Serikat. Menurut World Health Organization pada April 2003
melaporkan terdapat lebih dari 940.000 kasus baru karsinoma kolorektal dan hampir 500.000
kematian dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya. Angka kejadian kanker kolorektal
mulai meningkat pada umur 40 tahun dan puncaknya pada umur 60-75 tahun. Faktor
resikonya meliputi umur, diet tinggi lemak dan kolesterol, inflamatory bowel disease
(terutama kolitis ulseratif) dan genetik. Kanker kolon lebih sering terjadi pada wanita, kanker
rektum lebih sering ditemukan pada pria. Sekitar 5% penderita kanker kolon atau kanker
rektum memiliki lebih dari satu kanker kolorektum pada saat yang bersamaan.
Di Indonesia insidens pada pria sebanding dengan wanita dan lebih banyak pada
orang muda, 75% ditemukan di rektosigmoid. Di negara barat perbandingan insidens laki-laki
: perempuan adalah 3 : 1 dan kurang dari 50% ditemukan di rektosigmoid dan merupakan
penyakit usia lanjut.

Etiologi
Dari bukti-bukti eksperimental dan survei makanan, ditunjukkan bahwa faktor berikut
ini sangat berpengaruh terhadap timbulnya karsinoma kolon yaitu :
1. Tingginya konsumsi daging sapi dan lemak hewani,
2. Meningkatnya kuman-kuman anaerobik pada kolon,
3. Tumor yang memproduksi asam empedu sekunder,
4. Diet rendah serat, dan
5. Kemungkinan defisiensi bahan makanan protektif (yang mencegah timbulnya kanker)
dalam diet.
Teori yang pernah dikemukakan adalah diet dengan tinggi lemak hewani akan dapat
meningkatkan pertumbuhan kuman-kuman anaerobik pada kolon, terutama jenis clostridium
dan bakteroides. Organisme ini bekerja pada lemak dan cairan empedu sekunder, yang dapat
merusak mukosa kolon dengan aktivitas replikasinya dan secara simultan berperan sebagai
promotor untuk senyawa-senyawa lain yang potensial karsinogenik, dengan pembentukan
nitrosamida (suatu bahan karsinogen) dari amin dan amida yang dilepaskan oleh diet yang
mengandung daging dan lemak hewani. Sedangkan secara simultan, bahwa kurangnya serat
dalam diet akan memperkecil volume tinja dan memperlambat waktu pengosongan usus.
Keadaan ini mengurangi proses dilusi dan proses pengikatan bahan-bahan karsinogen. Diet
rendah serat sering disebabkan oleh rendahnya konsumsi buah-buahan serta sayur-sayuran
yang mengandung vitamin A, C, dan E, yang diduga mempunyai efek anti kanker.

Klasifikasi
Derajat keganasan karsinoma kolon berdasarkan gambaran histolik dibagi menurut
klasifikasi Dukes, berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma di dinding usus, yaitu :
Dukes A : dalamnya infiltrasi; terbatas pada dinding usus atau mukosa.
Dukes B : dalam infiltrasi; menembus lapisan muskularis mukosa.
Dukes C : dalamnya infiltrasi metastasi kelenjar limfe dengan :
C1 : beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer.

15
C2 : dalam kelenjar limfe jauh.
Dukes D : sudah metastasis jauh
Berdasarkan besar diferensiasi sel, terdapat klasifikasi yang terdiri dari 4 tingkat, yaitu
:
Grade I : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25%
Grade II : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25-50%
Grade III : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 50-75%
Grade IV : Sel-sel anaplastik lebih dari 75%

Klasifikasi karsinoma kolon menurut DUKES:


Klasifikasi TNM Klasifikasi Duke’s Harapan Hidup
Modifikasi (%)
Stage 0 Karsinoma in situ
Stage I tidak ada penyebaran pada A 90-100
limfonodi, tidak ada
metastasis, tumor hanya
terbatas pada submukosa
(T1, N0, M0); tumor
menembus muscularis
propria (T2, N0, M0)
Stage II tidak ada penyebaran pada B 75-85
limfonodi, tidak ada
metastasis, tumor
menembus lapisan
subserosa (T3, N0, M0);
tumor sudah penetrasi ke
luar dinding kolon tetapi
belum metastasis ke
kelenjar limfe (T4, N0,
M0)
Stage III Tumor invasi ke limfonodi C 30-40
regional (Tx, N1, M0)
Stage IV Metastasis jauh D <5
BMJ 2000;321:886-889 (7 Oktober 2001)
Tumor dapat menyebar secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti
pada kedalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan
mesokolon dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke
sistem portal.
Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan tumbuh sambil
menembus dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah oral dan aboral. Di daerah rektum
penyebaran ke arah anal jarang melebihi 2 cm. penyebaran per kontinuitatum menembus
jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya ureter, buli-buli, uterus, vagina atau prostat.
Penyebaran limfogen ke kelenjar parailliaka, mesenterium, dan paraaorta. Penyebaran
peritoneal menyebabkan paritonitis karsinomatosa dengan atau tanpa asites.

Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda dini karsinoma kolon rektal tidak ada. Umumnya gejala pertama
timbul karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat
penyebaran.

16
Pasien karsinoma kolorektal umumnya memberikan keluhan gangguan proses
defekasi. Keluhan yang diajukan bermacam-macam berlainan pada pasien yang satu dengan
yang lain bergantung pada lokasinya. Dari 291 penderita karsinoma kolorektal yang diteliti
keluhan utama pada waktu datang berobat ialah: 58,8% perdarahan segar per anal, 31,6%
buang air besar darah berlendir, dan 9,6 % obstruksi saluran makan.
Karsinoma kolon jarang ditemukan dalam skrining dan biasanya asimtomatik. Sekitar
50% pasien mengeluh nyeri perut, 35% dengan perubahan pola defekasi, 30% perdarahan
samar dan 15% gejala obstruksi usus. Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan
kolon yang kanan. Karsinoma kolon kiri sering bersifat skirotik, sehingga lebih banyak
menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi padat. Pada
karsinoma kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor
obstruksi.
Nyeri pada kolon kiri lebih nyata dari pada kolon kanan. Tempat yang dirasakan sakit
berbeda karena asal embriologenik yang berlainan, yaitu dari usus tengah dan usus belakang.
Nyeri dari kolon kiri bermula dibawah umbilikus sedangkan dari kolon kanan di epigastrium.
Gejala umum yang dikeluhkan pasien adalah:
1. Perdarahan segar peranal (hematokezia)
Sebagian besar pasien karsinoma kolorektal yang terletak di di bagian distal sering
mempunyai keluhan buang besar berdarah segar. Sumber perdarahan segar yang
terbanyak dari kanker terletak di bagian distal kolon dari kanker, terutama di rektum 89
dari 137 penderita (64,9%), menyusul dari sigmoid 62,7%, rektosigmoid 60,3% dan dari
kolon descendens 28,6%. Dari mereka yang mengalami perdarahan segar, ditemukan 7
pasien mengalami perdarahan masif, yaitu yang lokasinya di rektum 4, rektosigmoid 1,
dan sigmoid 2. Ketujuh penderita dengan perdarahan masif mengalami renjatan
hipovolemik, dan dilakukan pembedahan segera.
2. Buang air besar lendir darah
Seseorang yang mempunyai keluhan buang air besar darah lendir, perlu dipikirkan
adanya infeksi misal disentri basiler atau amoeba, kolitis ulseratif, selain disebabkan oleh
keganasan. Dari 291 pasien yang diteliti ditemukan 92 pasien (31,6%) mempunyai
keluhan buang air besar darah lendir. Dari hasil penelitian bahwa letak karsinoma
kolorektal dibagian proksimal lebih sering menimbulkan buang air besar darah lendir.
Hal ini disebabkan karena darah yang dikeluarkan oleh kanker tersebut sudah bercampur
dengan tinja.
3. Obstruksi Saluran Cerna
Gejala klinis pasien karsinoma kolorektal sering menimbulkan gangguan kebiasaan
buang air besar, diantaranya dapat menimbulkan tanda obstruksi, baik sebagian (parsial)
maupn obstruksi total sehingga timbul tanda-tanda ileus, buang air besar darah lendir
atau obstipasi beberapa hari. Dari penelitian ditemukan 28 pasien (9,6%) dengan tanda-
tanda obstruksi, yaitu perut kembung yang makin kembung dan makin lama makin
tegang, tidak dapat buang air besar dan tidak dapat flatus. Hal ini juga dikuatkan dengan
hasil rontgen polos abdomen terlentang dan berdiri yang menunjukkan pelebaran usus
halus dan kolon. Sebagai penyebab obstruksi ditemukan kanker yang terletak di rektum
16 (11,7%) , rektosigmoid 4 (6,3%), sigmoid 7 (10,4%) dan kolon ascendens 1 (14,2%).
Yang menimbulkan tanda-tanda obstruksi umumnya kanker berbentuk sirkular dan
anular yang menyebabkan terjadi penyempitan lumen usus. Bentuk striktura merupakan
tumor yang sering menonjol dan mengisi seluruh lumen usus sehingga menyebabkan
sumbatan total.
4. Pasien karsinoma kolorektal mempunyai keluhan lain seperti pasien kanker
umumnya, yaitu anoreksia, berat badan menurun, rasa nyeri perut ditempat kanker,
buang air besar tidak teratur, walaupun sudah buang air besar yang berupa tinja

17
dengan darah lendir tetapi masih meraskan banyak kotoran didalam perut yang sukar
keluar seperti ada sumbatan. Selain itu juga timbul tenesmus.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang yang mendukung diagnosis karsinoma kolon.
Anamnesis
Dari anamnesis kita dapat menduga seseorang menderita karsinoma kolorektal, pada
mereka yang usia lanjut yang mempunyai keluhan fungsi buang air besar terganggu yaitu bila
sulir buang air besar disertai darah lendir, atau buang air besar disertai darah segar.
Dapat juga untuk menggali riwayat :
 Perubahan kebiasaan defekasi seperti diarea, konstipasi
 Perdarahan rectal atau occult bleeding(meskipun demikian, feses sering normal)
 Kram atau nyeri perut
 Kelelahan dan fatigue
 Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
 Riwayat menderita polip kolorektal
 Riwayat menderita Chronic Inflammatory Bowel Desease
 Diet kurang serat

Pemeriksaan fisik
Karsinoma kolon disebelah kanan, kadang-kadang teraba suatu massa. Tumor
sigmoid sedikit dapat diraba diperut kiri bawah. Bila tumor sudah metastase ke hati, akan
teraba hati yang nodular dengan bagian yang keras dan yang kenyal. Dapat ditemukan massa
di abdomen, apabila ada gejala-gejala obstruksi dari inspeksi dapat ditemukan dinding
abdomen distensi, dumb countur, dumb steifung. Dari palpasi ditemukan massa abdomen,
dan hipertympani pada perkusi abdomen, auskultasi usus bisa ditemukan peningkatan
peristaltik yang kemudian diikuti dengan burburigmi, metalik sound dan penurunan serta
menghilangnya peristaltik Bisa juga ditemukan nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen
apabila terjadi perforasi usus.
Pemeriksaan Digital Rectal Examination (DRE) bisa ditemukan massa maligna
(massa berbenjol-benjol dengan striktura) direktum dan rektosigmoid teraba keras kenyal dan
lendir darah pada sarung tangan.
Tabel : Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal
Kolon Kanan :

- Anemia dan kelemahan


- Darah okul di feses
- Dispepsia
- Perasaan kurang enak di perut kanan bawah
- Massa di perut kanan bawah
- Foto rontgen perut khas
- Penemuan kolonoskopi
Kolon Kiri :

- Perubahan pola defekasi


- Darah di feses
- Gejala dan tanda obstruksi
- Foto rontgen khas
- Penemuan kolonoskopi
Rektum : 18

- Perdarahan rektum
- Darah di feses
Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan gejala-gejala yang dicurigai karsinoma kolon, diagnosis definitif
biasanya ditegakkan dengan endoskopi (fleksibel sigmoidoskopi dan colonoscopy) atau
barium enema. Pemeriksaan lain diperlukan untuk pemeriksaan derajat penyakit dan mencari
metastase. Ada berbagai pilihan penyaringan tersedia mencakup Fecal occult bleeding
(FOBT), fleksibel sigmoidoskopi (FS), sinar-x enema barium, dan kolonoskopi dan fecal
immunochemical test (FIT).
 Fecal Occult Bleeding Test
FOBT menawarkan beberapa keuntungan sebagai alat screening yang telah terbukti
efektif dalam percobaan secara random, yang non-invasive, dan hemat biaya. Akan
tetapi, penurunan angka kematian termasuk rendah (15–33%).
 Fecal Immunochemical Test (FIT)
Merupakan pemeriksaan feses-darah terbaru, dikenal sebagai fecal immunochemical test
(FIT), mendeteksi porsi spesifik dari protein darah manusia. Test ini dilakukan sama
seperti FOBT yang konvensional, tetapi lebih spesifik dan dapat mengurangi hasil positif
palsu. Vitamin atau makanan tidak mempengaruhi fecal immunochemical test, dan
formatnya hanya memerlukan 2 spesimen feses (FOBT konvensional membutuhkan 3),
jadi lebih mudah untuk digunakan. Fecal immunochemical test mempunyai beberapa
kelemahan sama seperti FOBT konvensional, seperti tidak bisa untuk mendeteksi tumor
yang tidak berdarah.
 Flexible Sigmoidoscopy (FS)
Flexible Sigmoidoscopy (FS) dapat juga digunakan sebagai alat penyaringan. Prosedur
bisa dilakukan dalam kantor tanpa pemberian obat penenang, hemat biaya dan murah,
dapat untuk mengurangi angka kematian kanker colon sekitar 60–70%, dan persiapan
pasien lebih mudah dibandingkan dengan kolonoskopi. Akan tetapi, FS mendeteksi
hanya separuh adenomas dan 40% kanker dari proximal sampai splenic flexure. Dapat
mengedintifikasi sampai 75% lesi proximal dan tidak dapat mendeteksi lesi distal.
Pemeriksaannya sering dibatasi oleh ketidaknyamanan pasien dan kurang persiapan.
Dengan melakukan pemeriksaan FOBT setiap tahun dan FS setiap lima 5 tahun. Metode
ini memberikan gambaran pada kolon descenden dan memberikan sensitifitas yang baik
pada FOBT untuk proximal kanker yang tidak bisa dicapai oleh FS. Suatu penelitian
terbaru menunjukkan bahwa penambahan sekali FOBT dengan FS meningkatkan tingkat
pendeteksian neoplasia dari 70% dengan FS sendiri, menjadi 76%.
 Penyinaran Enema barium
Pemeriksaan sinar-x enema barium (BE) mempunyai manfaat cost effective dan
memeriksa keseluruhan kolon. Barium enema sebaiknya menggunakan kontras ganda
dan usahakan melakukan pemotretan pada berbagai posisi bila ditemukan kelainan. Pada
foto kolnon dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat atau suatu striktura.
Selain itu dapat ditemukan lokasi tempat kelainan tersebut.

19
Gambar : Pemeriksaan kontras barium enema – radiograf
 Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat membantu mencegah kanker colon dengan pendeteksian polyp
adenomatosa dan polypectomy. Kolonoskopi memberikan gambaran keseluruhan colon
yang dapat mengidentifikasi dari lesi yang proximal dan lesi distal. Kolonoskopi
mempunyai sensitifitas terbaik pada metoda screening yang ada saat ini. Kerugian
kolonoskopi adalah biaya, resiko yang ditingkatkan seperti pendarahan dan perforasi,
persiapan pasien yang sulit, dan membutuhkan pemberian obat sedasi.
Secara endoskopi umumnya bentuk kanker kolorektal ialah polipoid yang ireguler,
anular seperti bunga kool yang ulseratif, striktura, sirkular, dan dapat menemukan letak
obstruksi. Apabila dibandingkan, kolonoskopi menjadi suatu metoda surveilen yang lebih
efektif dibanding dengan kontras barium enema ganda. Setelah melakukan pemeriksaan
kolonoskopi dengan disertai polypectomy, 580 pasien dilakukan surveilen dengan
kolonoskopi dan kontrol barium enema ganda (DCBE). Hasil kolonoskopi menemukan
392 polyp, DCBE menemukan polyp sebanyak 139 (35%) pada kasus yang sama.
 Pemeriksaan penunjang lainnya
- Radiografi thorak : digunakan untuk mendeteksi kanker yang telah metastase ke
paru-paru.
- Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi sangat sulit untuk mendeteksi kanker kolorektal. Alat ini baru
bermanfaat untuk mendeteksi ada tidaknya metastase kanker ke kelenjar getah
bening di abdomen dan di hati. Jika ada pembesaran kelenjar getah bening para-
aortal patut dicurigai suatu metastase dari kanker.
- CT-Scan : digunakan untuk mendeteksi metastase ke nodus limfatikus, hati atau
paru-paru

20
Gambar : CT Scan abdomen bagian atas menunjukkan multipel tumor dalam limpa
dan hati yang sudah menyebar (metastase) berasal dari kanker usus (karsinoma).
- Laboratorium
Setiap pasien yang mengalami perdarahan perlu diperiksa Hb, biasanya terjadi
penurunan Hb. Tumor marker (petanda tumor) yang biasa dipakai adalah CEA,
kadar CEA lebih dari ng\ml biasanya ditemukan pada karsinoma kolorektal yang
lanjut. Berdasarkan penelitian CEA tidak biasa digunakan untuk mendeteksi secara
dini karsinoma kolorektal, sebab ditemukan kenaikan titer lebih dari 5 ng\ml pada
sepertiga kasus.

Terapi
Farmakologi
Penelitian di Eropa dan Amertika Serikat melaporkan bahwa respon terhadap
kombinasi dari 5-fluorouracil (5-FU), leucovorin, dan irinotecan (CPT11) lebih baik bila
dibandingkan dengan 5-FU/leucovorin atau CPT11 secara tunggal. Terapi standar untuk
carsinoma kolon yang telah bermetastase adalah CPT11 dengan kombinasi 5-FU/LV dikenal
sebagai Saltz Regimen. Obat ini digunakan secara kombinasi dalam pengobatan carsinoma
colorektal.
Terapi dasar 5-FU diberikan secara infuse setiap hari selama 5 hari dalam 4 minggu
(mayo klinik regimen) dan diteruskan secara infuse setiap minggu untuk 6 minggu dengan 2
minggu off ( Roswell Park regimen).
Kategori obat: Antineoplastic agents, merupakan standar terapi dalam pengobatan ca kolon
termasuk terapi kombinasi. Diare merupakan efek samping yang biasa terjadi dalam
pengobatan ini. Efek samping lain termasuk mucositis, neutropenia, kerontokan rambut, dan
reaksi hipersensitivitas.
Fluorouracil (Adrucil)
Digunakan terutama dalam pengobatan carsinoma kolon pada penderita
yang berusia lebih dari 40 tahun. Dapat digunakan sebagai agen tunggal
atau kombinasi untuk terapi jangka panjang dengan leucovorin sebagai
modulator biokimia.
Sebagai antimetabolit (obat anti kanker dengan struktur kimia yang
hampir sama dengan faktor endogen intermediate atau memblok sintesis
Nama Obat
DNA atau RNA). 5-FU menghambat pertumbuhan sel tumor melalui
tiga mekanisme berbeda yang berhubungan dengan aktivitas sintesis
DNA atau kemampuan selular. Efek ini tergantung pada konversi
intraseluler dari 5-FU menjadi 5-FdUMP, 5-FUTP, dan 5-FdUTP. 5-
FdUMP menghambat thymidylate synthase (enzim kunci dalam sintesis
DNA) . 5-FUTP dihubungkan dengan proses sintesis RNA dan 5-FdUTP
berhubungan dengan DNA.
Standar pengobatan: 500 mg/m2 IV setiap minggu selama 4-6 minggu.
Terapi tambahan:
Regimen Mayo Klinik: 425 mg/m2/d IV bolus pada hari ke 1-5 setelah
Dosis Dewasa
pemberian LV untuk 5 hari setiap 4 minggu.
Roswell Park regimen: infuse dilanjutkan setiap minggu selama 6
minggu
Hipersensitivitas; supresi sumsum tulang belakang, infeksi berat,
Kontraindikasi
adenokarsinoma unresponsive atau progressive, kehamilan

21
Meningkatkan resiko perdarahan dengan antikoagulan, NSAIDs, platelet
inhibitor, agen trombolitik, agen imunosupresif; leucovorin menurunkan
Interaksi
kadar folat. Kombinasi dengan 5-FU lebih efektif dalam memblok
sintesis thymidylate (meningkatkan respon terapi).

Kehamilan Tidak aman untuk kehamilan


Mual, oral dan GI ulcers, depresi system imun, kegagalan hematopoiesis
Precautions
(supresi sumsum tulang belakang)
Irinotecan (Camptosar)
Menghambat topoisomerase I, menghambat replikasi DNA. Efektif
dalam pengobatan carsinoma colorektal. Standar terapi untuk carsinoma
kolon yang mengalami metastase termasuk kombinasi kemoterapi 5-
Nama obat
FU/LV/CPT11 karena terjadinya toksisitas dihubungkan dengan Saltz
Regimen (5-FU/LV/CPT11), saat ini standar terapi ca kolon yang
mengalami metastase maksimal 5-FU 400 mg/m2 dan CPT11 100 mg/m2
sebagai dosis awal.
Dosis dewasa 125 mg/m2 IV > 90 minimal setiap minggu dalam 4-6 minggu.
Hipersensitifitas; diarrhea akut; demam, neutropenia; adenokarsinoma
Kontraindikasi
anresponsif atau progresif.
Pemberian dengan antineoplastik lain dapat menyebabkan neutropenia
Interaksi memanjang dan trombositpenia yang dapat meningkatkan resiko
morbiditas maupun mortalitas.

Kehamilan Tidak aman untuk kehamilan


Efek samping termasuk myelosuppresi, alopecia, mual, muntah, dan
Perhatian
diare, awasi fungsi sumsum tulang belakang.
Leucovorin (Wellcovorin)
Nama obat
Standard therapy untuk ca kolon dan termasuk dalam terapi kiombinasi
Standard therapy: 20 mg/m2 IV setiap minggu untuk 4-6 minggu
Dosis dewasa Terapi tambahan: 20 mg/m2 IV sebelum pemberian 5-FU pada hari ke 1-
5 selama 4 minggu (Mayo Clinic regimen).
Kontraindikasi hypersensitivity; anemia pernisiosa; anemias megaloblastic
Oxaliplatin (Eloxatin)
Agent antineoplastik yang digunakan sebagai kombinasi dengan 5-FU
Nama obat
dan leucovorin untuk pengobatan ca kolon dengan metastasis yang
mengalami kekambuhan atau progressi.
Hari 1: 85 mg/m2 IV > 2 jam; diberikan secara simultan dengan
leucovorin 200 mg/m2; diikuti 5-FU 400 mg/m2 IV bolus > 2-4 min,
kemudian 5-FU 600 mg/m2 IV dalam larutan D5W 500 ml > 22 jam.
Dosis dewasa
Hari 2: Leucovorin 200 mg/m2 IV > 2 jam, diikuti 5-FU 400 mg/m2 IV
bolus > 2-4 min, kemudian 5-FU 600 mg/m2 IV dalam larutan D5W 500
Ml > 22 jam.
Interaksi Meningkatkan konsentrasi 5-FU dalam serum hampir 20%
Kehamilan Tidak aman untuk kehamilan

22
Reaksi Anaphylaxis, neuropati, fibrosis pulmoner, supresi sumsum
Perhatian tulang belakang, gejala system gastrointestinal (mual, muntah,
stomatitis), toksisitas ren atau hepar, tromboembolisme
Cetuximab (Erbitux)
Rekombinan antibody moniklonal dari manusia/tikus yang secara
spesifik berikatan dengan komponen ekstraseluler dari reseptor factor
pertumbuhan epidermal (EGFR, HER1, c-ErbB-1). Reseptor Cetuximab-
bound EGF menghambat aktivasi reseptor kinase, sehingga menghambat
Nama obat
pertumbuhan sel, menginduksi apoptosis, dan menurunkan produksi
matriks metalloproteinase dan vascular endothelial growth factor
(VEGF). Diindikasikan untuk terapi irinotecan-refractory, EGFR-
expressed, colorectal carcinoma yang telah mengalami metastase. Terapi
lebih baik dengan kombinasi irinotecan
Dosis awal: 400 mg/m2 IV (infuse > 2 jam)
Dosis dewasa
dosis pemeliharaan setiap minggu: 250 mg/m2 IV (infus > 1 jam).
Kontraindikasi Karsinoma kolorectal tanpa metastasis
Hipersensitifitas, termasuk alergi terhadap protein murine; hipotensi,
Perhatian
distress jalan nafas ( bronkospasme, stridor, hoarseness),
Bevacizumab (Avastin)
Diindikasikan sebagai terapi lini pertama pada metastatic colorectal
Nama obat cancer. Murine-derived monoclonal antibody menghambat angiogenesis.
Menghambat pembentukan pembuluh darah baru yang mengangkut
oksigen dan nutrisis yang dibutuhkan dalam pertumbuhan sel tumor.
Dosis dewasa 5 mg/kg IV 4 kali dalam 2 minggu
Pemberian dengan 5-fluorouracil dapat meningkatkan terjadinya
Interaksi
kejadian tromboembolik yang serius dan fatal (CVA, MI, TIAs, angina)
Hipertensi, fatigue, thrombosis, diarrhea, leukopenia, proteinuria, sakit
kepala, anorexia, dan stomatitis; mungkin menyebabkan keadaan serius
atau fatal tetapi hal ini jarang terjadi, yaitu perforasi gastrointestinal,
Perhatian infeksi intraabdominal, kegagalan penyembuhan luka, hemoptysis
(secara partikuler berhubungan dengan ca pulmo), dan perdarahan
internal, meningkatkan resiko yang serius maupun fatal terhadap
terjadinya trombotik arterial dengan pemberian 5-fluorouracil.

Kemoterapi
Kemoterapi Intrahepatic untuk carcinoma colon dengan metastase ke hepar adalah
intraarterial floxuridine (FUDR).
 Diikuti reseksi karsinoma kolon primer dan nodus limfatikus, dengan pilihan kemoterapi:
kemoterapi sistemik menggunakan regimen 5-FU/leucovorin/CPT11 atau kemoterapi
intrahepatic (intraarterial) dengan FUDR.
 Pilihan kedua untuk pasien dengan lesi hepar yang luas atau multiple sehingga
membutuhkan kemoterap dosis yang lebih tinggi. Prinsip terapi ini adalah metastase ke
hepar menerima suplai darah terutama melalui sirkulasi arteri hepatica, dinama hepar
secara normal menerima darah melalui vena porta. Efek samping utama pada intraarterial
FUDR adalah kolangitis sclerosis.

23
 Terapi FUDR intraarterial biasanya diberikan melalui pompa yang ditanam di daerah
subcutan, yang diganti secara periodik. Efek samping utama yang bisa terjadi adalah
sclerosing cholangitis.
Pembedahan
Pengobatan utama pada kanker kolorektal adalah pengangkatan bagian usus yang
terkena dan sistem getah beningnya. 30% penderita tidak dapat mentoleransi pembedahan
karena kesehatan yang buruk, sehingga beberapa tumor diangkat melalui elektrokoagulasi.
Cara ini bisa meringankan gejala dan memperpanjang usia, tapi tidak menyembuhkan
tumornya. Pada kebanyakan kasus kanker kolon, bagian usus yang ganas diangkat dengan
pembedahan dan bagian yang tersisa disambungkan lagi.
Untuk kanker rektum, jenis operasinya tergantung pada seberapa jauh jarak kanker ini
dari anus dan seberapa dalam tumbuh ke dalam dinding rektum. Pengangkatan seluruh
rektum dan anus mengharuskan penderita menjalani kolostomi menetap (pembuatan
hubungan antara dinding perut dengan kolon). Dengan kolostomi, isi usus besar dikosongkan
melalui lubang di dinding perut ke dalam suatu kantung, yang disebut kantong kolostomi.
Bila memungkinkan, rektum yang diangkat hanya sebagian, dan menyisakan ujung rektum
dan anus. Kemudian ujung rektum disambungkan ke bagian akhir dari kolon.

Gambar : Colostomy
Prosedur pembedahan klasik untuk carcinoma kolon adalah reseksi anterior.
Abdomen dieksplorasi untuk menentukan letak tumor yang akan direseksi, dan kemudian
reseksi dilakukan secara segmental (hemikolectomy kanan atau kiri) dengan end-to-end
anastomosis. Reseksi kolon total dilakukan terhadap pasien dengan polyposis familial dan
polip colon multiple.
 Laparoscopic colon resection: menggunakan teknik laparoscopic untuk melakukan
reseksi kolon.
 Penggantian sphincter secara elektrik untuk menstimulasi musculus neosphincter dan
penambahan anal sphincter untuk pasien dengan inkontinensia fecal stadium akhir.
 Hepatectomy partial untuk carcinoma kolon yang terbatas pada hepar merupakan terapi
pilihan untuk pasien dengan carsinoma colorektal berulang. Factor yang ikut
menentukan keberhasilan terapi ini termasuk metastase tunggal, kadar CEA lebih dari
200 ng/mL, diameter tumor < 5 cm, dan penanda negative setelah reseksi. Deteksi dini
terhadap carsinoma colorektal recuren termasuk dengan menggunakan CT atau MRI.
Kadar CEA juga penting untuk mendeteksi rekurensi, walaupun positive palsu dan
negativ palsu bisa saja terjadi.
 Terapi lain pada metastasis liver adalah termasuk cryoablation (tekhnik tertentu dalam
bedah abdomen) dan hepatic arterial infusion (HAI) dari agent chemotherapi seperti
FUDR. HAI FUDR adjuvant biasanya diikuti dengan hepatectomy parsial.

24
Konsultasi
 Konsultasi bedah
o Cancer colorectal, terutama stadium dini, dapat diterapi secara bedah. Setelah
dilakukan diagnosis dan ditentukan stadiumnya maka bisa ditentukan untuk
kemungkinan dilakukan pembedahan.
o Pada pasien dengan carsinoma colorektal dan metastase liver, konsultasi bedah
sebagai pilihan untuk memperkenalkan intrahepatic intraarterial chemotherapy
melalui penanaman pompa.
o Konsultasi sangat penting untuk screening terhadap individu resiko tinggi (individu
dengan riwayat keluarga carsinoma colorektal atau polyposis syndromes).
 Konsultasi gastroenterologi
o Konsultasi gastroenterologi juga memudahkan dalam melakukan pemantauan pasien
dengan carsinoma colorektal yang telah dilakukan reseksi dan diberikan kemoterapi
tambahan. Dilakukan screening terhadap terjadinya rekurensi dengan melakukan
pemeriksaan colonoscopic secara periodic. Karena neoplasma colon tumbuh secara
perlahan, maka perlu dilakukan kolonoskopi 1 kali per tahun selama 2-3 tahun dan
sesudahnya setiap 2-3 tahun.
 Radiasi onkologi
o Pasien dengan carsinoma rektal perlu dilakukam konsultasi radiasi onkologi. Radiasi
bertujuan untuk mengurangi resiko kekambuhan dari carsinoma rektal.
o Radiasi bermanfaat juga sebagai terapi paliatif (mengurangi pertumbuhan tumor
pada lokasi spesifik yang merupakan hasil metastase dari carsinoma colorektal).
Terapi ini juga bisa untuk meningkatkan kualitas hidup (membantu mengontrol nyeri
atau kompresi medula spinalis atau sindrom vena cava.
Terapi penyinaran setelah pengangkatan tumor, bisa membantu mengendalikan
pertumbuhan tumor yang tersisa, memperlambat kekambuhan dan meningkatkan harapan
hidup. Pengangkatan tumor dan terapi penyinaran, efektif untuk penderita kanker rektum
yang disertai 1-4 kanker kelenjar getah bening. Tetapi kurang efektif pada penderita kanker
rektum yang memiliki lebih dari 4 kanker kelenjar getah bening.

25
6. Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas (PSMBA)

Defenisi :
Perdarahan saluran makanan pada bagian proksimal dari ligamentum Treitz, yang meliputi
esofagus, lambung dan duodenum.

Anamnesis :
Riwayat penyakit lambung sebelumnya atau gejala dispepsia, riwayat pemakaian aspirin,
OAINS, alkohol atau bahan kaustik tertentu.

Pemeriksaan fisik :
PSMBA non variseal: dapat dijumpai nyeri tekan epigastrium.
PSMBA variseal: dapat dijumpai ikterik pada sklera, asites, dan edema pada tungkau, juga
adanya tanda-tanda liver stigmata, seperti spider nevi dan palmar eritema.

Kriteria diagnosis :
PSMBA non variseal:
Anamnesis: perlu ditanyakan riwayat penyakit lambung sebelumnya atau gejala dispepsia,
riwayat pemakaian aspirin, OAINS, alkohol atau bahan kaustik tertentu.
Gejala klinis: hematemesis dan melena, dan kadang-kadang dengan manifestasi
hematokezia, terutama dari duodenum yang terjadi bila perdarahannya cepat dan banyak
>1000 ml dan disertai syok.
Laboratorium: mencakup pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, hitung trombosit dan
koagulasi.

26
PSMBA variseal:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------
DIAGNOSIS DAN DIFERENSIAL DIAGNOSIS
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Table. Guidline for diagnosing esophageal varices

Diagnosis banding :
PSMBA bisa disebabkan oleh:
- Penyakit ulkus peptikum (duodenum, gaster)
- Gastritis (disebabkan OAINS, stress, dan kemoterapi)
- Varises (esophagus, gaster, duodenum)
- Gastropati portal
- Sindroma Mallory Weiss
- Esofagitis dan ulkus esophagus
- Neoplasma
- Ektasia vaskular dan angiodisplasia
- Gastric antral vascular ectasia
- Fistula aortoenterik
- Hematobilia
- Hemosuccus pancreaticus

Pemeriksaan penunjang :
Tindakan endoskopi mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang akurat dalam menentukan
lokalisasi dan kondisi lesi atau ulkus. Pemeriksaan skintigrafi dan angiografi dapat membantu
terutama pada perdarahan banyak yang mengganggu gambaran pemeriksaan endoskopi.
Skintigrafi dengan menggunakan 99mTc-sulfur colloid atau dengan 99mTc pertechnetate
labeled erythrocyte scan dapat melokalisasi perdarahan ke area abdomen jika terjadi
kehilangan darah melebihi 0.5 ml/menit. Pemeriksaan CT atau MRI dapat dilakukan pada
kecurigaan fistula aortoenterik, setelah pemeriksaan endoskopi mengeksklusi sumber
perdarahan lain.

27
Terapi :
Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas non varises meliputi:
a. Terapi non-endoskopi
 Non farmakologis. Pada kondisi perdarahan disarankan pemasangan pipa nasogastrik,
dapat dilakukan kumbah lambung sebagai persiapan pemeriksaan endoskopi dan
memperkirakan jumlah perdarahan. Bila tidak ditemukan perdarahan, pemasangan pipa
nasogastrik dipertahankan sekitar 12-24 jam.
 Farmakologis. Obat-obat yang digunakan untuk penatalaksanaan perdarahan
mempengaruhi perdarahan dengan 3 cara: (1) menurunkan sekresi asam lambung sehingga
membentuk lingkungan yang lebih baik untuk penyembuhan lesi dan stabilisasi klot
(antagonis reseptor histamine H-2, proton pump inhibitor); (2) menurunkan atau
memperlambat disolusi klot (antiperdarahan); (3) menurunkan aliran darah splancnik
(somatostatin-ocreotide).
Pasien perdarahan akibat tukak peptik yang dihubungkan dengan Helikobakter Pylori ( HP
), eradikasi HP. Kalau perdarahan akibat penggunaan OAINS, obat ini harus dihentikan,
bila masih diperlukan maka Cox-2 selektif OAINS dikombinasi dengan PPI dapat
diberikan.
b. Terapi endoskopi
Terapi endoskopi ditujukan untuk perdarahan tukak peptikum yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapi endoskopi terbagi menjadi 4 kategori
yaitu: (1) koagulasi termal atau elektrik; (2) mekanis dengan alat clip, loop dan band; (3)
injeksi lokal penyuntikan adrenalin, etanol, polidokanol, etanolamin oleat, dan
sianoakrilat; (4) kombinasi.
c. Kombinasi terapi endoskopi dan non-endoskopi
Beberapa penelitian menunjukkan pasien yang mendapat kombinasi terapi PPI dan
endoskopi hemostasis mengalami lebih sedikit efek samping, kejadian perdarahan ulang,
tindakan bedah, kematian dan lama rawatan yang lebih rendah dibandingkan pasien yang
hanya mendapat endoskopi hemostasis.

d. Terapi radiologi
Terapi angiografi diindikasikan bila tetap terjadi perdarahan setelah terapi endoskopis.
e. Pembedahan
Pembedahan diindikasikan bila terapi endoskopis dan radiologis gagal.

Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas non varises meliputi:


a. Manajemen umum perdarahan varises (Resusitasi dan koreksi hipovolemia)
Prosedur awal pada perdarahan varises adalah mempertahankan jalan nafas tetap
aman untuk mencegah terjadinya aspirasi pulmonal.Intubasi harus dipertimbangkan
terutama pada pasien-pasien dengan ensefalopati atau perdarahan berat yang tidak
terkontrol. Pasien harus dimonitor dengan pulse oximetry. Elektif atau intubasi
trachea emergensi mungkin dibutuhkan untuk perlindungan jalan nafas pada
endoscopy, terutama pada pasien dengan hepatik encephalopathy.

28
Tabel. Manajemen umum perdarahan variceal aktif
b. Penggantian cairan
Harus dilakukan secepatnya untuk mencegah komplikasi seperti shok hipovolemik
atau penurunan perfusi ke organ-organ vital. Substitusi plasma dengan gelatine-based
colloids, albumin atau fresh frozen plasma secara luas digunakan. Namun perlu
diperhatikan bahwa overtransfusi sebaiknya dihindari, karena hal ini dapat
menyebabkan peningkatan tekanan portal dan resiko lebih tinggi untuk terjadinya
rebleeding dan congesti pulmonal.
c. Transfusi
Transfusi bersifat individual tergantung pada keparahan perdarahan dan ada atau
tidaknya koagulopati.Resusitasi volume darah harus diperhatikan, dengan target
mempertahankan stabilitas hemodinamik dan hemoglobin sekitar 8. Transfusi fresh
frozen plasma dan trombosit dapat dipertimbangkan pada pasien dengan koagulopati
yang signifikan dan atau trombositopenia.

Manajemen khusus perdarahan varises pada sirosis hati:


1. Profilaksis antibiotik
Menurut BAVENO V, antibiotik profilaksis adalah bagian integral dari terapi pada
pasien sirhosis yang datang dengan perdarahan saluran cerna bagian atas, oral quinolone
direkomendasikan pada sebagian besar pasien. Ceftriaxone intra vena harus dipertimbangkan
pada pasien dengan sirosis hati lanjut yang dirawat di rumah sakit dengan prevalensi tinggi
infeksi bakteri yang resisten terhadap quinolone dan terhadap pasien yang mendapat terapi
profilaksis quinolone sebelumnya. Quinolone dapat dengan mudah diabsorbsi dan hasil
beberapa trial menunjukkan penggunaan oral sama baiknya dengan intra vena. Quinolone
400-500 mg dua kali sehari selama 5-7 hari, dan terapi oral lebih dipilih.Penggunaan
cephalosporin intra vena juga selama 5-7 hari, sedangkan aminoglycosides sebaiknya
dihindari karena toksisitas terhadap ginjal.
2. Terapi perdarahan variceal akut secara pharmakologi
Pasien dengan sangkaan perdarahan variceal, harus segera diberikan obat-obatan
vasoaktif sesegera mungkin sebelum tindakan endoskopi. Obat-obatan vasoaktif (
terlipressin, somatostatin, ocreotide, vapreotide) sebaiknya dikombinasikan dengan terapi
endoskopik dan dilanjutkan sampai 5 hari.
2.1 Terlipressin
Analog vasopressin sintetik kerja panjang yang memiliki efek samping kardiovaskular
yang lebih rendah dibandingkan dengan vasopressin. Terlipressin memodifikasi
29
hemodinamik sistemik dengan penurunan cardiac output dan peningkatan tekanan darah
arterial dan resistensi vaskular sistemik. Hal ini menyebabkan penurunan pada inflow
splanik, penurunan ini bersama dengan vasokonstriksi pembuluh darah splanik menurunkan
tekanan portal sekitar 20 % setelah single dose. Terlipressin memiliki efek menguntungkan
pada fungsi ginjal dan pasien dengan sirosishati dekompensata dan hepatorenal failure. Dosis
2 mg/4 jam selama 48 jam pertama, dan dapat dilanjutkan sampai 5 hari dengan dosis yang
lebih rendah yaitu 1 mg/4 jam atau 12-24 jam setelah perdarahan berkurang. Efek samping
berhubungan dengan vasokonstriksi yaitu myocardial ischemik, infarc intestinal dan limb
iscshemik.
2.2 Somatostatin dan analog
Somatostatin banyak digunakan dalam terapi perdarahan variceal akut. Dapat
mengurangi tekanan portal sekitar 17 % tanpa mempengaruhi hemodinamik sistemik.
Penggunaan nya diawali dengan 250 μg bolus diikuti oleh infus 250 μg/jam yang dapat
dipertahankan sampai 24 jam bebas perdarahan. Infus ocreotide dapat mencegah peningkatan
tekanan portal setelah makan. Dosis yang biasa diberikan adalah bolus 50 μg diikuti oleh
infus 25-50 μg/jam.Walaupun efikasi okreotide masih kontroversial, angka rebleeding dapat
diturunkan. Efek samping ocrotide dan somatostatin jarang dan lebih sedikit dibandingkan
dengan terlipressin.
2.3 Recombinant factor VII a
Pasien dengan sirrosis hati dapat mengalami gangguan koagulopati, yang dapat
berkembang selama perdarahan. Obat ini telah dievaluasi dalam 2 randomized clinical trial
sebagai tambahan dalam terapi endoskopik dan terapi vasoaktif. Golongan ini dapat
dipertimbangkan pada kondisi dimana terapi lain telah gagal.
3. Terapi endoskopi
Walaupun terapi farmakologis umumnya aman, namun esophagoduodenoscopy harus
dimulai secepatnya setelah pasien datang ( dalam 12 jam ) dan terapi endoskopi harus
dilakukan jika sumber perdarahan dari varises dapat dikonfirmasi. Terapi local berupa
Endoskopi Skleroterapi (EST) dan Endoscopic Variceal Ligation (EVL),dimana terapi ini
tidak mempunyai efek pada portal flow atau resistensinya.
Shunting berupa Surgical atau radiological (Transjugular Intra Hepatic Porto
Systemic Shunt / TIPSS) dimana cara ini dapat mereduksi tekanan portal. Endoscopic
scleroterapi dan variceal ligation efektif menghentikan perdarahan diatas 90%. Endoscopic
binding ligation lebih efektif dibandingkan skleroterapi dimana kedua teknik tersebut
mempunyai side efek yang sangat sedikit dan endoscopic binding ligation lebih sulit
dibandingkan dengan skleroterapi pada pasien dengan severe active bleeding.
3.1 Endoskopi Skleroterapi ( EST )
Tekhnik nya terdiri dari injeksi sclerosant ke intravariceal atau paravariceal varix.
Komplikasi EST muncul selama atau setelah prosedur termasuk rasa tidak nyaman pada
dada, ulcer, striktur, dan perforasi. Resiko ulcer dapat dikurangi dengan pemberian sukralfat
setelah EST.
3.2 Endoskopi Variceal Ligation ( EVL )
EVL adalah modalitas endoskopi yang terpilih untuk mengkontrol perdarahan varices
esofagus akut dan untuk mencegah terjadinya rebleeding. Varices pada gastroesofagus
junction diikat pertama, dan kemudian varices yang lebih proksimal diikat dengan cara spiral
dengan interval sekitar 2 cm. Varices yang terletak pada pertengahan atau proksimal
oesofagus tidak perlu diikat.
Terapi endoskopi dengan adhesive acrylate ( N-butyl cyanoacrylate )
direkomendasikan pada perdarahan varices esophagus tipe 2 yang luasnya melewati cardia,
dapat pula diberikan pada gastroesophageal varices tipe 1.

30
4. TIPS ( Transjugular intrahepatic portosystemic shunts )
TIPS mengurangi tekanan vena porta dengan membuat komunikasi antara vena
hepatika dan vena portal cabang intrahepatik. TIPS dapat menciptakan hemostasis lebih dari
90 % kasus.Pelaksanaan TIPS dini dalam 72 jam harus dipertimbangkan pada pasien-pasein
dengan resiko tinggi kegagalam pengobatan ( Child pugh class C atau Child pugh B dengan
perdarahan aktif ) setelah terapi pharmacological inisial dan terapi endoskopi. TIPS dilakukan
dengan menempatkan stent intrahepatik diantara vena portal dan cabang vena hepatika, yang
mengarahkan aliran darah portal menuju sirkulasi sistemik sehingga dapat menurunkan
tekanan portal. Transjugular Intra Hepatic Porto Systemic Shunt/TIPSS adalah alternative
yang sangat baik bila terapi endoskopi dan farmakologi gagal. Sementara pemakaian Balloon
Tamponade sangat menurun oleh karena resiko tinggi untuk perdarahan ulang serta
mempunyai komplikasi.
5. Baloon Tamponade
Penggunaan Baloon tamponade hanya dilakukan pada perdarahan masif sebagai
jembatan sampai terapi definitif dapat dilakukan (maksimal 24 jam, lebih dipilih dilakukan
pada ruang perawatan intensif ).

Edukasi :
Lihat lembar edukasi pasien hiponatremia

Prognosis :
Prognosis pasien dengan varises esofagus:
- Kira–kira 30 % pasien akan berdarah pada tahun pertama setelah didiagnosa.
Mortalitasnya tergantung kepada keparahan dan penyebab penyakit hati tersebut.
- Mortalitas ditentukan oleh episode setiap perdarahan < 10 % pada sirosis kompensata
dengan Child Pugh A sampai 70 % pada pasien Child Pugh C dan resiko perdarah
ulang mencapai 80% dalam 1 tahun.
- Pasien dengan Hepatic Venous Pressure Gradient > 20 mm air raksa dalam 24 jam,
berdarah maka ini menjadi high risk untuk perdarahan ulang pada minggu pertama.
- Kira-kira 60 % pasien yang tidak diterapi akan timbul late rebleeding dalam 1-2
tahun.

Kepustakaan :
1. Barkun A, Bardou M, Kulpers EJ, et al. (2010). International Consensus
Recommendations on the Management of Patients with Nonvariceal Upper
Gastrointestinal Bleeding. Ann Intern Med, 152:101-13.
2. Hisham ALD, Barkun A. (2012). The Acute Management of Nonvariceal Upper
Gastrointestinal Bleeding. Hindawi Publishing Corporation. doi: 10.1155/2012/361425.
3. Sheasgreen C, Leontiadis GI. (2013). Recent advances on the management of patients
with non-variceal upper gastrointestinal bleeding. Ann of Gastroenterology, 26:191-7.
4. Stanley AJ. (2012). Update on risk scoring systems for patients with upper
gastrointestinal haemorrhage. World J Gastroenterol, 18(22):2739-44
5. Simadibrata Marcellus.Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas-peran PPI
dalam:Simdibrata Marcellus dkk,Procedding simposium emergency in
gastroenterology.Jakarta.Departemen IPD UI; 2005, 10-20
6. Lindenauer Prter,Terdiman Jonathan,Acute gastrointestinal bleeding. NEJM
2006;36:168-178.

31
7. Pangestu Adi,Pengelolaaan perdarahan saluran cerna bagian atas.dalam:Sudoyo,Aru
W,Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam,jolid 1,edisi 4.Jakarta.Departemen IPD UI;2006,hal
291-294.
8. Chen ZJ, Freeman ML. Management of upper gastrointestinal bleeding emergencies:
evidence-based medicine and practical considerations. World J Emerg Med, Vol 2, No 1,
2011 5

32
LEMBAR EDUKASI UNTUK PASIEN DAN KELUARGA
Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas
Anda/ Suami Anda/ Orangtua Anda/ Saudara Anda saat ini sedang menderita perdarahan
saluran makan bagian atas (PSMBA). PSMBA adalah istilah medis dari perdarahan pada
saluran pencernaan yang termasuk esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Salah satu
penyebab PSMBA adalah gastritis yaitu peradangan pada dinding lambung akibat
ketidakmampuan lapisan lambung untuk melindungi dirinya sendiri dari asam lambung.
Selain itu disebabkan oleh varises esofagus yaitu pembengkakan pada vena-vena esofagus
atau lambung, yang biasanya disebabkan oleh jaringan parut yang terbentuk di hati. Setiap
tanda adanya darah pada feses atau pada bagian manapun pada saluran pencernaan bagian
atas memerlukan perhatian medis secepatnya.
Gejala-gejala PSMBA yang mungkin timbul adalah adanya darah di dalam muntah, darah di
dalam tinja, kram perut, kulit yang pucat, pusing, sakit perut sesak nafas, tinja berwarna
hitam
Perdarahan Saluran Pencernaan Bagian Atas dapat dicegah dengan menghindari penggunaan
konsumsi obat secara sembarangan, misalnya Obat Anti Peradangan Non-Steroid, serta
jauhkan diri dari alkohol.
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas bisa karena varises esofagus atau juga karena
tukak peptikum yang disebabkan adanya kerusakan pada mukosa lambung atau usus dua
belas jari akibat adanya asam lambung yang normalnya ada di lambung dalam proporsi
tertentu. Varises esofagus adalah pembesaran abnormal pembuluh darah vena di esofagus
bawah. Biasanya varises esofagus tidak bergejala, kecuali jika sudah robek dan berdarah.
Perdarahan juga bisa disebabkan karena infeksi Helicobacter Pylori yang ditularkan melalui
makanan dan minuman, serta penggunaan obat-obatan yang merusak dinding lambung.

Gejalanya pun berbeda-beda. Pada perdarahan di saluran cerna bagian atas seperti lambung
atau usus dua belas jari, gejala yang umum adalah muntah darah hitam yang keluar
bercampur asam lambung (hematemesis), dan buang air besar kehitaman (melena).
Untuk mengetahui diagnosis PSMBA diperlukan pemeriksaan darah dan fungsi hati,
pemeriksaan endoskopi serta pemeriksaan lain tergantung umur, gejala-gejala lain, dan situasi
individual lainnya.
Penanganan dan pengobatan Perdarahan Saluran Pencernaan Bagian Atas dapat berbeda
tergantung pada kondisi pasien dan penyakit yang dideritanya. Pilihan pengobatan adalah
pemberian antibiotik, obat-obatan untuk menghentikan perdarahn, dan dilakukannya tindakan
esofagogastroduodenoskopi, kauterisasi atau skleroterapi.
Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter dan membaca lembaran ini, Anda/ Suami Anda/
Istri Anda/ Orangtua Anda/ Saudara Anda akan diminta menandatangai lembar general
concent dan informed concent yang berisikan penjelasan bahwa Anda/ Suami Anda/ Istri
Anda/ Orangtua Anda/ Saudara Anda telah memahami tentang penyakit yang sedang diderita
termasuk cara penanganan dan komplikasinya.
Panduan Praktek Klinik

33
7. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non Varises
Definisi

Perdarahan saluran cerna bahagian atas (PSCBA) Non Varises atas adalah perdarahan yang
terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal yang bukan disebabkan
oleh Varises esofagus dan lambung .

Perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat bermanifestasi klinis mulai dari yang ringan,
misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang mengancam hidup. Hematemesis
adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi).
Perdarahan saluran cerna bagian atas, terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi
dalam bentuk melena.

Anamnesis
Pada penemuan kasus PSCBA anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati
kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu-
jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal,
riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah
sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory
Weiss.
Gejala bisa berupa muntah darah yang berwarna coklat merah atau “coffee ground,
mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena), Penderita dengan perdarahan jangka panjang,
bisa menunjukkan gejala-gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan
pusing. Jika terdapat gejala-gejala tersebut, bisa diketahui adanya penurunan abnormal
tekanan darah, pada saat penderita berdiri setelah sebelumnya berbaring.

Pemeriksaan fisik
Tanda yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah denyut nadi yang cepat,
tekanan darah rendah dan berkurangnya pembentukan air kemih. Tangan dan kaki penderita
juga akan teraba dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke otak karena kehilangan
darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa mengantuk dan bahkan syok. Gejala
kehilangan darah yang serius bisa berbeda-beda, tergantung pada apakah penderita memiliki
penyakit tertentu lainnya. Penderita dengan penyakit arteri koroner bisa tiba-tiba mengalami
angina (nyeri dada) atau gejala-gejala dari suatu serangan jantung. Pada penderita perdarahan
saluran pencernaan yang serius, gejala dari penyakit lainnya, seperti gagal jantung, tekanan
darah tinggi, penyakit paru-paru dan gagal ginjal, bisa bertambah buruk.

Diferensial Diagnosis
Menurut Porter, R.S, et al ( 2008) banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna
bahagian atas, yaitu :

1. Duodenal ulcer (20 – 30 %)


2. Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %)
3. Varices (15 – 20 %)
4. Gastric ulcer (10 – 20 %)
5. Mallory – Weiss tear (5 – 10 %)
6. Erosive esophagitis (5 – 10 %)
7. Angioma (5 – 10 %)
8. Arteriovenous malformation (< 5 %)
9. Gastrointestinal stromal tumors

34
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan yaitu pemeriksaan darah perifer lengkap berupa
hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, pemeriksaan hemostasis lengkap untuk
mengetahui adanya kelainan hemostasis, pemeriksaan fungsi hati untuk menyingkirkan
adanya sirosis hati, pemeriksaan fungsi ginjal untuk menyingkirkan adanya penyakit gagal
ginjal kronis, pemeriksaan adanya infeksi Helicobacter pylori dan lain-lain. Untuk memonitor
perdarahan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit trombosit secara berkala
tiap 6 jam dan memasang selang nasogastrik dengan pembilasan tiap 6 jam. Dengan
pemasangan selang nasogastrik kita juga dapat memastikan bahwa darah memang berasal
dari saluran cerna bagian atas, walaupun tidak adanya darah melalui bilasan lambung belum
menyingkirkan kalau sumber perdarahan dari saluran cerna bagian atas.
Pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
penting karena dapat memastikan diagnosis atau penyebab perdarahan lainnya dari esofagus,
lambung dan duodenum. Penyebab perdarahan dapat disebabkan oleh satu atau lebih
penyebab, sehingga dengan diketahui pasti penyebabnya maka penatalaksanaan dapat lebih
optimal.

Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau pemasangan selang
nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang jelas terlihat; cairan bercampur
darah, atau “ampas kopi”.
Tujuan dari pemasangan pipa nasogastrik adalah:

1. Menentukan tempat perdarahan.


2. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.

Terapi
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi tindakan umum dan
tindakan khusus .
1. Tindakan umum:
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC (Airway-Breathing-Circulation ).
Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat segera
dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi.
Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
- Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar minimal no 18.
- Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan CVP
- Oksigen sungkup/ kanula. Bila ada gangguan Airway-Breathing perlu dipasang ETT
- Mencatat intake output, pasang kateter urine
- Memonitor tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai dengan
komorbid yang ada.
- Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi
- Melakukan Transfusi darah PRC sesuai jumlah perdarahan dan nilai hemoglobin
dengan target Hb : 9-10 gr/dL.
2. Terapi khusus
1. Terapi medikamentosa :
 PPI (Proton Pump Inhibitor) : Injeksi PPI 80 mg bolus selanjutnya 8 mg/jam
selama 72 jam dilanjutkan oral sampai 2 minggu.
 Obat Hemostasis : injeksi asam traneksamat 500 mg/ 12 jam.
2. Terapi endoskopi

35
 Injeksi adrenalin-saline )
 Termal (koagulasi, heatprobe,laser
 Mekanik (hemoklip,stapler)
3. Terapi bedah
Penatalaksanaan bedah/operatif merupakan penatalaksanaan yang cukup penting bila
penatalaksanaan konservatif dan khusus gagal atau memang sudah ada komplikasi
yang merupakan indikasi pembedahan. Biasanya pembedahan dilakukan bila pasien
masuk dalam :
a. Keadaan gawat I sampai II
b. Komplikasi stenosis pilorus-duodenum, perforasi, tukak duodenum refrakter
Yang dimaksud dengan gawat I adalah bila perdarahan SCBA dalam 8 jam
pertama membutuhkan darah untuk transfusi sebanyak 2 liter, sedangkan gawat II
adalah bila dalam 24 jam pertama setelah gawat I pasien masih membutuhkan darah
untuk transfusi sebanyak 2 liter.

Tabel Obat-obatan yang digunakan


Kelas Obat Dosis
1. Penghambat Omeprazol kapsul 20 atau 40 mg
Pompa Proton dan Ampul Oral : sekali sehari
(Proton Pump Injeksi : 80 mg bolus selanjutnya
Inhibitor) drip 8 mg/jam selama 72 jam atau
IV 40 mg/ 8 jam selama 3 hari

Lansoprazol 15 atau 30 mg
kapsul dan Ampul Oral : sekali sehari
Injeksi 30 mg secara IV lambat 2
kali/hari
Pantoprazol 20 atau 40 mg
kapsul dan Ampul Oral : sekali sehari
Injeksi :1 vial pantoprazol IV 40
mg /hari.
Esomeprazol 20 atau 40 mg
kapsul dan Ampul Oral : sekali sehari
Injeksi : 80 mg bolus selanjutnya
drip 8 mg/jam selama 72 jam
Rabeprazol kapsul 10 mg and 20 mg
Oral : sekali sehari

2. Hemostasis Asam Traneksamat 250 atau 500 mg


1-2 amp/hari IV atau 1-2 dosis
terbagi IM atau 2-10 amp dengan
infus drip.
3. Vasokonstriktor Adrenalin 1 : 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap
kali suntik dengan batas dosis 10
ml

36
Edukasi
- Diet : memperbaiki pola makan, yang tadinya tidak teratur menjadi teratur dan tepat
waktu. Selain itu juga harus menghindari beberapa jenis makanan yang bisa
menyebabkan meningkatknya asam lambung.
- Berhenti minum alkohol dan merokok
- Aspek psikososial : hindari gaya hidup yang dapat memicu depresi dan stress.

Prognosis
et Bonam ( bisa sembuh)

37
Kepustakaan
1) Alan Barkun A, Bardou M, MD, PhD; and Marshall JK. Consensus
Recommendations for Managing Patients with Nonvariceal Upper Gastrointestinal
Bleeding the Nonvariceal Upper GI Bleeding Consensus Conference Group* Annals
of Internal Medicine 2013, Vol 139 , Number 10

2) Djojoningrat D. Perdarahan saluran cerna bagian atas (Hematemesis Melena), dalam


: Rani A, Simadibrata M, Syam AF. Buku ajar Gastroenterologi. Interna Publishing
Jakarta 2011 : 33-43.

3) Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Perdarahan Saluran makan Bagian Atas tahun 2003.

4) Zain LH. Penanggulangan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam : Nasution
MY, Tunggul R, Damanik C, Mardianto. Kumpulan makalah pertemuan ilmiah
tahunan & Reuni alumni ‘2000.
5) Zulkhairi. Perdarahan Saluran Makanan Bagian Atas Non-varises. Medika ,
Desember 2012, No 01, Vol XXXVIII

38
8. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas karena Varises
Definisi
Varises gastroesofagus adalah pelebaran pembuluh darah di gaster atau esofagus yang terjadi
semakin besar. Pecahnya varises tersebut akan menimbulkan perdarahan. Varises terjadi pada
hampir 50% pasien dengan sirosis hati. Perdarahan yang terjadi dapat bermanifestasi klinis
mulai dari ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang mengancam
kehidupan.
Varises lambung dapat juga ditemukan pada pasien dengan trombosis vena lienalis yang
menghambat aliran pembuluh darah vena gastrica brevis yang mendarahi fundus lambung.
Selain itu dapat merupakan komplikasi pankreatitis akut, karsinoma pankreas, atau tumor
abdomen lainnya.

Anamnesis
Pada kasus PSCBA secara umum anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit
hati kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu –
jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit
ginjal,riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-
muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma
Mallory Weiss.
Gejala bisa berupa muntah darah yang berwarna coklat merah atau “coffee ground,
mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena), Penderita dengan perdarahan jangka panjang,
bisa menunjukkan gejala-gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan
pusing. Jika terdapat gejala-gejala tersebut, bisa diketahui adanya penurunan abnormal
tekanan darah, pada saat penderita berdiri setelah sebelumnya berbaring.

Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian ABC (Airway –
Breathing – Circulation), pasien-pasien dengan hematemesis yang masif dapat mengalami
aspirasi atau sumbatan jalan nafas, hal ini sering ini sering dijumpai pada pasien usia tua dan
pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Khusus untuk penilaian hemodinamik
(keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi jumlah perdarahan.
 Perdarahan < 8% hemodinamik stabil
 Perdarahan 8%-15% hipotensi ortostatik
 Perdarahan 15-25% renjatan (shock)
 Perdarahan 25%-40% renjatan + penurunan kesadaran
 Perdarahan >40% moribund
Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit hati kronis ( kterus,
spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai).
Pada penderita penyakit hati, perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan pembentukan
toksin yang akan menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian, perubahan kesiagaan
dan perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).

Diferensial Diagnosis
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas, menurut Porter, R.S,
et al ( 2008) yaitu :

1. Duodenal ulcer (20 – 30 %)


2. Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %)
3. Varices (15 – 20 %)

39
4. Gastric ulcer (10 – 20 %)
5. Mallory – Weiss tear (5 – 10 %)
6. Erosive esophagitis (5 – 10 %)
7. Angioma (5 – 10 %)
8. Arteriovenous malformation (< 5 %)
9. Gastrointestinal stromal tumors

Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnostik memerlukan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain laboratorium
darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula darah, elektrolit, golongan darah,
RÖ dada, ultrasonografi abdomen, endoskopi dan elektrokardiografi.

Diagnosis
Pasien dengan perdarahan varises biasanya memberikan gejala yang khas berupa
hematemesis, hematoskezia, atau melena, penurunan tekanan darah, dan anemia. Perlu
dipahami bahwa adanya tanda-tanda sirosis hati yang khas dengan dugaan telah terjadi
hipertensi portal, tidak serta merta menyingkirkan penyebab pendarahan lain seperti
gastropati hipertensi portal. Oleh sebab itu, pemeriksaan endoskopi menjadi penting dalam
mendiagnosis varises .
Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard. Tindakan
endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu
dilakukan segera( bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24
jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil . Tidak ada keuntungan yang
nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini
lebih dari 95% pasien-pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat
ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.

Terapi
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA karena varises meliputi tindakan umum
dan tindakan khusus .

2. Tindakan umum:
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC (Airway– Breathing–Circulation ).
Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat segera
dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi.
Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
- Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar minimal no 18.
- Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan CVP
- Oksigen sungkup/ kanula.Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
- Mencatat intake output,pasang kateter urine
- Memonitor Tekanan darah, Nadi,saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai
- dengan komorbid yang ada.
- Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi
- Melakukan Transfusi darah PRC sesuai jumlah perdarahan dan nilai hemoglobin
dengan target Hb : 8-9 gr/dL.

40
2. Terapi khusus

a.Varises gastroesofageal
- Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif :
 Octreotid (Sandostatin) : 0,1 mg/2 jam per drip
 Somatostatin : bolus 250 µgr + drip 250 µgr/jam
 Glipressin (Terlipressin)
- Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
- Terapi endoskopi:
 Ligasi : Rubber band
 Skleroterapi : etoksisklerol
- Pada kasus-kasus dimana endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan, jalan terakhir
adalah terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS ( Transjugular Intrahepatic
Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno – porta.
- Terapi pembedahan :
 Shunting
 Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
 Devaskularisasi + splenektomi

b.Varises gaster
- Skleroterapi dengan Histoacryl: 1 ampul Histoacryl (0,5 cc) + 0,7 cc lipiodol ,
biasanya 2 ampul kalau varises besar bisa 3 ampul.
- dapat juga kombinasi ligasi + skleroterapi etoksisklerol

Teknik lain untuk perdarahan varises lambung refrakter meliputi:


 Transjugular shunts portosystemic intrahepatik (TIPS)
 Balloon occluded retrograde transvenous obliteration techniques (BORTO)
 Ligasi Gastric varises
 Balon tamponade Intra-lambung sebagai jembatan untuk terapi selanjutnya, perlu
diperhatikan bahwa balon yang lebih besar diperlukan untuk menempati fundus
lambung di mana varises lambung sering terjadi
 Transplantasi hati

c. Profilaksis Sekunder (Mencegah Perdarahan varises Ulang)


Terapi endoskopi secara berkala dapat mengeradikasi varises, menekan perdarahan
ulang, dan memperbaiki survival pasien sirosis, tetapi terbatas pada pasien dengan
Child score A dan B. sementara pasien dengan Child score C, saat ini belum ada
pilihan pengobatan yang dapat memperbaiki survival. Beberapa modalitas yang dapat
digunakan sebagai profilaksis sekunder adalah ligasi, skleroterapi, beta bloker,
isosorbide mononitrat, dan terakhir adalah TIPS. Kombinasi terapi antara
medikamentosa dengan endoskopi, dalam beberapa penelitian terakhir, dikatakan
lebih baik daripada terapi tunggal. Tentunya pemilihan modalitas-modalitas diatas
tetap mempertimbangkan tersedianya sarana, tenaga ahli, dan kondisi pasien secara
keseluruhan.

41
Tabel Obat-obatan yang digunakan

Aethoxysklerol (Polidocanol )10 mL of 1% was injected into the varix


Edukasi
- Perawatan secara umum untuk penderita Sirosis Hepatis yang meliputi diit tinggi
kalori tinggi protein, untuk memberikan tenaga dan mempercepat proses kesembuhan.
- Selain itu pembatasan asupan lemak dan natrium juga dipertimbangkan untuk
mengurangi kinerja hati serta mengurangi resiko edema dan asites.
- Latihan ringan dan istirahat di tempat tidur juga merupakan salah satu bentuk
perawatan yang harus diperhatikan untuik meminimalkan terjadinya kelelahan.
- Berhenti minum alkohol dan merokok.
- Kontrol rutin secara teratur.

Prognosis
- Dubia et malam ( cenderung bisa berulang)
- Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung pada berbagai
faktor antara lain :
 Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-Pugh)
 Ada tidak adanya varises gaster, walupun disebutkan dapat diatasi
dengan semacam glue(histoakrilat)
 Komorbid yang lain seperti ensefalopati,koagulopati, hepato renal
sindrom dan infeksi

42
Kepustakaan

1) Al-Osaimi AMS, Caldwell SH. Medical and Endoscopic Management of Gastric


Varices. Seminars In Interventional Radiology 2011,Volume 28, Number 3.

2) Djumhana A. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. Bagian Ilmu Penyakit
Dalam – RS Dr Hasan Sadikin / FK Unpad Bandung. Diperoleh dari: www.
pustaka.unpad.ac.id.

3) Tsao GG, Sanyal AJ, Grace ND, Carey W. AASLD PRACTICE GUIDELINES.
Prevention and Management of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage
in Cirrhosis. HEPATOLOGY, 2007, Vol. 46, No. 3
4) Tsao GG, Bosch J,Management of Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. N
Engl J Med 2010;362:823-32.

5) Zain LH. Penanggulangan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam : Nasution
MY, Tunggul R, Damanik C, Mardianto. Kumpulan makalah pertemuan ilmiah
tahunan & Reuni alumni ‘2000.

43
9. HEPATITIS B

Pendahuluan
Infeksi virus hepatitis B (HBV) merupakan masalah kesehatan masyarakat global
yang umum terjadi dimana mengenai sekitar 400 juta penduduk di seluruh dunia.1 Infeksi
HBV bukan hanya menyebabkan spektrum penyakit hati yang lebar dari hepatitis akut
(termasuk gagal hati fulminan) menjadi hepatitis kronik2 tetapi juga menyebabkan timbulnya
komplikasi yang fatal termasuk diantaranya sirosis hati dekompensata dan HBV yang
menyebabkan hepatocellular carsinoma (HCC) yang mengakibatkan kematian 1 juta carrier
HBV oleh karena penyakit hati akibat HBV tiap tahunnya. Berdasarkan perjalanan alamiah
sekitar 15-20% HBV kronis berkembang menjadi sirosis dalam 5 tahun follow up. Hepatitis
kronis aktif dan sirosis berdasarkan biopsi hati memiliki angka survival 5 tahun sebesar 55%.
2

EPIDEMIOLOGI

Diestimasi 2 milyar penduduk dunia pernah terpapar dengan virus Hepatitis B dengan
50 juta kasus baru setiap tahunnya 350 sampai 400 juta menjadi kronik dan diperkirakan 1
juta meninggal setiap tahunnya diakibatkan sirosis hati,gagal hati dan kanker hati. HBV
merupakan virus DNA, ditransmisikan perkutaneus,kontak sex dan infeksi perinatal(vertikal).
Infeksi Hepatitis B virus (HBV) kronik merupakan masalah yang serius karena
penyebarannya di seluruh dunia. Pada daerah Asia Pasifik dijumpai prevalensin HBV yang
tinggi, dimana infeksi HBV biasanya terjadi melalui infeksi perinatal (infeksi vertikal), atau
pada awal masa kanak-kanak dan pada dewasa penularan horisontal melalui transfusi darah,
hubungan seksual & pengunaan alat suntik. 1
Prevalensi di Indonesia dari penelitian terhadap 7572 pendonor darah sukarela dari
21 propinsi didapatkan 8,8 % HbsAg & 2,1 % Anti HCV.3 Prevalensi nasional Hepatitis
adalah 0,60 %, sedangkan prevalensi Hhepatitis di Propinsi Sumatera Utara 0,3 %. Penyakit
Hati menjadi penyebab kematian ke 8 di Indonesia berdasarkan RISKESDAS (Riset
Kesehatan Dasar) 2007. 5

Virus Hepatitis B
Termasuk virus DNA,struktur HBV terdiri atas DNA, DNA polymerase dan protein
yang melingkupinya. Hampir semua protein HBV dapat merangsang sistim imun, karena itu
dianggap sebagai antigen : protein inti (core)HBcAg, protein permukaan
(surface)HBsAg, protein lainnya yang berisi elemen dari intiHBeAg. 5,6
Dijumpai delapan genotipe pada HBV (A,B,C,D,E,F,G,H) yang terdistribusi dipenjuru dunia.
7

Gejala / Gambaran Klinis 5,6


Gejala Hepatitis B bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat seperti
muntah darah dan koma bila sudah terjadi dekompensasi hati. Pada hepatitis akut gejala amat
ringan dan apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Infeksi HBV yang
didapat pada masa perinatal dan balita biasanya asimptomatik dan menjadi kronik pada 90
% kasus. Sekitar 30 % infeksi HBV pada orang dewasa akan menimbulkan ikterus, 0,1-0,5 %
berkembang menjadi fulminan, 95 % sembuh sempurna ditandai dengan hilangnya HBsAg ,
timbul anti HBs.
Masa inkubasi HBV bervariasi antara 45-180 hari (median 60-90 hari) dan perjalanan
penyakitnya perlahan-lahan. Sebagian besar infeksi HBV akut sembuh sempurna, dengan
menghilangnya HBsAg dalam darah dan timbulnya HbsAb yang menunjukkan kekebalan

44
terhadap infeksi di kemudian hari. Penderita HBV kronik biasanya asimptomatik, namun
penderita ini mempunyai resiko tinggi untuk berkembang menjadi hepatitis kronik dan sekitar
15-25 % akan meninggal akibat sirosis hati maupun kanker hati.
Infeksi kronis ditandai oleh persistensi HbsAg, Anti HBc dan HBV DNA dapat
terdeteksi lebih dari 6 bulan. HBV kronik dapat bermanifestasi dengan HBe Ag + atau
HBeAg -. HBeAg + disebut wild type, timbul saat fase awal infeksi HBV, HBeAg – timbul
pada fase akhir infeksi HBV. Pada fase immunotolerans akan didapatkan HbsAg serta
HBeAg didalam serum serta titer HBV DNA nya tinggi ,ALT normal. Pada fase ini gejala
bisa timbul dan terjadi peningkatan aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan
terdapatnya anti-HBe (serokonversi).
Serokonversi HBeAg biasanya akan diikuti perbaikan biokimiawi,histologi dan gejala
hepatitis. Serokonversi e antigen menjadi e antibodi dapat terjadi pada 50-70 % pasien yang
mengalami peninggian ALT dalam waktu 5-10 tahun setelah terdiagnosis.
Infeksi HbsAg inaktif ditandai oleh HBsAg positif, anti-Hbe dan tidak terdeteksinya
HBV DNA, ALT normal. Perkembangan menjadi sirosis dapat terjadi rata-rata 2-5 %
pertahun dengan HBeAg positif dan 8-10 % pada pasien dengan HBeAg negatif. Sirosis akan
lebih banyak terjadi apabila ditemukan kadar HBV DNA yang tinggi.

Tabel 1 . Serologi dan marker molekular infeksi HBV serta interpretasinya 8

Diagnosa 9, 10,11,
Diagnosis hepatitis B berdasarkan pemeriksaan klinis,biokimia ,serologik dan
pemeriksaan histopatologik. Pada hepatitis B akut akan ditemukan peningkatan ALT yang
lebih besar dibandingkan AST dengan kadar ALT – nya 20 – 50 kali normal. Juga ditemukan
IgM anti HBc didalam darah selain HBsAg, HBeAg dan HBV DNA.
Pada hepatitis kronik peninggian ALT adalah sekitar 10-20 Batas Atas Nilai Normal
(BANN) dengan ratio de Ritis (ALT/AST) sekitar 1 atau lebih, IgM anti-HBc negatif.Fibrosis
hati pada HBV kronik dipastikan dengan pemeriksaan patologi anatomik, pemeriksaan
fibrotest. Pencitraan dengan USG,CT scan untuk melihat proses lanjut.

45
Tabel 2. Kriteria diagnostik Hepatitis B Virus

Diagnostic criteria 9,10


Chronic hepatitis B
1. HBs Ag-positive > 6 months
2. Serum HBV DNA > 20,000 IU/ml (105 copies/ml), lower values 2,000-20,000
IU/ml (104-105 copies/ml) are often seen in HBeAg-negative chronic hepatitis B.
3. Persistent or intermittent elevation in ALT/AST levels.
4. Liver biopsy showing chronic hepatitis with moderate or severe
necroinflammation

Inactive HBsAg carrier state


1. HBsAg-positive > 6 months
2. HBeAg - , anti-HBe +
3. Serum HBV DNA < 2,000 IU/ml
4. Persistent normal ALT/AST levels
5. Liver biopsy confirms absence or significant hepatitis

Resolved hepatitis B
1. Previous known history of acute or chronic hepatitis B or the presence of anti-HBc
± anti-HBs
2. HBsAg –
3. Undetectable serum HBV DNA (very low levels may be detectable using sensitive
PCR assays).
4. Normal ALT levels

Rekomendasi terapi infeksi kronik HBV berdasarkan APASL (2012), AASLD (2009),
EASL (2012). 15

Gambar 1. Algoritme pengobatan infeksi kronik HBV dengan HbeAg (+).15

46
Gambar 2. Algoritme pengobatan infeksi kronik HBV dengan HbeAg(-).15

AASLD (2009) APASL (2012) EASL (2012)

Gambar 3. Rekomendasi pengobatan pada pasien sirosis dan surveillance HCC.15

Pemilihan Terapi Hepatitis B Kronik,


Tujuan utama pengobatan HBV kronik adalah untuk memberantas atau menekan
secara permanen infeksi HBV dengan menilai, HBV DNA (tidak terdeteksinya HBV DNA
melalui PCR 10-15 IU/ml) , HBeAg positip (tercapainya serokonversi HBeAg menjadi anti-
Hbe, kadat ALT ( tercapainya normalisasi ALT), Histologi Hati (peradangan hati tidak
berlanjut (status quo) atau penurunan tingkat fibrosis) Tujuan jangka panjang adalah
mencegah terjadinya hepatitis “flare” yang dapat menyebabkan dekompensasi hati,
perkembangan kearah sirosis dan atau kanker hati, dan pada akhirnya memperpanjang usia.9,
11,12

Mayoritas beberapa laporan konsensus HBV dan guideline merekomendasikan terapi


antiviral untuk fase immun klirens khususnya pasien dengan aktifitas nekroinflamasi yang
signifikan dan fibrosis lanjut. Faktor-faktor personal seperti usia, jenis kelamin, riwayat
keluarga sering mempengaruhi keputusan. Pilihan anti virus yang sesuai merupakan hal yang
penting. Secara teoritis, pilihan terapi yang tersedia sekarang daapt mengobati seluruh pasien
dengan infeksi HBV kronis untuk sustained response lebih sering tercapai dengan terapi
interferon sementara maintained response dapat dicapai dengan terapi nukelos(t)ida analog
(NUCs) jangka panjang. Pilihan terapi antara interferon dan NUCs harus dipertimbangkan
dengan cermat terhadap pasien secara individual. Pertimbangan ini berdasarkan profil pasien
dan karakteristik virus. 13
Ada dua jenis obat anti viral oral yang telah disetujui pada pengobatan hepatitis B.
Nukleosida analog termasuk diantaranya lamivudine,telbivudine dan entecavir dan nukleotida
analog termasuk diantaranya adefovir dan tenofovir. Obat-obatan ini bekerja menekan
replikasi HBV di hati. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa nukleos (t) ide analog ini
tidak hanya menekan replikasi virus tetapi juga mengurangi fibrosis hati. Penemuan ini telah
merubah konsep bahwa fibrosis bersifat irreversibel.2

47
Pemberian terapi dengan imunomodulator (Interferon konvensional, pegylated
interferon α-2a / α-2b, Thymosin) dan nucleos(t)ide analog (Lamivudine, Entecavir,
Adepovir dipivoxil, Tenofovir disoproxil fumarate, Telbivudine, Clebivudine) bergantung
kepada :
1. Genotipe HBV. 11,14
2. Kadar ALT
3. Kadar serum HBV DNA
4. Sirosis kompensasi atau dekompensasi
5. Resistensi obat
6. Cost effective.
Pengobatan antiviral diindikasikan pada pasien dengan HBe Ag (+) jika kadar HBV
DNA serum > 5 log 10 IU/ml dan kadar ALT serum menunjukkan kenaikan 2x lipat diatas
batas atas normal sedikitnya sekali pemeriksaan. Faktor-faktor penting lainnya untuk
memutuskan pengobatan adalah usia > 40 tahun, jenis kelamin laki-laki, bukti fibrosis yang
signifikan dan riwayat keluarga dengan HCC. Pasien dengan sirosis dan HBV DNA yang
terdeteksi harus diterapi berapaun hasil ALT nya. Pilihan pengobatan diantara interferon atau
NUCs pada sirosis kompensata harus didiskusikan kepada pasien.
Namun demikian pada pasien dengan HBe Ag (+) dengan sirosis hati dekompensata
terapi interferon dapat menimbulkan komplikasi yang serius seperti netropenia,sepsis,
koagulopati dan perdarahan. Karena itu terapi Nucs lebih tepat. Terapi antiviral oral paling
sering diresepkan karena efikasi, keamanan dan kemampuan untuk mempertahankan supressi
virus. Terapi Interferon hanya digunakan pada minoritas kasus dan terpilih karena
efektivitas,lamanya pengobatan yang sudah pasti dan kurangnya resistensi. 13

Tabel 3. Respon pengobatan Lamivudin, Entecavir dan Telbivudin pada infeksi kronik
HBV dengan HbeAg (-) selama 12 Bulan.16

48
Tabel 4. Respon pengobatan Adepovir dan Tenofovir pada infeksi kronik HBV dengan
HbeAg (-) selama 12 Bulan.16

Gambar 4. Insidensi resistensi Nucleos(t)ide Analogue pada penderita Infeksi Kronis


HBV.16
Tabel 5. Rekomendasi Salvage therapy berdasarkan AASLD dan EASL pada
penderita HBV yang mengalami resistensi antiviral.15

Interferon (Ifn) Alpha


Interferon adalah kelompok protein intraseluler yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi
oleh berbagai macam sel. IFN alpha diproduksi limfosit B, IFB beta diproduksi oleh monosit
fibroepitelial dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Produksi IFN dirangsang oleh
berbagai macam stimulasi terutama sebagai infeksi virus. Interferon tergolong dalam sistem
imun nonspesifik. Khasiat interferon : anti virus, imunostimulasi, anti neoplastik,
menghambat fibrosis dan meningkatkan ekspresi protein membran. Penelitian menunjukkan
bahwa pada pasien Hepatitis B kronik sering didapatkan penurunan produksi IFN.11

49
Indikasi pemberian IFN pada HBV : 10,11
1. Peningkatan aminotransferase serum yang menetap
2. HbsAg (+), HBeAg (+), HBV DNA (+)
3. Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronik
4. Penyakit hati yang kompensata
Pemberian interferon dengan dosis 4,5 – 5 MU (juta unit) 3 x /minggu sc, 4 – 6 bulan.10
Efektif pada 30-40 % penderita yang mendapat infeksi pada masa dewasa, dengan tanda-
tanda nekrosis dan inflamasi hati yang jelas, HbeAg(+) dan/atau HBV-DNA (+).
Penderita hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti Hbe positif, HBV DNA
positif juga memberikan respons selama terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada
akhir terapi. Pengobatan ulangan dengan IFN-alfa menunjukkan angka keberhasilan respons
20-40 % baik pada HBeAg positif maupun negatif.
Pada penelitian jangka panjang ditemukan bahwa serokonversi HBeAg, baik yang
diinduksi oleh terapi interferon atau secara spontan, bermanfaat untuk kelangsungan hidup,
kejadian gagal hati dan mencegah karsinoma hepatoseluler. Pengobatan interferon biasanya
berhubungan dengan efek samping seperti flu-like symptoms, neutropenia, trombositopenia,
yang biasanya masih dapat ditoleransi, namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi
dosis. Terapi interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi
pada pasien dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi hati. 3

Pegylated Interferon Α-2a /Α-2b


Adalah interferon α yang dipegilasi, berbeda dengan interferon konvensional, kemajuan
teknologi berhasil mengembangkan polyethylene glycol (PEG) generasi baru yang bercabang,
berat molekul lebih besar (40 KD) serta ikatan antara protein dan PEG yang kuat dan stabil
(ikatan Amida). Implikasinya adalah :
 Interferon alfa berada dalam sirkulasi darah lebih lama
 Konsentrasi obat dalam plasma tetap bertahan (satu minggu penuh)

Besarnya variasi dalam serum sangat kecil sehingga menghasilkan profil tolerabilitas
yang lebih baik dibandingkan interferon-α konvensional. 11
Sama seperti interferon-α, pegylated interferon-α memiliki mekanisme kerja ganda yaitu
sebagai imunomodulator dan anti virus. Sebagai imunomodulator, pegylated interferon akan
mengaktifasi makrofag, sel natural killer (NK) dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi
pembentukan antibodi yang akan meningkatkan respon imun host untuk melawan virus
hepatitis B. Sedangkan aktifitas anti virus dilakukan dengan menghambat replikasi virus
hepatitis B secara langsung melalui aktivasi endo-ribonuclease, elevasi protein kinase dan
induksi 2’,5’-oligodenylate synthetase. 10,11
Penambahan lamivudine sebagai kombinasi dengan pegylated interferon-α2a tidak
meningkatkan respon 24 minggu pasca terapi dibandingkan pegylated interferon-α2a tunggal.
Riwayat pernah diterapi dengan lamivudine maupun interferon konvensional ternyata tidak
mempengaruhi respon terapi pasien dengan pegylated interferon-α2a.10
Pegylated interferon- α2a juga memberikan kesempatan untuk terjadinya serokonversi
HBsAg yang menetap baik pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg positif dan negatif,
yang mana hal ini tidak ditemukan pada penggunaan lamivudine dalam kedua studi fase III.
Dosis yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HbeAg-positip dan negatif adalah 180
μg sekali seminggu selama 48 minggu, disuntikkan secara subkutan. 10,11

Kesimpulan
Panduan pengobatan Hepatitis B kronik memberikan banyak pilihan,dengan adanya
obat baru maka acuan pengobatan juga berkembang sejalan dengan penelitian yang terus
berkembang.Terapi pengobatan hepatitis B, dengan interferon atau nucleos(t)ida analog baik

50
pemakaian tunggal atau kombinasi memberikan hasil dalam berbagai tingkatan ditinjau dari
respon terapi, serokonversi, tidak terdeteksinya HBV DNA,dan normalisasi ALT.
Berbagai guideline APASL, EASL, AASLD dan PPHI mengemukakan rekomendasi
diagnosis, terapi dan pemantauan pengobatan hepatitis B kronik dengan berbagai pendekatan.
Tingginya angka resistensi berbagai nucleos(t) ida analog (Lamivudine, Adepovir,
telbivudine) menjadi perhatian dan tantangan saat ini. Obat-obatan antiviral yang baru
diharapkan dapat memperbaiki effikasi tanpa menimbulkan resisitensi.
Daftar Pustaka
1. Sang Hoon Ahn, Henry L. Y., Chan Pei-Jer, Jun Cheng, et al. Chronic hepatitis B:
whom to treat and for how long? Propositions, challenges, and future directions. Hepatol
Int (2010) 4:386–395.
2. Zhang QQ, An Xuan, Liu YH, et al. Long-Term Nucleos(t)ide Analogues Therapy for
Adults With Chronic Hepatitis B reduces the Risk of Long-Term Complications: a meta-
analysis. Virology Journal 2011, 8:72.
3. Sulaiman AH, Julitasari, Sie A, Rustam M, Melani W, et al. Prevalence of hepatitis B and
C viruses in healthy Indonesian blood donors. The Transactions of the Royal Society
Tropical Medicine and Hygiene 1995 ;89(2) : 167-170.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan(Litbangkes) Departemen Kesehatan RI.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007.available at
http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/Indonesia/laporannasional.pdf
5. Kusumobroto H. Konsep baru dalam penatalaksanaan Infeksi Hepatitis B Kronik. Dalam
: Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XVIII Ilmu Penyakit Dalam
Lab-SMF Penyakit Dalam Fak.Kedokteran Unair.Editor : Soebagjo Adi, Ari Sutjahjo,
Askandar Tjokroprawiro, Mohammad Yogiantoro, Poernomo Boedi Setiawan. Surabaya
2003:136-146.
6. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV.Jilid 1.Editor :Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcelus
Simadibrata K, Siti Setiati 2006:435-439.
7. Liu CJ,Kao JH. Hepatitis B virus genotypes : epidemiology and therapeutic implications.
Available at http://www.hepatitisbannual.org
8. Brian J, McMahon. Selecting Appropriate Management Strategies for Chronic Hepatitis
B: Who to Treat. Am J Gastroenterol 2006;101:S7–S12.
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan(Litbangkes) Departemen Kesehatan RI.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007.available at
http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/Indonesia/laporannasional.pdf
10. Lok ASF, McMahon BJ. AASLD Practice Guidelines.Chronic Hepatitis B:Update
2009.Hepatology 2009;50(3):1-35
11. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines :
Management of chronic Hepatitis B. Journal of Hepatology 2009:227-242.
12. Lédingen Vd, Vergniol J. Transient elastography (Fibroscan). Gastroentérol Clin Bio
2008;32:58-67.
13. Leung N. Treatment of HBe Ag-positive chronic hepatitis B with nucleos(t)ide analogues.
Liver International 2011; 85-89.
14. Elgouhari HM, Tamimi TIAR, Carey WD. Hepatitis B virus infection: understanding its
epidemiology, course and diagnosis. Clevelend Clinic Journal of Medicine
2008;75(12):881-889.
15. Yapali S, Talaat N, Lok AS. Management of Hepatitis B: our practice and how it related
to the guidelines. Clinical Gastroenterology and hepatology 2014;12:16-26
16. Brooks J, Gelson W, Rushbrook SM. Theurapeutic advances in the management of
chronic hepatitis B infection. Ther adv Chronic Dis 2013;4(4):157-166.

51
10. DIABETES MELITUS

Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Anamnesis
 Keluhan khas DM : poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya
 Keluhan tidak khas DM : lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada
pria, pruritus vulvae pada wanita
Pemeriksaan Fisik
 Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang, IMT
 Fungsi : Jantung, ginjal, mata
 Keadaan kaki, kulit dan kuku, gangren/ulkus
Kriteria Diagnostik
 Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, atau
 Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau
 Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
dengan TTGO
 HbA1C > 6,5
Diagnosis Banding
 Stress Hiperglikemia
 Toleransi Glukosa Terganggu
 Glukosa Darah Puasa Terganggu
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium :
- Hb, Leukosit, laju endap darah
- Glukosa datrah puasa dan 2 jam sesudah makan
- Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, kreatinin
- SGPT, Albumin/Globulin
- Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
- A1C
- Albuminuria mikro
 Pemeriksaan Penunujang lain :
- EKG
- Foto toraks
- Funduskopi
- ABI
Terapi
 Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi : Karbohidrat 60-70%,
protein 10-15% dan lemak 20-25%
Jumlah kalori basal per hari :
- Laki-laki : 30 kal/kgBB idaman
- Wanita : 25 kal/kgBB idaman
Penyesuaian terhadap kalori basal / hari berdasarkan status gizi, usia, stres metabolik,
aktivitas dan kehamilan

52
 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu selama ± 30
menit)
Prinsip : Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance

 Intervensi farmakologis
- Obat Hipoglikemia Oral (OHO) :
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea, glinid
Penambah sensitivitas terhadap insulin : Metformin, tiazolidindion
Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Golongan Incretin : Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV, GLP-1 mimetik dan
analog

- Insulin
Indikasi :
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, Stroke)
8. Kehamilan dengan DM ? diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
9. Gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat
10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

 Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar gula darah. Kalau dengan OHO
tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dengan dua
kelompok OHO yang berbeda mekanisme kerjanya

Edukasi

Meliputi pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan
pemantauan DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia,
masalah khusus yang dihadapi, cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
keterampilan, cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Prognosis

Dubia

LAMA RAWATAN

Diabetes ringan (DM Tipe 2 tanpa komplikasi) : 4-5 hari


Diabetes sedang (DM Tipe 2 dengan 1-2 komplikasi) : 1 minggu
Diabetes berat (DM Tipe 2 dengan >2 komplikasi) : 2-3 minggu

53
11. HIPOGLIKEMIA

Definisi

Hipoglikemia merupakan suatu termonilogi klinis yang digunakan untuk keadaan yang
disebabkan oleh menurunnya kadar glukosa darah sampai pada tingkat tertentu sehingga
memberikan keluhan (symptom) dan gejala (sign)
Anamnesis
 Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral : dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis
 Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
 Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
 Lama menderita DM, komplikasi DM
 Penyakit penyerta : ginjal, hati, dll
 Penggunaan obat sistemik lainnya
Pemeriksaan Fisik
Pada tahap awal hipoglikemia, respon pertama dari tubuh adalah peningkatan hormon
adrenalin/epinefrin, sehingga menimbulkan gejala neurogenik seperti :
- Gemetaran
- Kulit lembab dan pucat
- Rasa cemas
- Keringat berlebihan
- Rasa lapar
- Mudah rangsang
- Penglihatan kabur
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah <60 mg/dl, meskipun pada orang
tertentu sudah dirasakan diatas kadar tersebut. Tapi pada umumnya kadar gula darah <50
mg/dl telah memberi dampak pada fungsi serebral
Pada tahap lanjut, hipoglikemia akan memberikan gejala defisiensi glukosa pada jaringan
serebral yaitu :
- Sulit berpikir
- Bingung
- Sakit kepala
- Kejang-kejang
- Koma
Diagnosis
Diagnosis hipoglikemia diperlukan adanya trias Whipple yang terdiri atas :
1. Adanya gejala klinis hipoglikemia berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Kadar glukosa darah plasma yang rendah pada saat yang bersamaan berdasarkan
pemeriksaan penunjang/ laboratorium
3. Keadaan klinis segera membaik segera setelah kadar glukosa plasma menjadi normal
setelah diberi pengobatan dengan pemberian glukosa
Hipoglikemia ringan : pasien sadar penuh (GCS 15)
Hipoglikemia sedang : pasien dengan kesadaran menurun (GCS 5-10)
Hipoglikemia berat : pasien tidak sadar (GCS < 5 )

Diagnosis Banding
Hipoglikemia yang disebabkan hal-hal lain seperti :
1. Obat-obatan lain meskipun jarang namun dapat menyebabkan hipoglikemia adalah
beta blocker, pentamidine, kombinasi sulfametoksazole dan trimetophrim
54
2. Sehabis minum alkohol, terutama bila telah lama berpuasa dalam keadaan lama
3. Intake kalori yang sangat kurang
4. Hipoglikemia reaktif
5. Infeksi berat, kanker yang lanjut, gagal ginjal, gagal hati
6. Insufisiensi adrenal
7. Kelainan kongenital yang menyebabkan sekresi insulin berlebihan (pada bayi)
8. Hepatoma, mesothelioma, fibrosarcoma
9. Insulinoma

Pemeriksaan Penunjang

 Kadar glukosa darah


 Tes fungsi ginjal
 Tes fungsi hati
 C-peptide

Terapi
Tujuan pengobatan pada prinsipnya untuk mengembalikan kadar glukosa darah kembali
normal, sesegera mungkin
A. Pada penderita hipoglikemia dengan gambaran klinis ringan, sadar dan kooperatif,
penanggualangan biasanya akan cukup efektif dengan memberikan makanan atau
minuman yang manis mengandung gula seperti :
- 2-3 tablet glukosa atau 2-3 sendok teh gula atau madu
- 120-175 jus jeruk
- Segelas (±200 cc) sus “non fat”
- Setengah kaleng soft drink
B. Pada hipoglikemia tahap lanjut, terutama yang telah memperlihatkan gejala
neuroglikopeni, memerlukan pengobatan lebih intensif :
- Infus larutan dekstroxa, dianggap sebagai first line treatment karena paling efektif
dalam waktu cepat
- Bila tidak berhasil, ditambahkan suntika glukagon intravena atau intramuskular
- Untuk insufisiensi adrenal, suntikan hidrokortison intramuskular berperan dalam
memacu proses glukoneogenesis
- Jika masih gaga, diaxozide (Proglycem), atau streptozotocin (zanosar) yang
berkhasiat menekan sekresi insulin oleh sel beta
- Tindakan operatif untuk penyebab tumor (insulinoma)

Edukasi
Penting untuk memberikan pengertian mengenai penyebab kejadian hipoglikemia, gejala
yang ditimbulkannya dan pengetahuan tentang cara mengatasi keadaan tersebut kepada
mereka yang beresiko.
Prognosa
Dubia
Lama Rawatan
Hipoglikemia ringan : 1-2 hari
Hipoglkemia sedang : 3-4 hari
Hipoglikemia berat : 5-7 hari

55
12. KRISIS TIROID

Definisi
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hioertiroidisme yang paling berat dan
mangancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves
atau struma multinodular toksik dan berhubungan dengan faktor pencetus infeksi, operasi,
trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi, penghentian obat anti tiroid,
terapi I131, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/stroke.
Anamnesis
Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun, perubahan suasana
hati, bingung, diare dan amenorea. Dan juga dapat terjadi gangguan multi organ failure
Pemeriksaan Fisik
- Vital sign
- Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit grave atau penyakit
lainnya
- Sistem saraf pusat terganggu : delirium, koma
- Demam tinggi sampai 40°C
- Takikardia sampai 130-200 x/menit
- Dapat terjadi gagal jantung kongestif, ikterus
- Pemeriksaan fisik sesuai dengan ganggua multi organ yang terjadi
Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium : TSHs sangat rendah, T4/fT4/T3 tinggi, anemia normositik
normokrom, limfositosis relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat,
azotemia prerenal
 EKG : sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat
Terapi
1. Perawatan suportif :
- Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
- Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Mengatasi gagal jantung : O2, diuretik, digitalis
2. Antagonis hormon tiroid :
- Blokade produksi hormon tiroid : PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO
Alternatif : Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO
Pada keadaan sangat berat : dapat diberikan melalui NGT PTU 600-1000 mg atau
metimazol 60-100 mg
- Blokade eksresi hormon tiroid : Solutio Lugol 8 tetes tiap 6 jam
- Penyekat β : Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respon
- Glukokortikoid : Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam
- Bila refrakter terhadap terapi diatas : plasmaferesis, dialisis peritoneal
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi : antibiotik, dll
Prognosis
Dubia ad bonam
Lama Rawatan
Pasien dirawat ± 10 hari

56
13. HIPERTIROID PADA KEHAMILAN

Anamnesis
Tidak mudah menegakkan hipertiroidisme dalam kehamilan karena kehamilan normal juga
ditandai dengan kondisi hiperdinamik, seperti peningkatan cardiac output dengan sistolik
murmur dan takikardia, kulit hangat dan tidak tahan dengan suhu panas.
Gejala penurunan berat badan pada hipertiroid dapat ditutupi dengan kenaikan berat badan
selama kehamilan. Frekuensi nadi saat istirahat lebih dari 100 kali per menit dan tidak
menurun saat dilakukan perasat valsava, membantu diagnosis tirotoksikosis
Pemeriksaan Fisik
Adanya penurunan berat badan atau kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan usia
kehamilan, oftalmopati, struma yang jelas, kelemahan otot, onikolisis dan miksedema
pretibial (meskipun jarang) merupakan petunjuk adanya hipertiroidisme
Diagnostik
 Mengingat pemeriksaan pencitraan tiroid dikontraindikasikan selama kehamilan,
maka diagnosis hipertiroidisme pada kehamilan berdasarkan pada anamnesis riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Penunjang
Perempuan hamil yang dicurigai menderita hipertiroidisme memerlukan pemeriksaan
konsentrasi TSH, FT4 dan bila perlu antibodi reseptor tiroid.
Interpretasi hasil pemeriksaan hormon tiroid ini harus mempertimbangkan pengaruh hormon
HCG pada penurunan konsentrasi TSH dan peningkatan TBG selama kehamilan.
Terapi
 Propiltiourasil (PTU) merupakan obat pilihan pada kehamilan dan menyusui
Pada perempuan hamil yang baru terdiagnosis hipertiroidisme, maka PTU dapat
langsung diberikan 100-150 mg setiap 8 jam
Pemberian PTU < 300 mg per hari dianggap aman, tidak mengakibatkan hipotiroid
pada bayi
 Propanolol dapat digunakan untuk mengontrol gejala hipertiroid akut dan persiapan
operasi pada kehamilan
Prognosis
Dubia
Lama Rawatan
Pasien dirawat selama ± 1 minggu

57
14. KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Definisi
 Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan dekompensasi/kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut dan relatif.
 Ketoasidosis diabetikum, selanjutnya disingkat dengan KAD
Anamnesis
 Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM tipe 1, atau DM tipe 2 yang lama dan
DM tipe lain Riwayat penggunaan insulin yang tidak teratur. Keluhan endokrin :
poliuri, polidipsi
 Keluhan gastrointestinal :mual, muntah, nyeri perut
 Keluhan respiratori: sesak nafas, cepat dan dalam (Kussmaul)

Pemeriksaan Fisik
 Dehidrasi : turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering
 Tanda syok hipovolemik : TDS < 90 mmHg, akral dingin, takikardi, oliguria-anuria
 Pernafasan kussmaul
 Suhu meningkat
 Status gizi: baik, kurang atau lebih
 Toraks: perubahan suara nafas jika ada kelainan (ronki basah), pembesaran jantung
atau perubahan bunyi jantung jika ada kelainan
 Anggota gerak : luka, abses pada tungkai

Pemeriksaan Penunjang
 Kadar glukosa : > 250 mg/dL
 pH < 7,35 (asidosis)
 HCO3 rendah
 Anion gap tinggi yaitu > 12
 Ketonemia : positif dan atau ketonuria
 Darah/urine rutin
 Fot thoraks
 EKG
 Fungsi ginjal
 Pemeriksaan lain (sesuai indikasi): kultur darah, kultur urin dan kultur pus

Diagnosis Banding
 Hyperglycemia hyperosmolar state (HHS)
 Ensefalopati uremikum
 Ketosis alkoholik (Peminum alkohol)
 Ketosis hipoglikemia
 Asidosis laktat
 Stroke
 Ensefalopati karena infeksi
 Trauma kapitis

Penatalaksanaan sama seperti pada HHS


Prinsip-prinsip penatalaksanaan KAD adalah :
1. Penggantian cairan tubuh dan garam yang hilang

58
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian
insulin
3. Mengatasi stress (infeksi,trauma) sebagai pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologis normal
a) Cairan
 Cairan yang digunkan adalah cairan fisiologis Natrium Chlorida (NaCl 0,9%)
 Rehidrasi diberikan :
Waktu Jumlah Cairan (NaCl
0,9%)
Jam ke-1 1-1,5 L
Jam ke-2 1L
Jam ke-3 dan ke-4 0,5-1 L
Jam ke-5 dan ke-6 0,5 L
Jam berikutnya Sesuai kebutuhan
15 jam pertama Sekitar 5 liter

 Tujuan rehidrasi adalah memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormone


kontraregulator insulin
 Jika KGD < 200 mg% pertimbangkan pemberian larutan glukosa (dextrose 5% atau
10%)

b) Insulin
 Tujuan pemberian insulin untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi juga
mengatasi keadaan ketonemia
 Pemberian regular insulin (RI) (@Humulin R; @Apidra;@Novorapid)
 Diberikan setelah 2 jam rehidrasi
 Insulin dapat diberikan intravena dosis rendah berkelanjutan, intramuscular dan
subkutan
 Insulin diberikan intravena yaitu :
- 0,1 iu/kgBB insulin dibolus dilanjutkan 0,1 iu/kgBB continuous infusion
- Jika KGD tidak turun 10% (50-70 mg/dl) dalam 1 jam pertama, berikan insulin
intravena 0,15 iu dan selanjutnya
- Jika KGD 150-200 mg/dl cairan diganti dengan NaCl 0,45%
- Jika KGD < 200 insulin dikurangi 0,05-0,1 iu/kgBB, pertahankan glukosa antara
200-300 mg/dl
- Ubah ke sub kutan jika pasien sudah stabil dan os bisa makan tanpa muntah,
berikan 1-2 jam sebelum insulin IV dihentikan. Cara menghitung insulin subkutan
: mula2 dihitung 80% dari kebutuhan insulin total harian (kebutuhan insulin total
harian = rata-rata kebutuhan insulin per jam dalam waktu 6-8 jam terakhir x 24
jam). Kebutuhan insulin basal 40% dan insulin prandial 60% (dibagi dalam 3
dosis). Contoh : Rata-rata kebutuhan insulin 6-8 jam terkahir adalah 4 iu/jam,
maka kebutuhan insulin total 24 jam 4 x 24 = 96 iu. Kebutuhan insulin subkutan
adalah 80% dari 96 = 76 iu. Untuk insulin basal 40% x 76 = 30 iu dan untuk
insulin prandial 60% x 76 = 45 iu (dibagi 3 kali pemberian)
c) Kalium
 Kalium diberikan jika kadar K dibawah 3 mEq/L.
 Diberikan dalam bentuk drip KCL bersamaan dengan cairan kristaloid dosis 50
mEq/6 jam
 Kontraindikasi jika dijumpai gagal gingal, dijumpai gelombang T yang tinggi dan
lancip (EKG)

59
d) Natrium Bikarbonat
 Berikan substitusi bikarbonat 100 mEq jika pH < 6,9

Komplikasi
 Syok hipovolemik
 Edema paru
 IMA
 Hipoglikemia
 Edema serebri

Prognosis
 Dubia ad malam tergantung pada usia, komorbid, infark miokard akut, sepsis, syok.
Lama Rawatan
1 minggu

60
15. KOMA HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK NON KETOTIK

Definisi
 Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik adalah keadaan
dekompensasi/kekacauan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar
tanpa disertai ketosis.
 Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik, disebut juga hyperosmolar
hyperglycemia state (HHS), hyperosmolar nonketotic state, hyperosmolar coma,
hyperglycemic hyperosmolar syndrome.
Anamnesis
 Umumnya berusia lanjut, hampir 50% tidak diketahui DM atau dengan DM tidak
terkontrol.
 Rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kejang
 Disertai gangguan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, koma.
 Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia,
pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan post
operasi

Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran menurun GCS <5
 Secara klinis akan sulit dibedakan antara KAD dengan HHS
 Dehidrasi berat : turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering
 Tanda syok hipovolemik : TDS < 90 mmHg, akral dingin, takikardi, oliguria-anuria
 Suhu meningkat
 Anggota gerak : terdapat tanda-tanda infeksi
Pemeriksaan Penunjang
 Kadar glukosa : > 660 mg/dL
 pH > 7,30
 HCO3 > 15 mEq/L
 Keton urin negatif atau (+1)
 Pemeriksaan segera (cito) :Gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, aseton darah,
darah/ urin rutin, analisa gas darah, EKG
 Hitung osmolaritas serum (2Na+ KGD/18); (HHS jika Osm > 320 mOsm)
 Monitoring laboratorium:
 Gula darah : tiap jam sampai KGD terkontrol (200-250 mg/dl)
 Elektrolit : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan
 Analisa gas darah (AGDA)
 Pemeriksaan lain (sesuai indikasi): kultur darah, kultur urin dan kultur pus

Diagnosis Banding
 Ketoasidosis diabetikum
 Ensefalopati uremikum
 Ketosis alkoholik (Peminum alkohol)
 Ketosis hipoglikemia
 Asidosis laktat
 Stroke
 Ensefalopati karena infeksi
 Trauma kapitis

61
Penatalaksanaan
a) Cairan
 Tujuan utama terapi pengganti cairan dalam 12 jam pertama adalah mengganti satu
setengah kali total kehilangan cairan
 Penggantian cairan yang agresif
 Cairan yang digunakan NaCl 0.9%
Rehidrasi diberikan :
Waktu Jumlah Cairan (NaCl
0,9%)
Jam ke-1 1-1,5 L
Jam ke-2 1L
Jam ke-3 dan ke-4 0,5-1 L
Jam ke-5 dan ke-6 0,5 L
Jam berikutnya Sesuai kebutuhan
15 jam pertama Sekitar 5 liter

b) Insulin
 Tujuan pemberian insulin untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi juga
mengatasi keadaan gangguan metabolik
 Pemberian insulin kerja cepat (rapid/short acting insulin) (@Humulin R;
@apidra;@Novorapid @Actravid @Humalog)
 Insulin diberikan intravena yaitu :
- 0,1 iu/kgBB insulin dibolus dilanjutkan 0,1 iu/kgBB continuous infusion
- Jika KGD tidak turun 10% (50-70 mg/dl) dalam 1 jam pertama, berikan insulin
intravena 0,15 iu dan selanjutnya
- Jika KGD 150-200 mg/dl cairan diganti dengan NaCl 0,45%
- Jika KGD < 200 insulin dikurangi 0,05-0,1 iu/kgBB, pertahankan glukosa antara
150-200 mg/dl, untuk KAD 200-300 mg/dl
- Ubah ke sub kutan jika pasien sudah stabil dan os bisa makan tanpa muntah,
berikan 1-2 jam sebelum insulin IV dihentikan. Cara menghitung insulin subkutan
: mula2 dihitung 80% dari kebutuhan insulin total harian (kebutuhan insulin total
harian = rata-rata kebutuhan insulin per jam dalam waktu 6-8 jam terakhir x 24
jam). Kebutuhan insulin basal 40% dan insulin prandial 60% (dibagi dalam 3
dosis). Contoh : Rata-rata kebutuhan insulin 6-8 jam terkahir adalah 4 iu/jam,
maka kebutuhan insulin total 24 jam 4 x 24 = 96 iu. Kebutuhan insulin subkutan
adalah 80% dari 96 = 76 iu. Untuk insulin basal 40% x 76 = 30 iu dan untuk
insulin prandial 60% x 76 = 45 iu (dibagi 3 kali pemberian)
- Jika kadar K awal <3,3 mEq, sebaiknya pemberian insulin ditunda, dan diberikan
substitusi K

c) Elektrolit
- Natrium
Jika hipernatremia atau normal berikan NaCl 0,45%
Jika hiponatremia berikan NaCl 0,9%

- Kalium
Jika K < 3,3 Meq diberikan KCl 30 Meq/hari sampai K >3,3 Meq
Jika K > 5,2 Meq tidak diberikan KCl

62
Komplikasi
 Edema paru
 IMA
 Hipoglikemia
 Edema serebri
Prognosis
 Dubia ad malam
 Mortaliti berkisar 30-50%, biasanya disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya
Lama Rawatan
Pasien selama dirawat selama 1 minggu

63
16. DIABETES DALAM PERIOPEARTIF

Definisi
 Setiap pasien diabetes yang akan mengalami proses pembedahan baik minor sampai
mayor yang akan disesuaikan tingkat gula darahnya dengan kepentingan operasi

Anamnesis
 Sudah berapa riwayat sakit DM dan riwayat operasi seblumnya
 Indikasi operasi
 Riwayat OAD dan insulin sebelumnya Apakah dijumpai riwayat sakit jantung
sebelumnya, dan komorbid lainnya.

Pemeriksaan Fisik
 Sesuai dengan komorbid penyakit yang mendasarinya
Pemeriksaan Penunjang
 Darah lengkap
 Kadar glukosa : pre , durante dan post operasi
 Fungsi ginjal Ureum, kreatinin
 Fungsi hati SGOT, SGPT
 HST
 EKG
 Foto toraks

Diagnosis Banding
 Stres Hiperglikemia
 DM tipe 2
 DM tipe 1

Monitoring Glukosa
Target 140-180 mg/dl
- Emergency :Tiap jam sebelum operasi
- Elektif : 2-3 x per hari
- Durante operasi : per jam
- Post Operasi : 4-5 jam post operasi
Penatalaksanaan
 Yang memerlukan insulin :
- Semua pasien yang menggunakan insulin pra operasi, perlu meneruskan insulin.
- Pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO dan kadar gula darah puasa > 180 mg/dl,
dan HbA1C > 10%
 Yang kadang memerlukan insulin : Pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO dengan
KGD puasa < 180 mg/dl, HbA1C > 10%, lama pembedahan < 2 jam
 Metformin sebaiknya dihentikan 2-3 hari sebelum operasi untuk mecegah asidosis
laktat
 Pemberian insulin dapat diberikan : Insulin dan glukosa terpisah; kombinasi infuse
glukosa-insulin-kalium; intermiten bolus insulin kerja pendek i.v atau subkutan;
 Target KGD 140-180 mg/dl
Emergency : Insulin kerja cepat atau short acting (@Apidra, @ Humulin R,
@Humalog, @Novorapid) intravena dan subkutan
Elektif : Insulin subkutan

64
Lama Rawatan
Operasi emergency : 6 jam
Operasi elektif : 24 jam

65
17. SINDROMA KORONER AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST

Definisi
Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan
menyebabkan kematian miosit kardiak.
Kerusakan miokard yang terjadi tergantung pada:
1. Letak dan lamanya sumbatan aliran darah
2. Ada atau tidaknya kolateral
3. Luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat

Patogenesis
Adanya penurunan mendadak aliran darah koroner akibat aterosklerosis yang tumpang tindih
dengan trombosis, dengan atau tanpa disertai proses vasokonstriksi. Presentasi klinis dan
hasil akhir tergantung lokasi obstruksi, tingkat keparahan dan lamanya iskemik miokard.

Anamnesis
Riwayat nyeri dada (angina) khas
Gejala khas mempunyai empat gambaran kardinal (four cardinal symptoms)
 Lokasi
Regio retrosternal dengan kemungkinan penjalaran ke kedua sisi dada, ke lengan
(terutama lengan kiri) sampai ke pergelangan tangan dan ke leher atau ke rahang.
Cukup sering awal serangan di salah satu area tertentu dan selanjutnya akan menyebar
ke tengah dada. Atau mungkin tanpa melibatkan sama sekali daerah sternum.
 Berhubungan dengan latihan
Pada kebanyakan kasus, angina diprovokasi oleh peningkatan konsumsi oksigen selama
latihan (atau oleh stres) dan segera dengan cepat pulih dengan istirahat. Bila timbul saat
istirahat menunjukkan adanya perubahan pada irama arteri koroner, aritmia atau angina
tidak stabil dimana emosi mungkin merupakan faktor provokasi yang potensial.
 Karakteristik
Walaupun angina sering dijabarkan sebagai rasa nyeri tetapi pasien mungkin
menyangkal walaupun merasa tidak nyaman seperti rasa tertekan atau tercekik.
Intensitas keluhan bervariasi dari sedikit perasaan tidak nyaman sampai rasa nyeri yang
hebat.

 Durasi
Nyeri angina yang diprovokasi oleh latihan fisik biasanya pulih spontan dalam waktu 1-
3 menit setelah istirahat tetapi dapat berlangsung lebih dari 10 menit setelah latihan
yang berat. Nyeri angina yang diprovokasi oleh emosi mungkin pulih lebih lambat
dibanding yang diprovokasi oleh latihan fisik. Episode angina pada pasien dengan
sindrom X mempunyai frekuensi lebih lama dan kurang konsisten dalam kaitannya
dengan latihan, dibandingkan pasien dengan stenosis arteri koroner aterosklerotik.
Keluhan rasa tidak nyaman di dada disertai atau dilatarbelakangi oleh gejala-gejala lain
seperti sesak nafas, kelelahan dan rasa mau pingsan.

Pemeriksaan Fisik
Hampir selalu normal, termasuk pada pemeriksaan thoraks yaitu auskultasi dan pengukuran
debar jantung serta tekanan darah. Tujuan pemeriksaan fisik ini adalah untuk menyingkirkan
penyebab nyeri dada non-kardiak, penyakit kardiak non-iskemik (perikarditis, penyakit
valvular), penyebab ekstra kardiak yang potensial, pneumotoraks serta mencari tanda-tanda
yang potensial menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel kiri.

66
Diagnosis
 Riwayat nyeri dada/perasaaan tidak nyaman yang bersifat substernal, lamanya lebih dari
20 menit, tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat
 Elevasi segmen ST > 1mm pada 2 sadapan prekordial atau ekstremitas yang
berhubungan, LBBB yang dianggap baru
 Peningkatan enzim jantung (CK-MB, Troponin). Hasil tidak perlu ditunggu untuk
memulai terapi reperfusi
 Ekokardiografi 2D dan perfusion scintigraphy dapat membantu menentukan adanya
infark miokard akut

Diagnosis Banding
a. Mengancam jiwa:
 Diseksi aorta
 Emboli paru
 Perforasi ulkus
 Tension pneumothorax
 Boerhaave syndrome
 Esophageal ruptur mediastinitis
b. Non-iskemik kardiak:
 Perikarditis
 Angina tipikal
 Early repolarization
 Wolf-Parkinson-White
 LVH dengan strain
 Sindroma brugada
 Miokarditis
 Hiperkalemia
 Bundle-branch blocks
 Angina vasospastik
 Kardiomiopati hipertrofi
c. Non-kardiak lainnya:
 Gastroesophageal reflux (GERD) and spasme
 Chest-wall pain
 Pleurisy
 Ulkus peptikum
 Serangan panik
 Nyeri bilier dan pankreatik
 Nyeri diskus servikalis atau neuropati
 Somatisasi dan gangguan psikogenik

PENANGANAN KEGAWAT-DARURATAN
Tatalaksana Awal :
 Oksigen 4L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
 Aspirin 160 mg (dikunyah)
 Nitrat diberikan 5 mg SL (dapat diulang 3 x) lalu drip bila masih nyeri
 Morfin IV bila nyeri tidak teratasi dengan Nitrat

67
Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (tidak boleh menunda reperfusi)
 Anti iskemik : Nitrat, β-bloker, Ca antagonis
 Anti platelet oral : Aspirin, Clopidogrel*
 Anti koagulan/Anti trombin : Heparin (UFH/LMWH)

Terapi tambahan : Ace inhibitor/ ARB, Statin


*diberikan dosis awal 300mg pada pasien tanpa riwayat pemakaian Clopidogrel sebelumnya,
perbaikan aliran darah koroner dan reperfusi jaringan miokard pada presentasi ≤ 12 jam.

1. Terapi fibrinolitik
Dianjurkan pada :
 Presentasi ≤ 3 jam
 Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat
 Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon > 90 menit
 (Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon) dikurangi (Waktu antara
pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik) > 1 jam
 Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik

Kontraindikasi Fibrinolitik
A. Kontraindikasi absolut
 Riwayat perdarahan intrakranial kapanpun
 Lesi struktural cerebrovaskular (contoh : AVM)
 Tumor intrakranial (primer maupun metastasis)
 Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir
 Dicurigai adanya suatu diseksi aorta
 Adanya trauma/pembedahan/trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir
 Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)
 Diseksi aorta

B. Kontraindikasi relatif
 Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol
 Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik > 180 mmHg
atau TD diastolik > 110 mmHg)
 Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intrakranial selain
yang disebutkan pada kontraindikasi absolut
 Resusitasi Jantung Paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3
minggu
 Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
 Terapi antikoagulan oral
 Kehamilan
 Non-compressible punctures
 Ulkus peptikum aktif
 Khusus untuk streptokinase/anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya (> 5
hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut

68
Tabel 1. Regimen Fibrinolitik
Terapi awal Antitrombin Kontraindikasi
co-terapi Spesifik
Streptokinase (SK) 1.5 juta unit/100 ml Dengan atau tanpa Riwayat SK atau
D5% atau NaCl 0.9% heparin iv selama anistreplase
selama 30-60 menit 24-48 jam
Alteplase (tPA) 15 mg iv bolus Heparin iv selama
0.75 mg/kgBB selama 24-48 jam
30 menit kemudian 0.5
mg/kgBB selama 60
menit iv
Dosis total tidak
melebihi 100 mg

Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi :


- Bolus iv 60 u/kgBB maksimum 4000 u
- Dosis maintenance per drip 12 u/kgBB selama 24-48 jam dengan maksimum 1000 u/jam
dengan target aPTT 50-70 detik
- Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi dimulai
- LMWH dapat digunakan sebagai alternatif UFH pada pasien-pasien berusia < 75 tahun
dengan fungsi ginjal baik (Kreatinin < 2.5 mg/dl pada laki-laki atau 2.0 < mg/dl pada
wanita).

Gambar 1. Komponen delay STEMI dan interval waktu yang ideal untuk PCI

2. Percutanous coronary intervention (PCI)


A. PCI primer
Dianjurkan pada:
 Presentasi ≥ 3 jam
 Tersedia fasilitas PCI
 Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit

69
 (Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi (Waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1 jam
 Terdapat dapat kontraindikasi fibrinolitik
 Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip ≥ 3)
 Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan
B. PCI kombinasi dengan fibrinolitik
Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI tidak dapat
dilakukan dengan segera dan pada pasien dengan risiko perdarahan rendah. Pada
tindakan ini tidak dianjurkan menggunakan penghambat reseptor GPIIb/IIIa dengan
dosis penuh
C. Rescue PCI
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolik pada pasien dengan infark luas dengan:
a. Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia
b. Keluhan iskemik yang berkepanjangan
c. Syok kardiogenik

- Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana rescue
PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus
dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau tirofiban
- Pemilihan stent pada PCI primer atau rescue PCI : Bare metal stent (BMS)

3. Bedah Pintas Koroner (BPK)


Indikasi :
 Kegagalan PCI dimana terjadi oklusi mendadak arteri koroner selama proses
kateterisasi
 PCI tidak memungkinkan
 Pada pasien syok kardiogenik, pasien dengan komplikasi VSD / MR
 Pasien dengan iskemia berkepanjangan atau berulang setelah optimalisasi terapi
medikamentosa dengan anatomi yang sesuai untuk tindakan bedah

Jika keadaan umum pasien stabil, tindakan BPK elektif setelah 2 minggu. Jika tidak
stabil, pasang IABP : - Stabil → 5 hari → On pump BPK
- Tidak stabil → Semi Cito BPK (semua vena)

Tindakan reperfusi dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan presentasi ≥ 12 jam


dengan nyeri dada yang berkepanjangan.

Stratifikasi Risiko saat Pasien Dipulangkan dari Rumah Sakit


SKA dengan elevasi segmen-ST:

70
STEMI

Strategi invasif Fibrinolitik Tanpa terapi


Primer reperfusi

Kateterisasi (+) Kateterisasi (-) EF < 40% EF > 40%

EF > 40% EF < 40% Risiko* Risiko*


tinggi (+) tinggi (-)

Risiko* Risiko* Kateterisas &


tinggi (+) tinggi (-) revaskularisasi
sesuai indikasi

Revaskularisasi Evaluasi
sesuai indikasi fungsional

EKG dapat EKG tidak


dinilai dapat dinilai

Mampu uji Tidak mampu Mampu uji


latih uji latih latih

Uji latih Uji latih sesuai Pemeriksaan


Ekokardiografi
submaksimal kemampuan nuklir uji
Dobutamin
sebelum pulang sebelum atau latih
sesudah pulang
Pemeriksaan
nuklir Adenosin/ Ekokardiografi
Dipiridamol uji latih

Kateterisasi &
revaskularisasi
sesuai indikasi
Terapi
medikamentosa
Iskemia Iskemia
signifikan (+) signifikan (-)

Gambar 2. Algoritma tatalaksana STEMI

71
*Risiko Tinggi :
 Nyeri dada berulang
 Gambaran infark persisten pada EKG
 Komplikasi mekanik (gagal jantung akut, murmur baru) serta Syok

Pencegahan Sekunder Pasien Iskemia Miokard


1. Merokok
Target : berhenti total
2. Kontrol tekanan darah
Target : < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg (penderita DM atau gagal ginjal kronik)
3. Manajemen lipid
Target : LDL < 100 mg/dl, Trigliserida < 150 mg/dl, HDL > 40 mg/dl
4. Aktifitas fisik
Target minimal : 30 menit/hari, 3-4x/minggu
5. Manajemen berat badan
Target : IMT 18.5-24.9 kg/m2
Lingkar pinggang < 35 inci (wanita) dan < 40 inci (laki-laki)
6. Manajemen diabetes
Target : HbA1C < 7%
7. Antiplatelet / antikoagulan
 Aspirin 75-162 mg/hr seumur hidup
 Clopidogrel 75 mg/hr selama 9-12 bulan terutama setelah pemasangan drug eluting
stent, serta sebagai alternatif bila terdapat kontraindikasi aspirin
 Warfarin (INR 2.5-3.5) bila terdapat indikasi atau kontraindikasi terhadap aspirin dan
clopidogrel
8. Penghambat sistem RAA
 ACE inhibitor diberikan seumur hidup pada pasien dengan infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, killip ≥ 2, EF < 40%
 ARB: pasien dengan tanda-tanda gagal jantung yang intoleran dengan ACE inhibitor
 Penghambat aldosteron: pasien-pasien tanpa gangguan fungsi ginjal yang signifikan
dan hiperkalemia yang sudah mendapat ACE inhibitor dengan dosis optimal, EF ≤
40% dengan DM atau gagal jantung
9. Beta blocker
Diberikan pada semua pasien, seumur hidup bila tidak terdapat kontraindikasi.
Pada pasien dengan gagal jantung : Carvedilol, Metoprolol, dan Bisoprolol.
10. Nitrat
Nitrat kerja jangka pendek diberikan pada tiap pasien untuk digunakan bila terdapat nyeri
dada.
Obat-obat anti iskemia yang diberikan selama perawatan di rumah sakit hendaknya tetap
diberikan setelah pasien dipulangkan pada pasien-pasien :
 Tanpa tindakan revaskularisasi koroner
 Dengan tindakan revaskularisasi koroner yang tidak berhasil
 Dengan keluhan yang berulang meskipun telah menjalani tindakan revaskularisasi
11. ICD (Implantable cardiac defibrillators)
Dipertimbangkan untuk dipasang pada pasien-pasien yang meskipun dengan terapi
medikamentosa yang optimal, memiliki fungsi ventrikel kiri yang buruk (EF < 30%).

72
Edukasi
- Menjelaskan tentang diagnosis dan kontrol rutin ke poliklinik jantung untuk tindak lanjut
- Memberikan informasi tentang rehabilitasi jantung
- Menjelaskan tentang manajemen faktor resiko kardiovaskuler dan terapi obat untuk
pencegahan sekunder
- Perubahan gaya hidup (pola makan, olahraga, hindari stress dan cukup istirahat)
- Bagi pasien yang merokok, dianjurkan untuk berhenti merokok

Kepustakaan

1) Irmalita, Hersunarti Nani, Sunu Ismoyo, et al. Tatalaksana Sindroma Koroner


Akut Dengan Elevasi Segmen ST .In: Irmalita. Standar Pelayanan Medik
(SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. 3rd ed.
Jakarta: Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita; 2009: 12-
17.

2) Ph. Gabriel Steg, Stefan K. James, Dan Atar, Luigi P. Badano, et al. ESC
Guidelines for the management of Myocardial Infarction in patients presenting
with ST-segmen Elevation 2012. Europian Society of Cariology, 2012:1-51.

3) Thygesen K, Alpert JS, White HD. Universal definition of myocardial


infarction. Eur Heart J 2007; 28:2525–2538.

73
18. SINDROMA KORONER AKUT TANPA ELEVASI SEGMEN ST

Definisi
Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan
menyebabkan kematian miosit kardiak.

Anamnesis
Riwayat nyeri dada (angina) yang khas
Gejala khas mempunyai empat gambaran kardinal (four cardinal symptoms)
 Lokasi
Regio retrosternal dengan kemungkinan penjalaran ke kedua sisi dada, ke lengan
(terutama lengan kiri) sampai ke pergelangan tangan dan ke leher atau ke rahang.
Seringnya, awal serangan di salah satu area tertentu saja dan selanjutnya akan menyebar
ke tengah dada, atau mungkin tanpa melibatkan sama sekali daerah sternum.
 Berhubungan dengan latihan
Pada kebanyakan kasus, angina diprovokasi oleh peningkatan konsumsi oksigen selama
latihan (atau oleh stres) dan segera dengan cepat pulih dengan istirahat. Bila timbul saat
istirahat menunjukkan adanya perubahan pada irama arteri koroner, aritmia atau angina
tidak stabil dimana emosi mungkin merupakan faktor provokasi yang potensial.

 Karakteristik
Walaupun angina sering dijabarkan sebagai rasa nyeri, tetapi pasien mungkin
menyangkal walaupun merasa tidak nyaman seperti rasa tertekan atau tercekik.
Intensitas keluhan bervariasi dari sedikit perasaan tidak nyaman sampai rasa nyeri yang
hebat.
 Durasi
Nyeri angina yang diprovokasi oleh latihan fisik biasanya pulih spontan dalam waktu 1
- 3 menit setelah istirahat tetapi dapat berlangsung lebih dari 10 menit setelah latihan
yang berat. Nyeri angina yang diprovokasi oleh emosi mungkin pulih lebih lambat

74
dibanding yang diprovokasi oleh latihan fisik. Episode angina pada pasien dengan
sindrom X mempunyai frekuensi lebih lama dan kurang konsisten dalam kaitannya
dengan latihan, dibandingkan pasien dengan stenosis arteri koroner aterosklerotik.
Keluhan rasa tidak nyaman di dada disertai atau dilatarbelakangi oleh gejala-gejala lain
seperti sesak napas,kelelahan dan rasa mau pingsan.

Klasifikasi
Klasifikasi Angina (Canadian Cardiovascular Society (CCS))
 Kelas I
Angina tidak timbul pada saat aktifitas sehari-hari, seperti berjalan atau menaiki tangga.
Angina dapat timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa dan saat bekerja
berkepanjangan atau rekreasi.
 Kelas II
Sedikit pembatasan pada aktifitas sehari-hari, seperti jalan atau naik tangga dengan
cepat, jalan mendaki, jalan atau naik tangga setelah makan, pada udara dingin atau
melawan angin, dalam keadaan stres emosi, atau hanya beberapa jam setelah bangun
tidur. Berjalan lebih dari 2 blok (± 400 m) di permukaan dan naik tangga lebih dari satu
tingkat pada kecepatan dan kondisi yang normal.
 Kelas III
Adanya tanda-tanda keterbatasan pada aktifitas sehari-hari, seperti jalan satu atau dua
blok dipermukaan dan naik tangga satu tingkat pada kecepatan dan kondisi yang
normal.
 Kelas lV
Ketidakmampuan melakukan semua aktifitas sehari-hari tanpa keluhan dan rasa
nyaman.

Pemeriksaan Fisik
Hampir selalu normal, termasuk pada pemeriksaan thoraks yaitu auskultasi dan pengukuran
debar jantung serta tekanan darah. Tujuan pemeriksaan fisik ini adalah untuk menyingkirkan
penyebab nyeri dada non-kardiak, penyakit kardiak non-iskemik (perikarditis, penyakit
valvular), penyebab ekstra kardiak yang potensial, pneumotoraks serta mencari tanda-tanda
yang potensial menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel kiri.

Kriteria Diagnosis
Presentasi Klinis
Secara klasik, presentasi klinis SKA NSTEMI meliputi:
 Nyeri dada iskemik berupa nyeri dada yang terus menerus (>20 menit) saat istirahat
 Angina berat (CCS III) yang timbul pertama kali
 Angina karakteristik kresendo (CCS III) pada angina pektoris stabil
 Angina paska infark miokard
Presentasi atipikal terutama pada usia muda (25-40 tahun), usia tua (>75ntahun), pasien
diabetes dan wanita.

Diagnosis banding
 Oklusi thrombus transien dengan trombolisis spontan awal
 Vasospasme koroner dengan reperfusi awal
 Oklusi thrombus klasik dengan pembentukan cepat dari kolateral
 Oklusi thrombus klasik dari LCX
 Oklusi pembuluh cabang

75
Pemeriksaan Penunjang EKG Saat Istirahat
EKG saat istirahat merupakan kunci penilaian pada pasien yang diduga sindroma koroner
akut. Gambaran EKG yang bermakna adalah Depresi segmen ST ≥ 0,5mm (0,05mV) yang
persisten maupun transien, elevasi segmen ST ≥ 0,5mm (< 20 menit) serta inversi gelombang
T ≥ 0,2mV pada 2 sadapan yang berdekatan atau lebih.

Petanda Biokimia Kerusakan Miokard


Troponin T atau I merupakan petanda kerusakan miokard yang lebih spesifik dan lebih sesuai
dibanding enzim kardiak konvensional CK atau CK-MB. Terapi tidak boleh tertunda karena
menunggu hasil pemeriksaan enzim.

Terapi
Tatalaksana Awal Pada Pasien Dengan Dugaan SKA
(dilakukan dalam waktu 10 menit)
1. Memeriksa tanda vital, termasuk saturasi oksigen
2. Mendapatkan akses intravena
3. Merekam dan menganalisis EKG
4. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Mencari adanya kontraindikasi tindakan fibrinolitik pada pasien infark dengan elevasi
segmen ST
6. Mengambil sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, serta pemeriksaan
koagulasi
7. Mengambil foto rontgen thorax (<30 menit)

Rekomendasi Stratifikasi Resiko


Stratifikasi resiko sangat menentukan tindakan penatalaksanaan selanjutnya. Stratifikasi
resiko dilakukan dalam 3 tahap :
1. Saat pasien pertama kali tiba di UGD berdasarkan gambaran EKG
1) Resiko tinggi: depresi segmen ST atau inversi gelombang T dinamis
2) Resiko rendah/sedang: gambaran EKG normal atau non-diagnostik
2. Selama diobservasi di UGD berdasarkan serial EKG, enzim jantung ataupun pemeriksaan
non-invasif lain (menggunakan skor TIMI) :
1) Usia ≥ 65 tahun
2) ≥ 3 faktor resiko PJK (hipertensi, riwayat PJK dalam keluarga, hiperkolesterolemia,
diabetes, perokok aktif)
3) Pemakaian aspirin dalam 7 hari terakhir
4) ≥ 2 episode angina dalam 24 jam terakhir
5) Peningkatan enzim jantung (CKMB atau troponin)
6) Deviasi segmen ST ≥ 0,5 mm, yaitu depresi segmen ST ≥ 0,5mm atau ST elevasi ≥
0,5mm yang transien (< 20 menit)
7) Diketahui menderita PJK
Diberi Skor 1 untuk tiap poin :
 Skor 0-2: resiko rendah
 Skor 3-4: resiko sedang
 Skor 5-7: resiko tinggi
3. Setelah pasien dirawat dengan pemantauan monitor EKG
Pasien masuk kriteria resiko tinggi bila didapatkan:
 Nyeri dada iskemik yang refrakter
 Deviasi segmen ST yang menetap dan berulang
 Takikardi ventrikel

76
 Hemodinamik tidak stabil
 Tanda-tanda gagal jantung

Pada kondisi diatas dibutuhkan tindakan invasif dini (dalam 48 jam setelah kejadian infark)

Tatalaksana awal SKA tanpa elevasi segmen ST di unit emergensi:


 Oksigen 4L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
 Aspirin 160 mg (dikunyah)
 Nitrat diberikan 5 mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri
 Morfin IV bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat

Tatalaksana lanjut berdasarkan stratifikasi resiko sesuai indikasi dan kontraindikasi.


1. Resiko tinggi/sedang
 Anti iskemik: Beta blocker, Nitrat, CCB
- Beta blocker diberikan pada pasien tanpa kontraindikasi, khususnya pasien dengan
hipertensi dan takikardi
- Nitrat IV atau oral efektif untuk mengatasi gejala pada episode nyeri dada akut
- CCB dipakai untuk mengurangi gejala pada pasien yang telah menerima nitrat dan
beta blocker; bermanfaat pada pasien dengan kontraindikasi beta blocker dan pada
pasien dengan angina vasospastik
 Anti platelet oral: Aspirin, Clopidogrel
- Aspirin diberikan pada semua pasien dengan dosis awal 160-325mg, dan
selanjutnya 75-100mg per hari untuk jangka panjang
- Pada semua pasien, clopidogrel diberikan dengan dosis loading 300mg, selanjutnya
75mg per hari. Clopidogrel dapat diberikan hingga 12 bulan kecuali terjadi
perdarahan yang berlebihan
- Pada pasien dengan kontraindikasi aspirin, clopidogrel diberikan sebagai pengganti
- Pada pasien yang direncanakan menjalani prosedur invasif/PCI, clopidogrel dengan
dosis loading 600mg dapat diberikan untuk mencapai inhibisi fungsi platelet yang
lebih cepat
 Anti platelet IV : penghambat reseptor GP2b3a
- Pada pasien dengan resiko sedang sampai tinggi, khususnya pasien dengan troponin
yang meningkat, depresi ST, atau diabetes, tirofiban dapat diberikan sebagai terapi
awal dan merupakan tambahan antiplatelet
- Pasien yang menerima pengobatan awal dengan tirofiban sebelum angiografi, dapat
diberikan selama dan sesudah PCI
- Penghambat GP2b3a diberikan sebagai kombinasi antikoagulan
 Anti koagulan/anti trombin: Heparin (UFH, LMWH)
- Anti koagulan diberikan pada semua pasien sebagai tambahan terhadap anti platelet
- Sejumlah anti koagulan tersedia seperti UFH, LMWH (enoxaparin/fondaparinux)
Pemilihan antikoagulan dapat didasarkan pada resiko iskemia dan perdarahan serta
strategi awal yang akan dilakukan (invasif urgensi, invasif dini, atau terapi
konservatif)
 Revaskularisasi koroner
- Angiografi koroner dini (< 72 jam) diikuti oleh revaskularisasi (PCI atau CABG)
direkomendasikan pada pasien dengan resiko sedang hingga berat
- Angiografi koroner urgensi direkomendasikan pada pasien dengan angina refrakter
atau berulang yang disertai perubahan segmen ST, gagal jantung, aritmia yang
mengancam hidup, atau hemodinamik yang tidak stabil
 Terapi tambahan: ACE inhibitor / penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan Statin
77
2. Resiko rendah
 Aspirin
 Beta blocker
 Dapat dipulangkan setelah observasi di UGD
 Pertimbangkan untuk uji latih jantung (treadmill)

Strarifikasi resiko saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.


Kateterisasi Direkomendasikan Pada Pasien:
 Angina Progresif, termasuk angina tidak stabil berulang
 Resiko tinggi (depresi segmen ST ≥ 2 mm, tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg)
saat uji latih jantung
 Gagal jantung kronik
 Angina yang timbul pada saat latihan ringan
 Pernah mengalami henti jantung mendadak

Revaskularisasi Koroner:
 PCI (Angiografi Koroner/AK)
 CABG (Bedah Pintas Koroner/BPK)
 Stenosis / Oklusi LAD (dengan atau tanpa diagonal):
o Off Pump CABG:
- LAST (Left Anterior Small Thoracotomy)
- Lower Median Sternotomy
o On Pump CABG: Full Sternotomy
 Stenosis/Oklusi multi-vessel: Off pump/On pump CABG

Antiplatelet dan antikoagulan pada pasien NSTEMI pro CABG cito/semi cito:
 ASA diteruskan hingga hari operasi CABG
 Clopidogrel dapat dihentikan 5-7 hari sebelum CABG
 Bila menggunakan GP2b3a, dihentikan 4 jam sebelum CABG
 LMWH: enoxaparin dihentikan 12-24 jam sebelum CABG; fondaparinux dihentikan
24 jam sebelum operasi CABG

Tatalaksana Jangka Panjang


Pasien dengan SKA NSTEMI memiliki resiko tinggi untuk berulangnya iskemia setelah fase
awal. Oleh sebab itu prevensi secara aktif sangat penting sebagai tata laksana jangka panjang,
yang mencakup :
 Perbaikan gaya hidup seperti: berhenti merokok, aktifitas fisik teratur, dan diet
 Penurunan berat badan pada pasien obesitas dan overweight
 Kontrol tekanan darah
 Tatalaksana diabetes
 Intervensi terhadap profil lipid
 Statin direkomendasikan pada semua pasien dengan SKA NSTEMI, tidak tergantung
pada level kolesterol, mulai diberikan dalam 1-4 hari sejak masuk, dengan tujuan
mencapai level LDL <100 mg/dl
 Disarankan terapi penurunan level lipid secara intensif dengan target LDL < 70 mg/dl,
yang diberikan dalam 10 hari setelah masuk
 Meneruskan pemakaian antiplatelet dan antikoagulan
 Pemakaian beta blocker

78
Beta blocker harus diberikan pada semua pasien, termasuk pasien dengan fungsi ventrikel
kiri yang menurun, dengan atau tanpa gejala gagal jantung
 ACE inhibitor
Ace inhibitor diindikasikan sebagai terapi jangka panjang pada semua pasien dengan
LVEF ≤ 40% dan pada pasien dengan diabetes, hipertensi, atau AKI
 Penghambat reseptor angiotensin (ARB)
ARB harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak toleransi terhadap ACE-I dan atau
dengan gagal jantung atau infark miokard dengan LVEF < 40%
 Antagonis reseptor aldosteron
Blokade aldosteron harus dipertimbangkan pada pasien paska infark miokard yang telah
mendapat ACE inhibitor dan beta blocker dengan LVEF < 40% dan dengan diabetes atau
gagal jantung, tanpa disfungsi renal atau hiperkalemia
 Rehabilitasi dan kembali ke aktifitas fisik
Setelah terjadinya SKA NSTEMI, direkomendasikan penilaian kapasitas fungsional.
Berdasarkan status kardiovaskular dan penilaian kapasitas fisik fungsional tersebut, pasien
diberi informasi mengenai waktu dan level aktifitas fisik yang direkomendasikan,
termasuk rekreasi, kerja, dan aktifitas seksual. Pasien pasca SKA NSTEMI dapat
disarankan menjalani uji latih jantung dengan EKG atau suatu tes non-invasif untuk
iskemia yang setara, dalam 4-7 minggu setelah perawatan

Edukasi
 Menjelaskan tentang diagnosis dan kontrol rutin ke poliklinik jantung untuk tindak lanjut
 Memberikan informasi tentang rehabilitasi jantung
 Menjelaskan tentang manajemen faktor resiko kardiovaskular dan terapi obat untuk
pencegahan sekunder
 Perubahan gaya hidup (pola makan, olahraga, hindari stress dan cukup istirahat)
 Bagi pasien yang merokok, dianjurkan untuk berhenti merokok

Komplikasi
 Payah Jantung
 Syok kardiogenik
 Ruptur Kardiak
o Ruptur free wall
o Ruptur septum ventrikel
 Regurgitasi Mitral
 Aritmia dan Ganguan Konduksi
o VT/VF
o SVT
o Bradikardi dan Heart block

Prognosis
TIMI score

79
Kepustakaan

1) Guidelines ESC 2002, Management of acute coronary syndromes in


patients presenting without persistent ST-segment elevation

2) Guidelines ACC/AHA 2007, Guidelines for the Management of Patients


With Unstable Angina/Non ST-Elevation Myocardial Infarction

3) Guidelines ACC/AHA 2008, Performance Measures for Adults With ST-


Elevation and Non ST-Elevation Myocardial Infarction

4) Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh


Darah Harapan Kita Jakarta 2009

80
19. ANGINA PECTORIS STABIL

Definisi
Angina pektoris stabil (APS) adalah sindroma klinis berupa rasa tidak nyaman di dada,
rahang, bahu, punggung atau lengan yang timbul saat aktifitas atau stres emosional yang
berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin.
Anamnesa
 Tanyakan gambaran nyeri dada: lokasi (biasanya di substernal), durasi (biasanya tidak
lebih dari 10 menit), karakteristik (seperti rasa tertimpa, tertekan, rasa berat di dada,
kadang seperti rasa tercekik atau terbakar) dan pencetus.
 Stratifikasi faktor resiko PJK (usia, jenis kelamin, hipertensi, DM, merokok dan
dislipidemia)
 Identifikasi dan ekslusikan kondisi-kondisi non PJK yang juga bisa menyebabkan
nyeri dada (refluks esofagus, penyakit paru, ansietas, dll)
 Beratnya nyeri pada angina pectoris dapat dinyatakan dengan menggunakan skala dari
Canadian Cardiovascular Society, seperti tabel dibawah ini
CCS Deskripsi
I Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai
dan lain-lain tidak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada
latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-buru.

II Ada sedikit pembatasan aktivitas sehari-hari, nyeri dada timbul pada


aktivitas yang lebih berat dari biasanya, misalnya jalan kaki sejauh dua
blok, berjalan menanjak atau melawan arah angin, pada keadaan
emosional atau stres.

III Aktivitas sehari-hari terbatas. Keluhan nyeri dada timbul dengan aktivitas
biasa seperti berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan
biasa.

IV Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan nyeri dada, bahkan saat


istirahat.

Pemeriksaan Fisik
Tidak ada tanda-tanda fisik yang spesifik untuk APS. Tetapi pemeriksaan fisik yang
dilakukan saat serangan angina dapat memberikan informasi tambahan yang berguna.
Adanya gallop, murmur Mitral Regurgitasi atau split S2 yang menghilang bila nyeri mereda
dapat menguatkan diagnosa.
Kriteria Diagnostik
 Angina tipikal (pasti) memiliki 3 karakteristik berikut: (1) Rasa tidak nyaman di
substernal yang sesuai kualitas karakteristik dan durasi, (2) Dicetuskan oleh aktifitas
fisik atau stress emosional, (3) Berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin
 Angina atipikal (kemungkinan) hanya memenuhi 2 kriteria diatas
 Nyeri dada non-kardiak hanya memenuhi 1 kriteria atau tidak sama sekali
Diagnosis Banding
 Refluks esofagus dan spasme
 Ulkus peptikum
 Batu empedu
 Gangguan muskuloskeletal

81
 Nyeri dada non-spesifik yang berhubungan dengan ansietas
Pemeriksaan Penunjang
 EKG istirahat
 EKG stres testing atau Treadmil test
 Foto thorax, hanya dilakukan bila pasien dicurigai menderita gagal jantung, penyakit
katup jantung atau penyakit paru
 Pemeriksaan glukosa dan profil lipid, darah lengkap serta serum creatinin
 Marker kerusakan miokard, hanya diperiksa jika pasien dicurigai mengalami
sindroma koroner akut
 Fungsi tiroid, hanya diperiksa jika secara klinis didapati kecurigaan gangguan fungsi
tiroid
Manajemen
Tujuan: Memperbaiki prognosis dengan mencegah terjadinya infark miokard dan kematian
serta menghilangkan atau mengurangi gejala klinis
Manajemen umum:
 Pasien dan keluarganya harus diberitahu perjalanan penyakit APS, implikasi ke
diagnosis dan pilihan terapi
 Pengendalian faktor resiko PJK
 Anjurkan pasien diet mediterania, dengan sayur, buah, ikan dan unggas menjadi
menu utama
 Pengendalian aktifitas fisik
 Batasi masukan alkohol, terutama pada pasien hipertensi dan gagal jantung
 Anemia atau hipertiroid, jika dijumpai harus segera dikoreksi
 Kontrol dampak psikologis yang mungkin terjadi pada pasien
 Pasien harus diinformasikan mengenai cara pemakaian nitrat serta efek yang mungkin
terjadi
 Aktifitas seksual yang dapat mencetuskan angina harus dihindari. Hati-hati
menggunaan phospodiesterase inhibitor (sildenafil, tadafil atau vardenafil) jika pasien
memakai nitrat
Medikamentosa
 Aspirin 75-150 mg sehari pada semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik (misal:
perdarahan aktif GI, alergi aspirin atau riwayat intoleransi aspirin sebelumnya)
 Clopidogrel 75 mg pada pasien yang tidak bisa memakai aspirin
 Nitrogliserin 5-10 mg masa kerja singkat untuk mengurangi simtom akut dan
profilaksis situasional dengan instruksi penggunaan yang jelas
 Statin 10-40 mg pada semua pasien PJK dan diberi dosis tinggi pada pasien resiko
tinggi yang terbukti menderita PJK
 Penghambat ACE pada semua pasien dengan hipertensi, gagal jantung, disfungsi
ventrikel kiri, riwayat infark sebelumnya dengan disfungsi ventrikel kiri atau diabetes
 Beta blocker oral dosis awal 1,25 mg pada pasien pasca infark atau dengan gagal
jantung dititrasi sampai dosis penuh 10 mg
 Jika intoleransi terhadap beta blocker atau kurang efikasi, dianjurkan monoterapi
dengan calcium channel blocker (CCB), nitrat masa kerja panjang atau nicorandil
 Jika efek monoterapi beta blocker tidak sufisien tambahkan CCB golongan
dihydropyridin

82
Revaskularisasi
 Percutaneus Coronary Intervention (PCI)
 Coronary Bypass Arteriografi Surgery (CABG)
Indikasi: - Terapi medikamentosa gagal mengatasi gejala
- Pemeriksaan non invasif menunjukkan resiko area substansial miokard
- Besar kemungkinan tindakan akan berhasil dengan resiko morbiditas
yang dapat diterima
- Pasien memilih intervensi dibanding medikamentosa dan diberi
penjelasan lengkap sesuai kasus individunya
Edukasi
 Pasien dan keluarganya harus diberitahu perjalanan penyakit APS, implikasi ke
diagnosis dan pilihan terapi
 Pengendalian faktor resiko PJK
 Anjurkan pasien diet mediterania, dengan sayur, buah, ikan dan unggas menjadi
menu utama
 Pengendalian aktifitas fisik
 Batasi masukan alkohol, terutama pada pasien hipertensi dan gagal jantung
 Kontrol dampak psikologis yang mungkin terjadi pada pasien
 Pasien harus diinformasikan mengenai cara pemakaian nitrat serta efek yang mungkin
terjadi
 Aktifitas seksual yang dapat mencetuskan angina harus dihindari. Hati-hati
menggunaan phospodiesterase inhibitor (sildenafil, tadafil atau vardenafil) jika pasien
memakai nitrat

Prognosis
Dubia at bonam

Kepustakaan
1. Guideline of The Management of Stable Angina Pectoris. The Task Force on The
Management of Stable Angina Pectoris. European Society Cardiology. 2006.
2. ACC/AHA/ACP-ASIM guidelines for management of Patients With Cronic Stable
Angina : executive summary and Recommendation
3. Lilly Leonard. Pathophysiology of Heart Disease.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.

83
20. GAGAL JANTUNG AKUT

Defenisi
Gagal jantung akut didefenisikan sebagai perubahan gejala dan tanda gagal jantung dalam
onset cepat yang memerlukan terapi segera. Gagal jantung akut dapat merupakan gagal
jantung yang baru atau perburukan dari gagal jantung kronis sebelumnya. Pasien dapat
menunjukkan keadaan medis yang gawat darurat seperti edema paru.

Anamnesis
 Keluhan tipikal: sesak nafas, ortopnoe, PND, penurunan kemampuan beraktivitas, mudah
lelah, bengkak pada ekstremitas bawah.
 Keluhan tidak tipikal: batuk di malam hari, mengi, berat badan bertambah > 2 kg/
minggu, penurunan berat badan pada gagal jantung akhir, kehilangan nafsu makan,
depresi, confusion, palpitasi, pingsan.

Pemeriksaan Fisik
 Tanda spesifik: peningkatan TVJ, refluks hepatojugular, S3 gallop, impuls apes terletak
di lateral, murmur.
 Tanda non-spesifik: edema perifer, krepitasi pulmonal, penurunan suara nafas dan
perkusi beda pada basis paru, takikardia, nadi ireguler, takipnoe, hepatomegaly, ascites,
cachexia
Kriteria Diagnosis
Lihat lampiran Protokol Diagnosis
Diagnosis Banding
 Gagal ginjal akut
 ARDS
 COPD
 Gagal nafas
 Sirosis
 Pneumonia
 Emboli paru

Pemeriksaan Penunjang
 EKG: memberi informasi mengenai kecepatan denyut jantung, ritme, konduksi,
hipertrofi, bundle branch block, disritmia, perimiokarditis, dan etiologi. EKG dapat
menunjukkan adanya tanda STEMI atau NSTEMI.
 X-ray: menilai kongesti paru dan evaluasi kondisi jantung dan paru (kardiomegali, efusi,
atau infiltrat)
 AGDA: menilai oksigenasi (pO2), fungsi respiratori (pCO2), keseimbangan asam-basa
(pH), dan kemungkinan distres pernafasan berat.
 Tes laboratorium: darah lengkap, elektrolit, RFT, KGD, albumin, LFT, INR, enzym
jantung.
 Natriuretik peptida: BNP dan NT-proBNP
 Ekokardiografi: untuk evaluasi kelainan fungsional dan struktural yang berhubungan
dengan gagal jantung akut.

84
Terapi
Lihat lampiran Protokol Terapi
1. Oksigen: untuk mencapai saturasi oksigen arteri > 95%
2. Morfin: jika dijumpai kecemasan, nyeri dada, gelisah. Dosis: 2,5-5 mg IV, dosis dapat
diulang. Respirasi harus dimonitor, mual sering dijumpai sehingga antiemetik kadang
diperlukan, hati-hati pada pasien dengan hipotensi, bradikardia, AV blok derajat tinggi,
atau retensi CO2.
3. Loop diuretik: pada kongesti dan kelebihan volume
Dosis inisial: 20-40 mg IV dan dapat ditingkatkan sesuai dengan fungsi ginjal dan
riwayat penggunaan diuretik oral sebelumnya. Pada pasien tersebut, infus continous
dapat dipertimbangkan setelah dosis inisial. Furosemide total harus < 100 mg dalam 6
jam pertama dan 240 mg selama 24 jam pertama.
Kombinasi dengan tiazide dapat berguna pada resistensi diuretik, dengan dosis 25 mg per
oral dan aldosteron antagonis (spironolakton 25-50 mg per oral). Hati-hati terhadap
hipokalemia, hiponatremia, hiperuricemia, hipotensi, dan hipovolemia atau dehidrasi.

Tabel 1. Indikasi dan dosis diuretik pada Gagal Jantung Akut


Retensi Cairan Diuretik Dosis (mg) Keterangan
Sedang Furosemid atau 20-40 Oral atau IV
Bumetamid atau 0,5-1 Titrasi dosis tergantung klinis
Torasemid 10-20 Monitor K,Na, kreatinin, TD
Berat Furosemid 40-100 Tingkatkan dosis IV
Furosemid infus 5-40 mg/jam Lebih baik dari dosis bolus
Bumetamid 1-4 Oral atau IV
Torasemid 20-100 Oral
Resisten loop Tambahkan 50-100 Kombinasi lbh baik daripada
diuretik hydrochlorothiazid dosis tinggi loop diuretik
Atau metolazon 2,5-10 Lbh baik jika Clr< 30 ml/mnt
Atau spironolakton 25-50 Spironolakton pilihan terbaik
jika tidak ada gagal ginjal dan
K normal atau rendah
Dengan alkalosis Acetazolamid 500 IV
Resisten dengan Tambahkan dopamin Pertimbangkan ultrafiltrasi
loop diuretik dan (vasodilator ginjal) atau hemodialisis jika terdapat
thiazid atau dobutamin gagal ginjal, hiponatremia
 Resistensi diuretik: keadaan klinis berupa berkurang atau hilangnya respon diuresis
pada saat pengobatan belum mencapai target (edema belum diatasi). Kondisi ini
memberi prognosis yang buruk. Tata laksana resistensi diuretik:
 Restriksi cairan dan natrium serta koreksi elektrolit
 Koreksi cairan bila hipovolemia
 Naikkan dosis atau frekwensi diuretik
 Gunakan intravena atau infus kontinu diuretik
 Kombinasi diuretik dengan HCT atau spironolakton, dopamin atau dobutamin
 Kurangi dosis penghambat ACEI atau dengan dosis ACEI yang sangat rendah
 Ultrafiltrasi atau hemodialisis bila strategi di atas tidak efektif

4. Vasodilator: vasodilator seperti nitrogliserin menurunkan preload dan afterload dan


meningkatkan curah sekuncup, tidak ada bukti yang menunjukkan vasodilator
memperbaiki gejala sesak nafas atau outcome klinis

85
Tabel 2. Vasodilator intravena yang digunakan untuk mengobati gagal jantung akut
Vasodilator Dosis Efek Samping Utama
Nitrogliserin Mulai dengan 10-20 µg/mnt, naikkan Hipotensi, sakit kepala
sampai 200 µg/mnt
Isosorbid Mulai dengan 1 mg/jam, naikkan sampai Hipotensi, sakit kepala
dinitrat 10 mg/jam
Nitroprussid Mulai dengan 0,3 µg/kgBB/mnt, naikkan Hipotensi, toksisitas
sampai 5 µg/kgBB/mnt isosianat
Nesiritide Bolus 2 µg/kgBB + infus 0,01 Hipotensi
µg/kgBB/mnt

5. Inotropik: diindikasikan pada pasien dengan penurunan curah jantung yang berat untuk
menjaga perfusi organ vital. Biasanya pasien dalam keadaan hipotensi. Inotropik dapat
menyebabkan sinus takikardi dan menginduksi miokardial iskemik dan aritmia.
a. Dopamin
 Pada dosis rendah (<2 µg/kgBB/mnt) bekerja pada reseptor dopamin perifer,
menurunkan tahanan perifer, vasodilatasi di renal, splanik, koroner dan pembuluh
serebral. Dosis tersebut dapat meningkatkan perfusi ginjal, LFG, dan diuresis.
 Dosis > 2 µg/kgBB/mnt, timbul aktivasi reseptor β dan meningkatkan
kontraktilitas serta curah jantung.
 Dosis > 5 µg/kgBB/mnt, timbul aktivasi reseptor α dan meningkatkan tahanan
vaskular perifer, terjadi peningkatan afterload dan tekanan arteri pulmonal.
b. Dobutamin
 Memiliki efek inotropik dan kronotropik sehingga meningkatkan curah jantung
dan menurunkan simpatis dan tahanan perifer.
 Pada dosis rendah, terjadi vasodilatasi ringan arterial sehingga meningkatkan isi
sekuncup akibat penurunan afterload.
 Dosis dimulai dari 2-3 µg/kgBB/mnt dan dapat dinaikkan hingga 15-20
µg/kgBB/mnt untuk mendapatkan efek inotropik.
 Pemberian jangka panjang (24-48 jam) akan berdampak berkurangnya toleransi
dan efek hemodinamik, risiko tinggi aritmia dan iskemik.
c. Fosfodiesterase inhibitor (milrinone, enoximone)
 Milrinone dan enoxamine memberi efek inotropik, lusitropik, dan vasodilatasi
perifer sehingga meningkatkan isi sekuncup, menurunkan tekanan arteri
pulmonal, tekanan wedge paru, tahanan perifer sistemik dan pulmonal.
 Efek obat ini tetap bekerja meskipun pasien dalam terapi BB.
 Pemberian milrinone diawali bolus 25 µg/kgBB dalam 10-20 menit yang dilanjuti
0,375-0,75 µg/kgBB/mnt.
 Pemberian enoximone diawali bolus 0,25-0,75 mg/kg dilanjutkan dengan infus
kontinu 1,25-7,5 µg/kgBB/mnt
 Diperkirakan lebih aman untuk digunakan, terutama pada gagal jantung iskemik
d. Levosimendan
 Cara kerja melalui sensitisasi kalsium pada protein kontraktil serta pembukaan
jalur kalium di otot polos sehingga terjadi vasodilatasi perifer.
 Diindikasikan pada gagal jantung dengan curah jantung rendah akibat disfungsi
ventrikel kiri tanpa hipotensi berat
 Pemberian diawali loading 12-24 µg/kgBB lalu infus kontinu 0,05-0,1
µg/kgBB/mnt

86
 Efek obat tetap atau bahkan meningkat pada pasien dalam terapi BB

6. Vasopressor: obat dengan efek vasokonstriktor arteri perifer kuat seperti norepinefrin
kadang diberikan pada pasien dengan hipotensi berat. Obat ini diberikan untuk
menaikkan tekanan darah dan redistribusi curah jantung dari ekstremitas ke organ vital.
Namun, dapat menaikkan afterload ventrikel kiri dan memiliki efek samping seperti
inotropik.
Tabel 3. Inotropik atau vasopressor atau keduanya
Obat Bolus Infus
Dobutamin Tidak ada 2-20 µg/kgBB/mnt (β+)
Dopamin Tidak ada < 3 µg/kgBB/mnt: efek renal (δ+)
3-5 µg/kgBB/mnt: inotropik (β+)
> 5 µg/kgBB/mnt: vasopressor (α+)
Milrinone 25-75 µg/kgBB selama 10- 0,375-0,75 µg/kgBB/mnt
20 mnt
Enoximone 0,5-1,0 mg/kgBB selama 5- 5-20 µg/kgBB/mnt
10 mnt
Levosimendan 12 µg/kgBB selama 10 mnt 0,1 µg/kgBB/mnt, dapat ditingkatkan
0,05 atau 0,2 µg/kgBB/mnt
Norepinefrin Tidak ada 0,2-1,0 µg/kgBB/mnt
Epinefrin Bolus 1 mg dapat diberikan 0,05-0,5 µg/kgBB/mnt
IV selama resusitasi,
diulang setiap 3-5 mnt

7. Setelah stabil
a. ACEI/ARB
Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang belum mendapat terapi ACEI (atau
ARB), obat ini harus dimulai secepatnya, tekanan darah dan fungsi ginjal harus
dimonitor. Dosis seharusnya diup-titrasi sejauh mungkin sebelum os berobat jalan,
dan direncanakan menyelesaikan titrasi dosis setelah os pulang dari RS.
b. Beta blocker
Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang belum mendapat terapi beta blockers,
pengobatan ini harus dimulai secepatnya setelah stabilisasi, tekanan darah dan
denyut jantung harus dimonitor. Dosis seharusnya diup-titrasi sejauh mungkin
sebelum os berobat jalan. Telah dibuktikan bahwa beta blocker dapat dilanjutkan
pada pasien selama episode dekompensasi dan dimulai secara aman sebelum pulang
setelah episode dekompensasi.
c. Mineralcorticoid receptor antagonist
Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang belum mendapat terapi MRA, obat ini
seharusnya dimulai secepatnya, fungsi ginjal dan kalium harus dimonitor. Karena
dosis MRA yang digunakan untuk mengobati gagal jantung memiliki efek minimal
terhadap tekanan darah, terapi dapat dimulai meskipun pada pasien dengan
hipotensi. Dosis seharusnya diup-titrasi sejauh mungkin sebelum os berobat jalan
d. Digoxin
Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah, digoxin dapat digunakan untuk kontrol
denyut ventrikel pada atrial fibrilasi, terutama jika keadaan tidak memungkinkan
untuk up titrasi dosis beta blockers.

87
Edukasi
 Diet: cegah konsumsi air berlebihan, cegah malnutrisi, makan makanan sehat
 Alkohol dan rokok: berhenti minum alkohol dan merokok
 Olahraga: lakukan olahraga secara teratur sesuai dengan yang telah ditentukan
 Aspek psikososial: diperlukan dukungan sosial untuk memberi pengertian mengenai
gejala yang dapat menimbulkan depresi dan pengobatan secara teratur.
Prognosis
Dubia

Kepustakaan
1) Dicksen Kenneth, Cohen-Solal Alain, Filippatos Gerasimos, et al. ESC Guidelines for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008. European Society of
Cardiology. 2008:29: 2388-2442.
2) Dumitru Ioana, Baker Mathue M. Heart Failure Differential Diagnosis. 2013
http://emedicine.medscape.com/article/163062-differential
3) Irmalita, Hersunarti Nani, Sunu Ismoyo, et al. Gagal Jantung Akut.In: Irmalita. Standar
Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. 3rd
ed. Jakarta: Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita; 2009: 129-141.

4) McMurray John J V, Adamopoulos Stamatis, Anker Stefan D, et al. ESC Guidelines for
the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012. European Society
of Cardiology. 2012:33: 1787-1847

88
PROTOKOL DIAGNOSIS

Gejala dan tanda


Pemeriksaan fisik

89
PROTOKOL TERAPI

90
21. GAGAL JANTUNG KRONIK

Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis disebabkan oleh disfungsi jantung dengan
akibat berkurangnya aliran darah dan suplai oksigen ke jaringan sehingga jantung tidak dapat
lagi memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.

Kriteria Gagal Jantung:


1. Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat aktifitas fisik
2. Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat.
3. Respons terhadap terapi gagal jantung

Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal gantung

Terminologi Gagal jantung dibagi berdasarkan:

Heart failure with Reduced Ejection Fraction


 Gejala tipikal gagal jantung
 Tanda tipikal gagal jantung
 Berkurangnya Fraksi Ejeksi
Heart failure with Preserved Ejection Fraction
 Gejala tipikal gagal jantung
 Tanda tipikal gagal jantung
 Fraksi ejeksi normal atau sedikit berkurang
 Relevansi dengan penyakit jantung struktural (hipertrofi ventrikel kiri, pelebaran
atrium kiri,
 dan disfungsi diastolik)

Anamnesis
1. Sesak napas, udema tungkai dan capai (kelelahan) merupakan gejala khas gagal jantung.
2. Riwayat hipertensi, diabetes militus, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner,
kelainan katup, kelainan vaskular perifer, demam rematik, radiasi dada, penggunaan
bahan kardiotoksik, alkoholisme, penyakit thiroid.
3. Riwayat keluarga penyakit aterosklerosis, kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit
gangguan konduksi, miopati skeletal.
4. Tidak ada hubungan antara gejala yang timbul dengan beratnya disfungsi jantung yang
terjadi dan prognosis penyakit.

Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan pemeriksaan fisik yang seksama
meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi.
2. Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung kanan dan/atau kiri antara lain :
takikardia, takipneu, ronkhi basah, peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung
gailop, ascites, hepatomegali. dan edema tungkai.

Kriteria Diagnosis
Terlampir

91
Diagnosis Banding
1. Sindrom Distress Pernapasan Akut
2. Asma bronkial
3. Syok Kardiogenik
4. Bronkitis kronik
5. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
6. Emfisema
7. Pneumonia
8. Emboli Paru
9. Gagal napas oleh karena penyebab lain.

Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Utama
1. Elektrokardiogram:
a. Sebagian besar gambaran EKG pada gagal jantung kronik adalah abnormal.
Normal EKG memiliki nilat prediksi negatif disfungsi ventrikel kiri lebih dari
90%.
b. Gelombang Q dan LBBB merupakan pertanda penurunan fraksi ejeksi yang
baik.
c. Gambaran EKG dengan hipertrofi atrium kiri dan hipertroli ventrikel kiri
berhubungan dengan disfungisi sistolik atau diastolik saja, tetapi memiliki nilai
prediksi yang rendah.
d. Fibrilasi atrial, flutter atrial dan aritmia ventrikular sangat penting sebagai
faktor kausa maupun faktor penyerta gagal jantung.
e. Holler elektrokardiograf tidak memiliki nilai dalam diagnosis gagal jantung
ktonik dan hanya dilakukan pada pasien gagal jantung kronik dengan aritmia
yang simptomatik.
2. Foto toraks
a. Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan diagnostik pendahuluan yang
harus dilakukan pada kasus gagal jantung.
b. Nilal predisksi yang tinggi diperoleh bila interpratesi foto toraks disertai temuan
klinis dan gambaran anomali EKG.
c. Gambaran foto toraks yang bermanfaat untuk menilai gagal jantung adalah
tanda-tanda pembesaran jantung dan bendungan paru.
d. Foto toraks juga dapat membantu dalam memberikan informasi penyebab sesak
napas yang lain.
3. Laboratorium : pemeriksaan laboratorium rutin untuk diagnosis gagal jantung
meliputi pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, lekosit, trombosit, hematokrit),
kadar elektrolit, kreatinin, glukosa, enzim hepar, dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan yang dapat dipertimbangkan adalah kadar CRP. TSH, kadar asam urat
dan urea darah dan pemeriksaari enzim jantung. Bila tersedia, pemeriksaan BNP
(brain natriuretic peptide) memiliki nilai prediksi yang tinggi.Troponin T harus
dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran kliniknya mengarah pada
sindroma koroner akut.
4. Ekokardiografi : merupakan pemeriksaan pilihan untuk menilai disfungsi jantung
pada saat beristirahat.

92
B. Pemeriksaan Tambahan
1. Stress ekokardiografi : bermanfaat untuk mendeteksi iskemia miokard sebagai
penyabab disfungsi reversibel ataupun disfungsi permanen.
2. Kardiologi Nuklir: tidak direkomendasikan secara rutin, meskipun memiliki nilai
diagnostik dan prognostik yang dapat dipercaya.
3. Treadmil test memiliki kemampuan terbatas dalam diagnosis gagal jantung,
meskipun demikian seseorang dengan kapasitas fisik maksimal pada pemeriksaan
treadmill dan tidak dalam terapi gagal jantung dapat disingkirkan dalam diagnosis
gagal jantung. Aplikasi utama pemerikasan treadmill gagal jantung adalah untuk
menilal fungsi, kemajuan terapi dan stratifikasi prognosis.
4. Diagnostik Invasif:
Secara umum tidak direkomendasikan pada kasus gagal jantung yang sudah pasti
diagnosisnya, tetapi mungkin penting dalam menjelaskan penyebab atau dalam
memperoleh Informasi diagnostik.
a. Kateterisasi jantung dapat dipertimbangkan pada :
i. penderita yang mengalami dekompensasi akut pada gagal jantung kronik
atau pada gagal jantung berat (syok atau edema paru akut) yang tidak
memberikan respons pada terapi awal.
ii. kardiomiopati dilatasi (DCM) untuk menyingkirkan kemungkinan
kelainan koroner.
iii. gagal jantung refrakter dengan etiologi yang belum jelas.
iv. regurgitasi katup mitral dan aorta berat.
b. Kateterisasi jantung tidak direkomendasikan pada
i. gagal jantung terminal.
ii. pada pasien yang bukan kandidat untuk tindakan revaskularisasi kardiak
atau operasi katup.
iii. penderita dengan anatomi arteria koroner yang sudah diketahui tanpa
episode baru intark miokard.

Terapi
Tujuan Terapi antara lain :
1. Pencegahan
a. Mencegah dan mengontrol kelainan yang menyebabkan gangguan fungsi jantung dan
gagal jantung.
b. Mencegah terhadap progresifitas gangguan fungsi jantung menjadi gagal jantung.
2. Morbiditas
Menjaga dan memperbaiki kualitas hidup.
3. Mortalitas
Meningkatkan harapan hidup.

Tahapan penatalaksanaan :
1. Pastikan bahwa penderita adalah penderita gagal jantung.
2. Pastikan adanya gambaran: edema paru. Sesak napas pada saat aktifitas, capai, edema
perifer
3. Nilai beratnya keluhan
4. Tentukan etiologi gagal jantung
5. Identifikasi faktor presipitasi dan eksaserbasi
6. Identifikasi kelainan penyerta yang berhubungan dengan gagal jantung dan
penatalaksanaannya.
7. Perkirakan prognosis penyakit

93
8. Antisipasi terhadap komplikasi yang terjadi
9. Berikan pengertian kepada pasien dan keluarga
10. Pilih penatataksaan yang sesuai
11. Monitor perkembangan penyakit dan penatalaksanaannya

Terapi farmakologik
1. Penghambat EKA
• Direkomendasikan sebagai first-line therapy.
• Dosis diberikan secara litrasi sampai dosis target dan bukan berdasarkan
perbaikan simtomatis
• Insufisiensi renal sedang (kreatinin serum < 2.5) dan tekanan darah yang reletif
rendah (tekanart sistolik  90 mmHg) pada penderita asimlomatik bukan
merupakan kontra - indikasi pemberian penghambat EKA
• Kontra-indikasi absolut : stenosis arteri renalus bilateral, angioedema karena
penghambat EKA dan kehamilan.

Tabel 1. Obat – obat penghambat EKA


Obat Dosis awal Dosis target
Captopril 6,25 mg t.i.d 25-50 mg t.i.d
Enalapril 2.5mg b.i.d 10-20 mg b.i.d
Lisinopril 2.5-5.0 mg 0.d 20-35 o.d
Ramipril 2.5 mg o.d 5mg b.i.d
Trandolapnil 0.5 mg o.d 4 mg o.d
2. Diuretik
• Diberikan sebagai terapi simtomatik pada keadaan fluid overload.
• Selalu diberikan dalam kombinasi dengan penghambat EKA bila
memungkinkan.
• Terapi awal diuretik:
o loop diuretic atau thiazide.
o bila GFR<3O ml /min_jangan gunakan thiazide, kecuali sebagai terapi
kombinasi dengan loop diuretic.
Dosis harian
Obat Dosis Awal (mg) Efek samping
(mg)
Loopdiuretic 20 – 40 40 – 240 Hipoklamia
Furosemide hipomagnesemia,
hiponatrerma.
Bumetanide 0,5 – 1.0 1– 5 Hiperurisemia
Intoleransi glukosa,
Torasemide 5 – 10 10-20 Gangguan asam-basa
Thiazid.
Hydrochlorothiazide 25 12.5-100 Hipokalemia,
Hipomagnesimia,
Hiponatremia
Metolazone 2,5 2.5-10 Hyperuricaemia
Intoleransi gtukosa
Indapamide 2,5 2,5-5 Gangguan asam-
Basa
Bendoflumethiazide 2.5 2.5-10

+ACEI - ACEI +ACEI –ACEI

94
Potassium-sparing
diuretic 2,5 5 5-10 10-20 Hiperkalemia, rash
Amiloride 25 50 100 200 Hipekalemia
Triamterene 25 50 50 100-200 Hiperkalemia,
Spironolactone Ginekomestia.

Bila respon terhadap diuretik masih kurang


o Naikkan dosis diuretik
o Kombinasikan loop diuretic dan thiazide
o Pada kasus gagal kronik jantung yang berat dapat ditambahkan metolazone dengan
pengawasan kadar kreatinin and alektrolit yang lebih sering.
• Potassium-sparing diuretic :
o Gunakan hanya bila terjadi hipokalemia setelah pemberian terapi awal penghambat
EKA dan diuretik.
o Pada keadaan Hipokalemia pottasium-sparing diuretik lebih baik dari pada
pemberian suplemen kalium.
o Mulai dengan pemberian dosis rendah selama 1 minggu kemudian periksa kadar
kalium dan kreatinin serum setetah 5-7 hari dan baru dilakukan titrasi yang sesuai.
Periksa ulang setiap 5-7 hari sampai tercapai kadar kalium yang stabil.
3. Penyekat adrenoreseptor beta (- Blocker)
• Direkomendasikan pada penderita gagal jantung kronik ringan, sedang dan berat
yang stabil selama tidak ada kontra-indikasi.
• Penderita pasca IMA dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri, dengan atau tanpa
gejala, direkomendasikan untuk memberikan terapi penyekat beta jangka panjang
bersama-sama dengan penghambat EKA.

Tabel 3. Penyekat adrenoresptor beta ( - Blocker)


Penyekat Beta Dosis awal Titrasi Dosis Periode
(mg) (mg/hr) Target Titrasi
Bisoprolol 1,25 2,5-3,75,7.5,10 110 Minggu bulan
Metoprolol Tartat 5 10-15-30-50-75- 150 Minggu bulan
100
Metroprolol Succinate 12,5-25 25-50-100-200 200 Minggu bulan
Carvedilol 3,125 6,25-12,5-25-50 50 Minggu bulan

4. Antagonis reseptor aldosteron


• Direkomendasikan pada gagal jantung tingkat lanjut (NYHA III-IV), bersama-sama
penghambat EKA dan diuretik untuk memperbaiki harapan hidup dan morbiditas.
• Dosis 12.5 - 25 mg/hari, kecuali pada hiperaidosteron sekunder akibat gangguan
fungsi hepar dosis dapat dinaikkan sampai dengan 100 mg/hari.

5. Antagoni reseptor angiotensin II (Angiotensin II reseptor antagonist = ARB)


• ARB dapat dipertimbangkan pada penderita NYHA kelas fungsional II-IV yang
tidak toleran terhadap penghambat EKA.
• Efektifitas ARB dalam menurunkan mortalitas masih belum sebaik penghambat
EKA.
• Kombinasi ARB dan penghambat EKA dapat memperbaiki gejala gagal jantung
dan mengurangi kekerapan dirawat di rumah sakit.

95
Tabel 4. Antagonis reseptor angiototensin II
Obat Dosis Awal Dosis Target
Losartan 50 mg o.d 150 mg o.d
Valsartan 40 mg b.i.d 160 mg b.i.d
Candesartan 4 atau 8 mg o.d 150 mg o.d

6. Ivabradine
Ivabradine adalah obat yang menghambat chanel If pada SA node. Farmakologi efek
yang diketahui adalah memperlamabat rate jantung pada pasien dengan sinus ritim (tidak
memperlambat rate pada atrial fibrilasi). Ivabradine juga memperbaiki fungsi ventrikel
kiri walaupun tidak mengurangi outcome primer kematian karena kardiovaskuler , infark
miokard dan masa rawatan

7. Glikosida jantung
• Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih baik dari pada hanya menggunakan
salah satu jenis saja.
• Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi atrial pada gagal jantung bila irama
ventrikular saat istirahat >80 dan saat aktifitas >110-120 x/menit
• Dalam keadaan irama sinus, digoksin direkomendasikan untuk memperbaiki status
klinis pada keadaan gagal jantung persisten selain dengan terapi penghambat EKA
dan diuretik dengan EF <40%

8. Hidralazine dan Isosoride Dinitrat


Pengobatan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan resiko kematian dan
angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung. Digunakan sebagai pengganti
ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi, juga sebagai tambahan terhaadap
pengobatan ACEI jika ARB atau antagonis aldosterone tidak dapat ditoleransi dan gejala
menetap walaupun sudah mendapatkan terapi ACEI,ARB,BB, antagonis alodsterone.
Peningkatan dosos dilakukan setelah 2-4 minggu

9. Vasodilator
• Tidak ada peran, spesifik vasodilator pada pengobatan gagal jantung
• Digunakan sebagal terapi tambahan pada kasus gagal jantung yang disertai angina
atau hipertensi.
• Pada keadaan intoleransi penghambat EKA, lebih baik dipakai ARB dibandingkan
dengan hidralazin—nitrat.
• Kombinasi hidralazin (sampai dengan 300 mg) dengan ISDN (sampai dengan 160
mg) dapat diberikan bila tidak dapat diberikan penghambat EKA don ARB.

10. Inotropik positif


• Secara umun digunakan pada episode gagal jantung yang berat atau sebagai
jembatan sebelum dilakukan transplantasi jantung.
• Terapi inotropik oral yang berulang atau lama meningkatkan angka mortalitas.
• Obat inotropik positif:
o Dobutamin
o Milrinone
o Levosimendan
• Obat dopaminergik

96
o Ibopemine : tidak direkomendakina pada gagal jantung kronik akibat disfungsi
sistolik ventrikel kiri.
o dopamine i.v. digunakan untuk koreksi gangguan hemodinamik jangka pendek
pada episode berat gagal jantung.

11. Antikoagulan
• Penderita gagal jantung dengan fibrilasi atrium harus diberikan warfarin kecuali
bila terdapat kontra-indikasi.
• Diberikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF  35%

11. Antiplatetet
• Antiplatelet diberikart pada penderita gagal jantung yang didasari PJK.

12. Antiarltmia
• Obat-obatan anti aritmia hanya diberikan pada gagal jantung dengan ribritasi
atrium, atrial flutter, non-sustained atau sustained VT.
• Antiarimia kelas I
o Harus dihindari
• Antiaritmia kelas II
o Penyekat beta dapat mengurangi kematian mendadak pada gagal jantung.
• Antiaritmia kelas III
 Amiodarone merupakan satu-satunya obat anti aritmia tanpa efek inotropik
negatif dan terbukti dapat menurunkan angka mortallitas.
13. Statin
Dapat dipertimbangkan untuk semua pasien dengan gagal jantung dan CAD. Tidak
ada bukti statin meningkatkan angka keselamatan pasien pada pasien ini tetapi statin
dapat menurunkan risik angka masuk rumah sakit

14. Nitrat dan Ca chanel Bloker


Dapat dipertimbangkan untuk mengurangi simpton angina pada pasien gagal
jantung dengan jantung koroner

Manjemen Gagal Jantung dengan Preserved Left Ventrikular Ejection (HFPEF)


Tidak ada pengobatan yang dilakukan, dapat dipercaya untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas pada pasien dengan HFPEF. Diuretik digunakan untuk mengontrol sodium dan
retensi air dan menghilangkan sesak nafas dan edema. Pengobatan yang adekuat untuk
hipertensi dan iskemia miokardial juga sangatlah penting seperti halnya pengontrolan
terhadap irama.

Tindakan khusus dan bedah


1. Revaskularisasi (intervensi dengan kateter atau bedah)
 Penderita gagal jantung akibat kelainan iskemia miokard bila dilakukan
revaskularisasi akan memberikan perbaikan simptomatis yang bermakna.
 Korelasi negatif yang kuat antara angka kematian operatif dan nilai LVEF –
LVEF yang rendah (<25%) berhubungan dengan peningkatan kematian akibat
operasi. Gejala gagal jantung lanjut (NYHA IV) memiliki angkat kematian
yang lebih besar.
 Off pump coronary revascularization dapat menurunkan risiko bedah pada
gagal jantung.

97
2. Pacu jantung
3. Penyadapan jantung kanan
4. Implantable cardoverter defibrilation (ICD)
5. Cardiac Resynchronixation Therapy (CRT)
6. Transplantasi jantung, alat bantu ventrikel, jantung buatan
7. Ultrafiltrasi dan hemodialisis.

Edukasi
1. Penyuluhan umum
a. Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan kelurganya.
b Mengontrol berat badan
c. Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
i. Diet rendah garam
ii. Pembatasan intake cairan
iii. Hindari konsumsi alkohol
iv. Berhenti merokok
d. Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik
e. Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus
2. Rehabilitasi

Prognosis
Dubia

Kepustakaan
1) Dicksen Kenneth, Cohen-Solal Alain, Filippatos Gerasimos, et al. ESC Guidelines for
the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008. European
Society of Cardiology. 2008:29: 2388-2442.

2) Siswanto BB, Dharma S, Juzar DA dkk, Gagal Jantung.In : Pedoman Tatalaksana


Penyakit Kardiovaskular di Indonesia.2th ed. Jakarta : PERKI ;2009: 265-291

3) Irmalita, Hersunarti Nani, Sunu Ismoyo, et al. Gagal Jantung Kronis.In: Irmalita.
Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita. 3rd ed. Jakarta: Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita; 2009: 129-141.

4) McMurray John J V, Adamopoulos Stamatis, Anker Stefan D, et al. ESC Guidelines


for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012. European
Society of Cardiology. 2012:33: 1787-1847

98
ALGORITME DIAGNOSIS

Alur Diagnosa Gagal jantung kongsestif ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2012

99
ALGORITME PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG

Pilihan terapi pada pasien gagal Jantung ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2012

100
22. TETRALOGI FALLOT

Defenisi
Tetralogi fallot adalah penyakit jantung bawaan yang terdiri dari defek septum ventrikel
(DSV) tipe perimembran sub aortik, pulmonal stenosis (PS) tipe infundibuler dengan atau
tanpa PS valvular, over riding aorta, obstruksi saluran ventrikel kanan, dan hipertrofi
ventrikel kanan.
Anamnesis
 Keluhan sianosis, spel hipoksia (PS stenosis berat), bila kelelahan penderita akan
mengambil posisi jongkok.
 Keluhan sesak nafas, kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat
lelah saat aktifitas fisik pada anak lebih besar
Pemeriksaan Fisik
 Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, suhu
 Sianosis pada mukosa kuku, mulut, kuku dan jari tangan serta kaki, jari tabuh
 Auskultasi jantung :
- Bunyi jantung dua umumnya tunggal
- Bising sistolik ejeksi PS terdengar di sela iga 2 parasternal kiri yang menjalar ke
bawah klavikula kiri
Kriteria Diagnosis
 Sesuai pemeriksaan fisik
 Elektrokardiografi : deviasi sumbu QRS ke kanan, hipertrofi atrium dan ventrikel
kanan
 Foto toraks : boot shaped, segmen pulmonal cekung, apeks jantung terangkat, oligemi
 Ekokardiografi
 Penyadapan jantung
Diagnosis Banding
 DSV dengan PS
 Double outlet right ventricle dengan VDS dan PS

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
 Darah rutin
 Tes skrining pendarahan
 Elektrolit : Na, K, Cl
 Fungsi ginjal
 Kadar gula darah
Pemeriksaan Penunjang Lain :
- EKG
- Foto thorax
- Ekokardiografi
- Penyadapan (kateterisasi jantung kanan)

101
Terapi
Medis
1. Tangani spel hipoksia dengan pemberian oksigen, posisi knee-chest, pemberian
propranolol 0.5-1.5 mg/kg setiap 6 jam, pemberian sedasi seperti morfin sulfat 0.1-
0.2 mg/kgBB sc atau im, atasi asidosis dengan sodium bikarbonat 1 meq/kgBB. Dosis
dapat diulangi 10-15 menit. Penambahan volume cairan tubuh dapat efektif mengatasi
serangan sianosis. Bila semua tindakan fisik tidak berhasil, anastesi umum dapat
dikerjakan untukmeredakan serangan sianosis akut
2. Dilatasi balon pada bagian obstruksi saluran ventrikel kanan dan katup pulmonal
untuk menunda tindakan koreksi
3. Antibiotik profilaksis terhadap endokarditis bakterial sistemik
4. Tangani defisiensi besi. Nilai Hb dan Ht yang normal atau jumlah eritrosit rendah
menunjukkan keadaan defisiensi besi yang rendah
5. Perhatikan hygiene mulut dan gigi untuk mencegah untuk mencegah infeksi bakterial
endokarditis
6. Hindari dehidrasi
Surgikal
1. Tujuan terapi pembedahan untuk meningkatkan aliran darah paru-paru
2. Tindakan paliatif berupa operasi Blalock-Taussig shunt, Waterston shunt, Potts shunt
3. Pembedahan koreksi total dilakukan jika saturasi oksigen 75 – 80%, dijumpainya spel
hipoksia
4. Anak-anak dengan sianosis ringan dimana 1-2 tahun sebelumnya sudah pernah
dilakukan operasi shunt

Edukasi
Pemahaman tentang TOF, tindakan intervensi farmakologis dan non farmakologis. Masalah
yang akan dihadapi di kemudian hari, serangan spel hipoksik. Pemahaman tindakan paliatif
dan operatif. Komplikasi yang timbul pasca operasi dan rehabilitasi. Kontrol tiap bulan pasca
operasi dan pemeriksaan ekokardiografi tiap 6 bulan sekali.

Prognosis
Dubia et malam
Komplikasi
Pasca bedah : regurgitasi katup pulmonal, gagal jantung, blok cabang ventrikel kanan dan
total blok AV

Kepustakaan
1. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Defek Septum Atrium. 2009.
2. Myung K. Park. Pediatric Cardiology for Practitioner: Atrial Septal Defect. Mosby
Elsevier, 5th ed, 2008, h209-212.
3. Penyakit Jantung Pada Anak: Defek Septum Atrium. FK UI RS Jantung Harapan Kita
Jakarta, 1995, h148.

102
LAMPIRAN

103
23. DSV (DEFEK SEPTUM VENTRIKEL)

Definisi

Defek septum ventrikel (DSV) adalah kelainan jantung bawaan berupa tidak terbentuknya
septum antara ventrikel jantung kiri dan kanan sehingga antara keduanya terdapat lubang
(tunggal atau multipel) yang saling menghubungkan

Anamnesis
Pada DSV kecil, pasien dapat tanpa gejala dengan tumbuh kembang yang normal. Biasanya
ditemukan pada pemeriksaan fisik yang rutin. Pada DSV sedang sampai besar, dapat terjadi
keterlamabatan tumbuh kembang, penurunan toleransi aktifitas, berulangnya infeksi saluran
pernapasan dan gejala gagal jantung pada saat bayi. Pada DSV besar hal manifestasi klinis
tersebut dapat muncul pada 3 – 12 minggu kehidupan. Pada bayi yang prematur, terjadi
kurang berkembangnya vaskular paru, gejala dapat muncul lebih cepat yaitu pada usia 1-4
minggu.
Orang tua pasien biasanya mengeluhkan anaknya sesak nafas, cepat lelah, terutama
saat pemberian minum dan makanan, membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan
minuman bahkan tidak menghabiskannya, sehingga pemberian minum dengan sendok
membantu menaikkan berat badan oleh karena pemberian minum melalui susu botol lebih
melelahkan. Pada umumnya juga terjadi pertambahan berat badan yang lambat dan keringat
berlebihan. Pada pasien dengan hipertensi pulmonal yang berkepanjangan, dapat ditemukan
riwayat sianosis dan penurunan aktifitas.

Pemeriksaan Fisik
Murmur pada DSV adalah pansistolik atau holosistolik. Tingkatan dari murmur tergantung
kecepatan aliran, lokasi dari murmur tergantung dari lokasi defek. Lebih kecil defek
terdengar lebih keras dan dapat dijumpai thrill7. Pada DSV kecil ukuran jantung normal atau
sedikit membesar, dapat ditemukan murmur pansistolik dan thrill paling keras terdengar di
sela iga 3-4 pada pinggir sternum kiri. Suara jantung kedua normal. Pada defek yang sangat
kecil bisa tidak ada thrill atau murmur sistolik yang pendek oleh karena defek menutup pada
saat kontraksi sistolik dan darah berheniti mengalir melalui defek tersebut sebelum akhir
sistole. Pada DSV sedang thrill dapat teraba dengan jelas di sela iga 3-4 pinggir kiri sternum,
murmur terdengar kuat dan kasar. Murmur mid-diastolic dapat terdengar pada area mitral, hal
ini menggambarkan pirau dari kiri ke kanan melalui defek yang sedang – besar, ketika darah
dalam jumlah yang besar mengalir ke paru dan kembali ke atrium kiri kemudian melalui
katup mitral yang normal. Aliran besar melalui katup mitral yang normal menyebabkan
murmur distolik rumble di mitral. Ini biasanya terjadi jika aliran darah ke paru lebih dari 2x
aliran darah ke sirkulasi sistemik. Pada DSV besar, jantung membesar oleh karena
peningkatan aktifitas kedua ventrikel. Thrill sistolik teraba pada sela iga 3-4. Pada DSV yang
sangat besar, murmur sistolik dapat kurang terdengar dan dapat hanya terdengar sistolik
ejeksi murmur pada area pulmonal. Suara jantung kedua mengeras oleh karea peningkatan
tekanan pulmonal. Pada DSV dengan resistensi vaskular pulmonal yang tinggi, ventrikel kiri
tidak lagi bekerja lebih keras karena pirau dari kira ke kanan sedikit, aktifitas ventrikel kanan
meningkat. Thrill dapat tidak teraba. Murmur sistolik biasanya tipe ejeksi. Suara jantung
kedua sangat mengeras dan kadang dapat teraba. Resistensi vaskular paru dapat terus
meningkat sampai resistensi vaskular pulmonal lebih besar dari resistensi sistemik, sehingga
pirau berbalik dari kanan ke kiri dan pasien menjadi sianosis (sindroma Eissenmenger) dan

104
biasanya murmur tidak lagi terdengar. Pada orang dewasa early diatolic murmur dari
regurgitasi pulmonal atau mumur pansistolik dari regurgitasi trikuspid dapat terdengar.

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto thorax, echocardiografi
sebagai gold standard, dan kateterisasi jantung.

Diagnosis Banding
Manifestasi klinis menyerupai gejala gagal jantung pada anak lain seperti ASD, hipertensi
pulmonal, PDA.

Pemeriksaan Penunjang
 Elektrokardiologi (EKG)
 Foto Thorax
 Ekokardiografi
 Kateterisasi jantung

Terapi

Pada DSV membranous dan muskular dapat menutup spontan 30-40% dalam 6 bulan
pertama. Biasanya terjadi pada defek yang kecil. Ukuran defek tidak bertambah besar
dengan bertambahnya usia, bahkan dapat mengecil. Bagaimanapun juga, defek inlet dan
outlet (infundibular) tidak akan megecil atau menutup spontan. Gagal jantung (CHF) terjadi
pada bayi dengan defek besar biasanya setelah usia 6-8minggu. Jika CHF ditemukan,
tatalaksana CHF dengan digoxin dan diuretic selama 2-4 bulan dan evaluasi perbaikan
tumbuh kembang bayi. Penambahan spironolactone bermanfaat untuk mengurangi
kehilangan kalium. Penggunaan agen penurun beban afterload, seperti captopril, dapat
bermanfaat. Pemberian makanan kalori tinggi, melalui NGT atau oral dapat membantu.
Terapi anemia dengan preparat besi jika ditemukan. Penatalaksanaan tersebut diatas
dapat menunda operasi atau menunggu pengecilan ataupun penutupan spontan dari defek.
Tidak diperlukan restriksi aktifitas jika tidak ditemukan hipertensi pulmonal. Pemeliharaan
kebersihan gigi geligi serta profilaksis antibiotik untuk menghindari endokarditis infektif.
Pasien dengan DSV kecil yang terdeteksi pada usia 6 bulan harus diperiksa ulang setiap 1-2
tahun.
Pada bayi kecil dengan defek yang besar, CHF, dan retardasi pertumbuhan diterapi
dengan digoxin, diuretic, dan penurun beban afterload. Jika gagal tumbuh kembang tidak
menunjukkan perbaikan dengan terapi (pertambahan berat badan < 15g per hari), defek
tersebut harus dioperasi dalam usia 6 bulan. Pembedahan sebaiknya ditunda jika terapi
medikamentosa menunjukkan perbaikan. Jika tekanan arteri pulmonal lebih dari 50%
tekanan sistemik, penutupan defek dengan pembedahan harus dilakukan pada akhir usia 1
tahun. Setelah usia 1 tahun, pirau kiri ke kanan yang signifikan dengan Qp/Qs > 2:1
merupakan indikasi pembedahan. Bayi dengan hipertensi pulmonal tanpa CHF seharusnya
menjalani kateterisasi jantung pada usia 6-12 bulan dan diikuti dengan pembedahan. Bayi
yang lebih besar dengan defek yang besar dan peningkatan resistensi vaskular pulmonal harus
dioperasi sesegera mungkin. Bayi dengan defek kecil, usia 6 bulan, tanpa CHF dan hipertensi
pulmonal tidak dianjurkan untuk pembedahan. Pembedahan tidak dilakukan pada defek kecil
dengan Qp/Qs < 1,5:1. Pada beberapa pusat pelayanan penyakit jantung, pembedahan
dilakukan jika ditemukan prolaps katup aorta (bahkan tanpa regurgitasi aorta), riwayat
endokarditis infektif, dilatasi ventrikel kiri, bahkan dengan Qp/Qs < 2:1. Pembedahan

105
kontraindikasi pada pasien dengan rasio resistensi pulmonal dengan sistemik > 0,5, atau
dengan penyakit vaskular paru obstruktif dengan pirau kanan ke kiri.

Edukasi
 Gejala gagal jantung yang perlu diwaspadai.
 Jika terjadi infeksi pemberat seperti infeksi saluran nafas atas.
 Pengobatan dengan obat-obatan dan rencana tatalaksana berikutnya sampai ke
penutupan defek.
 Prognosis

Prognosis
 Pada defek kecil atau defek membranous dan muscular defek dapat menutup spontan
 Angka kematian oleh karena pembedahan kurang dari 1%. Angka kematian tinggi pada
bayi kecil dengan usia dibawah 2 bulan, adanya defek penyerta yang lain, atau bayi
dengan defek multipel.
 Penderita yang menjalani operasi penutupan maupun secara amplatz umumnya memiliki
prognosis yang baik.
 Penderita yang telat terdiagnosa dan sudah jatuh ke eissenmenger atau hipertensi
pulmonal umumnya memiliri prognosis buruk.

Kepustakaan

1. Lisa C, Wahab AS. Defek Septum Ventrikel. Dalam: Wahab AS ed. Kardiologi Anak,
Penyakit Jantung Kongenital yang Tidak Sianotik. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC, 2009, p. 37-67.
2. Park, MK. Ventricular Septal Defect. Dalam: Park MK ed. Pediatric Cardiology for
Parctitioners, ed.5. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008, p. 212-21.
3. Fulton DR. Congenital Heart Disease. Dalam: Fuster V, O’Rourke RA, Walsh RA,
Poole-Wilson P eds. Hurst’s The Heart, vol.2, ed.12. New York: Mc Graw Hill, 2007,
p. 1860-6.
4. Webb GD, Smallhorn JF, Therrien J, Redington AN. Congenital Heart Disease. Dalam:
Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Braunwald E eds. Braunwald’s Heart
Disease, ed.8. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008, p. 1582-5.

106
24. DEFEK ATRIAL SEPTAL

Defenisi
Defek atrial septal (DSA) adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada
septum inter atrial yag terjadi karena kegagalan fusi septum inter atrial semasa janin.
Klasifikasi
1. DSA sekundum, bila lubang terletak pada fossa ovalis
2. DSA primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum
3. Sinus venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus dekat muara vena cava
superior atau inferior
Anamnesis
 Keluhan infeksi saluran nafas berulang
 Gagal jantung kongestif (DSA besar) : sesak nafas, kesulitan menyusu, gagal tumbuh
kembang pada bayi atau cepat lelah saat aktifitas fisik pada anak lebih besar
Pemeriksaan Fisik
 Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, suhu
 Auskultasi jantung :
- Bunyi jantung dua terpisah, lebar, dan menetap
- Bunyi jantung dua komponen pulmonal mengeras bila ada hipertensi pulmonal
- Bising ejeksi sistolik halus di sela iga 2 parasternal kiri
- Bising mid diastolik yag bertambah keras pada saat inspirasi di daerah trikuspid
akibat aliran yang deras
- Bising pan sistolik di daerah apeks bila terdapat celah pada katup mitral (pada
DSA sekundeum)
 Tanda-tanda gagal jantung kongestif pada DSA dengan aliran pirau yang besar atau
dengan komplikasi mitral insufisiensi berat akibat prolaps katup mitral atau celah
katup mitral

Kriteria Diagnosis
 Dijumpai Bunyi jantung dua terpisah, lebar, dan menetap
 Bising ejeksi sistolik halus di sela iga 2 parasternal kiri
 Elektrokardiografi : deviasi sumbu QRS ke kanan, blok cabang ventrikel kanan,
hipertrofi ventrikel kanan. DSA primum : PR interval memajang, deviasi sumbu QRS
ke kiri. Defek sinus venosus : mungkin sumbu gelombang P negatif
 Foto toraks : kardiomegali akibat pembesaran atrium dan ventrikel kanan, penonjolan
segmen pulmonal, plethora, gambaran vaskularisasi tepi paru berkurang pada
hipertensi pulmonal tanda penyakit vaskular paru
 Ekokardiografi
 Penyadapan jantung

Diagnosis Banding
 Stenosis pulmonal
 Inosens murmur
 Dilatasi arteri pulmonal idiofatik

Pemeriksaan Penunjang
- EKG
- Foto thorax
- Ekokardiografi

107
- Penyadapan (kateterisasi jantung kanan)

Pemeriksaan Laboratorium :
 Darah rutin
 Tes skrining pendarahan
 Elektrolit : Na, K, Cl
 Fungsi ginjal
 Kadar gula darah

Pemeriksaan Penunjang Lain : -

Terapi
Medis
1. Tidak perlu pembatasan aktifitas
2. Tidak perlu profilaksis infektif endokarditis kecuali penderita dijumpai prolapsus
katup mitral atau ada defek lainnaya. Profilaksis diindikasikan pada DSA primum
3. Anak dengan gagal jantung kongestif perlu manajemen medis karena defek masih
dapat tertutup

Non surgikal
Menggunakan Amplatzer Septal Occluder (ASO) pada DSA sekundum dengan ukuran 5-32
mm, L  R shunt, Qp / Qs ratio : 1.5 / 1 atau lebih besar. Pasca penutupan dengan ASO
diberikan aspirin 81 mg/hari selama 6 bulan.
Surgikal
Indikasi operasi L  R shunt dg Qp / Qs ratio > 1.5/1. Dilakukan pada usia 2-4 tahun. Gagal
jantung yang tidak respon dengan medikamentosa, resistensi vaskular pulmonal yag tinggi >
10 unit/m2 kontraindikasi operasi.

Edukasi
Pemahaman tentang DSA, tindakan intervensi farmakologis dan non farmakologis. Masalah
yang akan dihadapi di kemudian hari, gagal jantung apabila defek besar. Pemahaman apabila
defek ditutup baik dengan ASO maupun operasi penutupan defek. Komplikasi yang timbul
pasca operasi dan rehabilitasi. Kontrol tiap bulan pasca operasi dan pemeriksaan
ekokardiografi tiap 6 bulan sekali.

Prognosis
Prognosis sangat baik bila ASD dioperasi sebelum terjadi hipertensi pulmonal atau belum
terjadi PVP.

Komplikasi
Atrial atau nodal aritmia muncul 7-20% pasca operasi. Kadang-kadang sick sinus sindrom
yang memerlukan anti aritmia atau pacemaker atau keduanya.

108
Kepustakaan
1) Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Defek Septum Atrium. 2009.
2) Myung K. Park. Pediatric Cardiology for Practitioner: Atrial Septal Defect. Mosby
Elsevier, 5th ed, 2008, h209-212.
3) Penyakit Jantung Pada Anak: Defek Septum Atrium. FK UI RS Jantung Harapan Kita
Jakarta, 1995, h41, 48.

LAMPIRAN I

109
LAMPIRAN II

110
25. PATENT DUCTUS ARTERIOSUS

Definisi

Patent ductus arteriosus adalah penyakit jantung bawaan dimana duktus arteriosus
tidak menutup sehingga terjadi hubungan antara aorta dan arteri pulmonalis.

Anamnesis

Orang tua pasien biasanya mengeluhkan anaknya sesak nafas, cepat lelah, terutama
saat pemberian minum dan makanan, membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan
minuman bahkan tidak menghabiskannya, sehingga pemberian minum dengan sendok
membantu menaikkan berat badan oleh karena pemberian minum melalui susu botol lebih
melelahkan. Pada umumnya juga terjadi pertambahan berat badan yang lambat dan keringat
berlebihan. Pada pasien dengan hipertensi pulmonal yang berkepanjangan, dapat ditemukan
riwayat sianosis dan penurunan aktifitas.

Pemeriksaan Fisik
- Takipnoe
- Pulsus seller
- Auskultasi jantung: bunyi jantung kedua bisa mengeras pada hipertensi pulmonal.
Continous atau machinery murmur di sela iga II-III parasternal kiri yang menjalar
ke bawah klavikula kiri.
- Tanda gagal jantung dijumpai pada PDA yang besar

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto thorax,
echocardiografi sebagai gold standard, dan kateterisasi jantung.

Diagnosis Banding
- Aorto-pulmonary window
- VSD dan aorta insufficiency
- Aorta stenosis dan regurgitasi
- Fistula arteriovenosus koroner

Pemeriksaan Penunjang
 Elektrokardiologi (EKG)
 Foto Thorax
 Ekokardiografi
 Kateterisasi jantung

Terapi

- Neonatus atau bayi dengan gagal jantung kongestif


Perbaiki keadaan umum. Atasi hipokalemi dan hipokalsemi. Berikan obat gagal
jantung seperti digitalis, diuretik, dan vasodilator (pada bayi prematur sebaiknya
pemberian diuretik dan vasodilator dihindari).
- Bayi prematur dengan gagal jantung kongestif dan usia < 10 hari

111
Pemberian indomethacin iv atau per oral dengan dosis 0,2 mg/kgBB sebanyak 3
kali dengan interval waktu 12 jam. Kontra indikasi pemberian indomethacin:
gangguan fungsi ginjal, perdarahan, gangguan fungsi hati, sepsis, dan necrotizing
enterocholitis. Pada PDA yang gagal menutup pemberian indomethacin dapat
diulangi. Bila masih gagal lakukan ligasi PDA.
- Bayi cukup bulan dengan gagal jantung kongestif
Operasi ligasi PDA harus segera dilakukan.
- Bayi tanpa gagal jantung kongestif
Tindakan operasi ligasi PDA secara elektif dilakukan pada usia > 12 – 16 minggu.
- Anak atau orang dewasa tanpa hipertensi pulmonal
Dilakukan intervensi non bedah dengan pemasangan ADO atau koil atau operasi
ligas PDA (tanpa pemeriksaan sadap jantung)
- Anak atau orang dewasa dengan hipertensi pulmonal
Pada ekokardiografi ada aliran pirau maka operasi ligasi PDA dapat langsung
dilakukan. Tetapi apabila pirau sudah dua arah, amka perlu dilakukan
pemeriksaan sadap jantung untuk menilai reaktivitas kedua paru. Bila perhitungan
PARI > 8 U/m2 setelah PDA dioklusi dengan kateter balon dan dilakukan
oksigenasi 100% maka operasi ligasi PDA dapat dilakukan. Operasi tidak
dianjurkan lagi pada hipertensi pulmonal dengan vaskular paru yang tidak reakif
lagi. Pemasangan ADO atau koil tidak dilakukan apabila ada hipertensi pulmonal.

Edukasi
 Gejala gagal jantung yang perlu diwaspadai.
 Jika terjadi infeksi pemberat seperti infeksi saluran nafas atas.
 Pengobatan dengan obat-obatan dan rencana tatalaksana berikutnya sampai ke
penutupan defek.
 Prognosis

Prognosis
Prognosis sangat baik apabila ligasi PDA dilakukan sebelum teejadi hipertensi pulmonal
dengan PVP.

Kepustakaan

1. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Patent ductus artriosus. 2009.
2. Myung K. Park. Pediatric Cardiology for Practitioner: Patent ductus artriosus. Mosby
Elsevier, 5th ed, 2008, h209-212.

112
26. KARDIOMIOPATI

Definisi
Kardiomiopati adalah penyaklt otot jantung, dahulu disebut kardiomiopati primer
bila tidak diketahui sebabnya. Kardiomiopati sekunder bila diketahui sebabnya.

Patofisiologi
Menipis dan melemahnya otot jantung yang mendasari gagal jantung pada
kardiomiopati dilatasi, berhubungan dengan peningkatan kadar cachechln (TNF- 0) dan
sitokin yang dihasilkan miokard itu sendiri. Walaupun secara klinis tidak menunjukkan
adanya infeksi virus atau penyebab infeksi yang lain.
Pada kardiomiopati hipertrofi, hipertrofi yang masif memperburuk pengisian bilik kiri
(disfungsi diastolik) dan menyebabkan jantung kelelahan. Kemudian diikuti pembesaran
miosit mengakibatkan kerusakan sel dan fibrosis. Penebalan dinding tersebut meningkatkan
kemungkinan terjadinya aritmia.

Klasifikasi
Secara etiologi dibagi menjadi kardiomiopati idiopatik primer dan kardiomiopati
spesifik sekunder. Kardiomiopati idiopatik dibagi menjadi:
a) kardiomiopati dilatasi, lihat lampiran-3,
b) kardiomiopati hipertrofi, IIhat lampiran-4 dan
c) non dilatasi non hipertrofi, tidak dibahas karena langkanya kasus ini.
d) Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasia Cardiomyopathy.
Pembahasan klasifikasi sebagai pedoman diagnosis, dapat dilihat pada subjudul:
Klasifikasi sebagai Pedoman Diagnosis.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Keluhan utama yang perlu diperhatikan adalah : 1) sesak nafas (dyspnoe on effort, paroxysmal
nocturnal dyspnea, dan ortopnea), 2) sakit dada, 3) berdebar, 4) pingsan (syncope), dan 5)
melayang (dizziness). Tanda-tanda yang perlu diperhatikan: 1) gagal jantung, 2) emboli
sistemik, 3) pembesaran jantung, dan 4) gangguan pulsasi dan Irama (aritmia).
Faktor risiko yang potensial sebagai penyebab: 1) alkohol, 2) endokrin: diabetes
mellitus 3) Infeksi: bakteri, virus, riketsia, protosoa, metasoa 4) kekurangan gizi, 5)
peripartal, 6) familial, 7) hipertensi, 8) penyakit jantung koroner, 9) penyakit katup jantung.
Pemeriksaan fisik memperhatikan semua aspek yang ditemukan pada anamnesis,
faktor risiko, tanda-tanda yang sesuai dengan gagal jantung, emboli sistemik, pembesaran
jantung serta gangguan pulsasi dan irama/aritmia. Nadi yang lemah menunjukkan ke arah
kardiomiopati dilatasi, normal ke arah kardiomiopati hipertrofik. Pada perkusi jantung perlu
diidentifikasi pembesaran jantung (dilatasi) dan normal (hipertrofi). Pemeriksaan penunjang
terdiri dari EKG, foto Rontgen dada, laboratorium, ekokardiografi lengkap, kateterisasi, dan
biopsi miokard sekiranya peralatan dan personilnya ada

Terapi
Diuraikan sebatas diagnosis yang ditemukan sehari-hari yaitu kardiomiopati dilatasi
serta perhatikan juga terapi gagal jantung pada umumnya dan kardiomiopati hipertrofi (yang
akan dibahas di sub judul selanjutnya).

113
Komplikasi
Penyulit yang timbul adalah komorbiditas dengan penyakit lain terutama infeksi akut,
lanjut usia serta problem multi-organ lainnya. Terrnasuk aritmia dan meninggal mendadak.

Klasifikasi Sebagai Pedoman Diagnosis


Terdapat berbagai macam klasifikasi, tetapi yang sementara ini dipakai dalam
protocol ini adalah:
Klasifikasi Etiologis :
1. IDIOPATIK KARDIOMIOPATI :
A. KARDIOMIOPATI DILATASI (1.42.0)/KONGESTIF (1.42.9)
1. Familial (1.42.9)
2. Sporadik
3. Berhubungan dengan Prolaps Katup Mitral Idiopatik
B. KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK
1. Dengan Obstruktif (1.42.1)
2. Tanpa obstruktif saat istirahat dan saat provokasi atau tanpa obstruktif saat istirahat
tapi obstruktif dengan provokasi (1.42.2)
C. KARDIOMIOPATI NON DILATASI NON HIPERTROFIK
- Endomiokardial fibroelastosis
- Loffler’s fibroplastic endocarditis
2. KARDIOMIOPATI SPESIFIK
A. KARDIOMIOPATI ALKOHOLIK
B. KARDIOMIOPATI INFEKSI
1.Virus (B 33. 2 ; 1.43. 0)
2.Bakteri (TBC : A18. 8. 1.43.0)
3.Rickettsia
4.Protozoa
5.Metazoa
C. KARDIOMIOPATI METABOLIK (F. 88.9 : 1.43. 1)
1. Penyakit endokrin yang berhubungan dengan kardiomiopati
a. Hipertiroid dan hipotiroid (thyrotoxic E 05)
b. Miksedema
c. Akromegali
d. Hipoparatiroid
e. Hiperparatiroid
f. Kelainan endokrin lainnya
2. Diabetes Mellitus
3. Kelainan elektrolit
a. Kalium
b. Kalsium
c. Magnesium
d. Kekurangan elektrolit lain
4. Kekurangan Nutrisi (E 63. 9: 1.43. 8)
a. Kekurangan thiamin
b. Kardiomiopati kelaparan
c. Kekurangan protein
d. Kekurangan nutrisi lain
D. KARDIOMIOPATI LEWAT FAKTOR IMUNOLOGI
1. Pasca vaksinasi
2. Serum sickness

114
3. Urtikaria
4. Reaksi penolakan transplantasi
E. KARDIOMIOPATI LEWAT FAKTOR TOKSIK
1. Obat-obatan
2. Logam berat (cobalt, cadmium, dsb)
3. Racun
4. Gas anestetika
5. Keracunan makanan
F. KARDIOMIOPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT KOLAGEN
VASKULAR
1. Reumatoid arthritis
2. Lupus eritematosus sistemik
3. Sklerosis sistemik progresif
4. Poliomiositis
G. KARDIOMIOPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENUMPUKNYA
BAHAN ABNORMAL
1. Amiloidosis (E 85. 4 ; 1.43. 2)
a. Diskrasia Imunositik
b. Jantung senilis
c. Lain-lain
2. Hemokromatosis
3. Penyakit penyimpangan glikogen
H. KARDIOMIOPATI GRANULOMATOSA = SARKOIDOSIS
I. KARDIOMIOPATI KARENA PERISTIWA FISIKA
1. Terlalu panas atau terlalu dingin
2. Radiasi Ionisasi
3. Renjatan listrik
J.KARDIOMIOPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELAINAN
NEUROMUSKULAR
1. Penyakit Friederich Ataksia
2. Distrofi muscular progresif
a. Duchene distrofi
b. Limb Girdle (Erbsdistrofi)
c. Fascio scapulohumeral (Landouzy-Dejerina distrofi)
K. TUMOR PRIMER MIOKARDIUM (0. 90. 3)
L. KARDIOMIOPATI PERPARTAL (0. 90. 3)
M. KARDIOMIOPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT DI
SISTEM KARDIOVASKULAR
1. Kardiomiopati iskemik (1.25. 5)
2. Kardiomiopati hipertensi (1. 11. 9)
3. Penyakit katup jantung (valvular cardiomyopathy)
N. Takustubo Kardiomiopati : Kardiomiopati dengan bentuk kendi rongga ventrikel kiri

115
27. KARDIOMIOPATI DILATASI

Ananmnesis ditujukan untuk mengungkapkan kemungkinan penampilan klinis berupa gagal


jantung, emboli paru sistemis, dan gangguan irama (aritmia).
Pemeriksaan dasar yang diperlukan adalah pemeriksaan fisik, EKG, foto Rontgen dada, dan
labortorium.
Pemeriksaan penunjang yang perlu adalah ekokardiografi untuk menilai anatomi dan
fisiologi kelainan jantung tersebut, dan kateterisasi jantung untuk menyingkirkan adanya
penyempitan koroner serta biopsi bila memungkinkan untuk membuat diagnosis patologi
anatomik.
Terapi
 Terapi umumnya sama dengan terapi gagal jantung biasa:
a) Istirahat, diberikan : inotropik (digitalis, ibupamin, dsb), diuretik, penyekat ACE,
antagonis aldosteron. Bila terdapat fibrilasi atrial perlu diberikan anti koagulan,
digoxin, amiodaron, serta mengatasi faktor penyulit seperti infeksi.
b) Nutrisi lebih diperhatikan sekiranya terdapat kelainan endokrin (DM)
 Terapi khusus paling sedikit perlu dipikirkan sekiranya mampu melakukan
kardiomioplasti atau transplantasi jantung.
Perawatan kasus berat di ruang intensif, sementara prognosis tergantung beratnya penyakit
dan penyulitnya.
Komplikasi yang mungkin timbul: aritmia, kematian mendadak, payah jantung yang tidak
bisa diatasi, infeksi, dll.
Sarana baku : ruang intensif, eko Doppler, dan fasilitas kateterisasi jantung.

Kepustakaan
1. C Kawai, Y Doi, W J McKenna, PP Liu, A Matsumori. Cardiomyopathy update.
Elsevier Japan KK. Tokyo. 2007
2. 2009 Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2005 Guidelines for the
Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults A Report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. Circulation 2009.

116
28. KARDIOMIOPATI HIPERTROFI

Definisi Kardiomiopati hipertrofi bila tidak ditemukan penyebab hipertrofi miokardnya.


Dikenal 2 bentuk yaitu obstruktif dan non obstruktif.
Prevalensi 1:500 dan merupakan penyebab kemtian mendadak utama pada olahragawan usia
muda (<35 tahun).
Manifestasi Klinis meliputi:
1. Keluhan Gagal Jantung seperti sesak nafas, dyspnea on effort, paroxysmal nocturnal
dyspnea, dan orthopnea serta mudah lelah. Tahap awal merupakan konsekuensi
tekanan diastolik bilik kiri yang meningkat dan berkurangnya kemampuan pompa
bilik kiri.
2. Iskemia miokard dapat terjadi baik pada kardiomiopati hipertrofi obstruktif maupun
non-obstruktif.
3. Syncope dan presyncope merupakan manifestasi dari kurangnya perfusi otak yang
disebabkan oleh menurunnya output jantung.
4. Kematian mendadak angka kejadiannya 1%-6% disebabkan karena aritmia atau
mekanisme iskemia.
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi tampak gelombang A pada JVP menonjol bila terjadi
gangguan penampilan bilik kanan. Pada palpasi teraba ictus cordis dan bergeser ke lateral,
serta terdapat pulsus carotid bifid (pulsus biferens). Pada auskultasi terdengar S1 normal
didahului S4, S2 bisa normal/split paradox (bila ada obstruksi aliran keluar). Terdengar suara
tambahan bising sistolik tipe crescendo-decrescendo kasar dengan punktum di perbatasan
sternum kiri dan radiasi ke batas sternum kiri bawah tetapi tidak ke axilla maupun leher.
Tes diagnostik dengan EKG tidak ada yang patognomonik tergantung dari manifestasinya.
ECHO (sensitivitas tinggi), dengan 2D dan M-mode ditemukan hipertrofi septal yang
asimetris (>13 mm). Systolic Anterior Movement (SAM) dari katup mitral, penutupan katup
aorta yang dini, dan dinding septal yang immobile, serta tampak pergerakan dinding posterior
yang meningkat/normal. Criteria DOPLER untuk obstruksi bila terdapat pressure gradient
pada istirahat di outflow track > 30 mmHg.
Katetrisasi jantung dilakukan untuk menilai koroner dan menyingkirkan kelainan koroner
pada simptom iskemik yang tipikal. Pada ventikulografi tampak hipertrofi ventrikel dan
obliterasi bilik kiri saat bilik kanan dan kiri tampak bersamaan.

Algoritma penatalaksanaan
Kardiomiopati Hipertrofik

Dengan Obstruksi Tanpa Obstruksi

1. β-blocker 1. β-blocker
2. β-blocker +/- Dysopiramide 2. Diuretik (kongesti)
3. Diuretik bila kongesti 3. Transplantation
4. Verapamil gantikan
4. ACE-I, diuretic, digoxin
dysopiramide bila symptom
iskemik menetap untuk End stage KM dilatasi
5. Alcohol Septal Ablation
and/or DDD pacing
6. Septal myotomy-myectomi

117

Komplikasi Aritmia
Obat-obatan Kardiomiopati Hipertrofi
Obat Dosis Standar
β-blocker
Propanolol 2-3 x 40-80
Metoprolol 2 x 25-100
Atenolol 1 x 50-100
Antagonis Jalur Kalsium
Verapamil 3 x 40-120
Diltiazem 3 x 60-120
Anti-Aritmik
Dysopiramide 4 x 100-300
Amiodarone 2 x 100-200
Sotalol 160-320

 Perawatan umumnya tidak diperlukan, dilarang kerja fisik berat.


 Penyulit yang mungkin timbul aritmia, meninggal mendadak.
 Prognosis pada umumnya baik.
 Sarana baku ekokardiografi/ dopler

KEPUSTAKAAN
1. Manual of cardiovasculas medicine. Lipincott William 2000.
2. Arnold M. Katz. Heart Failure. Patophysiology, molecular biology, and clinical
management. Lipincott William 2000.
3. World Health Organization/ International Society and Federation of Cardiology Task
Force. 1995.
4. C Kawal,Y Dol, W J McKenna, PP Liu, A Matsumori, Cardiomyopathy Update,
Elsevier Japan KK.Tokyo. 2007.
5. Otto M Hells, W McKenna, HP Schultheiss. Myocardial
Disease. In the ESC text book of Cardiovascular
Medicine, Blackwell Publishing 2006.

118
29. ISKEMIA TUNGKAI AKUT

Defenisi
Iskemia tungkai akut adalah suatu keadaan terjadinya penurunan mendadak perfusi
ketungkai yang mengancam viabilitas tungkai tersebut. Iskemia tungkai akut terjadi dalam
dua minggu sesudah onset sampai timbul gejala. Gejala dan keluhan berkembang dalam
hitungan beberapa jam sampai beberapa hari dan bervariasi mulai dari klaudikasio intermitten
sampai nyeri di kaki atau tungkai pada saat pasien istirahat. Beratnya keluhan dan gejala
tergantung kepada beratnya hipoperfusi jaringan. Gambaran klinik iskemia tungkai akut ini
dikenal sebagai 6 P yaitu: paresthesia, pain, pallor, pulselessness, poikilothermia dan
paralysis.
Beratnya gejala dan keluhan tergantung kepada beberapa hal yaitu luasnya sumbatan,
lamanya sumbatan, kecukupan sistem kolateral, penyakit yang mendasarinya dan penyakit
penyerta. Onset yang cepat timbul akibat penurunan mendadak suplai darah dan nutrisi yang
dibutuhkan untuk metabolisme di tungkai yang diperdarahinya. Berbeda dengan iskemia
tungkai kronik dimana penurunan perfusi yang terjadi perlahan dikompensasi oleh
pembentukan dan pelebaran sistem kolateral untuk mengembalikan perfusi di tungkai
tersebut. Pada iskemia tungkai akut, pembentukan kolateral baru tidak dapat mengimbangi
perfusi yang menurun. Pada kondisi akut ini diperlukan revaskularisasi cepat untuk menjaga
viabilitas tungkai.

Patofisiologi
Penyebab dari iskemia tungkai akut ini biasanya adalah emboli atau insitu trombosis
yang sebagian besar berasal dari jantung dan menetap dilokasi percabangan pembuluh darah
seperti di daerah iliaka, ujung arteri femoralis komunis dan ujung dari arteri politea. Selain itu
emboli juga bisa lepas dari pembuluh darah yang mengalami plak aterosklerosis.
Emboli bisa juga diakibatkan oleh gangguan hemostasis pada penderita yang
darahnya mudah mengalami pembekuan seperti pada penderita sindroma anti fosfolipid.
Emboli akut bisa dibedakan dengan dengan peristiwa trombosis melalui:
1. Peristiwanya mendadak sehingga penderita bisa menetapkan waktu mulainya sakit
2. Kadang-kadang penderita sudah mempunyai riwayat mengalami emboli sebelumya
3. Penderita gangguan katup atau gangguan irama jantung
4. Tidak ada riwayat klaudikasio sebelumnya
5. Pulsasi pada tungkai yang tidak terkena normal
Thrombosis bisa juga terjadi pada pintasan pembuluh darah pada penderita yang
sudah menjalani operasi sebelumnya.
Iskemia tungkai akut mesti dibedakan dengan iskemia tungkai kritis yang disebabkan
oleh gangguan kronis pada pembuluh darah dengan onset yang melebihi dua minggu seperti
pada penderita aterosklerosis berat, tromboangiitis obliteran, vaskulitis lain dan penyakit
jaringan ikat lainnya.

Pemerikasaan Fisik dan Pemerikasaan Penunjang


Diperlukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mendeteksi tanda tanda iskemia seperti
penurunan suhu, pucat, bercak bercak merah pada tungkai.
Pemeriksaan vaskular mencakup pemeriksaan pulsasi dari arteri femoralis, poplitea,
dorsalis pedis, dan arteri tibialis posterior di tungkai dan arteri brachialis, arteri radialis serta
arteri ulnaris di tangan. Lokasi sumbatan dapat diperkirakan melalui pemeriksaan fisik seperti
pada penderita dengan pulsasi pada politea masih bagus tetapi pemeriksaan pulsasi di daerah
tibialis posterior dan dorsalis pedis menghilang maka lokasi sumbatan diperkirakan di daerah
percabangan distal dari arteri poplitea.

119
Pemeriksaan pembuluh darah dengan menggunakan peralatan doppler sangat berguna
sekaligus untuk pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI) penderita, ABI pada tungkai yang
terkena akan mengalami penurunan bahkan tidak bisa diukur sama sekali. ABI diantara 0.4
sampai 0.8 menunjukkan bahwa penderita mengalami gangguan serius pada pembuluh darah
ditungkai tersebut.
Pemeriksaan yang sangat akurat adalah dengan menggunakan pemeriksaan
angiografi, dengan angiografi dapat ditentukan lokasi dari segmen yang mengalami
sumbatan. Pemeriksaan angiografi juga dilakukan setelah tindakan untuk mengevaluasi
pengobatan penderita.
Pemeriksaan yang bersifat non-invasif dan sangat berperan dalam menegakkan
diagnosa adalah pemeriksaan ultrasonografi, di tangan orang yang terampil akurasi diagnosa
sangat tinggi. Pemeriksaan lain yang juga sangat berguna adalah pemeriksaan Computed
Tomographic Angiographyc (CTA) dan Magnetic Resonance Angiographic (MRA).
Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah kemampuannya untuk memperlihatkan gambaran
anatomi dari tempat yang mengalami sumbatan.
Beratnya iskemia tungkai akut dikelompokkan berdasarkan presentasi klinis dan
prognosa sesuai Standard Society for Vascular Surgery

Stadium Deskripsi Sensorik Kelemahan Doppler Doppler


hilang otot arteri vena
I Tungkai viabel, Tidak ada Tidak ada terdengar terdengar
belum terancam
II Tungkai terancam Minimal Tidak ada terdengar terdengar
IIA Tungkai terancam Minimal Tidak ada Sering terdengar
dapat diselamatkan atau tidak terdengar
dengan pengobatan ada
yang tepat
IIB Terancam dapat Lebih dari Ringan atau Biasanya tak terdengar
diselamatkan dengan satu jari, moderat terdengar
revaskularisasi nyeri
segera istirahat
III Irreversibel Anestetik Ada Tak Tak
terdengar terdengar

Kategorisasi diatas diperlukan untuk menentukan rencana pengobatan.

Pengobatan
Revaskularisasi Endovaskular
Tujuan pengobatan adalah mengembalikan vaskularisasi pada tungkai yang terkena
sesegera mungkin baik dengan menggunakan obat-obatan, peralatan medis ataupun dua
duanya. Pasien dengan iskemia yang lebih dari 24 jam, tungkai mati, pintasan dengan graft
terinfeksi atau kontraindikasi untuk trombolisis tidak dianjurkan untuk menjalani
revaskularisasi dengan cara intervensi. Sebelum revaskularisasi dilakukan pemeriksaan
angiografi diagnostik untuk menentukan inflow dan outflow serta panjangnya segmen yang
terkena. Operator menyeberang lesi dengan menggunakan wire dan kateter yang memiliki
beberapa lobang yang memungkinkan pelepasan obat trombolitik melalui lubang kateter.
Selama prosedur dilakukan pemeriksaan angiografi untuk menentukan kemajuan pengobatan.
Selama prosedur dilakukan pemeriksaan hemostasis darah secara regular. Setelah prosedur
selesai dilakukan pemeriksaan angiografi untuk mencari lesi yang mungkin menjadi
penyebab seperti stenosis.

120
Tersedia bermacam-macam trombolitik. Sebagian besar bekerja dengan merubah
plasminogen menjadi plasmin yang pada akhirnya akan menghancurkan fibrin. Obat yang
pertama kali digunakan untuk intraarterial trombolisis adalah streptokinase yang merupakan
aktivator plasminogen tidak langsung. Tetapi sekarang penggunaannya sudah dilarang di
Amerika Serikat karena efeknya sedikit dan efek samping perdarahan besar dan resiko alergi
juga besar.
Pada sebagian besar kasus kateter dapat menyeberang lesi dan keberhasilan pada
sebagian besar kasus mencapai 75%-90%. Sering timbul sisa trombus pada distal dari lesi
yang biasanya menghilang pada saat diberikan trombolisis
Perdarahan sering timbul pada tempat masuknya kateter, tetapi juga dapat timbul pada
tempat lain. Resiko perdarahan timbul pada 6%-9% kasus dan resiko perdarahan intra kranial
biasanya mencapai 3%. Resiko makin tinggi sebanding dengan lama dan dosis trombolisis,
hipertensi, usia lebih dari 80 tahun dan jumlah trombosit yang rendah.

Revaskularisasi bedah
Pendekatan pembedahan dengan menggunakan balon kateter, pintasan dan terapi
tambahan seperti endarterektomi, patching angioplasty dan intraoperative trombolisis
ataupun kombinasinya. Sumbatan oleh karena trombosis biasanya terjadi pada penderita
dengan gangguan kronik pada pembuluh darah. Terapi terbaik pada penderita dengan emboli
adalah tromboembolektomi dengan menggunakan kateter dan sesudah tindakan dilakukan
angiografi untuk mengkonfirmasi hasil tindakan. Pada penderita dengan trombosis yang
diakibatkan kelainan kronik pada pembuluh darah angka amputasi biasanya tinggi akibat
kegagalan revaskularisasi, ini karena segmen yang mengalami trombosis sudah mengalami
aterosklerosis berat demikian juga segmen di sekitarnya.

Medikamentosa
Begitu diagnosa ditegakkan pengobatan awalnya adalah dengan pemberian
unfractionated heparin, diberikan dalam bentuk bolus dan pemeliharaan. Pengobatan selalu
bersifat multi modalitas, pengobatan medikamentosa selalu dilakukan biasanya berupa
thrombolitik seperti Tissue Plasminogen activator (Streptokinase, Urokinase dan lain lain).
Pada penderita iskemia tungkai akut pada saat penderita datang biasanya langsung dilakukan
pemberian heparinisasi. Ada dua tujuan yang ingin dicapai dengan pemberian heparin yaitu:
1. Untuk mencegah bertambah panjangnya trombus
2. Untuk mencegah pembentukan fokus fokus baru emboli
Untuk mencapai efek yang diinginkan dilakukan kontrol dengan pemeriksaan
activated partial thromboplastine time (APTT) dengan target sekitar 2 kali kontrol.
Revaskularisasi yang dilakukan pada penderita iskemia tungkai akut bisa berbahaya
bagi penderita, penurunan perfusi pada tungkai mengakibatkan pelepasan zat-zat toksik
radikal bebas dari daerah yang mengalami iskemia dan memasuki sirkulasi sistemik. Ini akan
mengakibatkan gangguan fungsi pada organ seperti ginjal, paru, jantung dan otak. Hal ini
dikenal sebagai cedera reperfusi dan bisa mengakibatkan kematian penderita yang telah
menjalani revaskularisasi.
Pertimbangan untuk revaskularisasi ada pada dokter karena sering pertimbangan
pasien dalam hal ini tidak realistis terutama jika tindakan revaskularisasi dapat mengancam
kehidupan penderita.

121
Daftar Pustaka
1. Kreager MA, Kaufman JA,Conte MS. Acute Limb Ischemia. N Engl J Med.2012;366:
2198 – 206.
2. Kasirajan K, Ouriel K. Acute Limb Ischemia. In Rutherford RB et al (eds).Rutherford
vascular Surgery 6th ed. Elseviers Saunders. 2005. Pgs 959 – 71.
3. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, Nehler MR, Harris KA, FowkesFG. Inter
Society Consensus for the Management of Pheripheral Arterial Disease (TASCII).J
Vasc Surg. 2007; 45 Suppl: S5 – S67.
4. Collins R, Burch J, Cranny G, et al. Duplex ultra sonography, magnetic resonance
angiography, and computed tomography angiography for diagnosis and assessment of
symptomatic, lower limb peripheral arterial disease: systematic review. BMJ.
2007;334:1257.
5. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the
management of patient with peripheral arterial disease ( lower extremity, renal,
mesenteric and abdominal aortic) : a collaborative report from the American
Association for Vascular Surgery/ Society for Vascular Surgery, Society for
cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and
Biology, Society for Interventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on
Practice Guidelines ( Writing Committee to develope Guidelines for the management
patients with peripheral arterial disease ): Endorsed by The American Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation ; National Heart, Lung, and Blood
Institute; Society for Vascular Nursing; Trans Atlantic Inter Society Consensus; and
Vascular Disease Foundation. Circulation 2006;113 (11): e463 – e654.

122
30. ISKEMIK TUNGKAI KRONIS KRITIS

Definisi
CLI adalah manifestasi dari penyakit arteri perifer (PAD) berupa keluhan nyeri tungkai akibat
iskemia saat istirahat, atau dengan lesi kulit iskemik baik berupa ulkus maupun gangrene.
Patofisiologi
Perburukan aliran darah di tingkat arterial pada iskemia tungkai kronis non-kritis
akibat bertambahnya jumlah dan derajat penyempitan atau perburukan aliran darah di tingkat
mikrosirkulasi yang ditandai dengan penurunan densitas kapiler, penurunan rasio dinding
medial terhadap lumen arteriol, yang pada gilirannya akan mengakibatkan penurunan perfusi
ke kulit.
Kriteria Diagnosis
 Tekanan Sistolik Ankle 50-70 mmhg pada pasien dengan ulkus iskemia
 Tekanan Sistolik Ankle 30-50 mmhg pada pasien dengan nyeri dada khas saat
istirahat
 Tekanan Sistolik ibu jari kaki < 30 mmhg pada pasien dengan DM
 tcPO2 (trans cutaneous oxygen pressure) < 30 mmhg

Diagnosis Banding
 Ulkus gangrene : Diabetik Neuropati
 Complex regional pain syndrome
 Pheriperal sensory neuropathy, other than diabetik neuropati
 Night cramps
 Buerger’s disease

Pemeriksaan Dasar
 Pulsasi yang menurun, disertai tampilan tidak khas, sebagai berikut:
 Hilangnya rambut dan kulit
 Atropi otot, jaringan subkutan, kulit dan lipatan kulit
 Kulit kering, perubahan warna kulit
 Ulkus

 Tekanan Sistolik Ankle dengan Doppler


 Tekanan Sistolik Ibu jari dengan plethysmografi
 tcPO2 pada pasien DM dengan Laser Fluximetry

Terapi
1. Pengendalian faktor resiko
2. Mengatasi nyeri : Acetaminophen, NSAID, epidural blok
3. Terapi debridement dan menjaga kebersihan ulkus/gangrene, antibiotik untuk selulitis
4. Prostanoid dapat dipertimbangkan dalam mempercepat penyembuhan luka
5. PTA (Percutaneous Transluminal Angioplasty)
6. Bedah pintas vaskular
7. Terapi hiperbarik dipertimbangkan pada pasien yang tidak respon dengan
revaskularisasi, atau yang tidak dapat direvaskularisasi
8. Pada masa yang akan datang, dipikirkan penggunaan terapi angiogenesis

123
Amputasi
Indikasi mayor:
1. Infeksi berat yang mengancam jiwa
2. Nyeri saat istirahat yang tidak dapat dikendalikan
3. Nekrosis luas yang telah merusak kaki
Amputasi Primer:
Amputasi yang dilakukan tanpa didahului usaha revaskularisasi/rekonstruksi
Amputasi Sekunder:
Amputasi yang dilakukan bila usaha intervensi vaskular telah dilakukan, namun kondisi
tungkai semakin memburuk

Fasailitas Diagnostik Lain Yang Mungkin Diperlukan


 MSCTA
 Arteriografi
 MRI bila disertai gagal ginjal

Daftar Pustaka
Creager M A. Peripheral Artery Disease , Dalam : Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP,
penyunting. Braunwald’s Heart Disease, a textbook of Cardiovascular. Edisi ke-8.
Philadelphia : Saunders Elsevier ; 2008

124
31. TROMBOSIS VENA DALAM (TVD)

Definisi
TVD adalah penyakit terdapatnya gumpalan darah, suatu thrombus, pada salah satu
pembuluh darah vena dalam yang mengembalikan darah ke jantung, yang terjadi pada
tungkai atau lengan.
 TVD proksimal  bila lokasi trombus pada vena dalam di atas lutut/siku
 TVD distal  bila lokasi trombus pada vena dalam di bawah lutut/siku
 Phlegmasia Alba Dolens  merupakan jenis TVD dengan penampilan tungkai/ lengan
berwarna putih kepucatan karena spasme arteri
 Phlegmasia Cerules Dolens  merupakan jenis TVD dengan penampilan tungkai/ lengan
kebiruan karena arteri tertekan oleh vena dalam yang berisis trombus, yang dapat
menimbulkan iskemia tungkai akut dan gangren vena

Patofisiologi
Proses terbentuknya trombus vena dalam sesuai dengan Triad Virchow: 2
(1) Stasis Vena
(2) Aktivasi Koagulasi Darah
(3) Cedera Vena.

Kriteria Diagnostik
Kecurigaan klinis berdasarkan probabilitas Well’s Score yang dikonfirmasi dengan:
1. Uji D-Dimer > 500 ng/ml
2. Uji Kompresi Ultrasonik vena, tidak kolaps (positive Compression UltraSonography/
CUS)
3. Uji Peras Distal, tidak ada pertambahan kecepatan aliran (negative distal squeeze test)
Penjelasan angka probabilitas klinis (Well’s Score):
Tabel 1. Probabilitas klinis menurut skor Well’s
KLINIS NILAI
Kanker aktif (sedang dalam pengobatan, 6 bulan yang lalu dalam 1
pengobatan atau paliatif).
Paralisis, paresis atau baru saja menggunakan alat imobilisasi 1
pada tungkai bawah.
Tirah baring > 3 hari atau 12 minggu paska operasi besar yang 1
menggunakan anastesi umum atau regional
Teraba kenyal sepanjang sistem vena dalam 1
Pembengkakan tungkai > 3 cm dibanding tungkai yang 1
asimtomatik, diukur pada 10 cm di bawah tuberositas tibia
Pitting oedema pada tungkai yang simtomatik 1
Kolateral vena superfisialis (non varises) 1
Riwayat kaki bengkak 1
Diagnosis lain yang mirip DVT -2
Skor ≤0 : probabilitas rendah
Skor 1-2 : probabilitas sedang
Skor ≥3 : probabilitas tinggi

125
Diagnosis Banding
1. Trombophlebitis Superfisialis
2. Ruptura Kista Baker’s
3. Ruptura m. gastroknemius
4. Ruptura m. plantaris
5. Selulitis
6. Artritis
7. Vaskulitis
Pemeriksaan Dasar : Probabilitas Skor Klinis (PSK)
Pemeriksaan Penunjang :
 Laboratorium Darah: D-Dimer, Koagulasi
 Uji kompresi sonografi
 Uji peras distal

Pemeriksaan Yang Mungkin Diperlukan :5


 MSCT vena
 Venografi
Terapi
1. Antikoagulan injeksi:
a. Unfractionated Heparin, bolus IV 10.000 µ, dilanjutkan IV drip selama 5 hari dengan
dosis sesuai monitoring APTT 2,5 x control, atau
b. Low Molecular Weight Heparin (LMWH): Enoxaparin, dosis 1mg/kg BB, diberikan
subkutan 2x sehari, selama 5 hari, atau
c. Anti faktor X-a: Fondaparinux, dosis 5mg (BB<50kg), 7,5mg (BB 50-100kg), 10mg
(BB>100kg), diberikan subkutan 1x sehari, selama 5 hari.
2. Antikoagulan oral, diberikan overlapping dengan antikoagulan injeksi mulai hari ke-2
dan diteruskan selama 3-6 bulan, bila ada gangguan faktor koagulasi diberikan terus
sepanjang kehidupan, dengan monitoring INR 2.0-3.0
3. Pembebatan elastis (distal tungkai ketat, ke proksimal semakin longgar)

Prosedur/Tindakan Yang Mungkin Diperlukan


1. Trombolitik diberikan melalui Kateter Intra Vena, langsung pada lesi trombus vena, atas
indikasi, atau
2. Embolektomi perkutan non-bedah, atau
3. Embolektomi bedah

126
Probabilitas Skor Klinis
(sedang-tinggi)

D-Dimer Kuantitatif Algoritma Tatalaksana DVT

<500 ≥500

Terapi (-) Uji kompresi sonografi

+ -
Terapi (+)
PSK tinggi PSK sedang

Uji peras Terapi (-)

+ -

Terapi (+) MSCT Vena

+ -
Terapi (+) + -

Terapi (+) Phlebography tungkai Terapi (-)


bawah

Daftar Pustaka
1. Beckman MG, Hooper WC, Crithley SE, Ortel TL. Venous thromboembolism: a public
health concern. Am J Prev Med. 2010;38(4suppl):S495-501
2. Wells PS, et al. Evaluation of D-Dimer in the diagnosis of suspected deep vein
thrombosis. N Eng J Med.2003;349:1227-35
3. Patel K. Deep Vein Thrombosis. Medscape Reference.
http://emedicine.medscape.com/article/1911303-overview Diakses 15 Maret 2014.
4. National Institute for Health and Clinical Excellence. Venous thromboembolic disease:
the management of venous thromboembolic disease and the role of thrombophilia testing.
NICE Clinical Guideline 144. Issued: Juni 2012
5. Group Healyh. Venous thromboembolism (VTE) diagnosis and treatment guideline.
www.ghc.org/all-sites/guidelines/vte-diagnosis.pdf Diakses 15 Maret 2014
6. Bates SM, Ginsberg JS. Treatment of deep-vein thrombosis. N Eng J Med.2004;351:268-
77

127
32. ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR

TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR, AV Re-entrant Tachycardia (AVR)


a. Kriteria diagnosis
1. Takikardia dengan ORS sempit, laju jantung sakitar 150 sampai 240 kali parmenit
2. Sangat regular
3. RP' < P'R
4. Tidak mungkin ada blok AV atau VA
b. Diagnostik banding
1. AVNRT
2. Flutter atrium dengan konduksi AV 1:1
c. Klasilikasi/Tipe
1. Takikardia Ortodromik
Paling sering, kompleks ORS sempit karena sirkuit re-entry antegrad melalui cabang
his, sistem purkinje. ventrikel, accessory pathway, atrium dan kembali ke his
2. Takikardia Antidromik
Jarang. kompleks QRS lebar, karena antegrad melalui accessory pathway, ventrikel
dan retrograd melalui sistem purkinje, his, atrium dan kembali lagi ke accessory
pathway
d. Kepentingan klinis
Sebagian besar penderita mempunyai jantung normal. Sebagian penderita dengan sindrom
WPW (karena ada gelombang delta. berarti mempunyai accessory pathway yang
mengkonduksi antegrad). Sebagian dari rneraka tidak mempunyai gelombang delta
meskipun mereka mempunyai accessory pathway. Yang terakhir ini dinamakan
concealed accessory pathway.
e. Teknik diagnosis yang diperlukan ·
1. Rekaman EKG
2. Rekaman Holter
3. Bilamana tidak dapat merekam adanya SVT, mungkin perlu trans-telefonik EKG
4. Bila diperlukan ILR
f. Tatalaksana
1. Farmakologi. Pada kaadaan akut dapat diberikan obat-obat yang bekerja di AV node
seperti adenosin, isoptin, obat penyekat beta. Obat golongan III umumnya digunakan
untuk menghambat di accessory pathway. Kadang-kadang diperlukan perasat masase
arteri karotis. Konversi dengan DC shock hampir tidak pernah dilakukan. Untuk
jangka panjang dapat diberikan digitalis, verapamil atau obat penghambat beta.
2. Nonfarakologis. Dilakukan ablasi kateter karena angka keberhasilan yang sangat
tinggi dengan angka morbiditas yang rendah.
3. Bedah tidak pernah dilakukan lagi.

TAKIKARDIA SUPRAVENTIKULAR, AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)


a. Kriteria Diagnosis
Takikardia dengan QRS sempit. sangat regular, dengan laju jantung berkisar antara
160-240 kali permenit. Sebagian besar gelombang P' ada di dalam kompleks QRS, walaupun
sebagian kecil dapat di akhir kompleks QRS. Kompleks QRS dapat menjadi lebar, bila
dengan adanya aberansi. Walaupun sangat jarang, dapat disertai blok ke ventrikel atau ke
atrium.
b. Diagnosis banding
1. SVT AV reentrant tachycardia (AVRT)
2. Flutter atrium dengan konduksi AV 1:1

128
c. Klasifikasi / Tipe
1. Tipe umurn (common type, atau disebut slow-fast type)
2. Tipe tidak umum (uncommon type, kadang sebagai last-slow type, atau slow-slow
type)
d. Kepentingan klinis
Penderita dengan AVNRT, umumnya berumur muda, tidak disertai dengan penyakit
jantung lainnya, sehingga di luar terjadinya serangan, semuanya dalam batas normal.
e. Teknik diagnosis yang diperlukan
1. EKG, terutama sangat penting pada waktu serangan
2. Rekaman monitor Holter, sering tidak dapat menangkap serangan AVNRT tersebut,
sehingga manfaat pameriksaan ini diragukan
3. Transtelefonik rekaman EKG menjadi sangat penting, terutama bila penderita tinggal
di tempat yang jauh dari pusat kesehatan
4. Pada penderita dengan serangan yang sangat jarang mungkin perlu pemasangan ILR
f. Tatalaksana
1. Pada keadaan akut di Unit Gawat Darurat, obat yang sangat penting adalah Adenosin
iv. Bila tidak ada dapat diberikan verapamil iv. Walaupun efeknya agak lama,
digitalis iv dan obat penyekat beta iv dapat diberikan
2. Pada penderita dengan frekuensi serangan yang sangat jarang dan penderita relatif
asimtomatik, maka perlu pemberian obat-obatan
3. Untuk jangka panjang dapat diberikan opsi:
Farmakologi:
Obat yang dapat diberikan verapamil, digitalis, obat penyekat beta
Ablasi kateter :
Tindakan ini mempunyai angka keberhasilan yang tinggi dengan mortalitas mendekati
nol, angka mortalitas yang sangat rendah. Pada prinsipnya dilakukan ablasi slow-
pathway

REFERENSI :
1. Garreat CJ and Griffit MJ. Electrocardiographic diagnosis of Tachyaritmia. Clinical
approach to tachyarhitmias (Camm AJ,editor).Futura Publishing company.Inc,
Armonk NY.1994
2. Opie LH, Gersh BJ.Antiarrhytmias Drugs and Strategies.Drugs for the Heart.7th ed.
Saunders Elsevier. 2008.
3. Blomström-Lundqvist and Scheinman et al. 2003. ACC/AHA/ESC Guidelines for the
Management of Patients With Supraventricular Arrhythmias : A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice
Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of
Patients With Supraventricular Arrhythmias). doi:10.1016/j.jacc.2003.08.013
4. Akmuti K. Bozorgnia B, Rothman SA et, et all. Supraventricular Arrhytmias.
Management of Cardiac Arrhytmias. Humana Press. 2010
5. Delacretaz E. Supraventricular Tachycardia. N Eng J Med.2006 :354 :1039-1051

129
33. FIBRILASI ATRIUM (AF)

Kriteria Diagnosis
1. Gelombang P yang irregular dan cepat (gelombang P, frekuensi antara 350-650 kali
permenit)
2. Gelombang QRS yang juga irregular

Diagnosis Banding
Sering dikelirukan dangan ekstrasistol atrium yang frekuen, fibrilasi atrium atau
takikardia atrium

Klasifikasi/Tipe
Berdasarkan waklu timbulnya AF dan keberhasilan Intervensi :
1. AF paroksismal
Bila AF hilang timbul, tanpa diberikan Intervensi (apakah obat atau non-farmakologis
seperti konversi DC)
2. AF persistan
Bila AF hanya akan berhenti bila harus diberikan obat atau intevensi non-
farmakologis (konversi DC)
3. AF permanen
Bila dengan intervensi apapun, AF tidak dapat dihentikan (dengan kemajuan teknik
ablasi kateter menggunakan pemetaan 3 dimensi, nampaknya klasifikasi ini tidak
relevan lagi)
Berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari :
1. AF primer
Bila tidak disertai dengan penyakit jantung atau penyakit sistemik lainnya
2. AF sekunder
Bila disertai dengan penyakit jantung lainnya (misalnya penyakit katup mitral,
hipertensi atau panyakit sistemik lainnya (penyakit tiroid dan sebagainya)
Berdasarkan bentuk gelombang P :
1. Course AF
Bila bentuk gelombang P nya kasar, masih dapat dikenali
2. Fine AF'
Bila bentuk gelombang P sangat halus, hampir sebagai garis halus

Kepentingan Klinis
Konsekuensi AF adalah :
1. Palpitasi
2. Takikardiomiopati
3. Emboli sistemik terutama stroke
4. Menurunkan kualitas hidup penderita
5. Meningkatkan mortalitas

Teknik Diagnosis Yang Diperlukan


Sebagian AF, terutama yang persisten dan permanen, hanya dengan pemeriksaan EKG
sudah cukup. Pada penderita AF paroksismal, sering harus dilakukan dengen pemeriksaan
monitor Holter, Tran-telefonik EKG atau pemasangan ILR.
Pemeriksaan foto toraks dan ekokardiografi mutlak diperlukan untuk menyingkirkan
penyakit sekunder. Pemeriksaan laboratorium T3 dan T4 mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan adanya penyakit tiroid.

130
Pemeriksaan angiografi koroner kadang diperlukan manakala ada indikasi ke arah
penyakit jantung koroner.
Pemeriksaan elektrofisiologis hanya akan dilakukan bila akan dilakukan ablasi kateter,
apakah ablasi AV node atau ablasi isolasi vena pulmoner pada AF (lihat bawah).

Tatalaksana
1. Medikamentosa
a) Rhythm control. Tujuan dari rhythm control adalah mengembalikan ke irama
sinus. Secara teoritis diharapkan akan menjadi lebih baik karena penderita
terbebas dari resiko tromboemboli, kemungkinan takikardiomiopati. Tetapi uji
klinik akhir-akhir ini (AFFIRM PIAF trials) menunjukkan bahwa kedua cara ini
tidak ada yang lebih superior. Obat yang biasa digunakan adalah anti-aritmia
golongan I, seperti quinidine, disopiramide dan propafenon. Unluk golongan III
dapat diberikan amiodaron. Kadang diperlukan kombinasi dengan tindakan
kardioversi dengan DC shock.
b) Rate control dan pemberian antikoagulan. Obat untuk rate control adalah obat-
obat yang bekerja pada AV node, dapat berupa digitalis, verapamil, obat penyekat
beta. Obat golongan III seperti amiodaron dapat juga digunakan untuk rate
control. Verapamil atau obat penyekat beta harus diberikan dengan hati-hati pada
penderita dengan hipertrofi ventrikel. Pemeriksaan ekokardiografi akan membantu
sebelum pemberian obat di atas.
2. Non - farmakologik
a) Kardioversi ekstrnal dengan DC shock. Kardioversi dapat dilakukan pada setiap
penderita AF. Untuk AF sekunder. sebaiknya penyakit yang menyertainya harus
dikoreksi tertebih dahulu. Bilamana terjadinya AF leblh dari 48 maka harus
diberikan antikoagulan selama 4 minggu dan 3 minggu pasca kardioversi untuk
mencegah terjadinya stroke emboli. Target antikoagulan adalah bila pemeriksaan
INR menunjukkan 2 sampai 3. Pemerikasaan ekokardiografi trans-esofagus
diperlukan bilamana konversi DC harus sagera dilakukan tanpa menunggu
pemberian obat antikoagulan untuk memastikan tidak adanya thrombus di atrium.
b) Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF. Beberapa tahun belakangan ini
beberapa pabrik pacu jantung membuat pacu jantung yang khusus dibuat untuk
penderita paroksismal AF dengan menggunakan algoritme tertentu. Akan lebih
bermanfaat lagi bilamana disertai bradikardia. Penelitian menunjukkan
pemasangan pacu jantung kamar ganda terbukti dapat mencegah masalah AF
dibanding dengan pesangan pacu jantung kamar tunggal. Akhir-akhir ini diketahui
bahwa pemasangan lead atrium pada lokasi tertentu seperti di Backman bundle
atau di septum atrium bagian bawah dapat mencegah terjadinya AF.
c) Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi ven pulmoner dapat
dilakukan dan melakukan beberapa lining di atrium dapat dilakukan dengan
bantuan navigasi 3 dimensi (mesin CARTO atau NAVIX).
d) Ablasi AV node dan pemasangan pacu jantung permanen (VVIR). Teknik ini
digunakan terutama pada penderita AV permanen, dengan pemasangan pacu
jantung (VVIR). Penderita masi memerlukan obat antikoagulan.
e) Bedah. Dilakukan operasi modifikasi maze. Dapat dilakukan sekaligus pada
penderita dengan kelainan katup mitral.

131
Daftar Pustaka
1. Garreat CJ and Griffit MJ. Electrocardiographic diagnosis of Tachyaritmia. Clinical
approach to tachyarhitmias (Camm AJ,editor).Futura Publishing company.Inc, Armonk
NY.1994
2. Opie LH, Gersh BJ.Antiarrhytmias Drugs and Strategies.Drugs for the Heart.7th ed.
Saunders Elsevier. 2008
3. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS et all. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation : A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the
European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines (Writing Committee
to Revise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation).
J. Am. Coll. Cardiol. 2006;48;e149-e246
4. Cohen M, Naccarelli GV. Pathophysiology and Diseases Progression of Atrial
Fibrillation : Importance of achieving and maintaining sinus rhythm. J Cardiovasc
Electrophysiol.2008; 19(8);885-890
5. Markides V,Schilling RJ. Atrial Fibrillation ; Classification, Pathophysiology,
Mechanisms and Drug Treatment. Heart 2003; 89;939-943.
6. Crandall MA, Bradley DJ, Packer DL, et al. Contemporary Management of atrial
fbrilation : update on anticoagulant and invasive management strategies.Mayo clinic
Proc. 2009 ; 84 : 43-662

132
34. FLUTTER ATRIUM

Kriteria Diagnosis
Terlihat gelombang P dengan frekuensi antara 250-350 kali permenit. Umumnya
dengan konduksi AV 2:1 atau 3:1. Sangat jarang dengan konduksi AV 1:1. Pada tipe
I, khas dengan adanya gambaran EKG sebagai gigi gergaji.

Diagnostik Banding
 Ekstasistol atrium frekuen
 Takikardia atrium
 Coarse AF

Klasifikasi / Tipe
Tipe I, dengan sirkuit re-entri di atrium dengan arah berlawanan arah jarum jam
(dilihat dari depan).
Tipe lain, arah sirkuit di atrium kanan searah jarum jam, atau sirkuit di atrium kiri
atau melingkar pada berkas operasi.

Kepentingan Klinis
Dapat terjadi pada jantung yang normal atau pada penderita kelainan jantung lain.
Apakah flutter atrium akan menyebabkan efek emboli sistemik seperti pada AF masih
menjadi kontroversi.

Teknik Diagnosis Yang Diperlukan


Pada yang menetap dapat ditegakkan dengan rekaman EKG permukaan. Apalalgi
pada tipe I dapat ditegakkan hanya dengan rekaman EKG. Kadang diperlukan
rekaman Holter, Trans-telefonik rekaman EKG dan ILR.
Pemeriksaan elektrofisiologi hanya dilakukan bilamana akan dilakukan ablasi kateter.
Foto toraks adalah prosedur sederhana yang harus dilakukan sebelum pemberian obat-
obatan diatas untuk rnemilih obat mana yang akan digunakan.
Pemeriksaan ekokardiografi menjadi sangat penting untuk menyingkirkan adanya
penyakit penyerta. Pemeriksaan angiografi koroner deperlukan bilamana ada indikasi
ke arah penyakit jantung koroner.

Tatataksana
Farmakologis sama dengan obat-obatan untuk AF. Dapat dilakukan rhythm control
dengan obat golongan I atau III. Untuk rate control dapat diberikan dengan obat yang
bekerja di AV node seperti digitalis, verapamil atau obat penyekat beta.
Non-farmakalogis yaitu dengan ablasi kateter (ablasi isthmus membentuk blok
isthmus) merupakan tindakan yang mempunyai angka keberhasilan yang tinggi (lebih
dari 90%) dan dengan mortalitas mendekati nol atau morbiditas yang sangat rendah.
Tindakan bedah untuk flutter atrium tidak dianjurkan.

133
Daftar Pustaka :
1. Garreat CJ and Griffit MJ. Electrocardiographic diagnosis of Tachyaritmia. Clinical
approach to tachyarhitmias (Camm AJ,editor).Futura Publishing company.Inc, Armonk
NY.1994
2. Opie LH, Gersh BJ.Antiarrhytmias Drugs and Strategies.Drugs for the Heart.7th ed.
Saunders Elsevier. 2008
3. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS et all. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation : A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the
European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines (Writing Committee
to Revise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation).
J. Am. Coll. Cardiol. 2006;48;e149-e246
4. Boyer M , Koplan BA. Atrial Flutter. Circulation. 2005;112:e334-e336
5. Waldo AL. Treatment of Atrial Flutter. Heart 2000; 84 :227–232
6. Waldo AL. Pathogenesis of atrial flutter. J Cardiovasc Electrophysiol 1998;9 :518–25

134
35. HIPERTENSI

Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko utama untuk penyakit jantung koroner,
kejadian stroke, gagal ginjal kronik, dan gagal jantung kongestif. Tujuan pengobatan
hipertensi bukan hanya menurunkan tekanan darah, melainkan menurunkan semua kerusakan
organ target. Untuk mencapai penurunan morbiditas dan mortalitas yang optimal terhadap
penyakit-penyakit yang berkaitan dengan hipertensi, maka harus dipikirkan pengaruh
pemberian terapi anti hipertensi terhadap patogenesis kerusakan masing-masing organ target.

Defenisi dan Klasifikasi Tekanan Darah

The Seventh Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure (JNC-VII, 2003) dan World Health Organization – International
Society of Hypertension (WHO-ISH, 1999) telah memperbaharui klasifikasi, defenisi, serta
stratifikasi resiko untuk menentukan prognosis jangka panjang. Pada tabel 1 diperlihatkan
defenisi dan klasifikasi tekanan darah dari JNC-VII 2003.

Tabel 1. Defenisi dan Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC VII


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre-hipertensi 120 - 139 atau 80 - 89
Hipertensi :
Derajat 1 140 - 159 atau 90 - 99
Derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Tabel 2. Manajemen Tekanan Darah dari JNC VII


Modifikasi Pilihan obat untuk terapi awal
Kategori Gaya Hidup
Tanpa indikasi khusus Dengan indikasi khusus
Dianjurkan
Tidak ada indikasi obat Obat untuk indikasi
Pre-hipertensi Ya
anti hipertensi khusus
Umumnya: diuretik
thiazide Obat hipertesi lainnya
Hipertensi Dipertimbangkan (diuretik, ACE-I, ARB,
Ya
Derajat 1 pemberian: ACE-I, CCB, β-Blocker) sesuai
ARB, β-Blocker, CCB, kebutuhan
atau Kombinasi
Umumnya kombinasi 2
Obat anti hipertensi
jenis obat (biasanya
Hipertensi lainnya (diuretik, ACE-I,
Ya diuretik thiazide dan
Derajat 2 ARB, CCB, β-Blocker)
ACE-I atau ARB, atau
sesuai kebutuhan
β-Blocker atau CCB)

Etiologi

Berdasarkan identifikasi penyebab hipertensi, JNC VII mengklasifikasikan penyebab sebagai


berikut :
 Sleep apnoe
 Penyalahgunaan obat-obatan dan bahan lainnya

135
 Penyakit ginjal kronik
 Aldosteronism primer
 Penyakit renovaskular
 Terapi steroid kronik dan sindroma Cushing
 Pheochromocytoma
 Coartasio Aorta
 Penyakit tiroid atau paratiroid

Stratifikasi faktor resiko kardiovaskuar & kerusakan organ target

Pada stratifikasi resiko terhadap prognosis jangka panjang, JNC VII memasukkan faktor-
faktor resiko kardiovaskular mayor, kerusakan organ target, serta keadaan klinis penyerta
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis. Kapan terapi anti hipertensi harus
diberikan, ditentukan oleh stratifikasi resiko penderita hipertensi.

Faktor resiko kardiovaskular yang perlu dinilai terdiri dari golongan yang dapat diubah
(dimodifikasi) dan yang tidak mungkin diubah (tabel 3).

Tabel 3. Faktor Resiko Utama


Dapat dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi
 Hipertensi  Umur (♂ > 55 thn,
 Merokok ♀ > 65 thn)
 Obesitas (BMI ≥ 30)  Riwayat keluarga dengan
 Physical Inactivity penyakit kardiovaskular
 Dislipidemia prematur (♂ < 55 thn,
 Diabetes melitus ♀ < 65 thn)
 Mikroalbuminuriua atau
GFR < 60 ml/min)

Perlu dilakukan evaluasi terhadap ada tidaknya kerusakan organ atrget akibat hipertensi serta
manifestasi klinis yang mungkin timbul (tabel 4).

Tabel 4. Kerusakan organ target


Penyakit Jantung
 Hipertrofi ventrikel kiri (LVH)
 Angina atau infark miokard sebelumnya
 Riwayat revaskularisasi
 Gagal jantung
Stroke atau TIA
Penyakit ginjal kronik
Penyakit arteri perifer
Retinopati

Pemeriksaan pada hipertensi

1. Riwayat Penyakit
 Lama dan klasifikasi hipertensi
 Pola hidup
 Faktor-faktor resiko kelainan kardiovaskular (tabel 3)

136
 Penyakit kardiovaskular
 Gejala-gejala yang menyertai hipertensi
 Kerusakan organ target (tabel 4)
 Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan

2. Pemeriksaan fisik
 Tekanan darah minimal 2 kali selang 2 menit
 Periksa tekanan darah lengan kontralateral
 Tinggi badan dan berat badan
 Pemeriksaan funduskopi
 Pemeriksaan leher, jantung, paru, abdomen dan ekstremitas
 Refleks saraf

3. Pemeriksaan laboratorium
 Urinalisa
 Darah : trombosit, fibrinogen
 Biokimia : kalium, natrium, kreatinin, GDS, profil lipid, asam urat

4. Pemeriksaan tambahan
 Foto rontgen dada
 EKG 12 lead
 Mikroalbuminuria
 Ekokardiografi

Penatalaksanaan

Jika modifikasi gaya hidup tidak menurunkan tekanan darah ke tingkat yang diinginkan,
terapi farmakologis harus diberikan. Pemilihan anti hipertensi lebih dianjurkan secara
individual berdasarkan patofisiologi, hemodinamik, kerusakan organ target, adanya penyakit
penyerta, demografik, efek samping obat, kepatuhan terhadap regimen pengobatan, dan biaya
pengobatan.

Terapi tekanan darah yang harus dicapai dalam mmHg:


 Hipertansi tanpa komplikasi  < 140 / 90
 DM, penyakit ginjal  < 130 / 80
 Proteinuria (> 1 gr / 24 jam)  < 125 / 75
 Aortic Disection  < 120 / 80

Tabel 5. Klasifikasi obat anti hipertensi

Dosis mg/hari
Klasifikasi Nama Obat
(frekwensi sehari)
Thiazide diuretics Chlorothiazide (Diuril) 125 – 500 (1)
Chlorthalidone 12.5 – 25 (1)
Hydrochlorothiazide 12.5 – 50 (1)
Indapamide 1.25 – 2.5 (1)
Loop diuretics Furosemide 20 – 80 (2)

137
Potassium-sparing diuretics Amiloride 5 – 10 (1-2)
Triamterene 50 – 100 (1-2)
Aldosterone receptor blockers Spironolactone 25 – 50 (1-2)
Beta-blockers Atenolol 25 – 100 (1)
Bisoprolol 2.5 – 10 (1)
Metoprolol 50 – 100 (1-2)
Metoprolol extend release 50 – 100 (1)
Propanolol 40 – 160 (2)
Combined alpha – and beta Carvedilol 12.5 – 50 (2)
blockers Labetalol 200 – 800 (2)
ACE-I
Captopril 25 – 100 (2)
Enalapril 2.5 – 40 (1-2)
Fosinopril 10 – 40 (1)
Lisinopril 10 – 40 (1)
Perindopril 4 – 8 (1-2)
Quinapril 10 – 40 (1)
Ramipril 2.5 – 20 (1)
Trandolapril 1 – 4 (1)
Angiotensin II antagonists Candesartan 8 – 23 (1)
Irbesartan 150 – 300 (1)
Losartan 25 – 100 (1-2)
Telmisartan 20 – 80 (1)
Valsartan 80 – 320 (1)
Calcium channel blockers – Diltiazem extended release
180 – 420 (1)
non-Dihydropyridines Verapamil immediate
80 – 320 (2)
release
120 – 360 (1-2)
Verapamil long acting
120 – 360 (1)
Verapamil

Tabel 5. Lanjutan klasifikasi obat anti hipertensi

Dosis mg/hari
Klasifikasi Nama Obat
(frekwensi sehari)
Clacium channel blockers – Amlodipine 2.5 – 10 (1)
Dihydropyridines Feldipine 2.5 – 20 (1)
Nicardipine 60 – 120 (2)
Nifedipine 30 – 60 (1)
Alpha1-blockers Doxazosin 1 – 16 (1)
Prazosin 2 – 20 (2-3)
Central alpha2-agonists and Clonidine • – 0.8 (2)
other centrally acting drugs Methyldopa 250 – 1.000 (2)
Reserpine 0.05 – 0.25 (1)
Direct vasodilators Hydralazine 25 – 100 (2)

138
Pedoman pemilihan monoterapi atau kombinasi

Terapi monoterapi tidak tergantung jenis obat yang diberikan, biasanya hanya bisa mencapai
target tekanan darah pada jumlah pasien yang terbatas. Penggunaan lebih dari satu obat yang
diinginkan untuk mencapai target tekanan darah pada mayoritas pasien. Pemilihan
monoterapi dapat diberikan pada peningkatan tekanan darah yang ringam (derajat 1) dengan
resiko kardiovaskular yang ringan atau sedang. Pada pasien dengan tekanan darah awal
derajat 2 atau resiko kardiovaskular tinggi, maka kombinasi dua obat dengan dosis rendah
lebih dianjurkan sebagai terapi awal.
Thiazide diuretics

Angiotensin receptor
β - blockers
antagonists

α - blockers Calcium antagonists

ACE Inhibitors

Gambar 1. Kombinasi rasional obat anti hipertensi


Pedoman dasar pemberian obat pada pasien dengan indikasi khusus

Tabel 6. Obat pada kondisi khusus


Obat yang direkomendasikan
Kondisi khusus Aldosteron
Diuretik β-Blocker ACE-I ARB CCB
Antagonis
Gagal jantung + + + + +
Post Infark
+ + +
Miokard
Resiko tinggi
+ + + +
koroner
DM + + + + +
Penyakit ginjal
+ +
kronik
Pencegahan
+ +
stroke berulang

139
Terapi pada penderita dengan penyakit penyerta

Tabel 7. Seleksi Obat anti hipertensi


Karakteristik
Obat yang dianjurkan Obat yang kurang dianjurkan
penderita
Verapamil, β-blocker, ACE-I, α-
Usia < 50 thn -
blocker, ARB
Diuretik thiazide,
Usia > 65 thn Agonis α sentral
dihidropiridine, ACE-I, ARB
African - American Diuretik thiazide, Ca-antagonis β-blocker, ACE-I, ARB
ACE-I, Ca-antagonis, β-blocker,
Aktif Diuretik dosis tinggi
α-blocker
Menghindari sedasi - Agonis α sentral
Non-komplian Obat dosis sekali sehari Agonis α sentral
Hipertensi sistolik Diuretik thiazide, β-blocker,
-
terisolasi dihidropiridine
ACE-I, Ca-antagonis, α-blocker, β-blocker (ISA), hidralazin,
Hipertrofi ventrikel
ARB minoksidil
Dihidropiridine (kec.
Verapamil, diltiazem, ACE-I, β-
PJK Vasospasme), vasodilator
blocker (non-ISA)
langsung
Paska Infark ACE-I, β-blocker (non-ISA),
-
Miokard diuretik
Gagal jantung ACE-I, Diuretik thiazide, β-
-
kongestif blocker, α-blocker
Disfungsi sistolik CrCl= > 30ml/mnt : loop
Ca-antagonis
(EF= 35-40%) diuretik
CrCl= < 30ml/mnt : carvedilol,
Disfungsi diastolik Dihidropiridine, β-blocker
β-blocker (non-ISA), verapamil,
(EF= 35-40%) (ISA), diuretik
diltiazem
Diltiazem, Verapamil, β-blocker
SVT -
(non-ISA)
Sindroma WPW Diltiazem, Verapamil
Diltiazem, Verapamil, β-
Bradikardia (SSS)
blocker
ACE-I, Diuretik, β-blocker
CVD Agonis α sentral
(ISA), α-blocker
DM / intoleransi ACE-I, Ca-antagonis, Diuretik,
-
glukosa α-blocker
ACE-I, indapamide, Ca-
Diuretik thiazide, β-blocker
Hiperkolesterolemia antagonis, α-blocker, β-blocker
(non-ISA)
(ISA),
Diuretik thiazide, β-blocker
Hipertrigliseridemia -
(non-ISA)
Migrain Ca-antagonis, β-blocker -
Riwayat depresi - Agonis α sentral, β-blocker
Penyakit vaskular
ACE-I, Ca-antagonis, α-blocker β-blocker
perifer
Insufisiensi ginjal Loop diuretik, Ca-antagonis, Diuretik thiazide

140
ACE-I (hati-hati), indapamide,
metalasone, minoksidil
Ca-antagonis, ACE-I (selain
Penyakit kolagen Metildopa, hidralazine
Captopril)
Gout - Diuretik thiazide
Asma - β-blocker
Osteoporosis Diuretik thiazide -
BPH α-blocker, -
Wanita Hamil Metildopa, hidralazine ACE-I

141
36. HIPERTENSI PADA KEADAAN KHUSUS

Pasien hipertensi dan disertai kelainan yang menyertainya memerlukan perhatian khusus dan
pemantauan oleh tenaga medis.

Indikasi khusus
Tabel 4 memperlihatkan indikasi khusus yang membutuhkan obat antihipertensi tertentu pada
pasien dengan resiko tinggi. Pemilihan obat pada keadaan ini berdasarkan uji klinis dengan
hasil yang terbukti baik untuk pasien. Pada beberapa keadaan, kadang diperlukan kombinasi
obat. Hal lain yang harus diperhatikan termasuk obat yang sedang digunakan, toleransi obat,
dan target tekanan darah yang diinginkan.

Penyakit Jantung Iskemik


Penyakit jantung iskemik adalah kelainan organ target yang paling sering timbul menyertai
hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi dan angina pectoris yang stabil, pilihan pertama
adalah penyekat beta. Pilihan lainnya adalah antagonis Ca long acting. Pada pasien dengan
sindroma koroner akut (Unstable Angina Pectoris atau Acute Myocardial Infarction)
penanganan hipertensi harus dimulai dengan pemberian penyekat beta dan penghambat EKA
dan dapay ditambahkan obat lainnya untuk mengontrol tekanan darah. Pada pasien dengan
Post Myocardial Infarction, penghambat EKA, penyekat beta dan antagonis aldosteron
terbukti sangat bermanfaat. Dilakukan pengelolaan kadar lipid darah dan juga diberikan
aspirin.

Gagal Jantung
Gagal jantung baik pada keadaan disfungsi ventrikel sistolik maupun diastolic, secara
langsung merupakan akibat dari hipertensi sistolik dan penyakit jantung sistemik. Kontrol
tekanan darah dan kolesterol merupakan pencegahan utama pada mereka dengan resiko tinggi
untuk terjadinya gagal jantung. Pasien asimptomatik dengan disfungsi ventrikel
direkomendasikan untuk diberi penghambat EKA dan penyakit beta. Sedangkan pasien
simptomatik dengan disfungsi ventrikel atau penyakit jantung stadium akhir
direkomendasikan untuk diberi penghambat EKA, penyekat beta, penyekat reseptor
angiotensin II (ARB), penyekat aldosteron, dan loop diuretic.

Hipertensi Diabetik
Pada keadaan ini diperlukan kombinasi dari dua atau lebih obat, untuk mencapai target
tekanan darah < 130/80 mmHg. Diuretik golongan tiazide, penyekat beta, penghambat EKA,
ARB, dan penyekat antagonis Ca, bermanfaat untuk mengurangi kejadian penyakit
kardiovaskular dan stroke pada pasien diabetes. Pemberian penghambat EKA atau ARB
merupakan dasar untuk mencegah progresifitas diabetic nefropati dan mengurangi
albuminuria, dan ARB terbukti keberhasilannya untuk menurunkan makroalbuminuria.

Penyakit Ginjal Kronik


Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik didefinisikan memenuhi salah satu dari kriteria
sbb:
 Penurunan fungsi ekskresi dengan GFR dibawah 60 ml/min per 1,73m2 (sama dengan
kadar kreatinin > 1,5 mg/dl pada ♂ atau >1,3 mg/dl pada ♀)
 Keadaan albuminuria ( >300 mg/hari atau 200 mg albumin/g kreatinin)

142
Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah perburukan fungsi ginjal dan pencegahan
penyakit kardiovaskular. Umumnya pasien gagal ginjal kronik disertai hipertensi dan harus
mendapatkan pengobatan yang agresif, bahkan seringkali diberikan tiga jenis obat atau lebih
unutk mencapai TD <130/80 mmHg. Penghambat EKA dan ARB telah menunjukkan hasil
yang baik pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik dan nondiabetik. Kenaikan kadar
kreatinin serum sampai 35% di atas kadar normal dengan pemberian penghambat EKA atau
ARB masih dapat ditoleransi, dan ini bukan alasan untuk menghentikan pengobatan kecuali
pada keadaan hiperkalemi. Pada keadaan penyakit ginjal lanjut (GFR <30 ml/menit per 1,73
m2, sesuai kadar kreatinin serum 2,5-3 mg/dl) diperlukan peningkatan dosis dari loop
diuretics yang dikombinasikan dengan obat dari kelas lainnya.

Penyakit Cerebrovaskular
Keuntungan dan kerugian penurunan tekanan darah secara akut pada serangan stroke yang
akut masih belum jelas, mempertahankan tekanan darah pada level intermediate (sekitar
160/100 mmHg) dianjurkan sampai keadaan stabil atau lebih baik. Angka kejadian stroke
berulang dapat diturunkan dengan kombinasi penghambat EKA dan diuretic golongan
thiazide

Obesitas dan Sindroma Metabolik


Obesitas (BMI ≥ 30) akan meningkatkan faktor resiko terjadinya hipertensi dan penyakit
kardiovaskular. Sindroma metabolik didefinisikan adanya tiga atau lebih keadaan sbb:
1. Obesitas abdominal (lingkar perut > 40 inci pada ♂ atau > 35 inci pada ♀)
2. Intoleransi glukosa (gula darah puasa ≥ 110 mg/dl)
3. Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg
4. Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl
5. Kadar LDL < 40 mg/dl pada ♂ atau < 50 mg/dl pada ♀)
Modifikasi gaya hidup harus dilakukan pada semua pasien sindroma metabolik dan
penggunaan obat-obatan ditujukan pada masing-masing kelainannya.

Hipertrofi Ventrikel Kiri


Hipertrofi ventrikel kiri yang independent yang selanjutnya meningkatkan resiko kejadian
penyakit kardiovaskular. Perbaikan dari LVH dapat dilakukan dengan kontrol TD, penurunan
BB, restriksi garam dan pemberian semua kelas obat anti hipertensi secara tepat, kecuali
vasodilator langsung seperti hidralazine dan minoxidil.

Penyakit Arteri Perifer (PAD)


Berbagai kelas obat anti hipertensi dapat digunakan pada pasien PAD. Faktor resiko lainnya
harus ditangani secara agresif dan diberi aspirin.

Hipertensi pada Orangtua


Kejadian hipertensi terjadi pada lebih dari ⅔ populasi diatas 65 tahun. Rekomendasi
pengobatan pada orangtua dengan hipertensi termasuk didalamnya hipertensi termasuk
didalamnya hipertensi sistolik isolated, harus mengikuti pengobatan hipertensi secara umum.
Pada beberapa pasien diperlukan pemberian dosis awal yang rendah untuk menghindari
gejala yang tidak diinginkan, tetapi umumnya dosis standar dan pemberian kombinasi obat-
obatan dapat diberikan pada orangtua untuk mencapai TD yang diinginkan.

143
Hipotensi Postural
Penurunan SBP > 10 mmHg pada saat berdiri yang disertai pusing atau pingsan, lebih sering
terjadi pada orangtua dengan hipertensi sistolik, diabetes dan mereka yang sedang makan
obat diuretic, venodilator (seperti nitrat, penyekat alfa dan sildenafil) dari beberapa obat
psikotropika. Monitoring TD pada pasien ini harus dilakukan pada saat berdiri.

Demensia
Demensia dan gangguan kognitif umumnya terjadi pada pasien hipertensi. Gangguan kognitif
ini dapat dihambat dengan pemberian obat anti hipertensi.

Hipertensi pada Wanita


Kontrasepsi oral dapat meningkatkan TD dan lamanya pemakaian akan meningkatkan resiko
terjadi hipertensi. Diperlukan pengukuran TD secara teratur pada pengguna kontrasepsi oral.
Timbulnya hipertensi menjadi alasan untuk memilih jenis kontrasepsi yang lain. Hal yang
berbeda, penggunaan terapi hormone pengganti tidak meningkatkan TD.

Wanita yang menderita hipertensi kemudian hamil, harus di follow up secara teliti karena
meningkatnya resiko terhadap ibu dan janin. Metildopa, penyekat beta dan vasodilator
merupakan obat yang dianjurkan diberi dan aman untuk janin. Penghambat EKA dan ARB
tidak boleh diberikan selama kehamilan karena dapat menimbulkan cacat janin.

Preeklampisia terjadi setelah 20 minggu kehamilan, ditandai timbulnya atau perburukan


hipertensi, albuminuria dan hiperurisemia, juga disertai kelainan koagulasi. Keadaan
preeclampsia juga disertai dengan hipertensi urgensi atau emergensi dan memerlukan
perawatan di rumah sakit, monitoring intensif, persalinan lebih awal, pemberian anti
hipertensi dan antikonvulsan secara parenteral.

Hipertensi pada Anak & Dewasa Muda


Pada anak-anak & dewasa muda, hipertensi didefinisikan bila TD, dengan pengukuran
berulang berada pada persentil 95 atau lebih, sesuai umur, tinggi badan dan kelamin. Bunyi
Korotkoff kelima digunakan untuk menentukan DBP. Tenaga medis harus jeli
mengidentifikasi penyebab hipertensi pada anak (seperti penyakit ginjal, koartasio aorta).
Modifikasi gaya hidup sangat dianjurkan, pemberian obat anti hipertensi diberikan pada
keadaan TD yang tinggi dan tidak respon dengan modifikasi gaya hidup. Pemilihan obat anti
hipertensi hampir sama pada orang dewasa dan anak, hanya dosis efektif lebih kecil pada
anak. Hipertensi tanpa komplikasi jangan dijadikan alasan untuk mengurangi aktivitas anak,
karena long term exercise dapat menurunkan TD. Penggunaan steroid anabolic harus
dihindarkan. Usaha pencegahan lainnya harus terus dilakukan seperti modifikasi faktor resiko
(missal berhenti merokok).

144
Daftar Pustaka
1. JNC 7 express. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, Desember 2003.
2. Guideline for the management for the management of arterial hypertension, European
heart journal (2007), 28;1462-1536.
3. WHO. Clinical guidelines for the management of hypertension. Cairo. 2005
4. Standar pelayanan medik RS Jantung Harapan Kita, 2007.

145
37. HIPERTENSI KRISIS

Definisi
Krisis hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara akut ataupun secara tiba-tiba
dengan tekanan darah sistolik > 180/120 mmHg. Krisis hipertensi dibagi atas 2 bagian, yaitu:
hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. Pada hipertensi emergensi dijumpai gangguan
target organ yang akut (Cth. Encephalopathy, infark miokard akut, angina tidak stabil, edema
paru, eklampsia, stroke, trauma kepala, perdarahan arteri yang memerlukan bantuan, atau
diseksi aorta), memerlukan perawatan rumah sakit dan diberikan pengobatan secara
parenteral. Hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba tanpa
disertai gangguan pada target organ secara akut. Biasanya tidak memerlukan perawatan
rumah sakit, tetapi harus menerima terapi kombinasi dengan menggunakan obat-obatan anti
hipertensi secara oral.

Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan mengarah pada ada tidaknya keterlibatan target organ sehingga
dapat mempengaruhi tatalaksana pasien apakah digolongkan pada hipertensi emergensi atau
urgensi. Pada gangguan kardiovaskular anamnesis diarahkan pada ada atau tidaknya gejala
yang mengarah pada gagal jantung atau sindroma koroner akut. Gejala lain adalah adanya
nyeri dada atau nyeri abdomen yang mengarah pada diseksi aorta.

Faktor Resiko
 Usia (laki-laki > 55 tahun; wanita > 65 tahun)
 Merokok
 Dislipidemia
 Kadar gula darah puasa (102 – 125 mg/dl)
 Kadar gula darah tes toleransi yang abnormal
 Abdominal obesitas (lingkar pinggang > 102 cm pada laki-laki; > 88 cm pada wanita)
 Riwayat kejadian kardiovaskular prematur (Laki-laki usia < 55 tahun; wanita < 65
tahun)

Pemeriksaan Penunjang
 Darah rutin
 Ureum dan kreatinin, CrCL
 Urinalisis
 Kadar gula darah sewaktu, dilanjutkan dengan kadar gula darah puasa dan 2 jam PP
 Kolesterol total, LDL HDL, Trigliserida
 Enzim jantung
 EKG
 Foto thoraks

Terapi
Penanganan Hipertensi Urgensi
Penanganan hipertensi urgensi biasanya hanya diberikan pemberian obat anti hipertensi
kombinasi. Rekomendasi pemberian obat-obatan anti hipertensi yang bekerja jangka panjang,
dimana tujuan penurunan tekanan darah sampai mencapai normal dicapai dalam waktu 48
jam. Obat-obatan yang bekerja cepat seperti pemberian nifedipin sublingual sudah
ditinggalkan.

146
Tabel 1. Keadaan yang dapat menyertai hipertensi urgensi
1. Accelerated and Maliganant Hypertension
2. Hipertensi pasca bedah
3. Hipertensi yang tidak terkontrol pada penderita yang membutuhkan pembedahan akut
4. Hipertesi yang disertai penyakit jantung koroner

Tabel 2. Obat-obat anti hipertensi oral untuk penanganan hipertensi urgensi


Obat Golongan Dosis (mg) Keterangan
Captopril Penghambat EKA 25-50 Diberikan oral/sublingual. Efek
maksimal dalam 30-90 menit.
Penurunan tekanan berlebihan pada
pasien dengan status volume kurang
tidak direkomendasikan pada stenosis
arteri renalis.
Nitrogliserin Vasodilator 1,25-2,5 Sublingual. Efek maksimal dalam 15-
30 menit. Direkomendasikan pada
pasien penyakit jantung iskemik.
Nikardipin Antagonis kalsium 30 Pemberian oral/sublingual. Hanya
menyebabkan sedikit peningkatan laju
jantung dan menyebabkan penurunan
tekanan darah yang lebih lambat dan
bertahan lama dibanding nifedipin.
Dapat menyebabkan hipotensi & muka
merah.
Klonidin Agonis α 0,1-0,4 Pemberian oral. Efek maksimal dalam
1-4 jam. Menyebabkan kantuk,
melayang, mulut kering dan hipertensi
akibat putus obat.
Furosemide Diuretik 40-80 Pemberian oral. Walaupun tidak
diberikan pada saat awal, biasa
diberikan setelah obat-obat anti
hipertensi lain digunakan.

Penanganan Hipertensi Emergensi


Pada hipertensi emergensi, tujuan utamanya adalah menurunkan tekanan arteri rata-rata
(MAP) sistolik 25% dalam waktu beberapa menit atau menurunkan tekanan darah sampai
160/100 mmHg dalam waktu 2 – 6 jam. Ketika tekanan darah dapat terkendali, dan keadaan
akut pada target organ dapat teratasi, pemberian obat anti hipertensi dengan oral dapat
dimulai, dan dosis obat anti hipertensi secara intravena dapat dikurangi.

Tabel 3. Keadaan yang dapat menyertai hipertensi emergensi


 Hipertensi Ensefalopati
 Kejadian Intracranial Akut
 Diseksi Aorta Akut
 Sindroma Koroner Akut (angina tidak stabil/infark miokard akut)
 Gagal Jantung Kiri Akut
 Krisis Feokromositoma
 Eklampsia

147
Tabel 4. Obat-obat parenteral untuk penanganan hipertensi emergensi
Onset Masa
Obat Golongan Dosis Efek samping
kerja kerja
Mual, hipotensi,
Vasodilator 1-2 menit
Sodium 0,25-10 keracunan tiosianat
arteri & Segera setelah
nitroprusid mg/kgBB/mnt dan sianida,
vena distop
methemoglobulinemia
Vasodilator
Sakit kepala, mual,
Nitrogliserin arteri & 5-100 mg/mnt 1-5 mnt 3-5 mnt
takikardi, muntah
vena
Hipotensi, takikardi,
Antagonis 5-15 30-40
Nicardipin 5-15 mg/jam mual muntah, muka
kalsium mnt mnt
merah
10-20 mg IV Peningkatan curah
10-50 mg IM 5-30 jantung & laju
Hidralazin Vasodilator 3-9 jam
ulang setiap 4-6 mnt jantung, sakit kepala,
jam angina.

DAFTAR PUSTAKA
1. JNC 7 express. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, Desember 2003.
2. Guideline for the management for the management of arterial hypertension, European
heart journal (2007), 28;1462-1536.
3. WHO. Clinical guidelines for the management of hypertension. Cairo. 2005
4. Standar pelayanan medik RS Jantung Harapan Kita, 2007.

148
38. DEMAM REMATIK

Definisi
Reaksi peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi kuman streptococcus group A β-
haemolytic, yang meliputi berbagai organ (antara lain jantung, persendian, sistem syaraf
pusat).

Kategori Diagnostik
Demam rematik dan penyakit jantung rematik berdasarkan Kriteria Jones yang direvisi
dikategorikan menjadi enam kategori diagnostik:
1. Demam rematik episode pertama
2. Pasien demam rematik berulang tanpa penyakit jantung rematik
3. Pasien demam rematik berulang dengan penyakit jantung rematik
4. Rematik khorea
5. Rematik Karditis
6. Penyakit jantung rematik kronis

Kriteria Diagnosis
Kategori diagnostik Kriteria
Episode primer demam rematika Manifestasi 2 mayor* atau 1 mayor + 2
minor**
Ditambah dengan bukti adanya infeksi
Streptokokus grup A***
Demam rematik berulang pada pasien Manifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2
tanpa penyakit jantung rematikb minor
Ditambah dengan bukti adanya infeksi
Streptokokus grup Ac
Demam rematik berulang pada pasien 2 Minor ditambah dengan bukti adanya
dengan penyakit jantung rematik infeksi streptokokus grup A***
Rematik khorea Manifestasi mayor lainnya atau bukti
Rematik karditis adanya infeksi streptokokus grup A tidak
diperlukan
Lesi katup kronik dari penyakit jantung Tidak memerlukan kriteria lainnya untuk
rematik (pasien datang pertama kali diagnosa penyakit jantung rematik.
dengan mitral stenosis atau penyakit
katup mitral disertai dengan atau tanpa
penyakit katup aorta)d
* Kriteria Mayor - Karditis
- Poliartritis migrans
- Khorea
- Eritema marginatum
- Nodul subkutan
**Kriteria Minor - Klinis : fever, polyarthralgia
- Laboratorium:
o Peningkatan penanda inflamasi akut
(LED atau leukositosis)

149
*** Data yang mendukung adanya - Interval PR (pada EKG) memanjang
Infeksi Streptokokus grup A - Peningkatan ASTO
Dalam 45 hari sebelumnya - Kultur tenggorokan positif
- Rapid antigen test untuk Streptokokus grup A
- Recent Scarlet Fever
a
pasien dengan poliartritis (atau hanya poliartralgia atau monoartritis) dengan beberapa (3
atau lebih) manifestasi minor,beserta bukti adanya infeksi baru dari streptokokus grup A
b
infektif endokarditis telah disingkirkan
c
Pasien dengan serangan berulang kemungkinan tidak dapat memenuhi kriteria
d
Penyakit Jantung bawaan harus disingkirkan4

Gambaran Klinis Rematik Karditis


Pericarditis:
Friction rub (+): Efusi perikardium pada pemeriksaan ekokardiogram; disertai adanya
keterlibatan penyakit katup. Pericarditis merupakan diagnostik penyakit jantung rematik pada
episode primer dan rekuren demam rematik.
Miokarditis:
Gagal jantung yang tidak jelas penyebabnya, hampir selalu disertai kelainan katup. Fungsi
ventrikel kiri jarang terganggu. Penyakit jantung Rrmatik dengan gagal jantung dan
manifestasi minor serta peningkatan ASTO merupakan data yang mendukung untuk karditis
rematik.
Endokarditis/Valvulitis:
Pada pasien tanpa riwayat penyakit jantung rematik, ada bising regurgitasi mitral (dengan
atau tanpa bising mid diastolik di apeks, carey coombs)
Pada penderita riwayat penyakit jantung rematik, ada perubahan karakteristik bising atau
bising baru.

Diagnosis Banding
 Penyakit jantung katup disertai infeksi banal
 Penyakit sistemik (Lupus Eritematosis)
 Rheumatoid arthritis
 Ankilosing spondilitis

Pemeriksaan Yang Diperlukan


1. Pemeriksaan dasar:
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 EKG
 Foto rontgen dada
 Laboratorium: darah rutin, LED, CRP, ASTO, kultur swab tenggorokan
2. Pemeriksaan penunjang: ekokardiografi

Terapi
Tatalaksana demam rematik aktif atau reaktif adalah sebagai berikut:
 Penatalaksanaan umum
Tirah baring
Pasien dengan demam rematik aktif harus tirah baring dan dilanjutkan dengan
mobilisasi bertahap yang lamanya tergantung pada kondisi jantungnya.

150
Kelompok Klinis Tirah Baring Mobilisasi Bertahap
(minggu) (minggu)
Karditis (-) 2 2
Artritis (+)
Karditis (+) 4 4
Kardiomegali (-)
Karditis (+) 6 6
Kardiomegali (+)
Karditis (+) >6 >12
Payah Jantung (+)

 Eradikasi kuman streptokokus group A, kemudian harus dilanjutkan dengan prevensi


sekunder jangka panjang.
- Benzatin Penisilin : 1,2 juta U IM, (BB <27kg 600.000 U IM)
- Penoxymethil penicillin (penicillin V) (selama 10 hari)
Dewasa : 750-1000 mg/hari dibagi 2-4 dosis
Anak : 2-3 x 250mg
- Amoxicillin (selama 10 hari) : 25-50 mg/kgbb/hr dibagi 3dosis (max. Dos 750-
1000 mg/hr)
Bila alergi penicillin
- Erythromycin ethylsuccinate (selama 10 hari)
 Anti radang untuk karditis dan poliartritis migrans
- Prednison : 2mg/kg/hari (max 80mg/hr) selama 2 minggu kemudian disapih 20-
50% tiap minggu, atau
- Salisilat : 100mg/kg dibagi 4-5 dosis (max 6grm/hari) selama 2
minggu, kemudian 60-70mg/kg/hr selama 3-6 minggu.
 Payah jantung
Bila ada payah jantung harus diberikan restriksi cairan, diet rendah garam, obat anti
gagal jantung, yaitu diuretika, penghambat EKA, dan digoxin.
 Khorea
Khorea dapat hilang sendiri setelah dilakukan tirah baring dan eradikasi kuman
streptokokus. Bila perlu dapat diberikan pengobatan simtomatik, yaitu klorpromazin,
diazepam, atau haloperidol.
 Tindakan Bedah
Jarang dilakukan pada keadaan akut, kecuali bila medikamentosa gagal. Bila
diperlukan tindakan bedah, biasanya dilakukan 3 bulan setelah demam rematik
dinyatakan tenang. Sedangkan indikasi operasi pada penyakit jantung rematik sesuai
dengan standar pelayanan medis (bab standard pelayanan katup).

Antibiotika untuk Prevensi Sekunder


Benzathine Benzylpenicillin 1,2juta U IM, (BB<27kg 600.000 U IM) setiap 3-
4/minggu
Penicillin V 2x250mg
Bila alergi penicilin
Sulfadiazine 1grm/hr (BB<30kg)
500 mg/hr (BB<30kg)
Erythromycin 2x250mg

151
Tabel. Lama pemberian Antibiotika untuk prevensi sekunder
Kategori pasien Durasi profilaksis
- Pasien tidak terbukti karditis - 5 tahun setelah serangan terakhir atau
hingga usia 18 tahun (dipilih yang lebih
lama)
- Pasien dengan karditis (regurgitasi mitral - 10 tahun setelah serangan terakhir atau
atau pernah karditis) hingga usia 25tahun (dipilih yang lebih
lama)
- Kelainan katup yang lebih berat - Seumur hidup
- Setelah operasi katup - Seumur hidup

Perawatan
 Penderita dengan gagal jantung berat dirawat di ruang perawatan intensif.
 Bila sudah membaik, dirawat di ruang perawatan biasa. Lama perawatan dan
mobilitas tergantung pada kondisi jantung.

Penyulit Yang Mungkin Timbul


 Payah jantung
 Efusi pericardial sampai tamponade

Prosedur tindakan-tindakan yang diperlukan dalam penanganan


 Pungsi pericardial
 Bila pengobatan gagal jantung gagal dan kondisi pasien memburuk maka VMB,
operasi perbaikan dan penggantian katup dapat dilakukan segera walaupun pasien
dalam fase demam reumatik yang aktif.

Sarana baku
 EKG
 Foto rontgen dada
 Laboratorium

Daftar Pustaka :
1. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO
Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29
October–1 November 2001.
2. Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita Jakarta 2009

152
39. REGURGITASI MITRAL

Kriteria Diagnosis:
1. Anamnesis: Keluhan berupa berdebar karena takikardia/fibrilasi atrium, dipsneu,
takipneu, ortopneu, riwayat reuma.
2. Pemeriksaan fisik: Bising pansistolik dari apeks ke axilla, S1 melemah, P2 mengeras
bila telah terjadi hipertensi pulmonal. Pada palpasi impuls apeks cordis kuat dan
bergeser ke lateral.
3. EKG : P mitral, hipertrofik Ventrikel kiri, atrial fibrilasi
4. CXR : Pembesaran atrium kiri, ventrikel kiri dan tanda-tanda bendungan vena
pulmonalis, kalsifikasi annulus mitral yang berbentuk C-shape.
5. Labotarium: Pemeriksaan khusus untuk menegakkan ada tidaknya reuma aktif,
leukositosis, ASTO, CRP.
6. Ekokardiografi: Dilatasi atrium kiri & ventrikel kiri, gambaran katup dan korda,
derajat keparahan regurgitasi.

Mekanisme regurgitasi mitral dapat dibedakan yaitu :


1. Abnormalitas fungsional
Pada kondisi ini struktur katup dalam batas normal, MR terjadi akibat kombinasi
dilatasi annulus mitral dan disfungsi muskulus papilaris.
2. Abnormalitas struktural
a. Kalsifikasi annulus
Sering terjadi pada wanita usia tua, pasien diabetes, atau paget disease
b. Kelainan daun katup
Sering disebabkan oleh demam rematik, endokarditis infektif atau katup yang floppy.
c. Ruptur chorda tendineae
Sering idiopatik, degenerasi myxomatous pada sindroma floppy valve.
Regurgitasi mitral dapat dibagi menjadi :
a.Mitral regurgitasi akut
b.Mitral regurgitasi kronik
 Mitral regurgitasi kompensasi kronik
 Mitral regurgitasi dekompensasi kronik

153
Tabel 1.Penyebab regurgitasi Mitral

Chronic
Inflammatory
Rheumatic heart disease
Systemic lupus erythematosus
Progressive systemic sclerosis
Methysergide therapy
Degenerative
Myxomatous degeneration of the valve
Calcification of the mitral valve annulus
Marfan syndrome
Ehlers-Danlos syndrome
Pseudoxanthoma elasticum
Ankylosing spondylitis
Infiltrative amyloidosis
Infectious
Infectious endocarditis
Structural
Ruptured chordae tendineae (acute MR that can become chronic)
Dysfunction of a papillary muscle: ischemia (acute MR that can become chronic)
Dilatation of mitral valve annulus secondary to LV dilatation (cardiomyopathy)
Hypertrophic cardiomyopathy
Paravalvular prosthetic valve leak
Congenital
Cleft mitral valve (associated with other congenital heart diseases [e.g., primum atrial septal
defect])
Parachute mitral valve (associated with other congenital heart diseases [e.g., endocardial
cushion defect, endocardial fibroelastosis, transposition of the great arteries])
Acute
Structural
Trauma
Dysfunction or rupture of a papillary muscle (ischemic heart disease)
Prosthetic valve malfunction with paravalvular leak or leaflet malfunction or disruption
Infectious
Infectious endocarditis
Acute rheumatic fever
Degenerative
Myxomatous degeneration with chordal rupture
Abbreviation: LV, left ventricular; MR, mitral regurgitation.

Penampilan Klinis :
A. Mitral regurgitasi akut
Peningkatan tekanan atrium yang tiba-tiba langsung ditransmisikan ke vaskular
pulmoner dan menyebabkan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Peningkatan tekanan
hidrostatik di kapiler pulmoner menyebabkan cairan berpindah dari vaskuler ke
instertitial dan alveoli. Gejala kongesti paru seperti : sesak nafas, orthopnoe,. Tekanan di
atrium kiri yang meningkat secara signifikan mengakibatkan penurunan perbedaan
tekanan antara ventrikel kiri dan atrium kiri, sehingga murmur terdengar kecil dengan
durasi yang pendek.

154
B. Mitral regurgitasi kronis
Seringkali pasien asimptomatis selama beberapa tahun. Gejala akan timbul setelah terjadi
penurunan curah jantung, yaitu cepat lelah, lemah, sesak nafas saat beraktifitas, diikuti
tanda-tanda gagal jantung kanan

Diagnosis Banding
1. Pemeriksaan auskultasi yang menyerupai RM
2. Holosistolik murmur pada regurgitasi tricuspid dan defek septum ventrikel

Pemeriksaan Yang Diperlukan


1. Pemeriksaan dasar:
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 EKG
 Foto rontgen dada
 labotarium
2. Pemeriksaan penunjang:
 Ekokardiografi
 Penyadapan dan angiografi koroner bila usia > 40 thn

Terapi
A. Pengelolaan Medik
1. Pengobatan obat-obatan untuk mengatasi keluhan atau akibat-akibat adanya
regurgitasi katup mitral
 Vasodilator, untuk mengurangi regurgitasi dapat dipakai: ACE inhibitor, alfa
bloker
 Digitalis, sebagai inotropik dan untuk memperpanjang pengisisan diastolik bila
terdapat fibrilasi atrium: Lanoksin i.v. / oral
 Diuretik, untuk mengurangi cairan tubuh yang terbendung, tergantung kebutuhan,
dapat diberikan furosemide i.v. / oral
 Suplemen elektrolit, untuk mengganti elektrolit yang keluar akibat pemakaian
diuretik jangka panjang, diberikan sesuai kebutuhan: KCl infus atau kalium oral
 Antiaritmia, untuk mengatasi aritmia yang timbul terutama fibrilasi atrium, flutter
atrium, atau bila dilakukan kardioversi: cordaron, sulfas kinidin
2. Pencegahan sekunder demam reumatik
Diberikan kepada semua pasien yang pernah atau dugaan kuat pernah menderita
demam rematik, dengan karditis seumur hidup dan tanpa karditis minimal sampai
umur 25 tahun: Benzatin Penisilin injeksi atau Penisilin oral
3. Pencegahan endokarditis infektif
Diberikan kepada pasien yang mempunyai risiko terjadinya endokarditis, jika akan
menjalani tindakan potensial menyebabkan bakterimia, misal: tindakan dental, saluran
nafas, genito urinaria, gastro intestinal, vena dalam: digunakan ampisilin atau
eritromisin

B. Intervensi
Indikasi operasi pada regurgitasi mitral organic kronik yang berat (kelas I):
 Pasien simptomatik dengan LVEF > 30% dan ESD < 55mm
 Pasien asimptomatik dengan disfungsi ventrikel kiri (ESD > 45 mm dan/atau LVEF
≤60%
MVR beralasan dilakukan pada pasien (Kelas IIA) :

155
 Pasien asimptomatik dengan fungsi ventrikel kiri baik disertai fibrilasi atrial atau
tekanan sistolik arteri pulmonal saat istirahat > 50 mmHg.
 Pasien dengan disfungsi berat ventrikel kiri (LVEF < 30% dan/atau ESD > 55 mm)
dan refrakter terhadap terapi medikamentosa serta komorbiditas rendah.
 Pasien asimptomatik dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik , risiko operasi
yang rendah dan flail katup dan ESD≥40 mm.
MVR patut dipertimbangkan untuk dilakukan (kelas IIB) pada :
 Disfungsi ventrikel kiri yang berat dengan EF < 30 % dan atau ESD >55 mm yang
refrakter terhadap terapi medikamentosa serta komorbiditas rendah.
 Pasien asimptomatis dengan fungsi vetrikel kiri yang baik, risiko operasi yang rendah,
dan dilatasi atrium kiri ( volume index ≥60 ml/m2 BSA), serta sinus ritme atau
hipertensi pulmonal pada saat latihan (tekanan sistolik arteri pulmonal ≥60 mmHg
saat latihan).
Pilihan ganti katup atau reparasi katup berdasarkan:
 Reparasi katup mitral, pada penderita yang secara teknis memungkinkan dilakukan
reparasi katup mitral yaitu pada degenerasi miksoid dengan pelebaran annulus mitral.
 Penggantian katup mitral, bila kalsifikasi, fusi berat, katup yang fibrotik atau repair
yang gagal.
Jenis katup jantung:
 Katup bioprotesa
- Penderita muda / anak < 20 tahun
- Wanita yang masih ingin hamil
- Penderita dengan kontra indikasi antikoagulan (termasuk orang tua)
 Katup mekanik
- Selain penderita diatas
Perawatan
 Perawatan RM dengan : hemodinamik stabil di ruang perawatan biasa dan hemodinamik
tak stabil di ruang intensif kardiovaskular (CVCU) atau ruang semi intensif (Intermediate
ward).
 Masa pemulihan : 1-2 minggu.
 Prognosis : dubia.
Penyulit Yang Mungkin Timbul
 Keadaan curah jantung rendah
 Edema paru akut
 Gagal nafas
 Emboli otak
Tindakan Yang Diperlukan Dalam Penanganan
 Bila terjadi gagal nafas, perlu intubasi dan pemakaian ventilator
 Emboli otak perlu pemberian anti koagulan
Standar Baku Penatalaksanaan
 EKG
 Foto rontgen dada
 Echo
 Defibrillator
 Penyadapan jantung atau angiografi koroner
 Bedah jantung

156
Gambar 1. Tatalaksana regurgitasi mitral organic kronik berat

157
Daftar Pustaka:
1. Alec Vahanian, Ottavio Alfieri, Felicita Andreotti, et al. Guidelines on the
management of valvular heart disease (version 2012). European Heart journal; 2012:
2451-2496.
2. Rifqi Sodiqur, Arif Nugroho. Penyakit Katup mitral. Dalam : Lily I.Rilanto. Penyakit
Kardiovaskular. 1st ed.Jakarta : Balai penerbit FK UI,2013, p279-293
3. Christopher A. Miller, Patrick T. O’Cara, Leonard S. Lily. Valvular Heart Disease. In
: Pathophysiology of Heart Disease, ed 5. Lipponcott Williams & Wilkins; 2004: 190-
215.
4. Rodriquez Leonardo, A.Mark Gillinov. Eric J Topol. Mitral Valve Disease. In :
Cardiovascular Medicine.3rd ed. Lipponcott Williams & Wilkins.2007

158
40. MITRAL STENOSIS

Etiologi:
 Demam rematik (paling sering)
 Karsinoid
 Sistemik lupus eritematosus
 Rheumatoid arthritis
 Mukopoli-sakaridosis
 Kelainan bawaan

Klasifikasi:

Ringan  MVA 1,5 – 2,5 cm2

Sedang  MVA 1,0 – 1,5 cm2

Berat  MVA < 1,0 cm2

Penampilan Klinis:
Keluhan
 Lekas lelah
 Sesak nafas bila aktivitas (dyspnea d’effort) yang semakin memberat
 Sesak yang timbul saat tidur malam (nocturnal dyspnea)
 Seak bila berbaring (orthopnea)
 Berdebar bila disertai fibrilasi atrium
 Batuk darah (hemoptysis) bila terdapat kapiler pulmonalis yang pecah akibat
tingginya tekanan arteri pulmonalis
 Kurus pada keadaan yang berat
 Bisa disertai stroke, terutama bila ada AF yang mempermudah terbentuknya thrombus
di atrium kiri dan kemudian lepas menyumbat pembuluh darah otak
Pemeriksaan fisik
 Warna kebiruan pada pipi, dikenal sebagai wajah mitral (mitral facies) akibat curah
jantung yang rendah dalam waktu lama
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Hepatomegali
 Edema kedua tungkai
 Palpasi :
 Pulsasi nadi biasanya lemah dan kecil, mungkin tidak teratur pada AF
 Tapping apeks – teraba S1
 Bunyi jantung tambahan : opening snap mungkin teraba di samping bunyi jantung
I dan II
 Aktivitas ventrikel kanan teraba keras
 Bunyi jantung II (S2) yang keras bisa teraba
 Auskultasi :
 Bunyi jantung I (S1) yang mengeras
 Bunyi jantung II (S2) normal atau mengeras bila sudah terjadi hipertensi pulmoner
 Bunyi jantung tambahan : opening snap (OS) menandai daun katup mitral yang
masih lentur ketika membuka pada fase diastolik. Semakin pendek jarak A2
(komponen aorta pada S2) semakin berat derajat MS (mitral stenosis)
 Terdengar bising/murmur mid-diastolik di daerah apeks jantung, panjang murmur
ini mencerminkan beratnya MS. Agar lebih jelas terdengar, gunakan stetoskop
bel dan miringkan pasien ke kiri

159
 Pada MS berat dengan aliran melalui katup mitral yang kecil, S1, OS dan bising
mid diastolik mungkin tidak terdengar lagi

Pemeriksaan Penunjang:
EKG
 Dijumpai P mitral bila irama masih sinus
 Biasanya dijumpai irama dengan AF
 Aksis jantung ke kanan dengan gambaran kompleks QRS yang defleksi negatif di lead
I
 Hipertrofi ventrikel kanan dengan tanda gelombang R dominan di V1-V2 dan
gelombang S persisten di V5-V6
Foto dada
 Aorta relatif kecil
 Pinggang jantung mendatar atau bahkan mencembung (pembesaran atrium kiri)
 Apkes jantung terangkat (pembesaran ventrikel kanan)
 Pembesaran atrium kanan
 Gsmbaran kontur ganda (double contour) yang menandai pembesaran atrium kiri
 Sefalisasi sebagai tanda adanya bendungan vena-vena pulmonalis
 Penonjolan segmen pulmonal akibat pembesaran arteri pulmonalis
Ekokardiografi
 Terlihat penebalan dan pengapuran katup mitral serta apparatus subvalvular
 Gerakan katup mitral yang terbatas sehingga menyerupai kubah (dooming) pada fase
akhir diastolik
 Kadang disertai mitral regurgitasi
 Sering disertai dilatasi atrium kiri, kadang dilatasi ventrikel kanan dan atrium kanan
 Peningkatan tekanan arteri pulmonalis

Terapi
A. Pengelolaan Medik
Penggunaan obat-obatan untuk mengatasi keluhan atau akibat-akibat adanya obstruksi
katup mitral.
Penggunaan obat-obatan sebagai pencegahan sekunder demam rematik.
Penggunaan obat-obatan sebagai pencegahan terhadap endokarditis infektif.
Pengelolaan medikamentosa:
a. Obat-obatan untuk mengatasi gangguan akibat obstruksi mekanis.
 Digitalis : Digoksin
 Diuretik (Furosemide, Spironolakton) dan nitrat long acting untuk mengurangi
sesak nafas
 Suplemen elektrolit : diberikan sesuai kebutuhan : KCl/infus (tidak boleh >20
mEq/jam) atau kalium oral (KSR, Aspar K)
 Antikoagulan : Warfarin diberi sesuai target INR 2-3 pada pasien dengan AF
 Antiaritmia : Cordaron
b. Obat-obatan untuk pencegahan sekunder demam rematik.
 Penisilin V oral (Ospen)
 Sulfadiazin
c. Obat-obatan untuk pencegahan terhadap endokarditis infektif.
 Ampisilin
 Eritromisin

160
B. Intervensi
Indikasi tindakan intervensi:
Pasien mitral stenosis simptomatik (area katup < 1,5 cm2 atau 1,7-1,8 cm2 pada kasus
khusus).
Jenis intervensi:
a. Intervensi non bedah (komisurotomi mitral perkutan)
Indikasi komisurotomi mitral perkutan (KMP) pada stenosis mitral < 1,5 cm2:
o Pasien simptomatik dengan karakter klinis sesuai untuk KMP
o Pasien simptomatik yang kontraindikasi atau resiko tinggi jika operasi
o Terapi awal pasien simptomatik dengan anatomi tidak sesuai tetapi karakteristik
klinisnya sesuai
o Pasien asimptomatik dengan karakteristik sesuai dan resiko tinggi tromboemboli
atau resiko tinggi gangguan hemodinamik seperti: riwayat emboli sebelumnya,
riwayat atau fibrilasi atrial paroksismal, tekanan sistolik pulmonal > 50 mmHg
saat istirahat, perlu operasi mayor non kardiak, keinginan untuk hamil
Karakteristik yang sesuai untuk KMP adalah tanpa adanya tanda berikut:
o Karakteristik klinis : usia tua, riwayat komisurotomi, kelas NYHA IV, AF, dan
hipertensi pulmonal berat.
o Karakteristik anatomi : skor ekokardiografi > 8, skor Kornier 3, area katup sangat
kecil, regurgitasi tricuspid berat
Kontraindikasi KMP:
o Area katup mitral > 1,5 cm2
o Thrombus di atrium kiri
o Regurgitasi mitral derajat sedang atau lebih
o Kalsifikasi berat bikomisura
o Tanpa ada fusi komisura
o Bersamaan dengan kelainan katup aorta berat atau kombinasi stenosis atau
regurgitasi berat tricuspid
o Adanya penyakit jantung koroner yang memerlukan bedah pintas koroner

b. Intervensi bedah
Indikasi :
o Penderita stenosis mitral simptomatis, area katup mitral < 1,5 cm2 dengan
kontraindikasi tindakan KMP
o Penderita stenosis mitral simptomatis, area katup mitral < 1,5 cm2 dengan
karakteristik anatomi dan karakteristik klinis yang tidak sesuai untuk KMP

1. Perbaikan katup mitral


Penderita yang secara teknis memungkinkan dilakukan perbaikan/repair katup
mitral (komisurotomi, valvulotomi, anuloplasti, rekonstruksi kordae/ muskulus
papilaris). Biasanya pada degenerasi miksoid dengan annulus yang melebar.
2. Penggantian katup mitral
Katup Bioprotesa: untuk penderita muda < 20 tahun, wanita yang masih ingin
hamil, penderita yang kontraindikasi antikoagulan (termasuk orang tua)

161
Gambar . Tata Laksana Mitral Stenosis
Penilaian skoring Wilkinson
Penilaian mengenai sesuai tidaknya untuk dilakukan intervensi perkutan Ballon Mitral
Valvuloplasty (BMV) salah satunya ditentukan dengan penilaian skor Wilkin dengan
menggunakan ekokardiografi. Skor maksimal adalah 16 dengan nilai <8 berarti angka
keberhasilan BMV baik, sedangkan skor >10 menunjukkan kemungkinan
keberhasilan BMV yang kurang baik.

162
Parameter penilaian skoring Wilkinson dengan ekokardiografi:
1 2 3 4
Gerakan katup Gerakan katup Gerakan katup Gerakan katup Tidak terdapat
mobile dengan masih normal ke arah ventrikel gerakan katup
bagian ujung pada basal saat diastolic atau gerakan
katup saja yang sampai setengah terutama bagian minimal saja
terhambat bagian katup basal pada saat
diastolik
Ketebalan Ketebalan katup Penebalan Penebalan Penebalan katup
masih normal ringan pada tepi menyebar ke yang cukup
(4-5 mm) sampai batas seluruh bagian bermakna (>8-
bagian tengah katup (5-8 mm) 10 mm)
(5-8 mm)
Kalsifikasi Sebagian kecil Bagian ekogenik Ekogenik yang Ekogenik yang
bagian katup yang menyebar meluas ke lebih meluas ke
dengan terbatas pada bagian tengah sebagian besar
ekogenisitas tepi katup katup bagian katup
yang meningkat
Fusi kordae Penebalan pada Penebalan Penebalan Penebalan dan
daerah di bawah struktur kordae meluas ke pemendekan
dari katup saja meluas ke sepertiga distal berat seluruh
sepertiga bagian dari kordae struktur kordae
panjang kordae meluas ke otot
papilaris

Daftar Pustaka:
1. Alec Vahanian, Ottavio Alfieri, Felicita Andreotti, et al. Guidelines on the management
of valvular heart disease (version 2012). European Heart journal; 2012: 2451-2496.
2. Ario Soeryo Kuncoro. Pemeriksaan Stenosis Mitral Akibat Proses Rheumatik Dengan
Ekokardiografi.. Jurnal Kardiologi Indonesia; 2010: 31: 62-65.
3. Christopher A. Miller, Patrick T. O’Cara, Leonard S. Lily. Valvular Heart Disease.
Dalam: Pathophysiology of Heart Disease, ed 5. Lipponcott Williams & Wilkins; 2004:
190-215.
4. Rifqi Sodiqur, Arif Nugroho. Penyakit Katup mitral. Dalam :Lily I.Rilanto. Penyakit
Kardiovaskular. 1st ed.Jakarta : Balai penerbit FK UI,2013, p279-293

163
41. AORTA REGURGITASI

Definisi
Gangguan aliran balik dari aorta ke ventrikel kiri yang bisa disebabkan kelainan katup aorta
atau pangkal atau keduanya.
Aorta regurgitasi dapat terjadi karena kelainan daun katup atau penyakit pangkal aorta.

Anamnesis
 Kelelahan nonspesifik
 Palpitasi
 Gejala khas gagal jantung
 Angina pektoris dan sinkop  tetapi lebih jarang dibanding aorta stenosis
 Riwayat demam rematik
 Riwayat ruda paksa dada

Pemeriksaan Fisik
 Tanda Hill  TD lebih tinggi >20 mmHg pada ekstremitas bawah dibandingkan dengan
ekstremitas atas dalam posisi horizontal.
 Nadi Corrigan (nadi ‘water hammer’)  denyut nadi cepat naik dan turun.
 Tanda Corrigan  denyut arteri yang jelas dan hebat pada leher.
 Tekanan nadi yang lebar.
 Pulsasi arteri yang kuat menonjol.
 Sirkulasi hiperdinamik.
 Tanda Quincke  pulsasi yang tampak pada bagian bawah kuku.
 Tanda De Musset  kepala bergerak seiring dengan denyut jantung.
 Tanda Duroziez  penekanan di sepanjang arteri femoralis dengan diafragma stetoskop
menyebabkan murmur diastolik.
 Murmur Austin-Flint  murmur diastolik akibat efek darah regurgitan yang mendorong
saat pembukaan katup mitral yangb terdengar di apeks.
 Bising cresendo-decresendo menjalar ke leher.
 Tekanan darah diastolic rendah atau nol.
 Murmur diastolik dini yang halus meniup  baik didengar dengan diafragma stetoskop
yang ditekan kuat di daerah parasternal kanan atas dada, dengan posisi pasien duduk
menjorong ke depan.

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
Tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri, sering tanpa depresi segmen ST dan inversi T dari
strain pattern, bisa pula normal ataupun Blok AV derajat I.
2. Foto Rontgen dada
 Kardiomegali
 Pembesaran ventrikel kiri (boot shaped heart)
 Segmen aorta menonjol
 Aorta asenden dilatasi
 Apex jantung ke bawah (downward)
 Tanda-tanda bendungan paru
3. Labotarium
 Bila ada tanda-tanda syphilis  VDRL atau TPI tes

164
 Bila ada tanda-tanda endokarditis  kultur darah,
 Bila ada tanda-tanda spindulitis / SLE  uji serologi

Diagnosis Banding
Pemeriksaan auskultasi yang menyerupai Regurgitasi Aorta (RA)
1. Bising diastolik meniup: Regurgitasi pulmonal (Graham Steel Murmur, denyut karotis
normal, meningkat saat inspirasi), PDA (bising diastolik nada rendah, bising kontinu
pada intercosta), ruptur sinus valsava.
2. Bising To and Fro: Fistel AV koroner (pulsasi arteri normal, tekanan pulsasi normal),
stenosis mitral
3. Bising Austin Flint: PDA (bila komponen sistolik tidak terdengar)
4. Bising Cresendo-decresendo

Pemeriksaan Yang Diperlukan


1. Pemeriksaan dasar
 Pemeriksaan fisik
 EKG
 Foto roentgen dada
 Labotarium
2. Pemeriksaan penunjang
 Ekokardiografi
 Angiografi koroner (bila usia > 40 thn)

Pengelolaan Terapi
1. Pengelolaan medik
 Pemberian obat-obatan untuk mengatasi keluhan atau akibat yang ditimbulkannya
 Penggunaan obat-obatan sebagai pencegahan demam reumatik
 Penggunaan obat-obatan sebagai pencegahan terhadap endokarditis infektif dan
sifilis
2. Pencegahan dan tindak lanjut pada penderita asimptomatik dan dimensi normal ventrikel
kiri. Pencegahan endokarditis atau reuma bila ada petunjuk.
3. Tindak lanjut penderita asimptomatik, dilatasi ventrikel kiri tetapi fungsi ventrikel kiri
normal.
4. Kelola medis: penderita simptomatik dengan fungsi ventrikel kiri buruk dan KF III – IV.
5. Kelola bedah: penderita simptomatik atau asimptomatik, RA berat dengan fungsi
ventrikel kiri mulai menurun.
 Penderita RA kronis simptomatik dengan RA berat, biasanya sudah indikasi operasi.
Fungsi ventrikel kiri normal bilamana disfungsi ventrikel kiri sedang, prognosis pasca
operasi masih cukup baik
 Penderita RS kronik asimptomatik dengan fungsi ventrikel kiri normal atau disfungsi
ringan, follow up dengan echo untuk menilai kemungkinan menurunnya fungsi
ventrikel kiri
 Operasi harus dipertimbangkan untuk mencegah perburukan miokard (irreversible)
pada penderita RA dengan symptom ringan atau asimptomatik dengan penurunan
fungsi ventrikel kiri dan pembesaran ventrikel kiri dengan LVEF <50% atau EDD >
70% mm atau ESD > 50mm (atau > 25 mm/m2 luas permukaan tubuh).
 Reparasi: bilamana anatomi katup aorta masih baik, prolaps sedang tanpa flail
 Penggantian: bilamana morfologi katup rusak, robek, klasifikasi berat, vegetasi,
prolaps flail berat.

165
Perawatan
 RA dengan KF I-II asimptomatik, dengan atau tanpa kardiomegali, fungsi ventrikel
kiri normal atau menurun. Penderita tidak memerlukan perawatan
 RA dengan KF III-IV, simptomatik memerlukan perawatan kira-kira 7 hari
 RA dengan KF IV, simptomatik dan fungsi ventrikel kiri sangat buruk dan perlu
perawatan di ruangan intensif

Gambar . Tatalaksana Regurgitasi Aorta (RA)


Ket: LVEF=Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri; EDD=End Diastolic Dimension; ESD=End Systolic
Dimension; BSA=Body Surface Area

166
Daftar Pustaka:
1. Alec Vahanian, Ottavio Alfieri, Felicita Andreotti, et al. Guidelines on the
management of valvular heart disease (version 2012). European Heart journal; 2012:
2451-2496.
2. Christopher A. Miller, Patrick T. O’Cara, Leonard S. Lily. Valvular Heart Disease.
Dalam : Pathophysiology of Heart Disease, ed 5. Lipponcott Williams & Wilkins;
2004: 190-215.
3. Karo-Karo Santoso. Penyakit Katup Aorta. Dalam :Lily I.Rilanto. Penyakit
Kardiovaskular. 1st ed.Jakarta : Balai penerbit FK UI,2013, p296-302

167
42. STENOSIS AORTA

Definisi
Adanya obstruksi katup aorta yang menyebabkan aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta
terganggu.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis: adanya keluhan sinkope, angina, cepat lelah, sesak nafas seperti dispnoe,
takipnoe, dan ortopnoe.
2. Pemeriksaan fisik : murmur ejeksi sistolik , bruit pada a.karotis yang menjalar ke leher,
terdengarnya bunyi jantung empat karena kontraksi atrium ke ventrikel kiri yang kaku,
bunyi jantung dua melemah.
3. EKG: hipertrofi ventrikel kiri, deviasi aksis kiri
4. Foto Rotgen Dada: dilatasi aorta asenden, kalsifikasi katup aorta
5. Laboratorium: tidak ada kelainan spesifik
6. Echocardiografi:
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Area katup aorta dan perbedaan tekanan
 Kekakuan dan ketebalan katup aorta
 Dooming sistolik katup aorta
 Katup aorta bicuspid, dilatasi post stenosis
 Doppler mozaik supra valvar
7. Evaluasi a. karotis ( pencitraan tripleks/dupleks color corotis ): plak keras/lunak

Diagnosis Banding
Pemeriksaan auskultasi dan EKG yang menyerupai stenosis aorta :
 Murmur ejeksi sistolik : kardiomiopati hipertrofi obstruksi, stenosis pulmonal
 Bising pansistolik : defek septum ventrikel
 Bising sistolik disertai bruit ke arah leher : koartasio aorta
 Segmen aorta menonjol : aneurisma arkus aorta
Penyebab stenosis aorta :
 Inflamasi
 Penyakit jantung rematik
 Radiasi
 kongenital
Pemeriksaan yang diperlukan :
1. Pemeriksaan dasar :
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 Ekg
 Foto rotgen dada
2. Pemeriksaan penunjang
 Ekokardiografi dopler
 Pencitraan tripleks karotis
 Angiografi coroner bila usia > 40 thn

168
Derajat keparahan stenosis katup aorta
Derajat keparahan Luas katup (cm2)
Normal 3–4
Ringan 1,5 – 2
Sedang 1.0-1.5
Berat < 1.0

Terapi
A. Pengelolaan Medik
1. Pemberian obat-obatan untuk mengatasi symptom akibat obstruksi katup aorta
2. Penggunaan obat-obatan sebagai pencegahan terhadap endokarditis infektif
Obat-obatan untuk mengatasi gangguan obstruksi katup aorta
a. Penyekat kalsium
Memperbaiki relaksasi pengisian ventrikel kiri akibat hipertrofi ventrikel kiri, yaitu
obat penyekat kalsium yang tidak mempertinggi laju jantung.
b. Penyekat beta
Mengurangi hiperkinetik ventrikel kompensator dan mencegah penambahan beban
tekanan,
c. Nitrat
Obat ini dapat diberikan bila keluhan angina lebih menonjol
d. Digitalis
Hanya diberikan bila terjadi gagal jantung sistolik akibat stenosis kronis dan stadium
lanjut . Gunanya untuk menormalkan kembali kemampuan pompa ventrikel tetapi
tidak dianjurkan pada penderita SA dengan hiperkinetik akibat beban kompensasi
tekanan ventrikel kiri.
B. Pengelolaan Intervensi
1. Pengelolaan non bedah
a. Valvuloplasti aorta dengan balon
Indikasi :
 Tindakan paliatif bila kontraindikasi untuk operasi karena komorbiditas yang
tinggi
 Stenosis aorta dengan kondisi katup tipis, tanpa sklerotik berat dan tanpa
kalsifikasi
 Stenosis aorta akibat kelainan congenital seperti bicuspid, terutama pada usia
muda dan anak
 Jembatan untuk operasi pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang
resiko tinggi operasi
 Stenosis aorta berat simptomatik yang perlu segera operasi mayor non kardiak
 Risiko pembedahan yang buruk, umur >90 thn
 Stenosis aorta yang disebabkan penyakit jantung rematik

b. transchateter aortic valve implantation (TAVI)


Indikasi :
 Dilakukan pada pasien yang tidak dapat lagi dilakukan aortic valve
replacement AVR
 Untuk meningkatkan kualitas hidup dengan harapan angka survival lebih dari
1 tahun

169
 Pasien dengan resiko tinggi dengan stenosis aorta simptomatis yang masih
dapat dilakukan operasi
Kontraindikasi absolut :
 Tidak adanya tim jantung dan bedah jantung di tempat
 Nilai harapan hidup < 1 tahun
 Meningkatnya kualitas hidup tidak jelas karena komorbiditas
 Inadekuat ukuran annulus ( < 18mm, >29 mm)
 Thrombus di ventrikel kiri
 Endocarditis aktif
 Plak dengan thrombus yang mobil di aorta arch atau aorta ascending
Kontraindikasi relatif :
 Bicuspid atau non-kalsifikasi valve
 PJK yang tidak ditangani yang perlu revaskularisasi
 Hemodinamik tidak stabil
 LVEF < 20 %
2. Intervensi bedah ( aortic valve replacement)
AVR merupakan Indikasi (kelas I) :
 Aorta stenosis berat dan adanya gejala
 Aorta stenosis berat yang akan dilakukan CABG atau operasi aorta ascending
atau katup yang lain
 Pasien asimptomatis dengan stenosis aorta berat dan LVEF <50% yang bukan
disebabkan penyakit yang lain
 Pasien asimptomatis dengan stenosis aorta berat dan abnormal hasil latihan tes
yang menunjukkan adanya gejala saat latihan yang memang disebabkan oleh
aorta stenosis
AVR beralasan untuk dilakukan ( Kelas IIA):
 Stenosis aorta berat yang asimptomatik dan uji latihan menunjukkan turunnya
tekanan darah dibawah dari normal
 Stenosis aorta sedang yang akan dilaukan CABG atau operasi aorta ascending
atau katup lain
 Pasien dengan gejala dan aliran lambat serta rendahnya gradient (<40mmHG)
dengan EF yang normal
 Pesien bergejala dengan stensis aorta yang berat, aliran lambat dan gradient
rendah,dengan EF yang menurun
 Pasien stenosis berat yang asimptomatik dengan kalsifikasi katup yang berat.
AVR patut dipertimbangkan untuk dilakukan (kelas IIB) pada :
 Pasien AS berat, low flow, low gradient, dan disfungsi ventrikel kiri
 Pasien asimptomatis dengan stenosis aorta yang berat, EF normal, tidak ada
kelainan tes latihan, resiko operasi yang kecil, dan satu dari hal berikut
ditemukan:
a. meningkatnya natriuretide peptide yang sudah dilakukan pemeriksaan ulangan
dan tanpa adanya penjelasan lain.
b. meningkatnya rata-rata tekanan gradient pada saat latihan >20mmhg
c. adanya hipertrofi ventrikel kiri tanpa adanya hipertensi.
Jenis katup jantung :
1. Katup bioprotesa
 Usia muda
 Wanita yang ingin hamil

170
 Kontraindikasi anti koagulan
2. Katup mekanik

Perawatan :
1. Perawatan :
- stenosis aorta dengan CHF Fc I-II : tidak diperlukan perawatan
- stenosis aorta dengan CHF Fc III: Harus dirawat di ruangan biasa selama ±7 hari
- stenosis aorta dengan CHF Fc IV : harus dirawat di ruangan intensif selama
hemodinamik tidak stabil
2. Masa pemulihan
- kelola medis : diperlukan pemulihan sekitar 3 hari untuk rehabilitasi / mobilisasi
- kelola bedah : diperlukan pemulihan sekitar 4 hari pasca bedah.
3. Prognosis :
- FC I-II : prognosis baik
- FC III dengan stenosis aorta berat dan fungsi ventrikel kiri yang sangat menurun, EF
<30% : prognosa buruk
- FC IV :dengan stenosi aorta berat disertai pjk bermakna dan fungsi ventrikel kiri
menurun : prognosa buruk

Penyulit Yang Timbul


- Payah jantung kongestif
- Thromboemboli
- Sinkope
- Kematian mendadak

171
Algoritma Penatalaksanaan Stenosis Aorta

172
Daftar Pustaka:
1. Alec Vahanian, Ottavio Alfieri, Felicita Andreotti, et al. Guidelines on the management
of valvular heart disease (version 2012). European Heart journal; 2012: 2451-2496.
2. Christopher A. Miller, Patrick T. O’Cara, Leonard S. Lily. Valvular Heart Disease.
Dalam: Pathophysiology of Heart Disease, ed 5. Lipponcott Williams & Wilkins; 2004:
190-215.
3. Karo-Karo Santoso. Penyakit Katup Aorta. Dalam :Lily I.Rilanto. Penyakit
Kardiovaskular. 1st ed.Jakarta : Balai penerbit FK UI,2013, p296-302
4. Steward William, Carabello Blase. Eric J Topol. Aortic Valve Disease. In
:Cardiovascular Medicine.3rd ed. . Lipponcott Williams & Wilkins.2007

173
43. ENDOKARDITIS INFEKTIF

Defenisi
Endokarditis infektif (EI) adalah infeksi mikroba awalnya pada endokardium struktur
kardiovaskular yang dilalui aliran darah (contohnya katup asli, endokardium ventrikel atau
atrium) termasuk endarteritis pembuluh darah besar dalam rongga thorax (contohnya patent
ductus arteriosus, arterio-venous shunt, coarctatio aorta) atau pada benda asing intrakardiak
(contohnya katup prostetik, pacu jantung atau lead ICD, saluran buatan pada bedah)
Karakteristik lesi awalnya berupa vegetasi yang mengandung trombosit, eritrosit,
fibrin, sel inflamasi, dan mikroorganisme dengan ukuran yang bervariasi. Namun destruksi,
ulserasi atau pembentukan abses mungkin sebagai perubahan pertama yang terlihat secara
mikroskopik atau dengan ekokardiografi.
Defenisi EI berdasarkan kriteria modifikasi Duke University :
1. Diagnosis pasti endokarditis Infektif
a. Kriteria Patologi
 Mikroorganisme : dibuktikan dengan cara kultur atau histologi dari vegetasi atau
suatu vegetasi yang teremboli atau sediaan specimen dari suatu abses
intrakardiak.
 Lesl patologi : adanya vegetasi atau abses yang secara histologi
memperlihatkan endokarditis yang masih aktif.
b. Kriteria Klinis : menggunakan defenisi spesifik, sebagai berikut :
 Memenuhi 2 kriteria mayor atau
 Memenuhi 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor atau
 Memenuhi 5 kriteria minor
2. Kemungkinan endokarditis infektif
Memenuhi satu kriteria mayor dan satu kriteria minor atu tiga kriteria minor
3. Ditolak endokarditis
 Terdapat bukti kuat yang menunjang gejala disebabkan penyakit lain atau
 Perbaikan manifestasi endokarditis dengan pengobatan antibiotik dalam waktu kurang
dari 4 hari atau
 Tidak ditemukan bukti patologis EI pada operasi atau otopsi sesudah pengobatan
dengan antibiotik kurang dari 4 hari atau
 Tidak memenuhi kriteria ”kemungkinan EI”

KRITERIA DIAGNOSIS : (berdasarkan kriteria modifikasi Duke University)


Kriteria mayor :
1. Kultur darah positif untuk endokarditis infektif
a. Mikroorganisme khas untuk endokarditis infektif didapat dari 2 kultur darah terpisah :
Streptokokus viridans, Streptokokus bovis, HACEK group, Stafilokokus aureus,
Enterokokus tanpa ditemukannya fokus primer
b. Kultur darah positif menetap : didapatkan mikroorganisme yang konsisten dengan
endokarditis infektif secara persisten dari :
1) Paling sedikit dua kultur darah positif yang diambil terpisah dengan selang lebih
dari 12 jam
2) Semua sampel dari tiga kali pengambilan atau mayoritas dari empat kali atau lebih
dari 12 jam
3) Satu kali kultur darah positif dari Coxiella burnetii atau titer antibodi anti phasa 1
lgG > 1.800

174
2. Bukti keterlibatan endokardlum
a. TEE direkomendasikan pada pasien dengan katup buatan, pada kasus tergolong
kriteria klinis kemungkinan EI, atau EI dengan komplikasi (abses paravalvular), serta
transtorakal ekokardiografi sebagai tes utama pada pasien lain
b. Positif Ekokardiogram untuk adanya endokarditis Infektif :
1. Massa intrakardiak yang bergerak pada katup atau struktur penyangga dijalur jet
aliran regurgitasi, atau pada benda yang ditaruh di jantung tanpa ada alternatif
anatomi lain atau
2. Abses, atau
3. Tonjolan baru pada katup prostetik, atau
4. Bising regurgitasi katup yang baru (meningkatkan derajat atau perubahan dari
murmur sebelumnya tidak cukup).
Kriteria Minor
 Predisposisi : kondisi penyakit jantung yang mendasarinya atau penggunaan obat
intravena
 Fenomena vaskular : emboli arteri besar, infark paru septik, mikotik aneurisma,
perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, janeway lesions.
 Fenomena immunologi : glomerulonephritis, osler’s nodes, roth spot, rheumatoid factor.
 Bukti mikrobiologi : kultur darah positif tetapi tidak memenuhi kriteria mayor
sebagaimana disebutkan sebelumnya atau bukti serologis infeksi aktif mikroorganisme
yang konsisten terhadap EI

Diagnosis EI harus segera ditegakkan untuk memulai terapi dan mengindentifikasi pasien
dengan risiko tinggi terhadap terjadinya komplikasi yang mungkin memerlukan tindakan
bedah segera.
Apabila kecurigaan terhadap EI sangat kuat berdasarkan gambaran klinis atau dari stratifikasi
risiko, seperti riwayat pemakaian obat intravena atau riwayat EI sebelumnya, presumption EI
dibuat sebelum kultur darah ada hasilnya. Identifikasi vegetasi dan peningkatan insufisiensi
katup dengan ekokardiografi sering melengkapi kriteria diagnosis EI dan mempengaruhi
lamanya terapi.
Kriteria klinis, ekokardiografi dan mikrobiologi dipakai secara rutin untuk mendiagnosa EI,
tetapi konfirmasi histopatologi dari katup yang direseksi tidak dipakai secara rutin.
Peran Ekokardiografi untuk diagnosis dan pengobatan endokarditis infektif adalah
Ekokardiografi dini :
- Ekokardiografi sesegera mungkin ( < 12 jam setelah evaluasi awal)
- TEE lebih dianjurkan, TEE dilakukan untuk perbandingan
- TTE dilakukan bila TEE tidak tersedia segera
- TTE memadai pada anak kecil
Ekokardiografi ulang :
- TEE dilakukan segera jika hasil TTE positif pada pasien risiko tinggi terjadinya
komplikasi
- TEE dilakukan pada 7-10 hari setelah TEE awal pada kasus yang mencurigakan EI
Intraoperatif :
- Prepump : Identifikasi vegetasi, mekanisme regurgitasi, abses, fislula dan
pseudoaneurisma
- Postpump : Konfirmasi koreksi operasi yang berhasil
- Penilaian disfungsi katup residual
- Pengambilan sample jaringan untuk analisa mikroskopik jaringan endokarditls
Pada akhir terapi :

175
- Menilai kembali fungsi dan morfologi katup, fungsi dan ukuran ruang jantung sebagai
basoline baru untuk evaluasi berikutnya
- TTE cukup edekuat : TEE dilakukan jika anatomi kompleks
Keterangan : TEE = transesophageal echocardiography, TTE = transthoracal
echocardiography

Diagnosis Banding Endokarditis Infektif


 Karena manifestasi klinis endokarditis bermacam-macam dan sering nonspesifik
diagnosis bandingnya banyak : pneumonia, meningilis, abses otak, malaria, perikarditls
akut, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).
 Pada kondisi sukabut menyerupai demam reumatik, Tuberkulosis, Infeksi intra-
abdominal, penyakit jaringan ikat, keganasan (terutama limfoma)

Pemeriksaan Yang Diperlukan


 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 EKG
 Foto ronigen dada
 Laboratorium, khususnya kultur darah, serta tanda infeksi dan inflamasi
 Ekokardiografi, kemungkinan adanya vegetasi, abses intrakardiak, tonjolan baru pada
katup protese

Tatalaksana Dan Terapi


Terapi awal harus berdasarkan pemeriksaan klinis dan mikrobiologi. Pada kasus yang tidak
sulit, penundaan terapi 48 jam sampai hasil kultur darah didapat (dengan tehnik laboratorium
baru hasil cepat didapat, termasuk pewarnaan gram), dan ditindaklanjuti bila pasien sudah
diterapi dengan antibiotik selama 8 hari atau sampai hasil kultur keluar.
Pada kasus dengan komplikasi sepsis, disfungsi berat valvular, gangguan konduksi atau
emboli, terapi antimikrobial harus dimulai setelah kultur darah diambil sebanyak 3 kali.

Terapi Antibiotik
Penggunaan antibiotik (sesuai kultur darah) dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.
Tabel 1. Terapi endokarditis katup alamiah disebabkan streptokokus viridans dan
streptokokus bovis yang sensitif penisilin
Lama
Regimen Dosis dan Cara Keterangan
(minggu)
Penisilin G Sodium 12-18 juta U/24 jam kontinu 4 Terutama usia > 65 th
atau dibagi 4-6 dosis ggn syaraf kranial 8
atau ggn fungsi ginjal
Ceftriaxone sodium 2g/24 jam IV/IM dalam dosis 4
Anak : Penislilin : 200.000
U/kg per 24 jam dibagi 4-6
dosis; ceftriaxone 100 mg/kg
per 24 jam IV/IM dalam 1
dosis
Penisilin G Sodium 12-18 juta U/24 kontinu atau 2 Tidak di indikasikan
atau dibagi 6 dosis selama 2 minggu pada
ceftriaxone sodlum 2g/24 jam IV/IM dalam 1 2 pasien dgn CCT < 20
plus dosis mv menit, ggn syaraf
kranial 8

176
Gentamisin sulfat 3 mg/kg per 24 jam IV/IM 2
dalam 1 dosis
Anak : 3 mg/kg per 24 jam
IV/IM dibagi 1-3 dosis
Vankomisin 30 mg/kg per 24 jam IV 4
hidroklorid terbagi 2 dosis tidak melebihi
20g/24 jam kecuali
konsentrasi rendah diserum
Anak : 40 mg/kg per 24
jam/IV dalam 2-3 dosis
terpisah
Tabel 2. Terapi endokarditls katup alamiah disebabkan streptokokus viridans dan
streptokokus bovis yang relatif resisten penisillin

Lama
Regimen Dosis dan Cara Keterangan
(minggu)
Penisilin G Sodium 24 juta U/24 jam kontinu 4 Jika disebabkan kuman
atau atau dibagi 4-6 dosis resisten penisilin harus
terpisah diobati dengan regimen
pengobatan terhadap
ceftriaxone sodium 2g/24 jam IV/IM dalam 1 4 endokarditis
plus dosis enterokakal
Gentamisin sulfat 3 mg/kg per 24 jam IV/IM 2
dalam 1 dosis
Anak : Penisilin 300.000
U/24 jam IV terbagi 4-6
dosis; ceftriakson 100
mg/kg per 24 jam dalam 1
dosis; gentamisin 3mg/kg
per 24 jam IV/IM terbagi
1-3 dosis
Vankomisin 30 mg/kg per 24 jam IV 4 Terapi vankomisin
Hidroklorid terbagi 2 dosis tidak direkomendasi hanya
melebihi 2g/24 jam kecuali pasien yang tidak
konsentrasi rendah di toleran penisilin atau
serum ceftrlaksana
Anak : 40 mg/kg per 24
jam IV terbagi 2-3 dosis
terpisah

177
Tabel 3. Terapi endokarditis katup buatan atau materi buatan lain disebabkan streptokokus
viridans dan Streptokokus bovis
Lama
Regimen Dosis dan Cara Keterangan
(minggu)
Sensitif penisilin : 24 juta U/24 jam 6 Kombinasi penisilin
kontinu atau dibagi 4-6 atau ceftriakson dengan
Penisilin G sodium dosis terpisah gentamisin tidak
atau 2g/24 jam IV/IM dalam 6 menunjukkan hasil lebih
ceftriaxone sodlum 1 dosis baik dibanding
dengan atau tanpa monoterapi penisilin
atau ceftriakson;
gentamisin tidak boleh
2 diberi pada CCT<30
3 mg/kg per 24 IV/IM mi/menit
Gentamisin sulfat dalam 1 dosis
Anak : Penisilin 300,000
U/24 jam IV terbagi 4-6
dosis; ceftriakson 100
mg/kg per 24 jam IV/IM
dalam 1 dosis;
gentamisin 3mg/kg per
24 jam IV/IM terbagi 1-
3 dosis
Vankomisin 30 mg/kg per 24 IV 6 Terapi vankomisin
Hidroklorid terbagi 2 dosis direkomendasi hanya
Anak : 40 mg/kg per 24 pasien yang tidak
jam IV terbagi 2-3 dosis toleran penisilin atau
terpisah ceftriakson

Resisten relatif
atau resisten
penuh penisilin :
24 juta U/24 jam IV 6
Penisilin kontinu atau terbagi 4-6
dosis
Atau 2g/24 jam IV/IM dalam 6
Ceftriakson 1 dosis

Plus 3 mg/kg per 24 jam 6


Gentamisin sulfat terbagi 2 dosis
Anak : 40mg/kg per 24
jam IV terbagi 2-3 dosis
terpisah
Vankomisin 30 mg/kg per 24 jam 6 Terapi vankomisin
terbagi 2 dosis direkomendasi hanya
Anak : 40 mg/kg per 24 pasien yang tidak
jam IV terbagi 2-3 dosis toleran penisilin atau
terpisah ceftriakson

Tabel 4. Terapi endokarditis disebabkan Stafilokokus

178
Lama
Regimen Dosis dan Cara Keterangan
Sensitif oksasilin
Nafsilin atau 12 gr/24 jam IV terbagi 4-6 6 minggu Pada EI jantung kanan
oksasilin dosis tanpa komplikasi
cukup 2 minggu
Belum dijelaskan
dengan 3 mg/kg per 24 jam IV/IM 3-5 hari manfaat klinis
dalam 2-3 dosis terpisah aminoglikosida
opsi penambahan Anak : Nafsilin atau
gentamisin sulfat oksasilin 200 mg/kg per 24
jam terbagi 4-6 dosis;
gentamisin 3mg/kg per 24
jam IV/IM terbagi 3 dosis
Jika alergi penisilin
Cefazolin 6g/24 jam IV terbagi 3 6 minggu Pertimbangkan skin
dosis test bagi staflokakus
sensitif oksasilin dan
riwayat immedlate
hypersensitivity
terhadap penisilin
Cefalosporin harus
dihindari pada riwayat
anaflaksis hipersensitif
3-5 hari B-laktamase,
dengan 3 mg/kg per 24 jamIV/IM vankomisin harus
opsi penambahan dalam 2-3 dosis terpisah digunakan pada kasus
gentamisin sulfat Anak : cefazolin 100 ini
mg/kg per 24 jam IV
terbagi 3 dosis, gentamisin
3mg/kg per 24 jam IV/IM
terbagi 3 dosis
Resisten oksasilin 30 mg/kg per 24 jam IV 6 minggu Manfaat klinis
vankomisin terbagi 2 dosis aminoglikosida belum
Anak : 40 mg/kg per 24 jelas
jam IV terbagi 2-3 dosis

179
Tabel 5. Terapi Endokarditis katup buatan disebabkan stafllokokus
Lama
Regimen Dosis dan Cara Keterangan
(minggu)
Sensitif oksasilin
Nafsilin atau 12 gr/24 jam IV terbagi 6 >6 Dapat digunakan
oksasilin dosis penisilin G 24 jutaU/24
jam IV terbagi 4-6
Plus dosis jika sensitif
Rifampin 900 mg per 24 jam IV/PO ≥6 penisilin dan bukan
Plus Terbagi 3 dosis golongan  -laktamase;
vankomisin harus
Gentamisin 3 mg/kg per 24 jam IV/IM digunakan pada pasien
dalam 2-3 dosis terpisah dengan reaksi
Anak : Nafsilin atau hipersensitif antibiotik
oksasilin 200 mg/kg per 24  -laktamase yang
jam terbagi 4-6 dosis; immediate type:
rifampin 20 mg/kg per 24 cefazolin bisa diberi
jam IV/PO terbagi 3 dosis, pada pasien dengan
Jika alergi penisilin gentamisin 3mg/kg per 24 reaksi hipersensitif
jam IV/MI terbagi 3 dosis penisilin yang
nonimmediate type
Resisten oksasilin : 30 mg/kg par 24 jam ≥6
Vankomisin terbagi 2 dosis
Plus
Rifampin 900 mg/24 jam IV/PO ≥6
Plus terbagi 3 dosis

Gentamisin 3 mg/kg per 24 jam IV/IM


terbagi 2-3 dosis terpisah
Anak : vankomisin 40
mg/kg per 24 jam IV
terbagi 2-3 dosis ; rifampin
20 mg/kg per 24 jam
IV/PO terbagi 3 dosis;
gentamisin 3 mg/kg per 24
jam IV atau IM terbagi 3
dosis

Terapi antibiotik pada EI yang disebabkan mikroorganisme lain


 Gram negatif (Enterobacteriaceae, pseudomonos, HACEK)
HACEK = Haemophilus parainfluenzae, H aphrophilus, Actinobacillus)
actinomycelemencomtans
Cardiobacterium homonis, Eikenella corrodens, and Kingella kingae.

180
Tabel 6. Terapi Endokarditis katup alamiah atau buatan disebabkan Enterococcl
Bacterial Sensltl/ Resisten Regimen Dosis Lama
Enterococi Sensitif Penicillin, Amplcillin sodlum 12 g/24 jam IV terbagi 4-6 mgg
Genytamm, dalam 6 dosis
Vancomycin
Penicilin G 18-30 juta U/24 jam 6 mgg
Sodlum + IV drip atau terbagi
Gentamicln dalam 2 dosis + 3
Mg/kg per 24 jam
IV/IM terbagi dalam 3
dosis
Sensitive Ampicilin sodlum 12 g/24 h IV terbagi 4-6 mgg
penicillin, dalam 6 dosis
Streptomycln,
vancomycln
Resisten Penicillin G + 24 million U/24 jam 4-6 mgg
gentamicln Streptomycin IV drip atau terbagi
dalam 6 dosis + 15
mg/kg per 24 jam
IV/IM terbagi 2 dosis
Vancomicln + 30 mg/kg per 24 jam
Streptomycin IV terbagi dalam 2 6 mmg
dosis + 15 mg/kg per
24 jam IV/IM terbagi
dalam 2 dosis

Sensitif Ampicilin 12 g/24 jam IV terbagi


Vancomycin, Sulbactam+Genta dalam 4 dosis + 3
aminoglycoside, micin mg/kg per 24 jam
Resisten penlcilin IV/IM terbagi dalam 3
dosis
Intrinsic Penicilin Vancomycin + 30 mg/kg per 24 jam 6 mmg
resisten Gentamicin IV terbgai dalam 2
dosis + 3 mg/kg per
24 jam IV/IM terbagi
dalam 3 dosis
Penicillin Linazolid 1200 mg/24 jam 6 mmg
Aminoglycoside, IV/PO
Vancomycln E Terbagi dalam 2 dosis
Faecium resisten Quinupristin- 22.5 mg/kg per 24 jam >8 mmg
dalfopristin IV terbagi dalam 3
dosis
Penicillin Imipenem/cilastati 2 g/24 jam IV terbagi >8 mmg
Aminoglycoside, n + Ampicilin dalam 4 dosis + 12
Vancomycin g/24 jam IV terbagi
E Faecalls resisten dalam 6 dosis
Cefriaxone Sodium 2 g/24 jam IV/IM 1 >8 mmg
+ Ampicilin dosis + 12 g/24 jam

181
IV terbagi dalam 6
dosis

Table 7. Terapi endokarditis katup alamiah atau buatan disebabkan HACEK

Regimen Dosis dan cara pemberian Lama


HACEK Ceftriaxone sodium atau 2 g/24 jam IV/IM dalam 1 dosis 4 mmg
Ampicillin-sulbactam atau 12 g/24 jam IV terbagi dlm 4 dosis 4 mmg
1000 mg/24 jam PO or 800 mg/24
Ciprofloxacin 4 mgg
jam IV terbagi dalam 2 dosis

IE akibat jamur
Operasi pilihan pertama. Kemudian diberi amfoterisin B dengan dosis 1 mg/kg kombinasi
dengan 5-fluorocyctosine

Pengobatan pada keadaan khusus


Endokarditis dengan kultur negative (culture-negative endocarditis/CNE)
Pada kasus CNE sebelum pengobatan dimulai, harus dibuat strategi diagnostic dan riwayat
pasien (seperti pengguna obat IV, implantasi katup, daerah dengan prevalensi MRSA yang
tinggi), harus ditinjau untuk memusatkan perhatian pada organisme yang mungkin menjadi
penyebab EI, harus diperhatikan pula apakah pasien telah mendapat antibiotic sebelumnya.
Kecuali pada EI yang diduga disebabkan oleh bartonela, klamidia, koksiela, legionela,
nokardia, atau jamur, skema yang berdasar uji klinis pada table table 19 dapat digunakan.

Tabel 7. Terapi antimikroba empiris pada CNE atau NIVE atau PVE
Nve
Vankomisin 15.0 mg/kg IV tiap 12 jam 4-6 minggu
+ Gentamisin 1,0 mg/kg IV tiap 8 jam 2 minggu
PVE 15,0 mg/kg IV tiap 12 jam 4-6 minggu
Vankomisin 300-450 oral tiap 8 jam 4-6 minggu
+ Rifampisin 1,0 mg/kg IV tiap 8 jam 2 minggu
+ Gentamisin
NE = native valve endocarditls, CNE = culture negative endocaditis, PVE = prosthetic valve
endocarditis

Tatalaksana EI pada penyalahgunaan obat intravena (POIV)


EI adalah salah satu dari komplikasi paling parah POIV dan kecanduan obat intravena adalah
salah satu penyebab paling penting
Methicilin-susceptible S. Aureus (MSSA) adalah organisme penyebab pada 60-70 % kasus.
Organisme lain adalah Streptokokus dan Enterokokus (15-20%). P. Aeruginosa, S.
Marcascens, bakteri batang gram negatif lain (< 10%). Dan Candida Spp. (< 2 %). Katup
trikuspid paling sering terkena (> 70 %) diikuti katup jantung kiri, sedangkan infeksi pada
katup pulmonal sangat jarang (< 1 %). Katup jantung kanan dan kiri dapat terkena secara
simultan pada 5-10 % kasus. Kebanyakan dari pasien ini tidak memiliki predisposisi penyakit
jantung.

Terapi antimikrobial empiris


Pada saat masuk, keputusan terapi empiris tergantung pada mikroorganisme yang dicurigai,
jenis obat dan pelarut yang digunakan oleh pecandu, dan sisi jantung yang terlibat.
Organisme yang tersering (S. Aureus) harus dideteksi. Penatalaksanaan mencakup

182
penisilinase resisten penisilin atau vankomisin, tergantung prevalensi lokal MRSA. Jika
pasien adalah percandu pentazosin, obat untuk Pseudomonas harus ditambahkan. Jika POIV
menggunakan heroin coklat yang dilarutkan dalam jus jeruk, Candida spp. (bukan C.
Albikans) harus dipetimbangkan dan terapi anti jamur ditambahkan. Pada sisi lain, POIV
dengan lesi katup dan/atau keterlibatan jantung kiri, terapi antibiotik terhadap streptococcus
dan enterococcus harus ditambahkan. Saat organisme penyebab sudah disolasi, terapi harus
diatur.
Terapi antimikrobial spesifik
Ada yang menganjurkan bahwa pengobatan selama 2 minggu cukup. Terapi selama 4-6
minggu harus diberikan pada situasi di bawah ini :
a. respon klinis dan mikrobiologi yang lambat ( > 96 jam) pada terapi antibiotik
b. EI jantung kanan dengan komplikasi gagal jantung, vegetasi lebih besar dari 20 mm,
gagal nafas akut, melastasis fokus septik di luar paru (termasuk empyema), atau
komplikasi ekstra kardiak seperti gagal ginjal akut
c. Terapi antibiotik selain penisilin resisten-penisilinase
d. POIV dengan imunosupresi berat dengan atau tanpa AIDS

Ada dua indikasi utama operasi (rekomendasi kelas II-A) :


a. EI disebabkan oleh mikroorganisme yang sulit untuk direduksikan (contoh, resisten
terhadap jamur), atau bakterimia minimal tujuh hari (contoh, S. Aureus,
P.Aeruginosa) dengan terapi antimikroba adekuat.
b. Vegetasi katup mitral yang lebih besar dari 20 mm yang menetap setelah emboli paru
yang berulang dengan atau tanpa gagal jantung kanan.

Penyulit Yang Mungkin Timbul


 Payah Jantung
 Emboli
 Gagal jantung
 Gagal ginjal akut
 Mitral kissing vegetation
 Aritmia dan gangguan konduksi
 Mikotik aneurisma

Tindakan Bedah Pada Endokarditis Infektif


Pembedahan merupakan keharusan pada setidaknya 30 % kasua dengan EI aktif dan pada 20-
40 % pasien setelah fase penyembuhan.
Prognosis lebih baik bila pembedahan dilakukan sebelum munculnya kelainan patologi
kardiak dan sebelum kondisi umum pasien memburuk, tanpa mempertimbangkan lamanya
terapi antibiotik yang telah diberikan. Usia bukan kontraindikasi bedah.
Indikasi bedah harus berdasarkan evaluasi klinis yang tepat dan teliti, hasil tes mikrobiologis,
serta informasi dari pemeriksaan ekokardiografi (berulang).
Indikasi operasi pada EI katup alamiah aktif :
a. Regurgitasi aorta atau mitral akut dan gagal jantung
b. Bukti perluasan infeksi ke pervalvular (infeksi lokal tak terkontrol)
c. Infeksi menetap setelah 7-10 hari pengobatan dengan antibiotik yang adekuat
d. Infeksi yang disebkan mikroorganisme yang tidak berespon baik dengan antibiotik
(misalnya jamur, brucella spp,, enterokokus, coxiella spp., dengan resistensi tinggi
gentamisin)
e. Vegetasi mobile > 10 mm sebelum dan selama 1 minggu pengobatan antibiotik
f. Emboli berulang walau dalam terapi antibiotik

183
g. Vegetasi yang menyebabkan obstruksi

Indikasi operasi pada EI katup buatan :


a. Endokarditis infeksi dini
b. Gangguan hemodinamik bermakna katup protesa
c. Bukti perluasan infeksi ke perivalvular
d. Emboli berulang walau dalam terapi antibiotik
e. Infeksi yang disebabkan mikroorganisma yang tidak berespon baik dengan antibiotik
f. Vegetasi yang menyebabkan obstruksi

Prevensi Endokarditis Infektif


Kondisi jantung dengan risiko paling tinggi kejadian endokarditis sehingga perlu profilaksis
untuk tindakan gigi adalah :
- katup jantung buatan
- riwayat IE sebelumnya
- Penyakit jantung kongenital
- Penyakit jantung kongenital sianotik yang belum dikoreksi, termasuk shunts
dan conduitss paliatif
- Kelainan jantung kongenital yang sudah dikoreksi total dengan bahan atau alat
buatan, yang dikerjakan bedah atau intervensi kateler selama 6 bulan pertama
pasca tindakan
- Kelainan jantung kongenital yang sudah dikoreksi dengan defek residu pada
atau dekat dengan prosthetic patch atau prosthetic device (yang menginhibisi
endotelialisasi)
- Ponerima transplantasi jantung yang mengalami valvulopati jantung

Prosedur gigi yang direkomendasikan mendapat profilaksis endokarditls semua prosedur


yang melibatkan manipulasi jaringan gingvia atau daerah periapikal gigi atau perforasi
mukosa oral

Tatalaksana profilaksis EI untuk proses gigi


Tatalaksana profilaksis EI untuk prosedur gigi dapat dilihat pada tabel berikut

184
Tabel 8. tatalaksana profilaksis EI untuk prosedur gigi
Keadaan Obat Cara : dosis tunggal 30 sampai 60 menit
sebelum prosedur
Oral Amoksisilin 2 gr 50 mg/kg BB
Tidak bisa oral Amolsilin 2 gr IM atau IV 50 mg/kg IM atau IV
Atau 1 gr IM atau IV 50 mg/kg IM atau IV
Cefazolin
Ceftriakson

Alergi penisilin atau Cefaleksin 2 gr 50 mg/kg


ampisilin oral atau
Klindamisin 600 mg 20 mg/kg
atau
Azitromisin atau 500 mg 15 mg/kg
klaritromisin

Alergi penisilin atau Cefazolin atau 1 gr IM atau IV 50 mg/kg IM atau IV


ampisilin dan tidak ceftriakson^ atau
bisa per oral kindamisin 600 mg IM atau IV 20 mg/kg IM atau IV

Atau golongan sefalosporin generasi pertama dan kedua lain dengan dosis ekuivalen
^Sefalosporin tidak boleh digunakan pada riwayat anafilaksis, angioedema, urtikaria dengan
penisilan atau ampisilin

Tatalaksana profilaksis EI untuk prosedur saluran nafas


Dapat dipertimbangkan pemberian antibiotika seperti yang tercantum di tabel 22 untuk pasien
dengan risiko tinggi tersebut diatas yang menjalani tindakan invasif di saluran nafas yang
melibatkan insisi atau biopsi mukosa pernafasan seperti tonsilektomi dan adenoidektomi.
Untuk bronkoskopi tidak dianjurkan kecuali ada tindakan insisi mukosa saluran nafas.

Tatalaksana profilaksis EI untuk prosedur saluran gastrointestinal (GI) dan


genitourinaria (GU)
Tidak dianjurkan pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah EI pada pasien yang
akan menjalani prosedur saluran GI dan GU. Termasuk esofagogastroduodenoskopi atau
kolonoskopi diagnostik. Pada pasien risiko tinggi EI yang terbukti infeksi saluran GI dan GU
atau bagi yang mendapat terapi antibiotik untuk prevensi infeksi luka atau sepsis pada
prosedur saluran GI dan GU, serta elektif sistoskopi atau prosedur saluaran kemih lain, dapat
diberi antibiotik termasuk untuk enterokokus seperti penisilin, piperasilin atau vankomisin.

185
Tabel 9. Tatalaksana proflilaksia untuk prosedur saluran GU atau GI
Tidak Alergi Penicilin
Resiko
Resiko tinggi Cara Waktu Cara Waktu
sedang
Amoxicilin + 1,5 mg/kg I.V. 1/2 -1 jam 2 g I.V./p.o 1/2 -1 jam
gentamicin atau sebelum Amoxicilin/ Sebelum
I.M Ampicilin
Amoxicilin/Ampicilin p.o Setelah
alergi Penicilin
Resiko
Resiko Tinggi Cara Waktu Cara Waktu
sedang
Vancomycind + 1,5 I.V/IM. 1-2 jam 1g I.V/I.M 1-2 jam
mg/kg Gentamicin Sebelum Vancomycin Sebelum

Pasien yang mendapat antikoagulan


Pemberian injeksi intramuscular untuk profilaksis EI harus dihindari pada pasien yang
mendapat terapi antikoagulan. Jika pasien tidak bisa memakan obat peroral, maka diberi
secara intravena.

Pasien yang akan menjalani operasi janatung


Pada pasien yang akan menjalani opersi penggantian katup jantung atau koreksi kelainan
jantung bawaan, dianjurkan pemeriksaan gigi preoperatif secara teliti dan jika mungkin
diobati secara tuntas operasi.

Daftar Pustaka
1. Guldelines on Prevention, Diagnosis and Treatment of infective Endocarditis. The task
force on infective Endocarditis of the European Society of Cardiology 2004.
2. Infective Endocaditis. Guidelines from the American Heart Association 2005
3. Prevention of infective Endocarditis, Guidelines from the American Heart Association
2007
4. WG. Daniel, F. Flachskamf. Infective Endocaditis. In The ESC tezt book on
cardiovascular medicine. Blackwell publishing 2005 : 671 – 684

186
44. ATRIOVENTRIKULAR BLOK

Definisi Heart block merupakan suatu keadaan gangguan konduksi di AV node dan
interval PR adalah waktu yang dibutuhkan oleh impuls listrik untuk menjalar
dari atrium ke AV node – bundle his – cabang ventrikel. Interval PR normal
berkisar (0,12 – 0,20 detik).

Ada 3 derajat dari AV blok yang diketahui.


1. AV Blok Derajat 1
Terjadi perpanjangan interval PR yaitu > 0,20 detik sampai 0,24 detik,
tetapi setiap gelombang P masih diikuti kompleks QRS. Gangguan terjadi
pada konduksi proksimal bundle his yang disebabkan oleh intoksikasi
digitalis, peradangan, degenerasi dan variasi normal. Biasanya tidak
membutuhkan terapi apa-apa. Interval PR konstan.
2. AV Blok derajat 2
a. Tipe 1 / Mobitz II
Yaitu Derajat 2 AV blok Mobitz I (Wenckenbach blok), yang terdiri
dari pemanjangan interval PR yang progresif dengan diikuti single P
nonkonduksi. Wenckebach block merupakan perpanjangan interval PR
yang progresif kegagalan impuls yang intermiten sehingga impuls tidak
dapat sampai ventrikel akhirnya kompleks QRS tidak muncul. Mobitz
type 1 ini terjadi karena blokade impuls di proksimal bundle his oleh
karena penekanan vagal reflek, digitalis dan iskemik miokard sampai
gangguan haemodinamik.
b. Tipe 2 / Mobitz II
PR interval konstan yang diikuti kegagalan dari konduksi gelombang
P ke ventrikel, jadi tipe konduksinya 2:1 (2konduksi dan 1 blok), 3:1
(3konduksi dan 1 blok), dan begitu seterusnya Kekurangan denyut
ventrikel bisa tidak teratur dan blokade terjadi pada distal bundel his.
Penyebabnya adalah IMA, miokarditis dan degeneratif. Mobitz type 2
sering menimbulkan serangan sinkope dan membutuhkan pemasangan
pace maker.
3. AV Blok Derajat 3 / Total AV Blok
Tidak ada hubungan yang terlihat antara irama gelombang P dan irama
komplek QRS di AV blok derajat tiga. Frekuensi dari gelombang P (atrial
rate) adalah lebih tinggi daripada frekuensi komplek QRS (ventrikular
rate).
Didiagnosa ketika tidak ada konduksi impuls suparventrikular ke ventrikel.
Gelombang P di garis irama merefleksikan irama nodus sinus yang
independen dari gelombang QRS komplek. Komplek QRS yang muncul
adalah irama escape, juga junctional atau ventrikular. Irama escape
bersumber dari junctional atau septum atas yang memiliki karakteristik
QRS komplek yang sempit dengan frekuensi 40-50 gelombang/menit,
dimana irama escape dari ventrikel bagian bawah yang memiliki
karakteristik komplek QRS yang luas denga frekuensi 30-40
gelobang/menit.

Ini adalah bentuk blokade jantung yang komplit yaitu tidak ada impuls
atrium yang mencapai ventrikel sehingga ventrikel berdenyut sendiri

187
berasal dari nodus ventrikel sendiri. Gambaran EKG memperlihatkan
gelombang P teratur dengan frekuensi 60 – 90 X / menit, sedangkan
kompleks QRS mempunyai frekuensi 40 – 60 X / menit. Penyebabnya
adalah degenerasi, IMA, peradangan, intoksikasi, infark sering terjadi
sementara. Bila blokade menetap perlu pemasangan pace maker permanen.
Type ini dapat menyebabkan sinkope, kelelahan, sesak dan angina pada
orang tua karena gangguan haemodinamik.
Kriteria 1. AV Blok Derajat 1
Penegakan Terjadi perpanjangan interval PR yaitu > 0,20 detik sampai 0,24 detik,
Diagnosa tetapi setiap gelombang P masih diikuti kompleks QRS.
2. AV Blok derajat 2
a. Tipe 1 / Mobitz II
Yaitu Derajat 2 AV blok Mobitz I (Wenckenbach blok), yang terdiri
dari pemanjangan interval PR yang progresif dengan diikuti single P
nonkonduksi.
b. Tipe 2 / Mobitz II
PR interval konstan yang diikuti kegagalan dari konduksi gelombang
P ke ventrikel, jadi tipe konduksinya 2:1 (2konduksi dan 1 blok), 3:1
(3konduksi dan 1 blok), dan begitu seterusnya
3. AV Blok Derajat 3 / Total AV Blok
Didiagnosa ketika tidak ada konduksi impuls suparventrikular ke ventrikel.
Gelombang P di garis irama merefleksikan irama nodus sinus yang
independen dari gelombang QRS komplek. Komplek QRS yang muncul
adalah irama escape, juga junctional atau ventrikular.
Diagnosa Banding 1. Sinus Bradicardia
2. Sick Sinus Syndrome
3. Junctional Rhythm
4. AF Slow Ventricular Respons
Pemeriksaan 1. EKG 12 lead dan EKG lead 2 panjang
Penunjang 2. Foto Thoraks
1. Laboratorium lengkap
StandarTenaga Dokter spesialis jantung pembuluh darah
Perawatan RS Rawat Inap di Ruang intensif Jantung Pembuluh darah
Tatalaksana Terapi Umum :
1. Pertahankan jalan nafas yang adekuat
2. Berikan oksigen bila terdapat tanda hipoksemia
3. Pasang Jalur intravena
4. Pasang monitor EKG
Terapi spesifik (bila terjadi AV blok derajat 2 tipe 2 atau derajat 3 dan atau
tanda-tanda hipotensi :
1. Injeksi Sulfas Atropin 0,5 mg bolus, dapat diulangi setiap 3-5 menit, dan
maksimal 3 mg
2. Pertimbangkan pemasangan pacu jantung transkutan, intravena, atau pacu
jantung sementara intracardiac
3. Bila tidak memungkinkan dilakukan pacu jantung, berikan infuse drip
dopamine dosis 2-10 mikrogram/kgBB/I atau infuse drip epinefrin 2-10
mikrogram/menit
Terapi definititf :
1. Atasi penyakit dasar yang dapat dikoreksi seperti ketidakseimbangan
elektrolit, penyakit sistemik, intoksikasi obat-obatan, dan iskemia miokard

188
2. Bila diidentifikasi penyebabnya sudah ireversibel, lakukan pemasangan
pacu jantung menetap
Komplikasi Hipotensi menetap berkepanjangan menyebabkan gagal jantung, hipoperfusi
jaringan yang dapat menyebabkan henti jantung dan kematian
Lama Perawatan Bergantung berat ringan penyebab, bila karena :
(termasuk masa 1. Suatu infark myocard akut, maka durasi rawatan sekitar 5-7 hari
pemulihan) 2. Bila karena intoksikasi obat-obatan, durasi rawatan sekitar 3-5 hari
3. Bila karena ketidak seimbangan elektrolit , durasi rawatan sekitar 3-5
hari
4. Bila karena penyakit sistemik yang lain, bergantung penyakit sistemik
tersebut
Referensi 1. Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Neumar, R. W., Circulation
2010;122;S729-S767
Algoritma Terlampir

189
190
45. VENTRIKULAR TAKIKARDI (VT) /VENTRIKULAR FIBRILASI (VF)

Definisi Takikardia didefinisikan sebagai artimia dengan denyut nadi lebih dari
100 kali per menit dimana signfikansi untuk perubahan klinis biasanya
dijumpai pada denyut nadi > 150 kali per menit.
Takikardia dengan kompleks QRS lebar ditentukan dengan durasi QRS
pada EKG > 0.12 detik.Bila dijumpai iramanya teratur maka
kemungkinan besar suatu VT dan bila iramanya tidak teratur dan jelek,
umumnya adalah suatu VF. Pada kedua keadaan ini biasanya
hemodinamik akan tidak stabil, namun pada VT dapat dijumpai keadaan
VT dengan hemodinamik stabil. Kedua kondisi ini membutuhkan
penangganan segera.
Takikardia dengan kompleks QRS lebar dapat dijumpai pada 2 setting
klinis yakni pada :
1. Pasien dengan henti jantung
2. Pasien dengan takikardia QRS lebar dengan pulsasi nadi

Klasifikasi Ventrikel Takikardi


Secara umum Ventrikel Takikardi dapat dibagi menjadi :
VT monomorfik
VT monomorfik memiliki kompleks QRS yang sama pada tiap denyutan
dan menandakan adanya depolarisasi yang berulang dari tempat yang
sama. Umumya disebabkan oleh adanya focus atau substrat aritmia yang
mudah dieliminasi dengan teknik ablasi kateter.
VT polimorfik
VT polimorfik ditandai dengan adanya kompleks QRS yang bervariasi
dan menunjukkan adanyaurutan depolarisasi yang berubah dari beberapa
tempat.Biasanya VT ini berkaitan dengan jaringan parut (scar tissue)
akibat infark miokard (ischemic VT).Bila VT berlangsung lebih dari 30
detik disebut sustained dan sebaliknya bila kurang dari 30 detik disebut
non sustained.

Kriteria Berdasarkan EKG dimana Takikardia dengan kompleks QRS lebar


Penegakan ditentukan dengan durasi QRS pada EKG > 0.12 detik. Bila dijumpai
Diagnosa iramanya teratur maka kemungkinan besar suatu VT dan bila iramanya
tidak teratur dan jelek, umumnya adalah suatu VF
Diagnosa 1. VT
Banding 2. VF
3. SVT dengan aberans
4. Irama pacemaker
Pemeriksaan 1. EKG 12 lead dan EKG lead 2 panjang
Penunjang 2. Foto Thoraks
3. Laboratorium lengkap
StandarTenaga Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah
Perawatan RS 1. Penanganan awal diruang resusitasi/monitor di IGD
2. Penanganan selanjutnya di ruang intensif kardiovaskular
Tatalaksana Penatalaksanaan dibagi menjadi 2 tata cara yakni :
1. Penatalaksanaan VT/VF pada henti jantung
Henti jantung disebabkan oleh 4 jenis irama yakni asistol, PEA, VT

191
dan VF. Tidak satupun dari 4 jenis irama ini akan menghasilkan
aliran darah yang signifikan.
Pada pasien dengan henti jantung, langkah-langkah yang harus
dilakukan adalah :
a. Panggil bantuan dan aktifkan sistem code blue
b. Mulai RJP dengan kompresi 30 kali dengan kecepatan 100 kali
per menit
c. Pasang monitor/alat defibrillator otomatis
d. Periksa irama, apakah VT/VF (shockable) atau PEA/asystol
(tidak shockable)
e. Bila shockabel maka lakukan precordial thump bila alat
defibrillator tidak tersedia. Bila alat defibrillator tersedia lakukan
DC Shock 200 joule bifasik atau 360 joule monofasik
f. Dilanjutkan dengan CPR selama 2 menit dan pastikan jalur
intravena telah tersedia
g. Bila masih VT/VF lanjutkan dengan defibrilasi
h. Dilanjutkan dengan CPR selama 2 menit, dan mulai berikan
injeksi epinefrin yang dapat diulangi setiap 3-5 menit, serta
pertimbangkan pemasangan ETT
i. Cek irama, bila masih VT/VF, lakukan kembali defibrilasi.
j. Dilanjutkan dengan CPR selama 2 menit, dan berkan injeksi
amiodarone injeksi bolus 300 mg, yang dapat diulangi sekali
dengan dosis 150 mg.
k. Lanjutkan dengan CPR selama 2 menit dan mulai cari penyebab
reversible yakni 5H5T (hipovolemia, hipoksia, hydrogen ion
asidosis, hipo/hiperkalemia, hipotermia, toxin, tension
pneumotoraks, tamponade cardiac, thrombosis pulmonal, dan
thrombosis koroner) dan atasi penyakit tersebut
l. Lakukan siklus CPR secara berulang dengan pemberian adrenalin
setiap 3-5 menit.
m. Bila terjadi ROSC lanjutkan ke penanganan post cardiac arrest
n. Bila sudah berlangsung RJP sekitar 25 menit dan tanda-tanda
kembalinya sirkulasi tidak ada, maka harapan hidup semakin
tipis. Penolong diperbolehkan menghentikan RJP (kecuali pada
beberapa kasus dengan etiologi yang membutuhkan pertolongan
lebih lama, sepreti pada intoksikasi digitalis)

2. Penatalaksanaan takikardia QRS lebar dengan pulsasi nadi


Langkah-langkah penanganan takikardia QRS lebar adalah :
a. Pastikan jalan nafas bersih, berikan oksigen bila hipoksemia, dan
pasang monitor ekg
b. Menentukan kondisi hemodinamik apakah stabil atau tidak stabil.
Kondisi disebut tidak stabil bila terjadi salah satu dibawah ini :
i. Hipotensi
ii. Perubahan status mental/kesadaran
iii. Tanda syok
iv. Ketidaknyamanan dada sugstif iskemia
v. Gagal jantung akut
c. Pasien dengan kondisi hemodinamik tidak stabil, diasumsikan
sebagai VT, maka lakukan kardioversi sinkronisasi 100 joule.

192
Bila irama VF dosisnya sesuai dosis defibrilasi. Sebelum
sinkronisasi, eprtimbangkan pemberian sedasi.
d. Pasien dengan kondisi hemodinamik stabil, lanjutkan dengan
perawatan di ruang intensif jantung. Terapi medikamentosa
dengan :
i. Terapi dengan pemberian adenosin pada VT yang regular
dan monomorfik. Pada pasien dengan hemodinamik tidak
stabil, dengan irama yang irregular dan polimorfik karena
dapat membawa irama VT menjadi VF.
ii. Bila pasien sugestif suatu VT dengan hemodinamik yang
cenderung stabil dalam pemantauan, maka dapat diberkan
pilihan apakah terapi antiaritmia atau kardioversi elektif.
Terapi antiaritmia dengan amiodarone bolus 150 mg, dan
maintenance 360 mg dalam 6 jam I selanjutnya 540 mg
dalam 18 jam berikutnya.
Komplikasi Komplikasi yang mungkin timbul akibat adanya gangguan irama jantung
adalah sinkop (pingsan), hipo atau hipertensi, sesak napas, dan lain-lain.
Namun komplikasi yang paling buruk adalah mati mendadak dan
terbentuknya trombo-emboli yang dapat menyebabkan stroke dan
gangguan pada pembuluh darah lainnya.
Ketidakstabilan hemodinamik berkepanjangan menyebabkan gagal
jantung dan hipoperfusi jaringan yang dapat menyebabkan henti jantung
dan kematian
Lama Perawatan Bergantung berat ringan penyebab, bila karena :
1. Suatu infark myocard akut, maka durasi rawatan sekitar 5-7 hari
2. Bila karena kelainan elektrikal jantung, maka dapat menetap atau
kovenrsi ke irama sinus, masa rawatan di RS HAM 3-5 hari, bila
tidak teratasi harus dirujuk ke PJNHK untuk tindakan
elektrofisiologi
3. Bila karena ketidak seimbangan elektrolit , durasi rawatan sekitar
3-5 hari
4. Bila karena penyakit sistemik yang lain, bergantung penyakit
sistemik tersebut
Referensi 1. Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Neumar, R.
W., Circulation 2010;122;S729-S767
Algoritma Terlampir

193
194
195
196
46. PENYAKIT GINJAL TAHAP AKHIR

Definisi
Penyakit ginjal kronik merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal
tahap akhir ada suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel yang memerlukan terapi penganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau
transplantasi ginjal.
Anamnesis
Pasien penyakit ginjal kronik sering tidak mennjukkan gejala hingga pada tahap laju filtrasi
ginjal < 30 ml/ menit. Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi gambaran
sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu
saluran kemih, hipertensi, hiperurikemia, lupus eritematosis dan sebagainya. Pada penyakit
ginjal tahap akhir menunjukkan gejala dan tanda pada berbagai organ yang terlibat. Gejala
dapat berupa sindroma uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perfier, pruritus, uremik frost, perikarditis,
kejang-kejang sampai koma. Gejala komplikasinya antara alin hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik seringkali memberikan gambaran yang tidak khas. Penderita penyakit
ginjal tahap akhir menunjukkan tanda – tanda fisik tampak kesakitan, pucat, pada umumnya
menunjukkan gambaran retensi cairan berupa edema pada tungkai, edema paru, tekanan vena
jugularis meningkat, ronki basah basal di kedua paru. Pada pemeriksaan fisik juga dapat
didapat pernafasan yang cepat dan dalam akibat asidosis metabolic ( Pernafasan Kussmaul),
pruritus sehingga dapat ditemukan bekas garukan pada kulit.
Kriteria Diagnosis
Kriteria penakit ginjal kronik antara lain :
 Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus ( LFG) dengan
manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, terutama kelainan dalam komposisi darah
atau urin atau kelainan dalam tes pencitraan ( imaging test)
 Laju filtrasi glomerulus ( LFG) kurang ari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi diagnosi banding etiologi peenyebab penyakit ginjal tahap akhir
antara lain diabetes mellitus (20-40%), hipertensi (5-25%), penyakit glomerulus (10-20%),
penyakit ginjal interstitial (5-15%), stenosis arteri renalis, penyakit inflamasi sistemik,
congenital/turunan (5%), tidak diketahui (5-20%)
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : Pengambilan darah untuk pemeriksaan kreatinin serum, elektrolit, kadar
kalsium, fosfat, darah perifer lengkap, profil anemia mencakup kadar besi dan feritin serum,
kadar lipid, serologi hepatitis B dan C, antibody HIV dan antinuclear antibody.
Kelainan urinalisa meliputi proteinuria, hematuria, leukosituria, cast
Pemeriksaan Radiologis meliputi : foto polos abdomen, ultrasonografi ginjal untuk melihat
ukuran ginjal, korteks ginjal, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi ginjal : hanya dilakukan bila pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal dimana diagnosis secara noninvasive tidak dapat

197
ditegakkan. Kontraindikasi biopsy ginjal pada ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan dara,
gagal nafas dan obesitas.
Terapi :
Penatalaksanaan di Instalasi Gawat Darurat bertujuan bertujuan untuk penanganan
komplikasi dari penyakit ginjal tahap akhir :
 Oksigen 2-4 liter/menit melalui nasal kanul atau sungkup ( saturasi O2 dipertahankan
> 90 %)
 Pemberian diuretic untuk edema dan overload cairan pada keadaan seperti edema paru
 Pemberian Bikarbonat untuk mengatasi asidosis metabolic
 Hiperkalemia meruapkan komplikasi yang mengancam jiwa . Penanganan sementara
dapat diberikan insulin regular 10 unit dengan Dekstrose 40 % 50 cc, pemberian
diuretik, pemberian calcium glukonas 1 flc untuk menstabilisasi otot jantung,
mengunakan B2 agonis secara nebulizer ( albuterol 5-20 mg nebulizer ), dan bila
hiperkalemia berat dilakukan dialysis.
 Anemia: Bila kadar hemoglobin di bawah 10 g / dL, obati dengan agen perangsang
eritropoiesis (ESA) seperti epoetin alfa atau darbepoetin alfa (sebelumnya,
peginesatide juga dianggap sebagai pilihan untuk anemia pada CKD, namun obat ini
ditarik dari pasar pada Februari 2013 karena reaksi hipersensitivitas yang serius.
 Hiperfosfatemia: Obati dengan pengikat fosfat pada makanan dan pembatasan diet
fosfat
 Hipokalsemia: Tatalaksana dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa calcitriol
 Hiperparatiroidisme: Tatalaksana dengan calcitriol, analog vitamin D, atau
calcimimetics
 Volume kelebihan: Tatalaksana dengan diuretik loop atau ultrafiltrasi
 Asidosis metabolik: Tatalaksana dengan suplementasi alkali oral
 Manifestasi uremik: Tatalaksana dengan terapi jangka panjang pengganti ginjal
(hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal)
 Kegagalan pertumbuhan pada anak-anak: Tatalaksana dengan hormon pertumbuhan

Penatalaksanaan Kelainan Tulang dan Mineral Pada Penyakit Ginjal Tahap Akhir :
 Menurunkan kadar fosfor serum yang tinggi
 Mempertahankan kadar kalsium serum
 Menurunkan kadar hormon paratiroid serum
 Memberikan profilaksis osteoporosis

Penatalaksanaan Risiko Kardiovaskular Pada Penyakit Ginjal Tahap Akhir :


 Orang dewasa berusia 50 tahun atau di atas dengan tingkat estimasi filtrasi glomerulus
(GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 yang tidak dirawat dengan dialisis jangka
panjang atau transplantasi ginjal harus diobati dengan statin atau statin ditambah
ezetimibe
 Pengobatan dengan statin atau statin / ezetimibe tidak boleh dimulai pada Pasien
PGTA yang tergantung pada dialisis
 Pasien yang sudah dirawat dengan statin pada saat dialisis maka statin harus
dilanjutkan
 Pasien transplantasi ginjal dewasa harus mendapatkan statin karena peningkatan
risiko kejadian koroner
 Orang dewasa berusia 18-49 tahun dengan GFR kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 yang
tidak dirawat dengan dialisis atau transplantasi ginjal harus diobati dengan statin jika

198
mereka memiliki penyakit koroner, diabetes, stroke iskemik sebelumnya, atau
diperkirakan 10-tahun kejadian kematian koroner atau infark miokard nonfatal
melebihi 10%
 Low-density lipoprotein kolesterol adalah tes cukup untuk risiko kardiovaskular pada
individu dengan PGTA, dan orang dewasa dengan yang baru didiagnosa PGTA harus
menjalani pengujian lipid profil
 Orang dewasa berusia 50 tahun atau lebih tua dengan PGTA dan GFR terduga sebesar
60 mL/min/1.73 m2 atau lebih tinggi harus diobati dengan statin

Indikasi Terapi Pengganti Ginjal Pada Pasien PGTA :


 Asidosis metabolik yang parah
 Hiperkalemia
 Pericarditis
 Ensefalopati
 Volume overload
 Gagal tumbuh dan malnutrisi
 Neuropati perifer
 Gejala gastrointestinal
 Pada pasien dewasa tanpa gejala, tingkat filtrasi glomerulus (GFR) 5-9 mL/min/1.73
m², terlepas dari penyebab CKD atau adanya tidak adanya penyakit penyerta lainnya

Aturan Diet Pasien PGTA :


 Energi cukup, yaitu 35 kkal /kgBB
 Protein rendah, yaitu 0,6-0,75 g/kgBB. Sevabgian harus bernilai biologic tinggi
 Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan energy total. Diutamakan lemak tidak
jenuh ganda.
 Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energy yang berasal dari
lemak dan protein
 Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, asites, oliguria, atau anuria.
Banyaknya natrium yang diberikan antara 1-3 g
 Kalium dibatasi (40-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah >5,5 mEq),
oluguria, atau anuria
 Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran cairan
melalui keringat dan pernapasan ( ± 500 ml)
 Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam fosfat, vitamin C, dan
vitamin D.

Aturan Diet Pasien dengan PGTA yang menjalani dialysis :


 Energi cukup, yaitu 35 kkal/kgBB ideal/hari pada pasien dengan hemodialisis ataupun
continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD). Pada CAPD diperhitungkan jumlah
energy yang berasal dari cairan dialysis. Bila diperlukan penurunan berat badan, harus
dilakukan secara berangsur-angsur (250-500 g/minggu) untuk menguranfi risiko
katabolisme massa tubuh tnpa lemak.
 Protein tinggi untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mengganti asam
amino yang hilang selama dialysis, yaitu 1-1,2 g/kgBB ideal/hari pada HD dan 1,3
g/kgBB ideal/hari pada CAPD. 50% protein hendaknya bernilai biologi tinggi
 Karbohidrat cukup yaitu 55-75% dari kebutuhan energy total
 Lemak normal yaitu 15-30% dari kebutuhan energy total
 Natrium diberikan sesuai dengan jumlah urin yang keluar/24 jam, yaitu :

199
 1 g + penyesuaian menurut jumlah urin sehari, yaitu 1 g untuk tiap ½ liter urin
(HD)
 1-4 g + penyesuaian menurut jumlah urin sehari, yaitu 1 g untuk tiap ½ liter
urin (CAPD)
 Kalium sesuai dengan jumlah urin yang keluar/24 jam, yaitu :
 2 g + penyesuaian menurut jumlah urin sehari, yaitu 1 g untuk tiap 1 liter urin
(HD)
 3 g + penyesuaian menurut jumlah urin sehari, yaitu 1 g untuk tiap 1 liter urin
(CAPD)
 Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila perlu diberikan suplemen kalsium
 Fosfor dibatasi, yaitu <17 mg/kgBB dieal/hari
 Cairan dibatasi, yaitu jumlah urin / 24 jam ditambah 500-750 ml
 Suplemen vitamin bila diperlukan, terutama vitamin larut air seperti B6, asam folat,
vitamin C
 Bila nafsu makan kurang, berikan suplemen enteral yang mengandung energy tinggi
dan protein tinggi

Daftar Pustaka
1. Longo, Fauci, Kasper, dkk. 2013. Harrison’s Manual of Medicine. International
Edition. Halaman : 960-964
2. Arora,P. 2014. Chronic Kidney Disease Treatment and Management. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/238798-treatment#aw2aab6b6b5
3. Almatsier, S. 2005. Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto
Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. Halaman : 178-190

200
47. HIPERTENSI

Defenisi
Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan
dimana tekanan darah seseorang adalah ~140 mm Hg (tekanan sistolik) dan/ atau ~90 mmHg
(tekanan diastolik)

Definisi dan Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC-VII 2003

Anamnesis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi
esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat
berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul
gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung
a. Otak & mata :sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attack, defisit sensoris / motoris
b. Jantung :palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal :haus, poliuria, nokturia, hematuri
d. Arteri perifer :ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan funduskopi ,
perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan
(meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi pada
kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk
melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi
ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis

Diferensial Diagnosis
Hipertensi dapat didifernsial diagnosis dengan gangguan kecemasan, hipertiroidism,
kardiomiopati, phaecromocytoma, amfetamin toxicity, dll.

Pemeriksaan penunjang
a. Tes darah rutin
b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)
c. lipid profile
d. Asam urat serum
e. Kreatinin serum
f. Kalium serum
g. Urinalisis
h. Elektrokardiogram

201
i. Fota x-ray dada
j.Ekokardiografi

Diagnosis
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran. Diagnosis baru
dapat ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda kecuali
terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis.
Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah pasien beristirahat 5
menit. Posisi pasien adalah duduk bersandar dengan kaki di lantai dan lengan setinggi
jantung. Ukuran dan letak manset serta stetoskop harus benar. Ukuran manset standar untuk
orang dewasa adalah panjang 12-13 cm dan lebar 35 cm.
Penentuan sistolik dan diastolik dengan menggunakan Korotkoff fase I dan V. Pengukuran
dilakukan dua kali dengan jeda 1-5 menit. Pengukuran tambahan dilakukan jika hasil kedua
pengukuran sangat berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan
pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah
Terapi
Lihat algoritma penatalaksanaan hipertensi
1. Modifikasi Gaya Hidup
Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), perencanaan diet yang
dilakukan berupa makanan yang tinggi kalium dan kalsium, rendah natrium, olahraga, dan
mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan penyakit
kardiovaskuler
Modifikasi Rekomendasi Perkiraan Penurunan
Tekanan Darah Sistolik
(Skala)
Menurunkan Memelihara Berat Badan Normal 5-20 mmHg/ 10 kg
Berat Badan (Indeks Massa Tubuh 18.5–24.9 penurunan Berat Badan
kg/m2).
Melakukan pola Mengkonsumsi makanan yang kaya 8 – 14 mmHg
diet berdasarkan dengan buah-buahan, sayuran,
DASH produk makanan yang rendah
lemak, dengan kadar lemak
total dan saturasi yang rendah.
Diet Rendah Menurunkan Intake Garam sebesar 2-8 mmHg
Natrium 2-8 mmHg tidak lebih dari 100
mmol per-hari (2.4 gr Natrium atau
6 gr garam).
Membatasi Membatasi konsumsi alkohol tidak 2 -4 mmHg
Penggunaan lebih dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml
alkohol ethanol; misalnya 24 oz bir, 10 oz
anggur, atau 3 0z 80 whiski) per-
hari pada sebagian besar laki-laki
dan tidak lebih dari 1 gelas per-hari
pada wanita dan laki-laki yang
lebih kurus.
DASH, Pendekatan Diet Untuk Menghentikan Hipertensi
* Untuk semua penurunan resiko kardiovaskuler, berhenti merokok

2. Terapi Farmakologi
Terdapat beberapa data hasil percobaan klinik yang membuktikan bahwa semua kelas obat

202
antihipertensi, seperti angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI), angiotensin reseptor
bloker (ARB), beta-bloker (BB), kalsium chanel bloker (CCB), dan diuretik jenis tiazide,
dapat menurunkan komplikasi hipertensi yang berupa kerusakan organ target. Obat diuretik
jenis tiazide harus digunakan sebagai pengobatan awal pada semua pasien dengan hipertensi,
baik penggunaan secara tunggal maupun secara kombinasi dengan satu kelas antihipertensi
lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB)

Tabel obat-obat antihipertensi

203
Edukasi
- Diet: cegah konsumsi air berlebihan, cegah malnutrisi, makan makanan sehat
- Alkohol dan rokok: berhenti minum alkohol dan merokok
- Olahraga: lakukan olahraga secara teratur sesuai dengan yang telah ditentukan
- Aspek psikososial: diperlukan dukungan sosial untuk memberi pengertian mengenai
gejala yang dapat menimbulkan depresi dan pengobatan secara teratur.
Prognosis
Dubia

Kepustakaan

1) 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in


Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National
Committee (JNC 8). JAMA. 2014;311(5):507-520.

2) SEVENTH REPORT OF THE JOINT NATIONAL COMMITTEE ON


PREVENTION, DETECTION, EVALUATION, AND TREATMENT OF HIGH
BLOOD PRESSURE. Hypertension. 2003;42:1206-1252;

204
Algoritma Penatalaksanaan hipertensi

205
48. ANEMIA

Definisi
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit. Tetapi yang paling lazim di pakai adalah hemoglobin.
Nilai normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Kriteria anemia yang sering
dipakai adalah berdasarkan WHO. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri,
tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit lain.
Kriteria Anemia Menurut WHO

Anamnesis
Gejala umum anemia bergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan
hemoglobin, usia dan adanya kelaiann jantung atau paru sebelumnya. Secara umum gejalanya
berupa rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga berdenging, mata berkunang-kunang, kaki terasa
dingin, sesak napas dan dispepsia.

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut
telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. Gejala lain yang dapat juga ditemukan pada
- Anemia defisiensi besi : atrofi papil lidah, stomatitis angularis dan kuku sendok,
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia apalastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

Pemeriksaan Laboratorium:
- Darah perifer lengkap - Pemeriksaan sumsum tulang
- Morfologi darah tepi
- Feses rutin
- Faal ginjal
- Besi serum (SI)
- TIBC
- Ferritin Serum
- Folat serum
- Vitamin B12 serum
- Tes supresi deoksiuridin
- Tes schiling
- Bilirubin serum
- Reticulosit Count
- Coombs test
- LDH
- Faal hemostasis
- Hb elektroforesis

206
Terapi
- Anemia di terapi berdasarkan penyebabnya
- Transfusi darah apabila Hb < 7 g/dl dan dengan gangguan hemodinamik
- Anemia defisiensi besi
o Pemberian tablet besi (sulfas ferosus) 3x200 mg diberikan selama 3-6 bulan, setelah
kadar Hb normal, dilanjutkan dengan 100-200 mg per hari.
o Vitamin C 3x 100 mg untuk meningkatkan absorbsi besi
o Apabila ada intoleransi ataupun kontraindikasi pemberian tablet besi, diganti dengan
besi parenteral dengan dosis

- Anemia aplastik
o Pemberian Antithymocyte globulin (ATG) dari kuda (AIGam dosis 20 mg/kg/hari
selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5mg/kg perhari selama 5 hari)
ditambah Siklosporin A (12-15 mg/kg, dosis terbagi) umumnya selama 6 bulan.
o Prednison 1 mg/kgbb selama 2 minggu pertama pemberian ATG
o Dapat juga dipertimbangkan pemberian imunosupresan: mycophenolate mofetil
(MMF), siklofosfamid dosis tinggi

- Anemia megaloblastik: akibat defisiensi vitamin B12 atau asam folat


o Kobalamin parenteral 1.000 ug (im) tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian
kobalamin parenteral 1.000 ug setiap bulannya.
o Asam folat 1 mg/hari (oral).

- Anemia Hemolitik Imun


o Kortikosteroid 1-1,5 mg/kg/hari sampai tercapai target Hb kemudian dosis diturunkan
sampai 10-20 mg/hari
o Imunosupresan: Azathioprin 50-200 mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 50-150
mg/hari (60mg/m2)
o Terapi lain:
- Imunoglobulin intravena (IVIG) 400 mg/kg/hari selama 5 hari
- MMF 500-1000 mg/hari
-Danazol 600-800 mg/hari bersamaan dengan steroid, apabila menunjukkan perbaikan
dosis steroid diturunkan dan dosis danazol mennjadi 200-400 mg/hari
- Rituximab 100mg/ minggu selama 4 minggu
- Transfusi darah bila dijumpai kondisi yang mengancam jiwa
- Splenektomi

- Anemia pada thalasemia


o Transfusi darah jika Hb < 7 g/dl
o Pemberian obat kelasi besi jika kadar besi berlebihan, dengan
Deferasirox (Exjade) dosis awal 20 mg/kg/hr bila sering transfusi
30 mg/kg/hari pada yang dengan kelebihan besi tinggi
10-15 mg/kg/hari pada yang dengan kelebihan besi rendah
DFO (desferal) dosis 50-60 mg/kg
Deferiprone (ferriprox) dosis 75 mg/kg/hari, dapat diberikan dengan DFO bila DFO
tidak efekrif

207
49. HEMOFILIA

Definisi
Hemofilia adalah kelainan perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang
biasanya diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X. Hemofilia A
terjadi akibat defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII. Hemofiia B terjadi akibat
defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan IX. Hemofilia yang didapat (acquired
haemophilia) adalah kondisi terpisah yang tidak diturunkan. Sangat jarang dibandingkan
dengan hemofilia kongenital dan berhubungan dengan penyebab autoimun tanpa adanya pola
keturunan genetik

Anamnesis:
Pasien dengan hemophilia, terutama hemophilia berat biasanya datang dengan keluhan utama
yang paling sering adalah nyeri sendi dan perdarahan spontan di daerah sendi atau otot,
gampang terjadi memar, dan seringnya perdarahan kecil yang berulang, sedangkan
hemophilia sedang lebih banyak hanya mengeluhkan perdarahan yang tidak berhenti setelah
adanya trauma kecil, hemophilia ringan biasanya mengeluhkan adanya perdarahan yang tidak
berhenti setelah trauma yang besar ataupun setelah tindakan bedah, tetapi biasanya jarang
terjadi perdarahan spontan pada hemophilia ringan. Dalam anamnesis harus ditanyakan jenis
perdarahan yang terjadi seperti mimisan yang berkepanjangan, hematuri, perdarahan saluran
cerna, perdarahan yang hebat setelah prosedur pencabutan gigi atau sirkumsisi, dan juga
menstruasi yang hebat (wanita yang karier). Riwayat keluarga juga penting untuk ditanyakan
(66% pasien memiliki riwayat keluarga yang juga menderita hemophilia)

Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik yang paling sering didapat adalah adanya perdarahan di sendi (lutut,
pergelangan kaki dan siku) dan juga otot. Presentasi yang sering berupa nyeri, bengkak,
hangat dan penurunan rentang pergerakan pada daerah sendi dan otot yang terlibat. Lebam
atau memar yang luas biasanya juga khas. Daerah yang paling sering adalah pada anggota
gerak bawah, walaupun di tempat lain juga bisa terjadi. Perdarahan saluran cerna dan saluran
kemih biasanya paling sering terjadi pada pasien usia tua, meskipun dapat juga muncul pada
semua kelompok usia dan tingkat keparahan.

Kriteria diagnosis:
Ringan :
 Kadar Faktor VIII atau IX > 0,05 tetapi <0,40 IU/mL (>5% dan <40% dari
normal)
 Biasanya dengan tampilan perdarahan yang lama hanya setelah pembedahan atau trauma
besar
Sedang :
 Kadar faktor VIII atau IX 0,01 sampai 0,05 IU/mL (diantara 1% dan 5% dari normal)
 Sering mengalami perdarahan setelah trauma kecil dan sesekali muncul perdarahan
spontan
Berat :
 Kadar faktor VIII atau IX <0,01 IU/mL (<1% dari normal)
 Sering mengalami perdarahan spontan pada sendi dan otot, perdarahan jaringan lunak, dan
perdarahan yang mengancam jiwa

208
Diagnosis banding

Diagnosis banding hemofilia meliputi : Von Willebrand disease, kelainan platelet, defisiensi
faktor koagulan lain (cth, faktor V, VII, X, XI atau fibrinogen), Ehlers-Datnlos syndrome,
Scurvy, Fabry’s disease,

Pemeriksaan penunjang :

Darah lengkap : biasanya normal, Hb rendah jika perdarahan yang


berat atau lama, platelet normal.
APTT : memanjang; tidak memanjang apabila pada
kasus ringan (kadar faktor >30%);
PT : normal.
Bleeding time : biasanya normal.
Faktor VIII dan IX plasma : menurun atau tidak ada kadar faktor VIII dan IX
Foto polos sendi terlibat : menunjukan perdarahan sendi akut
(haemarthrosis), atau perubahan struktur tulang
pada arhtopathy kronis
Inhibitor Faktor VIII dan IX : bisa positif atau negatif

Terapi

Terapi suportif
 Melakukan pencegahan baik menghindari luka/benturan
 Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor
pembekuan sekitar 30-50%
 Untuk mengatasi perdarahan akut dan mengurani nyeri yang terjadi maka dilakukan
tindakan pertama seperti rest, ice, compression, elevation, splint (RICES) pada lokasi
perdarahan
 Analgetik. Pemakaian analgetik diindikasikan pada pasien hematrosis dengan nyeri hebat,
dan sebaiknya dipilih anakgetik yang tindak mengganggu agregasi trombosit (harus
dihindari pemakaian aspirin dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs)
 Kortikosteroid. Pemakaian glukokortikoid jangka pendek dapat membantu mengurangi
nyeri dan proses inflamasi pada sinoivitis akut yang terjadi setelah serangan akut
hematrosis. Prednison diberikan 0,5 -1 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari dapat mencegah
terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (artrosis) yang mengganggu aktivitas harian serta
menurunkan kualitas hidup pasien hemofilia
 Rehabilitasi medik. Sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komperhensif dan holistik
dalam sebuah tim, karena keterlambatan pengobatan akan menyebabkan kecacatan dan
ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medik
artritis hemofilia meliputi : latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas, penggunaan ortosis,
terapi psikososial dan terapi rekreasi serta eduaksi.

Terapi pengganti faktor pembekuan


Dilakukan dengan memberikan FVIII dan FIX, baik rekombinan, konsentrat maupun
komponen darah yang mengandung cukup banyak faktor-faktor pembekuan tersebut.
Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai luka atau pembengkakan
membaik.

209
Kebutuhan FVIII / FIX dihitung berdasarkan rumus:
FVIII yang diinginkan (U) =
BB (Kg) x kadar yang diinginkan (%) / 2

F IX yang diinginkan (U) =


BB (Kg) x kadar yang diinginkan (%)

Penentuan penggunaan pengganti faktor pembekuan pada perdarahan hemofilia tergantung


kasus per kasus (Tabel 1)

Tabel 1. Pemberian Faktor Pembekuan pada Perdarahan Pasien Hemofilia


Lokasi Kadar Hemofilia A Hemofilia B Modalitas Terapi
Aktivitas Lain
Faktor
Pembekuan
Sendi 40-80% 20-40 U 30-40 U/kgBB Istirahat/imobilisasi/
/kgBB/Hari selang sehari fisioterapi
Otot 40-80% 20-40 U 30-40 U/kgBB Istirahat/imobilisasi/
/kgBB/Hari selang sehari Fisioterapi
Mukosa mulut 50% 25 U/kgBB 50 U/kgBB Antifibrinolitik
dilanjutkan Jangan gunakan
antifibrinolitik PCCs
Epistaksis 60 – 100% 40 – 50 80-100 Tampon/kauterisasi
dipertahankan U/kgBB U/kgBB pleksus Kisselbach
30% Kemudian 30- kemudian 70-
40U/kgBB/hari 80U/kgBB
selang sehari
Gastrointestinal 100%, 40 – 50 80-100 Antifibrinolitik
kemudian U/kgBB U/kgBB (dapat digunakan)
dipertahankan Kemudian 30- kemudian 70-
30% 40U/kgBB/hari 80U/kgBB
selang sehari
Genitourinaria 100%, 40 – 50 80-100 Prednison 1-
kemudian U/kgBB U/kgBB 2mg/hari selama 5-
dipertahankan Kemudian 30- kemudian 70- 7hari mungkin
30% 40U/kgBB/hari 80U/kgBB berguna
selang sehari
SSP 100%, 50 U/kgBB 100 U/kgBB Antikonvulsan;
kemudian kemudian kemudian pungsi lumbal harus
dipertahankan 25U/kgBB/12 50U/kgBB/hari dilindungi Faktor
50-100% jam atau atau per infus pembekuan
perinfus
Trauma/ 100%, 50 U/kgBB 100 U/kgBB Rencana
Operasi kemudian kemudian kemudian pengelolaan pra dan
50% sampai 25U/kgBB/12 50U/kgBB/hari pasca operasi sangat
luka menutup, jam atau atau per infus menetukan
dipertahankan perinfus
30%

210
Krioresipitat
Kriopresipitat adalah salah satu komponen darah non selular yang merupakan konsentrasi
plasma tertentu yang mengandung FVIII, fibrinogen, faktor von Willebrand. Dapat diberikan
apabila konsentrasi FVIII tidak ditemukan. Satu kantong kriopresipitat berisi 80-100 U FVIII.
Satu kantong krippresipitat yang mengandung 100 U FVIII dapat meningkatkan FVIII 35%.
Efek samping dapat terjadi reaksi alergi dan demam.

Desmopresin
Diberikan pada hemofilia A ringan dan sedang dan juga pada karier perempuan yang
simtomatik.
Dosis: 0,3 mg/kgBB dalam 30-50 NaCl 0,9% selama 15-20 menit dengan lama kerja 8 jam.
Untuk penjegahan terhadap kejadian perdarahan sebaiknya dilakuka setiap 12-24 Jam.
Efek samping berupa takikardia, flusing, trombosis (sangat jarang) dan hipenatremia, juga
bisa timbul angina pada pasien dengan PJK.

Antifibrinolitik
Asam trakneksamat
Dosis : 25mg/kgBB (maksimun 1,5g) secara oral, atau 10mg/kgBB (maksimum 1g) secara
intravena setiap 8 jam. Dapat juga dilarutkan 10% bagian dengan cairan parenteral terutama
normal salin.

Epsilon aminocaproic acid (EACA)


Dosis : 200mg/kg BB, diikuti 100 mg/kgBB setiap 6 jam (maksimum 5g setiap pemberian),
dapat diberikan secara oral maupun parenteral.

Penyulit Pengobatan
Inhibitor faktor pembekuan.
Angka kejadian terbentuknya inhibitor faktor pembekuan pada hemofilia A sedang dan berat
sekitar 20-33%, sedangkan pada hemofilia B hanya 1-4%.
Upaya mengatasi penyulit adalah dengan pemberian konsentrat kompleks protrombin aktif
meskipun kurang aman; atau FVIII aktif yang harganya mahal. Hyate C® yang mengandung
FVIII porcine merupakan pilihan lain untuk pasien hemofilia A dengan inhibitor.
Plasmaferesis dapat juga dilakukan terutama dalam mengatasi keadaan kritis pada pasien
dengan antibodi faktor pembekuan. Imunomodulator seperti siklofosfamid dosis rendah,
gama globulin dosis tinggi atau steroid dapat diberikan meskipun hasilnya belum dapat
diramalkan secara klinis; namun mampu membuat toleransi terhadap respon imun.

Edukasi
Lihat lembar edukasi pasien hemofilia

Prognosis
Prognosis bergantung kepada penanganan dan tatalaksananya. Kalau diikuti seperti terapi
pengganti faktor pembekuan, prognosis akan baik.

211
Kepustakaan

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. InternaPublishing. 2009

2. Guidelines for the management of hemophilia. The official Journal of the World
Federation of Hemophilia. European Association for Hemophilia and Allied Disorders
and the Hemostasis & Thrombosis Reseach Society. Hemophilia (2013), 19, e1-e47.
doi: 10.1111/j.1365-2516.2012.02909.x

3. Diagnosis and treatment of factor VIII and IX inhibitor in congenital haemophilia (4th
edition). British Journal of Haematology (2013), 160, 153-170. doi:
10.1111/bjh.12091

4. A United Kingkdom Hemophilia Center Doctors’ Organization guideline approved by


the Britidh Committee for Standards in Haematology: guideline on the use of
prophylactic factor VIII concentrate in children and adults with severe heaemophilia
A (2010). Britihs Journal of Haematology, 149, 498-507. doi: 10.1111/j.1365-
2141.2010.08139.x

212
LEMBAR EDUKASI UNTUK PASIEN DAN KELUARGA
HEMOFILIA

Anda/Suami Anda/Oeangtua Anda/Saudara Anda saati ni sedang menderita hemofilia.


Hemofilia adalah suatu kondisi darah dijaga dari pembekuan normal. Jika darah tidak
membeku secara normal, orang bisa sangat mudah berdarah atau lebih banya berdarah dari
yang seharusnya. Perdarahan kadang-kadang bisa mengancam jiwa. Orang dengan hemofilia
kehilangan protein didalam darah yang disebut “faktor pembekuan darah”. Tanoa faktor ini,
darah tidak bisa beku secara normal. Ada dua jenis hemofilia (disebut “A” dan “B”),
tergantung faktor pembekuan darah mana yang hilang. Hemofilia adalah kondisi seumur
hidup yang merupakan bawaan lahir. Hal ini disebabkan oleh gen yang tidak normal. Kadang,
orang tua menurunkan gen yang abnormal ini kepada anaknya. Dalam beberapa kasus,
orangtua mungkin tidak tahu kalau mereka memiliki gen yang tidak normal, karena mereka
tidak mempunyai gejala. Hemofilia biasanya terdapat pada pria, sangat jarang sekali pada
wanita. Hemofilia bisa ringan atau berat. Tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit ini,
tetapi dapat ditangani dengan perawatan yang sesuai.
Gejala hemofilia tergantung seberapa ringan atau parahnya pasien dengan hemofilia.
Beberapa pasien memiliki gejala sejak lahir. Contohnya, anak laki-laki meungkin mengalami
perdarahan yang banyak atau lama berhenti setelah dilakukan sirkumsisi (sunatan). Anak
lainnya, terutama dengan hemofilia ringan, gejala dimulai belakangan. Orang dengan
hemofilia biasanya berdarah lebih banyak dari normal setelah adanya trauma atau prosedur
pembedahan. Orang dengan hemofilia berat selain lebih banyak perdarahan setelah trauma
atau proses pembedahan, meteka juga mengalami perdarahan tanpa ada penyebab sama
sekali. Jenis perdarahan yang paling sering terjadi didaerah sendi. Sendi yang terlibat
biasanya paling sering di pergelangan kaki, lutut, dan siku. Darah didalam sendi bisa
menyebabkan nyeri, pembengkakan, kekakuan, dan kesulitan untuk menggerakan sendi.
Seiring waktu, perdarahan yang berulang pada sendi dapat menyebabkan nyeri sendi jangka
panjang dan kerusakan sendi. Gejala perdarahan juga dapat terjadi dibagian tubuh lainnya.
Termasuk:
 Darah saat buang air besar
 Darah dalam air seni
 Nyeri perut (dari perdarahan didalam dinding oerut)
 Memar atau perdarahan di otot
Untuk mengetahui penyakit hemofilia ini akan dilakukan beberapa pemeriksaan darah.
Pengobatan hemofilia tergantung dari tingkat keparahan hemofilianya. Itu juga tergantung
pada prosedur atau pembedahan yang akan dilakukan pada pasien dengan hemofilia.
Pengobatan utama untuk hemofilia disebut dengan “terapi penggantian faktor”. Bertujuan
untuk mendapatkan faktor pembekuan darah yang hilang pada pasien hemofilia. Ada
berbagai jenis pengganti faktor pembekuan. Beberapa terbuat dari darah manusia, dan ada
juga yang tidak. Terapi pengganti masuk kedalam pembuluh darah. Terapi pengganti
digunakan dalam 2 hal yaitu:
 Untuk mengobati perdarahan yang terjadi
 Untuk mencegah perdarahan, digunakan secara teratur
Dahulu, terapi faktor pengganti dibuat dari darah manusia yang kadang memiliki virus di
dalamnya. Termasuk HIV, virus penyebab AIDS, yang kemudian dapat menginfeksi orang
hemofilia yang menggunakannya. Tapi sekarang ini, terapi pengganti dibuat dengan cara
yang lebih aman dan tidak mengandung HIV
Untuk mencegah masalah perdarahan, pasien dengan hemofilia harus:
 Berobat kedokter secara teratur

213
 Memberitahukan setiap dokter yang mengangani apabila anda sakit bahwa anda
penderita hemofilia
 Ikuti instruksi dokter mengenai pengobatan dan aktivitas atau olahraga yang harus
dihindari (jika ada)
 Pelajari tanda dan gejala perdarahan, dan bagaimana menanganinya
 JANGAN mengkonsumsi aspirin atau obat-obatan NSAID tanpa petunjuk dari
dokter. Contoh NSAID yang biasa digunakan adalah ibuprofen
 Merencanakan lebih dulu untuk setiap prosedur atau pembedahan yang dapat
menyebabkan perdarahan
 Jaga gigi dengan baik dan berobat teratur ke dokter gigi
Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter dan membaca lembaran ini, Anda/Suami
Anda/Istri Anda/ Orangtua Anda/ Saudara Anda akan diminta menandatangai lembar general
concent dan informed concent yang berisikan penjelasa bahwa Anda/Suami Anda/Istri Anda/
Orangtua Anda/Saudara Nada telah memahami tentang penyakit yang sedang diderita
termasuk cara penanganan dan komplikasinya.

214
PANDUAN 50. LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK/
PRAKTIK KLINIS CHRONIC LYMPHOCYTIC LEUKEMIA (CLL)

PENGERTIAN Tumor ganas jaringan limfoid yang berasal dari sel B. Insiden 3-5
kasus/ 100,000 penduduk/ tahun. Rasio pria:wanita = 2:1. Usia
puncak 40-80 tahun.

ANAMNESIS Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri.


Massa pada organ-organ extra-nodal.

PEMERIKSAAN Performans status: ECOG 0/1/2/3/4.


FISIK Palpasi kelenjar getah benig, liver, dan limpa.

PEMERIKSAAN Darah perifer lengkap + diff count dan morfologi darah tepi.
PENUNJANG Tes fungsi hati dan ginjal.
DAN LDH.
STAGING Serum imunoglobulin.
Coombs test.
Serologi virus: HBV, HCV, dan HIV.
Tes kehamilan pada wanita usia subur.
Bone marrow aspiration → sitomorfologi menunjukkan limfosit
matur yang karakteristik berukuran kecil, sitoplasma sempit, dan
kromatin yang kasar; immunophenotyping menunjukkan ekspresi
antigen CD5 dan antigen-antigen permukaan sel B seperti CD19,
CD20, dan CD23; dan sitogenetika untuk mendeteksi del(17p) dan
del(11q) untuk keputusan konsekwensi pengobatan {optional jika
fasilitas memungkinkan}.

Stage Binnet system


Binet A Hb >=10 g/dL, trombosit >=100,000/ μL; < 3 KGB regions.
Binet B Hb >=10 g/dL, trombosit >=100,000/ μL; >= 3 KGB
regions.
Binet C Hb <10 g/dL, trombosit <100,000/ μL.

DIAGNOSIS CLL
KERJA  Stadium Binnet: …
 Performans status ECOG/ WHO: …
Binet A dan B tanpa penyakit yang aktif:
Watch and wait strategy (I, A) → pemerikssaan klinik dan DPL +
diff count + morfologi darah tepi tiap 3-12 bulan.
TERAPI
Binet A dan B dengan penyakit yang aktif dan Binet C:
Pada pasien-pasien CLL yang aktif secara fisik, tidak ada masalah
komorbid mayor, dan fungsi ginjal yang normal terapi lini pertama
adalah FCR. (I, A).

215
Pada pasien-pasien CLL dengan komorbid yang relevan terapi lini
pertama adalah Chlorambucil atau FC reduced atau Bendamustin.
Pada pasien-pasien CLL yang aktif secara fisik dan berusia muda
yang menunjukkan del(17p) terapi lini pertama adalah Alemtuzumab
dilanjutkan allogeneic stem cell transplantation dalam uji klinik (III,
B).

1. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit CLL,


EDUKASI
upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
DAN
2. Edukasi tentang manfaat dan efek samping kemoterapi.
MONITORING
3. Monitoring respon pengobatan.

PANDUAN ……………………
PRAKTIK KLINIS
No. Dokumen No. Revisi Halaman

………………… …………………..

1. Eichhorst B, Dreyling M, Robak T, Montserrat E, Hallek M on


behalf of the ESMO guidelines working group. Chronic
KEPUSTAKAAN lymphocytic leukemia: ESMO clinical practice guidelines for
diagnosis, treatment, and follow-up.

216
51. TERAPI SISTEMIK
PANDUAN KANKER KOLON METASTASIS
PRAKTIK KLINIS

Kanker kolon adalah tumor ganas epitel kolon. Insiden: 30-40 kasus/
PENGERTIAN 100.000 penduduk/ tahun di Eropa.Rasio pria:wanita = 1:1; usia
puncak 50-70 tahun; jarang pada usia <40 tahun.

DIAGNOSIS Diagnosis definitif berdasarkan biopsi tumor primer kanker kolon.


Pada kanker kolon metastasis dibutuhkan pemeriksaan lanjutan tes
mutasi KRAS.

o Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk berat badan,


tinggi badan, luas permukaan tubuh, dan PS (Performance
Status ECOG 0-4).
o Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi
hati dan ginjal (termasuk CCT), gula darah sewaktu, elektrolit
STAGING Na, K, dan Cl, alkali fosfatase, LDH. Tumor marker: CEA.
HbsAg dan anti HCV. Tes kehamilan pada wanita usia
produktif sesuai indikasi.
o EKG dan Echokardiografi.
o Kolonoskopi + biopsi.
o Pemeriksaan pencitraan: CT-scan abdomen untuk
menentukan lokasi tumor primer dan lesi metastasis liver,
CXR atau CT-scan thoraks (optional: salah satu);; CT/MRI
brain (jika ditemukan gejala dan tanda neurologi); bone scan,
PET-scan (optional).

Keputusan terapi yang optimal seyogyanya berdasarkan atas tumor


board multidisiplin.

Strategi tatalaksana kanker kolon metastasis


Apakah pasien membutuhkan/ ingin terapi agresif?
1. Apabila ya → cek KRAS:
a. Wild-type:
TERAPI
Kemoterapi doublet (FOLFOX/ CAPEOX/ FOLFIRI) + Cetuximab/
Bevacizumab (I, B).
b. Mutan:
Kemoterapi doublet (FOLFOX/ CAPEOX/ FOLFIRI) +
Bevacizumab (I, B).
c. Unavailable:
Kemoterapi doublet (FOLFOX/ CAPEOX/ FOLFIRI) +
Bevacizumab (I, B).
2. Apabila tidak:

217
5-FU+LV atau Capecitabine + Bevacizumab (I, B).

Catatan: Apabila terapi lini pertama adalah FOLFOX/ CAPEOX


maka bila terjadi progressive disease terapi lini kedua adalah
FOLFIRI/ IRINOTECAN monoterapi. Apabila terapi lini pertama
adalah FOLFIRI maka bila terjadi progressive disease terapi lini
kedua adalah FOLFOX/ CAPEOX.

Pasien-pasien kanker kolon metastasis liver (paru) yang potentially


resectable membutuhkan pengecilan ukuran tumor yang maksimal →
kemoterapi kombinasi multidrug.
Pasien-pasien kanker kolon metastasis multipel yang progresif cepat
dan simtomatik membutuhkan kontrol penyakit yang progresif →
kemoterapi kombinasi multidrug.
Pasien-pasien kanker kolon metastasis liver (paru) yang unresectable/
komorbid bisa diberikan kemoterapi doublet.

4. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit kanker


kolon metastasis, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
EDUKASI 5. Menjelaskan manfaat kemoterapi dan efek samping kemoterapi.
6. Menjelaskan pengendalian, pencegahan dan penyembuhan efek
samping kemoterapi.
7. Menjelaskan jadwal pemberian kemoterapi.

1. Untuk menilai respon pengobatan seyogyanya dilakukan


anamnesis dan pemeriksaan fisik (keadaan umum, efek samping
FOLLOW UP kemoterapi, pengaruh terhadap kualitas hidup pasien), CEA (jika
pada awalnya kadar CEA meningkat), dan CT scan
direkomendasikan 2-3 bulan selama menjalani kemoterapi
paliatif.
1. Cutsem EV, Nordlinger B, Cervantes A. On behalf of the
ESMO guidelines working group. Advanced colorectal
cancer: ESMO clinical practice guidelines for treatment.
KEPUSTAKAAN
2. Benson AIB, Bekaii-Saab T, Chan E, et al. Colon cancer:
NCCN clinical practice guidelines in oncology Version 3.
2013.

218
52. TERAPI SISTEMIK
PANDUAN KANKER NASOFARING/ KNF atau NASOPHARYNGEAL
PRAKTIK KLINIS CANCER (NPC)

KNF merupakan penyakit keganasan yang relatif jarang ditemukan di


negara-negara barat (western countries), namun di kawasan Asia
Tenggara (Southeast Asia), KNF merupakan keganasan kepala dan
leher yang paling sering ditemukan. Nonkeratinizing poorly dan
PENGERTIAN undifferentiated squamous cell carcinoma (World Health
Organization/ WHO type II dan III) merupakan kelainan
histopatologis yang paling banyak ditemukan di Asia dan
menyebabkan sekitar 95% dari semua kasus KNF; namun di Amerika
Utara, 75% kelainan histopatologis tersering adalah keratinized
squamous cell carcinoma (WHO type I).

Diagnosis definitif berdasarkan biopsi tumor primer nasofaring


DIAGNOSIS menggunakan perantara endoskopi.
Data histologi:
WHO type 1 (keratinizing squamous carsinoma),
WHO type 2 (differentiated non-keratinizing carsinoma), atau
WHO type 3 (undifferentiated carsinoma).

o Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk berat badan,


tinggi badan, luas permukaan tubuh, dan PS (Performance
Status ECOG 0-4).
o Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi
hati dan ginjal (termasuk CCT), gula darah sewaktu, elektrolit
STAGING Na, K, dan Cl, alkali fosfatase, LDH. HbsAg dan anti HCV.
Tes kehamilan pada wanita usia produktif sesuai indikasi.
o EKG dan Echokardiografi.
o Pemeriksaan pencitraan: CXR atau CT-scan thoraks
(optional: salah satu saja); USG atau CT/MRI abdomen
(optional: salah satu saja); CT/MRI brain (jika ditemukan
gejala dan tanda neurologi); bone scan; dan PET-CT scan
(optional).

Keputusan terapi seyogyanya berdasarkan atas tumor board


multidisiplin.

Stadium I → radioterapi.
TERAPI
Stadium II → kemoradiasi menggunakan cisplatin (I, A).
Stadium III, IVA, IVB → kemoradiasi +/- kemoterapi ajuvan
cisplatin + 5-FU 3 siklus (I, A) atau kemoterapi induksi berbasis
cisplatin (II, B) dilanjutkan kemoradiasi.
Stadium IVC (metastasis) → kemoterapi paliatif kombinasi berbasis

219
platinum (cisplatin/ carboplatin + taxan atau 5-FU atau gemcitabine
atau capecitabine) → polikemoterapi lebih aktif dibandingkan
monoterapi (III, B).

8. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit kanker


nasofaring, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
EDUKASI 9. Menjelaskan manfaat kemoterapi dan efek samping kemoterapi.
10. Menjelaskan pengendalian, pencegahan dan penyembuhan efek
samping kemoterapi.
11. Menjelaskan jadwal pemberian kemoterapi.

2. Monitoring respon pengobatan dinilai setelah selesai menjalani


program kemoradiasi apakah complete remission, stable disease
atau progresive disease.
FOLLOW UP
3. Pemeriksaan periodik nasofaring dan KGB leher serta keluhan
sistemik yang mengarah ke metastasis.
4. Follow up radiologi/ pencitraan setiap 6-12 bulan pada tahun
pertama untuk menilai nasofaring.

3. Chan ATC, Gregoir V, Lefebvre JL, et al. Nasopharyngeal


cancer: EHNS-ESMO-ESTRO clinical practice guidelines for
diagnosis, treatment, and follow-up.
KEPUSTAKAAN
4. Pfister DG, Ang Kie-Kian, Brizel DM, et al. NCCN clinical
practice guidelines in oncology. Head and Neck Cancers
Version 1. 2012.

220
PANDUAN 53. TERAPI SISTEMIK
PRAKTIK KLINIS KANKER PAYUDARA METASTASIS

Kanker payudara adalah tumor maligna kelenjar mammae/ mammary


gland.
PENGERTIAN Kanker payudara merupakan salah satu kanker yang paling sering
ditemukan pada wanita. Kanker payudara metastasis merupakan
penyakit yang heterogen dengan outcome yang bervariasi.
Penggunaan pengobatan sistemik terhadap pasien-pasien kanker
payudara metastasis telah meningkatkan median survival dari 12-18
bulan menjadi 24-36 bulan, bahkan 5-y survival sering tercapai pada
pasien-pasien kanker payudara metastasis sejak ditemukannya obat-
obatan sistemik terbaru.

DIAGNOSIS Diagnosis definitif berdasarkan biopsi tumor payudara dan


imunohistokimia panel payudara: ER/PR/HER-2.

o Anamnesis (status menopause, komorbid, riwayat tumor


payudara primer, pengobatan, dan responnya, keluhan saat
ini, dan preferensi pasien) dan pemeriksaan fisik (termasuk
berat badan, tinggi badan, luas permukaan tubuh, dan PS
(Performance Status ECOG 0-4).
STAGING o Darah perifer lengkap dan diff count. Tes fungsi hati dan
ginjal. Alkali fosfatase, calcium, LDH. Tumor marker: Ca 15-
3. Serologi virus: HBV, HCV. Tes kehamilan pada wanita
usia subur.
o EKG dan echocardiogram.
o Penilaian visceral disease:
o Thoraks: CT-scan (preferably) dibandingkan chest X-ray.
o Abdomen: CT-scan (preferably), USG.
o Tulang: bone scan.
o Brain: CT-scan dan/ atau MRI brain seyogyanya
dipertimbangkan apabila ditemukan gejala/ symptom-driven.
o PET/ PET-CT seharusnya tidak rutin dikerjakan pada initial
work-up, namun bisa bermanfaat untuk mengidentifikasi site
of relapse, locoregional relapse, isolated metastatic lesions
jika dengan pemeriksaan standar tidak pasti atau conflicting.

Mayoritas pasien-pasien kanker payudara metastasis adalah


incurable sehingga tujuan pengobatan adalah paliatif dengan target
memperbaiki dan mempertahankan kualitas hidup serta survival.
Manajemen kanker payudara metastasis seyogyanya melibatkan tim
TERAPI
multidisiplin/ interdisiplin (medical, radiation, surgical, palliative
care specialist, psychosocial support) yang dipimpin oleh konsultan
hematologi-onkologi medik berbasis ilmu penyakit dalam (SpPD
KHOM).

221
Pilihan pengobatan sistemik kanker payudara metastasis adalah:
terapi endokrin, kemoterapi, terapi target biologi, dan bone-directed
agents.

Penatalaksanaan spesifik kanker payudara metastasis berdasarkan


subtipe:
1. Tipe luminal (hormone receptor-positive)
Terapi endokrin merupakan opsi terpilih kecuali secara klinis
penyakit kanker payudara metastasis agresif yang membutuhkan
respon segera.
Wanita premenopause
Tamoxifen + ovarian ablation (Analog LHRH/ Luteinising hormon
releasing hormon atau oophorectomy atau radiasi ovarium)
merupakan opsi terpilih (I, B). Apabila progresif maka tidak berbeda
dengan wanita postmenopause.
Wanita postmenopause
Aromatase Inhibitors/ AIs (Letrozole, anastrozole, exemestane)
merupakan opsi terpilih lini pertama dibandingkan Tamoxifen.
Terapi endokrin lini kedua apabila progresif setelah terapi endokrin
lini pertama AIs adalah: tamoxifen, fulvestrant, letrozole/ anastrozole
apabila sebelumnya menggunakan exemestane begitu sebaliknya, dan
kombinasi m-TOR inhibitor everolimus + AIs/ tamoxifen.
Apabila terbukti endocrine resistance seyogyanya ditawarkan
kemoterapi sitotoksik.

2. Triple-negative breast cancer/ TNBC (hormone-receptor


negative dan HER-2 non-overexpressed)
Kemoterapi merupakan pengobatan utama pada TNBC.
Pemilihan agen/ regimen terbaik bersifat individual dan seyogyanya
mempertimbangkan faktor faktor yang berkaitan dengan penyakit
(disease-free interval, pengobatan sebelumnya dan respon, reseptor
hormon dan HER-2, tumor burden, dan kontrol gejala/ penyakit yang
segera) dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien (pasien
preferensi, usia, status menopause, komorbid & status performans,
psikologis & sosial-ekonomi, dan ketersediaan obat-obatan).
Regimen yang berbasis taxane merupakan kemoterapi terpilih apabila
sebelumnya mengalami progresif terhadap regimen berbasis
antrasiklin (I, A). kemoterapi kombinasi dipilih apabila metastasis
melibatkan organ viseral yang bisa menyebabkan perburukan cepat.
Agen/ regimen kemoterapi pada TNBC metastasis.
Agen/ regimen yang berbasis antrasiklin:
 Doxorubicin atau epirubicine (weekly atau 3-weekly).
 Doxorubicin + Cyclophosphamide (AC).
 Fluorouracil + Doxorubicin + Cyclophosphamide (FAC)
Agen/ regimen yang berbasis taxane:
 Paclitaxel monoterapi weekly.
 Docetaxel monoterapi 3-weekly.
 Docetaxel + capecitabine.
 Paclitaxel + gemcitabine.
 Paclitaxel + vinorelbine.
222
 Paclitaxel + carboplatin.
Agen/ regimen lainnya:
CMF.
Carboplatin + gemcitabine.
Capecitabine.
Vinorelbine.
Capecitabine + vinorelbine.
Eribulin.

3. HER-2-positif
Terapi anti-Her-2 (Trastuzumab, Lapatinib) kombinasi dengan
kemoterapi sitotoksik/ terapi endokrin atau monoterapi seyogyanya
ditawarkan kepada semua pasien kanker payudara metastasis (I, A)
yang tidak mempunyai kontraindikasi.
Kombinasi Pertuzumab + Trastuzumab + Kemoterapi sitotoksik telah
terbukti terkait dengan perbaikan respon rate, PFS, dan cenderung
OS.

12. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit kanker


payudara metastasis , upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
13. Edukasi tentang manfaat dan efek samping terapi endokrin,
EDUKASI kemoterapi sitotoksik, dan anti-HER-2..
14. Menjelaskan manfaat kemoterapi dan efek samping kemoterapi.
15. Menjelaskan pengendalian, pencegahan dan penyembuhan efek
samping kemoterapi.
16. Menjelaskan jadwal pemberian kemoterapi.

5. Monitoring respon pengobatan: pemeriksaan pencitraan yang


abnormal pada awal pengobatan dianjurkan untuk diulang setelah
3-4 siklus pengobatan dan setelah selesai menjalani pengobatan.
FOLLOW UP
PET-scan dianjurkan setelah selesai menjalani pengobatan untuk
menilai remisi komplit/ complete remission. Apabila PET-scan
yang positif mengalami keragu-raguan sebaiknya dilanjutkan
dengan biopsi.
5. The ESMO/ European Sarcoma Network Working Group.
Soft tissue and visceral sarcoma: ESMO clinical practice
guidelines for diagnosis, treatment, and follow-up.
KEPUSTAKAAN
6. Mehren VM, Benjamin RS, Bui MM, et al. Soft tissue
sarcoma: NCCN clinical practice guidelines in oncology
version 3.2012.

223
PANDUAN 54. TERAPI SISTEMIK
PRAKTIK KLINIS NON-SMALL CELL LUNG CANCER/ NSCLC METASTASIS

NSCLC adalah tumor paru maligna yang berasal dari epitel


PENGERTIAN permukaan bronkus atau bronkiolus. NSCLC menyebabkan 80%-
85% kanker paru. Rokok merupakan faktor risiko utama kanker paru.
Di Asia, kanker paru terjadi pada sekitar 40% bukan perokok dan
dikaitkan dengan terjadinya mutasi EGFR.

- Diagnosis histologi dan IHK NSCLC melalui: specimen


DIAGNOSIS biopsi tumor primer paru/ metastasis extra-paru atau kelenjar
getah bening, bronkoskopi, atau sitologi cairan pleura.
- Pemeriksaan mutasi EGFR pada histologi type non-squamous
dan ALK (Jika obat tersedia) pada histologi type non-
squamous dan bukan perokok/ perokok ringan khususnya jika
mutasi EGFR negatif.

o Anamnesis lengkap (termasuk riwayat merokok, penurunan


berat badan, dan komorbid).
o Pemeriksaan fisik (termasuk berat badan, tinggi badan, dan
luas permukaan tubuh), dan PS (Performance Status ECOG
0-4).
STAGING o Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi
hati dan ginjal (termasuk CCT), gula darah sewaktu, elektrolit
Na, K, dan Cl, alkali fosfatase, LDH. Tumor marker → Cyfra
21-1 dan CEA. HbsAg dan anti HCV. Tes kehamilan pada
wanita usia produktif sesuai indikasi.
o EKG dan Echokardiografi.
o Pemeriksaan pencitraan: CXR PA dan lateral dan CT-scan
thoraks; USG atau CT/MRI abdomen sesuai indikasi
(optional); CT/MRI brain (jika ditemukan gejala dan tanda
neurologi); bone scan; dan PET-CT scan (optional → jika
mempunyai dampak terhadap pengobatan: memiliki
sensitifitas yang tinggi terhadap kelenjar getah bening
mediastinum dan metastasis).

Strategi pengobatan kanker paru metastasis seyogyanya


mempertimbangkan: histologi, patologi molekular, usia, performance
status, komorbid, dan preferensi pasien.
Keputusan terapi seyogyanya berdasarkan atas tumor board
TERAPI
multidisiplin.
Terapi sistemik seyogyanya ditawarkan kepada pasien-pasien
NSCLC metastasis dengan perrformance status ECOG 0-2 karena
bisa memperpanjang survival, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengontrol gejala.

224
Terapi lini pertama
Kombinasi kemoterapi berbasis platinum + taxanes/ gemcitabine/
vinorebine/ etoposide memperpanjang survival, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengendalikan gejala-gejala pasien-pasien
NSCLC metastasis dengan performance status ECOG 0-1.
Pemetrexed lebih dipilih dibandingkan gemcitabine pada pasien-
pasien non-squamous tumor berdasarkan satu uji klinik randomisasi
(II, B).
Berdasarkan satu uji klinik randomisasi, Bevacizumab memperbaiki
OS jika dikombinasikan dengan Carboplatin + Paclitaxel pada
pasien-pasien NSCLC metastasis non-squamous dan performance
status ECOG 0-1 dan bisa ditawarkan kepada pasien setelah eksklusi
kontraindikasi (I, A).
Kombinasi kemoterapi berbasis non-platinum dengan obat-obatan
kemoterapi sitotoksik generasi ketiga seyogyanya dipertimbangkan
hanya jika terdapat kontraindikasi terhadap platinum (I, A).
Kemoterapi lini pertama bisa diberikan 4 siklus sampai dengan
maksimum 6 siklus.

Kemoterapi memperpanjang survival dan mungkin kualitas hidup


pasien-pasien NSCLC metastasis dengan performance status ECOG
>=2 jika dibandingkan dengan best supportive care (I, B).
Kemoterapi single-agent menggunakan gemcitabine, taxanes, atau
vinorelbine merupakan pilihan pada pasien-pasien NSCLC
metastasis dengan performance status ECOG >=2.

Pasien-pasien NSCLC metastasis dengan performance status ECOG


3-4 EGFR mutasi negatif seyogyanya ditawarkan best supportive
care/ BSC (II, B).

Pada pasien-pasien NSCLC metastasis dengan EGFR mutasi positif,


terapi lini pertama adalah TKIs (Gefitinib atau Erlotinib) karena
secara bermakna meningkatkan response rate, memperpanjang PFS,
dan meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik jika dibandingkan
dengan kemoterapi lini pertama.

Pada pasien-pasien NSCLC metastasis dengan ALK +, seyogyanya


dipertimbangkan pemberian Crizotinib.

Maintenance treatment
Dua uji klinik randomisasi fase 3 telah dilaporkan memperbaiki OS
dan PFS dengan switch maintenance menggunakan pemetrexed dan
erlotinib dibandingkan plasebo setelah menjalani kemoterapi berbasis
platinum selama 4 siklus.

Terapi lini kedua

225
Best supportive care pada pasien-pasien NSCLC metastasis PS 3-4
(II, B).

Pasien-pasien NSCLC metastasis jenis histopatologi


adenocarsinoma, large cell, atau NSCLC not otherwise specified
(NOS) → lakukan pemeriksaan tes mutasi EGFR dan tes ALK:
1. Jika tes mutasi EGFR dan ALK negatif: kemoterapi sitotoksik
lini pertama adalah kemoterapi doublet (I A) atau kemoterapi
doublet + bevacizumab (jika tidak ada riwayat hemoptisis
yang baru terjadi) atau cetuximab + vinorelbine + cisplatin (II
B).
Lakukan evaluasi respon tumor setelah 2-3 siklus;
Apabila respon tumor positif atau stable disease → lanjutkan
sampai 4-6 siklus.
Apabila respon tumor progresif → terapi lini kedua dan
ketiga: docetaxel/ pemetrexed/ erlotinib/ gemcitabine.
2. Jika tes mutasi EGFR positif: TKI Gefitinib 250 mg/ hari atau
Erlotinib 150 mg/ hari. Jika mengalami progresif
dipertimbangkan pemberian kemoterapi sitotoksik lini
pertama.
3. Jika tes ALK positif: Crizotinib 250 mg 2xsehari. Jika
mengalami progresif dipertimbangkan pemberian kemoterapi
sitotoksik lini pertama.

Pasien-pasien NSCLC metastasis jenis histopatologi squamous cell


carsinoma.
Terapi lini pertama adalah kemoterapi doublet (I, B) atau
cetuximab + vinorelbine + cisplatin (I, B).
Lakukan evaluasi respon tumor setelah 2-3 siklus;
Apabila respon tumor positif atau stable disease → lanjutkan
sampai 4-6 siklus.
Apabila respon tumor progresif → terapi lini kedua dan
ketiga: docetaxel/ erlotinib/ gemcitabine.

Kemoterapi sitotoksik lini pertama:


- Cisplatin 80 mg/m2 d1 + Vinorelbine 25 mg/m2 d1+8 every
21d for 4-6 cycles. Catatan: Vinorelbine menggunakan port a
cath.
- Cisplatin 75 mg/m2 + docetaxel 75 mg/m2 every 21d x 4-6
cycles.
- Cisplatin 80 mg/m2 d1 + Gemcitabine 1000 mg/m2 d1+8+15
every 28d x 4-6 cycles.
- Cisplatin 80 mg/m2 d1 + gemcitabine 1250 mg/m2 d1+8 +/-
Bevacizumab 7.5 mg/kgbb every 21d x 4-6 cycles.
- Cisplatin 80 mg/m2 d1 + Paclitaxel 175 mg/m d1 every 21d x
4-6 cycles.
- Carboplatin AUC6 + paclitaxel 200 mg/m2 +/- Bevacizumab
7.5 mg/kgbb every 21d x 4-6 cycles.

226
- Cisplatin 75 mg/m2 + pemetrexed 500 mg/m2 every 21d x 4-
6 cycles. Catatan: Pemetrexed hanya digunakan pada
histologi adenocarsinoma saja.

Jika PS 2 dan tidak fit terhadap Cisplatin:


Vinorelbine 30 mg/m2 hari ke-1 dan ke-8 tiap 3 minggu x 4-6 siklus.
Gemcitabine 1000 mg/m2 hari ke-1, ke-8, ke-15 tiap 4 minggu x 4-6
siklus.

Kemoterapi lini kedua/ ketiga:


Docetaxel 75 mg/m2 tiap 3 minggu x 4-6 siklus/
Gemcitabine 1000 mg/m2 hari ke-1, 8, 15 tiap 4 minggu x 4-6 siklus/
Pemetrexed 500 mg/m2 tiap 3 minggu x 4-6 siklus/
Erlotinib 150 mg/hari.

17. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit kanker


paru metastasis, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
EDUKASI 18. Menjelaskan manfaat kemoterapi dan efek samping kemoterapi.
19. Menjelaskan pengendalian, pencegahan dan penyembuhan efek
samping kemoterapi.
20. Menjelaskan jadwal pemberian kemoterapi.

6. Monitoring respon pengobatan dinilai setelah menjalani


kemoterapi 2-3 siklus apakah respon positif/ stable disease atau
progresive disease.
7. Setelah selesai menjalani program kemoterapi lini pertama,
FOLLOW UP
kontrol kembali dalam waktu 6 minggu (III B).
8. Follow up radiologi/ pencitraan setiap 6-12 minggu agar apabila
terjadi progressive disease kemoterapi sitotoksik lini kedua/
ketiga bisa segera dimulai (III B).

2. Peters S, Adjei AA, Gridelli C, et al: Metastatic non-small-cell


lung cancer (NSCLC) ESMO clinical practice guidelines for
diagnosis, treatment, and follow-up.
KEPUSTAKAAN
3. Ettinger DS, Akedey W, Chang AC, et al. NCCN clinical
practice guidelines in oncology. Non-Small Cell Lung Cancer
Version 2. 2013.

227
PANDUAN 55. TERAPI SISTEMIK OSTEOSARKOMA
PRAKTIK KLINIS

Osteosarkoma adalah tumor maligna tulang yang berasal dari


PENGERTIAN osteoblast. Insiden: 2 kasus/ 1,000,000 penduduk/ tahun. Rasio pria :
wanita = 3:2. Mayoritas kasus berusia muda dan produktif.

DIAGNOSIS Diagnosis definitif berdasarkan biopsi tumor primer Osteosarkoma.

o Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk berat badan,


tinggi badan, luas permukaan tubuh, dan PS (Performance
Status ECOG 0-4).
o Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi
hati dan ginjal (termasuk CCT), gula darah sewaktu, elektrolit
STAGING Na, K, dan Cl, alkali fosfatase, LDH. HbsAg dan anti HCV.
Tes kehamilan pada wanita usia produktif sesuai indikasi.
o EKG dan Echokardiografi.
o Pemeriksaan pencitraan: Ronsen dan CT-scan/ MRI tumor
primer, CXR atau CT-scan thoraks (optional: salah satu);
USG atau CT/MRI abdomen (optional: salah satu); CT/MRI
brain (jika ditemukan gejala dan tanda neurologi); bone scan.

Keputusan terapi seyogyanya berdasarkan atas tumor board


multidisiplin.

Terapi kuratif Osteosarkoma terdiri atas operasi dan kemoterapi (I,


A) jika dibandingkan dengan operasi saja.
Pada umumnya kemoterapi diberikan sebelum dan sesudah
kemoterapi. Respon histopatologi prekemoterapi memprediksi
TERAPI survival.

Kemoterapi lini pertama:


Doxorubicin dan Cisplatin.

Kemoterapi lini kedua/ ketiga:


Ifosfamide dan etoposide.
Docetaxel dan gemcitabine.

21. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit


EDUKASI Osteosarkoma, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
22. Menjelaskan manfaat kemoterapi dan efek samping kemoterapi.
23. Menjelaskan pengendalian, pencegahan dan penyembuhan efek
samping kemoterapi.
228
24. Menjelaskan jadwal pemberian kemoterapi.

9. Follow-up bertujuan untuk mendeteksi kekambuhan dan


metastasis di mana terapi dini masih memungkinkan dan efektif:
FOLLOW UP pemeriksaan fisik tumor primer, CXR/ Ct-scan thoraks.
10. Follow up pasca kemoterapi: tiap 2-3 bulan pada 2 tahun
pertama; tiap 2-4 bulan pada tahun ke-3 dan ke-4; tiap 6 bulan
pada tahun ke-5 sd ke-10; dan selanjutnya tiap 6-12 bulan.
7. The ESMO/ European sarcoma network working group. Bone
sarcoma: ESMO clinical practice guidelines for diagnosis,
KEPUSTAKAAN treatment, and follow-up.
8. Bierman JS, Adkins DR, Agulnik M. Bone cancer: NCCN
clinical practice guidelines in oncology.

229
PANDUAN 56. TERAPI SISTEMIK SOFT TISSUE SARKOMA
PRAKTIK KLINIS

Soft tissue sarkoma adalah sekelompok tumor mesenkim yang


PENGERTIAN heterogen yang berasal dari soft tissue ekstremitas, trunk,
retroperitoneum, dan kepala/ leher. Insiden: 2-3 kasus/ 1,000,000
penduduk/ tahun. Mayoritas kasus berusia dewasa dan 45-55 tahun.

DIAGNOSIS Diagnosis definitif berdasarkan biopsi (multiple core needle biopsy,


biopsi eksisional, biopsi open) tumor soft tissue berdasarkan
morfologi dan imunohistokimia.

o Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk berat badan,


tinggi badan, luas permukaan tubuh, dan PS (Performance
Status ECOG 0-4).
o Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi
hati dan ginjal (termasuk CCT), gula darah sewaktu, elektrolit
STAGING Na, K, dan Cl, alkali fosfatase, LDH. HbsAg dan anti HCV.
Tes kehamilan pada wanita usia produktif sesuai indikasi.
o EKG dan Echokardiografi.
o Pemeriksaan pencitraan: CT-scan/ MRI tumor soft tissue
primer, CXR atau CT-scan thoraks (optional: salah satu);
USG atau CT/MRI abdomen (optional: salah satu); CT/MRI
brain (jika ditemukan gejala dan tanda neurologi); bone scan.

Keputusan terapi seyogyanya berdasarkan atas tumor board


multidisiplin.

Soft tissue sarkoma lokal pengobatan utamanya adalah surgery


dilanjutkan radioterapi.

Soft tissue sarkoma metastasis paru yang metachronous tanpa


TERAPI metastasis ekstra-paru yang resectable bisa dilakukan operasi
dilanjutkan program kemoterapi (IV, B).
Soft tissue sarkoma metastasis paru yang synchronous tanpa
metastasis ekstra-paru, pengobatan standar adalah program
kemoterapi (III, B).
Soft tissue sarkoma metastasis ekstra-paru, pengobatan standar
adalah program kemoterapi (I, A).
Kemoterapi standar lini pertama berbasis Anthrasiklin (I, A).
Kemoterapi lini kedua/ ketiga: Gemcitabine + docetaxel/ Pazopanib.

230
25. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit Soft
tissue sarkoma, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
EDUKASI 26. Menjelaskan manfaat kemoterapi dan efek samping kemoterapi.
27. Menjelaskan pengendalian, pencegahan dan penyembuhan efek
samping kemoterapi.
28. Menjelaskan jadwal pemberian kemoterapi.

11. Follow-up bertujuan untuk mendeteksi kekambuhan dan


metastasis di mana terapi dini masih memungkinkan dan efektif.
FOLLOW UP 12. Soft tissue sarkoma lokal pasca surgery dan radioterapi bisa
dilakukan follow up setiap 3-4 bulan pada 2-3 tahun pertama;
selanjutnya setiap 6 bulan pada tahun ke-4 dan ke-5; selanjutnya
tiap tahun.
9. The ESMO/ European Sarcoma Network Working Group.
Soft tissue and visceral sarcoma: ESMO clinical practice
guidelines for diagnosis, treatment, and follow-up.
KEPUSTAKAAN
10. Mehren VM, Benjamin RS, Bui MM, et al. Soft tissue
sarcoma: NCCN clinical practice guidelines in oncology
version 3.2012.

231
57. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
PANDUAN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) TYPE
PRAKTIK KLINIS WARM

AIHA adalah suatu kondisi klinis dimana antibodi IgG berikatan


PENGERTIAN dengan antigen eritrosit yang menyebabkan destruksi eritrosit oleh
sistem retikuloendotelial dan/ atau komplemen.
Insiden: 1-3 kasus per 100,000 penduduk per tahun.

Kriteria diagnosis AIHA


DIAGNOSIS Anemia (Hb <10 g/dL) yang disertai tanda hemolitik (retikulositosis,
penurunan kadar haptoglobin, peningkatan kadar bilirubin indirek
dan LDH) dan Tes Coombs’ yang positif (ditemuan anti IgG ± anti-
C3d).
Etiologi AIHA TYPE WARM:
Primer
Sekunder: penyakit autoimun (SLE), limfoproliferative disorders
(CLL, limfoma non-hodgkin, Waldenstrom macroglobulinemia),
tumor padat, infeksi.

o Anamnesis lengkap.
o Pemeriksaan.
o Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap + morfologi
darah tepi.
o Manifestasi hemolitik: retikulosit, LDH, bilirubin indirek.
STAGING o Tes Coombs.
o ANA, anti dsDNA, C3, C4.
o Imunoglobulin dan Lupus Antikogulan.
o Pemeriksaan pencitraan: CT-scan abdomen (untuk mencari
splenomegali, limfoma abdomen, ovarian dermoid cyst, renal
cell carcinoma).

Di era evidence based medicine, ternyata tatalaksana AIHA WARM-


TYPE adalah expirience-based.
a. Terapi lini pertama
Kortikosteroid setara prednison 1-1.5 mg/kgbb/m2 selama 3-4
minggu. Apabila setelah 3-4 minggu Hb telah mencapai >=
10 g/dL dosis prednison diturunkan secara bertahap menjadi
20 mg/ hari. Apabila kadar Hb menetap >9-10 g/dL dosis
TERAPI
pemeliharaan prednison adalah =< 15 mg/ hari. Selama
penggunaan kortiosteroid pasien dianjurkan untuk
mengkonsumsi Kalsium dan Vitamin D untuk mencegah
osteoporosis.
b. Terapi lini kedua
Apabila setelah 3-4 minggu Hb tidak mencapai >=10 g/dL
atau diperlukan dosis pemeliharaan prednison >15 mg/ hari
diperlukan tambahan terapi lini kedua, yaitu: splenekktomi

232
dan rituximab weekly x 4.
c. Terapi lini ketiga
Imunosupresan: Azathioprin, MMF, danazol, siklosporin A,
siklofosfamid.
d. Suplementasi asam folat.
e. Transfusi PRC pada pasien-pasien yang mengalami disfungsi
kardioserebrovaskular akibat anemia berat yang dialaminya.
f. Tatalaksana penyakit dasar yang menyebabkan AIHA
WARM-TYPE.

29. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit AIHA


WARM-TYPE, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
30. Menjelaskan manfaat dan efek samping obat-obatan seperti:
EDUKASI
kortikosteroid, rituximab, imunosupresan dan efek sampingnya
serta manfaat dan efek samping splenektomi.
31. Menjelaskan pentingnya kepatuhan dalam pengobatan karena
pengobatan AIHA WARM-TYPE adalah jangka panjang.

13. Monitoring respon pengobatan dinilai setelah 3 minggu setelah


mengkonsumsi kortikosteroid apakah Hb mencapai >=10 g/dL
atau tidak sebagai indikator complete remission/ CR.
14. Apabila telah tercapai Hb >=10 g/dL maka kortikosteroid
tappering down sampai dosis terkecil yang mampu
FOLLOW UP
mempertahankan kadar Hb >=10 g/dL; jika tidak tercapai Hb
>=10 g/dL maka seyogyanya dibutuhkan terapi lini kedua dan/
atau terapi lini ketiga.
15. Monitoring efek samping jangka panjang kortikosteroid seperti
osteoporosis.

4. Lechner K, Jager U. How I treat autoimmune hemolytic anemia


in adults. Blood 2010; 116 (11): 1831-1838.
KEPUSTAKAAN 5. Zeerleder S. autoimmune hemolytic anemia – a practical guide
to cope with a diagnostic and therapeutic challenge. The
Netherland Journal of Medicine 2011; 69 (4): 177-184.

233
PANDUAN 58. LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK/
PRAKTIK KLINIS CHRONIC LYMPHOCYTIC LEUKEMIA (CLL)

1.PENGERTIAN Tumor ganas jaringan limfoid yang berasal dari sel B. Insiden 3-5
kasus/ 100,000 penduduk/ tahun. Rasio pria:wanita = 2:1. Usia
puncak 40-80 tahun.

2.ANAMNESIS Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri.


Massa pada organ-organ extra-nodal.

3.PEMERIKSAAN Performans status: ECOG 0/1/2/3/4.


FISIK Palpasi kelenjar getah bening, liver, dan limpa.

4.PEMERIKSAAN Darah perifer lengkap + diff count dan morfologi darah tepi.
PENUNJANG Tes fungsi hati dan ginjal.
DAN LDH.
STAGING Serum imunoglobulin.
Coombs test.
Serologi virus: HBV, HCV, dan HIV.
Tes kehamilan pada wanita usia subur.
Bone marrow aspiration → sitomorfologi menunjukkan limfosit
matur yang karakteristik berukuran kecil, sitoplasma sempit, dan
kromatin yang kasar; immunophenotyping menunjukkan ekspresi
antigen CD5 dan antigen-antigen permukaan sel B seperti CD19,
CD20, dan CD23; dan sitogenetika untuk mendeteksi del(17p) dan
del(11q) untuk keputusan konsekwensi pengobatan {optional jika
fasilitas memungkinkan}.

Stage Binnet system


Binet A Hb >=10 g/dL, trombosit >=100,000/ μL; < 3 KGB regions.
Binet B Hb >=10 g/dL, trombosit >=100,000/ μL; >= 3 KGB
regions.
Binet C Hb <10 g/dL, trombosit <100,000/ μL.

5.DIAGNOSIS CLL
KERJA  Stadium Binnet: …
 Performans status ECOG/ WHO: …
 Komorbid: ...
Binet A dan B tanpa penyakit yang aktif:
Watch and wait strategy (I, A) → pemerikssaan klinik dan DPL +
diff count + morfologi darah tepi tiap 3-12 bulan.
6.TERAPI
Binet A dan B dengan penyakit yang aktif dan Binet C:
Pada pasien-pasien CLL yang aktif secara fisik, tidak ada masalah

234
komorbid mayor, dan fungsi ginjal yang normal terapi lini pertama
adalah FCR. (I, A).
Pada pasien-pasien CLL dengan komorbid yang relevan terapi lini
pertama adalah Chlorambucil atau FC reduced atau Bendamustin.
Pada pasien-pasien CLL yang aktif secara fisik dan berusia muda
yang menunjukkan del(17p) terapi lini pertama adalah Alemtuzumab
dilanjutkan allogeneic stem cell transplantation dalam uji klinik (III,
B).

32. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit CLL,


7. EDUKASI
upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
DAN
33. Edukasi tentang manfaat dan efek samping kemoterapi.
MONITORING
34. Monitoring respon pengobatan.
ad vitam: ...
8. PROGNOSIS ad functionam: ...
ad sanasionam: ...
No. Dokumen No. Revisi Halaman

………………… …………………..
6. Eichhorst B, Dreyling M, Robak T, Montserrat E, Hallek M on
behalf of the ESMO guidelines working group. Chronic
KEPUSTAKAAN lymphocytic leukemia: ESMO clinical practice guidelines for
diagnosis, treatment, and follow-up.

235
PANDUAN 59. TROMBOSIS VENA DALAM
PRAKTIK KLINIS (Deep Vein Thrombosis – DVT)

1.PENGERTIAN Trombosis Vena Dalam adalah (DVT) suatu penyakit dimana


terdapat bekuan darah pada sistem pembuluh balik (vena) dalam
terutama pada tungkai. Kerusakan pada dinding vena, stasis dari
aliran vena, dan perubahan pada komponen darah yang menyebabkan
hiperkoagulabilitas merupakan faktor risiko terjadinya DVT.

2.ANAMNESIS 1. Keluhan: kaki bengkak unilateral, nyeri, perubahan warna pada


kaki (kemerahan/keunguan)
2. Faktor risiko
- Riwayat tirah baring lama/imobilisasi
- Riwayat operasi baru-baru ini
- Riwayat penyakit keganasan
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga –
kecenderungan thrombosis turunan
- Riwayat konsumsi obat-obatan (misal : kontrasepsi/terapi
sulih hormon)
- Kehamilan/post partum

3.PEMERIKSAAN - Pembengkakan tungkai (biasanya asimetris)/edema


FISIK - Nyeri tekan
- Eritema
- Dilatasi vena superfisialis
- Pada kondisi kronis (PTS) bisa ditemukan ulkus

DVT probability test dengan Wells Score DVT

Poi
Gambaran Klinis
n
Kanker aktif (pengobatan dalam 6 bulan terakhir atau
1
paliatif)
Paralysis, paresis, atau imobilisasi (dengan gips) baru pada
1
ekstremitas bawah
Tirah baring ≥ 3 hari, atau operasi besar yang membutuhkan
1
anestesi regional atau umum dalam 12 minggu terakhir
Nyeri terlokalisir sepanjang sistem vena dalam 1
Pembengkakan seluruh tungkai 1
Pembengkakan betis ≥ 3 cm dibandingkan dengan betis
1
asimtomatik (diukur 10 cm di bawah tuberositas tibia)
Pitting edema unilateral (pada tungkai simtomatik) 1

236
Pelebaran vena superfisial unilateral (pada tungkai
1
simtomatik)
Riwayat DVT sebelumnya 1
Alternatif diagnosis selain DVT lebih memungkinkan -2

Jika hasil penjumlahan skor ≥2 maka DVT memungkinkan, jika


skor ≤1 maka DVT kurang memungkinkan

4.PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan laboratorium


PENUNJANG - Hemostasis: pemeriksaan D-Dimer – merupakan test prediksi
negatif, peningkatan level d-dimer menunjukkan adanya
proses degradasi bekuan darah, tidak spesifik untuk DVT,
sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pencitraan pada
pasien yang kecurigaan DVT nya rendah atau sedang.

2. Pencitraan
- USG doppler.
- Venografi – gold standard, invasif, positif bila ditemukan
filling defect pada saat penyuntikan zat kontras

5.DIAGNOSIS Trombosis Vena Dalam/ TVD (Deep Vein Thrombosis)


KERJA

6.TERAPI Tujuan pengobatan DVT


- Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru
- Mengurangi morbiditas pada serangan akut
- Mencegah terjadinya DVT ulangan

Modalitas pengobatan DVT


Pilihan pengobatan bergantung kepada penyakit co-morbid,
ketersediaan obat, dan finansial
1. Antikoagulan
a. Heparin (UFH) – Terapi inisial dengan heparin, lanjutkan
dengan VKA
Heparin 5.000 bolus (80 iu/KgBB), enam jam kemudian di
periksa APTT. Lanjutkan heparin drip (20.000 iu dalam 500
cc nomal salin) dengan target aPTT 1,5 – 2,5 kontrol.
Waspada kemungkinan HIT.
b. Low Molecular Weight Heparin (LMWH) - Terapi inisial
dengan LMWH, lanjutkan dengan VKA. Dosis LMWH 1
mg/kg SC setiap 12 jam
c. Fondaparinux - Terapi inisial dengan fondaparinux, lanjutkan
dengan VKA. Dosis fondaparinux SC 1x sehari sebesar 5 mg
(berat badan <50 kg), 7,5 mg (berat badan 50 sampai 100 kg),
atau 10 mg (berat badan> 100 kg

237
d. Vit. K Antagonis (VKA, untuk terapi lanjutan) – Dibutuhkan
initial terapi dengan antikoagulan injeksi karena onset kerja
lambat. Dosis awal 5-10 mg satu kali sehari dimulai
bersamaan dengan antikoagulan injeksi, dosis selanjutnya
disesuaikan sampai target INR tercapai pada range 2-3.
e. Rivaroxaban – Terapi inisial dan lanjutan. Dosis Rivaroxaban
15 mg dua kali sehari selama 21 hari, dilanjutkan dengan 20
mg satu kali sehari, lama pengobatan tergantung penyakit
yang mendasari

2. Trombolitik
Terapi dengan antikoagulan saja lebih direkomendasikan
dibandingkan trombolitik, baik dengan kateter terlokalisir
maupun sistemik. Trombolitik bisa dipertimbangkan untuk
diberikan pada pasien yang memenuhi semua kriteria berikut:
DVT iliofemoral, gejala <14 hari, status fungsional yang baik,
usia harapan hidup ≥1 tahun, dan risiko perdarahan rendah.

3. Trombektomi
Terapi dengan antikoagulan saja lebih direkomendasikan
dibandingkan trombektomi. Trombektomi dapat dipertimbagkan
jika pasien memenuhi semua kriteria berikut: DVT iliofemoral,
gejala <7 hari, status fungsional yang baik, usia harapan hidup ≥1
tahun, tersedia sumber daya (sarana/prasarana) yang memadai

4. Vena kava filter


Vena kava filter hanya dapat direkomendasikan pada pasien
dengan DVT proximal yang memiliki kontraindikasi terapi
antikoagulan

Durasi pengobatan DVT untuk antikoagulan lanjutan


- DVT atau PE terprovokasi pertama kalinya : terapi selama 3
bulan
- DVT proksimal atau PE tanpa provokasi pertama kalinya
dengan risiko perdarahan sedang: terapi diperpanjang
- DVT proksimal atau PE tanpa provokasi pertama kalinya
dengan risiko untuk perdarahan tinggi: terapi selama 3 bulan
- DVT proksimal atau PE tanpa provokasi pertama kalinya
pada pasien kanker : terapi diperpanjang dengan
menggunakan LMWH
- VTE tanpa provokasi ulangan : terapi diperpanjang pada
pasien dengan risiko perdarahan rendah sampai sedang; terapi
3 bulan pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi

Rekomendasi lainnya
- Pada pasien dengan kecurigaan DVT tinggi, dapat diberikan
terapi antikoagulan langsung sambil menunggu hasil
diagnostik
- Pada pasien yang DVT nya asimptomatik dan ditemukan

238
secara insidentil, berikan terapi antikoagulan inisial dan
lanjutan dengan regimen yang sama dengan pasien
simptomatik DVT

7.EDUKASI 35. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit trombosis
DAN vena dalam, upaya diagnosis, komplikasi PE, dan
MONITORING penatalaksanaannya.
36. Edukasi dan informasi kepada pasien mengenai manfaat dan
efek samping pengobatan dengan antikoagulan maupun
trombolitik.
37. Pada pasien yang menggunakan VKA, lakukan monitoring INR
secara teratur untuk mencapai INR range 2-3, awasi
kemungkinan intake makanan dan obat-obatan yang
mempengaruhi kerja VKA
38. Pada pasien yang diberikan terapi antikoagulan diperpanjang
(extended therapy), lakukan penilaian ulang pemberian terapi
dalam periode tertentu (misalnya tahunan)

Ad vitam: ....................
8. PROGNOSIS Ad functionam: ...........
Ad sanasionam: ...........

1. Kearon C, et.al. Antithrombotic Therapy and Prevention of


Thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians.
Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST / 141 /
KEPUSTAKAAN 2 / FEBRUARY, 2012 SUPPLEMENT
2. Mc.Rae S, Ginsberg J. Initial Treatment of Venous
Thromboembolism. 2004. Circulation. 2004;110:I-3-I-9. doi:
10.1161/01.CIR.0000140904.52752.0c

239
PANDUAN 60.GASTROINTESTINAL STROMAL TUMOR/
PRAKTIK KLINIS GIST

PENGERTIAN Tumor ganas stromal di saluran pencernaan. Insiden GIST


diperkirakan sekitar 10-20 kasus per 1.000.000 penduduk. Median
usia saat terdiagnosis GIST berdasarkan laporan-laporan penelitian
adalah 55-65 tahun. GIST paling sering terjadi di lambung (60%),
selanjutnya diikuti usus halus (25%), rectum (5%), dan esofagus
(2%). Sekitar 5% GIST tejadi di kolon, mesenterium, dan
retroperitoneum. GIST stadium dini/ early-stage secara klinis
bermanifestasi sebagai tumor yang terlokalisir (localized tumor)
seperti di lambung. Sekitar 50% pasien GIST saat pertama kali
terdiagnosis telah mengalami metastasis, terutama di hati atau
peritoneum.

ANAMNESIS Presentasi klinis GIST bergantung kepada lokasi tumor dan bisa
berupa:
Nyeri atau rasa tidak nyaman di perut.
Rasa penuh di perut.
Mual dan muntah.
Perdarahan saluran cerna.
Fatigue akibat anemia.

PEMERIKSAAN Performans status: ECOG 0/1/2/3/4.


FISIK Massa intraabdominal. Pembesaran liver. Asites.

PEMERIKSAAN Darah perifer lengkap dan diff count.


PENUNJANG Tes fungsi hati dan ginjal.
DAN Serologi virus: HBV, HCV, dan HIV.
STAGING Tes kehamilan pada wanita usia subur.
EKG dan echocardiogram.
CT-scan tumor primer, Ro thoraks atau CT-scan thoraks (optional:
salah satu saja), USG abdomen atau CT-scan abdomen (optional:
salah satu saja).
PET scanning jika fasilitas tersedia dan berhubungan dengan
keputusan terapi serta respon pengobatan yang dini/ early response
(optional jika fasilitas tersedia).
Biopsi per endoskopi/ laparoskopi/ laparotomi tumor primer/
metastasis dan IHK CD 117.

Diagnosis GIST ditegakkan berdasarkan hasil biopsi menunjukkan


GIST: tipe sel spindle/ spindle cell type (70%) dan tipe epiteloid/
epitheloid type (20%) dan IHK CD117 +.

240
DIAGNOSIS GIST
KERJA  Stadium: Localized/ Metastasis.
 Performans status ECOG/ WHO: …

Localized GIST:
Operasi eksisi komplit (complete surgical excision) (III, A)
dilanjutkan dengan Imatinib 400 mg/ hari ajuvan selama 3 tahun
dengan syarat high risk relapse. Imatinib tidak diberikan pada
pasien-pasien yang low risk relapse dan dipertimbangkan diberikan
pada pasien-pasien yang intermediate risk relapse. (I, A). Pada
pasien-pasien GIST yang high risk dan terdapat mutasi KIT exon 9
diberikan Imatinib 2x400 mg/ hari ajuvan selama 3 tahun; sedangkan
yang PDGFRA D842V-mutated GIST seyogyanya tidak diberikan
Imatinib ajuvan.
TERAPI
GIST metastasis
Pada pasien-pasien GIST yang sudah metastasis dan locally
advanced GIST yang tidak bisa dioperasi (inoperable) terapi standard
adalah Imatinib 1x400 mg/ hari indefinitely. (I, A).

Jika terjadi progresifitas tumor, terapi standar adalah Imatinib 2x400


mg/ hari. (III, B).
Jika terjadi progresifitas tumor atau intoleran terhadap Imatinib,
terapi standar lini kedua adalah Suntinib. (I, B) dosis 50 mg/hari
selama 4 minggu dan 2 minggu off atau 1x37.5 mg/ hari.
39. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit GIST,
upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
40. Edukasi tentang manfaat dan efek samping pemberian Imatinib
EDUKASI dan kepatuhan mengkonsumsi Imatinib jangka panjang.
DAN 41. Monitoring respon pengobatan pada pasien-pasien GIST yang
MONITORING high risk: pemeriksaan pencitraan yang abnormal pada awal
pengobatan dianjurkan untuk diulang setelah 3-6 bulan selama 3
tahun terapi ajuvan. Setelah 3 tahun ajuvan monitoring CT-scan/
MRI tiap 6-12 bulan selama 5 tahun.
7. The ESMO/ European Sarcoma Network Working Group.
Gastrointestinal stromal tumors: ESMO clinical practice
KEPUSTAKAAN guidelines for diagnosis, treatment, and follow-up.

241
PANDUAN 61.LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK/ LGK FASE
PRAKTIK KLINIS KRONIK

Leukemia Granulositik Kronik (LGK) adalah suatu penyakit


1.PENGERTIAN myeloproliferatif yang disebabkan oleh mutasi sel induk pluripoten di
sumsum tulang akibat translokasi resiprokal t(9;22) yang
membentuk kromosom Philadelphia dan fusi gen BCR-ABL. Gen
BCR-ABL menghasilkan produk protein protoonkogen p210 yang
berperan penting terhadap pertumbuhan dan proliferasi sel-sel pada
pasien-pasien LGK.
1. Asimtomatik.
2.ANAMNESIS 2. Simtomatik → non-spesifik: lemah, cepat capek, begah, sensasi
benjolan di perut, penurunan berat badan, keringat malam, dan
demam yang tidak terlalu tinggi.

3.PEMERIKSAAN Splenomegali pada >50% kasus-kasus pasien LGK fase kronik.


FISIK

Darah perifer lengkap dan diff count: tanda utama adalah leukositosis
4.PEMERIKSAAN dengan basophilia dan ditemukannya blast (<10%), promielosit,
PENUNJANG mielosit, metamielosit, batang, dan segmen. Anemia ringan dan
trombositosis bisa ditemukan.

Bone marrow aspiration: morfologi menunjukkan hiperseluler, M/E


rasio >4-10:1, blast <10%, dan hiperplasia seri granulosit.

Sitogenetika aspirasi sumsum tulang: ditemukan Kromosom


Philadelphia → t(9; 22).

Reverse trasncriptase polymerase chain reaction (RT-PCR)


menunjukkan: BCR-ABL positif.

5.DIAGNOSIS LGK Fase Kronik Kromosom Philidalphia/ BCR-ABL positif


KERJA

Fase awal untuk menurunkan jumlah leukosit dan mengecilkan limpa


bisa diberikan Hydroxyurea.

Apabila hasil sitogenetika menunjukkan Kromosom Philadelphia


positif dan/ atau RT-PCR BCR-ABL positif rekomendasinya adalah
Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI):
6.TERAPI Terapi lini pertama: Imatinib 1x400 mg.

Terapi lini kedua:


 Apabila intoleran terhadap Imatinib → Nilotinib 2x400 mg
atau Dasatinib 2x70 mg berdasarkan atas ketersediaan obat,
efek samping, dan komorbid.
 Apabila gagal terhadap Imatinib → Nilotinib 2x400 mg atau

242
Dasatinib 2x70 mg berdasarkan atas ketersediaan obat, ada
atau tidaknya dan tipe mutasi KD BCR-ABL.

Terapi lini ketiga:


Apabila gagal terhadap 2 atau 3 TKI → pertimbangkan AlloHSCT.
42. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit LGK
Fase kronik, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
7.EDUKASI 43. Monitoring respon pengobatan penting dilakukan karena
DAN progresivitas LGK fase kronik menjadi LGK fase akselerasi dan
MONITORING krisis blastik bisa terjadi apabila pasien-pasien LGK fase kronik
tidak mencapai target klinik setelah mengkonsumsi obat-obatan
TKI, yaitu:
 Pada bulan ke-3 → Complete Hematologic Response (CHR)
yang ditandai oleh normalnya Hb, leukosit, dan trombosit
serta limpa tidak teraba dan/ atau qBCR-ABL <10%
(optional: bergantung kepada ketersediaan pemeriksaan
qBCR-ABL).
 Pada bulan ke-6 → Ph chromosome t(9; 22) terdeteksi <35%
pada pemeriksaan sitogenetika aspirasi sumsum tulang dan/
atau qBCR-ABL <10% (optional: bergantung kepada
ketersediaan pemeriksaan qBCR-ABL)..
 Pada bulan ke-12 → tercapainya Complete Cytogenetic
Response (CCgR) yang ditandai oleh tidak terdeteksinya Ph
chromosome t(9; 22)/ Ph chromosome 0% dan/ atau qBCR-
ABL =<1% (optional: bergantung kepada ketersediaan
pemeriksaan qBCR-ABL)..
 Pada bulan ke-18 → tercapainya Major Molecular Response
(MMR) yang ditandai oleh a 3 log reduction by qPCR BCR-
ABL darah perifer (=<0.1%).
Kegagalan tercapainya CHR/ CCgr/ MMR membutuhkan monitor
ketat terhadap:
1) Analisis mutasi BCR-ABL kinase domain.
2) Peningkatan dosis Imatinib menjadi 600 mg-800 mg atau TKI
lini kedua.
3) Pertimbangkan AlloHSCT.

8. PROGNOSIS Ad vitam: ...


Ad functionam: ...
Ad sanasionam: ...
8. Baccarani M, Pileri S, Steegmann JL, et al. Clinical practice
guidelines. Chronic myeloid leukemia: ESMO clinical practice
KEPUSTAKAAN guidelines for diagnosis, treatment, and follow-up.
9. O’Brian S, Abboud CN, Achtari M, et al. NCCN guidelines in
oncology. Chronic myeloid leukemia. Version 4.2013.

243
PANDUAN 62.LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)
PRAKTIK KLINIS DIFFUSE LARGE B CELL (DLBCL) CD 20+

1.PENGERTIAN Tumor ganas jaringan limfoid yang berasal dari sel limfosit B.
Insiden 3-5 kasus/ 100,000 penduduk/ tahun. Rasio pria:wanita = 2:1.
Usia puncak 40-80 tahun.

2.ANAMNESIS Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri.


Massa pada organ-organ extra-nodal.
B-symptoms: demam, penurunan berat badan, keringat malam.

3.PEMERIKSAAN Status Performans: ECOG 0/1/2/3/4.


FISIK Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, massa pada organ-organ
extra-nodal, termasuk cincin Waldeyer.

4.PEMERIKSAAN Darah perifer lengkap dan diff count.


PENUNJANG DAN Tes fungsi hati dan ginjal.
STAGING LDH.
Serologi virus: HBV, HCV, dan HIV.
Tes kehamilan pada wanita usia subur.
EKG dan echocardiogram.
CT-scan tumor primer, Ro thoraks atau CT-scan thoraks (optional:
salah satu saja), USG abdomen atau CT-scan abdomen (optional:
salah satu saja).
PET scanning jika fasilitas tersedia dan berhubungan dengan
keputusan terapi.
Bone marrow aspiration dan biopsi.
Biopsi dan IHK tumor primer.

5.KRITERIA Kriteria diagnosis LNH DLBCL CD 20+ ditegakkan berdasarkan


DIAGNOSIS atas:
DAN Hasil biopsi eksisional tumor primer di kelenjar getah bening atau
DIAGNOSIS massa extra-nodal dan IHK minimal CD45, CD20, dan CD3.
KERJA
Diagnosis kerja:
LNH DLBCL CD20+
 Stadium: I/II/III/IV B/E.
 Status performans ECOG: 0/1/2/3/4/5.
 R-IPI score: 1/2/3/4/5.
 Komorbid: ...
Lini pertama:
LNH DLBCL CD20+ Stadium I non-bulky disease (Nodal <10 cm):
6.TERAPI
CHOP±R tiap 3 minggu x 3-4 siklus dilanjutkan involved field
radiation (IFRT) 40 Gy (I, A) atau
244
CHOP±R tiap 3 minggu x 6 siklus (I, A).

LNH DLBCL CD20+ Stadium I (bulky) dan II-IV:


CHOP±R tiap 3 minggu x 6-8 siklus; dilanjutkan radioterapi
konsolidasi pada tumor primer yang bulky (I, A).

Relaps/ refrakter
Kemoterapi salvage (ICE±R, DHAP±R) dilanjutkan dengan HDT
dan Autologous Stem Cell Transplantation/ ASCT terhadap pasien-
pasien yang chemosensitive seyogyanya dipertimbangkan terhadap
pasien-pasien yang suitable dengan performans status yang baik (II,
A). Apabila masih relaps dipertimbangkan allogeneic transplantation
terhadap pasien-pasien yang fit dan suitable (III, B).
Pasien-pasien yang tidak suitable untuk HDT bisa ditatalaksana
dengan kemoterapi salvage atau kemoterapi lini kedua: GemOx±R,
CEOP± R, atau GDP± R.
44. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit LNH
DLBCL CD20+ , upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
45. Edukasi tentang manfaat dan efek samping kemoterapi.
46. Monitoring respon pengobatan: pemeriksaan pencitraan yang
abnormal pada awal pengobatan dianjurkan untuk diulang
setelah 3-4 siklus pengobatan dan setelah selesai menjalani
7.EDUKASI pengobatan. PET-scan dianjurkan setelah selesai menjalani
DAN pengobatan untuk menilai remisi komplit/ complete remission
MONITORING (optional).
47. Follow-up:
Anamnesis dan pemeriksaan fisik setiap 3 bulan selama 1 tahun,
setiap 6 bulan selama 2 tahun, dan tiap tahun.
DPL dan LDH tiap 3 bulan selama 1 tahun dan selanjutnya tiap
6-12 bulan.
Pemeriksaan pencitraan tiap 6, 12, dan 24 bulan.
Ad vitam :
8.PROGNOSIS Ad functionam:
Ad sanasionam:
10. Tily H, Vitolo U, Walewsky J, et al. Diffuse large B cell
lymphoma (DLBCL): ESMO clinical practice guidelines for
diagnosis, treatment, and follow-up.
11. Armitage J. How I treat patients with diffuse large B cell
KEPUSTAKAAN lymphoma. American Society of Hematology. Blood Volume
110 Number 1 2007.
12. Zelenez AD, Abramson JS, Advani RH, et al. Non-hodgkin’s
lymphomas: NCCN clinical practice guidelines in oncology
Version I. 2013.

245
63.TERAPI SISTEMIK
PANDUAN OSTEOSARKOMA
PRAKTIK KLINIS

Osteosarkoma adalah tumor maligna tulang yang berasal dari


PENGERTIAN osteoblast. Insiden: 2 kasus/ 1,000,000 penduduk/ tahun. Rasio pria :
wanita = 3:2. Mayoritas kasus berusia muda dan produktif.

DIAGNOSIS Diagnosis definitif berdasarkan biopsi tumor primer Osteosarkoma.

o Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk berat badan,


tinggi badan, luas permukaan tubuh, dan PS (Performance
Status ECOG 0-4).
o Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi
hati dan ginjal (termasuk CCT), gula darah sewaktu, elektrolit
STAGING Na, K, dan Cl, alkali fosfatase, LDH. HbsAg dan anti HCV.
Tes kehamilan pada wanita usia produktif sesuai indikasi.
o EKG dan Echokardiografi.
o Pemeriksaan pencitraan: Ronsen dan CT-scan/ MRI tumor
primer, CXR atau CT-scan thoraks (optional: salah satu);
USG atau CT/MRI abdomen (optional: salah satu); CT/MRI
brain (jika ditemukan gejala dan tanda neurologi); bone scan.

Keputusan terapi seyogyanya berdasarkan atas tumor board


multidisiplin.

Terapi kuratif Osteosarkoma terdiri atas operasi dan kemoterapi (I,


A) jika dibandingkan dengan operasi saja.
Pada umumnya kemoterapi diberikan sebelum dan sesudah
kemoterapi. Respon histopatologi prekemoterapi memprediksi
TERAPI survival.

Kemoterapi lini pertama:


Doxorubicin dan Cisplatin.

Kemoterapi lini kedua/ ketiga:


Ifosfamide dan etoposide.
Docetaxel dan gemcitabine.

48. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit


EDUKASI Osteosarkoma, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya.
49. Menjelaskan manfaat kemoterapi dan efek samping kemoterapi.
50. Menjelaskan pengendalian, pencegahan dan penyembuhan efek
samping kemoterapi.
246
51. Menjelaskan jadwal pemberian kemoterapi.

16. Follow-up bertujuan untuk mendeteksi kekambuhan dan


metastasis di mana terapi dini masih memungkinkan dan efektif:
FOLLOW UP pemeriksaan fisik tumor primer, CXR/ Ct-scan thoraks.
17. Follow up pasca kemoterapi: tiap 2-3 bulan pada 2 tahun
pertama; tiap 2-4 bulan pada tahun ke-3 dan ke-4; tiap 6 bulan
pada tahun ke-5 sd ke-10; dan selanjutnya tiap 6-12 bulan.
11. The ESMO/ European sarcoma network working group. Bone
sarcoma: ESMO clinical practice guidelines for diagnosis,
KEPUSTAKAAN treatment, and follow-up.
12. Bierman JS, Adkins DR, Agulnik M. Bone cancer: NCCN
clinical practice guidelines in oncology.

247
PANDUAN 65.POLYCYTHEMIA VERA/ PV
PRAKTIK KLINIS
PV merupakan penyakit monoklonal stem cell sumsum tulang yang
1.PENGERTIAN ditandai oleh proliferasi multipoten stem cell dengan hiperplasia
trilineage yang menyebabkan ekspansi primer seri eritroid, myeloid,
dan megakariositik.
Saat ini, mutasi aktivasi JAK2 V617F telah terdeteksi pada hampir
semua pasien PV. JAK2 merupakan kinase yang penting pada jalur
transduksi sinyal reseptor erythropoietin (EPO). Apabila terjadi
mutasi JAK2 V617F akan menyebabkan aktivasi JAK2 Kinase yang
konstitutif sehingga terjadi proliferasi prekursor eritrosit yang tidak
bergantung EPO.
PV merupakan salah satu penyakit mieloproliferatif
(Myeloproliferative disorders/ MPDs) yang paling sering ditemukan
dengan insiden sekitar 2 di antara 100,000 penduduk. Rerata usia
adalah 60 tahun dengan predominasi pria.
1. Asimtomatik → peningkatan kadar Hb pada pemeriksaan
2.ANAMNESIS laboratorium.
2. Simtomatik → non-spesifik: sakit kepala, lemah, vertigo, tinitus,
pruritus, erythromelalgia (rasa terbakar di telapak tangan). Pasien-
pasien PV memiliki predisposisi untuk mengalami trombosis (seperti:
stroke, myocardial infarction, acute limb ischemia), sedangkan
perdarahan bisa terjadi namun lebih jarang.

3.PEMERIKSAAN Bisa ditemukan splenomegali, facial plethora, dan/ atau


FISIK hepatomegali.

Darah perifer lengkap dan diff count: tanda utama peningkatan kadar
4.PEMERIKSAAN Hb, berkisar antara: 18-24 g/dL. Leukositosis bisa ditemukan pada
PENUNJANG sekitar 50% pasien-pasien PV, sedangkan trombositosis bisa
ditemukan pada sekitar 80% pasien-pasien PV.

NAP score meningkat >100.

Saturasi oksigen normal.

Kadar EPO yang subnormal.

Bone marrow aspiration: morfologi menunjukkan hiperseluler dan


hiperplasia seri eritrosit, myeloid, dan megakariosit.

Mutasi JAK2V617F bisa ditemukan pada sekitar 90%-95% pasien-


pasien PV.

5.DIAGNOSIS Kriteria WHO untuk mendiagnosis PV (2001)


KERJA Kriteria mayor:

248
A1 Hb >18.5 g/dL Pria; Hb >16.5 g/dL Wanita.
A2 Tidak ditemukan etiologi eritrositosis sekunder.
A3 Splenomegali.
A4 Abnormalitas klonal genetik selain Kromosom Philadelphia/
BCR-ABL di sumsum tulang, contohnya adalah: Mutasi
JAK2V617F.

Kriteria minor:
B1 Trombositosis >400,000/uL.
B2 Leukositosis >12,000/uL.
B3 Morfologi sumsum tulang menunjukkan panmyelosis dengan
proliferasi eritroid dan megakariositik yang predominan.
B4 Kadar EPO yang rendah.

Diagnosis PV ditegakkan bila memenuhi:


A1 + A2 + A3 atau A1 + A3 + A4 atau
A1 + A2 + 2 kriteria minor.

Kriteria WHO Revisi untuk mediagnosis PV (2007)


Kriteria mayor
1. Hb >18.5 g/dL Pria; Hb >16.5 g/dL Wanita.
2. Ditemukannya mutasi JAK2V617F

Kriteria minor
1. Proliferasi trilineage sumsum tulang.
2. Serum EPO subnormal.
3. Endogenous erythroid colony growth.

Diagnosis PV ditegakkan jika memenuhi:


2 mayor + 1 minor atau 1 mayor + 2 minor.

Diferensial diagnosis
Eritrositosis sekunder:
a. Dehidrasi.
b. Hipoksia, seperti pada penyakit jantung sianosis dan penyakit
paru kronik, penduduk yang tinggal/ menetap lama di
ketinggian >2000 m di atas permukaan laut.
c. Carboxy-Hb: smoker.
d. Methemoglobinemia kronik.

Peningkatan kadar EPO:


a. Penyakit renal.
b. Sinrom paraneoplastik: renal cell carcinoma, lung cancer,
pheochromocytoma.

Tujuan utama pengobatan adalah menurunkan secara bertahap red


blood cell mass dan mencegah risiko komplikasi trombosis dengan
6.TERAPI cara:
Terapi phlebotomy
Phlebotomy 300-500 mL darah tiap 2-4 hari merupakan terapi

249
standar untuk menurunkan kadar hematokrit menjadi 40%-45%
bergantung kepada kondisi hemodinamik pasien. Selanjutnya
Phlebotomy diturunkan frekwensinya untuk mempertahankan kadar
hematokrit 40%-45% .

Aspirin dosis rendah 80 mg-100 mg bisa digunakan bersama-sama


Phlebotomy untuk menurunkan risiko trombosis.

Myelosuppressive agents diindikasikan bersama-sama Phlebotomy


pada pasien-pasien PV dengan: trombositosis persisten, trombosis
rekuren, splenomegali yang tidak respon terhadap phlebotomy.
Hydroxyurea 10-30 mg/kgbb/hari merupakan obat terpilih untuk
mempertahankan kadar hematokrit =<45%, trombosit 100,000-
500,000/uL, dan leukosit >3000/uL.

52. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit PV:


upaya diagnosis dan penatalaksanaannya.
7.EDUKASI
53. Monitoring respon pengobatan penting dilakukan dengan cara
DAN
pemeriksaan darah perifer lengkap serial.
MONITORING
54. Menjelaskan mengenai efek samping pengobatan yang mungkin
timbul serta rencana pemantauan selama terapi.

8. PROGNOSIS
Ad vitam: ...
Ad functionam: ...
Ad sanasionam: ...
13. Ansstas G. Myeloproliferative disorders. In: Cashen A, Van Tine
BA eds. Hematology and oncology subspecialty consult 3rd ed.
Lippincott Williams & Wilkins 2012: 95-101.
14. Hillman RS, Ault KA, Lepporrier M, Rinder HM. Erythrocytosis
and polycythemia vera. In: Hematology in clinical practice 5th
ed. McGraw Hill 2011: 163-175.
KEPUSTAKAAN
15. Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. AmFamPhysician
200:69;2139-2146.
16. McMullin MF, Bareford D, Campbell P, et al. On behalf of the
General Haematology Task Force of the British Commitee for
Standards in Haematology. Guidelines for the diagnosis,
investigation and management of polycythemia/ erythrocytosis.

250
PANDUAN 65. THALASEMIA
PRAKTIK KLINIS
Thalasemia adalah sekelompok penyakit hematologi autosomal
PENGERTIAN resesif yang diturunkan yang menyebabkan anemia hemolitik akibat
berkurangnya/ ketiadaan rantai globin dan/ atau kelainan Hb
struktural. Insiden Thalasemia: 4.4/ 10.000 kelahiran hidup.
Thalasemia α lebih sering ditemukan di afrika dan asia tenggara;
thalasemia β lebih sering ditemukan di mediterania dan asia tenggara;
sedangkan thalasemia β/ HbE merupakan hemoglobinopati khusus
yang sering ditemukan di asia tenggara.

ANAMNESIS Keluhan anemia


Perkembangan dan pertumbuhan yang abnormal.

PEMERIKSAAN Berat badan dan tinggi badan, deformitas wajah, deformitas tulang,
FISIK konjugtiva pucat +/-, sklera ikterik +/-, hepatomegali +/-,
splenomegali +/-.

Darah perifer lengkap dan morfologi darah tepi.


PEMERIKSAAN Elektroforesa Hb.
PENUNJANG Analisis DNA (optional).
Status besi: SI/ TIBC/ Feritin.
Tes fungsi hati dan ginjal.
Serologi virus hepatitis B dan C serta virus HIV.
MRI T2* kardiak dan liver (optional sesuai indikasi).

DIAGNOSIS Genotype: Thalasemia α; Thalasemia β; Thalasemia β/ HbE


KERJA Phenotype: Trait/ Intermedia/ Mayor.

Program transfusi PRC leucodepleted


Thalasemia trait:
Biasanya tidak memerlukan pengobatan khusus, namun pada
keadaan tertentu bisa terjadi penurunan kadar Hb yang membutuhkan
transfusi PRC.

Thalasemia intermedia:
Transfusi PRC → rekomendasi berdasarkan Thalassemia
International Federation/ TIF adalah:
TERAPI Kadar Hb bukan merupakan indikasi transfusi PRC kecuali pada
pasien-pasien anemia berat (Hb <5 g/dL).
Kadang-kadang perlu mempertimbangkan transfusi PRC pada
antisipasi stress akut, penurunan Hb, atau kondisi-kondisi perdarahan
seperti pada infeksi, kehamilan, dan operasi.
Transfusi PRC bisa dipertimbangkan lebih sering pada kondisi-
kondisi seperti: penurunan kadar Hb yang dikaitkan dengan
pembesaran limpa, gagal tumbuh (growth failure), perkembangan
mental yang buruk (poor mental development), toleransi exercise
yang berkurang (diminished exercise tolerance), gagal perkembangan

251
sexual sekunder (failure of secondary sexual development), dan
kualitas hidup yang buruk (poor quality of life).
Transfusi PRC bisa mencegah kondisi-kondisi medis khusus seperti:
leg ulcer, thrombotic disease, hipertensi pulmonal, extra medullary
hemopoiesis.

Thalasemia mayor
Transfusi PRC leukodeleted rutin untuk mempertahankan survival.

Terapi kelasi besi


Thalasemia Intermedia
Jika kadar feritin serial >= 800 ng/ml (monitoring tiap 3 bulan
dengan target 300-800 μg/l) atau MRI T2* liver LIC >= 5 mg/g dw
(monitoring tiap 6-12 bulan dengan target LIC 3-5 mg/g dw)
menggunakan deferoxamin 30-50 mg/kgbb/hari 5-7 hari per minggu
atau deferasirox 20-40 mg/kgbb/hari 1x sehari atau deferiprone 75-
100 mg/kgbb/hari 3x sehari.

Thalasemia mayor
Jika telah menerima >10x transfusi PRC atau kadar feritin serial
>1000 μg/l (monitoring tiap 3 bulan dengan target 1000-1500 μg/l)
atau MRI T2* liver LIC >7 mg/g dw (monitoring tiap 6-12 bulan
dengan target LIC <7 mg/g dw).

Komplikasi khusus:
Splenektomi pada pasien-pasien Thalasemia Intermedia indikasinya
adalah: anemia yang cenderung memburuk menyebabkan
perkembangan dan pertumbuhan yang buruk, hipersplenisme di mana
terjadi leukopenia atau trombopenia yang menyebabkan problem
klinik seperti infeksi bakterial berulang atau perdarahan,
splenomegali simtomatik seperti cepat kenyang atau nyeri atau
splenomegali masif (>20 cm dan kecenderungan ruptur).

EDUKASI
DAN
MONITORING

252
66. PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

Definisi

PPOK adalah penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati, dikarakteristikkan oleh
terbatasnya jalan nafas yang persisten biasanya progresif dan berhubungan dengan
meningkatnya respon inflamasi kronis pada jalan nafas dan paru terhadap partikel beracun
dan gas.

Anamnesis

Keluhan yang dirasakan pasien PPOK adalah sesak nafas yang progresif (memburuk dari
waktu ke waktu), memburuk dengan olahraga dan persisten, batuk kronis bisa intermitten dan
tidak produktif atau adanya produksi sputum yang terus menerus, dan riwayat terpapar
terhadap faktor resiko dari PPOK (merokok, asap dari dapur, debu dan kimia dari tempat
kerja),

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien sering dijumpai adanya penggunaan otot-otot pernafasan dan
barrel chest pada inspeksi thorax. Pada perkusi dijumpai hipersonor dan auskultasi dijumpai
adanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada saat ekspirasi.

Kriteria Diagnosis
Dijumpainya gejala klinis dan penegakan diagnosa pasti adalah dengan dilakukan spirometri,
adanya post penggunaan bronkodilator FEV1/FVC < 0,70 mengkonfirmasi adanya
keterbatasan jalan nafas yang persisten.

Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari PPOK meliputi; asma, CHF, bronchiectasis, TB, bronchiolitis
obliteratif dan panbronchiolitis difus.

Pemeriksaan Penunjang
Radiologik : Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Foto thoraks biasanya dilakukan
untuk mengeksklusi diagnosis lain dan mengetahui adanya komorbid penyakit paru lain
(fibrosis paru, bronchiektasis, penyakit pleura), skeletal (kiposkoliosis), dan penyakit jantung

253
(kardiomegali). Perubahan radiologi yang menunjukkan PPOK adalah adanya gambaran
hiperinflasi paru (diafragma mendatar dan peningkatan volume udara retrosternal), hiperlusen
paru dan adanya tanda vascular yang banyak.
CT scan tidak rekomendasi untuk rutin dilakukan. Namun, jika diagnosis PPOK ragu dapat
dilakukan CT scan untuk diagnosis diferensial dimana adanya penyakit yang terjadi
bersamaan.
Pemeriksaan khusus:
Oksimetri dan Pemeriksaan AGDA : pulse oxymetry dapat digunakan untuk evaluasi
saturasi oksigen pasien dan kebutuhan untuk terapi oksigen tambahan. Pulse oxymetry
digunakan untuk evaluasi semua pasien stabil dengan FEV1 < 35% prediksi atau dengan
tanda klinis yang menunjukkan kegagalan nafas atau gagal jantung kanan.
Skrining Defisiensi Alpha-1 Antitripsin : tipikal pasien dengan usia muda (< 45 tahun)
dengan emfisema lobus bawah. Serum konsentrasi alpha-1 antitripsin dibawah 15 - 20% dari
nilai normal disugestifkan defisiensi homozigot alpha-1 antitripsin

Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis


Klasifikasi Keparahan Keterbatasan Jalan Nafas pada COPD
(Berdasarkan post-bronkodilator FEV1)
Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,70
GOLD 1 : Mild FEV1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2 : Moderate 50% ≤ FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 : Severe 30% ≤ FEV1 < 50% prediksi
GOLD 4 : Very Severe FEV1 < 30% prediksi

Pasien grup A – risiko rendah, simptom sedikit


GOLD 1 atau GOLD 2 (mild atau moderate airflow limitation); dan/atau 0-1 kali eksaserbasi
per tahun dan tidak ada hospitalisasi selama eksaserbasi; dan CAT skor < 10 atau mMRC 0-1
Pasien grup B – risiko rendah, simptom lebih
GOLD 1 atau GOLD 2 (mild atau moderate airflow limitation); dan/atau 0-1 kali eksaserbasi
per tahun dan tidak ada hospitalisasi selama eksaserbasi; dan CAT skor ≥ 10 atau mMRC ≥ 2
Pasien grup C – risiko tinggi, symptom sedikit
GOLD 3 atau GOLD 4 (severe atau very severe airflow limitation); dan/atau ≥ 2 kali
eksaserbasi per tahun atau ≥ 1 kali hospitalisasi selama eksaserbasi; dan CAT skor < 10 atau
mMRC 0-1

254
Pasien grup D – risiko tinggi, symptom lebih
GOLD 3 atau GOLD 4 (severe atau very severe airflow limitation); dan/atau ≥ 2 kali
eksaserbasi per tahun atau ≥ 1 kali hospitalisasi selama eksaserbasi; dan CAT skor ≥ 10 atau
mMRC ≥ 2

Terapi
Inisial Farmakologi Manajemen PPOK
Grup Pasien Pilihan pertama yang Pilihan Alternatif Pengobatan Lain
direkomendasikan
A Short-acting Long-acting Theophyline
antikolinergik prn antikolinergik
Atau atau
Short-acting β2 agonis Long-acting β2 agonis
Atau
short-acting β2 agonis
dan short-acting
antikolinergik
B Long-acting Long-acting short-actingβ2 agonis
antikolinergik atau antikolinergik dan dan/atau
Long-acting β2 agonis Long-acting β2 agonis short-acting
antikolinergik

theophyline
C Kortikosteroid inhalasi + Long-acting short-actingβ2 agonis
Long-acting antikolinergik dan dan/atau
antikolinergik Long-acting β2 agonis short-acting
atau Atau antikolinergik
Long-acting β2 agonis Long-acting
antikolinergik dan theophyline
phosphodiesterase 4
inhibitor
Atau
Long-acting β2 agonis

255
dan phosphodiesterase
4 inhibitor
D Kortikosteroid inhalasi + Kortikosteroid inhalasi Karbosistein
Long-acting + Long-acting
antikolinergik antikolinergik dan short-acting β2
Dan/atau Long-acting β2 agonis agonis
Long-acting β2 agonis Atau dan/atau
Kortikosteroid inhalasi short-acting
+ Long-acting antikolinergik
antikolinergik dan
phosphodiesterase 4 theophyline
inhibitor
Atau
Long-acting
antikolinergik dan
Long-acting β2 agonis
Atau
Long-acting
antikolinergik dan
phosphodiesterase 4
inhibitor

Edukasi
Pasien dianjurkan untuk berhenti merokok dan menghindari pencetus

Prognosis
Prognosis umumnya kurang baik

Kepustakaan
1. Global Strategyfor the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease updated 2015

256
67. ASMA BRONCHIALE

Definisi

Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernafasan yang dihubungkan
dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernafasan.

Anamnesis

Keluhan yang dirasakan pasien asma adalah sesak nafas yang terjadi mendadak yang ditandai
dengan obstruksi saluran pernafasan yang berkembang cepat, adanya riwayat atopi dan
riwayat keluarga sebelumnya.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien sering dijumpai adanya penggunaan otot-otot pernafasan pada
inspeksi. Pada auskultasi dijumpai adanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada saat
ekspirasi.

Kriteria Diagnosis
Dijumpainya gejala klinis dan penegakan diagnosa pasti adalah dengan dilakukan spirometri,
adanya pre penggunaan bronkodilator FEV1 12% dan 200 ml

Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari asma meliputi; COPD, CHF, dan pneumonia..

Pemeriksaan Penunjang
Radiologik : Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Foto thoraks biasanya dilakukan
untuk mengeksklusi diagnosis lain dan biasanya normal

Pemeriksaan khusus:
Peak Expiratory Flow (PEF) : bisa digunakan untuk mendiagnosis dan monitoring asma.
Variabilitas diurnal pada batas atas normal dengan pemeriksaan PEF dua kali sehari selama
2-4 minggu, adanya peningkatan PEF setelah inhalasi bronkodilator dengan 60 ml/menit atau
≥ 20% dari nilai pre bronkodilator atau diurnal variasi pada PEF >10% dari dua kali
pembacaan dalam sehari.

257
Pengukuran Status Alergi : identifikasi reaksi alergi spesifik dengan tes skin prick atau
pengukuran serum IgE dapat menolong identifikasi factor yang bertanggungjawab untuk
mencetuskan symptom asma.

Terapi
Target pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya dalah emnjaga saturasioksigen
arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernafasan dengan
memberikan bronkodilator inhalasi kerja cepat (β2 agonis dan anti-kolinergik) dan
mengurangi inflamasi saluran pernafasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik yang lebih awal.
 Oksigen
Karena kondisi hipoksemia dihasilkan oleh keseimbangan V/Q, hal ini biasanya dapat
terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3 L/menit dengan kanul nasal atau masker.
Target pemberian oksigen ini adalah dapat mempertahankan SpO2 pada kisaran ≥92%
 Β2 agonis
Inhalasi β2 agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk asma akut. Onset aksi
obat cepat dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Pilihan yang dapat digunakan antara
lain Salbutamol, metaproterenol, terbutalin dan fenoterol
 Antikolinergik
Penggunaan ipratropium bromida secara inhalasi dapat digunakan sebagai bronkodilator
awal pada serangan asma.
 Kortikosteroid
Agen ini tidak bersifat bronkodilator tetapi secara ekstrem sangat efektif menurunkan
inflamasi pada saluran nafas.
 Teofilin
Pemberian loading dose 6 mg/kgBB dan diberikan dalam waktu > 30 menit dilanjutkan
secara perinfus dengan dosis 0,5 mg/kgBB/ jam. Namun pemberian obat ini mempunyai
efek samping seperti tremor, mual, cemas dan takiaritmia.

258
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah, medium, tinggi untuk dewasa :
Obat-obatan Rendah Medium Tinggi
Beclometasone 200-500 >500-1000 >1000
dipropionate (CFC)
Beclometasone 100-200 >200-400 >400
dipropionate (HFA)
Budesonide (DPI) 200-400* >400-800 >800
Ciclesonide (HFA) 80-160 >160-320 >320
Fluticasone 100-250 >250-500 >500
propionate (DPI)
Fluticasone 100-250 >250-500 >500
propionate (HFA)
Mometasone furoate 110-220 >220-440 >440
Triamnicolone 400-1000 >1000-2000 >2000
acetonide

Edukasi
Pasien dianjurkan untuk menghindari pencetus

Prognosis
Prognosis umumnya baik

Kepustakaan
1. Global Strategy for asthma management and prevention revised 2014. Global Initiative of
Asthma

259
68. DELIRIUM PADA LANJUT USIA

DEFINISI

Sindrom delirium akut (acute confusional state/ACS) adalah sindrom mental organik yang
ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan
persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi.

ANAMNESIS

Anamnesis ditujukan kepada keluarga yang mengetahui keseharian pasien. Anamnesis


meliputi status mental awal pasien (apa terdapat bukti penurunan kognisi secara progresif
yang mengarah pada demensia?), riwayat delirium sebelumnya, riwayat jatuh atau trauma
kepala, obat yang dipakai sebelumnya atau perubahan obat yang dipakai, penggunaan etanol.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum, bukti adanya infeksi, dehidrasi, trauma.


2. Gangguan kesadaran: penurunan kewaspadaan dan kesulitan konsentrasi.
3. Gangguan kognisi menggunakan Short Blessed Test.
4. Gangguan persepsi dan sensori: halusinasi visual, paranoid, delusi.
5. Gejala somatik: inkontinensia urin, gangguan gait, tremor, gangguan bahasa, gangguan
tidur.
6. Gangguan emosi: mood yang labil, depresi.
7. Gangguan motorik.

KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-
TR) meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya ingat,
disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat
demensia, gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan cenderung
berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau
pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum maupun
akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obat/zat.

Harus dicari faktor pencetus dan faktor risikonya:

- Pencetus yang sering: gangguan metabolik (hipoksia, hiperkarbia, hipo atau hiperglikemia,
hiponatremia, azotemia), infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi saluran kemih), penurunan
cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah akut, infark miokard akut, gagal jantung
kongestif), strok (korteks kecil), obat-obatan (terutama antikolinergik), intoksikasi
(alkohol, dll), hipo atau hipertermia, lesi sistem saraf pusat, psikosis akut, pemindahan ke
lingkungan yang baru/tidak familiar, impaksi fekal, dan retensi urin.

260
- Faktor risiko: riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari 80 tahun, mengalami fraktur
saat masuk perawatan, infeksi yang simtomatik, jenis kelamin pria, mendapat obat
antipsikotik atau analgesik narkotik, penggunaan pengikat, malnutrisi, penambahan 3 atau
lebih obat, penggunaan kateter urin.

DIAGNOSIS KERJA

Delirium

DIAGNOSIS BANDING

1. Gangguan kognisi global


2. Demensia
3. Psikosis fungsional
4. Depresi
5. Kelainan neurologis (strok)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium : Darah perifer lengkap, elektrolit (terutama natrium), urin lengkap,


kultur resistensi urin, ureum, kreatinin, glukosa darah, analisis gas darah
2. Radiologis : Foto toraks, brain CT scan jika ada indikasi
3. Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit neurologis fokal, adakah
cerebro vascular disease atau transient ischemic attack
4. Lumbal pungsi
5. EKG
6. EEG

TERAPI

1. Berikan oksigen, pasang infus dan monitor.


2. Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya;
tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus.
3. Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik.
4. Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia urin.
5. Awasi kemungkinan imobilisasi.
6. Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang
diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik (haloperidol) dan atau
benzodiazepine (lorazepam) dalam waktu singkat untuk mengatasi tingkah laku yang
membahayakan dan monitor status neurologisnya; pertimbangkan penggunaan
antipsikotik atipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah penghentian
obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan obat tidur secepatnya.
7. Kaji status hidrasi secara berkala.
8. Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat jam dan kalender yang
besar dan jika memungkinkan diletakkan barang-barang yang familiar bagi pasien dari
rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya

261
sesering mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis
sudah memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang biasa digunakan oleh
pasien sebelumnya, motivasi untuk berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan
tenaga kesehatan, evaluasi strategi orientasi realitas; beritahu kepada pasien bahwa
dirinya sedang bingung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik.
9. Terapi primer berupa suportif terapi dengan mencari dan mengobati penyakit yang
mendasari.
EDUKASI

1. Mengenal faktor risiko delirium dan mengendalikannya


2. Kontrol rutin

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

262
69. IMOBILISASI

DEFENISI
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang geriatri yang
timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita. lmobilisasi
didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirahbaring selama 3 hari atau lebih, dengan
gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Di dalam praktek
medik istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan sebuah sindrom degenerasi
fisiologis yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atau deconditioning.

ANAMNESIS
Berbagai faktor fisik psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia
lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Rasa lemah sering kali disebabkan oleh
malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau
miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Penyakit
Parkinsor, artritis reumatoid,gout,dan obat-obatan antipsikotik juga dapat menyebabkan
kekakuan, Rasa nyeri, baik dari tulang seperti haloperidol (osteoporosis, osteomalasia,
Paget's disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid,
gout), otot (polimalgia pseudocloudicotion) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan
imobilisasi. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan, faktor neurologis
kehilangan refleks tubuh, neuropati karena diabetes melitus, malnutrisi, dan gangguan
vestibulosereberal), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik, antihipertensi
neuroleptik, dan antidepresan).
Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti
pada depresi tertentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran
keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan orang
usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit.
Efek samping beberapa obat dapat menyebabkan gangguan pada imobilisasi, namun biasanya
tidak teridentifikasi oleh petugas kesehatan. Obat-obat hipnotik dan sedatif menyebabkan
rasa kantuk dan ataksia yang mengganggu imobilisasi. Untuk itu kontrol teratur dan seksama
terhadap obat-obat yang dikonsumsi oleh pasien sangat penting untuk dilakukan.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum, bukti adanya disabilitas, penyakit dan obat-obatan.


2. Psikologis: depresi dan rasa takut.
3. Gangguan motorik: rasa nyeri, tekanan dan kekuatan otot, gerakan sendi, masalah pada
kaki (lesi dan deformitas)
4. Neurologis : adanya kelemahan fokal, masalah persepsi serta sensor

DIAGNOSIS

Imobilisasi

KOMPLIKASI

1. Trombosis
2. Ulkus dekubitus
3. Emboli paru

263
4. Kelemahan otot
5. kontraktur otot dan sendi
6. Osteoporosis
7. Hipotensi postural
8. Pneumonia dan Infeksi saluran kemih
9. Malnutrisi (hipoalbuminemia)
10. Konstipasi dan skibala
PENCEGAHAN KOMPLIKASI

Non Farmakologi
Pada pasien yang mengalami tirah baring total perubahan posisi secara teratur dan latihan di
tempat tidur
dapat dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta
kontraktur sendi. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur; berpindah dari
tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Latihan
isometris secara teratur 10-20% dari tekanan maksimal selama beberapa kali dalam sehari
dapat dilakukan untuk mempertahankan kekuatan isometri. Untuk mencegah terjadinya
kontraktur otot dapat dilakukan latihan gerakan pasif sebanyak satu atau dua kali sehari
selama 20 menit.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan
penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan
perubahan posisi lateral 300, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal
berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan
dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta
mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah
mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi.
Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi
pasien,berdasarkan ada tidaknya penyakit, status imobilisasinya, ti ngkat aktivitas, dan
latihannya. Pasien yang baru sembuh dari penyakit akut tetapi masih belum banyak bergerak
harus menhindari latihan jasmani yang berat secara tiba-tiba. Sebaliknya pasien harus
didorong untuk program latihan jasmani secara bertahap.
Kontrol tekanan arah secara teratur dan penggunan obat-obatan yang dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipotensi. Latihan kekuatan otot serta kontraksi abdomen dan otot pada kaki akan
menyebabkan aliran darah balikvena lebih efisien. Khusus untuk mencegah terjadinya
trombosis dapat dilakukan tindakan kompresi intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut
meningkatkan aliran darah dari vena di kaki dan menstimulasi
aktivitas fibrinolitik. Kompresi intermiten bebas dari efek samping tetapi merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan penyakit vaskular perifer.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian
terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan
untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Pada pasien yang mengalami
hipokinesis perlu diberikan suplementasi vitamin dan mineral.

Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan
komplikasi akibat imobilisasi terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian
a ntikoagulan merupakan terapi farmakologi yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya
trombosis pada pasien geriatri dengan mobilisasi. Low dose heparin (LDH) dan low

264
molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk
pasien geriatri dengan imobilisasi dan risiko trombosis non pembedahan terutama stroke.
Namun pemberian antikoagulan pada pasien geriatri perlu dilakukan dengan hati-hati dan
penuh pertimbangan. Penurunan faal organ ginjal dan hati serta adanya interaksi obat
terutama antara warfarin dengan beberapa obat analgetik atau NSAID merupakan hal yang
harus amat diperhatikan.

265
70. INFEKSI SALURAN KEMIH PADA LANSIA

DEFINISI

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang melibatkan struktur saluran kemih, yaitu dari epitel
glomerulus tempat mulai dibentuk urin sampai dengan muara urin di meatus urethrae
externae. Secara mikrobiologi definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah terdapatnya
mikroorganisme pada struktur saluran kemih dan baru dapat dipastikan setelah didapatkannya
bukti adanya koloni mikroorganisme dalam pemeriksaan kultur urin. ISK pada usia lanjut
dapat timbul sebagai akibat dari kondisi-kondisi yang sering menyertai orang usia lanjut,
seperti inkontinensia urin dan hipertrofi prostat yang memerlukan pemakaian kateter
menetap, imobilisasi, dan menurunnya fungsi imunitas baik non-spesifik maupun spesifik.

ANAMNESIS

Anamnesis ditujukan kepada keluarga yang mengetahui keseharian pasien. Anamnesis


meliputi riwayat kondisi-kondisi akut yang sering menyertai orang usia lanjut, yang
memerlukan pemakaian kateter menetap, imobilisasi, dan menurunnya fungsi imunitas tanpa
memperhatikan gejala khas dari ISK atau mengenali faktor-faktor risiko ISK pada usia lanjut.

PEMERIKSAAN FISIK

8. Keadaan umum

KRITERIA DIAGNOSIS

Meningkatkan kecurigaan adanya ISK bila didapatkan kondisi-kondisi akut pada usia lanjut
tanpa memperhatikan gejala khas dari ISK atau mengenali faktor-faktor risiko ISK pada usia
lanjut adalah merupakan pendekatan diagnosis yang tepat. Hal tersebut dapat dijadikan dasar
untuk memeriksakan sampel urin untuk dianalisis dan dibiak serta melakukan pemeriksaan
penunjang lain guna mengetahui adanya kelainan anatomi maupun struktural.

Kriteria diagnosis baktriuria berdasarkan gambaran klinis dan cara pengambilan sampel urin:

 102 colony forming unit (CFU) coliform/ml urin atau 105 CFU non-coliform/ml
urin, pada wanita dengan gejala ISK
 103 CFU bakteri/ml urin, pada pria dengan gejala ISK
 105 CFU bakteri/ml urin (2 kali pemeriksaan dengan jarak 1 minggu), pada wanita
dan pria tanpa gejala ISK
 102 CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan kateter
 Berapapun jumlah CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan gejala ISK dengan
pengambilan sampel urin dari kateterisasi suprapubik

266
DIAGNOSIS KERJA

Infeksi saluran kemih pada geriatri

DIAGNOSIS BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG

7. Laboratorium : darah tepi lengkap, urin lengkap, fungsi ginjal (ureum, kreatinin,
bersihan kreatinin), gula darah
8. Radiologis : BNO/IVP, USG ginjal
9. Mikrobiologis : biakan urin dengan tes resistensi kuman

TERAPI

Non farmakologi

 Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik


 Menjaga kebersihan daerah genitalia bagian luar
Farmakologi

 Antibiotika sangat dianjurkan dan perlu segera diberikan pada ISK simtomatik, sesuai
dengan tes resistensi kuman atau pola kuman yang ada atau secara empiris yang dapat
mencakup Escherichia coli dan gram negatif lainnya.
 Pada ISK asimtomatik antibiotika hanya diberikan pada pasien dengan risiko tinggi
untuk terjadinya komplikasi yang serius (seperti transplantasi ginjal atau pasien
dengan granulositopenia) dan pasien yang akan menjalani pembedahan.
 Antibiotika oral direkomendasikan untuk ISK tak berkomplikasi dengan lama
pemberian 7-10 hari pada perempuan dan 10-14 hari pada laki-laki. Antibiotika
parenteral untuk ISK berkomplikasi dengan

EDUKASI

3. Mengenal faktor risiko pneumonia dan mengendalikannya


4. Kontrol rutin

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

267
71. INKONTINENSIA URIN PADA LANSIA

DEFINISI

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan
masalah higiene dan sosial. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten.

ANAMNESIS

Anamnesis ditujukan kepada keluarga yang mengetahui keseharian pasien. Anamnesis


ditujukan untuk mengetahui penyebab dan tipe inkontinensia urin, meliputi riwayat gejala
sering berkemih (frekuensi), keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), sering
berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang tidak terkendali serta riwayat penyakit atau
masalah yang mendasari, seperti infeksi saluran kemih, obat-obatan, gangguan kesadaran,
skibala, prolaps uteri.

PEMERIKSAAN FISIK

9. Keadaan umum
10. Pemeriksaan post-void residu

KRITERIA DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Terdapat
2 masalah dalam sistem saluran kemih yang dapat memberikan gambaran inkontinensia urin
yakni masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah saat pengisian kandung kemih.

Untuk inkontinensia urin yang akut, perlu diobati penyakit atau masalah yang mendasari,
seperti infeksi saluran kemih, obat-obatan, vaginitis atrofik, masalah psikologik, gangguan
kesadaran, skibala, prolaps uteri.

Untuk inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas beberapa jenis: inkontinensia tipe
urgensi atau overactive bladder, inkontinensia tipe stres, dan inkontinensia tipe overflow.

1. Inkontinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih (frekuensi
lebih dari 8 kali), keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), sering
berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang tidak terkendali yang didahului oleh
keinginan berkemih yang tidak tertahankan.
2. Inkontinensia urin tipe stres dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada
saat tekanan intraabdomen meningkat seperti bersin, batuk, dan tertawa.
3. Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih
melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post-void residu (PVR)
>100 cc.

268
DIAGNOSIS KERJA

Inkontinensia urin

DIAGNOSIS BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG

10. Laboratorium : urin lengkap dan kultur urin, gula darahm kalsium darah dan urin
11. Pemeriksaan post-void residu
12. Kartu catatan berkemih
13. Perineometri
14. Urodynamic study

TERAPI

Untuk inkontinensia urin akut, perlu diobati penyakit atau masalah yang mendasari.
Biasanya, dengan mengatasi penyebabnya, inkontinensianya juga akan teratasi.

Untuk inkotinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan otot dasar
panggul, bladder training, schedule toileting, dan obat yang bersifat antimuskarinink
(antikolinergik) seperti tolterodin atau oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilih
seyogianya yang bersisfat uroselektif.

Untuk inkontinensia urin tipe stres, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan utama,
dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa (hati-hati pemberian agonis alfa pada
orang usia lanjut).

Untuk inkontinensia urin tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu
diatasi sumbatannya.

EDUKASI

5. Mengenal faktor risiko inkontinensia urin dan mengendalikannya


6. Kontrol rutin

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

269
Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

270
72. INSTABILITAS

DEFENISI
Instabilitas (gangguan keseimbangan) merupakan gangguan proses yang melibatkan
penerimaan dan integrasi input sensorik serta perencanaan dan pelaksanaan gerakan untuk
mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak; suatu ketidakmampuan untuk mengontrol
pusat gravitasi tetap berada di atas landasan penopang.

Faktor Terkait Instabilitas


Perubahan kontrol postural
- Menurunnya properioseptif
- Melambatnya refleks
- Menurunnya tonus otot
- Meningkatnya ayunan postural
- Hipotensi ortostatik
- Kaki tidak terangkat cukup tinggi
Perubahan gaya berjalan
- Laki-laki : postur tubuh membungkuk , dengan kedua kaki melebar dan langkah
pendek-pendek.
- Perempuan : kedua kaki menyempit dengan gaya jalan bergoyang-goyang
Peningkatan prevalensi kondisi patologis yang terkait dengan stabilitas
- Penyakit sendi degeneratif
- Patah tulang panggul dan femur
- Stroke dengan gejala sisa (defisit residual)
- Kelemahan otot akibat tidak digunakan dan deconditioning
- Neuropati perifer
- Penyakit atau deformitas kaki
- Gangguan penglihatan
- Gangguan pendengaran
- Pelupa dan demensia
- Proses penyakit lain (penyakit kardiovaskuler, parkinsonisme, dll)
Peningkatan prevalensi kondisi yang menyebabkan nokturia
- Penyakit jantung kongestif
- Insufisiensi vena dll
Peningkatan prevalensi demensia
- Gangguan fungsi kognitif

Penyebab Jatuh
Kecelakaan Kecelakaan murni (terantuk,terpeleset, dll)
Interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang
meningkatkan kerentanan
Singkop Hilangnya kesadaran mendadak
Drop attacks Kelemahan tungkai bawah yang menyebabkan jatuh tanpa
kehilangan kesadaran
Dizziness dan/atau vertigo Penyakit vestibular
Penyakit sistem syaraf pusat
Hipotensi ortostatik Hipovolemia atau kardiak output yang rendah
Disfungsi otonom
Gangguan aliran darah balik vena
Tirah baring lama

271
Hipotensi akibat obat-obatan
Hipotensi postprandial
Obat-obatan Diuretika
Antihipertensi
Antidepresi golongan trisiklik
Sedatif
Antipsikotik
Hipoglikemia
Alkohol
Proses penyakit Berbagai penyakit akut
Kardiovaskular : aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta),
sinkop sinus karotid
Neurologis : TIA, stroke akut, gangguan kejang, penyakit
Parkinson, spondilosis lumbal atau servikal (dengan kompresi
pada korda spinalis atau cabang syaraf), penyakit serebelum,
hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), lesi
sistem syaraf pusat (tumor, hematom subdural)
Idiopatik Tidak ada penyebab yang diidentifikasi

ANAMNESIS
Riwayat medis umum
Tingkat mobilitas
Riwayat jatuh sebelumnya
Obat-obat yang dikonsumsi Terutama obat antihipertensi dan psikotropika
Apa yang dipikirkan pasien sebagai penyebab jatuh
Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh?
Apakah kejadian jatuh teersebut sama sekali tak terduga?
Apakah pasien terpeleset atau terantuk?
Lingkungan sekitar tempat jatuh
Waktu dan tempat jatuh
Saksi
Kaitannyadengan perubahan postur, batuk,buang air kecil,
memutar kepala
Gejala yang terkait kepala terasa ringan,dizziness, vertigo
Palpasi, nyeri dada, sesak
Gejala neurologis fokal mendadak( kelemahan, gangguan
sensorik, disatria,ataksia, bingung, afasia )
Aura
Inkontinensia urin atau alvi
Hilangnya kesadaran apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh?
Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika
dapat, berapa lama waku yang diperlukan untuk dapat bangkit
setelah jatuh?
Apakah ada nya hilangh kesadaran dapat dijelaskan oleh saksi?

PEMERIKSAAN FISIK
Tanda vital demam, hipotermia, frekuensi pernafasan,frekuensi nadi dan
tekanan darah saat berbaring, duduk dan berdiri
Kulit turgor, trauma, kepucatan
Mata visus

272
Kardiovaskular aritmia, bruit carotis, tanda stenosis aorta,sensitifitas sinus
karotis
Ekstremitas penyakit sendi degeneratif,lingkup gerak
sendi,deformitas,fraktur, masalah podiattrik ( kalus,
bunion,ulserasi,sepatu yang tidak sesuai, kesempitan/
kebesaran,atau rusak
Neurologis status mental, tanda volkal,otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas
),saraf perifer (terutama sensasi posisi) proprioseptif,refleks,
fungsi saraf kranial, fungsi serebelum ( terutama uji tumit ke
tulang kering), gejala ekstra piramidal: tremor saat istirahat,
bradikinesia,gerak involunter lain,keseimbangan dan cara
berja;lan dengan mengobservasi cara pasien berdiri dan berjalan
( uji getup and go)

TATA LAKSANA
- Mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh
- Mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh
- Memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot,
alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai
- Mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup
- Pegangan
- Lantai yang tidak licin

273
73. KONSTIPASI PADA LANSIA

DEFINISI

Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sulit didefinisikan secara
tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Konstipasi
sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar (BAB), biasanya kurang dari 3
kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkala disertai kesulitan
sampai rasa sakit saat BAB.

Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses
memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rektum,
atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.

ANAMNESIS

Anamnesis ditujukan kepada keluarga yang mengetahui keseharian pasien. Anamnesis


meliputi riwayat konsistensi feses yang keras, mengejan dengan keras saat BAB, rasa tidak
tuntas saat BAB, dan frekuensi BAB.

PEMERIKSAAN FISIK

11. Keadaan umum


12. Pemeriksaan colok dubur

KRITERIA DIAGNOSIS

Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi
dalam waktu 3 bulan:

1. Konsistensi feses yang keras


2. Mengejan dengan keras saat BAB
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang
Konstipasi menurut International Workshop on Constipation :

1. Konstipasi fungsional (akibat waktu perjalanan yang lambat dari feses)


Kriteria : dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan: mengejan
keras 25% dari BAB, feses yang keras 25% dari BAB, rasa tidak tuntas 25% dari BAB,
BAB kurang dari 2 kali per minggu.
2. Penundaan pada muara rektum (terdapat disfungsi ano-rektal)
Kriteria : hambatan pada anus lebih dari 25% BAB, waktuu untuk BAB lebih lama,
perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses.

274
DIAGNOSIS KERJA

Konstipasi

DIAGNOSIS BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG

15. Laboratorium : darah perifer lengkap, glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan
kalsium) darah, fungsi tiroid, CEA
16. Pemeriksaan anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan
konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan)
17. Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya
akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan dan
perforasi kolon.
18. Pemeriksaan barium enema bila diperkirakan ada sumbatan kolon, untuk memastikan
tempat dan sifat sumbatan.

TERAPI

1. Aktifitas dan olahraga teratur.


2. Asupan cairan dan serat (25-30 gram/hari) yang cukup.
3. Latihan usus besar.
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk memanfaatkan
gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan,
sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan
ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk
BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
4. Jika modifikasi perilaku kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologi, dan biasanya
dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar:
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain: cereal, methyl selulose,
psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
pemukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya antara lain:
minyak kastor, golongan docusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain: sorbitol, lactulose, glycerin.
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai
untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya antara lain: bisakodil, fenolptalein.
5. Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara
tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak

275
dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan
pembedahan.

EDUKASI

7. Mengenal faktor risiko konstipasi dan mengendalikannya


8. Kontrol rutin

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

276
74. MALNUTRISI PADA LANJUT USIA

DEFINISI

Malnutrisi energi-protein adalah keadaan yang disebabkan ketidakseimbangan antara asupan


kalori dan protein dengan kebutuhan tubuh. Pada orang usia lanjut, malnutrisi sulit dikenali
karena terjadi berbagai perubahan fisiologis seiring peningkatan usia, termasuk perubahan
akan kebutuhan zat gizi, serta adanya berbagai penyakit kronis. Malnutrisi yang terjadi pada
usia lanjut sering dipengaruhi berbagai hal seperti keadaan gigi-geligi, gangguan menelan,
masalah neuropsikologis (depresi, demensia), keganasan, dan imobilisasi.

ANAMNESIS

Anamnesis ditujukan kepada keluarga yang mengetahui keseharian pasien. Anamnesis


meliputi asupan zat gizi sehari-hari (food recall), penurunan berat badan, gangguan
mengunyah, gangguan menelan, status fungsional (aktifitas hidup sehari-hari terutama yang
berhubungan dengan penyiapan dan proses makan), penyakit kronis yang diderita (termasuk
ada-tidaknya diare kronis), adanya depresi atau demensia, serta penggunaan obat-obatan).

PEMERIKSAAN FISIK

13. Keadaan umum


14. Higiene rongga mulut, status gigi-geligi, status neurologis (gangguan menelan), kulit
yang kering/bersisik, rambut kemerahan, massa otot, edema tungkai.
15. Antropometrik: lingkar lengan atas, lingkar betis, tebal lipatan kulit triseps, indeks
massa tubuh.

KRITERIA DIAGNOSIS

Komponen penilaian status gizi pada usia lanjut mencakup: anamnesis, pemeriksaan fisik dan
antropometrik, serta laboratorium. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat
menentukan ada-tidaknya malnutrisi, namun setidaknya dapat menentukan apakah seorang
usia lanjut berisiko atau diduga mengalami malnutrisi.

Saat ini tersedia beberapa instrumen pengkajian status nutrisi pada usia lanjut yang
mengobyektifkan paduan komponen tersebut di atas, seperti The Mini Nutritional
Assessment (MNA), Nutrition Screening Index (NSI), atau Subjective Global Assessment
(SGA).

DIAGNOSIS KERJA

Malnutrisi

277
DIAGNOSIS BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG

19. Laboratorium : Darah perifer lengkap dengan hitung jenis leukosit, serum albumin,
prealbumin, kadar kolesterol, kadar vitamin/mineral, elektrolit, kadar kolesterol
20. Bioelectrical impedance analysis (BIA)
TERAPI

Evaluasi umum dan kebutuhan nutrisi

10. Evaluasi penyebab dan faktor risiko timbulnya malnutrisi yang pada usia lanjut
umumnya merupakan kombinasi dari berbagai penyebab, mulai dari faktor sosial-
ekonomi (kemiskinan, pengetahuan rendah), neuropsikologis (adanya demensia atau
depresi), dan kondisi fisik-medik (gangguan fungsi organ pencernaan serta adanya
penyakit-penyakit akut dan kronis).
11. Evaluasi status fungsional, terutama yang berhubungan dengan penyiapan dan proses
makan.
12. Menentukan jumlah energi dan komposisi zat gizi yang akan diberikan. Jumlah
kebutuhan energi dapat ditentukan dengan menghitung total energy expenditure (TEE).
Selain jumlah kalori, kebutuhan cairan, protein/asam amino, serta mineral dan vitamin
perlu juga ditentukan. Penentuan kebutuhan dan komposisi nutrisi dan cairan ini juga
memerlukan evaluasi kondisi medis termasuk penurunan fungsi organ yang terjadi
(adanya gagal jantung, penyakit ginjal kronis, hepatitis kronis dan sirosis hati, diabetes
melitus, keganasan, dan fungsi absorbsi saluran cerna).
Terapi/dukungan nutrisi

1. Secara umum, dukungan nutrisi pada usia lanjut yang mengalami malnutrisi dapat
dilakukan melalui cara enteral atau parenteral.
2. Dukungan nutrisi enteral harus menjadi pilihan utama, mengingat hal ini merupakan
cara yang fisiologis. Pemberian nutrisi secara enteral akan mempertahankan fungsi
mencerna, absorbsi, dan barier imunologis saluran cerna. Bila berbagai faktor risiko
dan kondisi medis dapat diatasi, umumnya pasien diharapkan dapat makan secara
normal. Pada usia lanjut yang dapat makan secara normal, jumlah dan jenis zat gizi
yang dikonsumsi setiap hari penting untuk dipantau karena mereka cenderung untuk
mengurangi makannya. Pada beberapa keadaan, nutrisi enteral dapat diberikan melalui
pipa nasogastrik, pipa nasoduodenum, pipa nasoileum, maupun dengan gastrostomi.
Dukungan nutrisi enteral semacam ini umumnya berupa makanan cair, sehingga
overload cairan harus menjadi pertimbangan (misalnya dengan mengentalkan).
3. Dukungan nutrisi parenteral dipilih bila secara enteral nutrisi tidak mungkin dilakukan.
Umumnya digunakan pada pasien usia lanjut di rumah sakit yang dalam keadaan akut
atau sakit berat (critically ill), di mana fungsi saluran cerna terganggu atau terdapat
kontraindikasi pemberian nutrisi enteral (seperti adanya perdarahan saluran cerna,
pankreatitis, atau ileus). Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dukungan nutrisi
parenteral dilakukan untuk jangka panjang dan dilakukan di rumah atau fasilitas

278
perawatan jangka-panjang lain. Saat ini telah banyak tersedia berbagai jenis dan
komposisi zat nutrisi (kalori, asam amino, lipid, mineral/vitamin) dalam bentuk cairan
parenteral. Penggunaan dukungan nutrisi parenteral memerlukan teknik khusus dan
pemantauan yang ketat.
Terapi lain

Pada pasien-pasien keganasan atau keadaan lain di mana terdapat anoreksia, dapat diberikan
peningkat nafsu makan (appetite stimulant) seperti megestrol asetat.

EDUKASI

9. Mengenal faktor risiko malnutrisi dan mengendalikannya


10. Kontrol rutin

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

279
75. PNEUMONIA PADA LANSIA

DEFINISI

Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri (gram-
positif maupun gram-negatif, tipikal maupun atipikal), virus, jamur dan parasit. Terdapat
beberapa jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi: pneumonia komunitas
(community-acquired pneumonia, CAP), pneumonia yang didapat di rumah sakit (hospital-
acquired pneumonia, HAP), dan pneumonia yang didapat di ICU (ventilator-associated
pneumonia, VAP).

ANAMNESIS

Anamnesis ditujukan kepada keluarga yang mengetahui keseharian pasien. Anamnesis


meliputi riwayat batuk, sputum produktif, demam, sesak nafas, dan nyeri dada. Pneumonia
pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam
pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak mau makan,
jatuh, dan inkontinensia akut.

PEMERIKSAAN FISIK

16. Keadaan umum


17. Pemeriksaan toraks dijumpai infiltrat

KRITERIA DIAGNOSIS

Infiltrat baru atau perubahan infiltrat progresif pada foto toraks, dengan disertai sekurang-
kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor berikut:

Gejala mayor:

1. Batuk
2. Sputum produktif
3. Demam (suhu >37,8C)
Gejala minor:

1. Sesak nafas
2. Nyeri dada
3. Konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. Jumlah leukosit >12.000/L

DIAGNOSIS KERJA

Pneumonia pada geriatri

280
DIAGNOSIS BANDING

1. Emboli paru
2. Gagal jantung
3. Tuberkulosis paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG

21. Laboratorium : darah perifer lengkap dengan hitung jenis, ureum dan kreatinin,
analisis gas darah dan saturasi oksigen, c-reactive protein, abumin.
22. Radiologis : foto toraks
23. Mikrobiologis : kultur sputum mikroorganisme dan resistensi
24. EKG

TERAPI

1. Suportif: oksigen, cairan, nutrisi, mukolitik-ekspektoran, bronkodilator.


2. Farmakologis:
a. Antibiotika empirik segera diberikan sejak awal sesuai dengan jenis pneumonia yang
terjadi (CAP, HAP, atau VAP). Pada CAP dapat diberikan antibiotika golongan b-
laktam/anti b-laktamase dan sefalosporin generasi II atau III yang dikombinasi
dengan makrolid atau doksisiklin, atau fluorokuinolon saluran nafas (levofloksasin,
gatifloksasin, moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada HAP atau VAP dipilih
antibiotika yang bekerja terhadap kuman Pseudomonas atau kuman nosokomial lain,
seperti sefalosporin generasi III anti-pseudomonas, sefalosporin generasi IV,
piperacillin-tazobaktam, kuinolon anti-pseudomonas (ciprofloksasin), atau
aminoglikosida.
b. Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan biakan kuman
dan uji resistensi.
c. Pemilihan antibiotika juga harus memperhatikan penurunan fungsi organ yang
mungkin sudah terjadi pada usia lanjut.
3. Program rehabilitasi medik (fisioterapi dada dan program lain yang terkait).

EDUKASI

11. Mengenal faktor risiko pneumonia dan mengendalikannya


12. Kontrol rutin

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

281
76. ULKUS DEKUBITUS

DEFINISI

Ulkus dekubitus adalah lesi yang disebabkan oleh tekanan yang menimbulkan kerusakan
jaringan di bawahnya. Luka tekan biasa terjadi di daerah tulang yang menonjol seperti
sakrum dan kalkaneus karena posisi terlentang, trokanter mayor dan maleolus karena posisi
miring 90 dan tuberositas iskial karena posisi duduk.

ANAMNESIS

Anamnesis ditujukan kepada keluarga yang mengetahui keseharian pasien. Anamnesis


meliputi awal terjadinya luka, pengkajian faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik penyebab
ulkus dekubitus: imobilisasi, inkontinensia, fraktur, defisiensi nutrisi (terutama vitamin C dan
albumin), kulit kering, peningkatan suhu tubuh, berkurangnya tekanan darah, usia lanjut.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum.
2. Identifikasi ulkus dekubitus berupa: measure (pengukuran panjang, lebar, kedalaman),
exudate (ada/tidaknya pus, bau), appearance (tampak adanya jaringan nekrotik,
granulasi, epitelialisasi), suffering (nyeri diukur dengan VAS), undermining
(ada/tidaknya goa), re-evaluate (pengkajian ulang dibandingkan keadaan
sebelumnya), edge (tepi berupa maserasi, kemerahan)

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ulkus dekubitus ditentukan berdasarkan atas gejala maupun tanda yang ditemukan
pada kulit. National Pressure Ulcer Advisory Panel tahun 2007, mengklasifikasikan ulkus
dekubitus:

Stadium I : Respons inflamasi akut terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah
eritema indurasi dengan kulit masih utuh atau lecet.

Stadium II : Luka meluas ke dermis hingga lapisan lemak subkutan, tampak sebagai ulkus
dangkal dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit, biasanya sembuh dalam
waktu beberapa hari sampai beberapa minggu.

Stadium III : Ulkus lebih dalam, menggaung, berbatasan dengan fasia dan otot-otot.

Stadium IV : Perluasan ulkus menembus otot hingga tampak tulang di dasar ulkus yang
dapat mengakibatkan infeksi pada tulang dan sendi.

282
Suspected deep tissue injury : Perubahan warna kulit menjadi merah keunguan pada kulit
yang utuh, bula berisi darah, perabaan terasa lunak, nyeri, lebih hangat atau dingin
dibandingkan jaringan sekitarnya.

Unstageable : Dasar ulkus tertutup lapisan berwarna kuning, cokelat, abu-abu atau hijau.

DIAGNOSIS KERJA

Ulkus dekubitus (pressure ulcers)

DIAGNOSIS BANDING

1. Pada ulkus dekubitus stadium IV, bila luka tidak membaik, foto tulang terdapat
kelainan, hitung leukosit >15.000/l, atau LED 120 mm/jam kemungkinan 70% sudah
ada osteomielitis yang mendasari.
2. Ulkus arteri
3. Ulkus stasis vena
4. Ulkus diabetes

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium : Darah perifer lengkap, LED, gram, kultur dan sensitivitas dari pus,
kadar albumin serum, foto tulang di regio yang dengan ulkus dekubitus dalam

2. Radiologis : USG Doppler

TERAPI

Umum

1. Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan mencegah terjadinya dekubitus


dengan mengenal faktor-faktor risiko untuk terjadinya dekubitus serta eliminasi
faktor-faktor risiko tersebut.
2. Manajemen nyeri dengan antinyeri sistemtik, antinyeri topikal selama penggantian
dressing.
3. Perhatikan status nutrisi pada semua stadium ulkus dekubitus. Pemberian asam
askorbat 500 mg 2 kali sehari dapat mengurangi luas permukaan luka sebesar 84%.
Asupan protein 1,2-1,5gr/kgBB/hari juga merupakan prediktor terbaik untuk
membaiknya luka dekubitus.
4. Antibiotik sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, sepsis, atau osteomielitis.
Klindamisin dan gentamisin dapat berpenetrasi ke dalam jaringan di sekitar ulkus.
Pemberian antibiotik spektrum luas untuk batang gram negatif dan positif, anaerob,
dan kokus gram positif dilakukan pada pasien sepsis karena ulkus dekubitus.

283
5. Debridement semua jaringan nekrotik harus dilakukan untuk membuang sumber
bakteremia pada pasien tersebut.
6. Menghilangkan tekanan: penggunaan tempat tidur khusus (alternating-air mattresses,
air-fluidized bed): penggunaan kasur dekubitus yang berisi udara serta reposisi 4 kali
sehari menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus dibandingkan penggunaan tempat
tidur biasa dengan reposisi setiap 2 jam, heel devices.
7. Perawatan luka: tujuan perawatan luka adalah untuk mengurangi jumlah bakteri agar
proses penyembuhan tidak terhambat. Hal ini dapat dilakukan dengan debridement
jaringan nekrotik secara pembedahan atau dengan menggunakan kompres kasa
dengan NaCl 0,9% 2 hingga 3 kali sehari. Antiseptik seperti povidone iodine, asam
asetat, hidrogen peroksida, dan sodium hipoklorit (larutan Dakin) bersifat sitotoksik
terhadap fibroblas sehingga mengganggu proses penyembuhan. Antibiotik topikal
seperti silver sulfadiazine dan gentamisin tidak menunjukkan sifat sitotoksik. Bila
sangat diperlukan seperti pada luka dengan pus atau sangat bau, antiseptik dapat
digunakan dalam waktu singkat dan segera dihentikan begitu luka bersih. Zat-zat
pembersih enzimatik seperti kolagenase, fibrinolisin, dan deoksiribonuklease serta
streptokinase-streptodornase bisa membantu untuk debridement jaringan nekrotik
namun zat-zat ini juga akan merusak proses penyembuhan bila digunakan setelah luka
bersih.
8. Bila luka telah bersih, harus dipelihara suasana luka yang lembab dengan pemilihan
dressing yang spesifik untuk merangsang penyembuhan. Dari penelitian diketahui
bahwa kompres yang tertutup rapat dapat membantu penyembuhan pada luka
superfisial tapi tidak pada luka yang dalam. Kompres ini harus dibiarkan selama
beberapa hari untuk memfasilitasi migrasi epidermis (epitelisasi). Luka dalam yang
bersih harus dikompres kasa steril yang dibasahi dengan larutan NaCl atau RL. Kasa
lembab ini harus dijauhkan dari jaringan kulit sekitar luka agar jaringan normal tidak
teriritasi.
9. Tindakan medik berdasarkan derajat ulkus:
Dekubitus stadium I : Kulit yang kemerahan dibersihkan dengan hati-hati dengan air
hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimasase 2-3 kali/hari.
Dekubitus stadium II : Perawatan luka memperhatikan syarat-syarat aseptik dan
antiseptik. Dapat diberikan salep topikal. Pergantian balut dan salep jangan terlalu
sering karena dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
Dekubitus stadium III : Usahakan luka selalu bersih dan eksudat dapat mengalir ke
luar. Balutan jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara dapat
masuk dan penguapan berjalan baik. Dengan menjaga luka agar tetap basah akan
mempermudah regenerasi sel-sel kulit.
Semua langkah di atas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan
karena akan menghalangi epitelisasi.
10. Penilaian tindak lanjut diulang minimal seminggu sekali. Evaluasi yang diperlukan
adalah mengenai lokasi, stadium, ukuran, dan karakteristik lainnya yang perlu dicatat.
Dalam waktu 2 hingga 4 minggu ulkus harus menunjukkan perbaikan. Berkurangnya
ukuran ulkus dalam waktu 2 minggu memberi gambaran akan terjadinya
penyembuhan sempurna.

284
EDUKASI

1. Mengenal faktor risiko ulkus dekubitus dan mengendalikannya.


2. Mengetahui cara perawatan ulkus dekubitus dan melakukannya.
3. Kontrol rutin.

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

285

Anda mungkin juga menyukai