DAFTAR ISI
vii
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
viii
Daftar Isi
ix
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
x
Daftar Isi
xi
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
xii
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
BAB I
TERAPAN PENGINDERAAN JAUH DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
DALAM GEOLOGI DAN GEOMORFOLOGI
1
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
merupakan hal penting dalam pemetaan geologi. Pemetaan letak kandungan mineral
deposit dilakukan baik yang terdapat di permukaan bumi, dekat permukaan bumi,
dan yang jauh di dalam bumi. Evaluasi sumberdaya lahan perlu ditunjang dengan
data, mencakup parameter lahan dengan persyaratan dapat memberikan :
1. Data dasar untuk kajian aspek lingkungan lainnya, seperti tanah, hidrologi, dan
penggunaan lahannya.
2. Informasi atau data untuk penyusunan peta unit lahan (Land Mapping Unit).
3. Informasi mengenai sumber daya lahan (resources) terutama mengenai bahan galian.
4. Informasi atau data yang berkaitan dengan stabilitas daerah, sehingga dapat
mengetahui kesesuaiannya untuk suatu tujuan tertentu.
Tabel 1.1.
Cakupan fenomena geologi
DASAR BAGIAN/CABANG LINGKUP
No Kriteria Aspek Relevansi (mempelajari)
1. Zone (mintakat) dari − Kristografi − Kristal
kulit/kerak bumi − Mineralogi − Mineral
− Petrologi − Batuan
2. Bentuk dan struktur Geo. Struktur Sikap, bentuk, tatanan, dan
deformasi lapisan batuan dari
material bumi kerak bumi
3. Proses geologi Geologi Fisikal Proses eksogen dan endogen
(pelapukan,erosi, sedimentasi,
aktifitas gunungapi)
2
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
3
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
4
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
5
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
6
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Tabel 1.2.
Terminologi karakterstik unit lahan
Kriteria Bentuk Tipe Batuan
No Tipe Relief Umum Genesis
Lahan Endapan
1 Dataran rendah Lahan dataran Tidak kompak Original fluvial (proses
dan dataran banjir material klastik sungai)
(pasir, gravel, silk)
2 Struktur plateau Datar atau Batuan kapur Struktur tipe batuan
pada batuan melengkung dominan berlapis-lapis
kapur lebih tinggi dari batuan kapur yang
sekitarnya resisten, proses cuaca
3 Erosi glasial pada Slope landai atau Granit tertutup Proses cuaca dan
granit cekungan rendah debris di daerah transport debris daerah
gletser arid & semi arid
4 Daerah pantai Slope & undulasi Tidak kompak Deposit laut, proses
dengan gisiknya lahan dari proses berupa pasir marin, akumulasi
laut endapan oleh pasut,
angin, sand dune
5 Kerucut volkan Terras bukit, peg Campuran lava, Original volkano,
strato & gunung api endapan abu Erupsi lava
vulkanik
6 Batupasir Curam, sangat Lobang-2 curam Struktur original dan
tinggi pada batupasir lapis batupasir
Sumber : RA. van Zuidam, 1979 (diterjemahkan dengan perubahan)
7
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
lahan, dan banyak dipengaruhi oleh penggunaan lahannya, sehingga menjadi faktor
pembatas utama tingkat produktivitas lahan. Permukaan bumi merupakan tempat
manusia dalam melakukan hampir semua aktivitasnya, yang terdapat di berbagai
bentuk lahan, struktur batuan, tipe batuan yang berbeda-beda. Lahan sebagai subyek
penggunaan dan aktivitas manusia di permukaan bumi dengan sifat-sifatnya, yaitu
sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan
lahannya. Penggunaan lahan atau aktivitas manusia tersebut terletak pada suatu
batuan atau kelompok batuan, dengan struktur geologi dan geomorfologi tertentu.
Keduanya merupakan komponen fisik lahan, yang telah menjadi dua cabang ilmu,
yaitu ilmu geologi dan ilmu geomorfologi, yang sangat erat hubungannya (Gambar
1.1).
1. Mineral/Petrografi 1. Meteorologi/Klimatologi
2. Stratigrafi/Paleontologi 2. Hidrologi/Oseanografi
3. Geomorfologi
3. Ablasi
4. Glasiasial
8
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
9
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
peta. Peta tematik yang sesuai akan memberikan data yang lebih lengkap dan teliti.
Peta skala kecil akan memberikan informasi global, sedangkan peta skala besar akan
memberikan informasi yang lebih rinci. Atas dasar skala peta maka dibedakan menjadi
tiga, yaitu
1. Peta tinjau skala > 1 : 250.000
2. Peta semi detail skala 1 : 250.000 hingga 1 : 100.000
3. Peta detail skala > 1 : 100.000
Perolehan data dan informasi geologi peta tematik, yaitu peta topografi, peta
geomorfologi, peta tanah, peta hidrogeologi, dan peta geologi bila sudah ada. Setiap
peta tematik tersebut mempunyai karakteristik sendiri, yaitu
1. Peta topografi digunakan untuk memperoleh data atau informasi geologi berupa
data ketinggian, kontur topografi dan pola aliran sungai. Berdasarkan data
tersebut dapat dianalisis mengenai permeabilitas relatif dari kerapatan aliran
sungai, yaitu aliran yang rapat biasanya terdapat pada tekstur batuannya yang
halus, sedangkan kerapatan jarang pada tekstur batuan yang kasar sehingga
dapat diperkirakan permeabilitas batuan lebih besar. Struktur batuan dan
bentuk lahan dapat dianalisis dari pola aliran sungai, misalnya pola aliran radial
menunjukkan struktur kubah (dome) atau gunung api.
2. Peta geomorfologi digunakan untuk memperoleh data geologi melalui relief,
topografi, batuan, proses geomorfologi, kronologi batuan (umur batuan).
3. Peta tanah umumnya dicantumkan keterangan mengenai fisiografi dan batuan
induk. Fisiografi untuk mengetahui aspek fisik daerah dan data batuan.
4. Peta hidrogeologi dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai
satuan batuan atau formasi struktur geologi, potensi air tanah. Potensi air
tanah untuk menilai permeabilitas yang sangat menentukan jenis batuan. Tebal
lapisan sering dicantumkan dalam peta hidrogeologi, sehingga informasi geologi
biasanya cukup lengkap pada peta hidrogeologi.
Informasi geologi juga dapat diperoleh dari survei lapangan, yaitu pengamatan
batuan pada singkapan, pengambilan sampel batuan untuk dianalisis di laboratorium,
pengamatan bentuk lahan dan posisi pengambilan sampel harus tepat dalam
plotting di peta. Setiap prosedur perolehan data geologi dari survei lapangan perlu
10
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
pengetahuan dasar, yaitu pengamatan batuan pada singkapan, jenis batuan serta
karakteristiknya, parameter struktur dan fenomena di sekitarnya. Penentuan letak
titik pengamatan pada peta perlu ketelitian tinggi, kesalahan pada penentuan titik
pengamatan, maka hasil peta juga salah.
Informasi geologi juga dapat diperoleh dari data penginderaan jauh. Konsep
dasar penginderaan jauh terdiri atas beberapa elemen atau komponen meliputi
sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan obyek di permukaan bumi, sensor,
sistem pengolahan, dan pemanfaatannya. Data penginderaan jauh bersifat multiguna,
sehingga dapat digunakan untuk kajian wilayah, termasuk kajian ilmu geologi dan
geomorfologi. Jenis dan kerincian data geologi, yang dikumpulkan tergantung pada
tujuan penelitian atau surveinya. Pertimbangan kualitas data geologi untuk evaluasi
sumberdaya lahan, adalah litologi stratigrafi, struktur geologi. Panduan data bantu
untuk perolehan data geologi dari citra penginderaan jauh adalah
1. Nama jenis batuan, formasi, dan satuan peta.
2. Penyebaran keruangan dari batuan dari data penginderaan jauh berdasarkan
sifat singkapan dan ekspresi topografinya.
3. Litologi berupa komposisi penyusun batuan, sifat batuan, tekstur, warna (segar
dan lapuk), struktur primer.
4. Tebal lapisan batuan
5. Asal mula batuan (genesis batuan)
6. Hubungan dengan batuan disekitarnya
7. Umur dan korelasi
11
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
12
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Tabel 1.3.
Kelompok variabel geomorfologis
KELOMPOK VARIABEL ASPEK
I Relief 1. Topografi : lereng topografi, ketinggian absolut,
Topografi posisi lereng terhadap matahari
2. Morfologi/ lereng rinci : kemiringan , panjang,
bentuk lereng, bentuk lembah
3. Relief lain : hubungan unit relief, kemiringan
lereng dan perbedaan tinggi relatif, kepadatan
aliran, pola aliran
II Tipe 1. Batuan beku
Batuan 2. Batuan malihan atau metamorf
3. Batuan sedimen : ketebalan/ perubahan
ketebalan lapisan, kedalaman pelapukan berupa
material lepas (endapan), gambut, padas curi
III Tanah 1. Kedalaman efektif tanah
2. Kandungan humus
3. Tekstur dan struktur
4. Permukaan berkerikil/ berbatu
5. Singkapan batuan
6. Drainase (permukaan)
IV Penutup 1. Tipe penutup lahan alami: (1) lahan bervegetasi
Lahan (hutan) dengan kerapatan vegetasi : kepadatan
vegetasi, periode/ lama tutupan vegetasi (2)
lahan terbuka (gundul, singkapan)
2. Tipe penutup lahan budidaya : permukiman,
sawah, jalan dan lain-lain.
V Proses 1. Tipe gradasi mencakup (1) Erosi: tipe, aktivitas,
Geomorfologi luas efektif (2) Pelarutan karst : tipe dan luas
efektif (3) Banjir: tipe, tenaga, frekuensi, luas,
waktu (4) Gerak massa batuan : zone, tipe, luas
2. Tipe agradasi mencakup (1) Semua tipe
sedimen : air, angin, es, arus (2) Air permukaan
dan air tanah: lembab, jumlah aliran, air tanah
(3) Vegetasi alam, dan budidaya
Sumber : RA. van Zuidam, 1979 (diterjemahkan dengan perubahan)
13
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 1.4.
Hubungan antara relief, kemiringan lereng, beda tinggi/ relatif
Beda Tinggi
No Unit Relief Lereng %
Relatif (M)
1. Topografi datar - hampir datar 0-2 <5
2. Topografi berombak dengan lereng landai 3-7 5 - 50
3. Topografi berombak / gelombang dan lereng 8 - 13 25 - 75
miring
4. Topografi bergelombang / berbukit dengan 14 - 20 50 - 200
lereng sedang
5. Topografi berbukit terkikis dalam dan lereng 21 - 55 200 - 500
sangat terjal
6. Pegunungan terkikis kuat dengan lereng 56 - 140 500 - 1000
sangat terjal
7. Pegunungan dng lereng sangat terjal > 140 > 1000
Sumber : RA. van Zuidam, 1979 (diterjemahkan dengan perubahan)
Tabel 1.5.
Ketebalan lapisan batuan sedimen
No. Tebal (mm) Istilah
1. < 60 berlapis sangat tipis
2. 60 - 200 berlapis tipis
3. 200 - 600 berlapis sedang
4. 600 - 2000 berlapis tebal
5. > 2000 berlapis sangat tebal
Sumber : Pangular dan Nugroho, 1980 dalam Widiyanto dan Suprapto, 1991
14
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Tabel 1.6.
Tingkatan informasi dalam survei geomorfologi
TINGKAT ASPEK GEOMORFOLOGI GAMBARAN
INFORMASI YANG SESUAI
Tingkat 1 Morphogenesis : beberapa Bentuk dan unit geomorfologi
indikasi morfologi
Tingkat 2 Lotologi Morfo-struktur pasif
Tingkat 3 Morfologi (morfografi dan Informasi topografi dan gejala
morfometri) hidrologi
Tingkat 4 Morfokronologi dengan Informasi detail yang berupa
beberapa aspek morfologi dan bentuk lahan individual dan
morfo genesisi proses
Tingkat 5 Morfo dinamik dan hidrografik Informasi detail dinamika
morfologi dan hidrologi
Sumber : RA. van Zuidam, 1979 (diterjemahkan dengan perubahan)
Karakteristik/ ciri-ciri topografi dan unit bentuk lahan Tabel 1.7. yang digunakan
sebagai kunci dasar untuk mendapatkan informasi geomorfologis dalam kajian
lebih lanjut. Satuan bentuk lahan dapat diklasifikasikan berdasarkan proses dan
genetikanya.
15
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 1.7.
Kunci ciri-ciri topografi dan bentuk lahan
TOPOGRAFI UNIT BENTUK LAHAN
Sangat datar dengan gradien (1) Daratan rendah (floodplain), (2) Teras-teras
landai 0o – 2o, beda tinggi < 5 mfluvial terpotong/ tidak, (3) Danau kering,
pada ketinggian 0 – 25 dpl. playa/ rawa di estuaria, (4) Dataran pantai tua/
muda, rataan lumpur tua/ muda, (5) Bekas
teras pantai, terpotong/ tidak, (6) Plateau
terpotong/ tidak, bukit-bukit sisa.
Dataran hingga berombak 1. Kipas alluvial,
dengan lereng landai, gradien 2. Glacis (hasil erosi glasial), akumulasi glacis
sedang 0o – 5o, dataran alluvial 3. Struktur plateau terpotong, plateau
dengan beda tinggi 5-50 m, terisolir/ sisa
pada ketinggian 25 – 100 dpl. 4. Dataran/ hasil pengangkatan (uplifted),
terpotong, terisoler
5. Dataran (wash plain) fluvial dan glacial.
Bukit berombak / gelombang (1) Bukit-bukit sisa batuan beku, tanah liat (clay),
lereng miring gradien 5 - 10 ,
o o
marl (tanah liat-kapur). (2) Bukit-bukit pantai
beda tinggi 25-75m ketinggian akibat proses marin. (3) Plateau-plateau di
0 – 200 dpl. daerah karst. (4) Beting pantai oleh proses angin.
Bukit gelombang lereng gradien 1. Tirai kipas (scree fans) miring.
curam 5 - 10 , beda tinggi
o o
2. Bukit-bukit gundul (bukit sisa), bukit sisa erosi.
50-200 m, ketinggian 3. Lereng berlobang-lobang
100 – 500 dpl. 4. Lereng-lereng di kaki volkan
Berbukit terkikis dalam dan (1) Bukit sisa dan dataran tinggi; (2) Bukit
lereng sangat terjal gradien berbatu-batu (badland); (3) Bukit tunggal
curam 10o- 40o beda tinggi (monoclinal); (4) Tanah datar yang curam
200-500 m, ketinggian (cuesta); (5) Kerucut karst (cone karst); (6)
500 – 1500 dpl. Kerucut volkan (volcanic cone)
Pegunungan terkikis kuat, lereng 1. Daerah fluvial banyak torehan (fluvial
terjal, gradien curam, jurang erosion scarp)
hampir vertikal. Bukit bentuk V 2. Daerah patahan luas dengan torehan
beda tinggi 500-1000 m. saling berpotongan
3. Kipas alluvial lama saling bersilangan dan
berpotongan
Pegunungan lereng sangat terjal, 1. Crater volkanik (mangkok pada mulut vulkanik)
gradien sangat curam, bentuk 2. Dike Wall (celah karang yang diisi lahar
ekstrim curam, beda tinggi > dari bawah)
1000 m. 3. Bukit berbatu-batu yang curam (extremely
steep badland)
Sumber : Verstappen, 1975 (diterjemahkan dengan perubahan)
16
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
17
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 1.8.
Satuan bentuk lahan atas dasar genetikanya
No Genetika Asal Batuan Satuan Bentuk Lahan
18
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
19
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
20
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
21
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
garis berdasarkan identifikasi pola aliran sungai, delineasi (batas) satuan batuan,
kenampakan struktural (lipatan, kekar, sesar) berdasarkan garis-garis kelurusan dari
bentuk morfologinya (bukit, pegunungan, lembah), struktur geologi secara relatif,
serta gejala lain pada karakteristik fisik wilayah sebagai sumber data geologi. Prosedur
yang harus dilakukan sebagai berikut.
1. Persiapan pendahuluan koreksi citra penginderaan jauh dan pembuatan citra
komposit.
2. Interpretasi manual dengan deleniasi “On-Sceen”, yaitu
a. Interpretasi pola aliran sungai secara lengkap, yaitu sungai aliran airnya jelas,
sungai tertutup vegetasi, dan lembah-lembah. Anda dapat menggunakan
salah satu warna misalnya biru
b. Membuat delineasi atau batas batuan dengan memperhatikan karakteristik
citra, unsur interpretasi, kondisi topografi, bentuk lahan, karakteristik drainase,
pola aliran, bentuk lembah. Anda dapat menggunakan warna lain untuk
membedakan dengan pola aliran sungai, misalnya warna merah.
c. Menggambar kenampakan struktur geologi yang berupa lipatan, sesar,
dan kekar berdasarkan pola kelurusan. Anda dapat menggunakan warna
yang berbeda dengan batas batuan dan pola aliran, misalnya warna hitam.
Gambarlah arah kelurusan pada hasil interpretasi
d. Membuat penampang geologi jalur tertentu, petunjuk relatif stratigrafi dan
struktur geologi.
e. Buatlah legenda yang isinya karakteristik setiap satuan batuan (litologi) hasil
analisis.
3. Pembuatan laporan hasil interpretasi citra penginderaan jauh pembahasannya
mengenai :
a. Ciri-ciri batuan yang diinterpretasi (batuan malihan, batuan sedimen, batuan
beku)
b. Penjelasan mengenai struktur geologi diperoleh dari hasil interpretasi.
Bagaimana kaitan antara vegetasi dan struktur geologi, atau kaitan antara
penutup lahan (vegetasi, tanah, air) dengan struktur geologinya.
Contoh proses pembuatan peta geologi dari citra radar ERS Gambar 1.3. lokasi
Pelabuhan Ratu (Purwadhi, 1999). Delineasi kenampakan struktur batuan dengan
melihat drainase, relief, rona dan tekstur citra radar. Karakteristik citra radar
22
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
ERS hitam putih rona terang untuk kondisi batuan relatif kasar, kenampakan untuk
kunci analisis struktur geologi, batuan konglomerat, breksi, dan batuan pasir memiliki
karakteristik sama pada citra. Batuan tersebut memiliki kerapatan aliran rendah,
drainase internal, pola aliran dendritik atau trelis, sistem kekar baik, resisten terhadap
erosi tergantung bahan pengikat yang cenderung membentuk cuesta, hogback,
mesa. Sedangkan pada batuan yang relatif lunak, kenampakan pada citra radar ERS
hitam putih rona abu-abu hingga gelap. Permeabilitas rendah dan tidak resisten
mengakibatkan drainase eksternal dengan kerapatan padat. Kenampakan pada citra
berupa bukit rendah dengan puncak membulat, batas sedimen klastik kasar dan halus
dengan dicirikan rona gelap pada citra. Batulempung dan serpih (shale) memiliki
karakteristik sama pada citra.
Contoh berikutnya pembuatan peta geologi dari citra SPOT 5, Teluk Kwandang
skala 1 : 25.000 seperti Gambar 1.4. Pembuatan peta geologi dari citra penginderaan
jauh haruslah hati-hati, dengan pengecekan lapangan yang teliti. Sumber lain sebagai
referensi dalam pembuatan peta geologi adalah Citra DEM SRTM 30 tahun 2000;
23
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
24
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
25
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
kemiringan (dip) dan lereng (slope) dilakukan pada citra stereo menggunakan paralak.
Pengukuran retakan, patahan atau sesar dapat digunakan analisis morphometrik.
26
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
27
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
citra dapat menentukan kondisi fisik retakan, patahan/ sesar, dan kelurusan.
Contoh penentuan kondisi fisik retakan, patahan/ sesar, kelurusan pada batuan
yang rapuh, maka kategori pertama adalah batuan karbonat dan kategori
kedua adalah batuan klastik. Retakan, patahan/ sesar, kelurusan pada batupasir
berbentuk “mudstone” Retakan, patahan/ sesar batuan induk seperti terpentin
tampak jelas pada citra
3. Tingkatan retakan, patahan atau sesar yang kuat atau sempurna pada batuan
terbuka sangat jelas tampak pada citra, sehingga dapat diinterpretasi secara
langsung berbentuk lurus alami dan terletak pada formasi batuan. Retakan dan
patahan atau sesar, yang terletak pada batuan tertutup masih tampak, tetapi
harus lebih hati-hati, karena sering agak sulit dibedakan dengan batuan induknya.
Jejak retakan dan patahan atau sesar, akan tampak lebih jelas apabila pada citra
dapat dikenal dari kenampakan seperti :
a. Vegetasi dan kelurusan-kelurusannya
b. Perbedaan rona atau warna tanahnya
c. Relief dari kelurusannya
d. Kelurusan tersingkap seperti jalur-jalur sungai
Pola retakan, patahan atau sesar sangat erat dengan pola aliran sungai. Analisis
struktur geologi dengan sistem drainase untuk mengungkapkan gejala retakan/
patahan yang terjadi,
1. Jalur sungai berulang pada satu arah , atau perulangan sungai dengan membuat
sudut yang tetap, dapat mengungkapkan suatu retakan, patahan atau sesar.
2. Pembelokan sungai berbentuk garis lurus yang tidak normal (memotong batuan
yang lebih keras), dapat mengungkapkan suatu retakan, patahan/ sesar, kelurusan
batuan.
3. Aliran sungai yang lurus dan merupakan retakan searah belum tentu disebabkan
oleh faktor geologi, yaitu
a. Frekuensi aliran sungai di daerah sedimen merupakan arah strike/jurus lapisan
b. Frekuensi sungai pada batuan metamorfosa merupakan arah dari formasi
batuannya.
28
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Beberapa faktor non-geologi yang dapat digunakan untuk melihat retakan, pa-
tahan atau sesar, dan kelurusan pada citra adalah
1. Ciri-ciri angin,
2. Jejak aliran,
3. Jalur bayangan pohon, dan
4. Karakteristik vegetasi yang tumbuh di atasnya.
29
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Pengukuran dip dan strike rendah dari citra inderaja dapat diukur berdasarkan
perbandingan ketinggian lapisan dan lereng menggunakan rumus atau hukum V
(Dake dan Brown, 1925 dalam Purwadhi, 1981) : tan δ = tan S x tan (1/2 V)
Di mana : δ = sudut dip;
S = rata-rata sudut slope (sudut yang dibentuk oleh lereng atau dinding V);
V = sudut pada pola topografi yaitu dari hubungan ketinggian dan dip
Pengukuran dip dan strike dari citra penginderaan jauh menggunakan
ukuran umur dip dan strike berdasarkan pola sungai dan anak sungai berkembang
baik dan tidak.
1. Pola sungai dan anak sungainya, berkembang baik
a. Sungai paralel dengan strike lapisan
i. Sisi dip slope suatu lereng yang luas cenderung mempunyai tekstur lebih
halus dibandingkan dip-slope sisi yang lainnya
ii. Pola aliran dip-slope, karakteristik perkembangan anak sungai, normal
dendritik
iii. Perbedaan pola aliran tidak berkembang, karakteristik muncul paralel-
normal dendritik
b. Sungai yang berbentuk ‘V’ dan semitris terhadap strike lapisan, pengukurannya
dengan ‘hukum V’
c. Sungai yang berbentuk campuran (V tidak semitris terhadap strike lapisan,
yakni
i. Strike lereng bagian atas paralel bentuknya memanjang pada kaki lereng
ii. Strike lereng bagian bawah tidak begitu tampak bentuknya pendek dan
tertutup
2. Pola sungai yang tidak berkembang dengan baik
a. Daerah yang mempunyai dip rendah dan berbentuk antiklinal
b. Daerah sinklinal mempunyai aliran sedikit dan kecil-kecil, biasanya di rawa-rawa.
Pengukuran ketebalan dip dapat ditetapkan dengan menggunakan tiga
pengukuran ketinggian berdasarkan kunci pengenalan lapisan. Pengukuran ini
dilakukan pada citra stereo atau citra tiga demensi. Citra satelit SPOT dapat dibuat stereo
dengan pemotretan daerah pada arah berbeda. Permintaan citra dengan permintaan
khusus (special order). Harga ketinggian dapat diukur secara manual dengan paralak,
30
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
31
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
32
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
yang dapat digerakkan di atas citra. Gerakan horizontal di atas citra, sehingga bentuk
lahan seperti puncak-puncak gunung baik puncak yang rendah maupun puncak yang
tinggi dapat diukur. Pengukuran slope berdasarkan sudut slope yang dibentuk oleh
kedua lingkaran piringan tersebut. Ketelitian pengukuran dapat dibandingkan dari
beberapa cara tersebut untuk penelitian suatu daerah.
33
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Data geologi hasil interpretasi citra penginderaan jauh mempunyai status sama
dengan sumber data geologi lainnya. Isi data geologi dari hasil interpretasi citra dapat
berupa:
1. Satuan batuan terdiri dari satu jenis batuan atau kelompok batuan
2. Indikasi struktur geologi, yaitu garis/arah jurus, dan kemiringan formasi batuan
3. Kesinambungan lapisan batuan
4. Semua tanda sesar (fault) dan ketidakselarasan, dapat dilihat dari citra.
5. Satuan bentuk lahan hasil interpretasi citra dapat digunakan identifikasi batuan.
6. Pola aliran sangat jelas dilihat dari citra untuk identifikasi litologi dan struktur.
7. Titik kontrol tanah (GCP) sangat berpengaruh terhadap ketelitian letak formasi
dan posisi batuan.
Kriteria untuk identifikasi dan interpretasi geologi pada citra penginderaan jauh,
mempunyai unsur utama dan faktor-faktor sebagai kunci interpretasi geologi, yaitu
1. Unsur utama geologi dari citra penginderaan jauh adalah.
a. Kenampakan pola sebaran singkapan (outcrop).
b. Struktur geologi.
c. Bentuk lahan atau bentuk permukaan lahan.
d. Pola aliran sungai.
e. Vegetasi (zona-zona vegetasi).
f. Kenampakan kultural.
2. Kunci interpretasi untuk identifikasi geologi pada citra
a. litologi dan strukturnya, misalnya bentuk kipas aluvial, batuan sedimen,
struktur berlapis.
b. Lereng simitris untuk mengetahui arah kemiringan lapisan batuan secara
umum serta perbedaan litologinya.
c. Drainase merupakan aspek untuk identifikasi kerapatan aliran, berasosiasi
dengan resistensi dan permeabilitas batuan. Pola aliran untuk mengetahui
struktur geologi.
Interpretasi citra pengideraan jauh untuk identifikasi geologi dapat berhasil
dengan baik apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1. Citra tidak tertutup awan (bisa digunakan citra radar).
2. Interpreter dapat menggabungkan dengan baik antara unsur utama geologi dari
34
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
35
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
36
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
37
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
batuan saat ini, yang terbentuk oleh dua proses, yaitu pembentukan struktur primer
dan struktur sekunder.
Struktur primer berkaitan dengan proses pembentukan batuan. Struktur primer
meliputi bidang perlapisan, lapisan bersilangan, gelembur/kerutan (ripple mark),
dan struktur aliran. Bentuk dan struktur batuan beku ada dua macam, yaitu batuan
ekstrusif (beku luar) dan batuan intrusif (beku dalam).
1. Batuan ekstrusif (bahan beku luar) dalam bentuk aliran lava (kerucut vulkanik,
erupsi celah). Bentuk batuan ekstrusif sangat ditentukan oleh sifat lavanya. Lava
asam dapat membentuk bocca, lava intermediate membentuk gunungapi strato,
dan yang basa membentuk gunungapi perisai. Kerucut lain terbentuk oleh lava
sangat cair. Kerucut vulkanik dari batuan bahan plagioklas.
2. Batuan intrusif (bahan beku dalam) dapat berbentuk batolit, stocks dan bosses,
lakolit, sill, dike, vein, dan vulcanic neck.
Struktur sekunder proses pembentukannya setelah batuan terbentuk, akibat
oleh deformasi fisikal atau perubahan kimia. Struktur sekunder terbentuk karena
proses perubahan struktur akibat pengangkatan, pelipatan, sesaran, kekaran, retakan,
yang menghasilkan struktur lipatan (folds), kubah, basin, sesar (fault), kekar (joint),
dan retakan (fracture). Struktur geologi sebagai unsur utama bentuk lahan dapat
menentukan konfigurasi permukaan (relief) bumi, yaitu struktur lipatan berbeda
dengan struktur patahan (sesar) dalam topografi, relief, dan proses yang berlangsung.
Gerakan air tanah baik arah maupun kecepatan dipengaruhi oleh struktur geologinya.
Batuan yang sama dengan struktur berbeda akan mempunyai potensi air tanah
berbeda, misalnya batuan breksi yang banyak kekar/torehan (joint) atau banyak
retakan (fracture) akan bersifat lebih permeabel dari pada batuan berstruktur tanpa
retakan. Pemunculan mata air banyak ditentukan oleh struktur geologi, misalnya jalur
sesar umumnya akan diikuti oleh pemunculan mata air. Ketersediaan air diakibatkan
oleh struktur geologi dan akan berpengaruh terhadap vegetasi yang tumbuh di
daerah tersebut.
38
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Apabila lapisan sedimen cembung atau arah ke atas disebut antiklinal, dan
apabila lapisan sedimen cekung disebut sinklinal. Beberapa variasi lipatan yang dapat
terjadi diuraikan berikut
1. Antiklinorium adalah gabungan dari antiklinal
2. Sinklinorium adalah gabungan dari sinklinal
3. Lipatan mayor dan minor adalah satu seri lipatan kecil dan kelompok lipatan besar.
4. Geosinklinal suatu cekungan cukup luas yang mengalami penurunan terus
menerus selama terjadi akumulasi bahan sedimen dari daerah sekitarnya
5. Geoantiklinal adalah antiklinal besar yang masif, sering berasosiasi dengan
geosinklinal yang berbatasan.
6. Kubah (dome) adalah antiklinal yang kemiringan lapisan batuannya ke segala arah.
7. Basin adalah struktur sinklinal kemiringan lapisan batuannya kearah dalam
(kebalikan kubah)
39
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
mengalami geseran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hanging wall dan foot wall.
Permukaan yang saling mengalami geseran disebut bidang sesar. Permukaan yang
saling mengalami geseran disebut bidang sesar. Kenampakan pada bidang sesar
merupakan ciri dari proses sesaran yang terjadi, yaitu milonit, breksi sesar, zone sesar,
dan Slinckenslide, yang diterangkan berikut.
1. Milonit adalah hancuran batuan halus akibat geseran massa batuan
2. Breksi sesar adalah material kasar terdiri dari fragmen batuan berbagai ukuran
yang terbentuk akibat pergeseran massa batuan
3. Zone sesar adalah lapisan mengandung limonit dan breksi sesar, hasil geseran
massa batuan yang saling bergerak
4. Slinckenslide adalah permukaan yang saling bergeser pada struktur batuan , dan
pada bidang sesar ditandai goresan dan tonjolan
Sesaran diklasifikasikan dalam tiga kelompok dasar, yaitu sesar dislokasi, sesar
sebaran, dan sesar yang berhubungan antara lapisan batuan atau struktur batuan
lain.
1. Klasifikasi sesar dislokasi dibagi dalam lima pola lipatan, yaitu
a. Sesar geser searah kemiringan.
b. Sesar searah jurus (strike slip fault).
c. Sesar geser miring.
d. Sesar normal (normal fault),
e. Sesar membalik.
2. Klasifikasi sesar berdasar penyebaranya
a. Sesar bercabang (tambahan), yaitu sesar umur pada ujung sesar utama
b. Sesar berpotongan, yaitu sesar yang saling berpotongan satu terhadap yang lainnya
c. Kompleks sesar, yaitu sistem sesar yang rumit, dari sesar yang berpotongan
dalam umur yang sama maupun umur yang berbeda
d. Sesar ganda, yaitu kelompok dari beberapa sesar yang saling berdekatan dan
berpotongan
e. Sesar berhimpit, yaitu sesar pada singkapan
3. Klasifikasi sesar berdasarkan hubungan lapisan atau struktur lainnya, yaitu
a. Sesar jurus, adalah arah jurus sesar paralel dengan arah pelapisan batuan
b. Sesar searah dip adalah sesar searah dengan jurus tegak lurus terhadap jurus lapisan
40
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
c. Sesar diagonal adalah sesar dengan arah jurus miring terhadap arah jurus lapisan
d. Sesar longitudinal adalah sesar dengan arah jurus sejajar struktur umum
e. Sesar melintang adalah sesar dengan arah jurus memotong struktur umum
f. Sesar bidang lapisan adalah sesar yang paralel dengan stratigrafi batuan
Gambar 1.6. Kenampakan kekar pada citra Landsat dan retakan dari foto udara.
41
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
42
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Gambar 1.7. Struktur sesar, kekar, dan kelurusan dari citra SIR-B
43
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
44
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
seperti geologi, tanah, hidrologi, sedimentasi, air permukaan, air tanah, vegetasi
alami dan vegetasi budidaya, serta iklim. Pendekatan ini dapat diperoleh dari
empat tingkat klasifikasi medan atas dasar herarkhinya, yaitu komponen medan,
unit medan, sistem medan, dan bagian-bagian dari medan.
3. Pendekatan Pragmatis merupakan gabungan dari pendekatan analitis dan
pendekatan sintetis. Pendekatan pragmatis dapat menggunakan hasil survei dan
pemetaan dengan pendekatan sintetis dan analistis. Berbagai contoh pendekatan
pragmatis untuk tujuan tertentu antara lain pemetaan survei keterlintasan
jalan, kemiringan lereng, survei visibilitas dan penutup lahan, pemetaan morfo-
konservasi, pemetaan hidro-morfologi, pemetaan bahaya banjir, kekeringan dan
potensi zone-zone daerah bahaya alami lainnya
Tabel 1.9.
Dasar pengelompokan bentuk lahan
PENELITI/ PENULIS DASAR PENGELOMPOKAN
Dana, 1863 Topografi mengarah untuk deskripsi fisiografik
Davis, W.M, 1884 Struktur dan tingkat erosi
Powel J. W., 1895 Genesis terdiri atas : volkanisme, diastrofisme, dan
gradasi
Davis, W.M, 1899-1900 Genesis terdiri atas : struktur horisontal dan struktur
terganggu
Johnson D.W, 1904 Genesis terdiri atas : konstruksional dan distruksional
Herberton, A.J., 1911 Pengelompokan menurut : Penutup permukaan,
Struktur, Bentuk permukaan, Genesis
Lobeck A.K., 1939 Genesis terdiri atas : konstruksional dan distruksional
Lobeck A.K., 1948 1. Struktur geomorfologi
2. Proses geomorfologi
Dessaunet, 1977 Pengelompokan menurut : Sistem dan proses pem-
bentukan lahan, dan kesan topografi
45
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
46
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
47
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 1.10.
Deskripsi hubungan bentuk lahan dan karakteristik dasar interpretasi citra
Unit Lahan Karakteristik Citra
Kode Nama Topografi Citra Penutup Tipe Lain
Umum
1 A Pegunungan Rona? - Hutan Lereng Bukit
Pola? terjal terpotong
- Bersalju
Tekstur?
Tabel 1.11.
Contoh deskripsi bentuk lahan, hubungan unit lahan dengan atribut lain
Unit
Karakteristik Bentuk Lahan
Bentuk Lahan
Relief Geomorfologi Tipe Tanah Penutup Hidrologi
Kode Nama Morfologi Proses Batuan Lahan
Slope Erosi Batuan Profil Alami Pola aliran
I A Tinggi Banjir induk Humus Budidaya Air tanah
Tingkat Gerakan Tekstur Kualitas
48
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
49
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
lahan. Oleh karena itu kunci interpretasi citra penginderaan jauh, dibuat berdasarkan
pertimbangan genesisnya, serta unsur kompleks lahannya. Kunci pengenalan
bentuk lahan berdasarkan genetika dari citra penginderaan jauh, dapat diidentifikasi
berdasarkan
− Kenampakan permukaan (relief topografi)
− Densitas rona dan warna
− Susunan keruangan berdasar lokasi
Kunci pengenalan satuan bentuk lahan berdasar genetikanya dalam buku ini
disusun sendiri oleh penulis dari berbagai citra penginderaan jauh. Illustrasi penyusunan
kunci bentuk lahan ini diilhami oleh kunci pengenalan dari foto udara yang dibuat
oleh Verstappen (1975). Berbagai citra penginderaan jauh yang penulis gunakan adalah
citra penginderaan jauh sistem aktif (radar) dan citra satelit sistem pasif, dengan berbagai
resolusi spasial dan di berbagai lokasi sesuai dengan bentuk lahan dan genetika asal
batuannya. Contoh identifikasi bentuk lahan sebagai kunci pengenalan satuan bentuk
lahan pada citra penginderaan jauh sesuai genetika asal batuan, yaitu bentukan asal
volkan Gamabar 1.10; dan bentukan asal struktural Gambar 1.11.
Gambar 1.10. Kunci pengenalan pada citra bentuk lahan batuan volkan
50
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Gambar 1.11. Kunci pengenalan pada citra atas bentuk lahan batuan struktual
51
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 1.12.
Deskripsi karakteristik unit geomorfologi
52
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
53
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Daratan bumi kita dapat bergerak karena kekuatan panas dari inti bumi dapat
menembus pada lapisan di atasnya. Pergerakan panas bumi ini menyerupai air yang
dipanaskan dalam sebuah bejana yang disebut arus konveksi. Pergerakan lempeng
bumi disebabkan oleh panas dari arus konveksi tersebut. Pergerakan arus konveksi
ada 3 (tiga) jenis, yaitu
1. Pergerakan lempeng saling menjauh (divergent);
2. Pergerakan lempeng saling mendekat, menubruk yang lain dan menyusup
(convergent), terjadi pada zona subduksi;
3. Pergerakan lempeng bumi kesamping atau pergerakan saling berpapasan (simple-
shear).
Arus konveksi yang menggerakkan lempeng-lempeng bumi dan menyebabkan
perubahan bentuk bumi rekonstruksi bumi. Perjalanan panjang hanyutan benua
(Continental Drif Theory) dan pergerakan lantai samodera (Sea Floor Spreading
Theory), yang menyebabkan perubahan bentuk bumi. Rekonstruksi pembentukan
Kepulauan Indonesia kurun waktu 50 juta tahun terakhir menurut Robert Hall (1995)
seperti pada Gambar 1.14. Bila dilihat dari gambar tersebut Kepulauan Indonesia
belum seperti sekarang. Pulau Sumatera dan Pulau Jawa masih menyatu, namun
Aceh - Sumatera Utara seperti mulut menganga (pegunungan bukit barisan belum
muncul). Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi hanya sebagian. Pulau Kalimantan
hanya Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan sebagian
54
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Kalimantan Timur (Kalimantan Utara, Sabah, Serawak belum ada) dan Pulau
Sulawesi hanya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara belum ada). Pulau Sumatera, Pulau Jawa,
sebagian Pulau Kalimantan, dan sebagian Pulau Sulawesi tersebut disatukan dengan
Semenanjung Malaka oleh sebuah dangkalan (saat ini Laut Jawa, Laut Karimata dan
Laut Cina Selatan). Serawak, Sabah, dan Kalimantan Utara, menyatu menjadi Pulau
Kalimantan yang kita lihat sekarang sejak 10 juta tahun lalu. Pulau Sulawesi baru
menyatu 1 juta tahun lalu.
55
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
56
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Gambar 1.16. Lempeng dunia dan sebaran pusat gempabumi dan sebaran gunungapi
57
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
4. Arah jurus dan kemiringan lapisan batuan tampak jelas dari citra penginderaan
jauh, tampak berlapis selang-seling antara lapisan yang resisten dan non-resisten
5. Hubungan bentuk relief topografis pada daerah tektonik digunakan sebagai
indikasi struktur geologi. Namun analisis tidak dapat dilakukan bila ada beberapa
hal yang tidak mudah untuk melihat hubungan tersebut, yaitu
a. Relief rendah,
b. Lapisan tertutup total,
c. Daerah berulang kali mengalami lipatan
d. Daerah mengalami proses metamorfoisme tidak ada hubungan jelas
58
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
dinamika penimbunan tampak dari tahun 1991 hingga tahun 2000 dari citra Landsat
TM. Tampak perubahan badan dari Sungai Ajkwa yang semakin melebar. Tampak
jelas perubahan endapan tailling di sebelah timur kota Timika dari tahun 1991, 1995,
1006, dan tahun 2000. Perubahan morfologi sungai ini bukan secara alami, namun
karena adanya kegiatan penambangan di atasnya dan membuang tailling ke sungai,
yang menyebabkan terjadinya endapan tailling berupa levee-levee di sepanjang
sungai.
Gambar 1.17. Perubahan bentuk lahan akibat pengendapan tailing (limbah tambang)
Di Sungai Ajkwa, Timika, Papua (Purwadhi, 2001)
59
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
gumuk pasir sejajar, hamparan pasir, dan cekungan di daerah pasir (hollow).
2. Faktor manusia atau kegiatan manusia penyebab perubahan pantai berupa
penanggulan pantai (berupa Jetti, groin, tembok pantai, tanggul lepas pantai/
offshore break water), penggalian pasir dan lumpur, pengambilan bahan material
pantai (karang), pengurugan atau reklamasi pantai, pembabatan dan penanaman
bakau, pembuatan bnjir kanal pengaturan pola aliran sungai, (Anugrahadi,dkk,
2008;2010 a)
Gambar 1.18. Perubahan Pantai Segara Anakan 1944-1982, citra Landsat 1999, SPOT 2006
60
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
Gambar 1.19. Beberapa tipologi bangunan pantai yang berpengaruh pada morfologi pantai
(Subandono, 2004)
61
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 1.20. Citra IKONOS pantai reklamasi bandara Ngurah Rai (Bali)
62
Terapan PJ dan SIG dalam Geologi dan Geomorfologi
− Perubahan yang terjadi pada pegunungan monoklinal yang berupa kubah/ dome,
terjadinya sesar gawir (faulscarps),
− Terjadinya gerakan tektonikberupa sembul (graben, horst),
− Terjadinya longsor akibat gempa atau hujan deras di daerah perbukitan
menyebabkan perubahan permukaan lahan.
Kenampakan sesar jelas pada potongan puncak pegunungan kapur dengan
bentuk tebing terjal (cliff) dan singkapan (daerah terbuka) di puncak pegunungan
seperti Gambar 1.22. Foto lapangan “zone sesar” yang terjadi di daerah Karst
Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Geodinamik akibat proses alam, maka survei stabilitas
lereng dapat dilakukan pada lokasi kegiatan pertambangan terbuka, baik di daerah
pegunungan atau perbukitan dari batuan beku intrusif hingga volkanik, dan gugusan
pegunungan baru yang terbentuk akibat penumpukan batuan limbah penambangan.
Gambar 1.22. Zone sesar di Cibinong, Bogor, Jawa Barat (Sumarsono dkk, 2000)
63
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
64
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
BAB II
TERAPAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG
DALAM HIDROMETEOROLOGI
65
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
2.1. HIDROLOGI
Hidrologi ilmu yang berhubungan dengan air, baik yang berupa gerakan dan
distribusi air pada setiap fase dalam suatu siklus yang disebut dengan siklus hidrologi.
Oleh karena itu lingkup kajian hidrologi mencakup gerakan dan distribusi sumberdaya
air di bumi. Menurut “the International Association of Scientific Hydrology” (Linsley
et. al, 1975) hidrologi dapat dibagi menjadi 5 (lima) cabang yaitu :
1. Potamologi (potamology), khusus mempelajari aliran air permukaan dalam alur/
sungai (surface stream)
2. Limnologi (limnology), khusus mempelajari air permukan yang relatif diam seperti
air danau.
3. Geohidrologi (geohydrology), khusus mempelajari air di bawah permukaan tanah
pada zone jenuh air
4. Kriologi (crylogy), khusus mempelajari es dan salju. Es/salju tidak ditemui di
Indonesia, kecuali di Carstensz Pyramid, Jayawijaya, Papua
5. Hidrometeorologi (hydrometeorology), khusus mempelajari masalah-masalah
yang ada antara meteorologi dan hidrologi.
Sumber daya air untuk keperluan kehidupan hidup dikelompokkan menjadi 3
(tiga) kelompok, yaitu :
1. Air tanah dan mata air
2. Air permukaan (air sungai, danau, waduk, laut)
3. Air hujan
66
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Air adalah salah satu sumberdaya alam yang sangat berharga untuk kehidupan
di muka bumi. Disamping manfaat yang bersifat biologis, air juga mempunyai energi
yang dapat digunakan untuk menunjang kehidupan manusia. Air sangat bermanfaat
tetapi juga dapat menjadi tenaga perusak. Tetes hujan dan aliran air dapat menyebabkan
tanah tererosi dan mengendap di tempat lain (sedimentasi), atau lebih parah dapat
mendatangkan banjir, yang menyebabkan kerugian harta dan nyawa. Kondisi
lingkungan fisik setiap wilayah berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan proses
hidrologi dan kondisi sumberdaya air. Variasi tersedianya air tanah suatu wilayah sangat
dipengaruhi oleh lingkungan fisik, yaitu kondisi iklim, geologi (struktur, stratigrafi,
dan jenis batuan), topografi (ketinggian dan kelerengan), dan geomorfologi lahan
(bentuk lahan, unit medan, dan unit lahan).
67
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
68
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Aliran langsung dengan variasi infiltrasi batuan, sedimen, tanah, vegetasi penutup,
dan beberapa aspek geomorfologi dapat diidentifikasi dari citra penginderaan jauh.
Sedangkan aspek rembesan (seepage) dan mata air (spring) agak sulit diidentifikasi
secara langsung dari citra penginderaan jauh yang rekamannya menggunakan
panjang gelombang visibel (sinar tampak). Identifikasi biasanya dilakukan secara tidak
langsung, misalnya rembesan dapat diidentifikasi melalui kelembaban tanah/batuan
atau vegetasi penutupnya. Sedangkan mata air biasanya permulaan dari suatu aliran
sungai. Identifikasi hidrologi atau badan air pada citra penginderaan jauh adalah
lahan tergenang atau tertutup air, yang kriterianya dibedakan dalam lima jenis, yaitu
1. Lahan tergenang air untuk waktu lama (kadang ada tumbuhan air), yang tampak
pada citra dapat digambarkan sebagai peta penutup lahan (campuran air dan
lahan tak produktif).
2. Air alamiah yang tampak di permukaan bumi dan digunakan manusia yaitu
sungai, alur (stream), anak sungai (creeks), selokan, kanal dan lain-lain.
3. Reservoir air (alamiah dan buatan) dibedakan atas laut, laguna, danau, bekas
sungai, kolam, tambak rataan lumpur, waduk.
4. Orientasi pada penggunaan air, yaitu untuk air minum, industri, transportasi/
komunikasi, sumber tenaga, pertanian, perikanan.
5. Air segar merupakan air yang dinilai berdasarkan kualitasnya dibedakan dalam
tiga macam, yaitu
a. Sangat oligotropik (air segar dan bersih) dibedakan dalam tiga bagian, yaitu
(1) Air tenang, dalam, miskin larutan senyawa kimia (air keras), sangat jernih,
jenuh oksigen, pada umumnya berupa danau di daerah pegunungan; (2) Air
mengalir, dangkal, deras, jernih, keras, dan jenuh oksigen; (3) Kolam dengan
spesies dominan, ikan air tawar (trout), semacam ikan kerapu (grayling), pada
periode pembiakan. Oligotropik sebagian eutropik (air segar dengan senyawa
ringan) dibedakan dua jenis, (1) Air tenang, kedalaman sedang sampai dalam
dangkal (> 20 meter), sedikit senyawa kimia terlarut, pengkapuran dasar relatif
kecil, sebagian berupa air tak tembus cahaya; (2) Air mengalir, bagian tengah
sungai, dangkal, tidak deras, dasarnya tertutup kerikil dan pasir
b. Eutropik (air segar dengan senyawa ringan) dibedakan dalam dua jenis, yaitu
(1) Air tenang, dangkal (< 20 meter), jenuh dengan larutan mineral, banyak
endapan yang berasal dari bahan organik, kurang oksigen. Bila di pantai, maka
69
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
vegetasi pantai berkembang baik; (2) Air mengalir, bagian bawah sungai, aliran
tidak deras, meandering, vegetasi pantai dapat berkembang dengan baik.
c. Diatropik (air segar dengan sifat tertentu), air dangkal (6 meter), warna coklat,
sering asam, banyak senyawa, bahan organik, kekurangan mineral garam.
Diatropik dibedakan dua jenis, yaitu (1) Air payau terletak di muara sungai,
laguna, danau di pantai yang berhubungan dengan laut; (2) Air asin (laut dan
danau mengandung garam).
Air hujan merupakan hasil kondensasi dari uap air seperti telah dijelaskan dalam
siklus hidrologi. Curah hujan dipengaruhi oleh faktor-faktor topografi, ketinggian,
arah angin, dan sifat daerah aliran sungai. Curah hujan umumnya terjadi apabila
massa udara hangat yang mengandung sejumlah besar air berhembus secara kontinyu
(teratur) dan kemudian menjadi dingin karena gerakan udara naik. Gerakan naik dari
udara ini terjadi dalam kaitannya dari salah satu hal-hal berikut.
1. Gerakan naik dalam angin topan
2. Gerakan naik pada bidang frontal
3. Gerakan naik karena bentuk permukaan bumi
4. Ketidakstabilan atmosfer (badai, siklon dll)
Hujan lebat terjadi karena adanya percampuran dua atau lebih kondisi tersebut
di atas, biasanya daerah pegunungan pengaruh topografi lebih kuat. Besarnya curah
hujan adalah tebalnya air yang diterima oleh suatu daerah dengan satuan luas
tertentu dalam satu satuan waktu, dalam keadaan tidak ada intersepsi, infiltrasi, dan
evapotranspirasi. Besarnya curah hujan tergantung pada satuan tebal dan interval
waktu (mm/jam; mm/hari; mm/tahun)
70
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Secara teoretis batas Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan punggung bukit
atau pegunungan yang memungkinkan presipitasi/curah hujan yang jatuh menjadi
aliran air mengalir melalui saluran sungai di dalamnya yang terpisah dari kawasan
Daerah Aliran Sungai (DAS) lainnya. Karakteristik daerah aliran sungai (DAS) dalam
kaitannya dengan ketersediaan air permukaan yang mempengaruhi perikanan darat
mencakup karakteristik aliran mencakup pola aliran, panjang sungai dan kerapatan
sungai/ drainase, lereng permukaan daerah aliran sungai (DAS), lereng sungai induk,
bentuk daerah aliran sungai (DAS), ketinggian daerah aliran sungai (DAS) rata-rata,
dan faktor simpanan air. Pengukuran dan identifikasi karakteristik daerah aliran sungai
(DAS) mencakup luas, panjang, lereng, kerapatan drainase, ketinggian, dan kelas
infiltrasi. Diagram alir identifikasi dan karakterisasi daerah aliran sungai (DAS) seperti
Gambar 2.4. Luas daerah aliran sungai (DAS) atau sub daerah aliran sungai (sub-DAS)
pada citra penginderaan jauh dapat digunakan sistem grid/sel atau polygon area.
71
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 2.4. Diagram Alir Identifikasi dan Karakterisasi untuk neraca air DAS
72
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
73
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
pada bentuk lahan vulkan, dome dan residual (bukit sisa). Konsep modifikasi pola
aliran akan diperoleh radial sentripetal/ aliran ke arah dalam untuk kaldera, danau
(Gambar 2.5.Ae)
6. Pola aliran annular, merupakan pengembangan pola aliran radial juga dapat
berupa sentrifugal maupun sentripetal, yang terjadi pada daerah struktur dome
maupun daerah cekungan (basin), yang telah mengalami proses pelapukan.
(Gambar 2.5.A.f)
7. Pola aliran multibasinal, merupakan pola aliran tidak teratur dan arah tidak
menentu. Pola aliran multibasinal dengan pola aliran pendek-pendek pada daerah
yang telah mengalami multi depresi (daerah volkan, karst, maupun daerah glasial).
Bentuk lahan yang dapat dikenali adalah daerah payau atau glasial bagian bawah
(Gambar 2.5.A.g)
8. Pola aliran contorted, merupakan pola aliran yang terjadi pada lapisan batuan
metamorfosa, dikes, veins, atau pada lapisan batuan yang sangat resisten. Pola
aliran berbeda dengan trellis yang dapat terjadi di daerah igir pegunungan (ridges)
atau lembah (valley), umumnya di daerah sempit. (Gambar 2.5.A.h).
74
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Kenampakan pola aliran yang telah digambarkan dalam pola aliran dasar
merupakan kenampakan hasil proses erosi atau destruksional di permukaan lahan.
Kenampakan pola aliran berbeda dengan kenampakan bentuk lahan yang merupakan
proses pembentukan atau konstruksional dari permukaan lahan, seperti kipas
alluvial, dataran yang merupakan hamparan glasial. Pola aliran dapat berkembang
sesuai dengan pengembangan tanah dan batuannya. Setiap pola aliran dasar dapat
berkembang sesuai lokasi, kondisi, dan iklim daerahnya, yang biasa disebut dengan
modifikasi pola aliran dasar. Modifikasi pola aliran dasar paling tidak dapat terjadi
dalam dua tahap tergantung pada skala prosesnya. Gambaran pola aliran dasar dan
modifikasinya pada Tabel 2.1. yang memberikan uraian singkat dari pola aliran dasar
dan modifikasinya, serta karakteristik lahannya.
Tahap pertama modifikasi pola aliran (Modifikasi 1) yang terjadi dapat dibedakan
dalam delapan pola aliran (Gambar 2.5.B.a-h), yaitu
1. Pola aliran subdendritik merupakan modifikasi pola aliran dendritik pada proses
sekunder, sebagai cabang dari anak sungai besar yang mempunyai ranting-
ranting kecil, pada struktur umum (Gambar 2.5.B.a).
2. Pola aliran pinnate, adalah modifikasi pola aliran dendritik pada fine-texstured
(Gambar 5.5.B.b) terdapat pada daerah dengan material yang mudah tererosi
(erodable material).
3. Pola aliran anastomatik, adalah modifikasi pola aliran dendritik pada dataran
banjir (floodplain), delta, tidal marches (Gambar 2.5.B.c).
4. Pola aliran distributary atau dischotomatic adalah modifikasi dendritik pada
delta (Gambar 2.5.B.d) kipas alluvial (alluvial fans).
5. Pola aliran subparalel, adalah modifikasi pola aliran parallel pada bentuk lahan
subparalel dengan kemiringan (slope) intermediate (Gambar 2.5.B.e)
6. Pola aliran colinear, adalah modifikasi pola aliran parallel terletak antara bukit
pasir (sand ridges) dengan dataran pasir halus (linear loess) Gambar 2.5.B.f.
7. Pola aliran directional trellis adalah modifikasi pola aliran trellis pada bentuk
lahan lipatan lunak (gentle homoclines) dengan kemiringan lereng (slope) tidak
terjal seperti beting pantai (beach ridge) Gambar 2.5.B.g.
8. Pola aliran recurved trellis adalah modifikasi pola aliran trellis terjadi pada daerah
lipatan lemah (Gambar 2.5.B.h)
75
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 2.1.
Pola aliran dasar dan modifikasinya, serta karakteristik lahannya
(Zuidam, 1985 dengan perubahan)
Pola Aliran Pola Aliran
Karakteristik Lahan
Dasar Modifikasi
Dendritik Subdendritik Dendritik proses sekunder
Pinnate Fine-texstured, material mudah tererosi
(erodable material).
Anastomatic and Dendritik di dataran banjir, delta, dan
yazoo tidal marches
Distributary/ Dendritik di delta dan kipas alluvial
dichotomatic
76
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
77
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
dibedakan dengan garis lurus (perennial) dan garis putus-putus (intermitant), dan
pengenalan kedua macam aliran pada citra satelit Landsat RGB 543 (Gambar 5.6).
Citra direkam pada musim kemarau, perbedaan aliran perenial yang berupa jalur
sungai yang berisi air (rona gelap/hitam), sedangkan aliran intermitant jalur sungai
kering tampak pada citra dengan rona putih (tidak berisi air).
78
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Gambar 2.7. Model aliran dan segmen order untuk satu DAS
(Zuidam, 1985 dengan perubahan)
79
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Kerapatan aliran merupakan total panjang aliran sungai dalam suatu unit area dalam
satu DAS. Ekspresi curah hujan dan kapasitas infiltrasi dapat dideskripsikan secara
fisik maupun secara kuantitatif dalam satu Daerah Aliran Sungai (DAS). Hubungan
antara jenis batuan dan kerapatan aliran sangat khusus, karena banyak faktor yang
mempengaruhi kerapatan aliran sungai. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kerapatan sungai adalah tipe batuan, patahan, retakan, lipatan, tipe tanah, relief,
vegetasi, curah hujan dan intensitasnya, serta evapotraspirasi.
Tabel 2.2.
Panjang dan Kerapatan Sungai di Pulau Nunukan
Panjang Sungai Luas Area Kerapatan
Tahun Citra Ordo Sungai
(M) (Ha) Sungai (%)
2003 SPOT 1, 2, 3 290.375 23.320 12,5
Sumber : Hasil Analisis SPOT 2003 (Sri Hardiyanti dkk, 2003)
Kerapatan aliran juga dipengaruhi oleh jenis batuan, batuan intrusif dengan
butir-butir kasar akan terjadi kerapatan aliran yang sedikit atau kecil, sedangkan
batuan sedimen klastik kerapatan aliran relatif tinggi. Perbedaan kerapatan aliran dari
dua jenis tanah/ batuan atau perbedaan unit morfologi pada data wilayah Gambar
2.9., yaitu tanah rawa dengan batuan endapan lunak drainase sangat rapat pada
morfologi pantai, tanah alluvial, relatif datar, kerapatan aliran jarang pada morfologi
dataran.
80
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
81
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
82
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
83
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
dilakukan pengukuran lengkung debit berdasar nama sungai atau pos pendugaan
atau penomoran. Toleransi kesalahan setelah dicek lapangan maksimal 10 %.
Pendekatan dapat dilakukan menggunakan geometrik dan pendekatan hidraulik
1. Pendekatan geometrik dilakukan dengan perhitungan kecepatan aliran dengan
rumus : Q = AV atau V = Q/A
Dimana : Q = debit ((m ) ;
2
84
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Gambar 2.10. Kantong air tawar pada beting pantai di Pulau Nunukan
(Sri Hardiyanti dkk, 2003)
85
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
86
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
tidak langsung dapat diduga berdasarkan karakteristik lahan dan penutup lahannya.
Sensor penginderaan jauh hanya merekam obyek yang ada di permukaan bumi,
sehingga identifikasi hidrologi dari penginderaan jauh dikaitkan dengan obyek yang
tampak di permukaan bumi. Interpretasi hidrologi diarahkan untuk menguji hubungan
antara kenampakan bentang lahan dan proses hidrologinya. Kenampakan bentang
lahan yang dihubungkan dengan proses hidrologi adalah satuan bentuk lahan yang
dapat diinterpretasi dari citra penginderaan jauh. Lingkup interpretasi hidrologi dari
citra penginderaan jauh mencakup :
1. Karakteristik air pada citra
2. Struktur citra untuk menilai tipe hidrologi
3. Tahapan interpretasi hidrologi dari citra
4. Informasi hidrologi untuk analisis potensi sumberdaya air
87
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
tampak dan inframerah dekat, yaitu inframerah dekat untuk melihat pulau karang
yang sudah muncul di permukaan air, sedangkan gelombang sinar tampak dapat
melihat atau menembus air dalam beberapa meter, sehingga tampak pulau karang
yang ada di bawah air
88
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Gambar 2.12. Karakteristik pola aliran pada batuan sedimen dan batuan metamorfosa
(Purwadhi, 2001)
Tipe hidrologi dalam suatu bentuk lahan dan karakteristik citranya (Way, 1973
dengan modifikasi) Perbedaan tipe hidrologi dalam suatu bentuk lahan, pola aliran
sungai berdasarkan batuan induknya yang dibedakan untuk daerah humid dan daerah
arid.
Interpretasi hidrologi dari citra erat hubungannya dengan identifikasi dan
pemetaan geologi, geomorfologi, dan vegetasi/ penutup lahan dan penggunaan lahan.
Pengenalan kondisi fisik pada asosiasi antara tanah, penggunaan lahan, vegetasi,
yang sangat erat berhubungan dengan daerah tangkapan air. Pengenalan kondisi
fisik dilanjutkan dengan analisis tiga unit geomorfologi, yaitu
1. Unit Denudasi Geomorfologi yang biasanya berupa deposit tipis. Yang mempunyai
karakteristik tanah, pola aliran dan kemiringan lereng tertentu.,
2. Unit Deposit lapisan pelapukan yang agak tebal biasanya tempat timbunan air,
3. Unit Agradasi yang biasanya terdapat mata air dengan kapasitas tertentu.
89
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
90
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Gambar 2.13. Contoh interpretasi hidrologi dari citra (Sri Hardiyanti, 2001)
91
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
drainase (Dd), ketinggian DAS (H), Faktor topografi (T), Luas kelas lereng DAS
(As), luas simpanan air permukaan DAS (Ast), Luas kelas infiltrasi (Ai), dan luas
penutup lahan DAS.
2. Data curah hujan dan debit air, yang terdiri dari hujan tahunan rata-rata, intensitas
hujan dan lamanya sama dengan waktu konsentrasi (Tc) periode ulang satu tahun
hingga 10 tahun, debit aliran banjir rata-rata tahunan, debit banjir maksimum
(debit puncak pendugaan berdasarkan respon karakteristik DAS = Qpt1), debit
banjir prediksi periode ulang 10 tahun.
3. Kelembaban tanah sangat berperan pada ketersediaan air permukaan dalam
proses hidrologi. Kelembaban tanah digunakan untuk kontrol kondisi air hujan
yang tersimpan dalam tanah. Model hidrologi untuk pengelolaan lingkungan
memerlukan data kelembaban tanah. Perbedaan kelembaban tanah pada suatu
lokasi dapat dipetakan menggunakan data penginderaan jauh. Perbedaan
kelembaban tanah pada citra dipengaruhi oleh perbedaan pantulan dan
spektrum elektromagnetik yang digunakan dalam perekaman citra. Karakteristik
pantulan dan spektrum yang peka terhadap kelembaban sudah diterangkan
pada perbincangan jenis citra penginderaan jauh dan kegunaannya.
4. Evaluasi lahan untuk penentuan kualitas air, dapat dilakukan dengan melihat
kondisi fisik, kandungan bahan organik dan anorganik. Air permukaan (seperti
sungai, waduk, embung, kolam) dapat dianggap tercemar apabila nilai oksigen
terlarut kurang dari oksigen yang dibutuhkan oleh mahluk hidup di air (terutama
mikroorganisme) yang perlu oksigen biokimia (BOD), sehingga dapat mengurangi
bahan organik di air. Kualitas air di Indonesia diberikan batasan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengendalian pencemaran air.
5. Evaluasi lahan untuk menentukan tingkat infiltrasi
92
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
dan merupakan fungsi dari evapotranspirasi aktual dan curah hujan. Evapotranspirasi
aktual dihitung dari evapotranspirasi potensial dan hujan menggunakan persamaan
empiris. Kelebihan hujan yang tidak teruapkan dapat menjadi aliran permukaan dan
aliran bawah permukaan atau menjadi imbuhan pada tampungan air tanah. Gambar 2.14.
93
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Infiltrasi adalah proses dimana air permukaan tanah yang masuk ke dalam tanah.
Laju infiltrasi dalam ilmu tanah adalah ukuran atau tingkat dimana tanah mampu
menyerap curah hujan atau aliran permukaan. Satuan infiltrasi diukur dalam inci
per jam atau mm per jam atau cm per jam. Estimasi perhitungan infiltrasi adalah
fungsi penyerapan, porositas, konduktivitas hidrolik dan waktu.
Perhitungan Infiltrasi : f = fc + (fo-fc)e-Kt
f = laju maksimum infiltrasi pada suatu saat (mm/jam)
fc = kapasitas infiltrasi saat infiltrasi telah jenuh (mm/jam)
fo = kapasitas infiltrasi inisial / permulaan hujan (mm/jam)
e = 2,71828
K = konstanta penjenuhan tanah dan tanaman (1/jam)
T = waktu (jam)
Perhitungan infiltrasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode Green
& Ampt Equation, adalah sebagai berikut: (Downer & Ogden, 2006)
dimana:
f : laju infiltrasi (cm/jam)
Ks : konduktivitas hidrolik jenuh (cm/jam)
ψf : matriks tekanan pada wetting point
MD : defisit kelembaban
F n : kumulatif kelembaban pada level waktu tertentu (cm)
Perhitungan Intersepsi : SMAX = 0.935 + 0.498LAI - 0.00575 LAI2
SMAX = Kapasitas Simpanan Maksimum (mm)
LAI = Indeks Luas Daun yang dapat dihitung menggunakan rumus
CINT = SMA [ 1 – e – (1-p) PCUM/ SMAX
Dimana
CINT = Intersepsi kumulatif (mm)
P = Curah hujan (mm)
p = faktor koreksi, dengan persamaan (1-0.046LAI)
94
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Gambar 2.15. Model debit berdasarkan fungsi produksi dan transfer Air DAS
(Robinson dan Sivapalan, 1996).
Di mana :
ETo = Evapotranspirasi standar/ acuan (mm/hari-1);
W = faktor temperatur;
Rn = radiasi matahari (mm/ hari);
f(u) = aktor kecepatan angin;
(ea-ed) = perbedaan tekanan jenuh suhu udara rata-rata dan tekanan uap
air udara(mbar)
C = Koefisien;
Rn = radiasi netto permukaan tanaman (MJm-2hari-1);
G = kerapatan fluks bahang tanah (MJm-2hari-1) ;
T = suhu udara (°C); U2 = kecepatan angin pada ketinggian 2 m (ms-1):
95
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
96
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
97
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 2.3.
Urutan Proses Perhitungan Debit Model NRECA (Model Rainfall-Runoff)
Proses Uraian Kegiatan Formula
1 Jml data yang dikumpulkan
2 Rasio Pertisipasi (Rb) (mm)
3 Evpotranspirasi potensial (PET) (mm/ Diuraikan PET = ETo
hari)
4 Tampungan kelengasan tanah (SM) SM (i) = SM (i +1) + Perubahan SM
(mm). Harga kadar kelengasan (i-1)
tanah ditetapkan sebagai kondisi
awal
5 Rasio Penyimpanan (Storage SM (i)
Ratio=SR) RSM (i) = ---------------
Ratio Tampungan tanah RSM 100 + 0,2 xRa
Ra = Hujan tahunan (mm)
6 Rasio Pertisipasi (Rb)/ Rb / PET
Evapotranspirasi potensial (PET)
7 Evapotranspirasi aktual (AET)/ (PET) AET/PET = Rb/PET ^ (1 – 0,5 RSM +
Jika RSM ≥ 1 atau jika Rb/PET ≥ 1, 0,5 x RSM)
maka AET/PET = 1
98
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
99
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 2.19. Kerangka pikir pengelolaan DAS menggunakan penginderaan jauh dan SIG
(Purwadhi, 2001)
100
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
penataan sumberdaya air; (2) Evaluasi kerusakan sumber air di DAS; (3) Evaluasi
prasarana pengendali pasokan air; (4) Evaluasi konsepsi pengelolaan DAS
101
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
102
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
makin terbatas. Oleh karena itu efisiensi ekonomi penggunaan air harus menjadi
perhatian, yaitu keikutsertaan sektor swasta pada bidang-bidang tertentu dalam
pendayagunaan sumber daya air kiranya perlu dipertimbangkan.
2. Keadilan di dalam salah satu kebutuhan dasar, air adalah yang mutlak diperlukan
oleh setiap orang, kerena itu semua orang perlu disediakan akses memperoleh air
yang bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup sehat dan produktif.
3. Keberlanjutan fungsi lingkungan hidup di mana pendayagunaan sumber daya air
tidak hanya sekedar mengejar kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi harus
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.
Pengelolaan sumberdaya air sangat kompleks dan terkait dengan banyak sektor
memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan terstruktur. Ditinjau dari
segi fungsi-fungsinya, sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air secara
garis besar dapat disederhanakan kedalam 5 (lima) unsur; yaitu:
1. Regulator atau Pemerintah, yaitu institusi pengambil keputusan yang dalam hal
ini adalah para pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan/keputusan dan
perizinan (misalnya di Daerah adalah: Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala
Dinas/Badan terkait yang menjadi sub ordinatnya)
2. Operator, yaitu lembaga yang dibentuk dan berfungsi sehari-hari untuk
mengoperasionalkan kebijakan yang telah ditetapkan oleh regulator di dalam
wilayah kerjanya yang berbasis wilayah sungai atau sub wilayah sungai, misalnya
Balai PSDA ataupun Badan Usaha semacam Perum Jasa Tirta untuk pengelolaan
air pada perairan umum, Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah atau
sekarang bernama Balai Pengelola DAS untuk pengelolaan DAS. Lembaga
operator ini dibentuk oleh Regulator, dan tidak memiliki kewenangan publik.
3. Developer, yaitu lembaga yang berfungsi melaksanakan pembangunan prasarana
dan sarana pengairan baik dari unsur pemerintah (misalnya Badan Pelaksana
Proyek, BUMN, BUMD) maupun lembaga non pemerintah (investor). Peran
lembaga ini, terutama diperlukan ketika terjadi ketidakseimbangan antara
permintaan atau kebutuhan air dengan kemampuan menyediakan air.
4. Pengguna (Users) atau penerima manfaat, yaitu masyarakat baik perorangan
maupun kelompok masyarakat industri dan dunia usaha yang mendapat manfaat
langsung maupun tak langsung dari jasa pengelolaan sumber daya air.
103
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
104
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
105
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
106
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
menentukan potensi sumberdaya air, yang tidak dapat diketahui langsung dari citra
penginderaan jauh dapat didekati dengan model hidrologi NRECA.
Gambar 2.20. Situs bendungan Jatiluhur dan bangunan air lepas pantai
(Sri Hardiyanti 2003)
Gambar 2.21. Citra SPOT Saluran irigasi teknis (jalur putih) Sukatani, Bekasi
Kenampakan pada citra dapat dibedakan dengan jelas bahwa sungai (Citarum)
yang berliku-liku dengan meander yang bervariasi, sedangkan saluran irigasi teknis
dengan pola lurus dapat saling berpotongan. Bangunan saluran irigasi dapat dilihat
dengan jelas pada citra, karena mempunyai bentuk memanjang yang teratur. Perbedaan
yang jelas pada pola kenampakan sungai dan saluran irigasi terletak bentuknya.
Perbedaan yang jelas sungai alami mempunyai meader, saluran irigasi hampir tidak
ada meandernya. Pola saluran irigasi biasanya sejajar dengan jalan, atau sengaja
dibuat jalan di tepi saluran irigasi sebagai jalan inspeksi (pemantau).
107
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
keadaan kondisi trofik (nutrisinya). Danau yang ditumbuhi ganggang atau kaya
nutrisi disebut eutrofik, sedangkan yang jernih disebut oligotrofik (nutrisi rendah dan
oksigen tinggi). Proses yang menunjukkan usia danau disebut eutrofikasi. Eutrofikasi
merupakan suatu proses alamiah yang dinyatakan dengan waktu geologi, akan tetapi
bila dipengaruhi oleh aktivitas manusia maka proses tersebut sangat dipercepat,
dan dapat menyebabkan kondisi air yang tercemar. Proses eutrofikasi kultural
berkaitan erat dengan kondisi penggunaan lahan/liputan lahan. Pemantauan danau
secara musiman dapat dilakukan menggunakan citra temporal, untuk mengetahui
pengurangan air danau akibat musim kemarau atau terjadinya bencana kekeringan
(Gambar 2.22.)
108
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
pada setiap siklus musim danau. Kelas ganggang berbeda-beda dan masing-masing
memiliki pola pantulan spektral yang berbeda, sehingga dapat dikuantitatifkan pada
citra penginderaan jauh
Perkembangan sungai diketahui dari bentuk meander dan sungai mati (ox-
bow). Perkembangan sungai Bengawan Solo dari foto baloon stratosfer ketinggian ±
30 km dari permukaan bumi Gambar 2.23. Sungai-sungai mati tampak pada kotak
putih. Perkembangan sungai untuk membentuk sungai mati (oxbow) karena putus-
nya aliran sungai atau pemendekan arah arus aliran sungai. Prediksi kemungkinan
putusnya sungai (panah hitam). Prediksi tersebut dapat digunakan sebagai mitigasi
(mitigation) bencana bila daerah tersebut sudah digunakan sebagai tempat hunian
penduduk. Mitigasi adalah proses pencegahan atau pengurangan akan kemungkinan
terjadi bencana alam dan pengurangan kerugian akibat bencana alam.
109
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
merupakan pengalihan aliran lama (asli) ditunjukkan oleh tanda panah putih. Hal itu juga
untuk melindungi selat Madura dari tertumpuknya endapan (sedimentasi), sehingga
dapat melindungi Pelabuhan Tanjung Perak dan Kota Surabaya. Konservasi danau
dan pembangunan danau baru dapat dilihat dari citra penginderaan jauh secara tem-
poral. Misalnya pengembangan bangunan Danau Cirata, Jawa Barat.
Berbagai danau di Indonesia yang berpotensi sebagai wilayah pariwisata dilihat
dari berbagai jenis citra penginderaan jauh seperti pada Gambar 2.24.
Gambar 2.24. Berbagai citra untuk inventarisasi danau di Indonesia (Purwadhi, 2010)
110
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Gambar 2.25. Pantauan Penutup Lahan dan Sedimentasi di DAS Rawa Pening
(Purwadhi, dkk., 2008)
Contoh lain dalam studi konservasi danau adalah Danau Limboto, yang terletak
di sebelah utara Kota Gorontalo. Danau ini merupakan danau alam yang sangat
penting keberadaannya untuk Kabupaten dan Kota Gorontalo, yaitu sebagai daerah
tangkapan air untuk penyediaan air tawar bagi Kota Gorontalo, juga berpotensi
untuk perikanan, pariwisata, irigasi, dan pencegah banjir. Namun pengelolaan Danau
Limboto sampai saat ini masih kabur atau belum jelas wewenang dan tanggung jawab
siapa pengelolaannya. Oleh karena itu langkah konkret penanganan Danau Limboto
adalah perencanaan yang benar, terutama untuk konservasi danau. Berdasarkan hal
itu, maka kondisi fisik Danau Limboto dan sekitarnya, termasuk sifat fisik air dan
kimia air perlu dipantau, agar pengelolaan danau dapat dievaluasi dan dinamikanya
dapat diketahui.
Pantauan Danau Limboto memang perlu dilakukan, terutama untuk pengelolaan
dan penyelamatan danau tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
karena terjadi pendangkalan dan penyusutan luas danau, serta penurunan kualitas
airnya. Oleh karena itu tujuan penelitian ini mengkaji perubahan kondisi fisik danau
(sedimentasi dan pendangkalan), kualitas air dan sebaran pencemaran airnya. Salah
satu penyebab sedimentasi karena adanya erosi lahan di daerah aliran sungai yang
masuk ke danau. Besarnya erosi lahan di DAS Limboto terutama karena curah hujan
yang tinggi, dan berkurangnya daya tahan lahan terhadap erosi yang disebabkan
oleh penggundulan hutan untuk pemukiman, perkebunan, pertanian, dan kegiatan
111
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
lainnya. Kajian dengan citra SPOT multi temporal dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
yang dapat menggabungkan data spasial dan non spasial. Dalam kurun waktu 5
tahun terakhir kondisi fisik dan kualitas air Danau Limboto dilaporkan terus menurun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi sedimen perairan Danau Limboto
sebagai salah satu kajian untuk mencari solusi permasalahan penurunan kualitas air
danau tersebut. Sebaran sedimen diinterpretasi dari citra SPOT multitemporal. Sampel
air diambil pada 2 (dua) kelompok stasiun berdasarkan strata kekeruhan air pada
muara sungai dan tengah danau.
Hasil klasifikasi penutup/ penggunaan lahan Danau Limboto dan sekitarnya dari
citra SPOT 2 tanggal 17 Oktober 2000 dan SPOT 4 tanggal 11 Juni 2006 (Gambar
2.26), yang terdiri dari 8 (delapan) kelas penutup/ penggunaan lahan, yaitu yaitu
danau, kebun campur, perkebunan, permukiman, rawa, sawah, Semak/ belukar, dan
tegalan. Hasil analisis sedimentasi selama lima tahun (2000-2006) menyebabkan
pendangkalan (Gambar 2.27) dan penyusutan luas perairan Danau Limboto sebesar
1031Ha. Di dasar danau telah terjadi penumpukan bahan organik dan anorganik,
sehingga terjadi ketidakseimbangan siklus karbon. Hal itu menyebabkan eutrofikasi,
sehingga terjadi penurunan kualitas air Danau Limboto. Proses turbulensi pada sistem
perairan yang menyebabkan oksigen terdapat sampai ke dasar perairan Danau
Limboto. Permukaan Danau Limboto berupa paya-paya luas yang ditumbuhi flora air.
Rumput air menjalar dari pinggir danau ke tengah danau. Kedalaman air paya-paya
dengan berbagai tanaman air tinggal kira-kira 30 sentimeter.
Gambar 2.26. Citra SPOT dan Penutup Lahan Danau Limboto tahun 2000 dan 2006
112
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Gambar 2.27. Citra SPOT 11 Juni 2006, sebaran partikel anorganik Danau Limboto (hasil
interpretasi citra SPOT 11 Juni 2006), dan foto lapangan
113
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
1. Sisa bahan organik dari buangan rumah tangga, industri, binatang, dan tumbuh-
tumbuhan mengambil oksigen dari air melalui penguraian kimiawi
2. Zat kimia organik buatan (pestisida, detergen) atau hasil teknologi kimiawi yang
meracuni tumbuhan air dan berpotensi untuk meracuni manusia
3. Zat penyebab infeksi dari buangan rumah tangga dan industri pembawa penyakit
4. Pangan tumbuhan yang dapat memacu tumbuhnya ganggang atau rumput air
5. Bahan mineral dan kimia anorganik hasil dari pertambangan, pengolahan pabrik,
pembuatan minyak dari tanaman, pelaksnaan pertanian dapat mengganggu
pemurnian aliran almiah dan merusak kehidupan air. Disamping itu menjadi
sebab kesulitan penyediaan air bersih karena menghasilkan korosi, sehingga
meningkatkan biaya perlakuan air.
6. Sedimen yang mengisi sungai, saluran, pelabuhan, dan waduk menyebabkan
penurunan tenaga hidroelektrik dan peralatan pemompaan. Sedimen
mempengaruhi populasi ikan dan kerang karena terjadi penimbunan sarang ikan,
telor ikan, persedian makanan ikan, dan dapat meningkatkan biaya perlakuan air.
7. Pencemaran radioaktif yang dihasilkan pernambangan dan pengelolaan bijih
radioaktif, pemurnian material radioaktif, dan buangan pengujian nuklir.
8. Peningkatan suhu dari penggunaan air untuk proses pendinginan pada pembangkit
tenaga listrik uap, industri, penampungan air dalam waduk menyebabkan efek
buruk pada ikan dan kehidupan air, serta memperkecil kapasitas tangkapan air.
Gambar 2.28. Dereksi sedimentasi dan pencemaran air Muara Gembong , Bekasi, Jawa Barat
(Sri Hardiyanti dan Ongkosongo, 2001).
114
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
2.4. Meteorologi
Meteorologi (bhs Yunani meteoros = ruang atas/atmosfer; logos = ilmu), adalah
cabang ilmu pengetahuan yang membahas pembentukan dan gejala perubahan
cuaca serta fisika yang berlangsung di atmosfer. Meteorologi dengan kata lain
merupakan ilmu yang mempelajari fenomena atmosfer termasuk dinamika, fisika dan
kimia atmosfer. Secara umum meteorologi dapat dikatakan suatu kajian dinamika
dan termodinamika atmosfer yang mempengaruhi kehidupan manusia.
Meteorologi (meteorology) atau ilmu cuaca dan klimatologi (climatology) atau
ilmu iklim merupakan dua cabang ilmu pengetahuan (fisika) yang membahas proses
dan gejala yang terjadi di atmosfer bumi. Sedangkan perbedaan antara aspek cuaca
(meteorologi) dan iklim di bumi terletak dalam hal lingkup ruang dan waktu, sehingga
untuk memahami cuaca dan iklim serta penyebarannya menurut ruang dan waktu,
diperlukan dasar pengetahuan fisika atmosfer, pemahaman geografi, serta statistika
dan matematika untuk menyederhanakan kerumitan proses fisika atmosfer tersebut.
Meteorologi memiliki 7 (tujuh) unsur pokok, yaitu
1. Sinar matahari berupa radiasi/pancaran/penyinaran matahari, dan lamanya
penyinaran.
2. Presiptasi berupa hujan, embun, salju, dan penutupan awan;
3. Evaporasi berupa penguapan permukaan bumi;
4. Evapotranspirasi berupa penguapan air danau, sungai, laut;
5. Tekanan udara berupa gerakan angin (kecepatan dan arah angin);
6. Temperatur berupa suhu udara
7. Kelembaban udara
115
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
2.4.1. Atmosfer
Atmosfer adalah lapisan tipis yang melingkupi/menyelubungi permukaan bumi.
Atmosfer bumi terdiri atas
1. Campuran molekul gas mencakup
a. Gas-gas Permanen sebesar 99.999 % dari masa atmosfer berupa Nitrogen,
Oksigen, Argon, Neon, Helium, Kripton, Xenon, Hidrogen. Gas-gas permanen
ini didominasi oleh Nitrogen (N2) dengan besaran 78,08 % yang berperan
sebagai biosfer; Oksigen (O2) dengan besaran 21 % yang berperan sebagai
pernafasan; Argon (AR) dengan besaran 0,9 % yang berperan sebagai Inert
gas (gas yang tidak reaktif terhadap elemen kimia lainnya)
b. Gas-gas varibel berupa Uap air (H2O), Karbondioksid (CO2), Ozone (O3), Metan
(CH4) masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut
i. Uap air (H2O) sebesar sekitar 0,25 % dari total masa atmosfer. Konsentrasi
berkurang secara cepat terhadap ketinggian. Hampir seluruh uap air terdapat
pada ketinggian di bawah 5 km. Dekat permukaan uap air bervariasi antara
1% (gurun) -4 % (tropis). Waktu tinggal di atmosfer selama 10 harian
ii. Karbon Dioksida (CO2) sebesar sekitar 0,036 % dari total masa atmosfer
dengan konsentrasi 360 ppm. Karbon dioksida masuk ke atmosfer melalui:
proses prespirasi, peluruhan material organik, erupsi gunung api dan
pembakaran alamiah maupun antropogenik. Keberadaan dalam atmosfer
melalui: fotosintesa. Waktu tinggal di atmosfer selama 150 tahunan dan
terjadi peningkatan 1.8 ppm/thn sejak1950
iii. Ozon (O3) merupakan zat yang sangat vital utk kehidupan di stratosfer
dan tidak berbahaya untuk tanaman dan manusia di troposfer. Konsentrasi:
stratosfer dengan besaran sampai 15 ppm pada ketinggian sekitar 25 km.
Ozon terbentuk jika atom oksigen (O) dari bagian atas atmosfer bertumbukan
dengan molekul oksigen (O2) di stratosfer. Radiasi UV memecahkan ikatan
ozon menjadi O and O2 yang kemudian akan membentuk molekul ozon
yang lain
iv. Metana (CH4) dengan konsentrasi meningkat 0,01 ppm/yr beberapa decade
terakhir. Konsentrasi saat ini (2012) sebesar 1.7 ppm. Metana merupakan
sumber emisi: perut sapi, tambang batu bara, sumur minyak, pipa gas dan
116
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
117
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
2. Stratosfer mulai dari puncak troposfer sampai dengan ~ 50 km. Secara umum,
temperatur bertambah dengan ketinggian pada musim panas. Suhu terendah
pada tropopause equatorial. Pada musim dingin memiliki struktur yang lebih
komplek mengandung mayoritas ozon atmosfer(O3). Mengabsorpsi radiasi
ultraviolet sehingga menghasilkan suhu maksimum di stratopaus (kadang-
kadang mencapai 0°C). Interaksi dengan troposfer sangat terbatas dan masih
sangat kurang dimengerti.
3. Mesosfer merupakan udara bercampur secara relatif dan suhu menurun dengan
ketinggian. Mesosfer merupakan lapisan labil karena dekat dengan sumber panas.
Di lapisan mesosfer, suhu turun bila ketinggian bertambah, menurunnya suhu
lebih tajam dibandingkan pada lapisan troposfer. Atmosfer lapisan ini mencapai
suhu terdinginnya ~ -90° C. Di samping itu pada lapisan mesosfer ini meteor
terbakar ketika memasuki atmosfer bumi
4. Termosfer merupakan lapisan yang terekspos secara langsung terhadap radiasi
matahari dan karena itu merupakan lapisan yang dipanasi oleh matahari.
a. Udara sangat tipis sehingga penambahan kecil energi akan menyebabkan
peningkatan suhu secara signifikan. Suhu di termosfer sangat bergantung
pada aktivitas matahari (suhu dapat mencapai nilai 1,500°C atau lebih).
Temperatur tidak dapat diukur secara langsung, tetapi dengan cara mengukur
tekanan atmosfer terhadap satelit dan menghitung suhu dari persamaan gas
ideal.
b. Termosfer juga mencakup wilayah atmosfer bumi yang disebut ionosfer, dalam
wilayah mana atmosfer dipenuhi dengan partikel bermuatan. Peningkatan
temperatur dapat menyebabkan molekul udara terionisasi. Ionosfer
merupakan daerah di atmosfer atas yang mengalami elektrifikasi sehingga
mengandung sejumlah besar konsentrasi ion (partikel bermuatan) dan
elektron bebas.Partikel bermuatan bisa karena kehilangan elektron (muatan
+ ) atau mendapatkan elektron (muatan -). Ionosfer sangat penting dalam
proses penjalaran gelombang radio.
c. Pesawat ulang-alik mengorbitkan bumi, hingga mencapai lapisan Termosfer
baru melepaskan satelitnya.
118
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
119
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
2.4.1.3. Angin
Perbedaan tekanan udara menyebabkan sirkulasi atau gerakan dari tempat yang
memiliki tekanan tinggi kearah yang tekanan rendah. Gerakan tersebut disebut angin.
Gerakan tersebut memiliki arah dan kecepatan. Konvensi Meteorologi arah angin
menyatakan darimana angin itu datang, yang dinyatakan dalam derajat dari Utara
atau arah kompas ketika menghadap kearah angin datang. Oleh karena variabilitas
angin sangat tinggi (gustiness), hanya arah angin secara umum yang dinyatakan :
utaraan (northerly), timuran (easterly), baratan (westerly) dan seterusnya. Arah angin
rata-rata dari timur laut (sekitar 50o dari utara). Sedangkan kecepatan angin biasanya
dinyatakan dalam beberapa macam unit, yaitu
- Meter per detik (m s-1), yang biasa digunakan dalam sains
- Umumnya dinyatakan dengan Knots (kt) = mil-laut per jam = 0.514 ms-1 ≈ 0.5 ms-1
- Kilometer per jam (kph) = 0.278 ms-1
- Mil per jam (mph)= 0.447 ms-1
2.4.1.4. Kelembaban
Kelembaban udara merupakan Kelembaban Relatif yang dinyatakan dalam
persen (%) = jumlah uap air dalam udara dinyatakan dalam persentasi jumlah
maksimun yang mungkin pada suatu temperatur tertentu, yaitu R = 100% (Pv/Ps).
Besarnya kelembaban udara ini sangat berguna untuk menentukan dimana kabut
atau awan akan terbentuk, kondensasi uap air kebentuk butir awan/kabut terjadi jika
RH mencapai nilai 100% seperti pada Gambar 2.29.
120
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Berdasaran hal itu maka harus diketahui ttitik embun dan depresi titik embun.
Titik Embun adalah temperatur dimana par cel udara dengan kandungan uap air
konstan harus didinginkan pada tekanan tetap untuk menjadi jenuh, sedangkan
Depresi Titik Embun adalah perbedaan temperatur per sel udara dengan temperatur
titik embunnya. Oleh karena itu besarannya perlu diketahui.
1. Perbandingan Campuran (Mixing Ratio) merupakan perbandingan masa uap air
terhadap masa udara kering. Besarnya Mixing Ratio = Mv/Ma
2. Kelembaban Spesifik (Specific Humidity) merupakan perbandingan masa uap air
terhadap masa udara lengas. Kelembabab spesifik (q) = Mv / (Mv + Ma)
3. Kelembaban absolut atau densitas uap (Absolute Humidity or Vapour Density)
merupakan masa uap air per satuan volume udara lengas.
121
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
perubahan cuaca.
2. Kondisi atmosfer mempengaruhi musim secara langsung juga dapat berpengaruh,
karena revolusi bumi pada periode waktu pendek mempengaruhi nilai mutlak
perubahan periodisasi (perubahan periodik) musim.
3. Kondisi atmosfer mempengaruhi iklim secara tidak langsung, karena akibat posisi
lintang pada periode waktu panjang, maka nilai rata-rata tidak berubah, sehingga
terhadap perubahan iklim pengaruhnya tidak langsung.
2.4.2. Cuaca
Cuaca adalah perubahan keadaan atmosfer dari hari ke hari, perubahan jangka
pendek tentang energi lengas dan gerakan udara. Keadaan fisik atmosfer pada
saat dan tempat tertentu. Cuaca dan iklim dinyatakan dengan susunan nilai unsur
fisika atmosfer (disebut unsur cuaca atau unsur iklim) yang terdiri dari : radiasi surya,
lama penyinaran surya, suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan
dan arah angin, penutupan awan, presipitasi (embun, hujan, salju) dan evaporasi/
evapotranspirasi.
Nilai sesaat dari atmosfer (cuaca), serta perubahan dalam jangka pendek (kurang
dari satu jam hingga 24 jam) di suatu tempat tertentu di bumi. Contoh data cuaca di
suatu tempat, mencakup lingkup waktu. Contoh data cuaca di Lokasi A waktu sesaat
(instantaneous) misalnya pukul 07.00 WIB tanggal 1 Februari 2012 seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4.
Contoh Data Cuaca di Lokasi A 1Februari 2012 jam 7.00 WIB
NO UNSUR CUACA NILAI
1 Penerimaan radiasi surya 140 W m‐2
2 Suhu Udara 22,4 °C
3 Kelembaban udara 85 %
4 Tekanan udara 995,1 mb
5 Kecepatan angin 2 m s‐1
6 Arahangin 45° (Timur Laut)
7 Penutupan langit oleh awan 0,4
122
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
123
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
124
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
besar bagi pertumbuhan awan konvektif dan jumlah curah hujan yang tinggi
sepanjang tahun. Sirkulasi Utara - Selatan (Sirkulasi Hardley) atau angin pasat/
trade wind yang bertiup dari daerah tekanan tinggi subtropis. Sirkulasi Timur -
Barat (Sirkulasi Walker) yang bertiup dari samudera Pasifik Tengah sampai sekitar
wilayah Sulawesi
Berdasarkan hal tersebut, maka data yang perlu dikumpulkan untuk peramalan
cuaca berhubungan dengan faktor pengendali tersebut, yaitu data geografis, data
bentuk topografi daratan, yang masing-masing topografi dan letak geografis memiliki
perbedaan dalam posisi terhadap daratan dan lautan, penerimaan radiasi matahari,
aliran masa udara, dan arus laut yang semuanya akan mempengaruhi tipe cuaca
maupun iklim pada daerah tersebut.
125
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
126
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
127
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
fibratus Cirrus (Ci fi): cirrus berserat tanpa jumbai atau kait. (2) Spesies
uncinus Cirrus (Ci UNC): Hooked cirrus filamen. (3) Spesies spissatus
Cirrus (Ci spi): cirrus Patchy padat. (4) Spesies castellanus Cirrus (Ci cas):
Sebagian cirrus menara. (5) Spesies floccus Cirrus (Ci flo): Sebagian cirrus
berumbai.
ii. Genus Cirrocumulus (Cc): Sebuah lapisan awan konveksi terbatas muncul
sebagai massa bulat kecil putih atau serpih dalam kelompok atau baris
dengan riak seperti pasir di pantai. Awan ini memiliki 4 (empat) spesies,
yaitu (1) Spesies Cirrocumulus stratiformis (Cc str): Sheets atau patch
yang relatif datar cirrocumulus. (2) Spesies Cirrocumulus lenticularis (Cc
len): Lens cirrocumulus berbentuk. (3) Spesies Cirrocumulus castellanus
(Cc cas): cirrocumulus menara. (4) Spesies Cirrocumulus floccus (Cc flo):
cirrocumulus berumbai.
iii. Genus Cirrostratus (Cs): A non-konvektif cadar tipis yang biasanya
menimbulkan halos. Matahari dan bulan terlihat di garis yang jelas.
Biasanya mengental menjadi menjelang altostratus depan hangat atau
daerah tekanan rendah. Genus Cirrostratus (Cs): A non-konvektif cadar
tipis yang biasanya menimbulkan halos. Matahari dan bulan terlihat
di garis yang jelas. Biasanya mengental menjadi menjelang altostratus
depan hangat atau daerah tekanan rendah. Awan ini memiliki 2 (dua)
spesies, yaitu (1) Spesies Cirrostratus fibratus (Cs fib): cirrostratus berserat
kurang terlepas dari cirrus. (2) Spesies Cirrostratus nebulosus (Cs neb):
rata selubung cirrostratus.
b. Awan Tengah (Keluarga B). Awan Tengah cenderung terbentuk pada 6.500
kaki (2.000 m), tetapi dapat terbentuk pada ketinggian sampai 13.000 kaki
(4.000 m), 23.000 kaki (7.000 m) atau 25.000 kaki (8.000 m), tergantung
pada daerah. Umumnya lebih hangat iklim, semakin tinggi dasar awan.
Nimbostratus awan kadang-kadang disertakan dengan awan menengah. The
World Meterological Organization mengklasifikasikan Nimbostratus sebagai
awan menengah yang dapat mengentalkan ke dalam rentang ketinggian
rendah selama hujan. Awan di Keluarga B meliputi:
i. Genus Altocumulus (Ac): Sebuah lapisan awan konveksi yang terbatas
128
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
biasanya dalam bentuk patch tidak teratur atau bulat dalam kelompok
massa, garis, atau gelombang. Altocumulus Tinggi mungkin mirip
cirrocumulus tetapi basis menunjukkan setidaknya beberapa bayangan
abu-abu terang yang memiliki 4 (empat) spesies, yaitu (1) Spesies
Altocumulus stratiformis (Ac str): Sheets atau patch yang relatif datar
altocumulus. (2) Spesies Altocumulus lenticularis (Ac len): Lens altocumulus
berbentuk.(3) Spesies Altocumulus castellanus (Ac cas): altocumulus
menara. (4) Spesies Altocumulus floccus (Ac flo): altocumulus berumbai.
ii. Genus Altostratus (As):-konvektif atau tembus non cadar Buram abu-
abu biru-abu-abu awan / yang sering bentuk front bersama hangat
dan sekitar daerah tekanan rendah di mana mungkin menebal ke
Nimbostratus. Altostratus tidak dibagi lagi menjadi spesies.
c. Awan Rendah (Keluarga C1) , awan keluarga Ini ditemukan dari dekat
permukaan hingga 6.500 kaki (2.000 m) dan termasuk Stratus genus. Ketika
awan Stratus kontak dengan tanah, mereka disebut kabut , meskipun tidak
semua bentuk kabut dari Stratus. Awan di Keluarga C1 meliputi:
i. Genus stratocumulus (Sc): Sebuah lapisan awan konveksi yang terbatas
biasanya dalam bentuk patch teratur atau massa bulat mirip dengan
altocumulus tetapi elemen yang lebih besar memiliki dengan bayangan
abu-abu yang lebih dalam, yang memiliki 3 (tiga) spesies, yaitu (1)
Spesies stratocumulus stratiformis (Sc str): Sheets atau patch yang relatif
datar stratocumulus. (2) Spesies stratocumulus lenticularis (Sc len): Lens
stratocumulus berbentuk. (3) Spesies stratocumulus castellanus (Sc cas):
stratocumulus menara.
ii. Genus Stratus (St): Sebuah lapisan seragam non-konvektif awan yang
menyerupai kabut tapi tidak beristirahat di tanah, yang memiliki 2 (dua)
spesies, yaitu (1) Spesies nebulosus Stratus (St cotok): rata selubung
Stratus. (2) Spesies Stratus fractus (St fra): kasar putus selembar Stratus.
d. Awan Rendah Tengah (Keluarga C2). Awan ini dapat didasarkan manapun
dari permukaan dekat sekitar 10.000 kaki (3.000 m). Cumulus biasanya
bentuk pada rentang ketinggian rendah tapi dasar akan naik ke bagian
bawah kisaran menengah saat kondisi kelembaban relatif sangat rendah.
129
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
130
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
131
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
arah aliran udara di permukaan serta variasi sebaran daratan dan lautan. Variasi curah
hujan tahunan dipengaruhi oleh perilaku atmosfir global, siklon tropis dan lain-lain
(Prasetya, 2011)
Secara umum curah hujan di Indonesia didominasi oleh pengaruh beberapa
fenomena seperti sistem monsoon Asia-Australia, El-nino, sirkulasi Timur-Barat
(Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi
karena faktor lokal (Prasetya, 2011). Cuaca permukaan wilayah Indonesia relatif sama.
Massa udara di atas wilayah Sulawesi pada waktu Monsoon Asia berasal dari Laut
Cina Selatan dan Pasifik Barat Daya. Pada waktu Monsoon Asia melemah, potensi
hujanpun akan menurun. Perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan
Metode Haspers & der Weduwen dalam Melinda (2007). adalah menggunakan
formula sebagai berikut :
1218t +54
Ri = X t
X t (1- t ) +1272t
dimana :
t : durasi curah hujan dalam satuan jam
Xt : curah hujan maksimum yang terpilih
Intensitas curah hujan I = R/t untuk 1≤ t < 24 jam , maka digunakan rumus
11300t X i
R=
t + 3,12 100
dimana :
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
R, Rt : Curah hujan menurut Haspers dan Der Weduwen
T : Durasi curah hujan (jam)
Xt : Curah hujan harian maksimum yang terpilih (mm/hari)
132
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
sepenuhnya sesuai dengan keadan cuaca pada lintang tropis seperti Indonesia.
Umumnya metode yang digunakan untuk prakiraan cuaca bersifat subjektif
yaitu dengan mengintepretasikan data pengamatan dan data model prakiraan.
Metode prakiraan cuaca yang subjektif ini mempunyai kelemahan, sehingga perlu
disempurnakan agar menjadi metode yang semi objektif, yang bertujuan untuk
meningkatkan akurasi prakiraan cuaca, dengan mempertimbangkan faktor subjektif
dan objektif , yang memanfaatkan paremeter data pengamatan tekanan udara, data
suhu udara, data satelit cuaca. Parameter cuaca tersebut dintegrasikan, sehingga
menjadi metode prakiraan cuaca semi objektif, hasil dari metode prakiraan cuaca
semi objektif ini menunjukan adanya peningkatan akurasi prakiraan cuaca dari 70 %
menjadi 83 – 86 %.
Secara umum dalam membuat prakiraan cuaca harus menggunakan data
hasil pengamatan, prosedur, dan metode prakiraan cuaca. Data pengamatan yang
tersedia dan dimanfaatkan seperti tekanan udara dan angin, yang dianalisis dengan
memetakan (dibuat peta) kemudian dibuat garis konturnya untuk memperoleh pola-
pola keadaan cuaca saat itu. Pola-pola tersebut dapat memberi petunjuk tentang sifat
ciri cuaca yang ada. Data kuantitatif dari data pengamatan dapat digunakan sebagai
data input objektif dalam membuat prakiraan cuaca. Metode prakiraan cuaca yang
saat ini dipakai adalah metode dengan intepretasi data hasil pengamatan dan data
model prakiraan cuaca atau NWP (Numerical Weather Prediction).
Metode ini mempunyai kelemahan, karena setiap interpreter data akan
menghasilkan intepretasi yang berbeda-beda, sehingga metode ini bersifat subjketif.
Meskipun sistem prakiraan cuaca bersifat subjektif, ketepatan prakiraan cuaca untuk
tingkat nasional di Indonesia mencapai 70% (BMKG, 2006). Di Indonesia informasi
prakiraan cuaca yang sudah dikenal oleh masyarakat adalah, berawan, cerah dan
hujan. Sementara itu untuk terjadinya hujan dikaitkan dengan proses fisis dan
dinamika atmosfer diketahui melalui parameter-parameternya seperti adanya masa
udara, gaya vertikal dan energi.
Hasil penelitian Suryadi (1993) menunjukan bahwa keadaan cuaca di Indonesia
dipengaruhi oleh jenis masa udara yang terdapat disekitar wilayah Indonesia dan
karena itu perlu mengetahui pola tekanan udara yang ada di Asia dan Australia.
Disamping itu untuk memantau penjalaran masa udara (Adveksi) digunakan parameter
suhu udara baik pada lapisan 23.000 feet (850 mb) dan 32.000 feet (200 mb), dari
133
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
data ini dapat diketahui daerah antisklonal atau siklonal. Keadaan cuaca di Indonesia
dipengaruhi oleh ;
1. Fenomena Badai Tropis atau vorteks. Keberadaan siklon tropis akan menggangu
sistem cuaca dari keadaan semulanya
2. Palung, dapat diketahui melalui citra satelit yang ditandai dengan sederetan
awan yang memanjang. Dikatakan kuat bila bila deretan awan tersebut terlihat
pada dan tidak terputus sebaliknya dikatakan lemah bila deretan awan tampak
tidak begitu jelas
3. Konvergensi, adalah daerah pertemuan angin dimana kecepatan anginnya
semakin kecil. Konvergensi dengan wilayah yang luas disebut Inter Tropical
Convergence Zone (ITCZ) yang biasanya diakibatkan oleh keberadaan badai tropis
yang tumbuh disekitarnya.
4. Shearline, adalah daerah belokan angin dimana kecepatan anginnya lebih rendah
dibandingkan dengan daeran sekitarnya.
Prakiraan cuaca tidak cukup memperhatikan parameter cuaca dalam skala
regional, melainkan diperlukan juga parameter dalam skala lokal. Pada skala lokal ini
dipakai untuk mengetahui faktor konvektivitas suatu daerah, dimana dimanfaatkan
untuk mengetahui daerah pertumbuhan awan vertikal. Wilson and Scoggins (1976)
mengatakan seorang ahli cuaca harus memperhatikan indeks labilitas udara untuk
memahami pola cuaca konvektif, dengan menggunakan SWEAT INDEX (SEVERE
WEATHER THREAT), dengan rumusan seperti berikut;
SWEAT = 12Td850 + 20 (TT - 49) + 2f850 + f500 + 125(s + 0.2);
Dimana,
- Td adalah suhu udara basah (dew point)
- TT adalah adalah total indeks kestabilan udara
- f adalah kecepatan angin dalam knot
- angka 850 dan 500 mb adalah lapisan 850 mb dan 500 mb
- s adalah Sin (arah kecepatan angin dlm derajat)
Klasifikasi SWEAT menurut Wilson jika;
≥ 250, indikasi ada konvektif
< 250, tidak ada konvektif
134
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Djuric (1994 ), konvektivitas udara dapat dipantau dengan cara menghitung energy
(CAPE), klasifikasi yang digunakannya adalah sebagai berikut;
- CAPE <1000, konvektif lemah
- CAPE 1000 – 2500, konvektif sedang
- CAPE >2500, konvektif kuat
2.5. Klimatologi
Klimatologi atau iklim yakni cabang ilmu pengetahuan yang membahas sintesis
atau statistik unsur‐unsur cuaca hari demi hari dalam periode beberapa tahun di
suatu tempat atau wilayah tertentu. Menurut BMKG (2008) bawa iklim adalah nilai
rata-rata statistik meteorologi dalam jangka panjang. Besarnya pengaruh fisiografi
(tata bumi) terhadap sifat cuaca (meteorologi) dalam jangka panjang, maka dalam
ilmu iklim ditekankan pemahaman penggunaan ilmu fisika, statistika dan geografi.
Pembagian Ilmu Iklim (Klimatologi) dapat dibagi menjadi berbagai cabang keilmuan
iklim berdasarkan
1. Metode pendekatan keilmuan dibagi dalam 5 (lima) pendekatan, yaitu
a. Klimatografi : klimatologi pembahasannya secara deskriptif (apa adanya)
berdasarkan data, peta, gambar/foto. Pembahasannya tidak disertai analisis
fisika ataupun matematika yang mendalam. Umumnya dikembangkan oleh
para pakar ilmu bumi (geografi).
b. Klimatologi fisik : klimatologi yang membahas perilaku dan gejala‐gejala
cuaca yang terjadi di atmosfer dengan menggunakan dasar‐dasar ilmu fisika
dan matematika. Tinjauannya ditekankan pada neraca energi dan neraca air
antara bumi dan atmosfer.
c. Klimatologi dinamik : klimatologi yang membahas pergerakan atmosfer dalam
berbagai skala, terutama tentang peredaran atmosfer umum di berbagai
wilayah seluruh dunia.
d. Klimatologi terapan : Klimatologi yang membahas penerapan ilmu iklim untuk
memecahkan berbagai masalah praktis yang dihadapi masyarakat
2. Ruang lingkupnya di atmosfer terdapat 3 (tiga) ruang lingkup, yaitu
a. Mikroklimatologi, yaitu ilmu iklim yang membahas atmosfer sebatas ruang
antara perakaran hingga sekitar puncak tajuk tanaman atau sifat atmosfer di
sekitar permukaan tanah. Unsur‐unsur iklim tersebut mudah terpengaruh oleh
135
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
136
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
cryosfer (glacier), land surface (litosfer & pedosfer), dan biosfer. Benda-benda tersebut
dengan ikatan gaya berat, membentuk bola bumi yang merupakan salah satu diantara
sembilan planet yang bersumber energi matahari (surya) dan seluruh planet beredar
mengelilingi sumber energi (matahari). Yaitu .
1. Bola bumi mengalami rotasi atau perputaran pada sumbu sambil beredar atau
melakukan revolusi dengan kecepatan dan posisi yang khas.
2. Rotasi bumi menyebabkan terjadinya siang dan malam hari di suatu tempat
sehingga mengakibatkan gejala fisika atmosfer atau cuaca 24 jam (siklus diurnal).
3. Revolusi bumi mengakibatkan perubahan kedudukan arah utara selatan dari
surya terhadap suatu tempat, berlangsung bulan demi bulan selama periode
setahun.
4. Gravitasi bumi atau daya tarik bumi, dimana gerak sirkular uniform di permukaan
bumi akan mengikuti hukum Newton , yaitu tanpa hambatan udara, setiap obyek
yang bergerak dengan kecepatan 7,91 km/s paralel terhadap permukaan Bumi
dan tidak akan pernah jatuh ke tanah. Berat, mg, akan memberikan percepatan
yang cukup, a=g, untuk tetap berada pada lingkaran dengan radius rE. Lalu
bagaimana dengan bulan? Bulan dalam mengelilingi bumi dengan sirkulasi
α = v2/r (Gambar 5.32A)
5. Obyek yang mengelilingi matahari atau planet, dengan massa matahari/planet
Msun/planet, dengan radius rorbit dan waktu untuk satu periode (satu orbit penuh)
T dihubungkan berdasarkan Hukum Kepler : T = 2π√r3orbit / √GMsun planet atau
r3orbit = GMsun planet x T2 / 4π2
Berdasarkan hal tersebut, maka
a. Setiap planet bergerak dengan lintasan elips, matahari berada di salah satu
fokusnya.
b. Luas daerah yang disapu pada selang waktu yang sama akan selalu sama.
c. Perioda kuadrat suatu planet berbanding dengan pangkat tiga jarak rata-
ratanya dari matahari
d. Perbedaan energi /radiasi matahari yang sampai ke bumi setiap daerah tidak
sama, akibat perbedaan tranmisi, absorbsi, dan hamburan atmosfer di setiap
lokasi tidak sama (Gambar 2.32B)
e. Perbedaan energi /radiasi matahari yang sampai ke setiap belahan bumi
akibat sudut (23,5o) rotasi bumi mengelilingi matahari, sehingga perbedaan
137
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
radiasi yang diterima akibat perbedaan posisi belahan bumi (lintang) yang
menyebabkan perbedaan musim (Gambar 2.32C).
Gambar 2.32. Gerakan bumi dan perbedaan radiasi matahari di belahan bumi
138
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
Sistem iklim dunia terdiri atas beberapa komponen dalam Sistem Iklim Global,
proses interaksi,dan beberapa aspek yang mungkin dapat berubah yaitu
1. Sistem iklim global berupa radiasi sinar matahari, perubahan komposisi dan
sirkulasi atmosfer, dan perubahan siklus hidrologi.
2. Proses dan Interaksinya yang terjadi di atmosfer ( gas-gas telusur /aerosol,
presipitasi/evaporasi, suhu, angin, gas hasil erupsi gunungapi, interaksi biosfer)
di daratan (biosfer, interaksi tanah dan atmosfer, interaksi tanah dan biosfer,
interaksi hidrosfer sungai dan danau, kegiatan manusia) di Lautan (gelombang,
angin, suhu air, biochemistry).
3. Beberapa aspek yang mungkin dapat berubah di lautan/ocean (sirkulasi laut,
permukaan air laut, biokimia) di daratan (hidrologi, orografi, penutup/penggunaan
lahan, ekosistem), di atmosfer (komposisi udara, sirkulasi udara, suhu udara dan
komposisi uap air)
Hubungan kompleks sistem iklim dunia mencakup siklus alam, interaksi internal
komponen bumi, dan perubahan variabel iklim yang terjadi seperti Gambar 2.34., yaitu
1. Siklus alam berupa perubahan radiasi matahari, perubahan orbit bumi, dan erupsi
gunungapi
139
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
140
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
141
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Sirkulasi angin ideal dunia, yang dapat menyebabkan perubahan musim dapat
dibedakan dalam 3 (tiga bagian) pada Gambar 2.36, yaitu
1. Angin dari daerah sub tropis menuju Equator dari Arah Timur Laut dan Tenggara
setelah sampai di Equator berbelok
2. Angin dari subtropic ke sub polar dari arah barat ke timur
3. Angin dari kutub (polar high) ke arah barat menuju sub-polar low (zone depresi
sub-polar
Gambar 2.36. Sirkulasi angin ideal dunia dan sirkulasi atmosfer musim dingin
142
Terapan Penginderaan Jauh dan SIG Dalam Hidrometeorologi
dari laut menuju daratan. Angin darat adalah angin yang bergerak dari darat
ke laut
b. Angin gunung dan angin lembah, penyebabnya adalah perbedaan topografi.
Angin gunung bergerak dari puncak gunung ke arah lembah (malam hari).
Angin lembah bergerak dari lembah menuju puncak gunung (siang hari).
Angin gunung bisa bersifat panas maupun dingin tergantung dari massa
udara yang menaiki lereng gunung. Angin gunung yang bersifat panas biasa
disebut dengan angin Foehn (Austria) dan angin gunung yang bersifat dingin
biasa disebut dengan Angin Bora (Kroatia)
3. Sistem angin mikro adalah angin yang jangka waktunya pendek (beberapa menit)
143
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
144
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
BAB III
MITIGASI BENCANA BERASPEK HIDROMETEOROLOGI
PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM,
BANJIR, KEKERINGAN, ANGIN PUTING BELIUNG,
GELOMBANG PASANG
145
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
146
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
melindungi bumi dari cahaya matahari. Uap air menyerap panas matahari yang
menyebabkan bumi kita hangat.
5. Efek rumah kaca sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di
bumi, karena tanpa efek rumah kaca (lapisan gas/atap rumah kaca), planet ini
(bumi) akan menjadi sangat dingin (-180 oC). Temperatur rata-rata bumi sebesar
15 oC (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 oC (59 °F) dari temperaturnya
semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -180 oC sehingga es
akan menutupi seluruh permukaan bumi.
6. Tumbuhan butuh air untuk proses fotosintesa yang menghasilkan makanan bagi
kita dan oksigen yang segar dan diperlukan dalam kehidupan.
Namun sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global, sehingga dapat menimbulkan perubahan iklim
atau iklim mulai tidak stabil, permukaan laut meningkat, gangguan pada flora dan
fauna, dampak sosial dan politik. Perhatian akan masalah pemanasan global sudah
ada sejak tahun 1896. Pada waktu itu Arrhenius melakukan perhitungan cermat
dan menyimpulkan bahwa kenaikan emisi CO2 di atmosfer sebanyak dua kali lipat
akan meningkatkan suhu permukaan bumi sebesar 4–6 oC (Nordhaus, 1991). Namun
perhitungan tersebut tidak mendapat perhatian yang serius hingga pada awal tahun
1980 setelah adanya bukti-bukti peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Pemanasan Global disebabkan diantaranya oleh efek rumah kaca (Greenhouse
Effect. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida
(C02) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas C02 ini disebabkan
oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batubara, dan bahan bakar
organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk
mengabsorbsinya. Peningkatan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batubara,
dan bahan bakar orgariik lainnya terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya
jumlah penduduk.
Houghton et.al. (2001) mengemukan bahwa sejak awal revolusi industri sampai
tahun 1998, konsentrasi CO2 di atmosfer bertambah sebesar 31%. Disamping itu
suhu permukaan bumi meningkat rata-rata sebesar 0,044 oC/dekade selama periode
tahun 1861–2000, dan meningkat sebesar 0,61oC/ dekade selama tahun 1901–2000.
Pengamatan ini sudah mempertimbangkan adanya efek ketidakpastian tahunan.
147
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan merupakan penyebab utama
dari bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca ini. Siklus CO2 dapat dijelaskan seperti
pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Siklus CO2 yang terjadi di bumi (Houghton et.al., 2001)
148
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan
bumi, sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca
pada atomsfer (uap air, karbondioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi
yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural
ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang
ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di
permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60° F/15° C. Energy berbasis karbon
digunakan oleh manusia di seluruh dunia dalam mendukung kehidupannya. Energy
tersebut akan menimbulkan emisi gas rumah kaca. IPCC (1997) mengelompokkan
gas-gas rumah kaca ke dalam karbon dioksida (CO2), gas-gas metana (CH4), gas
dinitrogen (N2O), klorofluorokarbon (CFC), aerosol, dan ozon (O3).
1. Karbon dioksida (CO2) terbentuk secara alami dari letusan gunung berapi. CO2
dan Uap dihasilkan dari makhluk hidup di bumi lewat proses pernafasan 6,5
milyar manusia, juga hewan dan tumbuhan. Volume CO2 di atmosfer meningkat
akibat pembakaran hutan, polusi industri dan asap kendaraan bermotor.
2. Metana (CH4) terbentuk dari aktivitas mikrobia seperti di rawa-rawa, tumpukan
sampah, kotoran binatang, septic tank dsb. Metana juga dihasilkan dari proses
industri yang menggunakan bahan bakar fosil: batu bara, minyak bumi, gas
alam. Metana berbau menyengat dan mudah terbakar. Metana dapat dijadikan
sumber energi biogas. Metana mampu menyerap panas 20 kali lebih banyak
dibandingkan CO2.
149
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
3. Dinitrogen (N2O) dihasilkan secara alami oleh bakteri yang hidup di tanah dan
lautan; proses pemupukan dan limbah hewan/ternak. N2O juga dihasilkan dari
proses pabrik plastik dan asap kendaraan bermotor, meskipun jumlahnya sedikit
tetapi gas N2O sangat berbahaya, karena N2O bahkan mampu menyerap panas
300 kali lebih banyak dibandingkan CO2.
4. Belerang dioksida (SO2): berasal dari asap industri, kendaraan bermotor.
5. Klorofluorokarbon (CFC) berasal dari pemakaian AC (Freon), Lemari Es dan cat
semprot.
6. Ozon (O3) proses alamiah tumbuhan/ pohon/ hutan
Penyebab terjadinya konsentrasi gas-gas tersebut menjadi emisi gas rumah
kaca (greenhouse effect) disebabkan oleh
1. Pencemaran udara karena perkembangan industri yang menggunakan bahan
bakar fosil (batubara, solar, minyak bumi).
2. Perusakan hutan dunia, baik karena penebangan liar, kebakaran hutan, alih fungsi
hutan, pembukaan perkebunan, pembangunan perumahan, jalan raya dsb.
3. Pencemaran dari sektor transportasi
4. Gas-gas alam seperti asap gunungapi mengandung gas belerang dioksida (SO2),
Saat ini rata-rata setiap rumah tangga memiliki sepeda motor. Apabila
diperhatikan di jalan raya, semakin padatnya jumlah sepeda motor, mobil, angkutan
umum, sehingga jalan-jalan semakin macet dan menimbulkan asap yang mencemari
udara. Demikian juga semakin banyak bertambah pabrik-pabrik makanan, minuman,
pengolahan bahan tekstil, bahan makanan, dan minuman, dan lain sebagainya. Asap
pabrik dan kenderaan bermotor semakin banyak jumlahnya yang masuk ke udara.
Sementara itu, jumlah pohon-pohonan semakin berkurang, yang dapat dilihat dari
terjadinya penebangan hutan yang dilakukan secara liar (pembakaran hutan), karena
kurangnya kesadaran masyarakat untuk memelihara hutan sebagai hutan lindung.
Hutan kota yang terdapat diberbagai kota di Indonesia, belum dapat menampung
adanya karbon dioksida yang dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor, mobil, dan
pabrik-pabrik. Bahkan pohon-pohon yang seharusnya ditanam di sepanjang pinggir
jalan, belum ditanam secara optimal.
Dalam kegiatan proyeksi emisi masa depan dalam publikasi IPCC (2006) tentang
sumber gas rumah kaca pada tahun 2000 dan peningkatan terjadi pada tahun 2005:
150
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
1. Tahun 2000 sebesar 44,7 %, yang terdiri dari C02 berasal dari penggunaan bahan
bakar fosil sebesar 55,6 %, C02 berasal dari deforestasi dan biomasa (gambut)
sebesar 17,3 %; C02 berasal dari penggunaan lain 2,8 %; N2O yang berasal lahan
pertanian 7,9 %; CH4 yang berasal dari pertanian dan transportasi 14,3%; Gas-
gas lainnya dari pencemaran 1,1 %.
2. Tahun 2005 menjadi 49% terdiri dari C02 berasal dari energy supply 25,9 %; C02
berasal dari kegiatan kehutanan sebesar 17,4 %; C02 berasal dari perkotaan dan
gedung-gedung sebesar 7,9 %; N2O berasal lahan pertanian 13,5 %; CH4 yang
berasal dari transportasi 13,1%; CH4 berasal dari industri 19,4%; Gas-gas lainnya
dari pencemaran 2,8 %.
151
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
ketinggian awan. Elemen detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, karena
awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional
dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam
laporan pandangan IPCC, 2006). Walaupun demikian, umpan balik awan berada
pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap
positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam laporan
pandangan IPCC (2006).
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya (albedo) oleh es kutub. Dimana temperatur global meningkat, es yang berada
di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan
melelehnya es kutub tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik
daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan es kutub, akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi
matahari. Proses tersebut akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak
es kutub yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Umpan balik positif
akibat terlepasnya C02 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah
mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es kutub yang
meleleh juga akan melepas CH4 yang menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan
lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila laut menghangat, hal
ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic, sehingga
membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap
karbon yang rendah.
152
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya
aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan
mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah
diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi
kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan
efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-
an. Skema interaksi radiasi dalam atmosfer (Roty and Mitchell, 1974) pada Gambar
3.3.
Gambar 3.3. Skema interaksi radiasi matahari dan atmosfer (Roty & Mitchell, 1974)
153
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Banyak dampak yang dapat ditimbulkan dari pemanasan global, yaitu iklim mulai
tidak stabil, permukaan laut meningkat, dan kondisi fisik lingkungan yang dapat
mengakibatkan gangguan pada flora dan fauna di bumi, serta dampak terhadap
kondisi sosial dan politik. Perkiraan dampak pemanasan global dapat digambarkan
seperti pada Gambar 3.4.
154
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan
variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Benarkah peningkatan bencana hidrometeorologi hanya disebabkan oleh iklim
yang berubah? Meningkatnya bencana hidrometeorologi tidak hanya disebabkan
oleh perubahan iklim global, namun juga karena kesalahan pengelolaan lingkungan.
Laporan Kajian IPCC tahun 2007 membuktikan, iklim global terus berubah karena
kegiatan manusia. Degradasi lingkungan akibat kegiatan manusia menyebabkan
meningkatnya bencana hidrometeorologi. Di Indonesia, terlihat dari laju kerusakan
hutan yang lebih tinggi dibandingkan kemampuan pemerintah merehabilitasi lahan.
Selama 2003–2006, laju kerusakan hutan 1,17 juta hektar per tahun. Sementara
kemampuan pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan setiap tahun hanya sekitar
450.000 hektar dan tingkat keberhasilan penanaman pohon dalam rehabilitasi hutan
dan lahan tidak mencapai 100% sehingga degradasi hutan dan lahan menjadi lebih
besar.
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi,
dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model
tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak
pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian,
kehidupan hewan liar, dan kesehatan manusia. Perubahan iklim di Indonesia telah
membawa perubahan pola musim lokal. Rata-rata jumlah hujan pada musim hujan
(Oktober-Maret untuk wilayah Jawa) adalah 80% dari jumlah hujan tahunan.
Perubahan pola musim terjadi dengan bertambah lamanya musim kering dan
meningkatnya rasio jumlah hujan pada musim hujan terhadap musim kering yang
meningkat di atas 80%. Kondisi ini semakin diperparah oleh penurunan akumulasi
total hujan tahunan secara persisten hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam lima
dekade terakhir sehingga potensi air tercurah berkurang.
155
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
1. Perubahan Tinggi Muka Air Laut dapat berakibat pada perubahan fisik lingkungan
berupa:
a. Genangan pada lahan rendah terutama rawa-rawa pantai, berupa bencana
banjir, yang dampaknya akan terjadi perubahan pada morfologi pantai dan
sungai; perubahan ekosistem alam; kerusakan permukiman terutama di
wilayah dataran rendah dan pantai, serta kerusakan infrastruktur
b. Terjadinya erosi pantai yang dampaknya akan terjadi perubahan pada morfologi
pantai; kerusakan permukiman dan infrastruktur
c. Terjadinya intrusi air laut ke sungai dan air tanah, yang dampaknya akan terjadi
perubahan bahkan kerusakan sumberdaya air daratan.
d. Perubahan endapan atau sedimentasi yang dampaknya akan terjadi perubahan
pada morfologi pantai maupun sungai, dan kerusakan infrastruktur
2. Perubahan Pola Angin dapat mengakibatkan perubahan fisik lingkungan berupa
a. Terjadi bencana gelombang besar dan banjir, yang dampaknya akan terjadi
perubahan pada morfologi pantai dan sungai; perubahan ekosistem alam;
kerusakan permukiman terutama di wilayah dataran rendah dan pantai, serta
kerusakan infrastruktur
b. Perubahan pasang surut dan gelombang laut, yang dampaknya akan terjadi
perubahan pada morfologi pantai; perubahan ekosistem alam; dan kerusakan
infrastruktur
3. Perubahan Presipitasi pada Pola Hidrologi, terutama perubahan pola, intensitas,
durasi, sebaran curah hujan, yang dapat mengakibatkan
a. Perubahan morfologi pantai;
b. Perubahan ekosistem alam;
c. Perubahan pola permukiman;
d. Kerusakan infrastruktur;
e. Kerugian ekonomi terutama pada sektor pertanian.
4. Perubahan atmosfer dan suhu air, serta peningkatan suhu permukaan bumi, yang
dapat mengakibatkan perubahan ekosistem alam
156
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
157
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
158
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
159
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
160
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
161
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya
dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang
terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi
tidak terprediksi dan lebih ekstrim. Namun para ilmuan belum begitu yakin, apakah
peningkatan gangguan ekologis disebabkan oleh kelembaban yang meningkat akan
menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Berdasarkan kajian logis bahwa uap
air yang merupakan gas rumah kaca, sehingga peningkatan keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak
akan membentuk awan lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari
kembali ke angkasa luar, dan akan menurunkan proses pemanasan. Kelembaban
tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap
derajat Fahrenheit pemanasan.
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Di perairan interaksi
antara gas-gas rumah kaca dengan air laut, dan interaksi dengan biota berhijau daun
(chlorophyll) yang melalui proses fotosintesis seperti fitoplankton, algae dan lamun
(sea grass). Kejadian ini menyebabkan air laut semakin asam, yang mengakibatkan
kehidupan biota-biota tersebut terganggu baik kerentanan, kehidupan maupun
pertumbuhannya. Dampak terhadap ekosistem mangrove kenaikan muka air laut
akan mempengaruhi keberadaannya dan pertumbuhannya.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui
air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne
diseases). Seperti meningkatnya kejadian demam berdarah karena munculnya ruang
(ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Perubahan iklim menyebabkan
beberapa spesies vektor penyakit (Aedes agipty), virus, bakteri, plasmodium menjadi
lebih resisten terhadap obat tertentu yang targetnya adalah organisme tersebut.
Selain itu bisa diprediksikan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan
terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstrim. Bencana
tersebut juga mengakinbatkan terjadi wabah penyakit tropis antara lain malaria dan
demam berdarah (DBD).
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari
efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam
162
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas
pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah
baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan
manusia akan menghalangi perpindahan hewan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi
ke utara atau selatan terhalang oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin
akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju
kutub mungkin juga akan musnah.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen, sehingga akan
muncul kelaparan dan mal-nutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan
permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran)
dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan
perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul
penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit
kulit, dan lain-lain. Hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)
yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti SPA/
sesak napas. Dampak kemarau panjang/kebakaran hutan ada kaitan dengan musim
hujan tidak menentu. Gradasi lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah
pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vectorborne disease.
Ditambah dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol , akan
berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi,
coccidiodomycosis, penyakit jantung, paru kronis, dan lain-lain.
Meningkatnya bencana hidrometeorologi tidak hanya disebabkan oleh peruba-
han iklim global, namun juga karena kesalahan pengelolaan lingkungan. Laporan Ka-
jian IPCC tahun 2007 membuktikan, iklim global terus berubah karena kegiatan ma-
nusia. Degradasi lingkungan akibat kegiatan manusia menyebabkan meningkatnya
bencana hidrometeorologi. Di Indonesia, terlihat dari laju kerusakan hutan yang lebih
tinggi dibandingkan kemampuan pemerintah merehabilitasi lahan. Selama 2003–
2006, laju kerusakan hutan 1,17 juta hektar per tahun. Sementara kemampuan pe-
merintah merehabilitasi hutan dan lahan setiap tahun hanya sekitar 450.000 hektar
dan tingkat keberhasilan penanaman pohon dalam rehabilitasi hutan dan lahan tidak
mencapai 100% sehingga degradasi hutan dan lahan menjadi lebih besar. Upaya
163
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
164
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
1. Mendapatkan orang dan pihak yang tepat untuk terlibat dalam proses partisipatif,
karena adaptasi perubahan iklim harus dilakukan secara terintegrasi dalam
rencana dan program pembangunan;
2. Mengidentifikasi kerentanan, meliputi resiko saat ini dan resiko potensial yang
mungkin akan ditimbulkan;
3. Menilai kapasitas adaptasi;
4. Mengidentifikasi pilihan-pilihan adaptasi;
5. Mengevaluasi pilihan;
6. Implementasi; serta
7. Monitor dan evaluasi adaptasi.
Pemerintah Indonesia menyusun Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi
Perubahan Iklim (RAN-API). RAN-API akan diprioritaskan pada 4 (empat) sektor
utama yaitu: (1) Sektor pertanian; (2) Sektor pesisir, kelautan, perikanan, dan pulau-
pulau kecil; (3) Sektor kesehatan; dan (4) Sektor pekerjaan umum yang meliputi
sumber daya air, cipta karya, jalan dan jembatan, serta penataan ruang. Upaya-upaya
adaptasi dalam dokumen RAN-API menjadi dasar pembuatan rencana antisipasi
terhadap dampak perubahan iklim, mulai dari penyebarluasan informasi, tindakan,
dan penanganan, hingga pelibatan masyarakat. Upaya adaptasi diarahkan pada
pengembangan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim
dan gangguan variablitas iklim (anomali iklim) yang terjadi dan antisipasi dampaknya
ke depan, serta menerapkan sistem pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan
sehingga dapat menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan
sistem sosial-ekonomi bumi.
165
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Namun demikian hasil riset yang dilakukan oleh IPCC (2001), telah menetapkan
bahwa dalam alur skenario dari masing-masing variabel memiliki pola tertentu dalam
pemanasan global akibat gas rumah kaca, sehingga penggunaan GCMs memiliki
konsekuensi dari setiap skenario. Ringkasan hasil penelitian yang telah dilaporkan
bahwa prediksi pemanasan global berdasarkan perubahan skenario tahun 1900 -
2100 seperti Gambar 3.5., yang diuraikan sebagai berikut
1. Skenario A1 adalah skenario pengembangan ekonomi, penambahan penduduk,
dan efisiensi teknologi.
a. Skenario A1Fl adalah skenario penggunaan energi fosil secara intensif (fosil
fuel intensive), dimana konsentrasi CO2 :380 ppm, th 2100 (960 ppm).
b. Skenario A1T adalah skenario penggunaan energi non-fosil (use non-fosil
energy).
c. Skenario A1B adalah skenario gabungan A1Fl dan A1T dimana Konsentrasi
CO2 mencapai 380 ppm tahun 2100 (710 ppm).
2. Skenario A2 adalah skenario pengembangan dunia secara heterogen dengan
kemandirian. Karakteristik regional dengan pola kesuburan berkembang
perlahan (pelan-pelan). Perkembangan ekonomi dan serapan teknologi lebih
terfragmentasi. Konsentrasi CO2 hingga 2100 antara (380-860) ppm. Proyeksi
temperatur permukaan bumi tahun 2030 – 2100 dengan skenario A2 (dalam
skenario pemanasan global), maka penambahan suhu permukaan bumi paling
tinggi 3,75 oC.
3. Skenario B1 adalah skenario seperti A1. Puncak populasi penduduk seperti
abat pertengahan dengan evolusi servis teknnologi informasi yang kuat, dan
pengurangan intensitas materi dengan teknologi bersih. Skenario B1 merupakan
solusi sosial ekonomi global untuk lingkungan berkelanjutan. Konsentrasi CO2
pada tahun 2100 antara (380-540) ppm.
4. Skenario B2 adalah skenario ditemukannya solusi sosial ekonomi lokal, lingkungan
berkelanjutan, dengan penambahan penduduk lebih lambat dari A2, yaitu
dengan tingkat pengembangan ekonomi dan sedikit perubahan teknologi lebih
lamban dibandingkan dengan A1 dan B1. Skenario ini konsentrasi CO2 antara
(380-615) ppm.
166
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Gambar 3.5. Prediksi pemanasan global berdasarkan perubahan scenario (IPCC, 2007a)
Hasil kajian IPCC (2001 dan 2007) yang patut dijadikan acuan dan pedoman
berupa dampak pemanasan global dan perubahan iklim dapat berderajat primer,
sekunder, dan tersier yang berkaitan dengan hubungan sebab-akibat. Beberapa
dampak negatif telah, sedang, dan akan terus terjadi mencakup peningkatan suhu
permukaan bumi, penyusutan lapisan es kutub, kenaikan muka air laut, dampak
terhadap ekosistem dan kualitas lingkungan.
Prediksi iklim dapat dilakukan dengan menggunakan data penginderaan jauh,
yang dimulai dengan prediksi perubahan pola hujan sudah terjadi sejak beberapa
dekade di beberapa wilayah, seperti pergeseran awal musim hujan dan perubahan
pola curah hujan. Selain itu terjadi kecenderungan perubahan intensitas curah hujan
bulanan dengan keragaman dan deviasi yang semakin tinggi serta peningkatan
frekuensi kejadian iklim ekstrim. Hasil pengolahan citra inframerah MTSAT, yang
dapat menunjukkan peluang curah hujan pada bulan Desember 2007 seperti pada
Gambar 3.6. yang dapat digunakan untuk prediksi perubahan iklim.
Gambar 3.6. Prediksi peluang curah hujan bulan Desember 2007 (Haryani dkk, 2007)
167
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 3.7. Prediksi iklim berdasarkan suhu permukaan air laut (Dok. LAPAN, 2005)
168
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
menimbulkan korban jiwa, harta benda fasilitas umum dan fasilitas kristis seperti
rumah, pertokoan, jalan, jembatan, pasar dan sebagainya.
Mitigasi bencana banjir yang berisi karakteristik banjir, deteksi dan pemantauan
kerusakan akibat banjir dari citra penginderaan jauh, prediksi daerah rawan bencana
banjir dari penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, pengelolaan bencana
banjir menggunakan sistem informasi geografis. Karakteristik bencana tsunami,
deteksi dan pemantauan kerusakan akibat tsunami, prediksi daerah rawan bencana
tsunami dari penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, dan pengelolaan
bencana tsunami menggunakan sistem informasi geografis. Tahapan pengelolaan
bencana banjir dilakukan sebagai berikut.
1. Pencegahan terjadinya bencana banjir (Prevention)
2. Mitigasi (mitigation) mengurangi kemungkinan bila akan atau telah terjadi
bencana banjir.
3. Persiapan segera sebelum terjadi banjir (preflood) yaitu fase persiapan
(prepredicness), prediksi (prediction), dan peringatan (warning) akan terjadinya
bencana banjir.
4. Penanganan atau tanggapan (response) bencana banjir adalah penanganan dan
tanggapan segera selama bencana banjir, di mana saja kegiatan dapat dilakukan. Di sini
memerlukan citra satelit dengan resolusi temporal tinggi, biasanya dilakukan dengan
menggunakan data satelit cuaca (NOMCASTS) yang dapat memprediksi 0-3 jam.
5. Pemulihan (recovery) kegiatan setelah banjir terjadi, yaitu penanganan, penafsiran
serta prediksi kerusakan akibat bencana (damage assesment).
Mitigasi (mitigation) bencana banjir adalah proses pencegahan atau pengurangan
akan kemungkinan terjadinya bencana banjir, dan pengurangan kerugian akibat
terjadinya bencana banjir. Mitigasi bencana banjir merupakan salah satu rangkaian
dalam pengelolaan bencana banjir. Pengelolaan bencana banjir memerlukan suatu
sistem informasi, di mana di dalamnya terdapat basis data bencana banjir dalam
sistem informasi geografis (SIG). Daerah bencana banjir sering sulit untuk dijangkau,
maka pemantauan serta analisis bencana banjir digunakan data/ citra penginderaan
jauh (remote sensing) satelit, yang dapat merekam daerah dengan cakupan luas.
Data penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu teknologi yang
dapat digunakan untuk penelitian daerah yang berpotensi terkena bencana banjir,
169
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
yaitu dengan pemetaan atau prediksi tingkat kerawanan banjir, pemetaan resiko bencana
banjir, dan pengelolaan banjir suatu wilayah. Peta kerawanan banjir membedakan
lokasi atau wilayah yang paling rawan banjir hingga lokasi yang paling aman. Resiko
banjir merupakan hasil analisis dari tingkat kerawanan banjir dan potensi bahaya.
Pengelolaan bencana banjir mencakup seluruh siklus bencana banjir mulai dari
pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation), persiapan (prepredicness), prediksi
(prediction), peringatan (warning), tanggapan (response) akibat bencana banjir, serta
pemulihan (recovery) kerusakan akibat bencana (damage assesment) banjir.
Penelitian untuk mitigasi bencana banjir dapat menghasilkan peta daerah
potensial rawan banjir, yang dapat dibedakan dalam potensial sangat rawan banjir,
rawan banjir, cukup rawan banjir, dan rawan banjir marginal. Pembedaan tersebut
tergantung pada parameter kondisi geomorfologi, penutup/ penggunaan lahan,
daerah genangan, perluasan daerah genangan, kandungan dan kelembaban tanah,
derajat pengatusan tanah, bentuk lahan atau model elevasi digital (DEM = Digital
Elevation Model), pola aliran sungai, dan curah hujan. Kontribusi data penginderaan
jauh untuk mendeteksi parameter-parameter tersebut adalah :
1. Curah hujan dapat dianalisis dengan mengukur liputan awan dari citra satelit
lingkungan dan cuaca, yaitu satelit GMS (Geostationery Meteorological Satellite)
dan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) untuk pe-
mantauan cuaca dan iklim.
2. Penutup/ penggunaan lahan, kondisi bentuk lahan atau model elevasi digital,
geomorfologi, kelembaban tanah dapat dianalisis dari citra resolusi tinggi seper-
ti Landsat (Land Satellite), SPOT (Systeme Probatoire d’Observation de la Terre),
JERS (Japan Earst Resources Satellite), ERS (ESA Remote Sensing Satellite), dan
RADARSAT (Radar Satellite).
3. Informasi genangan dapat diperoleh dari citra yang multi temporal (multi waktu)
sehingga dapat memperoleh gambaran saat terjadinya bencana banjir, perkem-
bangan luas genangan, dan saat tidak banjir.
Pengelolaan bencana banjir di Indonesia dikelola dalam suatu koordinasi antar
lembaga, baik untuk kegiatan mitigasi, prediksi, pertolongan, dan pemulihan daerah
akibat bencana banjir. Informasi bencana banjir dapat disosialisasikan atau desiminasi
ke masyarakat melalui jaringan internet, dapat diakses oleh pengguna secara mudah.
170
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
171
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
kerugian akibat banjir akan meningkat pada daerah yang padat penduduknya.
Penutup/penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap aliran air atau limpasan
(run off) permukaan.
Penebangan hutan juga menyebabkan peningkatan aliran air (run off) yang
dapat menimbulkan banjir bandang seperti yang terjadi di Kecamatan Bahorok dan
Langkat (Sumatera Utara) pada tahun 2003, Kecamatan Ayah di Kabupaten Kebumen
(Jawa Tengah) dan Aceh Tamiang pada akhir tahun 2006 yang juga memakan banyak
korban jiwa dan kerugian harta. Selama tahun 2006 telah terjadi beberapa bencana
besar seperti tanah longsor dan banjir bandang di Jawa Timur di daerah Jember yang
menyebabkan 92 orang meninggal dan 8.861 orang mengungsi serta daerah Trenggalek
yang menyebabkan 18 orang meninggal. Di Manado (Provinsi Sulawesi Utara)
juga terjadi banjir disertai tanah longsor yang menyebabkan 27 orang meningal dengan
jumlah orang yang terpaksa mengungsi mencapai 30.000 orang. Banjir disertai
tanah longsor Sulawesi Selatan bulan Juni 2006 dengan korban lebih dari 200 orang
meninggal dan puluhan orang dinyatakan hilang (data BAKORNAS PB, 23 Juni 2006).
172
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
4. Banjir lokal terjadi karena curah hujan tinggi di suatu wilayah genangan yang terjadi
disebabkan aliran permukaan tidak cepat diserap atau disalurkan ke pembuangan,
saluran pembungan kurang dapat menampung aliran air hujan yang ada. Banjir
lokal dapat terjadi di wilayah perkotaan karena kekurangan lahan kosong yang
dapat berfungsi sebagai daerah penyerapan air hujan. Lahan kosong tersebut
umumnya sudah berubah menjadi rumah, gedung, tempat parkir dan sebagainya.
Daerah rawan banjir di Indonesia sebagian besar disebabkan karena luapan
air sungai. Di seluruh Indonesia, tercatat 6.000 sungai induk dan 5.590 di antaranya
berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup oleh sungai-
sungai induk mencapai 1,4 juta hektar (program for hidrometeorological risk
disaster mitigation in secondary cities in Asia). Banjir merupakan bencana yang selalu
terjadi setiap tahun di Indonesia terutama pada musim hujan. Berdasarkan kondisi
morfologinya, bencana banjir disebabkan oleh relief bentang alam Indonesia yang
sangat bervariasi dan banyaknya sungai yang mengalir di antaranya.
Banjir pada umumnya terjadi di wilayah Indonesia bagian Barat yang
menerima curah hujan lebih banyak dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian
Timur. Populasi penduduk Indonesia yang semakin padat yang dengan sendirinya
membutuhkan ruang yang memadai untuk kegiatan penunjang hidup yang semakin
meningkat secara tidak langsung merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
banjir. Penebangan hutan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan
aliran air permukaan yang tinggi dan tidak terkendali sehingga terjadi kerusakan
lingkungan di daerah satuan wilayah sungai.
173
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
DKI Jakarta merupakan wilayah yang relatif datar dan dilalui 13 sungai, yaitu
(1) Sungai Kamal, (2) Sungai Cideng, (3) Sungai Tanjungan, (4) Sungai Cipinang, (5)
Sungai Angke , (6) Sungai Sunter, (7) Sungai Pesanggrahan , (8) Sungai Buaran, (9)
Sungai Grogol, (10) Sungai Jatikramat, (11) Sungai Krukut, (12) Sungai Cakung, dan
(13) Sungai Ciliwung, sehingga wilayah DKI Jakarta merupakan wilayah yang rentan
terhadap bencana banjir.
Menurut Verstapen (1985), Dataran Rendah Jakarta dan sekitarnya terjadi akibat
proses pengendapan bahan-bahan vulkanis yang berasal dari gunungapi Salak,
Pangrango, dan Gede (Satuan gungungapi muda). Satuan gunungapi tua berupa
bukit-bukit penghalang,timur-barat. Satuan kipas aluvium gunungapi muda berupa
endapan melebar, selatan-barat laut-timur laut. Sedangkan satuan daratan pantai
utara berupa kipas puing, meluas ke utara. Hampir 50 persen permukaan wilayah
DKI Jakarta merupakan wilayah endapan, yang datar keseluruhannya luasan 30.850
hektar. Wilayah endapan ini terbentang mulai dari Kembangan, Kedoya di bagian
barat DKI Jakarta sampai ke Pulogadung, Penggilingan dibagian timurnya, terdapat
di batang utama Kali Krukut, Kali Pesanggrahan dan Kali Buaran. Litologi batuan
sedimen di Jakarta dan sekitarnya dapat dibedakan dalam 4 (empat) jenis dan lokasi
penyebarannya, yaitu
1. Lanau, pasir, kerikil, kerakal (alluvium fans of Bogor)
2. Tufa berbatu apung,batupasir, konglomerat (selatan Tangerang)
3. Komplek perselang-selingan sedimen napal, serpih, lempung (tenggara Citeureup)
4. Batugamping (timur Citeureup)
174
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Gambar 3.8. Pemantauan Banjir DKI Jakarta Tahun 1980. 1996, 2002 (Purwadhi, 2003)
175
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
sangat komplek, yaitu bentuk lahan, ketinggian, relief, dan tingkat erosi, kondisi tanah,
vegetasi penutup lahan, penggunaan lahan, dan iklim khususnya curah hujan. Model
hidrologi merupakan peran utama dalam penafsiran dan peramalan bahaya banjir. Model
prediksi dari potensi tingkat luasan banjir dapat membantu pengelolaan keadaan gawat
darurat, dalam pengembangan perencanaan yang baik. Model hidrologi memerlukan
beberapa jenis data, yaitu data penutup lahan, jenis tanah, kelembaban tanah, basis
aliran sungai/ arus/ drainase, curah hujan/ intensitas, data bentuk lahan. Oleh karena itu
prediksinya memerlukan analisis permasalahan berdasarkan variabel penyebabnya.
Penelitian untuk masukan pengelolaan banjir mencakup analisis tentang kondisi
geohidrologi, yaitu agihan (distribusi) tubuh air (waduk, dam, situ, danau, dan daerah
resapan), pola aliran sungai, kondisi saluran air. Informasi tingkatan aliran sungai
sangat diperlukan untuk penilaian dan prediksi banjir. Banyaknya variabel penyebab
bencana banjir, maka setiap faktor penyebab harus terintegrasi satu sama lain untuk
maksud evaluasi, penilaian, analisis, sehingga diperoleh prediksi daerah potensi banjir.
Metodologi prediksi lokasi rawan banjir dari citra penginderaan jauh dan SIG dengan
analisis overlay indeks terbobot setiap varibel penyebab. Diagram alir prediksi lokasi
rawan banjir pada Gambar 3.9.
CDROM
Landsat
TM
Peta topografi
peta lereng Data Sosial
Koreksi
Peta fisiografi Radiometrik dan Titik kontrol
tanah (GPS)
Atmosferik
Croping
Survei
Koreksi Geometrik lapangan
dan Enhancement
Konversi
Vektor ke Raster
Klasifikasi Klasifikasi
Analisis
Geomorfologi Penutup Lahan
Genangan
(Supervised) (Supervised)
M
O Basis Data Spasial Dan Non Spasial
D
E Kriteria Banjir
L Overlay / integrasi
S
I
Analisis Daerah Rawan Banjir
G
176
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
177
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 3.1.
Kriteria Pengharkatan Daerah Potensi Banjir
Nilai
No Variabel Kriteria
harkat
1. Bentuk - datar, lereng 0-3 % 5
lahan - landai, berombak-bergel, lereng 3-15 % 4
- agak curam, berbukit, lereng 15-30 % 3
- curam-sangat curam, lereng 30-60 % 2
- terjal-sangat terjal, lereng > 60 % 1
2. Ketinggian, - tinggi 0-50 m, dataran, erosi angin, erosi air melebar 5
relief dan dengan parit dangkal 4
tingkat erosi - tinggi 50-100 m, cekungan, erosi lebar 3
- tinggi 50-100 m dataran, erosi dalam 2
- tinggi 100-150 m, bergelombang, erosi air agak lebar 1
- tinggi >150 m berbukit, peg, erosi hebat
3. Tanah - alluvial muda, profil sedang, d jelek 5
- alluvial tua, profil berat, drainase jelek 4
- batuan endapan, profil kasar (pasir), 3
bergelombang, drainase agak baik 2
- batuan terkonsolidasi, profil kasar, berbukit drainase 1
agak baik
- batuan induk beku profil keras, pegunungan
drainase baik
4. Vegetasi - tanpa vegetasi 5
- rumput, semak, vegetasi sawah 4
- kebun campuran, tanaman pekarangan 3
- perkebunan (pohon-pohonan) 2
- Hutan lebat 1
5. Penggunaan - sungai, danau, waduk, rawa (cekungan) 5
lahan - lahan terbuka 4
- permukiman, sawah, tegalan 3
- kebun, perkebunan, bergel/ perbukitan 2
- hutan di pegunungan 1
6. Iklim - Curah Hujan > 2500 mm tahun 5
- Curah Hujan (2000 - 2500) mm tahun 4
- Curah Hujan (1500 - 2000) mm tahun 3
- Curah Hujan (1000 - 1500) mm tahun 2
- Curah Hujan < 1000 mm tahun 1
178
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Kriteria faktor terhadap potensi bahaya bencana alam suatu tempat, terutama
oleh faktor pembatas kondisi geografis. Analisis potensi banjir berdasarkan indeks
terbobot, menggunakan jumlah hasil perkalian antara nilai harkat (scorring)
kategori setiap variabel. Masing-masing unit pengukuran yang berbeda pada faktor
pendukung, yang digunakan sebagai kriteria potensi bahaya banjir, maka perlu dibuat
suatu skala standar untuk kelas kategori faktor, dengan memberi nilai kelas (coding),
diberikan nilai 0 hingga 100. Pemberian nilai recode ini akan mempresentasikan
kontribusi atribut dan kelas faktor terhadap tingkat potensi bahaya banjir. Hasil
analisis penentuan nilai bobot berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap bahaya
banjir ditampilkan dalam bentuk matrik.
Contoh hasil penelitian Purwadhi dkk (2010) dalam rangka kerjasama Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dengan Kabupaten Bulungan,
Kalimantan Timur (sekarang Kalimantan Utara) dengan hasil prediksi lokasi/kawasan
berpotensi banjir dipetakan pada Gambar 3.10. Kawasan/lokasi potensi bencana
adalah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan yang mempunyai tingkat
kerawanan tinggi terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam (banjir limpasan
dan longsor). Kawasan potensi rawan bencana banjir Kabupaten Bulungan Kawasan/
lokasi potensi rawan bencana banjir Kabupaten Bulungan merupakan kawasan yang
secara rutin setiap musim hujan mengalami genangan lebih dari enam jam pada saat
turun hujan dalam keadaan musim hujan normal. Banjir genangan di Kabupaten
Bulungan estimasinya menggunakan lima parameter mencakup kelerengan, bentuk
lahan, vegetasi penutup atau penggunaan lahan, kelolosan tanah, tekstur tanah,
dan kedalaman tanah. Kawasan yang sangat berpotensi banjir genangan di wilayah
pantai dan bantaran sungai, yaitu di Kecamatan Bunyu (pulau-pulau), Tanjung Palas
Tengah, Tanjung Palas, Tanjung Selor, Sekatak, bantaran Sungai Kayan
1. Kawasan/lokasi berpotensi banjir limpasan dan potensi rawan bencana erosi
tanah di Kabupaten Bulungan diestimasi menggunakan empat parameter, yaitu
kelerengan/ kemiringan lereng, tutupan vegetasi/ tutupan lahan, kelolosan tanah,
dan timbunan air permukaan (depression storage) berdasarkan pola alur dan
kerapatan alur sungai. Kawasan potensi banjir limpasan dan erosi tanah terutama
bila terjadi curah hujan tinggi. Terutama di sekitar sungai lereng terjal dan tanah
gundul dan mudah larut, maka saat hujan yang debitnya melebihi rata-rata akan
terjadi banjir limpasan.
179
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Perencanaan lokasi yang berpotensi erosi tanah dan banjir limpasan, perlu
diperhatikan kondisi kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, dan penerapan
pengelolaan lahan atau tindakan konservasinya. Rancangan jangka panjang yang
perlu dilakukan pada erosi lembar (sheet erosion) dan erosi alur (reel erosion) terutama
pada kondisi lahan dengan memperhitungkan laju sedimentasi, dengan tanpa
memperhitungkan hasil sedimen berasal dari mana (mencakup erosi parit,erosi tebing
sungai, dan erosi dasar sungai).
180
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Gambar 3.11. Diagram alir model simulasi banjir (Haryani, dkk., 2012)
181
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
182
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Dimana :
d : depth (m)
S : slope (%)
p & q : intercell fluxes pada arah x dan y
183
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Dimana :
Q : debit (m3/s)
n : coefisient manning (at the n time)
A : area (m2)
R : hydraulic radius (m)
S : slope (5)
Hasil simulasi model pada setiap DAS, yaitu dari 3 (tiga) DAS dan satu Sub-DAS,
yaitu DAS Klampis, DAS Jelgung, DAS Kamoning, Sub-DAS Kamoning yang terletak di
Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur (Gambar 3.12), sebagai berikut.
1. Nilai limpasan genangan dari DAS Klampis (Gambar 3.10 A) yang cukup besar
tidak menjadi penyumbang genangan terhadap kota Sampang, disebabkan
keberadaan waduk Klampis yang cukup besar untuk menampung air dalam
jumlah yang sangat besar. Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan
diperoleh informasi bahwa tidak pernah terjadi banjir limpasan dari DAS
Klampis. Hasil model simulasi banjir DAS Klampis sesuai/tepat dengan kondisi
sebenarnya di lapangan. Namun terdapat juga beberapa daerah yang mengalami
banjir di daerah DAS Klampis, disebabkan oleh sistem drainase yang kurang
baik. Disamping itu bentuk sungai yang banyak meandernya memungkinkan
terjadinya banjir. Berdasarkan hasil survei dibuktikan daerah yang paling sering
terdapat genangan adalah di daerah lekukan (meander) sungai. Bentuk sungai
di daerah aliran sungai ini sangat berkelok (meandering), jika terjadi hujan deras
dan debit sungai sangat tinggi, sehingga akumulasi air terjadi di daerah lekukan
sungai. Akumulasi air tersebut sangat mudah meluap atau terjadi banjir di daerah
bantaran sungai yang merupakan daerah permukiman masyarakat. Debit puncak
banjir pada DAS Klampis dicapai pada menit ke 180 atau selama 3 jam dengan
puncak aliran sebesar 0,0030 m³/detik, dan volume mencapai 5,40 m³.
2. Hasil simulasi banjir DAS Jelgung (Gambar 3.10 B) merupakan penyumbang
limpasan genangan terutama dari pola dan arah aliran yang memasuki sungai
di DAS Kamoning. Jumlah limpasan permukaan cukup besar hingga mencapai
163367,9 m3. Jenis tanah di DAS Jelgung sebagian besar terdiri dari endapan dan
lempung, sehingga menyebabkan laju infiltrasi yang tidak terlalu tinggi sehingga
184
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
menyisakan banyak genangan air yang berada dipermukaan. Debit puncak banjir
DAS Jelgung dicapai pada menit ke 240 atau selama 4 jam dengan puncak aliran
mencapai 6,71 m³/menit dan volume mencapai 364788,90 m³. Kondisi banjir
menurun sampai pada menit ke 360 dengan puncak aliran mencapai 3,86 m³/
menit, dan banjir akan meningkat kembali sampai pada menit ke 680 dengan
puncak aliran mencapai 6,35 m³/menit.
3. Hasil simulasi DAS Kamoning (Gambar 3.10 C) dan Sub DAS Kamoning
(Gambar 3.10 D) daerah genangan terjadi di beberapa wilayah termasuk di DAS
Kamoning, yang sebagian besar merupakan daerah permukiman. Wilayah DAS
Kamoning terjadi sedimentasi tinggi dan debit sungai sebagian besar merupakan
limpasan dari daerah hulu (DAS Jelgung) sehingga akan mempengaruhi tingginya
genangan di daerah ini. Jenis tanah yang sebagian besar adalah lempung dan
endapan menyebabkan infiltrasi di daerah ini tidak terlalu besar. Penggunaan
lahan menjadi faktor pengaruh cukup besar di daerah ini. Di samping itu kurangnya
daerah resapan terutama dikawasan permukiman menyebabkan daerah ini
sangat rentan terhadap banjir. Banjir terjadi juga disebabkan sedimentasi yang
sangat tinggi. Oleh karena itu di dalam penataan ruang kota dan daerah resapan,
serta perbaikan sistem drainase untuk mengurangi resiko banjir. Debit puncak
banjir DAS Kamoning dicapai pada menit ke 240 atau selama 4 jam dengan
puncak aliran mencapai 0,006 m³/menit. Sedangkan pada Sub DAS Kamoning
debit puncak dicapai pada menit ke 180 sampai pada menit 240 dengan puncak
aliran mencapai 0,0040 m³/menit.
185
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 3.12. Hasil simulasi banjir Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur
(Dok LAPAN dan Pemda Sampang; Haryani dkk, 2012)
186
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
187
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 3.2.
Parameter Peta Bahaya Bencana Banjir
Skor
No Parameter Bobot
0,333 0,666 1
Dasar
Bekas Kipas,
Lembah,Dataran
Bukit-Bukit,
Aluv, Dataran
Cuesta-cuest,
Banjir,Interfluve,
1 Gemorfologi Daratan Dataran Berbatu, 25%
Jalur Meander,
Gunung-Gunung,
Kepulauan Ka,
Kipas dan La,
Lembah, Lembah
Kipas-Kipas,
Aluvial,
Hidrologi
2 < 10 % 1-25 % >25 % 25%
wilayah (DAS)
Landuse
3 (tutupan > 80 % 40-80 % < 40 % 10%
vegetasi)
Non Organik/
4 Jenis Tanah Semi Organik Organik/Gambut 10%
Non Gambut
Intensitas 2000 - 3000
5 < 2000mm > 3000 mm 30%
Hujan Tahunan mm
188
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Tabel 3.3.
Hasil Kajian Tingkat Kapasitas Kabupaten Pidie Berdasarkan HFA
Total Nilai Indeks
No Prioritas
Prioritas Prioritas
1 Memastikan bahwa pengurangan resiko bencana 51,25 2
menjadi sebuah prioritas nasional dan lokal
dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk
pelaksanaannya
189
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 3.13. Peta Bencana Banjir (Bahaya, Kerentanan, Kapasitas, Resiko) Kabupaten Pidie
(Purwadhi dkk, 2013; Dok. BNPB, 2013)
190
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
alam termasuk banjir, sudah dikenal sejak satelit penginderaan jauh dioperasionalkan
pada tahun tujuh puluhan. Pengembangan metode dan teknik untuk perolehan
informasi telah dilakukan sejak beroperasinya satelit GMS untuk pemantauan cuaca
dan iklim, serta satelit NOAA untuk pemantauan banjir, kekeringan, dan kebakaran
hutan. Kedua satelit tersebut sangat efektif untuk kegiatan pemantauan (monitoring)
dan perkiraan (prediksi) dan peringatan (warning) dini bencana banjir dan kekeringan.
Kelebihan kedua satelit tersebut mempunyai resolusi temporal tinggi (interval waktu
perekaman data tinggi) dan cakupannya sangat luas, dibandingkan satelit sumberdaya
alam Landsat, SPOT, JERS, ERS, dan RADARSAT (milik Canada). Keterbatasan NOAA
pada resolusi spasial kasar (1,1 km). Namun demikian masing-masing sensor satelit
mempunyai kelebihan dan keterbatasannya sendiri-sendiri. Analisis menggunakan
citra penginderaan jauh multi level dan multi sensor lebih berdayaguna dan berhasilguna,
karena prediksi secara global dapat dilakukan dengan citra resolusi kasar tetapi
cakupan luas, sedangkan analisis rinci dapat dilakukan dengan citra resolusi halus
walaupun cakupannya lebih sempit. Landsat TM dan ETM+ yang resolusi spasialnya
citra multispektral 30 m dan citra Landsat pankromatik 15 m, dapat juga menggunakan
SPOT multispektral dengan resolusi spasial 20 m atau SPOT Pankromatik resolusi 10
m (SPOT 3 dan 4) dan 2,5 m (SPOT 5).
Pengelolaan bencana banjir menggunakan data penginderaan jauh (remote
sensing) satelit dapat dilakukan dengan mengikuti siklus berikut :
1. Pencegahan terjadinya bencana banjir (Prevention)
2. Mitigasi mengurangi kemungkinan bilamana akan dan atau telah terjadi bencana
banjir.
3. Persiapan segera sebelum terjadi banjir (preflood) yaitu fase persiapan (prepre-
dicness), prediksi (prediction), dan peringatan (warning) akan terjadinya bencana
banjir.
4. Penanganan atau tanggapan/ (response) akibat bencana banjir adalah penanga-
nan dan tanggapan segera selama bencana banjir, di mana saja kegiatan dapat
dilakukan. Di sini memerlukan citra satelit dengan resolusi temporal tinggi, bi-
asanya dilakukan dengan menggunakan data satelit cuaca (NOMCASTS) yang
dapat memprediksi 0-3 jam.
5. Pemulihan (recovery) kegiatan setelah banjir terjadi, yaitu penanganan, penafsir-
an serta prediksi kerusakan akibat bencana (damage assesment).
191
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
192
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
prediksi cuaca secara numerik sangat penting untuk kategori pencegahan. Siklus
bencana atau berulangnya kembali suatu bencana dapat diinformasikan baik dalam
bentuk peta-peta penafsiran resiko bencana, atau informasi untuk membuat suatu
rekomendasi dalam pembangunan atau perencanaan penataan daerah selanjutnya.
Mitigasi ulang merupakan pengukuran terjadinya bencana banjir untuk diproses
menjadi informasi daerah resiko bencana. Hal ini dapat digunakan dalam proses
mengurangi resiko bahaya yang akan terjadi. Mitigasi ulang juga bertujuan untuk
mengurangi kerugian dari ancaman terjadinya banjir yang akan terjadi. Metode mitigasi
bencana banjir dengan menggunakan data penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis (SIG). Metode mitigasi bencana banjir dilakukan dengan
1. Model model hidrologi merupakan peran utama dalam penaksiran dan meramal-
kan resiko bahaya bencana banjir. Model ini memerlukan beberapa jenis informa-
si lingkungan, seperti penggunaan lahan, jenis tanah, kelembaban statik, kondisi
drainase baru, basis aliran sungai, dan intensitas serta besarnya curah hujan.
2. Model prediksi dan potensi tingkat luasan banjir dapat membantu pengelolaan
darurat bencana, dan perencanaan pemulihannya
3. Data penginderaan jauh yang biasa digunakan adalah data ERS, SPOT, DEM-SAR,
NOAA-AVHRR, dan satelit cuaca lainnya seperti GEOS dan GMS.
4. Mitigasi dapat dilakukan secara ulang untuk pengurangan resiko bahaya dan
bencana susulan.
193
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
194
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
banjir secara rinci (detail). Laporan tersebut diperlukan oleh para penanggungjawab
untuk mengidentifikasi daerah yang terkena bencana banjir. Hal itu dilakukan untuk
mengurangi resiko bahaya banjir dan penanggulangan situasi gawat darurat seperti
penanggulangan pengalihan air banjir, evakuasi dan penyelamatan masyarakat yang
terkena, atau terhentinya kegiatan infrastruktur.
Kegiatan untuk penanggapan (response) banjir, maka data penginderaan jauh
dapat berfungsi sebagai alat mendapatkan informasi mengenai bentuk penafsiran
bencana (damage assesment). Kategori pengelolaan yang paling sulit adalah
operasional untuk penyelamatan dan pertolongan pada penduduk yang terkena
musibah, termasuk harta bendanya. Informasi yang digunakan dalam tahap ini adalah
analisis informasi data yang saat itu juga (real time) untuk pemetaan letak dan luas
area, kondisi/ kerusakan bangunan, dan polusi yang terjadi saat itu. Pemantauan real
time dari citra satelit, pemotretan dari pesawat udara, maupun survei langsung ke
lapangan terutama untuk prediksi curah hujan 0-3 jam berikutnya, bencana-bencana
susulan atau biasa disebut bencana sekunder. Para pengguna potensial informasi
penginderaan jauh untuk kategori persiapan, yaitu perlakukan proteksi terhadap
penduduk sipil, penanggulangan yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan
hidro meteorologi, pengelolaan air, media komunikasi, penyampaian informasi, dan
persiapan pada perusahaan asuransi.
195
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
196
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Kekeringan sulit untuk dapat didefinisikan secara tepat, secara umum kekeringan
merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan.
Kekeringan merupakan analisis sifat hujan yang dapat menggambarkan kondisi
kekeringan secara fisik di suatu lokasi, sehingga analisis indeks kekeringan dapat
menunjukkan tingkat atau derajat kekeringan. Kekeringan berkaitan dengan kondisi
rata-rata jangka panjang kesetimbangan antara presipitasi dan evapotranspirasi
(yaitu evaporasi + transpirasi) di daerah tertentu pada kondisi yang sering dianggap
“normal”.
Kekeringan juga berkaitan dengan waktu (adanya penundaan pada awal
musim penghujan, sehingga periode musim kemarau lebih panjang) dan tingkat
keefektifitasan hujan (yaitu intensitas curah hujan, jumlah kejadian hujan). Faktor
iklim lainnya seperti temperatur yang tinggi, angin kencang dan kelembapan relatif
yang rendah sering dikaitkan sebagai faktor-faktor yang memperparah kekeringan di
banyak daerah di dunia.
Definisi lain kekeringan merupakan suatu fenomena yang normal, biasanya
terjadi secara berulang sesuai dengan iklimnya. Kekeringan hampir terjadi dimanapun,
walaupun kejadiannya bervariasi dari wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.
Mendefinisikan kekeringan merupakan hal yang sulit karena sangat bergantung
pada perbedaan wilayah, kebutuhan, sudut pandang disiplin ilmu. Secara garis
besar, kekeringan terjadi akibat kurangnya curah hujan yang turun selama beberapa
kurun waktu tertentu dan mengakibatkan kekurangan air untuk beberapa kegiatan,
kelompok, di beberapa wilayah (The National Drought Mitigation Center, 2014).
197
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
< 200 mm/tiga bulan (Borger, 2001). Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis
merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.Intensitas kekeringan
meteorologis diklasifikasikan (1) Kering apabila curah hujan antara 70%-80%,
dari kondisi normal; (2) Sangat kering apabila curah hujan antara 50%-70% dari
kondisi normal; (3) Amat sangat kering: apabila curah hujan di bawah 50% dari
kondisi normal.
2. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan
air tanah pada suaru daerah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka
air sungai, waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya
curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air
tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya
kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai
berikut : (1) Kering apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran dibawah
periode 5 tahunan; (2) Sangat Kering apabila debit air sungai mencapai periode
ulang aliran jauh dibawah periode 25 tahunan; (3) Amat Sangat Kering : apabila
debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh dibawah periode 50
tahunan (BMKG,2014). Kekeringan hidrologis berkaitan dengan hidrotopografi,
dimana perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan, musim kering dan
topografi lahan.
3. Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam
tanah (kekurangan lengas tanah), sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan
pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis. Intensitas kekeringan
pertanian dikelompokkan (1) Kering apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung
daun (terkena ringan s.d sedang); (2) Sangat Kering apabila 1/4-2/3 daun kering
dimulai pada bagian ujung daun (terkena berat); (3) Amat Sangat Kering apabila
seluruh daun kering (puso)
4. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan dampak terhadap kehidupan sosial
ekonomi, yaitu kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan
normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian Kekeringan yang
memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti: rusaknya tanaman,
peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya
kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik
198
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
dan perkotaan. Kekeringan tidak taat aturan atau yang disebabkan manusia
terjadi karena: Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat
ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air. Kerusakan
kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia. Intensitas
kekeringan sosial ekonomi diklasifikasikan berdasarkan ketersediaan air minum
atau air bersih : (1) Kering langka terbatas, apabila ketersediaan air (dalam liter/
orang/hari) > 30 dan < 60, air mencukupi untuk minum, memasak, mencuci
alat masak/makan, tetapi untuk mandi terbatas, sedangkan jarak dari sumber air
0.1 – 0.5 km; (2) Kering langka, apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari)
> 10 dan < 30, air hanya mencukupi untuk minum, memasak, dan mencuci alat
masak/makan, sedangkan jarak dari sumber air 0.5 – 3.0 km. Kering kritis apabila
ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) < 10, air hanya mencukupi untuk minum
dan memasak, sedangkan jarak dari sumber air >3.0 km
Berdasarkan hal tersebut, maka dampak substansial terhadap ekosistem dan
pertanian dari daerah yang terkena bencana kekeringan. Kekeringan bisa berlangsung
selama beberapa tahun, atau walaupun pendek, bencana kekeringan yang hebat
bisa menyebabkan kerusakan yang signifikan dan merugikan ekonomi lokal. Kekeringan
sangat berhubungan dengan pemanasan global, yang merupakan masalah bagi
kehidupan manusia saat ini. Akumulasi jangka panjang dari polusi atmosfer akibat
aktivitas manusia hingga terjadinya gas rumah kaca di atmosfer dengan laju sangat
tinggi, berdampak pada perubahan iklim, sehingga mempengaruhi pola presipitasi,
evaporasi, limpasan air (water run-off), kelembaban tanah, yang merupakan bencana
kekeringan. Berdasarkan kejadiannya kekeringan juga dapat digolongkan dalam 4
(empat) macam, yaitu :
1. Kekeringan Permanen adalah kekeringan sepanjang waktu seperti terjadi di gurun
pasir. Kehidupan menyesuaikan dengan kondisi untuk dapat bertahan.
2. Kekeringan Musiman adalah kekeringan terjadi di daerah yang mempunyai
perbedaan tegas antara musim hujan dan kemarau, sehingga kekeringan terjadi
secara periodik setiap tahun.
3. Kekeringan Mendadak adalah kekeringan yang terjadi akibat sifat hujan tidak
menentu dan suatu waktu menyimpang dari kondisi biasanya. Kekeringan ini
sulit diprediksi/ diperkirakan, karena sering kejadiannya mendadak.
199
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
200
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
201
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 3.15. Dampak El-Nino bulan Juni – Desember tahun 1997 (Slinga, 1998)
BMKG Jakarta Indonesia pada bulan Juli 2009 telah memprediksi akan terjadi
El-nino pada tahun 2009. Demikian juga Biro Meteorologi Australia BoM (Bureau of
Meteorology). Menurut BMKG Jakarta pada Juli hingga Agustus 2009 El-nino masuk
kategori lemah, September, Oktober dan Desember 2009 berkategori sedang
dan November serta Desember 2009 sampai Januari 2010 El-Nino mencapai kategori
kuat. Menurut BoM sejak Agustus 2009 hingga Februari 2010 El-Nino berkategori
sedang. BMKG juga menyatakan daerah Indonesia yang berpotensi terpengaruh
El-Nino adalah kawasan Indonesia bagian tengah dan timur (BMKG, 2009).
202
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
203
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Dimana :
G(x) : Distribusi Gamma
α>0 : adalah parameter bentuk
β>0 : adalah parameter
x>0 : adalah jumlah curah hujan
Г(α) : fungsi gamma yang besarnya :
Dimana :
204
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
dengan
dengan
205
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Zij =
Tabel 3.4.
Klasifikasi skala SPI (BMKG, 2009)
No Nilai SPI Kategori
1 ≥ 2,00 Sangat Basah
2 1,50 – 1,99 Basah
3 1,00 – 1,49 Agak Basah
4 -0,99 – 0,99 Normal
5 -1,00 – -1,49 Agak Kering
6 -1,50 – -1 ,99 Kering
7 ≤ -2,00 Sangat Kering
206
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
207
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Citra yang cerah menunjukkan bahwa citra tersebut mempunyai kebasahan yang
tinggi, yang biasanya digunakan untuk identifikasi kelembaban tanah, satuan
endapan alluvial, dan tubuh air. Hal tersebut dapat digunakan untuk wilayah sawah
yang mengalami kekeringan saat musim kemarau atau curah hujan di bawah normal
(Purwadhi Sri, 2001). Penajaman dengan rasio band 3 dan 5 untuk menghitung
kebasahan tanah (Normalized Difference Wetness Index = NDWI) dapat dihitung
dengan formula sebagai berikut (Mc Feeters, 1996):
NDWI = (Band 3 – Band 5)/ (Band 3 + Band 5)
Dimana :
- Indeks air (NDWI) berkorelasi positif dengan kelengasan lahan, yaitu sebesar 56%
dari nilai kelengasan lahan dipengaruhi oleh NDWI.
- Setiap peningkatan nilai indeks (NDWI) sebesar 1 (satu) satuan akan memberikan
pengaruh positif pada kelengasan lahan sebesar 3,87%
Menurut Adiningsih (2014) berbagai indeks kekeringan telah dikembangkan dari
data satelit resolusi rendah dan menengah antara lain NOAA-AVHRR, TRMM, MODIS,
Landsat, dan SPOT. Indeks-indeks yang telah dikembangkan untuk pemantauan
dan deteksi kekeringan antara lain NVDI (Normalized Difference Vegetation Index),
EVI (Enhanced Vegetation Index), MSAVI (Modified Soil-Adjusted Vegetation Index),
PVI (Perpendicular Vegetation Index), Vegetation Dryness Index (VDI), Temperature
Vegetation Dryness Index (TVDI), dan SBI (Soil Brightness Index). Deteksi kekeringan
berbasis data curah hujan telah dikembangkan KBDI (Keetch-Byram Dryness Index)
dan SPI (Standardized Precipitation Index). Pengembangan metode pemantauan
vegetasi dihitung dari perbedaan nilai reflektansi pada kanal tampak dan infra
merah dekat. Dalam perkembangannya, indeks tersebut dimodifikasi menjadi indeks
vegetasi yang dinormalkan yang dikenal dengan NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) yang merupakan selisih antara reflektansi kanal infra merah dekat
dengan kanal tampak dan dinormalkan dengan penjumlahan kedua nilai reflektansi.
Penggunaan NDVI sebagai parameter untuk mendeteksi kehijauan dan kekeringan
vegetasi semakin meluas, baik untuk tujuan pemantauan maupun perkiraan terjadinya
kekeringan vegetasi. Penggunaan NDVI bahkan meluas untuk sektor pertanian,
kehutanan, perkebunan, dan lingkungan. Hingga saat ini, dengan beroperasinya
sensor MODIS pada wahana satelit Terra dan Aqua, indeks tersebut masih digunakan
208
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
dan menjadi salah satu produk data MODIS yang penting. Selanjutnya dikembangkan
pula Enhanced Vegetation Index (EVI). EVI dihitung dengan persamaan (Huete, 2002
dalam Adiningsih, 2014) sebagai berikut
EVI = G {(NIR – RED)/(NIR + C1 x RED – C2 x BLUE + L)}
Dimana :
- NIR : kanal inframerah dekat
- RED : kanal merah
- BLUE : kanal biru
- NIR/RED/BLUE adalah nilai pantulan (reflektansi) yang sudah dikoreksi dari gangguan
atmosfer (hamburan Raleigh dan serapan ozon)
- L adalah penyesuaian kanopi/tajuk untuk mengatasi adanya transfer non linier,
deferensial dari kanal inframerah dekat (NIR) dan kanal merah (RED) yang masuk
melalui tajuk vegetasi,
- C1 dan C2 adalah koefisien tahanan aerosol, yaitu dengan menggunakan kanal
biru (BLUE) untuk mengkoreksi pengaruh aerosol dalam kanal merah (RED).
- Koefisien-koefisien yang diadopsi dalam algoritma MODIS-EVI adalah L1 = 1 ; C1 = 6 ;
C2 = 7,5 dan G (gain faktor) = 2.5.
Menurut Huete et al. (2002 dalam Adiningsih, 2014)), NDVI peka terhadap
kandungan klorofil, sedangkan EVI sangat peka terhadap variasi struktur tajuk,
termasuk Leaf Area Index (LAI), jenis tajuk, fisiognomi tanaman, dan arsitektur tajuk.
Kedua indeks tersebut saling melengkapi dalam kajian dan pemantauan vegetasi
global. Selain itu perbedaan mendasar dari kedua indeks tersebut adalah jika terdapat
penutupan salju maka nilai NDVI akan berkurang sedangkan nilai EVI akan meningkat.
Sejak tahun 2000, EVI dijadikan salah satu produk standar dari data MODIS yang
dipublikasikan oleh NASA dan makin banyak digunakan karena adalah masalah
ketidakjenuhan (non saturation) dari NDVI.
Selain indeks vegetasi tersebut, ada dua indikator kekeringan berbasis data satelit
yang juga telah digunakan, yaitu Indeks Kesehatan Vegetasi (Vegetation Health Index
= VHI). Indeks Tanggapm Kekeringan Vegetasi (Vegetion Drought Response Index =
VegDRI).VHI merupakan produk NOAA yang terdiri dari indeks-indeks yang diturunkan
dari data satelit NOAA berbasis pengolahan 7 harian. VHI memantau kesehatan
209
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
210
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
analisis indeks vegetasi diperoleh hasil analisis NDVI, indeks kecerahan, indeks
kebasahan yang telah digabungkan dengan kondisi fisiografis berpengaruh terhadap
kekeringan yaitu: curah hujan, hidrogeologi dan penggunaan lahan dapat diketahui
Kabupaten Klaten terdapat 5 kelas potensi kekeringan Gambar 3.18. Adapun kelas
potensi tersebut yaitu:
1. Potensi kekeringan sangat rendah sebagian besar terdapat pada daerah dengan
kondisi fisiografis ketinggian tempat antara (200 – 1000) mdpl dengan curah
hujan tinggi antara 2000 – 2500 mm/th, penggunaan lahan kebun dan rawa,
berada pada kondisi jenis akuifer produktivitas sedang hingga tinggi. Disamping
kondisi fisiografis tersebut, potensi kekeringan sangat rendah berdasarkan hasil
analisis citra landsat 7 ETM+ berada pada daerah dengan kerapatan vegetasi tinggi
dan kelembaban basah hingga tergenang. Kelas potensi ini tersebar di Kecamatan
Bayat, Jatinom, Juwiring, Kalikotes, Karanganom, Karangdowo, Karangnongko,
Kemalang, Manisrenggo, Pedan, Polanharjo, Trucuk, dan Tulung. Potensi kekeringan
sangat rendah seluas 155,610 ha (0,22%).
2. Potensi kekeringan rendah sebagian besar terdapat pada daerah dengan kondisi
fisiografis ketinggian tempat merata pada ketinggian kurang dari 100 mdpl
hingga lebih dari 1000 mdpl dengan curah hujan antara 1500 – 2500 mm/th,
terdapat di semua jenis penggunaan lahan dan berada pada kondisi hidrogeologi
jenis akuifer produktivitas sedang hingga tinggi. Disamping kondisi fisiografis
tersebut, potensi kekeringan rendah berdasarkan hasil analisis citra landsat 7
ETM+ berada pada kerapatan vegetasi tinggi dengan kelembaban permukaan
211
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
212
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
213
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
sehingga disebut ENSO. Oleh karena itu prediksi iklim di Indonesia didasarkan pada
fenomena-fenomena yang saling berkaitan, untuk mengantisipasi dampak negatif
yang ditimbulkannya. Model penentuan posisi ITCZ (Inter Tropical Convergence
Zone) dan SPCZ (South Pasific Convergence Zone), prediksi OLR (Outgoing Longwave
Radiation), curah hujan berdasarkan anomali SST (Sea Surface Temperature) Pasifik
menggunakan data GMS (BMKG, 2012). Dampak kekeringan umumnya ditaksir
dengan menggunakan data satelit resolusi tinggi seperti Landsat, SPOT, IRS, dan
beberapa satelit dengan sistem radar. Taksiran dapat dilihat dari citra multi temporal,
yaitu sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana. Taksiran (Assesment) dampak
kekeringan mencakup:
1. Kondisi jenis penggunaan lahan
2. Kondisi tekanan skala waktu/ musim
3. Demografis dan infrastruktur sekitar lokasi kekeringan
4. Produksi pertanian
5. Dampak yang berhubungan dengan penyakit, ketersediaan dan kualitas air
6. Kondisi bangunan-bangunan
214
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
yang disusun berdasarkan parameter di atas. Hasilnya divalidasi dengan data kejadian
sebagai indikator, yang diasumsikan bahwa semakin luas area yang masuk dalam
zonasi daerah rawan kekeringan, semakin besar ancaman terhadap bahaya kekeringan.
Secara detail indeks ancaman dan indeks penduduk terpapar bencana kekeringan di
Kabupaten Aceh Besar per kecamatan seperti pada Tabel.6.6.
Tabel 3.6.
Indeks Ancaman dan Indeks Penduduk Terpapar
Bencana Kekeringan per kecamatan di Kabupaten Aceh Besar
Penduduk Terpapar Kelas Indeks
Kelas
Dominan
No. Kecamatan Dominan
Tinggi Sedang Rendah Penduduk
Ancaman
Terpapar
1 Lhonga 4247 1 0 RENDAH TINGGI
2 Leupung 472 0 0 RENDAH SEDANG
3 Indrapuri 2801 0 0 RENDAH TINGGI
4 Kuta Cot Glie 577 0 0 RENDAH TINGGI
5 Seulimeum 2626 0 0 RENDAH TINGGI
6 Kota Jantho 2168 0 0 RENDAH TINGGI
7 Lembah Seulawah 6333 1 0 RENDAH TINGGI
8 Mesjid Raya 4823 0 0 RENDAH TINGGI
9 Darussalam 6734 0 0 RENDAH TINGGI
10 Baitussalam 3932 0 0 RENDAH TINGGI
11 Kuta Baro 4153 0 0 RENDAH TINGGI
12 Montasik 2166 0 0 RENDAH TINGGI
13 Blang Bintang 2208 0 0 RENDAH TINGGI
14 Ingin Jaya 5554 0 0 RENDAH TINGGI
15 Krueng Barona Jaya 4882 0 0 RENDAH TINGGI
16 Suka Makmur 1744 0 0 RENDAH TINGGI
17 Kuta Malaka 31 0 0 RENDAH TINGGI
18 Simpang Tiga 613 0 0 RENDAH TINGGI
19 Darul Imarah 20979 0 0 SEDANG TINGGI
20 Darul Kamal 1270 0 0 RENDAH TINGGI
21 Peukan Bada 4683 0 0 RENDAH TINGGI
22 Pulo Aceh 399 0 0 RENDAH TINGGI
215
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 3.19. Peta Ancaman Bahaya, Kerentanan, Kapasitas, dan Resiko bencana kekeringan
Kabupaten Aceh Besar (Purwadhi dkk, 2012/ Dok BNPB, 2012)
216
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
dari Jepang), Insat dan data satelit orbit polar seperti NOAA-AVHRR, DMSP, SSM,
IRS, dan MSMR. Data satelit tersebut digunakan untuk evaluasi parameter
meteorologi berdasarkan parameter liputan daerah hujan/ salju, kelembaban
atmosfer dan angin, serta kelembaban permukaan tanah.
2. Pemantauan kondisi vegetasi menggunakan data NOAA-AVHRR resolusi 1,1 km
temporal harian dan IRS CCM resolusi 360 meter temporal 2 hari, dan IRS Wifs
resolusi temporal 188 meter dan temporal 5 hari.
3. Pengambilan keputusan sudah harus disertakan hasil analisis air dan tanaman,
serta kesesuaian lahannya. Analisis secara optimal untuk perencanaan penggunaan
lahan untuk keperluan lainnya, maupun untuk pemulihan penggunaan seperti
sebelum terjadi bencana.
217
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
udara yang naik ke atas puncak awan. Biasanya terjadi pada musim pancaroba pada
siang hari suhu udara panas, pengap, dan awan hitam mengumpul, akibat radiasi
matahari di siang hari tumbuh awan secara vertikal, selanjutnya di dalam awan
tersebut terjadi pergolakan arus udara naik dan turun dengan kecepatan yang cukup
tinggi. Arus udara turun dengan kecepatan tinggi menghembus ke permukaan
bumi secara tiba-tiba dan berjalan secara acak. Angin puting beliung terjadi karena
pemanasan yang kuat, udara dapat terangkat dengan kuat dan cepat. Bila pemanasan
yang demikian terjadi di suatu tempat, ditempat itu seolah-olah terjadi kekosongan
udara yang dengan cepat pula diisi oleh udara sekitarnya sehingga daerah tersebut
menjadi daerah pumpunan angin dan pengumpulan udara. Pengumpulan udara yang
berlangsung sangat cepat menimbulkan pusingan angin atau angin berputar. Bila
pemanasan kuat terdapat di bawah awan guntur tingkat muda yang di dalamnya
terdapat gerak udara vertikal yang kuat, dan di bawah awan yang udaranya sangat
lembab dapat timbul pilin udara atau angin pusing memutar awan guntur. Berdasarkan
hal ini, maka karakteristik angin puting beliung sebagai berikut
1. Puting beliung yang kuat menimbulkan bentuk kerucut pada bagian bawah
awan. Tekanan udara pada ujung kerucut awan sangat rendah, sehingga benda-
benda di bawahnya dapat terangkat. Penurunan tekanan di tempat yang dilalui
puting beliung dapat mencapai 100 sampai 200 hPa. Puting beliung yang kuat
garis tengahnya sekitar 200 meter; makin besar garis tengahnya putarannya
makin rendah.
2. Puting beliung umumnya terjadi di atas daratan, jarang terjadi di atas laut, karena
pemanasan di atas laut lebih kecil dibandingkan pemanasan di atas daratan.
Puting beliung di atas laut umumnya berasal dari darat, dan umumnya melemah
ketika di atas lautan. Tetapi bila di atas laut masih kuat dapat menarik air laut ke
atas dan kerucut di bagian bawah awan terkesan sebagai belalai; oleh karena
itu disebut “belalai air”. Peristiwanya sangat singkat perekaman puting beliung
sangat sulit dilakukan, sehingga data tentang adanya puting beliung masih
sangat sedikit.
3. Bentuk puting beliung bila dilihat dari atas, baik yang terjadi di atas belahan
bumi utara maupun di atas belahan bumi selatan, putaran puting beliung bersifat
siklonal yang arahnya ke kiri atau berlawanan arah putaran jarum jam.
218
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
4. Salah satu penyebabnya karena di kawasan pinggir tropik gaya Coriolis sudah
cukup besar dan pada musim panas pemanasan dapat sangat besar. Awan
puting beliung juga awan guntur maka puting beliung juga dapat menimbulkan
fenomena elektrik.
5. Puting beliung biasanya tidak disertai hujan sampai di tanah, meskipun ada
kalanya terjadi hujan lebat di tempat sesudah dilewati puting beliung.
6. Puting beliung berupa Tornado adalah angin badai merusak berbentuk pusaran
yang menerobos dari bawah awan jenis Cumulonimbus (Cb) ke permukaan
tanah, dimana bentuknya dapat berupa corong sempit, silinder panjang atau
tali yang memanjang. Angin Tornado biasanya memiliki bentangan yang sempit,
dengan diameter berkisar 50 m lebih dan kurang dari 1 km, tetapi secara lokal
merupakan badai yang paling merusak. Sedangkan angin puting beliung skala
bentangannya jauh lebih kecil dari Tornado. Awan corong yang khas pada puting
beliung berasal dari awan. Gambar 3.20. Sketsa formasi tornado (Holden and
Wright, 2004)
7. Angin puting beliung dapat terjadi di sembarang tempat, tetapi yang paling
sering adalah di Australia tengah dan Amerika Serikat bagian tengah. Di Amerika
Serikat rata-rata terjadi 140 sampai 150 angin puyuh dalam setahun. Umumnya
banyak terjadi di awal musim semi pada siang dan sore hari. Di Indonesia angin
puyuh mudah terjadi pada awal dan akhir musim hujan di atas daerah dataran
yang luas, meskipun tidak sering. Bila awan badai guntur lebih banyak terjadi di
219
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
kawasan tropik dibandingkan di luar tropik, tetapi puting beliung lebih sering
terjadi di kawasan pinggir tropik, meskipun terjadinya puting beliung dari awan
badai guntur.
Ahrens, 2000 mengungkapkan beberapa tipe angin merusak, yaitu tipe angin
berputar (puting beliung) atau siklon, antisiklon, thyphoons, hurricance (Gambar
3.21), yaitu
1. Siklon adalah angin yang terjadi secara divergen pada pusat tekanan rendah,
demikian juga angin yang terjadi secara konvergen pada pusat tekanan tinggi. Siklon
tropik adalah siklon yang terjadi di daerah tropik, seperti di Indonesia, Banglades,
Madagaskar. Secara umum wilayah terjadinya badai tropis dikelompokkan atas 2
wilayah utama yaitu belahan Bumi Utara dan belahan Bumi Selatan. Badai tropis
yang terjadi di belahan Bumi Utara, arah putaran badainya searah putaran jarum
jam, sedangkan di belahan Bumi Selatan arah putaran badai tropis berlawanan
arah putaran jarum jam. Ada tujuh wilayah perairan (lautan) sangat berpotensi
terjadinya badai tropis , yaitu: (1) Barat Laut Samudera Pasifik; (2) Timur Laut
Samudera Pasifik; (3) Barat Daya Samudra Pasifik; (4) Utara Samudera Hindia; (5)
Tenggara Samudera Hindia; (6) Timur Laut Samudera Hindia; (7) Utara Samudera
Atlantik
2. Thyphoons adalah angin badai merusak berbentuk pusaran yang menerobos dari
bawah awan jenis Cumulonimbus (Cb) ke permukaan tanah, dimana bentuknya
dapat berupa corong sempit, silinder panjang atau tali yang memanjang (tornado),
yang terjadi di Pasifik.
3. Hurricanes (badai) adalah suatu gangguan pada atmosfer suatu planet, terutama
yang mempengaruhi permukaannya serta menunjukkan cuaca buruk. Badai
dapat ditandai dengan angin yang kencang (badai angin), petir dan kilat (badai
petir), curahan es lebat, (badai es), dan angin yang membawa suatu zat melalui
atmosfer (badai pasir, badai salju, dll). Hurricanes (badai) banyak terjadi di Atlantik
220
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Puncak terjadinya aktivitas badai tropis di seluruh dunia terjadi pada akhir
musim panas yakni ketika laut mencapai temperatur paling hangat. Namun di
setiap wilayah terjadinya badai tropis, pola musimnya berbeda. Di wilayah Atlantik
Utara, musim badai tropis dimulai 1 Juni hingga 30 Nopember. Puncaknya terjadi
pada awal September. Di wilayah Timur Laut Pasifik pola musimnya sama dengan
wilayah Atlantik Utara, namun periodenya lebih panjang, wilayah Barat Laut Pasifik,
badai tropis di wilayah ini berlangsung setahun penuh, dengan puncaknya pada awal
September dan aktifitas minimum pada bulan Februari, di wilayah Utara Samudera
Hindia musim badai tropis di wilayah ini berlangsung dari bulan April sampai bulan
Desember, puncaknya terjadi pada bulan Mei dan Nopember. Secara umum, aktivitas
badai tropis di belahan Bumi bagian Selatan berlangsung dari akhir Oktober hingga
Mei, dengan puncak aktivitas terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret.
Puting beliung yang terjadi di daerah tropis dan tornado di daerah Subtropis
seperti Gambar 3.22. Menurut Ahrens (2000), tornado non-supersel merupakan
tornado lemah yang bukan terjadi karena akibat pembentukan dinding awan badai.
Tornado dapat terjadi akibat pembentukan awan-awan multisel maupun awan
tunggal/sederhana. Tornado non-supersel dapat terbentuk di sepanjang gustfront,
di mana terjadi sirkulasi turunnya uap air dingin (downdraft), dan naiknya uap air
hangat (updraft). Berdasarkan pengamatan hingga saat ini menunjukkan bahwa
kawasan Texas, lembah Misissipi adalah tempat paling banyak puting beliung di
dunia, meskipun mungkin akan berubah bila makin banyak dilakukan pengamatan di
tempat lain. Gambar 3.22 A. Tornado di Texas yang jalan di tengah kota, sehingga
menyebabkan kerusakan sepanjang 50 miles (80 km) dengan lebar 1 mile (1,6 km).
221
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Foto diambil oleh John McClatchey (2008). Di Indonesia Angin Puting Beliung telah
merusak rumah orang di Air Rarak Utara (Gambar 3.22 B). Angin berawal dari
Air Rarak Utara, Air Tawar Selatan, dan berakhir Di Air Tawar Utara. Kejadian ini
berlangsung lebih kurang 20 Menit, pada tanggal 21 Juli 2015 Pukul 17.00 WIB
terjadi di Nagari Kampung Batu Dalam, Kecamatan Danau Kembar, Kabupaten Solok,
Sumatera Barat (Sutopo, 2015).
Gambar 3.22. Tornado di Texas (2008) dan Puting beliung Solok (2015)
222
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
penghujan, maka ada kemungkinan hujan deras yang pertama kali turun diikuti angin
kencang, baik yang masuk dalam kategori puting beliung maupun tidak. Hal tersebut
disebabkan oleh sifat angin puting beliung tidak bisa diprediksi secara spesifik, hanya
peluang dalam batasan wilayah, setelah melihat atau merasakan tanda-tandanya
baru bisa diprediksi 0.5 – 1 jam sebelumnya dengan tingkat keakuratan berdasarkan
pengalaman kurang dari 50 %. Sifat lain adalah
1. Angin puting beliung hanya berasal dari awan Cumulusnimbus (CB), bukan dari
pergerakan angin monsun maupun pergerakan angin pada umumnya, sehingga
dapat dapat berpindah/bergeser seusai dengan tekanan tinggi ke tekanan rendah
dalam skala luas.
2. Tidak semua jenis awan Cumulusnimbus (CB) menimbulkan puting beliung,
karena sangat mikro, maka sulit membedakan. Secara teori puting beliung
berasal dari jenis awan Cumulusnimbus (CB) bersel tunggal, super sel dan
multisel, kesemuanya itu hanya dapat dilihat di lapangan terbuka, bukan dari
teori monsun atau siklon atau model cuaca.
3. Dalam skala meteorologi, kejadian angin puting beliung dikategorikan dalam
kejadian skala kecil atau skala lokal. Angin lokal merupakan angin yang timbul
akibat kondisi lokal yang biasanya disebabkan oleh perbedaan suhu dan topografi.
Angin lokal cakupan wilayahnya terbatas pada daerah yang kecil. Hal ini karena
kejadiannya yang mencakup daerah radius kurang dari 5 km, dengan waktu
kejadian yang singkat hanya dalam hitungan menit. Apabila suatu daerah atau
tempat terlanda puting beliung sangat lokal, maka kecil kemungkinan (tidak ada)
terjadi yang kedua kalinya (puting beliung susulan), karena berasal dari awan
Cumulusnimbus (CB) yang sifat tumbuhnya tergantung dari intensitas konvektif
juga sulit diperkirakan.
4. Angin puting beliung bergerak secara garis lurus, terjadi pada tanah lapang
(lahan terbuka), yang vegetasinya kurang, jarang terjadi pada daerah perbukitan
atau hutan yang lebat
5. Waktu kejadian puting beliung sangat singkat sekitar 3 menit dan tiba-tiba.
Puting beliung terjadi pada siang atau sore hari, malam jarang terjadi.
6. Puting Beliung sangat sulit diprediksi, namun tanda-tandanya dapat diketahui di
luar rumah.
223
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
224
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
n1 dan mempelajari p buah sifat dari contoh itu, demikian pula ditarik contoh acak
berukuran n2 dari populasi 2 serta mempelajari p buah sifat dari contoh itu. Dengan
demikian ukuran contoh secara keseluruhan dari populasi 1 dan populasi 2 adalah
n = n1 + n2. Misalkan p buah sifat dipelajari itu dinyatakan dalam variabel acak
berdimensi ganda melalui vektor = X1 , X2 ,...., Xp . Dalam bentuk catatan matriks
dapat dinyatakan sebagai berikut :
X (1)
(pxn1) = (X11, X12 ,.....X1n1 )
X (2)
(pxn2) = (X 21, X 22 ,.....X 2n2 )
Berdasarkan data matriks di atas dapat ditentukan vektor nilai rata-rata contoh
dan matriks ragam peragam (variance-covariance) berikut:
1 n1
X 1
(px 1)
= ∑ X1 j
n1 j =1
1 n1
S 1 = ∑ (X 2 j - X 1 )(X1j - X 1 )'
n1- 1 j=1
pxp
1 n2
X 2
(px1)
= ∑ X2 j
n2 j=1
1 n2
S 2 = ∑ (X 2 j - X 2 ) (X 2 j - X 2 )'
n2 - 1 j=1
pxp
Diasumsikan bahwa populasi induk memiliki peragam yang sama yaitu Σ, maka
matriks peragam contoh S1 dan S2 dapat digabung untuk memperoleh matriks
gabungan sebagai penduga bagi Σ melalui rata-rata terbobot berikut :
SG =
( n1- 1) S1+ ( n2 - 1) S 2
( n1+ n2 - 2)
Pengujian perbedaan vektor nilai rata-rata di antara dua populasi dilakukan
dengan jalan merumuskan hipotesis berikut:
H0 : μ1 ≠ μ2 artinya vektor nilai rata-rata dari populasi 1 sama dengan dari
populasi 2
H1 : μ1 ≠ μ2 artinya kedua vektor nilai rata-rata berbeda
Pengujian terhadap hipotesis dapat dilakukan menggunakan uji statistic
225
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
226
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
1. Jika y0 > m atau y0 –m > 0 maka obyek atau individu dialokasikan kedalam populasi 1
2. Jika y0 ≤ m atau y0 –m ≤ 0 maka obyek atau individu dialokasikan kedalam populasi 2
3. Dimana y0 adalah skor diskriminan dari individu (objek) tersebut
Okstrifiani (2013) telah melakukan penelitian prediksi bencana puting beliung
di Kabupaten Toraja Utara. Data dari 7 (tujuh) variabel iklim berasal dari pengamatan
sehari sebelum kejadian dan pada hari terjadi puting beliung. Metode penelitian
menggunakan pendekatan analisis diskriminan, yang dilakukan dengan memasukan
data unsur iklim merupakan prediktor atau variabel independent, sehingga ketujuh
unsur iklim tersebut dikelompokkan dalam : suhu (X1), kelembaban (X2), curah hujan
(X3), arah angin (X4), kecepatan angin (X5), tekanan (X6), dan awan (X7). Sedangkan
output yang dimaksud adalah pengelompokan kejadian puting beliung dimasukkan
kedalam “kelompok 1”; namun apabila tidak terjadi puting beliung maka masuk
kedalam “kelompok 0”. Hasil penelitian dapat diringkas sebagai berikut :
1. Kondisi unsur iklim pada hari kejadian puting beliung cenderung tinggi
dibandingkan dengan kondisi unsur iklim pada hari sebelum kejadian puting
beliung, suhu tertinggi pada hari kejadian puting beliung adalah 28,48 oC,
suhu terendah 19,95 oC. Sedangkan sehari sebelum kejadian puting beliung
suhu tertinggi adalah 28,35 oC dan suhu terendah adalah 19,85 oC. Suhu udara
berubah sesuai dengan tempat dan waktu, umumnya suhu tertinggi terjadi setelah
setengah hari, biasanya pukul 12.00 dan pukul 14.00, dan suhu terendah terjadi
pada pukul 06.00 waktu lokal atau sekitar matahari terbit. Ketika suhu udara
di permukaan lebih tinggi dibandingkan atmosfer, maka akan menyebabkan
terbentuknya awan cumulonimbus.
2. Kondisi kelembaban tertinggi pada hari kejadian puting beliung adalah 95%,
kondisi ini cukup lembab untuk terbentuknya awan konvektif. Kondisi kelembaban
terendah pada hari kejadian puting beliung adalah 59,67%. Sedangkan sehari
sebelum kejadian puting beliung kelembaban udara tertinggi adalah 92,67%
dan terendah adalah 58,50%, Kelembaban udara yang cukup besar menandakan
bahwa udara banyak mengandung uap air. Uap air dalam atmosfer dapat berubah
bentuk menjadi cair atau padat yang akhirnya jatuh ke bumi sebagai hujan.
3. Curah hujan intensitas tertinggi pada hari kejadian puting beliung adalah 3,67
mm dan terendah adalah 0,0 mm. Sedangkan sehari sebelum kejadian puting
beliung intensitas curah hujan tertinggi adalah 0,64 mm dan terendah 0,0 mm,
227
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Pada saat terjadi puting beliung biasanya disertai hujan atau tidak sama sekali.
4. Kecepatan angin sehari sebelum kejadian puting beliung lebih rendah
dibandingkan dengan hari terjadinya puting beliung. Kecepatan maksimum pada
hari terjadinya puting beliung sebesar 5 knot sedangkan kecepatan minimum
sebesar 1 knot. Kecepatan maksimum untuk sehari sebelum kejadian puting
beliung adalah sebesar 5 knot dan kecepatan minimum sebesar 1 knot. Arah
angin menunjukkan arah angin pada hari sebelum dan hari terjadinya puting
beliung mengarah ke utara.
5. Tekanan tertinggi pada hari kejadian puting beliung 1008,24 mb, tekanan
terendah 1004,35 mb. Sedangkan sehari sebelum kejadian puting beliung
tekanan tertinggi 1008,45 mb dan terendah adalah 1004,34 mb, Pada saat
kejadian puting beliung kondisi tekanan dipermukaan lebih rendah dibanding
tekanan pada awan cumulonimbus (atmosfer).
6. Hasil klasifikasi kondisi awan pada hari kejadian puting beliung dan sehari
sebelum kejadian puting beliung adalah sama, jenis awan yang sering muncul
adalah awan tipe 9 yaitu awan cumulonimbus, awan terendah yang muncul
adalah awan tipe 2 yaitu awan Cumulus mediocris/congestus. Klasifikasi awan ini
ditentukan berdasarkan ketinggian awan. Tinggi dasar awan merupakan faktor
penting dalam menentukan jenis awan. Dasar atau puncak awan ini diukur dari
permukaan laut. Puting beliung merupakan angin yang memutar awan guntur
(awan Cumulonimbus). Artinya pada saat kejadian puting beliung, kemungkinan
besar awan Cumulonimbus pasti ada. Berdasarkan data yang telah diperoleh dari
Stasiun Meteorologi Pongtiku, diketahui bahwa sehari sebelum dan pada hari
terjadinya puting beliung terdapat awan cumulonimbus. Masing-masing unsur
menunjukkan nilai rata-rata dan standar deviasi dan diketahui bahwa kondisi
cuaca satu hari sebelum kejadian dan pada hari kejadian puting beliung tidak
jauh berbeda, karena standar deviasi dari kedua hari tersebut masih bertemu.
Hal ini menunjukkan masih terdapat kesamaan kondisi tiap unsur iklim satu hari
sebelum kejadian puting beliung dan pada hari kejadian puting beliung.
Setiap kejadian puting beliung diperoleh hasil bahwa unsur iklim yang signifikan
pada setiap kejadian puting belung tidak selalu sama. Contoh, kejadian puting
beliung di Kabupaten Toraja Utara pada tanggal 24 Januari 2010 unsur iklim yang
228
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
signifikan adalah tekanan dan awan. Nilai signifikan awan sebesar 0,049 dan awan
sebesar 0,011, sedangkan untuk kejadian puting beliung pada tanggal 25 Januari
2010, unsur iklim yang signifikan hanya awan saja dengan nilai siginifikan sebesar
0,045. Dari hasil penelitian diperoleh 2 unsur iklim yang sama sekali tidak signifikan
pada kejadian puting beliung yaitu curah hujan dan arah angin.
Hasil proses analisis diskriminan untuk kejadian puting beliung di Kabupaten
Toraja Utara dari 12 hasil diperoleh beberapa unsur iklim yang signifikan terhadap
puting beliung yaitu suhu, tekanan, kelembaban, kecepatan angin, dan awan dengan
koreksi kesalahan sebesar 0,05. Uji signifikansi dengan taraf kesalahan ∝= 0,05 hasil
yang ditemukan bahwa faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu udara, kelembaban
udara, curah hujan, kecepatan angin, tekanan udara, sedangkan klasifikasi awan
rendah. Akurasi prediksi dengan nilai Peirce sebesar 0,68 ± 0,18.
Penelitian tersebut tingkat keakuratan menggunakan model pendekatan
analisis diskriminan masih kurang optimal dapat dinilai keakuratan hasil penelitian
tersebut kurang tinggi (masih rendah). Hal itu dimungkinkan karena variabel yang
diteliti hanya dibatasi pada faktor iklim saja, sebaiknya unsur morfologi atau topografi
daratan ikut disertakan dalam prediktor atau variabel independent.
229
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
tumbuh di daerah yang memiliki perubahan arah angin vertikal yang teratur dengan
kecepatan sedang hingga kuat. Multisel awan disertai dengan pergerakan masa
udara dingin ke bawah (downdraft), yang dapat menyebabkan terjadinya gustfront
(udara dingin mengalir turun hingga mencapai permukaan tanah) seperti pada
Gambar 3.23. Terjadinya gustfront menyebabkan suhu udara di permukaan turun
secara drastis disertai angin kuat, kecepatannya dapat melebihi 55 knot. Gustfront
biasanya disertai arcus (uap air hangat) yang terbentuk di sepanjang tepi depan
gustfront (Gambar 3.23A). Gustfront biasanya disertai awan rendah bergulung
(roll cloud) di belakangnya, dan berputar perlahan sepanjang sumbu horisontal
(Gambar 3.23B).
3. Squall line adalah badai guntur yang merupakan multisel awan badai yang
membentuk garis awan badai guntur disepanjang front dingin dengan panjang
garis hingga mencapai ratusan kilometer. Squall line dapat menyebabkan
terbentuknya hail yang besar disertai hembusan angin yang sangat kencang dan
hujan lebat.
4. Mesoscale Canvective System (MCS) merupakan gabungan dari multisel awan
badai guntur yang besarnya mencapai 1000 kali dari sel tunggal.
Gambar 3.23. Gustfront disertai awan arcus dan awan bergulung (Ahrens, 2000)
230
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
231
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
232
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
233
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
4. Arus laut dalam berbagai macam sesuai kondisi angin, densitas, salinitas,
kedalaman laut.
a. Arus yang disebabkan oleh tiupan angin di permukaan laut, membawa massa
air ke jurusan atau arah yang sama dengan arah angin selama musim tertentu.
b. Arus yang disebabkan oleh perbedaan densitas air laut, yaitu dari massa air
yang memiliki densitas lebih besar (lebih berat) akan mengalir ke tempat massa
air yang densitasnya lebih kecil atau lebih ringan.
Arus laut mempengaruhi sebaran suspensi dengan arah sebaran cenderung
mengikuti atau searah dengan arus laut. Apabila ada sinergi antara arus laut, arus
pasang surut, dan arus sepanjang pantai oleh gelombang, maka arah sebaran suspensi
mengikuti arah arus, yang kecepatannya berbeda dalam berbagai kedalaman. Deteksi
arus dari data penginderaan jauh : contoh citra Alos rekaman 26 Agustus 2009
(Gambar 3.24.) kenampakan arus laut di antara pulau-pulau kecil di Kep. Nanusa
(Pulau Garat, Pulau Marampit, Pulau Karantung, Pulau Mangupung, Pulau Intata, Pulau
Kokorotan, Pulau Mallo), Kab. Kepulauan Talaud. Perhatikan pola arus di Kepulauan
Nanusa, dan di Samodera Pasifik (laut lepas), yaitu pola arus yang mendekati pesisir
pulau, pola arus di sekitar atau diantara pulau-pulau kecil dan terumbu karang (masih
di bawah permukaan air), serta pola arus yang terjadi di laut lepas (Samudera Pasifik).
Gambar 3.24. Citra Alos arus laut di pulau-pulau kecil Kep. Nanusa, Kep Talaud (Dok.
LAPAN, 2009)
Pola arus melingkar sesuai dengan bentuk pulau-pulau, sedangkan pola arus
melingkar antara pulau-pulau disebabkan adanya penghalang banyaknya terumbu
karang (masih belum terlihat di atas permukaan air) di antara pulau-pulau. Pola arus
di Samudera Pasifik tampak memanjang sesuai dengan tingkat kedalalaman air, pola
234
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
angin, dan morfologi dasar laut. Kecepatan arus maksimum di perairan pesisir pulau-
pulau kecil, terjadi pada saat pergerakan pasang surut terbesar, akan tampak pada
tepi pantai setiap pulau. Kecepatan arus rata-rata sedang dan semakin mengecil
seiring dengan bertambahnya ke dalaman perairan.
235
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Perbedaan antara jenis pasang surut harian dan jenis pasang surut semi harian
sangat nyata pengaruhnya dalam dinamika pasang surut harian dan aliran air di daerah
pantai terutama di wilayah muara sungai, yaitu dampaknya pada sistem pelayaran
tradisional sungai–laut. Pada waktu surut muara menjadi dangkal dan tidak dapat
dilayari, sehingga pelayaran menunggu waktu pasang. Di dalam pengelolaan lahan
pesisir dan pantai di Indonesia klasifikasi pasang surut dibagi dalam lima macam,
1. Pasang surut sangat rendah (< 1 meter);
2. Pasang surut rendah (1–2) meter;
3. Pasang surut sedang (2–3) meter;
4. Pasang surut tinggi (3–4) meter;
5. Pasang surut sangat tinggi (> 4 meter).
Ketinggian julat/tunggang pasang surut (tidal range) sangat berpengaruh pada
proses dinamika pesisir. Hal itu disebabkan oleh letak garis kesamaan tunggang
(corange) dan garis kesamaan pasangnya (cotidal), yang menjadi penggerak pasang
surut. Gerakan massa air ini juga mempengaruhi sistem sebaran dan dinamika sedimen
perairan pesisir yang akan membentuk delta. Letak titik ampidron (amphidromic point)
yaitu titik lokal yang menjadi pusat kesamaan pasang surut (sangat menentukan julat/
tunggang pasang surut). Tenaga pasang surut dan densitas massa air mempengaruhi
proses sirkulasi massa air yang berupa pertukaran dan percampuran antara massa air
daratan dan lautan pada kuala (estuary), muara sungai dan delta.
Contoh penelitian Purwadhi dkk (2010) pada Gambar 3.25. pasang surut yang
terjadi di pesisir timur Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara umumnya termasuk
tipe pasang surut campuran (mix tide) dan cenderung harian ganda (mixed prevailing
semi diurnal), yaitu pasang surut yang cenderung terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut dalam sehari dengan amplitudo dan periode pasang surut berbeda. Fluktuasi
pasang surut maksimum di pesisir timur Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara ini
tingginya kurang dari lima meter (< 5 m). Fenomena pasang surut yang terjadi di
pantai timur Kabupaten Bulungan merupakan pesisir yang berada pada perairan
Indonesia Tengah, sehingga pasang surut dominan dipengaruhi oleh Selat Sulawesi
dalam hubungan terbuka, namun sebagian wilayah pesisir timur Kabupaten Bulungan
terhalang oleh Pulau Tarakan (tidak terlihat pada gambar).
236
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Di mana :
Z(t)) = tinggi muka laut rata-rata selama t bulan pengamatan (cm)
a = kecenderungan kenaikan muka air laut (cm/bulan)
t = waktu (bulan)
ck = periode
pk = amplitude
qk = pase pasang surut pada k tahun pengamatan
Wilayah pesisir yang terkena dampak fluktuasi naik turunnya muka air laut
dapat dilihat menggunakan model pemunduran garis pantai, dan dapat dianalisis dari
237
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
data penginderaan jauh. Model pemunduran garis pantai dapat dinyatakan dengan
formula
R = [(ΔZ – ΔS)L](h + D + ΔZ)-1
Di mana :
R = pemunduran garis pantai (m)
ΔZ = kenaikan muka laut (cm)
ΔS = perubahan akumulasi sedimen dihitung terpisah berdasar pengamatan
lapangan (m)
L = panjang daerah pesisir yang masih dipengaruhi oleh sedimentasi hingga
bagian depan delta (delta front) dalam satuan (m)
H = Kedalaman pada L (m)
D = elevasi (m)
Analisis wilayah yang terkena dampak kenaikan muka air laut menggunakan
data penginderaan jauh dengan metode synergism (metode yang menggabungkan
beberapa citra temporal sudah terkoreksi) seperti tahapan pengolahan data
penginderaan jauh pada Gambar 3.26. (Purwadhi dkk, 2010)
Gambar 3.26. Tahapan analisis perubahan garis pantai dari citra satelit
(Purwadhi dkk, 2010)
238
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
Citra yang digunakan adalah saluran (band) inframerah dekat, yaitu bila
menggunakan citra Landsat TM/ETM band 5 (1,55–1,75 ) µm atau citra SPOT band
4 SWIR (1,58–1,75) µm. Karakteristik panjang gelombang inframerah (IR) tersebut
hampir seluruhnya diserap oleh air, sehingga dalam rekaman citra kenampakan air
menjadi gelap, dan batas antara air dan daratan tampak sangat jelas. Berdasarkan
diagram alir tersebut tampak bahwa masing-masing citra harus dikoreksi terlebih
dahulu (koreksi radiometrik, koreksi atmosferik, dan koreksi geometrik) sebelum
digabungkan (di-overlay), agar semua bias (nois) pada citra baik gangguan
radiometrik (bias spectral/gelombang elektromegnetik), gangguan atmosferik (bias
dari hamburan atmosfer), dan posisi titik kait (secara geometris) tepat. Masking
citra untuk memisahkan antara daratan dan lautan dimana dilakukan pengkelasan
menjadi 2 kelas (tubuh air dan daratan) dilakukan pada setiap citra. Hasil klasifikasi
dapat diketahui perbedaan wilayah daratan dan lautan dalam kurun waktu sesuai
data citranya (1999, 2003,2005, 2010). Hasil penggabungan (overlay) setiap citra
menjadi presisi, sehingga tampak perubahan daratan maupun lautan, terutama batas
air dan daratan (garis pantai) yang akurat. Tabel yang dihasilkan oleh cofusion matrik
pada setiap citra dapat terlihat dengan jelas mengenai luas daratan maupun lautan,
termasuk piksel omisi maupun komisi (mix pixel) pada klasifikasi.
239
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 6.27. Citra Landsat 2004 Gelombang dan arus laut di Laut Timor
(Andréfouët, 2004 dalam Purwadhi, 2012).
240
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
utara berbelok ke kanan dan di belahan bumi selatan berbelok ke kiri. Gaya gesekan
terjadi akibat kekasapan permukaan bumi. Gaya gesekan arahnya berlawanan
dengan arah gerak angin. Semakin tinggi dari permukaan pengaruh gaya gesekan
semakin kecil. Gaya gesekan ~ 0 pada ketinggian > 600 m dpl. Gaya Coriolis timbul
karena adanya rotasi bumi Fc = - 2Ωv sin Φ Di mana Fc menyebabkan pembelokan
arah angin ke kanan di belahan bumi utara dan ke kiri di belahan bumi selatan. Efek
koriolis di daerah katulistiwa nol atau Fc = 0 dan Efek koriolis di daerah kutub bumi
mencapai maksimum atau Fc = max (Thurman, 1983). Oleh karena itu pada posisi
wilayah lintang tinggi efek coriolis berpengaruh kuat di perairan pantainya, terutama
pada gerakan massa airnya. Dinamika pantai yang tampak oleh effek coriolis pada
sungai-sungainya, di belahan utara arah aliran massa air sungai membelok searah
jarum jam (ke arah kanan), sedangkan di belahan bumi selatan sebaliknya (ke arah
kiri). Akibatnya air di muara sungai di belahan bumi utara dapat diperkirakan air lebih
tawar di bagian sisi kanan muara dibandingkan dengan air di bagian sisi kiri muara.
Menurut Thurman (1983) transport lapisan atas air akibat hembusan angin
disebut Transport Ekman. Pengaruh Ekman dapat mengubah dan membedakan arah
aliran antara air di permukaan atau dekat permukaan dengan massa air di kedalaman.
Di samping itu ada istilah Spiral Ekman, adalah teori yang menyatakan apabila angin
berhembus terus menerus di permukaan laut yang tanpa batas kedalaman dan luas
dengan viskositas massa air seragam, maka aliran air permukaan yang ditimbulkannya
akan membelok 45o ke kanan (dibelahan bumi utara) dan 45o ke kiri (dibelahan
bumi selatan). Arah aliran tersebut semakin dalam membelok semakin besar hingga
kedalaman 100 meter transport airnya arahnya menjadi berlawanan dengan arah
angin, dan kecepatannya juga semakin berkurang seirama dengan peningkatan
kedalaman air laut. Angin dapat menyebabkan arus air vertikal yang dikenal sebagai
upwelling dan sinking, yang terjadi dalam keadaan di mana arah angin sejajar dengan
garis pantai dan arus membentuk sudut siku-siku ke arah dan dari arah lautan sebagai
hasil dari adanya gaya coriolis (coriolis effect). Proses upwelling merupakan aliran
lapisan permukaan air yang menjauhi pantai dan mengakibatkan massa air dari
lapisan dalam naik. Proses sinking merupakan proses yang mengangkut gerakan
massa air tenggelam ke bawah di perairan pantai, di mana angin sejajar dengan
pantai, tetapi arah rata-rata aliran arus ke arah daratan dan aliran air ke arah bawah
ketika mencapai garis pantai.
241
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Perairan Indonesia memiliki pola angin muson yang memiliki pola sirkulasi massa
air berbeda dan bervariasi antara musim barat dan musim timur. Musim barat massa
air umumnya mengalir ke timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim
timur suplai massa air yang berkembang dengan sempurna berasal dari upwelling
di Laut Arafura dan Laut Banda mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat.
Selain dipengaruhi angin, arus laut di perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem
arus lintas Indonesia (Arlindo) yang memiliki pola pergerakan arus laut dari Samudera
Pasifik menuju Samudera Hindia melalui selat-selat perairan.
Pergerakan arus laut ini dipengaruhi oleh perubahan iklim global, yang
memicu kehadiran variabilitas ekstrem seperti EL Nino dan La Nina. Saat kondisi
normal laju Arlindo bergerak dari Samudera Pasifik ke Samodera Hindia melewati Selat
Makasar dan keluar melalui Selat Lombok. Namun tidak semua massa air tersebut bisa
langsung menerobos Selat Lombok yang sempit, sebagian massa air akan berbelok
ke arah timur menuju Laut Banda dan bercampur dengan massa air dari Samudera
Pasifik dan tiba di Laut Banda lewat Laut Halmahera dan Laut Flores. Seusai berputar-
putar di Laut Banda massa air tersebut akan bergerak melewati Laut Flores dan Laut
Timor menuju Samudera Hindia. Sedangkan pada kondisi El Nino, pergerakan massa
air sebagian berbalik arah dari wilayah perairan Indonesia ke Samudera Pasifik, dan
terjadi penurunan volume massa air yang bergerak dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia. Kosongnya massa air di perairan Indonesia mendorong munculnya upwelling,
atau naiknya massa air ke permukaan.
242
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
243
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 3.28. Perubahan densitas dan percampuran massa air muara sungai
Penamaan sistem densitas dan percampuran massa air sungai dengan massa air
laut (kuala) tergantung pada cara klasifikasinya antara lain
1. Klasifikasi menurut Officer (1978) mengemukaan 4 (empat) macam istilah sistem
densitas dan percampuran massa air, yaitu
a. Sistem densitas dan percampuran massa air tercampur bagus (well mixed);
b. Sistem densitas dan percampuran massa air terlapis (stratified), yang dibagi (a)
terlapis lemah atau sebagian (weakly or partly stratified) dengan perubahan
hanya beberapa permil (part per thousand, ppt), dan (b) terlapis kuat atau jelas
(strongly or highly stratified) dengan perubahan beberapa per mil massa air di
permukaan dekat dasar perairan;
c. Sistem densitas dan percampuran massa air arrested salt wedge;
d. Sistem densitas dan percampuran massa air fjord entrainment (fjord adalah
kuala yang tepinya berupa dinding terjal yang terjadi karena proses glacial)
2. Klasifikasi menurut Dyer (1979) sistem aliran air di muara sungai (estuary)
berdasarkan struktur salinitasnya dibagi 5 (lima) kelas, yaitu
a. Kelas 1 massa air di muara sungai terlapis (baji air asin);
b. Kelas 2 massa air di muara sungai terlapis tipe fjord;
c. Kelas 3 massa air di muara sungai tercampur sebagian (partially mixed);
d. Kelas 4 massa air di muara sungai tercampur bagus (well mixed);
e. Kelas 5 massa air di muara sungai secara vertikal homogen (vertically
homogenous estuary), Kelas 5 ini dibedakan dalam dua bagian, yaitu
i. Massa air di muara sungai secara lateral tidak homogen (laterally
inhomogenous estuary);
ii. Massa air di muara sungai secara lateral homogen (laterally homogenous
244
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
estuary)
3. Klasifikasi Barbier (1983) sistem aliran air di muara sungai (estuary) berdasarkan
konsentrasi salinitas massa airnya dibagi 4 (empat) kelas, yaitu
a. Kelas 1 massa air di muara sungai tercampur penuh secara vertikal (vertically
well mixedestuary);
b. Kelas 2 massa air di muara sungai terlapis sebagian (partially stratified estuary);
c. Kelas 3 massa air di muara sungai terlapis kuat atau jelas (strongly stratified
estuary);
d. Kelas 4 massa air di muara sungai sebagai baji air asin (salt wedge estuary).
4. Klasifikasi Postma (1980) yang menekankan pada segi sedimen (endapan) yang
dibawa oleh sungai, yaitu
a. Muara baji air asin (salt wedge estuary) dengan asumsi bahwa semua
sediment(endapan) sungai diangkut ke laut pada lapisan atas (permukaan
hingga kedalaman tertentu) dari massa sungai, sedangkan air asin laut
menyusup di bawah lapisan air tawar tersebut.
b. Muara tercampur sebagian (partially mixed estuary) di mana materi suspensi
air sungai terkonsentrasi pada lapisan maksimum kekeruhan.
c. Muara tercampur penuh (fully mixed estuary) di mana materi suspensi air sungai
terkonsentrasi di dekat pantai seperti yang terjadi pada mekanisme pasang
surut (pasut) tidak disertai dengan debit dan muatan sedimen (endapan) yang
cukup besar.
d. Muara sungai hipersaline estuary (negative estuary/estuary in reserve) yang
banyak terjadi di pantai padang pasir.
245
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Tabel 3.7.
Parameter Peta Bahaya Gelombang Ekstrim dan Abrasi (BNPB, 2012)
Skor
Parameter Bobot
0,333 0,666 1
Tinggi Gelombang < 1m 1-2.5 m > 2.5 m 30%
Arus < 0.2 0.2 – 0.4 > 0.4 30%
Tutupan Vegetasi > 80 % 40-80 % < 40 % 15%
Bentuk Garis Pantai Berteluk Lurus-berteluk Lurus 15%
Parameter ukur bencana gelombang ekstrim dan abrasi pada tabel di atas juga
dapat digunakan untuk penyusunan peta rawan bencana bencana gelombang
ekstrim dan abrasi. Setelah adanya parameter ukur tersebut, maka divalidasi juga
246
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
dengan data kejadian sebagai indikatornya. Semakin luas area yang masuk dalam zonasi
daerah rawan bencana gelombang ekstrim dan abrasi, maka semakin besar ancaman
terhadap bahaya bencana gelombang ekstrim dan abrasi di wilayah tersebut.
Contoh wilayah rawan ancaman gelombang ekstrim dan abrasi di Kabupaten
Aceh Besar dimana Indeks ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi per
kecamatan seperti pada Tabel 3.8. Berdasarkan hasil analisa kajian resiko Kabupaten
Aceh Besar, didapatkan indeks kelas bahaya dominan adalah SEDANG. Persentase
luas bahaya dominan 1,89 % (5.612,09 Ha) dari luas wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Dengan demikian maka didapatkan tingkat bahaya Gelombang Ekstrim di Kabupaten
Aceh Besar adalah RENDAH. Dampak kerugian fisik dan ekonomi adalah sebesar
272,380,401,802,018 rupiah. Bahaya Gelombang Ekstrim dan Abrasi berpotensi untuk
merusak lingkungan. Sehingga Kerusakan Lingkungan akibat bahaya Gelombang
Ekstrim dan Abrasi dari pengkajian resiko bahaya terhitung sebesar 1.656,72 Ha.
Kabupaten Aceh Besar mempunyai kelas indeks penduduk terpapar bahaya Gelombang
Ekstrim dan Abrasi Rendah (723 jiwa), sehingga dari indeks kelas kerugian dan
indeks kelas penduduk terpapar , bahaya Gelombang Ekstrim dan Abrasi di Kabupaten
Aceh Besar memiliki tingkat kerentanan Sedang. Peta Kajian Resiko bencana Gelombang
Ekstrim dan Abrasi Kabupaten Aceh besar seperti pada Gambar 3.29, berupa Peta
bahaya bencana gelombang ekstrim dan abrasi (Gambar 3.29 A.), Peta kerentanan
bencana gelombang ekstrim dan abrasi (Gambar 3.29 B), Peta kapasitas bencana
gelombang ekstrim dan abrasi (Gambar 3.29 C), Peta resiko bencana gelombang
ekstrim dan abrasi (Gambar 3.29 D)
247
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Gambar 3.29. Peta hasil kajian bencana gelombang ekstrim dan abrasi
Kabupaten Aceh Besar (Purwadhi dkk, 2012/ Dok BNPB, 2012)
Contoh lain kondisi ombak dan gelombang lebih tinggi di laut terbuka relatif
tinggi seperti telah terjadi di laut selatan Pulau Flores tanggal 12 Desember 1992
248
Mitigasi Bencana Beraspek Hidrogeologi
seperti pada Gambar 3.30. Kondisi ombak dan gelombang di selatan Pulau Flores
diambil tanggal 18 Februari 1992 berupa foto lapangan (Gambar 3.30A), yaitu
gelombang saat sebelum terjadi tsunami tanggal 12 Desember 1992. Kondisi kerusakan
yang dapat dibandingkan dengan hasil foto lapangan yaitu foto yang diambil pada
tanggal 17 Desember 1992 (gelombang sesudah terjadi tsunami tanggal 12 Desember
1992.), tampak kerusakan pantai Flores dan Pulau Babi sesudah terjadi tsunami.
Speadboat yang terlempar hingga ke tepi perbukitan melewati jalan yang relatif jauh
dari pantai (Gambar 3.30 B).
249
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
250
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih Retno Sri, 2014. Tinjauan Metode Deteksi Parameter Kekeringan Berbasis
Data Penginderaan Jauh. Proseding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014
Adjad Sudradjat, 1997. Geological Evaluation of Mineral Resources in the Asia Pacific
Region With Reference To Indonesia. Jurnal Indonesian Mining. Vol 3 No 2 June
1997.
Adrian, 2014. Permodelan Spasial Tingkat Kerentanan Bencana Tsunami di Kawasan
Pesisir Teluk Betung, Kota Bandar Lampung. Tesis Magister Ilmu Geografi.
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.Universitas Indonesia
Ahrens, D. 2007. Meteorologi Today An Introduction To Weather, Climate and The
Environment. Thompson Higher Education USA.
Ahmadsarindo,A.S 1982. Kondisi Geomorfologi Lingkungan Dan Geomorfologi Dinamik
Di Daerah Pantai Dan Implikasinya Terhadap Pengelolaan Lingkungan Fisik
Daerah Pantai. Studi Kasus Di Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah Antara
Pegunungan Karangbolong Hingga Cilacap. Disertasi Untuk Memperoleh Gelar
Doktor Dalam Ilmu Geografi Pada Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia.
Anderson J.R. et al, 1972. A Land Use and Land Cover Classification System for
Use with Remote Sensor Data, Geological Survey Professional Paper 1964, US
Government Printing Office, Washington D.C.
Andréfouët Serge, 2004. The diversity and extent of Planet Earth’s modern coral reefs (a view
from space). Institut de Recherce pour le Dévelopment, Nouméa, New Caledonia,
France. Proceeding 10th International Coral Reef Symposium – Okinawa, Japan,
28th June-2nd July 2004.
Anugrahadi, A, A. Murwanto, and N. Hendiarti. 2002. Distribution of suspended
sediment in east Kalimantan coast observed from satellite imageries in relation
to coastal environtment condition. In Proceeding The 31st Annual Convention
of Indonesian Association of Geologists. Surabaya. pp 354-363.
Anugrahadi, A. and N. Hendiarti. 2003. Study of suspended sediment in Jakarta bay
using satellite SeaWIFS data. In Proceeding of Joint Convention IAGI-HAGI.
Jakarta. pp 122-128.
251
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
252
Daftar Pustaka
Akresi di Pesisir Utara Pulau Jawa Bagian Barat. Pertemuan Ilmiah Tahunan
(PIT) dan Kongres ke-VIII ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia). 25-27
September 2011, di Hotel Sahid, Makassar.
Anugrahadi, A., D.S.Prabowo, A.I.Wardhana, B.M. Sukojo, Y.S. Djajadiharja, F.S.
Purwadhi, 2011c. Software Applications Er Mapper and Arc View GIS to
Measure Area and Distance of Coastline Changes during 25 Years in Coastal
Pandeglang, Banten Province. International Conference Intercarto-Intergis 17 di
Bali, 1 Desember 2011
Anugrahadi, A, B.M.Sukojo, Y.S.Djajadihardja, S.H.Purwadhi. 2012. Analisis Citra As-
ter GDEM untuk Mengetahui Slope di Daerah yang Terkena Abrasi dan Akresi.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ISOI IX (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia)
21-23 Oktober 2012 di Mataram, Lombok.
Anugrahadi, A, B.M.Sukojo, Y.S.Djajadihardja, S.H.Purwadhi. 2013. Identifikasi Vari-
asi Perubahan Garis Pantai Akibat Abrasi dan Akresi Pembentuk Geomorfologi
Pesisir Barat Propinsi Banten. Diterima untuk diterbitkan pada Jurnal Segara ed-
isi Agustus 2013. Nomor Akreditasi: 319/AU1/P2MBI/10/ 2010. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, DKP RI.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor.
Avery, T.E. and Berlin, 1985. Interpretation of Aerial Photographs, Burgess Publishing
Company, Minneapolis, Minn.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), 2008. Seismik Indonesia tahun
1973 – 2007. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), 2012. Masterplan Pengurangan
Risiko Bencana Tsunami
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), 2013. Redefinisi Strategi
Penanggulangan Bencana Indonesia
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), 2013. Indeks Risiko Bencana
Indonesia (IRBI). Direktorat Pengurangan Risiko Bencana. Diputi Bidang
Pencegahan Dan Kesiapsiagaan. Badan Penanggulangan Bencana Nacional.
ISBN : 978-602-70256-0-8
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), 2014. Info Bencana Maret 2014.
http://bnpb.go.id/publikasi/pustaka/14?page=2
253
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Bambang Sumarto dan Widodo, 1993. Pra Reklamasi Tambang Bawah Tanah. Studi
Kasus pertambangan di daerah Parit Keusik, Cigaru, Sukabumi. Temu Profesi
Tahunan 1993 PERHAPI Bandung, 14-15 Juli. Hal 7-8
Bale John, 1983. The Location of Transfactureing Industry. Edenberg, Oliver and Boyd
Balingtan. (2014). Dampak Perubahan Iklim Global Terhadap Bencana Kekeringan Di
Indonesia. http://balingtan.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/4-info-aktual/
202-dampak-perubahan-iklim-global-terhadap-bencana-kekeringan-di-indonesia.
Bappenas, 2009. Ringkasan Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana Di
Indonesia (kebijakan, strategi, operasi). www.bappenas.go.id/get-file-server/
node/8846/
Bemmelen, R.W.van. 1949. The Geology of Indonesia Vol IA, IB and II. The Hague :
Gov. Printing of Hugue. (Martinus Nijhoff The Hague), Netherland
Berg, 1984. Settlement Geography, John Wiley & Son, Inc. New York
Berthommier, P.C. 1990. Etude volcanologique du Merapi (Centre Java) Tephostratig-
raphie et chronologie-mechanismes eruptifs Unpublished thesis, University of
Blaise Pascal, Clermont-Ferrand. 115 pp., annexes
Bhide, A. 1987. Slum and Squarter Settlement in Coimbatore City, India. Airphoto
Interpretation for Urban Planning and Management, Case Studies India, ITC
Dept of Urban Survey and Human Settlement analysis – Indian Institute of
Remote Sensing, Dehra Dun
Bintarto dan Surastopo H, 1979. Metode dan Analisis Geografi. LP3ES Jakarta
Bird, E.C.F., 1970. Coast and Introduction to Systematic Geomorphology. Vol 4
Cambrige, London : The Press Massachusetts Institute of Technology.
Bird, E.C.F., 1979. Environmental Problem Related to the Coastal Dynamics of Humid
Tropical Deltas in Proceedings of Jakarta Workshop on Coastal Resourches
Managements. The Indonesian Institute of Science (LIPI)-The United nation
University, 11-15 September 1979.
Bird, E.C.F., 1993. Submergeing coast. John Willey & Sons, Chichester : 184 p
BMKG. 2009. Materi Konferensi Pers Prediksi El-nino oleh Institusi Internasional dan
BMKG, www.bmkg.go.id. [10 Agustus 2009].
BMKG, 2014. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia. www.bmkg.go.id.
Borrough, P.A., 1999. Principle of geographical information system for land resourc-
es assessment. Clorendon Press. Oxford
254
Daftar Pustaka
Borger, B.H. 2001. Climate Assesment and Drought: The Occurrence and Severity of
Drought in South Sumatra and El-Nino Southern Oscillation Index in Forest Fire
Prevention and Control Project.
Carre, J., 1971. Lecture et Exploitation des Photographies Aerièn Tome I et II : Collection
Techniqui de E’Institute Geographique National, Edition Eyrolles, 61 Boulevard
Sain Germain, Paris Ve
Cehn , C., 1973. Statistical Pattern Recognation, Hayden Book Company, Rochelle
Park, New Jersey
CEOS,1999. Disaster Management Support Project. Committee on Earth Observation
satellites (CEPS) Progress Report. Oktober 1999
CEOS, 2009. Disaster Management Support Project. Committee on Earth Observation
satellites (CEPS) Progress Report. September 2009
Davidson, R. 1997. An Urban Earthquake Disaster Risk Index, The John A. Blume
Earthquake Engineering Center. Report, Stanfort California
Departemen Pertambangan,1995. Buku Panduan Peta Geologi Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Pertambangan dan Energi.
Departemen Pekerjaan Umum,1979. Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman
Kota. Depatemen PU. Direktorat Perumahan, Jakarta
Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Timur (Diskon Jatim). 2014. Potensi Jawa
Timur: Kelud, Sejarah Panjang. Jatim: Dinas Komunikasi dan Informatika Jatim.
Dinas Lingkungan Hidup Jawa Tengah, 2005. Pengelolaan Bencana Jawa Tengah
Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami. Tim Koordinasi Perumusan Kebijakan
Penanggulangan Bencana Alam Secara Terpadu Propinsi Jawa Tengah.
Dinas PU Jawa Tengah, 2004. Standar Operasional dan Prosedur Banjir SWS Citanduy
– Ciwulan. Departemen Pekerjaan Umum (DPU). Direktorat Jenderal Sumber
Daya Air Wilayah Tengah.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), 2005.
Manajemen Bencana Tanah Longsor. http://www.pikiran-rakyat.com/
cetak/2005/0305/22/0802.htm 14/7/2007
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007. Pengenalan Gerakan
Tanah. http://www.merapi.vsi.esdm.go.id/?static/gerakantanah/pengenalan.
htm 18/5/2007
Downer, C.W. and Ogden, F.L., 2006. Gridded Surface Subsurface Hydrologic Analysis
255
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
(GSSHA) User’s Manual, Version 1.43 for Watershed Modeling System 6.1.
Prepared for U.S. Army Corps of Engineers. Washington.
Dudal, R. and Supraptohardjo, M., 1957. Soil Classification in Indonesia. Contribution
Generik Agriculture. Res. Sta. No. 148. Bogor.
Dubson J.E., 1993. The geographic revolution and perspective on the age of automated
geography, in professional geographer, vol 45. 94) Arbor Michigan
Dyer, K.R., 1979. Estuaries and estuarine sedimentation. Dalam : Estuarine Hydrography
and sedimentation (K.R. Dyer, Ed), 1 – 18 Cambrige Univ. Press, Cambrige.
Dzulfikar Habibi Jamil, 2013. Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh
Dan Sistem Informasi Geografis Di Kabupaten Klaten. Skripsi Jurusan Geografi.
UNNES
EOSAT-NASA, 1999. Landsat Data Handbook. The Earth Observation Satellite
Company (EOSAT), USGS-EROS Data Center Sioux Falls, SD 57198
EOSAT-NASA, 1999. Laporan Committee on Earth Observation Satellites (CEOS),
EOSAT NASA, USA
Fabio Vittorio De Blasio, 2011, “Introduction to the Physics of Landslides”, Springer
Dordrecht Heidelberg London New York
FAO, 1974. Soil Map of the World. Vol. I. Legend.FAO/ UNESCO, 1974. Paris.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation (FAO Soils Bulletin 32), Rome.
FAO. 2006. Evaluasi Lahan Kehutanan (terjemahan). Yayasan Sarana Wana Jaya.
Jakarta.
Fennell. David A, 1999. Ecoturism : An Introduction, Routledge, London and New
York
Fletcher, J.R; Gibb, R.G. 1990. Pedoman Survai Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan
Konservasi Tanah di Indonesia (terjemahan). Departemen Kehutanan Direktorat
Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Republik Indonesia. Departemen
Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Industri Divisi Sumberdaya Lahan – Selandia Baru.
Flock, W.L., 1979. Electromagnetic and the Environment : Remote Sensing and
Telecommunications. Prentice-Hall Inc, New Jersey.
Global Humanitarian Forum, 2009. Laporan mengenai dampak pemanasan global
terhadap bencana hidrometeorologi. http://indonesia.humanitarianresponse.
info | www.unocha.org
256
Daftar Pustaka
Goosen, D. 1967. Aerial Photo Interpretation in Soil Survey. FAO Soil Bulletin No. 6.
Rome.
Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis, Akademi Pressido, Jakarta
Haralik R.M., 1985. Statistical and structure approaches to texture. In Digital Image
Processing and Analysis vol 2, edited by Chellapa R. and Sawchuk A.A., IEEE
Comp. Soc. Press. pp. 304-322.
Hartmann, M.A., 1934. Der grosse Ausbruch des Vulkanes G. Merapi (Mittle-Java) im
Jahre1972. Natuurk, Tijdschr, Ned. Indie 94, 189-210
Haryani Nanik Suryo, 1998. Analisis data penginderaan jauh untuk meneliti hubun-
gan lingkungan permukiman kumuh dengan kondisi sosial ekonomi penghuni
di daerah Kec. Penjaringan Jakarta Utara. Lembaga Penerbangan Dan Antariksa
Nasional (LAPAN). ISBN 978-8554-23-X. Jakarta
Haryani Nanik Suryo, Junita Monika Pasaribu, Dini Oktavia Ambarwati, 2012. Model
Simulasi Banjir Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Laporan Penelitian Pusat
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh, Lembaga penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN)
Harton, R.E., 1945. Erosional development of streams and there drainage basins,
Hydrological Approach to Quantitative Morfology. Bull. Geol. Soc. Amer. 56 pp
275-370
Hartoto Dedi Iving, 2003. Potential Contribution of Limnology for The development of
Indonesian Inland Water Ecoturism. Research Center for Limnology, Indonesian
Institute of Sciences.
Hayes, M.J., Svoboda, M.D., Wilhite, D. A,. Dan Vanyarkho, O. V. (1999). Monitoring
The 1996 Drought Using The Standadized Precipitation Index. Bull. Am.
Meteorol.Soc.
Hendiarti, N dan Afiat Anugrahadi, 2004. Kajian Bencana Pencemaran Teluk Jakarta
Berdasarkan Analisis Citra SatelitSeaWifs dan Modis, Buletin Alami BPPT Vol.9
Nomor 2.
Heru N, F. Sri Hardiyanti, Dede D, Yon R, Supriyono, 2000. Inventarisasi Lahan Tidur
Untuk Peningkatan Budidaya Pertanian Dan Lapangan Kerja Di Pulau Jawa.
Prosiding Seminar Internasional Penginderaan Jauh Dalam Pengembangan
Ekonomi Dan Pelestarian Lingkungan Volume II. LAPAN-LIPI-NASDA. Jakarta 12
257
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
258
Daftar Pustaka
259
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Lil and Gibler, 2006. Human environment interactions. Ecological center Kiel (www.
uni-kiel.de/.../index.html.)
Lillesand, Thomas, M. and Kiefer Ralph, W. 2004. Remote Sensing and Image
Interpretation. Third Edison. John Wiley & Son, Inc. New York
Lindgren, D.T., 1985. Landuse Planning and Remote Sensing. Martinus Nijhoff
Publisher, Doldrecht
Lobeck, 1951, Geomorfologi Indonesia
Michael D. Krom, 2008. Ocean. Earth and Biosphere Institute, School of Earth
and Environment, Physical Geography and the Environment. Second edition
published 2008
Made Sandy I, 1977. Penggunaan Tanah di Indonesia. Agraria dan Perencanaan
Tataguna Tanah, Jakarta.
Made Sandy I, Hari Kartono, Sugeng Rahardjo, 1989. ESENSI Pembangunan Wilayah
dan Penggunaan Lahan Berencana. Jurusan Geografi FMIPA, Universitas Indonesia
Made Parsa I. dan Sri Hardiyanti, 1998. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Pertanian
Padi Dari Data Inderaja (Studi Kasus Daerah Sumatera Selatan). Sain Indonesia
Tahun 3 No. 3 (September 1998). ISSN : 0853-1412
Made Parsa I, Dede D, F. Sri Hardiyanti, dan Kustiyo, 2000. Daerah-Daerah Rawan
Pangan Di Pulau Jawa. Prosiding Seminar Internasional Penginderaan Jauh
Dalam Pengembangan Ekonomi Dan Pelestarian Lingkungan Volume II. LAPAN-
LIPI-NASDA. Jakarta 12 April 2000. Halaman 556-568
Malinggreau J. P and Cristiani R. 1981. A Land Cover Use Classification System for
Indonesia. PUSPICS – Geografi – Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta
Marble D.F., Calkins H.W. and Peuquet D.J., 1984. Basic Readings In Geographic
Information System. SPAD System, Ltd. Williamsville, New York, USA.
Martopo Sugeng, 1995. Azas Keseimbangan Lingkungan Dalam Geografi dan
Penerapannya Dalam Pembangunan. Pidato Dies dalam Rangka memperingati
Dies Natalis ke XXXII. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Martosubroto, 1979. Relationship between tidal forest (mangrove) and commercial shrip
production in Indonesia. Proceeding Seminar Marine Resources in Indonesia. P3O LIPI
Matson, M, Schneider, Aldrige, and Satchwell, 1984. Fire detection using NOAA-serries
satellites. NOAA Technical Report NESDIS 7 Department of Commerce
Washington D.C.
260
Daftar Pustaka
McClatchey John, 2008. Global Climate And Weather. Environmental Research Institute,
North Highland College (a UHI Millennium Institute Academic Partner), and
Honorary Research Fellow, University of Nottingham
Mc Feeters SK. (1996). The Use of Normalized Difference Water Index (NDWI) in the
delineation of Open Water Features. Interational Journal of Remote Sensing 17,
1452-1432.
McKee, T. B., Doesken, N. J., dan Kleist, J., 1993. The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scales. Procedings of the 8th Conference on
Applied Climatology.
Menparda, 2002. Development of Ecoturism in Indonesia dalam file Ecoturism,
Maldives/ MPG, Rh 02, 2002
Meijerink, A.M.J. 1970. Use of Aerial Photograph in Geomorphology. ITC. Textbooks,
The Netherland
Mekel, J.M. 1970. The Use Aerial Photographs In Geological Mapping. Deflf, ITC. The
Netherlands.
Melinda, 2007. Intensitas Curah Hujan Metode Hasper dan Der Weduwen, dalam
Nugraha, M.T., 2009. Analisis Curah Hujan Maksimum serta implikasinya
terhadap perencanaan saluran drainase (Studi Kasus perempatan ITN – Kota
Malang) Central Library Institut Tecnology Bandung – ITB, Bandung.
Midorikawa S., M. Matsuoka and K. Sakugawa, 1994: Site Effects on Strong-Motion
Records Observed During the 1987 Chhiba-Ken-Toho-Oki, Japan Earthquake,
Proc. 9th Japan Earthq. Eng. Symp., E-085 - E-090. http://www.j-shis.bosai.
go.jp/map/lang-en
Mohr ECJ. and Baren van FA., 1960. Tropical Soil. A critical study of soil genesis as
related to climate, rock, and vegetation. Les Editoin A Manteau S.A. Bruxelles.
Natsushima Cruise, 2004. Geomorfological prism of landward vergent thrust fold
outboard of the frontal slope in flat seabed. Sonar surveyed Of Rv Natsushima
Cruise, 2004
Nihoul Jacques C.J., 1984. Remote sensing of Shelf Sea Hydrodynamics, Proceeding
of 15 th International Liege Colloquium of Ocean Hydrodynamic, Elcevier
Amsterdam – Oxford- New York – Tokyo
Northam Ray M., 1979. Urban Geography. John Wiley & Son, Inc. New York
261
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
262
Daftar Pustaka
263
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
264
Daftar Pustaka
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah, 2005. Pengelolaan Bencana Jawa Tengah
Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami. Tim Koordinasi Perumusan Kebijakan
Penanggulangan Bencana Alam Secara Terpadu Propinsi Jawa Tengah.
Peraturan Daerah Provinsi Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Lain Provinsi Aceh;
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar;
Peraturan Kabupaten Aceh Besar Nomor 188.3/05 Tahun 2013 tentang Penjabaran
Tugas dan Fungsi Para Pejabat di Lingkungan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Kabupaten Aceh Besar.
Philander, G. 1998. Learning from El Niño. Weather, 53, 270–274.
Pramono Mardio dan Erna Sri Adiningsih, 1994. Identifikasi kebakaran hutan melalui
pemantauan titik panas dan indeks vegetasi dari satelit multi temporal. Majalah
LAPAN No. 71. Oktober 1994
Prapto Suharsono, 1984. Kumpulan Bahan Kuliah Interpretasi Citra Untuk Tataruang
Penyiapan Lahan Transmigrasi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Prasetya, R. 2011. Analisis Curah Hujan Akibat Siklon Tropis Nangka, Parma dan Nida
di Sulawesi Utara. Skripsi Sarjana FMIPA Universitas Samratulangi (Unsrat).
Pratomo, I. and Abdurachman, K., 2004. Characteristics of the Indonesian active
volcanoes and their hazards. Mineral & Energi, 2, no. 4, h. 56-60.
Purbawinata, M.A., Wirakusumah, A.D., and Pratomo, I., 2004. Directed blast and
debris avalanches of 2002 Papandayan eruption, West Java - Indonesia. Edisi
khusus, Letusan G. Papandayan tahun 2002, J. Volc. Activity in Indonesia, 1,
no. 5, h. 103-114.
Purwadhi Sri H, 1981. Metode Pengenalan Geologi pada Data Remote Sensing. Pusat
Pemanfaatan Antariksa. Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional
(LAPAN). Jl. Pemuda Persil No.1. Jakarta Timur
Purwadhi Sri H, Indrabudi H, Hidayat, 1984. Pendekatan Multi Level Remote Sensing
Untuk Inventarisasi Hutan (Studi Kasus daerah Sumatera Selatan). Proc. Seminar
LAPAN-UGM mengenai Penginderaan Bersama Daerah Istimewa Yogyakarta
dan sekitarnya dengan Menggunakan MSS Landsat dan Sensor Pesawat
Terbang, Jakarta
265
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
266
Daftar Pustaka
267
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Purwadhi Sri Hardiyanti, 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia Jakarta.
Purwadhi Sri Hardiyanti, Nanik Suryo Haryani, dan Kustiyo, 2001. Analisis Citra Satelit
Untuk Kawasan Ekosistem Air Hitam, Sungai Puning, Buntok, Kalimantan
Timur. Laporan Penelitian Keanekaragaman Hayati (Kehati). September 2001
Purwadhi Sri Hardiyanti, Nanik Suryo Haryani, Kustiyo, Herdiman Rico, 2001. Analisis
Citra Satelit Tentang Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan oleh PT.
Freeport Indonesia. Walhi, 2001. Ringkasan publikasi pada Website Walhi :
Http://www.walhi.or.id.
Purwadhi Sri Hardiyanti, Hendro Prahasto, Tatik Cahyani Hartati, Nanik Suryo Haryani,
Titis Haniasti, dan Kustiyo, 2001. Restorasi Lingkungan dengan Konsep HTI-Mosaik.
Laporan Tahun Pertama Riset Unggulan Terpadu, Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Indonesia, November 2001
Purwadhi Sri Hardiyanti, Nanik Suryo Haryani, dan Kustiyo, 2001. Deteksi Permukiman
Kumuh dari data IKONOS. Majalah Geografi No 2 Vol III, Dept Geografi, FMIPA, UI
Purwadhi Sri Hardiyanti, 2004. Supply of Coastal Zone Thematic Spatial Data Set
(Survey dan Pemetaan) bagian Survei Tataguna Tanah. MCRMP (Marine and
Coastal Resources Management Proyect) Kerjasama Bappeda Sulsel dan ADB
di DKP, 2004
Purwadhi Sri Hardiyanti, Otto Ongkosongo, Nanik Suryo Haryani, Tatik Cahyani, 2004.
Inventarisasi potensi sumberdaya alam untuk perencanaan wilayah perbatasan
Kalimantan Barat. Laporan PPRUK LAPAN, Oktober 2004
Purwadhi Sri H., Arisdiyo, Indiayani, 2004. Analisis Potensi wilayah Agam, Sumatera
Barat dari citra Resoursat P-6 dan data EROS untuk perencanaan Agropolitan.
Laporan In House Riset, Pusdata, LAPAN, November 2004
Purwadhi Sri Hardiyanti, 2004. Pemantauan Kerusakan Lingk Sekitar TN Danau
Sentarum Kalbar. Prosiding Seminar Geomatika Indonesia, Bakosurtanal ISBN
797-3369-06-X Desember 2004
Purwadhi Sri Hardiyanti, 2005. Kemungkinan Perubahan Status Wilayah Berdasar
Evaluasi Fisik Dan Sosial Dari Inderaja Dan SIG (Studi Kasus Taman Nasional
Kayan Mentarang, Kab. Nunukan, Kalimantan Timur). Pertemuan Ilmiah XIV,
Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) ITS, Surabaya, 14-15
September 2005.
268
Daftar Pustaka
Purwadhi F.Sri Hardiyanti, Kiki Taufik, Rambo, 2006. Pemantauan kerusakan lingkungan
Peg. Meratus, Kalimantan Selatan, dari citra Landsat TM dengan kajian geografis.
Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengelolaan Citra Digital. Vol 3 No. 1 Juni 2006.
ISSN 142-8098
Purwadhi F. Sri Hardiyanti, Otto Ongkosongo, Eko Kusratmoko, Nanik Suryo Haryani,
Sutan Siburian, Sukentyas, Dianovita, Farid Fadillah, 2006. Alternatif Pengelolaan
Sumberdaya Air Tawar Di Pulau Kecil Berbasis Data Inderaja Dan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus Pulau Nunukan). Laporan PPRUK LAPAN, Desember 2006.
Purwadhi Sri Hardiyanti, 2006. Deteksi Dan Kajian Geografis Semburan Lumpur Panas
Sidoardjo, Jawa Timur. Panel Diskusi Forum Komunikasi Mahasiswa FMIPA-UI
mengenai Luapan Lumpur Lapindo Sidoardjo.
Purwadhi F. Sri Hardiyanti, Otto Ongkosongo, Nani Hendiarti, Yulianto, Dianovita,
2007. Kajian informasi spasial Pelabuhan Anggrek, Gorontalo dan kemungkinan
pengembangannya. Laporan Riset Unggulan Kedirgantaraan (RUK) LAPAN, 2007
Purwadhi F. Sri Hardiyanti, Irawadi, Wawan, Sharif, Munawar, Evrí Dwi, 2007.
Pantauan dinamika dan kualitas Danau Limboto dari citra penginderaan jauh
multitemporal. Laporan Riset Unggulan Kedirgantaraan (RUK) LAPAN, 2007
Purwadhi F. Sri Hardiyanti, Dianovita, Wiji, Inggit, 2008 Pembuatan Rencana Tata
Ruang (Alternatif) Kota Salatiga Berbasis Data Penginderaan Jauh Resolusi
Tinggi. Berita Inderaja Vol VII, No 8 Desember 2008
Purwadhi Sri Hardiyanti dan Tjaturahono Budi Sanjoto, 2008. Pengantar Interpretasi
Citra Penginderaan Jauh. Buku pegangan Guru dan Mahasiswa. Kerjasama
LAPAN- UNNES, 2008. Louncing Buku 29 Januari 2009 dalam Rangka Seminar
Nasional di UNNES Semarang, Jawa Tengah.
Purwadhi Sri Hardiyanti, Toni Kristiastomo, Hidayat, Saiful, 2013. Penyusunan Kajian
Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Daerah Di
Wilayah Aceh Dan Sumatera Utara. Laporan Kegiatan penyusunan KRB dan
RPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2013
Purwadhi Sri Hardiyanti, Albert Hernawan, Hidayat, Krstiastomo, 2014. Analisis Risiko
Bencana Gunung Kelud. Laporan Kegiatan penyusunan KRB dan RPB Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2014.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 2006. Catatan Gunung
api aktif di Indonesia.
269
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
PUSPICS, 1999. Studi Penyusunan Management Plan DAS Kaligarang. Laporan Akhir.
PUSPICS – Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ratman,Suwarti, Samodera, 1998 Peta Geologi Lembar Surabaya skala 1 : 1000000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Edisi kedua
Rittmann, A., 1960. Volcanoes and their activity. John Willey & Sons, Inc. New York –
London – Sydney, 395 h.
Robert Hall, 1995. Reconstruction of Continental Drif and Sea Floor Spreading of
Southeast Asia. Research Group London University.
Robinson, P.J. and Sivapalan, 1996. Contemporary climatology. Pearson Education,
Harlow.
Salmawati. 2010. Studi Pengaruh Indeks Osilasi Selatan sebagai Indikator El-Nino
terhadap curah hujan di Sulawesi Utara. Skripsi Sarjana FMIPA Unsrat.
Saputra I Wayan Gede Eka, 2015. Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor Di Kecamatan
Sukasada, Kabupaten Buleleng . Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada
Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Sarachik, E.S dan M.A. Cane. 2010. The El-Nino Southern Oscillation Phenomenon.
Cambridge University Press, USA.
Sari Dwika Ratri, 2016. Dampak Kekeringan Terhadap Pola Tanam Padi Sawah Di
Kabupaten Pringsewu. Thesis Magister Ilmu Geografi. FMIPA. Universitas
Indonesia
Sarwono Hardjowigeno, 1985. Klasifikasi tanah, Survei tanah, dan Evaluasi
Kemampuan Lahan. Fakultas Pertanian, Institute Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Satish Dhawan Space Centre (SDSC), 2003. Resourcesat-1 (IRS-P6) Charakteristis. Indian
Remote Sensing Satellite, Satish Dhawan Space Centre (SDSC)
Schumm, 1972. Fluvial Geomorphology. Bendmark paper in Geomorphology.
Seregar Syafei, 2004. Cadangan batumulia Indonesia. Forum Diskusi Pengelolaan dan
Pengolahan Batumulia untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional. Kemen RISTEK
24 November 2004.
Serge Andréfouët, 2004. The diversity and extent of Planet Earth’s modern coral reefs “a
view from space”. 10 th International Coral Reef Symposium – Okinawa, Japan,
28th June-2nd July 2004. University of South Florida, St Petersburg, FL, USA.
Institut de Recherche pour le Développement, Nouméa, New Caledonia, France
270
Daftar Pustaka
271
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Subandriyo. 2011. Sejarah Erupsi Gunung Merapi dan Dampaknya Terhadap Kawasan
Borobudur. diakses melalui www.konservasiborobudur.org tanggal 9 Oktober 2013
Subowo, E. 2003. Pengenalan Gerakan Tanah. Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung.
Suparka Dr. 1996. Kegiatan LIPI, Puslitbang Geoteknologi, UPT Tambang Percobaan
Jampang Kulon. Hal 3-4
Suratno, 1982. Ilmu Perlindungan Hutan. Fak. Kehutanan, IPB-Bogor.
Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka
Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.
Suryadi, 1993. Identifikasi jenis awan. Jurnal Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika.
Vol 2. No 3. Oktober 1993
Sutawidjaja Igan S, 2006. Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau setelah letusan
katastrofis 1883 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jln. Diponegoro
No. 57 Bandung, Indonesia. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 3 September
2006: 143-153
Sutawidjaja Igan S, 2014. Letusan Tambora 1815 yang Mematikan. GeoMAGZ. Majalah
Geologi Populer. Vol IV No 3, September 2014 ISBN 2088 – 7906. Badan
Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.
Sutopo Purwo Nugroho, 2016. Evaluasi Penanggulangan Bencana 2015 dan Prediksi
Bencana 2016. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB
Thrornbury, W.D., 1969 Principle of Geomorphology 2 dn ed John Wiley & Sons, New York
Tood,D.K., 1980. Groundwater Hydrology. New York. John Willy and Sons.
Trisakti B, Julzarika A. 2011. Kajian Penggabungan Data SRTM C Band dan
Peta Topografi untuk Perbaikan Tingkat Akurasi DEM. Geospasial dalam
Pembangunan Wilayah dan Kota. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT)
XVIII MAPIN. Semarang, 8 Jun 2011. Semarang: Biro Penerbit Planologi Undip;
2011. hlm VI-41 – VI-46.
Troeh, F.R., J.A. Hobbs, dan R.L. Donahue. 1980. Soil and Water Conservation for
Productivity and Environmental Production. Prentice – Hall, Inc. New Jersey.
Tsuchiya, A., Ishizaki, K., Sasaki, K.,. 1979. Flood Simulation Model: Unsteady Flow
Method. Hydrological Sciences-Bulletin-des Sciences Hydrologiques.
Untung M, 1974. Peta Anomali Bouguer Jawa dan Madura. Publikasi Teknik Seri
Geofisika No. 4 tahun 1974
272
Daftar Pustaka
273
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Verstappen H Th. 1977. Remote Sensing in Geomorphology Elsevier Sci. Pbl. Com.
Comp., Amsterdam
Verstappen H Th. 1983. Applied Geomorphology: Geomorphological Survey for
Environment. Elsevier Sci. Pbl. Com. Comp., Amsterdam
Verstappen H Th. 1985. Applied Geomorphological Survey and Natural Hazzard
Zonning. ITC Lecture Note, The Netherland.
Viessmann, W., Lewis, G.L., and Knapp, J.W., 1989. Introduction to Hydrology. Harper
Collins Pub., New York.
Vokuil R.P.G.A., 1990. Introduction to terrain Analysis. ITC. The Netherland
Wakamatsu K. and M. Matsuoka, 2006. Development of the 1./-arc-second
engineering geomorphologic classification database and its application to
seismic microzoning. Bull. Earthq. Res. Inst. Univ. Tokyo; Vol. 81, pp. 317-324
Wag, 1973. Permafrost hydrology in north America. Atmosphere–Ocean, 24, 201–234
Wang, X., Gu, X., Wu, Z., Wang, C., 2008. Simulatiom of Flood Inundation of Guiyang
City Using Remote Sensing, GIS and Hydrological Model. The International
Widiyanto dan Suprapto, 1991 Geomorfologi. Bahan Kursus Evaluasi Sumberdaya
Lahan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Wischmeier, W.H. dan D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide
to Conservation Planning. Agr. Hndbk No. 537. USDA, Washington, D.C.
Wood, M.E., 2002. Ecoturism : Principles, Practices and Policies for Sustainnability,
UNEP
Zuidam van R, 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis And
Geomorphological Mapping. International Instutute For Aerospace Survey And
Earth Sciences (ITC). Enschede The Netherlands
Zurich SSC, 1977. Cartographic Generalization. Topographic Maps. Cartographic
Publication Series. Published by the Swiss Society of Cartography. Zurich.
Website :
Kbbi.web.id
274
Biodata Penulis
BIODATA PENULIS
Dr. Ir. Afiat Anugrahadi, MS.
Lahir di Jakarta, 22 September 1960. Pendidikan
Sarjana Teknik Geologi Universitas Trisakti, Jakarta
lulus tahun 1988. Gelar Magister Sain dalam Program
Pascasarjana Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung
(ITB) di Bandung lulus tahun 1992. Gelar Doktor bidang
Geomatika di FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya lulus tahun 2013.
275
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Pernah menjadi anggota delegasi RI Second Bilateral Workshop RI-UK di London dan
melakukan Visiting Scientist di IOW (Baltic Sea Research Institute) Warnemunde,
Germany; BGR (Federal Institute for Geosciences and Natural Resources). Hannover,
Germany; NASA (National Aeronautics and Space Administration) Goddard Visitor
Center - USGS (the U.S. Geological Survey-) Maryland, USA; Formosat Satellites
-Natural Disaster Institution – Taiwan; Scout Headquaters – Hongkong; IOC
(International Oceanography Conferences)/WESTPAC - Kinibalu, Sabah Malaysia;
CEFAS – Lowestoft, UK.
276
Biodata Penulis
Pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) sejak tahun 1973. Pensiun PNS LAPAN sejak 1 Mei 2010 dengan
Pangkat/ Golongan : Pembina Utama/ IVe. Jabatan Struktural yang pernah dijabat
Kepala Bidang Satelit Navigasi dan Geodesi di LAPAN 1987-1989. Jabatan fungsional
dimulai dari jenjang Peneliti Madya hingga peneliti Ahli Peneliti Utama (APU) di LAPAN
diperoleh tahun 1995 dan Pengukuhan Profesor Riset pada tanggal 5 Januari 2006.
277
Terapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Mitigasi Bencana
Anggota Panitia Penilai Jabatan Peneliti Nasional (P2JP Nasional) sebagai utusan
LAPAN tahun 1997 – 2006. Anggota Tim Penilai Peneliti Pusat (TP3) LIPI 2006 – 2008.
Sebagai Narasumber dan Tenaga Ahli aplikasi penginderaan jauh, permodelan spasial
dan dinamika spasial dalam sistem informasi geografi (SIG) pada beberapa konsultan.
Publikasi ilmiah lebih dari 250 artikel, yang ditulis sendiri atau bersama penulis lain
dalam bentuk buku, artikel dalam jurnal/majalah diterbitkan secara nasional maupun
internasional. Kegiatan ilmiah lebih dari 150 kali pertemuan ilmiah nasional, regional,
dan internasional.
278