Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Pada Tahun 1998 Indonesia mengalami masa yang sangat sulit karena pada saat itu
terjadi krisis moneter yang berimbas pada dunia industri. Hal ini membuat beberapa
badan usaha milik swasta maupun pemerintah melakukan Pemutusan Hubungan kerja
atau yang sering disebut dengan PHK. Langkah ini terpaksa dilakukan karena salah satu
alasannya adalah perusahaan mengalami kerugian yang tidak sedikit, sementara
perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah kepada pegawainya.
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang
lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif
bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul
dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang
harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang
bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran
dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.

2. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian PHK
2. Jenis-jenis PHK
3. Mekanisme dan Penyelesaian Perselisihan PHK
4. Kompensasi PHK

3. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
2. Mengetahui Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
3. Mengetahui Mekanisme pemberian PHK kepada karyawan dan cara penyelesaian
perselisihan yang akan timbul setelah Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan
4. Mengetahui Bentuk dari pemberian Kompensasi kepada karyawan yang akan
mendapatkan PHK dari perusahaan
5. Untuk memenuhi tugas Mata kuliah Hukum Ketenaga Kerjaan pada Jurusuan Ilmu
Hukum Universtitas Taman Siswa Palembang

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN PHK
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. pabila
kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak
perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki
konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No.
13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab.
Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski
begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi
ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa
hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan
Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta
Pengadilan Tata Usaha Negara.

2. JENIS - JENIS PHK


a. PHK Pada Kondisi Normal (Sukarela)
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu
keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran
sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya
seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya
tersebut.
Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat
kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Ketika
seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini
harus dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan kebanggaan
yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa
kehidupan yang tanpa peran.

2
Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk
melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya. Ketika
seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama
masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan
pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan memasuki
masa pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan yang
dirasakannya selama ini.
Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat mengajukan
pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat
berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan
alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat
: (a) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya,
(b) tidak ada ikatan dinas,
(c) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk mengundurkan
diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak perusahaan.
Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi
terbaik bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga.
Di sisi lain perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila
perusahaan harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan
karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti
sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai
Pasal 156 (4). Karyawan mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian.
Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait
apakah karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan
penghargaan masa kerja.

b. PHK Pada Kondisi Tidak Normal ( Tidak Sukarela )


Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan
beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984).
Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside
stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk di
dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia
ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak

3
berasal dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada
gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada
kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi.
Kondisi yang demikian akan mempersulit suatu perusahaan mempertahankan
kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini
berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat
memberikan beberapa pengertian, yaitu :
a. Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya
kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat
kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus
meninggalkan pekerjaannya.
b. Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan
pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan
kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika,
madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
c. Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan
pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti :
penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat
yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah
tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
d. Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-
masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan
tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.

Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun


menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Layoff, keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-
benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena
perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
b. Outplacement, ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan
ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun
tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk
mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang
tingkat upahnya telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang
yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang
memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang.

4
Dasar dari kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja
yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan
pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
c. Discharge. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling
tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada.
Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai
sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.

Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar
akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan
lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan hubungan
kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak
memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya dengan
keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu
mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan kesulitan-
kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.

3. MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK


· Mekanisme PHK
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk
menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya,
PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan
melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut
adalah :
a. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya.
b. Karyawan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
c. Karyawan mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan.
d. Karyawan meninggal dunia.
e. Karyawan ditahan.

5
f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan
melakukan permohonan PHK.
Selama belum ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat
melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.

Perselisihan PHK
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama
perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.
Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan
pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.
Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran
kompensasi atas PHK.

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK


Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.
1. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan
karyawan atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai
kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam
penyelesaian perselisihan.
Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi
risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para
pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian
Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama
dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari
kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi.
Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus
menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para
pihak:
a. Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja
kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar

6
tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak
membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti
mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan
antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan
produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat,
putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang
menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung.
Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.

3. Pengadilan Hubungan Industrial


Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di
tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas
pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk
perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap
Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili
jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak,
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.

4. Kasasi (Mahkamah Agung)


Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan
kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.

4. KOMPENSASI PHK
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian
hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah
karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
 Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah.

7
 Masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah.
 Masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah.
 Masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah.
 Masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah.
 Masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah.
 Masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
 Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah.
 Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja UPMK
 Masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah.
 Masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah.
 Masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah.
 Masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah.
 Masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah.
 Masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
 Masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah.
 Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :


 Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
 Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana
karyawan/buruh diterima bekerja.
 Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
 Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. ……………………………………………………………...
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal
nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri
negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha
menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang
besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara
lain.
Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada karyawan di negara yang ditinggalkan.
Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas
penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur
organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi

8
harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi
pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan.
Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan
oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena yang sangat
mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan
ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).

3.2. SARAN
Adapun saran yang dapat kami berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam
melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Flippo, E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGraw-Hill


International Book Company.
Manulang, S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri, Balai
Pustaka, Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai